HUKUM

Kejagung Siap Hadapi Gugatan Terkait Sitaan Asabri

Jakarta, FNN - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan siap menghadapi gugatan yang dilayangkan oleh perusahaan Panama, Shining Shipping SA terkait penyitaan 51 persen saham PT Trada Alam Minera Tbk pada PT Hanochem Shipping milik Heru Hidayat, terdakwa korupsi PT Asabri. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung RI Supardi, Selasa, mengatakan tidak masalah dengan gugatan tersebut dan siap menghadapinya. "Hak setiap orang mengajukan gugatan, kami pasti tetap akan menghadapi gugatan itu. No problem," ujar Supardi. Menurut Supardi, pihaknya mengetahui adanya gugatan tersebut dari rekan-rekan media. Namun demikian, gugatan tidak akan menghambat proses hukum yang sedang ditangani Kejagung RI terkait korupsi Asabri. "Gugatan sama sekali tidak menghalangi penyelesaian perkara," katanya pula. Perusahaan Panama, Shining Shipping SA menggugat Kejagung RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait penyitaan 51 persen saham PT Trada Alam Minera Tbk pada PT Hanochem Shipping. Penyitaan itu dilakukan karena Komisaris Utama (Komut) PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri tahun 2016-2019. Gugatan pun dilayangkan ke PTUN Jakarta. Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Senin (23/8), gugatan itu mengantongi nomor 199/G/2021/PTUN.JKT Shining Shipping SA mengaku kaget dengan penyitaan itu, karena tidak tahu apa-apa. Dalam gugatannya, Shining Shipping meminta hakim pengadilan mengabulkan gugatannya untuk seluruhnya. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Perintah Penyitaan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No Print 141/F.2/Fd.2/05/2021 tanggal 20 Mei 2021 sebagaimana dinyatakan dalam Berita Acara Penyitaan tanggal 24 Mei 2021 dan Berita Acara Penyitaan tanggal 24 Mei 2021 mengenai penyitaan terhadap 51 persen saham PT Trada Alam Minera Tbk pada PT Hanochem Shipping Lalu, memerintahkan tergugat (Kejagung, Red) untuk mencabut Surat Perintah Penyitaan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No Print 141/F.2/Fd.2/05/2021 tanggal 20 Mei 2021 sebagaimana dinyatakan dalam Berita Acara Penyitaan tanggal 24 Mei 2021 dan Berita Acara Penyitaan tanggal 24 Mei 2021 mengenai penyitaan terhadap 51 persen saham PT Trada Alam Minera Tbk pada PT Hanochem Shipping. Shining Shipping juga meminta hakim pengadilan untuk menghukum tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. Tersangka Heru Hidayat saat ini tengah menjalani sidang bersama tujuh terdakwa lain, termasuk mantan Dirut Asabri Mayjen TNI (Purn) Adam Rachmat Damiri. Mereka didakwa korupsi hingga merugikan negara sebesar Rp22,78 triliun. Selain itu, Heru bersama Benny Tjokrosaputro dan Jimmy Sutopo juga didakwa dengan tindak pidana pencucian uang. Sementara itu, untuk kedua kalinya Kejagung digugat terkait perkara dugaan tidak pidana korupsi di PT Asabri. Sebelumnya, awal Juli lalu Kejagung RI juga digugat praperadilan terkait penyitaan aset oleh Jimmy Tjokrosaputro yang merupakan adik dari tersangka Asabri, Benny Tjokrosaputro. Gugatan terkait penyitaan aset berupa tanah yang berdiri bangunan Hotel Brothers Inn di Jawa Tengah dan Solo, yang menurut termohon aset tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan perkara Asabri. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan, karena penyitaan yang dilakukan Kejagung RI sah. (sws)

