HUKUM

Anggota DPR Minta Polri Transparan Ungkap Kasus Penembakan Jurnalis

Jakarta, FNN - Anggota Komisi III DPR RI Andi Rio Idris Padjalangi meminta Polri segera mengungkap secara transparan motif pelaku penembakan terhadap salah satu jurnalis di Sumatera Utara yaitu Mara Salem Harahap. "Segera hentikan kekerasan dan ancaman teror kepada para jurnalis. Polri harus dapat segera menangkap pelaku dan membuka secara transparan motif pelaku ," kata Andi Rio di Jakarta, Minggu. Dia menjelaskan, pers merupakan salah satu pilar demokrasi, karena peran media sangat berkontribusi dalam mengawal proses demokrasi dalam membangun kemajuan bangsa dan negara. Karena itu menurut dia, pers jangan sampai diintimidasi bahkan dibinasakan karena mereka harus menyampaikan berita secara objektif kepada masyarakat. "Pers memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya demokrasi bangsa. Karena itu jangan sampai bangsa ini mengalami kemunduran, karena banyaknya ancaman atau tindak kekerasan kepada para insan pers dalam menjalankan tugas dan kewajibannya," ujarnya. Politisi Partai Golkar itu juga berharap agar seluruh elemen dan lapisan masyarakat untuk tidak berspekulasi serta bersabar dalam menunggu hasil keterangan resmi dari pihak kepolisian dalam menyelidiki kasus tersebut. Menurut dia, jangan sampai ada informasi liar yang berkembang yang tentunya dapat merugikan semua masyarakat sehingga lebih baik menunggu hasil penyelidikan dan penyidikan aparat kepolisian dalam mengungkap kasus tersebut. Sebelumnya, seorang jurnalis bernama Mara Salem Harahap (42) tewas karena diduga ditembak orang tak dikenal (OTK) tidak jauh dari rumahnya, di Desa Karang Anyar, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Sabtu (19/6) dini hari. Korban diduga tewas setelah ditembak orang tidak dikenal saat dia berada di dalam mobilnya. (mth)

Polisi dan Satpol PP Putar Balikkan Kendaraan Tujuan Wisata di Cianjur

Cianjur, FNN - Polisi dan Satpol PP Cianjur, Jawa Barat, bersama petugas gabungan memulangkan puluhan kendaraan bernopol luar kota dengan tujuan wisata karena tidak dilengkapi dengan surat bebas COVID-19 antigen yang terjaring dalam penyekatan di perbatasan Cianjur. Kepala Satpol PP Cianjur Hendri Prasetyadi saat dihubungi Minggu, mengatakan seiring tingginya angka penularan COVID-19 di sejumlah wilayah terdekat dengan Cianjur, membuat operasi yustisi di perbatasan Cianjur kembali ditingkatkan dan diperketat, termasuk razia di jalur protokol. "Tercatat di sejumlah titik perbatasan, lebih dari 10 kendaraan roda empat dan puluhan kendaraan roda dua bernopol luar kota dipulangkan ke daerah asal karena tidak mengantongi surat keterangan bebas COVID-19 antigen yang sebagian besar dengan tujuan tempat wisata," katanya. Petugas gabungan yang terdiri dari gugus tugas, TNI/Polri, Satpol PP, Dinkes, BPBD dan PMI Cianjur, juga melakukan operasi yustisi dan penyekatan di pintu masuk kota Cianjur, tepatnya di perempatan Tugu Lampu Gentur-By Pass, Cianjur, sebagai upaya menekan angka pendatang masuk ke Cianjur. Kanit Lantas Polres Cianjur Iptu Yudistira, mengatakan sebagai upaya menekan kendaraan pendatang tanpa surat keterangan masuk Kota Cianjur dan sebagai upaya meningkatkan penerapan prokes bagi pengendara yang melintas di jalur protokol di Cianjur, pihaknya meningkatkan pemeriksaan. "Semua kendaraan bernopol luar kota, tidak luput dari pemeriksaan yang digelar di perempatan Lampu Gentur, pengendara luar kota yang yang tidak melengkapi diri dengan surat keterangan bebas COVID-19 antigen terpaksa di putar balik," katanya. Sedangkan pengendara lokal tanpa menerapkan prokes, dikenakan sanksi denda dan disarankan untuk memeriksakan diri ke pusat layanan terdekat di lingkungan tempat tinggalnya. Selama operasi digelar, tingkat pelanggaran tidak menggunakan masker masih mendominasi. "Sebagian besar mereka yang terjaring pengendara roda dua yang lupa membawa masker, selain mendapatkan sanksi denda, mereka juga dikenakan sanksi sosial dan fisik seperti push up," katanya. (sws)

