HUKUM

Menguak Terus Misteri Kilometer 50 Tol Japek

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Peristiwa pembunuhan atau pembantaian atas enam syuhada anggota laskar Fron Pembela Islam di kilometer 50 jalan tol Jakarta Cikampek (Japek) tidak akan mudah dihapus jejaknya. Meskipun bangunan rest area yang ada di sana kini telah dibantai dan dihabisi. Ada peristiwa dramatis, tragis, dan sadis terjadi di area dimana peristiwa bermula, berakhir, atau dilewati. Upaya untuk menghentikan kasus ini dengan akal-akalan mentersangkakan keenam syuhada telah gagal. Reaksi publik sangat keras atas pemberian status tersangka pada jenazah tersebut. Disamping mengada- ada, juga bertentangan dengan undang-undang. Ketika status itu dicabut, maka kasus ternyata tidak bisa terhenti. Terlalu berat bermain dalam skema seperti ini. Akhirnya tersangka berbalik, yaitu tiga orang anggota Kepolisian dari Polda Metro Jaya. Meski belum diumumkan namanya secara resmi oleh Mabes Polri, tetapi publik menduga tersangka ini adalah pelapor dan saksi yang menyebabkan keenam syuhada berstatus tersangka. Mereka adalah Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Adi Ismanto, dan Bripka Faisal Khasbi. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigjen Polisi Andi Ryan Djajadi menyatakan, ketiga anggota Polri yang berpotensi sebagai tersangka tersebut dapat dikenakan pasal 338 KUHP junto Pasal 351 ayat (3), yakni pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Munculnya pasal penganiayaan ini menarik karena menjadi pengakuan Polisi bahwa memang telah terjadi penganiayaan berat terhadap korban. Sesuatu atau stigma yang selama ini selalu ditepis oleh polisi. Seakan-akan tidak adanya penganiyayan. Bahkan semula dinyatakan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran bahwa korban menyerang polisi. Ketiga personel kepolisian yang menjadi potensi tersangka ini akan menjadi pembuka dari keterlibatan banyak fihak lain. Baik itu personil pembuntut yang jumlahnya lebih dari tiga orang, sebagaimana temuan dan hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM). Selain itu, terbuka peluang untuk dapat diketahui siapa "komandan" eksekusi yang diduga penumpang di mobil Land Rover yang tiba di rest area kilometer 50 malam itu? Ada selebrasi perjuangan dan kemenangan. Sampai sekarang, dua mobil lain yang bukan dari anggota Polda Metro Jaya belum juga diungkap ke publik oleh Komnas HAM siapa mereka? Moga kita berharap bahwa ketiga potensi tersangka ini benar pelaku sebenarnya. Bukan orang "yang senagaja dikorbankan" untuk menutupi pelaku lain yang justru menjadi aktor intelektual dari kejahatan kemanusiaan yang menyedihkan bangsa dan negara Indonesia ini. Sejarah kelam yang tidak boleh dimanipulasi. Harus menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Sikap keangkuhan terhadap kebenaran tidak boleh dibiarkan hanya dimonopoli oleh polisi. Korbannya adalah rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Apalagi mengingat pembunuhan enam syuhada ini dikaitkan dengan "unlawful hunting" tokoh dan ulama Habib Rizieq Shihab (HRS), maka dapatlah dikategorikan sebagai pembunuhan politik. Harus memantau dan mengikuti dengan akstif persidangan ini nantinya. Suapay bisa membongkar misteri yang berdampak sistemik. Oleh karena itu semua kita tidak berharap kasus "Harun Masiku" yang hilang atau dihilangkan, tidak terjadi pada pelaku sebenarnya atau pelaku kunci dari kasus pembunuhan 6 anggota laskar yang menjadi syuhada ini. Semoga misteri akan terus terkuak. Rakyat tetap mengawal proses politik dan hukum dengan ketat. Dasar keyakinan adalah bahwa Allah Subhaanahu Wata’ala Yang Maha Kuasa itu juga Maha Melihat dan Maha Mendengar. Ada atau tanpa Mubahalah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kiyai Ma’ruf Sembunyikan Kaget Miras, Pembatalan oleh Jokowi Harus Dikawal Terus

by Asyari Usman Medan, FNN - Ada berita menarik. Wapres Kiyai Ma’ruf Amin mengaku kaget dengan Perpres 10/2021 tentang investasi produksi minuman keras (miras). Kata juru bicara Wapres, Masduki Baidowi, Pak Kiyai tidak tahu Perpres itu diterbitkan. Menurut Masduki, Kiyai Ma’ruf sangat tersudut akibat penerbitan Perpres miras itu. Tapi, rasa kaget Pak Kiyai baru dibeberkan kemarin, Selasa, 2 Maret 2021. Rasa kaget itu disimpan dulu. Diungkapkan setelah Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan Perpres yang diprotes keras dan luas itu. Lumayanlah. Walaupun kaget itu disembunyikan dulu, tetap wajar dihargai. Beliau, kata Masduki, sengaja tutup mulut karena tak ada gunanya bicara dalam kondisi panas. Kata Masduki, Kiyai Ma’ruf melakukan berbagai usaha agar investasi miras dibatalkan. Nah, ternyata Pak Kiyai berusaha keras tanpa suara keras agar polemik minuman keras tidak makin keras. Jangan dulu menyangka Pak Kiyai diabaikan oleh Jokowi ketika membuat Perpres Miras itu. Buktinya, sebelum pengumuman pencabutan, Jokowi bicara dulu empat mata dengan Pak Kiyai, kata Masduki lagi. Begitu lebih-kurang posisi Pak Kiyai sebagai Wapres terkait penerbitan Perpres Miras. Nah, apakah sudah selesai? Tampaknya belum. Para pengamat dan pakar hukum masih skeptis. Tidak percaya terhadap pencabutan lisan Lampiran III tanpa pencabutan Perpres 10/2021 itu secara total. Per hari ini, para pengamat dan pakar hukum itu memperingatkan bahwa pencabutan Lampiran III di Perpres 10/2021 tentang investasi minuman keras (miras), jangan dulu dianggap sebagai jawaban untuk protes. Pencabutan lampiran itu tidak bisa dijadikan jaminan bahwa miras tidak akan diproduksi. Pencabutan itu harus diperjelas oleh pemerintah. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja gagasan produksi miras dimunculkan kembali. Alasan mereka, di Perpres itu masih tetap terbuka investasi untuk bidang usaha yang memerlukan persyaratan tertentu. Pakar dan peniliti hukum Dr Muhammad Taufiq memperingatkan, produksi miras bisa saja dilakukan atas nama otonomi daerah oleh pemda-pemda. Meskipun Lampiran III sudah dibatalkan. Malahan, kata dia, proses pendirian usaha miras di daerah bisa lebih mudah lagi. Sedangkan asisten profesor hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia, Sonny Zulhuda, memperingatkan bahwa ketentuan pembolehan bisnis miras masih tercantum di regulasi induknya yaitu UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja alias Omnibus Law. Jadi, para ulama dan semua pimpinan ormas yang menentang produksi miras harus terus mengawal pencabutan aturan investasi miras di Perpres 10/2021. Ada kemungkinan main akal-akalan di pihak penguasa. Bisa saja nanti ada klaim bahwa pencabutan itu hanya secara lisan oleh Jokowi. Tidak memenuhi landasan hukum untuk meniadakan produksi miras.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Setelah Investasi Miras, Batalkan Juga Semua Regulasi Lain Yang Beratkan Rakyat

