HUKUM

Urgensi Perlindungan Data Pribadi dan Penantian Pengesahan RUU PDP

Jakarta, FNN - Peristiwa kebocoran data yang semakin marak terjadi di tengah masyarakat Indonesia dapat dilihat sebagai bukti nyata urgensi perlindungan terhadap data pribadi pada saat ini. Selain itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) pun semakin mendesak untuk disahkan dalam waktu dekat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat semakin terancam perlindungan data pribadinya dan pengesahan RUU PDP terus mengalami stagnasi. Dari informasi termutakhir yang tidak berhenti bergema, silang pendapat terkait keberadaan lembaga pengawas independen antara Komisi I DPR RI dan pemerintah menjadi persoalan utama yang menghambat disahkannya RUU PDP. Menurut anggota Komisi I DPR RI Rizki Aulia Rahman Natakusumah, setelah berdiskusi dengan para ahli, pemikir, lembaga sosial masyarakat, dan pihak swasta disepakati keberadaan lembaga pengawas independen diperlukan untuk melaksanakan fungsi pengawasan RUU PDP ke depannya. Keberadaan lembaga tersebut, lanjut Rizki, ditujukan untuk memunculkan kesetaraan antara pihak swasta dan publik selaku pengelola data pribadi masyarakat. Namun, belum ada kesepakatan di antara Komisi I DPR RI dan pemerintah tentang keberadaan lembaga tersebut, bahkan terkait letak strukturnya yang diharapkan dapat berada di luar kementerian. Persoalan itu berujung membuat pengesahan RUU PDP terus berada pada posisi “menggantung”. Tidak sampai di sana, ada pula kendala lain yang menghambat pengesahan RUU PDP, yaitu segrasi data yang kurang mendapatkan perhatian dalam pembahasan draf peraturan itu. Segrasi data ini merupakan pemisahan atau pemilahan data di antara data pribadi yang terbuka dan tertutup untuk diakses oleh pihak ketiga. Segerasi data perlu diatur karena profiling atau sistem algoritma dari kecerdasan buatan (AI) yang merekam riwayat pencarian data pribadi pengguna internet ataupun aplikasi tertentu dapat dijual oleh pihak yang memproses dan mengendalikan data. Karena kendala-kendala yang tidak kunjung menemui titik temu itu, data pribadi masyarakat yang jelas bernilai penting untuk dilindungi pun semakin terancam disalahgunakan oleh pihak tertentu. Urgensi perlindungan data pribadi Seperti yang dikemukakan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Novi Kurnia, ada empat poin utama yang membuat data pribadi masyarakat Indonesia menjadi penting untuk dilindungi. Pertama terkait hak asasi manusia (HAM), menurut Novi Kurnia, perlindungan data pribadi merupakan bagian dari HAM sebagaimana hak atas privasi secara implisit dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Di dalamnya, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Masih terkait hak asasi manusia, pentingnya perlindungan terhadap data pribadi juga dipertegas dalam putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam putusan tersebut, dinyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE melarang perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Kemudian, Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal tersebut tidak bertentangan dengan hak dan kewenangan konstitusional seseorang, nilai-nilai demokrasi, dan prinsip-prinsip negara hukum. Selanjutnya di poin kedua, Novi Kurnia menjelaskan alasan lain pentingnya perlindungan terhadap data pribadi adalah kepentingan terkait perlindungan konsumen. Dalam hal tersebut, transaksi daring yang semakin sering digunakan oleh masyarakat meningkatkan penggunaan data pribadinya sehingga pengaturan yang tegas dari ranah hukum pun dibutuhkan agar tidak merugikan mereka sebagai konsumen. Poin ketiga adalah terkait hubungan internasional. Di dalam hubungan internasional, perlindungan data pribadi menjadi penting untuk dimanfaatkan dalam arus informasi dan perdagangan antarnegara. Oleh karena itu, perlindungan terhadap data pribadi semakin tidak bisa diabaikan. Selanjutnya, poin terakhir adalah harmonisasi regulasi. Di poin ini, data pribadi diatur dalam beberapa peraturan sektoral, seperti perbankan, telekomunikasi, UU ITE, UU Kesehatan, dan UU Administrasi Kependudukan. Dengan demikian, RUU Perlindungan Data Pribadi dapat digunakan sebagai payung hukum sekaligus alat mengakomodasi keberadaan teknologi baru. Menantikan pengesahan RUU PDP Keempat poin yang jelas terikat pada hak asasi manusia, perlindungan konsumen, arus informasi serta perdagangan antarnegara, dan demi wujudkan harmonisasi regulasi memperkuat nilai penting pemenuhan perlindungan data pribadi milik masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu, pengesahan RUU PDP semakin dinantikan. Peraturan tersebut bertujuan utama untuk melindungi hak warga negara berkenaan dengan data pribadi mereka agar tidak digunakan di luar keinginan atau kewajibannya oleh pihak swasta maupun pemerintah. Dengan menimbang hal-hal berkenaan urgensi perlindungan data pribadi, sudah sepatutnya hambatan dalam pengesahan RUU PDP seperti yang dikemukakan di awal segera dicarikan jalan keluar oleh para pihak terkait. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Catharina Dewi Wulansari, RUU PDP sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar mereka sebagai warga negara terpenuhi hak atas perlindungan kesejahteraannya. Selain itu, ia juga menilai RUU PDP akan mampu menciptakan keseimbangan tata kelola data pribadi. Untuk perwujudan perlindungan data pribadi di tengah era serba digital dan meningkatnya ancaman kejahatan siber, dapat dikatakan bahwa harapan sebesar-besarnya ada pada pengesahan RUU PDP sesegera mungkin. (sws, ant)

