HUKUM

Rocky Gerung: People Power Itu Bukan Orang Berkerumun Menjatuhkan Kekuasaan

Jakarta, FNN -  People power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice.  Demikian paparan pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 14 Agustus 2022.  Rocky juga menegaskan bahwa sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. “Sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai,\" paparnya. Publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya. “Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah,\' tegasnya. Berikut wawancara lengkapnya: Hersu: Oke, walaupun akhir pekan termyata kita tetap membahas topik Ferdy Sambo dan istrinya yang makin seru. Tapi, kita tidak akan masuk ke detil persoalan kriminalnya atau pidananya, tetapi impact-nya.  Nah, ini saya membaca KNPI katanya berencana akan mengajukan gugatan judicial review Undang-undang Kepolisian karena mereka melihat bahwa ini dampak dari undang-undang kepolisian yang begitu powerful. Kira-kira begitu. Dan ini juga ada teman kita yang menulis sebuah artikel Gede Sriana. Dia mengingatkan publik bahwa ternyata kalau publik bersatu, tidak terpecah dalam kelompok kadrun dan cebong, agenda-agenda yang lebih serius bisa selesai kita kawal, termasuk bagaimana kasus ini terbongkar karena menyatunya civil society. Saya kira ini topik yang menarik dan perlu kita dalami soal ini. RG: Betul, akhirnya orang berdiri pada kecemasan terhadap keadaan institusi-institusi reformasi kita: kepolisian, DPR, Mahkamah Konstitusi, KPK. Jadi, betul suatu pengamatan yang bagus dari Gede Sriana bahwa ada hal yang sebetulnya bisa diucapkan ulang, yaitu reformasi seluruh institusi. Itu intinya. Hal yang bagus dimulai dari kepolisian, supaya DPR juga mereformasi cara dia berpikir, MK begitu, KPK juga begitu. Semua reputasi yang kita buat dulu di awal reformasi, itu dimaksudkan untuk membuat bangsa ini teduh secara politik, supaya bisa menghasilkan kembali pertumbuhan ekonomi. Kalau dulu Pak Harto melakukan stabilisasi dan itu artinya ada kekuatan militer di belakang proses pembangunanisme develomentalisme pada waktu. Sekarang dalam era demokrasi mustinya institusi-institusi yang berfungsi, bukan lagi stabilisasi. Pak Jokowi seringkali juga agak kacau menganggap bahwa stabilitas penting. Bukan stabilitasnya yang penting, tapi profesionalitas dari institusi-institusi itu. Ini intinya kenapa KPK bagus, dia mendorong untuk reformasi dan rakyat memang melihat bahwa ini momentum untuk ya sudahlah soal pemilu gampanglah itu. Tetapi, kalau pemilu sendiri dilakukan dan dikawal oleh institusi-institusi yang rapuh itu artinya demokrasi tidak akan tumbuh. Bayangkan misalnya kita mau pemilu satu setengah tahun lagi dan kepolisian masih berantakan semacam ini, KPK masih mudah tebang pilih, Mahkamah Konstitusi tidak paham fungsi konstitusional yang diberikan pada dia, yaitu judicial activism. Jadi kalau Pemilu dibuat 2024 nanti dalam keadaan institusi-institusi demokrasi kita rapuh, itu akan menghasilkan juga pemimpin yang juga rapuh. Itu poinnya. Jadi kalau kita berpikir secara makroskopik, kita dapat poin bahwa ini adalah momentum yang disediakan sejarah untuk mengubah kembali atau menata ulang institusi-institusi utama dari demokrasi kita.  Hersu: Nah, kan kita tahu bahwa penataan ulang dari institusi-institusi kita itu berkaitan sebenarnya power game. Ini politisi, kita teringat dulu pada masa orde baru bagaimana TNI itu ditarik ke ranah politik itu sebenarnya karena kepentingan dari politisi, dalam hal ini tentu saja Pak Harto, ada faktor yang sering disebut oleh Doktor Salim Said sebagai faktor push dan pull, faktor daya tarik dan daya dorong internal TNI (ABRI waktu) untuk terlibat dalam day to day politik. Nah sekarang polisi juga begitu. Apa yang terjadi ini kita melihat bahwa oke kepolisian juga ditarik-tarik ke ranah politik dan ini juga mainan dari para politisi gitu. RG: Ya, itu tadi satu paket itu mereformasi kultur politik kita. Di zaman orde baru itu memang ada semangat dunia yang disebut developmentalism yang pasti menyeret tentara. Karena pada waktu itu pasca-komunisme tahun 60-an atau 70-an bahkan di tahun 70-an masih ada khmer merah segala macam sehingga ada kekhawatiran bahwa kalau tidak stabil negara-negara di Asia Tenggara itu bisa diatur pada domino efek dari komunisme di Asia Selatan. Tapi kemudian kita masuk dalam era yang betul-betul menganggap bahwa perselisihan ideologi selesai maka diperlukan reformasi. Pak Harto tentu tahu bahwa keadaan sudah berubah. Dan karena itu dia nggak paksa lagi untuk meneruskan jabatannya. Jadi memang sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. Ini juga tidak terduga ada kasus Pak Sambo, lalu orang bongkar semua soal yang menyangkut kekacauan dalam institusi kepolisian. Tapi saya tahu ada banyak perwira yang betul-betul profesional, hanya mau belajar dan memahami kepolisian sebagai institusi yang membanggakan mereka. Mereka ini justru yang bisa dipromosikan. Kan nanti kita kesulitan juga kalau kita bubarkan semuanya terus siapa nantinya yang mengatasi kekacauan. Jadi mulai dari sekarang, mungkin Pak Listyo bikin semacam panitia pemantau potensi atau sebut saja reformasi jilid dua lembaga kepolisian. Nah itu memang mulai dari merevisi atau mereformasi minimal undang-undang tentang kepolisian. Tapi, setelah itu kemudian mental dari para politisi juga harus direformasi yang berupaya untuk memanfaatkan kepolisian sebagai peralatan politik. Itu buruknya. Kita masuk pada ide baru bahwa kesempatan ini justru memungkinkan perseberangan ideologi antara Kadrun dan Cebong bisa dihentikan supaya kita fokus pada penguatan institusi. Tetapi, saya masih melihat beberapa kecenderungan untuk favoritisme pada satu kelompok di dalam kepolisian dan itu beberapa potensi yang sebetulnya harus dihasilkan ulang itu kemudian tercegah oleh dari kelompok-kelompok ini, kelompok masyarakat sipil terutama, yang seolah-olah kehilangan akses pada kepolisian. Pada kita memang ingin supaya kepolisian itu tidak punya akses ke mana-mana selain yang berurusan dengan ketertiban. Jadi itu masyarakat sipil tidak boleh juga numpang pada kepolisian, apalagi masyarakat politik supaya betul-betul polisi itu tampil secara profesional. Itu pooinnya.  Hersu: Iya. Kalau kita belajar dari reformasi atau waktu itu disebutnya TNI atau ABRI, itu waktu back to basic. Itu kan juga ada faktor push dan pull. Faktor publik juga ada keinginan agar TNI tidak lagi menjadi alat kekuasaan dari penguasa dan juga tidak terlibat dalam day to day politik. Dari internal TNI kita kenal orang-orang seperti SBY, Agus Wijoyo, Agus Wirahadikusumah, dan teman-teman yang lain. Itu mereka yang terwesternisasi dan mereka melihat bahwa memang praktik-praktik dalam dunia demokrasi itu under skip in control. Dan tadi Anda melihat bahwa potensi yang sama juga ada di dalam kepolisian. RG:  Iya betul kita ingat pada waktu itu menemukan istilah back to basic saja itu supaya nggak ada back to barrak, kembali ke barak itu artinya seolah-olah tentara nggak punya fungsi lain selain pertahanan. Indonesia punya sejarah lain, yaitu tentara perjuangan, tentara rakyat. Karena itu dipilihlah kembali ke basic, bukan kembali ke barak. Kalau kembali ke barak itu betul-betul profesional tentara Amerika, tentara Barat. Jadi kita mau ingat kembali demikian juga soal kepolisian. Kepolisian itu dibentuk dalam upaya menggantikan polisi-polisi Belanda yang juga beroperasi mengintai rakyat secara polisional. Jadim betul bahwa reformasi TNI sudah berhasil dan di ujungnya masih ada semacam upaya partai politik untuk mempunyai akses pada beberapa tokoh TNI dalam pertandingan atau persaingan untuk jadi Panglima, demikian juga di kepolisian. Jadi, sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai. Jadi dasarnya dia adalah sipil. Bukan karena senjata maka orang takut, justru karena dia sipil orang hormati, orang hargai, maka diberi dia senjata. Kan itu dasarnya. Beda dengan tentara yang betul-betul peralatan utama dia adalah senjata. Polisi peralatan utamanya bukan senjata, tetapi bahasa. Itu bedanya. Kalau bahasa polisi sekarang mengancam atau seringkali terlihat arogan, itu juga bukan fungsi yang betul. Kita tahu bahwa beberapa sebut saja satu generasi di dalam yang berupaya untuk mengembalikan polisi pada citra yang sipil, tapi sekaligus berwibawa. Nah, kewibawaan itu yang diminta oleh publik, bukan polisi memperlengkapi senjatanya. Ada section-section khusus pada kepolisian yang memang harus kita persenjatai lengkap, tapi secara umum institusi itu institusi sipil.     Hersu: Nah, jadi ini sekarang kita dorong KNPI untuk menguji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, nanti orang skeptis lagi terhadap MK.  RG: Nah, itu bercampur semua. Kita minta Mahkamah Konstitusi untuk membuka pikirannya dan ada problem yang macam-macam, tapi justru kita lagi nggak percaya sama MK. Jadi, keadaan kita ada di dalam dilema itu. Tetapi dilema itu bisa kita atasi kalau ada kesepakatan masyarakat sipil untuk mendorong terus proses ini. Maka kalau Mahkamah Konstitusi mau keras kepala itu akan dianggap sebagai mahkamah dungu kalau nggak mau memperhatikan pikiran publik karena publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya.  Hersu: Iya. Dan ini kita juga diingatkan betapa dahsyatnya potensi people power. Sebenarnya fenomena yang terjadi pada Ferdy Sambo ini sebetulnya fenomena people power juga. RG:  Ya, betul itu. Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah. Itu poinnya. Juga kemarin buruh. Buruh kemarin juga ada yang mengakui bahwa nggak akan terjadi ternyata Saudara Jumhur itu bisa memimpin mungkin sampai satu juta buruh karena di daerah-daerah juga ada gerakan. Jadi yang kita sebut sebagai people power itu datang dari kesepakatan batin rakyat. Dari cara ide diucapkan dalam bentuk protes, bukan menggiring manusia sebagai massa, tapi massa itu di dalamnya ada ide. Nah, people power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice. (ida, sof)

