HUKUM

Polri: JNE Timbun Beras Banpres 5 November 2021

Jakarta, FNN - Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan mengatakan beras bantuan sosial presiden (banpres) yang ditemukan terkubur di lahan parkir JNE, Kelurahan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, ditimbun pada 5 November 2021.\"Diketahui bahwa pihak JNE mengubur atau memendam beras tersebut tanggal 5 November 2021,\" kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa.Penimbunan beras bansos tersebut sudah dibuatkan berita acara pemendaman beras dengan jumlah sebanyak 3.675 kilogram atau 289 karung atau setara untuk 139 keluarga penerima manfaat (KPM).\"Menurut pihak JNE, beras yang dikubur rusak karena basah kehujanan; sehingga pihak JNE menyatakan tidak layak dibagikan ke KPM. Itu alasan JNE,\" tambahnya.Penimbunan beras banpres itu terungkap dari keterangan RS, selaku pemilik lahan, yang menyebutkan telah terjadi penimbunan atau pemendaman beras sumbangan sembako bansos di lahan miliknya.Selanjutnya, pada Sabtu (30/7), RS melaporkan ke Polres Depok dan melakukan penggalian dengan menggunakan alat berat. Dari penggalian itu ditemukan beras banpres bermerk Kita Premium dengan kemasan ukuran 5 Kg, 10 Kg, 20 Kg, serta beberapa beras yang sudah berhamburan di tanah.Usai penemuan itu, polisi melakukan pengamanan di sekitar lokasi dan memasang garis polisi. Terkait laporan tersebut, penyidik Polri menggali keterangan terhadap Vice President Qualilty and Fasility JNE berinisial SJ.Menurut pengakuan SJ, pemendaman beras di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, tersebut sesuai dengan perjanjian kerja sama antara pembukuan kantor cabang utama PT Tiki Jalur Nugraha Eka Kurir dengan PT Indah Berkah Bersaudara.\"Yang melaksanakan pemendaman beras adalah PT Indah Berkah Bersaudara,\" kata Ramadhan.Dalam standar operasional prosedur (SOP) JNE, lanjutnya, tidak ada pengaturan cara pemusnahan apabila barang kiriman rusak. Pemusnahan itu pun sudah seizin JNE pusat. Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana (PSKBS) Kementerian Sosial menyatakan pihak JNE hanya bekerja sama dengan pihak DNR dan menerima pekerjaan dari Perum Bulog.Rencana tindak lanjut dari kejadian tersebut, kata Ramadhan, Polri akan membuat administrasi penyelidikan dan melakukan penyelidikan lebih lanjut atas dugaan penyalahgunaan distribusi beras bansos tersebut.\"Melaksanakan pemeriksaan dokumen terkait pengadaan bantuan COVID-19 tahap dua dan tahap empat, serta dokumen tentang pemusnahan bahan sembako yang tidak disalurkan,\" jelasnya.Sementara itu, Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Pol. Whisnu Hermawan mengatakan pihaknya turut membantu Polda Metro Jaya dalam menyelidiki kasus penimbunan beras tersebut.\"Satgas Pangan itu untuk memantau perkembangan yang ada di Depok, kan sudah ditangani Polda Metro Jaya. Kami akan membantu. Kami juga melakukan pendalaman bersama Polda Metro,\" ujar Whisnu. (Sof/ANTARA)

