HUKUM
Polres Lebak Ungkap Mantan Kades Diduga Gelapkan Dana COVID-19
Lebak, FNN - Kepolisian Resor ( Polres) Lebak, Polda Banten mengungkap mantan Kepala Desa Pasindangan Kecamatan Cikulur Kabupaten Lebak diduga menggelapkan dana bantuan langsung tunai ( BLT) COVID-19 sebesar Rp90 juta. "Kami melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan penggelapan dana BLT COVID-19 yang diduga dilakukan oleh oknum mantan kades berinisial AU (49), " kata Kasat Reskrim Polres Lebak Ajun Komisaris Indik Rusmono di Lebak, Kamis (25/11). Penyaluran dana BLT yang diduga digelapkan oleh mantan kades sebesar Rp 90 juta untuk tiga tahapan pencairan. Dimana satu pencairan sebesar Rp30 juta untuk 100 kepala keluarga dengan masing - masing menerima Rp300 ribu/ KK. "Ya benar, kita sudah melakukan penggeledahan di Kantor Desa Pasindangan untuk mengungkap dugaan kasus penggelapan dana BLT COVID-19," katanya menjelaskan. Ia mengatakan, bahwa dalam penggeledahan itu pihaknya mengamankan satu boks yang dipenuhi dokumen. Dimana dokumen itu akan digunakan sebagai barang bukti penguat dugaan kasus penggelapan dana BLT COVID-19. Pihaknya juga sudah memeriksa beberapa saksi di Kantor Desa Pasindangan, bahkan juga memeriksa 100 keluarga penerima manfaat ( KPM) penerima BLT COVID-19 itu. Selain itu juga melakukan pemeriksaan terhadap lima pegawai kantor desa setempat. "Kami mengamankan dokumen-dokumen tadi dapat menjadi penguat dugaan kasus Tipikor oknum mantan kades itu, " kata Indik. Mantan kades AU bisa dikenakan pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Jika AU terbukti bersalah maka akan terjerat pasal itu dengan ancaman hukuman denda maksimal Rp1 miliar dengan ancaman kurungan penjara seumur hidup," katanya. (sws)
Aktivis Yang Dipenjara Gegara UU Cipta Kerja Harus Dipulihkan Nama Baiknya
Jakarta, FNN - Sejumlah aktivis yang ditangkap dan menjalani proses hukum terkait protes UU Cipta Kerja diminta dibebaskan dan dikembalikan nama baiknya. Bagi Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut UU 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sudah cukup menjadi alasan merehabilitasi aktivis yang ditangkap. "Masyarakat yang dijerat dengan hukum terkait aksi protes terhadap UU Cipta Kerja harus dibebaskan dari hukum dan direhabilitasi," kata Gde Siriana Yusuf kepada FNN, Jumat (26/11). Substansi protes masyarakat mengenai UU Cipta Kerja dalam uji materi di MK, kata dia, menunjukkan bahwa protes sebelumnya dilakukan sebagai check and balance. "Kritik, protes masyarakat ternyata benar dibutuhkan sebagai check and balance. Jika masyarakat tidak protes dan ajukan JR, artinya UU yang langgar konstitusi akan terus dibiarkan," tegas Komite Eksekutif KAMI ini. Oleh sebab itu, ia meminta kepada pemerintah segera menindaklanjuti putusan MK dengan memulihkan nama baik masyarakat yang tersandung kasus hukum dalam mengkritik UU tersebut, termasuk para aktivis KAMI. "Maka, Syahganda, Jumhur, Anton Permana dan masyarakat lain yang ditangkap atau dipenjara karena protes UU Ciptaker harus dibebaskan dan direhab," tutupnya. Seperti diketahui UU Cipta Kerja digugat ke MK oleh beberapa elemen buruh. Dalam pertimbangan putusan sidang Kamis (25/11) Mahkamah menilai tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Mahkamah menilai UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. "Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini," ucap MK. UU Ciptaker atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Pemerintah selaku pengusul menilai, UU Cipta Kerja dirancang untuk menjawab kebutuhan pekerja, pelaku usaha kecil, dan juga industri. Sementara UU itu disahkan di tengah penolakan berbagai pihak mulai dari mahasiswa sampai buruh. Ketentuan dalam UU Ciptaker dianggap banyak merugikan para pekerja. Pada hari ini, para buruh dari Jakarta hingga Jawa Timur juga menggelar aksi bertepatan dengan keputusan MK atas judicial review UU Cipta Kerja. (sws)
Kepemimpinan Otoriter Jokowi Selama Pandemi Terjawab oleh Putusan MK
