HUKUM

Jaksa Ketakutan Menghadapi Habib Rizieq Dalam Sidang Offline

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Alhamdulillah, dalam sidang hari Selasa (23/3/2021), majelis hakim PN Jakarta Timur akhirnya mulai berpikir waras dan mau menerima usulan serta argumentasi hukum yang disampaikan Habib Rizieq Sihab (HRS) selaku terdakwa agar persidangan kasus kerumunan yang dituduhkan kepadanya bisa dilaksanakan secara offline. Sebelum memutuskan, Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa sempat menskors sidang cukup lama. Argumentasi yang disampaikan Habib Rizieq dan tim pengacaranya memang lebih kuat dan masuk akal sehingga mampu meyakinkan majelis hakim. Padahal dalam sidang sebelumnya, majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum bersikukuh untuk melaksanakan sidang secara online. Sebelum sidang diskors, Jaksa Penuntut Umum Diah Yuliastuti sempat dibentak oleh Munarman sebagai Ketua Tim Pengacara Habib Rizieq. Jaksa Diah berusaha memotong pembicaraan Munarman yang tengah menyampaikan pertimbangan hukum kepada majelis hakim. Ketika jaksa berusaha memotong, Munarman dalam nada tinggi menyatakan, "Saudara Jaksa, Saudara diam, Saudara diam ya ! Ini giliran saya, ini giliran saya !.Coba tertib ya dalam persidangan ini". Tidak lama kemudian majelis hakim segera menengahinya. Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Diah Yuliastuti juga beberapa kali memotong pembicaraan Habib Rizieq ketika menyampaikan argumentasi hukum tentang perlunya terdakwa hadir secara fisik dalam persidangan di pengadilan. Namun ketika itu Habib tidak terpancing dengan provokasi yang dilancarkan jaksa. Setelah mengamati beberapa kali sidang, strategi jaksa sudah mulai terbaca. Ketika argumentasi dan posisinya mulai terdesak dan terpojok, Jaksa kemudian menyerang lawan dengan memotong pembicaraan terdakwa maupun pengacara. Provokasi Jaksa Diah Yuliastuti terhadap Habib Rizieq dalam sidang sebelumnya, telah menimbulkan kemarahan publik. Kemudian masyarakat melampiaskan kekesalannya kepada jaksa melalui media sosial. Bahkan para netizen menyerang jaksa melalui dunia maya dengan menyerbu dan membully Jaksa Diah Yuliastuti melalui akun Instagramnya. Tidak kuat menghadapi bullyian netizen, IG Diah Yuliastuti akhirnya digembok sehingga tidak bisa lagi diliat publik. Tapi foto-foto pribadi dan aktivitas senang-senangnya yang terpampang di IG sudah terlanjur menyebar ke sejumlah grup WA. Kemenangan sementara Perubahan penetapan majelis hakim tentang pelaksanaan sidang dari online menjadi offline, boleh dikatakan sebagai "kemenangan sementara" kubu Habib Rizieq. Sebab argumentasi Habib dinilai tepat dan benar secara hukum. Oleh karena itu, pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan Jumat (26/3/2021), majelis hakim PN Jaktim akan melaksanakan sidang secara offline. Agenda sidang lanjutan pada hari Jumat nanti adalah pembacaan nota pembelaan atau eksepsi dari Habib Rizieq sebagai terdakwa. Berbarengan dengan itu, Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa juga menyatakan kelima terdakwa lainnya yang terkait dengan kasus kerumunan yakni A. Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Andi Alwi Al-Athas, Idrus Al-Habsyi, dan Maman Suryadi juga dihadirkan secara langsung di sidang offline. Suparman Nyompa mengakui, sidang online mengalami banyak hambatan. Seperti kita ketahui bersama, pada pelaksanaan sidang pertama terhambat gangguan audio. Oleh karena itu kalau sidang online ini tetap dilanjutkan berpotensi terjadi lagi gangguan teknis seperti itu. Selain itu, dasar hukum pelaksanaan sidang online yang hanya pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 dinilai sangat lemah. Kekuatan hukumnya kalah dengan aturan hukum diatasnya yakni KUHAP yang menjamin hak-hak terdakwa untuk hadir secara fisik dalam persidangan. Atas dasar pertimbangan itu pula, majelis hakim kemudian menetapkan sidang selanjutnya dilakukan secara offline. Selama ini Habib Rizieq dikenal sebagai Singa Podium bahkan para netizen menjulukinya sebagai Singa Petamburan. Pengaruh Singa Podium ini mulai terlihat dari adanya perubahan sikap majelis hakim PN Jaktim dalam pelaksanaan sidang ini. Kini giliran Jaksa Penuntut Umum yang mulai ketakutan menghadapi aksi Habib Rizieq yang akan tampil menyampaikan pembelaan atau eksepsi dalam sidang offline pada hari Jumat nanti. Masyarakat terutama Umat Islam sudah rindu dengan penampilan dan orasi Habib Rizieq Shihab di depan publik. Semoga kerinduan tersebut terobati dengan penampilannya nanti dalam sidang lanjutan Hari Jumat. Untuk mengikuti sidang ini, masyarakat bisa menyaksikan secara online melalui akun YouTube Forum News Network (FNN TV). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Cicilan Informasi Pembunuhan di KM 50 Tol Japek

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Rilis berita dari Badan Reserse kriminal (Bareskrim) Polri soal peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI disamping sedikit-sedikit, juga minim informasi. Peristiwa besar yang dikecil-kecilkan. Kemarin rilis baru menyebut ditemukan dua alat bukti. Sebelumnya menyebut tiga anggota Polri dari Polda Metro Jaya yang menjadi calon tersangka. Mereka tiga anggota Polda tero Jaya tersebut diumumkan sebagai terlapor. Hingga kini nama-nama ketiganya masih saja disembunyikan. Ironi dalam sebuah tragedi kemanusiaan. Seperti sedang mencari cara dan strategi untuk mengumumkan nama-nama. Khawatir kalau diumumkan nanti bisa merembet komandan yang lebih tinggi. Kemungkinan bisa jendral polisi bintang satu, dua atau lebih. Sedikit-demi sedikit disebut tentang aturan yang bakal disangkakan, yaitu Pasal 338 KUHP Jo Pasal 351 pembunuhan dan penganiayaan. Ketika ditanya oleh wartawan tentang inisial ketiga calon tersangka tersebut, Brigjen Polisi Rusdi Hartono setelah terdiam agak lama, akhirnya menjawab "nanti kita akan cek lagi". Memang nampaknya penyidikan ini agak istimewa. Mengubah skenario