Soal Kontroversi RUU KUHP, Presiden Perintahkan Diskusi Lebih Masif

Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya menggelar diskusi secara lebih masif dan terbuka terkait isu-isu kontroversial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD di Jakarta, Selasa, mengatakan Presiden Jokowi memerintahkan hal itu saat memimpin rapat internal terkait kelanjutan pembahasan RUU KUHP di Istana Kepresidenan Jakarta.\"Sehingga, kami diminta untuk mendiskusikan lagi secara masif dengan masyarakat untuk memberi pengertian dan justru meminta pendapat dan usul-usul dari masyarakat,\" kata Mahfud seperti dipantau melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden di Jakarta, Selasa.Mahfud mengatakan perintah itu dikeluarkan Presiden kepada kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) terkait yang turut membahas RUU KUHP. Hal itu bertujuan untuk memastikan masyarakat paham dengan masalah-masalah yang masih diperdebatkan dalam pembahasan RUU KUHP.\"Mengapa? Karena hukum itu adalah cermin kehidupan masyarakat, sehingga hukum yang akan diberlakukan itu juga harus mendapat pemahaman dan persetujuan dari masyarakat. Itu hakikat demokrasi dalam konteks pemberlakuan hukum,\" katanya.Dia menambahkan RUU KUHP sudah hampir final dan memasuki tahap-tahap akhir pembahasan.\"Mengapa dikatakan hampir final? Karena RUU KUHP ini mencakup lebih dari 700 pasal, yang kalau diurai ke dalam materi-materi rinci bisa ribuan masalah; tetapi sekarang masih ada beberapa masalah, kira-kira 14 masalah yang perlu diperjelas,\" jelasnya.Empat belas isu kontroversial yang mendapat reaksi kritik dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, dan contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan.Selanjutnya ialah advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus), penodaan agama, penganiayaan hewan, penggelandangan, pengguguran kehamilan atau aborsi, perzinaan, dan kohabitasi dan pemerkosaan.Guna memperdalam pemahaman masyarakat terhadap ke-14 isu tersebut, Mahfud menyatakan Pemerintah akan melakukan diskusi yang lebih terbuka dan lebih proaktif melalui dua jalur.\"Pertama akan terus dibahas di DPR untuk menyelesaikan masalah ini. Kemudian jalur yang kedua terus melakukan sosialisasi dan diskusi ke simpul-simpul masyarakat yang terkait dengan masalah-masalah yang masih didiskusikan itu,\" katanya.Mahfud menyampaikan diskusi-diskusi terbuka itu nantinya akan difasilitasi oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, sedangkan materinya disiapkan dari pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait 14 isu tersebut.\"Intinya, itu seluruh yang akan kami lakukan itu adalah dalam rangka menjaga ideologi negara dan integritas negara kita, integritas ke-tatapemerintah-an kita, integritas ketatanegaraan kita di bawah sebuah ideologi negara dan konstitusi yang kokoh,\" ujarnya.RUU KUHP merupakan carry over dari keputusan DPR RI 2014-2019, yang pembahasannya tinggal dilanjutkan dalam pembahasan tingkat II, yaitu persetujuan pada Rapat Paripurna DPR RI.Komisi III, pada 7 Juli 2022, menggelar rapat kerja bersama Wakil Menkumham yang menyerahkan penjelasan 14 poin krusial sebagai bagian dari penyempurnaan dari RUU KUHP. (Ida/ANTARA)

Rachmat Yasin Bebas Bersyarat

Bandung, FNN - Mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa, setelah menjalani hukuman karena korupsi kedua yang dia lakukan.Kepala Lapas (Kalapas) Sukamiskin Elly Yuzar mengatakan Rachmat Yasin keluar penjara dengan status bebas bersyarat. Kebebasan Rachmat Yasin itu diberikan setelah kakak dari terdakwa kasus korupsi Ade Yasin itu menjalani hukuman atas kasus korupsinya yang kedua.\"Meskipun dia bebas bersyarat, dia tetap wajib lapor ke Bapas (Balai Permasyarakatan) Bogor,\" kata Elly di Bandung, Jawa Barat, Selasa.Rachmat mendekam di Lapas Sukamiskin sejak 2021 akibat kasus keduanya. Rachmat pun diketahui mendapatkan sejumlah remisi selama menjalani masa penjara.Bupati Bogor pada periode 2008-2014 itu terjerat kasus korupsi sebanyak dua kali. Pertama, Rachmat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK tahun 2014.Saat itu, Rachmat divonis terbukti menerima suap sebesar Rp4,5 miliar guna memuluskan rekomendasi surat tukar-menukar kawasan hutan atas nama PT Bukit Jonggol Asri seluas 2.754 hektare. Dari kasus pertamanya itu, Rachmat divonis hukuman 5,5 tahun penjara dan denda Rp300 juta.Setelah menjalani masa tahanan atas kasus tersebut, Rachmat kemudian bebas dari penjara pada Mei 2019. Namun, pada Juni 2019, Rachmat kembali ditetapkan sebagai tersangka atas kasus keduanya yakni soal gratifikasi.Dalam kasus kedua itu, Rachmat menerima gratifikasi dari SKPD Kabupaten Bogor dengan total sekitar Rp8,9 miliar untuk kepentingan Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) Kabupaten Bogor tahun 2013 dan Pemilu 2014, serta dia menerima gratifikasi lainnya.Akibat kasus itu, Rachmat Yasin divonis selama dua tahun delapan bulan, dengan dikurangi selama berada di dalam tahanan dan denda sebesar Rp200 juta. (Ida/ANTARA)