Jakarta, FNN -Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies, Gde Siriana Yusuf menilai kepemimpinan otoriter rezim pemerintahan Jokowi selama pandemi telah dijawab oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). "Keputusan MK ini mengembalikan hak-hak Budget DPR terkait penyusunan anggaran. MK juga menyatakan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat," kata Gde Siriana Yusuf kepada wartawan, Kamis(25/11/2021). Menurut Pengamat Poltik dan Kebijakan Publik ini, dua keputusan Mahkamah Konstitusi ini harus dimaknai bahwa, secara hukum membuktikan pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan yang anti nilai-nilai demokrasi, seperti check and balance, transparansi dan partipasi masyarakat dalam penyusunan UU. "Undang-Undang yang cacat konstitusi tersebut dipaksakan lolos saat terjadi pandemi Covid-19. Ini dapat dipandang sebagai adanya kepentingan-kepentingan oligarki di balik Undang-Undang tersebut dengan memanfaatkan situasi krisis pandemi,"jelasnya. Konsekuensi dari dua putusan MK tersebut, menurut Gde Siriana, yang pertama adalah pelanggaran-pelanggaran dalam kebijakan pandemi dan implementasinya, penyusunan anggaran maupun penggunaan anggaran, dapat diaudit lagi dengan menggunakan aturan yang berlaku. Dan yang kedua adalah masyarakat yang dijerat dengan hukum terkait aksi protes terhadap UU Cipta Kerja harus dibebaskan dari hukum dan direhabilitasi. "Aksi protes masyarakat dan pengajuan judicial review terhadap UU Cipta Kerja merupakan bentuk partisipasi dan pengawasan warga negara terhadap jalannya pemerintahan di mana substansi protes masyarakat telah diterima oleh MK, bukan hoax seperti yang selama ini dituduhkan pemerintah," tambahnya. Seperti diketahui UU Cipta Kerja digugat ke MK oleh beberapa elemen buruh. Dalam pertimbangan putusan sidang Kamis (25/11) Mahkamah menilai tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Mahkamah menilai UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. "Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini," ucap MK. UU Ciptaker atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Pemerintah selaku pengusul menilai, UU Cipta Kerja dirancang untuk menjawab kebutuhan pekerja, pelaku usaha kecil, dan juga industri. Sementara UU itu disahkan di tengah penolakan berbagai pihak mulai dari mahasiswa sampai buruh. Ketentuan dalam UU Ciptaker dianggap banyak merugikan para pekerja. Pada hari ini, para buruh dari Jakarta hingga Jawa Timur juga menggelar aksi bertepatan dengan keputusan MK atas judicial review UU Cipta Kerja. (sws)
Ketua KPK Ingatkan Pengusaha Tak Beri Suap ke Penyelenggara Negara
Jakarta, FNN - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatkan agar tidak ada lagi pengusaha yang memberi suap kepada penyelenggara negara. "Saya ingin mulai hari ini tidak ada lagi pengusaha yang memberi suap kepada penyelenggara negara dan mulai hari ini pun tidak ada penyelenggara negara yang menerima suap dari pengusaha," kata Firli saat acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara KPK dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam rangka pencegahan korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis disiarkan melalui kanal Youtube KPK. Ia mengatakan bahwa pada prinsipnya, negara kuat karena ada penguasa dan juga pengusaha. "Penguasa dalam hal ini kami garis bawahi adalah penyelenggara negara tetapi juga tidak jarang terjadi penyelenggara negara dan pengusaha sama-sama bermasalah karena namanya juga pengusaha dia bekerja dengan target 'how to achieve the goals?' bagaimana mencapai tujuan?" kata Firli. Ia menjelaskan terkadang untuk mencapai tujuan tersebut para pengusaha melalaikan proses sebagaimana mestinya sehingga dimanfaatkan oleh oknum penyelenggara negara. "Seketika kita ingin membuka usaha tentu lah tanggalnya jelas, perencanaan jelas, penghasilan jelas, pelaksanaan jelas, termasuk juga pengawasan jelas tetapi dalam pelaksanaannya terkadang terjadi