HUKUM

Kapolda Jateng Sebut Pentingnya Kolaborasi Media Massa Bersama Polri

Semarang, FNN - Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol.Ahmad Luthfi menyebut pentingnya menjalin kolaborasi dan komunikasi dengan media massa dalam upaya akselerasi tugas pokok dan fungsi Polri. Hal tersebut disampaikan kapolda saat kunjungan kerja ke kantor Perum LKBN ANTARA Biro Jawa Tengah di Semarang, Senin. "Kunjungan ini sebagai review antara media massa dan Polri sebagai mitra komunikasi dan kolaborasi," katanya. Ia juga menyebut media massa sebagai fungsi kontrol sosial bagi kepolisian. Dengan demikian, lanjut dia, pemberitaan tentang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta upaya-upaya penegakan hukum oleh Polri bisa tersampaikan secara luas kepada masyarakat. "Diharapkan masyarakat tidak terbebani berkaitan dengan kepastian hukum," tambahnya. Ia menegaskan jika terdapat pemberitaan tentang anggota Polri yang menyimpang, hal tersebut dilakukan oleh oknum dan bukan institusi. "Demikian pula kalau ada wartawan yang menyimpang, itu oknum," katanya. Sementara Kepala Perum LKBN ANTARA Biro Jawa Tengah Achmad Zaenal menyambut baik kunjungan kapolda tersebut. Ia juga mengapresiasi berbagai upaya yang sudah dilakukan Polri bersama pemangku kepentingan terkait, khususnya dalam menghadapi pandemi COVID-19. "Percepatan vaksinasi yang sudah dilakukan Polri bersama TNI, termasuk kondisi Jawa Tengah di masa pandemi ini yang relatif aman," katanya. (sws)

Unmul Laporkan Dugaan Tambang Ilegal di Kebun Percobaan Faperta

Samarinda, FNN - Sejumlah dosen Fakultas Pertanian dan Fakultas Hukum Universitas Mulawarwan Samarinda, Kalimantan Timur melaporkan secara resmi dugaan kegiatan pertambangan batubara ilegal di kawasan kebun percobaan Fakultas Pertanian Unmul di Kutai Kartanegara. "Kami mendapat mandat dari Rektorat Unmul untuk mendampingi pengaduan Fakultas Pertanian terkait kegiatan pertambangan batubara yang terjadi di kebun percobaan Fakultas Pertanian di kawasan Teluk Dalam, Kutai Kartanegara," kata Tim kuasa hukum Unmul, Mahendra Putra Kurnia dihubungi dari Samarinda, Senin. Dia mengatakan berkas pelaporan disampaikan kepada Polres Kutai Kartanegara diwakili oleh tujuh pengajar dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Hukum dan turut mendampingi Dekan Fakultas Pertanian Unmul Prof. Dr. Ir Rusdiasyah, Msi. "Laporan kami telah diterima oleh bidang sentra pelayanan terpadu Polres Kutai Kartanegara," kata Mahendra. Dia menjelaskan pada laporan tertulis tersebut disampaikan kebun percobaan Teluk Dalam Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman seluas 167.400 m2 dengan titik koordinat X= 510074.990 - 510910.808 mE dan Y= 9953846,804 - 9954072.962 mS berlokasi di Desa Karang Tunggal, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara dengan tanda berupa patok batas dan pagar di sekitar area lahan. "Kami mendapatkan laporan dari Sofian, SP., M.Sc, selaku Kepala Kebun Percobaan Teluk Dalam Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, sejak tanggal 31 Agustus 2021 telah terjadi aktivitas penambangan batubara yang masuk dalam area Kebun Percobaan Laboratorium Lapangan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman," jelas Mahendra. Sebelum laporan resmi ini dibuat, lanjut Mahendra, Sofian telah melakukan komunikasi dan teguran beberapa kali kepada pelaku aktivitas penambangan batubara di lapangan, namun tidak ada tanggapan dari pelaku aktivitas pertambangan batubara tersebut. Dia menyampaikan atas kegiatan pertambangan tersebut telah menyebabkan kerusakan pada lahan Kebun Percobaan Teluk Dalam Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. "Kerusakan terjadi pada koordinat X = 510450.295 mE dan Y = 9953903,360 ms, yakni dengan hilangnya atau rusaknya tanda/patok batas dan pagar area kebun, serta rusaknya sebagian badan jalan di area Kebun Percobaan Teluk Dalam Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman," beber Mahendra. Dia menjelaskan kegiatan pertambangan batubara dengan tanpa persetujuan pemegang hak atas tanah jelas bertentangan dengan Pasal 135 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan lalu diubah kembali dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sedangkan Pasal 53 ayat (l) dan Pasal 98. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diubah dengan Undang-undang Nomor I l Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Yang dengan tegas mewajibkan pelaku kerusakan lingkungan untuk melakukan penanggulangan kerusakan lingkungan dengan disertai ancaman pidana dan denda. "Kami menyampaikan laporan agar Kepolisian Resor Kutai Kartanegara dapat segera mengusut tuntas kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan tanpa izin dan menimbulkan kerusakan lingkungan di Kebun Percobaan Teluk Dalam Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Mahendra. (sws)