KPK Hilang Akal Sehat

By M Rizal Fadillah RENCANA KPK untuk melibatkan nara pidana koruptor dalam melakukan penyuluhan anti korupsi adalah sesuatu hal di luar akal sehat. Koruptor itu bukan teladan tetapi profil yang memalukan. Aneh, apa yang sebenarnya ada dalam benak para pimpinan KPK saat ini ? Sejak Firli Bahuri memimpin KPK rasanya lembaga anti-rasuah ini ruwet terus. Firli memang tidak kompeten. Nafsu Kepolisian menempatkan perwiranya dimana-mana sangat tidak konstruktif. Tidak mampu menangkap Masiku, gonjang-ganjing TWK, dan kini koruptor yang menjadi penyuluh anti korupsi. Fasilitas Lapas untuk koruptor itu ternyaman yang jauh bila dibanding dengan pelaku kejahatan lain seperti pembunuh, perampok, atau teroris. Dengan kenyamanannya koruptor tidak "menderita" sehingga psikologis efek jera minim. Bahkan koruptor dianggap bukan penjahat. Dalam kasus terkini korupsi Juliari Batubara ternyata Hakim masih bersimpati atau mengasihani atas hinaan publik. Lalu menjadikan kecaman tersebut sebagai alasan hukum untuk meringankan. Memberi penghargaan napi koruptor dengan menjadikan penyuluh justru memancing orang untuk tidak takut korupsi. Bahayanya jika ternyata koruptor itu justru menyampaikan pola atau kisi-kisi bagaimana caranya agar korupsi itu aman. Belajar atas kebodohan dirinya. KPK seperti kehabisan sumber daya penyuluh yang baik. Publik melihat terjadi penyingkiran pada orang-orang yang berdedikasi tinggi. Kasus TWK adalah contoh. Maka ironi sekali jika kini KPK justru merekrut napi koruptor sebagai penyuluh. Hal ini bagai menyapu sampah dengan sapu yang sudah menjadi sampah, menyelesaikan masalah dengan masalah, atau pembohong yang mengajak untuk jujur. Mereka masih berstatus narapidana bukan mantan yang sudah bertaubat atau teruji di masyarakat atas perilaku baiknya. Ketika seorang petinggi partai dan anggota DPR membandingkan dengan BNPT yang juga merekrut mantan teroris maka pembandingan tersebut tidak relevan. Terorisme tidak berorientasi pada kenikmatan hasil bahkan memiliki doktrin pengorbanan total. Motivasi keuntungan kecil dan di dalam penjara termasuk yang berat perlakuannya. Mana ada teroris bisa jalan jalan ke luar apalagi beli rumah di belakang Lapas? Teroris itu banyak yang menjadi korban dari sebuah skenario jahat. Lihat terorisme global dimana ISIS dan Al Qaida yang tak bisa dipisahkan dari rekayasa Amerika. Begitu juga dengan Jamaah Islamiyah atau Anshorud Daulah ini organisasi apa? Natural atau artifisial? Berjuang untuk agama atau abal-abal? Rasanya tidak ada koruptor yang menjadi korban dari jebakan atau permainan. Mereka berbuat untuk suatu kenikmatan yang hampir seratus persen disadari. Menguntungkan diri atau orang lain. Mencuri uang negara, suap, atau hasil mark up. Hanya kesialan saja yang menyebabkan perbuatannya diketahui sehingga kenikmatannya menjadi terganggu. KPK yang merekrut napi koruptor untuk penyuluhan anti korupsi adalah eskalasi dari KPK yang terbukti semakin hilang akal. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

KPK Akan Dalami Vendor Bantuan Sosial yang Tidak Punya Kualifikasi

Jakarta, FNN - Komisioner KPK Alexander Marwata menyebut lembaga penegak hukum yang dipimpinnya akan mendalami vendor-vendor bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial yang disebut dalam putusan Juliari Batubara tidak punya kualifikasi sebagai penyedia. "Banyak vendor yang tidak punya kualifikasi. Hanya sebagai broker, akan dilihat data yang kita miliki kemudian ditambah dengan fakta hukum persidangan," kata Alexander dalam konferensi pers Kinerja KPK Semester 1 tahun 2021, di gedung KPK Jakarta, Selasa, 24 Agustus 2021. Dalam putusan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara pada Senin (23/8), majelis hakim menyebutkan hampir seluruh perusahaan penyedia bantuan sosial berupa sembako dalam penanganan Covid-19 di Kemensos tidak memenuhi kualifikasi dan tidak layak menjadi vendor. Penyebabnya adalah tidak ada seleksi terhadap calon penyedia bansos karena vendor-vendor telah ditentukan oleh Juliari sehingga tim teknis tidak lagi melakukan verifikasi dokumen terhadap calon penyedia. "Dari fakta-fakta persidangan, jaksa penuntut umum akan membuat resume terkait fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, bagaimana misalnya dengan pembelian barang dan jasa, kalau (perkara Juliari) kemarin kan masih suap, ini pembelian barang dan jasanya banyak laporan dari media dan masyarakat," ungkap Alex, sebagaimana dikutip dari Antara. Terkait dengan langkah hukum selanjutnya dalam perkara Juliari, Alex menyebut KPK menunggu keputusan Juliari. "Dari sisi tuntutan dan putusan hakim sudah lebih dari apa yang kami tuntut. Jika terdakwa banding kami juga akan mengajukan memori banding, kalau terdakwa terima yang kami harus fair. Apa yang kami tuntut sudah dipenuhi hakim. Jadi kami menunggu sikap terdakwa apakah akan melakukan banding atau tidak," tambah Alex. Dalam perkara tersebut Menteri Sosial 2019-2020 Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap Rp 32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Juliari Batubara divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari pun diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara. Politikus PDIP tersebut juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok. (MD).