KLHK Tangkap Pelaku Perdagangan Kulit dan Organ Harimau di Bengkulu

Bengkulu, FNN - Tim Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangkap satu orang pelaku perdagangan harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) di Bengkulu. Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera Eduward Hutapea dalam keterangan tertulisnya, Minggu, mengatakan pelaku berinisial MJY (40) ditangkap petugas saat melintas di Jalan Desa Lubuk Sini, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Pelaku ditangkap saat sedang membawa dua kardus berisi organ satu ekor harimau yang telah dibedah menjadi beberapa bagian yaitu kulit dan tulang serta beberapa organ tubuh seperti kepala, badan, kaki dan ekor pada Sabtu 19 Juni 2021. "Berdasarkan kondisi kulit yang ada, dugaan kuat harimau tersebut diburu dengan cara dijerat," kata Eduward. Operasi ini melibatkan beberapa pemangku kebijakan diantaranya Polda Bengkulu, Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah Bengkulu-Lampung. Selain organ dan kulit harimau sumatera, petugas juga menyita barang bukti lainnya yakni satu unit sepeda motor dan telepon selular milik pelaku. Pelaku beserta seluruh barang bukti dibawa ke Mapolda Bengkulu untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut. Menurut Eduward tindakan pelaku telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat 2 huruf d Jo. Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara maksimum 5 tahun dan denda maksimum Rp100 juta. "Kami akan terus menjalankan operasi dan mengantisipasi praktik perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi demi menjaga kelestariannya," jelas Eduward. Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Ditjen Gakkum KLHK Sustyo Iriyono menilai perdagangan satwa termasuk kejahatan luar biasa. Menurutnya, pelaku tindak pidana ini memiliki jaringan yang berlapis, mengingat organ tubuh satwa dilindungi seperti harimau sumatera memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan praktik perburuan serta perdagangan organ satwa dilindung ini, termasuk membentuk cyber patrol untuk memetakan pedagangan ilegal tanaman dan satwa dilindungi Dirjen Gakkum LHK Rasio Ridho Sani menambahkan bahwa pihaknya terus berkomitmen dalam penyelamatan tumbuhan dan satwa liar sebagai kekayaan sumber daya hayati. Ia menilai hilangnya sumber daya hayati bukan hanya menimbulkan kerugian baik ekonomi maupun ekologi bagi Indonesia, tapi juga menjadi kehilangan sumber daya hayati dan perhatian masyarakat dunia. "Selama beberapa tahun ini KLHK telah melakukan 389 operasi terhadap perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi dan 318 kasus sudah dibawa ke pengadilan," ucapnya. Sementara itu Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Bengkulu Kombes Pol Sudarno membenarkan penangkapan satu orang pelaku penjualan kulit dan organ harimau sumatera di Kabupaten Bengkulu Tengah itu. Sudarno menyebut pihaknya akan segera melakukan ekspose terhadap perkara itu di Mapolda Bengkulu. "Sementara belum banyak yang bisa kami sampaikan. Nanti akan diagendakan ekspose pada hari Senin," demikian Sudarno. (sws)

Satpol PP Mukomuko Tangkap Belasan Ternak Berkeliaran di Jalan Raya

Mukomuko, FNN- Dinas Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, sejak bulan Januari 2021 sampai saat ini telah menangkap sedikitnya 11 ekor hewan ternak yang dilepasliarkan oleh pemiliknya di jalan raya dan fasilitas umum di daerah itu. "Semua hewan ternak yang ditangkap oleh petugas Satpol PP tersebut merupakan sapi,” kata Kabid Penegak Perundang-undangan Daerah Dinas Satpo PP dan Damkar Kabupaten Mukomuko Sapuan di Mukomuko, Minggu. Dinas Satpol PP dan Pemadam Kebakaran setempat menangkap sebanyak belasan hewan ternak tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2019 tentang Perubahan Perda Nomor 26 tahun 2011 tentang Penertiban Hewan Ternak yang dilepasliarkan oleh pemiliknya di daerah ini. Ia mengatakan, berdasarkan peraturan daerah tersebut hewan ternak berkaki empat seperti kerbau, sapi dan kambing tidak boleh dilepasliarkan di jalan dan fasilitas umum di daerah ini. Bagi warga setempat yang ingin mengambil hewan ternaknya yang telah ditangkap oleh personel Satpol PP setempat harus membayar denda sesuai dengan peraturan daerah setempat. Ia mengatakan berdasarkan perda terbaru tersebut sanksi denda terhadap pemilik sapi dan kerbau dinaikkan dari sebesar Rp1 juta menjadi Rp3 juta guna memberikan efek jera terhadap pemilik sapi. Sementara itu, katanya, petugas Satpol PP kesulitan menangkap kerbau yang berkeliaran di jalan raya dan fasilitas umum di daerah ini apalagi saat kerbau berada di gerombolannya. “Petugas Satpol sudah berusaha menangkap kerbau yang dilepasliarkan oleh pemiliknya di jalan raya dan fasilitas umum daerah ini tetapi selalu gagal karena kerbau memiliki tenaga lebih besar dibandingkan sapi,” ujarnya. Kendati demikian, ia mengatakan, petugas Satpol PP akan terus melakukan razia untuk menertibkan semua hewan ternak yang dilepasliarkan di jalanm raya dan fasilitas umum di daerah ini. (sws)