Saksi Kasus Dugaan Pengaturan Skor Liga 3 Jadi Korban Tabrak Lari

Malang, FNN - Seorang saksi terkait kasus dugaan pengaturan skor Liga 3 Jawa Timur, Zha Eka Wulandari menjadi korban tabrak lari di Jalan Tirto Mulyo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Saat ditemui di kediamannya, Zha mengatakan, kejadian tabrak lari tersebut terjadi pada Kamis, 25 November 2021 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu, ia baru saja mengisi kartu uang elektronik (e-toll) di salah satu ritel modern yang ada di kawasan tersebut. "Saya keluar rumah mengisi e-toll, karena hari ini (Jumat) saya rencananya dipanggil oleh Polda Jawa Timur. Saya dan suami disalip dari sebelah kiri, kemudian kami terjatuh," kata Zha di Malang, Jumat, 26 November 2021 Zha menjelaskan, sebelum kejadian tersebut, ada kendaraan roda dua lain yang menyalip dari sisi sebelah kanan. Saat itu, pengendara sepeda motor yang menggunakan jaket hitam sempat melihat Zha dan tertawa. Zha bersama suami sempat mengurangi kecepatan kendaraan dan berbicara terkait perilaku pengendara sepeda motor yang menyalip dan tertawa itu. Tidak lama kemudian, ada motor lain dari sisi kiri yang menyalip dan menyebabkan Zha bersama suaminya terjatuh. "Kurang lebih 50 meter dari tempat saat saya disalip dari arah kanan itu, kemudian ada yang menyalip dari sisi kiri. Kendaraan itu lampunya tidak menyala. Kendaraan itu yang menyebabkan saya dan suami jatuh ke sisi kanan," katanya, sebagaimana dikutip dari Antara. Ia tidak mengingat secara detil terkait sepeda motor yang melaju dari sisi kiri dan menyebabkan ia bersama suaminya terjatuh tersebut. Namun, pengendara yang menyalip dari sisi kanan dan tertawa, ia mengingat kejadian itu dengan jelas. "Untuk yang dari sisi kiri itu sangat kencang, dan tiba-tiba saya jatuh ke kanan. Kalau yang menyalip dari sisi kanan, saya jelas (mengingat). Karena setelah diserempet, saya dan suami pelan-pelan dan heran mengapa anak tersebut tertawa," ujarnya. Saat ditanya apakah kejadian tersebut ada kaitannya dengan status Zha sebagai saksi dalam kasus dugaan pengaturan skor Liga 3 tersebut, ia tidak bisa memastikan. Namun, kejadian tabrak lari tersebut sudah dilaporkan kepada polisi. "Saya belum bisa menjawab itu ada hubungannya atau tidak (terkait sebagai saksi dugaan kasus pengaturan skor Liga 3)," kata perempuan yang merupakan bendahara tim Liga 3 Gresik Putra Paranane itu. Ia dan suami menderita sejumlah luka pada sisi tubuh bagian kanan. Sejumlah luka ada di bagian kepala, pipi, tangan dan kaki. Selain itu, gigi Zha juga patah akibat benturan saat terjatuh dari sepeda motor. "Kepala, pipi, gigi dan bagian kanan tubuh saya dan suami banyak yang terluka. Saat ini kejadian (tabrak lari) sudah ditangani oleh kepolisian," katanya. Sebagai informasi, Zha Eka Wulandari merupakan pelapor terkait adanya dugaan pengaturan skor pada Grup B Liga 3 Jawa Timur, dalam pertandingan antara Gresik Putra Paranane melawan Persema Malang dan NZR Sumbersari. Dalam kasus tersebut, para pemain Gresik Putra Paranane ditawari sejumlah uang agar mengalah pada dua laga tersebut. Gresik Putra Paranane akhirnya kalah 1-5 saat melawan Persema dan 0-1 saat melawan NZR Sumbersari. (MD)>