Dewan Pers Intimidasi Majalah Forum Keadilan

Jakarta, FNN – Pemimpin Redaksi Majalah Forum Keadilan, Luthfi Pattimura menyesalkan tindakan intimidatif yang dilakukan oleh Dewan Pers saat melakukan mediasi antara redaksi Majalah Forum Keadilan dengan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Selasa, 24 Agustus 2021 melalui aplikasi zoom. Kata Luthfi, mediasi dihadiri oleh Mohamad Toha, Zainul Arifin, dan Rimbo dari pihak Majalah Forum. Pihak Dewan Pers hadir antara lain Jamalul Insan, Hassanaen Rais, Asep Setiawan, Hetamina, Moebanoe Moera, Rustam, dan dua orang lainnya. Sementara pihak pengadu yakni Kementerian Keuangan tidak hadir. Namun demikian atas permintaan Dewan Pers, mediasi tetap dilanjutkan. “Saya tidak menyangka Dewan Pers bisa bertindak gegabah seperti itu. Jika Dewan Pers juga larut dalam kepentingan penguasa, maka runtuhlah pilar demokrasi kita,” kata Luthfi kepada Bunayya Saifuddin dari FNN di Jakarta, Selasa (24/8/21). Dewan Pers kata Luthfi, seharusnya menjadi penengah ketika ada sengketa pemberitaan, akan tetapi terkesan bertindak tidak adil dan berpihak kepada salah satu pihak dalam hal ini Kementerian Keuangan. “Ini jelas mengingkari tujuan dibentuknya Dewan Pers oleh negara,” katanya. Oleh karena itu Luthfi sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Forum langsung mengirimkam surat protes bernomor: 054/RM-FK/VIII/2021 kepada Dewan Pers beberapa saat setelah mediasi berlangsung. Kopi surat itu juga dikirim ke redaksi FNN. Adapun isi keberatan Majalah Forum adalah: Bersama ini Majalah FORUM Keadilan menyatakan keberatan dan protes kepada Dewan Pers terhadap model dan substansi pertemuan (mediasi) antara Majalah FORUM Keadilan dengan pengadu (Kementerian Keuangan). Adapun keberatan Majalah FORUM Keadilan adalah sebagai berikut : Bahwa tindakan Dewan Pers dalam memediasi pengaduan Kementerian Keuangaan terhadap artikel majalah FORUM NomoR 22, edisi 01 -14 Agustus 2021, dengan judul “Rp 75 MILIAR UNTUK XI DPR HANCURKAN BPK” adalah merupakan perintah UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Bahwa artikel dengan judul “Rp 75 MILIAR UNTUK XI DPR HANCURKAN BPK” adalah produksi resmi Redaksi Majalah FORUM Keadilan. Bahwa Dewan Pers telah lebih dahulu melakukan penyelidikan atas status kewartawanan wartawan kami, saudara Luqman Ibrahim Soemay adalah langkah mencampuri urusan internal redaksi Majalah FORUM Keadilan. Bagi kami, sikap ini menandai Dewan Pers telah bertindak sebagai penyelidik yang mewakili kepentingan pengadu, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Bahwa tidak itu saja, sikap yang menyelidiki status kewartawanan Luqman Ibrahim Soemay dan proses produksi berita di redaksi, juga menandai Dewan Pers telah dengan sengaja dan nyata-nyata melanggar pasal 10 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Esensi pasal ini adalah perusahaan pers diberikan hak untuk menyembunyikan atau tidak memberitahukan atau tidak menunjukkan atau melindungi nama nara sumber berita. Bahwa, sesuai dengan substansi konsep mediasi, Dewan Pers, terlepas dari metode mediasi, harus memastikan bahwa pihak pengadu yang merasa dirugikan dengan pemberitaan Majalah FORUM Keadilan dalam forum mediasi tersebut. Bukan sebaliknya, membiarkan pengadu tidak hadir, dan Dewan Pers memposisikan diri seolah-olah mewakili kepentingan Kementerian Keuangan. Bahwa Majalah FORUM Keadilan menilai bahwa Dewan Pers pada angka (4) di atas, terlihat Dewan Pers berfungsi