HUKUM

ICW Pertanyakan Juliari Hanya Dituntut 11 Tahun Penjara

Jakarta, FNN - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) hanya menuntut 11 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. "Juliari hanya dituntut hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar. Ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Alasannya, kata dia, pasal yang menjadi alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya mengakomodasi penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar. Ia mengatakan tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar juga jauh dari memuaskan karena besaran tersebut kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari. "Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, Pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos COVID-19," ujar Kurnia. Melihat rendahnya tuntutan JPU terhadap Juliari, ia meminta Majelis Hakim mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal yaitu, pidana penjara seumur hidup kepada Juliari. "Penjatuhan hukuman yang maksimal terhadap Juliari Batubara sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya dilanggar di tengah pandemi COVID-19, akibat praktik korupsi ini. Ke depannya, vonis maksimal tersebut diharapkan berdaya cegah terhadap potensi terjadinya kasus serupa, terutama di tengah kondisi pandemi," tutur Kurnia. Sebelumnya, Juliari dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain pidana badan, Juliari juga dituntut untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp14.597.450.000,00 subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak Juliari selesai menjalani pidana pokoknya. Juliari dinilai JPU KPK terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek. Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan pertama, yaitu Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (mth)

KPK: Tuntutan 11 Tahun Penjara Juliari Sesuai Fakta Persidangan

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tuntutan 11 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan bukan karena desakan pihak manapun. "Dalam menuntut terdakwa, tentu berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan perkara dimaksud bukan karena pengaruh adanya opini, keinginan maupun desakan pihak manapun," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Ali mengatakan pertimbangan alasan memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa Juliari juga menjadi dasar dalam menuntut baik pidana penjara, uang pengganti maupun denda, dan pencabutan hak politik. "Perlu kami tegaskan kembali, dalam perkara ini terdakwa dituntut terkait pasal suap, bukan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Penerapan pasal tentu karena berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penyidikan," ucap Ali. Adapun bunyi Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, yakni dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Sebagai pemberatan tuntutan, kata dia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK juga menuntut uang pengganti yang dapat diganti hukuman penjara jika tidak dibayarkan. "Perlu juga kami sampaikan, sekalipun dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi, uang pengganti dibebankan kepada terdakwa dalam perkara yang berhubungan dengan penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, yaitu yang berhubungan dengan kerugian negara," katanya. Namun, ia mengatakan JPU tentu juga memiliki dasar hukum kuat dalam menuntut uang pengganti terhadap terdakwa Juliari tersebut dan berharap Majelis Hakim akan mengabulkan seluruh tuntutan tim JPU. Sebelumnya, Juliari dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain pidana badan, Juliari juga dituntut untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp14.597.450.000,00 subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak Juliari selesai menjalani pidana pokoknya. Juliari dinilai JPU KPK terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek. Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan pertama, yaitu Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (mth)