Akademikus: Aturan Pidana Salah Tangkap Perlu Masuk RUU KUHP

Semarang, FNN - Dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang Jawade Hafidz memandang perlu di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RUU KUHP) ada ancaman pidana terhadap anggota Polri yang salah tangkap terhadap orang yang terbukti tidak melakukan kejahatan. "Perlu ada pasal yang mengatur tentang anggota Polri yang terbukti salah tangkap dan/atau melakukan penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai penegak hukum," kata Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Minggu sore. Sebelumnya, Jawade menyebutkan terdapat Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP yang mengancam pidana terhadap advokat yang berbuat curang, padahal polisi, jaksa, dan advokat sama-sama penegak hukum. Terhadap polisi yang salah tangkap dan/atau menyalahgunakan wewenang, menurut Jawade, tidak hanya Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, tetapi juga perlu ada ketentuan di dalam KUHP. Apalagi, di dalam RUU KUHP Pasal 51, antara lain menyebutkan pemidanaan bertujuan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat. Pakar hukum dari Unissula ini lantas mengusulkan frasa "penyelidik dan/atau penyidik" menggantikan istilah "pejabat" dalam RUU KUHP. Dengan demikian, bunyi pasal tersebut: Penyelidik dan/atau penyidik dengan menggunakan kekerasan memaksa terlapor dan/atau tersangka untuk mengaku atas perkara yang dituduhkan kepadanya dan memaksa saksi untuk memberikan keterangan menurut kemauan penyidik, dipidana dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Penyalahgunaan jabatan atau kewenangan juga sudah terdapat dalam RUU KUHP (Pasal 537 sampai Pasal 547). Salah satu contoh membiarkan orang tersebut melarikan diri, melepaskan orang tersebut, atau menolong orang tersebut pada waktu dilepaskan atau melepaskan diri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Bahkan, karena kelalaiannya mengakibatkan orang yang ditahan melarikan diri, pejabat yang ditugaskan menjaga orang yang ditahan menurut perintah pejabat yang berwenang atau putusan atau penetapan pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun. (sws)

Sahroni Dukung Kinerja Kejaksaan Terus Tangkap DPO

Jakarta, FNN - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menegaskan bahwa Komisi III DPR mendukung langkah Kejaksaan Agung untuk terus menangkap pihak-pihak yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) yang berada di dalam maupun di luar negeri. "Saya sebagai Pimpinan Komisi III DPR mendukung penuh Kejaksaan untuk menumpas dan menangkap para DPO dimanapun berada," kata Sahroni kepada Antara di Jakarta, Minggu. Hal itu dikatakannya terkait keberhasilan Kejaksaan menangkap buronan terpidana kasus pembalakan liar atas nama Adelin Lis yang ditangkap di Singapura. Sahroni mengapresiasi kinerja Kejaksaan yang berhasil menangkap Adelin yang telah menjadi buronan sejak 2008 dan namanya masuk dalam daftar "red notice" Interpol. Politisi Partai NasDem itu meyakini keseriusan kinerja Kejaksaan itu akan membuahkan hasil yaitu lambat laun semua DPO akan tertangkap dan dieksekusi untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. "Saya mengapresiasi kinerja Kejaksaan (menangkap Adelin Lis) dan terus ganyang para DPO Kejaksaan dimanapun berada. Seriusnya Kejaksaan menunjukkan komitmen tinggi institusi tersebut untuk menangkap pelaku kejahatan lama," ujarnya. Sebelumnya, Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan pemulangan terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis terwujud berkat kerja sama atau sinergitas antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Singapura. "Terlaksananya pemulangan terpidana ini berkat dukungan dari otoritas Pemerintah Singapura dan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Singapura," kata Burhanuddin dalam konferensi pers pemulangan terpidana Adelin Lis di Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (19/6) malam. Sebagaimana diketahui buronan Adelin Lis ditangkap di Singapura pada 4 Maret 2021 karena pemalsuan paspor atas nama Hendro Leonardi. Persidangan Singapura menjatuhi hukuman kepada Adelin Lis berupa denda 14.000 dollar Singapura atau sekitar Rp140 juta dan dideportasi dari Singapura. Adelin Lis merupakan buronan kasus pembalakan liar, sejak 2008 namanya masuk dalam daftar 'red notice' Interpol. Untuk selanjutnya, Adelin Lis akan menjalani eksekusi atas putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, dengan denda uang pengganti Rp119,8 miliar dan dana reboisasi 2,839 juta dollar AS. Sebelum dieksekusi Adelin Lis menjalani masa isolasi selama 14 dan ditahan di Rumah Tanahan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung. (mth)

