HUKUM

Empat Terdakwa Korupsi Hibah Masjid Dituntut Penjara 19 Tahun

Sumatera Selatan, FNN - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, menuntut empat terdakwa perkara tindak pidana korupsi hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang pidana penjara selama 19 tahun. Keempat terdakwa tersebut adalah Eddy Hermanto (mantan Ketua Umum Pembangunan Masjid Sriwijaya), Syarifuddin MF (Ketua Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya), Dwi Kridayani (KSO PT Brantas Abipraya - Yodya Karya), dan Yudi Arminto (Project Manager PT Brantas Abipraya). "Kami penuntut umum menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan keempat terdakwa bersalah menurut hukum dipidana penjara 19 tahun. Pidana penjara tersebut dikurangi selama masa kurungan yang sudah dilakukan dengan perintah tetap dalam tahanan," kata JPU M Naimullah dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai Majelis Hakim Sahlan Effendi, Jumat, 29 Oktober 2021. Selain pidana penjara, lanjut jaksa, setiap terdakwa wajib untuk membayar denda atas perkara tersebut masing-masing senilai Rp 750 juta subsider enam bulan. Lalu setiap terdakwa diwajibkan untuk membayar uang pengganti dengan nilai yang disesuaikan berdasarkan perbuatan masing-masing. Terhadap terdakwa Eddy Hermanto diwajibkan membayar uang senilai Rp 684 juta, terdakwa Syarifuddin senilai Rp 1 miliar, Dwi Kridayani senilai Rp 2.5 miliar dan terdakwa Yudi Arminto senilai Rp 22.4 miliar. Menurutnya, bila dalam waktu satu bulan setelah putusan berstatus inkracht (berketatapan hukum) maka harta benda terdakwa disita oleh jaksa untuk dilelang. Hasil dari pelelangan tersebut uangnya dikembalikan kepada negara. "Kalau nilainya masih tidak mencukupi maka dikenakan dipidana penjara sembilan tahun enam bulan," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara. Tuntutan yang dijatuhkan JPU tersebut yang hampir mencapai hukuman maksimal dinilai sudah layak. Sebab terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan memberatkan mereka dalam menentukan tuntutan tersebut. Menjurut jaksa, atas perbuatan tersebut terdakwa sama sekali tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah tentang pembangunan rumah ibadah yakni masjid, dan terdakwa sama tidak menyesali perbuatan yang mereka lakukan tersebut. Maka setelah dilakukan pemeriksaan barang bukti lalu didukung oleh keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa. Terdapat beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, secara melawan hukum, diantaranya yaitu pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 ada pemberian hibah berbentuk uang kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya yang berdomisili di Jalan Limau II Blok B/3, Kelurahan Gandaria, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2015 sebesar Rp 50.000.000.000 dan APBD Tahun 2017 sebesar Rp 80.000.000.000. Proses tersebut tanpa dilakukan verifikasi terhadap usulan tertulis (proposal), tidak melalui pembahasan pada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan beberapa perbuatan lainnya seperti dilakukan kesepakatan besaran kontrak kerja meskipun belum diketahui anggaran hibah dalam nota perjanjian hibah daerah (NPHD). Terdakwa diduga melanggar ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, Pasal 19 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD diduga digunakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Berdasarkan penyidikan tim penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam perkara tersebut, masing-masing terdakwa diduga telah menerima sejumlah dana, yaitu Eddy Hermanto menerima sebesar Rp 684.419.750, Syarifudin Rp 1.049.336.610, Dwi Kridayani sebesar Rp 2.500.000.000, Yudi Arminto sebesar Rp 2.368.553.390, PT Brantas Abeparaya (Persero) sebesar Rp 5.000.000.000. Terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal primer. Pasal 12 b ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai pasal sekunder. Sementara itu Hakim Sahlan Effendi mengatakan, diberikan waktu sampai satu pekan ke depan kepada terdakwa untuk menentukan sikap apakah menerima tuntutan JPU atau mengajukan banding. (MD).