KPK Panggil Petinggi Sarana Jaya Kasus Korupsi Pengadaan Tanah

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Senior Manajer Perumda Pembangunan Sarana Jaya Harbandiyono dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Jakarta Timur. Harbandiyono diagendakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan (YRC) dan kawan-kawan. "Hari ini pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, DKI Jakarta pada tahun 2019 untuk tersangka YRC dan kawan-kawan atas nama Harbandiyono," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Pemeriksaan Harbandiyono digelar di Gedung KPK, Jakarta. Selain itu, Ali juga menginformasikan pada hari Rabu (28/7) KPK memeriksa tiga tersangka kasus tersebut, yaitu Yoory Corneles, Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian (TA), dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene (AR). "Masing-masing diperiksa dalam kapasitas untuk saling menjadi saksi, tim penyidik mengonfirmasi terkait dengan dugaan nilai harga negosiasi dan realisasi pembayaran dari pihak Perumda Sarana Jaya kepada PT AP (Adonara Propertindo)," ucap Ali. Selain tiga orang itu, KPK juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudy Hartono Iskandar (RHI) dan satu tersangka korporasi PT Adonara Propertindo. KPK menduga ada kerugian keuangan negara setidak-tidaknya Rp152,5 miliar. Awalnya, Sarana Jaya yang bergerak di bidang properti tanah dan bangunan mencari tanah di Jakarta yang akan dijadikan unit bisnis ataupun bank tanah. Pada tanggal 4 Maret 2019 Anja bersama-sama Tommy dan Rudy menawarkan tanah di Munjul seluas lebih kurang 4,2 hektare kepada pihak Sarana Jaya. Akan tetapi, saat itu kepemilikan tanah tersebut masih sepenuhnya milik Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus. Anja dan Tommy lalu bertemu dengan Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus di Yogyakarta, kemudian disepakati ada pembelian tanah di Munjul dan disepakati harga tanah adalah Rp2,5 juta per meter sehingga total harga tersebut Rp104,8 miliar. Pembelian tanah pada tanggal 25 Maret 2019 langsung perikatan jual beli sekaligus pembayaran uang muka oleh Anja dan Tommy dengan jumlah sekitar Rp5 miliar melalui rekening bank atas nama Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus. Pelaksanaan serah terima sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan tanah girik dari pihak Kogregasi Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Boromeus melalui notaris yang ditunjuk oleh Anja. Anja, Tommy, dan Rudy lantas menawarkan tanah kepada pihak Sarana Jaya dengan harga Rp7,5 juta per meter dengan total Rp315 miliar. Diduga terjadi negosiasi fiktif dengan kesepakatan harga Rp5,2 juta per meter dengan total Rp217 miliar. Maka, pada tanggal 8 April 2019 dilakukan penandatanganan pengikatan akta perjanjian jual beli di hadapan notaris di Kantor Sarana Jaya antara pihak pembeli (Yoory) dan pihak penjual (Anja), kemudian dilakukan pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar Rp108,9 miliar ke rekening bank milik Anja pada Bank DKI. Selang beberapa waktu kemudian, atas perintah Yoory dilakukan pembayaran oleh Sarana Jaya kepada Anja sekitar sejumlah Rp43,5 miliar. (MD).

Hakim Tolak Praperadilan Angin Prayitno

Jakarta, FNN - Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Siti Hamidah menolak gugatan praperadilan sah tidak sahnya penetapan tersangka yang diajukan Angin Prayitno Aji (APA), tersangka kasus dugaan suap Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. "Menimbang berdasarkan pertimbangan di atas, maka alasan-alasan permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon tidaklah beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, patut ditolak untuk seluruhnya," kata Siti Hamidah membacakan putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 28 Juli 2021 sore. Dalam putusannya, hakim menimbang bahwa penetapan tersangka telah memenuhi bukti permulaan, bahkan memenuhi dua alat bukti yang sah. Termohon dalam hal ini KPK telah berhasil menunjukkan bukti-bukti tersebut di persidangan. Begitu pula dengan penyitaan yang digugat oleh pemohon. Menurut hakim, penyitaan tersebut sah, karena telah diizinkan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk dilakukan penyitaan yang telah ditandatangani pemohon. "Penyitaan yang dilakukan telah sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Siti sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara. Menimbang, karena permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon ditolak, lanjut Siti, maka biaya yang timbul dalam perkara ini haruslah dibebankan kepada pemohon sejumlah nihil. Ditemui usai persidangan, Kuasa Hukum terdakwa, Syaefullah Hamid menyatakan kecewa dengan putusan hakim. Alasannya, karena hakim tidak mempertimbangkan dengan benar, salah satunya pertimbangan terhadap barang bukti hanya dari pihak termohon (KPK-red). "Karena dua belah pihak harus dipertimbangkan, soal ditolak urusan hasil," ujarnya. Selain itu, Syaefuddin menyampaikan bahwa hakim ketika mengambil keputusan tidak konsisten di awal. Hakim Tunggal, kata Syaefuddin, di awal mempergunakan Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014 untuk memperluas objek praperadilan. Salah satu selain memperluas objek praperadilan, putusan MK itu juga mengatur ada prosedur untuk menetapkan tersangka, yaitu dengan minimal dua alat bukti yang diperoleh dalam proses penyidikan. Dengan alat bukti itulah ditetapkan tersangka. "Di persidangan kemarin, praperadilan sudah terbukti, pak Angin ditetapkan tersangka bukan dengan alat bukti yang diperoleh dalam penyidikan," kaya Syaefuddin. Angin Prayitno Aji merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penerimaan suap terkait pemeriksaan perpajakan pada periode 2016-2017. Sementara itu, KPK pada Selasa 24 Mei 2021 telah menetapkan enam tersangka kasus dugaan suap melibatkan Ditjen Pajak tersebut. Sebagai penerima, yaitu Angin dan mantan Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Ditjen Pajak Dadan Ramdani (DR). Sedangkan sebagai pemberi, yakni kuasa wajib pajak Veronika Lindawati (VL) serta tiga konsultan pajak masing-masing Ryan Ahmad Ronas (RAR), Aulia Imran Maghribi (AIM), dan Agus Susetyo (AS). Angin dan Dadan diduga menyetujui, memerintahkan, dan mengakomodir jumlah kewajiban pembayaran pajak yang disesuaikan dengan keinginan dari wajib pajak atau pihak yang mewakili wajib pajak. Keduanya diduga menerima suap puluhan miliar terkait pemeriksaan terhadap tiga wajib pajak, yaitu PT Gunung Madu Plantations untuk tahun pajak 2016, PT Bank PAN Indonesia Tbk untuk tahun pajak 2016, dan PT Jhonlin Baratama untuk tahun pajak 2016-2017. (MD).