Kasus Jenderal Bunuh Ajudan, Perlawanan Balik Genk Sambo Dipatahkan Timsus Polri

Jakarta, FNN - Irjen Ferdy Sambo bersama genknya mencoba terus meyakinkan publik melalui surat terbuka yang dibacakan pengacaranya Arman Anis terkait isu pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir Nofriansyah  Yoshua Hutarabat terhadap istrinya Putri Chandrawathi. Persoalaan pelecehan seksual tetap dicoba dihidupkan dalam pengakuan Ferdy Sambo ketika diperiksa pertama kalinya oleh Timsus dalam status sebagai tersangka. Namun melihat perkembangan saat ini, skenario permainan yang dilakukan Ferdy Sambo dan genk dipatahkan oleh Tim Khusus (Timsus) bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Timsus telah mematahkan perlawanan balik yang dilakukan oleh genk Ferdy Sambo. Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi pada Jumat malam mengumumkan dua laporan terhadap Brigadir Yoshua dihentikan. Penghentian laporan tersebut dilakukan lantaran tidak adanya unsur pidana dalam laporan itu. Pasalnya, laporan itu tidak benar terjadi adanya terhadap sang istri Ferdy Sambo. Timsus tidak main-main, kedua laporan tersebut masuk dalam bagian obstruction of justice atau upaya menghalang-halangi pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Yoshua.  Laporan pertama soal pelecehan seksual yang dilayangkan oleh Putri Candrawathi, sementara laporan kedua terkait percobaan pembunuhan terhadap Bharada E yang dilayangkan oleh Briptu Martin G. “Dengan dihentikannya kedua laporan tersebut, maka skenario permainan yang dilakukan oleh genk Ferdy Sambo dipatahkan bahkan ini hancur lebur,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (13/8/22) di Jakarta. Semula kedua laporan tersebut ditangani oleh Polda Metro Jaya, namun dengan alasan efektivitas semua ditarik ke Mabes Polri dan ditangani oleh Timsus bersamaan dengan laporan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua. Kini publik tentu bertanya-tanya, motif apa yang sebenarnya terjadi, tampaknya publik akan terus menduga-duga dan bersabar sampai pengadilan digelar. (Lia)

LQ Indonesia Lawfirm Polisikan Franky dan Mukhtar Widjaja Atas Dugaan Pencucian Uang dan Penggelapan

Jakarta, FNN – Setelah dua kali somasi tidak digubris oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART), didampingi LQ Indonesia Lawfirm, Freddy Widjaja melaporkan Franky Oesman Widjaja dan Mukhtar Widjaja selaku Komisaris dan Pengendali PT SMART Tbk ke Bareskrim atas dugaan Pasal 372 jo 374 dan/atau TPPU atas saham milik Eka Tjipta Widjaja yang diduga digelapkan Franky dan Mukhtar Widjaja dengan LP No 287/VIII/2022/ BARESKRIM tanggal 8 Agustus 2022. Arwinsyah Putra Napitu, SH selaku kuasa hukum dari LQ Indonesia Lawfirm menyampaikan saham milik Eka Tjipta diduga digelapkan. “Saham milik Bapak Eka Tjipta diduga digelapkan, padahal para terlapor tahu bahwa saham adalah milik Eka Tjipta berdasarkan Akta Notaris yang dibuat oleh Notaris Benny Kristianto, SH. Namun, dengan sengaja dan niat memiliki dikuasai dan diakui sepenuhnya menjadi milik para terlapor,” jelasnya, Senin (8/8/2022). Putra menambahkan bahwa Sinarmas secara melawan hukum membuat skema mengunakan cangkang-cangkang perusahaan offshore di luar negeri, dengan maksud selain untuk mengambil hak milik Freddy Widjaja, menipu juga dan menggelapkan uang dan hak negara atas pajak. “Diduga kerugian materiil pak Freddy atas saham yang digelapkan senilai 1 triliun rupiah dan kerugian pajak negara Indonesia sekitar 40 triliun rupiah,” ungkapnya. Freddy Widjaja dalam pers release-nya di depan Mabes Polri menyampaikan kekecewaannya terhadap perilaku saudara tirinya yang ternyata dalam proses hukum masalah warisan, menggunakan bukti akta lahir palsu yang menghasilkan KTP/identitas palsu di pengadilan. “Saya mohon keberanian Polri untuk mengusut kasus yang saya laporkan ini. Apakah Polisi berani menegakkan hukum atau malah takut kepada oknum yang melawan hukum?” lanjutnya. Freddy sebelumnya menghubungi Hotline LQ di 0817-9999-489 (Jakarta) dan 0818-0454-4489 (Surabaya) dan meminta pendampingan hukum. Freddy Widjaja juga telah melaporkan Indra Widjaja dan Frangky Oesman Widjaja atas dugaan pemalsuan akta lahir yang digunakan untuk klaim hak waris dari Eka Tjipta Widjaja yang sudah memasuki proses penyelidikan di Bareskrim Tipidum Mabes Polri. “Info yang kami dapatkan dari penyidik, para terlapor mengakui mengunakan akta palsu tersebut, namun ayahnya yang memberikan akta palsu tersebut. Almarhum bapak yang malah dijadikan kambing hitam oleh anak-anaknya tersebut,” ujarnya. “Polisi sudah mendapatkan pengakuan dari para pelaku seharusnya berani langsung tangkap dan tahan para pelaku kejahatan. Jangan ragu dan jangan takut menegakkan hukum,” harap Arwinsyah Putra Napitu. (mth/*)