Korban UU ITE Bukti Pembatasan Kebebasan Berekspresi Buruk Sekali

Jakarta, FNN - Pembatasan kebebasan berekspresi yang dipraktikkan (pemerintah), buruk sekali. Hal itu terbukti dari banyaknya korban Undang-Undang Informmasidan dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "Pasal pembatasan kebebasan berpendapat telah ditafsirkan secara berlebihan oleh para pembuat aturan. Seharusnya, yang menjadi substansi dari aturan adalah kebebasan berpendapat yang harus dikelola, diatur, dan dibatasi," kata anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M Choirul Anam, Jumat, 29 Oktober 2021. “Tetapi, karena saking ketatnya pembatasan, yang terjadi bukan mendiskusikan kebebasan berpendapat, tmelainkan mendiskusikan pembatasan itu, sehingga tidak ada makna kebebasan dalam konteks hak asasi manusia,” kata Choirul Anam sebagaimana dikutip dari Antara. Ia menyampaikan hal itu ketika memberi paparan materi dalam kuliah umum hukum hak asasi manusia bertajuk “Mekanisme Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat” yang disiarkan di kanal YouTube FHUB Official. Anam mengatakan, pelaku pencemaran nama baik tidak boleh dipidana oleh hukum yang berlaku. “Kalau ada orang yang tersinggung reputasinya, tercemar reputasinya, ya gugat saja di perdata. Itu mekanismenya,” ujar Anam. Akan tetapi, dia melanjutkan, di Indonesia, pemerintah justru memfasilitasi penindakan pelaku pencemaran nama baik melalui jalur pidana dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal 27 ayat (3). Pasal tersebut memuat salah satu perbuatan dilarang, yakni dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Atas perbuatan tersebut, berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU ITE, seseorang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. "International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik mengatakan, kebebasan berekspresi atau berpendapat bisa dibatasi," kata dia. Pembatasan tersebut tertuang pada pasal 19 UU Nomor 12/2005. Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 12/2005 membahas mengenai pembatasan hak kebebasan berpendapat dengan tujuan menghormati hak atau nama baik orang lain, serta melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat. (MD).

Bea Cukai Madura Musnahkan Jutaan Batang Rokok Ilegal

Pamekasan, FNN - Kantor Bea dan Cukai Madura, Jumat, memusnahkan jutaan batang rokok ilegal hasil sitaan institusi itu di Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. "Ada 5.329.166 batang rokok yang kami musnahkan hari ini. Rokok-rokok ini merupakan hasil sitaan petugas dari operasi gabungan yang kami gelar di empat kabupaten di Pulau Madura selama ini," kata Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Madura Yanuar Calliandra. Rokok-rokok yang tidak dilekati pita cukai hasil 151 kali penindakan dalam bentuk operasi rutin gabungan bersama polisi, TNI, dan pemkab se-Madura ini diangkut dua armadara truk dari gudang penyimpanan Kantor Bea Cukai di Jalan Panglima Sudirman Pamekasan menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Angsanah, Kecamatan Proppo, Pamekasan. Petugas selanjutnya menaruh rokok yang terdiri atas puluhan merek ini di sebuah lubang, lalu mencampurnya dengan sampah. KPP Bea Cukai Madura Yanuar Calliandra menyatakan bahwa keberhasilan petugas menyita rokok ilegal itu merupakan bentuk keseriusan dalam memberantas peredaran rokok ilegal di Pulau Madura. "Jadi, tidak benar bahwa Kantor Bea Cukai sering bermain-main dengan rokok ilegal," katanya. Pernyataan Yanuar ini sekaligus membantah tudingan sebagian aktivis lembaga swadaya masyarakat dan pengusaha rokok lokal Pamekasan yang berunjuk rasa ke Kantor Bea Cukai Madura. Mereka memprotes pola penyitaan rokok dengan sistem tebus belum lama ini. Kala itu pengunjuk rasa menuding tindakan terhadap peredaran rokok ilegal atau rokok yang tidak dilekati pita cukai sebagai bentuk pemerasan karena sebagian rokok yang disita masih bisa ditebus melalui oknum. Pemusnahan rokok ilegal atau rokok yang tidak dilekati pita cukai di TPA Sampang Desa Angsanah, Jumat (29/10/2021), itu merupakan kali keempat dalam kurun waktu 2019 hingga Oktober 2021. Pada tahun 2019 rokok ilegal yang dimusnahkan tercatat sebanyak 5.465.363 batang, pada bulan Februari 2020 sebanyak 6.227.884 batang, dan pada bulan November 2020 sebanyak 3.077.112 batang rokok ilegal juga dimusnahkan. Selanjutnya, pada bulan Oktober 2021 sebanyak 5.329.166 batang rokok ilegal dimusnahkan. Dengan demikian, total rokok ilegal yang disita petugas dan dimusnahkan dalam kurun waktu 2019 hingga 29 Oktober 2021 sebanyak 20.099.525 batang rokok. Jumlah ini tergolong sedikit karena berdasarkan pantauan ANTARA di lapangan, hingga kini rokok yang tidak dilekati pita cukai masih beredar di sejumlah pelosok desa dengan sistem penjualan secara tersembunyi. Bupati Pamekasan Baddrut Tamam menyebutkan banyak perusahaan rokok di Pamekasan khususnya dan Madura pada umumnya memiliki potensi bagus dalam pengembangan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Namun, lanjut dia, yang menjadi kendala adalah belum semua produsen rokok mengurus izin usaha dan izin operasional perusahaan sehingga ke depan perlu pendekatan persuasif dengan cara memberikan penyadaran kepada para pelaku usaha tentang manfaat berusaha melalui jalur resmi. "Makanya, kami juga meminta kepada Bea Cukai agar pendekatannya bukan pendekatan 'gempur', melainkan pendekataan kemanusiaan melalui upaya memberikan pemahaman yang benar kepada para pelaku usaha ini," kata Bupati. Disebutkan pula bahwa perusahaan rokok yang tersebar di empat kabupaten di Pulau Madura yang terdata di Kantor Bea dan Cukai Madura saat ini sebanyak 90-an perusahaan rokok. Dari jumlah itu, sekitar 70 perusahaan berada di Kabupaten Pamekasan. Menurut dia, jumlah tersebut menurun drastis karena pada tahun 2009 Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) mendata jumlah perusahaan rokok sebanyak 272 perusahaan yang tersebar di 13 kecamatan di wilayah itu. (mth)

