HUKUM

Siber Memeriksa 10 Handphone Terkait Kematian Brigadir J

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyebutkan hingga saat ini tim siber Polri telah memeriksa 10 telepon seluler (handphone) terkait dengan kematian Brigadir J.\"Tim siber sudah mengumpulkan 15 handphone dan 10 di antaranya sudah diperiksa. Sementara lima lagi sedang dianalisa,\" kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Jumat.Ia mengatakan berdasarkan permintaan keterangan dari tim siber, Komnas HAM mendapatkan foto, dokumen, kontak, akun, termasuk sejak kapan percakapan dilakukan.\"Termasuk temuan digital lainnya,\" kata Beka.Selain itu, kepada Komnas HAM, tim siber juga memperlihatkan sejumlah dokumen administrasi penyelidikan. Terakhir, lembaga itu mendapatkan sejumlah raw material (bahan dasar) soal percakapan.Hasil paparan berupa percakapan, foto, dokumen, kontak dan lain sebagainya akan dianalisa lebih lanjut oleh Komnas HAM.Pada kesempatan itu, Beka juga mengatakan pada awalnya Komnas HAM mengagendakan pemeriksaan atau permintaan keterangan terkait uji balistik.Namun, hal tersebut ditunda karena tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri menyampaikan adanya perkembangan terbaru.Permintaan keterangan terkait komunikasi yang didapatkan melalui handphone tersebut berlangsung sejak pukul 09.00 WIB dan baru selesai sekitar pukul 15.00 WIB.\"Jadi, hari ini kami meminta keterangan dari tim siber dan Timsus terkait komunikasi yang didapatkan dari handphone, bukan balistik,\" ujarnya. (Sof/ANTARA)  

Ternyata Bharada E Bukan Jago Tembak

Jakarta, FNN – Kasus baku tembak antara Bharada E dengan Brigadir J belum berakhir. Terbaru, fakta soal sosok Bharada E yang ditemukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kali ini, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, dalam penelaahan pihaknya didapati kalau anggota Brimob asal Manado itu diketahui baru memegang senjata api sekitar tujuh bulan sebelum peristiwa Jumat berdarah di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo. Edwin juga memastikan kalau Bharada E bukanlah anggota polisi yang mahir menembak. Ia mendapat temuan bahwa Bharada E baru melakukan latihan menembak lagi pada Maret 2022. Jika dihitung dari insiden yang menewaskan Brigadir Yoshua itu rentang waktu nya cukup jauh dari terakhir kali Bharada E berlatih menembak. Dalam temuan LPSK belakangan ini didapati keterangan kalau Bharada E baru menggunakan pistol jenis Glock pada November 2021 dari Divisi Propam Polri. Kendati demikian, terhadap keterangan tersebut kata Edwin masih dalam penelaahan sekaligus investigasi oleh LPSK. Tak hanya itu, dalam penjelasannya selama menjalani pemeriksaan assessment psikologis di LPSK, Bharada E kata Edwin belum pernah terlibat baku tembak dengan orang lain manapun. Dalam artian lain, kejadian yang menewaskan Yoshua merupakan insiden pertama Bharada E terlibat baku tembak. Atas bukti-bukti itu, Edwin membantah informasi yang menyebut Bharada Eliezer adalah seorang sniper alias penembak jitu. Berdasarkan fakta yang beredar, wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Jumat (5/8/22) di Jakarta, mengatakan penjelasan dari Bharada E ke LPSK sangat berbeda dari informasi sebelumnya.  “Sebelumnya dia dikatakan jago menembak bahkan menjadi inspektur tembak, padahal penjelasaan LPSK bahwa Bharada E belum mahir menembak, bagaimana bisa dibilang mahir apalagi instruktur tembak kalau dia mulai memegang senjata November 2021 dan baru latihan kembali bulan Maret lalu, namun tembakannya tepat, sementara Yoshua yang diketahui sebagai sniper, tembakannya tidak terkena tubuh Bharada E,” tuturnya. Kendati demikian, atas pernyataan tersebut LPSK kata Edwin masih akan melakukan pendalaman pemeriksaan termasuk meminta keterangan dari penyidik Bareskrim Polri untuk mengkomparasi keterangan Bharada E. (Lia)

Sambo dan Dua Jenderal Lainnya Dicopot serta Diperiksa Momentum Kapolri Bersih-Bersih

Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuat gebrakan dengan mencopot tiga jenderal, termasuk Irjen Ferdy Sambo dari Kadiv Propam, terkait tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Ini merupakan langkah bersih-bersih yang dilakukan Kapolri terhadap “tangan-tangan kotor\" yang mencoreng institusi Polri. Demikian perbincangan pengamat politik Rocky Gerung dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis, 04 Agustus 2022. Petikan lengkapnya:  Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mulai bertindak cepat ini, bersih-bersih. Dan yang paling banyak dibersihkan ini divisi Propam. Propam ini kan harusnya tempat yang untuk membersihkan polisi, tapi justru ternyata propramnya yang sekarang dibersihkan. Ini disebut revolusi institusional. Karena propam itu kan semacam opposite comitee yang mau buat segala macam soal. Dan memang betul, akhirnya harus ada yang dinyatakan sebagai penanggung jawab kasus ini. Kenapa? Karena Sambo adalah kepala propamnya maka supaya fairness-nya jalan, aparat dan sebut saja yang biasa diucapkan, anak buah-anak buahnya juga harus jadi tidak dilibatkan dalam proses ini. Karena memang ada hirarki di dalam Propam kalau bosnya terlibat atau diduga terlibat, maka etikanya yang lain di bawahnya juga harus diperiksa atau diberhentikan sementara untuk supaya intervensi tidak berlangsung. Nah ini profesionalisme biasa saja sebetulnya. Tetapi, orang menduga ini ada yang lebih jauh dari itu. Kan mustinya ya sebagai individu yang diduga terseret dalam kasus pidana ini,  ya Pak Sambo saja yang diberhentikan kan. Yang lain nggak perlu. Tetapi, karena kita tahu bahwa cara melihat kepolisian itu harus lebih dari sekedar orang, tapi ada semacam geng begitu, dalam pengertian sekarang itu, jadi geng siapa yang yang bermain. Kan itu yang sekarang diinsinuasikan di dalam kondisi sekarang. Kita ingin agar supaya betul-betul kalau memang seluruh perwira tinggi menengah dan aparat di situ hendak diperiksa, pasti hendak diperiksa maksudnya kan? Kalau nggak ya ngapain dinonaktifkan, supaya kedudukan dia tidak memengaruhi proses pemeriksaan. Itu bagus juga sebagai sinyal. Tapi lebih dari itu kita ingin dapat satu kepastian bahwa bersih-bersih Polri ini jadi momentum untuk bersih seluruh bagian di dalam Polri. Itu yang diinginkan oleh publik. Saya kira menarik ini karena ini luar biasa tiga bintang 3 ,di luar Sambo ya tentu saja, ada tiga Jenderal bintang satu, ada lima Kombes, Kombesnya juga sebentar lagi bintang, kemudian tiga AKBP, dan yang lain total 25 orang. Tapi kalau saya sih melihatnya, kenapa dipindahin ke Yanma ya? Yanma itu kan pelayanan masyarakat. Bukankah Yanma itu harusnya menjadi front line, jadi wajah depan dari polisi? Kalau orang bermasalah semua dipindahin ke Yanma ini dia sendiri lagi bermasalah, bagaimana menghadapi rakyat? Tapi bayangin kesulitan Pak Listyo Sigit, ini mau dipindahin ke mana ya? Dan mungkin yang masih kosong itu karena ya bagian-bagian itu dianggap nggak terlalu menjadi sorotan. Nanti kalau dipindahin ke wilayah yang lain juga dianggap bahwa ini hanya sekadar ingin diselimuti sedikit. Kalau di Yanma kan langsung kelihatan bahwa oh iya, mereka ada di situ. Jadi, setiap hari rakyat atau pencari keadilan akan melapor dan mungkin akan minta supaya bertemu dengan Pak Sambo di situ, bertemu beliau di Yanma. Jadi mendua sebetulnya kita melihat itu. Atau betul-betul dimaksudkan untuk ya Yanma ini kan tempat orang untuk melihat di awal, pelayanannya bagus apa nggak? Itu Pak Sambo punya pengetahuan banyak karena beliau sudah pernah jadi petinggi lalu dikembalikan ke Yanma untuk melayani masyarakat. Kira-kira