Ferdy Sambo Tuduh Brigadir Yoshua Lukai Harkat dan Martabat Putri di Magelang

Jakarta, FNN - Cerita misterius pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di kediaman Irjen Ferdy Sambo telah bergulir selama satu bulan lebih. Kini kisah kusut itu mulai terurai. Kepingan puzzle kasus kematian Brigadir Yoshua sedikit mulai tersusun. Penetapan Ferdy Sambo sebagai tersangka dilakukan Kapolri pada Selasa malam lalu, 9 Agustus 2022. “Sebagai informasi pada hari Rabu (8/8/22) itu pertama kalinya Ferdy Sambo diperiksa dengan statusnya sebagai tersangka, kalau kemarin kan dia hanya sebagai pelanggar kode etik saja,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam perbincangan dapur redaksi bersama Agi Betha di kanal YouTube Off The Record FNN, Jumat (12/8/22) di Jakarta. Berdasarkan hasil penyelidikan awal, Ferdy Sambo mengaku merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir Yoshua. Sambo berdalih dirinya marah karena Brigadir melukai harkat dan martabat isrtinya, Putri Candrawathi, saat berada di Magelang. Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Andi Rian Djajadi mengungkapkan Ferdy Sambo mengetahui adanya dugaan pelecehan tersebut berdasar pengaku istrinya.  \"Dalam keterangannya tersangka FS (Ferdy Sambo) mengatakan, bahwa dirinya menjadi marah dan emosi setelah mendapat laporan dari istrinya PC (Putri Candrawathi) yang mengalami tindakan yang melukai harkat dan martabat keluarga yang terjadi di Magelang yang dilakukan almarhum Yosua,\" kata Andi dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/8/22). Atas hal itu, selanjutnya Sambo mengajak Brigadir RR alias Ricky Rizal dan Bharada E alias Richard Eliezer untuk melakukan pembunuhan berencana.  Namun, Andi belum menjawab dengan tegas, apakah Sambo memerintahkan Bharada E dan Brigadir RR untuk menembak Brigadir Yoshua. Meski demikian, motif pembunuhan tersebut baru sekedar pengakuan Sambo saat menjalani pemeriksaan sebagai tersangka untuk pertama kalinya di Mako Brimob. “Jadi begini rekan-rekan, pengakuan tersangka kan kita tahu semua ya. Syukur ini tersangka bunyi. Kalau engga ngomong sekalipun tidak ada masalah. Kita sudah punya alat bukti untuk memberikan sangkaan terhadap yang bersangkutan dan siap untuk kita bawa ke pengadilan,” kata Andi Rian. Mencermati hal itu, Hersubeno menyampaikan kepada publik untuk underline pengakuan itu dari tersangka yang disampaikan oleh penyidik. “Ini tetap saja kita harus underline bahwa itu pengakuan dari tersangka yang disampaikan oleh penyidik, jangan seperti pak Benny Mamoto yang mengatakan Bharada E jago tembak, dia tidak memberikan kontribusi bahwa itu klaim atau penjelesan,” ujarnya. Lebih lanjut, Agi juga mengatakan bahwa persoalaan ini nanti akan menjadi sebuah pengadilan yang seru sekali, “Ya nanti di sana akan beredar bukti faktual yang ada di lapangan,” pungkasnya. (Lia)

Motif Seksual dan Perjudian dalam Kasus Brigadir J, Netizen Pertanyakan Sistem Penegakan Hukum Indonesia

Jakarta, FNN – Kasus Brigadir Joshua yang telah melalui penyelidikan selama sebulan berhasil menyorot perhatian publik. Beredarnya informasi mengenai motif penembakan yang berkaitan dengan urusan seksual dan perjudian disampaikan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso. Sugeng menyebutkan setidaknya terdapat lima motif, 4 diantaranya terkait masalah seksual, sedangkan 1 lainnya berkaitan dengan perjudian. Berkaitan dengan berita itu, kanal Youtube Refly Harun membahas persoalan tersebut dalam siaran video yang bertajuk: “Ngeri-Ngeri (Tidak) Sedap! Motif Pembunuhan Yosua, IPW: Seksual dan Perjudian”, diunggah pada Kamis, 11 Agustus 2022. RH mengutip pernyataan Sugeng yang cenderung merahasiakan motif seksual saat dijumpai di salah satu program stasiun televisi. “Empat itu kan sudah tiga disebutkan Pak Mahfud (Menko Polhukam) dan satu informasinya terkait soal seksual, yang satu lagi boleh saya buka, tapi yang seksual tidak mau saya buka karena ini tentang aib,” ungkap Sugeng. Menanggapi hal ini, akun dengan nama Tina Marliana menuliskan dalam kolom obrolan dalam kanal diskusi yang dipandu oleh RH. “Heran, kasus pelecehan itu banyak di RI ini, cuma kasus si Sambo saja yang ditutup-tutupi motifnya,” komentar Tina dalam obrolan langsung (live chat) di kanal Youtube Refly Harun. Pihak kepolisian sebenarnya telah menyinggung persoalan transparansi ini saat Konferensi Pers pada Selasa (9/8/22) di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa itu sudah menjadi komitmen Polri untuk mengungkap kasus penembakan Brigadir J secara cepat, transparan, dan akuntabel. Tak hanya itu, netizen lain juga menyoroti kinerja institusi kepolisian tersebut. Komentar Al Ghifari memberikan masukan kepada pihak polisi. “Jika memang adanya motif seksual dan judi online dalam kasus Brigadir J, berarti memang revolusi akhlak yang baik untuk polisi,” tulis Al Ghifary. Komentar lain juga menimpalkan, “Ini institusi paling arogan dan culas. Kongkalikongnya sangat kuat, ngeri deh.” Diketahui, kasus penembakan yang terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu ini masih terus diselidiki. Irjen Ferdy Ssambo, pelaku yang menyusun skenario di balik pembunuhan Brigadir J, belum lama ini ditetapkan sebagai tersangka baru pada Konferensi Pers yang digelar Selasa lalu. Banyaknya pelaku yang berasal dari institusi kepolisian dan lambatnya proses penyidikan menyebabkan masyarakat bersikap skeptis menanggapi kasus ini. Di kesempatan kali ini, Refly Harun selaku pemandu acara juga menyinggung tentang perbaikan sistem pemerintahan agar lebih komprehensif. RH berharap dengan diselidikinya kasus Brigadir J ini bisa menjadi entry point bagi kasus-kasus yang belum terungkap sebelumnya. (oct).

Sindiran Keras Mahfud MD ke Anggota DPR : Kok Diam Soal Kasus Brigadir Yoshua?