Firli Bahuri Terbukti Lakukan Pelanggaran, KPK Tak Berdaya

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasrah dengan laporan ICW (Indonesia Corruption Watch) terhadap ketua lembaga antirasuah itu, Firli Bahuri. Pelaporan kali ini merupakan perkara dari tahun lalu terkait penyewaan helikopter yang digunakan untuk perjalanan Firli dan keluarganya dari Palembang ke Baturaja dan Baturaja ke Palembang pada 20 Juni 2020. Selain itu, Firli juga menyewa helikopter tersebut untuk perjalanan dari Palembang ke Jakarta pada 21 Juni 2020. Atas perkara tersebut, dewan pengawas (Dewas) menyatakan jika Firli melakukan pelanggaran kode etik dan memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis 2. KPK menghormati sepenuhnya hak setiap warga negara yang melihat atau menemukan dugaan pelanggaran kode etik oleh insan KPK untuk melaporkannya ke Dewas KPK sebagai fungsi kontrol publik dalam agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana telah menyerahkan atas perkara tersebut pada Jumat, 11 Juni 2021 ke Dewas. "Sebagaimana dipahami bersama, bahwa pokok persoalan yang dilaporkan ini telah diproses secara profesional oleh Dewas KPK dan disampaikan secara transparan kepada publik hasil putusannya pada 24 September 2020," ujar Ali. Meskipun ada gonjang-ganjing terkait laporan Firli Bahuri, Ali menegaskan jika KPK terus berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. "KPK terus berkomitmen dalam memberantas korupsi dan berupaya menyelesaikan perkara korupsi yang menjadi tunggakan tahun-tahun sebelumnya, sekaligus mengungkap dugaan perkara korupsi baru tanpa pandang bulu," tutur Ali. (sws).

PN Sampang Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan Rp1 juta

Sampang, FNN - Pengadilan Negeri (PN) Sampang, Jawa Timur, mengadili dan memvonis bersalah seorang pengusaha yang terbukti melanggar protokol kesehatan dengan sanksi berupa denda Rp1 juta. "Terdakwa adalah pemilik salah satu hotel di Kabupaten Sampang ini, dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang bersangkutan memang melakukan pelanggaran," kata Afrizal, hakim yang menangani kasus itu di Sampang, Sabtu (12/6). Ia menuturkan bahwa kasus tindak pidana pelanggaran protokol kesehatan oleh oknum pemilik salah satu hotel itu bermula dari hasil operasi penegakan disiplin protokol kesehatan yang digelar Satgas COVID-19 Pemkab Sampang. Kala itu, tim gabungan dari Satgas COVID-19 Pemkab Sampang melakukan operasi ke berbagai pusat perbelanjaan, indekos, dan hotel. Operasi itu sebagai tindak lanjut dari edaran penegakan protokol yang dikeluarkan oleh Bupati Sampang. Salah satu isinya, mengharuskan kepada pengelola hotel, penginapan, dan indekos untuk menerapkan protokol kesehatan. Apalagi, hendak menggelar kegiatan, kata dia, harus dilakukan secara terbatas dengan penerapan protokol kesehatan ekstra ketat, seperti menyediakan tempat mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, dan selalu menjaga jarak fisik antara peserta kegiatan. "Ternyata di salah satu hotel itu, kegiatan yang digelar abai sama sekali dengan penegakan disiplin protokol kesehatan sehingga petugas langsung memproses secara pidana pemilik hotelnya," kata Afrizal. Afrizal menjelaskan bahwa vonis bersalah terhadap pemilik hotel yang melanggar protokol kesehatan itu mengacu pada Pasal 7 Peraturan Bupati (Perbup) Sampang Nomor 53 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan dan Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Kabupaten Sampang. "Kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dimejahijaukan ini merupakan kali pertama di Kabupaten Sampang, dan kasus ini terjadi sebelum kasus pelanggaran protokol kesehatan pada kedatangan Habib Riziq disidangkan," katanya. Terkait dengan putusan itu, terdakwa pemilik hotel menyatakan menerima atas putusan atas pelanggaran tindak pidana ringan (tipiring) itu, dan tidak mengajukan kasasi. Selain memvonis bersalah pemilik hotel, PN Sampang juga memvonis bersalah tiga orang panitia pelaksanaan kegiatan di hotel tersebut dengan membayar denda Rp25 ribu. "Kelima orang ini juga menyatakan menerima putusan PN, sebagaimana terdakwa pemilik salah satu hotel tersebut," katanya. (sws)