sebagai reinkarnasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika (Ditjen PPG) Departemen Penerangan era Orde Baru yang pada masa itu menjadi lembaga super body. Majalah FORUM Keadilan harus memberitahukan Dewan Pers bahwa status super body itulah yang merusak dunia pers. Itu sebabnya lembaga ini dibubarkan, sehingga lahirlah Dewan Pers. Bahwa Majalah FORUM Keadilan ingin agar Dewan Pers bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya. Dalam hubungan itu, kami sungguh sangat keberatan terhadap sikap Dewan Pers yang mempersoalankan proses prooduksi pemberitaan di internal redaksi Majalah FORUM Keadilan. Bahwa Majalah FORUM Keadilan kebaratan dengan pernyataan Dewan Pers di akhir pertemuan zoom yang menyatakan bahwa pertemuan ini deadlock. Majalah FORUM Keadilan dengan tegas menolak penilaian atau sikap tersebut, karena tidak ada yang dimediasi yang dilakukan kok ada deadlock? Pengadu tidak hadir dalam pertemuan tersebut, sehingga apa yang deadlock? Oleh karena itu tidak ada dasar sama-sekali untuk dibuat sebuah rekomendasi dalam pengaduan ini. Bahwa Majalah FORUM Keadilan menilai, sikap Dewan Pers dengan pertanyaan-pertanyaan pertemuan tadi, sebagai bentuk dan cara terselubung mengintimidasi pers yang bebas, independen, dan bertanggung jawab. Bahwa sekali Majalah FORUM Keadilan mengharapkan Dewan Pers untuk tidak menjadi penyelidik dalam mediasi ini. Untuk itu, kami sangat keberatan, bila mediasi berikutnya tidak dihadiri oleh pihak pengadu. Bahwa Majalah FORUM Keadilan keberatan dengan pengunduran waktu zoom. Majalah FORUM Keadilan mencurigai bahwa pengunduran waktu tersebut, menandai ketidaksiapan Dewan Pers, sehinggu masih perlu dibrifing dan dikonsolidasi. Apa saja materi yang dibrifing dan dikonsolidasikan, kami tidak mengerti. Namun kami sadar bahwa pengunduran waktu tersebut sebagai cara Dewan Pers untuk menyudutkan kami. Bahwa kalau begini kenyataannya, maka Majalah FORUM Keadilan beranggapan bahwa Dewan Pers telah nyata-nyata memposisikan diri sebagai pengadu, sekaligus merangkap sebagai penyelidik. Jadinya, Majalah FORUM Keadilan berhadapan dengan pangadu yang juga marangkap sebagai penyelidik. Sikap Dewan Pers ini jelas sangat tidak fair, bahkan bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Bahwa untuk alasan yang berkaitan dengan fitnah, tendensius, tidak sesuai fakta, hanya asumsi dan sejeninsnya itulah, maka masyarakat pers universal mempersilahkan para pihak yang merasa dirugikan dengan setiap pemberitaan untuk menggunakan "HAK JAWAB". Bahwa "HAK JAWAB" yang diwajibkan oleh masyarakat pers universal tersebut, telah diadopsi ke dalam sistem hukum positif kita, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang secara imprerative memerintahkan dan mewajibkan perusahaan pers, termasuk kami Majalah FORUM untuk memuat secara utuh setiap bantahan dan jawaban berupa "HAK JAWAB" dari pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Bahwa sebagai Dewan Pers yang benar, legitimate dan mengerti UU, pastinya bukan Dewan Pers yang tak memahami undang-undang, dengan hormat kami mengharapkan kepada Dewan Pers untuk dapat memastikan agar Kementerian Keuangan segera memberikan tanggapan dan bantahan sebagai realisasi atas "HAK JAWAB" tersebut secepatnya. Majalah FORUM Keadilan setia menunggu penggunaan "HAK JAWAB" tersebut. Jakarta, 24 Agustus 2021 Luthfi Pattimura Pemimpin Redaksi Surat protes ini ditulis sesuai aslinya dengan sedikit membetulkan typo. (bs)