Penasihat Hukum Edy Mulyadi Tolak Saksi Ahli dari Jaksa

Jakarta, FNN – Sidang perkara ‘jin buang anak’ dengan terdakwa Edy Mulyadi terus bergilir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (2/8/22). Pagi tadi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi ahli. Namun, saksi tersebut sempat ditolak penasihat hukum terdakwa. Kenapa? Seorang pegawai Mabes Polri Muhammad Asep Saputra dihadirkan oleh JPU untuk menjadi ahli digital forensik kasus ‘jin buang anak’. Dalam persidangan, saksi ahli menjelaskan tahapan pengambilan data digital milik Edy  sebagaimana diperintahkan oleh surat dari penyidik. Namun, kehadiran saksi ahli tersebut ditolak tim penasihat hukum Edy Mulyadi dikarenakan ragu akan objektivitas saksi yang berasal dari internal Polri. “Kami keberatan Yang Mulia. Saksi merupakan perwakilan dari dalam Polri bagaimanapun mereka satu internal, tentu kami meragukan keterangan saksi nanti,” kata Penasihat Hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir di ruangan sidang, Selasa (2/8/22). Ketua Majelis Hakim, Adeng Abdul Kohar merespons penasihat hukum Edy Mulyadi. Menurutnya, tidak apa-apa kalau tim penasihat hukum keberatan dengan saksi, pihaknya akan catat, namun saksi akan tetap melanjutkan kesaksiannya terlebih dahulu dalam sidang ini, biarkan majelis yang menilai. “Majelis bagaimanapun jangankan untuk meragukan keterangan ahli, tidak memakai keterang ahli pun bisa, itu sesuai KUHAP,” ujar hakim Adeng. Setelah selesai persidangan, terdakwa Edy juga menanggapi terkait saksi ahli yang dihadirkan oleh JPU. “Saya sangat keberatan dihadirkan saksi ahli digital forensik bentukan Mabes Polri, karena selama enam bulan saya di dalam penjara, saya mengenal bagaimana polisi dari tingkat bawah sampai atas, saya juga tau bagaimana fungsi dari atasan ke bawahan, di polisi itu bawahan selalu tunduk kepada perintah atasan,” pungkas Edy.  Dalam kasus ini, Edy dipersangkakan Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang mengatur terkait Penyebaran Berita Bohong. Kemudian, Pasal 45A ayat 2 Jo Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur terkait penghinaan dan ujaran kebencian, Pasal 156 KUHP tentang Tindak Pidana kebencian atau Permusuhan Individu dan atau Antargolongan (SARA). Jika terbukti bersalah secara sah and meyakinkan, Edy Mulyadi diancam hukuman penjara 10 tahun. (Lia)

