HUKUM

Presiden Diminta Tidak Melantik Anggota BPK Nyoman Adhi Suryanyadna Selama Masih Bersengketa di PTUN

Jakarta, FNN - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melakukan gugatan atas pemilihan anggota BPK yang melanggar hukum ke PTUN. Oleh karena itu Boyamin Saiman, Koordinator MAKI meminta Presiden RI tidak melantik calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Nyoman Adhi Suryanyadna kelama masih menjalani sengketa di PTUN.. Rilis yang diterima FNN, hari ini, disebutkan bahwa Selasa tgl 19 Oktober 2021, pukul 10.30 WIB, di PTUN Jakarta, jalan Pemuda No 66, Rawamangun, Jaktim akan dilangsungkan sidang kedua (Perbaikan) atas gugatan MAKI lawan Ketua DPR dalam sengkarut tidak sahnya pemilihan anggota BPK karena tidak memenuhi syarat pasal 13 huruf J Undang-Undang tentang BPK. Gugatan ini terdaftar nomor perkara : 232/G/2021/PTUN.Jkt. Sebagaimana diketahui , DPR telah memilih Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai calon anggota BPK dan berkasnya sudah diajukan kepada Presiden untuk dilakukan pelantikan. Gugatan ini sekaligus untuk meminta Presiden RI tidak melantik Nyoman Adhi Suryanyadna selama masih terdapat gugatan di PTUN. Presiden harus menunggu putusan gugatan ini hingga memiliki kekuatan hukum tetap menunggu hingga proses Banding dan Kasasi. Permintaan tidak melantik ini sebagai bentuk penghormatan atas proses hukum yang sedang berjalan. Presiden semestinya menjadi tauladan menghormati dan patuh atas proses hukum sebagai konsekuensi negara hukum yang digariskan UUD 1945. Sebelumya Hakim PTUN Jakarta menetapkan tidak menerima gugatan dikarenakan Penggugat MAKI dan LP3HI belum secara resmi mengajukan keberatan kepada Ketua DPR terkait seleksi calon Anggota BPK yang tidak memenuhi syarat. MAKI dan LP3HI telah melengkapi kekurangan tersebut berupa telah mengirimkan surat keberatan ( tanda terima surat keberatan jadi lampiran rilis ini ) kepada Ketua DPR dan selanjutnya MAKI dan LP3HI telah mendaftarkan kembali gugatan kepada PTUN. Materi gugatan sama dengan sebelumnya ditambah dilengkapi lampiran surat keberatan . Gugatan ini melawan Ketua DPR dalam hal hasil seleksi calon pimpinan BPK yang diduga tidak memenuhi syarat. Ketua DPR Puan Maharani telah menerbitkan Surat Ketua Dewan Perwakilam Rakyat Republik Indonesia nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada Pimpinan DPD RI tentang Penyampaian Nama-Nama Calon Anggota BPK RI berisi 16 orang. Dari 16 orang tersebut terdapat 2 (dua) orang calon Anggota BPK yang diduga tidak memenuhi persyaratan yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin. Berdasarkan CV Nyoman Adhi Suryadnyana, pada periode 3-10-2017 sampai 20-12-2019 yang bersangkutan adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III), yang notabene adalah pengelola keuangan negara (Kuasa Pengguna Anggaran / KPA ). Sedangkan Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang notabene merupakan jabatan KPA dalam arti yang bersangkutan bahkan masih menyandang jabatan KPAnya. Kedua orang tersebut harusnya tidak lolos seleksi karena bertentangan dengan Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang mengatur : untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Ketentuan pengaturan ini mengandung makna bahwa seorang Calon Anggota BPK dapat dipilih untuk menjadi Anggota BPK, apabila Calon Anggota BPK tersebut telah meninggalkan jabatan (tidak menjabat) di lingkungan pengelola keuangan negara paling singkat 2 tahun terhitung sejak pengajuan sebagai Calon Anggota BPK. Bahwa pemaknaan terhadap Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 juga disampaikan juga oleh Mahkamah Agung (MA) dalam suratnya nomor 118/KMA/IX/2009 tanggal 24 September 2009 berpendapat bahwa Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 menentukan bahwa calon Anggota BPK telah meninggalkan jabatan di lingkungan Pengelola Keuangan Negara selama 2 (dua) tahun. Atas dugaan tidak memenuhi persyaratan tersebut, MAKI dan LP3HI telah mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Gugatan ini bertujuan membatalkan surat tersebut dan termasuk membatalkan hasil seleksi calon anggota BPK yang tidak memenuhi persayaratan dari kedua orang tersebut. MAKI merasa perlu mengawal DPR untuk mendapatkan calon anggota BPK yang baik dan integritas tinggi termasuk tidak boleh meloloskan calon yang diduga tidak memenuhi persyaratan. Jika kedua orang ini tetap diloloskan dan dilantik dengan Surat Keputusan Presiden, MAKI juga akan gugat PTUN atas SK Presiden tersebut. (sws)