dari tersangka enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) yang disiksa dan dibunuh menjadi tiga anggota Polri dari Polda Mtero Jaya tentu saja bukan pekerjaan mudah. Sejak awal sebenarnya dugaan bahwa ada anggota Polri yang bersalah sudah semestinya diperhitungkan. Namun kini masalahnya menjadi babaliut. Bingung dan bingung untuk mengumumkan. Yang kini menjadi pertanyaan krusial adalah, apakah pembunuhan di lapangan tersebut berdiri sendiri? Ataukah atas dasar koordinasi lebih dulu dan instruksi dari atasan pelaku? Inilah persoalan paling ruwet. Harus dicari dalil pembenaran, sebab bisa saja berantakan di pengadilan nanti. Kesulitan pengumuman nama ketiga calon tersangka bermodal "dua alat bukti" itu mungkin disebabkan pertimbangan. Pertama, apakah tiga calon tersangka tersebut adalah benar-benar pelaku penembakan di mobil yang membawa keempat anggota laskar yang masih hidup? Atau mereka bertiga hanya sebagai figur yang minim pengetahuan tentang duduk persoalan yang sebenarnya? Apa yang terjadi jika pelaku sebenarnya adalah "Harun Masiku" yang hilang itu? Kedua, bagaimana membuat konstruksi hukum untuk perbuatan yang melibatkan lebih dari tiga anggota Polda Mtero Jaya itu sebagai pelaku di lapangan? Dugaan bahwa hal ini bukan semata insiden, tetapi "by design" perlu dijawab oleh keterangan yang digali atau dicecar penggaliannya terhadap tiga tersangka di depan pengadilan nanti. Pembunuhan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) menjadi menarik. Ketiga, rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mempertanyakan siapa penumpang mobil Land Cruiser yang diduga menjadi "komandan" operasi lapangan harus terjawab dalam proses hukum terhadap tiga calon tersangka anggota Polri dari Polda Metro Jaya itu. Mata rantai peristiwa yang tidak boleh terputus. Keempat, unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI tidak bisa dipisahkan dari pembuktian penembakan kepada dua anggota laskar FPI lainnya. Ada dua mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang berisi sejumlah aparat menjadi eksekutor. Dari kesatuan mana dan siapa mereka? Mabes Polri tidak bisa mengabaikan hal ini. Fakta yang terbunuh adalah enam anggota laskar FPI, bukan empat. Kelima, pembunuhan ini dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP yang tentu saja menimbulkan pertanyaan publik, dimana dan bagaimana anggota laskar ini disiksa? Mungkinkah dilakukan di mobil selama perjalanan? Dengan melihat luka-luka yang dialami korban, wajar jika publik menduga kuat ada lokasi tertentu yang menjadi tempat penyiksaan. Soal dugaan lokasi penyiksaan ini menjadi bagian penting dari pengungkapan peristiwa yang semestinya sudah terkuak pada tahap penyidikan. Jika tidak terbuka di penyidikan, maka kemungkinan akan terbuka nanti di persidangan. Sementara persidangan bakal diikuti dan dipantau oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Termasuk tentu saja dari Komnas HAM. Mengingat dampak ikutan yang meluas, maka hal yang mudah dalam pandangan publik menjadi sulit pada proses hukum. Kasus penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang melibatkan dua anggota polisi menjadi cermin dan pelajaran yang berharga. Hal ini sekaligus menjadi ujian bagi profesionalitas kepolisian dan keadilan Majelis Hakim di ruang Pengadilan. Peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI terkait dengan "perburuan" Habib Rizieq Shihab (HRS). Sebagai pembunuhan politik, diduga proses hukum akan berjalan berbelit-belit sebagaimana rumit dan berbelitnya kasus-kasus politik lain. Meskipun demikian, kita yakin bahwa ada hakim yang punya hati nurani dan keadilan hakiki yang akan ditunjukkan oleh Ilahi Robbi. Ketika proses berjalan lambat dan miskin akan informasi, ketahuilah bahwa rakyat itu sebenarnya lebih cerdas dan berpengetahuan. Proses yang berjalan hanya tahapan pencocokan-pencocokan saja. Jika cocok, maka dinilai nurani kejujuran itu masih ada dan jika tidak, maka dipastikan akan ada hukuman berat yang menunggu di depan. Wallahu a'lam. Panulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Habib Rizieq Dihina di Pengadilan, Netizen Melawan di Dunia Maya

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Sidang kedua yang mengadili Imam Besar Habib Rizieq Shihab hari Jumat (19/3), berlangsung dengan brutal. Pada proses sidang tersebut, Habib Rizieq dipaksa bahkan sampai didorong agar mau mengikuti sidang secara online. "Saya dipaksa, didorong, dihinakan," kata Habib Rizieq dalam nada suara lantang dari Rutan Mabes Polri. Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim, M. Suparman Nyompa dengan anggota M. Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin. Bukan hanya itu, pada sidang kedua itu, pengacara Habib Rizieq dilarang masuk ke Pengadilan Jakarta Timur. Sehingga praktis yang bersidang hanya majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum namun mereka ingin memaksakan agar terdakwa bisa hadir secara online. Padahal sejak sidang pertama, Habib Rizieq dan para pengacaranya sudah menyatakan dengan tegas akan mengikuti dan mentaati persidangan di PN Jakarta Timur kalau dilakukan secara off line. Jika hakim dan jaksa bersikukuh untuk menjalankan sidang secara online, Habib Rizieq pun mempersilahkan. "Silahkan majelis hakim dan jaksa sidang sendiri dan memutuskan semaunya sendiri tanpa dihadiri saya dan pengacara," ungkap Habib Rizieq. Namun, pada sidang kedua justru ada pemaksaan terhadap terdakwa agar mau mengikuti sidang secara online. Praktek ketidakadilan dan kebrutalan telah dipertontonkan dengan kasat mata dalam persidangan tersebut. Siapapun manusia yang memiliki hati dan akal waras niscaya akan merasa prihatin dan gemas ketika menyaksikan persidangan yang penuh rekayasa itu. Oleh karena itu wajar kalau kemudian masyarakat di dunia maya (netizen) melampiaskan kekesalannya di media sosial. Tidak hanya itu, netizen mampu membongkar identitas pribadi Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa. Demikian