Polda Sulsel Kesulitan Panggil Ibu Anak Korban Rudupaksa di Lutim

Makassar, FNN - Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol E Zulpan menyatakan kesulitan menemui sekaligus memanggil RA, ibu anak korban kasus rudupaksa diduga oleh ayahnya, untuk diambil keterangan tambahan berkaitan dengan pelaporan atas kasusnya di Kabupaten Luwu Timur. "Sekarang ibu RA dan tiga anak korban, kesulitan hadirkan. Kami harap dia hadir dan beri keterangan tambahan yang sangat berguna bagi penyidik meningkatkan penyelidikan dan penyidikan kasus ini lebih lanjut," kata Zulpan di Makassar, Kamis. Menurut dia, RA belum pernah menghadiri panggilan penyidik, bahkan tim telah berusaha menemui baik di rumahnya maupun di kantor instansi pemerintah Pemda Luwu bekerja sebagai ASN, bahkan informasi yang diperoleh yang bersangkutan telah mengajukan cuti Kendati demikian, untuk perkembangan kasus tersebut, kata perwira menengah Polri itu, penyidik Polres Luwu Timur telah memanggil pelapor RA dan tante anak korban guna pengembangan informasi berkaitan penanganan kasus tersebut. Hanya saja, tante anak korban menyatakan siap hadir. "Dengan adanya tante anak korban ini akan sedikit membantu. Diharapkan bisa berikan info lebih banyak untuk penyidik mengali keterangan lain yang dibutuhkan," katanya. Namun demikian, kasus ini tentunya mendapat perhatian serius dari Mabes Polri karena sementara dilakukan asesmen termasuk mencari informasi tambahan atas kasus itu. Sejauh ini, tim kepolisian tetap fokus melaksanakan penyelidikan sesuai temuan baru adanya hasil visum dari Rumah Sakit PT Vale, melalui dokter Imelda yang mengatakan ada peradangan pada bagian alat kelamin anak korban. "Itu kita mau gali. Makanya, kita butuh kehadiran ketiga anak ini. Rekomendasi dokter seperti itu, untuk diperiksa lagi oleh dokter spesialis kandungan," paparnya. Saat ditanyakan bagaimana dengan penanganan laporan balik terlapor dalam hal ini ayah anak tiga korban terduga melakukan rudupaksa berinisial SF, kata dia, sudah diambil keterangannya di Polda Sulsel. "Kemarin sudah diambil keterangan pihak Polda, masih keterangan sementara. Intinya, semua warga punya kedudukan yang sama di mata hukum. Boleh melapor, nanti laporan mana benar tergantung perkembangan penyelidikan oleh penyidik di lapangan," ujar Zulpan. Disinggung dengan pelaporan SF tersebut melabrak aturan mengacu pada Undang-undang nomor 31 tahun 2014 pada poin 10, pelapor, saksi korban tidak dapat digugat pidana dan perdata saat sedang berhadapan dengan hukum sesuai saran dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), Zulpan malah meminta awak media bertanya balik ke LPSK. Sebelumnya, kasus ini kembali mengemuka ke publik dan viral pada awal Oktober 2021, atas tulisan Eko Rusdianto dimuat di website project mutaluli.org yang menjadi produk jurnalistik dengan memberi ruang keluhan ibu korban RA atas dihentikannya kasus pencabulan disertai pemerkosaan ketiga anaknya pada 10 Desember 2019 di Polres Luwu Timur oleh SF. (mth)