Koruptor Bansos Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara

Jakarta, FNN - Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek. "Menyatakan, terdakwa Juliari Batubara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama secara berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda sejumlah Rp500 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata ketua majelis hakim Muhammad Damis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin. Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Juliari Batubara divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari juga diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000. "Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000. Bila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 2 tahun," tambah hakim. Majelis hakim juga memutuskan agar Juliari dicabut hak politiknya dalam periode tertentu. "Menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," ungkap hakim Damis. Dalam perkara ini Juliari P Batubara selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja serta uang sebesar Rp29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain. Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako. Uang suap itu diterima dari Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako periode April-Oktober 2020 dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK pengadaan bansos sembako COVID-19 periode Oktober-Desember 2020. Hakim menilai Juliari terbukti memerintahkan Matheus Joko dan Adi Wahyono untuk meminta "commitment fee" sebesar Rp10 ribu per paket kepada perusahaan penyedia sembako. "Perbuatan terdakwa telah merekomendasikan dan mengarahkan perusahaan penyedia bansos sembako COVID-19 adalah bentuk intervensi sehingga tim teknis tidak bisa bekerja normal dan tidak melakukan seleksi di awal proses meski perusahaan tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyedia," ungkap anggota majelis Joko Subagyo. Uang "fee" sebesar Rp14,7 miliar sudah diterima oleh Juliari dari Matheus Joko dan Adi Wahyono melalui perantaraan orang-orang dekat Juliari yaitu tim teknis Mensos Kukuh Ary Wibowo, ajudan Juliari bernama Eko Budi Santoso dan sekretaris pribadi Juliari Selvy Nurbaity. Matheus Joko dan Adi Wahyono kemudian juga menggunakan "fee" tersebut untuk kegiatan operasional Juliari selaku mensos dan kegiatan operasional lain di Kemensos seperti pembelian ponsel, biaya tes "swab", pembayaran makan dan minum, pembelian sepeda Brompton, pembayaran honor artis Cita Citata, pembayaran hewan kurban hingga penyewaan pesawat pribadi. (sws)

KPK Panggil Lima Saksi Terkait Kasus Asuransi Jasindo

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil lima saksi untuk tersangka Direktur Keuangan dan Investasi PT Asuransi Jasindo periode 2008—September 2016 Solihah (SLH). Mereka dipanggil pada hari Senin dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pembayaran komisi kegiatan fiktif agen PT Asuransi Jasindo dalam penutupan (closing) asuransi oil dan gas pada BP MIGAS-KKKS pada tahun 2010—2012 dan 2012—2014. "Hari ini pemeriksaan saksi dugaan korupsi kegiatan fiktif agen PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) dalam penutupan (closing) asuransi oil dan gas pada BP Migas-KKKS pada tahun 2020—2012 dan 2012—2014 untuk tersangka SLH. Pemeriksaan dilakukan di Kantor KPK, Jakarta Selatan," kata Plt, Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta. Lima saksi, yaitu Dwi Yanti Handayani selaku karyawan PT Asuransi Jasindo/Sekretaris Dirut PT Asuransi Jasindo, Kepala PT Asuransi Jasindo Cabang Gatot Subroto 2009—2010 Budi Susilo, Karyawati PT Asuransi Jasindo Yani Karyani, Suntoro selaku cleaning service PT Asuransi Jasindo, dan mantan Karyawan PT Asuransi Jasindo Yuko Gunawan. Selain Solihah, KPK juga telah menetapkan pemilik PT Ayodya Multi Sarana (AMS) Kiagus Emil Fahmy Cornain (KEFC) sebagai tersangka. Kasus yang menjerat dua orang tersebut adalah pengembangan penyidikan dengan tersangka Direktur Utama PT Asuransi Jasindo periode 2011—2016 Budi Tjahjono yang saat ini perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Atas perbuatannya, dua tersangka itu disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam konstruksi perkara dijelaskan bahwa Kiagus melobi beberapa pejabat di BP Migas untuk memenuhi keinginan Budi yang menginginkan PT Asuransi Jasindo menjadi leader konsorsium (sebelumnya berstatus sebagai co-leader) dalam penutupan asuransi proyek dan aset BP Migas-KKKS pada tahun 2009—2012. Atas pembantuan yang dilakukan oleh Kiagus, selanjutnya Budi memberikan sejumlah uang dengan memanipulasi cara mendapatkan pengadaannya seolah-olah menggunakan jasa agen asuransi yang bernama Iman Tauhid Khan yang merupakan anak buah Kiagus sehingga terjadi pembayaran komisi agen dari PT Asuransi Jasindo kepada Iman sejumlah Rp7,3 miliar. Jumlah uang Rp7,3 miliar tersebut lalu diserahkan oleh Kiagus kepada Budi sejumlah Rp6 miliar dan sisa Rp1,3 miliar untuk kepentingan Kiagus. Menindaklanjuti perintah Budi agar PT Asuransi Jasindo tetap menjadi leader konsorsium dalam penutupan asuransi proyek dan aset BP Migas-KKKS pada tahun 2012—2014 dilakukan rapat direksi yang di antaranya dihadiri oleh Solihah selaku Direktur Keuangan PT Asuransi Jasindo. Dalam rapat direksi tersebut diputuskan tidak lagi menggunakan agen Iman Tauhid Khan, kemudian diganti dengan Supomo Hidjazie. Hal ini disepakati untuk pemberian komisi agen dari Supomo dikumpulkan melalui Solihah. Dalam pengadaan penutupan asuransi proyek dan aset BP Migas-KKKS pada tahun 2012—2014 tersebut, Budi tetap menggunakan modus seolah-olah pengadaan tersebut didapatkan atas jasa agen asuransi Supomo tersebut dengan pembayaran komisi agen sejumlah 600.000 dolar AS. Uang itu diberikan secara bertahap oleh Supomo kepada Budi melalui Solihah yang dipergunakan untuk keperluan pribadi Budi sekitar 400.000 dolar AS dan juga khusus bagi keperluan pribadi Solihah sekitar sejumlah 200.000 dolar AS. (mth)

