HUKUM

MAKI Akan Gugat Ketua DPR Puan Maharani

Jakarta, FNN - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan bahwa MAKI akan menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. "MAKI akan gugat Puan Maharani perkara seleksi calon BPK," kata Boyamin melalui keterangan tertulis yang diterima oleh ANTARA di Jakarta, Jumat. Adapun gugatan tersebut terkait dengan penerbitan Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada pimpinan DPD RI tentang Penyampaian Nama-Nama Calon Anggota BPK RI yang berisi 16 nama. Dari 16 orang tersebut terdapat dua orang calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia yang diduga tidak memenuhi persyaratan, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin. Berdasarkan daftar riwayat hidup Nyoman Adhi Suryadnyana pada periode 3 Oktober 2017-20 Desember 2019, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III), yang notabene adalah pengelola keuangan negara (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA). Sedangkan, Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang notabene merupakan jabatan KPA. "Kedua orang tersebut harusnya tidak lolos seleksi karena bertentangan dengan Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK," ucap Boyamin. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Oleh karena itu, MAKI menyimpulkan bahwa ketentuan pasal tersebut mengandung makna, seorang Calon Anggota BPK dapat dipilih untuk menjadi Anggota BPK, apabila Calon Anggota BPK tersebut telah meninggalkan jabatan (tidak menjabat) di lingkungan pengelola keuangan negara paling singkat dua tahun terhitung sejak pengajuan sebagai Calon Anggota BPK. Atas dugaan tidak memenuhi persyaratan tersebut, MAKI akan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta, pekan depan. Gugatan ini bertujuan untuk membatalkan surat tersebut, termasuk membatalkan hasil seleksi calon anggota BPK yang tidak memenuhi persyaratan. MAKI merasa perlu mengawal DPR untuk mendapatkan calon anggota BPK yang baik dan integritas tinggi, termasuk tidak boleh meloloskan calon yang diduga tidak memenuhi persyaratan. (sws)

Kapolda Sulut Lepas Tenaga "Tracer" COVID-19

Manado, FNN - Kapolda Sulawesi Utara (Sulut) Irjen Pol Nana Sudjana melepas Bintara Remaja Polda tersebut untuk menjadi tenaga tracer COVID-19 di Manado, Jumat. Kapolda Nana Sudjana mengatakan, saat ini Polda Sulut sudah memiliki tenaga tracer lapangan sebanyak 783 personel yang terdiri dari 483 Bhabinkamtibmas dan 300 personel Polisi Penugasan Umum, dan telah melatih kembali sebanyak 410 personel Bintara Remaja tahun 2020 dan 2021. "Jadi total sekarang ini ada 1.193 tenaga tracer dari Polda Sulut," katanya. Ia menambahkan Bintara Remaja yang menjadi tenaga tracer ini akan disebar pada lima wilayah Polres tertinggi penyebaran COVID-19, yaitu Polresta Manado, Polres Minahasa Utara Polres Bitung, Polres Minahasa dan Polres Tomohon. Para personel tersebut sebelumnya sudah diberikan pelatihan tata cara melaksanakan tracing, teknik wawancara, cara pengisian formulir dan penggunaan aplikasi "Silacak" yang diberikan oleh tim pelatih dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulut. “Saya harapkan kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan baik. Tugas ini merupakan tugas mulia, tugas kemanusiaan untuk menanggulangi dan memberantas COVID-19, dan ini bisa menjadi ladang ibadah,” kata Kapolda Tugas dan tanggung jawab pencegahan COVID-19 ini, lanjut Kapolda, merupakan tugas bersama seluruh komponen yang ada. Mulai dari Pemerintah, TNI-Polri dan stakeholder lainnya, termasuk para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan seluruh masyarakat. Ia b​​​​​​Berharap semua masyarakat dapat disiplin dan mematuhi protokol kesehatan pencegahan COVID-19, mengikuti vaksinasi dan jika diperlukan dapat membantu petugas dalam pelaksanaan 3T (Testing, Tracing dan Treatment). “Masyarakat harus terbuka dan jangan takut, bantu petugas di lapangan. Saya harapkan keterbukaan dari masyarakat sehingga pelaksanaan tugas tracer ini lebih mudah dan mampu melacak penyebaran COVID-19,” kata mantan Kapolda Metro Jaya tersebut. Pada saat itu Kapolda juga memberikan perbekalan dalam pelaksanaan tugas berupa obat-obatan, multivitamin, masker dan hand sanitizer kepada para tenaga tracer Polri tersebut. Pada pelepasan atau pergeseran tenaga tracer yang tersebut, Kapolda Nana Sudjana didampingi Wakapolda Brigjen Pol Rudi Darmoko. (sws)