Jakarta, FNN – Hingga kini kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat bagikan bola panas yang masih terus bergulir ke segala arah. Kasus ini bukan hanya menyeret puluhan Polri termasuk beberapa jenderal dan penasihat ahli Polri. Saat ini bola panasnya telah bergulir ke DPR, publik kini bertanya mengapa anggota DPR RI khususnya Komisi III yang dikenal galak, tiba-tiba dalam kasus ini terkesan anteng-anteng saja. Pertanyaan serupa juga muncul dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam sebuah dialog Mahfud mengatakan semua masyarakat sekarang heran kenapa semua anggota DPR diam padahal ini perkara besar, biasanya kalau ada apa-apa paling ramai manggil-manggil. Mahfud MD ini menyebut lamanya pengungkapan kasus penembakan Brigadir Yoshua karena dua faktor yakni psikopolitis dan psikohierarkis. Tak berhenti di situ, Mahfud lantas mencontohkan faktor psikopolitis dengan sikap DPR yang dinilainya lebih banyak bungkam atas perkara ini. “Saya kira pak Mahfud ini tidak salah, kita sering sekali melihat drama apabila ada satu kasus pasti anggota DPR kemudian ikut memanggil, tetapi sekarang tenang-tenang saja,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Kamis (11/8/22) di Jakarta. Sindiran Mahfud MD ini sukses memancing diamnya para anggota DPR. Seolah mencari pembenaran, DPR merespons dan menyerang sentilan Menko Polhukam Mahfud MD. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto termasuk yang bersuara lantang membalas sindirian Mahfud MD, menurutnya sikap diam DPR RI karena masih menunggu hasil penyidikan Polri. Bambang Pacul lantas mempertanyakan, kinerja Mahfud MD sebagai Menko Polhukam. Menurut Pacul, Mahfud sebagai Menteri seharusnya bisa menunggu kinerja Polri dalam pengusutan dugaan pembunuhan Brigadir Yoshua. “Jadi kalau Menko Polhukam ngomong bahwa itu DPR kok tidak ribut justru karena DPR sadar posisi. Kita malah justru bertanya apakah Menko Polhukam itu punya posisinya memang tukang komentar?” kata Pacul. Politikus PDI Perjuangan ini mempertanyakan mengapa Mahfud kerap berkomentar di luar batas dalam pengusutan kasus Brigadir Yoshua. Bahkan, Mahfud sempat menyebut Polri akan mengumumkan tersangka ketiga, sebelum Polri mengumumkan secara resmi tersangka tersebut. Selain itu masih banyak lagi anggota DPR lain yang masih kebakaran jenggot karena kritikan Mahfud MD. “Kritikan Mahfud MD ini tidak semuanya benar dan juga tidak semuanya salah, namun di luar itu kalau kita jelih mengamati seluruh pernyataan pak Mahfud selama kasus tewasnya Brigadir Yoshua, pasti ada sesuatu dibalik pernyataannya ada target dibalik itu, banyak pernyataannya yang kemudian terbukti. Maka saya mengajak anda mencerna sindiran pak Mahfud ke DPR itu,” pungkas Hersubeno. (Lia)  

Fahmi Alamsyah Diduga Menulis Skenario Drama Ferdy Sambo

Jakarta, FNN - Nama Fahmi Alamsyah belakangan mendapat sorotan karena diduga memiliki peran dalam insiden tewasnya Brigadir Yoshua Hutabarat.  Diketahui, Fahmi membantu Irjen Ferdy Sambo dalam menyusun draf keterangan pers kepada awak media soal kematian Brigadir Yoshua. Fahmi merupakan Penasihat Kapolri Bidang Komunikasi Publik sejak tahun 2020 saat Jenderal Idham Azis menjabat. “Orang-orang yang mengenal Fahmi tentu banyak bertanya kompetensi apa si Fahmi ini kok bisa menjadi Penasihat Ahli Kapolri Bidang Komunikasi Publik,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam perbincangan bersama Agi Betha di kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (11/8/22) di Jakarta. Hersubeno menyebut belakangan ini Fahmi membuat marah para Penasihat Ahli Kapolri lainnya karena berupaya menggiring untuk mempercayai skenario pembunuhan terjadi akibat baku tembak antara Bharada Richard Eliezer (Bharada E) dan Brigadir Yoshua di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Salah satu Penasihat Ahli Kapolri Bidang Hukum, Chairul Huda mengaku upaya penggiringan opini itu terjadi saat para penasihat ahli Kapolri mendiskusikan saran terbaik untuk Kapolri Listyo. \"Dia menyampaikan masukan-masukan (di forum diskusi penasihat ahli) yang menggiring kami untuk percaya skenario itu. Kan kurang ajar namanya itu,\" ungkap Chairul. Kecurigaan soal campur tangan Fahmi Alamsyah dalam kasus ini terendus saat Fahmi mengirimkan sejumlah tautan berita dengan narasi seperti yang dibuat Ferdy Sambo.  Chairul curiga bahwa Fahmi telah mengarahkan media-media itu untuk memuat tulisan tersebut. \"Dia menyampaikan link-link berita yang menggambarkan peristiwa itu seperti apa yang disampaikan di dalam press release. Boleh jadi link itu dia yang men-gdrive,\" ujarnya. Chairul menilai, dengan latar belakang komunikasi publik yang dimiliki Fahmi Alamsyah, bukan tak mungkin dia memiliki relasi yang baik dengan media. Persoalaan ini juga disinggung oleh Agi Betha, ia menyampaikan bahwa ada kesaksian dari salah satu wartawan soal sosok Fahmi ini. “Ada salah satu wartawan senior yang mengatakan berani untuk bersaksi bahwa selama dua tahun satu kantor sama Fahmi, ia tidak pernah melihatnya membuat dan menulis berita,” tuturnya. Agi menyatakan artinya Fahmi ini bukan seorang wartawan atau jurnalis. Fahmi pernah bekerja di media namun bukan jurnalis ata peliput melainkan dibidang lain. “Fahmi ini memiliki Perusahaan Public Relations ,sehingga dimata orang yang tidak tau kinerjanya bahwa ketika dia bekerja dimedia sebagai apa, maka orang menganggap dia sebagai orang yang expert dalam bidang komunikasi, sehingga dia menjadi Penasihat Ahli Kapolri,” lanjut Agi. Lebih lanjut, Hersubeno menanyakan atas dasar apa seseorang dapat diangkat menjadi penasihat ahli, “karena ini berbahaya sekali, seseorang yang menjadi penasihat ahli itu memberikan masukan sesuai kompetensinya,” pungkasnya. (Lia)

