HUKUM

Pengakuan Bharada E Bikin Sambo Makin Terpojok, Momen Pembuktian Komitmen Polri

Jakarta, FNN - Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Bharada E menyampaikan sejumlah poin pengakuan atau keterangan baru di hadapan penyidik Timsus Polri. Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan bahwa hal ini harus diselesaikan dengan cara yang cepat dan betul-betul terbuka supaya langkah berikutnya ada kesempatan Pak Sigit membenahi institusinya. “Selesai secara kriminal itu lebih penting. Karena membongkar soal jaringan pengaruh di kepolisian itu berat dan mahal karena menyangkut reputasi macam-macam orang,” katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Senin, 8 Agustus 2022. Berikut petikan wawancara lengkapnya:  Halo Bung Rocky, ketemu lagi nih di awal pekan, hari Senin. Kelihatannya segar sekali awal pekan ini. Ya, karena saya membaca ada pengakuan dari Bharada E dan ada keterangan-keterangan lain yang membuat kita awal pekan punya kecerahan baru untuk membongkar kasus ini, supaya ada hal-hal lain yang masih bisa kita teruskan perbincangan sebagai bangsa. Iya. Saya juga diingatkan oleh beberapa teman, ini waktu kita dihabiskan untuk membahas tewasnya Brigadir Yohsua (bukan berarti kita tidak menghargai ya ada satu warga kita yang meninggal secara mengenaskan itu). Tetapi, teman-teman ini juga mengingatkan jangan sampai energi kita habis di sini dan kemudian kita teralihkan, tetapi ia justru dia ingatkan bagus ini momentum untuk polisi melakukan pembenahan. Dan sebenarnya jangan hanya internal saja tapi juga bagaimana meletakkan posisi polisi dan ketatanegaraan kita. Iya, jadi satu tahap sudah kita capai, yaitu Pengakuan dari berada Eyang memang statusnya baru pengakuan di depan penyidik. Tentu ini pembuktian nanti depan pengadilan, di bawah sumpah. Tapi kira-kira ada kelegaan bahwa menjadi justice collaborator itu betul-betul untuk menghindari conflict of interest, menghindari sensasi yang makin lama makin gila, dan kembali pada fungsi utama pengadilan nanti, yaitu menetapkan siapa tersangka dan pada saat itu tentu Polri bisa berlega nanti karena institusinya bisa diselamatkan. Jadi menyelamatkan institusi memang ada ongkosnya, yaitu ada satu kelompok, satu orang, atau satu geng bahkan yang harus dibersihkan. Itu intinya kan. Dalam keadaan itu kita ingin supaya cepat selesai karena geng-geng yang lain di wilayah ekonomi masih banyak, geng-geng yang lain di soal politik juga tumbuh lagi. Jadi, baiklah kalau ini selesai lalu kita pindah untuk ngurusin ekonomi dan politik yang juga makin mendebarkan. Satu hal tapi saya kira sebenarnya, di luar bahwa ada niatan dari POLRI untuk bersih-bersih, karena nggak mudah loh ini dengan posisi yang sangat tinggi, seperti Ferdy Sambo (Kadiv Propam),  kepala Satgasus, yang kemudian sekarang ditahan atau ditempatkan khusus. Tapi kelihatannya akan bergulir ke pidana. Yang kedua yang membuat kita lega itu kelihatannya ternyata yang kemarin kita selalu khawatir adanya pembelahan pada masyarakat, tetapi untuk isu kali ini semua civil society bersatu. Itu yang membuat saya lega dan semua bersikap imparsial karena ini berkaitan dengan hak asasi manusia. Saya kira mestinya begini bangsa kita ini.  Itu pentingnya kasus semacam ini jadi selalu kita sebut sebagai pintu untuk membuka berbagai macam pintu lain di kepolisian. Ini baru pintu pertama saja kan di dalam kepolisian ada macem-macem. Ada pintu yang begitu dimasukin ternyata ada pintu lain di dalamnya. Jadi berjejaring dan labirin itu kalau nggak lihat dari atas, dari puncak menara, kita nggak tahu jalan keluarnya di mana. Kelihatannya Pak Sigit akhirnya naik ke puncak menara untuk melihat labirinnya sebesar itu. Tapi dia tetap musti hati-hati karena bagaimanapun senioritas masih berlaku di situ, pengaruh partai masih berlaku, bahkan sinyal-sinyal dari istana makin keras untuk membongkar kasus ini. Jadi, semakin kita merasa bahwa ada kelegaan, semakin juga kita harus menghitung fight bad-nya para pelaku atau pembuat pintu palsu di kepolisian. Jadi belum selesai secara politis. Tapi selesai secara kriminal itu lebih penting. Karena membongkar soal jaringan pengaruh di kepolisian itu berat dan mahal karena menyangkut reputasi macam-macam orang. Saya mengucapkannya pun musti cari kata-kata yang betul-betul persis, berat dan mahal.  Ya, karena kita tahu belakangan seringkali kita sebut bahwa bagaimanapun juga inilah politik sudah mulai masuk ke wilayah yang harusnya steril. Kan polisi, ASN, dan termasuk TNI itu kan wilayah yang harusnya steril dari kepentingan politik karena mereka ini adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Tetapi, akibat kepentingan-kepentingan politik, tarik-menarik politik, kita mengulang kembali sejarah masa lalu. Kalau di masa lalu itu pada TNI, sekarang terjadi pada polisi. Ini saya kira yang jauh lebih serius kan.  TNI betul-betul ambil sikap back to basics, back to barak. Dan profesionalismenya diucapkan sejak reformasi. Itu konsisten. Militer konsisten. Sedikit hal yang musti kita diskusikan nanti itu kenapa Pak Luhut kemudian meminta supaya Undang-undang TNI diubah. Itu juga satu soal baru, seolah-olah kesejahteraan TNI kurang, karena itu musti diubah supaya ada penempatan di wilayah sipil.  Begitu juga sebenarnya tidak diperlukan karena justru kita musti pastikan ada rekrutmen dari sipil untuk menempati posisi-posisi birokrasi politik atau birokrasi pemerintahan, jangan militer. Biarkan militer kita tumbuh jadi militer profesional yang berkali-kali dapat penghargaan dari internasional, kemampuan teknis dan kemampuan strategis. Memang, ada masalah soal kemampuan persenjataan. Tapi itu soal uang saja kan? Begitu ada pembelian senjata maka well accupied militer kita. Sampai dengan saat sekarang, pendidikan militer kita bagus betul kan? Itu sebetulnya yang harus dikedepankan, yaitu membangun institusi militer yang ampuh dan profesional dan eticly. Itu juga yang mustinya diterapkan di lembaga kepolisian karena tentara mungkin bersiaga terus, tapi tidak dalam setiap saat dia menghadapi perang. Tapi kalau kepolisian setiap saat dia harus bersiaga di pojok-pojok kota, tahu di mana persembunyian money laundring, berupaya untuk menangkap bandar narkoba, segala hal yang berurusan dengan perkembangan masyarakat. Di situ diperlukan tingkat etika yang tinggi itu. Kalau keilmuan, kita yakin kemampuan polisi untuk menangkap maling. Tetapi, tuker tambah di belakang itu yang seringkali dipersoalkan orang. Sudah ditangkap tapi diloloskan, setelah diloloskan masih ada lagi penangkapan yang lain. Jadi ini yang jadi sorotan publik. Tetap publik ingin melihat kemegahan tentara itu dengan seragamnya, tapi sekaligus memberi kedamaian, rasa aman. Sama seperti orang Inggris menganggap bahwa lebih baik nggak ada perdana menteri daripada nggak ada sekolah scholeryard. Jadi etika itu yang kita inginkan betul bahwa polisi itu sebagai institusi tumbuh bersih, dihormati, dan tidak disinismekan. Sekarang, selama kasus tembak-menembak ini itu, sinismenya tinggi betul pada polisi itu. Dan polisi juga terpaksa musti cari jalan supaya persiapan dia untuk membersihkan institusinya melalui peristiwa ini betul-betul rapi itu. Ya. Dan selalu, kita harusnya setiap kali melihat sesuatu, kita lihat dari the bright side-nya ya, dari sisi yang lebih ternag.  Mungkin orang mengutuk apa yang terjadi, tapi selalu kita ingatkan dari kemarin bahwa saya kira ini jadi momentum gitu dan Pak Listyo Sigit kalau mau mengingatkan memang nggak sendirian, karena ini sudah cukup lama terjadi, jadi dia harus dapet support.  Betul, support pada Pak Sigit memang diperlukan karena kan status Pak Sigit itu sebagai Kapolri, tetapi orang merasa ya dia adalah mantan ajudan presiden. Kan itu berarti ada sesuatu yang masih berbekas di dalam hierarki antara Presiden dan Kapolri yang mantan ajudan. Itu secara psikologis ada dan Pak Sigit itu relatif junior dibandingkan dengan sebut saja satu struktur di kepolisian yang tetap merasa ada yang kurang klop dalam relasi atau komunikasi, entah dari para senior atau dari Bapak Sigit sendiri. Jadi ini problem-problem institusional yang terkait dengan kemampuan untuk membersihkan institusi. Ya satu paket ini yang sebetulnya harus kita sodorkan menjadi pembicaraan publik. Dan bagus betul kalau pers mulai menjadikan ini persoalan pembenahan, karena ada momentum. Tapi sering kali juga kepolisian terlihat memakai beberapa pers untuk jadi speaker dari proses-proses di dalam kepolisian sendiri sehingga ada pers yang tiba-tiba dapat data yang betul-betul mencengangkan, ada pers yang menunggu informasi resmi dari humas Kapolri. Itu juga dia bilang, itu kemampuan manuver pers saja. Iya, tapi kita tahu ada pers yang melekat di kepolisian, ada pers yang menunggu di ruang tunggu. Kan begitu. Itu sebetulnya yang kita pahami. Iya. Soal kemaren status Ferdy Sambo ditahan atau tidak ditahan aja itu banyak versi yang ambigu. Ada yang menyebut kemungkinan menggunakan bahasa polisi ditempatkan di tempat khusus. Iya, tapi saja dengan ditahan, karena kalau istrinya mau dateng habis nganter bajunya saja nggak bisa ketemu, apa namanya dong.  Ya, itu kalimat-kalimat tertentu memang bisa dipakai, tapi tetap kita paham bahwa ini pasti harus diselesaikan dengan cara yang cepat dan betul-betul terbuka supaya langkah berikutnya ada kesempatan Pak Sigit membenahi institusinya. Itu intinya. Jadi blessing in disguise-nya di situ. Disguise-nya ya itu konsumsi mereka yang masih berupaya untuk menonton versi sinetronnya. Kalau kita ingin versi kriminalnya diperlihatkan dengan dalil-dalil akademis, pembuktiannya yang transparan, dan lebih penting lagi adalah kesaksian-kesaksian yang hanya berdasar pada fakta itu. Nah, di sini pers dituntut kembali untuk jadi hakim publik di pengadilan nanti. Dan jadi hakim publik juga berat karena apapun keputusan pengadilan itu beriimpak pada beberapa peristiwa yang terkait. (ida, sof)