Kapolres Luwu Utara Diperiksa Propam Terkait Penembakan

Makassar, FNN - Devisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan telah melakukan pemeriksaan secara maraton terhadap enam orang personil Polri, termasuk Kapolres Luwu Utara AKBP Irwan Sunuddin, terkait penembakan buronan kasus penganiayaan berinisial IL. "Kapolresnya sudah diperiksa, tapi masih jabat kapolres. Semua sudah terperiksa dalam penanganan Propam sesuai terkait dugaan pelanggaran kode etik," ujar Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol E Zulpan disela kegiatan Collaborator Justice di Makassar, Kamis. Meski sejauh ini belum ada hasil pemeriksaan resmi Propam Polda Sulsel terhadap personil Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik atas penembakan itu, Zulpan mengatakan tentunya bila terbukti akan dikenakan sanksi tegas. "Ada enam terperiksa, Kapolres, Kasat Reskrim dan anggota yang lain. Untuk Kasat dan anggota ditarik ke Polda, dimutasi dan pemeriksaan," paparnya kepada wartawan. Pemeriksaan yang melibatkan Kapolres Luwu Utara itu diduga merekayasa peristiwa saat penangkapan buronan pelaku penganiayaan yang berbuntut penembakan saat melaporkan kepada Kapolda Sulsel Irjen Pol Merdisyam. Sebagai pimpinan di wilayah kerja Kabupaten Luwu Utara, Kapolres juga dianggap tidak memeriksa dan mengawasi anggotanya saat eksekusi penangkapan pelaku disertai penembakan sebanyak lima kali. Padahal bersangkutan diketahui tidak melakukan perlawanan saat ditanggal hingga akhirnya mengalami kritis saat dibawa ke rumah sakit setempat. Kapolres juga dinilai lalai dengan tidak mencari kebenaran atas kejadian itu, baik memeriksa dokumen dan fakta yang sesungguhnya terjaditerjadi sesuai Standar Operasional Prosedur atau SOP. Sebelumnya, korban IL (30) dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Andi Djemma, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, karena mengalami luka serius hingga kritis usai ditembak polisi sebanyak lima kali ketika penangkapan pada Sabtu, 9 Oktober 2021. Timah panas yang ditembakkan petugas itu bersarang di lutut, bagian bawah perut, dan dua luka di paha, hingga mendapat delapan jahitan di tubuhnya. Bersangkutan terlibat dua kasus tindak pidana yaitu penganiayaan pada November 2020 dan pembakaran pada Januari 2021. (mth)

KPK Dalami Pembagian "Fee" untuk Tersangka Budhi Sarwono

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pembagian persentase "fee" untuk tersangka Bupati Banjarnegara nonaktif Budhi Sarwono (BS). KPK, Rabu (27/10) memeriksa lima saksi untuk tersangka Budhi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan pada Dinas PUPR Pemkab Banjarnegara, Jawa Tengah Tahun 2017-2018 dan penerimaan gratifikasi. "Didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan hadir langsungnya tersangka BS maupun tersangka KA (Kedy Afandi/orang kepercayaan Budhi) dalam memberikan pengarahan untuk para pengusaha yang akan mengerjakan berbagai proyek di Pemkab Banjarnegara," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Arahan itu, kata Ali, diduga terkait adanya pembagian persentase "fee" untuk tersangka Budhi. Lima saksi yang diperiksa, yaitu Wahyudiono selaku ajudan bupati, wiraswasta Susmono Dwi Santoso, Febriana Eriska Putri selaku Staf Keuangan PT Adi Wijaya, Prihono selaku Direktur CV Pilar Abadhi, dan Cion Pramundita selaku Sekretaris Kecamatan Kalibening, Banjarnegara. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Ditreskrimsus Polda Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah. Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut pada September 2017, Budhi memerintahkan Kedy memimpin rapat koordinasi (rakor) yang dihadiri oleh para perwakilan asosiasi jasa konstruksi di Kabupaten Banjarnegara. Dalam pertemuan tersebut, disampaikan sebagaimana perintah dan arahan Budhi, Kedy menyampaikan bahwa paket proyek pekerjaan akan dilonggarkan dengan menaikkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai 20 persen dari nilai proyek dan untuk perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan paket proyek dimaksud diwajibkan memberikan komitmen "fee" sebesar 10 persen dari nilai proyek. Pertemuan lanjutan kembali dilaksanakan di rumah pribadi Budhi yang dihadiri oleh beberapa perwakilan Asosiasi Gapensi Banjarnegara dan secara langsung Budhi menyampaikan diantaranya menaikkan HPS senilai 20 persen dari harga saat itu. Dengan pembagian lanjutannya adalah senilai 10 persen untuk Budhi sebagai komitmen "fee" dan 10 persen sebagai keuntungan rekanan. Selain itu, Budhi juga berperan aktif dengan ikut langsung dalam pelaksanaan pelelangan pekerjaan infrastruktur di antaranya membagi paket pekerjaan di Dinas PUPR Kabupaten Banjarnegara, mengikutsertakan perusahaan milik keluarganya, dan mengatur pemenang lelang. Kedy juga selalu dipantau serta diarahkan oleh Budhi saat melakukan pengaturan pembagian paket pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh perusahaan milik Budhi yang tergabung dalam grup Bumi Rejo. Penerimaan komitmen "fee" senilai 10 persen oleh Budhi dilakukan secara langsung maupun melalui perantaraan Kedy. KPK menduga Budhi telah menerima komitmen "fee" atas berbagai pekerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten Banjarnegara sekitar Rp2,1 miliar. Atas perbuatannya, Budhi dan Kedy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf i dan atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (sws, ant)