Satgasus Merah Putih Dibubarkan Kapolri

Jakarta, FNN - Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo secara resmi membubarkan satuan tugas khusus (Satgasus) merah putih di dalam institusi Polri.\"Kapolri sudah menghentikan kegiatan dari Satgasus Polri, sudah tidak ada lagi Satgasus Polri,\" kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo di Mako Brimob, Depok, Kamis malam.Dedi menegaskan pembubaran jabatan non struktural itu karena dianggap tidak diperlukan lagi. Satgasus merah putih terakhir dipimpin oleh Irjen Pol. Ferdy Sambo, sebelum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir J.Satgasus merah putih pertama kali dibentuk pada 2019 oleh Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian. Pembentukannya melalui surat perintah (sprin) nomor Sprin/681/III/HUK.6.6/2019 tertanggal 6 Maret 2019.Satuan tugas itu memiliki beberapa fungsi diantaranya melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang menjadi atensi pimpinan di wilayah Indonesia dan luar negeri. Selain itu, Satgasus juga bertugas menangani upaya hukum pada perkara psikotropika, narkotika, tindak pidana korupsi, pencucian uang dan ITE.Irjen Pol. Ferdy Sambo tercatat pertama kali menjabat sebagai Kasatgasus Merah Putih pada 20 Mei 2020, lewat Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020. Saat itu Sambo masih mengisi posisi sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.Posisi Sambo sebagai Kasatgasus Merah Putih kemudian kembali diperpanjang hingga akhir 2022. Keputusan itu tertuang melalui Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Surat tersebut berlaku mulai 1 Juli 2022 hingga 31 Desember 2022. (Sof/ANTARA)

Gaya Mewah Keluarga Ferdy Sambo Bikin Melongo, Bukan Soal Iri, Ini Soal Etika.