itu dulu paradigma yang kita bayangkan. Kita paham, tapi ini menurut saya, ke depan paradigma ini perlu diubah, karena termasuk juga Litbang. Dulu kan begitu, kan kalau ada orang yang mau digeser begitu, dilitbangkan. Padahal, kita tahu bahwa Litbang itu di negara-negara maju justru itulah yang menjadi jantungnya, termasuk juga pelayanan masyarakat ini frontline, customer service. Jadi harus enak dan pelayanannya harus bagus. Sekaligus kita benahi itu. Cara orang memandang Yanma. Sebetulnya di situ, yang disebut aspek kepolisian itu ada di situ, sebagai pelayan segala macam. Tapi lembaga-lembaga Litbang itu lembaga yang bermutu, tapi kok dianggap hasil buangan. Sementara BRIN yang setara dengan Litbang itu justru dianggap buat nampung kepentingan. Kan begitu, dalam skala yang lebih luas. Atau kalau di DPR ada yang namanya lembaga atau bagian hubungan luar negeri. Itu biasanya yang ribet di dalam negeri disuruh di bagian luar negeri saja supaya mondar mandir luar negeri saja. Kira-kira itu soalnya. Kita balik pada tadi, upaya untuk membenahi institusi. Karena ini institusi nggak boleh rapuh karena menjelang Pemilu, bahkan menjelang potensi perang dunia ke-3. Jadi polisi harus benar-benar kuat. Kesulitan ekonomi juga harus betul ditampilkan melalui wajah polisi yang mengayomi, sekaligus memberi rasa damai, tetapi juga memberi prospek bahwa Indonesia bisa melalui kesulitan ekonomi, politik, sosial, bahkan kesulitan global. Itu kan yang diinginkan. Jadi, betul Pak Sigit lakukan saja satu kali tarik nafas, seluruh soal yang selama ini dibebankan pada Polri atau Polri terbebani oleh repuatsi publik yang negatif, bisa dipulihkan reputasinya. Ya kan kita juga kemarin bahas bahwa ini hanya simptom, apa yang terjadi pada kasus ini. Tetapi, kita juga melihat ini sebagai sebuah momentum. Karena seperti kita juga anggak bahwa sekarang ini sudah mulai polisi ini sekarang menjadi salah satu organisasi terkuat di Indonesia, lembaga negara yang terkuat. Tetapi, kita melihat juga sudah ditarik kepentingan politik sana sini. Dan ini saya kira akan berbahaya jika lembaga seperti kepolisian tidak bersifat imparsial. Sifat imparsial itu yang dituntut publik karena bisnis yang di-backup oleh aparat di bawah, oknum, segala macam, kasak-kusuk untuk mengatur politik lokal saiapa yang musti menjadi Bupati, dan itu terbaca. Dan jurnalis lokal juga tahu ada satu keadaan di mana polisi terlalu ikut campur. Itu artinya diperintahkan oleh Kapolrikah; diperintah oleh gengkah; diperintah oleh angkatankah; atau diperintah oleh individuka? Jadi, kasak kusuk ini yang bikin orang akhirnya lihat polisi sebelah mata tuh. Padahal ini adalah institusi negara yang musti kita rawat sama-sama dan kita berikan kelegaan pada polisi untuk mengatur dirinya sendiri, tapi dengan aspek kesipilan itu. Kan itu yang orang inginkan. Dan kesipilan itu membutuhkan value sipil, supermation of sipil value. Hal-hal semacam ini yang kadangkala luput karena persaingan di dalamnya. Persaingan itu disponsori oleh partai poltik pasti. Ini bahayanya kalau partai politik  juga nggak bisa menahan diri untuk merawat polisi sebagai institusi negara. Dia bukan institusi politik. Tapi yang bermain politik di situ macam-macam karena tarik-menarik kedudukan  pejabat tinggi di Polri itu selalu harus diputuskan di DPR. DPR adalah tempat bermain. Politik itu pasti adalah uang. Uang di belakangnya pasti ada kepentingan. Jadi, soal ini yang saya kira Pak Listyo Sigit mengerti itu. Tapi dia harus berhati-hati juga, sebab kalau enggak Pak Listyo Sigit ini yunior sebetulnya di kalangan senior yang sudah matang melihat peta. Nah itu ujiannya Pak