Pemeriksaan Irjen Ferdy Sambo dan Istri Akan Dilakukan Secara Terpisah

Jakarta, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan pemeriksaan atau permintaan keterangan terhadap Irjen Polisi Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi akan dilakukan terpisah, terkait penyelidikan kasus kematian Brigadir J.\"Karena itu penting bagi kami dalam melihat konsistensi pengakuan, konsistensi keterangan, dan konsistensi dari alat bukti,\" kata Komisioner Komnas HAM RI Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Senin.Terkait jadwal atau waktu pemeriksaan keduanya, Anam mengatakan hal tersebut belum dapat dipastikan. Akan tetapi, ketika permintaan keterangan dilakukan dipastikan di ruangan berbeda.Anam mengatakan rencana permintaan keterangan Irjen Ferdy Sambo beserta istrinya yang dilakukan terpisah. Hal ini juga diterapkan saat permintaan keterangan para ajudan atau aide de camp (ADC).\"ADC walaupun waktu pemeriksaannya sama, tapi pemeriksaan satu ajudan dengan yang lain itu berada di ruangan yang berbeda,\" kata dia.Hingga saat ini Komnas HAM diketahui belum meminta keterangan langsung kepada Irjen Ferdy Sambo maupun istrinya. Khusus Putri Candrawathi, hal itu karena dilatarbelakangi kondisi psikologis.Ia mengaku saat ini Komnas HAM sedang berupaya membangun komunikasi dengan istri Ferdy Sambo. Apalagi, permintaan keterangan Putri Candrawathi sudah diagendakan Komnas HAM sejak awal.\"Keterangan dari Putri Candrawathi pasti sangat dibutuhkan. Semua hal yang terkait keterangan pasti kami butuhkan,\" ujarnya.Kendati istri Irjen Ferdy Sambo sudah muncul ke publik untuk pertama kalinya pascaperistiwa tewasnya Brigadir J, Anam mengatakan saat ini agenda strategis lembaga tersebut ialah terkait permintaan keterangan uji balistik.\"Jadi itu yang kami prioritaskan. Semoga soal balistik ini bisa ketemu antara tim balistik dengan Komnas HAM,\" ujar dia. (Sof/ANTARA)

Sempat Berpotensi Menjadi Next Kapolri, Kini Karir Ferdy Sambo Tamat?