MAKI Ajukan Praperadilan ke KPK Atas Kasus Djoko Tjandra

Jakarta, FNN - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penghentian supervisi dan penyidikan orang yang dianggap sebagai "king maker" pada kasus Djoko Tjandra. "MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengurusan fatwa oleh Pinangki Sirna Malasari dan kawan-kawan untuk membebaskan Djoko Tjandra atas vonis penjara perkara korupsi Bank Bali," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (22/8). Terkait dengan materi praperadilan, MAKI menyiapkan sejumlah poin, yakni pada 11 September 2020 MAKI mengirimkan surat elektronik kepada KPK Nomor: 192/MAKI/IX/2020 perihal penyampaian materi dugaan perkara tindak pidana korupsi Joko S. Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari untuk digunakan bahan supervisi. Setelah itu, MAKI diundang oleh KPK pada 18 September 2020 untuk memperdalam informasi terkait dengan "king maker" dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengurusan fatwa oleh Pinangki Sirna Malasari dan kawan-kawan. MAKI menerima surat balasan dari KPK pada 2 Oktober 2020 perihal tanggapan atas pengaduan masyarakat sebagai balasan atas penyampaian materi dari MAKI berdasarkan surat MAKI tertanggal 11 September. Surat KPK tersebut berisi pengaduan dari MAKI yang dijadikan bahan informasi untuk Kedeputian Bidang Penindakan KPK. Seterusnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara terdakwa Pinangki Sirna Malasari dan terdakwa lainnya. Dalam pertimbangannya menyatakan keberadaan "king maker" sebagai aktor intelektual dari Pinangki Sirna Malasari untuk membebaskan Djoko Tjandra dari kasusnya. Namun, majelis hakim menyatakan tidak mampu menggali siapa "king maker" sehingga menjadi kewajiban KPK untuk menemukannya sebagai aktor intelektual dari Pinangki Sirna Malasari. "Pada 30 Juli 2020, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan telah menghentikan supervisi perkara tersebut," ujarnya. Tindakan KPK yang menghentikan supervisi atas kasus tersebut adalah bentuk penelantaran perkara yang mengakibatkan penanganan kasus menjadi terkendala untuk membongkar dan mencari "king maker". Hal itu, lanjut dia, adalah bentuk penghentian penyidikan perkara korupsi secara materi, diam-diam, menggantung dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pegawai Nonaktif KPK Laporkan Pegawai KPK ke Dewan Pengawas