Tim Kemensos Beri Pendampingan Korban Penganiayaan di Kota Malang

Malang, FNN - Kementerian Sosial (Kemensos) memberikan pendampingan kepada korban kekerasan seksual dan penganiayaan yang terjadi di wilayah Kota Malang, Jawa Timur, termasuk pada saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian. Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Kemensos, Ajeng Rahayu Prastiwi dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Kota Malang, Jumat, mengatakan kondisi psikologis korban kekerasan seksual dan penganiayaan berinisial HN saat ini sudah semakin membaik. "Kondisi psikologis HN lebih tenang sudah lebih bergembira. Kedekatan yang kami bangun tampaknya membawa hasil. Kami bersiap mendampingi korban untuk memberikan keterangan kepada penyidik," kata Ajeng. Ajeng menjelaskan Kementerian Sosial melalui Sakti Pensos mengambil peran sejak awal kasus ini berkembang. Kini, korban tersebut berada di bawah pengawasan penuh dan pendampingan di Unit Perlindungan dan Pelayanan Sosial Petirahan Anak (PPSPA) Bima Sakti di Kota Batu. Tim pendamping, lanjutnya, terus membangun kedekatan dengan korban dan memberikan penguatan sosial emosional kepada korban yang berusia 13 tahun tersebut. Pendampingan yang dilakukan tersebut, sesuai dengan instruksi Menteri Sosial Tri Rismaharini. Tim Balai Antasena bekerja sama dengan Sakti Peksos dan Dinas Sosial Perlindungan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) juga akan memberikan pendampingan untuk proses BAP ketiga. Pendampingan itu akan diberikan dalam proses BAP ketiga yang akan dilakukan di Polresta Malang Kota. Selain itu, tim juga akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk memberikan rekomendasi terhadap para pelaku sebelum P21. Dalam kesempatan itu, Pekerja Sosial dari Balai Antasena Magelang Diamira yang melakukan pendampingan menambahkan dengan berbagai terapi yang dilakukan oleh tim sudah memberikan dampak positif bagi korban. Saat ini, korban bisa berkomunikasi dengan baik walau masih menyisakan trauma terhadap para pelaku. Korban juga masih mengeluhkan rasa sakit di kepala dan perut. "Korban juga telah mulai terbiasa dengan kedatangan orang yang ikut membantu korban dalam kasus ini. Korban memerlukan waktu istirahat yang cukup dan pengobatan lebih lanjut," tambah Diamira. Sebagai informasi, korban yang berusia 13 tahun tersebut, dianiaya oleh sekelompok temannya pada 18 November 2021. Kejadian tersebut bermula pada saat korban dibawa oleh salah satu tersangka ke suatu tempat dan dilakukan persetubuhan. Kemudian istri siri dari tersangka pelaku persetubuhan tersebut mengetahui kejadian itu. Istri siri pelaku persetubuhan, kemudian membawa beberapa orang temannya untuk menginterogasi korban dan melakukan tindakan kekerasan. Polisi telah melakukan pemeriksaan terhadap sepuluh orang saksi yang masih berstatus anak-anak. Dari total sepuluh anak tersebut, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus persetubuhan dan penganiayaan. Sementara tiga lainnya, dikembalikan kepada orang tua. Dari tujuh tersangka itu, satu orang merupakan pelaku persetubuhan sementara enam lainnya pelaku kekerasan. Dari tujuh tersangka tersebut, enam orang ditahan di sel tahanan anak Polresta Malang Kota, dan satu lainnya tidak ditahan karena berusia di bawah 14 tahun. (mth)

