HUKUM

Antara Anies dan Penyidik, Mushalla Kecil Itu Jadi Saksi

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (19/11). Manusia boleh berencana dan merekayasa, tetapi Tuhan yang menjadi penentu takdirnya. Banyak peristiwa tak terduga telah menyadarkan kita betapa Tuhan ada dan hadir dalam kehidupan kita. Dengan iman, ada kepasrahan dan petunjuk jalan. Iman menuntun dan memberi kemampuan untuk menjemput keputusan takdir-Nya Allah Subhanahu Wata’ala. Pahit-manis dan suka-duka, itu hanya panampakan di dalam perasaan manusia belaka. Karena hidup itu pada hakekatnya adalah kejujuran. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Takbir adzan itu hanya bisa dirasakan oleh hati-hati yang di dalamnya Tuhan memberikan tempat. Tuhan tak hadir pada manusia yang tidak merasa butuh, apalagi alergi mendengar suara takbir-Nya. Mushalla kecil di pojok ruangan Polda Metro Jaya itu jadi saksi. Di sela-sela pemeriksaan, Anies datang menyambut panggilan itu. Kali ini bukan polisi yang panggil, tetapi Tuhan. Allah Pemilik Semua Istana. Istana langit maupun istana merdeka. Ditinggalkannya para penyidik, lalu Anies datang ke tempat dimana takbir itu memanggil. Tak ada yang bisa menghalangi saat penguasa alam ini berkehendak. Anies keluar dari ruang pemeriksaan dan melangkah ke mushalla kecil itu. Ambil air wudhu, lalu shalat dhuhur empat raka'at. Begitu juga saat waktu ashar tiba. Panggilan Tuhan tetap yang utama. Otentik, tanpa rekayasa. Anies datang tanpa beban, karena Tuhan yang memanggil itu sungguh Maha Adil dan Penyayang. Arsy Tuhan beda dengan istana manusia yang sarat dengan intrik dan tekanan. Matahari merangkak pulang. Gelap datang merayap tanda waktu magrib tiba. Adzan lagi-lagi berkumandang. Muadzin di mushalla mensosialisasikan takbir Tuhan. Ayo Shalat. Waktunya menghadap Tuhan, kata muadzin itu. Keluar dari ruangan, Anies bergegas ke mushalla. Sampai di Mushalla, Gubernur DKI ini didaulat menjadi imam. Jika anda jadi imam shalat dhuhur dan ashar, nggak perlu takut. Karena nggak ada yang tahu bagaimana kualitas bacaan anda. Salah benar, hanya Tuhan yang tahu. Mungkin anda sendiri juga nggak tahu. Tidak usah ragu. Orang juga nggak tahu anda paham atau tidak arti ayat yang anda baca. Yang penting di imam sholat dhuhur dan ashar adalah pastikan jumlah raka'at anda benar. Usahakan takbir anda agak sedikit fasih. Terutama jika ada kamera sedang menyorot anda. Bagaimana jika anda ditawari jadi imam shalat magrib? Untuk yang ini anda harus ukur diri. Tajwid, fashahah dan penghayatan makna mesti anda perbaiki dulu sebelum anda menyanggupi tawaran itu. Jangan gara-gara kamera, anda bersemangat terima tawaran dan nggak peduli defisit kemampuan. Tak ragu, tak ada was was, Anies maju dan menjadi imam shalat magrib. Nampak memang ia terbiasa jadi imam. Baik imam shalat, maupun imam di luar shalat. Allahu Akbar, shalat dimulai. Raka'at pertama, Anies membaca al-Fatihah. Ini bacaan wajib. Tanpa al-Fatihah, tidak sah shalatnya. Kecuali bagi pengikut mazhab Hanafi. Setelah membaca al-Fatihah, Anies membaca surat al-Insyirah. Ini surat pilihan. Mengapa Anies memilih surat al-Insyirah? Kita perlu tahu apa kandungan di dalam surat al-Insyirah itu. Dari situ kita akan bisa membaca apa maksud Anies memilih untuk membaca surat ke-94 ini. Surat al-Insyirah, "Tidakkah Kami (Allah) telah melapangkan dadamu. Dan Kami telah meletakkan darimu bebanmu. Yang telah membebani punggungmu. Dan Kami telah tinggikan namamu. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Jika kamu sudah selesai, lanjutkan pekerjaan. Dan kepada Tuhanmu hendaknya engkau berharap" Surat al-Insyirah menjelaskan pertama, tentang perlunya kelapangan dada. Kedua, kelapangan dada membuat semua beban ditanggalkan. Ketiga, dari situlah sebuah nama akan diangkat dan ditinggikan. Keempat, bahwa setiap kesulitan selalu ada kemudahan Dua kali narasi ini diungkapkan dalam surat itu. Berarti, ini sunnatullah. Kelima, perintah untuk move on. Selesai satu urusan, lanjut urusan yang lain. Jangan diratapi. Nggak boleh baper. Ketujuh, tetap rendah hati, dan sadari bahwa semua itu Tangan Tuhan yang menggerakkan. Karena itu, jadikan Tuhan sebagai kiblat dan arah tujuan. Kandungan surat al-Insyirah yang sengaja dipilih Anies di raka'at pertama seolah menggambarkan situasi obyektif yang sedang dihadapinya. Ada kesadaran bahwa untuk menghadapi masalah perlu berlapang dada. Dengan begitu, semua kesulitan akan menjadi mudah. Badai akan berlalu, dan bersegeralah untuk move on. Kemudian melanjutkan tugas berikutnya. Kalau peristiwa ini menyebabkan banjir dukungan dan nama makin ditinggikan, itu bonus, sebagaimana ayat itu telah mengkonfirmasinya. Anies sepertinya mengerti betul kandungan makna dari surat yang dibacanya. Faktual dan kontekstual. Tepat dengan situasi yang sedang dihadapinya. Dari surat ini, sepertinya Anies menjadikannya sebagai pondasi dan referensi untuk menghadapi persoalan yang sedang menimpanya. Raka'at kedua Anies membaca al-Fatihah lagi. Ini surat yang wajib dibaca. Setelah membaca al-Fatihah, Anies membaca surat al-Baqarah 286, sebagai ayat pilihan. Surat al-Baqarah ayat 286 berbunyi, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ada pahala untuk kebajikan yang diperbuatnya, dan ada siksa untuk kejahatan yang dilakukannya....." Membaca ayat ini Anies sepertinya sadar betul. Pertama, betapa Tuhan selalu bertindak proporsional. Mengukur kemampuan sebelum pelajaran itu diturunkan kepada setiap hamba. Kedua, benar-salah dan baik-buruk, semua akan dipertanggungjawabkan. . Membaca ayat ini memberi keyakinan dan optimisme Anies bahwa setiap masalah pasti bisa diselesaikan. Karena itu, hadapi saja. Jangan pernah lari dan hindari masalah. Apakah itu masalah beneran atau direkayasa, hadapi. Toh salah-benar dan baik-buruk, sejarah akan membuka dan pasti akan meminta tanggung jawabnya. Anies hadir di Polda Metro Jaya, tepat waktu. Meski pemanggilan terkesan tergesa-gesa dan mendadak. Anies datang, hadapi dan jawab 33 pertanyaan. Rakyat menunggu sejarah membuka fakta-fakta yang sebenarnya. Dua surat pilihan yang dibaca Anies dalam shalat magrib bisa jadi "rujukan" bagi setiap warga negara yang dipanggil dan sedang menghadapi penyidik. Di dalam kedua surat itu, selain bicara kemudahan, juga menyinggung soal salah dan benar yang masing-masing ada tanggung jawabnya. Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Nikita Dipelihara Siapa?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (17/11). Nikita Mirzani menjadi sangat populer untuk tiga hal. Pertama, sebagai artis yang paling seronok. Kedua, menghina Habib Rizieq Shihab (HRS). Ketiga, dilindungi oleh Polisi. Kontroversi dirinya bukan semakin terkendali, tetapi justru tambah "menantang". Belakangan Nikita Mirzani berani mengklaim kalau dirinya sebagai aset negara. Apakah dia memang sedang dipelihara? Sebab Ade Armando saja menduga kalau Nikita Mirzani sedang menjalankan misi Presiden Jokowi. Ironi kan? Toleransi dan support atas akting dan tampilannya menjadi cermin bobroknya moral bangsa sekarang. Jika, kalau kekuasaan berada di belakangnya, maka sama saja dengan mendukung moral dekaden. Hal ini berarti pelecehan yang nyata-nyata terhadap hukum. Nikita semestinya bukan dilindungi aparat. Tetapi segera diproses secara hukum karena beberapa alasan. Pertama, penghinaan atau pencemaran terhadap Habib Rizieq Shihab, yang artinya telah nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP maupun Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU Informatika dan Teknologi Elektronika (ITE). Tentu ini adalah klacht delict. Kedua, melanggar UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 10 UU Pornografi menyatakan, "setiap orang mempertontonkan diri dan orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya". UU No. 44 tahun 2008 Pasal 36 mengatur sanksi pidana atas perbuatan dalam Pasal 10 tersebut di atas dengan hukuman penjara 10 tahun dan/atau denda sebesar Rp 5 miliar. Dengan video yang beredar, Nikita Mirzani sudah terkena ketentuan UU Pornografi tersebut, karena diduga elemen delik yang ada pada pasal-pasalnya akan mudah untuk dipenuhi. UU Pornografi dibuat untuk mencegah terjadinya dekadensi moral. Konsideran UU ini antara lain menyatakan, "bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara". Nah sudah sangat jelas kan? Sebenarnya tinggal proses hukum terhadap Nikita Mirzani dilaksanakan saja. Agar tidak ada pembiaran terhadap dugaan perilaku pornografi atau pornoaksi. Ataukah Indonesia akan semakin bobrok karena membiarkan borok-borok yang seperti ini? Kita tidak perlu mengulangi jaman Orde Lama, dimana saat pelacur-pelacur dari Gerwani menari-nari telanjang di lubang buaya. Mereka bersuka ria atas terbunuhnya para Jendral TNI-AD oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung. Para pelacur Gerwani menari telanjang sebagai wujud dan alat perjuangan komunis yang berprinsip menghalalkan segala cara. Atau juga para pelacur yang dimanfaatkan oleh Soekarno untuk menjadi bagian dari pergerakan kemerdekaa? Soekarno merujuk pada keberadaan pelacur yang menjadi tokoh di Perancis seperti Madame de Pompadoure dan Theroigne de Merricourt. Sayangnya, kita kini sudah merdeka. Negara telah berkomitmen untuk membangun bangsa dengan berbasis pada nilai-nilai moral yang luhur. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Anies Tegas, Beri Sanksi Kepada HRS