persoalan karena target sudah ditetapkan prosesnya kadang-kadang terganggu. Biasanya pengusaha selalu upaya selalu usaha karena itu adalah ciri khas dari pengusaha terkadang melalaikan mengabaikan proses yang benar," kata Firli. "Di situ lah dimanfaatkan oleh para penyelenggara karena pengusaha butuh penyelenggara negara maka ada kontak penyatuan yang disebut dengan pertemuan antar pikiran pertemuan dengan tindakan, muncul lah disebut dengan suap," tambah dia. Ia menegaskan jika ingin mewujudkan kegiatan ekonomi yang lancar, efektif, dan efisien maka praktik suap maupun gratifikasi harus dihilangkan. "Karena kalau kita ingin mewujudkan kegiatan-kegiatan ekonomi kita lancar, mudah, efektif, dan efisien pasti lah harus kita hindari biaya tinggi, yaitu dengan cara suap tadi harus dihilangkan gratifikasi harus dihilangkan, pemerasan dan kecurangan demi kepentingan harus dihilangkan," ujar Firli. Sementara itu, Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum dan Pertanahan Keamanan Kadin Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan pengusaha sebenarnya menjadi korban dari "susu tante". "Bahwa kami ini sebetulnya korban dari "susu tante" sumbangan sukarela tanpa tekanan. Judulnya tanpa tekanan tetapi sesungguhnya penuh ancaman, biasanya kalau kita kuat kita lawan tetapi kadang-kadang kita tidak kuat ikut goyang juga," kata Bamsoet. Bamsoet yang juga Ketua MPR RI itu mengungkapkan para pengusaha berada dalam posisi yang sulit dengan adanya pungutan dari oknum penyelenggara negara. "Kadang kita dalam posisi yang sulit terutama teman-teman yang memiliki bisnis di daerah. Dikasih ke "garuk", tidak dikasih tidak dapat bisnis kita. Terjadi lah suap baik yang terang-terangan maupun diam-diam. Kadang-kadang pengusaha ini lebih senang kepala daerah yang terus terang, yang kita bingung kalau kepala daerah atau pejabatnya itu ingin sesuatu tetapi tidak diutarakan tetapi izin tidak keluar-keluar. Ini yang bikin pusing," tuturnya. Oleh karena itu, Bamsoet mengatakan dengan adanya MoU dengan KPK, para pengusaha mempunyai "beking" agar terhindar dari praktik suap. "Kerja sama hari ini kita berharap pengusaha punya 'beking'. Jadi, bukan preman saja punya 'beking', pengusaha juga butuh "beking". 'Beking' dalam hal ini yang ditakuti kalau penyelenggara negara bupati, wali kota, gubernur itu ingin meminta sesuatu agar izin itu diberikan maka dia harus berpikir ulang," ujar Bamsoet. (sws)
PSI Kecewa MK Tolak Gugatan Kewajiban Verifikasi partai Peserta Pemilu
Jakarta, FNN - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyampaikan kekecewaan usai Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan tiga partai politik nonparlemen soal kewajiban verifikasi peserta pemilu. "Substansi gugatan PSI sangat rasional dan proporsional," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI Dea Tunggaesti dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis. Dalam permohonannya, PSI meminta agar partai parlemen tidak perlu diverifikasi, partai nonparlemen atau yang tidak memiliki perwakilan di Senayan hanya perlu verifikasi administrasi, dan partai baru harus verifikasi administrasi dan faktual. "Putusan MK ini jelas mengecewakan," kata Dea Tunggaesti. Menurut Dea, penting untuk diketahui bahwa ada tiga anggota majelis hakim MK yang mengajukan alasan berbeda dengan merujuk pada dissenting opinion dalam putusan MK No.55/PUU-XVIII/2020. Menurut dia, dissenting opinion tersebut menjadi pertanda bahwa majelis hakim juga tidak seluruhnya sepakat tentang putusan tersebut. Ada sebagian yang menerima logika hukum yang diajukan oleh pemohon. Bila mengikuti logika hukum yang rasional, lanjut dia, tiga golongan partai politik yang berbeda satu sama lain tentu harus dikenakan perlakuan berbeda pula secara proporsional. Menyamakan perlakuan verifikasi yang sama tentu memunculkan ketidakadilan. Partai politik yang pernah mengikuti pemilu telah teruji karena dinyatakan lolos sebagai peserta dan diperbolehkan mengikuti