Kejagung akan Lakukan Penyidikan Kasus HAM Berat

Jakarta, FNN - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan pihaknya akan melakukan penyidikan umum terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat untuk menyempurnakan hasil penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kebuntuan serta menyelesaikan tunggakan kasus HAM Berat, kata Burhanuddin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat. "Saya yakin kebijakan ini akan memecah kebuntuan, dan menuntaskan perkara HAM yang menjadi tunggakan selama ini," ujar Burhanuddin. Dengan penyidikan umum ini, Burhanuddin optimistis penuntasan tunggakan perkara dugaan pelanggaran HAM berat. Menurut Burhanuddin, penuntasan dugaan pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini seolah berhenti, dan tidak ada kejelasan sebagai akibat adanya kebuntuan persepsi antara penyelidik Komnas HAM dengan penyidik Kejaksaan. Ia menerangkan, hasil penyelidikan oleh Komnas HAM belum sempurna untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan, namun petunjuk penyidik Kejaksaan agar terpenuhinya amanat undang-undang tidak pernah dipenuhi, sehingga penanganan perkara menjadi berlarut-larut. Berlarut-larutnya penanganan dugaan pelanggaran HAM berat ini, kata Burhanuddin, karena hasil penyelidikan Komnas HAM belum menemukan alat bukti yang cukup untuk menduga bahwa seseorang berdasarkan suatu peristiwa atau keadaan adalah sebagai pelaku kejahatan HAM berat. Selain itu, penyelidik juga belum memeriksa saksi kunci dan menemukan dokumen yang diharapkan dapat menjelaskan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dan unsur serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana dimaksud Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. "Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan keadilan, serta mengatasi kebuntuan yang terjadi, maka saya sebagai Jaksa Agung, selaku penyidik HAM berat mengambil kebijakan penting, yaitu tindakan hukum untuk melakukan penyidikan umum perkara pelanggaran HAM berat masa kini guna menyempurnakan hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Burhanuddin. (sws)