Jakarta, FNN - Gaya hidup mewah keluarga Irjen Ferdy Sambo kini menjadi sorotan publik pasca penetapan tersangka mantan Kadiv Propam itu pada Selasa, 9 Agustus 2022 malam waktu Indonesia. Dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis (11/8/22) di Jakarta, pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung dan wartawan senior FNN Hersubeno Arief angkat bicara mengenai persoalaan tersebut. Mereka menegaskan bahwa gaya hidup keluarga Ferdy Sambo harus dibongkar kepada publik karena dianggap telah menimbulkan kecurigaan. Berikut petikannya :  Selamat pagi Bung Rocky. Apa kabar? Senang sekali kita ketemu lagi di hari Kamis ini. Iya, setiap pagi semua head line itu menunggu perkembangan berita Sambo dan seolah-olah orang tetap juga ada sesuatu yang tidak sekadar menyangkut kriminal, tetapi soal permainan uang, soal kehidupan yang mewah atau berlebih paling tidak.  Kan semua sudah terekspos ke rakyat. Jadi ada satu cara baru sebetulnya untuk menguji peristiwa ini, sekaligus menguji gaya hidup para Jenderal. Itu intinya.  Nah, ini menarik karena Anda menguji gaya para Jenderal dan saya kira ini fokus pada angle kita selama ini soal etika ya. Karena sebenarnya muaranya nanti semua pada soal itu. Mulai dari etika pribadi sampai etika kehidupan bernegara.  Nah, sejak kemarin sudah mulai bocor video-video rekaman CCTV. Saya tidak tahu bagaimana bisa hasil ini penyidikan ini muncul ke media. Ini pasti ada operasi-operasi dan dengan target tertentu kita tidak tahu apakah ini dibocorkan oleh keluarga Ferdy Sambo sendiri, atau tim Pak Sambo sendiri, atau oleh penyidik yang sekarang bersaing dengan Ferdy Sambo.  Itu ada juga faktor-faktor seperti itu, faktor office politicking yang selalu kita sebut di Mabes Polri. Tapi nanti kita bahas soal itu juga. Terus ada soal staf ahli yang mulai saling hajar juga di antara mereka sendiri, karena mereka menggunakan istilah Fahmi Alamsyah ini dianggap menyesatkan sebagai kurang ajar, ada seorang ahli yang menyebut kurang ajar. Juga Pak Benny Mamoto yang masih terus disorot oleh publik.  Tetapi dia membela diri “kan saya cuma menyampaikan apa yang dikatakan oleh Kapolres Jakarta Selatan”.  Mari kita mulai dari CCTV itu. Kan saya kemarin ngomong salah fokus dengan gaya hidup dari Ferdy Sambo. Ternyata ketika pulang dari Magelang kelihatan sekali bagaimana istri seorang Irjen dikawal moge dan mobil Patwal.  Apa urgensinya ada seorang istri jenderal sampai diperlakukan seperti itu. Belum lagi kalau kita lihat kita juga bertanya-tanya, kok bisa Ferdy Sambo sampai punya delapan orang ajudan dan pengawal dan sopir yang semua dari kepolisian. Itu kan biaya negara semua. Ini Bung Rocky, nanti kita ngomongin dari sisi berapa sih sebenarnya gaji polisi dan sebagainya. Ya, itu juga yang memang kita nggak jelas itu fasilitas itu untuk apa. Kalau misalnya kepala Densus 88 yang di jalan itu pasti musti dikawal dengan lengkap karena beliau punya kegentingan khusus.  Jadi sebut kegentingan khusus itu melekat pada seseorang yang jabatannya memang setiap saat rawan. Kadensus, misalnya, atau kepala badan penanggulangan teroris (BNPT).  Semua pejabat ini memang harus dikawal ketat itu karena sedikit saja lengah, dia diincar oleh teroris, diincar oleh  macam-macam jebakan. Tapi Pak Ferdy Sambo kan kedudukannya hanya ingin orang melihat beliau tampil bila ada kasus, lalu kasih keterangan etis. Gitu kan.  Jadi ya nggak ada orang yang merasa bahwa Pak Sambo itu punya kegentingan. Bahkan, orang menganggap Pak Sambo sebagai Propam itu justru yang ke paling dekat dengan masyarakat. Jadi berbaur saja kan? Mustinya begitu cara berpikirnya.  Tetapi, sekali lagi, saya perhatikan memang ada kelompok perwira yang hidupnya berlebih dan terlihat secara kasat mata. Padahal, saya kenal beberapa Jenderal yang justru hidupnya mengejar pengetahuan. Jadi ikut sekolah lagi, masuk sekolah, sudah jadi Doctor masih mencari pelajaran yang lain, ilmu yang lain, dengan cara yang betul-betul dari awal itu. Jadi ada yang menumpuk pengetahuan, ada yang menumpuk kekayaan. Itu bedanya.  Tetapi, sekali lagi, publik sekarang mulai merasa bahwa yang beginian ini memang harus dibongkar supaya jelas apa fungsi dari seseorang sehingga harus menyembunyikan kekayaan, misalnya. Tidak melaporkan secara lengkap artinya menyembunyikan. Jadi, ini intinya. Jadi, kalau kita balik pada public ethic, kita ingin supaya kepejabatan publik itu betul-betul transparan karena dia hidup dalam upaya untuk memberi harapan pada publik tentang keadilan.  Kalau sendiri berbuat tidak adil itu artinya ada sesuatu yang aneh dalam reputasi dia sebagai pejabat. Dia hidup untuk memberi contoh kesederhanaan. Kalau dia sendiri bermewah-mewah itu artinya ada hal yang dicurigai oleh rakyat. Jadi jarak antara pemimpin dan rakyat itu makin lama makin jauh. Kalau kita protes bahwa disparitas ekonomi antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia, misalnya bisa diperlihatkan dengan genre ratio itu betul-betul timpang.  