Polisi Tangkap Belasan Preman Terduga Pelaku Pungli di Medan

Medan, FNN - Pihak kepolisian menangkap 14 orang preman pelaku pungutan liar (pungli) di kawasan Kecamatan Medan Timur, Kota Medan, Sumatera Utara, saat menggelar operasi premanisme dan pungutan liar, Sabtu (12/6). Kapolsek Medan Timur Kompol M. Arifin mengatakan bahwa operasi tersebut dalam rangka menindaklanjuti instruksi Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo tentang penindakan aksi premanisme dan pungli. "Selain 14 orang yang diamankan, turut disita barang bukti uang tunai sebesar Rp154 ribu yang merupakan hasil tindak pungutan liar," katanya. Ia mengatakan bahwa penyidik Polsek Medan Timur masih melakukan pendataan terhadap belasan orang tersebut. Apabila nantinya ditemukan adanya unsur tindak pidana, lanjut dia, akan diproses secara hukum. "Namun, jika tidak ditemukan adanya tindak pidana, dilakukan pembinaan dengan membuat surat pernyataan tidak mengulangi kembali perbuatannya," ujarnya. Melalui operasi premanisme dan pungli itu, dia berharap dapat memberikan rasa aman dan nyaman terhadap masyarakat dalam menjalani aktivitas. (sws)