Kapolda Sumsel Diperiksa Tim Wasriksus Polri Selama Enam Jam

Sumatera Selatan, FNN- Tim pengawasan dan pemeriksaan khusus (Wasriksus) Polri yang dipimpin Inspektur Jendral Polisi Agung Wicaksono melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Polisi Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jendral Polisi Eko Indra Heri selama lebih kurang enam jam, Kamis. Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam agenda audit investigasi (pendalaman) ihwal dana hibah Rp2 triliun dari almarhum Akidi Tio (warga asal Langsa, Aceh Timur, Provinsi Aceh) yang belum jelas keberadaannya. Kepala Bidang Humas Polisi Daerah Sumatera Selatan Komisaris Polisi Supriadi di Palembang, Kamis, secara singkat mengatakan pemeriksaan tersebut dilakukan secara internal Polri sehingga tidak bisa memberikan informasi perkembangan lebih lanjut. "Saya tidak bisa berkomentar," kata dia. Namun di sisi lain, ia memastikan tim penyidik reserse kriminal umum akan bekerja semaksimal mungkin untuk melakukan penyelesaian permasalahan dana hibah yang diproyeksikan untuk penanggulangan COVID-19 di Sumatera Selatan secara profesional. Berdasarkan pantauan di lapangan, tim Wasriksus melakukan pemeriksaan lebih kurang selama enam jam, setibanya mereka di gedung promoter markas Polda Sumatera Selatan pada pukul 15.15 WIB dan meninggalkan gedung promoter markas Polda Sumatera Selatan sekitar pukul 20.56 WIB. Dalam agenda itu Kepala Polisi Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jendral Polisi Eko Indra Heri didampingi oleh Direktur Intelijen dan Keamanan Komisaris Besar Polisi Ratno Kuncoro. Lalu Direktur Reserse Kriminal Umum, Komisaris Besar Polisi Hisar Siallagan, Kepala Bidang Propam Komisaris Besar Polisi Dedi Sofiandi dan Kepala Bidang Humas Komisaris Besar Polisi Supriyadi. Setelah selesai melakukan pemeriksaan rombongan tim Wasriksus meninggalkan lokasi tepat pada pukul 21.00 WIB diikuti juga oleh Kapolda dan jajaran. Sebelumnya Kepala Polisi Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jendral Polisi Eko Indra Heri telah menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada seluruh masyarakat ihwal dana hibah Rp2 triliun dari almarhum Akidi Tio yang belum jelas keberadaanya. Permohonan maaf tersebut disampaikan Kapolda didampingi oleh Kepala Bidang Humas Komisaris Besar Polisi Supriyadi di gedung promoter Markas Polisi Daerah Sumatera Selatan, Palembang, Kamis. "Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya Kapolri, Pimpinan di Mabes Polri, anggota Polri, masyarakat Sumsel, tokoh agama dan tokoh adat termasuk Forkompinda Sumsel, Gubernur, Pangdam dan Danrem," kata dia. Ia mengakui, kesalahan ada pada dirinya secara pribadi karena tidak berhati-hati dalam memastikan donasi yang diproyeksikan untuk penanggulangan COVID-19 Sumatera Selatan yang dimandatkan kepadanya tersebut sampai akhirnya menimbulkan kegaduhan. "Kegaduhan yang terjadi dapat dikatakan sebagai kelemahan saya sebagai individu. Saya sebagai manusia biasa memohon maaf, Ini terjadi akibat ke tidak hati-hatian saya," kata dia. Sekaligus juga ia menyampaikan bahwa telah memaafkan pihak keluarga almarhum Akidi Tio yang saat ini ada lima orang ditetapkan sebagai saksi oleh tim penyidik reserse kriminal umum, yakni Heryanti Tio, Rudi Sutadi, Kelvin (satu keluarga anak alm Akidi Tio), dr Hardi Darmawan (dokter pribadi keluarga) dan satu lain belum diketahui identitasnya. "Terlepas ada atau tidaknya dana ini saya sudah memaafkan keluarga mendiang Akidi Tio," tandasnya.(sws)