Polres Lebak Ungkap Mantan Kades Diduga Gelapkan Dana COVID-19

Lebak, FNN - Kepolisian Resor ( Polres) Lebak, Polda Banten mengungkap mantan Kepala Desa Pasindangan Kecamatan Cikulur Kabupaten Lebak diduga menggelapkan dana bantuan langsung tunai ( BLT) COVID-19 sebesar Rp90 juta. "Kami melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan penggelapan dana BLT COVID-19 yang diduga dilakukan oleh oknum mantan kades berinisial AU (49), " kata Kasat Reskrim Polres Lebak Ajun Komisaris Indik Rusmono di Lebak, Kamis (25/11). Penyaluran dana BLT yang diduga digelapkan oleh mantan kades sebesar Rp 90 juta untuk tiga tahapan pencairan. Dimana satu pencairan sebesar Rp30 juta untuk 100 kepala keluarga dengan masing - masing menerima Rp300 ribu/ KK. "Ya benar, kita sudah melakukan penggeledahan di Kantor Desa Pasindangan untuk mengungkap dugaan kasus penggelapan dana BLT COVID-19," katanya menjelaskan. Ia mengatakan, bahwa dalam penggeledahan itu pihaknya mengamankan satu boks yang dipenuhi dokumen. Dimana dokumen itu akan digunakan sebagai barang bukti penguat dugaan kasus penggelapan dana BLT COVID-19. Pihaknya juga sudah memeriksa beberapa saksi di Kantor Desa Pasindangan, bahkan juga memeriksa 100 keluarga penerima manfaat ( KPM) penerima BLT COVID-19 itu. Selain itu juga melakukan pemeriksaan terhadap lima pegawai kantor desa setempat. "Kami mengamankan dokumen-dokumen tadi dapat menjadi penguat dugaan kasus Tipikor oknum mantan kades itu, " kata Indik. Mantan kades AU bisa dikenakan pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Jika AU terbukti bersalah maka akan terjerat pasal itu dengan ancaman hukuman denda maksimal Rp1 miliar dengan ancaman kurungan penjara seumur hidup," katanya. (sws)

Aktivis Yang Dipenjara Gegara UU Cipta Kerja Harus Dipulihkan Nama Baiknya

Jakarta, FNN - Sejumlah aktivis yang ditangkap dan menjalani proses hukum terkait protes UU Cipta Kerja diminta dibebaskan dan dikembalikan nama baiknya. Bagi Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut UU 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sudah cukup menjadi alasan merehabilitasi aktivis yang ditangkap. "Masyarakat yang dijerat dengan hukum terkait aksi protes terhadap UU Cipta Kerja harus dibebaskan dari hukum dan direhabilitasi," kata Gde Siriana Yusuf kepada FNN, Jumat (26/11). Substansi protes masyarakat mengenai UU Cipta Kerja dalam uji materi di MK, kata dia, menunjukkan bahwa protes sebelumnya dilakukan sebagai check and balance. "Kritik, protes masyarakat ternyata benar dibutuhkan sebagai check and balance. Jika masyarakat tidak protes dan ajukan JR, artinya UU yang langgar konstitusi akan terus dibiarkan," tegas Komite Eksekutif KAMI ini. Oleh sebab itu, ia meminta kepada pemerintah segera menindaklanjuti putusan MK dengan memulihkan nama baik masyarakat yang tersandung kasus hukum dalam mengkritik UU tersebut, termasuk para aktivis KAMI. "Maka, Syahganda, Jumhur, Anton Permana dan masyarakat lain yang ditangkap atau dipenjara karena protes UU Ciptaker harus dibebaskan dan direhab," tutupnya. Seperti diketahui UU Cipta Kerja digugat ke MK oleh beberapa elemen buruh. Dalam pertimbangan putusan sidang Kamis (25/11) Mahkamah menilai tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Mahkamah menilai UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. "Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini," ucap MK. UU Ciptaker atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Pemerintah selaku pengusul menilai, UU Cipta Kerja dirancang untuk menjawab kebutuhan pekerja, pelaku usaha kecil, dan juga industri. Sementara UU itu disahkan di tengah penolakan berbagai pihak mulai dari mahasiswa sampai buruh. Ketentuan dalam UU Ciptaker dianggap banyak merugikan para pekerja. Pada hari ini, para buruh dari Jakarta hingga Jawa Timur juga menggelar aksi bertepatan dengan keputusan MK atas judicial review UU Cipta Kerja. (sws)