Kita juga bisa melihat jarak etis antara pemimpin dengan rakyat makin jauh. Jadi hal-hal semacam ini menimbun kecurigaan sekaligus ya sebut saja dendam sosial. Nah, karena itu polisi kemudian terus menerus menjadi sasaran tembak, sasaran sinisme, sasaran satire, karena memang terlihat kemewahan-kemewahan itu seolah-olah nggak bisa lagi ditutup-tutupi.   Jadi itu intinya kenapa kita selalu ingin selalu dalam forum FNN public ethic itu nomor satu, terutama untuk para pejabat publik.  Kan itu masalah kita. Ya, oke. Nah, kan tadi kita singgung soal laporan kekayaan. Memang betul disebutkan ini bahwa kekayaan Ferdy Sambo ketika dicari oleh wartawan ternyata tidak tercantum di laporan harta kekayaan. Dan ketika ditanyakan ke KPK, katanya pada tahun 2001 itu memang Ferdy Sambo membuat laporan harta kekayaan, tapi tidak lengkap sehingga tidak bisa dipublikasikan.  Jadi kalau tidak kenapa? Mari kita intip berapa besar gaji para Jenderal polisi ini. Ini saya baca di artikel disebutkan bahwa Jenderal polisi (Jenderal bintang 4), gajinya 5,23 juta hingga 5,93 juta; Komisaris Jenderal Polisi 5,07 juta hingga 5,97 juta; Inspektur Jenderal polisi. ini pangkatnya Ferdy Sambo 5,29 juta hingga 5,57 juta. Brigadir Jenderal Polisi 3,29 juta hingga 5,4 juta.   Saya sih jujur melihat memang semacam ini nggak pantas untuk seorang Jenderal Bintang Empat, terlalu rendah. Tapi saya tahu gaji pokok, kemudian ada tunjangan-tunjangan.  Katakanlah gaji mereka itu kita bulatkan saja misalnya sampai 50 juta, tetap saja tidak bisa menunjang gaya hidup mewah seperti seorang Ferdy Sambo. Ada dua mobil Lexus, ada Alphard, macem-macem.  Itu kan sebenarnya tidak ada urusan juga dengan jabatan tersebut. Bisa ada seorang perwira pertama, misalnya, di kantongnya bisa bawa dollar yang puluhan ribu. Lalu orang curiga. Ya enggak.  Dia memang lagi bertugas, karena perlu uang untuk ngintip bandar narkoba, untuk aktivitas spionase, jadi dia diberi uang oleh negara untuk melakukan aktivitasnya.  Dia terlihat mewah itu masuk keluar hotel, duduk seolah ya dia lagi nyamar saja, karena itu tugas dari seorang yang memang lagi mengintai kejahatan. Jadi dia musti diperlengkapi senjata, termasuk uang untuk kamuflase dan macam-macam itu.  Tapi kalau kedudukannya seperti Pak Sambo yang adalah Kepala Divisi Propam, itu kelihatannya kurang pantas. Kan tidak ada kegiatan spionase di situ. Itu kegiatan yang betul-betul keperluan internal polisi, tidak ada urusan dengan soal-soal BNPT atau teroris segala macam.  Jadi, memang orang mencurigai kok yang dipamerkan itu adalah wilayah yang menyangkut kehidupan mewah. Itu intinya. Jadi, sekali lagi, kita mau sebetulnya polisi ya digaji saja 10 kali lipat, tidak ada soal.  Tetapi, di dalam upaya itu juga kita tuntut satu kepastian bahwa perilaku polisi itu betul-betul perilaku hidup sederhana. Karena dia pelayan publik. Kan nggak bisa orang yang melayani publik itu terlihat justru berjarak dengan publik. Itu intinya.  Saya ingin betul etik itu ditegakkan, dan sambil berterima kasih pada polisi yang benar-benar ingin etikanya atau kehidupan profesionalnya itu dihargai oleh rakyat. Jadi sebaiknya tambah ilmu pengetahuan, bukan tambah kekayaan.  Karena toh nanti setelah pensiun orang akan nilai lagi itu. Kok jadi lain sesudah pensiun kayaknya bertambah kekayaannya. Padahal sebetulnya di awal tidak ada pelaporan. Kan itu masalahnya.  Ya. Jadi jangan salah memahami ya. Kita juga ingin para aparat keamanan kita yang menjaga keamanan kita, itu juga menjalankan negara ini digaji secara pantas.  Tetapi, kita juga tidak ingin kalau pejabat dengan alasan tidak digaji secara pantas kemudian mereka melakukan korupsi. Kan ini bukan sebuah aksioma. Ya. Itu kan tetap ada perimbangan antara penugasan, fungsi, dan pendapatan. Itu masuk akal. Semakin berbahaya tugas seseorang, imbalan upahnya juga harus makin bagus. Itu intinya.  Misalnya, Departemen Pajak pegawai-pegawai mudah atau rentan untuk melakukan korupsi di situ.  Oleh karena itu, gajinya musti dinaikkan supaya kehidupan nyata dia itu tidak lagi tergiur oleh uang orang lain. Kan itu soalnya. Jadi meritokrasi juga diperlukan dalam kerangka ini, yaitu keseimbangan antar fungsi dan gaji atau pendapatan.  Kalau itu bisa dibuat semacam aturannya, lalu orang merasa oke, sudah, jangan lagi nambah-nambah. Tapi itu juga berlaku di tempat yang lain. Dan juga dipamerkan bukan sekedar oleh pejabat kepolisian, tapi juga pejabat –pejabat lain di kampus, misalnya.  Kasus yang lalu kan juga di kampus UI, misalnya. Rektor UI, sudah digaji besar, masih juga mencari sambilan di BUMN. Itu sama masalahnya. Dan lebih berbahaya sebetulnya di wilayah Universitas.  Jadi dia rakus sebetulnya. Padahal universitas sebetulnya musti rakus ilmu, bukan rakus gaji. Itu intinya. Dan sampai sekarang kita belum dapat keterangan juga itu Rektor UI yang digaji dua kali, digaji oleh negara sebagai Rektor, digaji juga dia cari pendapatan sebagai komisaris. Lalu dia mengundurkan diri.    Kita tidak tau apa ada di tempat lain yang bersangkutan dapat tambahan keuangan juga. Jadi, sekali lagi ini soal besar bagi negara ini. Semua institusi itu harus terbuka dan tidak boleh ada rangkap jabatan dengan motif rangkap gaji. Itu bahayanya dan itu buruknya secara etis.