PN Denpasar Adili Oknum Polisi Karena Jadi Perantara Jual Beli Narkoba

Denpasar, FNN - Oknum polisi di Bali bernama I Gusti Ngurah Menara diadili di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, karena menjadi perantara jual beli narkotika. "Dari terdakwa ditemukan barang bukti sebanyak 52 plastik klip yang berisi kristal bening mengandung narkotika jenis metamfetamina atau sabu dengan berat keseluruhan 84,34 gram netto atau 97,38 gram brutto," kata Jaksa Penuntut Umum Made Ayu Citra Maya Sari dalam sidang virtual di PN Denpasar, Bali, Kamis. Dalam perkara ini, terdakwa didakwa dengan tiga pasal, yaitu Pasal 114 ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 112 ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan 115 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam dakwaan pertama, Jaksa Citra Maya menjelaskan bahwa awalnya terdakwa dihubungi oleh seseorang yang bernama Putu (DPO) untuk mengambil tempelan satu paket sabu dengan berat 100 gram di pinggir jalan di semak semak Jalan Raya Bypass Ngurah Rai Sanur Kota Denpasar. Selanjutnya, terdakwa pulang ke rumahnya di Perumahan Cempaka Claster Residence Banjar Jebaud Desa Bringkit Belayu Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, dan memecah paket sabu yang diambilnya menjadi 51 paket dan menyisakan satu plastik klip dengan menggunakan timbangan elektrik masing-masing dengan berat satu gram sebanyak 11 paket, berat 0,4 gram sebanyak 14 paket dan 0,2 gram sebanyak 26 paket dan sisanya satu plastik klip berisi kristal bening beratnya 70 gram yang belum dibagi. "Terdakwa menunggu perintah dari seseorang yang bernama Putu (DPO) untuk menaruh atau menempel 51 paket yang sudah ada tersebut," katanya. Pada Sabtu 8 Mei 2021 sekitar jam 11.30 Wita terdakwa kembali dihubungi melalui telepon oleh Putu (DPO) untuk menaruh atau menempel sabu di pinggir jalan Raya Kerobokan Banjar Kancil Desa Kerobokan Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung. Setelah itu terdakwa menuju lokasi yang sudah ditentukan dan menyebarkan atau menempel puluhan paket sabu yang sebelumnya sudah dipecah-pecah terdakwa. Terdakwa ditangkap pada (8/05) pada pukul 18.30 Wita di pinggir Jalan Raya Kerobokan Banjar Campuan Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung. "Terdakwa mengakui narkotika tersebut didapat dari seseorang yang bernama Putu (DPO) yang sebelumnya meminta terdakwa mengambil barang paketan berupa sabu dengan berat 100 gram yang selanjutnya dipecah menjadi 51 paket dan satu paket dengan tujuan untuk ditempel atau di taruh kembali sesuai pesanan Putu (DPO)," kata Jaksa.(sws)

KPK: BKN Disebut Tak Kompeten Laksanakan TWK Bertentangan dengan Hukum

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pendapat Ombudsman RI mengenai tidak kompetennya Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam melaksanakan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bertentangan dengan hukum. "Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti," ucap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis. KPK, Kamis, menyampaikan tanggapan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI soal adanya dugaan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satunya perihal tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan TWK tersebut. Lebih lanjut, Ghufron pun mempertanyakan jika BKN dianggap tidak kompeten lantas lembaganya akan meminta kepada siapa lagi terkait pelaksanaan TWK tersebut. "Pertanyaannya kalau BKN dianggap tidak kompeten kemudian ditolak oleh Ombudsman RI, kepada siapa lagi KPK akan meminta TWK ini. Ini kan tidak logis lembaga atau ketatanegaraan sudah memberi wewenang kepada BKN kemudian oleh Ombudsman RI dinyatakan tidak kompeten, lantas kepada siapa kami akan meminta TWK kalau BKN menolak," ujar Ghufron. Ia juga menegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN juga telah disebut kewenangan BKN dalam menyelenggarakan manajemen ASN. Dia menyatakan dalam peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menyatakan BKN yang selanjutnya adalah lembaga pemerintah nonkementerian diberi kewenanangan melakukan pembinaan, menyelenggarakan manajemen ASN. "Kalau kemudian BKN dianggap tak kompeten berarti "kosong" karena tidak ada lagi di Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk ini," lanjut Ghufron. KPK telah menyatakan keberatan atas hasil pemeriksaan Ombudsman RI tersebut. "Kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," kata dia. KPK akan menyampaikan surat keberatan kepada Ombudsman RI pada Jumat (6/8).*- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pendapat Ombudsman RI mengenai tidak kompetennya Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam melaksanakan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bertentangan dengan hukum. "Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti," ucap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis. KPK, Kamis, menyampaikan tanggapan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI soal adanya dugaan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satunya perihal tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan TWK tersebut. Lebih lanjut, Ghufron pun mempertanyakan jika BKN dianggap tidak kompeten lantas lembaganya akan meminta kepada siapa lagi terkait pelaksanaan TWK tersebut. "Pertanyaannya kalau BKN dianggap tidak kompeten kemudian ditolak oleh Ombudsman RI, kepada siapa lagi KPK akan meminta TWK ini. Ini kan tidak logis lembaga atau ketatanegaraan sudah memberi wewenang kepada BKN kemudian oleh Ombudsman RI dinyatakan tidak kompeten, lantas kepada siapa kami akan meminta TWK kalau BKN menolak," ujar Ghufron. Ia juga menegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN juga telah disebut kewenangan BKN dalam menyelenggarakan manajemen ASN. Dia menyatakan dalam peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menyatakan BKN yang selanjutnya adalah lembaga pemerintah nonkementerian diberi kewenanangan melakukan pembinaan, menyelenggarakan manajemen ASN. "Kalau kemudian BKN dianggap tak kompeten berarti "kosong" karena tidak ada lagi di Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk ini," lanjut Ghufron. KPK telah menyatakan keberatan atas hasil pemeriksaan Ombudsman RI tersebut. "Kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," kata dia. KPK akan menyampaikan surat keberatan kepada Ombudsman RI pada Jumat (6/8). (sws)