Kepemimpinan Otoriter Jokowi Selama Pandemi Terjawab oleh Putusan MK

Jakarta, FNN -Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies, Gde Siriana Yusuf menilai kepemimpinan otoriter rezim pemerintahan Jokowi selama pandemi telah dijawab oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). "Keputusan MK ini mengembalikan hak-hak Budget DPR terkait penyusunan anggaran. MK juga menyatakan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat," kata Gde Siriana Yusuf kepada wartawan, Kamis(25/11/2021). Menurut Pengamat Poltik dan Kebijakan Publik ini, dua keputusan Mahkamah Konstitusi ini harus dimaknai bahwa, secara hukum membuktikan pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan yang anti nilai-nilai demokrasi, seperti check and balance, transparansi dan partipasi masyarakat dalam penyusunan UU. "Undang-Undang yang cacat konstitusi tersebut dipaksakan lolos saat terjadi pandemi Covid-19. Ini dapat dipandang sebagai adanya kepentingan-kepentingan oligarki di balik Undang-Undang tersebut dengan memanfaatkan situasi krisis pandemi,"jelasnya. Konsekuensi dari dua putusan MK tersebut, menurut Gde Siriana, yang pertama adalah pelanggaran-pelanggaran dalam kebijakan pandemi dan implementasinya, penyusunan anggaran maupun penggunaan anggaran, dapat diaudit lagi dengan menggunakan aturan yang berlaku. Dan yang kedua adalah masyarakat yang dijerat dengan hukum terkait aksi protes terhadap UU Cipta Kerja harus dibebaskan dari hukum dan direhabilitasi. "Aksi protes masyarakat dan pengajuan judicial review terhadap UU Cipta Kerja merupakan bentuk partisipasi dan pengawasan warga negara terhadap jalannya pemerintahan di mana substansi protes masyarakat telah diterima oleh MK, bukan hoax seperti yang selama ini dituduhkan pemerintah," tambahnya. Seperti diketahui UU Cipta Kerja digugat ke MK oleh beberapa elemen buruh. Dalam pertimbangan putusan sidang Kamis (25/11) Mahkamah menilai tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Mahkamah menilai UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. "Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini," ucap MK. UU Ciptaker atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Pemerintah selaku pengusul menilai, UU Cipta Kerja dirancang untuk menjawab kebutuhan pekerja, pelaku usaha kecil, dan juga industri. Sementara UU itu disahkan di tengah penolakan berbagai pihak mulai dari mahasiswa sampai buruh. Ketentuan dalam UU Ciptaker dianggap banyak merugikan para pekerja. Pada hari ini, para buruh dari Jakarta hingga Jawa Timur juga menggelar aksi bertepatan dengan keputusan MK atas judicial review UU Cipta Kerja. (sws)