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (16/11). Habib Rizieq Shihab (HRS) punya magnet sosial yang luar biasa. Fenomena ini terlihat dari penyambutan massa di bandara saat Habib Rizieq pulang dari Makkah Arab Saudi. Ada puluhan, mungkin ratusan ribu, bahkan ada medias asing yang mengatakan jutaan massa yang menjemput kepulangan Habib Rizieq. Sepulang dari Makkah, massa terus berdatangan. Dimanapun Habib Rizieq berada massa memburunya seperti semut mengerumuni gula. Begitulah faktanya. Antusiasme untuk bertemu dan melepas rindu kepada Habib Rizieq tak bisa dibendung lagi. Semua berebut untuk melihat, berdekatan dan bersalaman. Ada nuansa heroisme. Hari-hari berikutnya, massa tetap berdatangan ke rumah Habib Rizieq. Mereka yang datang tidak hanya dari Jakarta dan wilayah Jawa. Banyak yang datang dari Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kabarnya, ada yang datang dari Maluku dan Papua. Sambutan terhadap Habib Rizieq juga terjadi di Gadog Puncak, sepanjang arah menuju Mega Mendung, tempat dimana Habib Rizieq mendirikan pesantren. Keluar dari tol Ciawi, massa berjubel memenuhi seluruh penggiran jalan raya. Sabtu kemarin, di rumah Habib Rizieq digelar acara pernikahan putrinya. Juga bersamaan dengan sacara Maulid Nabi. Acara tersebut mengundang banyak massa. Mereka memanfaatkan momen terbuka ini untuk berjumpa dan bersalaman dengan Habib Rizieq. Dalam acara walimah dan Maulid Nabi itu, kerumunan terjadi. Meski menggunakan masker, massa terlihat tak berjarak. Satu dengan yang lain berdesakan. Social distancing tak berlaku. Semangat untuk bertemu Habib Rizieq membuat massa lupa akan protokol kesehatan dan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mereka tak disiplin dan melanggar aturan kesehatan. Aturan tetap saja aturan. Harus ditegakkan kepada siapapun. Tak pandang bulu. Bagi Anies, Gubernur Jakarta ini, tak perlu ada dilema. Habib Rizieq salah, ya harus diberi sanksi. Peraturan berlaku untuk semua. Untuk pegawai honorer Pemprov DKI yang dipecat, untuk Habib Rizieq, dan untuk masyarakat secara luas. Siapapun yang melanggar, aturan diberlakukan. Habib Rizieq langgar Pergub No. 79 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan, dan Pergub No. 80 tentang PSBB. Sanksi atas pelanggaran kedua pergub ini adalah denda 50 juta rupiah. Atas pelanggaran ini, Pemprov DKI Jakarta melalui Kasatpol PP DKI melayangkan surat pemberian sanksi denda kepada Habib Rizieq. Surat Nomor 2250/-1.75 telah diterima, dibaca, lalu Habib Rizieq membayar denda. Cash! Tidak tebang pilih, Anies menegakkan aturan untuk semua. Siapapun yang melanggar aturan Pergub Covid, maka akan diberikan sanksi. Tak peduli dia pejabat atau rakyat. Konglomerat atau tokoh masyarakat. Semua sama di depan hukum. Keadilan untuk semua. Anies, sebagai Kepala Daerah sudah tepat mengambil sikap tegas ini. Atas sanksi denda tersebut, Habib Rizieq juga berjiwa besar. Habib Rizieq bahkan mendukung langkah dan sikap tegas Anies ini. Kalau Habib Rizieq nggak diberi sanksi, bagaimana nantinya umat? Semua bisa ikutan melanggar tanpa sadar. Kalau Anies nggak tegakkan aturan, bagaimana dia bertanggung jawab di depan rakyat. Orang-orang yang pernah dapat denda bisa protes dan minta duitnya kembali. Bisa berabe. Cebong akut, buzzer dan infulencer rupiah sudah bersiap-siap dengan sejumlah jurus untuk menyerang Anies. Sayangnya gagal. Jika pemimpin di Indonesia tegas dan adil, maka negeri ini punya harapan untuk menjadi negara besar. Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti Indonesia ini tak kunjung maju karena faktor penegakan hukum yang seringkali bermasalah. Produknya tumpang tindih, dan penegakan hukumnya terbang pilih. Tak ada negara maju di dunia jika produk dan penegakan hukumnya bermasalah. Ini PR bagi para pemimpin dan para penegak hukum. Meski punya hubungan baik, tak mengurangi ras hormat dan ta'dzimnya Anies kepada HRS. Gubernur DKI, tetap memiliki komitmen untuk menegakkan aturan yang berlaku. Apalagi, Pergub No. 79 dan 80 Tahun 2020 ini dibuat dan ditanda tangani oleh Anies sendiri. Anies pasti tahu konsekuensi atas tanda tangannya. Ini bukti bahwa Anies telah membaca semua pasal di dalam aturan itu sebelum dia tanda tangan. Emang ada yang tanda tangan sebelum baca? Jangan nyindir dan nyinyir doooooooong! Menerima surat denda, Habib Rizieq bersedia mematuhinya. Pendiri FPI ini menyadari kesalahan itu, dan dengan suka rela telah membayar denda tersebut. Lunas! Sebagai warga negara yang baik, Habib Rizieq menyatakan akan selalu taat pada aturan yang berlaku. Habib Rizieq tak mengelak. Tidak juga membantah. Apalagi lari dari hukuman. Habib Rizieq bukan Harun Masiku. Kader PDIP yang menghilang setelah ditetapkan jadi tersangka oleh KPK. Bukan juga Djoko Djandra, koruptor yang bisa mengatur para pejabat hukum sesuka hatinya. Sikap Habib Rizieq ini bisa jadi panutan buat seluruh masyarakat Indonesia. Ketaatan kepada hukum adalah hal paling utama dalam bernegara. Dari sinilah ketertiban sosial akan terajut. Kebangkitan bangsa punya optimisme untuk terwujud. Harapan sebagai bangsa besar terpampang di depan mata. Sikap Habib Rizieq ini jawaban terhadap penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan selama ini. Ada kesan tebang pilih. Lawan diperjarakan dan dihakimi. Sedangkan kawan dilindungi. Orang kaya boleh dinegoisasi. Yang miskin langsung masuk bui. Institusi hukum tak banyak bisa diharapkan untuk menegakkan keadilan. Harus dirombak. Anies dan Habib Rizieq telah memberi contoh yang sangat baik untuk bangsa ini. Meskipun keduanya berkawan, namun hukum tetap harus ditegakkan. Ini berlaku juga kepada yang lain. Tak pandang bulu. Pemimpin sejati bukanlah orang yang hanya bisa tegas kepada lawan. Tetapi lembek di depan kawan. Seseorang yang belum bisa bersikap adil kepada kawan dan lawan, dia bukan pemimpin. Mereka hanya orang-orang yang sedang berkuasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Quo Vadis Peradilan Kita

by Zulkifli S Ekomei Jakarta FNN - Sabtu (14/11). Latar belakang saya menggugat UUD 45 palsu melalui pengadilan, tidak menempuh cara lain adalah, bahwa Indonesia ini adalah negara hukum. Negara hukum (Rechtstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai panglima, "Equality before the law" semua berkedudukan sama di depan hukum. Hal ini sesuai konsitusi kita bahwa "Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum." Sehingga semua persoalan hukum sudah seharusnya diselesaikan di lembaga peradilan, dan tentu saja gugatan saya memakai dasar adanya temuan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2004 yang diketuai oleh Amien Rais, yaitu adanya Ketetapan MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002. Saya ingin update perkembangan apa yang saya alami selama mengikuti semua acara persidangan, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak yang akan beracara di lembaga peradilan. Beberapa catatan yang ingin saya sampaikan adalah: Pertama, soal waktu, jadwal persidangan ternyata molor, dan ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan, awalnya waktu yang disepakati adalah jam 10.00, tetapi molor menjadi jam14.00 atau bahkan lebih, sehingga tidak ada seorangpun bisa memprotes termasuk saya, karena seolah sudah menjadi budaya. Kedua, ada beberapa pertanyaan muncul ketika pengadilan gagal menghadirkan prinsipal dalam sidang mediasi. Para tergugat dan turut tergugat hanya diwakili penasehat hukumnya, dan akhirnya mediasi gagal. Lalu saya selaku penggugat menyatakan secara resmi bahwa proses mediasi gagal sehingga persidangan dilanjutkan. Ketiga, sebagai lanjutannya saya mengikuti acara sidang berikutnya yaitu pembacaan gugatan, kemudian sidang pembacaan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat, selanjutnya sidang pembacaan replik dari pihak penggugat, diteruskan dengan sidang pembacaan duplik dari pihak tergugat dan turut tergugat dan diakhiri dengan pembacaan putusan sela. Ada kejadian menarik, pada saat sidang pembacaan putusan sela tanggal 11 Agustus 2020, hakim menunda persidangan, dengan alasan karena ada urusan keluarga sehingga belum siap membacakan putusan sela, setelah itu terjadilah penundaan demi penundaan sampai akhirnya terjadi sidang pembacaan putusan sela tanggal 3 November 2020. Dalam sidang pembacaan putusan sela majelis hakim menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan saya menolak UUD'45 palsu. Setelah membacakan putusan sela, hakim menanyakan pada pihak tergugat dan pihat turut tergugat apakah menerima putusan sela, mereka menyatakan menerima, kemudian menanyakan pada pihak penggugat apakah menerima atau melakukan perlawanan terhadap putusan sela tersebut, spontan saya menjawab akan melakukan perlawanan, lalu saya diberikan waktu 2 minggu untuk menyatakan perlawanan dan berkas putusan sela bisa diambil paling lambat 3 hari setelah sidang. Tanggal 12 November kemudian, saya mengambil berkas putusan sela di Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ajaibnya ternyata berkas belum turun, setelah dicek di Panitera, berkas putusan sela belum ditandatangani hakim karena cuti sampai tanggal 16 Nopember 2020. Sampai disini, saya hanya bisa mengambil nafas panjang….ternyata saya hanya punya waktu satu hari untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan sela. Saya tidak akan menyerah karena gugatan menolak UUD'45 palsu ini bukan untuk kepentingan saya pribadi, tapi kepentingan banyak orang, untuk kepentingan generasi mendatang, persoalan sebesar ini hanya dihindari dengan putusan sela bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili, padahal acara persidangan sudah berjalan setahun lebih, sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa majelis hakim seperti prajurit yang lari dari medan pertempuran, seperti kata pepatah Jawa "tinggal gelanggang colong playu", pepatah yang sering disematkan pada siapapun yang menghindari tanggung jawab. Ok, mengakhiri catatan saya ini, saya kembali mengingat kisah tauladan Nabi Musa a.s. Ketika rasionalitas Nabi Musa a.s. berucap, “Bagaimana umatku yang lemah dan tanpa senjata akan mengalahkan pasukan Fir'aun yang kuat?” Allah SWT menjawab, “Urusanmu hanya istiqamah dan taat, selainnya adalah kehendak-Ku.”Maka, teguhlah dalam memperjuangkan kebenaran. Karena, Allah pasti bersama kita. "Perjuangan milik kita, Kemenangan milik ALLAH" Salam Patriot Proklamasi! Penulis, praktisi hukum.