Jakarta, FNN -- Perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK melaporkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata ke Dewan Pengawas KPK karena diduga melakukan pelanggaran etik. "Perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK telah mengirimkan dua surat kepada Dewas Pengawas. Laporan pertama adalah dugaan pelanggaran etik dan perilaku oleh Wakil Ketua KPK AM (Alexander Marwata)," kata perwakilan 57 pegawai, Hotman Tambunan, melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu. Menurut Hotman, Alexander diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku karena melakukan konferensi pers yang bermuatan pencemaran nama baik atau penghinaan bagi 51 pegawai nonaktif pada tanggal 25 Mei 2021. Pernyataan Alex yang diduga melanggar etik yaitu "...sedangkan yang 51 orang, kembali lagi dari asesor, itu sudah warnanya merah dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan...". "Pernyataan 'warnanya sudah merah dan tidak bisa dilakukan pembinaan' yang disematkan kepada 51 orang pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat menjadi ASN telah merugikan," ungkap Hotman. Menurut Hotman, semua pegawai yang 51 orang dengan mudah teridentifikasi dengan tidak diangkatnya 75 yang dianggap tidak memenuhi syarat oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan 24 nama pegawai yang dianjurkan untuk mengikuti pelatihan. Hotman menyebut perbuatan tersebut diduga telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku insan KPK, yaitu nilai dasar keadilan, Pasal 6 Ayat (2) Huruf d; Pasal 6 Ayat (1) Huruf a; Pasal 8 Ayat (2) dan Pasal 4 Ayat (1) Huruf c; Laporan dugaan pelanggaran etik itu diajukan oleh tujuh pegawai yang menjadi perwakilan 57 pegawai KPK pada tanggal 18 Agustus 2021. Mereka adalah Harun Al Rasyid, Yudi Purnomo, Sujanarko, Aulia Postiera, Novel Baswedan, Rizka Anungnata, dan Rasamala Aritonang. Perwakilan pegawai juga mengirimakn surat "Permohonan Pengawasan Pelaksanaan Tindakan Korektif Ombudsman dan Rekomendasi Komnas HAM" pada tanggal 19 Agustus 2021. "Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya dan menyatakan adanya maladministrasi dalam pelaksanaan TWK berupa ketidaktaatan dan pengabaian pada peraturan perundang-undangan, kesalahan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang," ungkap Hotman. Sementara itu, Komnas HAM telah telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya dan menyatakan adanya 11 pelanggaran HAM pada pegawai KPK dalam pelaksanaan TWK berupa. Kesebelas hak yang dilanggar adalah hak atas keadilan dan kepastian hukum; hak perempuan; hak untuk tidak didiskriminasi; hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan; hak atas pekerjaan; hak atas rasa aman. Selanjutnya, hak atas informasi; hak atas privasi; hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat; hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan; dan hak atas kebebasan berpendapat. Atas temuan-temuan tersebut, Ombudsman RI dan KomnasHAM RI telah memberikan tindakan korektif dan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh Pimpinan KPK. "Dalam hubungan dengan pelaksanaan tindakan korektif dan rekomendasi dari Ombudsman RI dan KomnasHAM RI itu mohon kiranya agar Dewas dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya agar tepat waktu dan untuk menghindari kerugian dan tindakan sewenang-wenang lebih lanjut pada pegawai KPK," ungkap Hotman. Permohonan itu disampaikan, menurut Hotman, agar KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selalu berjalan berdasarkan asas pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah ditentukan sebagaimana disebut dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yaitu untuk memastikan tegaknya hukum dan kepercayaan publik atas lembaga KPK. (sws)

Terkait Sumbangan Bohong Rp 2 Triliun, Tim Internal Polisi Segera Laporkan Hasil Pemeriksaan Kapolda Sumatera Selatan

Jakarta, FNN - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, Tim Internal Polri dari Itwasum dan Propam Polri segera melaporkan ke Kapolri hasil pemeriksaan Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol Eko Indra Heri terkait donasi Rp 2 triliun dari Akidi Tio. "Jadi Tim Itwasum sudah kembali dari Sumsel dalam meminta keterangan Kapolda Sumsel, begitu juga Tim Propam juga sudah kembali," kata Argo dalam konferensi pers, di Gedung Bareskrim Polri Jakarta Selatan, Jumat, 20 Agustus 2021. Sejak tanggal 4 Agustus 2021 Tim Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) serta Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian (Propam) diturunkan untuk meminta keterangan Eko Indra Heri terkait donasi untuk penanganan Covid-19 yang membuat gaduh di masyarakat. Setelah hampir dua pekan, tim kembali dan segera menyusun laporan hasil pemeriksaan kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Argo tidak merincikan apa saja hasil pemeriksaan oleh Tim Internal Polri tersebut. Hasil pemeriksaan akan disampaikan kepada masyarakat lewat pers setelah laporan diserahkan kepada Kapolri. "Tentunya, nanti setelah dari Itwasum menyusun laporan, nanti akan diberikan ke Bapak Kapolri. Dari Paminal nanti dikirim. Tadi ketemu Kadiv Propam, mereka sedang membuat laporannya, biar nanti hasil dari pemeriksaan diajukan ke Kapolri dulu," ujar Argo. Mengenai pencopotan maupun rotasi Kapolda Sumatera Selatan, kata Argo, ada standar prosedur operasi (SOP) dan aturan tersendiri, salah satunya menunggu hasil pemeriksaan Itwasum dan Propam Polri. "Tentunya, ini semua kami harus mengetahui nanti bagaimana hasil daripada kegiatan Itwasum dan Propam ini setelah laporan diajukan kepada Bapak Kapolri. Ini masih dalam proses pembuatan (laporan-red)," kata Argo, sebagaimana dikutip dari Antara. Sebelumnya diberitakan, Kepala Polisi Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jendral Polisi Eko Indra Heri telah menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat ihwal dana hibah Rp 2 triliun dari almarhum Akidi Tio yang belum jelas keberadaannya. Kegaduhan dana hibah tersebut bermula saat itu ia dihubungi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, Lesty Nurainy dan dokter keluarga almarhum Akidi Tio, Hardi Darmawan di rumah dinasnya, Jumat (23/7), untuk membicarakan pemberian donasi. Ketika itu, sebagai kapolda, ia hanya dipercayakan menyalurkan bantuan uang itu dan diminta dikawal transparansinya. Namun, karena menaruh kepercayaan terhadap inisiasi kemanusiaan tersebut lantas tidak terlalu mendalami kepastiannya, sebab sudah diyakinkan uang tersebut tinggal diproses pencairannya saja. Sampai sekarang tidak jelas keberadaan uang tersebut. Dalam perkara itu penyidik Polda Sumsel telah meminta keterangan sejumlah saksi, yakni Heryanti Tio, Rudi Sutadi, Kelvin (satu keluarga anak alm Akidi Tio), dr Hardi Darmawan (dokter pribadi keluarga) dan satu lain belum diketahui identitasnya. (MD).