Kampung 'Bersinar' Upaya Sumsel Berantas Narkoba

Palembang, FNN - Berbagai cara dilakukan pemerintah daerah dan Polda Sumatera Selatan untuk memberantas dan mencegah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Meskipun demikian, angka kasus narkoba tetap saja tinggi, terbukti setiap pekannya puluhan kasus berhasil diungkap jajaran Polda Sumsel. Berdasarkan data selama pekan terakhir Oktober 2021 ini, tim Ditresnarkoba Polda Sumsel bersama jajaran mengungkap 35 kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol Supriadi dalam keterangan persnya di Palembang, Senin (1/11) menjelaskan, dari pengungkapan kasus tersebut diamankan 42 tersangka pengedar dan pemakai barang terlarang itu dari sejumlah kabupaten/kota. Barang bukti yang disita dari para tersangka pengedar dan pemakai narkoba itu berupa sabu sabu 216,66 gram, ganja 68 batang, dan pil ekstasi 26 butir. Pengungkapan kasus dan pencegahan beredarnya narkoba tersebut bisa menyelamatkan setidaknya 2.382 anak bangsa dari jeratan barang terlarang itu. Melihat data tingginya kasus narkoba di provinsi dengan 17 kabupaten dan kota itu, jajaran Polda Sumsel pada 2021 berupaya lebih gencar lagi melakukan operasi pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba serta penegakan hukum secara maksimal. Direktur Reserse Narkoba Polda Sumsel Kombes Pol. Heri Istu menambahkan angka prevalensi atau angka kejadian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di provinsi ini tinggi, mencapai 5 persen melampaui batas normal hasil survei 2,4 persen. Berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), angka prevalensi kasus narkoba pada 2019 sekitar 2,4 persen. Melihat hasil survei tersebut, prevalensi narkoba di Sumsel mencapai 5 persen atau berada pada nomor dua nasional setelah Sumatera Utara yang prevalensi narkobanya mencapai 6,5 persen. Perlu dukungan semua pihak dan lapisan masyarakat menurunkan angka kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba. Karena tingginya angka prevalensi narkoba di provinsi ini, pihaknya berupaya menggencarkan kegiatan pencegahan dan pemberantasan barang terlarang itu. Untuk melakukan pencegahan, pihaknya terus mengedukasi masyarakat mengenai bahaya mengonsumsi narkoba bagi kesehatan, merusak mental dan masa depan. Untuk melakukan edukasi tersebut pihaknya menggandeng barbagai pihak dan membentuk komunitas 'virtual mang PDK' bersih dari narkoba (bersinar). Sedangkan untuk melakukan pemberantasan, pihaknya berupaya meningkatkan kegiatan operasi kepolisian yang dievaluasi perkembangannya setiap pekan. "Siapa pun yang terbukti menyimpan, memiliki, dan mengedarkan narkoba akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum," ujarnya. Selain meningkatkan kegiatan operasi pemberantasan narkoba, piihaknya mengajak masyarakat untuk bersama-sama membasmi penyalahgunaan dan peredaran gelap barang terlarang itu. Jika masyarakat mengetahui di sekitar lingkungan tempat tinggal atau tempat lainnya ada kegiatan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba, diminta untuk melaporkan kepada aparat kepolisian terdekat, ujar Direktur Reserse Narkoba. Gerakan P4GN bersama Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengajak semua pihak, elemen masyarakat dan