Dr. Ahmad Yani Dipanggil Penyidik, Apa Konsekuensinya?

by Dr. Margarito Kamis SH. MHum Barang siapa bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Namun barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang (Jalaludin Arumi, 1207-1273). Jakarta FNN – Sanin (02/11). Dr. Ahmad Yani, SH.MH, dipanggil penyidik. Yani akan diperiksa sebagai saksi. Pemanggilan tersebut terkait dengan dugaan perkara tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) melalui media sosial. Kata Ahmad Yani, saksi itu kan orang yang mengetahui dan melihat peristiwa pidana. Tetapi sayangnya di surat itu tidak dijelaskan siapa tersangkanya? Dimana lokasinya? Cukup membingungkan memang, tetapi sebagai warga negara wajib hadir," jelasnya ((RMol, 1/11/2020). Pemeriksaan ini, normatifnya, merupakan kebutuhan penyidikan. Pasti dikerangkakan pada kebutuhan membuat kasus yang sedang disidik, bukan diselidiki, menjadi terang. Terang untuk dua hal, peristiwa pidananya dan pelakunya. Ini menarik untuk dianalisis. Kasus Hipotetik Menjadi saksi untuk tersangka siapa? Oleh karena tidak jelas, maka peristiwa “percobaan penangkapan” atau “ngobrol-ngobrol” beberapa waktu lalu di kantor Dr. Ahmad Yani beralasan untuk dipakai membuat kasus hipotesis. Yani menjadi saksi pada kasus ini. Perbuatan apa yang mengakibatkan Anton Permana ditetapkan jadi tersangka? Beritanya cukup beragam. Tidak ada penjelasan spesifik. Tetapi dari berita itu dapat dibuat hipotesis tentang kasusnya. Kasus hipotetiknya, Anton disuruh, atau mengambil sendiri atau diberikan pernyataan tertulis resmi KAMI dari personil KAMI, siapapun itu. Pernyataan itu dibuatkan narasi lalu dimuat di media elektronik, video atau apapun itu, miliknya. Setelah itu disebarkan. Begitulah kurang lebih kasus hipotetiknya. Bila dalam pemeriksaan atas dirinya atau saksi fakta lain, diperoleh fakta bahwa Yani mengetahuinya, pemanggilan ini beralasan. Kenyataan inilah yang dapat dipastikann diminta penyidik untuk diterangkan. Namun adakah saksi lain yang menerangkan hal yang sama? Setidaknya sebagiannya mirip? Bagaimana bila tidak ada, dan Yani punya alibi? Menarik. Bagaimana Juris memeriksa kasus hipotetik ini? Juris pasti memulai penalarannya dengan mengidentifikasi, mengorganisasikan, dan mengkategorisasi perbuatan itu, lalu memeriksa hukumnya. Ini sangat standar. Ini konsekuensi ajaran negara hukum, dan norma hukum selalu bersifat hipotetik. Tidak ada peristiwa, apapun itu, yang dapat dikualifikasi pidana, bila tak ada hukum positif mengkualifikasi peristiwa itu sebagai peristiwa pidana. Ingat itu baik-baik. Juris juga akan menginferensi kasus itu dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan primer. Pertama, apakah pernyataan KAMI yang dibuatkan narasi, entah oleh Anton sendiri atau orang lain, sebagian atau seluruhnya melawan hukum? Lalu disebarkan oleh Anton? Kedua, siapa yang membuat pernyataan tertulis itu? Dan siapa yang menandatanganinya? Serta siapa yang menyebarkan pernyataan itu untuk pertama kalinya? Nalar serendah apapun, tidak mungkin menyatakan bahwa sifat melawan hukum atau kualitas pidana serta-merta disandang pada peristiwa penyebaran pernyataan KAMI itu, hanya karena media elektronik. Tidak begitu. Tidak ada nalar hukumnya. Isi, sekali lagi isi materi pernyataan pada media elektronik you tube atau instagram itulah penentu determinatif kualifikasi hukum atas peristiwa itu. Tidak lebih dari itu. Hanya Itu saja. Konsekuensinya isi pernyataan-di dalam you tube atau instagram itulah yang pertama-tama harus dianalisis hukumnya. Apa saja isi pernyataan tertulis KAMI itu? Apakah pernyataan itu berisi seruan kepada buruh untuk melakukan mogok nasional? Bagaimana hukumnya bila pernyataan itu tidak berisi seruan, melainkan menyatakan dukungan verbal kepada buruh yang akan melakukan mogok nasional? Apakah pemogokan benar-benar terjadi? Bila terjadi, apakah berskala nasional? Bagaimana bila pemogokan itu terjadi secara parsial? Diatas semua itu, apakah hukum positif mengekategorikan pemogokan nasional atau parsial sebagai peristiwa melawan hukum, dan sifatnya pidana? Hukum positif mengakui mogok sebagai hak dasar pekerja atau buruh. Itu sebabnya hukum positif memberi kategori atas mogok itu. Kategorinya mogok yang sah dan mogok yang tidak sah. Untuk mogok yang tidak sah, ditentukan syaratnya untuk dapat dikategorikan sebagai peristiwa pidana. Itulah esensi pasal 186 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 186 ini menunjuk mogok pada pasal 137 dan 138 ayat (1) sebagai tindak pidana “sejauh” sekali lagi “sejauh” mogok itu tidak memenuhi keadaan-keadaan yang disyaratkan pada pasal 137 dan 138 itu. Hipotesiskan saja bahwa mogok itu benar-benar terjadi. Itu untuk sekadar menjaga nalar analisis. Dititik ini muncul masalah hukum sederhana yang sangat menarik. Masalahnya siapa yang mogok? Buruh atau pekerja? Siapa mereka, serta dimana peristiwa mogok itu? Bila ada buruh atau pekerja yang mogok, siapa tersangka dalam peristiwa mogok itu? Adakah itu? Bila ada, maka masalah melawan hukum pernyataan KAMI menjadi mudah dikonstruksi. Sebaliknya, bila tidak ada buruh atau pekerja yang ditersangkakan oleh penyidik, maka muncul soal hukum yang tidak sederhana. Mengapa? Untuk alasan apapun, kenyataan itu harus dianggap secara hukum pemogokan, sekalipun benar-benar terjadi, tidak dapat dikategori sebagai mogok yang tidak sah, yang memiliki kapasitas sebagai peristiwa pidana. Kenyataan itu menimbulkan konsekuensi yang sangat elementer. Apa konsekuensinya? Pertama, pernyataan tertulis KAMI tidak memiliki kapasitas sebagai pernyataan yang menyandang sifat melawan hukum. Apalagi melawan hukum pidana. Sekali lagi tidak. Kedua, karena pernyataan KAMI tidak memiliki kapasitas atau sifat melawan hukum, maka berlakulah prinsip “cesante causa cessat efectus” (dari penyebabnya, dapat ditetapkan akibatnya. Kalau penyebabnya berhenti, akibatnya juga berhenti). Oleh karena penyebabnya tidak melawan hukum, maka tindakan memberi dukungan itu, demi hukum, harus dianggap tidak melawan hukum. Karena tidak melawan hukum, maka isi pernyataan yang dinarasikan, lalu disebarkan secara elektronik itu, demi hukum tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum. Begitu nalar hukum berbicara. Titik. Bisa Buntu Hipotesiskan saja pernyataan tertulis KAMI itu memiliki sifat melawan hukum. Apa konsekuensinya? Cukupkah Dr. Ahmad Yani seorang diminta keterangannya sebagai saksi? Jelas tidak, apapun alasannya. Tidak ada ilmu hukum pidana yang dapat dipakai untuk membenarkannya. Konsekuensinya? Pertama, keterangan Dr. Ahmad Yani akan jadi titik tolak pengembangan menuju saksi lain. Kemana arahnya? Pemeriksaan ini bisa saja berkerangka mencari dan menemukan tersangka baru. Begitu nalar normatifnya. Konsekuensi teknisnya? Penyidikan ini harus menemukan kenyataan-kenyataan berupa bagaimana pernyataan itu dirancang? Siapa konseptornya? Pernyataan KAMI itu dikonsep oleh seorang saja, atau dikonsepkan oleh beberapa orang? Setelah lebih dahulu dirapatkan dan diputuskan dalam rapat KAMI? Siapa saja yang bicara dalam rapat itu, dan siapa bicara apa? Semua harus dijadikan materi pemeriksaan. Kedua, siapa yang mengetiknya, siapa mengeditnya, hingga siapa yang menyodorkan pernyataan itu kepada presidium KAMI untuk ditandatangani. Bahkan siapa yang memfasilitasi press conference atau menyebarkan pernyataan itu ke media massa. Semuanya harus diperiksa. Sungguh menarik menganalisisnya dari sudut hukum. Terlihat jelas adanya masalah yang tak sederhana. Apa masalahnya? Sejauh ini tidak ada satu pun buruh atau pekerja yang ditersangkakan karena melakukan perbuatan mogok. Ini vocal pointnya. Tidak ada orang ditersangkakan atas perbuatan yang didukung, tetapi ada orang ditetapkan jadi tersangka karena memberi dukungan? Tidak ada perbuatan yang dikualifikasi pidana, dan tidak orang yang ditersangkakan, tetapi ada orang turut serta menjadi pelaku tindak pidana? Kecermatan profesional benar-benar harus bicara. Tetapi lupakan dulu keadilan, lupakan dulu prinsip minimum negara hukum, yang diputuskan pada International Commission of Juris dalam kongresnya di Athena, Yunani tahun 1968. Menurut Profesor Ismail Suny, salah satu sayarat esensial minimum Rule of Law yang diputuskan dalam kongres itu adalah keamanan pribadi harus dijamin. Profesor