Sigit ada di situ. Kita percaya bahwa soal yunior - senior bukan itu intinya. Yang penting berintegritas atau enggak dalam mengupayakan pelayanan publik. Yang juga bikin heboh ini, selain kasus soal tewasnya Yosua di rumahnya, ini kan orang kemudian berdasarkan yang diungkap oleh Usman Hamid, dia menjadi ketua Satgas khusus. Ini kan semacam lembaga yang tidak ada dalam nomenklatur dari polisi dan kita tahu ada keterbatasan operasi-operasi dan seni. Begitu ada lembaga-lembaga semacam ini, kemudian mereka berpikir dana operasional. Dan operasional ini berpotensi yang dana non-budgeter. Dan kalau dana non-budgeter itu berarti kemudian ya kita tahu pasti akan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Kan itu berbahaya. Ya, itu kecurigaan muncul lagi di situ. Tapi, oke, saya anggap bahwa Pak Sambo kooperatif karena sangat kooperatif diperiksa di Polres Jakarta Selatan oleh penyidik yang betul-betul profesional. Tapi, sekali lagi di pemeriksaan ini harus dikaitkan dengan tadi, lembaga mana yang paling otoritatif untuk mengasuh paling nggak mengasuh dulu kasus ini supaya dia betul jadi kasus kriminal kan? Kan itu pentingnya. Jadi kalau ada Irjen khusus dan lembaga khusu atau panitia khusus, itu mungkin dimaksudkan begitu. Tetapi kekhususan itu tidak boleh ditafsirkan sebagai upaya untuk memberi khusus juga pada kasus ini. Jadi tetap kasus pidana yang harus diteliti dan hasil penelitiannya harus dibuka pada publik. Jadi, jangan lembaga khusus ini justru menyimpan rahasia yang dituntut oleh publik. Kan itu intinya. Bahwa secara teknis tidak semua harus dibuka, tapi publik dikasih kesan bahwa tim khusus ini atau apapun namanya, dimaksudkan untuk menerangkan keadaan. Dan itu yang saya tangkap dari Pak Sambo bahwa waktun dia diwawancara dia bilang oke saya sudah penuhi kewajiban saya sebagai terperiksa dan saya sudah kunjungi atau penuhi undangan untuk memeriksa saya di Kapolres Jakarta Selatan, bagian yang memang locus delicti-nya itu. Dan Pak Sambo bilang ya selebihnya saya serahkan pada tim khusus itu dan sepertinya akan jadi terang benderang. Itu sinyal yang bagus. Dan saya kira ini menjawab juga sinyalemen dari Pak Mahfud MD. Beliau kan bagaimanapun sebagai Menko Polhukam memulai kepolisian dan secara eks ovisio adalah ketua Kompolnas, Komisi Polisi Nasional. Karena dia menyebut misalnya ada hambatan psikokhirarkis dan ada hambatan psikopolitis. Nah, hambatan psikokhirarkis saya kira sudah selesai dengan dicopotnya Pak Sambo, kemudian juga yang lain-lain tadi ada 25 orang yang diambil tindakan disiplin, dan kemungkinan juga ke bisa bergulir ranah pidana. Yang susah ya itu tadi, yang disebut soal psikopolitis. Dan ini sama-sama kita tahu memang itu terjadi kan. Ya, tetap saya kritik Pak Mahfud karena beliau terlalu banyak komentar tuh. Bahkan orang bingung ini Menko atau Pengamat Politik atau bagian dari youtuber atau Twitter yang beri komentar tapi seperti kurang proporsional. Kan ada semacam keteguhan prinsip pada Pak Mahfud justru untuk menghormati proses hukum ini.  Jadi, bagian ini sebetulnya orang ingin dengar dari Pak Mahfud sebagai keterangan yang profesional sebagai pejabat negara. Itu soalnya. Pak Mahfud ngapain ngomng ini soal khirarkipolitis. Kalau kita pengamat memang, jadi melakukan pengamatan itu. Pak Mahfud kan bukan pengamat. Lama-lama dia jadi analiser atau menjadi pengamat atau dia menjalankan fungsi pengetahuannya dia sebagai eks official Kompolnas. Kan itu intinya. Kalau eks official Kompolnas, ya ngomong sebagai eks officio. Dan orang akan dengar itu melalui keterangan yang diperoleh dari hasil sidang Kompolna. Kan begitu mustinya. (ida, sws)