juga Diah Yuliastuti SH, seorang jaksa yang kerap memotong pembicaraan Habib Rizieq dan majelis hakim dengan kalimat bernada provokasi, identitasnya berhasil diungkap netizen beberapa jam setelah usai persidangan hari Jumat lalu. Instagram Jaksa Penuntut Umum Diah Yuliastuti, diburu dan dibully netizen. Merasa tidak tahan dengan bullyian, akhirnya akun IG jaksa tersebut diubah menjadi private. Seorang netizen @ciotsidoker berkomentar di IG Diah Yuliastuti : "Halal banget sama ulama si mak...?? Emang emak ga ngerasa mendzolimi..??? Komentar netizen lainnya @noviadeniz: "Wahai netizen, mohon yg sopan komentar2nya. Aku capek nge-like-nya" @samsudinfahrezy berkomentar: "Semoga sadar dan tobat bu....inget Keluarga mu... jangan kasih uang haram...jangan kau sakiti ulama apalagi cucu nabi... cepat minta maaf sebelum telat. Ingat daging ulama beracun klo rumah tangga anda ingin selamat" Beberapa komentar netizen memang terkesan kasar namun aksi mereka di dunia maya tersebut sebagai balasan atas sikap Jaksa di persidangan yang terus menekan dan menghina Habib Rizieq. Dalam persidangan itu, Jaksa Diah Yuliastuti sempat melontarkan kalimat provokasi dalam percakapan dengan majelis Hakim. Di sidang itu Jaksa Penuntut Umum berkomentar: "Mohon izin, Majelis, kami rasa kita tidak perlu mendengarkan keterangan dari Terdakwa. Kami mohon untuk melanjutkan sidang yang terhormat ini, Majelis, tanpa mendengarkan omongan dari Terdakwa". Jadi, wajar kalau kemudian menyerbu IG jaksa Diah Yuliastuti. Setelah Gerakan Serbu IG, foto-foto jaksa Diah Yuliastuti yang terpampang di IG menyebar ke berbagai Grup WA. Tidak lama kemudian, IG jaksa ini dirubah ke private tetapi netizen lain sudah sempat screen shot akun IG jaksa Diah Yuliastuti termasuk komentar netizen yang unik dan menarik. Publik merasa kesal dengan jaksa ini karena selain sering memotong pembicaraan terdakwa, jaksa Diah ini sempat meminta hakim untuk menjerat Habib Rizieq dengan pasal 216 karena dinilai menghina jalannya persidangan. Namun, permintaan jaksa tersebut ditolak majelis hakim. Dalam persidangan tersebut, Habib Rizieq merasa hak asasinya sebagai terdakwa telah dirampas. Padahal, kehadiran terdakwa di ruang sidang dijamin UU yakni KUHAP Pasal 154, Pasal 152. Sementara sidang online hanya didasarkan pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 Tàhun 2020 tentang administrasi dan persidangan perkara pidana di pengadilan secara elektronik. Di dalam Perma itu disebutkan alternatif proses persidangan pidana yakni secara online dan offline. "Jika majelis hakim ingin mengambil online, harus dengan persetujuan terdakwa. Nggak bisa mengambil sepihak. Kita kembali kepada KUHAP Pasal 154, Pasal 152, saya punya hak untuk hadir di dalam ruang sidang. Saya bukan nggak mau ikut sidang, saya siap," tegas Habib Rizieq. Jika membandingkan dengan persidangan kasus pidana lainnya, ada yang dilakukan secara offline. Misalnya, persidangan kasus red notice Djoko Tjandra dilakukan secara offline. Bahka pada sidang tersebut petinggi Polisi Irjen Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara karena terlibat dalam kasus tersebut. Sementara sidang pidana yang melibatkan Habib Rizieq dilakukan secara online dengan dalih khawatir adanya kerumunan dalam suasana pandemi Covid19. Padahal, sebenarnya posisi duduk majelis hakim, JPU, pengacara serta terdakwa kalau dihadirkan di ruang persidangan juga duduknya berjauhan. Sebenarnya jika Habib Rizieq dihadirkan dalam persidangan, majelis hakim maupun jaksa bisa lebih mudah menjalin komunikasi. Sebaliknya jika sidang dilakukan secara online, terkendala dengan jaringan komunikasi seperti pada sidang sebelumnya. Habib sudah menyatakan dirinya sangat menghormati hukum karena itu dia menyatakan siap datang ke pengadilan jika persidangan dilakukan secara offline sebagai bentuk ketaatan pada UU. Kita semua mengetahui bahwa pengadilan adalah jalan terakhir untuk mencari keadilan. Namun, kalau UU yang memberikan hak kepada terdakwa dilanggar seperti pada kasus peradilan Habib Rizieq ini, bagaimana seorang terdakwa bisa mendapatkan keadilan. Oleh karena itu Habib Rizieq tidak peduli dengan dakwaan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum. Meski Habib Rizieq menghormati putusan Majelis Hakim tetapi dia menyatakan keberatan jika sidang dilakukan secara online. "Sekali lagi, saya sampaikan dengan berat hati, saya tidak ridho untuk sidang secara online. Dan kalau dipaksakan, saya mohon izin saya akan walk out, saya akan keluar dari ruang sidang ini. Kalau Majelis Hakim dan para jaksa ingin melanjutkan sidang, saya ridho. Anda semua melakukan sidang tanpa kehadiran saya dan tanpa kehadiran pengacara, saya siap tunggu di dalam sel berapa vonis yang akan dikemukakan. Saya ridho, saya tidak mau berdebat lagi, saya tidak mau menghina pengadilan ini, Majelis Hakim yang terhormat. Saya minta izin, saya ingin meninggalkan ruang ini supaya tidak ribut terus, ini samping kiri-kanan saya ada polisi dan Brimob," ungkap Habib Rizieq mengakhiri perdebatan dengan majelis hakim. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Diskriminasi Hukum Nyata di Peradilan HRS