Jakarta, FNN – Dalam empat pekan terakhir ini publik disuguhkan dengan berbagai drama kejanggalan-kejanggalan tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Mayoritas publik tidak percaya lagi dengan apapun penjelasan versi polisi, tampak sekali ada sesuatu yang besar dan tengah coba disembunyikan, namun karena peristiwa ini terlalu besar maka menjadi sulit untuk disembunyikan. “Saya memaklumi bahwa banyak yang kecewa mengapa Irjen Ferdy Sambo, figure penting yang berada di pusaran peristiwa tersebut hanya dikenakan pelanggaran disiplin, tidak professional, bukan pelaku, atau bahkan bukan dalam pembunuhan berencana sebagaimana yang dikatakan pengacara keluarga Yoshua,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalan kanal YouTube Hersubeno Point, Ahad, 7 Agustus 2022. Nasib Ferdy Sambo kini bahkan hanya bisa menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim khusus bentukan Kapolri. Apa pun hasilnya nanti, sulit rasanya Irjen Ferdy Sambo untuk bisa menaiki jenjang pangkat yang lebih tinggi, apalagi jabatan Kapolri.  “Dia dianggap sebagai calon penggantinya Listyo Sigit karena disebutkan kalau Ferdy bersinar dan usianya juga masih memadai, kalau dia hanya dihukum pelanggaran disiplin, namun tetap saja namanya sudah tercoreng, atau bila nanti terbukti ada tindak pidana maka karir Ferdy Sambo akan tamat,” ungkap Hersubeno. Padahal sebelum terjadi kasus tewasnya Yoshua, Ferdy Sambo menjadi buah bibir, lantaran berhasil meraih pangkat bintang 2 alias Irjen Pol di usia 48 tahun.  Ketika itu, Ferdy Sambo bahkan bisa dibilang menjadi Irjen Pol paling muda dibandingkan perwira-perwira bintang 2 lainnya di Polri. Artinya, hanya butuh dua bintang lagi bagi Ferdy Sambo untuk menjadi Kapolri. Namun kasus penembakan di rumahnya yang menewaskan Brigadir Yoshua seperti menjungkirbalikkan prediksi-prediksi di atas. Sejauh ini, Bharada E telah dinyatakan sebagai tersangka dalam tewasnya Brigadir Yoshua di rumah Ferdy Sambo. Namun, Mabes Polri menyatakan kasus ini akan terus dikembangkan dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru. “Kita tunggu saja jawaban selanjutnya dari kepolisian, jadi jangan hanya persolaan etik saja, kita meminta agar kasus pidananya dibongkar dan dibukake publik, hanya dengan begitu kepercayaan publik ke instisusi polri bisa dikembalikan, potong ekor-ekor yang busuk jangan sampai menjalar ke kepala,” pungkas Hersubeno. (Lia)

Sambo Ditahan Pelanggaran Etik, Ada Soal yang Lebih Besar dan Serius di Balik Tewasnya Yoshua