Kapolri : Irjen Ferdy Sambo Dicopot, 3 Jenderal Diperiksa Terkait Tewasnya Brigadir Yoshua

Jakarta, FNN – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi mencopot jabatan tiga perwira tinggi kepolisian berpangkat jenderal bintang 2 atau inspektur jenderal (Irjen) dan jenderal bintang satu atau brigadir jenderal (Brigjen). Hal itu tertuang dalam Surat Telegram (ST) Nomor 1628/VII/KEP/2022 Tanggal 4 Agustus 2022. Pencopotan tersebut buntut dari insiden tewasnya Brigadir Nofriansyah Hutabarat, pada Jumat, 8 Juli 2022, lalu. Jabatan Irjen Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri dicopot. Ia dimutasi sebagai Perwira Tinggi Pelayanan Markas (Pati Yanma) Polri. Posisi Kadiv Propam kini dijabat oleh Wakabareskrim Irjen Syahardiantono.  Selain Ferdy Sambo, perwira lain yang dicopot dari jabatannya, yakni Brigjen Hendra Kurniawan dicopot jabatannya dari Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Polri dimutasi sebagai Pati Yanma Polri. Lalu, Brigjen Pol Anggoro Sukartono yang sebelumnya menjabat sebagai Karo Waprof Divpropam Polri diangkat menggantikan jabatan yang ditinggalkan Hendra. Brigjen Benny Ali juga ikut dicopot dari jabatan sebagai Karo Provost Div Propam Polri lalu dimutasi sebagai Pati Yanma Polri. Kombes Pol Gupuh Setiyono lantas diangkat menggantikan posisi yang ditinggalkan Benny. Selain tiga nama tadi, terdapat personel kepolisian lain yang ikut dimutasi Kapolri imbas insiden penembakan terhadap Brigadir Yoshua tersebut. Sebelumnya, Kapolri Listyo mengatakan bahwa mereka telah menjalani pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus Tim Khusus (Irsus Timsus) Polri di bawah pimpinan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol. Agung Budi Maryoto. “Kita sudah memeriksa 3 personel pati, kombes 5 personel, AKBP 3 personel, kompol 2 personel, pama 7 personel, bintara dan tamtama 5 personel,” kata Kapolri saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/8/2022). Selain itu, Kapolri membeberkan kesatuan personel Polri yang diperiksa. Kesatuan terdiri atas Ditpropam hingga Polda Metro Jaya. “Dari kesatuan Ditpropam, polres, dan juga ada beberapa personel dari polda, dan juga Bareskrim,” ungkap Sigit. Ke-25 personel ini masih terus menjalani pemeriksaan dan akan berkembang. Proses pemeriksaan terkait etika, namun tak menutup kemungkinan terkait proses pidana. “Tentunya kita ingin semua proses bisa berjalan dengan baik. Oleh karena itu, terhadap 25 personel yang saat itu telah menjalani pemeriksaan, kita akan menjalankan proses pemeriksaan terkait dengan pelanggaran kode etik,” pungkasnya. Di samping itu, juga akan diproses secara pidana apabila dari pemeriksaan yang berlangsung terdapat tindak pidananya. (Lia).