Bergerak dan Bertindak Pasca Pengumuman Tes Wawasan Kebangsaan

Jakarta, FNN - Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diikuti 1.351 orang pegawai KPK di Badan Kepegawaian Nasional (BKN) pada Maret-April 2021 membawa rentetan dampak bukan hanya di institusi penegak hukum tersebut namun juga terhadap lembaga-lembaga negara lain. Penyebabnya adalah pengumuman pimpinan KPK yang menyatakan hanya ada 1.274 pegawai yang lolos tes sehingga ada 75 pegawai KPK Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Ketua KPK Firli Bahuri pada 7 Mei 2021 lalu menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652/2021 tentang Hasil TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Isi SK tersebut adalah memerintahkan kepada 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut. Belakangan pada 25 Mei 2021 berdasarkan rapat KPK bersama dengan BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Lembaga Administrasi Negara, diputuskan 24 dari 75 pegawai masih dimungkinkan untuk dibina sebelum diangkat menjadi ASN sementara 51 pegawai sisanya tidak memungkinkan untuk dibina berdasarkan penilaian asesor. Ke-51 pegawai tersebut disebut masih akan berada di KPK hingga November 2021 meski saat ini statusnya sudah non-aktif. Namun 75 pegawai yang tidak lolos TWK itu tidak "menerima nasib" begitu saja. Mereka membuat laporan ke sejumlah institusi negara agar dapat mengambil langkah yang tepat sesuai kewenangan masing-masing lembaga terhadap pimpinan KPK, 75 pegawai maupun institusi KPK sendiri. Sejumlah lembaga yang mendapat laporan adalah Dewan Pengawas KPK, Ombudsman, Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi hingga organisasi kemasyarakatan seperti PGI dan MUI. 1. Dewan Pengawas KPK Perwakilan 75 pegawai KPK melaporkan lima orang pimpinan KPK yaitu Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata dan Nawawi Pomolango ke Dewas KPK pada 18 Mei 2021. Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai mengatakan ada tiga hal yang mereka laporkan. "Yang pertama adalah tentang kejujuran. Dalam berbagai sosialisasi, Pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi daripada Tes Wawasan Kebangsaan, dan kami juga berpikir bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal," kata Hotman. Proses alih status menjadi ASN, menurut Hotman, merupakan hak pegawai KPK yang akan menentukan masa depan, sehingga sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada pegawai adalah informasi yang benar. Alasan kedua, ia menyinggung soal materi tes wawancara dalam TWK tersebut yang janggal. "Karena ini juga menyangkut suatu hal yang menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami. Kami tidak menginginkan lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual dalam rangka tes wawancara seperti ini," ujarnya. Alasan terakhir, kata Hotman, terkait dengan Pimpinan KPK yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan karena pada 4 Mei 2021 MK telah memutuskan alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak akan memberikan kerugian kepada pegawai tapi pimpinan menerbitkan SK 652 yang sangat merugikan pegawai. Terhadap laporan tersebut, pimpinan KPK menyatakan menyerahkan tindak lanjut pelaporan kepada Dewas. "Pimpinan KPK menghormati pelaporan dimaksud, karena kami menyadari bahwa pelaporan kepada Dewan Pengawas adalah hak setiap masyarakat yang menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh insan KPK," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Rabu (19/5). Menurut Alexander, pimpinan KPK sebelum mengambil keputusan selalu membahas dan berdiskusi tidak saja dengan semua pimpinan, bahkan dengan jajaran pejabat struktural KPK. Artinya, semua produk kebijakan yang dikeluarkan oleh kelembagaan KPK seperti peraturan komisi, peraturan pimpinan, surat keputusan, surat edaran, dan semua surat yang ditandatangani oleh Ketua KPK dipastikan sudah dibahas dan disetujui oleh empat pimpinan lainnya termasuk Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021. Dewas KPK pun masih memeriksa laporan tersebut dan terus mengumpulkan bahan keterangan terkait dengan dugaan pelanggaran etik tersebut. 2. Ombudsman Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi KPK, Sujanarko, mewakili 75 pegawai KPK pada 19 Mei 2021 kemudian melapor ke Ombudsman terkait dugaan maladministrasi oleh pimpinan KPK. "Dari kajian kami ada banyak maladministrasi yang sudah dilakukan KPK, baik penerbitan SK-nya, prosesnya, dari sisi wawancara hampir ada 6 indikasi yang kami sampaikan bahwa Pimpinan KPK telah melakukan maladministrasi, termasuk penonaktifan pegawai karena hal itu tidak ada dasarnya," ujar Sujanarko. Saat melapor, Sujanarko datang bersama dengan Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi, Hotman Tambunan, dan Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK, Rasamala Aritonang, serta para kuasa hukum mereka, yaitu Direktur YLBHI, Asfinawati, pengacara publik LBH Jakarta, Arief Maulana, dan dari LBH Muhammadiyah, Gufroni. Menurut Sujanarko, ke-75 pegawai masih mendapatkan gaji yang dibayar negara namun tidak bekerja padahal sudah berstatus non-aktif hingga Oktober 2021 sehingga berpotensi merugikan keuangan negara. Kerugian bertambah karena kasus-kasus yang ditangani KPK dapat terhambat karena tidak aktifnya 75 orang tersebut. Terhadap pelaporan tersebut, Ombudsman sudah meminta keterangan dari pimpinan KPK yang