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Hukum itu tak bernyawa. Hanya berisi teks tertulis yang kita sepakati menjadi rambu-rambu kehidupan sebagai warga negara. Di tangan manusialah, hukum itu menjadi hidup. Lembaga yudikatif diharapkan konsisten menjamin implementasi hukum yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Manusia tidak ditakdirkan menjadi makhluk ajeg seperti iblis atau malaikat. Manusia punya kehendak bebas, bisa memilih bersifat iblis atau malaikat. Terkadang, sifat iblis manusia malah dikemas seolah kebajikan malaikat. Wajah hukum kita ikut diwarnai oleh jiwa penegak hukum dengan kehendak bebas itu. Kita berharap lembaga peradilan dapat konsisten menegakkan hukum yang berkeadilan. Namun, faktanya sejumlah kasus hukum tak sedikit terasa memunggungi keadilan. Terhadap persidangan kasus Habib Rizieq Sihab (HRS), muncul fenomena serupa. Aparat berwenang terlihat begitu sinis memandang hak-hak hukum HRS. Itu terlihat di sepanjang perjalanan kasus mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) ini, sejak penetapan sebagai tersangka, penahanan, hingga saat persidangan yang heboh sepekan belakangan. Untuk menetapkan sidang berjalan online atau offline saja, debat panjang harus terjadi. Padahal, memilih salah satu pilihan ini seharusnya mudah dan tak perlu menguras begitu banyak waktu dan energi. Majelis hakim menetapkan sidang HRS dilaksanakan online, sedangkan HRS menginginkan hadir di ruang sidang. HRS mengaku bukan bermaksud melawan hukum. HRS hanya memperjuangkan hak hukumnya saja, sebagaimana dijamin Undang-Undang (UU) untuk hadir di ruang sidang. Adapun Majelis Hakim berpijak pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur sidang online dalam masa pandemi covid-19. Masalahnya, keputusan Majelis Hakim melaksanakan sidang online ternyata "tidak online-online amat". Buktinya, Majelis Hakim lengkap berada di ruang sidang, begitu pula dengan para jaksa, para pengacara, juga pengunjung sidang. Yang online hanya HRS, seolah sengaja dipisahkan. Padahal, seorang terdakwa tentu sangat berkepentingan hadir di ruang sidang agar bisa membela dirinya secara maksimal. Baik itu ketika menjawab tuduhan jaksa, menjawab pertanyaan majelis, juga berkonsultasi langsung dengan pengacara yang mendampinginya di ruang sidang, dan seterusnya. Menurut MA, sepanjang 2020 sudah digelar 115.455 sidang online karena adanya Perma No. 4/2020. Meski begitu, kewenangan pelaksanaan sidang online dan offline agaknya dikembalikan kepada keputusan Majelis Hakim. Pasalnya, dalam beberapa kasus yang melibatkan nama-nama besar, kita melihat kehadiran terdakwa di ruang sidang di tengah pandemic Covid-19 pasca terbitnya Perma itu. Sebut saja persidangan kasus suap Irjen Napoleon Bonaparte. Yang relatif punya kemiripan dengan pelaksanaan sidang HRS adalah sidang kasus IDI Kacung WHO dengan terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx. Seperti HRS, Jerinx juga walkout dari ruang sidang. Sementara itu, massa pendukung Jerinx berdemo di depan Pengadilan Negeri Bali. Setelah beberapa kali sidang online, akhirnya sidang offline terdakwa Jerinx diadakan pada 13 Oktober 2020. Laman radarbali.id lalu memuat berita dengan judul "(Akhirnya) Pendemo Menang, Hakim Putuskan Sidang JRX Digelar Offline". Perma No.4/2020 sendiri ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 25 September 2020 dan diundangkan pada 29 September 2020. Seperti Jerinx, HRS juga walkout dalam sidang. Juga masih seperti Jerinx, pengacara HRS juga telah memohonkan sidang dilakukan secara tatap muka. Bukannya dapat dispensasi sebanding, yang ada malah ancaman tambahan kasus. Walkout yang dilakukan HRS berbuah ancaman lain. Jaksa menuding HRS telah menghina dan melakukan kegaduhan di dalam persidangan dan meminta hakim menjerat Rizieq melanggar Pasal 216 KUHP. Mungkin saja niat Majelis Hakim menjauhkan HRS dari ruang sidang karena menghindari kerumunan massa pendukung. Namun, kekhawatiran ini hanya soal teknis yang mudah saja dikoordinasikan. Pertama, HRS telah menyatakan siap meminta pendukungnya agar tidak perlu mendatangi PN bila diizinkan ikut dalam ruang sidang. Kedua, mencegah kerumunan adalah tugas aparat keamanan. Majelis Hakim tentu dimungkinkan meminta dukungan Polri, kalau perlu berikut bantuan personel TNI. Sinisme lembaga peradilan terhadap hak-hak hukum HRS semakin terasa ketika pengacara HRS bahkan sempat mendapat kesulitan memasuki ruang sidang. Dengan surat kuasa di tangan, seharusnya tidak menemui kendala memasuki ruang sidang. Toh para pengacar itu telah mengikuti sidang sebelumnya. Meski lembaga yudikatif terlihat menyudutkan posisi hukum HRS, namun para penghuni lembaga eksekutif dan legislatif hening komentar. Trias politika ini mungkin sepaham, perlakuan itu adalah sesuatu yang "pas" untuk HRS. Tidak satu pun dari pihak eksekutif yang membela hak-hak hukum HRS. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tadinya dinilai punya kedekatan dengan HRS, membeku dalam diamnya. Padahal, saking dekatnya, Prabowo pernah berjanji hendak menjemput langsung HRS dan memulangkannya ke Tanah Air dengan jet pribadi. Luar biasa janji itu. Sementara itu, respon dari lembaga legislatif hanya dibunyikan satu dua orang. Sebagai oposisi, sejumlah kader Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera telah memberi pernyataan membela dengan porsi yang semestinya. Dari partai pendukung pemerintah, yang terlihat gregetnya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadly Zon. Fadly bahkan menjaminkan dirinya demi pembebasan HRS. Kita bersuara bukan semata tentang HRS. Ini tentang perlakuan lembaga peradilan terhadap seorang warga negara yang kebetulan bernama Habib Rizieq Shihab. Yang menjadi fokus kita adalah proses pemenuhan hak-hak hukumnya. Seorang warga negara dengan warga negara lainnya seharusnya sama dan sederajat di hadapan hukum. Tetapi entah kenapa di hadapan HRS, hukum terasa begitu antagonis. Beberapa pihak menengarai, kasus HRS menjadi diskriminatif karena intervensi politik. Salah satunya Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Abdullah Hehamahua. Saat menanggapi kematian enam laskar FPI tempo hari, dia mengaitkan penembakan 6 laskar FPI bermula dari Pilkada DKI. Secara teoritik, Ahok harus menang. Tetapi nyatanya kalah. Salah satu sebabnya, menurut Hehamahua karena HRS dan 212 ikut bergerilya. Dari sanalah dia melihat persoalan bermula, yang kemudian menyebabkan HRS harus ke Saudi Arabia, hingga kembali ke Tanah Air dan menjalani proses demi proses sampai akhirnya terjadi pembunuhan di luar hukum terhadap 6 laskar FPI. Apakah relasi politik itu juga punya kaitan dengan diskrimanasi hukum HRS saat ini? Wallahu a'lam. Penulis adalah Senator DPD RI.