Kejati Periksa Intensif Dua Anggota DPRD Saksi Kasus Masjid Sriwijaya

Palembang, FNN - Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan memeriksa intensif dua orang mantan anggota DPRD provinsi ini sebagai saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang, Senin. Dua anggota DPRD tersebut, yakni Yansuri Wakil Ketua DPRD Sumsel 2014-2019 dan M. F. Ridho Ketua Komisi lll DPRD Sumatera Selatan 2014-2019. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Khaidirman di Palembang mengatakan, masing-masing saksi diperiksa oleh penyidik secara bergantian dengan jumlah lebih kurang 32 pertanyaan di ruang Lantai Enam Gedung Kejaksaan Tinggi selama enam jam. “Salah satu poin pertanyaan dalam pemeriksaan ini seputar kelengkapan administrasi pembangunan masjid seperti proposal dana hibah,” kata dia. Menurutnya, keterangan dari saksi tersebut dibutuhkan untuk melengkapi berkas perkara atas enam tersangka masing-masing Muddai Madang, Laoma L Tobing, Loka Sangganegara, Akhmad Najib, Agustinus Antoni, dan Alex Noerdin. “Tentu penyidik memiliki penilaian sendiri. Sementara itu yang bisa disampaikan,” ujarnya. Dalam kesempatan in seharusnya, lanjut dia, ada lima orang saksi yang diminta untuk hadir, antara lain, Agus Sutikno Komisi III DPRD Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014-2019, Chairul S. Matdiah Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014-2019, dan Mantan Direktur Utama PT Brantas Abipraya (Persero) Bambang E Marsono. Namun sampai saat ini dua orang saksi tidak hadir tanpa keterangan dan satu orang saksi tidak hadir dengan alasan sakit. Saksi Yansuri mengatakan ada banyak pertanyaan yang disampaikan oleh penyidik kepada mereka, salah satunya terkait legalitas proposal. Seperti diketahui dalam pembangunan Masjid Raya Sriwijaya tersebut pihak pertama, yakni pemerintah dan pihak kedua Yayasan Wakaf Masjid tidak melampirkan proposal dalam rapat badan anggaran di DPRD Sumatera Selatan. “Lebih jelasnya nanti tanyakan saja dengan penyidik. Poinnya kapasitas kami ditanyakan seputar administrasi,” tandasnya. (mth)