ELSAM: Penolakan Uji Materi Pasal 40 UU ITE Batasi Hak Atas Informasi

Jakarta, FNN - Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengkhawatirkan penolakan permohonan pengujian materi Pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengakibatkan pembatasan hak atas informasi. "Kekhawatirannya, putusan ini dapat menjadi pemicu semakin terancamnya kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi di Indonesia," kata Wahyudi Djafar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis. Wahyudi menyayangkan putusan tersebut, mengingat saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling banyak mengajukan permintaan penghapusan konten dari hasil pencarian Google dan platform lainnya dari perusahaan tersebut. Laporan transparansi Google menyebutkan, sejak 2011, pemerintah Indonesia setidaknya telah mengajukan permintaan penghapusan konten sebanyak 257 ribu konten. Menurut Wahyudi, situasi tersebut mungkin terjadi karena pengaturan konten internet di Indonesia memerlukan kejelasan. "Tidak ada aturan jelas mengenai jenis konten yang dapat dibatasi aksesnya," tutur Wahyudi. Selain itu, prosedur mengenai tindakan pembatasan yang lawful menurut hukum HAM juga masih belum diatur dengan jelas, mengingat hak atas informasi dan kebebasan berekspresi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut berimplikasi pada ketidaktepatan otoritas yang legitimit untuk melakukan tindakan pembatasan. Menurut Wahyudi, negara bukan merupakan satu-satunya aktor pengambil keputusan yang tersedia dalam melakukan pembatasan terhadap konten internet. Sebab, platform di mana konten tersebut dipublikasi memiliki peran yang lebih besar dalam mengatur lalu lintas informasi yang ada di internet, sesuai dengan karakteristik unik internet. Terakhir, adalah kurangnya kejelasan terkait mekanisme banding atas tindakan pembatasan, sebagai aplikasi dari prinsip judicial scrutiny. "Semestinya, Mahkamah Konstitusi dapat menggunakan pendekatan perbandingan untuk melihat pembelajaran dari negara lain. Memastikan adanya checks and balances dalam tindakan pembatasan terhadap konten internet untuk mencegah terjadinya praktik yang sewenang-wenang," tutur Wahyudi. ((sws, ant)

MAKI Nilai Bukan Hanya Polri, Kejaksaan Juga Harus Berbenah

Jakarta, FNN - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai bukan hanya Polri yang harus berbenah, namun kejaksaan juga harus guna meningkatkan integritas aparat penegak hukum di Tanah Air. "Jaksa juga bagian dari aparat penegak hukum sehingga juga harus berbenah," kata dia kepada wartawan di Jakarta, Kamis. Hal itu ia sampaikan terkait beragam keluhan masyarakat soal rendahnya integritas aparat penegak hukum yang belakangan menjadi sorotan publik. Upaya penindakan dan perbaikan sudah dilakukan oleh Polri, namun beberapa pihak melihat bukan hanya Korps Bhayangkara saja, namun oknum-oknum jaksa nakal juga harus ditindak Kejaksaan Agung sebagaimana yang dilakukan Polri terhadap anggotanya. Boyamin berharap sorotan publik terhadap aparat penegak hukum jadi momentum Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) untuk membersihkan oknum-oknum jaksa nakal di daerah. Pada intinya, Boyamin sepakat penegak hukum perlu perbaikan secara besar-besaran karena upaya penegakan hukum berada di tangan mereka terutama soal penindakan korupsi. Oleh karena itu, Boyamin menilai perbaikan tersebut harus menyeluruh bukan hanya polisi saja, namun juga jaksa melalui Kejaksaan Agung ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) hingga ke Kejaksaan Negeri (Kejari). Sementara itu, Direktur Indo Strategi Research and Consulting Arif Nurul Iman mengatakan persoalan penegak hukum terutama mengenai oknum jaksa nakal di daerah, saat ini banyak KPU di daerah sedang bermasalah dengan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) setempat usai Pilkada serentak Desember 2020. Persoalannya adalah upaya Kajari setempat menggali adanya dugaan korupsi terkait penggunaan dana hibah untuk Pilkada serentak 2020. Upaya mencari dugaan korupsi itu satu hal yang bagus, namun apabila dilakukan dengan tidak tepat, justru bisa memunculkan pertanyaan. "Yang dikhawatirkan adanya insinuasi lain dari upaya pemberantasan korupsi tersebut," ucap dia. Menurut aturan yang ada, ketika Kejari di daerah memeriksa hingga menggeledah dan menyegel kantor KPU setempat untuk mendapatkan alat bukti, harus diaudit terlebih dahulu oleh Inspektorat KPU RI. Ia juga menyinggung soal tim penyidik antikorupsi Kejari Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang menggeledah KPU daerah setempat terkait dugaan korupsi anggaran dana hibah Pilkada serentak 2020 sebesar Rp19 miliar. (sws, ant)