Gila! Terbesar Sepanjang Sejarah, Apeng Korupsi 78 Triliun

Jakarta, FNN - Salah satu raja sawit di Indonesia, Surya Darmadi Alias Apeng beberapa hari ini menjadi fokus perhatian banyak orang karena kabur ke Singapura. Bos PT Duta Palma Group, Apeng ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kasus suap alih fungsi hutan di Riau. Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan atas kasus tersebut negara mengalami kerugian keuangan dan perekonomian berdasarkan hasil perhitungan ahli dengan estimasi kerugian sebesar Rp 78 triliun. Dugaan kerugian negara ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah kasus korupsi di Indonesia. Kasus yang melibatkan Apeng ini dimulai sejak 2014 lalu. Ia diduga menyuap Annas Maamun, Gubernur Riau saat itu, untuk mengubah lokasi perkebunan milik PT Duta Palma menjadi bukan kawasan hutan. Perusahaannya menggunakan lahan seluas 37.095 hektar tanpa hak sekaligus tidak memiliki dokumen resmi dari negara. Proses perizinan yang diajukan PT Duta Palma Group baru berjalan sebagian, tetapi perusahaan sudah memanfaatkan lahan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit. Kemudian, Surya Darmadi atau Apeng pun  kabur ke Singapura dengan membawa kabur uang hasil kejahatan tersebut. Apeng ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau Tahun 2014. Apeng masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 9 Agustus 2019. Pada bulan Juni 2022 lalu, Kejaksaan Agung menyatakan pula tanah yang digarap kerajaan bisnis Apeng, PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu untuk perkebunan kelapa sawit merupakan lahan milik negara. Namun, sampai saat ini Apeng masih berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buronan. Dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Selasa (2/8/22), wartawan senior FNN Hersubeno Arief mengomentari bahwa banyak sekali koruptor Indonesia yang bisa hidup tenang di Singapura karena terhalang perjanjian ekstradisi. “Selama ini untuk buronan kelas kakap apalagi seorang naipan, aparat penegak hukum Indonesia hanya bisa gigit jari bila berhadapan dengan Singapura, kecuali jika mereka hanya buron kelas teri,  maka pemerintah Singapura dengan enteng menyerahkan ke Indonesia seperti Gayus Tambunan,” ujar Hersu. Kasus ini tentu sangat menarik jika terus kita ikutin, karena merupakan korupsi tergila sepanjang sejarah Indonesia.  “Saat ini kita hanya menunggu  saja bagaimana nasib Apeng, kalau melihat sosoknya dan kelas korupsinya,saya kira tidak mudah pemerintah Indonesia membawa pulang apeng dari Singapura,” pungkasnya. (Lia)

Aktivis Perempuan Ingatkan Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Istri Sambo

Jakarta, FNN - Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala mengingatkan kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh istri Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo agar tidak terlupakan oleh pihak kepolisian maupun publik.\"Perempuan rentan jadi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Ini harus dikedepankan tanpa pandang bulu siapa dia, meski seorang istri jenderal pun bisa menjadi korban,\" kata Valentina dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus tetap memroses kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh istri Irjen Ferdy Sambo, yakni PC.\"Terkait dengan dugaan tindak pidana kekerasan seksual ini, menurut saya pihak kepolisian tetap melakukan penyidikan,\" ucap Valentina Sagala.Menurut dia, kepolisian bisa mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. Maka dari itu, penyidik kepolisian harus mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual ini secara tuntas agar menemukan keadilan.\"UU TPKS sudah mengatur pula substansi hukum acara, kiranya bisa dijalankan oleh penyidik agar kasus ini menemukan keadilan yang terang benderang. Kita tunggu bagaimana hasil penyidikan dari Kepolisian,\" ujar aktivis perempuan ini.Sebelumnya, Kuasa Hukum Istri Irjen Sambo, Arman Hanis, berharap tim khusus yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat mengungkap kasus ini secara tuntas dan transparan. Hal itu sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa kasus ini harus diselesaikan dan jangan ada yang ditutup-tutupi.\"Kami berharap perkara ini akan dibuka dengan se-terang-terangnya dan sejelas-jelasnya,\" ucapnya.Sementara itu, Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan laporan dari istri Kepala Divisi Propam Irjen Ferdy Sambo terkait adanya dugaan pencabulan.“Yang jelas, kami menerima LP atau laporan polisi dari Ibu Kadiv Propam dengan pasal tersangkaan 335 dan 289,\" kata Budhi di Polres Jakarta Selatan pada Selasa (12/7).“Tentunya ini kami buktikan dan proses, karena setiap warga negara punya hak yang sama dimuka hukum. Sehingga equality before law juga bener-bener kami terapkan, bukan karena Pak Kadiv Propam yang lapor,\" tutur Budhi melanjutkan. (Sof/ANTARA)