  Jakarta, FNN - Publik sedikit lega setelah mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo digelandang ke Mako Brimob Depok guna pengusutan lebih lanjut atas tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah dinasnya. “Yang justru harus dikritisi oleh publik adalah lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab etis justru merusak institusi,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 7 Agustus 2022. Apa dan bagaimana yang akan terjadi, berikut analisis tajam di bawah ini. Petikannya: Bung Rocky, ini hari Ahad yang heboh, karena sejak tadi malam pusat perhatian publik ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, dan akhirnya memang sore kemarin ditetapkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai pelanggar kode etik, belum tersangka. Tetapi kemudian mulai antiklimaks lo kok kode etik yang dikenakan. Padahal kan sebetulnya pasal pembunuhan. Tetapi, orang lupa bahwa Ferdy Sambo ini adalah seorang petinggi Polri yang tugasnya menegakkan kode etik, pengawas kode etik, justru dia disebut tidak profesional. Menurut saya ini kalau yang paham situasinya ini kan etika yang selalu kita sebut. Ya saya kira kita musti terangkan pada publik bahwa ada pengadilan internal di setiap lembaga yang disebut kekuasaan Inspektur Jenderal untuk menginspeksi pelanggaran-pelanggaran internalnya. Nah, di Propam itu sebagai ketua atau kepalanya adalah Pak Ferdy Sambo. Jadi orang menilai itu artinya kalau Pak Sambo melanggar kode etik, lalu bagaimana status lembaga itu sebagai lembaga penegakan etik. Jadi benar bahwa ini peristiwa pertama lepaskan dulu dari soal kriminalnya. Jadi, beliau, dalam kedudukan dia sebagai pemegang komando etis, dia justru menyalahgunakan kekuasaan itu, kedudukan etnisnya itu.  Jadi, itu dulu fokusnya. Dan orang memang selalu pingin cepet-cepet cari siapa yang terdakwa. Tapi memang, ada semacam prinsip dalam kepolisian atau di semua institusi pemerintah sebetulnya bahwa biarkan lebih dahulu Inspektur Jenderal bekerja untuk melihat apa yang internal di situ. Dulu kan ada, kalau kita perluas sedikit ya, Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum). Di semua Departemen Pemerintahan, Kementerian, ada Irjen dulu di zaman orde baru. Itu fungsinya adalah untuk meneliti pelanggaran etik kode etik atau perbuatan buruk dari aparat di Department itu atau di Kementerian itu. Nah, sialnya, dulu itu Irjen itu di bawah menteri sehingga dia nggak mungkin periksa si menteri. Itu masalahnya sehingga kita anggap lo jadi Irjen itu justru harus berani untuk menegur menterinya bahkan. Jangan anak buahnya saja. Tapi kalau menterinya datang Irjennya tunduk. Itu nggak boleh sebetulnya. Kan bagaimanapun, yang disebut oversite commitee, komite etis itu berdiri di atas birokrasi. Itu dulu bahkan yang memulai Sri Mulyani. Dia bilang, hai Pak Irjen, Anda harus awasi saya. Saya menteri, jangan Anda hormat-hormat saya. Saya bisa bikin sesuatu yang buruk lalu Anda merasa Anda bawahan saya. Enggak. Kedudukan etis itu lebih tinggi dari kedudukan birokrasi. Memang, dalam kepangkatan ada hirarki pangkat. Tetapi, sekali lagi, overite commite seperti yang diduduki oleh Pak Sambo itu melampaui kedudukan dia sebagai Jenderal sebetulnya. Prinsipnya begitu. Tetapi, karena dia terlibat maka dia musti dibebas tugaskan dulu dari itu. Sebab di saat-saat terkhir bisa saja Pak Sambo mengatakan saya Inspektur Jenderal dalam kedudukan sebagai Irwasum tadi. Dan saya bisa menentukan siapa yang etis, siapa yang tidak etis. Kan itu konfliknya. Jadi itu dilepaskan dulu sehingga Pak Sambo itu benar-benar tidak lagi punya fungsi untuk mengevaluasi etis lembaga kepolisian. Dengan cara itu, konfliks kepentingannya hilang. Tentu tahap berikutnya adalah soal pidananya. Jadi itu hal yang biasa saja. Betul tadi, yang justru harus dikritisi oleh publik adalah lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab etis justru merusak institusi.  Itu intinya. Kan yang mau kita selamatkan institusi kepolisian. Nah, kalau disebutkan 25 orang melanggar etis, 3 orang ada Jenderal, itu juga problem besar dari suatu institusi, bermasalah itu. Sekali lagi, kita ingin supaya persoalan pidana itu tentu tidak akan dilupakan. Tetapi, sinyal etis ini yang hendak ditegakkan. Begitu satu lembaga kehilangan kedudukan etisnya, dia nggak lagi dipercaya oleh publik, apalagi kepolisian. Di situ bekerja prinsip noblesse oblige, semakin tinggi kedudukannya, obligasinya semakin besar. Apalagi obligasi etis, kewajiban etis. Ya. Dan kalau kita lihat strukturnya, organisasi Polri ini bahkan lebih keras dibandingkan dengan lembaga-lembaga sipil lainnya karena tadi Pak Sambo divisi Propam, penegak etik. Tapi di atas Pak Sambo ada yang kita sebut sebagai Irwasum dan pangkatnya lebih tinggi. Itu yang sekarang sedang melakukan tugasnya. Nah, saya kira justru seharusnya publik juga paham bahwa soal pidananya nanti akan jalan, dan bisa saja nanti kan seperti disampaikan oleh Pak Kapolri kemungkinan ada pelanggaran pidana. Karena, dalam soal etik ini misalnya menghalang-halangi para penegak hukum untuk menjalankan tugasnya. Itu juga soal pidana juga. Justru harusnya ini berlapis nanti kalau terjadi beliau sudah kena hukuman secara etik dan itu bisa konsekuensi pidana dan kalau kemudian terbukti ada keterlibatan dia dalam pembunuhan Brigadir Yosua, dia juga akan terkena hukuman pidana. Saya kira itu yang kita mesti pahami sekarang. Ya, itu betul. Dan orang mulai paham bahwa ada keseriusan dari Pak Kapolri demi marwah institusi karena isu berkembang ke mana-mana, bola liar setiap hari kita dapat di WA grup bahkan beredar si ini lakukan ini, si ini adalah bendahara umum si itu, macam-macam istilah yang ini memang terlibat kasus affair dengan saksi. Jadi segala macam isu itu kita mesti duga diproduksi juga dari dalam insitusi-institusi yang isinya persaingan. Itu intinya kan. Jadi sebetulnya ini sudah bagus, ditetapkan dulu sebagai pelanggaran etik. Karena itu dia mesti dilepaskan dari wilayah pengaruh dia oleh Irwasum yang memang berwenang itu dan ada tim khusus juga yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan pidananya. Jadi betul, tentu Pak Sigit dengan hati-hati harus memisahkan itu supaya terlihat bahwa bagian pembersihan di dalam itu sudah selesai baru pengusutan pidana bisa lebih tajam. Sebab kalau bagian etisnya belum selesai, itu juga abu-abu di dalam. Nanti bagaimana caranya? Ada ewuh pekewuh, ada senioritas segala macam. Jadi betul, kita mulai dengan langkah pertama profesionalisme Kapolri diterangkan betul-betul dengan memisahkan itu. Nah, orang sebetulnya ingin cepat-cepat ditangkap saja. Ya nggak bisa dong. Itu soal pidana. Jadi betul, diselesaikan dulu, karena itu dibawa ke Mako Brimob. Ketegangan kemarin sore itu yang memperlihatkan itu berarti Irwasumnya juga tegang. Berarti Pak Sigit juga tegang sehingga publik merasa tegang juga karena Brimob berkeliaran di situ kan. Jadi, keterangannya sekarang agak enak, nanti kita tunggu lagi siang ini apa keterangan lanjutannya sehingga orang tahu bahwa  jangan soal etis saja. Padahal, sebetulnya soal etis yang paling penting. Tapi orang sudah keburu merasa kok soal etis doang. Nah, kata etis itu juga lama-lama defisit nilainnya. Padahal itu adalah prinsip tertinggi dari semua organisasi, menghormsti hal-hal yang bersangkutan dengan tanggung jawab etik. Oke. Kalau kita ngomong soal etik ini, saya memang sejak awal, publik juga terheran-heran dengan profil Sambo ini. Dia bintang dua, seorang Jenderal polisi bintang dua. Kita tahulah berapa gaji dari seorang bintang dua. Tapi gaya hidupnya luar biasa mewah.  Kalau kita lihat misalnya bagaimana foto-foto dia bersama keluarganya, ajudannya sampai ada berapa sampai 8 orang, atau pembantunya banyak. Ini saya membayangkan kayak raja-raja kecil. Belum lagi kemudian ketika (ini ada video) misalnya ketika Yosua memberikan ucapan ulang tahun kepada adiknya itu rupanya dilakukan di ruang bawah, di dalam garasinya Pak Sambo, publik juga atau terutama emak-emak, salah fokus. Bukan lihat kuenya tapi lihat mobil-mobil mewah yang berderet di garasi Pak Sambo. Ya ini memang jauh dari profil seorang Irjen. Apalagi kalau kita membayangkan seorang Jenderal Polisi yang namanya Pak Ogen atau belakangan ada yang namanya Pak Kunarto, yang pernah merjadi ketua BPK, memang beda sekali ini. Ya, itu juga teguran publik terhadap kehidupan para pejabat tinggi kita. Di kepolisian, di kementerian segala macam. Dan itu jadi semacam antipati terhadap cara melihat kesungguhan para pejabat kita. Kan sebetulnya kalau kita mau pakai prinsip penegakan etis dan siapa yang menduduki posisi tertinggi dalam penguasaan etis, dia harusnya justru yang paling miskin supaya terlihat bahwa dia hanya bekerja demi satu nilai yang dia percaya, yaitu integritas, kejujuran, dan keberanian untuk memberi teguran. Jadi itu intinya. Jadi kalau misalnya terlihat atau terintip ada kemewahan, walaupun mungkin dibilang itu tamu segala macem, tetapi keburu terlihat bahwa ada sesuatu yang yang menyebabkan rasa ketidakadilan di publik. Dan kepolisian disorot, dan selama periode Pak Jokowi bahkan disorot karena seolah-olah dimanjakan itu. Dan pemanjaan itu menimbulkan kecurigaan. Pemanjaan yang dibutuhkan untuk menarik simpati polisi pada kekuasaan. Itu pertanyaan lagi itu. Orang mulai melihat bagaimana persaingan di dalam rekrutmen itu ditentukan oleh pengaruh partai politik. Itu satu soal lagi. Jadi semua itu sekarang memang ya sangat disayangkan pada saat terakhir kekuasaan Pak Jokowi, ada isu-isu yang berantakan. Yang berantakan pertama KPK, itu udah berantakan. Sekarang kepolisian berantakan.   Lalu orang tanya, di era siapa berantakannya itu. Oh, itu di era Gusdur. Nanti salah lagi. Padahal, itu Pak Jokowi juga harus bertanggung jawab. Keberantakan isu institusi ini karena kerakusan kekuasaan yang ingin ada di mana-mana. Jadi kalau dibilang tadi Pak Sambo punya banyak hal, apalagi kekuasaan, dia punya macam-macam. Jadi satu paket pikiran yang kita perlukan untuk mengingatkan kepada para pendiri bangsa bahwa kita sedang mengalami krisis moral, krisis etik. Jadi coba lakukan refleksi. Dan banyak polisi yang pinter, tajam, dan hidupnya sederhana. Tentu kesederhanaan Pak Polisi nggak sama dengan kesederhanaan petani sawit. Beda.  Tetapi, kemencolokan itu kan tidak bisa menahan untuk memamerkan kekuasaan junto kekayaan. Itu buruknya. Padahal, selalu orang anggap polisi itu pelayan rakyat maka sebetulnya harus sama sejahtera dengan rakyat. Tapi rakyatnya nggak sejahtera. Jadi itu intinya. Kita bisa pahami ini semacam gejolak evaluasi publik terhadap lembaga-lembaga kekuasaan, dalam kasus ini Polri yang terkena sorotan tajam. Itu banyak lembaga lain yang belum tersorot, Kejaksaan misalnya, Kehakiman. Sama juga kasus-kasusnya di situ. Nah, kalau sudah mendengar penjelasan seperti Anda ini, bukan berarti kita mengecilkan ya kasus tewasnya Brigadir Yosua, justru persoalan etik ini jauh-jauh lebih besar. Ini Yosua itu symptomnya saja. Yang menjadi persoalan serius adalah penyakit etika ini kan? Ya, itu point mendasar yang harus kita waspadai. Jangan sampai orang sekadar ingin melihat penghukuman pidana, tapi membiarkan soal etis. Kan ini bahayanya. Dia tersambung sebetulnya. Kalau seseorang secara etis tidak mampu untuk menguasai diri, menguasai menguasai ambisi pribadi, menguasai keinginan untuk memamerkan kekayaan, itu artinya dalam banyak hal dia juga akan jadi dealer. Itu poinnya. Sehingga dia tidak punya semacam harga batin untuk menghakimi atau memanfaatkan kedudukannya untuk membersihkan lembaga itu. Ini masalahnya di situ. Karena itu, tetap kita tekankan terus FNN bahwa etika publik itu harus berlaku di mana-mana. Itu yang membuat polisi Inggris dihormati. Itu yang membuat kalau disebut sebagai Marine, Marinir, itu di Amerika itu dihormati betul.  Karena ada etik yang tegak lurus dengan kedudukan dia sebagai militer. Nah, hal-hal ini juga harus kita pasangkan pada DPR. DPRD kita banyak betul yang pamer kekuasaan. Yang sebetulnya cuma anggota DPR tapi mesti punya banyak pengawal. Forider bisa empat. Kenapa? Soalnya dia bikin jarak dengan rakyat. Jadi hal ini berlaku ke semua institusi, bukan hanya pada polisi, termasuk juga pers. Pers juga banyak yang melanggar kode etiknya sendiri karena menjadi humas negara kan? Banyak tuh.    