Sidang Lanjutan Kasus Jin Buang Anak, Pemred FNN Patahkan Dakwaan Jaksa

Jakarta, FNN - Sidang ke-21 kasus jin buang anak dengan terdakwa Edy Mulyadi yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 11 Agustus mendengarkan dua orang saksi fakta. Saksi pertama adalah Pemimpin Redaksi Forun News Network (FNN), H. Mangarhon Dongoran dan saksi kedua adalah Firdaus Baderi, Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi Neraca. Dalam kesaksiannya, Mangarahon Dongoran mematahkan seluruh dakwaan jaksa di awal persidangan yang menyebutkan Edy Mulyadi bukan wartawan dan FNN bukan produk jurnalistik. Dia juga nenegaskan, sampai persidangan yang ke-21 belum pernah menerima surat keberatan/hak jawab dan hak koreksi dari pihak-pihak yang melaporkan Edy Mulyadi ke aparat kepolisian.  \"Sampai saat ini tidak ada pihak yang menggunakan hak jawab dan hak koreksi. Padahal, itu mekanisme sengketa pers sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,\" katanya dalam sidang yang dipimpin Adeng Abdul Qohar itu. Dalam kesaksiannya, Mangarahon menegaskan, Edy Mulyadi adalah wartawan senior FNN. Dalam struktur redaksi, Edy Mulyani masuk dalam jajaran Dewan Redaksi FNN. \"Edy Mulyadi adalah wartawan FNN. Saya yang menandatangani kartu pers nya yang berlaku sejak 31 Desember 2021 sampai 31 Desember 2022. Saya juga yang menandatangani surat  pernyataan yang menerangkan yang bersangkutan adalah wartawan FNN  untuk keperluan orientasi wartawan PWI Jaya. Tanpa surat yang saya tandatangani, tidak bisa mengikuti orentasi wartawan yang merupakan syarat untuk memperoleh kartu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya,\" kata Dongoran. Edy Mulyadi adalah anggota PWI Jaya. Sebagai wartawan senior, kata Dongoran, Edy Mulyadi adalah seorang jusnalis yang kritis. Contohnya, tulisan Edy yang berjudul, \"Kereta Cepat Jakarta Bandung Buat Siapa,\" yang dimuat di FNN.co.id dibaca lebih dari 20.000 kali. \"Artinya, semakin banyak pembaca terhadap tulisan atau berita yang dimuat di sebuah media, menunjukkan isu yang ditulis penting dan sangat berbobot,\" ucap Dongoran. Dalam kesaksiannya, Dongoran juga menyebutkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai landasan dasar bagi setiap insan pers dalam melakukan kegiatannya. Dia menegaskan, FNN adalah media resmi yang berbadan hukum sesuai perintah UU tersebut.  Semua diatur dalam UU yang lahir pasca reformasi itu. \"Karena FNN adalah perusahaan media berbadan hukum, maka kami sebagai pengelola tunduk dan patuh terhadap UU tersebut,\" katanya. Dia mengutip contoh pasal 12 UU tersebut.   Kemudian, diikuti penjelasan mengenai pasal  itu yang terdiri dari tiga butir, khususnya menyangkut media elektronik, termasuk YouTube. Seusai persidangan, Dongoran yang antara lain didampingi Herman Latief (pengacara Edy Mulyadi) mengingatkan kembali apa yang disampaikan Edy dalam Channelnya merupakan bentuk kebebasan berekspresi dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, media harus kompak menghadapi perlakuan yang tidak adil itu. \"Jangan lihat Edy-nya, tetapi lihatlah masa depan pers ke depan. Jika hal itu dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan bermunculan kasus Edy yang lain,\" kata Dongoran. Sidang ditunda hingga Selasa, 23 Agustus 2022. Majelis Hakim masih memberikan kesempatan kepada tim penasihat hukum Edy Mulyadi untuk menghadirkan saksi ahli. (Anw).