kelembagaan yang ada di provinsi dengan 17 kabupaten dan kota itu menggalakkan kegiatan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Kegiatan P4GN perlu digalakkan oleh semua pihak, elemen masyarakat dan kelembagaan karena jumlah korban penyalahgunaan dan kasus narkoba terus mengalami peningkatan sehingga memerlukan gerakan bersama untuk mengatasi kasus tersebut. Pencegahan dan pemberantasan narkotika, obat-obatan berbahaya, dan zat adiktif (narkoba) tidak mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum saja yang jumlah personelnya terbatas. Partisipasi dari semua pihak, elemen masyarakat dan kelembagaan memiliki peran besar dalam melakukan kegiatan P4GN dan menutup celah bagi siapapun untuk melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap barang terlarang itu, kata Gubernur. Sementara Kepala BNN Provinsi Sumsel Brigjen Pol.Joko Prihadi mengatakan untuk menggalakkan P4GN, pihaknya telah membentuk satuan tugas (Satgas) di masing-masing dinas atau instansi pemerintah daerah (organisasi perangkat daerah-OPD) dan semua desa melalui instruksi Bupati/Wali Kota setempat. Sedangkan untuk memerangi dan menjauhkan masyarakat dari narkoba, dilakukan penguatan mulai dari lingkungan keluarga, RT, dan RW dan deklarasikan 'Berani Tolak, Berani Rehab dan Berani Lapor', ujar Brigjen Pol.Joko. Kampung bersinar Kapolda Sumsel Irjen Pol.Toni Harmanto mengatakan kampanye bahaya narkoba perlu terus digaungkan dalam berbagai kesempatan dan melalui cara apapun. Untuk mencegah dan memberantas narkoba, semua pihak dan lapisan masyarakat diharapkan mau peduli dengan lingkungan sekitar dan berbuat sesuatu untuk melindungi generasi muda dari bahaya narkoba. Sebagai gerakan bersama untuk memberantas jaringan dan sindikat peredaran narkotika dan obat-obat terlarang, maka perlu semua komponen bersatu dalam memberantas narkoba. Kapolda Sumsel mengajak semua jajaran terus berupaya mengedukasi masyarakat untuk melawan narkoba. Semakin giat dan berupaya terus dalam mengatasi persoalan narkoba, mudah-mudahan provinsi ini khususnya Kota Palembang menjadi kota bersih dari narkoba (Bersinar). Wali Kota Palembang Harnojoyo berupaya mengembangkan kampung bersih narkoba (bersinar) untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. "Sekarang ini baru ada beberapa kampung bersinar di sejumlah kelurahan, jumlahnya akan terus dikembangkan hingga 107 kelurahan," ujar Harnojoyo. Kampung bersinar perlu terus dikembangkan untuk memaksimalkan kegiatan sosialisasi dan pemberantasan narkoba yang telah menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Sosialisasi mengenai bahaya narkoba perlu digalakkan dengan berbagai cara sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menjauhi barang terlarang itu. Kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba perlu ditingkat sehingga memiliki daya tangkal yang kuat. Pengaruh narkoba masuk ke seseorang atau kelompok tertentu melalui berbagai cara, jika memiliki daya tangkal yang kuat pengaruh tersebut tidak dapat masuk. Melalui kampung bersinar, Wali Kota Palembang Harnojoyo mengharapkan program edukasi, sosialisasi, pembinaan, dan pemberantasan narkoba bisa berjalan maksimal untuk membentuk daya tangkal masyarakat yang kuat. (sws)