diwakili Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, bersama Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Harefa, dan tim Biro Hukum KPK pada 10 Juni 2021. Ghufron pun mengklarifikasi soal dugaan bahwa TWK diselundupkan dalam peraturan komisi Alih Status Pegawai. Dugaan seludupan itu muncul karena dalam rapat awal pembahasan yaitu 27-28 Agustus 2020 yang membahas aturan turunan alih status pegawai dari UU Nomor 5/2014 tidak ada pembahasan soal TWK. TWK pun masih tidak muncul dalam rapat lanjutan pada November 2020. Namun saat rapat pimpinan pada 5 Januari 2021, usulan pelaksanaan TWK malah muncul sehingga dalam draf Perkom 20 Januari 2021 muncul soal asesmen TWK hingga akhirnya Perkom soal pelaksanaan TWK sebagai syarat alih status pegawai terbit pada 27 Januari 2021. Atas dugaan tersebut, Ghufron beralasan pada rapat harmonisasi 26 Januari 2021 di Kemekumham ada usulan untuk menerapkan TWK sebagai alat untuk pemenuhan syarat wawasan kebangsaan dari pasal 3 PP No 41 tahun 2020 yang berbunyi "Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN dengan syarat: (a) Berstatus sebagai Pegawai Tetap atau Pegawai Tidak Tetap KPK; (b) Setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah yang sah.". "Tentu semuanya berkembang yang dinamis, draf di akhir itu merupakan hasil dari diskusi yang berkembang dari dari awal. Artinya tidak benar ada pasal selundupan atau ada pasal yang tidak pernah dibahas di awal. Semuanya melalui proses pembahasan dan itu semua terbuka," kata Ghufron. Ghufron juga membantah bahwa KPK membayar BKN untuk melaksanakan TWK sebesar Rp1.807.631.000 "KPK tidak pernah bayar karena tes TWK itu sudah menjadi kegiatan yang dianggap tusinya (tujuan dan fungsi) BKN sendiri sehingga dibiayai APBN BKN sendiri," ungkap Ghufron Sebelumnya, beredar dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Pengadaan Barang dan Jasa melalui Swakelola antara Sekretariat Jenderal KPK dan Kepala BKN Nomor 97 Tahun 2021 tertanggal 8 April 2021 yang ditandatangani Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana. Nota kesepahaman itu menyebutkan bahwa kesepakatan tersebut adalah langkah awal kerja sama penyelenggaraan asesmen TWK dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Selanjutnya, ada juga Kontrak Swakelola tentang Penyelenggaraan Asesmen TWK dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN tertanggal 27 Januari 2021. Artinya, kontrak tersebut dibuat lebih dahulu dari penandatanganan MoU. Diduga tanggal kontrak tersebut sengaja dibuat mundur (back date) karena kontrak baru dibuat setelah TWK pada tanggal 26 April 2021. Menanggapi hal itu, Ghufron mengatakan bahwa pihaknya semula mengasumsikan pendanaan untuk alih status pegawai KPK menjadi ASN berasal dari KPK. Akan tetapi, karena pelaksanaanya adalah BKN, perlu payung hukum untuk mendanai kegiatan tersebut. BKN lantas bekerja sama dengan KPK. Namun, perkembangannya setelah MoU ditandatangani, ternyata BKN menyampaikan ke KPK bahwa asesmen ini bagian dari tugas dan fungsi BKN sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan manajemen ASN mulai rekrutmen, peningkatan karier, sampai reward and punishment. Karena menjadi bagian kerja BKN, lanjut Ghufron, BKN mengatakan bahwa biaya asesmen pegawai KPK tidak perlu ditanggung oleh KPK. "Kemudian langsung jadi MoU yang dinyatakan back date. Itu memang ditandatangani tetapi tidak pernah dilaksanakan karena pendanaannya di-cover oleh BKN sendiri," katanya menjelaskan. Ditegaskan pula bahwa MoU itu tidak pernah dipakai walaupun pihaknya sebagai komitmen kelembagaan di kepegawaian KPK mempersiapkannya. Atas laporan dan klarifikasi tersebut, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan pihaknya akan melihat masalah itu dari tiga tingkatan. Pertama, soal dasar hukum terutama mengenai proses penyusunan peraturan KPK No 1 tahun 2001; kedua mengenai sosialisasi aturan apakah sudah diterangkan kepada para pihak yang terkait dan sejauh mana keterlibatan lembaga-lembaga lain terlibat dalam proses alih status; ketiga konsekuensi dari "memenuhi syarat" dan "tidak memenuhi syarat" TWK terhadap para pegawai. 3. Komnas HAM Pada 24 Mei 2021, perwakilan 75 pegawai KPK mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam aduannya, mereka melampirkan laporan yang berisikan 8 hal yang dinilai sebagai bentuk dugaan pelanggaran HAM dalam TWK. "Saya menyampaikan kepada Komnas HAM mengenai peran Kepala BKN yang tampak sekali, menurut kami, punya peran cukup banyak bersama-sama Ketua KPK. Ini perlu jadi fokus tersendiri," kata penyidik KPK, Novel Baswedan. Baswedan mengatakan, dia bersama pegawai KPK lain yang tidak lulus TWK kesulitan mendapatkan hasil tes beserta penjelasannya sehingga ia meminta penyelenggara membuka hasil tes karena ketidaklulusan tersebut berdampak pada adanya stigma/label terhadap pribadi mereka. Sementara Kepala Satuan Tugas Penyelidik KPK, Harun Al Rasyid, mengatakan, dia bersama puluhan pegawai KPK yang tidak lulus TWK berkepentingan mengetahui hasil dan penjelasan TWK. "Kenapa kami minta hasil assesment (TWK), karena kalau kami dianggap orang berpenyakit, misal kami punya penyakit jantung kami ingin penyakit itu bisa sembuh," kata dia. Komnas HAM pun sudah memanggil pimpinan KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap laporan itu pada 8 Juni 2021, namun tidak ada pimpinan KPK yang hadir. Pimpinan KPK beralasan ada rapat pimpinan sehingga tidak bisa hadir. Pemanggilan kedua untuk pimpinan KPK dijadwalkan pada 15 Juni 2021. Menurut Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam, pihaknya telah menyiapkan sekitar 30 pertanyaan untuk pimpinan KPK. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan, pimpinan KPK telah mengirimkan surat ke Komnas HAM untuk memastikan terlebih dulu seperti apa pemeriksaan dugaan pelanggaran HAM oleh pimpinan KPK tersebut. Menurut dia, pelaksanaan TWK telah sesuai dengan UU Nomor 19/2019, PP Nomor 41/2020, dan Peraturan Komisi Nomor 1/2021. 4. Mahkamah Konstitusi Selanjutnya sembilan orang pegawai KPK juga mengajukan uji materiil terkait pelaksanaan TWK ke MK pada 2 Juni 2021. Kesembilan orang pemohon adalah Hotman Tambunan, Rasamala Aritonang, Andre Dedy Nainggolan, Novariza, Faisal, Benydictus Siumlala Martin, Harun Al Rasyid, Lakso Anindito dan Tri Artining Putri. "Kami menguji pasal 69 B ayat 1 dan pasal 69 C terhadap pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945. Kami berpikir bahwa penggunaan TWK untuk pengalihstatusan pegawai KPK itu bertentangan dengan pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945," kata Tambunan. Pasal 69 B ayat (1) dan pasal 69 C mengatur soal penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU berlaku dapat diangkat sebagai ASN sesuai peraturan perundang-undangan. "Isunya ini adalah mengukur bagaimana mengukur kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Kami melihat bahwa BKN seperti memonopoli pengertian itu dengan menggunakan alat ukur TKW, apakah memang alat ukur itu valid? kita buka saja di sidang-sidang MK," kata Tambunan. Apalagi menurut dia, dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengatakan syarat untuk menjadi gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat II, presiden dan wakil presiden hanya mensyaratkan surat pernyataan kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai alat kesetiaan. "Nah menurut BKN alat ukurnya (TKW) sudah sangat valid, sudah saatnya para pejabat strategis tadi menggunakan alat ukur itu. Apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan itu pandai berpidato tapi melanggar kode etik atau orang-orang yang berjuang untuk memberantas korupsi? Orang yang memenuhi aturan? Orang-orang yang bayar pajak? Itu tadi coba kita lihat di sidang-sidang MK," kata dia. Kesembilan orang pemohon itu juga sudah memberikan 31 bukti setebal lebih dari 2.000 halaman. Ia berharap putusan MK terhadap permohonan mereka dapat dibuat sebelum November 2021 agar dapat langsung diterapkan terhadap nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS. "Kami memohon dan berharap Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan ini sebelum November 2021, mengingat pasal yang kami mohonkan adalah pasal peralihan yang hanya berlaku sekali," kata Tambunan. 5. PGI dan MUI Pada 28 Mei 2021, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menerima sembilan orang perwakilan pegawai KPK bersama tim hukumnya. "Kami akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta menghentikan upaya pelemahan KPK ini, terutama peminggiran 75 pegawai KPK," kata Ketua Umum PGI, Gomar Gultom. Menurut Gultom, dengan disingkirkannya para pegawai yang selama ini memiliki kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK akan menjadikan para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK pada masa depan. "Karena mereka khawatir akan 'di-TWK-kan dengan label radikal dan kami makin khawatir karena mereka yang dipinggirkan ini banyak yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan," kata dia. Aritonang yang ikut dalam pertemuan mengatakakan bahwa pelemahan KPK ini juga merupakan ulah para koruptor. "Kami berhadapan dengan koruptor dan yang bisa korupsi hanyalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan. KPK ini hanyalah alat, pisau untuk memotong bagian badan yang koruptif dan reaksi dari para koruptor ini adalah membuang pisau ini, itu yang sedang kami alami," kata dia. Sekretaris Umum PGI, Jacky Manuputty, pun mengungkapkan kegelisahannya melihat fabrikasi hoaks di media sosial yang mudah mengubah persepsi masyarakat terhadap keadaan dan lembaga tertentu. Selanjutnya pada 3 Juni 2021, sebanyak 12 pegawai KPK bertemu dengan pengurus Majelis Ulama Indonesia. "Kehadiran mereka ke MUI dalam rangka mengadukan proses seleksi TWK," ujar Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis. Ia mengatakan 12 pegawai KPK itu bercerita soal keganjilan baik dari materi TWK maupun proses pengangkatan ASN. Untuk menjadi ASN di KPK masih harus menjalani TWK, sementara di lembaga lain seperti Komnas HAM tidak perlu. Setelah audiensi itu, MUI akan membawa masalah ini ke dalam rapat pimpinan harian MUI, sehingga nantinya akan muncul tanggapan resmi dari MUI. Waketum MUI, Anwar Abbas, sebelumnya juga mempertanyakan tes wawasan kebangsaan dari pewawancara dalam tes alih status pegawai KPK. Anwar menilai ada yang salah dalam pemahaman keagamaan dan kebangsaan pewawancara sehingga ia meminta hasil tes dibatalkan karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila dan UUD 1945. Hasil akhir aduan dan laporan 75 pegawai KPK tersebut memang belum terlihat namun setidaknya para pegawai tersebut tetap bergerak dan bertindak melihat ketidakberesan yang ada di depan mata. Mungkin pergerakan tersebut seiring dengan lagu Mars KPK yang diputarkan berulang-ulang saat pelantikan 1.271 orang pegawai KPK menjadi ASN pada 1 Juni 2021 lalu. (sws)