Kuasa Hukum: Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen Ambigu

Jakarta, Jakarta, FNN - Kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Ignatius Supriyadi mengatakan kerancuan dan ambiguitas Pasal 50 Ayat (4) mengakibatkan pemohon mengalami kerugian konstitusional. "Multitafsir ketentuan Pasal 50 Ayat (4) yang menihilkan sendiri norma dan kaidah kewenangan untuk melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar ada pada satuan pendidikan tinggi dengan menambahkan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Ignatius Supriyadi pada sidang lanjutan Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 secara virtual di Jakarta, Rabu. Halitu, menurut dia, dapat ditafsirkan oleh Pemerintah bahwa kewenangan tersebut bisa dianulir atau diambil alih pemerintah melalui peraturan di bawah undang-undang. Pemohon melalui kuasa hukumnya menganggap jika ambiguitas atau ketidakpastian materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU tentang Guru dan Dosen dihilangkan, atau dikabulkannya permohonan pemohon, maka kerugian konstitusional yang dialami tidak akan terjadi lagi. "Kewenangan melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan guru besar ada di satuan pendidikan tinggi dalam hal ini rektor," ujarnya. Sidang yang dipimpin langsung oleh hakim Arief Hidayat dengan hakim anggota Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, Ignatius menyampaikan alasan pemohon mengajukan uji materi UU tentang Guru dan Dosen. Pada intinya pemohon menyampaikan materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengandung ketidakpastian hukum atau multitafsir. Secara substantif, materi muatan pasal itu mengandung kaidah hukum seleksi pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik yang ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi. Namun, adanya tambahan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan kaidah hukum tersebut seakan-akan disimpangi oleh keberadaan frasa tambahan itu. Ia berpendapat bahwa frasa peraturan perundang-undangan dapat diartikan segala jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15/2019. "Oleh karena itu, materi muatan Pasal 50 Ayat (4) melanggar atau bertentangan secara nyata dengan prinsip negara hukum," ujarnya. - Kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Ignatius Supriyadi mengatakan kerancuan dan ambiguitas Pasal 50 Ayat (4) mengakibatkan pemohon mengalami kerugian konstitusional. "Multitafsir ketentuan Pasal 50 Ayat (4) yang menihilkan sendiri norma dan kaidah kewenangan untuk melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar ada pada satuan pendidikan tinggi dengan menambahkan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Ignatius Supriyadi pada sidang lanjutan Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 secara virtual di Jakarta, Rabu. Halitu, menurut dia, dapat ditafsirkan oleh Pemerintah bahwa kewenangan tersebut bisa dianulir atau diambil alih pemerintah melalui peraturan di bawah undang-undang. Pemohon melalui kuasa hukumnya menganggap jika ambiguitas atau ketidakpastian materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU tentang Guru dan Dosen dihilangkan, atau dikabulkannya permohonan pemohon, maka kerugian konstitusional yang dialami tidak akan terjadi lagi. "Kewenangan melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan guru besar ada di satuan pendidikan tinggi dalam hal ini rektor," ujarnya. Sidang yang dipimpin langsung oleh hakim Arief Hidayat dengan hakim anggota Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, Ignatius menyampaikan alasan pemohon mengajukan uji materi UU tentang Guru dan Dosen. Pada intinya pemohon menyampaikan materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengandung ketidakpastian hukum atau multitafsir. Secara substantif, materi muatan pasal itu mengandung kaidah hukum seleksi pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik yang ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi. Namun, adanya tambahan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan kaidah hukum tersebut seakan-akan disimpangi oleh keberadaan frasa tambahan itu. Ia berpendapat bahwa frasa peraturan perundang-undangan dapat diartikan segala jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15/2019. "Oleh karena itu, materi muatan Pasal 50 Ayat (4) melanggar atau bertentangan secara nyata dengan prinsip negara hukum," ujarnya. (mth)

Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara Dituntut 11 Tahun Penjara

Jakarta, FNN - Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek. "Menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menyatakan terdakwa Juliari Batubara terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ikhsan Fernandi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu. Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan pertama yaitu pasal 12 huruf b jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP. JPU KPK juga meminta agar Juliari juga dijatuhi hukuman untuk membayar uang pengganti. "Menetapkan agar terdakwa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp14.557.450.000 selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap," tambah jaksa Ikhsan. Bila Juliari tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda Juliar akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. "Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 2 tahun," ungkap jaksa. Selanjutnya JPU KPK meminta pencabutan hak politik Juliari dalam periode tertentu "Menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," ungkap jaksa. Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Juliari Batubara. "Keadaan yang memberatkan, perbuatan terdakwa sebagai menteri sosial tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan, terdakwa tidak berterus terang atas perbuatannya, perbuatan terdakwa terjadi saat kondisi darurat pandemi COVID-19. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum," tambah jaksa Ikhsan. Dalam perkara ini Juliari P Batubara selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja serta uang sebesar Rp29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain. Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako. Uang suap itu menurut jaksa diterima dari Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako periode April-Oktober 2020 dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK pengadaan bansos sembako COVID-19 periode Oktober-Desember 2020. Uang "fee" sebesar Rp14,7 miliar menurut JPU KPK sudah diterima oleh Juliari dari Matheus Joko dan Adi Wahyono melalui perantaraan orang-orang dekat Juliari yaitu tim teknis Mensos Kukuh Ary Wibowo, ajudan Juliari bernama Eko Budi Santoso dan sekretaris pribadi Juliari Selvy Nurbaity. Matheus Joko dan Adi Wahyono kemudian juga menggunakan "fee" tersebut untuk kegiatan operasional Juliari selaku mensos dan kegiatan operasional lain di Kemensos seperti pembelian ponsel, biaya tes "swab", pembayaran makan dan minum, pembelian sepeda Brompton, pembayaran honor artis Cita Citata, pembayaran hewan kurban hingga penyewaan pesawat pribadi. Juliari akan mengajukan nota pembelaan pada Senin, 9 Agustus 2021. (mth)

