HUKUM

Moeldoko Kirim Somasi Ketiga kepada ICW

Jakarta, FNN - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengirimkan surat somasi ketiga kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) agar dalam waktu 5 x 24 jam menunjukkan bukti-bukti tuduhan keterlibatan mengambil keuntungan dari peredaran obat Ivermectin dan ekspor beras. "Kami berunding dengan Pak Moeldoko, ya, sudah kalau orang salah siapa tahu mau berubah. Kami berikan kesempatan sekali lagi, kesempatan terakhir kepada saudara Egi, surat teguran ketiga dan terakhir. Kami tegas katakan kami berikan 5 x 24 jam untuk mencabut pernyataan dan minta maaf kepada Pak Moeldoko," kata penasihat hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat. Somasi pertama Moeldoko dilayangkan pada tanggal 30 Juli 2021, kemudian somasi kedua pada tanggal 6 Agustus 2021. Dalam kedua somasi tersebut, Otto meminta peneliti ICW Egi Primayogha memberikan bukti-bukti dari mengenai pernyataan soal Moeldoko mengambil rente dari peredaran Ivermectin serta menggunakan jabatannya untuk melakukan ekspor beras. "Apabila tidak mencabut dan meminta maaf, saya nyatakan dengan tegas bahwa kami sebagai penasihat hukum akan melapor ke polisi," kata Otto. Otto menyebut Moeldoko sudah memberikan waktu yang cukup kepada ICW untuk menjawab somasi pertama dan kedua. Akan tetapi, dia merasa tidak puas dengan surat jawaban ICW. Ia menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk berlindung di balik demokrasi tetapi mencemarkan nama orang lain. "Jadi, kalau sampai tidak minta maaf, kami akan lapor kepada yang berwajib, ke kepolisian. Mudah-mudahan Pak Moeldoko sendiri yang akan melapor ke kepolisian," kata Otto. Menurut Otto, Egi Primayogha tidak membalas somasi Moeldoko, tetapi yang membalas somasi adalah Koordinator ICW Adnan Topan Husodo. "Di surat dia disebut sebagai Koordinator ICW saja, bukan kuasa hukum saudara Egi, padahal yang tegas yang memberikan menyampaikan siaran pers dan diskusi publik adalah Egi sendiri dan temannya, jadi perbuatan pidana itu tidak bisa dipindahkan kepada orang lain," ujar Otto. Dalam surat balasan ICW tersebut, Otto menilai ICW tidak dapat membuktikan analisis mengenai dugaan keterlibatan Moeldoko dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras. "Balasan mereka benar-benar melakukan fitnah dan pencemaran nama baik karena mereka mengatakan melakukan penelitian sebelum mengungkap ke media," katanya. Dalam balasan surat, lanjut dia, ternyata bila dilihat metodologinya tidak ada interview, hanya mengumpulkan data sekunder. Dengan demikian, ini bukan penelitian karena ICW hanya membuat analisis dengan menggabung-gabungkan cerita yang ada di media. Isi lain surat balasan ICW itu, ungkap Otto, adalah ICW mengakui adanya misinformasi. "Kalau mereka misinformasi, lalu melontarkan di media massa, sepatutnya mereka meralat atau mencabut pernyataan semula karena sudah merugikan Pak Moel, nama baik sudah telanjur tercemar, tidak bisa entengnya mengatakan misinformasi lalu selesai, harus tegas mencabut dan memulihkan nama Pak Moeldoko," kata Otto. Dalam konferensi pers ICW pada tanggal 22 Juli 2021 disebutkan bahwa Moeldoko dalam jabatannya sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) punya hubungan dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa, yaitu mengadakan program pelatihan petani di Thailand. Perseroan Terbatas (PT) Noorpay sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara sebagai Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin yang disebut-sebut sebagai salah satu obat COVID-19. Jejaring itu diduga mencari keuntungan di tengah krisis pandemi lewat relasi politik, apalagi putri Moeldoko, Joanina Rachman, adalah pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa. ICW juga mengungkapkan pada awal Juni 2021, Ivermectin didistribusikan oleh PT Harsen ke Kabupaten Kudus melalui HKTI. (mth)