by Asyari Usman Medan, FNN - Kita sampaikan apresiasi kepada Presiden Jokowi yang telah mencabut aturan tentang investasi minuman keras (miras). Aturan itu tercantum di dalam Perpres 10/2021 yang ditandatangani pada 2 Februari 2021. Alhamdulillah, tidak ada lagi kegaduhan tentang produksi minuman keras yang diberlakukan di empat provinsi yaitu Bali, NTT, Sulut dan Papua. Langkah Jokowi ini sesuai dengan permintaan semua elemen masyarakat. Alhamdulillah juga Presiden mau mendengarkan protes dari rakyat. Begini kata Jokowi tentang pencabutan bagian Perpres 10/2021 yang mendorong produksi miras itu. "Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya, serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," ujar Jokowi. Mari jadikan ini sebagai ‘turning point’ (titik balik) untuk menghapuskan semua regulasi yang memberatkan rakyat. Persis seperti yang dikatakan Pak Jokowi tentang penolakan ormas-ormas terhadap aturan investasi miras, mereka juga meminta agar semua regulasi yang memberatkan rakyat ikutdi dilenyapkan. Misalnya, hingga sekarang rakyat tetap menuntut agar UU Cipta Lapangan Kerja dibatalkan. Kalau pun dengan berbagai alasan ini tidak mungkin dilakukan, Presiden Jokowi minimal bisa memerintahkan revisi UU Nomor 11 Tahun 2020 itu. Sebab, begitu banyak aspek yang kontroversial di UU Omnibus Law tsb. Yang merugikan rakyat dan lingkungan hidup, ketenagakerjaan, pendidikan dan bidang pers. Sekarang ini, UU ITE yang membungkam ruang kritik seharusnya dicabut saja dulu sambil menunggu revisi. Sebab, kritik-kritik positif yang diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan menjadi tertekan. Orang tidak berani berbicara. Bangsa ini menjadi ketakutan. Para penulis senantiasa waswas. Setidak-tidaknya UU ITE itu dikembalikan ke tujuan awal dan asalnya. Yaitu, mengejar transaksi-transaksi keuangan yang merguikan negara. Sekali lagi, pencabutan ketentuan investasi miras sangat tepat dan pantas diapresiasi. Rakyat menunggu penghentian penggunaan pasal-pasal karet UU ITE. Semoga terealisasi segera.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

OTT Gubernur Sulsel, "Nama-nama Besar" Bakal Terseret?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sebuah kabar beredar di grup WhatsApp, pada Sabtu, 27 Februari 2021. Pukul: 01.00 Wita, Tim KPK sebanyak 9 orang telah melakukan OTT kepada Gubernur Sulawesi Selatan M. Nurdin Abdullah, di rumah jabatan Gubernur berdasarkan Sprindik No: Sprin.Lidik-98/01/10/2020. Tim KPK telah mengamankan beberapa orang antara lain: 1. Agung Sucipto (Kontraktor, 64 tahun); 2. Nuryadi (Sopir Agung, 36); 3. Samsul Bahri (Adc Gubernur, Polri, 48); 4. Edy Rahmat (Sekdis PU Provinsi Sulsel); 5. Irfandi (Sopir Edy Rahmat). Barang bukti yang diamankan oleh Tim KPK, yaitu 1 (satu) koper yang berisi uang sebesar Rp. 1 miliar yang diamankan di Rumah Makan Nelayan Jl. Ali Malaka, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar. Tim KPK kemudian langsung membawa Nurdin Abdullah dan Rombongan langsung ke Klinik Transit di Jl. Poros Makassar untuk dilakukan pemeriksaan Swab antigen untuk persiapan berangkat ke Jakarta melalui Bandara Sultan Hasanudin. Tim KPK dan Rombongan dikawal oleh 4 orang Anggota Detasemen Gegana Polda Sulsel yang dipimpin Iptu Cahyadi. Pada pukul 05.44 Wita rombongan itu selesai melaksanakan pemeriksaan Swab antigen dan menuju Bandara Sultan Hasanudin. Rombongan itu kemudian terbang ke Jakarta menggunakan Pesawat Garuda GA-617 pada pukul 07.00 Wita. Kabar ini langsung merebak di berbagai media online maupun elektronik. Namun, Juru Bicara Gubernur Sulsel Veronica Moniaga secara tegas membantah. Veronica Moniaga membantah bahwa Nurdin Abdullah terkena OTT KPK, karena yang bersangkutan sedang beristirahat saat petugas datang ke rumah jabatan di Makassar, Sabtu (27/2/2021) dini hari. “Terkait bapak gubernur terkena operasi tangkap tangan, itu tidak benar. Karena bapak saat itu sedang istirahat. Seperti yang kita tahu, OTT adalah orang yang tertangkap tangan dan bapak tidak sedang melakukan itu,” ujar Vero, seperti dilaporkan Antara. Terkait keberangkatan Nurdin Abdullah ke Jakarta itu, Vero menyebut Nurdin pergi atas permintaan KPK untuk menyampaikan keterangan selaku saksi. Nurdin disebut hanya membawa pakaian secukupnya. Menurut Vero, petugas KPK datang ke Rumah Jabatan Gubernur sekitar pukul 01.00 dini hari. Kemudian Nurdin Abdullah dibangunkan dan menemui pihak KPK yang datang. Itu mengagetkan karena sebelumnya tidak ada surat apapun mengenai permintaan keterangan. “Mereka diterima baik di Rujab Gubernur dan bapak pun dengan sikap patriotisme mengikuti tim KPK. Tidak ada barang bukti sama sekali pada saat bapak dijemput oleh KPK, hanya membawa pakaian secukupnya,” ungkapnya. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, kegiatan OTT berawal dari informasi masyarakat terkait adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara pada Jumat (26/2/2021) malam. KPK menerima laporan bahwa Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto (AS) akan memberikan sejumlah uang kepada Nurdin melalui perantara Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER), yang juga orang kepercayaan Nurdin. Pukul 20.24 WIB, AS bersama Irfandi (Sopir ER) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dan setiba di rumah makan tersebut telah ada ER yang telah menunggu,” kata Firli dalam konferensi pers yang disiarkan kanal YouTube KPK, Minggu (28/2/2021) dini hari. Agung adalah seorang kontraktor yang berasal dari pihak swasta, yang diketahui telah lama mengenal Nurdin. Agung berkeinginan mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021. Firli mengungkapkan, dengan beriringan mobil, Irfandi mengemudikan mobil milik Edy, sedangkan Agung dan Edy bersama dalam satu mobil milik Agung. Kedua mobil itu pun kemudian bergerak menuju Jalan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan tersebut, Agung diketahui menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021 kepada Edy. Sekitar pukul 21.00 WIB, Irfandi