kontestasi pemilihan umum. Oleh karena itu, pemberlakuan verifikasi administrasi dan faktual menjadi tidak relevan. "Posisi partai politik yang pernah lolos verifikasi administrasi dan faktual tentu berbeda dengan parpol yang belum pernah mengikuti pemilu," ujarnya. Untuk partai politik yang belum pernah mengikuti pemilu, kata dia, tentu memerlukan pembuktian kualifikasi sehingga wajar bila dicek persyaratannya melalui verifikasi administrasi dan faktual. Sementara itu, partai politik yang sudah pernah mengikuti pemilu telah terbukti memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai peserta sehingga seharusnya cukup verifikasi administrasi. Sebelumnya, MK menolak gugatan tiga partai politik nonparlemen soal kewajiban verifikasi peserta pemilu. Gugatan tersebut diajukan PSI, Partai Berkarya, dan Partai Perindo. MK menyatakan seluruh permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah berpendapat persoalan serupa sudah pernah diuji pada tahun lalu dalam putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Pada gugatan tersebut ketiga partai yang mengajukan gugatan menguji materi Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Pemilu. Ketiganya ingin ada perbedaan kewajiban verifikasi bagi partai politik. (sws)
Putusan MK Perkuat Tugas Komisi Yudisial Seleksi Hakim Ad Hoc pada MA
Jakarta, FNN - Komisi Yudisial (KY) mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materi Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY semakin memperkuat lembaga tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang menyeleksi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung (MA). "Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa perubahan atau pembentukan undang-undang yang mengatur eksistensi KY adalah desain politik hukum yang merupakan otoritas dari pembentuk undang-undang," kata Anggota KY RI sekaligus Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Binziad Kadafi di Jakarta, Kamis. Kemudian, ia lanjut menjelaskan, desain politik hukum tersebut dibuat melalui kebijakan hukum yang tepat dan tentu saja mengacu pada konstitusi. Tafsir konstitusionalnya dipegang oleh MK dengan pendekatan kontekstual. Di samping itu, dalam putusan tersebut juga disebutkan bahwa KY memiliki peran penting sebagai perisai dalam proses seleksi Hakim Ad Hoc di MA. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai perisai dengan tujuan tegaknya independensi dan imparsialitas hakim. Dasar peran tersebut dinyatakan oleh MK tidak hanya ditemukan dalam ketentuan konstitusi, tetapi juga "basic principles on the independence of the judiciary" yang berlaku universal. Kemudian, melalui putusan tersebut KY juga dinyatakan sebagai lembaga independen yang didesain oleh konstitusi untuk menjalankan seleksi yang objektif dan profesional. "Tidak hanya untuk Hakim Agung tetapi juga untuk seleksi Hakim Ad Hoc pada MA," ujar dia. Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak seluruh gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY yang diajukan oleh seorang dosen sekaligus mantan calon Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi bernama Dr Burhanudin. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang digelar MK secara virtual. Dalam konklusi yang dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman, terdapat sejumlah poin di antaranya mahkamah menyatakan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. (sws)
Bakamla RI dan CMPGC Spanyol Sepakat Pererat Hubungan