"Crime Investigation" dalam Kasus Brigadir J Diapresiasi oleh Pengamat

Jakarta, FNN - Pengamat intelijen Ngasiman Djoyonegoro mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam melakukan scientific crime investigation atau penyidikan berbasis ilmiah pada kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.Kapolri juga telah bersikap responsif, transparan, tegas, dan independen dalam penanganan kasus tersebut, kata Ngasiman dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.\"Kapolri selalu menyampaikan bahwa pembuktian yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil atas suatu tindak pidana selalu berdasar pada scientific crime investigation sebagai upaya penguatan alat bukti dalam penanganan perkara pidana, termasuk dalam kasus meninggalnya Brigadir J,\" kata Ngasiman.Penyidikan berbasis ilmiah merupakan langkah Listyo Sigit sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik bahwa hasil penyidikan kasus tersebut benar-benar transparan dan dapat dibuktikan secara ilmiah.Polri menghimpun berbagai macam ahli, mulai dari unsur biologi, kimia forensik, balistik forensik, IT Forensik, hingga kedokteran forensik, sehingga unsur-unsur ilmiah dari pembuktian kasus pidana tersebut bisa terpenuhi.\"Komitmen keterbukaan dan ketegasan seperti inilah yang dibutuhkan untuk membangun stabilitas keamanan di masa yang akan datang. Saya optimistis sikap yang diambil oleh Kapolri akan meningkatkan integritas, independensi, dan kepercayaan publik pada institusi,\" jelasnya.Scientific crime investigation merupakan salah satu dari empat langkah strategis yang diambil Listyo Sigit Prabowo. Langkah lainnya adalah pencopotan sejumlah jabatan, yakni Irjen Pol. Ferdy Sambo dari Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Brigjen Pol. Hendra Kurniawan dari Karopaminal Divpropam Polri, Brigjen Pol. Benny Ali dari Karoprovos Divpropam Polri, dan Kombes Budhi Herdi Susianto dari Kapolres Jaksel.Selanjutnya, Listyo Sigit mengizinkan untuk mengautopsi ulang jenazah Brigadir J di Jambi, Rabu (27/7), untuk mengetahui lebih jelas penyebab kematian tersebut. Langkah lainnya adalah Listyo Sigit juga menyampaikan informasi perkembangan terkini penanganan penyidikan kasus Brigadir J kepada publik.Transparansi tidak hanya terkait dengan kelembagaan Polri, tetapi juga kinerja penyidikan yang dilakukan anggota Polri terhadap anggota lainnya.\"Keempat langkah di atas, bagi saya, jelas menunjukkan Kapolri ingin menunjukkan konsistensi kerja dan penegakan prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang. Termasuk dalam keterangan pers terakhir Kapolri menyatakan sudah memeriksa 25 anggota,\" ujar Ngasiman. (Ida/ANTARA)

Komnas HAM Membuka Peluang untuk Periksa 25 Polisi yang Tidak Profesional

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI membuka peluang memeriksa 25 polisi yang telah diperiksa Inspektorat Khusus Tim Khusus Polri terkait tidak profesional dalam menangani tempat kejadian perkara (TKP) di rumah Irjen Polisi Ferdy Sambo.\"Belum, kami belum mengagendakan tetapi tidak tertutup kemungkinan,\" kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Jumat.Sejauh ini, kata Beka, Komnas HAM akan bekerja berdasarkan tahapan yang ada. Khusus hari ini, lembaga HAM tersebut menjadwalkan pemeriksaan uji balistik. Namun, jika Tim Siber datang, Komnas HAM langsung melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan.\"Tapi kalau ditanya soal 25 anggota polisi tersebut, belum kami putuskan,\" kata Beka.Terkait pemeriksaan uji balistik, Komnas HAM akan mendalami beberapa hal, misalnya penggunaan peluru, register senjata atas nama siapa, kemudian apakah ada peluru yang pecah atau tidak.Beka mengatakan apabila ada peluru yang pecah, apakah polisi menemukan pecahannya atau tidak, termasuk mengonfirmasi temuan-temuan lain dari tim khusus kepolisian dalam kasus kematian Brigadir J.Hingga saat ini Beka mengaku belum mendapatkan keterangan siapa saja yang akan hadir, termasuk jumlah personel yang datang ke Kantor Komnas HAM untuk memberikan keterangan.\"Namun yang jelas mereka sudah konfirmasi pagi ini akan datang ke Komnas HAM,\" kata dia.Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menyebutkan 25 personel Polri tersebut telah menjalani pemeriksaan oleh Irsus Timsus Polri di bawah pimpinan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Polisi Agung Budi Maryoto. (Ida/ANTARA)