kemudian mengambil koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS dan dipindahkan ke bagasi mobil milik Edy di Jalan Hasanuddin. Firli mengungkapkan, sekitar pukul 23.00 Wita, KPK mengamankan Agung ketika dalam perjalanan menuju Bulukumba. Sementara itu, satu jam berikutnya giliran Edy beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan KPK di rumah dinasnya. Adapun uang Rp 2 miliar itu sebelumnya akan diberikan Edy kepada Nurdin Abdullah. Kemudian, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah diamankan KPK sekitar pukul 02.00 Wita di rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel. Adapun Nurdin diduga juga telah menerima uang dari kontraktor lain diantaranya sebesar Rp 200 juta pada akhir 2020. Nurdin juga diduga menerima uang pada pertengahan Februari 2021 melalui Samsul Bahri, ajudannya, sebesar Rp 1 miliar. “Awal Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar,” terang Firli. Atas dugaan tersebut, Nurdin dan Edy disangkakan sebagai penerima. Nurdin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sebagai pemberi, Agung Sucipto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UUU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Versi JATAM Ada pertanyaan menarik dari seorang wartawan saat Ketua KPK Firli Bahuri jumpa pers soal PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Kedua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel. Dua perusahaan itu juga pernah disebut-sebut dalam tulisan Jaringan Advokasi Tambang di Jatam.org. JATAM menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL. Dari total 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar, dua diantaranya adalah PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel Nurdin Abdullah. PT Banteng Laut Indonesia merupakan pemilik konsesi, tempat PT Boskalis Internasional Indonesia menambang pasir, yaang pemilik/pemegang sahamnya, antara lain Akbar Nugraha sebagai Direktur Utama, Sunny Tanuwijaya sebagai Komisaris, Abil Iksan sebagai Direktur, dan Yoga Gumelar Wietdhianto. Selain Akbar Nugraha dan Abil Iksan, nama Fahmi Islami juga tercatat sebagai pemegang saham di PT Banteng Laut Indonesia. Sementara di PT Nugraha Indonesia Timur, Abil Iksan juga tercatat sebagai Direktur, Akbar Nugraha sebagai Wakil Direktur, dan Kendrik Wisan sebagai Komisaris. Nama-nama seperti Akbar Nugraha, Abil Iksan, dan Fahmi Islami, diketahui pernah menjadi bagian dari Tim Lebah Pemenangan Pasangan Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman. Pasangan ini diusung PDIP, PKS, dan PAN pada Pilgub Sulsel 2018 lalu. Selain sebagai pemilik/pemegang saham di perusahaan tambang, Akbar Nugraha — yang diketahui teman seangkatan dengan anak Nurdin Abdullah, Fathul Fauzi Nurdin di Binus University – juga ditunjuk sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) oleh Nurdin Abdullah sejak 2018 sampai sekarang, usai terpilih menjadi gubernur Sulsel. Sementara Fahmi Islami, tercatat sebagai Staf Khusus Gubernur Nurdin Abdullah. Selain itu, Fahmi Islami juga juga menjadi bagian dari Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Provinsi Sulsel. Sejumlah nama lain juga berada di balik kedua perusahaan tambang di atas. Seperti Sunny Tanuwidjaja dan Kendik Wisan. Sunny Tanuwidjaja tercatat sebagai Komisaris Utama di PT Banteng Lautan Indonesia. Sunny Tanuwidjaja adalah mantan staf khusus Pemprov DKI Jakarta semasa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang tercatat sebagai Sekretaris Dewan Pembina PSI. Sunny Tanuwidjaja juga pernah dikaitkan dengan kasus suap anggota DPRD Pemprov DKI Jakarta Muh Sanusi, dalam kaitan dengan reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta. Sementara Kendirk Wisan adalah pemegang saham terbesar (50%) di PT Nugraha Indonesia Timur. Kendrik diketahui sebagai pengusaha di PT Comextra Majora, bergerak di bidang eksportir kakao dan kacang mede. Pertanyaannya kemudian, akankah mereka yang terkait dengan Nurdin Abdullah juga bakal diseret, atau minimal dimintai keterangan oleh KPK? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Siapa "King Maker" di Balik Kasus Jaksa Pinangki?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Siapa sosok “King Maker” dalam skandal korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari hingga kini masih menyisakan misteri. Hakim menegaskan sosok itu memang ada. Namun, hingga sidang vonis 10 tahun atas Pinangki, sosok tersebut belum juga terungkap. Sosok misterius king maker perlu diusut. Agar kasus mafia hukum yang menjerat Pinangki dan Djoko S. Tjandra dapat terungkap dengan jelas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun didesak untuk turun tangan dan segera mengusut. Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengultimatum KPK. Ia memberi waktu satu bulan pada lembaga antirasuah itu untuk mengusut king maker dalam pusaran kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) itu. Bahkan, Boyamin mengancam, jika dalam satu bulan tidak ditindaklanjuti KPK, maka MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan. Sebab dalam laporan yang ia sampaikan, sudah ada dua alat bukti yang bisa digunakan untuk mengungkap King Maker tersebut. Begitu ungkap Boyamin di kompleks Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/2/2021). Kedatangannya ke KPK itu untuk menagih janji terkait penanganan laporan keterlibatan King Maker dalam pusaran kasus Pinangki dan Djoko S Tjandra. Selain itu, pihaknya juga menyerahkan profil King Maker lebih rinci. Diakui, dirinya yang bukan personil penegak hukum saja mengetahui sosok “King Maker” dalam skandal korupsi mantan Pinangki. Secara teori sangat tidak mungkin jika para petinggi dan penyidik KPK itu, tidak mengetahui dalang yang mengatur operasional mantan Jaksa Pinangki tersebut. Digambarkan, sosok King Maker itu merupakan aparat penegak hukum. Jabatannya tinggi. Oknum penegak hukum itu, saat ini masih aktif dan memiliki kekuasaan mengatur penegakan hukum di Indonesia. Itu berdasarkan versi dari salah satu saksi saat disidang. Tapi, dirinya untuk saat ini tak memiliki hak untuk menyebut secara transparan nama dalang tersebut. Ini karena dirinya hanya LSM saja. Bukan penegak hukum. “Jika KPK tidak mengusut laporan MAKI sampai batas waktu yang kami berikan, maka kami akan melakukan gugatan Praperadilan. Dalam sidang gugatan itu, saya akan buka sosok King Maker, yang membuat KPK ewu pakewuh untuk mengusutnya,” ujarnya, seperti dilansir Bongkah.id. Sebelumnya, keberadaan King Maker ini dinilai majelis hakim Pengadilan Tindak Tipikor, Jakarta, benar adanya. Dalam pembacaan vonis kepada Pinangki, majelis hakim Tipikor menyatakan, sosok diduga King Maker itu memiliki andil terkait pengurusan fatwa MA. Yang akan digunakan buronan Djoko Tjandra untuk bebas dari hukuman dua tahun penjara, atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Namun, pengadilan tidak mampu mengungkap sosok tersebut. Kegagalan pengadilan mengungkap sosok King Maker tersebut, karena Pinangki tetap tutup mulut. Istri perwira Polri ini terkesan menutupi keterlibatan pihak lain termasuk King Maker, dalam kenakalannya mempermainkan hukum di Indonesia terkait kasus Djoko Tjandra. Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menegaskan bahwa KPK membuka peluang mengusut dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus pengurusan fatwa MA, yang menjerat mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra. “Kalau ada dugaan-dugaan tindak pidana korupsi lain yang belum diungkapkan, tentu kami sangat terbuka. Tapi, tentu kami akan menunggu dari hasil putusan dulu sejauh mana kemungkinan itu,” kata Ghufron kepada wartawan di Jakarta, Selasa (9/2/2021). Dalam kasus pengurusan fatwa MA itu, hanya Djoko Tjandra yang belum dijatuhi vonis. Sementara dua terdakwa lain, yakni Pinangki dan Andi Irfan Jaya sudah divonis bersalah. Dari putusan terhadap kedua terdakwa itu, hakim menilai ‘King Maker’ benar adanya. Tapi, menurut hakim, sosok tersebut tidak berhasil diungkap selama persidangan. Ini karena keterangan terdakwa yang tidak jujur. KPK pernah menerbitkan surat perintah supervisi penanganan perkara Djoko Tjandra, yang ditangani Kejaksaan Agung dan Polri. Kasus yang ditangani Polri adalah dugaan suap perihal penghapusan DPO atas nama Djoko Tjandra, yang menjerat dua jenderal polisi. Yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo yang kasusnya ditangani pihak Polri. Bahkan, ketiga lembaga penegak hukum tersebut sempat melakukan gelar perkara di Gedung Dwiwarna KPK, sekitar September 2020. Tapi, Ghufron enggan menyampaikan perkembangan dari supervisi itu. Ia hanya memastikan, KPK akan mengusut dugaan tindak pidana yang melibatkan pihak lain yang didukung dengan alat bukti yang ada. Begitu pula berdasar alat bukti yang diberikan masyarakat. Beberapa waktu lalu, Boyamin pernah melaporkan sejumlah hal terkait kasus Jaksa Pinangki ke KPK. Termasuk melaporkan adanya istilah 'Bapakku-Bapakmu' dan King Maker dalam asus tersebut. Menurut Boyamin, Polri sudah melakukan tugasnya dengan menjerat Napoleon Bonaparte, Prasetijo Utomo, dan juga Tommy Sumardi. Begitu pula dengan Kejaksaan Agung yang sudah menjerat Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Jaksa Pinangki. Jadi ini tugas keduanya sudah cukup dan ini jadi tugas KPK untuk mengungkapkan peran lain yang belum bisa terungkap oleh proses penyidikan maupun di pengadilan Tipikor. Saat itu Boyamin menegaskan, apabila dalam 3 atau 4 bulan ke depan, KPK tidak kunjung mengusut keterlibatan pihak lain dalam perkara tersebut, pihaknya akan melakukan gugatan praperadilan atas kinerja lembaga antirasuah. “Jadi, ini tugasnya KPK, dan nanti kalau KPK ini enggak bergerak-bergerak kami akan gugat KPK melalui upaya jalur praperadilan atas tidak diprosesnya atau tidak dilanjutkannya proses Djoko Tjandra kepada pihak lain yang terlibat,” tegasnya. Terkait King Maker, hakim Pengadilan Tipikor menegaskan, sosoknya memang ada dalam kasus Pinangki. Tapi, hakim tidak bisa mengungkap siapa King Maker itu. Ia dinilai berbelit-belit dalam persidangan, berusaha menyembunyikan keterlibatan pihak lain. Dalam kasus ini, Djoko Tjandra diduga bersedia memberikan imbalan sebesar 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 14,85 miliar kepada Pinangki. Menurut Kejagung, Pinangki menyusun proposal action plan untuk membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa di MA. Proposal itu telah diserahkan ke Djoko Tjandra melalui perantara. Tapi, Djoko Tjandra membatalkan kerja sama mereka lantaran tak ada rencana seperti dalam proposal Pinangki yang terlaksana. Padahal, Djoko Tjandra sudah memberikan uang 500.000 dollar AS (50 persen) dari imbalan yang dijanjikan kepada Pinangki sebagai uang muka. Dari total uang itu, Pinangki diduga memberikan 50.000 dollar AS kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum. Anita, mantan pengacara Djoko Tjandra. Ia juga diduga bersedia membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa itu. Sementara, uang yang masih tersisa digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan. Dalam kasus ini, Pinangki dijerat dengan pasal berlapis terkait dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara, penyidik Kejagung masih merampungkan berkas perkara untuk tersangka Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya. Sejauh ini, Anita tidak berstatus tersangka di kasus ini. Tapi, ia ditetapkan Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus lain yang masih terkait Djoko Tjandra. Dalam kasus dugaan gratifikasi dan suap ini, Jampidsus telah menetapkan 3 orang tersangka. Yakni Djoko Tjandra, Pinangki, dan eks kader Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya. Sebelumnya, Kejaksaan Agung merespons pernyataan sejumlah pihak ihwal tak dibukanya nama-nama yang diduga membantu Jaksa Pinangki saat menawarkan kepengurusan fatwa bebas di MA untuk Djoko Tjandra. Dilansir Tempo.co, Sabtu (19/9/ 2020 09:38 WIB), Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono menuturkan, selama penyidikan sejumlah pihak tersebut tak memiliki pembuktian keterlibatan. Menurut Ali bahwa selama itu tidak ada kaitannya dengan pembuktian, untuk apa? Kalau ada pembuktian, baru. “Kalau hanya bapakku bapakmu, apa hubungannya dengan pembuktian?” ucap Ali saat dikonfirmasi pada Sabtu, 19 September 2020. Namun, jika dalam gelaran sidang perdana Jaksa Pinangki pada Rabu, 23 September 2020 muncul pembuktian baru maka pihak Kejaksaan Agung akan menelusuri. “Kalau misalkan nanti mengandung nilai pembuktian baru kami cek,” kata Ali. Munculnya pihak-pihak baru yang diduga berperan dalam kasus Pinangki berawal dari laporan MAKI. Koordinator MAKI Boyamin Saiman yang menyebut ada istilah 'bapakku' dan 'bapakmu' dalam kasus tersebut. Selain itu ada juga lima nama baru, yakni T, DK, BR, HA, dan SHD. Mulanya, MAKI hanya mendorong Kejagung menyelidiki sejumlah informasi tersebut. Namun belakangan ia juga melaporkan nama-nama tersebut ke KPK, sehingga KPK ikut diminta mendalami. Permintaan itu dilakukan Boyamin lantaran menilai Kejagung terburu-buru melimpahkan berkas perkara Jaksa Pinangki. Alhasil, ia menduga penyidik Kejagung enggan mengusut tuntas nama-nama lain yang ditengarai ikut terlibat. Kini bola berada di KPK. Jika KPK tak juga mengusut siapa pihak yang telah disebut King Maker, MAKI akan menggugat praperadilan ke KPK. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Setan & Iblis Ikut Bahas Korupsi Bansos