Suny menyatakan tak seorang pun dapat ditahan atau dipenjarakan tanpa satu keputusan hakim atau untuk maksud-maksud prefentif (Ismail Sunyi, 1981). Esensi syarat ini dilembagakan dalam KUHAP, dan belakangan dalam UUD 1945. Apabila rute ini ditempuh secara profesional, due process of law, maka kasus ini pasti, bahkan mutlak bergeser dari tindak pidana ITE, ke tindak pidana biasa. Konstruksi tentang pelaku dan turut serta berubah secara fundamental. Anggap saja eksponen KAMI kelak dituduh menghasut. Soal hukumnya, siapa yang dihasut? Untuk memastikan siapa yang dihasut, mau tidak mau, orang yang dihasut itu telah ditetapkan jadi tersangka. Suka atau tidak. Begitulah hukumnya. Siapa dia? Sejauh ini tidak tersaji fakta adanya buruh atau pekerja, atau siapapun itu yang ditetapkan menjadi tersangka, karena melakukan perbuatan yang diangap dihasut. Bila mogok dianggap sebagai hal yang dihasut, maka tanpa adanya tersangka karena pemogokan itu, demi hukum, harus dianggap hal yang dihasut tidak terjadi. Bagaimana bila dikerangkakan pada pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Terlihat dari rumusannya, elemen penentu dalam pasal ini adalah kabar bohong dan keonaran. Pembaca FNN yang budiman. Mau kabar bohong sehebat apapun, tetapi kabar bohong itu tidak mengakibatkan hal yang dilarang yaitu keonaran, maka tidak ada tindak pidana. Keonaran adalah hal (keadaan) yang diakibatkan dari kabar bohong. Keonaran menjadi hal inti larangan. Kalau akibatnya tidak terjadi, maka tidak ada, sekali lagi, tidak ada tindak pidana. Apa hukumnya bila pernyataan itu dikualifikasi menyebarkan kebencian atau fitnah kepada individu, golongan masyarakat, suku atau agama? Menggunakan pendekatan “isolasionis” atau “pragmatic encrichment” atau “purposivstis” dalam ilmu interpretasi, yang dikenal sebagai pendekatan terlonggar sekalipun, tidak bisa. Mengapa? Terminologi menguntungkan buruh asing, atau oligarki misalnya, tidak dapat diberi kapasitas dan sifat kebencian. Mengapa? Sifat itu dihilangkan sendiri oleh UU Omnibus Cipta Kerja. Dari data tersaji UU itu dibicarakan sebagai UU yang akan mengakselerasi investasi. Investor, dimana pun, selalu dapat membawa tenaga kerjanya, terlepas dari expert atau tidak. Menggunakan pendekatan itupun, tidak dapat mengubah kata-kata tertulis KAMI tentang dukungan verbal itu sebagai kebencian. Termasuk tidak dapat mengubah pengertiannya menjadi kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi bentuk ekspresif kebencian? Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi keonaran? Tidak bisa. Hukum membenarkan unjuk rasa di negeri ini. Disisi lain, kenyataannya RUU Omnibus Cipta Kerja telah disahkan menjadi UU. Tindakan pengesahan, tidak dapat diinterpretasi, sekalipun dengan pendekatan terlonggar di atas, sehingga pengertiannya berubah dari disahkan menjadi tidak disahkan. Pembuat UU, DPR dan Presiden tidak bisa diinterpretasi menjadi satu golongan masyarakat atau individu. Benar-benar menghancurkan UUD 1945, bila pembuat UU diberi kapasitas dan sifat hukum sebagai satu golongan atau individu. Diatas semua itu, menarik memang menantikan ujung proses kasus ini. Bisa saja buntu. Namu bisa juga berkembang. Akankah penghentian penyidikan segera datang? Atau justru terus bergerak sampai ke pengadilan? Kalau pakai ilmu hukum positif, maka nampaknya penghentian penyidikan yang paling mungkin segera datang. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Dr. Syahganda Dkk Tidak Ada Delik Pidana

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Dr. Sahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Kongkin Anida dikenal sebagai eksponen Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Mereka dikenal cukup lama terbiasa berada di rute penuh tantangan menuju demokrasi. Intelek dan punya gairah besar untuk Indonesia yang lebih baik dari hari ke hari. Itulah jiwa dan ruh mereka sebagai aktivis sejak masih menjadi mahasiswa baru. Mudah tersentuh, sangat sensitive terhadap persoalan kemanusiaan, menjadi sisi terhebat lain, yang menandai mereka. Mungkin itulah yang membawa mereka berlabuh, mengikatkan haluan impiannya ke KAMI. Tetapi takdir politik punya cara sendiri menyapa mereka. Mereka kini ditahan oleh penyidik dari Kepolisian. Tidak mungkin penyidik tidak punya bukti untuk mengkualifikasi tindakan mereka sebagai tindak pidana. Demokrasi pun memugkinkannya, dan untuk itu demokrasi membimbing eksistensinya dengan hukum dan akal sehat. Bukan hukum abal-abal. Apakah Dr. Sahganda, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan lainnya menyebarkan kabar bohong melalui media elektronik? Apakah mereka menyebarkan fitnah melalui media elektronik? Siapa yang difitnah? Kabar bohong mana menjadi sebab terdekat dan nyata terjadinya keonaran itu? Lalu apa itu onar? Andai mereka menyatakan pendapat terhadap suatu keadaan hukum. Misalnya demonstrasi atau boikot, yang telah diberitakan secara luas, dan telah diketahui umum, dimana letak melawan hukumnya? Kalau mereka menyatakan pendapat di media elektronik sosial (medsos) akan ikut demonstrasi yang telah diberitakan media, dimana letak bohongnya? Dimana juga hasut, fitnah, dan onarnya? Bila mereka merespon pernyataan pejabat, yang dalam alam pikir mereka, pernyataan itu tidak tepat, dimana juga letak melawan hukumnya? Bila menyiarkan atau menyebarkan pernyataan resmi, sebut saja KAMI, tetapi pernyataan itu telah lebih dahulu tersebar luas di media massa, dimana mengkualifikasinya sebagai melawan hukumnya? Logiskah penyebaran pernyataan itu melalui medsos milik mereka, dikageorikan sebagai menghasut? KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dapat diduga dipakai untuk menjerat mereka. Tidak diluar itu. Kabar bohong? Apapun kabar itu, absolut harus berisi sebagian atau seluruhnya tidak sesuai fakta yang obyektif. Tidak sesuai itu bisa disebabkan oleh penyebar kabar bohong tersebut dengan menambah-nambahkan keterangan di dalam kabar yang disebarkannya. Atau juga menghilangkan sebagian keadaan obyektif atau keadaan semula dari kabar yang disebarkannya. Sekali lagi, tidak bisa di luar itu. Bisa kacau balau hukum di negeri ini. Hanya dengan cara itu barulah kabar yang disebarkan itu dapat dikualifikasi mengandung unsur bohong. Mengapa begitu? Kabar adalah satu hal dan bohong juga satu hal. Tetapi keduanya terangkai menjadi satu dalam rumusan pasal sebagai unsur delik. Konsekuensinya, dua keadaan itu benar-benar harus diperiksa dan nyata-nyata ada. Bukan berdasarkan prediksi dan perkiraan yang bakal terjadi. Kabar itu harus bohong. Kabar bohong itu menjadi sebab terdekat dan nyata terjadinya keonaran. Keonaran juga merupakan unsur delik. Dalam hal semua unsur-unsur delik ini terpenuhi ada pada peristiwa penyebar kabar bohong. Kabar bohong itu menjadi sebab terjadinya keonaran. Dan keonaran itu benar-benar ada, barulah tindakan itu sah sebagai tindak pidana. Bagaimana bila satu saja dari keadaan-keadaan (unsur) delik itu tak terpenuhi? Misalnya kabarnya sendiri tidak bohong? Atau kabarnya benar-benar bohong, tetapi tidak terjadi keonaran? Ilmu hukum pidana tidak membenarkan untuk mengkualifikasinya sebagai tindak pidana. Tidak ada alasan lain selain itu. Titik. Lebih dari itu hanya tindakan mengada-ada dan sejenisnya. Orang-orang politik suka untuk menyebutnya penyalahgunaan kekuasaan. Apakah demonstrasi atau unjuk rasa merupakan perbuatan keonaran? Bila ya, masalahnya bagaimana menjelaskan unjuk rasa itu sebagai peristiwa hukum yang dimungkinkan oleh hukum positif di negeri ini? Mengapa hukum positif mengkualifikasi perilaku merintangi unjuk rasa sebagai tindak pidana? Dengan argumen apapun, unjuk rasa atau demonstrasi tidak dapat dikualifikasi sebagai satu peristiwa yang mengandung atau memiliki kapasitas sebagai peristiwa melawan hukum pidana. Konsekuensinya unjuk rasa atau demonstrasi tidak dapat dikualifikasi sebagai keadaan keonaran. Disebabkan unjuk rasa atau demonstrasi itu secara hukum bukan peristiwa pidana. Maka, siapapun yang menyatakan pendapatnya akan ikut atau ikut unjuk rasa itu, dengan alasan apapun, tidak dapat untuk dikualifikasi sebagai pidana. Andai pernyataan itu ditulis di media sosial elektronik jenis apapun, dan disebarkan, tetap saja tidak berkualifikasi sebagai pidana. Dapatkah pernyataan-pernyataan itu dikualifikasi