HUKUM

Tak Ada Alasan Hukum Untuk Menghukum Syahganda

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jarkarta FNN - Perkara Syahganda Nainggolan, segera diputus. Syahganda didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) “menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan terjadi keonaran”. JPU pun telah membacakan tuntutannya, termasuk menyanggah tanggapan Syahganda. Sejauh teridentifikasi melalui berbagai pemberitaan, JPU berpendapat dakwaannya terbukti. Atas dasar penilaian itu, JPU menuntut Syahganda dihukum 6 (enam) tahun. Sekarang perkara ini sepenuhnya berada di tangan hakim-hakim yang menyidangkan, memeriksa dan akan memutusnya. Sulitkah hukum dalam perkara ini? Sama sekali tidak, dengan apapun alasannya. Hukum pada perkara ini begitu sangat mudah. Semudah atlit bernapas. Yang berat adalah lilitan politiknya. Inilah yang memusingkan Jaksa dan hakim. ​Secara teknis, unsur kunci atau yang ahli ilmu hukum pidana sebut “unsur delik” pada perkara ini adalah Pertama “kabar bohong”. Kedua, “onar.” Hanya itu tidak lebih. Apapun ilmu interpretasi yang mau digunakan untuk melebarkan cakupan konsep atau teks atau unsur delik “bohong” dan “onar” dalam perkara ini, tetap tak tersedia jalannya. ​Ilmu interpretasi hukum dimanapun didunia ini memandu setiap aparatur hukum dengan sangat jelas. Tidak ada interpretasi yang tidak diawali dengan interpretasi terhadap teks-kata dan kalimat-dalam pasal. Tidak ada pula ilmu interpretasi di dunia ini yang menyatakan bahwa teks tidak memiliki konteks. Justru sebaliknya setiap teks memiliki konteks. Itu prinsipil dalam ilmu hukum. ​Tidak ada ilmu hukum yang tidak mengajarkan bahwa inti penerapan hukum adalah interpretasi. Tidak ada interpretasi yang tidak bertalian dengan sistem hukum. Sistem hukum melahirkan konsekuensi berupa terdapat level-level rules atau lapisan-lapisan rules. Interpreter, suka atau tidak, harus pergi menggali dan menemukan text representation level dan intention. Itu disebabkan teks tidak pernah tidak merupakan refleksi atau pantulan kehendak pembentuk teks itu. Ilmu hukum mengajarkan dengan jelas, teks tidak selalu atau tak pernah secara alamiah menggambarkan dengan tepat dan jelas maksud pembentuknya. Itu menjadi dasar ilmu hukum memaksa hakim, siapapun mereka, dalam perkara apapun, pergi menyelam, memeriksa setepat mungkin kehendak pembentuk teks itu. Dalam perkara ini, suka atau tidak, soal pertama dan utama yang harus diperiksa adalah teks “bohong” dan “onar.” Kedua hal ini menjadi dua unsur delik kunci. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 mengartikan kata “bohong” itu. Bohong a 1. tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya “dusta”, kabar itu-belaka, 2. Ia berkata-kaya cak bukan yang sebenarnya, palsu (biasanya mengenai permainan) lotre. Membohong, menurut kamus ini, “mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada; membohongi-berbohong kepada mendustai kepada. Pembohong, orang yang suka berbohong. Bohong-bohong, bukan sebenarnya. Kebohongan, perihal bohong, sesuatu yang bohong. Bagaimana dengan teks atau unsur delik onar? Menurut KBBI di atas onar 1. huru-hara, gempar, ulahnya menimbulkan, 2. Keributan, kegaduhan, anak-anak itu sering membuat, meng-onarkan-menghuru-harakan, menggemparkan, mengacaukan, tindakan pejabat itu masyarakat. 2 Onar kl n akal busuk, tipu muslihat, pedagang sering melakukan-terhadap pembeli. Apa hal bohong yang Syahganda sebarkan, yang mengakibatkan terjadinya keonaran? Lupakan dulu tabiat hukum pidana pada rumusan pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana yang didakwakan kepada Syahganda. Sekali lagi, lupakan dulu itu. Mari kenali hal bohong yang dituduhkan kepada Syahganda. Hal bohong yang dituduhkan kepada Syahganda adalah (i) kutipan Syahganda terhadap isi pidato Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo di Karawang. (ii) analisisnya teradap rancangan UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja. (iii) dukungan Syahganda dan rekan-rekannya di KMAI yang akan ikut demonstrasi buruh menolak RUU itu. Terakhir adalah analisis Syahganda terhadap pernyataan Profesor Mahfud MD, Menko Polhukam tentang calon kepala daerah yang disinyalir dibiayai para pemilik modal. Ini disebut cukong. Perihal ini juga, kalau tak salah pernah dirilis oleh KPK. Hanya harus diakui jumlah, terdapat perbedaan dalam jumlaah persentasinya. Anggap saja semua hal di atas benar ada dan terbukti dalam sidang. Soal hukumnya apakah perbuatan itu dapat dipersalahkan? Bila ya, bagaimana penalarannya? Penalaranlah yang menjadi hal kunci dalam menentukan kualifikasi atas sifat fakta yang tersaji dalam sidang itu. Ini benar-benar krusial. Hakim mau tidak mau harus memadati interpretasinya dengan pengetahuan yang cukup tentang latar-belakang teks. Dititik ini ketepatan identifikasi atas “kontek teks” yaitu situasi empirik sebagai basis teks, memainkan peran kunci. Ketepatan identifikasi konteks teks situasi empirik menentukan kualifikasi sifat hukum terhadap hal keadaan yang terbukti dalam sidang. Tidak itu saja, pengetahuan hakim tentang ilmu hukum, khususnya ilmu perundangan-undangan turut menentukan. Hakim harus tahu konsekuensi alamiah yang membadakan RUU dan UU. Jangankan RUU yang pasti berubah, bagian-bagian tertentu dalam UU juga bisa berubah, karena dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kantitusi (MK). Praktis begitulah inferensi yang harus ditapaki dalam semua kasus, pada semua peradilan. Diawali dengan mengidentifikasi fakta dalam semua aspeknya. Berikut pertalian antara satu fakta dengan lainnya, yang merupakan ekstraksi atas fakta itu. Itulah proses awalnya. Proses selanjutnya, fakta itu dipertalikan dengan hukum. Dititik inilah proses identiikasi hukum atas fakta itu berawal. Proses ini berakhir dengan lahirnya kongklusi pemberian hukum atas fakta itu. Dititik ini lahir kongklusi apakah tuduhan itu terbukti tidak? Kalau pun terbukti, fase ini juga menentukan apa hal yang terbukti itu benar-benar meyakinkan untuk dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum pidana atau tidak. Begitulah cara inferensi, baik fakta maupun hukum dalam perkara ini. Logisnya inferensi menjadi kunci logisnya hukum yang disifatkan atas fakta yang tersaji. Untuk selanjutnya ditarik kongklusi, baik perbuatannya maupun hukum astas perbuatan itu. Ini disebut penalaran dedeuktif. Sekarang bagaimana menginferensi kasus ini? Proses inferensi kasus ini, praktis harus dimulai dengan mempertanyakan atau mengidentifikasi keadaan apa dalam RUU? Apakah menurut ilmu hukum, RUU memiliki kualifikasi hukum atau kebahasaan atau leksikal sebagai keadaan sebenarnya? Tidakkah heading RUU, sebagai heading utamanya maupu heading pada setiap Bab, juga materi muatannya potensial berubah dalam pembahasan antara DPR dengan Pemerintah? Disebabkan perubahan pada heading utama, dan heading pada Bab, juga materi muatannya merupakan hal alamiah dalam proses pembentukan UU (proses pembahasan) antara DPR dengan Pemerintah, muncul satu soal prinsipil. Soalnya dengan cara apa dalam ilmu interpretasi yang logis digunakan untuk menyebut hal dalam RUU yang pasti berubah itu sebagai hal tidak berubah alias keadaan sebenarnya? Tidak ada nalarnya sama sekali. Mari beralih pada isu lainnya. Sebut saja Pak Jendral (Purn) Gatot mengutuk dan menolak RUU Omnibus Cipta Kerja” lalu pernyataan itu dikutip oleh Syahganda dan disebarkan. Soal hukumnya adalah inferensi hukum macam apa yang dapat digunakan untuk menghasilkan kongklusi tentang sifat “bohong” pada perbuatan Syahganda itu? Bila pun pernyataan Pak Jendral (Purn) Gatot itu disebarkan, dan itu menyemangati calon demonstran untuk menyelenggarakan berdemonstrasi, maka soal hukumnya adalah bagaimana menginferensinya untuk menghasilkan kongklusi tak meragukan bahwa tindakan Syahgada tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya alias bohong? Pasti tak ada nalarnya, suka atau tidak. Disisi lain, andaikan saja Syahganda menyatakan “selamat bergerak” kepada rekan-rekan KAMI-nya, yang akan ikut bergabung dalam demonstrasi buruh, dimana letak “bohongnya” pernyataan Syahganda itu? Demonstrasi itu mau diberi sifat dan kualitas hukum sebagai onar? Boleh saja, tetapi syaratnya harus cabut UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum. Sisi eksplosif lainnya dalam kasus ini adalah analisis Syahganda atas pernyataan orang. Sebut saja pernyataan Profesor Mahfud MD, tentang pembiayaan calon kepala daerah oleh cukong. Andaikan angka yang dikutip Syahganda tak sesuai dengan angka yang disebut Pak Mahfud, maka soal hukumnya bagaimana menginferensi fakta itu untuk menghasilkan kongklusi sebagai pernyataan bohong? Menggelikan dan konyol sekali kalau kesalahan atau