by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Pagi tadi (Jum’at 26/02), selesai sholat subuh, saya baca pesan dari teman yang pernah menjadi menteri di eranya kabinet Jokowi-Jusuf Kalla. Pesannya dikirim dari semalam sekitar jam 21.45 WIB. Namun baru dibaca selesai sholat subuh. Isi pesannya adalah, “adinda, bisa ke rumah jam 08.00 WIB pagi ini untuk sarapan, sambil ngombrol-ngobrol kecil di rumah”? Tanpa pikir panjang, saya langsung jawab saja, “insya Allah bisa bang”. Cuma kemungkinan saya agak terlambat yang bang, karena harus ketemu dengan teman yang sudah terlanjur janjian jam 06.30 WIB pagi ini. Dijawab oleh abang yang mantan menteri itu “ok saja adinda. Abang tunggu ya. Sampai jumpa di rumah dinda nanti”. Sebagai wartawan, tentu saja ini adalah kesempatan yang tidak bakalan saya disia-siakan. Saya sudah mulai terbayang bakalan dapat cerita dan informasi penting sekitar pemerintah Jokowi, naik dulu ketika masih menjadi anggota kabinet maupun sekarang. Paling kurang ada kesempatan untuk saya menggali dan menanyakan beberapa informasi penting dari sang mantan menteri. Tepat jam 07.45 WIB, saya meninggalkan rumah teman untuk menuju rumah mantan menteri tersebut. Karena macet, saya baru tiba di rumah sang mantan menteri jam 09.15 WIB. Setelah dipersilahkan oleh staf rumahnya untuk masuk ke ruang tamu, tiga menit kemudian mantan menteri keluar dari kamar pribadi untuk menemui saya. Kami lantas saling memberikan salam protokol kesehatan (prokes) dengan menunukan kepal tangan masing-masing dari jarak jauh. Sambil menunggu sarapan dihidangkan, sang mantan menteri mengajak saya untuk foto-foto dengan beberapa latar belakang lukisan yang dibuat dengan alat lukis dari pedang. Latar belakang foto kami bedua lainnya adalah ketika sang menteri masih mudah. Stafnya lalu memfoto kami berdua untuk beberapa kali. Setelah itu, hidangan sarapan pagi disajikan untuk kami berdua. Sambil sarapan dan ngopi tanpa gula, mantan menteri itu bilang, “anda ini kan wartawan gila. Saya kanal kamu sejak awal tahun 1990, saat baru pulang kuliah S-3 dari Amerika. Saat itu, kita sama-sama membongkar skandal rente ekonomi Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Dana Reboisasi (RD) yang sangat kecil dipungut untuk negara. Sementara mereka para pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bisa kaya raya tanpa melakukan investasi”. Pengusaha HPH hanya investasi alat untuk menebang kayu. Saya jawab, “benar bang. Ketika itu saya masih wartawan yunior di Harin Ekonomi NERACA. Abang membantu Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan yang sangat peduli dengan masalah eksploitasi hutan yang tidak banyak memberikan manfaat, baik kepada negara maupun untuk masyarakat yang hidup di sekitar hutan sebagai pemilik sebenarnya hutan. Sambil sarapan, sang mantan menteri bertanya kepada saya, “Kisman, kamu tau nggak, apa yang sedang dibahas oleh para iblis dan setan dalam pertemuan mereka beberapa hari belakangan ini”? Saya jawab, ”ya pasti nggak taulah bang. Saya kan bukan iblis dan setan”. Kemudian saya tanya kepada sang mantan menteri, “memangnya yang abang tau tema apa yang dibahas setan dan iblis”? Sambil tertawa kecil, sang mantan menteri menjawa, “pasti yang dibahas itu korupsi di Indonesia yang merata, dan tidak pernah berakhir. Korupsi yang hampir merata di semua kementerian dan lembaga. Totol korupsi di industri asuransi dengan palaku yang sama hampi mencapai Rp. 100 triliun. Kalau ada yang belum terungkap, bukan karena tidak adanya korupsi. Ini hanya soal waktu saja. Nanti juga akan terungkap pada waktunya". Namun korupsi di Indonesia yang paling banyak dibahas setan dan iblis adalah korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos). Ditambahkan sang mantan menteri, kalau setan dan iblis juga bingung nggak abis pikir, masa dana Bansos untuk orang kecil yang lagi kesulitan akibat pandemi kovid-19 dikorupsi sih? Tega-teganya mereka para kader partai yang mengaku sebagai pembela rakyat kecil tersebut ya? Dimana rasa kemanusian mereka terhadap orang kecil? “Kita-kita (iblis dan setan) yang spesialis penghisap darah manusia saja, masih pilih-pilih darah segar mana yang mau dihisap? Yang pasti bukan darahnya orang-orang kecil yang akan dihisap oleh kita-kita. Sebab pasti darahnya tidak lagi lagi segar, karena kurang vitamin dan nutrisi. Namun kalau darahnya para oligarki dan konglomerat yang merampok uang rakyat itu pasti kita dihisap. Karena pasti masih segar dan bau enak”. Mengakhiri pertemuan yang hampir dua jam itu, sang mantan menteri mengingatkan saya agar Portal Berita FNN.co.id jangan sampai bosan untuk memberitakan korupsi dana Bansos tersebut. Alasannya, FNN jangan sampai kalah dengan iblis dan setan yang sangat perduli dengan korupsi dana Bansos. Masa FNN kalah perduli dengan iblis dan setan? Oh ya, ada lagi nih. “FNN jangan juga lupa dengan soal Goodie Bag anak Pak Lurah yang harganya Rp. 15.000,- per unit”. Padahal Boodie Bag itu kalau bisa dikerjakan oleh Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), harganya bisa lebih murah, yaitu Rp 5.000,- per unit. Bisa memberikan pekerjaan kepada UMKM dalam jumlah yang banyak, dengan harga yang sangat murah”. Goodie Bag itu penunjukan langsung sebanyak 10 juta unit kepada PT Sritex, sehingga total anggaran adalah Rp. 150 miliar. Setan dan iblis juga mengingatkan kalau penunjukan langsusung itu hanya dibolehkan untuk proyek dengan nilai di bawah Rp. 200 juta. Kalau penunjukan langsung untuk pekerjaan di atas Rp. 200 juta, iblis dan setan sepakat kalau itu pidana. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Polisi Medsos Kurang Kerjaan