Polisi Sita Ganja Seberat 28 Kilogram di Pelabuhan Bakauheni

Lampung Selatan FNN - Kepolisian sektor kawasan Pelabuhan (KSKP) Bakauheni Lampung Selatan menyita sebanyak 28 kilogram ganja kering yang dikemas ke dalam 28 paket ganja warna cokelat di areal Seafort Interdiction Pelabuhan Bakauheni pada Sabtu (31/7). "Barang bukti itu milik tersangka F (40) warga Dusun Bineh Blang, Desa Kampung Raya Kecamatan Seulemeum, Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh," kata Wakapolres Lampung Selatan, Kompol Firman Sontama, pada ekspose kasus itu di halaman KSKP Bakauheni, Lampung Selatan, Kamis. Ia menyebutkan ganja itu dibawa menggunakan kendaraan ekspedisi truk boks paket PT Indah Logistik B 9817 FXU. Atas penangkapan tersebut pihaknya lalu mengembangkan perkara tersebut dan berhasil menangkap tersangka F pada 2 Agustus 2021 pukul 02.00 WIB di Depok. "Tersangka F yang menerima dan rencananya ganja itu akan diedarkan di daerah Depok Jawa Barat," kata Firman. Tersangka F sendiri mengaku sehari-hari bekerja di mobil tinja. Atas perbuatannya tersangka akan dikenakan Pasal 111 ayat (2) jo pasal 114 ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.(sws)