Aspek Kemandirian Penting Dalam Proses Peradilan

Jakarta, FNN - Ketua Mahkamah Agung (MA) M Syarifuddin menekankan pentingnya aspek kemandirian dalam proses penyelenggaraan peradilan di Tanah Air bagi seluruh individu yang berada di bawah naungan lembaga itu. "Karena dalam menegakkan keadilan, kemandirianlah yang menjadi jantung sekaligus sebagai detak nadinya," katanya pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-76 MA yang dikutip dari laman resmi lebaga itu, di Jakarta, Kamis, 19 Agustus 2021. Kemandirian, lanjutnya, bukan saja dijaga dengan baik melainkan harus dijunjung tinggi oleh setiap individu sebagai marwah dan kehormatan lembaga peradilan. Tanpa dibekali dengan kemandirian, mustahil keadilan dapat terwujud. Proses penegakan hukum juga akan kehilangan rohnya. "Pada akhirnya, lembaga peradilan hanya menjadi alat pemuas bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan," katanya. Terkait situasi pandemi Covid-19 saat ini, Ketua MA terus mengingatkan jajarannya agar tidak pernah surut bekerja melayani masyarakat. Selain itu, semua pihak juga dituntut melakukan perubahan yang positif. "Mulailah dengan perubahan yang kecil untuk mewujudkan sebuah cita-cita yang besar," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara. Peringatan HUT MA Ke-76 mengusung tema "Memantapkan Kemandirian Badan Peradilan Melalui Pelayanan Hukum Berbasis Teknologi Informasi Pada Masa Pandemi". Upacara peringatan HUT MA dipimpin oleh M. Syarifuddin. Biasanya, upacara diikuti langsung oleh seluruh pimpinan, Hakim Agung, Hakim Ad Hoc, pejabat eselon satu hingga empat, pejabat fungsional dan seluruh pegawai. Namun, tahun ini, untuk kedua kalinya upacara HUT MA dilangsungkan dalam situasi pandemi Covid-19 sehingga berlangsung sederhana, hanya diikuti oleh jajaran pimpinan dan pejabat eselon satu. Sedangkan yang lainnya termasuk para insan peradilan di seluruh Indonesia mengikuti upacara secara virtual. (MD).

Besok PTUN Jakarta Gelar Sidang Gugatan Terhadap Puan Maharani

Jakarta, FNN - HARI ini, Rabu tanggal 18 Agustus 2021, PTUN Jakarta melalui sistem e court (online internet) telah memanggil Kuasa Hukum MAKI dan LP3HI untuk menghadiri sidang perdana dengan agenda Dismisal perkara gugatan di PTUN Jakarta dengan register perkara nomor 191/G/2021/PTUN Jakarta. Persidangan perdana akan dilaksanakan besok pada tanggal 19 Agustus 2021 jam 10.00 WIB. Demikian rilis yang diterima redaksi FNN, Rabu (18/08/21). "Kami sangat menantikan kehadiran Arteria Dahlan (anggota DPR RI) yang sebelumnya telah menyatakan akan hadir pada persidangan PTUN dalam perkara ini," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. Gugatan ini melawan Ketua DPR dalam hal hasil seleksi calon pimpinan BPK yang diduga dua calon tidak memenuhi syarat. Obyek gugatan adalah KETUA DPR Ibu Puan Maharani telah menerbitkan Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada Pimpinan DPD RI tentang Penyampaian Nama-Nama Calon Anggota BPK RI berisi 16 orang. Dari 16 orang tersebut terdapat 2 (dua) orang calon Anggota BPK yang diduga tidak memenuhi persyaratan yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin. Berdasarkan CV Nyoman Adhi Suryadnyana, pada periode 3-10-2017 sampai 20-12-2019 yang bersangkutan adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III), yang notabene adalah pengelola keuangan negara (Kuasa Pengguna Anggaran / KPA ). Sedangkan Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang notabene merupakan jabatan KPA dalam arti yang bersangkutan bahkan masih menyandang jabatan KPAnya. Kedua orang tersebut harusnya tidak lolos seleksi karena bertentangan dengan Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang mengatur : untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Ketentuan pengaturan ini mengandung makna bahwa seorang Calon Anggota BPK dapat dipilih untuk menjadi Anggota BPK, apabila Calon Anggota BPK tersebut telah meninggalkan jabatan (tidak menjabat) di lingkungan pengelola keuangan negara paling singkat 2 tahun terhitung sejak pengajuan sebagai Calon Anggota BPK. Bahwa pemaknaan terhadap Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 juga disampaikan juga oleh Mahkamah Agung (MA) dalam suratnya nomor 118/KMA/IX/2009 tanggal 24 September 2009 berpendapat bahwa Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 menentukan bahwa calon Anggota BPK telah meninggalkan jabatan di lingkungan Pengelola Keuangan Negara selama 2 (dua) tahun. Atas dugaan tidak memenuhi persyaratan tersebut, MAKI dan LP3HI telah mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta sebagaimana draft terlampir. Gugatan ini bertujuan membatalkan surat tersebut dan termasuk membatalkan hasil seleksi calon anggota BPK yang tidak memenuhi persyaratan dari kedua orang tersebut. MAKI merasa perlu mengawal DPR untuk mendapatkan calon anggota BPK yang baik dan integritas tinggi termasuk tidak boleh meloloskan calon yang diduga tidak memenuhi persyaratan. Jika kedua orang ini tetap diloloskan dan dilantik dengan Surat Keputusan Presiden, MAKI juga akan gugat PTUN atas SK Presiden tersebut.