Pencopotan CCTV di Kediaman Ferdy Sambo Bisa Dipidana

Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, pencopotan kamera pengawas atau CCTV oleh.mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo bisa dipidana.\"Pencopotan CCTV itu bisa masuk ranah etik dan bisa masuk ranah pidana. Bisa masuk dua-duanya,\" kata Mahfud dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.Menurut dia, Ferdy Sambo tidak hanya melakukan pelanggaran etik, namun bisa dikenakan pidana.\"Jadi pengambilan CCTV itu bisa melanggar etik, karena tidak cermat atau tidak profesional. Namun, sekaligus juga bisa pelanggaran pidana karena \'obstraction of justice\' dan lain-lain,\" ujar Mahfud.Dia menambahkan, sanksi pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana berbeda. Kalau pelanggaran etik hanya diusut Komisi Disiplin dengan sanksi bisa dikenakan adalah pemecatan, penurunan pangkat, teguran dan lainnya.Sedangkan peradilan pidana diputus oleh hakim yang hukumannya berupa sanksi pidana seperti masuk penjara, hukuman mati, pidana seumur hidup, perampasan harta hasil tindak pidana, dan lain-lain.Sebelumnya, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo diduga melanggar prosedur penanganan tempat kejadian perkara tewasnya Brigadir J di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan.Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pelanggaran prosedural itu seperti tidak profesional dalam penanganan olah TKP dan mengambil CCTV.“Tadi kan disebutkan dalam melakukan olah TKP, seperti Pak Kapolri sampaikan terjadi, misalnya, pengambilan CCTV dan lain sebagainya,\" ujar Dedi di Mabes Polri, Sabtu (6/8) malam.Ferdy Sambo termasuk dalam daftar 25 personel Polri yang melakukan pelanggaran prosedur, tidak profesional menangani TKP Duren Tiga. Ia dan tiga orang lainnya ditempatkan di tempat khusus di Korps Brimob dalam rangka pemeriksaan oleh Pengawasan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) oleh Inspektorat Khusus (Irsus). (Ida/ANTARA)