Seorang Pengacara Terjaring Razia yang Digelar BNNK Banyumas

Purwokerto, FNN - Seorang pengacara terjaring razia yang digelar Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Banyumas bersama instansi terkait lainnya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. "Dalam kegiatan deteksi dini penyalahgunaan narkoba yang dilaksanakan hari ini , kami mendatangi sejumlah rumah kos di Kelurahan Purwokerto Kidul dan Kelurahan Bancarkembar," kata Subkordinator Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNNK Banyumas Wicky Sri Erlangga Adityas usai razia di Purwokerto, Senin. Ia mengatakan secara keseluruhan tercatat sebanyak 61 penghuni rumah kos yang menjalani pemeriksaan urine dalam kegiatan deteksi dini tersebut, 43 orang di antaranya perempuan dan 18 orang laki-laki. "Tes urine telah dilakukan sesuai SE/8/VI/DE/PM/00/2020/BNN yang mana petugas pendaftaran dan penerimaan urine menggunakan APD (alat pelindung diri), dengan didukung oleh Bakesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik) Kabupaten Banyumas dalam penyediaan testkit-nya. Tes urine menggunakan alat tes uji 6 parameter (Amp, Thc, Mop Coc, Met, Bzo)," katanya menjelaskan. Dari hasil pemeriksaan urine tersebut, kata dia, sebanyak 58 orang dinyatakan negatif dari penyalahgunaan narkoba. Sementara dua orang lainnya, lanjut dia, diketahui positif benzo (Bzo) serta satu orang positif Bzo, amphetamine (Amp), dan metamphetamine (Met atau sabu-sabu). "Satu orang yang positif Bzo, Amp, dan Met ini diketahui merupakan seorang penasihat hukum atau pengacara yang juga ketua salah satu organisasi pemuda di Kabupaten Banyumas. Untuk sementara, kami belum menemukan barang bukti sabu-sabu," katanya. Menurut dia, pihaknya akan melakukan asesmen lebih lanjut terhadap yang bersangkutan termasuk dua orang yang positif Bzo. Kendati demikian, dia mengatakan asesmen terhadap oknum pengacara tersebut akan dilakukan setelah yang bersangkutan menghadiri sidang di pengadilan. "Yang bersangkutan minta izin kepada kami karena ada jadwal sidang di pengadilan. Setelah sidang, yang bersangkutan akan menjalani asesmen," katanya. Lebih lanjut, Wicky mengatakan kegiatan deteksi dini penyalahgunaan narkoba tersebut terselenggara atas kerja sama BNNK Banyumas dengan Detasemen Polisi Militer IV/1 Purwokerto, Propam Polresta Banyumas, dan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Banyumas. Ia mengakui kegiatan razia sebagai upaya deteksi dini penyalahgunaan narkoba sempat terhenti akibat adanya pandemi COVID-19 namun sejak kasus penularan virus corona tersebut menunjukkan tren penurunan, pihaknya kembali menggiatkannya kembali. "Pengedar dan penyalah guna obat-obatan terlarang memang tidak mengenal COVID-19, jadi kami akan terus menggencarkan razia ini," kata Wicky. (mth)