Peradilan Sesat Kasus Habib Rizieq

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Proses peradilan Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi menarik akibat dijalankan dalam situasi yang tidak normal. Persidangan yaitu dilaksanakan secara online. Terdakwa tidak hadir di ruang persidangan. Cara ini meski bukan hanya berlaku untuk HRS tetapi "kena batunya" di saat peradilan untuk HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Baru dalam sejarah pelaksanaan peradilan online berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 ini mendapat perlawanan sengit dari terdakwa HRS. Istilah peradilan sesat bukannya diksi baru. Tetapi menjadi populer di kancah hukum yang intinya adalah terjadi kesalahan dalam vonis maupun proses peradilan. Kesalahan yang membahayakan atau merugikan seorang terdakwa. Peradilan sesat atau rechterlijke dwaling atau miscarriage of justice harusnya dicegah atau ditiadakan. Karena peradilan sesat akan menggagalkan maksud dan tujuan peradilan tersebut, yang menurut Gustav Radburg disamping untuk kepastian juga keadilan dan manfaat hukum. Kasus yang menimpa HRS yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini dipastikan akan menjadi peradilan sesat. Fenomenanya sudah mulai terasa sejak awal-awal proses penyidikan di Polda Metro Jaya. Begitu juga dengan perilaku pemaksaan oleh pihak Penuntut Umum. Kejadian ini mengingatkan kembali bahwa dahulu ada pandangan Komite KUHAP. Komite yang yang menyatakan bahwa tindakan aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum itu sangat minim pengawasan. Itu karena diskresi yang dipunyai penyidik dan penuntut umum memang terlalu besar. Beberapa faktor yang mengindikasikan bahwa kasus HRS ini menjadi indikasi peradilan nyata sesat. Pertama, meski tuduhan pelanggaran adalah pidana biasa berkaitan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan maupun aturan KUHP, akan tetapi masyarakat sangat memahami bahwa HRS ini diseret ke ruang pengadilan atas peristiwa politik. Sangat kental dengan nuansa bertarget penghukuman politik. Domein kekuasaan yang masuk di dalam ruang pengadilan, sangat potensial untuk menjadikan ruang itu sebagai peradilan sesat. Kedua, kasus HRS merupakan kasus yang dipaksakan. Perkara atas peristiwa kecil yang digelembungkan untuk menjadi besar. Soal pernikahan, pengajian, dan test SWAB bukan hal yang istimewa. Namun faktanya dapat menjadi jalan bagi pemaksaan kehendak. Jaksa maupun Hakim berat untuk mampu menegakkan hukum secara independen. Ada potensi pemaksaan, penyanderaan, pengancaman jabatan, mungkin juga iming-iming. Ketiga, peradilan online yang sangat tidak adil dengan dalih pandemi. Untuk kasus dan terdakwa lain dapat dilakukan peradilan offline. Namun tidak untuk HRS. Sekedar dapat hadir saja di depan sidang pengadilan sebagai hak seorang terdakwa membutuhkan perjuangan keras. Itupun tidak bisa. Ditambah dengan para Pengacara yang tidak dapat memasuki ruang sidang. Menurut pakar hukum, Jaksa dan Hakim yang seperti ini sebenarnya dapat diadukan ke Mahkamah Agung. Dalam peradilan sesat yang tidak sehat seperti ini, sudah dipastikan tujuan hukum melalui proses peradilan tak akan tercapai. Mencegah masyarakat menjadi korban, apa yang mesti dicegah? Masyarakat yang puas atas tegaknya keadilan, faktanya masyarakat kecewa atas ketidakadilan. Lalu agar pelaku tidak mengulangi kejahatan, nah apa yang jahat dari walimahan, pengajian, serta test SWAB? Masyarakat disuguhi pertunjukan hukum di panggung suka-suka dan penindasan. Pengadilan yang bukan untuk mengadili, tetapi sarana untuk melegalisasi hukuman politik yang jauh sebelumnya telah ditetapkan. Peradilan sesat yang akan menjadi sorotan dan cemohan masyarakat dunia. Menjadi bahan tertawaan sejarah hukum. Di negeri yang tidak merdeka, negeri yang dijajah oleh bangsanya sendiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Hakim Itu Kuncinya Keadilan

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Ternate FNN - Ketika hakim bermurah hati, berkordinasi atau menanti salam manis dari kaki tangan penguasa, maka kemanusiaan pasti melayang. Kala kemanusiaan melayang, keadilan menjadi urusan suka dan tidak suka, senang dan benci. Tidak lebih dari itu. Manakala suka dan tidak suka, benci dan rindu, berpadu memandu hakim, maka peradilan menjadi proses penyesatan hukumm paling ampuh. Begitu hukum tersesatkan di pengadilan, maka keadilan tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu penguasa ekonomi dan politik, siapapun mereka. Pengadilan tidak lagi bisa menjadi benteng keadilan untuk pencari keadilan. Pengadilan berubah jadi legitimator penguasa atas kebijakan-kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat. Pahami & Jiwai Keadilan Mengapa semua peradaban memuliakan keadilan dan pengadilan? Bagaimana peradaban-peradaban itu menemukan “inspirasi” keadilan? Akal budi manusiakah yang menginspirasi keadilan? Dari mana akal budi manusia memperoleh rangsangan tentang keadilan itu? Keadilan tidak terpaku pada hal yang statis. Keadilan juga tidak selalu terhubung dengan hal yang berubah-ubah, dinamis. Panas matahari yang terus-terusan, mengakibatkan air sungai surut, bahkan bisa mengering. Tumbuhan juga sama, bisa mengering. Hujan terus-terusan juga tidak selalu baik. Keseimbangan menjadi hal yang darinya inspirasi tentang keadilan memiliki pijakan. Tidak diluar itu. Bagaimana ceritanya orang menyerahkan urusan yang diperselisihkan kepada hakim untuk ditetapkan atau dinyatakan hukumnya? Untuk waktu yang lama, Raja identik dengan negara, dan negara identik dengan raja. Raja juga identik dengan hukum dan pengadilan.Konsekuensinya peradilan-peradilan yang diselenggarakan oleh raja dan atas namanya sendiri. Menghianati raja sama dengan menghianati kerajaan, negara. Inilah akar konsep “penghianatan terhadap negara” sebagai salah satu alasan impeachment. Tetapi impeachment ala Inggris ironi hanya ditujukan pada pembantu raja, termasuk hakim yang menyelenggarakan persidangan atas nama raja. Praktis keadaan kehidupan direkayasa. Tadinya melalui titah raja, beralih menjadi direkayasa melalui hukum. Postur keadaan masyarakat menjadi postur kebijakan pemerintah. Postur masyarakat sepenuhnya menjadi cermin kebijakan pemerintah yang dilegalisasi dengan hukum. John Rawls, hakim top pada Mahkamah Agung Amerika, terilhami oleh keadaan itu. Baginya keadaan itu merupakan cerminan matinya fairness. Disisi lain fairnes, diyakini Rawls sebagai inti keadilan. Keadilan baginya merupakan nilai fundamental yang