Batam, FNN - Bakamla RI dan CMPGC Spanyol sepakat membangun hubungan lebih erat dengan bertukar point of contact guna membuka jalan pertukaran informasi keamanan dan keselamatan kapal-kapal Indonesia dan Spanyol, khususnya yang melintas di perairan kedua negara. Kepala Bakamla RI Laksdya TNI Aan Kurnia berkunjung ke Markas Besar Coastal and Maritime Police Guarda Civil (CMPGC) di Madrid, Spanyol dan diterima langsung oleh Kepala Coastal and Maritime Police Major General Guarda Civil Carlos Crespo Romero beserta staf, Rabu (24/11). Kepala Bakamla RI dalam keterangan, Kamis, memandang perlu ada penguatan kapasitas melalui kerja sama antarinstitusi keamanan negara-negara. Menurut dia, globalisasi menghilangkan batas virtual negara sehingga meningkatkan risiko transnational kejahatan terorganisasi. "Ini merupakan ancaman bersama yang memerlukan pengetahuan yang luas dan bisa didapat melalui berbagi pengalaman, sharing best practice," demikian keterangan Bakamla. Masih dalam kunjungan yang sama, kedua pihak sepakat menandatangani nota kesepahaman terkait dengan keamanan dan keselamatan laut pada waktu dekat. Dalam kunjungan itu, Kepala Coastal and Maritime Police Major General Guarda Civil Carlos Crespo Romero memaparkan Guarda Civil dan Coastal and Maritime Police yang dipimpinnya. Ia juga memperkenalkan juga pusat komando dan pengendalian (puskodal) yang dimiliki Coastal and Maritime Police Guarda Civil Spanyol. Lawatan Kepala Bakamla dan jajaran ke Spanyol dalam rangka mengembangkan peran lembaga itu sebagai point of contact keamanan maritim nasional, khususnya pada masa damai. Sebelum ke Spanyol, tim Bakamla setelah memenuhi undangan Turkish Coast Guard pada pekan lalu. Pada pertemuan tersebut, Kepala Bakamla RI didampingi jajaran pejabat, antara lain Deputi Jakstra Laksda Bakamla Tatit Eko Wicaksono, Direktur Kebijakan Laksma Bakamla Samuel Kowaas, Direktur Operasi Laut Laksma Bakamla Suwito, Direktur Hukum Laksma Bakamla Erry, Kabag Humas Kolonel Bakamla Wisnu Pramandita, dan Atase Pertahanan Indonesia Kolonel Pnb Agung Perwira Negara. (sws)
Pengamat: Dudukkan Penangkapan Anggota MUI Secara Proporsional
Jakarta, FNN - Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan masyarakat hendaknya mendudukkan masalah penangkapan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas dugaan kasus terorisme secara proporsional. "Kita tidak boleh berlebih-lebihan dalam menyikapi sebuah kasus, harus didudukkan secara proporsional," kata Ridlwan dikutip dari siaran pers di Jakarta, Kamis. Menurut dia, penangkapan tersebut jelas dilakukan atas dasar dugaan yang bersangkutan sebagai anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) sehingga terlalu berlebihan jika muncul narasi kriminalisasi ulama atau islamofobia. "Mereka ini melawan hukum dalam konteks Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme," ujarnya. Menurut dia, ini juga berlaku untuk kasus terorisme lainnya yang pelakunya kebetulan merupakan tokoh atau aktivis apa saja. Di sisi lain, masyarakat tidak boleh juga lantas melabeli MUI sebagai organisasi yang buruk hingga lantas muncul narasi pembubaran MUI. "Karena masih banyak ulama di MUI, para kiai yang memang benar-benar mendalami Islam secara kafah, secara baik dan mempromosikan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang damai," ujar Ridlwan. Menurut Ridlwan, insiden yang mencatut nama lembaga sebesar MUI adalah murni kesalahan individu. Ia memandang hal ini sebagai kemampuan individu jaringan terorisme dalam berkamuflase. "Karena kelompok ini memiliki kemampuan untuk bergabung dengan organisasi-organisasi umum, mendekati tokoh publik dan sebagainya," katanya. Masyarakat juga tidak boleh kemudian membandingkan dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua dengan menganggap bahwa pemerintah pilih kasih dalam penanganan terorisme. Menurut Ridlwan, pihak yang berpikiran KKB dibiarkan itu salah besar karena sampai hari ini Satgas Nemangkawi habis-habisan di lapangan mempertaruhkan nyawa. "Lihat saja beberapa hari yang lalu ada anggota TNI yang jadi korban. Pemerintah sudah mengirimkan prajurit-prajurit terbaik Polri dan juga TNI dalam konteks perbantuan untuk menangani KKB ini," ujarnya. (sws)
Kejati Kalbar Selamatkan Uang Negara Rp10,9 Miliar dari Kasus Tipikor