Jokowi Minta RKUHP Dibahas Kembali dengan Melibatkan Masyarakat

Jakarta, FNN – Kali ini polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) membuat Predisen Joko Widodo (Jokowi) perintahkan anak buah untuk membahas kembali dengan melibatkan masyarakat. Jokowi menilai masih ada materi yang membutuhkan pendalaman sehingga harus mencermati masukan semua kalangan yang keberatan dengan sejumlah pasal RKUHP. Ia ingin masyarakat betul-betul paham mengenai RKUHP ini. Ketika itu, memang tengah terjadi gejolak. Aktivis dan masyarakat sipil melakukan demonstrasi menolak isi RKUHP. Para akademisi pun menyebut RKUHP sebagai produk kolonialisme. Demikian perbincangan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (4/8/22) di Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD saat memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (2/8/22). “Tadi Bapak Presiden memerintahkan atau meminta kepada kami dari pemerintah yang terkait dengan ini untuk sekali lagi memastikan bahwa masyarakat sudah paham terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan itu. Sehingga kami diminta untuk mendiskusikan lagi secara masif dengan masyarakat untuk memberi pengertian dan justru meminta pendapat dan usul-usul dari masyarakat,” ujar Mahfud. Beberapa pasal dalam rancangan yang dibahas dinilai bermasalah salah satunya adalah Pasal 229, 241, 247, 262, 263, 281, 305, dan 364. Beberapa pasal tersebut menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di Indonesia dan juga akan memberangus pers dan keberadaan pers. Permasalahan dalam deretan pasal tersebut memunculkan polemik hingga menuai pertentangan dari pihak-pihak yang bersangkutan. “Kita saja sebagai dewan pers, cukup terjekut dengan adanya Undang-Undang di dalamnya yang dirasa akan membelengu kebebasan pers, begitu juga mahasiswa yang mengatakan tidak mendengar dan tidak berbicara,” ungkap Agi. Selain itu, dewan pers merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Hersubeno mengungkapkan bahwa RKUHP ini persoalaan serius karena dampaknya bukan bagi kalangan pers saja, semua kalangan bisa kena, “Kalau saya menyarankan ini publik jangan kalah seriusnya mengawal kasus ini, saya sebutnya ini skandal KUHP,” tuturnya. Lebih lanjut, Agi menambahkan apabila dilihat secara prosedur, rencana Undang-Undang yang akan diundangkan secara resmi semestinya harus ada pendapat dari masyarakat luas, seperti roadshow DPR yang membawa ini ke diskusi para mahasiswa kampus, organisasi, dan pihak yang terlibat. “Banyak juga pubik menanyakan apakah Pak Jokowi tidak membaca sebelumnya, ataukah staff ahlinya yang memberikan intinya, padahal beliau banyak staff khususnya. Sehingga Pak Jokowi tidak terkejut dan meminta disikusikan terlebih dahulu sebelum diundangkan,” pungkasnya. (Lia)

LPSK Tegaskan Bharada E Bisa Dilindungi Asal Jadi Justice Collaborator

Jakarta, FNN – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan Bharada E yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir J masih bisa dilindungi instansi itu asalkan bersedia menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama.\"Kalau ditetapkan sebagai tersangka, LPSK tidak ada kewenangan lagi memberikan perlindungan kecuali yang bersangkutan bersedia menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dalam mengungkap kasus,\" kata Ketua LPSK, Hasto A Suroyo, saat dihubungi di Jakarta, Kamis. Ia menyinggung berdasarkan pasal yang dikenakan kepada Bharada E yakni pasal 338 juncto pasal 55 dan pasal 56 KUHP, maka hal itu bisa menjadi peluang bagi Bharada E sebagai terlindung LPSK.Akan tetapi, ujar dia, hal itu tetap kembali kepada yang bersangkutan apakah bersedia atau sebaliknya menjadi justice collaborator dalam mengungkap kematian Brigadir J.Ia mengingatkan tersangka yang ingin mendapatkan perlindungan dan bersedia menjadi justice collaborator, maka harus memenuhi persyaratan dari lembaga itu.\"Pertama, dia bukan pelaku utama. Dia harus bekerja sama dan mengungkapkan peristiwa yang dia ikut terlibat itu,\" jelas Suroyo.Pascapenetapan tersangka, dia mengaku Bharada E hingga kini belum berkoordinasi dengan lembaga itu apakah bersedia atau tidak menjadi justice collaborator.Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Kepolisian Indonesia, Brigadir Jenderal Polisi Andi R Djajadi, mengatakan Bharada E ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus yang dilaporkan oleh kuasa hukum keluarga Brigadir J.Dari hasil pemeriksaan 42 saksi, saksi ahli, uji balistik, forensik dan kedokteran forensik termasuk penyitaan barang bukti sudah cukup untuk menetapkan Bharada E sebagai tersangka pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan turut serta. (mth/Antara)