Ketua KPK Ingatkan Pengusaha Tak Beri Suap ke Penyelenggara Negara

Jakarta, FNN - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatkan agar tidak ada lagi pengusaha yang memberi suap kepada penyelenggara negara. "Saya ingin mulai hari ini tidak ada lagi pengusaha yang memberi suap kepada penyelenggara negara dan mulai hari ini pun tidak ada penyelenggara negara yang menerima suap dari pengusaha," kata Firli saat acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara KPK dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam rangka pencegahan korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis disiarkan melalui kanal Youtube KPK. Ia mengatakan bahwa pada prinsipnya, negara kuat karena ada penguasa dan juga pengusaha. "Penguasa dalam hal ini kami garis bawahi adalah penyelenggara negara tetapi juga tidak jarang terjadi penyelenggara negara dan pengusaha sama-sama bermasalah karena namanya juga pengusaha dia bekerja dengan target 'how to achieve the goals?' bagaimana mencapai tujuan?" kata Firli. Ia menjelaskan terkadang untuk mencapai tujuan tersebut para pengusaha melalaikan proses sebagaimana mestinya sehingga dimanfaatkan oleh oknum penyelenggara negara. "Seketika kita ingin membuka usaha tentu lah tanggalnya jelas, perencanaan jelas, penghasilan jelas, pelaksanaan jelas, termasuk juga pengawasan jelas tetapi dalam pelaksanaannya terkadang terjadi persoalan karena target sudah ditetapkan prosesnya kadang-kadang terganggu. Biasanya pengusaha selalu upaya selalu usaha karena itu adalah ciri khas dari pengusaha terkadang melalaikan mengabaikan proses yang benar," kata Firli. "Di situ lah dimanfaatkan oleh para penyelenggara karena pengusaha butuh penyelenggara negara maka ada kontak penyatuan yang disebut dengan pertemuan antar pikiran pertemuan dengan tindakan, muncul lah disebut dengan suap," tambah dia. Ia menegaskan jika ingin mewujudkan kegiatan ekonomi yang lancar, efektif, dan efisien maka praktik suap maupun gratifikasi harus dihilangkan. "Karena kalau kita ingin mewujudkan kegiatan-kegiatan ekonomi kita lancar, mudah, efektif, dan efisien pasti lah harus kita hindari biaya tinggi, yaitu dengan cara suap tadi harus dihilangkan gratifikasi harus dihilangkan, pemerasan dan kecurangan demi kepentingan harus dihilangkan," ujar Firli. Sementara itu, Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum dan Pertanahan Keamanan Kadin Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan pengusaha sebenarnya menjadi korban dari "susu tante". "Bahwa kami ini sebetulnya korban dari "susu tante" sumbangan sukarela tanpa tekanan. Judulnya tanpa tekanan tetapi sesungguhnya penuh ancaman, biasanya kalau kita kuat kita lawan tetapi kadang-kadang kita tidak kuat ikut goyang juga," kata Bamsoet. Bamsoet yang juga Ketua MPR RI itu mengungkapkan para pengusaha berada dalam posisi yang sulit dengan adanya pungutan dari oknum penyelenggara negara. "Kadang kita dalam posisi yang sulit terutama teman-teman yang memiliki bisnis di daerah. Dikasih ke "garuk", tidak dikasih tidak dapat bisnis kita. Terjadi lah suap baik yang terang-terangan maupun diam-diam. Kadang-kadang pengusaha ini lebih senang kepala daerah yang terus terang, yang kita bingung kalau kepala daerah atau pejabatnya itu ingin sesuatu tetapi tidak diutarakan tetapi izin tidak keluar-keluar. Ini yang bikin pusing," tuturnya. Oleh karena itu, Bamsoet mengatakan dengan adanya MoU dengan KPK, para pengusaha mempunyai "beking" agar terhindar dari praktik suap. "Kerja sama hari ini kita berharap pengusaha punya 'beking'. Jadi, bukan preman saja punya 'beking', pengusaha juga butuh "beking". 'Beking' dalam hal ini yang ditakuti kalau penyelenggara negara bupati, wali kota, gubernur itu ingin meminta sesuatu agar izin itu diberikan maka dia harus berpikir ulang," ujar Bamsoet. (sws)