Negara Harus Bebaskan Korban Rasisme Viktor Yeimo

by Marthen Goo Jayapura FNN - Dengan menangkap korban rasialisme dan kemudian mencari delik untuk memaksakan korban tetap ditangkap tersebut hanya sebagai upaya meredam dan membelokan kasus rasisme seakan kasus kriminal, tentu secara subtansial juga adalah kejahatan rasisme. Yang semakin berbahaya adalah ketika kejahatan rasisme dipakai melalui alat paksa yakni hukum untuk memukul mundur korban rasisme mencari kebenaran dan keadilan. Natalius Pigai, Tokoh Nasional asal Papua, men-tweet, “otak-otak penggerak demo anti rasisme Jawa sudah diadili di pengadilan. Viktor Yeimo hanya orasi saat demo. Sedari awal aparat telah mempertontonkan pernyataan kebencian pada pribadi viktor. Para pembela HAM nasional & internasional sedang pantau”. Tentu akan sangat berbahaya jika penegakan hukum lebih pada menyasar individu orang karena rasa tidak suka atau karena kebencian. Mestinya aspek hukum harus menjadi dasar, karena hukum selalu bebas dari kepentingan dan kebencian apapun. Hukum selalu soal keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Korban rasisme harus diberikan ruang untuk mencari keadilan, bukan dicari-cari delik untuk dikriminalisasi (tontonan buruk). Tidak boleh juga memiliki niat, tahan dulu, soal nanti cari keadilan biar pengadilan yang putuskan. Itu sudah ada Menstrea. Cara pandang begitu adalah cara pandang yang buruk, karena hukum itu harus jelas, terukur dan professional. Apalagi korban selama dalam tahanan hak-haknya tidak dipenuhi. Membedah Secara Singkat Jika merujuk pada AntaraNews.Com, terbitan 9 Mei 2021, pasal-pasal yang dipakai untuk menangkap Viktor adalah pasal 106 Jo Pasal 87; Pasal 110 KUHP; pasal 14 ayat (1), (2) dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana; pasal 66 UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta lagu kebangsaan; pasal 160 KUHP; pasal 187 KUHP; pasal 365 KUHP; 170 KUHP ayat (1); pasal 2 UU Darurat No 12 Tahun 1951 Jo pasal 64 KUHP. Jika kita membedah pasal-pasal di atas yang dikenakan kepada VY, sangat tidak relevan. Ketidak relevannya adalah jika merujuk pada SuaraPapua.com terbitan 23 Mei 2021, VY hanya ikut dan turut melakukan aksi pada 19 Agustus 2019 di halaman kantor Gubernur Papua, dan tidak pernah terlibat dalam aksi lanjutan 29 Agustus 2019. Sementara yang disangkakan adalah 29 Agustus 2019. Atau, kita bisa mengambil salah satu contoh pasal dari sekian banyak pasal, yakni yang menyangkut pada pasal makar. Pasal makar seperti pada pasal yang dimaksud baik pada pasal 106 Jo pasal 87 ataupun pasal 110 secara subtansial memiliki batasan yang ketat bahwa makar itu harus bersifat melawan negara dengan kekerasan atau dengan kekuatan bersenjata. Sementara pasal 87 yang diarahkan pada pasal 53 soal percobaan, percobaan dalam pengertian makar harus dilihat apakah memiliki kekuatan senjata atau tidak. Faktanya tidak ada. Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”. Sehingga, subjek hukum yang dapat atau berpotensi melakukan perbuatan makar adalah subjek hukum yang memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap makar yang dikenakan sesungguhnya tidak tepat. Ini salah satu contoh pasal yang secara subtansial tidak sangat relevan dengan keberadaan VY sebagai massa aksi tapi juga sebagai orator saat itu, karena orasi tidak bisa disebutkan sebagai perbuatan makar. Berikut, pasal 14 dan 15 UU No. 1 Thn 1946, secara subtansial menjelaskan tentang menyiarkan berita atau menyampaikan berita bohong dan lainnya yang dapat menimbulkan keonaran, itu pasal yang sangat tidak relevan dikarenakan aksi lawan rasisme itu aksi semua orang Papua. ini menyangkut martabat manusia kulit hitam di dunia. Berita bohong harus dilihat adalah antara kenyataan dan yang disampaikan berbeda. Menurut Gustav Kawer, pengacara senior asal Papua, “VY disangka dengan tuduhan berlapis sekitar 12 Pasal yang ancaman hukumannya ada yang berkisar seumur hidup dan paling lama 20 Tahun, untuk peristiwa rasis 16 Agustus 2019 yang pelakunya hanya di vonis 7 bulan penjara dan pelaku lainnya bebas tanpa proses hukum dari negara”. Ko korban rasis disangkakan sampai begitu sementara pelakus rasis hanya divonis 7 bulan, bahkan yang lain bebas tanpa proses hukum? Gustav menambahkan, “VY di proses hukum di polisi memakan waktu yang cukup lama, 3 bulan lebih untuk sebuah kasus yang katanya oleh, "penyidik', yang bersangkutan buron untuk kasus 2019, jika Buron dan kasus lama seharus proses hukum kini sudah sampai di Pengadilan karena buktinya cukup”. Dua hal yang penting dikritisi adalah (1) buronan tapi proses hukum belum ke pengadilan dan (2) sekitar 12 pasal berlapis terkesan seakan dalam satu peristiwa terjadi banyak kasus pidana. Terhadap pasal-pasal yang dikenakan di atas, harus bisa dijelaskan pada publik relevansinya. Jika relevansinya tidak dijelaskan pada publik, sementara prosesnya sudah makan waktu lebih dari 3 bulan, sesungguhnya memberikan pertanyaan kritis, ada apa? Bukannya buronan seperti yang dimaksud itu didasari pada dua alat bukti ? kenapa proses begitu lama ? Publik butuh kejelasan. Profesionalisme harus ditunjukan. Dibebaskan Demi Hukum Hukum pidana bicara soal perbuatan individu orang, maka, VY tidak terlihat memiliki perbuatan melawan hukum, tidak memilik perbuatan pidana dalam mengekspresikan perlawanan rasisme. VY adalah korban rasisme. Bahkan dalam aksi yang dilakukan, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan. VY tidak melakukan kekerasan, tidak mengibarkan bendera dll, tidak melakukan penghasutan dan lainnya (aksi 19/8/2019). Artinya bahwa, dari tuduhan yang dibebankan pada VY tanpa ia melakukan hal-hal yang dituduhkan, tentu dalam perspektif hukum sangat berbahaya, penegak hukum diberikan kewenangan untuk professional dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jika merujuk pada kronologis kasus, menjadi pertanyaan serius soal relevansinya pada setiap pasal adalah (apa ?), apalagi banyak pasal yang bisa dikritisi. Secara subtansial, VY sudah membantu kepolisian dan negara untuk melawan rasisme. Mestinya VY diberikan penghargaan dan diberikan gelar sebagai pahlawan pelawan rasisme. Karena Pidana selalu bicara pada ruang “Tempus Delicti dan Locus Delicti” yaitu pada tanggal 19 Agustus 2019 dan VY tidak melakukan pidana, tapi melakukan kerja kepahlawanan dalam berantas rasisme, disaksikan oleh seluruh rakyat Papua. Atas prinsip kesamaan di depan hukum dan kepastian hukum dari perspektif pidana, maka, negara melalui kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung diharapkan untuk segera memerintahkan Kapolda Papua dan Kejati Papua untuk segera bebaskan Viktor Yeimo. Dan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh soal penegakan hukum di Papua. Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua

Tokoh Tionghoa Lieus Sungkharisma Minta Habib Rizieq Dibebaskan

Jakarta, FNN – Tokoh Tionghoa, Lieus Sungkharisma meminta agar Habib Rizieq Shihab dikeluarkan dari tahanan. Sebab, penahanannya hanya karena kasus Rumah Sakit Ummi, Bogor, Jawa Barat. “Banyak (ada) menteri yang positif (Covid-19), tetapi tidak mengaku. Kenapa tidak ditahan. Kita tahu, tapi tidak ditahan. Habib Rizieq divonis empat tahun, gila. Masa penahanan habis diperpanjang, gila..,” kata Lieuis dalam Webiner yang ditayangkan FNN TV Yotube Channel. Ia meminta agar Presiden Jokowi turun menyelesaikan konflik yang terjadi. Selain mengeluakan HRS, ia juga mengharapkan agar jangan ada penangkapan terhadap aktivis atau kalangan oposisi. Sedangkan Yusuf Muhammad Martak menambahkan, ia orang yang dekat dengan HRS. “Saya tahu persis, berebut aparat di level atas mendatangi hakim dan jaksa supaya penjarakan HRS. Siapa yang order. Aparat penegak hukum terpengaruh. Kalau sama-sama bohong (harusnya) dihukum. Kok, sumbang Rp 2 triliun (fiktif) bebas. Apakah sudah merdeka. “Kita singkirkan buzzer setan. Sengaja dilindungi. Mereka dipelihari aparat. Beberapa kali saya ketemu. Jangan ada kebohongan demi kebohongan,” kata Martak. Lieus Sungkharisma mengatakan, Bangsa Indonesia merdeka karena merebut, bukan pemberian. “Jadi rakyat luar biasa. Saya waktu ke rumah Pak Martak belum tahu beliau punya turunan atau leluhur mewakafkan/hibahkan (rumah di Pegangsaan Timur 56 kepada negara). Itu luar biasa. Artinya kemerdekana direbut atas kehendak rakyat Indonesia untuk segera bangkit,” ujarnya. Dia menyebutkan, kondisi sekarang menjadi kurang nyaman karena Jokowi terlalu percaya kepada orang-orang di sampingnya. Akibatnya, yang berbeda pandangan politik ditahan. Semua berharap, dalam kondisi Covid-19, persatuan dan kesatuan bangsa penting. Rakyat Indonesia jangan diadu-adu, jangan dibiarkan. "Kalau ada konflik dipertemukan. Dialogkan, selesaikan," ucapnya. “Saya sedih. Saya agama Budha. Kadang dituduh kadrun (kadal gurun), macam-macam . Tidak apa-apa. Lho suka-suka ngomong. Terserah.suka-suka ngomong. Tetapi (saya) tidak berhenti bicara tentang kebenaran dan keadilan,” ujarnya dalam webier yang dipandu Pemimpin Redaksi FNN, Mangarahon Dongoran. Di awal paparannya, Leuis terlebih dahulu membacakan puisi, “Jangan Teriak Merdeka, Malu Kita,” karya Taufik Ismail. Dia sedih melihat keadaan sekarang, apalagi dikaitkan dengan bait-bait puisi tersebut. Mengaku tidak akan berhenti bicara mengenai persoalan bangsa. Hal itu dilakukannya karena ada ketidakadilan dan ketimpangan. Ia tidak mundur, meski sempat ditahan dengan tuduhan makar. (FNN/MD).