KPK Amankan Rp1,7 Miliar Terkait OTT Bupati Musi Banyuasin

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan uang sekitar Rp1,7 miliar terkait operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin (DRA) dan kawan-kawan. KPK telah menetapkan Dodi bersama tiga orang lainnya dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Tahun Anggaran 2021. "Dari kegiatan ini, tim KPK selain mengamankan uang sejumlah Rp270 juta, juga turut diamankan uang yang ada pada MRD (Mursyid/ajudan bupati) Rp1,5 miliar," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu. Tiga tersangka lainnya, yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Musi Banyuasin Herman Mayori (HM), Kabid Sumber Daya Air (SDA)/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Eddi Umari (EU), dan Direktur PT Selaras Simpati Nusantara Suhandy (SH). Dalam kegiatan tangkap tangan pada Jumat (15/10) sekitar pukul 11.30 WIB, Tim KPK telah menangkap enam orang di wilayah Musi Banyuasin dan sekitar pukul 20.00 WIB, Tim KPK juga mengamankan dua orang di wilayah Jakarta. Enam orang tersebut, yakni Dodi Reza Alex Noerdin, Herman Mayori, Eddi Umari, Suhandy, Kabid Preservasi Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Irfan (IF), Mursyid (MRD) selaku ajudan bupati, Badruzzaman (BRZ) selaku staf ahli bupati, dan Kabid Pembangunan Jalan dan Jembatan Ach Fadly (AF). Dalam kronologi tangkap tangan, Alex menjelaskan pada Jumat (15/10), Tim KPK menerima informasi akan adanya dugaan penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang disiapkan oleh Suhandy yang nantinya akan diberikan pada Dodi melalui Herman dan Eddi. Selanjutnya, kata dia, dari data transaksi perbankan diperoleh informasi adanya transfer uang yang diduga berasal dari perusahaan milik Suhandy kepada rekening bank milik salah satu keluarga Eddi. "Setelah uang tersebut masuk lalu dilakukan tarik tunai oleh keluarga EU dimaksud untuk kemudian diserahkan kepada EU," ungkap Alex. Eddi lalu menyerahkan uang tersebut kepada Herman untuk diberikan kepada Dodi. "Tim selanjutnya bergerak dan mengamankan HM disalah satu tempat ibadah di Kabupaten Musi Banyuasin dan ditemukan uang sejumlah Rp270 juta dengan dibungkus kantung plastik," tuturnya. Tim KPK, kata Alex, juga mengamankan Eddi dan Suhandy serta pihak terkait lainnya dan dibawa ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan untuk dilakukan permintaan keterangan. "Di lokasi yang berbeda di wilayah Jakarta, Tim KPK kemudian juga mengamankan Dodi di salah satu lobi hotel di Jakarta yang selanjutnya DRA dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk dimintai keterangan," ucap Alex. Atas perbuatannya tersebut, Suhandy selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sedangkan sebagai penerima, Dodi dan kawan-kawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (ant, sws)

KPK Tangkap Bupati Musi Banyuasin

Jakarta, (FNN) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex Noerdin bersama lima orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Muba, Sumatera Selatan, Jumat, 15 Oktober 2021. Penangkapan terkait dugaan suap pengadaan barang dan jasa infrastruktur di wilayah yang dipimpinnya. Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, OTT yang dilakukan KPK tersebut terkait dugaan suap pengadaan barang dan jasa infrastruktur di Kabupaten Muba. "Dalam kegiatan tersebut, tim KPK mengamankan beberapa pihak pejabat di lingkungan Pemkab Muba. Sejauh ini ada sekitar enam orang di antaranya Bupati Muba dan beberapa ASN di lingkungan Pemkab Muba," kata Pelaksana tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu, 16 Oktober 2021. Dodi merupakan anak dari mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Ali mengatakan, tim KPK telah selesai memeriksa pihak-pihak yang telah ditangkap tersebut. "Informasi yang kami peroleh, tim selesai melakukan pemeriksaan beberapa pihak dimaksud di Kejaksaan Tinggi Sumsel. Mereka akan segera dibawa ke Jakarta guna dilakukan pemeriksaan lanjutan. Perkembangannya akan diiinfokan," ucap Ali. Sesuai KUHAP, KPK memiliki waktu 1x24 jam, menentukan status dari para pihak yang ditangkap tersebut. (MD).