menggerakan masyarakat. Kebijakan-kebiakan politiklah menjadi sebagian besar sebab terjadinya ketidakadilan. Ini digambarkan sebagai tidak fair. Rawls, seperti Cicero dan Lon. L Fuller, mengerti fungsi dasar hukum. Bagi Cicero, juga Fuller, hukum itu cerminan derajat akal budi dan kemanusiaan. lmuan-ilmuan ini tahu keadilan selalu mengalir dari hasrat pemuliaan terhadap kemanusiaan. Keadilan tak bisa ditimbang dan dibaca secara terbalik dari konsep. Keadilan tidak bisa juga ditimbang dan dibaca semata-mata berdasarkan teks hukum. Tidak begitu. Bagi mereka, teks harus dipertalikan dengan keharusan memuliakan manusia. Teks tak abadi. Yang abadi dan melekat pada setiap diri manusia adalah kemanusiaannya. Konsekuensinya keadilan bagi setiap orang yang berselisih tidak bisa ditangguhkan, sekalipun hanya sementara, apapun alasannya, terutama politik. Menangguhkan keadilan, sama dengan menangguhkan “kemualiaan” manusia. Padahal dalam sifatnya, kemuliaan itu abadi pada setiap diri manusia. Alam semesta menertawakan setiap pikiran anak zaman, yang mengagungkan tujuan menghalalkan semua cara. Semesta tidak dibentuk dengan cara kotor. Tidak sama sekali. Seimbang dalam semua apek, itulah alam semesta. Itulah keadilan. Hakim Yang Dirindukan Hakim tipe John Rawls, tidak bakal menjadi mata, telinga dan mulut UU. Hakim tipe ini eksis sebagai mata, telinga dan mulut keadilan. Dia tahu teks hukum menjadi basis interpretasi. Tetapi dia akan pergi sejauh mungkin memeriksa pesan yang tak terlihat. Yang dilegalisasi oleh teks itu. Sebab tidak ada keadilan yang tak mengalir dari dan terikat pada hak. Betul hak didefenisikan hanya dalam hukum. Itu cara pandang positivis dalam lautan ilmu hukum. Cara pandang ini digunakan semua kaum oligarki. Hakim berotak bening, berhati mulia, yang tahu malu, karena mengenal dirinya sendiri sesempurna yang bisa sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala, tidak bakal menelan begitu saja konsep positivistik itu. Bagaimana hukum dibuat pasti menjadi arena pemeriksaannya. Menjadi hakim sungguh tak mudah. Pekerjaan ini terlihat sulit. Hanya orang pintar dan terdidik jiwanya, yang dapat memasuki arena berbahaya ini. Hakim bertolak encer, dengan hati bening, memaksa dirinya melihat atasannya sebagai hal kecil. Menyepelekan kemauan politisi besar, akan terasa ringan baginya. Personal hakimlah penentu ada tidaknya keadilan. Kepintaran dan hikmahnya terlihat pada argumentasi yang disajikan dalam pertimbangan putusan. Pertimbangan itulah mahkota hakim. Tidak diluar itu. Hakim pintar dan berotak bening tidak berlindung dibalik contemp of court. Hakim pintar, dengan hati terbimbing sabda-sabda alam, tahu pengadilan itu tempat adu penjelasan, dan argumentasi. Contempt of Court, yang dikenal sebagai benteng pelindung independensi pengadilan, khususnya hakim, hanya punya satu tujuan. Tujuannya memberi jaminan kepada hakim untuk bebas menggunakan semua kemampuan intelektualnya yang terbimbing. Menemukan keadilan dalam perkara yang diperiksanya. Senjata itu, contempt of court dan independensi sebagai temuan hebat demokrasi, dalam praktek acap terlihat berwajah ganda. Terlihat sebagai singa lapar yang penyendiri pada satu waktu, dan di lain waktu terlihat ompong seompong-ompongnya. Pemerintah demokratis, selalu memilki sumberdaya melumpuhkan mereka. Gaji, fasilitas dan lainnya, adalah cara pemerintahan demokrasi menertawakan, membuat independensi pengadilan menjadi singa ompong seompong-ompongnya. Bukan pengadilan yang dikenang orang. Bukan, sekali lagi bukan. Yang dikenang orang dari pengadilan adalah hakim-hakimnya. Yang dikenang dari hakim adalah jalan pikiran yang tertuang dalam putusan dan sikap-sikapnya dalam sidang. Pembaca FNN yang budiman. Earl Warren, yang disingkirkan oleh Dwigh H. Eishenhower pada konvensi capres partai Republik, tetapi Warren diangkat oleh Eishenhower jadi Ketua Mahkamah Agung. Dia akhirnya ditulis dan dikenang sejarah sebagai hakim top karena putusan-putusannya. Putusannya dalam perkara Brown v. Board of Education (1954), Earl Warren menyatakan segregasi rasial di sekolah umum inconstitutional. Putusan the Warren Court itu juga dipakai menghentikan segreasi rasial yang dilembagakan dalam Jim Crow Laws, diseluruh negara bagian Selatan Amerika. Waren keluar dari sikap dan tindakan ketika masih menjadi kepala Depertamen Kehakiman California. Pada jabatan ini dia memimpin pemindahan orang Jepang-Amerika di California ke kamp penampungan. Ketika menjadi Chief of Justice di Supreme Court, Warren menjadi figur besar. Dengan kedudukannya sebagai Chief Justice, menghimpun seluruh koleganya menyudahi diskriminasi rasial yang jorok itu. Hebat. Amerika beruntung ada Earl Warren (Ketua Mahkamah Agung) dan Dwigh H. Eishenhower, Presiden. Ketika Orval Faubus, Gubernur Arkansas, menolak mematuhi putusan itu, Eishenhower mengirim National Guard ke Arkansas. Dia memaksa Gubernur Faubus mematuhi putusan itu. Hebat Eishenhower. Keduanya berhak atas penghormatan. Penghormatan yang samakah yang akan mendatangi Ketua Mahkamah Agung Kita, Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH? Untuk sementara simpan saja dulu soal itu. Satu hal pasti dunia peradilan Indonesia mutakhir sedang diperbincangkan dalam konteks persidangan perkara Habib Rizieq. Pada satu sidang terlihat terjadi debat menarik antara habib dengan hakim. Habib Rizieq kukuh ingin menggunakan “haknya” yang diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Hak itu adalah hadir dalam ruang sidang pengadilan. Betrdasarkan hak itu, Habib keberatan terhadap sidang atas perkaranya dilakukan secara online. Andai persidangan Habib terus dilakukan tanpa dirinya hadir dalam persidangan, maka soalnya logiskah keadaan itu diletakan semata dibatas putaran untung dan rugi menurut timbangan sistem hukum? Menariknya, kini gema contemp of court atas sikap habib membahana dengan citarasa menggelikan. Hak terdakwa yang diperoleh melalui UU ditangguhkan dengan Perma tidak bergema. Apa kata dunia? Kalau saja hak tak lagi penting, dikalahkan oleh keadaan, termasuk keadaan pandemic covid-19, alam semesta tak bakal menuntut semua mahluk patuh pada kaidahnya. Kala kaidah tentang hak tak lagi penting, maka kehidupan akan didatangi doktrin Thomas Hobes, ilmuan Inggris ini. Doktrinya adalah “bellum omnium contra omnes”. Ini anarchi condition. Yang kuat menerkam, menelan, memakan dan mengunyah yang lemah. Ini barbarian society. Tidak ada kemanusiaan, dan keadilan. Tragis dan memalukan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Sidang HRS Yang Tanpa Beban, Tawakkal, dan Cerdas