Berita Penangkapan Ajudan dan ART Ferdy Sambo Dibantah

Jakarta, FNN - Ketua Tim Penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol. Andi Rian Djajadi membantah adanya berita penangkapan terhadap ajudan dan asisten rumah tangga (ART) Irjen Pol. Ferdy Sambo berinisial K dan RR.Andi Rian Djajadi ketika dikonfirmasi wartawan via pesan instan di Bareskrim Polri, Jakarta, Minggu, mengatakan bahwa yang benar adalah pihaknya menahan ajudan dan sopir dari Putri Chandrawathi, istri Ferdy Sambo berinisial Bharada RE dan Brigadir RR.\"Bohong itu (ajudan dan ART ditangkap), yang benar Bharada RE dan Brigadir RR. Mereka sudah ditahan di Bareskrim,\" kata Andi.Jenderal bintang satu itu menyebutkan Bharada RE dan Brigadir RR merupakan sopir dan ajudan dari Putri Chadrawathi.\"Sopir dan ajudan Ibu PC,\" kata Andi.Dijelaskan pula bahwa Bharada RE adalah Bhayangkara Dua Polri Richard Eliezer atau Bharada E yang sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, sedangkan Brigadir RR baru ditahan pada hari ini.\"Iya (Bharada RE adalah Bharada E), yang baru ditahan Brigadir RR,\" katanya.Namun, Andi tidak memerinci apa keterlibatan Brigadir RR dalam perkara tersebut. Pada penyelidikan awal di Polres Metro Jakarta Selatan, Senin (11/7), disebutkan salah satu saksi yang berada di tempat kejadian perkara tewasnya Brigadir J di rumah dinas Irjen Pol. Ferdy Sambo berinisial R.Dikonfirmasi terpisah, pengacara Bharada E, Deolipa Yumara, menyebutkan ada yang memerintahkan Bharada E untuk melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir Yosua.Pengakuan untuk melakukan tindak pidana pembunuhan tersebut tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Bharada E yang disampaikan oleh pengacara.\"Ya, dia diperintah oleh atasannya, perintahnya, ya, untuk melakukan tindak pidana pembunuhan,\" kata Deolipa dihubungi wartawan dari Bareskrim Polri. (Ida/ANTARA)

Penempatan Ferdy Sambo di Mako Brimob Melancarkan Pemeriksaan

Jakarta, FNN - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Tegug Santoso menyebutkan langkah Polri menempatkan Irjen Pol. Ferdy Sambo di tempat khusus Mako Brimob Klapa Dua Depok dapat memperlancar pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus (Irsus) dan Tim Khusus (Timsus) Polri.\"Penempatan Ferdy Sambo di Mako Brimob untuk memperlancar pemeriksaan oleh Irsus maupun Timsus,\" kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Minggu.Penempatan Ferdy Sambo di tempat khusus (patsus) Mako Brimob dalam rangka pemeriksaan setelah Irsus menduga Sambo melanggar prosedur dalam penanganan olah tempat kejadian perkara (TKP) meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Duren Tiga, Jakarta Selatan.Ferdy Sambo dibawa ke patsus Mako Brimob pada Sabtu (6/8) sore setelah menjalani pemeriksaan oleh Pengawasan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) Irsus Polri di Bareskrim Polri.\"Pemeriksaan saat ini diketahui adalah terkait dengan pelanggaran kode etik berat, yaitu merusak TKP dan menghilangkan barang bukti pistol, proyektil, dan lain-lain,\" kata Sugeng.Menurut Sugeng, Ferdy Sambo dapat dipecat untuk pelanggaran kode etik tersebut. Dalam pelanggaran kode etik tersebut, juga termasuk perbuatan pidana, yaitu melanggar Pasal 221 KUHP (menghalangi penyidikan) juncto Pasal 233 KUHP (menghilangkan barang bukti) dengan ancaman 4 tahun.Tidak hanya itu, lanjut Sugeng, Ferdy Sambo dapat dikenai Pasal 362 KUHP (pencurian) jo. Pasal 56 apabila terdapat perbuatan menyuruh mengambil dekoder CCTV yang bukan miliknya.\"Ancamannya 5 tahun pidana sehingga bisa ditahan untuk kepentingan menunggu pemeriksaan perkara pokok kematian Brigjen J yang diusut degan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan 56 KUHP,\" kata Sugeng.Sehari setelah Ferdy Sambo dibawa ke Patsus Mako Brimob, Kelapa Dua Depok, situasi di Mabes Polri dan Bareskrim Polri terpantau landai seperti suasana akhir pekan. Tidak ada pergerakan anggota Brimob maupun kendaraan taktisnya seperti yang terjadi pada hari Sabtu (6/8).Kasus tewasnya Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, terjadi pada hari Jumat (8/7). Bhayangkara Dua Polisi Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dengan sangkaan Pasal 338 jo. Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.Dalam kasus ini, Irsus Polri memeriksa 25 orang personel Polri yang diduga melakukan pelanggaran prosedur penanganan olah TKP Duren Tiga secara tidak profesional seperti menghilangkan CCTV dan lainnya.Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram khusus mencopot 10 perwira Polri dari jabatannya salah satunya Irjen Pol. Ferdy Sambo dan bawahannya Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, Karo Paminal Div Propam Polri, serta Brigjen Pol Benny Ali selaku Provost Div Propam Polri. (Ida/ANTARA)

Pengacara Bharada E Tiba-Tiba Mengundurkan Diri

Jakarta, FNN - Tim pengacara Bharada Richard Eliezer alias Bharada E secara tiba-tiba memilih mengundurkan diri setelah Bharada E ditetapkan menjadi tersangka penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Selama ini, tim pengacara teguh menyatakan bahwa insiden di rumah Irjen Ferdy Sambo ini dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri Bharada E dari Brigadir Yoshua. Demikian analisis wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (6/8/22) di Jakarta. Dipimpin oleh Andreas Nahot Silitonga, tim kuasa hukum Bharada E menyatakan pengunduran diri di kantor Bareskrim Mabes Polri di Jakarta, Sabtu, 6 Agustus 2022. Sayangnya pengacara yang mengaku hendak melaporkan pengunduran diri ini tidak diterima oleh satu orang pun dari pihak Bareskrim Polri lantaran masuk hari libur. “Tadi tidak ada yang menerima mungkin karena hari libur juga, makanya kami memutuskan untuk menyampaikan via Whatsapp dulu sementara, dan kembali lagi hari Senin untuk menyampaikan surat secara fisik,\" ujarnya. Andreas mengatakan, alasan pengunduran sudah dijelaskan secara  gamblang di surat yang dikirim. Namun, dia menolak mengungkapnya kepada publik. “Kami juga tidak akan membuka kepada publik pada saat ini apa sebenarnya alasan untuk mengundurkan diri karena kami sangat menghargai hak-hak hukum dari setiap pihak yang terlihat dalam perkara ini dan terlebih kami sangat menghargai proses hukum yang sedang diberlakukan Bareskrim Mabes Polri,” jelasnya. Dalam kasus ini, Bharada E ditetapkan sebagai tersangka atas penembakan ke Brigadir Yoshua. Ia dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. (Lia)