Komnas HAM Masih Menunggu Hasil Autopsi Ulang Brigadir J

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan hingga saat ini lembaga tersebut masih menunggu hasil autopsi ulang Brigadir J usai dilakukan ekshumasi pada Rabu (27/7).\"Kami percaya penjelasan ketua tim yang melakukan autopsi di Jambi dan melibatkan berbagai profesor dari berbagai universitas. Kami tunggu itu saja,\" kata Komisioner Komnas HAM RI Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Senin.Akan tetapi, Anam menyarankan hal-hal yang menyangkut kedokteran forensik sebaiknya ditanyakan langsung ke pihak yang berwenang atau ahli di bidang tersebut.Apalagi, kata dia, terdapat beberapa dokter dari berbagai universitas yang terlibat langsung dari proses autopsi ulang jenazah Brigadir J.Terkait pemeriksaan Ajudan dan Asisten Rumah Tangga Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Polisi Ferdy Sambo hari ini (1/8), Anam mengatakan tim dari Komnas HAM menggali semua hal yang berkaitan langsung dengan pihak-pihak dalam konstruksi peristiwa tersebut.Ia mengatakan terdapat fakta baru yang didapatkan Komnas HAM, khususnya yang terjadi saat rombongan Irjen Polisi Ferdy Sambo termasuk Brigadir J berada di Magelang, Jawa Tengah.Komnas HAM, ujarnya, juga diperlihatkan sejumlah dokumen foto namun sayangnya tidak bisa ditampilkan kepada awak media massa.Selain itu, paparnya, dari hasil pemeriksaan Ajudan dan Asisten Rumah Tangga Irjen Polisi Ferdy Sambo, Komnas HAM memperoleh dokumen yang memperkuat keterangan atau rentetan soal waktu.Kendati demikian, Anam memastikan berbagai dokumen yang diperoleh Komnas HAM tersebut akan dicek validitas terkait keabsahannya.\"Ini penting bagi kami untuk melapis berbagai bukti, dokumen, dan keterangan yang sudah kami dapat,\" jelas dia. (Sof/ANTARA)

Publik Diimbau untuk Lapor jika Tahu Keberadaan Tersangka Masuk DPO

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia agar melapor kepada KPK apabila mengetahui keberadaan para tersangka kasus tindak pidana korupsi yang masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk ditindaklanjuti.\"Jika masyarakat tahu keberadaan tersangka yang masuk DPO, silakan sampaikan kepada KPK. Pasti kami tindak lanjuti,\" ujar Pelaksana Tugas (Plt.) Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan di Jakarta, Senin.Ali pun menyampaikan bahwa KPK tidak pernah melepaskan tanggung jawab dalam menyelesaikan penyidikan perkara para tersangka kasus korupsi yang dimasukkan ke dalam DPO.Sebaliknya, lanjut dia, langkah tersebut merupakan wujud keseriusan KPK dalam menyelesaikan penyidikan perkara para tersangka kasus korupsi yang masuk ke dalam DPO. KPK bahkan berharap seluruh elemen bangsa dapat bersama-sama melakukan pencarian karena pemberantasan korupsi membutuhkan peran serta dari seluruh pihak.\"Sebagai bentuk keseriusan di dalam penyelesaian penyidikan perkara, kami masukkan (para tersangka korupsi) ke dalam DPO dengan harapan kita semua bersama-sama bisa melakukan pencarian. Pemberantasan korupsi peran serta kita semua,\" ucap Ali.Dengan demikian, tambah dia, tidak tepat jika ada sejumlah pihak yang memandang KPK akan berhenti menyelesaikan penyidikan perkara korupsi setelah memasukkan nama tersangka ke dalam DPO.\"Justru dari situlah kami melakukan pencarian terus-menerus dan perkara serta penyidikan tidak dihentikan,\" tegas Ali.Adapun beberapa tersangka kasus korupsi yang dimasukkan KPK ke dalam DPO, di antaranya yang tengah ramai diberitakan adalah mantan calon legislatif (caleg) PDI Perjuangan Harun Masiku (HM) dan Bupati nonaktif Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak (RHP).Harun Masiku merupakan tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dengan penetapan anggota DPR terpilih tahun 2019-2024. Dia telah masuk dalam daftar DPO sejak Januari 2020.Sementara itu, Ricky Ham Pagawak merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa pemberian, penerimaan suap, dan gratifikasi pelaksanaan berbagai proyek Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mamberamo Tengah, Papua. Dia masuk ke dalam daftar DPO sejak 15 Juli 2022. (Sof/ANTARA)