by Asyari Usman Medan, FNN - Peribahasa Inggeris menyebutnya “nothing to lose”. Lebih-kurang bermakna “tanpa beban”. Jika seseorang berurusan dengan pihak lain tanpa beban, dia siap menerima apa pun hasilnya. Dapat ok, tak dapat juga ok. Adil ok, tak adil pun diterima. Begitulah kira-kira posisi Habib Rizieq Syihab (HRS) dalam menghadapi kasus yang diyakini oleh dia dan banyak orang lain sebagai perkara rekayasa. Perkara yang dibuat-buat. Diada-adakan. Nah, perasaan tanpa beban itu membuat HRS bisa ceplas-ceplos. Dia akan menyampaikan pendapat apa adanya. Tapi tidak berarti asal bunyi. Habib selalu mantap berargumentasi. Dia artikulat dan runtun. Mampu menguraikan alasan-asalan yang logis. Dari adu argumentasi antara Habib Rizieq versus ketua majelis hakim plus jaksa yang menyidangkan tuduhan kerumunan Petamburan, Megamendung, dan tes swab RS Ummi Bogor, dalam sidang online (daring) Jumat (19 Maret 2021), tampak jelas bahwa mengadili perkara rekayasa itu tidak mudah. Personel pengadilan dan penuntut umum terlihat kesulitan melaksanakan sidang. Begitulah perkara yang dipercaya publik sebagai rekayasa. Tidak punya ruh. Ada terdeteksi seolah penyidang tak punya pijakan hukum yang kuat. Sebaliknya, HRS tampak lebih meyakinkan sejak sidang pertama pada Selasa, 16 Maret 2021. Dia bisa mengajukan alasan bahwa sidang daring akan merugikan dirinya. Majelis hakim mengatakan sidang daring harus dilaksanakan sesuai Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2020. Tetapi, HRS menyampaikan dalih bahwa ada contoh-contoh sidang pengadilan yang bisa dihadiri langsung oleh terdakwa di ruang sidang. Termasuk terdakwa Joko Tjandra, Pinangki, Irjen Napoleon Bonaparte. Jaksa penuntut umum berkali-kali menyela ketika HRS menyampaikan “eksepsi” spontannya. Dia jelas “menguasai lapangan”. Ini sesungguhnya tak terlepas dari sikap HRS yang tidak takut kepada manusia. Dia memiliki basis “hanya takut kepada Allah” yang sangat kuat. Selain itu, tentu saja tingkat kecerdasan berpikir beliau juga berperan penting ketika silat lidah terjadi. Jadi, ada tiga faktor penting yang membuat HRS sukses menghadapi sidang kerumunan ini, yaitu: tanpa beban, tawakkal, dan cerdas.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Hati-Hatilah Kalian, Habib Rizieq Itu Bukan Penjahat

by Asyari Usman Medan, FNN - Tuan-tuan yang terhormat, para penguasa Indonesia. Tuan-tuan yang mulia, yang bisa melakukan apa saja sesuka hati. Kemarin, banyak orang yang meneteskan air mata. Mereka sedih. Terhenyak. Mereka juga marah. Perasaan mereka tertusuk. Karena kalian perlakukan Habib Rizieq Syihab (HRS) dengan semena-mena. Dengan hina. Dengan angkuh. Dengan sombong. Ingatlah, wahai para penguasa! HRS bukan meminta perlakuan istimewa. Dia tidak meminta apa-apa dari kalian. Dia hanya meminta agar dihadirkan langsung di ruang sidang PN Jakarta Timur untuk mengikuti persidangan atas dirinya. Dia meminta itu bukan karena gagah-gagahan. Bukan karena ingin menghambat. Beliau meminta hadir langsung disebabkan rasa tak nyaman mengikuti sidang online (daring). Mengenai peraturan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan sidang daring, Habib menyebutkan beberapa contoh terdakwa bisa hadir di ruang sidang langsung. Termasuk Joko Tjandra, Pinangki, dan Irjen Napoleon Bonaparte. HRS tegas menolak sidang daring. Beliau mempersilakan majelis hakim melanjutkan sidang tanpa kehadiran dirinya lewat kamera. Mempersilakan hakim menjatuhkan vonis apa saja. Beliau rela. Belian akan terima. Asalkan dia tidak dipaksa sidang daring. Beliau digiring dengan paksa untuk duduk di depan kamera yang tersambung ke ruang sidang. Proses pemaksaan inilah yang membuat Habib Rizieq merasa dihinakan. Beliau tidak merasa tinggi dari siapa pun. Tapi, cara dia dipaksa ke depan kamera telah menyinggung perasaan beliau. Tuan-tuan yang terhormat. Hati-hatilah kalian. HRS itu bukan penjahat seperti yang kalian persepsikan lewat penangkapan, penahanan, pendakwaan dan penyidangan. Dia hanya berusaha memperjuangkan keadilan. Dia berjuang agar bangsa dan negara ini bebas dari berbagai kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Lihatlah, tuan-tuan yang mulia. HRS tidak melakukan perbuatan yang merugikan rakyat dan negara. Kalian semua tahu itu. Dia hanya didakwa melakukan tindak pidana kerumunan. Tentu kalian masih ingat ketika Presiden Joko Widodo memicu kerumunan di Maumere, NTT, sewaktu dia melakukan kunjungan pencitraan di sana pada 23 Februari 2021. Dia tidak disentuh hukum. Ada saja alasan yang kalian kemukakan. Padahal, jelas-jelas Jokowi dikerumuni ratusan atau mungkin ribuan orang tanpa protokol kesehatan. Ingat, tuan-tuan yang terhormat! Habib Rizieq tidak melakukan kejahatan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Yang melakukan kejahatan di Indonesia ini adalah mereka yang rakus, sadis, bengis. Bukan HRS. Mereka yang menggarong kekayaan rakyat di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dlsb. Bukan HRS. Mereka yang menilap dana Covid-19 sampai triliunan rupiah. Bukan HRS. Mereka pula yang melakukan korupsi lobster, Jiwasraya, Asabri, Bumiputra, Pertamina, BLBI, Century, dll. Bukan HRS. Mereka yang membangkrutkan maskapai Garuda Indonesia. Bukan HRS. Mereka yang membuat PLN tumpur-lebur. Bukan HRS. Mereka yang mencuri uang e-KTP. Bukan HRS. Mereka yang melindungi Tuan Joko Tjandra (JK). Bukan HRS. Mereka yang membuatkan surat jalan untuk JT ketika dia menyeludup masuk dari pelarian di luar negeri. Bukan HRS. Mereka yang mengusahakan penghapusan “red notice” Interpol Joko Tjandra dengan cara menyogok. Bukan HRS. Mereka yang mau membuatkan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk JT dengan proposal 150 miliar. Bukan HRS. Mereka yang menerima sogok Buku Merah. Bukan HRS. Mereka yang sedang menumpuk kakayaan ilegal. Bukan HRS. Mereka yang mejerumuskan negara ini ke jurang utang besar. Bukan HRS. Mereka juga yang menggerogoti uang pinjaman ribuan triliun itu. Bukan HRS. Mereka pula yang merusak lingkungan dan hutan di mana-mana. Bukan HRS. Tapi, mengapa HRS yang dizalimi? Yang dikejar-kejar sampai ke lubang cacing? Yang, konon, diskenariokan akan mendekam di penjara sampai usai Pilpres 2024? Hati-hatilah kawan. Jangan kalian hinakan Habib Rizieq. Dunia ini berputar. Semua orang memperhatikan kezaliman kalian. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kalau Sidang HRS Langsung, Apa Sulitnya Mencegah Kerumunan?