LPSK Sambut Baik Putusan MA Cabut PP Nomor 99 Tahun 2012

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menyambut baik putusan Mahkamah Agung (MA) yang resmi membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Menurut Edwin Partogi Pasaribu berdasarkan siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin, PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme, dan lainnya itu sepatutnya menjadi kewenangan hakim. Ia menilai tidak boleh ada hukuman tambahan di luar putusan hakim. Dengan begitu, apabila ada penghapusan hak narapidana, sebaiknya hal tersebut menjadi bagian dari putusan hakim. Sebelumnya, Majelis Hakim MA yang diketuai Supandi dengan hakim anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono mengabulkan uji materiil yang dimohonkan mantan Kepala Desa Subowo dan empat orang warga binaan Lapas Kelas IA Sukamiskin Bandung. Pemohon menilai ada sejumlah pasal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang bertentangan dengan undang-undang berlaku, di antaranya adalah Pasal 34 A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf a, Pasal 43A ayat (3) yang bertentangan dengan undang-undang berlaku. Dalam putusannya, majelis hakim menimbang fungsi pemidanaan tidak hanya untuk memenjarakan pelaku agar jera, tetapi juga usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model keadilan restoratif. Karena itu, hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan bagi semua warga binaan, kecuali hal itu dicabut berdasarkan putusan pengadilan. Edwin pun memiliki pendapat yang sama. Menurutnya, konsep sistem pemidanaan diperuntukkan dalam menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat. “Penghuni terbesar lapas adalah terpidana narkorba. Terpidana narkoba sebagian merupakan pemakai. Kalau disyaratkan sebagai justice collaborator (JC), maka hal itu akan memberatkan mereka, karena narkoba jaringan tertutup dan melibatkan mafia, termasuk oknum. Penjara kita mengalami overcrowded (kepadatan penghuni),” ujar Edwin. Justice Collaborator (JC) merupakan seorang pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kejahatan atau kasus yang dinilai rumit dan berskala besar. Khusus bagi JC itu, kata Edwin, ada Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur mengenai penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. “Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain merupakan bentuk penghargaan bagi JC atas kesaksian yang mereka berikan,” kata Edwin pula. Namun dalam praktiknya, ujar Edwin, PP Nomor 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana yang diatur dalam Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban. “Terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC, agar narapidana bisa mendapatkan haknya. Anehnya lagi, bila pelaku tunggal, juga bisa diterbitkan status JC,” ujar Edwin pula. Ia mengatakan berdasarkan pengalaman LPSK, sebagian kepala lembaga pemasyarakatan lebih merujuk PP ini dibandingkan Pasal 10A yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC. Edwin juga mengatakan Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Dengan demikian, pencabutan PP No. 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusunan tersebut. Oleh karena itu, ia meminta Pemerintah tidak ragu untuk melaksanakan putusan MA tersebut. (mth)

KPK Dalami Proses Penganggaran Proyek Dinas PUPR Musi Banyuasin

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami proses penganggaran hingga dilaksanakannya lelang berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. KPK, Jumat (29/10) memeriksa delapan saksi untuk tersangka Kepala Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Herman Mayori (HM) dan kawan-kawan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2021. Pemeriksaan dilakukan di Satbrimobda Sumatera Selatan. "Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan nilai pagu anggaran di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin, termasuk dengan proses penganggaran hingga dilaksanakannya lelang berbagai proyek di Dinas PUPR dimaksud," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Senin. Delapan saksi, yaitu Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi, Sekda Kabupaten Musi Banyuasin Apriyadi, Kasi Lingkungan dan Keselamatan Dokumen dan Pengembangan Sistem serta Leger Jalan Bidang Pengembangan dan Pengendalian Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Robby Candra, Kasi Perencanaan dan Penyediaan JPU Bidang Bina Jasa Konstruksi dan Penerangan Jalan Umum Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Musyadek. Selanjutnya, Kasi Operasional Pemeliharaan dan Bina Manfaat SD Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Meydi Lupiandi, Kasi Pembinaan dan Pengawasan Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Aditia Pancawijaya Tantowi, Kasi Pemeliharaan JPU Bidang Bina Jasa Konstruksi dan Penerangan Jalan Umum Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Saaid Kurniawan, dan Badruzzaman alias Acan selaku staf ahli Bupati Musi Banyuasin. Selain itu, kata Ali, delapan saksi itu juga didalami terkait dugaan adanya perintah dan delegasi khusus dari tersangka Bupati Musi Banyuasin nonaktif Dodi Reza Alex Noerdin (DRA) kepada tersangka Herman dan tersangka Kabid Sumber Daya Air (SDA)/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Eddi Umari (EU) untuk dilakukan penarikan "fee" atas pelaksanaan pekerjaan berbagai proyek di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin tersebut. Diketahui, Dodi, Herman, dan Eddi merupakan tersangka penerima suap kasus tersebut. Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Selaras Simpati Nusantara Suhandy (SH). Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan Pemkab Musi Banyuasin untuk Tahun 2021 akan melaksanakan beberapa proyek yang dananya bersumber dari APBD, APBD-P TA 2021 dan Bantuan Keuangan Provinsi (bantuan gubernur) di antaranya pada Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin. Untuk melaksanakan berbagai proyek dimaksud, diduga telah ada arahan dan perintah dari Dodi kepada Herman, Eddi, dan beberapa pejabat lain di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin agar dalam proses pelaksanaan lelangnya direkayasa sedemikian rupa. Di antaranya dengan membuat daftar paket pekerjaan dan telah pula ditentukan calon rekanan yang akan menjadi pelaksana pekerjaan tersebut. Selain itu, Dodi juga telah menentukan adanya persentase pemberian "fee" dari setiap nilai proyek paket pekerjaan di Kabupaten Musi Banyuasin, yaitu 10 persen untuk Dodi, 3-5 persen untuk Herman, dan 2-3 persen untuk Eddi serta pihak terkait lainnya. Untuk Tahun Anggaran 2021 pada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin, perusahaan milik Suhandy menjadi pemenang dari empat paket proyek. Total komitmen "fee" yang akan diterima oleh Dodi dari Suhandy dari empat proyek tersebut sekitar Rp2,6 miliar. Sebagai realisasi pemberian komitmen "fee" oleh Suhandy atas dimenangkannya empat proyek paket pekerjaan di Dinas PUPR tersebut, diduga Suhandy telah menyerahkan sebagian uang tersebut kepada Dodi melalui Herman dan Eddi. Suhandy selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sedangkan sebagai penerima, Dodi, dan kawan-kawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (sws, ant)