Praktisi Hukum Nilai Penolakan Banding Jhoni Allen oleh PT DKI Sudah Tepat

Jakarta, FNN - Praktisi hukum Heru Widodo menyatakan penolakan banding Jhoni Allen Marbun oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta merupakan tindakan hukum tepat. "Ditolaknya gugatan Jhoni Allen sebuah keputusan hukum yang tepat, menandakan bahwa keputusan yang diambil oleh Ketua Umum AHY juga tepat dan sudah sesuai dengan undang-undang dan aturan yang berlaku," kata Heru dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu. Keputusan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memecat Jhoni Allen Marbun dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menolak gugatan banding yang diajukan Jhoni. Penolakan ini dinyatakan dalam Putusan PT Jakarta Nomor 547/PDT/2021/PT DKI yang diumumkan melalui Direktori Mahkamah Agung (18/10). Pengadilan Tinggi menghukum Jhoni Allen untuk membayar biaya perkara. Heru menegaskan penolakan gugatan Jhoni Allen telah terjadi dua kali. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Mei 2021 lalu sudah menolak gugatan Jhoni Allen atas keputusan Ketum AHY memecat dirinya dari keanggotaan Partai Demokrat. Jhoni Allen dipecat dengan tidak hormat, karena turut mendalangi upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) ilegal yang diselenggarakan di Deli Serdang awal Maret lalu. Heru menyatakan keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini menegaskan kembali bahwa Jhoni Allen Marbun memang melanggar hukum dan aturan yang berlaku, sehingga layak dipecat. Sementara itu, para ketua DPD dan DPC Partai Demokrat di seluruh Indonesia menegaskan kembali loyalitas dan kesetiaan kepada Ketum AHY. “Fatsun politik kami tegak lurus kepada Ketum AHY yang sah dan sesuai dengan hukum. Tidak ada dualisme di Partai Demokrat. Ketum hanya satu, AHY. Kalau ada yang ngaku-ngaku, kami lawan,” ujar Anwar Hafidz, Ketua DPD PD Sulawesi Tengah menegaskan. (sws, ant)