perbedaan angka yang disebut Syahganda dengan yang disebut Pak Mahfud dijadikan titik tolak kongklusi adanya hal “bohong.” Sebabnya tidak ada peralatan interpretasi yang dapat dipakai untuk membenarkan cukong-cukong sebagai hal hukum sah dalam peristiwa hukum sah. Misalnya pemilihan kepala daerah. Untuk alasan apapun, cukong dalam pilkada, tidak dapat dibenarkan. Konsep cukong, tidak pernah memiliki, jangankan sifat dan kapasitas sah, kesan sah pun tidak dalam kerangka sistem hukum. Sekali lagi tidak. Undang-Undang pilkada hanya mengenal penyumbang kepada calon kepala daerah. Itu sebab utama mengapa “cukong” untuk alasan apapun, buruk dalam seluruh aspeknya. Hal eksplosif lain yang menentukan yang tak dapat diabaikan dalam kasus ini adalah, apa pernyataan-pernyataan Syahganda “mengakibatkan” terjadi keonaran? Demonstrasi mau diberi sifat sebagai hal onar? Jelas tidak. Sebab kalau mau diberi kualifikasi itu, konsekuensi logisnya UU NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM mutlak harus dicabut. Praktis tidak ada penalaran hukum yang bisa digunakan, apapun caranya, menyatakan perbuatan Syahganda melawan hukum pidana, khususnya UU pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Perbuatannya pasti terbukti, tetapi perbuatan itu tidak melawan hukum pidana. Itu sebabnya tidak ada alasan untuk menghukum Syahganda. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternarte.

Berdoa Untuk Mubahalah Keluarga Korban Pembunuhan 6 Pengawal HRS

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Penuntasan kasus pembunuhan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, pada 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak dengan memproses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan hasil peyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel. Bahkan tidak valid dan sarat dengan rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan? Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap. Sebelumnya pada Kamis minggu lalu Rusdi di Mabes Polri mengatakan, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kesimpulan yang didapat dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga anggota polisi tersebut kini dinaikkan menjadi tersangka," (6/4/2021). Namun hal yang paling mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, adalah kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa sampai sekarang mereka tak kunjung ditahan aparat? Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar-benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan. Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI sesuai dengan skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut versi Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak. Para pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario inilah dicoba untuk diselaraskan oleh hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”. Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu. Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdo’a dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdo’a, siang dan malam, agar Allah mengabulkan do’a-do’a kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan taqdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban. Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar-benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di kilometer 50 tol Japek. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil, sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja). Namun sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata apapun, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan seluruh keluarga korban pembunuhan juga sama. Bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata atau senjata api. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat yang semula disangka preman, karena tak penah menyatakan identitas sebagai aparat polisi. Karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri. Yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing. Bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM. Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini. Salah satunya dengan menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada tanggal 9 maret 2021 yang lalu. Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Polri melalui surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. Ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa kilometer 50 tol Japek. Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebut dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak. Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut “demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di kilometer 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut”. “Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksaMu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya. Jika pihak apparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. “Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan apparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan. Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata). Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di kilometer 50 tol Japek, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No. 26 Tahun 2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejaksaan Agung. Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM hanya mengatakan telah terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat. Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3. Atas dasar pula, sehingga TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut. Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam. Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama itu, TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian kilometer 50 tol Japek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan. Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhoi seluruh upaya kita. Semoga Allah mengabulkan do’a orang-orang yang dizalimi. Mengabulkan do’a para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah Subhaanahu Wata’ala kita bertawakkal. Penulis adalah Juru Bicara Badan Pekerja TP3

Kapolri Anulir Telegram Berpolemik, Demi Citra Polisi?

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengapresiasi keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah mencabut Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021. Meski Surat Telegram tersebut akhirnya dicabut, namun KKJ berharap preseden serupa tidak lagi terjadi ke depan. Sebagai catatan, KKJ dideklarasikan di Jakarta, Jum’at, 5 April 2019. Anggota KKJ organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI); Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebelumnya, Jenderal Listyo menerbitkan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik pada Senin, 5 April 2021. Telegram yang ditujukan kepada para Kapolda Up Kabid Humas tersebut dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, penerbitan Surat Telegram Kapolri tersebut juga menutup masuknya kritik-kritik membangun dari media selaku representasi publik terhadap Lembaga Kepolisian. Dalam Surat Telegram huruf B poin 1 disebutkan, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanistik. Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan ini berlawanan dengan ayat (2) Pasal 4 UU Pers: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Selain itu, ayat (3) Pasal 4 UU Pers juga menyebutkan, “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Tentu, dalam menyajikan pemberitaan, pers juga memiliki koridor tersendiri yang telah jelas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Penerbitan Surat Telegram Kapolri yang ditandatangani Kepala Divis Humas Polri Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono atas nama Kapolri ditujukan dalam pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik (huruf B) dan bukan semata-mata mengatur program kehumasan Polri. Oleh karena itu, Surat Telegram tersebut dikhawatirkan juga akan diterapkan pada peliputan-peliputan media massa/pers pada umumnya yang melakukan peliputan kegiatan-kegiatan Kepolisian. Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian dikhawatirkan justru akan menutup upaya bersama untuk mewujudkan reformasi di tubuh Kepolisian. Padahal, transparansi menjadi salah satu syarat utama dalam proses perbaikan kinerja dan profesionalitas Kepolisian. Adapun, untuk poin-poin isi Surat Telegram Kapolri Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 lainnya, KKJ menilai isi materinya telah sesuai dengan UU Pers dan P3SPS. Jika dirinci, setidaknya ada 11 poin dari telegram Kapolri yang mengatur aktivitas jurnalistik terkait peliputan media: Pertama, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis; Kedua, tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana; Ketiga, ]tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian; Keempat, tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan; Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual; Keenam, menyamarkan gambar wajah dan indentitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya; Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur; Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku; Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detil dan berulang-ulang; Kesepuluh, dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten; Kesebelas, tidak menampilkan gambaran secara eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. Seorang wartawan menyebut, poin no 1-4 itu juga sudah masuk wilayah kerja jurnalistik. Polisi tidak semestinya membuat keputusan sepihak seperti itu. Pers bukan anak buah atau humas polisi. Kecuali no 10, poin no 5-11 itu secara umum sudah termaktub di kode etik jurnalistik, UU Pers, serta peraturan terkait di bawahnya. Untuk yang nomor 10, bagaimana kalau insan pers mengetahui (bukan pemberitahuan dari polisi) ada penangkapan terhadap pelaku kejahatan? Apa wartawan dilarang melakukan peliputan? Tentu tidak tepat bila polisi menghalangi tugas jurnalistik. Karena ini jelas bertentangan dengan UU Pers. Apakah telegram Kapolri tersebut ada kaitannya dengan terungkapnya kekejian polisi ketika menembak mati 6 laskar FPI, penembakan hingga tewas wanita “teroris” di Mabes Polri, dan penyiksaa wartawan TEMPO Nurhadi di Surabaya? Tapi, sehari setelah terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram tersebut dengan menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 pada 6 April 2021. Yang berisi: menyatakan pencabutan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pernah mencatat, Polri diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran HAM sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas. “Selama satu tahun periode Juli 2019 sampai Juni 2020, tercatat ada 921 peristiwa kekerasan oleh kepolisian,” kata peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, Selasa (30/6/2020) Jakarta, seperti dilansir CNN Indonesia, Rabu (01/07/2020 07:36 WIB). Sepanjang 2020, personel polisi kerap menggebuki dan mengintimidasi demonstran. Bukan hanya terhadap mereka yang vandalis, tapi juga pada orang-orang yang sudah tidak melawan, warga biasa, atau bahkan wartawan yang meliput demonstrasi. Lembaga pengawas Kepolisian yang seharusnya menjadi evaluator juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak semua dugaan kasus itu berujung pada penyelidikan tuntas dan memberikan sanksi pada polisi. Salah satu yang benar-benar diusut tuntas adalah penembakan berujung kematian kepada mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Immawan Randi. Remaja usia 21 tahun itu meninggal setelah ditembak saat demontrasi #ReformasiDikorupsi. Selain Randi, satu mahasiswa lain yang meninggal adalah Muhammad Yusuf (19). Enam anggota polisi divonis bersalah berdasar pertimbangan dari Divisi Propam Polda Sultra yang merupakan pengawas internal kepolisian. Mereka tak dikenakan pasal pembunuhan. Tapi, hanya dianggap melanggar disiplin karena membawa dan menembakkan senjata tajam. Hukuman untuk 6 anggota Polres Kendari itu berupa teguran lisan, penundaan satu tahun kenaikan pangkat, dan dikurung selama 21 hari. Harus diakui, semua tindak kekerasan aparat kepolisian itu terungkap berkat jari-jemari para jurnalis. Itulah masalah yang kini dihadapi Jenderal Listyo! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Membaca Fenomena Teroris, Dari Manifesto Sampai Surat Wasiat

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Bom Bunuh diri di Gereja Katedral Makasar (28/03) dan serangan teror di Markas Besar Kepolisian (31/03) menggugah penulis untuk membaca ulang fenomena teroris ini. Tidak mudah memang membaca fenomena teroris. Apalagi untuk memastikan kapan terorisme mulai ada. Tetapi secara historis, awal mula terorisme itu bisa ditelusuri dari wilayah Eropa. Dalam catatan sejarah, bisa dicermati dari abad ke-5 Masehi. Pada tahun 476 Masehi, dunia mencatat serangan teroris terhebat yang mampu meruntuhkan kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat waktu itu. Teroris yang meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat ini berasal dari salah satu suku di Eropa. Pada saat itu orang Romawi Barat menyebut suku tersebut sebagai Barbar. Peristiwa ini mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa. Peristiwa runtuhnya Romawi Barat ini menandai mulainya abad kegelapan (dark ages) di Eropa selama 1000 tahun. Pada masa terorisme awal ini, latar belakangnya bukan karena hal-hal yang bersifat sakral atau keagamaan, tetapi lebih karena persoalan keinginan untuk berkuasa dan semacam ada idiologi anarkisme di kaum barbar. Secara etimologis, istilah teror dan terorisme sesungguhnya baru mulai populer pada abad ke-18. Namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah fenomena baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) mengemukakan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis. Tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Prancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror, yang menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Sementara menurut David C Rapoport(1989), pendiri jurnal ilmiah Terrorism and Political Violence, dalam The Morality of Terrorism, membagi teror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious Terror, (2) State Terror, dan (3) Rebel Terror. Jika dilihat dari segi pelakunya, bisa dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu personal terrorism, collective terrorism, dan state terrorism. Contoh paling mudah untuk memahami religious terror adalah keadaan yang terjadi saat perang salib(1096-1271). Contoh state teror atau state terrorism adalah serangan besar-besaran Amerika Serikat terhadap warga sipil Afghanistan (2001) dan Iraq (2003). Contoh rebel terror dan atau collective terrorism adalah pemberontakan kelompok radikal dalam suatu negara. Sedangkan contoh personal terrorism adalah Gavrilo Princip yang menembak mati Archduke Franz Ferdinand pewaris tahta kerajaan Asutria Hungaria pada 28 Juni 1914 di Sarajevo. Diksi terorisme makin populer pada awal abad ke 21 ketika gedung World Trade Centre (WTC) New York yang merupakan simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh pada 11 september 2001 lalu. Peristiwa ini bagi bangsa Amerika disebut sebagai the day of infamy yang kedua setelah pengeboman Jepang atas Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 silam. Kalau peristiwa Pearl Harbour mendorong Amerika untuk menyerang Jepang dan menghancurkan Jepang pada Perang Dunia II, peristiwa WTC mendorong Amerika memerangi apa yang disebutnya sebagai Terorisme. Celakanya peristiwa tersebut sering dikait-kaitkan dengan agama. Satu kesimpulan yang patut dipertanyakan. Benarkah peristiwa WTC itu karena motif Agama? Logika Teroris Jika kita bongkar seluruh literatur agama sampai kitab sucinya, maka kita akan menemukan bahwa logika teroris itu bukan berasal dari logika agama. Sebab tidak ada satu dogma agama satu pun yang mengajarkan terorisme pada penganutnya. Pada titik ini, yang justru harus banyak didiskusikan yaitu mencari akar persoalan penyebab munculnya terorisme di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam konteks itu sejumlah pertanyaan patut diajukan. Bagaimana cara ilmuwan menemukan akar persoalan penyebab munculnya terorisme? Menggali argumen pelaku teror adalah salah satu solusinya. Cara terbaik menemukan data primer atau data yang bersumber dari pelaku utama teror adalah melalui salah satu teknik dalam metode penelitian kualitatif, yaitu melakukan wawancara mendalam (deept interview) terhadap pelaku teror. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan satupun hasil wawancara mendalam dan utuh terhadap para pelaku teror. Seringkali semua pelaku teror sudah mati sebelum digali logikanya melalui wawancara mendalam oleh para ilmuwan. Namun demikian, ada satu ilmuwan yang penulis baca dan realtif berhasil menemui mantan teroris berjumlah 60 orang. Meskipun wawancaranya tidak dijelaskan seberapa mendalam, tetapi mampu mengungkap secara psikologis. Tori DeAngelis mengutip temuan satu ilmuwan tersebut John Horgan, seorang Psikolog dan Direktur pada Center for Terrorism and Security Studies Amerika Serikat, setelah mewawancarai 60 teroris mengemukakan bahwa seseorang memilih jalan melakukan tindakan teror disebabkan karena tujuh hal penting. Pertama,) merasa marah, terasing, dan kehilangan hak. Kedua, meyakini bahwa keterlibatan politiknya tidak memungkinkan mengubah keadaan. Ketiga, merasakan ketidakadilan, Keempat, merasa perlu bertindak segera daripada mendiskusikan masalah. Kelima, mempercayai bahwa terlibat dalam kekerasan melawan negara merupakan hal yang dimaklumi. Keenam, ada yang mendukung dan bersimpati terhadap gerakan terorisme. Ketujuh, mempercayai akan mendapatkan penghargaan sosial dan psikologis (Tori DeAngelis, Understanding Terrorism, American Psychological Association, 2009:60). Alasan-alasan teroris yang ditemukan John Horgan d iatas, tidak satupun menyebutkan bahwa seseorang melakukan teror karena perintah agama. Manifesto & Surat Wasiat Sebagai akademisi, penulis meyakini bahwa masih terus dibutuhkan upaya untuk mengungkap dan mengurai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik prilaku para teroris. Setiap peristiwa teror yang terjadi di sejumlah negara ternyata memiliki alasan-alasan yang berbeda, dan latar belakang yang berbeda. Dalam kesempatan ini penulis coba mencermati dua peristiwa penting dari pelaku teror di dua negara yaitu di Selandia Baru (2019) dan di Indonesia (2021). Pelaku dari dua peristiwa itu sama-sama meninggalkan dokumen. Dari dua peristiwa itu ada data dokumen yang bisa dicermati, yaitu dari teroris di Selandia Baru meninggalkan manifesto dan dari teroris di Indonesia meninggalkan surat wasiat. Pada 15 maret 2019 terjadi serangan terhadap jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor dan Mushala Linwood di Christchurch, Selandia Baru. Peristiwa teror ini menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya. Peristiwa ini dinilai sangat kejam, diantaranya karena ada satu peristiwa menurut pengakuan terorisnya ia melakukan dua tembakan langsung ke bayi berusia tiga tahun yang sedang memegangi kaki ayahnya yang sudah meninggal. Pelaku teror ini bernama Brenton Tarrant, pria berusia 28 tahun asal Australia.Sebelum melakukan teror ia membuat manifesto setebal 73 halaman yang diberi judul “The Great Repalcement”. Dari manifesto yang ia buat inilah publik dunia mengetahui motifnya. Setidaknya ada tiga alasan Brenton Terrant melakukan kejahatan kemanusiaan paling kejam di dunia ini. Pertama, mengurangi imigran. Kedua, supremasi kulit putih. Ketiga, balas dendam. Alasan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan global. Di dokumen manifesto tersebut tidak ada alasan perintah agama yang mendasarinya melakukan tindakan teror. Bagaimana dengan alasan teroris di Indonesia melakukan aksi terornya? Ternyata di Indonesia beberapa kali teroris melakukan aksi teror selalu meninggalkan surat wasiat. Teroris terbaru yang meninggalkan surat wasiat adalah pelaku teror bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28/3) berinisial MLA ,dan teroris yang melakukan serangan ke Mabes polri (31/3) berinisial ZA. Uniknya, surat wasiat yang ditinggalkan terduga teroris tersebut memiliki kemiripan.Diantaranya diawal surat dibuka dengan permintaan maaf ke ibu. Lalu berpesan kepada orang tua agar tidak meninggalkan sholat. Kemudian bagian paling mirip adalah saat menyatakan bahwa dirinya menyayangi ibunya, tetapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah. Kedua pelaku juga sama-sama berpesan agar keluarganya berhenti meminjam uang di bank karena riba. Sulit menemukan motif dari surat wasiat yang ditinggalkan para teroris di Indonesia, kecuali seolah ia merasa jalan yang ia tempuh itu disayangi Allah. Fenomena membuat surat wasiat sebelum melakukan teror di Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh dua teroris tersebut. Tetapi juga dilakuka oleh teroris-teroris lainya. Diantaranya teroris yang ditangkap pada 10 Desember 2016 di Bekasi dan yang ditembak pada 25 Desember 2016 di Waduk Jatiluhur Purwakarta. Pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah, mengapa sejumlah teroris di Indonesia banyak yang buat surat wasiat? Mengapa ada yang memiliki kemiripan pada surat wasiatnya? Ada semacam satu pola perintah untuk membuat surat wasiat?. Kesamaan pola ini menunjukan kemungkinan adanya semacam satu mekanisme yang bekerja. Pada titik ini fenomena kemiripan surat wasiat teroris ini perlu diungkap sebagai salah satu celah untuk menelusuri lebih dalam. Adakah aktor-aktor kolektif terorganisisr yang memerintahkan atau semacam membuat tata cara melakukan teror dengan sebelumnya membuat surat wasiat? Atau mungkin saja telah disediakan contoh surat wasiat yang harus mereka siapkan? Untuk mengungkap semua itu perlu melibatkan para ahli yang memahami bahasa, psikologi, dan pola-pola terorisme. Untuk mengungkap terorisme dengan pola buat surat wasiat yang terjadi berkali-kali di Indonesia ini, sebaiknya pihak kepolisian segera melibatkan banyak ahli. Tujuannya agar ketemu sampai ke akar-akarnya. Apakah benar mereka aktor sendirian atau adah mekanisme kolektif yang bekerja? Lalu siapa mereka yang terlibat dalam mekanisme kolektif itu? Penulis adalah analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Wanita Jilbab Duduk di Motor Menghadap ke Kanan, Terorisme Atau Telorisme?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar terus diinterprestasi publik. Sebenarnya atau rekayasa. Negara dan aparat kecolongan atau ada yang sengaja nyolong-nyolong? Internasional, nasional, atau lokal, Islam atau Islam-islaman, teror atau teror-teroran. Terorisme atau telorisme? Semua pertanyaan itu menjadi pembicaan publik. Telor itu dihasilkan dari ayam, bebek, burung atau sejenisnya. Telor adalah produk dari kolaborasi atau konspirasi jantan dan betina. Dari hubungan intim. Telor bisa dimakan mentah, setengah matang, didadar, ceplok, atau lainnya. Ada telor asin ada telor pindang. Telornya diolah sesuai selera sipembuat. Telur busuk bisa juga untuk dilempar-lempar. Pemimpin yang pembohong dan pembuat susah rakyat pantas untuk dilempar telur busuk. Tuman. Telorisme adalah sesuatu yang dihasilkan dari konspirasi, yang diolah sesuai dengan kepentingan pemilik otoritas, baik otoritas budaya, ekonomi maupun politik. Karenanya bersifat multi purpose. Telorisme berupaya menjadikan suatu produk dapat digunakan dan diolah sesaat lalu selesai (split second) atau dapat digunakan berulang-ulang melalui penetasan (hatching). Pertanyaan besar atas kasus peledakan bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar adalah apakah itu teror atau telor, terorisme atau telorisme? Meninjau banyak kejanggalan dari kasus ini nampaknya lebih dekat pada telorisme. Di media sosial banyak netizen cerdas dan jeli dalam menganalisa dan menduga-duga. Suami istri nikah baru enam bulan, kok bunuh diri spektakuler dengan mainan bom. Memilih Gereja dinilai aneh untuk berjihad. Apalagi cuma di halaman Gereja. Mengapa tidak tempat karaoke, panti pijat, atau mungkin lokalisasi pelacuran. Jika orientasinya adalah daulah, ya istana atau gedung parlemen. Dalam agama, merusak rumah ibadah apa saja itu dilarang. Bahkan merusak apapun, bukanlah tuntunan agama. Walau dengan menggunakan atribut keagamaan bersorban atau berhijab. Jamaah Anshorud Daulah (JAD) adalah makhluk jadi-jadian yang dijadikan dan diproduksi oleh makhluk jahat berkualifikasi Iblis. Agama Islam yang dimain-mainkan. Afiliasi ISIS? ISIS itu buatan Yahudi, maka JAD adalah buatan institusi yang berafiliasi dengan Yahudi. Berjuang untuk Daulah? Mendirikan Daulah dengan berboncengan indehoy suami-istri, piknik ke Gereja? Filem kartun-kartunan saja tidak ada yang mau untuk bercerita seperti itu. Sebab pasti dijamin tidak akan laku. Netizen mengungkap kejanggalan foto viral sang teloris yang cepat dimuncukan. Kok wanita dibonceng menghadap kanan? Yang lazim, ya ke kiri. Hasil CCTV atau jepretan foto? Ranca bana. Lucu, ke Gereja berbusana muslim bersorban dan berhijab burqa, serta Gereja beraspal mulus. Tetapi foto bersepeda motor suami istri, ko bukan berjalan aspal? Ah ada-ada saja. Kurang canggih dong? Apapun itu, memunculkan sosok beridentitas muslim sebagai pelaku bom bunuh diri itu tendensius dan menghina umat Islam. Pengendali atau perekayasa memang Dajjal yang bukan saja berniat untuk mengadu-domba. Tetapi juga framing pembenaran tentang radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Yang hebat dan mengagumkan lagi, dengan langkah yang super cepat dari Makassar, lalu berlanjut dengan penggerebegan di Condet . Hasilnya menjadikan buku fisika dan kaos FPI sebagai barang bukti. Untung saja FPI sudah dibubarkan jadi kaosnya bisa beli dari loakan he he he Walaupun demikian, kita tidak perlu terlalu serius dalam membaca peristiwa yang berbau politik. Toh sering tidak nyambung hukum kausalitasnya atau berbeda das sollen dengan das seinnya. Bangsa ini diwanti-wanti harus mewaspadai bahaya radikalisme dan terorisme. Akan tetapi yang muncul adalah telorisme. Hidup teloooor.. ! Pemerhati adalah Politik dan Kebangsaan.