KPK Tetapkan Adik Mantan Bupati Lampung Utara Tersangka Gratifikasi

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan Akbar Tandaniria Mangkunegara (ATMN), adik mantan Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara yang notabene aparatur sipil negara, sebagai tersangka kasus penerimaan gratifikasi di Pemerintah Kabupaten Lampung Utara pada tahun 2015—2019. "Dengan telah dilakukannya pengumpulan keterangan dari berbagai pihak serta fakta persidangan dari perkara Agung Ilmu Mangkunegara dilanjutkan dengan penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan pada bulan April 2021," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat. Atas perbuatannya, tersangka Akbar disangkakan melanggar Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 KUHP. Untuk kepentingan penyidikan, kata Karyoto, tim penyidik mehanan tersangka Akbar selama 20 hari pertama terhitung mulai 15 Oktober sampai dengan 3 November 2021 di Rutan KPK Kavling C1 berlokasi di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta. "Dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari sebagai upaya antisipasi penyebaran COVID-19 di dalam lingkungan Rutan KPK," ucap Karyoto. Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua tersangka terkait dengan kasus tersebut, yaitu Agung Ilmu Mangkunegara dan mantan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Utara Syahbudin. Kasus yang menjerat Akbar saat ini merupakan pengembangan dari kasus dua orang tersebut. "Perkara keduanya telah diputus oleh pengadilan tipikor dan telah berkekuatan hukum tetap," ucap Karyoto. (sws, ant)

Komnas HAM: Nama Dosen USK Saiful Mahdi Harus Dipulihkan

Banda Aceh, FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyatakan bahwa nama dosen Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Saiful Mahdi yang telah mendapatkan amnesti harus dipulihkan oleh pihak manapun, termasuk kampus. "Pemulihan nama Saiful Mahdi harus dipulihkan, sebagai pengajar di USK dan juga berbagai aktivitas lainnya," kata Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara, di Banda Aceh, Rabu. Terhadap kasus Saiful Mahdi ini, Komnas HAM memandang bahwa yang bersangkutan memang tidak layak dipidana hanya karena nilai kritisnya terhadap situasi dan persoalan yang terjadi di kampus. Menurut Beka, pemberian amnesti terhadap Saiful Mahdi juga menjadi penanda bahwa tidak ada unsur pidana yang dilakukan oleh dosen MIPA USK Banda Aceh tersebut. "Karena itu saya kira Komnas HAM harus mendorong nama dan hak-hak Saiful Mahdi segera dipulihkan oleh siapapun, termasuk dari USK," ujarnya. Beka juga menuturkan, kasus Saiful Mahdi ini telah memberikan pelajaran terhadap semua pihak bahwa UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sudah sepatutnya direvisi mengingat banyak orang dipenjara akibat peraturan tersebut. Beka meminta kepada Pemerintah dan DPR RI untuk mempercepat proses revisi UU ITE tersebut, supaya kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara sebagai hak konstitusional warga itu terlindungi, serta tidak dikriminalisasi dengan mudah. "Apalagi dalam kasus Saiful Mahdi ini, Komnas HAM sudah dari awal menyatakan pendapat bahwa ini tidak layak dipidanakan," kata Beka Ulung. Seperti diketahui, dosen MIPA USK Unsyiah Saiful Mahdi itu divonis bersalah berdasarkan hasil Kasasi Mahkamah (MA) yang menguatkan putusan PN Banda Aceh, ia harus menjalani hukuman penjara selama tiga bulan dan denda Rp10 juta. Saiful Mahdi dihukum atas kritikannya di grup whatsapp internal USK Banda Aceh terkait hasil seleksi atau tes CPNS dosen Fakultas Teknik kampus tersebut, ia dituntut dengan UU ITE. Lalu, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi dengan memberikan surat ke DPR RI tertanggal 29 September 2021 perihal permintaan pertimbangan atas permohonan amnesti Saiful Mahdi. Melalui rapat paripurna, DPR RI telah mengetuk palu tanda menyetujui pemberian amnesti tersebut, Keppres nya juga telah ditandatangani Presiden Jokowi, dan kini Saiful Mahdi telah dibebaskan dari jeruji besi Lapas Kelas II A Banda Aceh. (ant, sws)