Akademisi Usulkan Sanksi Kerja Sosial Bagi Pelanggar UU ITE

Jakarta, FNN - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Ari Wibowo mengusulkan variasi sanksi pidana berupa kerja sosial untuk perkara yang melibatkan ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Karena motif (kejahatan siber, Red.) ada banyak, masalah yang harus dipikirkan adalah harus tersedia sanksi yang lebih bervariatif. (Sanksi, Red.) pidana yang disediakan dalam UU ITE hanya dua, pertama itu penjara, kedua denda,” kata Ari Wibowo ketika memberi paparan materi dalam seminar nasional bertajuk “Refleksi Penegakan Hukum Indonesia di Era Society 5.0" yang disiarkan di kanal YouTube FKPH FH UII, dan dipantau dari Jakarta, Minggu. Ari Wibowo memaparkan bahwa salah satu motif kejahatan siber adalah motif intelektual. Pelaku yang menggunakan motif tersebut cenderung melakukan kejahatan hanya untuk kepuasan diri pribadi dan menunjukkan bahwa dirinya telah mampu dan ahli dalam bidang teknologi informasi. “Mestinya sanksi pidana yang diterapkan tidak penjara atau denda. Tapi, memungkinkan alternatif sanksi lain, seperti sanksi kerja sosial. Negara bisa memanfaatkan dia (pelaku peretasan dengan motif intelektual, Red.) untuk yang lebih maslahat,” ujar Ari. Selain motif intelektual, terdapat dua motif lainnya, yaitu motif ekonomi, serta motif politik dan kriminal. Terkait dengan motif ekonomi, Ari merujuk pada kejahatan siber yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pelaku kejahatan siber dengan motif ekonomi, kata Ari, relevan apabila memperoleh sanksi denda atau pidana finansial. Berdasarkan pengamatan Ari, pelaku kejahatan dengan motif ekonomi tidak akan jera apabila memperoleh sanksi berupa kurungan penjara. Selanjutnya, terkait motif politik dan kriminal. Pelaku yang melakukan kejahatan berdasarkan pada motif tersebut cenderung bertujuan untuk mendapat keuntungan pribadi atau golongan tertentu yang berdampak pada kerugian secara politik pada pihak lain. Selain itu, kejahatan dengan motif politik dan kriminal juga bisa menimbulkan kerugian kepada orang lain dan tidak terbatas pada pelaku politik. “Untuk motif politik dan kriminal, pidana penjara masih relevan untuk dilakukan pembinaan kepada pelakunya,” kata Ari pula. (sws, ant)