Moeldoko Kirim Somasi Ketiga kepada ICW

Jakarta, FNN - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengirimkan surat somasi ketiga kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) agar dalam waktu 5 x 24 jam menunjukkan bukti-bukti tuduhan keterlibatan mengambil keuntungan dari peredaran obat Ivermectin dan ekspor beras. "Kami berunding dengan Pak Moeldoko, ya, sudah kalau orang salah siapa tahu mau berubah. Kami berikan kesempatan sekali lagi, kesempatan terakhir kepada saudara Egi, surat teguran ketiga dan terakhir. Kami tegas katakan kami berikan 5 x 24 jam untuk mencabut pernyataan dan minta maaf kepada Pak Moeldoko," kata penasihat hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat. Somasi pertama Moeldoko dilayangkan pada tanggal 30 Juli 2021, kemudian somasi kedua pada tanggal 6 Agustus 2021. Dalam kedua somasi tersebut, Otto meminta peneliti ICW Egi Primayogha memberikan bukti-bukti dari mengenai pernyataan soal Moeldoko mengambil rente dari peredaran Ivermectin serta menggunakan jabatannya untuk melakukan ekspor beras. "Apabila tidak mencabut dan meminta maaf, saya nyatakan dengan tegas bahwa kami sebagai penasihat hukum akan melapor ke polisi," kata Otto. Otto menyebut Moeldoko sudah memberikan waktu yang cukup kepada ICW untuk menjawab somasi pertama dan kedua. Akan tetapi, dia merasa tidak puas dengan surat jawaban ICW. Ia menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk berlindung di balik demokrasi tetapi mencemarkan nama orang lain. "Jadi, kalau sampai tidak minta maaf, kami akan lapor kepada yang berwajib, ke kepolisian. Mudah-mudahan Pak Moeldoko sendiri yang akan melapor ke kepolisian," kata Otto. Menurut Otto, Egi Primayogha tidak membalas somasi Moeldoko, tetapi yang membalas somasi adalah Koordinator ICW Adnan Topan Husodo. "Di surat dia disebut sebagai Koordinator ICW saja, bukan kuasa hukum saudara Egi, padahal yang tegas yang memberikan menyampaikan siaran pers dan diskusi publik adalah Egi sendiri dan temannya, jadi perbuatan pidana itu tidak bisa dipindahkan kepada orang lain," ujar Otto. Dalam surat balasan ICW tersebut, Otto menilai ICW tidak dapat membuktikan analisis mengenai dugaan keterlibatan Moeldoko dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras. "Balasan mereka benar-benar melakukan fitnah dan pencemaran nama baik karena mereka mengatakan melakukan penelitian sebelum mengungkap ke media," katanya. Dalam balasan surat, lanjut dia, ternyata bila dilihat metodologinya tidak ada interview, hanya mengumpulkan data sekunder. Dengan demikian, ini bukan penelitian karena ICW hanya membuat analisis dengan menggabung-gabungkan cerita yang ada di media. Isi lain surat balasan ICW itu, ungkap Otto, adalah ICW mengakui adanya misinformasi. "Kalau mereka misinformasi, lalu melontarkan di media massa, sepatutnya mereka meralat atau mencabut pernyataan semula karena sudah merugikan Pak Moel, nama baik sudah telanjur tercemar, tidak bisa entengnya mengatakan misinformasi lalu selesai, harus tegas mencabut dan memulihkan nama Pak Moeldoko," kata Otto. Dalam konferensi pers ICW pada tanggal 22 Juli 2021 disebutkan bahwa Moeldoko dalam jabatannya sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) punya hubungan dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa, yaitu mengadakan program pelatihan petani di Thailand. Perseroan Terbatas (PT) Noorpay sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara sebagai Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin yang disebut-sebut sebagai salah satu obat COVID-19. Jejaring itu diduga mencari keuntungan di tengah krisis pandemi lewat relasi politik, apalagi putri Moeldoko, Joanina Rachman, adalah pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa. ICW juga mengungkapkan pada awal Juni 2021, Ivermectin didistribusikan oleh PT Harsen ke Kabupaten Kudus melalui HKTI. (mth)