Penegakan Hukum Tak Diabaikan dalam Situasi Pandemi

Jakarta, FNN - Penegakan hukum dalam situasi pandemi COVID-19 memang tidak boleh diabaikan. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada "oknum-oknum" yang memanfaatkan situasi pandemi untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Pandemi COVID-19 memang seharusnya tidak menjadi halangan bagi aparat penegak hukum kita untuk terus bekerja menegakkan hukum. Penegakan hukum dalam situasi pandemi COVID-19 memang beragam seperti kasus tindak pidana korupsi, penyebaran informasi bohong (hoax), dan lain-lain. Untuk itu, diharapkan komitmen dari para aparat penegak hukum untuk tetap menegakkan hukum dengan adil dan transparan. Penegakan Hukum Di masa pandemi pun, tak menghalangi KPK untuk tetap bertugas menjerat para pelaku korupsi, bahkan yang terjerat mulai dari setingkat menteri hingga kepala daerah. Memang di saat masyarakat membutuhkan bantuan akibat dampak dari pandemi, namun ada pejabat negara justru yang berbuat korupsi adalah hal yang menjengkelkan. Kasus korupsi yang sempat menyita perhatian publik adalah terkait dengan pengadaan bansos untuk penanganan COVID-19 di wilayah Jabodetabek yang menjerat Menteri Sosial (Mensos) saat itu, Juliari Peter Batubara. KPK pun menetapkan Juliari bersama empat orang lainnya sebagai tersangka. Sontak, kasus Juliari tersebut menjadi puncak kejengkelan masyarakat, Bagaimana tidak, pengadaan bansos malah "dimanfaatkan" untuk memperkaya diri sendiri. KPK sendiri telah berkomitmen untuk mengawal realokasi anggaran dan pelaksanaan refocusing kegiatan pemerintah terkait penanganan pandemi COVID-19 yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara maupun rawan terjadinya penyalahgunaan atau korupsi. Apabila disalahgunakan, maka KPK akan menindak tegas para pelakunya. Saat ini, Juliari sudah berstatus terdakwa. Ia pun telah dituntut selama 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun. Jaksa Penuntut Umum JPU) KPK menyebut Juliari dinilai terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek. Selain Juliari, kasus yang juga sempat menghebohkan publik adalah kasus suap yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu Edhy Prabowo terkait dengan perizinan ekspor benih lobster (benur). Kasus tersebut memang tidak terkait dengan penanganan COVID-19, namun tetap saja melukai hati masyarakat karena berbuat korupsi di tengah pandemi apalagi dilakukan oleh pejabat negara. Edhy telah divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan dalam perkara penerimaan suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24,6 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun. Edhy terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250. KPK juga telah menjerat beberapa kepala daerah di tengah pandemi, salah satunya Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna yang ditetapkan sebagai tersangka bersama anaknya, Andri Wibawa dan M Totoh Gunawan dari pihak swasta. Ketiganya diduga melakukan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi COVID-19 pada Dinas Sosial Bandung Barat Tahun 2020. Berkas perkara ketiganya juga telah dilimpahkan ke pengadilan dan segera disidangkan. Sementara itu, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum. Di masa pandemi COVID-19 saat ini, polisi juga menjadi penyelesai masalah (problem solver), membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, menjalin kemitraan yang baik dengan stakeholders. Selanjutnya, transparansi informasi yang akurat sebagai penangkal berita bohong (hoax-buster) dan berpartipasi bersama masyarakat dalam penanggulangan COVID-19. Untuk membantu penanganan COVID-19 dan juga mendukung kebijakan pemerintah terkait dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyakarat (PPKM), Polri juga telah menggelar Operasi Aman Nusa II Lanjutan. Selama pelaksanaan Operasi Aman Nusa II Lanjutan, 3 Juli hingga 2 Agustus, Polri telah melakukan penindakan baik secara tindak pidana maupun tindak pidana ringan (tipiring) terhadap pelanggar aturan PPKM muapun protokol kesehatan. Beberapa penindakan yang telah dilakukan kepolisian, seperti di Polda Jawa Tengah terkait dengan ajakan di media sosial untuk melakukan aksi penolakan PPKM Level 4. Berikutnya, di Polda Metro Jaya terkait dengan pemalsuan dokumen kesehatan yang terjadi di Bandara Halim Perdana Kusuma, lalu di Polda Jawa Barat terkait dengan demo ricuh pada masa PPKM Level 4 di Bandung. Penindakan berikutnya oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri terkait dengan kelangkaan dan kenaikan harga obat terapi COVID-19 serta tabung oksigen, total ada 33 kasus yang ditangani dengan jumlah tersangka sebanyak 37 orang. Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga tetap berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus besar seperti kasus korupsi investasi asuransi Jiwasyara, kasus Djoko Tjandra yang juga menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari, kasus korupsi PT Danareksa Sekuritas, dan kasus pengelolaan keuangan dan dan investasi di PT Asabri (Persero). Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga telah memerintahkan jajaran kejaksaan mendukung pelaksanaan kebijakan PPKM Darurat Jawa-Bali dengan memberi sanksi tegas kepada pelanggar protokol kesehatan sebagai efek jera. Para kepala kejaksaan diminta dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, kewenangannya untuk memberi dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan PPKM Darurat. Langkah berikutnya, menggelar Operasi Yustisi Penegakan Hukum Kedisiplinan PPKM, dengan berkoordinasi dengan Satgas COVID_19, kepolisian, pemerintah daerah/Satuan Polisi Pamong Praja dan pengadilan. Para kepala kejaksaan juga diminta memastikan setiap pengadaan dan distribusi barang yang terkait penanggulangan COVID-19 berjalan lancar serta menindak tegas setiap upaya yang berpotensi menghambat ataupun menggagalkan pengadaan dan distribusi barang dimaksud. Kejaksaan juga telah merilis hasil kinerja pada semester I-2021. Pada bidang tindak pidana khusus, jumlah penanganan perkara pada tahap penyelidikan sebanyak 860 perkara, tahap penyidikan 847 perkara, tahap penuntutan 645 perkara, tahap eksekusi 605 orang, dan estimasi penyitaan aset senilai sekitar Rp14 triliun. Sedangkan di bidang tindak pidana umum, jumlah penanganan perkara pada tahap penuntutan sebanyak 56.987 perkara, tahap eksekusi 43.962 perkara, sidang daring (online) 339.090 persidangan, dan penghentian penuntutan 46 perkara. Selain itu, untuk Daftar Pencarian Orang (DPO) yang berhasil ditangkap sebanyak 96 orang, salah satunya memulangkan terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis ke Indonesia. Pelayanan Peradilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2021 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (16/8) juga telah menekankan kecepatan kerja dan pelayanan peradilan tidak bisa ditunda bahkan harus dipercepat meski saat ini bangsa Indonesia masih berada dalam era pandemi. Menurutnya, proses administrasi dan persidangan perkara di Mahkamah Agung (MA) secara elektronik telah mampu mempercepat penanganan perkara. Bahkan, dengan adanya aplikasi peradilan-elektronik, e-Court, telah mempermudah dan meningkatkan jumlah perkara yang dibawa ke pengadilan. Demikian pula halnya dengan Mahkamah Konstitusi (MK), yang juga menggelar persidangan melalui daring. Presiden mengatakan munculnya banyak permohonan keadilan yang terkait dengan undang-undang dan juga perkara Pilkada, tetap membuat MK mampu menyelesaikan perkara tepat waktu. Presiden mengatakan keberadaan Sistem Peradilan Berbasis Elektronik telah memfasilitasi terselenggaranya layanan publik secara cepat, transparan, dan akuntabel. Komisi Yudisial (KY), kata Presiden, juga harus tetap produktif di era pandemi, baik dalam seleksi Calon Hakim Agung, menangani laporan masyarakat, pemantauan perkara persidangan, serta pelanggaran kode etik hakim. Presiden mengatakan dengan kerja keras dan inovasi yang dilakukan, KY telah berhasil meningkatkan kinerjanya di tengah pandemi COVID-19 ini. Di saat negara sedang berjuang melawan COVID-19, penegakan hukum juga harus tetap diperjuangkan untuk menciptakan keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat. (mth)