Empat Terdakwa Korupsi Hibah Masjid Dituntut Penjara 19 Tahun

Sumatera Selatan, FNN - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, menuntut empat terdakwa perkara tindak pidana korupsi hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang pidana penjara selama 19 tahun. Keempat terdakwa tersebut adalah Eddy Hermanto (mantan Ketua Umum Pembangunan Masjid Sriwijaya), Syarifuddin MF (Ketua Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya), Dwi Kridayani (KSO PT Brantas Abipraya - Yodya Karya), dan Yudi Arminto (Project Manager PT Brantas Abipraya). "Kami penuntut umum menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan keempat terdakwa bersalah menurut hukum dipidana penjara 19 tahun. Pidana penjara tersebut dikurangi selama masa kurungan yang sudah dilakukan dengan perintah tetap dalam tahanan," kata JPU M Naimullah dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai Majelis Hakim Sahlan Effendi, Jumat, 29 Oktober 2021. Selain pidana penjara, lanjut jaksa, setiap terdakwa wajib untuk membayar denda atas perkara tersebut masing-masing senilai Rp 750 juta subsider enam bulan. Lalu setiap terdakwa diwajibkan untuk membayar uang pengganti dengan nilai yang disesuaikan berdasarkan perbuatan masing-masing. Terhadap terdakwa Eddy Hermanto diwajibkan membayar uang senilai Rp 684 juta, terdakwa Syarifuddin senilai Rp 1 miliar, Dwi Kridayani senilai Rp 2.5 miliar dan terdakwa Yudi Arminto senilai Rp 22.4 miliar. Menurutnya, bila dalam waktu satu bulan setelah putusan berstatus inkracht (berketatapan hukum) maka harta benda terdakwa disita oleh jaksa untuk dilelang. Hasil dari pelelangan tersebut uangnya dikembalikan kepada negara. "Kalau nilainya masih tidak mencukupi maka dikenakan dipidana penjara sembilan tahun enam bulan," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara. Tuntutan yang dijatuhkan JPU tersebut yang hampir mencapai hukuman maksimal dinilai sudah layak. Sebab terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan memberatkan mereka dalam menentukan tuntutan tersebut. Menjurut jaksa, atas perbuatan tersebut terdakwa sama sekali tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah tentang pembangunan rumah ibadah yakni masjid, dan terdakwa sama tidak menyesali perbuatan yang mereka lakukan tersebut. Maka setelah dilakukan pemeriksaan barang bukti lalu didukung oleh keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa. Terdapat beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, secara melawan hukum, diantaranya yaitu pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 ada pemberian hibah berbentuk uang kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya yang berdomisili di Jalan Limau II Blok B/3, Kelurahan Gandaria, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2015 sebesar Rp 50.000.000.000 dan APBD Tahun 2017 sebesar Rp 80.000.000.000. Proses tersebut tanpa dilakukan verifikasi terhadap usulan tertulis (proposal), tidak melalui pembahasan pada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan beberapa perbuatan lainnya seperti dilakukan kesepakatan besaran kontrak kerja meskipun belum diketahui anggaran hibah dalam nota perjanjian hibah daerah (NPHD). Terdakwa diduga melanggar ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, Pasal 19 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD diduga digunakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Berdasarkan penyidikan tim penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam perkara tersebut, masing-masing terdakwa diduga telah menerima sejumlah dana, yaitu Eddy Hermanto menerima sebesar Rp 684.419.750, Syarifudin Rp 1.049.336.610, Dwi Kridayani sebesar Rp 2.500.000.000, Yudi Arminto sebesar Rp 2.368.553.390, PT Brantas Abeparaya (Persero) sebesar Rp 5.000.000.000. Terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal primer. Pasal 12 b ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal sekunder. Sementara itu Hakim Sahlan Effendi mengatakan, diberikan waktu sampai satu pekan ke depan kepada terdakwa untuk menentukan sikap apakah menerima tuntutan JPU atau mengajukan banding. (MD).

Korban UU ITE Bukti Pembatasan Kebebasan Berekspresi Buruk Sekali

Jakarta, FNN - Pembatasan kebebasan berekspresi yang dipraktikkan (pemerintah), buruk sekali. Hal itu terbukti dari banyaknya korban Undang-Undang Informmasidan dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "Pasal pembatasan kebebasan berpendapat telah ditafsirkan secara berlebihan oleh para pembuat aturan. Seharusnya, yang menjadi substansi dari aturan adalah kebebasan berpendapat yang harus dikelola, diatur, dan dibatasi," kata anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M Choirul Anam, Jumat, 29 Oktober 2021. “Tetapi, karena saking ketatnya pembatasan, yang terjadi bukan mendiskusikan kebebasan berpendapat, tmelainkan mendiskusikan pembatasan itu, sehingga tidak ada makna kebebasan dalam konteks hak asasi manusia,” kata Choirul Anam sebagaimana dikutip dari Antara. Ia menyampaikan hal itu ketika memberi paparan materi dalam kuliah umum hukum hak asasi manusia bertajuk “Mekanisme Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat” yang disiarkan di kanal YouTube FHUB Official. Anam mengatakan, pelaku pencemaran nama baik tidak boleh dipidana oleh hukum yang berlaku. “Kalau ada orang yang tersinggung reputasinya, tercemar reputasinya, ya gugat saja di perdata. Itu mekanismenya,” ujar Anam. Akan tetapi, dia melanjutkan, di Indonesia, pemerintah justru memfasilitasi penindakan pelaku pencemaran nama baik melalui jalur pidana dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal 27 ayat (3). Pasal tersebut memuat salah satu perbuatan dilarang, yakni dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Atas perbuatan tersebut, berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU ITE, seseorang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. "International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik mengatakan, kebebasan berekspresi atau berpendapat bisa dibatasi," kata dia. Pembatasan tersebut tertuang pada pasal 19 UU Nomor 12/2005. Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 12/2005 membahas mengenai pembatasan hak kebebasan berpendapat dengan tujuan menghormati hak atau nama baik orang lain, serta melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat. (MD).