Untuk Penyalahguna Narkotika, Hukuman Penjara Tidak Menyelesaikan Masalah

Jakarta, FNN - Ahli hukum narkotika Komjen Polisi (Purn) Anang Iskandar mengatakan pemberian hukuman penjara kepada penyalahguna narkotika tidak akan membuat jumlah penyalahguna narkoba menurun tapi malah meningkat.\"Jangan kaget kalau masalah narkotika itu terus naik karena penyalahguna-nya tidak disembuhkan, dia orang sakit tapi tidak disembuhkan malah dipenjara,\" kata Anang dalam webinar bertajuk \"Forum Koordinasi Perlindungan Anak dari Narkoba berbasis Sekolah, yang diikuti di Jakarta, Jumat.Menurutnya penyalahguna narkotika adalah orang yang menderita sakit adiksi akibat ketergantungan narkotika sehingga perlu untuk direhabilitasi.\"Langkah yang diutamakan adalah merehabilitasi, karena mereka adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika, mereka ini harus dilindungi dan diselamatkan agar masa depannya bisa kembali normal,\" katanya.Dia mengatakan Undang-Undang Narkotika bahkan memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi kepada penyalahguna narkotika, baik terbukti atau tidak terbukti bersalah menggunakan narkotika.\"Istilahnya tidak pas ya kan, orang sakit ketergantungan narkotika atau kecanduan tapi dihukum-nya dengan hukuman penjara padahal Undang-Undang Narkotika memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi, baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah menggunakan narkotika,\" katanya.Oleh karena itu pihaknya meminta para guru untuk mencegah anak didiknya menggunakan narkotika karena bagi yang sudah ketergantungan narkotika, akan sulit untuk dicegah menggunakan narkotika kembali.Mantan Kabareskrim Polri ini menjelaskan definisi dari narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.Anang menambahkan pada dasarnya narkotika adalah obat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis, namun memiliki efek samping dapat menyebabkan ketergantungan jika dikonsumsi tanpa petunjuk dokter.\"Jadi halal bila dikonsumsi atas petunjuk dokter, ya memang narkotika itu obat, obat sakit nyeri, obat mengurangi/ menghilangkan rasa sakit, tapi ingat, bisa menimbulkan ketergantungan,\" katanya. (Ida/ANTARA)