Hakim Batalkan Dakwaan Terhadap 13 Perusahaan Investasi

Jakarta, FNN - Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membatalkan surat dakwaan terhadap 13 perusahaan manajemen investasi yang awalnya didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan transaksi pembelian dan penjualan instrumen keuangan pada reksa dana milik PT. Asuranji Jiwasraya selama 2008-2018. "Mengadili, menerima keberatan atau eksepsi tentang penggabungan berkas perkara terdakwa 1, 6, 7, 9, 10, 12. Menyatakan surat dakwaan batal demi hukum, memerintahkan perkara a quo tidak diperiksa lebih lanjut," kata ketua majelis hakim IG Eko Purwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin malam. Majelis hakim terdiri dari IG Eko Purwanto selaku ketua majelis hakim dengan anggota majelis yaitu Rosmina, Teguh Santosa, Sukartono dan Moch Agus Salim. Eksepsi atau nota keberatan itu diajukan oleh 6 perusahaan investasi yaitu PT. Dhanawibawa Manajemen Investasi yang saat ini bernama PT Pan Arcadia Capital, PT. MNC Asset Management yang sebelumnya bernama PT. Bhakti Asset Management, PT. Maybank Asset Management, yang sebelumnya bernama PT GMT Aset Manajemen atau PT Maybank GMT Asset Management, PT. Jasa Capital Asset Management yang sebelumnya bernama PT. Prime Capital, PT. Pool Advista Aset Manajemen yang sebelumnya bernama PT. Kharisma Asset Management dan PT. Treasure Fund Investama. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa perkara ke-13 perusahaan investasi tidak berhubungan satu sama lain sehingga akan menyulitkan majelis hakim untuk menilai perbuatan masing-masing terdakwa. "Tindakan penuntut umum yang menggabungkan begitu banyak perkara ke dalam satu berkas perkara akan menyulitkan majelis hakim untuk memilah-milah tiap perkara pidananya oleh karenanya akan merugikan kerugian yang begitu besar bagi para terdakwa," ungkap hakim Eko. Majelis hakim menyebutkan tindak pidana yang didakwakan kepada 13 terdakwa tersebut tidak ada sangkut paut dan hubungan satu sama lain. "Konsekuensi pemisahan para terdakwa juga mengakibatkan kehadiran masing-masing terdakwa tidak relevan terhadap terdakwa lainnya, masing-masing terdakwa jadi terpaksa turut serta terhadap pemeriksan terdakwa lain dan penyelesaian saksi-saksi dari terdakwa yang satu tergantung dengan pemeriksaan terdakwa lainnya," tambah hakim Eko. Artinya, majelis hakim melihat perkara tersebut menjadi rumit dan bertentangan dengan asas persidangan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. "Syarat penggabungan seperti dalam pasal 141 KUHAP untuk pemeriksaan tidak terpenuhi sehingga keberatan atau eksepsi terhadap penggabungan berkas perkara yang diajukan terdakwa 1, 6, 7, 9, 10 dan 12 dipandang beralasan dan berdasarkan hukum oleh karenanya harus diterima," ungkap hakim Eko. Karena keberatan terhadap penggabungan berkas perkara diterima, maka surat dakwaan maka surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum. "Silakan Penuntut Umum berhak melakukan perlawanan atau menyerahkan perkara menjadi 'split' 13 berkas perkara," kata hakim Eko seusai mengetuk palu. Awalnya, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung mengatakan perbuatan 13 perusahaan investasi tersebut tidak mematuhi ketentuan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.04/2015 Tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi yang menyatakan manajer investasi dapat menerima komisi, sepanjang komisi tersebut secara langsung bermanfaat bagi manajer investasi dalam proses pengambilan keputusan investasi untuk kepentingan nasabah dan tidak mengakibatkan benturan kepentingan dengan nasabah dan/atau merugikan kepentingan nasabah. Akibat perbuatan para terdakwa, negara mengalami kerugian senilai total Rp10,985 triliun. Ketigabelas perusahaan tersebut adalah: 1. PT. Dhanawibawa Manajemen Investasi yang saat ini bernama PT Pan Arcadia Capital 2. PT. Oso Manajemen Investasi 3. PT. Pinnacle Persada Investama 4. PT. Millenium Capital Management yang sebelumnya bernama PT Millenium Danatama Indonesia 5. PT. Prospera Asset Management 6. PT. MNC Asset Management yang sebelumnya bernama PT. Bhakti Asset Management 7. PT. Maybank Asset Management, yang sebelumnya bernama PT GMT Aset Manajemen atau PT Maybank GMT Asset Management 8. PT. Gap Capital 9. PT. Jasa Capital Asset Management yang sebelumnya bernama PT. Prime Capital 10. PT. Pool Advista Aset Manajemen yang sebelumnya bernama PT. Kharisma Asset Management 11. PT. Corfina Capital 12. PT. Treasure Fund Investama 13. PT. Sinarmas Asset Management

Kemenkumham Sulsel Bukukan PNBP Sebanyak Rp1,2 Miliar

Makassar, FNN - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sulawesi Selatan (Sulsel) mampu meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) hingga Juli 2021 sebanyak Rp1,2 miliar. Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM (Kadiv Yankumham) Kanwil Kemenkumham Sulsel Anggoro Dasananto, di Makassar, Senin, mengatakan selama 2021 penerimaan negara bukan pajak dari layanan Kekayaan Intelektual (KI) Kanwil Kemenkumham Sulsel terkumpul sebesar Rp1,2 miliar. "Untuk periode yang sama di tahun lalu itu ada peningkatan, karena di tahun sebelumnya hanya Rp847 juta PNBP-nya, sekarang sudah meningkat dan semoga ke depannya meningkat terus," ujarnya. Menurut Anggoro, layanan KI yang banyak dilayani adalah pendaftaran merek, hak cipta, paten, desain industri, dan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). Pendaftarannya dapat dilakukan melalui Kanwil Sulsel, melalui Sentra KI maupun dalam jaringan (daring/online) langsung ke Ditjen Kekayaan Intelektual di Jakarta. Kakanwil Kemenkumham Sulsel Harun Sulianto mengatakan peningkatan pendaftaran KI ini disebabkan adanya sinergitas dengan berbagai instasi daerah dan perguruan tinggi. "Saat ini telah dilakukan kerja sama dengan 11 pemda, 9 perguruan tinggi, dan 4 instansi lainnya," katanya. Harun menyatakan 11 pemda sudah bekerja sama dengan pihaknya, yakni Pemda Luwu Utara, Pangkep, Takalar, Enrekang, Pinrang, Luwu Timur, Sidrap, Wajo, Palopo, Sinjai, dan Bone. Selanjutnya, kata Harun masih ada 9 perguruan tinggi lainnya yang juga sudah kerja sama, yaitu Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Universitas Indonesia Timur, (UIT) Universitas Fajar, Universitas Sawerigading, dan Institut Ilmu Kesehatan Pelamonia. Sedangkan 4 instansi lain yang sudah kerja sama adalah Dinas Koperasi dan UMKM Sulsel, Dinas Perindustrian Sulsel, Balai Besar Industri Hasil Perkebunan, dan Kanwil Bea Cukai Sulbagsel. Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkumham Sulsel Mohammad Yani mengatakan bahwa karena pandemi COVID-19, pihaknya juga membuat inovasi layanan konsultasi online sehingga para pemohon KI tidak perlu datang ke kanwil. "Cukup dengan telepon, SMS atau dengan WA, kemudian akan dipandu oleh duta layanan kami," kata Yani. Ke depan, ujar Yani, pihaknya juga akan kerja sama dengan Pemkab Jeneponto dan Bantaeng terkait pengembngan potensi Kekayaan Intelektual Komunal dan Indikasi Geografis. (sws)