Bagi polisi hanya ingin bertanya, nurani Anda di mana? Sadarkah Anda bahwa aib-aib institusi Anda juga tengah dibuka satu persatu oleh Yang Maha Kuasa? by Rahmi Aries Nova Jakarta, (FNN) - "BUKANNYA menyatakan perang habis-habisan pada narkoba yang daya rusaknya luar biasa, sampai-sampai sekelas Kapolsek pun menggelar pesta narkoba dengan anak buahnya. Eh, ini malah medsos yang dijaga 24 jam." Tanpa polisi medsos atau media sosial saja jutaan akun sudah diberangus baik oleh Facebook, Twitter, juga Instagram. Contohnya, akun pribadi saya, sudah ditake down twitter sejak 1 Desember 2020, atau seminggu menjelang kejadian pembantaian pengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab. Pada hari itu, mungkin puluhan ribu, bahkan ratusan ribu akun Twitter diberangus.Terutama akun-akun yang memakai profil picture HRS atau apa pun yang berbau FPI. Padahal saat itu FPI belum dinyatakan terlarang lho! Mungkinkah kejadian KM50 ada kaitannya dengan dihabisi akun-akun Twitter demi meredam berita di medsos? Sementara akun Facebook saya ditakedown pada 6 Februari lalu. Keduanya, (Twitter dan Facebook) bukan akun anonim, dan sudah ada sejak 13 tahun lalu. Dari dua akun tersebut, insya Allah saya tidak pernah menyebarkan hoax, menyerang personal, apalagi memfitnah. Akun saya pasti anti pornografi, tidak pernah dipakai untuk berjualan apalagi menipu. Saya bahkan sangat menahan diri untuk memposting hal-hal pribadi kalau kesannya agak pamer. Misal, saya tidak pernah posting foto berdua-duaan dengan suami karena menjaga perasaan teman saya yang belum menikah atau sudah berpisah. Soal anak pun begitu. Selalu dipikirkan apakah kalau saya posting, teman-teman yang tidak dikaruniai anak bakal bersedih? Posting makanan malah saya paling anti, karena membayangkan masih banyak orang yang tidak bisa makan di negeri ini. Intinya, akun saya akun toleran. Sebaliknya Twitter dan Facebook sangat intoleran pada yang berbau FPI dan HRS. Entah salah apa dan atas perintah siapa dua inisial itu tidak boleh ada di platform mereka. Di negeri yang mengaku mengusung demokrasi, mereka justru melakukan diskriminasi. Dan itu pasti akan menjadi-jadi karena kini medsos pun sudah dijaga polisi. Bagi teman-teman yang masih bermedsos, harap berhati-hati jangan sampai terjebak oleh jerat aparat yang mewakili syahwat penguasa. Bagi polisi hanya ingin bertanya, nurani Anda di mana? Sadarkah Anda bahwa aib-aib institusi Anda juga tengah dibuka satu persatu oleh Yang Maha Kuasa? Mulai dari kasus narkoba, menjual senjata, membunuh orang tak bersalah (bahkan tentara). Sungguh tidak akan ada kedamaian tanpa keadilan, baik itu di medsos, apalagi di dunia nyata. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Heuristika Hukum Menjawab Tantangan Berhukum Indonesia

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN - Konsep heuristika hukum merupakan suatu lompatan berpikir yang cerdas dan mengagumkan. Konsep ini sangat futuristik, holistik dan menukik di tengah kebekuan penarapan hukum normatif yang tidak menjawab rasa keadilan masyarakat hari ini. Gagasan besar dari Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH. tentang Heuristika hukum bisa memecahkan kebekuan dan kekakuan hukum kekinian. Kekauan dan kebekuan yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Ide dan gagasan heuristika hukum merupakan buah dari pemikiran Yang Mulia Ketua Mahkaham Agung H.M Syarifuddin selama menyelami dan menjiwai dunia berhukum sebagai hakim kurang lebih 35 tahun. Ketua Mahkamah Agung ini menyadari betul ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik hukum. Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Terutama yang berkaitan dengan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Kedua pasal ini memberikan ruang penafsiran yang sangat leber kepada penegak hukum, termasuk para hakim untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku. Bahkan kurang memberi rasa keadilan dan kemanfaatan hukum kepada para pihak. Kenyatan ini sebagai akibat dari model penafsiran hukum oleh hakim yang ansih hanya bersifat legalistik formal semata. Hakim terkesan sangat kaku. Malah tidak berani keluar dari pakem normatif formalisitk. Hakim tidak berani tampil out of the box dalam penjatuhan sanksi pidana di pengadilan. Yang di dunia peradilan dikenal dengan istilah Judicial Aktivism. Oleh karena itu, sudah sangat tepat ajakan dari Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin kepada teman-teman sejawatnya sesama hakim, agar jangan terpaku pada aturan normatif semata. Hakim harus berfikir secara holistik dan progresif dalam mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan demi mewujudkan keadilan sejati. Keadilan yang tidak hanya bermanfaat untuk manusia dan pencari keadilan di dunia. Tetapi juga bermanfaat untuk hakim ketika di depan pengadilan Allah Subhaanahu Wata’ala. Sebab semua putusan hakim ada pertanggungjawaban di depan pengadilan akhirat. Ajakan dari Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin ini sejalan dengan karekter dan prinsip-prinsip pemidanaan dari Yang Mulai Hakim Syuraih, seorang hakim yang sangat terkenal dalam sejaraah peradaban Islam. Yang Mulia Hakim Syuraih terkenal di masa Khalifah Umar Bin Khatab Radiallahu Anhu sampai dengan Khalifah Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengkuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Konsep ini sebagai terobosan penting dan strategis. Heuristika ini adalah bentuk lain ijtihad seorang dalam membuat keputusan. Konsep heuristika hukum baru terdengar sebagai sebuah motode di jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Khususnya dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun ini merupakan suatu lompatan berfikir yang futuristik untuk memecahkan kekakuan dan kebekuan hukum normatif, yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Yang mulia Prof. Dr. Syarifuddin sudah sangat tepat dengan dan layak dengan konsep heuristika hukum. Apalagi sebagai orang yang menduduki puncak pimpinan tertinggi di Lembaga Peradilan Indonesia. Tentu saja konsep ini berangkat teori dan pengalamannya selama menjadi hakim. Konsep heuristika juga lahir dari pergolakan pemikiran secara teoritis. Tujuan dari konsep heuristika hukum adalah memberikan solusi bagi kebuntuan hukum normatif yang ada saat ini. Kebuntuan yang banyak dialami para hakim. Kebuntuan yang terkadang tidak mampu untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam rangka memberikan layanan keadilan bagi para pencari keadilan di pengadilan. Konsep heuristika hukum ini lahir dari pergolakan batin Yang