secara hukum sebagai menghasut? Hal pertama yang harus diperiksa secara detail adalah, apakah pernyataan itu memiliki kapasitas melawan hukum? Sifat melawan hukum ada apabila pernyataan itu bersifat seruan. Walaupun seruannya tak sungguh-sungguh, agar orang yang diserukan atau dihasut itu melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum menjadi inti, penentu, agar seruan itu dapat dikualifikasi secara hukum pidana sebagai hasutan. Tanpa itu, tidak bisa, dengan apapun alasannya. Tidak ada ilmu interpretasi di dunia ilmu hukum yang dapat dipakai untuk menginterpretasi perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai perbuan sah. Lalu diinterpretasi menjadi perbuatan yang tidak sah. Beralasankah untuk menyatakan pernyataan akan ikut demonstrasi, yang disampaikan atau disebarkan melalui media sosial elektronik, tidak dapat diberi kapasitas sebagai perbuatan menyebarkan kebencian? Terhadap soal ini harus diperiksa terlebih dahulu, apakah hal atau keadaan atau obyek yang diunjukrasa itu adalah hal atau keadaan atau obyek yang dilarang dalam hukum positif? Bila hal yang diunjukrasa itu dilarang dalam hukum positif, lalu orang menyatakan akan ikut unjuk rasa itu, dan pernyataan itu dimuat di media sosial elektronik dan disebarkan, maka perbuatan itu berkualifikasi menyebarkan kebencian. Jelas menyatakan ikut unjuk rasa memiliki kualifikasi melawan hukum. Sebaliknya bila hal, keadaan atau obyek yang diunjuk rasa tidak berkualifikasi melawan hukum. Karena tidak ditujukan pada individu, suku atau ras, atau golongan, maka pernyataan ikut demonstrasi itu, tidak dapat, dengan alasan apapun dikualifikasi melawan hukum. Pernyataan itu tak mengandung kebencian. Berunjuk rasa mendesak pemerintah mencabut satu UU, misalnya UU Omnibus Cipta Kerja, yang baru disahkan tanggal 5 Oktober 2020, bukan perbuatan melawan hukum. Pembuat UU tidak dapat, dengan alasan apapun, dikategeorikan sebagai individu, golongan, suku, ras atau apapun yang lainnya. Apakah oligarki, sebagai sebuah konsep dalam ilmu politik dan sosial, dapat dikageorikan secara hukum sebagai individu, golongan, suku, atau ras? Bila ya, soalnya adalah siapa mereka? Ini krusial. Mengapa? Bila oligarki diakui sebagai satu entitas hukum yang sah sebagaimana hukum mengakui setiap orang sebagai individu, kelompok, suku, agama, dan ras, maka soalnya seluruh ketentuan dalam UUD 1945, setidaknya seluruh ketentuan dalam Bab X UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia runtuh. Mengapa? Mengkualifikasi penalaran yang dinyatakan secara tertulis bahwa oligarki berdaulat atau memegang kedaulatan, sama hukumnya dengan menyatakan oligarki sebagai satu entitas hukum yang sah. Bila demikian halnya, maka oligarki diterima secara hukum sebagai natural person atau difiksikan atau diberi sifat persona sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban hukum. Apa begitu? Tidak mungkin. Bung Hatta dan Soepomo Apapun alasannya? Sekali lagi, tindakan itu sama hukumnya dengan membatalkan semua teks hukum pada UUD 1945. Diperlukan kecermatan sungguh-sungguh. Sebab siapapun diantara Dr. Sahganda, Jumhur, dan Anton Permana hendak dipredikatkan melakukan kejahatan karena pernyataan itu. Apakah menteri memiliki predikat sebagai individu? Tidak bisa. Terminologi menteri menunjuk lingkungan hak dan kewajiban, sebagai kapasitas hukum sebuah jabatan. Menteri itu nama jabatan. Bukan nama individu. Individu adalah pemangku jabatan itu. Tetapi jabatan tidak sama dengan individu. Jabatan tidak dapat dipersonifikasi sebagai individu. Dalam hal pejabat itu mengeluarkan pernyataan, yang sejauh itu unsur-unsur obyektif dari keadaan yang ditunjuk menteri dalam pernyataan itu tak terverifikasi, sejak itu atau sesudahnya, dan itu menjadi sebab pejabat tersebut dikritik dengan sangat kasar. Bagaimana dan dengan cara apa memberi sifat melawan hukum pada kritik itu? Kata-kata kasar mau dijadikan penentu adanya sifat melawan hukum? Pada titik ini, terasa betul kebutuhan memeriksa secara utuh pikiran Profesor Soepomo dan Bung Hatta tentang Menteri sebagai Statesmanship. Pernyataan Prof Soepomo dan Bung Hatta itu disampaikan pada rapat BPUPKI membahas draf pertama UUD 1945 tanggal 13 Juli 1945. Bung Hatta menyatakan, “jadi ada baik disini kalau diadakan kemungkinan yang minister atau menteri bertanggung jawab, sebab kedua-duanya membuat undang-undang. Tambahan lagi tanggug jawab itu ada penting dalam gerakan kita dalam sususnan negara kita supaya yang memegang departemen itu betul-betul pemimpin-pemimpin rakyat”. Jangan nanti, begitu Bung Hatta melanjutkan, “semangat pegawai saja dengan tidak mempunyai tanggung jawab yang kuat menjalar dalam pemerintahan negara. Pandangan inilah yang dijawab oleh Profesor Soepomo, Ketua Tim Kecil penyusun UUD 1945. Kata profesor dalam menjawab pandangan Bung Hatta, “...akan tetapi kita harus percaya kepada kebijaksanaan dari kepala negara dan juga kepada pembantu-pembantunya, yang bukan pembantu biasa, akan tetapi tentu juga orang-orang yang sangat terkemuka, ahli negara yang bukan saja memperingati public opini, perasaan-perasaan umum dalam Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi mengerti perasaan umum di dalam negara mereka umumnya”. Pofesor Soepomo melanjutkan, s”udah tentu orang-orang menjadi Statsman, menjadi pegawai negara yang begitu tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja kepada diri sendiri, akan tetapi kepada umum” (Lihat A.B. Kusuma, 2016). Apa yang dapat diambil sebagai esensi pernyataan kedua pembentuk UUD 1945 itu? Apa yang mau dikenali dari pernyataan menteri bertanggung jawab umum dan diri sendiri, dan tidak menjadi pegawai biasa saja? Pada bagian mana dalam seluruh aspek tanggung jawab dapat dipakai untuk membenarkan kata-kata kasar yang ditujukan padanya sebagai hal yang menghina? Bukan rasa bahasa, tetapi mustahil mengkualifikasi kata-kata kasar, siapapun diantara tiga orang itu, yang ditujukan langsung pada isi pernyataan menteri. Apalagi menjadikan itu sebagai sebab adanya penghinaan terhadap menteri. Pembaca FNN yang budiman, seluruh predicate crime pada kasus hipotetik di atas, mustahil diberi lebel pidana. Mustahil menemukan unsur deliknya. Tindakan yang dihipotetikan di atas semuanya sesuai hukum. Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menyatakan tindakan yang dibenarkan hukum dapat diberi predikat delik, tindak pidana. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

UU Cilaka Itu Urusan Hutan, Tebang Pohon & Kavling Tanah?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN - Kamis (22/10). Jika benar naskah yang disyahkan DPR dan selanjutnya dikirim ke Presiden adalah naskah 812 halaman, maka saya dapat menyimpulkan bahwa Undang-Undang cipta kerja adalah undang-undang tentang masuk hutan dan kuasai tanah. Pantas saja para pegiat lingkungan dan masalah pertanahan uring uringan. Seluruh organisasi sosial yang peduli masalah lingkungan hidup dunia sesak nafas mendengar Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bayangkan, dalam naskah Undang-Undang Cipta Kerja yang saya terima dari salah seorang anggota DPR-RI tersebut, terdapat 993 kata izin, yang merupakan kata paling banyak dalam Undang-Undang ini. Boleh jadi Undang-Undang ini adalah Undang-Undang tentang Perizinan dan Investasi. Namun yang mengagetkan, ternyata kata paling banyak setelah izin adalah kata hutan yakni terdapat 370 kata. Luar biasa ternyata. Ini Undang-Undang tentang izin masuk hutan. Lalu masuk hutan buat apa? Ternyata kata paling banyak lainnya selain hutan adalah tanah, yakni sebanyak 285 kata tanah. Sedikit lebih banyak dari kata laut dan air. Dengan demikian Undang-Undang ini masih seputar investasi hutan, tanah dan air. Jadi yang dimaksud dengan cipta kerja atau pekerjaan yang diciptakan tersebut ternyata pekerjaan di dalam hutan dan berurusan dengan tanah. Padahal dulu pada saat Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law pertama kali diwacanakan, saya sendiri menduga ini akan ada terobosan besar menyambut era Information and Communication Technology (ICT). Undang-Undang yang terkait dengan digitalisasi, fintech, era keterbukaan informasi, yang memerlukan dukungan Omnibus Law. Ternyata dugaan saya keliru, karena di dalam Undang-Undang ini hanya ada 11 kata tentang digital. Itupun maksudnya cuma mempublikasikan lewat digital. Mungkin aparat negara diminta sering-sering menggunakan facebook atau ngetwit. Sekarangpun masih banyak yang beranggapan bahwa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja adalah dalam upaya menciptakan lapangan kerja. Tempat kerja untuk kaum milenial, angkatan kerja baru, anak anak muda, genersi Z dan lebih jauh generasi Alfha. Apakah lapangan kerja baru itu adalah masuk ke dalam hutan? Menggali tanah dan enanam pohon? Atau apa? Berhubung jaman berburu sudah berakhir, seiring dengan berakhirnya era homo soloensis, maka kuat keyakinan bahwa yang dimaksud cipta kerja itu bukan peberburuan di hutan. Undang-Undang ini tampaknya membawa kita kembali ke jaman kolonial dulu. Bukan jaman purbakala, yakni melaksanakan perintah VOC atau Londo untuk masuk hutan, dan tebang pohon. Sistem yang dipake mungkin sama dengan tanam paksa, atau mungkin rodi atau mungkin sedikit lebih liberal yakni sewa tanah. Namun yang pasti ini tenaga kerja baru masuk hutan dulu dan tebang pohon, lalu dapat gaji dari para cukong atau investor. Dalam Undang-Undang Omnibus Law ini ada 143 kata investasi. Wallahualam Bishawab. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Alon Raih Doktor Hukum Dengan Cum Laude

by Kisman Latumakulita Semarang FNN – Selasa (20/10). Chairman Bening Institute Teuku Syahrul Ansari SH. MH. yang biasa disapa dengan “Alon” resmi menyandang gelar doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Dalam ujian virtual yang dipimpin Dekan Fakultas Hukum Undip Prof. Dr. Retno Saraswati, SH. M.Hum di Semarang pada Senin, 19 Oktober 2020, Alon yang juga Managing Partner pada TSA Advocates tersebut ditetapkan lulus dengan predikat “cum laude”. Promovendus Tengku Syahrul Ansari dinilai berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Membangun Sistem Business Judgement Rule pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero dalam Hukum Ekonomi Indonesia". Disamping Dekan Fakultas Hukum Undip, tampil sebagai penguji (eksternal) adalah Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH. guru besar Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU). Penguji lainnya adalah Prof. Dr. F.X. Joko Priyono SH. M.Hum, Prof. Dr. Budi Santoso SH. MS., Dr. Darminto, SH., LLM., Dr. Yunanto, SH. M.Hum., dan Dr. Paramita Prananingratyas, SH., LLM. "Guna membangun bangsa lebih maju ke depan, Indonesia perlu memiliki BUMN yang mampu berkiprah di tingkat dunia. Untuk itu, bukan cuma di tataran jargon, namun BUMN sebagai korporasi perlu ditopang sebuah sistem yang disebut “Business Judgement Rule". Menurutnya, “Business Judgement Rule (BJR)" menentukan maju dan berkembangnya perusahaan BUMN. Dimulai dari holding atau perusahaan induk (parent company), anak perusahaan (subsidiary company), hingga "cucu" korporasi. Dengan “Business Judgement Rule", BUMN dapat memiliki daya saing tinggi, dan bakal maksimal menghadirkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Dalam disertasi setebal 667 halaman, Syahrul mengeksplorasi penelitian seputar pengelolaan keuangan BUMN sebelum dan sesudah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perlunya penerapan prinsip “Business Judgement Rule (BJR)". Selanjutnya, karena penerapan “Business Judgement Rule" berkaitan dengan berbagai peundangan-undangan, maka promovendus menyoroti harmonisasi peraturan yang ada. Syahrul berpendapat hukum ekonomi Indonesia sepatutnya membuka ruang penerapan Business Judgement Rule dalam keseharian operasional perusahaan BUMN. Hasil penelitian menunjukkan, ulas praktisi hukum itu, perlu dibangun sistem hukum korporasi yang menegaskan berlakunya prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang melandasi prinsip “Business Judgement Rule. Ditegaskannya bahwa hal itu dimaksudkan untuk menghindari banyaknya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam pengurusan BUMN. Termasuk di dalamnya pemegang saham negara, yakni Menteri Keuangan yang dikuasakan kepada Menteri Negara BUMN. "Sistem hukum perlu juga membentuk 'pengadil baru' pada sistem peradilan, dengan memberi peran hakim adhoc. Ini masukan atau rekomendasi penyempurnaan UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Keuangan Negara, dan berbagai UU lainnya yang berhubungan dengan kinerja organ di BUMN," tandas Syahrul. Secara umum pengguji menggali peluang prinsip “Business Judgement Rule” benar-benar diterapkan dalam sistem hukum ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Karenanya, menurut Alon, Prof Bismar dan Prof Retno, serta penguji lainnya mendorong Alon terus mengembangkan kajiannya seputar “Business Judgement Rule”. Besar harapan Undip khususnya dan perguruan tinggi umumnya, rumusan ilmiah seputar “Business Judgement Rule”semakin komprehensif pada masa mendatang, sehingga menjadi sumbangan berarti bagi kemajuan BUMN di Indonesia. Atas dorongan Prof Bismar, Prof Retno, dan penguji lainnya, Alon menyatakan bersemangat untuk terus mengkaji persoalan hukum ekonomi yang mempengaruhi BUMN kita. Khususnya sekarang seputar tantangan penerapan prinsip Business Judgement Rule di BUMN Indonesia.. Usai resmi mengelar doktor, tampak berderet puluhan karangan bunga ucapan selamat di halaman rumah Chairman Bening Institute Alon di Jati Bening Residence, Kota Bekasi. Bening Institute adalah lembaga kajian hukum, ekonomi, dan politik yang telah menerbitkan sejumlah buku atas berbagai kegiatannya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Hukum Menjadi Alatnya Orang Sombong

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Selasa (20/10). Hukum seharusnya selalu terlihat sebagai sesuatu yang sangat mengagumkan pada setiap waktu disepanjang hidup yang membentang. Seharusnya begitu, karena sedari asalnya hukum menyandang sifat sebagai sarana untuk orang-orang yang berakal. Mereka yang berahlak mulia, dan memulikan setiap orang. Hukum juga menjadi sarana yang membuat lingkungan kehidupan menjadi tempat untuk orang-orang hidup secara mulia. Sehingga dalam postur sehebat itu, hukum selalu merupakan pantulan derajat kemuliaan ahlak dan kesadaran paripurna tentang pengadilan abadi yang menanti kelak disuatu saat nanti. Hukum, sekali lagi, tidak pernah tidak menjadi pantulan dari ahlak dan hasrat yang berakar padanya. Bangga Untuk Menyakiti Hukum itu aturan dan aturan itu hukum. Law as a rules, and rules as a law. Begitu ilmuan hukum memberi atribut pada hukum. Tidak salah, tetapi tidak cukup. Karena ia tidak menjelaskan kandungan epistemologisnya. Orang-orang sombong punya perspektif tersendiri dalam memandang hukum. Dalam semua sudutnya, perspektif mereka berbeda secara mendasar dengan perspektif orang-orang arif. Sombong dan arif itulah titik tolak isi substansi dan pelaksanaan hukum. Sombong yang tidak pernah tidak membakar. Sombong yang tidak pernah tidak menyesatkan dan membutakan itu, suka atau tidak, yang mengarahkan isi hukum. Itu juga yang menjadi pengarah pelaksanaan hukum. Orang-orang barat tidak bicara soal ini setiap kali mereka bicara pembentukan dan penegakan hukum. Tidak. Yang mereka bicarakan, paling jauh, persis seperti dilakukan oleh Joseph Raz, yang dalam dunia ilmu hukum dikenal sebagai salah satu positivis kawakan ini. Bukan tak berusaha membuat substansi hukum terlihat hebat. Tetapi usaha itu hanya sampai pada mengenal hukum-hukum non UU, yang melembaga dalam masyarakat. Ini Joseph Raz sebut primary rules. Soal ini dihasratkan untuk dikenal oleh pembetuk, terutama pelaksana hukum. Masalahnya, dalam kenyataan masyarakat, pada level konsep, bukanlah sesuatu yang bersifat tunggal. Keharusan mengenal dan mengambil apa yang diyakini benar hidup dalam masyarakat, juga diserukan sejumlah sosiolog. Roscou Pound, yang tersohor dengan law as tool for social enggenering, yang ditipikalisasi sebagai fungsi hukum pada masyarakat industri juga tak menyelesaikan soal. Mengapa? Bukan hanya kompleksitas masyarakat itu sendiri, yang mengakibatkan tidak mudah menemukan hal-hal yang disepakati secara sukarela menjadi nilai bersama, tetapi lebih dari itu. Masyarakat industry, ditandai salah satunya dengan masyarakat individualis. Masyarakat yang sangat bertumpu rasionalitas dan mengagungkan kepentingan pribadi dan kelompok. Boleh saja mengidentifikasi Habermas dan Adorno, ilmuan-ilmuan sosial dari Frankfurt School