Bea Cukai Kudus Selamatkan Potensi Kerugian Negara Rp7,3 Miliar

Kudus, FNN - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus, Jawa Tengah, berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara dari hasil penindakan selama triwulan kedua 2021 sebesar Rp7,3 miliar. "Adapun nilai barang bukti yang berhasil diamankan sebesar Rp11,1 miliar dari total barang bukti yang diamankan berupa rokok tanpa dilekati pita cukai atau dengan pita cukai diduga palsu sebanyak 10,8 juta batang," kata Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi KPPBC Tipe Madya Kudus Dwi Prasetyo Rini di Kudus, Rabu. Ia mencatat selama triwulan ketiga tahun 2021 berhasil menindak 75 kali kasus pelanggaran pita cukai rokok di berbagai daerah yang menjadi wilayah kerja KPPBC Kudus. Jumlah pengungkapan tersebut masih lebih rendah dibandingkan tahun 80 kasus dengan jumlah barang bukti sebanyak 18,48 juta batang rokok. Dari puluhan kasus pelanggaran pita cukai rokok, terbanyak dari Kabupaten Jepara yang hampir setiap tahun mendominasi temuan kasus. Jumlah penindakan pelanggaran pita cukai rokok tersebut, dipastikan bertambah karena pada bulan Oktober 2021 juga sudah beberapa kali melakukan penindakan rokok ilegal. Adanya penindakan tersebut, diharapkan KPPBC Kudus bisa mencegah rokok ilegal tidak sampai beredar di pasaran, dan potensi kerugian negara yang berupa pungutan cukai dan PPN hasil tembakau dapat diselamatkan. Dalam rangka menyadarkan masyarakat di Kabupaten Jepara agar tidak terlibat dalam peredaran rokok ilegal, pemda setempat juga berupaya mensosialisasikan tentang pemberantasan rokok ilegal bersama dengan KPPBC Kudus. Selain itu, pemda setempat juga berencana membangun kawasan industri hasil tembakau (KIHT) untuk menampung para pengusaha ilegal agar menjadi legal. Bahkan, Pemkab Jepara juga berkomitmen memberikan kemudahan izin bagi pelaku peredaran rokok ilegal yang ingin membuat usaha rokok secara legal. Harapannya hal itu bisa menekan angka kasus peredaran rokok ilegal. (sws)

Kemenkumham Kalbar Dorong Harmonisasi Raperda Kabupaten Sekadau

Pontianak, FNN - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Barat melalui Bidang Hukum mendorong dan melakukan koordinasi harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) di Kabupaten Sekadau, Selasa. Kepala Bidang Hukum Kanwil Kemenkumham Kalbar, Edy Gunawan di Sekadau, mengatakan bahwa koordinasi itu dilaksanakan dalam rangka mendorong kerja sama pihaknya dengan DPRD Sekadau dalam fasilitasi pembentukan produk hukum daerah. "Selain itu juga mendorong Badan pembentukan peraturan daerah (Bapemperda) untuk mengharmonisasikan Raperda Inisiatif DPRD ke Kanwil Kemenkumham Kalbar, sebelum dilakukan pembahasan dengan eksekutif," katanya. Tim Kanwil Kemenkumham Kalbar dipimpin Kepala Bidang Hukum, Edy Gunawan didampingi Kasubbid Fasilitasi Pembentukan Produk Hukum Daerah Kanwil Menkumham Kalbar Dini Nursilawati berkoordinasi dengan DPRD Kabupaten Sekadau. Tim tersebut disambut Sekretaris DPRD Kabupaten Sekadau, Sapto Utomo, Kabag Hukum dan Persidangan Zulkifli serta anggota Bapemperda DPRD Kabupaten Sekadau Bambang Setiawan. Dia menambahkan, anggota Bapemperda DPRD Kabupaten Sekadau menyambut baik kehadiran pihaknya dan berharap ke depan dapat meningkatkan kerja sama dalam pembentukan produk hukum daerah yang dapat dilaksanakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, tim juga bertemu Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sekadau yang disambut oleh Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Sekadau, Radius dan Plt Kasubbag Perundang-undangan Etna. Kabag Hukum Sekda Kabupaten Sekadau, Radius menyampaikan bahwa untuk program pembentukan perda tahun 2021 direncanakan sebanyak 12 raperda, dimana delapan raperda sudah diharmonisasikan ke Kanwil Menkumham Kalbar pada tahun 2020 dan sudah disetujui bersama antara eksekutif dan legislatif. "Sedangkan sisanya empat raperda sedang dievaluasi apakah akan dibahas tahun ini atau ditunda," katanya. Dia menyatakan, diperkirakan yang akan dilanjutkan adalah Raperda tentang RPJMD tahun 2021-2025, sedangkan tiga lainnya yaitu Raperda Wajib Belajar 9 Tahun, Pendidikan PAUD dan pemajuan Kebudayaan akan dibahas di tahun 2022. Selain itu Radius juga menyampaikan masih banyaknya perangkat daerah yang kurang memahami proses pengajuan rancangan peraturan daerah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar lagi. (sws)