Investigas Bom Makassar Versus Investigas KM-50

By Asyari Usman Medan, FNN - Investigasi bom bunuh diri Makassar yang terjadi pada 28 Maret 2021 bisa jadi adalah salah satu yang terbaik dan tercepat di dunia. Juga yang paling efisien dan paling komprehensif. Rekaman CCTV ledakan berkualitas terbaik di dunia. Rekaman berwarna dan sangat “sharp” (tajam). Ada mobil warna merah, ada yang berwarna abu-abu metalik, ada warna hitam, warna putih, dlsb. Warna api ledakan pun cukup tajam. Sudut rekaman CCTV sangat bagus. Setelah beberapa mobil lewat yang disusul mobil putih, bom pun meledak. Beberpa detik setelah ledakan, lewat mobil abu-abu metalik. Mobil ini membanting ke kiri; kemungkinan refleksi pengendaranya. Tidak ada informasi tentang dari CCTV gedung mana rekaman ini diperoleh. Tapi, proses untuk mendapatkannya sangat cepat. Identifikasi pelaku pun, juga sangat kilat. Inisial pelaku terungkap dalam waktu tak sampai 2 x 24 jam. L dan YSF. Pasangan suami-isteri. Polisi bisa mengetahui kapan mereka menikah. Yaitu, baru enam bulan. Foto CCTV pelaku yang mengendaraai sepedamotor matik, sangat jelas. Bisa pula didapatkan surat wasiat berjihad yang ditulis pelaku kepada orang tuanya. Informasi mengenai sepedamotor yang digunakan pelaku, sangat lengkap. Nomor plat DD-5984-MD. Nomor ini juga sangat jelas di foto yang diambil dari CCTV. Berdasarkan informasi dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sulsel, sepeda motor matik merek Honda buatan 2014 Kepemilikan pertama. Pajak motor sudah habis masa berlakunya pada 20 Oktober 2020. Total tunggakan pajak adalah sekitar Rp224,040 termasuk pembayaran PKB pokok, PKB denda, SWDKLLJ pokok, dan SWDKLLJ denda. Ada kode ACH1M21B04AT di badan sepedamotor. Lengkap dan cepat sekali terkumpul informasi yang paling kecil sekalipun. Luar biasa. Dahsyat sekali kecepatan dan kelengkapan investigasi Pak Polisi untuk kasus bom Makassar. Patut diapresiasi. PEMBUNUHAN KM-50 Kita lihat kembali investigasi pembunuhan 6 pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) yang terjadi pada 7 Desember 2020. Penyelidikan dan penyidikan kasus ini sangat lambat. Padahal, Komnas HAM mengatakan ada tiga polisi yang terindikasi melakukan penembakan. Tetapi, sampai hari ini tiga polisi hanya dietetapkan sebagai terlapor. Entah apa alasan untuk tidak menjadikan mereka tersangka. Untuk menetapkan sebagai terlapor saja pun memakan waktu lama sekali. Padahal, Polisi mengakui bahwa anggota merekalah yang melakukan pembunuhan itu. Dan sudah punya bukti yang cukup. Hingga sekarang belum diungkap inisial ketiga polisi tsb. Ketika ditanyakan, para pejabat tinggi Kepolisian cenderung mengelak. Berat sekali mereka mengungkap nama-nama terlapor. Ketiga terlapor itu dibebastugaskan pada 10 Maret 2021. Hebatnya, proses penyelidikan yang bertele-tele ini pun dilanda kejanggalan yang menghina akal sehat. Seorang polisi terlapor dinyatakan meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal pada 4 Januari 2021. Tak kalah anehnya, pengumuman tewas itu baru dilakukan pada 25 Maret 2021. Lucunya, Polisi malah menetapkan 6 korban pembunuhan sebagai tersangka. Meskipun langsung di-SP3-kan (dihentikan penyidikannnya). Betul-betul proses suka-suka hati. Rekaman CCTV peristiwa pembunuhan di KM-50 tidak lengkap. Banyak yang rusak seperti dikatakan PT Jasa Marga yang mengelola Jalan Tol Jakarta Cikampek. Dan yang rusak itu terjadi di segmen-segmen jalan tol yang krusial dalam peristiwa pembunuhan sadis ini. Juga sangat aneh, Polisi belum berhasil mengungkap mobil Land Cruiser warna gelap yang hadir di lokasi pembunuhan KM-50. Komnas HAM, dalam termuannya, menganggap mobil ini sangat perlu diungkap siapa saja yang ada di dalamnya waktu itu. Yang juga sangat janggal adalah tindakan penguasa menghancurkan ‘rest area’ di KM-50. Padahal, di lokasi ini diduga berat bisa ditemukan banyak barang bukti yang terkait dengan pembunuhan itu. Jadi, begitulah perbedaan besar kemampuan Polisi dalam mengungkap bom Makassar dan pembunuhan 6 laskar pengawal HRS. Di Makassar, Polisi sangat cepat, cekat, mulus. Sedang di KM-50, Polisi lambat dan sulit. Ada apa?[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Menghukum Dr. Syahganda Nainggolan=Menghina Bung Hatta dan Profesor Soepomo

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Agar sebuah masyarakat dianggap benar-benar demokratis, harus ada perlindungan dalam derajat tinggi untuk keperluan ide-ide dalam bentuk yang terpublikasikan, apakah mediumnya surat kabar, majalah, buku, pamphlet, film, televisi atau yang paling mutakhir internet. (John W. Johnson, Penulis Historic U.S Court Cases: Encyclopedia Second Edition, 2001). Jakarta FNN - Dr. Syahganda Nainggolan, dikenal luas sebagai pengeritik tangguh dan rasional terhadap pemerintahan Jokowi. Pikiran-pikirannya tersebar luas diberbagai media, terutama online. Pikiran-pikiran kritis itulah yang menjadi sebab utama dia ditangkap, ditahan lalu disidangkan. Menggelikan dan konyol, tetapi itulah kenyataannya. Dia akan menghadapi tuntutan jaksa. Seharusnya tuntutannya Jaksa Penuntut Umum telah disampaikan pada Kamis Minggu lalu. Tetapi sampai dengan jam sidang berlalu pada Kamis itu, Jaksa Penuntut Umum tak kunjung membacakan tuntutannya. Aneh Bin Ajaib Perkara ini, untuk semua alasan yang bisa digunakan, telah menempatkan jaminan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 untuk kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat berada dalam bahaya besar. Keangkuhan terlihat berada dibalik kegagalan penggunaan akal sehatnya. Kegagalan mengenal ide dan kehendak dasar pembentuk UUD 1945 dibalik jaminan konstitusional terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat, terlihat jelas dalam perkara ini. Sama betul dengan kegagalan pemerintahan Bung Karno, dengan demokrasi terpimpinnya pada tahun 1963. Persis perkara Syahganda saat ini, Pemerintah Bung Karno juga menggunakan Polisi memperkarakan Buya Hamka. Sedikit berbeda dengan perkara Sahganda, perkara Buya Hamka sepenuhnya dikarang. Perkara yang dikarang polisi dari Departemen Kepolisian (DEPAK) kala itu adalah Buya Hamka ikut rapat gelap di Tangerang. Ini yang dijadikan materi pemeriksaan kepada Buya. Buya Hamka juga dituduh terlibat dalam Gerakan Anti Soekarno (GAS). Ini juga karangan keji dan primitif. Soedakso (Inspektur) Moeljo Koesomo (Inspektur), Soejarwo (Inpektur), Siregar (Inspektur) adalah pemeriksa-pemeriksa terhadap perkara “karangan” mereka. Menariknya mereka malah meminta Buya Hamka berkata, memberi jawaban “jujur” setiap kali diperiksa. Perkaranya dikarang, tetapi meminta Buya Hamka berkata jujur, itulah yang dilakukan polisi-polisi pemeriksa itu. Mereka malah memperlakukan Buya dengan kasar. Suara mereka meninggi kalau Buya memberi keterangan yang tidak sesuai ekspektasi mereka. Kotor dan menjijikan para polisi itu. Begitulah sejarah kecil tentang “karang-mengarang” kasus lalu dituduhkan kepada Buya Hamka. Hebatnya lagi perkara “karangan” itu dilakukan rekonstruksi. Buya Hamka dihadirkan juga ke TKP “karangan” mereka. Aneh meman. Tetapi begitulah kenyataannya. Kasus ini jelas beda dengan kasus yang didakwakankan kepada Dr. Syahganda. Kasus Syhaganda, untuk alasan apapun, nyata dan ada. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya apakah peristiwa nyata itu beralasan hukum obyektif untuk dikualifikasi sebagai peristiwa pidana? Syahganda jelas mengekspresikan fikiran-fikirannya tentang beberapa isu yang sedang berkembang. Isu isi RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja, cukong-cukong pilkada, yang dinyatakan oleh Profesor Mahfud MD. Pernyataan Profesor Mahud MD, ini yang dikomentari lebih jauh oleh Syahganda dan dituliskan dalam WhatsApp-nya. Tidak itu saja, Syahganda memberi selamat kepada buruh yang akan berdemontrasi. Serta mengutip pula pernyataan Pak jendral (Purn) Gatot, tentang RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja.Perbuatan-perbuatan itulah yang dikualifikasi sebagai pidana. Perbuatan itu dikualifikasi secara spesifik sebagai “menyebarkan kabar bohong” yang menimbulkan “keonaran.” Aneh dan ajaib betul. Berpikir dan mengekspresikan isi pikirannya, tetapi dikualifikasi menyebarkan berita berbohong. Lucu. Menganalisis isi RUU dan mengekspresikan hasil pikiran atas isi RUU yang telah dianalisis “dikualifikasi” menyebarkan kebohogan. Ini konyol. Sebab orang-orang sekolahan tahu perbedaan sudut pandang menjadi kekuatan inti perkembangan ilmu pengetahuan. Perbedaan sudut pandang, termasuk pendekatan dalam dunia penegakan hukum juga menjadi esensi penegakan hukum. Dalam dunia hukum “teks” pasal atau ayat, harus ditafsir. Tafsir atas teks, dalam dunia ilmu hukum, karena perbedaan pendekatan, telah melahirkan begitu banyak konsep. Clasical originalism, modern originalism, isolasionism dan pragmatic enrichment, historical interpretation sekadar beberapa contoh hasil kongkrit perbedaan pendekatan tafsir. Orang Hukum benaeran, tahu tidak ada kata yang tidak memiliki makna. Kata memantulkan makna. Tidak ada teks yang tidak punya pijakan empiris, sebagai konteks teks. Konteks teks tak dapat diperiksa hanya atas dasar debat pembentukan teks itu. Tidak begitu. Sebab debat teks harus didalami hingga ke soal bagaimana, dalam suasana apa, dan peristiwa apa yang melatarbelakangi sekaligus sebagai inspirasi teks itu. Ini disebut metateks. Metateks menggambarkan kehendak asli pementuknya. Perkara ini, mau tak mau, suka atau tidak, JPU dan hakim harus memeriksa konteks sosial dan politik teks pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Terminologi “bohong dan onar” pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu berakar pada keadaan sosial politik September 1945 hingga Februari 1946. Bohong ala Tan Malaka yang kemana-mana menyebarkan berita bahwa Bung Karno, Bung Hatta sdan Bung Sjkahrir telah ditangkap Inggris misalnya, itu bohong. Ini yang disebarkan, dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian di kalangan masyarakat. Ini memicu terjadi keonaran nyata di tengah masyarakat. Onar, dalam konteks ini, adalah cerminan dari tindakan-tindakan orang masuk keluar kampung, dengan beragam tujuan. Masuk keluar tentara Gurka di kampung-kampung, dengan tujuan yang tak jelas, itu onar. Pengejaran terhadap orang Bali misalnya, yang diprovokasi Belanda sebagai pencuri, pembuat onar dan seterusnya, itulah onar. Itulah yang dimamksud dengan onar pada teks pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946. Sangat Tidak Beralasan Seriuh apapun sebuah demonstrasi, hukum tak dapat mengkualifikasinya sebagai peristiwa pidana, juga membuat onar. Sebabnya, hukum membenarkan demonstrasi. Kalau ada demonstran yang merusak dan sejenisnya, perbuatan merusak itu yang berkualifikasi pidana. Bukan demonstrasinya. Hukum juga tidak menunjuk analisis kritis yang disebarkan sebagai pidana. Bagaimana jadinya dunia ini andai tidak ada lagi orang bisa berpikir? Macam apa dunia tanpa orang yang berpikir kritis, dan mengekspresikan hasil pemikirannya? Mau ciptakan dunia khas fir’aun? Tuhan jadi-jadian itu? Fir’aun begitu pada pikiran cerdas. Itu sebabnya dia memburu Nabi Musa Alaihissalam, yang fikirannya menantang klaim konyol nan bodohnya Fir’aun sebagai Tuhan. Galileo Gelilei harus menjalani hukuman, hanya karena pikirannya bertentangan dengan kenyataan yang telah diyakini penguasa. Dia dituduh membuat pernyataan yang menyangkal kebenaran yang telah terlembaga oleh penguasa. Andai kasus ini terjadi di Indonesia saat ini, Galileo mungkin akan dituduh dan disidangkan, persis seperti Syahganda, menyebarkan berita bohong dan bikin onar. Matinya ide-ide, sama dengan matinya kehidupan di dunia. Seba dunia hanya akan dihuni oleh kambing, kerbau, babi hutan, singa dan lainnya. Tidak ada diantara hewan-hewan ini yang membutuhkan sistem hukum, sistem politik, partai politik, kebebasan berpendapat dan sejenisnya. Sebegitu pentingnya ide-ide kritis itu, sehingga Muh. Hatta, harus habis-habisan meyakinkan Profesor Soepomo, Ketua Tim Pembentuk UUD 1945 agar UUD yang sedang dirancang itu memberi jaminan kepada setiap orang berkumpul mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapatnya. Waras dan hebat. Sebagai orang terpelajar, Bung Hatta tahu bahaya nyata penguasa tanpa kontrol. Karena pentingnya kontrol itu, maka wajib diberi jaminan konstitusional dalam UUD. Hasilnyas usahanya adalah lahirnya Pasal 27 UUD 1945. Esensi ide Bung Hatta itu, kini dikukuhkan pada pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Bung Hatta bukan tidak tahu bahwa organ-organ pengawasan, khususnya DPR, telah diberi fungsi itu. Tetapi baginya itu tak cukup. Rakyat harus diberi kepastian dapat berpikir kritis. Hasil pikirannya itu diekspresikannya secara terbuka sebagai cara mereka mengawasi jalannya pemerintahan. Hanya picik yang belajar ilmu hukum di pinggir jalan dan pasar loakan saja yang bisa diandalkan untuk mengisolasi konsep kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945 sebatas hal yang dibolehkan pemerintah. Hanya politik busuk saja yang dapat dipakai mengkategorikan analisis terhadap isi RUU, apapun itu, dan mendukung demonstrasi sebagai perbuatan pidana. Politik, andal dalam mengubah sesuka-sukanya sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum menjadi bertentangan dengan hukum. Politik pulalah yang mampu menemukan pembenaran atas tindakan-tindakan sah, berubah dan dikategorikan sebagai tindak pidana. Politik kotor tidak pernah bekerja dengan akal sehat. Sama sekali tidak. Politik kotor bekerja dengan motif tunggal “mengamankan kekuasaan”, dengan semua cara yang dapat dibayangkan. Tidak lebih. Itu yang dapat dijelaskan dari tuduhan “kasus karangan” terhadap Buya Hamka. Keadilan dalam lingkungan politik kotor, persis yang dipresentasikan Nazi Hitler. Keadilan jenis Hitler tidak punya karakter lain, selain apa yang didefenisikannya. Keadilannya sangat partisan. Sangat personal. Hitler tersinggung saja, anda habis. Padahal Hitler itu berkuasa melalui proses demokrasi. Pertimbangan politik, terlihat secara hipotetikal menjadi sebab terbesar yang dominan membawa kasus Syahganda ke jalan pidana. Diluar itu tidak ada. Juga tak ada jalan rasional hukum yang bisa diandalkan membawa kasus Syahganda ke pidana, apalagi dipidana. Ini bukan keadilan khas impian Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ketika Islam Dihina, Dimana Teroris Ngumpet Ya?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom panci semakin populer dan menjadi pilihan favourite tukang panci, eh maksudanya tukang bom-boman. Kalau sudah ada bom panci, umat atau kelompok Islam selalu saja menjadi tertuduh untuk kasus serupa berkali-kali. Sebelum diumumkan, ketika peristiwa terjadi, sudah diduga arah akan tertuju pada kelompok "teroris Islam". Seperti barang peliharaan yang telah diatur kapan munculnya. Supya mudah diarahkan tuduhannya ke kelompok Islam, maka tempat meledaknya bom panci juga diduga dipilih yang memiliki hubungan. Sehingga Gereja Katedral Makassar yang jadi sasaran peledakan. Artinya, yang kemungkinan sarat dengan nuansa-nuansa keagamaan. Tak ada hujan, tak juga ada angin yang dikaitkan dengan konflik Islam-Kristen. Namun ujug-ujug Gereja yang menjadi sasaran. Apa salah dan masalah pada Gereja Katedral? Dipastikan tidak ada. Umat Islam juga tidak ada yang punya kebencian pada Gereja beserta para jamaatnya ini. Situasi normal-normal saja. Maka pembawa bom itu yang justru dalam keadaan yang tidak normal. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai meledaknya bom panci di Gereja Katedral Makasar ini bukan soal agama. Tetapi rekayasa dan adu domba. Bukan hanya haedar Nashir, namun banyak kalangan menilai serupa. Sebab tidak percaya pada spirit terorisme berbasis agama. Jika adapun, maka itu artifisial atau buatan. Ini yang perlu dicari siapa pembuatnya. Dari dahulu tidak pernah ketemu si dalang. Mungkin saja si dalang sedang berada di tempat terang. Mungkin di depan hidungnya yang belang-belang. Aneh aparat keamanan kita tak mampu menemukan dalangnya? Selalu saja wayang-wayang, yang itupun nyawanya pada melayang. Dapat dipastikan jejak dan operatornya sudah menghilang. Masuk lubang yang berdinding uang. Klasik cerita bom panci ini...duaar dengan obyek Gereja. Cepat sekali polisi mengidentifikasi pelakunya, yang beridentitas Islam. Terlihat seperti kerja polisi yang sangat huebat dan luar biasa. Namun betapa bodoh dan dungu si pelaku yang menunjukkan siapa dirinya. Pakai surat wasiat jihad segala. Teroris sejati semestinya melakukan penyamaran, karena berorientasi pada hasil. Teroris sejati kemungkinan mengincar korban itu jemaat gereja. Bukan satpam atau pejalan kaki. Dungu jika teroruis harus bersorban, berpeci, atau berjilbab. Yang dipastikan cerdas adalah koordinator atau pembujuk atau pemegang remote control. Juga pihak ketiga yang mempunyai sumber daya, baik tenaga maupun dana. Ahli strategi yang mahir memotivasi, menggaransi, dan pastinya membohongi. Kalau lagi ruwet dan moumet..duaaar. Ruwet kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang terus ribut. Ruwet karena pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang bergaung dan bersambung. Ruwet akibat pandemi yang menggerus uang hingga harus hutang dikorupsi. Ruwet karena skandal korupsi yang terus-terusan disorot oposisi. Ruwet karena memikirkan kemungkinan kerasnya perlawanan rakyat menolak keinginan dan ambisi besar menjabat selama tiga periode kekuasaan. Kemungkinan berpasangan dengan mantan rival yang sekarang menjadi anak buah. Ingin tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan, menggemukkan kroni, dan melindungi dinasti. Ruwet dan riubet. Umat Islam selalu mengerutkan dahi. Benarkah teroris berjuang untuk Islam? Lantas ketika Islam dihina-hina, Islam dinistakan, Islam dimain-mainkan dengan keji oleh para tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk, dimana saja para teroris itu sembunyi dan ngmpet ya? Padahal ketika itu seharusnya teroris yang ngakunya pejuang Islam itu hadir berbuat untuk Islam dong. Jika perlu para teroris keluar untuk menghabisi para tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk yang menghina dan menistakan Islam tersebut. Sayangnya itu tak terjadi. Tidak ada teroris yang muncul saat ini. Ah, memang dasar teroris gadungan, teroris kaleng-kelang, teroris odong-odong, dan teroris beleng-beleng. Hanya mau menjadi teroris kalau diperintah oleh pemegang remote control. Disadari betul bahwa memang teroris tersebut bukan berjuang untuk Islam. Justru sebaliknya kelakuan mereka teroris-terorisan itu menghancurkan Islam dan mengadu domba umat Islam. Teroris itu tak lain adalah species yang satu komunitas dengan tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk itu sendiri. Mereka adalah bagian dari penjahat umat, bangsa, dan negara. Kini kasus bom-boman datang lagi. Aparat diharapkan profesional menangani pelakukan. Segera saja tangkap dan adili dalang. Bukan hanya wayang atau tukang gendang. Jangan cepat-cepat ditembak atau dibom. Mereka yang dianggap terlibat, tangkap hidup-hidup dan seret ke ruang pengadilan agar semua bisa mengikuti bahwa benar jaringan itu ada. Sang dalang juga segera dapat diketahui keberadaannya. Apakah di luar negeri, di hutan, di perbatasan, atau di markas sendiri? Selamat bekerja bapak-bapak aparat. Rakyat pasti sangat mendukung kerja keras, kerja tuntas, dan kerja jelas aparat. Namun bukannya kerja bias dan bermain-main dalam kebijakan yang tidak waras. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nama Tersangka Tak Diumumkan, Bagaimana Rakyat Percaya?