Ferdy Sambo: Saya Beri Keterangan Apa yang Dilihat dan Ketahui

Jakarta, FNN – Irjen Pol. Ferdy Sambo usai menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus dugaan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua dengan tersangka Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Kamis petang, menyatakan dirinya telah memberikan keterangan sesuai dengan yang dia lihat dan ketahui. Jenderal bintang dua itu menjalani pemeriksaan selama kurang lebih 7 jam, mulai 09.55 dan keluar dari Gedung Bareskrim pada pukul 17.15 WIB. \"Hari ini saya sudah memberikan keterangan apa yang saya ketahui, saya lihat, saya saksikan terkait dengan peristiwa yang terjadi di rumah dinas saya Duren Tiga,\" kata Sambo. Sambo tidak banyak menjelaskan terkait dengan pemeriksaannya. Ia mengajak semua pihak untuk mempercayakan penyidik Polri mengungkap kasus yang terjadi di rumahnya secara terang-benderang. \"Mari sama-sama kita percayakan kepada tim khusus yang menjelaskan secara terang benderang,\" kata Sambo. Irjen Pol. Ferdy Sambo memenuhi panggilan penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri untuk diperiksa sebagai saksi terkait kasus terbunuhnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua oleh Bharada Richard Eliezer atau Bharada E. Mengenakan seragam Polri, Ferdy Sambo tiba di lobi Gedung Bareskrim sekitar pukul 10.14 WIB, dengan pengawalan ketat anggota polisi. Kepada wartawan yang telah menunggu kedatangannya di Bareskrim, Ferdy Sambo mengaku sudah empat kali menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus dugaan baku tembak di rumahnya. \"Saya hadir memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Polri. Pemeriksaan pada hari ini adalah pemeriksaan yang keempat. Saya sudah memberikan keterangan kepada penyidik Polres Jaksel, Polda Metro Jaya, sekarang yang keempat di Bareskrim Polri,\" kata Ferdy. Untuk pertama kalinya jenderal bintang dua itu muncul di hadapan media sejak kasus dugaan tembak-menembak di rumahnya pada hari Jumat, 8 Juli 2022. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyampaikan permohonan maaf kepada institusi Polri terkait dengan peristiwa yang terjadi di rumahnya. \"Selanjutnya saya juga intinya menyampaikan permohonan maaf kepada institusi terkait dengan peristiwa yang terjadi di rumah dinas saya di Duren Tiga,\" ujarnya. (mth/Antara)

Polri Terapkan Asas "Equality Before The Law" Kepada Ferdy Sambo

  Jakarta, FNN – Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo menegaskan Tim Penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri bekerja profesional dalam memeriksa Irjen Pol. Ferdy Sambo dengan menerapkan asas \"equality before the law\" atau setiap warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum.“Sama berlaku \'equality before the law\' dan tim bekerja profesional dan independen,” kata Dedi saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Kamis.Dedi menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap Ferdy Sambo sama seperti pemeriksaan yang dilakukan kepada masyarakat lainnya, meskipun terperiksa mengenakan seragam Polri dan mantan pimpinan dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum).Ia mengatakan penyidik bakal meminta keterangan Ferdy Sambo terkait laporan polisi yang dilaporkan oleh keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua.“Diperiksa oleh Penyidik Bareskrim Timsus,” kata Dedi.Irjen Pol. Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, pemeriksaan dilakukan di Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, Kamis.Kasus pembunuhan Brigadir Yosua ditangani Tim Penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri yang Dipimpin Brigjen Pol. Andi Rian Djajayadi, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pidum (Dirtipidum) Bareskrim Polri.Sebagaimana diketahui Irjen Ferdy Sambo pernah menjabat sebagai Dirtipidum Bareskrim Polri pada tahun 2019 atau setahun sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri tahun 2020.Pemeriksaan Irjen Pol. Ferdy Sambo dilakukan di Dittipidum dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo.Tim Penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri telah menetapkan satu tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir Yosua di kediaman Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Tersangka Bharada Richard Eliezer atau Bharada E dengan sangkaan melanggar Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) juncto Pasal 55 KUHP (ikut serta) dan Pasal 56 KUHP (membantu). Setelah penetapan tersangka, tim penyidik meminta keterangan Irjen Pol. Ferdy Sambo terkait laporan polisi yang dilayangkan oleh keluarga Brigadir J.Jenderal bintang dua tersebut memenuhi panggilan penyidik, tiba di Gedung Bareskrim Polri pukul 09.55 WIB, dikawal oleh para ajudan dan mendapat penjagaan ketat anggota Propam Polri.Ferdy Sambo datang mengenakan seragam Polri dengan emblem masih terpasang satuan Propam di sisi lengan kanannya. (mth/Antara)