itu sebagai mengada-ada. Tetapi terlalu sulit menyangkal konstatasi kogklusif mereka tentang masyarakat industry. Dalam pandangan mereka masyarakat industri tidak pernah lain dari masyarakat kelas. Hukum, dalam identifikasi mereka adalah refleksi, pantulan kemauan dari masyarakat kelas atas. Umumnya kelas kaum kapitalis. Menyerahkan isi hukum pada masyarakat aristokrat, nama lain dari masyarakat kapitalis adalah menyerahkan arah pembentukan dan pelaksanaan hukum pada mereka. Juga menyerahkan keadilan, bahkan seluruh aspek kehidupan dikendalikan oleh mereka. Orang-orang aristokrat jauh sebelum revolusi industri ini teridentifikasi sejarah sebagai orang-orang yang sombong. Orang-orang yang hanya menggap dirinya sebagai pemilik kebenaran berdasarkan hukum. Para aristokrat, kapitalis klasik ini, teridentifikasi oleh sejarah sebagai masalah terbesar dalam setiap jengkal lingkungan pemerintahan. Orang-orang yang hanya 1% menurut identifikasi Noam Chomsky, inilah masalah terbesar dan sesungguhnya terjadi di Amerika. Entah karena hatinya telah tidak lagi bisa hidup, atau hal lain, orang-orang sombong tidak pernah tahu kalau mereka itu sombong. Sombong telah mengakibatkan mereka menganggap biasa saja terhadap semua yang dilakukannya. Menjilat, memuji, memuja dan menjadi benalu kekuasaan, selamanya ada dalam kamus nafas mereka. Semuanya diterima sebagai hal biasa, bahkan suatu kebenaran . Fir’aun berada di daftar teratas manusia jenis ini. Nero dan Gaius Verres di Romawi Kuno, sebelum naiknya Cicero menjadi konsul adalah jenis yang hampir setara menjijikannya dengan Fir’aun. Entah di level berapa kekejiannya mereka dibandingkan dengan Fir’aun. Hukum untuk mereka tidak lebih dari alat untuk melambungkan kesombongan mereka. Menyakiti dan mempermalukan, termasuk merendahkan manusia tersifati pada hukum yang mereka anut. Tidak lebih. Hukum tertingginya adalah hasrat yang dibimbing oleh sombong, tamak, rakus, picik dan licik. Hasrat penguasa memproteksi kekuasaannya, itulah yang menjadi law of the land, konstitusi. Membantai lawan-lawannya, dianggap biasa oleh mereka. Yang dilakukan Fir’aun, Nero dan Gaius adalah tipikalnya. Sangat menjijikan. Manusia jenis itu bukan tak mengerti keadilan. Tetapi keadilan yang mereka tumpukan dalam gudang kekuasaannya adalah apa yang mereka sendiri anggap adil. Manusia jenis ini juga memonopoli semua yang namanya kebenaran. Sekali mereka mengatakan sesuatu, sekonyol apapun itu, harus dianggap dan diterima sebagai hal yang benar. Hanya mereka yang tahu kebenaran dan keadilan. Diluar itu tidak. Keadilan yang didesakan dari luar mereka, apalagi disuarakan oleh orang-orang yang berbeda garis politiknya, disambut dan dinilai sebagai cara orang-orang bodoh. Yang birahi politik sedang naik, mengacaukan, menantang, sekan-akan hendak meruntuhkan kekuasaan mereka. Persis seperti bos-bosnya. Begitu pula dengan para hulubalang-hulubalangnya. Para hulubalangnya tidak memiliki waktu untuk memeriksa. Misalnya, panduan-panduan pada habes corpus, prinsip dan aturan tentang prosedur menangani kasus dan memperlakukan setiap orang. Meraka tak punya waktu untuk memeriksanya. Yang tertanam di kepala mereka adalah tangkap, tahan, menyakiti dan mempermalukan. Penangkapan Sesat Buya Hamka Petition of Right yang pertama kali diundangkan di Inggris tahun 1628, dan Habes Corpus diundangkan di Inggris tahun 1679, yang di Amerika bisa dikesampingkan dalam keadaan perang sekalipun, tak mampu mereka periksa. Panduan-panduan ini tidak mereka dianggap. Huruf-huruf hukum diganti dengan huruf-huruf hasrat untuk berkuasa, dan penguasa yang tidak mau diganggu oleh kaum oposisi. Pembaca FNN yang budiman. Kenyataan itulah yang terjadi dan dialami oleh Buya Hamka. Ulama yang terus dikenang dengan sikapnya yang konsistens pada kebenaran dan kemanusiaan. Kebenaran yang digariskan dalam Islam, agama yang dipeluk Buya Hamka. Buya Hamka ditangkap oleh penguasa Soekarno tanggal 27 Januari 1964. Namun baru mulai diperiksa penyidik secara intensif pada tanggal 1 Februari 1964. Surat perintah penahanan sementara Buya Hamka itu diparaf langsung oleh Presiden Soekarno. Kasusnya pun dikarang-karang, lalu dituduhkan kepadanya, dengan cara khas menggiring Buya Hamka mengakuinya. Tekniknya sangat khas. Ada penyidik yang tidak mengenal kelembutan. Tahunya cuma kasar, menyudutkan dan merendahkan. Ada waktu untuk penyidik yang kerjanya menyudutkan, dan ada waktu untuk penyidik lain bertindak sebagai perayu dan penolong kelas tinggi. Bila semakin tak menemukan titik terang, itu justru membuat penyidik frustrasi dan meningkatkan menggunakan berbagai teknik standar. Tekanan dan rayuan datang silih berganti. Dalam kasus rekayasa yang dituduhkan kepada Buya Hamka, Inspektur Saedakso dan Inspektur Muljo Kosoemo termasuk dalam kategori kasar. Sementara Daud, masuk kategori pintar dan merayu. Soedakso cukup, bahkan menurut Buya tak putus-putusnya mencerca, mencaci maki dengan sindiran-sindiran tajam. Bahkan yang lebih menyakitkan, Soedakso mengatakan Buya Hamka ulama pembohong dan penghianat negara. “Jika anda tetap tidak mau mengakui perbuatan-perbuatan sebagaimana semua buktinya yang ada pada kami, maka kami akan menyiksa saudara Hamka dengan setrum”. Tidak itu saja, penyidik juga menggalang orang lain yang ikut ditahan, yang dikaitkan kasus rekayasa itu. Orang itu dipakai menggalang Buya Hamka agar mengakui tuduhan-tuduhan yang diajukan penyidik. Tahukah kemana semua cara itu berakhir? Memastikan kasus yang mereka rekayasa itu terbukti. Mohon maafkan mereka, Pak Hamka, “ujar Inspektur Siregar dengan hati-hati. “Semua polisi yang ada disini hanya menjalankan tugas. Mereka tidak bisa ambil keputusan apapun, selain menjalankan tugas sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan, Pak Hamka.” Disela oleh serangkaian percakapan, Inspektur Siregar kembali mengatakan kepada Buya Hama. Katanya “Hanya satu permintaan saya Pak Hamka. Mohon mohon maafkan semua sikap, tindakan dan perkataan anggota tim penyidik yang barangkali tidak berkenaan di hati Pak Hamka” (tanda petik dari saya) Sebab mereka, lanjut Inspektur Siregar, juga tidak tahu apa-apa, kecuali hanya sekadar menjalankan tugas sesuai yang diperintahkan oleh atasan mereka” (semua tanda petik dari saya). Inspektur Siregar juga mengatakan secara pribadi, saya juga maaf jika sekiranya ada perkataan dan sikap saya yang menyinggung perasaan Pak Hamka (Lihat Haidar Musyafa, BUYA HAMKA, Sebuah Novel Biografi, Penerbit Imania, Jakarta, 2018, hal 631-681). Hukum yang memalukan, yang menimpa Buya Hamka ini terjadi kala Indonesia masih memberlakukan UU Subversi. Juga terjadi ditengah PKI sedang berkibar kencang. Saat ini UU memalukan dan menjijikan ini telah dicabut. Indonesia pun telah bertransformasi menjadi negara demokratis. Dr. Sahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustaza Kingkin dan yang lainnya yang sedang ditahan penyidik, karena disangka melakukan tindak pidana, entah apa persisnya tindak pidana itu. Satu hal yang bisa dicatat adalah cara penangkapan mereka, khususnya Dr. Sahganda dan Jumhur Hidayat terlihat berbeda dengan penangkapan Buya Hamka. Buya Hamka, tulis Haidar Musyafa, mengatakan rupanya yang datang kerumahku siang itu empat orang polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (DEPAK). Setelah berucap salam dan saling jabat tangan, aku langsung mempersilahkan keempat polisi itu untuk duduk di kursi yang ada di serambi rumahku, tempat yang biasa aku gunakan menerima semua tamu. Tak lama setelah itu, salah seorang diantara polisi itu mengatakan jika kedatangan mereka kerumahku untuk menangkapku. Sejurus kemudian, polisi yang bertubuh tegap dan bertampang sangar tersebut menunjukan Surat Perintah Penahanan Sementara yang sudah diparaf langsung oleh Presiden Soekarno (Lihat Haidar Musyafa, Buya..hal 615). Sangat memalukan. Buya Hamka tak pernah disidang. Buya keluar dari penjara setelah pemerintahan Bung Karno berakhir secara riil, setelah peristiwa G. 30 S PKI. Lalu bagaimana dengan Dr. Sahganda, Jumhur, Anton Permana, Ustazah Kingkin dan lainnya? Sepintas materi hukum pada kasus ini punya potensi untuk membebaskan mereka. Tetapi terlalu dini untuk dianalisis. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Polemik UU Omnibus Law: Banyak Versi untuk Tutupi Sesuatu?!