Dua Tersangka Pemalsu Surat PCR Diringkus Polres Jaksel

Jakarta, FNN - Anggota Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan meringkus dua tersangka yang diduga memalsukan surat hasil tes usap COVID-19 "polymerase chain reaction" (PCR) untuk syarat perjalanan pada masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). "Dari penyelidikan didapatkan dua tersangka atas nama J dan atas nama ID. Dari tersangka tersebut kita mendapatkan beberapa perlengkapan di luar perlengkapan medik namun dia bisa mengeluarkan sertifikat PCR," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Polisi Azis Andriansyah di Jakarta, Selasa. Azis menuturkan para tersangka menjalankan aksi dengan modus memalsukan surat tes usap yang diterbitkan oleh penyelenggara tes resmi. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa kedua pelaku sudah menjalankan aksinya sejak April 2021 dan mengeluarkan 20 surat keterangan hasil PCR COVID-19. Aksi ini terungkap setelah penyidik melakukan penyelidikan pada beberapa akun media sosial yang menawarkan surat hasil tes PCR untuk syarat perjalanan. Kemudian penyidikan menemukan salah satu akun "Facebook" yang menawarkan sertifikat PCR tanpa melalui kegiatan medis kepada masyarakat. "Jadi dari hal tersebut diselidiki lebih lanjut oleh tim dan diketahui benar bahwa alamat akun tersebut bisa memberikan kepada masyarakat bukti sertifikat PCR tanpa melalui proses PCR yang benar," kata Azis. Atas perbuatan itu, kedua tersangka disangkakan dengan Pasal 263 dan Pasal 268 KUHP tentang pemalsuan surat atau membuat surat palsu dengan ancaman hukuman enam tahun dan atau empat tahun untuk Pasal 268. (sws)

KPK Dalami Dugaan Komunikasi Lili Pintauli Dengan M Syahrial

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mendalami keterangan saksi mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju soal adanya dugaan komunikasi Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dengan terdakwa Wali Kota Tanjungbalai nonaktif M Syahrial. "Seluruh keterangan saksi maupun fakta-fakta persidangan lainnya akan dikonfirmasi kembali kepada para saksi yang akan dihadirkan dan alat bukti lainnya pada agenda persidangan berikutnya. Termasuk pada saatnya nanti juga akan dikonfirmasi kepada terdakwa MS (M Syahrial)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa. Hal itu dikatakannya menanggapi keterangan saksi Robin dalam sidang perkara suap Wali Kota Tanjungbalai bahwa adanya dugaan komunikasi Lili dengan terdakwa Syahrial. Selanjutnya, kata Ali, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK akan menyimpulkan seluruh fakta-fakta tersebut pada bagian akhir persidangan dalam analisa yuridis surat tuntutan. Sedangkan mengenai dugaan adanya pelanggaran etik oleh Lili terkait perkara M Syahrial tersebut, ia mengatakan Dewas KPK saat ini tengah memeriksa sesuai kewenangannya. "Sehingga nantinya dapat menyimpulkan ada tidaknya unsur pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang dilakukan oleh insan KPK dimaksud," ujar Ali. Ia mengatakan setelah merampungkan seluruh proses pemeriksaan terhadap para saksi dan bukti-bukti terkait maka sebagai akuntabilitas dan transparansi publik, Dewas KPK akan mengumumkan hasil pemeriksaannya secara terbuka. "Kami senantiasa mengajak masyarakat dapat terus mengikuti dan mengawasi persidangan yang terbuka untuk umum dengan terdakwa MS ini karena kami meyakini semangat KPK dan masyarakat sama dalam upaya pemberantasan korupsi," tuturnya. Sebelumnya, Robin menyebut Syahrial mengaku pernah ditelepon Lili terkait dengan kasus yang sedang diusut KPK. Pembicaraan antara Syahrial dan Lili tersebut terkait dengan perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Kota Tanjungbalai yang sedang ditangani oleh KPK. "Pak Syahrial menyampaikan minta bantu kepada Fahri Aceh atas saran ibu Lili Pintauli Siregar, setahu saya dia adalah Wakil Ketua KPK," kata Robin di Gedung KPK, Jakarta, Senin (26/7). Robin menjadi saksi untuk terdakwa Syahrial yang didakwa menyuap Robin sebesar Rp1,695 miliar agar tidak menaikkan kasus dugaan korupsi ke tingkat penyidikan. Sidang melalui telekonferensi, sementara majelis hakim, sebagian JPU KPK, dan penasihat hukum terdakwa hadir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan yang berlokasi di Pengadilan Negeri Medan. (sws)