Mulia Prof Dr. Syarifuddin yang panjang sebagai seorang hakim, yang mengedepankan hati nurani. Pergolakan batin dalam menjatuhkan putusan untuk menegakan hukum dan keadilan secara substantif. Keadilan tanpa mengesampingkan aspek kepastian dan kemanfaatan hukum. Karena menjadi sesuatu yang baru di Indonesia, maka konsep heuristika hukum perlu disosialisasikan dan dibedah melalui forum-forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Tujuannya, agar konsep ini bisa diuji eksistensinya. Terutama dalam rangka menjawab problem penegakan hukum, khususnya di lembaga peradilan. Sebagai sebuah gagasan, sudah tentu pasti terjadi pro dan kontra. Namun pro-kontra adalah hal yang wajar di kalangan akademisi. Pro-kontra yang tentu saja untuk menambah dinamika dan dialektika wajah hukum Indonesia. Juga untuk memperkaya intelektual seiring lahirnya konsep heuristika hukum. Dalam pidatonya, Ketua Mahkamah Agung, Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin mangatakan tantangan penegakan hukum adalah dalam hal disparitas pemidanaan. Lebih spesifik lagi dalam contoh kasus putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum yang sama maupun adanya kesamaan pada unsur-unsur tindak pidana korupsi. Namun tetap saja terdapat kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas terkait adanya disparitas pemidanaan tersebut dalam putusan hakim. Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan ini semakin melebarkan jarak antara ekspektasi masyarakat terhadap putusan hakim dan tujuan hukum. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ikhtiar Menemukan Keadilan Humanitas (Bagian-2)

Tulisan ini adalah bagian kedua dari catatan akademis singkat terhadap buah pikiran Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH., teman sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, terkait pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Diponegoro, dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern : Pendekatan Heurestika Hukum”. by Prof. Dr. Syaiful Bahri SH. MH. Jakarta FNN – Prof. Dr. M. Muhammad Syarifuddin SH. MH meyakini bahwa Heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Sebab hukum adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Hukum selalu mengikuti kebutuhan berhukum di masyarakat. Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal. Sebaliknya, hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa. Karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan agama (Syarifuddin, 2021: 22). Dalam mengimplementasikan gagasan tersebut, pandangan saya sebagai kolega yang bersangkatan adalah terletak pada hakim itu sendiri. Hal ini menyangkut isyu tentang kemandirian hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Terutama dalam menjatuhkan putusan hakin yang berkaitan erat dengan pidana dalam perkara-perkara korupsi. Pemidanaan bermaksud untuk menegakkan kemaslahatan, perdamaian, serta kebahagiaan untuk seluruh manusia. “Tidaklah seseorang yang berdosa akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum, hingga Kami utus Rasul terlebih dahulu” (Q.S. 17 ayat (15). Pidana sebagai nestapa yang dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang. Pidana dijatuhkan secara sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Ukuran kenestapaan pidana yang patut diterima oleh seseorang merupakan persoalan yang tidak terpecahkan. Pidana baru dirasakan secara nyata apabila sudah dilaksanakan secara efektif. Tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan (Saleh, 1983: 9). Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sekunder, yakni apakah perbuatan pidana itu betul-betul harus dijatuhi hukuman. Karena secara primer hukum pidana, berguna untuk menginsafkan perbuatan yang keliru agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum pidana terkandung asas kemasyarakatan dan perikemanusiaan yang merupakan sendi-sendi negara kita. Itu berarti perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, laksana dua mercusuar yang memancarkan sinarnya di atas samudera yang gelap dan berbahaya. Sehingga para pelayar dalam menuju pangkalannya diharapkan tiba dengan selamat dan berbahagia. Karenanya dua pangkal sinar itu harus selalu diawasi dan diikuti. Sebab jika tidak, bukan kebahagiaan yang akan dialami, sebaliknya kesengsaran dan kesewenang-wenangan (Moelyatno, 2008: 27). Setiap pemidanaan yang dijatuhkan oleh peradilan, dengan aktor utamanya adalah hakim pidana, selalu mendapatkan perhatian di masyarakat. Terutama terhadap tingkat kepuasan dan keseriusan dari pemidanaan tersebut. Apakah suatu alat pembalasan ataukah alat pembinaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam warna warni “keadilan” yang dimaknainya. Disinilah pertemuan pemikiran falsafah Pancasila sebagai pengendali emosi dan hasrat keadilan di relung paling dalam dan suci dari para hakim pidana dalam memberikan kemuliaannya. Menilai peristiwa konkrit dengan tulus ikhlas. Tanpa adanya tanpa muatan-muatan apapun. Hanya dengan hasrat keadilan, hakim dapat membenarkan putusan-putusan pemidanaannya (Bakhri, 2016 : 4). Dalam budaya hukum pidana barat, hakim pidana, karena kepercayaan yang diberikan padanya, menikmati kewenangan yang cukup luas. Kewenangan yang berkenaan dengan penetapan hukuman. Kebebasan itu tidak hanya terhadap pilihan-pilihan bentuk pemidanaan semata. Namun juga terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Patokan berat ringannya pemidanaan, berdasarkan pada patokan tentang tingkat keseriusan dari perbuatan. Juga latar belakang situasi dan kondisi yang melingkupi pelaku ketika melakukan tindak pidana. Karena itu sangat mendapatkan perhatian tentang sejumlah panduan, atau berkaitan dengan sejumlah ciri-ciri yang terkait dengan kejahatan tersebut. Hakim dapat menyimpangi ketentuan perundang-undangan, dengan memberikan alasannya (Kelk, 2012: 69). Tidak ada batas yang jelas atas kebebasan yudisial, bukan berarti hakim tidak terikat dengan peraturan. Tetapi dalam arti kreasinya, hakim menafsirkan bunyi undangundang dan menilai fakta dalam kerangka menyusun nalar hukum. Putusan yang tidak adil, tidak manusiawi dan sebagainya, yang konotasinya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan harapan masyarakat, secara teknis tercakup dalam kategori salah dalam menerapkan hukum. Hakim bisa salah. Tetapi hakim dengan keyakinannya dapat menilai relevansi, signifikasi dan realibiltas fakta, serta bukti