Kejari Jambi Terima Tersangka Penggelapan Data Pertamina EP Jambi

Jambi, FNN - Kejaksaan Negeri (Kejari) Jambi menerima pelimpahan berkas perkara dan lima tersangka kasus penipuan atau penggelapan data laporan kerja sama pengeboran minyak oleh rekanan dengan anak perusahaan Pertamina yakni Pertamina EP Jambi, dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus itu kerugian mencapai Rp6 miliar lebih selama tujuh tahun. Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Jambi Irwan S, di Jambi, Rabu, mengatakan hari ini jaksa penuntut umum menerima pelimpahan berkas perkara dan tersangka dari penyidik Kejagung atas kasus penipuan atau penggelapan data kerja sama antara rekanan dengan Pertamina EP Jambi, dan lima tersangka langsung ditahan untuk proses persidangan di pengadilan. "Hari ini kami menerima pelimpahan tahap dua dari penyidik Kejagung untuk empat berkas perkara dengan lima orang tersangka B, RB, AS, DBF dan S atas kasus penggelapan, pemalsuan surat di sebuah anak perusahaan Pertamina yaitu Pertamina EP Jambi," kata Irwan. Kelima tersangka oleh Jaksa Penuntut Kejari Jambi ditahan dengan dititipkan ke sel tahanan Polresta Jambi guna proses pelimpahan ke pengadilan dalam proses persidangan nanti. Kasus ini terjadi dari 2011-2018 dengan modus operandinya, para pelaku sebagai rekanan Pertamina EP Jambi melakukan kerja sama dalam bentuk pengeboran atau pengolahan minyak mentah secara fiktif yang hasil kerjanya dibebankan pembayarannya dengan anak usaha Pertamina ini. Irwan menjelaskan, dia memang ada kerja sama dan ada kontrak antara Pertamina dan para kontraktor tersebut, dan ke belakang ini akhirnya mereka memanipulasi data yang seharusnya misalnya hari ini bisa mendapat berapa barel minyak hasil pengeboran dilaporkannya tidak sesuai atau dikurangi. "Dan bahkan ada beberapa titik lokasi yang bulan-bulan tertentu tidak ada pengeboran, malah dibilang ada pengeboran, tetapi beban anggaran beban pembayarannya tetap ditagihkan ke Pertamina." kata Irwan S. Namun pada akhirnya 2015 , anak usaha Pertamina itu, Pertamina EP Jambi melakukan investigasi internal yang didapatkan ketidaksinkronan data yang disebabkan oleh perbuatan kelima tersangka sebagai perusahaan rekanan yang melakukan pengeboran minyak tersebut di Jambi. Perusahaan yang mengadakan kontrak dengan Pertamina itu adalah PT Westreng Petroleum kemudian PT Gorindo yang mengadakan kontrak dengan Pertamina, untuk bekerjasama dalam bidang pengeboran di Jambi selama beberapa tahun, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Atas perbuatannya para tersangka dikenakan Pasal 263 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP tentang pemalsuan dokumen itu, dengan alternatif yang kedua para tersangka disangkakan Pasal 263 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP tentang penggelapan dan pasal 378, Pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara. (sws)