Jejak Digital Ungkap, Haji Isam Diduga Terlibat Pembunuhan Guru

Oleh: Mochamad Toha Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyatakan ada 2 kejadian di Kalimantan Selatan yang perlu dikritisi dan dicermati selama satu pekan terakhir antara Presiden Joko Widodo dan Haji Isam. Pertama, pada Kamis (21/10/2021), Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, meresmikan pabrik biodiesel yang didirikan PT Jhonlin Group milik Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam. Kedua, keesokan harinya, Jumat (22/10/2021) lalu, Advokat Jurkani yang sedang melakukan langkah advokasi atas suatu penambangan ilegal juga di daerah Tanah Bumbu, dibacok oleh sekelompok orang hingga luka parah di di kaki dan tangannya. Menurut Denny, kedua peristiwa itu, meski seakan terpisah, sebenarnya menunjukkan satu benang merah, bagaimana politik bisnis batubara bisa masuk ke dalam kepentingan politik dan penegakan hukum di tanah air. Yang pertama, kehadiran Presiden Jokowi meresmikan proyek milik Johnlin Grup, seakan-akan tidak ada masalah – dalam kondisi normal. Namun, sudah menjadi pemberitaan luas bahwa anak perusahaan Johnlin Grup sedang diduga terjerat perkara korupsi suap pembayaran pajak yang kasusnya sedang disidik KPK, dan kasusnya sedang disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Nama Haji Isam sempat menyita perhatian rakyat karena tertarik dalam pusaran kasus korupsi pejabat pajak. Haji Isam diduga 'bermain mata' dengan pejabat pajak berkaitan dengan nilai pajak perusahaannya. Hal itu terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Senin 4 Oktober kemarin. Sidang itu mengadili terdakwa Angin Prayitno Aji selaku mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Dadan Ramdani selaku Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan di Ditjen Pajak. Sidang menghadirkan seorang saksi atas nama Yulmanizar sebagai mantan anggota Tim Pemeriksa Pajak di Ditjen Pajak. Dari kesaksian Yulmanizar dalam Berita Acara Perkara nomor 41 itulah nama Haji Isam muncul. Yulmanizar mengaku sempat bertemu orang bernama Agus Susetyo selaku konsultan pajak PT Jhonlin. Disebutkan, dalam pertemuan itu dia meminta agar nilai perhitungan pajak PT Jhonlin dikondisikan pada Rp 10 miliar. Dalam pertemuan itu, menurut kesaksian Yulmanizar, adalah permintaan langsung dari pemilik PT Jhonlin Baratama yang tidak lain dan tidak bukan adalah Samsuddin Andi Arsyad atau Haji Isam. Pihak Haji Isam sempat melancarkan serangan balik, PT Jhonlin Baratama (JB) sebagai anak usaha dari Jhonlin Group yang berpusat di Kabupaten Tanah Bumbu. Bidang usaha PT JB di sektor pertambangan batubara. Belakangan, Haji Isam melalui kuasa hukumnya Junaidi membantah soal kesaksian dalam persidangan itu. Bahkan pihak Haji Isam melaporkan saksi itu ke Bareskrim Polri dengan tudingan kesaksian palsu. “Keterangan yang disampaikan oleh saudara Yulmanizar selaku saksi pada persidangan terdakwa Angin Prayitno tertanggal 4 Oktober 2021 adalah keterangan yang tidak benar dan menyesatkan serta kesaksian tersebut merupakan kesaksian de auditu," kata Junaidi dalam keterangannya. Ia menyebut, Haji Isam tidak kenal dengan Agus Susetyo, yang di dalam surat dakwaan disebut sebagai konsultan pajak dari PT JB. Haji Isam juga mengaku tidak pernah memerintahkan untuk merekayasa pajak. “Klien kami hanya pemegang saham ultimate di holding company yang tidak terlibat dalam kepengurusan dan operasional JB sehingga tidak mengetahui hal-hal terkait pemeriksaan pajak PT Jhonlin Baratama," papar Junaidi. Mengejar Pembunuh Tempo mencatat, Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam bukan sembarang pengusaha di kota air Banjarmasin. Ia dikenal sebagai "raja batubara", lahir di Batulicin, 1 Januari 1977. Kariernya sebagai pengusaha dimulai sebagai sopir pengangkut kayu. Haji Isam memang berdarah pedagang. Ayahnya, Andi Arsyad, adalah pedagang tembakau asal Bugis yang merantau ke Kalimantan Selatan. Kemajuan bisnisnya tersebut tidak bisa lepas dari perkenalannya dengan Johan Maulana, penambang batubara lokal di Kalimantan Selatan. Lewat bendera PT Jhonlin Baratama, Haji Isam memulai bisnisnya sebagai kontraktor pelaksana tambang di PT Arutmin Indonesia, anak perusahaan PT Bumi Resources milik Bakrie Group. Empat tahun kemudian perusahaan tersebut melebarkan sayap ke ladang batubara lain, seperti PT Alta70, PT Berkat Benua Inti, dan PT Praditya Baramulya. Kini PT Jhonlin menambang hingga 400 ribu ton batubara per bulan. Omzetnya sekitar Rp 40 miliar per bulan. Bisnis Isam juga merambah sektor properti, penerbangan, dan perkapalan. Jhonlin Air Transport kini memiliki 2 Fokker dan 2 helikopter. Dalam bisnis perkapalan, Haji Isam mendirikan Jhonlin Marine, dengan armada 16 kapal tongkang pengangkut batubara. Di balik semua cerita