untuk menentukan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa pidana. Sehingga hakim dalam menentukan hukuman, apakah mengukum atau membebaskan dari segala dakwaan (Asmara, 2011: 11). Jaminan yang diberikan kepada seorang hakim, sangatlah penting keberadaannya. Penting guna tercapainya tujuan hukum, dalam hal ini hukum pidana dan ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman di Indonesia, telah dijamin dalam konstitusi Indonesia. Independensi hakim diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya. Kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak ekstra yudisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan undang-undang. Mengenai penyelenggaraan pengadilan, walaupun kekuasaan kehakiman, karena kedudukannya yang bebas dan bertanggungjawab, tidaklah boleh Hakim menyalahgunakan kedudukannya yang bebas itu. Karena hakim terikat pada syarat-syarat tertentu yang harus diindahkannya saat menunaikan tugasnya. Syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku, untuk memberi jaminan-jaminan bagi suatu penyelenggaraan peradilan yang layak dan adil. Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan. Dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim bebas dari campur tangan kekuasaan, bersih dan berintegritas serta profesional. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim bukan hanya sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan hukum. Sehingga setiap Hakim bersifat spiritual. Secara lahiriah, terdapat tanggung jawab hakim secara batiniah, Bertanggungjawab pada hukum, diri sendiri dan kepada rakyat, serta lebih jauh pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam merumuskan tujuan hukum yang sesungguhnya, tidak dirumuskan dalam kata-kata, tetapi dipahami dan dihayati, karena bersumber pada hati nurani manusia (Bakhri, 2016: 27). Habis. Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Pertarungan Kejagung Versus KPK?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Tentu aneh jika dua lembaga penegak hukum ditempatkan pada posisi saling bertarung. Akan tetapi jika kekuasaan politik ikut menentukan penegakan hukum, maka bukan mustahil antar lembaga penegak hukum tersebut pun dapat saling berkompetisi bahkan berkonfrontasi. Kepentingan politik yang tampil memperalat hukum. Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memiliki ruang lingkup penyelidikan luas, termasuk kasus korupsi. Sementara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) khusus untuk mengusut kasus-kasus korupsi. Batas pilihan penanganan oleh Kejaksaan maupun KPK ternyata tipis-tipis saja. Korupsi dengan nilai di bawah satu miliar memang ditangani Polisi dan Kejaksaan. Sementara KPK tugasnya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap penangan korupsi yang dilakukan Polisi dan Kejaksaan. Perpres Nomor 102 tahun 2020 memberi kewenangan kepada KPK mengambil alih penanganan korupsi untuk keadaan tertentu. Jadi, dalam kondisi PKP berwewenang untuk mengambi alih tugas-tugas Kejaksaan dan Polisi, khususnya kasus-kasus korupsi. Kejaksaan juga dapat menangani kasus korupsi yang di atas satu milyar rupiah. Kini saja Kejagung menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan angka kerugian negara Rp 16,81 triliun. Sementara kasus PT Asabri mencapai Rp 23,73 triliun. Kejagung pun didorong untuk mengusut dana BPJS Ketenagakerjaan yang ditaksir senilai Rp 43 trilyun. Kenapa tidak KPK ya? Ada apa dengan KPK? KPK melalui Dewan Pengawas adalah "tangan Presiden" sementara Kejaksaan dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah "milik PDIP". Sebelumnya Jaksa Agung itu kepanjangan tangan Partai Nasdem. Disinilah akar pertarungan bermula. Ada nuansa politik meski samar. Begitu keras perebutan antara Nasdem dengan PDIP soal Jaksa Agung saat penyusunan kabinet dahulu. Nasdem ngotot mempertahankan posisi Jaksa Agung untuk kadernya HM. Prasetyo. Namun PDIP tidak mundur setengah incipun untuk menguasai posisi Jaksa Agung. Nasdem sedikit mengalah, dengan opsi tetap di posisi Jaksa Agung untuk kurun waktu satu sampai dua tahun. Tetapi PDIP tetap ngotot untuk ambil Jaksa Agung, sehingga jadilah ST Burhanuddin, adik dari TB Hasanudin. Kasus Jiwasraya sangat menohok Istana. Demikian juga dengan Asabri. Karenanya Istana melalui KPK "membalas" dengan mengusut kader PDIP Harun Masiku dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sebenarnya sudah merembet ke petinggi PDIP yang lain. Hanya saja dengan hilangnya Harun Masiku, membuat terhenti rembetan tersebut. Misteri besar dari muncul dari kasus ini Harun Masiku tersebut. Istana menyerang terus PDIP melalui kasus bantuan Sosial (Bansos) yang membawa penangkapan dan proses hukum Mensos Juliari Peter Batubara, kader PDIP. Selain Juliari Batubara, sejumlah kader dan petinggi PDIP yang lain kemungkinan besar bakalan terseret kasus korupsi Bansos tersebut. Melalui kesaksian dalam pemeriksaan kasus korupsi Bansos disebut, keterlibatan lingkungan Istana "Anak Pak Lurah" lalu sodokan lagi menuju "Madam" dari PDIP. Proses hukum masih berjalan, hanya belum terkuak rinci sampai kepada "Anak Pak Lurah" maupun "Madam". Publik menduga bargaining politik bisa saja terjadi. Konsekuensi jika penegakan hukum berada di bawah bayang-bayang politik. Jika akur, tentu Kejaksaan dalam proses pengusutan Jiwasraya, Asabri, maupun BPJS Ketenagakerjaan semestinya melibatkan KPK. Namun dalam prakteknya, Kejaksaan berjalan sendiri. Karenanya wajar timbul kecurigaan tersebut. Dalam kasus mega korupsi ketiga institusi di atas, mudah dipastikan akan keterlibatan kekuasaan. Tetapi dalam menarik keterlibatan lingkungan istana sangat minim. Disini terkesan ada "tarik ulur" dan "tekan menekan". Bangsa dan rakyat Indonesia berharap KPK dan Kejaksaan bisa melepaskan kepentingan politik yang mendasari kerja keduanya. Bahkan satu dengan lain seharusnya dapat bekerjasama. Jika berlomba pun dalam rangka berprestasi untuk membongkar dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Bukan menjadi alat untuk "bargaining politik". Rakyat bertanya-tanya, sampai kapan Kejagung akan bertarung dengan KPK? Sebab justru yang dirugikan adalah rakyat. Uangnya telah dirampok habis oleh para penjahat besar dari kalangan penguasa dan penguasa. Koruptor, terminator, dan predator. Pepatah menyatakan gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengahnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.