by Asyari Usman Medan, FNN - Habib Rizieq Syihab (HRS) mengatakan, dia dihinakan oleh para petugas yang memaksa dirinya masuk ke ruangan Bareskrim Polri untuk mengikuti sidang online (daring alias dalam jaringan). HRS marah. Dia merasa hak asasinya dilanggar kalau dipaksa sidang daring. Tadi siang, 19 Maret 2021, HRS dipaksa mengikuti sidang daring itu setelah hakim memerintahkan petugas untuk menghadirkan Imam Besar FPI tsb di depan kamera di Bareskrim. Perintah inilah yang membuat para petugas memaksa HRS. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak menyetujui permintaan HRS agar dia dhadirkan langsung di ruang sidang. Menurut hakim, permintaan itu tak bisa dikabulkan karena diperkirakan akan menimbulkan kerumunan. Hakim atau majelis hakim punya kuasa penuh di pengadilan. Tapi, sekiranya HRS dihadirkan langsung di ruang sidang, apakah memang sulit menjaga agar tidak terjadi kerumunan? Tampaknya, tidak ruwet. Kalau semua pihak, terutama majelis hakim, berkenan menghadirkan HRS di ruang sidang. Majelis bisa memerintahkan agar kejaksaan dan kepolisian mengamankan komplek PN Jakarta Timur supaya tidak didatangi oleh para simpatisan HRS. Bisa diatur pula agar orang-orang lain yang berurusan ke PN tetap berjalan normal. Petugas bisa mengisolasi gedung PN Jakarta Timur selama sidang berlangsung. Ini bukan bentuk pengistimewaan kepada HRS. Dia berkeberatan sidang online karena sering terganggu sinyal. Suara hilang atau gambar tersendat-sendat. Pengalaman inilah yang membuat HRS tidak nyaman dengan sidang daring. Keberatan HRS sangat wajar. Sebab, dia tidak ingin satu kata pun yang diucapkan oleh semua pihak di ruang sidang, tidak terdengar dengan jelas. Setelah permintaan hadir langsung ditolak, HRS kemudian menyatakan bahwa dia rela sidang dilanjutkan tanpa kehadiran online maupun secara langsung. Dia siap menerima hukuman seberat apa pun yang dijatuhkan pengadilan. Betul bahwa majelis hakim harus mengikuti peraturan Mahkamah Agung (MA) tentang sidang daring di masa pendemi Covid-19. Namun, sangat masuk akal juga permintaan HRS untuk hadir langsung. Dia ingin memastikan agar sidang berjalan ‘clear’ dan ‘clean’ (jelas dan bersih). Para hakim sudah diingatkan bahwa “lebih baik membebaskan 1,000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah”. Adagium ini bermakna bahwa kepentingan seorang terdakwa jaub lebih tinggi dari kepentingan pihak-pihak lain yang berwenang di persidangan. Semoga majelis hakim tidak terlalu kaku. Kalau perlu, sidang HRS bisa saja dilaksanakan di komplek MA. Supaya lebih aman. Semakin tidak mungkin terjadi kerumunan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jaksa Terkejut, Uang Bulanan Istri 50 Juta

by Asyari Usman Medan, FNN - Kemarin, 17 Maret 2021, istri Edhy Prabowo (EP) yaitu Iis Rosita Dewi (IRD) membuat jaksa KPK terkejut. Pasalnya, IRD mengaku bahwa dia mendapat uang bulanan 50 juta rupiah dari suaminya. IRD diperiksa sebagai saksi dalam sidang pengadilan di Jakarta dengan terdakwa Suharjito, pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama. Suharjito didakwa menyuap Edhy Prabowo agar izin ekspor benur (bibit lobster) bisa dipercepat penerbitannya. Pak Jaksa bertanya dari mana sumber uang EP. IRD menjawab, “Saya tidak tahu.” Tentu saja harus jawab begini. Kalau dia tahu sumbernya, bisa-bisa terjerat pula. Di persidangan, jaksa bisa menanyakan apa saja. Tapi, kalau jaksa sampai terkejut mendengar uang bulanan 50 juta tiap bulan untuk istri seorang menteri, terus terang saya balik terkejut mendengar Pak Jaksa terkejut. Hehe! Mengapa kita semua pantas terkejut? Karena ‘kan Pak Jaksa sedang menangani perkara korupsi terkait izin ekspor benur. Artinya, pantas diduga banyak “buner” (benih duit) yang mondar-mandir di sekitar benur. Bukan ratusan juta, tapi ratusan miliar. IRD adalah anggota DPR RI (fraksi Gerindra). Gaji beliau tentu cukup besar –sekitar 66 juta total semuanya. Tunjangan yang beliau terima banyak sekali jenisnya. Gaji pokok memang 4.2 juta saja. Tapi, tunjang sana, tunjang sini, menjadi lebih 65 juta. Cuma, Pak Jaksa barangkali merasa gaji seorang menteri tak mungkin bisa menyediakan bulanan 50 juta untuk istri. Pak Jaksa agaknya tahu gaji menteri tak sampai 20 juta per bulan. Memang ada dana taktis yang bisa mencapai 100 juta hingga 150 juta sebulan. Nah, ini dia. Semasa menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak EP tentu bisa mengambil langkah taktis untuk menyuplai 50 juta tiap bulan kepada istri. Lagi pula, lautan Indonesia itu sangat luas. Rezeki pun pasti juga luas. Apalagi semua yang ada di laut, termasuk lobster dan benurnya, harus sowan ke Pak Edhy. Sehingga, tidaklah mengherankan amat kalau istri dibulani 50 juta. Tak perlu kaget. Namanya juga “menteri lobster”. Jadi, biarkan dan maklumi saja kalau Pak Jaksa terkejut.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.