Delapan Terdakwa Perkara Dugaan Korupsi Asabri Segera Disidang

Jakarta, FNN - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berlokasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadwalkan sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan untuk delapan orang terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri (Persero) pada Senin, 16 Agustus 2021. "Bahwa perkara Asabri sudah dilimpahkan ada 8 berkas (8 terdakwa), sidang pertama akan dilangsungkan pada Senin, 16 Agustus 2021," kata humas Humas PN Jakarta Pusat Bambang Nurcahyono di Jakarta, Minggu. Susunan majelis hakim perkara tersebut adalah IG Eko Purwanto selaku ketua majelis hakim dengan anggota majelis yaitu Saefudin Zuhri dan Rosmina (hakim-hakim karier) serta Ali Muhtarom dan Mulyono Dwi Purwanto (hakim ad hoc tipikor). Kedelapan terdakwa tersebut adalah Dirut PT Asabri periode 2011 - Maret 2016 Mayjen Purn. Adam Rachmat Damiri, Dirut PT Asabri periode Maret 2016 - Juli 2020 Letjen Purn. Sonny Widjaja, Direktur Keuangan PT Asabri periode Oktober 2008 - Juni 2014 Bachtiar Effendi, Direktur PT Asabri periode 2013 — 2014 dan 2015 — 2019 Hari Setiono. Dirut PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo, Dirut PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro dan Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat. Benny maupun Heru diketahui adalah terdakwa dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Perbuatan kedelapan orang tersebut diduga merugikan keuanganan negara sebesar Rp22,78 triliun dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri (Persero) periode 2012 - 2019. Mereka didakwa dengan dakwaan subsidaritas yaitu Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Khusus untuk tersangka Jimmy Sutopo, Benny Tjokcrosaputro dan Heru Hidayat juga didakwa dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang (TTPU). Awalnya penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung RI melimpahkan sembilan orang tersangka ke JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Namun, pada 31 Juli 2021 Kepala Divisi Investasi PT Asabri Juli 2012 — Januari 2017 Ilham W. Siregar Ilham Wardhana Siregar meninggal dunia. (mth)

Kejari Mukomuko Sita Aset Tersangka Korupsi BUMD

Mukomuko, FNN - Kejaksaan Negeri Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, telah menyita aset milik BI terkait dugaan korupsi anggaran negara untuk modal usaha di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Mukomuko Rudi Iskandar melalui Kepala Seksi Pidana Khusus Andi Setiawan dalam keterangannya di Mukomuko, Minggu, mengatakan penyidik telah menyita sebanyak lima sertifikat lahan perkebunan milik tersangka. “Lima sertifikat itu adalah lahan perkebunan kelapa sawit, kami sita dari tersangka BI Ini setelah penyidik melakukan pendalaman aset tersangka, yang diduga diperoleh dari hasil dugaan tindak pidana korupsi," ujarnya. Menurut dia, lahan perkebunan yang terbagi menjadi lima sertifikat tersebut disita karena diduga diperoleh dari pengelolaan dana penyertaan modal tersebut. Dari lima sertifikat lahan perkebunan tersebut, itu satu sertifikat atas nama tersangka, kemudian atas nama istri tersangka serta atas nama orang lain. Ia menyatakan, jika kasus ini terbukti di pengadilan, maka semua sertifikat itu akan disita untuk negara. Ia menyatakan pihaknya sebelumnya sudah melakukan penyitaan uang tunai sekitar Rp204,2 juta, dan uang tersebut diamankan dari sejumlah pihak termasuk dari dua tersangka ini. Kejaksaan negeri setempat juga melakukan penyitaan terhadap barang berupa satu paket mesin air minum kemasan yang berada pada pihak ketiga berlokasi di Bandung, Provinsi Jawa Barat, dengan nilai Rp124 juta. Menurut dia, penyitaan berbagai aset negara yang ada pada BUMD itu diharapkan dapat menutupi jumlah kerugian negara akibat kasus korupsi ini. Ia menyebutkan berdasarkan hasil audit BPKP perwakilan Provinsi Bengkulu, kerugian negara akibat korupsi anggaran BUMD mencapai sekitar Rp1 miliar lebih. Dalam kasus ini, Kejaksaan Negeri Mukomuko telah menahan dua orang tersangka, yakni BI dan ASW. Keduanya merupakan mantan direktur utama dan direktur BUMD. Tersangka terancam Pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah ke UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP dan subsider Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat 1,2,3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2021 Jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP. (mth)