Nurdin Abdullah Dibolehkan Keluar Rutan KPK untuk Berobat

Makassar, FNN - Tersangka kasus suap Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif, Nurdin Abdullah, dibolehkan keluar Rumah Tahanan KPK untuk mendapatkan pengobatan dari dokter spesialis. Kuasa hukum Abdullah, Arman Hanis, telah mengajukan permohonan kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Makassar agar diberi izin untuk berobat di luar Rumah Tahanan KPK. "Kami sudah ajukan permohonan izinnya dan majelis hakim pengadilan telah mengabulkan permohonan kami karena klien kami itu harus berobat pada dokter spesialis," ujarnya. Pengajuan permohonan berobat itu dilakukan tim kuasa hukumnya pada sidang perdana kasus suap dan gratifikasi di Ruang Harifin Tumpa Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (22/7). Hanis menyatakan kliennya membutuhkan terapi ortopedi dan pengajuan itu juga setelah pihaknya mendapatkan rekomendasi dari dokter yang ditunjuk KPK). Lebih jauh terkait dalih penyakit NA itu, dia enggan membeber. Ia hanya mengatakan jika pengobatan rutin kliennya itu harus ditangani dokter ortopedi. "Intinya dia memang membutuhkan pengobatan rutin dari dokter spesialis. Yaitu seorang dokter yang mengambil spesialisasi ortopedi," katanya. Sebelumnya, Abdullah didakwa telah menerima uang suap senilai 150.000 dolar Singapura (sekitar Rp1,596 miliar) dan Rp2,5 miliar dari terdakwa Agung Sucipto. Nurdin Abdullah selaku pejabat negara diduga menerima suap untuk memuluskan kontraktor Agung Sucipto dalam memenangkan proyek infrastruktur Jalan Palampang-Munte-Botolempangan poros Bulukumba-Sinjai, Sulawesi Selatan. (sws)

Polres Mukomuko Perpanjang Operasi Cegah Penyebaran COVID-19

Mukomuko, FNN - Kepolisian Resor Mukomuko, Provinsi Bengkulu, memperpanjang masa Operasi Aman Nusa II dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 di daerah setempat. “Operasi Aman Nusa II ini sudah berlangsung lama, kini diperpanjang lagi dan terakhir mulai dari tanggal 12 Juli hingga 2 Agustus 2021, nanti bisa jadi diperpanjang lagi kalau COVID-19 masih ada,” kata Kabag Operasional Kepolisian Resor Kabupaten Mukomuko, Kompol Hasdi, dalam keterangannya di Mukomuko, Selasa. Personel Kepolisian Resor setempat sejak sepekan terakhir sampai sekarang melakukan sosialisasi dan imbauan terkait aturan terkait penegakan hukum protokol kesehatan kepada masyarakat setempat. Personel Polres Mukomuko menggelar operasi di sejumlah tempat dan fasilitas umum yang tersebar di daerah ini, terutama di wilayah yang masuk zona merah atau tinggi penularan virus corona. Ia mengatakan, pihaknya menggelar operasi Aman Nusa ini dengan cara melakukan sosialisasi, memberikan imbauan, dan pembatasan-pembatasan kalau ada kerumunan masyarakat di daerah ini. Kemudian pihaknya mengimbau masyarakat setempat menyiapkan tempat cuci tangan terutama kepada kelompok usaha masyarakat di daerah ini sebagai upaya untuk mencegah penularan dan penyebaran virus corona. Personel Kepolisian Resor setempat ikut serta mensosialisasikan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19 di daerah ini. Personel Kepolisian Resor Kabupaten Mukomuko mensosialisasikan Perda Nomor 5 tahun 2021 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19 dengan cara berkeliling di Kecamatan Kota Mukomuko. Sementara itu jumlah kasus positif COVID-19 saat ini bertambah 17 orang yang tersebar di tujuh dari 15 kecamatan di daerah ini, sehingga total kasus COVID-19 menjadi 1.440 orang. Jumlah total spesimen yang telah diperiksa sebanyak 5.819 sampel, jumlah total spesimen yang dinyatakan positif COVID-19 ada 1.440 orang dan 40 orang di antaranya yang meninggal dunia. (sws)