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Satu dari tiga terlapor pelaku penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Rakyat boleh bertanya dong, tersangka yang mana? Siapa namanya? Apa perannya dalam pembunuhan enam laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu? Ini sih masih pertanyaan yang wajar-wajar saja. Sampai saat ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri belum mengumumkan, siapa nama ketiga terlapor calon tersangka tersebut. Bagaimana mungkin rakyat bisa mempercayai? Dugaan muncul bahwa ini menjadi bagian dari rekayasa untuk menghindari penetapan pelaku yang sebenarnya. Rakayasa yang terlalu fulgar dan telanjang untuk dipahami dan dipercara rakyat. Sejak penetapan keenam anggota laskar sebagai tersangka, rakyat juga mulai bingung. Bagaimana opini hendak dibalik dari korban menjadi pelaku? Sebaliknya pelaku kejahatan pembunuhan kemungkinan berubah menjadi pahlawan ? Namun akhirnya walaupun berat, rekomendasi Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak bisa diabaikan begitu saja. Suka atau tidak suka, tersangka harus ditetapkan dari anggota Polda Metro Jaya. Maka, munculah tiga nama terlapor calon tersangka, yang anehnya hingga kini masih dirahasiakan oleh pihak Kepolisian identitasnya. Sipa nama mereka? Masa sih ada tersangka pembunuhan, namaun tidak punya nama? Apa mungkin ada tersangka anggota polisi yang tidak nama? Mengejutkan tetapi lucu juga, sebab tiba-tiba saja Kepala Bareskrim Polri Komjen Polisi Agus Andrianto menyampaikan kepada publik, bahwa satu dari tiga terlapor tlah meninggal dunia karena kecelakaan. Pengumuman ini membuat fikiran publik melayang bebas kemana-mana. Tentu saja dengan seribu asumsi dan opini. Ada rekaysa apa lagi ini? Beberapa asumsi dan opini yang mungkin muncul. Pertama, yang meninggal kecelakaan bukanlah terlapor tetapi anggota Polisi lain. Mungkin saja yang tidak ada hubungan dengan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI. Klaim sebagai terlapor lumayan dapat mengurangi beban. Tinggal otak-atik dua terlapor tersangka lain. Teman sambil berseloroh mengatakan jangan-jangan kodok mati tertabrak juga disebut sebagai terlapor meninggal. Kedua, memang benar terlapor calon tersangka itu yang menjadi pelaku utama, akan tetapi kecelakaannya adalah sengaja dan bagian dari operasi. Untuk menghilangkan jejak dan jaringan. Karenanya perlu kejelasan dan penyelidikan serius soal "kecelakaan" ini. Siapa? Dimana? Kapan? Mengapa terjadi kecelakaan tersebut? Hingga kini kejadiannya masih kabur. Ketiga, seluruh terlapor hanya "bawahan" yang menjalankan perintah atasan. Perlu ada "cut off" agar semua terlokalisasi kepada jumlah orang yang sedikit. Dengan info meninggal satu, yang dua bisa saja nantinya satu kabur, satu lagi di covidkan. Jika benar terjadi kecelakaan, maka itu adalah suatu kelalaian fatal. Ketiga calon tersangka seharusnya ditahan. Mengapa mereka tidak ditahan. Padahal ini bukan kasus ecek-ecek seperti pencurian sendal jepit, melainkan kasus kejahatan kemanusiaan yang menjadi perhatian semua manusia yang menghormati dan menghargai kemanusiaan. Karena Allah Subhaanahi Wata’ala sangat memuliakan manusia. Membunuh satu menusia sama dengan membunuh semua manusia. Layaknya calon tersangka itu lebih dari tiga orang. Saat melaporkan enam anggota laskar FPI, tiga orang anggota Polri menjadi Pelapor dan Saksi, yaitu Briptu FR, Bripka AI dan Bripka F. Mereka mengetahui pembunuhan empat anggota laskar FPI. Sementara di mobil yang mengawal keempat anggota laskar adalah Briptu FR, Ipda EZ, dan Ipda YMO. Jadi disini sudah lima orang. Ketika Polisi menerapkan Pasal 351 ayat (3), maka diakui terjadi penganiayaan. Artinya, keempat anggota laskar dianiaya hingga mati? Tidak mungkin dianiaya didalam mobil. Diduga terjadi di suatu tempat. Kaitan kendaraan yang ada di km 50 terdapat fakta ada 4 unit mobil, yang personal keseluruhan di samping 5 orang di atas, ditambah dengan Aipda T, Bripka D, AKP WI, dan Petugas R. Sehingga total menjadi 9 orang. Apakah kesembilan orang ini yang terlibat dalam penganiayaan dan pembunuhan? Menurut Komnas HAM pengintaian dan pembuntutan dilakukan juga oleh instansi di luar Kepolisian. Rekomendasi Komnas HAM adalah perlunya penegakkan hukum kepada orang yang berada di mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Dengan demikian, maka calon tersangka dapat dipastikan melebihi jumlah 9 orang. Banyak personal yang terlibat di kilometer 50 tol Japek. Sehingga jika proses peradilan dapat berjalan transparan, maka bukan saja para petugas di tingkat bawah yang layak diproses, tetapi juga atasan mereka. Bukankah penguntitan dan pembuntutan itu didasarkan adanya surat perintah? Jangan hanya mengorbankan bawahan atas konspirasi sistematik yang berujung pada pelanggaran HAM. HAM berat. Mengorbankan bahwan itu bisa menambah pelanggaran hukum baru lagi. Pikir baik-baik. Dunia sudah semakin terbuka. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Call Centre Untuk Bantu Cerna Informasi Galau Pak Polisi

by Asyari Usman Medan, FNN - Tidak pernah disebut siapa inisialnya. Tidak diketahui apa pangkatnya. Tak diketahui pula di kesatuan mana dia berada. Tiba-tiba saja pada 25 Maret 2021 diumumkan bahwa dia meninggal dunia pada 4 Januari 2021 karena kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi ketika dilakukan gelar perkara kasus pembunuhan 4 laskar FPI pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS). Dia dibebaskan tugaskan pada 10 Maret 2021 bersama dua polisi lainnya yang juga terduga pembunuh 4 pengawal HRS itu. Siapakah dia? Dia adalah salah satu polisi yang diduga menyiksa dan menembak mati keempat pengawal HRS tsb. Mari kita buat ‘slow motion’ informasi tentang kegalauan Pak Polisi di atas. Ke-ce-la-ka-an: 4 Ja-nu-a-ri 20-21, te-was. Di-u-mum-kan te-was: 25 Ma-ret 20-21. Di-be-bas-tu-gas-kan: 10 Ma-ret 20-21. Sekarang kita kasih tanda panah blip-blip: Tewas: 4 Januari 2021. Dibebastugaskan: 10 Maret 2021. Diumumkan tewas: 26 Maret 2021. Mati lebih dulu, baru kemudian dibebastugaskan. Mirip dengan mati lebih dulu, baru dijadikan tersangka. Seperti yang dilakukan terhadap 6 mayat pengawal HRS. Mungkin ini inovasi baru dalam penanganan perkara di Polri. Kalau Anda kesulitan mencerna informasi galau di atas, silakan kontak ‘call centre’ berikut ini untuk konsultasi: 0000-0000-0000. Kalau tersambung, minta bicara dengan Unit Omong Kosong, di Divisi Otak Keong. Jika gagal tersambung, mohon bersabar menunggu antrian. Tolong jangan buat kerumunan. Aturan konsultasi sama dengan inovasi baru Pak Polisi. Yaitu, Anda buat kesimpulan lebih dulu, baru kemudian cari pembenaran. Mirip dengan tembak dulu, baru kemudian dilabel teroris. Atau, tangkap dulu baru kemudian berbaris minta maaf. Itu pun kalau korban salah tangkap kolonel AD.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.