Ketidakpercayaan Publik Meluap, Negara Ini Harus Ditata Ulang

Jakarta, FNN - Insiden tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat terus meyedot perhatian publik sejak awal kasus ini diumumkan. Kini kasus tersebut memasuki babak baru dengan penetapan status tersangka kepada Bharada E yang terlibat dalam penembakan terhadap Brigadir Yoshua. Meski demikian, publik masih menyoroti terkait beberapa kejanggalan yang berujung pada lahirnya spekulasi liar. Situasi ini melahirkan antara terbenturnya spekulasi di publik dan keterangan atau penjelasan pihak kepolisian. Akademisi dan Pengamat Politik Rocky Gerung angkat suara lewat kanal YouTube miliknya Rocky Gerung Official dalam perbincangan bersama  wartawan senior FNN Hersubeno Arief, Jumat, 6 Agustus 2022. Petikannya:  Kalau sekarang yang paling aktual adalah penetapan Bharada E atau Bharada Richard Eliazer sebagai tersangka. Kemudian orang jadi bertanya-tanya, kalau kemudian disebut motifnya bukan membela diri apa urusannya Bharada Richard ini menjadi pelaku pembunuhan terhadap Brigadir Joshua. Kan orang bertanya-tanya, jangan-jangan ini dia cuma dikorbankan saja gitu. Kan Anda selalu persepsinya akan dari situ. Dari soal bagaimana keberpihakan kepada kelompok yang lemah. Ini akibatnya kalau penundaan makin lama maka komposisi lagu bisa berubah-ubah. Kita terpaksa musti melihat partitur awalnya apa sih sehingga kok terlihat semacam komposisi yang diubah-ubah. Arangernya siapa? Jadi kalau kita tahu itu maka dengan mudah kita bisa duga bahwa ini ada sesuatu yang lebih tinggi yang harus diselamatkan, yang sering kita sebut “janganlah ada konflik antar-bintang di langit terus ada batu di bawah yang ketiban”. Jadi nggak boleh begitu. Tetapi, publik sudah merasa bahwa terlalu jauhlah permainan ini. Jadi itu yang menyebabkan semua orang akhirnya menduga bahwa ini sudah masuk pada soal yang lebih rumit lagi, karena soal sikut menyikut di antara bintang,  karena soal order meng-order, karena soal sebut saja bahkan gengsi antar-angkatan. Jadi semua hal sehingga orang menganggap ya sudah mau diapain lagi kalau keterangan-keterangan itu berseliweran. Tapi tetap, kita ingin lihat bahwa Polisi balikin kasus ini pada ketajaman ilmu pengetahuan, sebelum berkembang makin jauh. Lalu Pak Listyo Sigit mungkin merasa bahwa ini kesempatan dia terakhir untuk menunjukkan bahwa dia punya kemampuan untuk mengatur resolusi itu. Jadi jangan sampai kasus ini berakhir pada berantakannya institusi. Lalu semua saling salah menyalahkan. Padahal, dari awal keterangan yang berantakan itu justru datang dari penyidikan awal kan. Jadi intinya itu tuh. Tetapi, tetap Ibu Putri harus diproteksi kalau beliau sudah sehat baru dimintai keterangan. Demikian juga hasil otopsi itu, harus terbuka walaupun masih perlu waktu mungkin 2 bulan lagi. Tetapi, mencicil keterangan itu terlihat terlalu berbahaya karena ini melawan opini publik. Opini publik juga kadangkala masuk dalam kekonyolan dan mulai dengan sensasi. Jadi pertandingan sebetulnya antara opini publik dan opini institusi.  Kenapa begitu? Karena opini publik dari awal mencurigai syarat-syarat saintifik yang sedang dipakai. Dan itu dibuktikan bahwa dua kali diotopsi artinya ada syarat-syarat saintifik yang dilanggar. Demikian juga kepolisian musti rapi karena ada soal tingkatan-tingkatan kebintangan. Dan ini menjadi masalah yang akan menumpuk di dua minggu ke depan atau dua bulan ke depan begitu otopsi diambil. Tetap isu ini akan dituntut oleh publik. Lain kalau isu korupsi mungkin dalam dua hari dua minggu juga selesai. Tapi ini karena ada berbau skandal, bukan sekadar skandal privat tapi skandal institusi.  Itu yang kita ingin cegah jangan sampai skandal privat ini dieksploitasi, skandal institusi dieksploitasi, lalu kasusnya sendiri hilang di dalam ingatan publik.   Saya banyak mendapat dapat chatting yabegitu tadi malam ditetapkan Bharada Richard ini sebagai tersangka, lo kok jadi antiklimaks ya Mas? Ini memang penting kita sampaikan supaya Pak Kapolri maupun polisi punya catatan bahwa mereka ini sekarang bekerja bukan hanya mereka harus cepat menyelesaikan, tapi mereka harus cepat-cepatan dengan logika publik. Karena semakin lama logika publik semakin tidak percaya. Iya, kalau tidak percaya masih mungkin dibuat percaya. Tapi kalau logika publik sudah dineal, nggak mau lagi diatur dengan logika sain, itu bahaya. Begitu logika publik menolak logika saintifik  maka hancur negeri dan sistem penegakan hukum kita. Itu yang terjadi dalam semua kasus. Jadi ini kasus tembak menembak ini cuma aspek kecil dari meluapnya ketidakpercayaan orang pada institusi.  Di kasus lain juga banyak, apalagi kasus korupsi. Jadi orang merasa bahwa ya sudah satu paket saja. Negara ini sebaiknya ditata ulang dari awal, dan yang menata ulang itu harus pergi pada perubahan kekuasaan tertinggi, perubahan politik, kekuasaan, macam-macamlah. Jadi ini taruhannya bagi Pak Listyo Sigit, juga terhadap presiden karena kasus ini ada di depan mata presiden dan kepolisian itu betul-betul sekarang sudah ada di bawah Presiden, sebagai institusi diperintah oleh Presiden, jadi keadaan itu yang harus kita... Kita sudah tahu sebetulnya, bedah anatomi sudah tahu siapa yang lempar isu duluan, siapa yang bilang kemudian ngompori, siapa yang kemudian ingin dapat keuntungan, partai mana yang pertama kali menganggap ini soal yang menyangkut pertandingan orang nomor satu di Polri. Jadi semua hal akhirnya harus diuji ulang, diriset ulang, perlahan-lahan tapi dengan ketertiban metodologi.  Iya, dan ini saya kira tetap menjadi sulit karena sejak awal saya menyebutnya lapangannya sudah becek.  Ya, itu intinya. Lapangan becek dan yang main di situ kan nggak jelas. Wasit sama penonton pun turun.  Dan sinyal dari Pak Jokowi melalui Pak Mahfud kemaren kan dipercepat. Itu artinya, ada sesuatu yang melebihi apa yang kita intip sebagai sensasi. Jadi, Pak Mahfud harus terus-menerus ucapkan lagi apa yang dimaksudkan waktu itu. Jangan sekadar mengejar tikus lumbungnya terbakar. Dan Presiden Jokowi 2-3 kali memberi ketegasan itu. Tapi tetap, soal kita balik pada isu awal, ada tembak-menembak, ada korban, ada yang sekarang diproteksi oleh lembaga perlindungan saksi segala macam. Nah, sekarang ada faktor baru bahwa Bharada E adalah tersangka. Nah, ketersangkaan itu juga bisa panjang karena musti diulangi lagi rekonstruksi segala macam. Tetapi, minimal ada hal yang orang lihat ada titik terang bahwa oke itu adalah semacam lompatan-lompatan kejadian yang terlalu jauh, itu juga harus diterangkan dengan terang benderang oleh kepolisian. Bahwa ketersangkaan itu dalam soal apa. Itu yang ingin segera orang tahu, tersangka sebagai apa? Ini soalnya. Nah, satu hal dan orang juga paham, ini ada persoalan perang bintang dan saya kira belakangan ini bagaimanapun kan peran polisi ini begitu dominan dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Dan ini kemudian mengingatkan kita pada masa lalu, peran semacam ini dipegang oleh TNI, terutama oleh Angkatan Darat. Tetapi, sekarang polisi ini kan berbeda dengan Angkatan Darat. Dia bahkan sampai masuk ke kehidupan kita sehari-hari karena berkaitan dengan masalah Kamtibmas. Saya kira persoalan-persoalan begini ini kalau kita biarkan nanti menyeret-nyeret lembaga kepolisian ke arah politik juga sangat berbahaya. Bukan hanya bangsa, tapi juga instansinya sendiri sangat berbahaya. Saya kira sudah terseret karena dari awal proses pengangkatan Kapolri itu dimensi politik tinggi sekali. Padahal, kita tahu dari awal polisi itu adalah manusia sipil, agen sipil, institusi sipil yang dipersenjatai. Jadi pertama-tama dia adalah lembaga sipil, lalu dipersenjatai untuk peran-peran penertibsn atau ketertiban. Jadi sangat mungkin lembaga yang seharusnya dikelola secara mental sipil ini, karena kemudian dipolitisir maka senjata yang seharusnya dipergunakan untuk ketertiban, dia bisa diubah menjadi alat untuk menekankan. Kan itu buruknya di situ. Dan kita ingin sebetulnya betul-betul dikembalikan, yang kita sebut sebagai sipil yang dipersenjatai, itu beda dengan tentara yang memang kedudukan utamanya adalah senjata. Di belakang senjata adalah orang. Kalau polisi yang di depan adalah orang, yang dibelakang senjata. Itu bedanya. Ini yang harus kita perhatikan supaya ada rasa bangga kita punya polisi yang bermutu dan tidak diintervensi oleh para politisi. Tetapi, itu juga butuh perubahan total. Itu cara kita menghasilkan demokrasi. Sekarang kita tahu bahwa Polisi Kejaksaan itu dekat dengan lobi-lobi politik. Itu bahayanya begitu. Di luar itu ada masalah lain tentang kelakuan oknum-oknum polisi yang terlibat di dalam berbagai macam bisnis gelap. Itu yang sudah dibersihkan sebetulnya dari awal oleh Pak Sigit. Tetapi, di ujung masa jabatannya, ia diuji akhirnya. Apakah betul presisi itu berlaku untuk semua orang atau akan ada grouping, akan ada senioritas, lalu terhenti kasus-kasus semacam ini. Iya ya. Jadi, sebenarnya kita bisa melihat kehebohan atau carut marut kasus tewasnya Brigadir Yosua ini ada semacam sebenarnya ini cuman simptom gitu ya.  Betul. Ini simtom dari bisul yang besar, yang kemudian akhirnya orang ingin tau bisulnya apa penyebabnya? Infeksikah? Atau sengaja digelembungkan sebagai bisul sehingga kalau pecah efeknya bisa ke mana-mana nanahnya. Jadi kita nggak mau melemahkan institusi kepolisian. Jadi tetap dua hal, soal proteksi human right, proteksi hak-hak korban, yaitu Ibu Putri dan Pak Yosua; dan proteksi marwah institusi. Kan itu aja sebetulnya. Yang publik ingin lihat itu. Karena itu, percepat dan lakukan sesuatu yang betul-betul membuat publik percaya bahwa pekerjaan yang lagi dilakukan Pak Sigit ini adalah pekerjaan untuk memulihkan kembali peradaban demokrasi, karena ini menyangkut juga keterbukaan informasi. Sebelum demokrasi, informasi itu nomor satu. Dan keutuhan lembaga ini supaya betul-betul kasus ini clear, nggak ada lagi di belakang hari itu ikutannya banyak. Derivat dari kasus ini kan banyak betul, mulai dari adanya isu perjudian, money laundring mungkin. Macem-macem itu. Jadi semua soal ini yang harus dimulai dengan prinsip pertama, lakukan analisis kriminal murni, setelah itu putuskan di pengadilan, terbuka,  dan itu selesai. Hal-hal yang menyangkut itu ya diselesaikan oleh institusi kepolisian di luar proses pidana