Bea Cukai Madura Musnahkan Jutaan Batang Rokok Ilegal

Pamekasan, FNN - Kantor Bea dan Cukai Madura, Jumat, memusnahkan jutaan batang rokok ilegal hasil sitaan institusi itu di Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. "Ada 5.329.166 batang rokok yang kami musnahkan hari ini. Rokok-rokok ini merupakan hasil sitaan petugas dari operasi gabungan yang kami gelar di empat kabupaten di Pulau Madura selama ini," kata Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Madura Yanuar Calliandra. Rokok-rokok yang tidak dilekati pita cukai hasil 151 kali penindakan dalam bentuk operasi rutin gabungan bersama polisi, TNI, dan pemkab se-Madura ini diangkut dua armadara truk dari gudang penyimpanan Kantor Bea Cukai di Jalan Panglima Sudirman Pamekasan menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Angsanah, Kecamatan Proppo, Pamekasan. Petugas selanjutnya menaruh rokok yang terdiri atas puluhan merek ini di sebuah lubang, lalu mencampurnya dengan sampah. KPP Bea Cukai Madura Yanuar Calliandra menyatakan bahwa keberhasilan petugas menyita rokok ilegal itu merupakan bentuk keseriusan dalam memberantas peredaran rokok ilegal di Pulau Madura. "Jadi, tidak benar bahwa Kantor Bea Cukai sering bermain-main dengan rokok ilegal," katanya. Pernyataan Yanuar ini sekaligus membantah tudingan sebagian aktivis lembaga swadaya masyarakat dan pengusaha rokok lokal Pamekasan yang berunjuk rasa ke Kantor Bea Cukai Madura. Mereka memprotes pola penyitaan rokok dengan sistem tebus belum lama ini. Kala itu pengunjuk rasa menuding tindakan terhadap peredaran rokok ilegal atau rokok yang tidak dilekati pita cukai sebagai bentuk pemerasan karena sebagian rokok yang disita masih bisa ditebus melalui oknum. Pemusnahan rokok ilegal atau rokok yang tidak dilekati pita cukai di TPA Sampang Desa Angsanah, Jumat (29/10/2021), itu merupakan kali keempat dalam kurun waktu 2019 hingga Oktober 2021. Pada tahun 2019 rokok ilegal yang dimusnahkan tercatat sebanyak 5.465.363 batang, pada bulan Februari 2020 sebanyak 6.227.884 batang, dan pada bulan November 2020 sebanyak 3.077.112 batang rokok ilegal juga dimusnahkan. Selanjutnya, pada bulan Oktober 2021 sebanyak 5.329.166 batang rokok ilegal dimusnahkan. Dengan demikian, total rokok ilegal yang disita petugas dan dimusnahkan dalam kurun waktu 2019 hingga 29 Oktober 2021 sebanyak 20.099.525 batang rokok. Jumlah ini tergolong sedikit karena berdasarkan pantauan ANTARA di lapangan, hingga kini rokok yang tidak dilekati pita cukai masih beredar di sejumlah pelosok desa dengan sistem penjualan secara tersembunyi. Bupati Pamekasan Baddrut Tamam menyebutkan banyak perusahaan rokok di Pamekasan khususnya dan Madura pada umumnya memiliki potensi bagus dalam pengembangan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Namun, lanjut dia, yang menjadi kendala adalah belum semua produsen rokok mengurus izin usaha dan izin operasional perusahaan sehingga ke depan perlu pendekatan persuasif dengan cara memberikan penyadaran kepada para pelaku usaha tentang manfaat berusaha melalui jalur resmi. "Makanya, kami juga meminta kepada Bea Cukai agar pendekatannya bukan pendekatan 'gempur', melainkan pendekataan kemanusiaan melalui upaya memberikan pemahaman yang benar kepada para pelaku usaha ini," kata Bupati. Disebutkan pula bahwa perusahaan rokok yang tersebar di empat kabupaten di Pulau Madura yang terdata di Kantor Bea dan Cukai Madura saat ini sebanyak 90-an perusahaan rokok. Dari jumlah itu, sekitar 70 perusahaan berada di Kabupaten Pamekasan. Menurut dia, jumlah tersebut menurun drastis karena pada tahun 2009 Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) mendata jumlah perusahaan rokok sebanyak 272 perusahaan yang tersebar di 13 kecamatan di wilayah itu. (mth)