Kejujuran Pak Kapolri Sedang Ditunggu

Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN - Brigadir J telah almarhum. Dia telah dimakamkan. Menarik karena kematiannya baru terungkap ke panggung publik setelah tiga hari. Begitu terungkap ke publik, segera terjadi kehebohan. Heboh, karena fakta yang tersaji di sana-sini mengundang keraguan. Sebab kematian muncul menjadi pusat keraguan. Baku tembak atau ditembak? Itu satu persoalan. Persoalan kedua, almarhum J itu, begitu pernyataan resmi Mabes Polri, melecehkan istri Irjen Pol. Ferdy Sambo. Fakta yang disodorkan Mabes Polri ini berhari-hari mendominasi panggung publik. Rupanya penyidikan, setidaknya penyelidikan kasus ini dipandu oleh fakta ini. CCTV yang di rumah Irjen Ferdy Sambo, entah bagaimana - kata Mabes Polri -  rusak. Pertanyaan segera muncul. Rusak atau dirusak? Keraguan lain juga segera menyusul. Apa betul Ferdy, sang Kadiv Propam ini, benar-benar sedang berada di luar rumah menjalani tes PCR atau ada di rumah pada saat terjadinya tembak-menembak atau almarhum ditembak? Tetapi sudahlah. Lupakan dulu semua keganjilan lain. Terutama keganjilan-keganjilan nyata setelah pihak keluarga almarhum Bripda J menyajikan fakta lain dengan nada menantang yang produktif. Tak diduga, berbekal fakta yang diyakini kebenarannya, pihak keluarga melalui kuasa hukumnya melaporkan ke Bareskrim Mabes Polri adanya kemungkinan almarhum dibunuh secara berencana. Fakta yang saling menyangkal antara Mabes Polri dan keluarga almarhum, sungguh menarik. Inilah poin paling krusial. Andai saja Brigadir J yang pada awal kejadian ini disajikan melakukan pelecehan terhadap Ibu Putri, istri Ferdy Sambo tidak mati, maka logis penyidik menempatkan “pelecehan” itu sebagai fokus penyidikan. Pra rekonstruksi yang dilakukan di Polda Metro Jaya, suatu tindakan dalam kerangka penyidikan, yang harus diakui, tidak dikenal dalam KUHAP. Namun logis juga dilakukan oleh penyidik. Soalnya, Brigadir J itu telah jadi almarhum, mati. Untuk apa kegiatan pra-rekonstrukti itu? Siapa yang mau dibebani tanggung jawab pidana kasus pelecehan?  Jelas dalam semua aspek, fokus ini mengandung persoalan. Apa relevansi menyelidiki perbuatan pidana yang pelakunya telah mati? Siapa yang mau dibebani tanggung jawab pidana?  Tidak mungkin penyidikan ini dimaksudkan untuk hal lain, selain memastikan siapa yang secara hukum harus dibebani tanggung jawab pidana. Andai terjadi pelecehan kepada istri Ferdy, maka hanya almarhum yang harus dibebani tanggung jawab pidana. Padahal dia telah mati. Ilmu hukum tidak menyediakan kaidah untuk meminta tanggung jawab pidana kepada orang yang sudah mati. Justru sebaliknya ilmu hukum pidana menyediakan kaidah, kematian menjadi sebab utama terhapusnya tanggung jawab pidana. Menariknya, penyidik, entah dari Mabes Polri atau Polda Metro Jaya, melakukan ekhumasi (otopsi ulang) kepada jasad almarhum Bripda J. Hasilnya belum disajikan kepada publik. Soalnya adalah untuk apa dilakukan otopsi ulang? Sekadar memenuhi rasa keingintahuan beralasan dan sungguh-sungguh dari pihak keluarga almarhum? Munginkah Mabes Polri, berdasarkan fakta yang diperoleh, misalnya CCTV merekam sejumlah keadaan hukum? Selain itu memperoleh keyakinan berbeda dari fakta yang disajikan sendiri oleh Mabes Polri pada awalmya? Keyakinan baru itukah yang membawa penyidik melakukan autopsi ulang atas jasad almarhum Brigadir J? Temuan autopsi ulang, sekali lagi, sejauh belum diperoleh, apalagi disajikan secara otoritatif. Andai autopsi ulang menyajikan fakta berbeda dengan autopsi awal, maka untuk alasan