Kejaksaan Agung Proses Pemberhentian Pinangki Secara tidak Hormat

Jakarta, FNN - Kejaksaan Agung RI sedang memproses pemberhentian tidak dengan hormat jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai pegawai negeri sipil (PNS) setelah kasus hukumnya sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah. "Saat ini pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS terhadap Dr. Pinangki Sirna Malasari dalam proses," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2021. Ia mengatakan, surat pemberhentian Pinangki sebagai jaksa tersebut akan keluar dalam waktu dekat. Dasar pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) Pinangki berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 38 / Pid.Sus / 2020 / PN.Jkt.Pst. tanggal 08 Februari 2021 jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 10 / Pid.Sus / 2021 / PT.DKI tanggal 14 Juni 2021 atas nama terdakwa Pinangki Sirna Malasari yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). "Dalam waktu dekat akan dikeluarkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS kepada yang bersangkutan," ujarnya. Leonard menegaskan, Pinangki sudah tidak menerima gaji sebagai PNS kejaksaan sejak September 2020. Begitu juga dengan tunjangannya sudah diberhentikan sejak Agustus 2020. Ia pun membantah adanya pemberitaan yang menyebutkan Pinangki masih menerima gaji selama persidangan kasus korupsi yang dijalaninya. "Bersama ini kami luruskan materi pemberitaan 'tidak benar'. Kami sampaikan bahwa gaji Pinangki Sirna Malasari sudah tidak diterima (diberhentikan) sejak September 2020. Sedangkan tunjangan kinerja dan uang makan juga sudah tidak diterima lagi oleh yang bersangkutan (diberhentikan) sejak Agustus 2020," katanya. Dia menyebutkan, Pinangki Sirna Malasari telah diberhentikan sementara dari jabatan PNS sehingga sudah tidak lagi berstatus sebagai jaksa sejak Agustus 2020. Pemberhentian sementara itu berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 164 Tahun 2020 tanggal 12 Agustus 2020. "Perlu kami sampaikan bahwa berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 164 Tahun 2020 tanggal 12 Agustus 2020, Pinangki Sirna Malasari telah diberhentikan sementara dari jabatan PNS dan secara otomatis yang bersangkutan tidak lagi sebagai jaksa," ujarnya. Pemberitaan soal status PNS Pinangki Sirna Malasari yang masih belum diberhentikan diungkapkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Koordinator MAKI Bonyamin Saiman berharap dengan telah-nya kasus Pinangki, dan sudah dieksekusinya yang bersangkutan ke Lapas Kelas IIA Tangerang, otomatis segara dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Pinangki. Hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. PP Nomor 53 Tahun 2010 itu, kata Bonyamin, menerangkan pemberhentian tidak dengan hormat seorang jaksa apabila dia melakukan pelanggaran hukum dan dihukum maksimal di atas 5 tahun. "Jika tidak segera diberhentikan maka hak gaji masih bisa diterima oleh Pinangki. Jangan sampailah uang negara malah untuk memberikan gaji terhadap orang yang sudah dieksekusi dalam kasuskorupsi," ujarnya. Pinangki Sirna Malasari merupakan terdakwa tindak pidana korupsi yang melibatkan buron kelas kakap Djoko Tjandra dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Pinangki 10 tahun penjara. Selain itu, ia dihukum membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada sidang banding Senin (14/6) memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Dalam perkara ini, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana. Ia terbukti menerima suap sebesar 500.000 dolar AS dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Uang itu diberikan dengan tujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009. Pinangki ikut menyusun action plan berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan PK Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR" yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA" yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA dengan biaya 10 juta dolar AS namun baru diberikan 500.000 dolar AS sebagai uang muka. (MD).

Polisi Tetapkan Dinar Candy Jadi Tersangka Asusila

Jakarta, FNN - Penyidik Polres Metro Jakarta Selatan menetapkan DC alias DM sebagai tersangka dugaan rekaman video asusila. Kapolres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Azis Andriansyah mengatakan, perempuan yang berprofesi sebagai disk jockey itu menjadi tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik dari bukti dan keterangan saksi-saksi. "Dari alat bukti yang dikumpulkan maka selesai kita melaksanakan pemeriksaan dan diakhiri gelar perkara. Maka kita menetapkan saudara DC ini sebagai tersangka dalam tindak pidana pornografi sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan atau denda Rp 5 miliar," kata Azis, di Mapolres Jakarta Selatan, Kamis, 5 Agustus 2021. Sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan DC ditangkap di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan saat keluar dari kediaman temannya sekitar pukul 21.30 malam, Rabu (4/8). Selain dia, polisi juga mengamankan adiknya yang menjadi asisten pribadinya. Berdasarkan hasil pemeriksaan, DC menyuruh adiknya menggunakan handphone milik pribadinya untuk merekam aksi tidak terpuji itu. "Ini jadi barang bukti. Ada dua telefon selular di sini. Ini milik saudari DC. Dengan menggunakan salah satu handphone itu kemudian berdasarkan perintah dari saudari DM atau DC, adiknya memvideokan atau mengambil gambarnya pada saat di sekitar Jalan Adhyaksa Lebak Bulus," ujar Yusri. Saat menggelar konferensi pers di Mako Polres Metro Jakarta Selatan, pihak penyidik tidak menghadirkan tersangka DC di hadapan media. Sebelumnya, warganet heboh karena aksi yang dilakukan Dinar Candy. Ia melakukan melakukan aksi tidak terpuji itu dengan mempertontonkan dirinya menggunakan pakaian bikini di pinggir jalan. Aksi tersebut dilakukannya karena mengaku stres akibat perpanjangan penerapan PPKM. Tekanan ekonomi menjadi alasannya melakuka aksi di trotoar dekat persimpangan Jalan Lebak Bulus Raya, Cilandak, Jakarta Selatan. (MD).