Polda Sulsel Kesulitan Panggil Ibu Anak Korban Rudupaksa di Lutim

Makassar, FNN - Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol E Zulpan menyatakan kesulitan menemui sekaligus memanggil RA, ibu anak korban kasus rudupaksa diduga oleh ayahnya, untuk diambil keterangan tambahan berkaitan dengan pelaporan atas kasusnya di Kabupaten Luwu Timur. "Sekarang ibu RA dan tiga anak korban, kesulitan hadirkan. Kami harap dia hadir dan beri keterangan tambahan yang sangat berguna bagi penyidik meningkatkan penyelidikan dan penyidikan kasus ini lebih lanjut," kata Zulpan di Makassar, Kamis. Menurut dia, RA belum pernah menghadiri panggilan penyidik, bahkan tim telah berusaha menemui baik di rumahnya maupun di kantor instansi pemerintah Pemda Luwu bekerja sebagai ASN, bahkan informasi yang diperoleh yang bersangkutan telah mengajukan cuti Kendati demikian, untuk perkembangan kasus tersebut, kata perwira menengah Polri itu, penyidik Polres Luwu Timur telah memanggil pelapor RA dan tante anak korban guna pengembangan informasi berkaitan penanganan kasus tersebut. Hanya saja, tante anak korban menyatakan siap hadir. "Dengan adanya tante anak korban ini akan sedikit membantu. Diharapkan bisa berikan info lebih banyak untuk penyidik mengali keterangan lain yang dibutuhkan," katanya. Namun demikian, kasus ini tentunya mendapat perhatian serius dari Mabes Polri karena sementara dilakukan asesmen termasuk mencari informasi tambahan atas kasus itu. Sejauh ini, tim kepolisian tetap fokus melaksanakan penyelidikan sesuai temuan baru adanya hasil visum dari Rumah Sakit PT Vale, melalui dokter Imelda yang mengatakan ada peradangan pada bagian alat kelamin anak korban. "Itu kita mau gali. Makanya, kita butuh kehadiran ketiga anak ini. Rekomendasi dokter seperti itu, untuk diperiksa lagi oleh dokter spesialis kandungan," paparnya. Saat ditanyakan bagaimana dengan penanganan laporan balik terlapor dalam hal ini ayah anak tiga korban terduga melakukan rudupaksa berinisial SF, kata dia, sudah diambil keterangannya di Polda Sulsel. "Kemarin sudah diambil keterangan pihak Polda, masih keterangan sementara. Intinya, semua warga punya kedudukan yang sama di mata hukum. Boleh melapor, nanti laporan mana benar tergantung perkembangan penyelidikan oleh penyidik di lapangan," ujar Zulpan. Disinggung dengan pelaporan SF tersebut melabrak aturan mengacu pada Undang-undang nomor 31 tahun 2014 pada poin 10, pelapor, saksi korban tidak dapat digugat pidana dan perdata saat sedang berhadapan dengan hukum sesuai saran dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), Zulpan malah meminta awak media bertanya balik ke LPSK. Sebelumnya, kasus ini kembali mengemuka ke publik dan viral pada awal Oktober 2021, atas tulisan Eko Rusdianto dimuat di website project mutaluli.org yang menjadi produk jurnalistik dengan memberi ruang keluhan ibu korban RA atas dihentikannya kasus pencabulan disertai pemerkosaan ketiga anaknya pada 10 Desember 2019 di Polres Luwu Timur oleh SF. (mth)