esensial rule of law, Kapolri mesti membalut seluruh tindakan hukum dengan kejujuran paripurna. Tanpa ragu pada semua aspek. Skema dan ruang lingkup tindakan hukum, termasuk etik, menjadi penentu. Kedangkalan ruang lingkup tindakan justru akan memanggil dan menebalkan keraguan atas ketebalan kejujuran Pak Kapolri. Jujur, sekali lagi jujur, karena hanya itu satu-satunya hal yang tersedia. Wajib dijadikan sikap dalam menyajikan keadilan pada kasus ini. Tak ada alasan sekecil apapun untuk menjadikan Brigadir J sebagai fokus penyidikan. Brigadir J telah mati ditembak. Apapun alasan dan keadaan yang menyertainya, beralasan hukum rasional dan cukup untuk meletakan tanggung jawab pidana pada si penembak. Membentuk Tim Khusus dan menarik penyidikan kasus ini ke Mabes Polri, untuk alasan kenyataan saat ini, terasa belum beralasan menandai ketebalan kejujuran Kapolri. Membebaskan Ferdy Sambo dan Kapolres Jakarta Selatan dari jabatannya, juga sama, terasa belum cukup berlasan untuk menandai ketebalan kejujuran Pak Kapolri. Kasus ini terlalu sederhana Pak Kapolri. Brigadir J mati ditembak. Dia ditembak atau tertembak oleh orang. Bukan setan, iblis dan sejenisnya yang menembak Grigadir J. Melakukan pelecehan seksual kepada orang lain siapapun dia, jelas melanggar hukum. Sama, melakukan satu tindakan yang mengakibatkan matinya orang, apapun motif dan alasannya, juga melanggar hukum. Pak Kapolri, orang mati itu, dalam ilmu hukum pidana, tidak dapat dimintai tanggung jawab pidana. Sebaliknya orang yang hidup, kecuali dia gila, harus dibebani tanggung jawab pidana. Pak Kapolri, ini kasus yang sangat sederhana. Anak buah Pak Kapolri yang membuat masalah kematian Brigadir J ini menjadi rumit dan njelimet. Sungguh tidak masuk akal bila penetapan tersangka dalam kasus ini harus menunggu hasil autopsi ulang. Menjadikan hasil autopsi ulang sebagai penentu dalam penetapan tersangka dalam kasus ini, jelas terlalu konyol dan ngawur. Yang tidak konyol adalah hasil autopsi ulang menjadi penentu kualifikasi perbuatan pelaku. Semua peluru yang ditembakkan senjata Briptu J, yang kabarnya merupakan seorang Sniper, lucu, aneh dan ajaib, tidak mengenai sasaran. Sebaliknya 5 (lima) peluru yang ditembakkan oleh si penembak mengenai tubuh Brigadir J. Fakta ini menjadi sebab satu-satunya Brigadir J mati. Hebat apa konyol itu Pak Kapolri? Pak Kapolri, hukum apa atau hal apa yang mau dicari untuk disajikan ke publik, sehingga penyidikan kasus ini terlihat tidak dibuat berliku-liku? Menunggu hasil autopsi ulang untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini hanya akan mempertebal kebingungan Pak Kapolri. Hemat saya, penentu penetapan tersangka kasus ini, untuk alasan hukum, bukan ditentukan dari hasil autopsi ulang. Hasil autopsi ulang hanya berfaedah dalam rangka konstruksi hukum untuk kualifikasi perbuatan pelaku. Hanya itu. Titik lebih dari itu Pak Kapolri. Terasa beralasan menyodorkan level ketebalan kejujuran Kapolri sebagai penentu utama percepatan penetapan tersangka dalam kasus ini. Mudah-mudahan di dalam rumah Ferdy Sambo, tempat matinya Brigadir J, hanya ada almarhum Brigadir J, si penembak plus Ibu Putri, istri Ferdy Sambo. Ukuran ketebalan kejujuran Pak Kapolri dalam perspektif saya, menyapu bersih semua tantangan non-hukum. Tentu bila itu ada. Kejujuran Pak Kapolri tak memiliki tandingan apapun dalam memandu dan menuntun setiap usaha mencari dan menemukan keadilan. Kejujuran adalah perisai dan mahkota orang-orang hebat dan berkelas Pak Kapolri. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.