Pontianak, FNN - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat menyatakan telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp10,9 miliar di tahun 2021 dari kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani instansi tersebut. "Sebanyak Rp10,9 miliar keuangan negara yang berhasil diselamatkan itu, dari total 58 tipikor yang kami tangani, yakni sebanyak 25 kasus ditangani oleh Kejati Kalbar dan sebanyak 33 perkara ditangani oleh Kejari," kata Kepala Kejati Kalbar, Masyhudi dalam keterangan tertulis di Pontianak, Kamis. Dia menjelaskan, dalam penanganan kasus tipikor pihaknya tidak main-main, dan siapapun yang terlibat akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Kami akan memberikan tuntutan yang maksimal bagi pelaku atau para tipikor sesuai dengan tingkat kesalahannya dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga bisa memberikan efek jera," katanya. Dia menambahkan, sepanjang tahun 2021 jajarannya juga sudah menangkap kembali sebanyak 12 orang yang masuk dalam DPO (daftar pencarian orang). "Penangkapan itu dilakukan oleh Tim Tabur (tangkap buron Kejati Kalbar) bersama-sama dan berkoordinasi dengan tim Kejaksaan Agung dan instansi terkait lainnya," ujarnya. Pada tahun 2021, Kejati Kalbar sudah menangani dan menyelesaikan perkara pidana umum (pidum) sebanyak 381 perkara, dan termasuk perkara yang menarik perhatian masyarakat, katanya. Dalam kesempatan itu, Kajati Kalbar mengimbau dan mengajak peran masyarakat ikut membantu menginformasikan jika mengetahui keberadaan buronan yang lain (belum tertangkap) untuk menyampaikan informasi yang bisa langsung melapor ke Kantor Kejati Kalbar atau ke Kejari terdekat. "Dengan penangkapan ini (para DPO) maka akan memberikan efek psikologis kepada buronan lainnya, sedangkan yang belum tertangkap hanya masalah waktu saja, dan saya mengingatkan kepada para buronan 'tidak ada tempat aman bagi pelaku kejahatan buron atau DPO'," ujarnya. (sws)
Lelang Kendaraan Mewah Sitaan Kasus Jiwasraya Terjual Rp6,1 Miliar
Jakarta, FNN - Hasil lelang barang sitaan dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya berupa 11 unit kendaraan mewah terdiri atas 10 mobil dan satu sepeda motor terjual dengan total Rp6,1 miliar. Dalam keterangan tertulis Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan Agung RI yang diterima di Jakarta, Kamis, disebutkan ada 16 kendaraan mewah hasil rampasan negara yang dilelang. Namun, baru 11 unit yang terjual. Jenis barang rampasan yang berhasil dijual, yakni: satu unit minibus Toyota Alphard G A seharga Rp877.968.000,00; satu unit minibus Toyota Alphard 2.5 seharga Rp865.497.000,00; dan satu unit minibus Toyota Vellfire 2.5 G AT berwarna hitam seharga Rp746.016.000,00. Berikutnya, satu unit Mercedez Benz/E 300 seharga Rp700.376.000,00; satu unit minibus Toyota Alphard Rp666.350.000,00; satu unit minibus Toyota Vellfire 2.5 G AT berwarna putih yang laku Rp644.993.000,00; dan satu unit sedan Mercedez Benz/E 300 AT berwarna hitam seharga Rp308.853.000,00. Selanjutnya, satu unit sepeda motor Harley Davidson/FLHX Street Glide seharga Rp432.851.000,00, satu unit minibus Honda CR-V RM3 2 WD seharga Rp207.807.000,00; dua unit minibus Toyota Kijang Innova seharga Rp329.716.000,00 dan Rp325.654.000,00. "Bahwa dari 16 kendaraan dimaksud, sebanyak 11 unit kendaraan laku terjual yang terdiri dari 10 unit kendaraan roda empat dan satu unit kendaraan roda dua dengan nilai sementara dari hasil penjualan lelang sebesar Rp6.100.081.000,00," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak. Leonard mengatakan bahwa peserta lelang memiliki batas waktu pelunasan hingga 1 Desember mendatang. Uang tersebut akan ditransfer oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV ke rekening penampungan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Sementara itu, sisa lima unit kendaraan tidak laku terjual dikarenakan tindak ada penawaran (TAP) dan akan dilakukan lelang ulang. Sebelumnya diwartakan, Kejagung RI memastikan proses lelang barang-barang mewah hasil rampasan negara terkait dengan kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya dilakukan secara transparan dan bertahap. (sws)