sukses itu, kabar miring tentang dirinya ternyata banyak berembus. Ia disebut-sebut kerap menggunakan kekuatan aparat kepolisian untuk menguasai bisnis batu bara yang diincarnya. Dalam wawancara dengan Tempo pada Juni 2010, Isam membantah semua ini. Tapi, semua bantahan Haji Isam ini sepertinya bisa dimentahkan Lilik Dwi Purwaningsih, 59 tahun. Ny. Lilik adalah istri dari almarhum Hadriansyah, seorang guru olahraga di SD tewas dibantai pada 9 Februari 2004 di sebuah rumah kawannya dekat SDN I Desa Sarigadung, Kecamatan Simpang Empat, Tanah Bumbu. Sabetan golok ke sejumlah bagian tubuhnya membuat nyawanya melayang. Pembantaian itu terjadi tak berapa lama setelah Hadriansyah memprotes kegiatan perusahaan batubara milik Haji Isam. Jika Lilik ngotot meminta dalang pelakunya ditangkap, itu karena ia kini mengaku memiliki bukti yang dinilainya sangat sahih. Bukti itu bukanlah datang dari sembarang orang, tetapi justru dari pelaku pembunuhan itu: Muhammad Aini alias Culin. Melansir Tempo, 23 Mei 2011, dalam pengakuannya itu, Culin bersumpah bahwa dialah yang membunuh Hadriansyah. Ia menyatakan melakukan itu atas perintah Haji Isam. “Kayak apa mun orangnya melawan, Ji? (bagaimana kalau melawan, Ji?)”. “Selesaikan aja, paling sebiji alat habis?” demikian tanya-jawab antara anak buah dan bosnya itu, beberapa saat sebelum Culin membunuhnya. Culin mengaku melakukan pembunuhan itu atas perintah Haji Isam. Saat itu ia membeberkannya kepada Gusti Suriansyah, salah satu tokoh pemuda Tanah Bumbu yang bersimpati pada nasib Lilik. Pengakuan itu kemudian dibuat di atas kertas bermeterai Rp 6.000 dan ia tanda-tangani. "Semua rekaman pengakuannya itu ada pada saya," ungkap Gusti kepada Tempo. Dalam testimoninya, Culin bercerita, pada hari tewasnya Hadriansyah itu, sebelumnya ia tengah berada di rumahnya. Saat itu warga, termasuk Hadriansyah, tengah gencar-gencarnya berunjuk rasa di jalan eks Kodeco Km 8 RT 6 Desa Sarigadung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu. Tidak berapa lama muncul di rumahnya Haji Isam bersama 5 karyawannya: Babak, Asyid, Amat, Ansyah, dan seorang lainnya sebagai sopir. Kepadanya Isam menyatakan ada seseorang yang menantangnya berkelahi. Pengusaha muda itu meminta Culin meladeni tantangan tersebut. "Pukuli saja," ujar Culin, menirukan perintah Isam, seperti tertulis dalam dokumen pengakuan. Dengan menggunakan Toyota Kijang, rombongan Haji Isam tersebut tiba di SDN Sarigadung. Inilah tempat berkonsentrasinya warga yang tengah unjuk rasa. Begitu turun dari mobil, Isam langsung berteriak dan menunjuk seseorang. Tanpa pikir panjang, Culin langsung lari memburu target yang ditunjukkan Isam, yakni Hadriansyah, yang saat itu langsung lari menyelamatkan diri. Menurut Culin, dalam aksi kejar-kejaran itu, dirinya sempat membacokkan parangnya ke punggung Hadriansyah. Ia terus berlari masuk rumah dinas seorang guru. Terpojok di sebuah kamar, ayah tiga anak itu dihabisi Culin. Beberapa saat kemudian terdengar letusan senjata api dari luar rumah, disertai teriakan Isam, yang memerintahkan anak buahnya segera pergi dari tempat itu. Culin mengungkapkan, di dalam mobil yang melaju kencang meninggalkan Sarigadung, Haji Isam memintanya mengakui bahwa dirinyalah pembunuh Hadriansyah. Culin, yang terkejut atas perintah itu, langsung bertanya tentang hukuman apa yang akan diterimanya. "Paling hanya beberapa bulan,” katanya dalam testimoninya, mengutip jawaban Isam. Culin kemudian menyerahkan diri ke Kapolres Tanah Bumbu. Ternyata, “ramalan" Isam terbukti. Ia ditahan beberapa pekan, kemudian diajukan ke kejaksaan, disidang di pengadilan, belakangan Culin hanya dihukum empat bulan penjara. Rekannya yang lain, Ardi alias Babak, yang turut serta dalam pembunuhan itu, bahkan lebih ringan, tujuh hari. Padahal, dalam KUH Pidana, mereka yang terbukti melakukan pembunuhan hukumannya minimal 15 tahun. Sebelumnya, pada pertengahan Maret 2011, misalnya, Ny. Lilik mendatangi Komnas HAM. Ia juga sudah mengadu ke Mabes Polri, Komisi Yudisial, dan juga Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Kepada sejumlah instansi itu ia serahkan bukti-bukti yang dimiliki tentang kasus dan dalang pembunuhan suaminya tersebut, yang hingga kini belum tersentuh. Ia berharap, dengan dokumen itu, aparat segera meringkus otak pembunuh Hadriansyah. "Saya ingin aparat hukum juga ditindak," kata Lilik. “Masa’, hukuman untuk seorang pembunuh hanya tiga sampai empat bulan." Isam sebenarnya pernah membantah sebagai otak pembunuhan itu. Dalam wawancaranya dengan Tempo pada Juni 2010, ia menegaskan tidak terlibat sama sekali dalam pembunuhan Hadriansyah. Untuk memastikan ketidakterlibatan Haji Isam, testimoni Culin harus diuji secara hukum. Tapi, mengapa hingga kini koq tak ada kelanjutannya? Penulis Wartawan FNN.co.id