Pengacara Keluarga Brigadir Yoshua : Saya Tidak Percaya Komnas HAM

Jakarta, FNN – Kini kekecewaan terhadap Komnas HAM kembali terulang dalam kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Pengacara keluarga, Kamaruddin Simanjuntak menegaskan tidak percaya Komnas HAM dan menyebut Komnas HAM bekerja untuk Polri. Berikut perbincangan dua wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Senin (1/8/22) di Jakarta. Kamaruddin merespons momen komisioner Komnas HAM Choirul Anam melipat kertas saat menjelaskan perkembangan penyelidikan baku tembak yang menewaskan Brigadir Yoshua seolah menutupi sesuatu dari wartawan saat konferensi pers. Ia menegaskan bahwa penyelidikan Komnas HAM tidak bisa diharapkan. “Saya dari dulu memang gak pernah percaya sama Komnas HAM. Komnas HAM itu kan memang bekerjanya untuk Polri, dari dulu,” ungkap Kamaruddin. Kamaruddin juga mengatakan tuduhan serupa kepada Kompolnas dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ia menilai Komnas HAM, Kompolnas, dan LPSK menjadi bagian dari Mabes Polri. “Pokoknya LPSK, Komnas HAM dan Kompolnas, gak ada satu pun yang bisa dipercaya,” katanya. Ketidakpercayaan keluarga terhadap LPSK semakin besar saat istri Irjen Ferdy Sambo dan Bharada E malah meminta perlindungan ke sana. Padahal, Bharada E disebut pihak kepolisian sebagai pihak yang menewaskan Brigadir Yoshua. Hersubeno mengomentari bahwa sekarang kasus tidak seperti yang publik bayangkan akan cepat terungkap setelah diadakan autopsi ulang kemarin, dan menemukan bukti-bukti baru. “Saya kira kalau kita melihat apa yang dibicarakan Komnas HAM terakhir ini, seharunya ini persoalaan sederhana, karena antara ajudan saja yang berkakhir kematian, tetapi mengapa kalau soal ajudan harus ditutupin ya,” ujar Hersubeno. Agi Betha kemudian juga mempertanyakan persoalaan kasus ini yang semakin menjadi sorotan publik. Seharunya pendapat tentang kematian Brigadir Yoshua ini harus disampaikan berdasarkan fakta. “Kalau kita mendengar alasan kasus ini ditutupin 3 hari karena pada hari minggu itu hari raya Idul Adha, namun hari Mingg (31/7/22) kemarin, ada pernyataan dari Kadiv Humas Polri bahwa kasusnya udah ditarik ke Bareskrim, artinya walaupun hari minggu tetap saja polisi bekerja,” pungkas Agi. (Lia)