Guru Besar UGM Kecewa Putusan MK Terhadap Pengujian UU KPK

Jakarta, FNN - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Prof Zainal Arifin Mochtar mengaku kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. "Saya mohon maaf yang mulia dan memberikan catatan karena kekecewaan saya terhadap putusan MK terdahulu," kata Prof Zainal Arifin Mochtar di sela-sela sidang perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 uji formil UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 yang digelar MK secara virtual di Jakarta, Kamis. Menurut dia, Majelis Hakim MK meninggalkan konsep ajaran konstitusionalitas secara materi atau etik moral konstitusional itu sendiri. Sebab, yang banyak dibahas hanya terpenuhinya aspek formal saja. Misalnya, ketika sudah ada diskusi tentang UU KPK. Padahal, sebagai contoh, ketika diskusi UU KPK di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Andalas (Unand) diadakan terjadi penolakan besar-besaran terhadap tim DPR yang datang di dua kampus itu. "Pada saat itu tim DPR menandatangani surat tidak akan melanjutkan perubahan Undang-Undang KPK," ujar Zainal. Kemudian, bagaimana mungkin aspek formil tersebut dipakai untuk membenarkan terpenuhi-nya proses pembentukan undang-undang dalam konteks penyerapan aspirasi masyarakat. Zainal mengatakan sengaja menyinggung UU KPK dalam perkara uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan tujuan Majelis Hakim bisa melihat lebih detail tentang aspek materi dan formil serta moralitas konstitusional. Zainal sendiri mengaku pesimis terhadap uji formil UU Cipta kerja yang masuk ke MK jika cara pengujian majelis hakim sama dengan uji formil sebelumnya. Lebih jauh, ia mengatakan riset yang dilakukan oleh Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Jentera Bivitri Savitri yang mengkomparasi lebih dari 45 pengujian formil, sebagian besar dilakukan dengan cara yang belum menghitung moralitas konstitusional. "Harapan saya Mahkamah Konstitusi bisa melihat moralitas konstitusional yang ada dalam konstitusi itu sendiri," ucap dia. Dalam sidang virtual tersebut, Majelis Hakim Prof Saldi Isra mengingatkan Prof Zainal agar fokus pada pembahasan uji formil UU Cipta Kerja bukan UU KPK. "Saya hanya mengambil contoh UU KPK karena itu yang terdekat. Sebenarnya banyak putusan lain yang bisa kita kritisi," ujarnya. (mth)

Polda Kalbar Sita Aset Tersangka Kasus Narkoba

Pontianak, FNN - Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Kalimantan Barat menyita aset lima orang tersangka dalam pengungkapan kasus bandar narkoba dengan barang bukti sebanyak 2.524 butir ekstasi. "Dalam pengungkapan kasus ini, kami menangkap lima tersangka, yakni berinisial Ro (34), Dj (31) keduanya asetnya Rp1 miliar, dan dari kasus kedua ditangkap tersangka Sm, Ih, dan Ww total yang ini Rp2 miliar," kata Direskrim Narkoba Polda Kalbar, Kombes (Pol) Yohanes Hernowo di Pontianak, Kamis. Kasus pertama pihaknya menangkap dua tersangka yakni Ro dan Dj dengan barang bukti 2.524 butir ekstasi, kemudian kasus kedua yang merupakan satu kelompok juga dengan kasus pertama ditangkap tiga tersangka, berinisial Sm, Ih dan Ww dengan total barang bukti 4 ons sabu-sabu. Dia menjelaskan, dari kelima tersangka tersebut, pihaknya menyita tiga unit mobil, tiga unit motor, satu unit rumah, uang tunai Rp151 juta, perhiasan dan buku tabungan bank. Untuk tersangka Ro total aset yang disita sebesar Rp700 juta, sedangkan tersangka Dj total aset yang disita sebesar Rp300 juta. "Kemudian dari tersangka Ww berhasil disita satu unit rumah, satu mobil, serta perhiasan atau total Rp1,1 miliar, dan sisanya dari kedua tersangka lainnya yakni Sm dan Ih atau total dalam kasus kedua Rp2 miliar," katanya. Dari hasil pemeriksaan sementara, kelima tersangka ini telah melakukan peredaran barang haram atau narkoba sudah dua tahun, katanya. Atas kejadian tersebut, tersangka akan disangkakan pasal 114 ayat (2) sub Pasal 112 ayat (2) Jo. Pasal 132 (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman pidana mati, seumur hidup atau penjara paling singkat enam tahun, dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar. Selain itu, kelima tersangka diancam tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok narkotika, Pasal 3 dan 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam kesempatan itu, Direskrim Narkoba Polda Kalbar menambahkan, hari ini juga pihaknya memusnahkan barang bukti ekstasi dan sabu-sabu guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. (sws)