PSI Kecewa MK Tolak Gugatan Kewajiban Verifikasi partai Peserta Pemilu

Jakarta, FNN - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyampaikan kekecewaan usai Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan tiga partai politik nonparlemen soal kewajiban verifikasi peserta pemilu. "Substansi gugatan PSI sangat rasional dan proporsional," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI Dea Tunggaesti dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis. Dalam permohonannya, PSI meminta agar partai parlemen tidak perlu diverifikasi, partai nonparlemen atau yang tidak memiliki perwakilan di Senayan hanya perlu verifikasi administrasi, dan partai baru harus verifikasi administrasi dan faktual. "Putusan MK ini jelas mengecewakan," kata Dea Tunggaesti. Menurut Dea, penting untuk diketahui bahwa ada tiga anggota majelis hakim MK yang mengajukan alasan berbeda dengan merujuk pada dissenting opinion dalam putusan MK No.55/PUU-XVIII/2020. Menurut dia, dissenting opinion tersebut menjadi pertanda bahwa majelis hakim juga tidak seluruhnya sepakat tentang putusan tersebut. Ada sebagian yang menerima logika hukum yang diajukan oleh pemohon. Bila mengikuti logika hukum yang rasional, lanjut dia, tiga golongan partai politik yang berbeda satu sama lain tentu harus dikenakan perlakuan berbeda pula secara proporsional. Menyamakan perlakuan verifikasi yang sama tentu memunculkan ketidakadilan. Partai politik yang pernah mengikuti pemilu telah teruji karena dinyatakan lolos sebagai peserta dan diperbolehkan mengikuti kontestasi pemilihan umum. Oleh karena itu, pemberlakuan verifikasi administrasi dan faktual menjadi tidak relevan. "Posisi partai politik yang pernah lolos verifikasi administrasi dan faktual tentu berbeda dengan parpol yang belum pernah mengikuti pemilu," ujarnya. Untuk partai politik yang belum pernah mengikuti pemilu, kata dia, tentu memerlukan pembuktian kualifikasi sehingga wajar bila dicek persyaratannya melalui verifikasi administrasi dan faktual. Sementara itu, partai politik yang sudah pernah mengikuti pemilu telah terbukti memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai peserta sehingga seharusnya cukup verifikasi administrasi. Sebelumnya, MK menolak gugatan tiga partai politik nonparlemen soal kewajiban verifikasi peserta pemilu. Gugatan tersebut diajukan PSI, Partai Berkarya, dan Partai Perindo. MK menyatakan seluruh permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah berpendapat persoalan serupa sudah pernah diuji pada tahun lalu dalam putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Pada gugatan tersebut ketiga partai yang mengajukan gugatan menguji materi Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Pemilu. Ketiganya ingin ada perbedaan kewajiban verifikasi bagi partai politik. (sws)

Putusan MK Perkuat Tugas Komisi Yudisial Seleksi Hakim Ad Hoc pada MA

Jakarta, FNN - Komisi Yudisial (KY) mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materi Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY semakin memperkuat lembaga tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang menyeleksi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung (MA). "Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa perubahan atau pembentukan undang-undang yang mengatur eksistensi KY adalah desain politik hukum yang merupakan otoritas dari pembentuk undang-undang," kata Anggota KY RI sekaligus Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Binziad Kadafi di Jakarta, Kamis. Kemudian, ia lanjut menjelaskan, desain politik hukum tersebut dibuat melalui kebijakan hukum yang tepat dan tentu saja mengacu pada konstitusi. Tafsir konstitusionalnya dipegang oleh MK dengan pendekatan kontekstual. Di samping itu, dalam putusan tersebut juga disebutkan bahwa KY memiliki peran penting sebagai perisai dalam proses seleksi Hakim Ad Hoc di MA. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai perisai dengan tujuan tegaknya independensi dan imparsialitas hakim. Dasar peran tersebut dinyatakan oleh MK tidak hanya ditemukan dalam ketentuan konstitusi, tetapi juga "basic principles on the independence of the judiciary" yang berlaku universal. Kemudian, melalui putusan tersebut KY juga dinyatakan sebagai lembaga independen yang didesain oleh konstitusi untuk menjalankan seleksi yang objektif dan profesional. "Tidak hanya untuk Hakim Agung tetapi juga untuk seleksi Hakim Ad Hoc pada MA," ujar dia. Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak seluruh gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY yang diajukan oleh seorang dosen sekaligus mantan calon Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi bernama Dr Burhanudin. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang digelar MK secara virtual. Dalam konklusi yang dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman, terdapat sejumlah poin di antaranya mahkamah menyatakan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. (sws)