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (14/10). Mana naskah final UU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang benar dan asli? Setelah beredar naskah setebal 1.035 halaman yang telah dikonfirmasi sebagai naskah final, kini beredar lagi naskah setebal 812 halaman. Bagaimana dengan naskah lainnya? Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indra Iskandar kembali membenarkan versi 812 halaman ini. Menurut Indra, perubahan ini terjadi karena perubahan format kertas dari ukuran A4 menjadi ukuran legal. “Iya delapan ratus dua belas halaman. Kan tadi pakai format A4, sekarang pakai format legal jadi 812 halaman,” kata Indra ketika dihubungi, Senin, 12 Oktober 2020, seperti dilansir dari Tempo.co, Senin (12 Oktober 2020 20:56 WIB). Indra mengatakan naskah itu belum dikirim ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun ia tidak merinci apakah naskah itu sudah siap dan rampung diteken para ketua kelompok fraksi (Kapoksi) Badan Legislasi serta pimpinan DPR. Indra juga tak merinci saat ditanya adanya kemungkinan perubahan substansi dari naskah teranyar ini. Dia mempersilakan hal itu ditanyakan kepada pemerintah. “Saya enggak bisa bicara substansi, saya administrasi saja,” kata Indra. Tempo pun memeriksa naskah UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Dalam naskah terbaru ini ada penambahan di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini yang mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Bab VIA ini terdiri dari enam pasal. Ada tiga pasal tambahan, yakni Pasal 156A, Pasal 156B, dan Pasal 159A. Kemudian ada penambahan dan perubahan ayat pada Pasal 157 dan 158. Pada Senin pagi tadi, Indra mengonfirmasi naskah setebal 1.035 halaman yang disebut akan dikirim ke Presiden Jokowi. Naskah itu pun memuat sejumlah perbedaan dari naskah setebal 905 halaman yang sebelumnya beredar pada Senin, 5 Oktober 2020. Sepekan sejak disahkan oleh DPR dan pemerintah pada Senin (5/10/2020), belum ada naskah final UI Cipta Kerja. Pada Kamis (8/10/2020), anggota Baleg DPR Firman Soebagyo berujar, masih ada beberapa penyempurnaan yang dilakukan pada RUU Cipta Kerja. “Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan,” kata dia. Dikutip dari Kompas.com, Senin (12/10/2020), beredar juga draf UU Cipta Kerja dengan versi terbaru. Kali ini, terdapat draf berjumlah 1035 halaman. Di halaman terakhir, terdapat kolom untuk tanda tangan pimpinan DPR Aziz Syamsuddin. Sebelumnya, Senin, 5 Oktober, beredar dokumen yang berjudul “5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna”. Dokumen tersebut berjumlah 905 halaman. Sementara itu, dalam situs DPR (dpr.go.id), draf RUU Cipta Kerja yang diunggah berjumlah 1.028 halaman, tetapi tidak memiliki tanggal yang jelas. Misteri naskah final ini menambah daftar kritikan publik terhadap UU Cipta Kerja yang sejak awal menuai kontroversi. Sampai detik ini mana draf yang benar belum juga terang betul. Meski Sekretaris Jenderal DPR melansir draf UU Cipta Kerja (versi 1.035 halaman) yang dimuat berbagai media dan disebut sebagai “yang dibahas terakhir” dan “dikirim ke Presiden”. Sebelumnya beredar versi 1.028 halaman yang dipajang di laman Kemenko Perekonomian tanggal 7 Mei 2020. Lalu versi 905 halaman yang beredar setelah Rapat Paripurna DPR 5 Oktober 2020 menyetujui. Ada juga versi 9 Oktober 2020 setebal 1.062 halaman. Jika pihak DPR dan pemerintah atau para pendukungnya berkata semua versi itu substansinya sama hanya ada perubahan format dan titik-koma sehingga jumlah halamannya berbeda, tulis Agustinus Edy Kristianto, tentu saja ini Anda layak curiga. Beda adalah beda. Sama adalah sama. Bahkan perubahan titik atau koma pun mempengaruhi arti atau makna. Jangan main-main dan menganggap remeh hal itu dalam suatu pembentukan regulasi yang akan mengikat kita semua. Lagipula kenyataannya setiap versi terjadi perubahan substansial. NU Circle yang memang memelototi sektor pendidikan menemukan dugaan ‘ketidakjujuran’ pernyataan Sekjen DPR bahwa versi 1.035 halaman (12 Oktober 2020) dan versi 905 halaman (5 Oktober 2020) substansinya sama hanya perubahan pada titik-koma. Nyatanya, ia mengubah substansi. Draf versi 1.035 halaman terdapat penjelasan Pasal 65 Ayat (1) yang justru persis sama dengan versi 1.052 halaman (9 Oktober 2020). ‘Triknya’ adalah dalam versi 1.052 dan 1.035 halaman terdapat penjelasan Pasal 65 Ayat (1) yang isinya tentang perizinan usaha pendidikan yang hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), persis dengan pernyataan Presiden saat klarifikasi hoaks (9 Oktober 2020). Tempo melaporkan sebuah peristiwa yang terjadi pada Rabu, 7 Oktober 2020 (2 hari setelah Rapat Paripurna) di ruang Badan Legislasi DPR, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pasal 253 tentang Revisi UU 1/2009 tentang Penerbangan diubah. Petugas menghapus kata “heliport” di belakang frasa “tempat pendaratan dan lepas landas helikopter”. Detikcom (Senin, 12 Oktober 2020) melaporkan perubahan kata “paling banyak” dalam Pasal 156 Ayat (2) yang mengatur tentang pesangon, yang berbeda antara versi 905 halaman dan 1.035 halaman. Ini indikasi dugaan yang sangat kuat bahwa antara rentang waktu Rapat Paripurna 5 Oktober 2020 sampai hari ini, naskah itu mengalami perubahan Bukan hanya perubahan titik-koma melainkan Perubahan Substansi yang mempengaruhi Arti. Tindakan itu memiliki konsekuensi hukum dan politik yang sangat serius. Para pelakunya bisa dipidana. Kedudukan hukum dan kredibilitas produk hukum ini pun berpotensi cacat dan patut dibatalkan seluruhnya baik melalui mekanisme uji formil di MK, Executive Review, maupun Legislative Review. Dalam status sebelumnya, Edy Kristianto telah mengatakan tentang proses pembentukan UU Cipta Kerja yang diduga bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik terutama asas keterbukaan. Permasalahan draf RUU yang cenderung ditutup-tutupi juga telah diungkapkan Prof. Satya Arinanto pada 29 April 2020 ketika RDPU dengan DPR. UU ini juga cenderung berpihak kepada pengusaha, dibuktikan dengan pembentukan Satgas yang didominasi pengusaha. Bahkan seorang anggota Satgas melapor ke Ombudsman RI mengenai adanya keharusan menandatangani pernyataan tidak mengungkapkan draf RUU kepada pihak luar. UU Cipta Kerja sangat-sangat strategis dan penting. Mengatur banyak hal mulai dari Migas, Minerba, Ketenagalistrikan, Kelautan, Pers, Penyiaran, Pajak, Kepailitan, dan banyak lagi. Jadi, “Jangan dianggap sepele sekadar titik koma,” tegasnya. Yang jelas, jika ada yang berkata UU Cipta Kerja sangat urgent untuk menarik investasi demi lapangan kerja bagi 22 juta pengangguran, jangan mudah percaya. Skeptislah, karena itu bisa jadi pemanis belaka. Edy Kristianto juga menyoroti pembentukan lembaga baru melalui UU ini yakni Lembaga Pengelolaan Investasi-LPI (Pasal 165 draf versi 1.035 halaman). “Ini norma baru usulan pemerintah yang bisa ditelusuri dari Naskah Akademik,” tulisnya. Lembaga ini akan mendapatkan modal awal paling sedikit Rp15 triliun berupa Dana Tunai, barang milik negara, piutang negara pada BUMN/PT, dan saham milik negara pada BUMN. Dalam hal modal berkurang secara signifikan, pemerintah bisa menambah kembali modal. Lembaga ini kuat kedudukannya dan hanya dapat dibubarkan dengan undang-undang. Mimpinya ingin meniru superholding BUMN seperti Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia), seperti yang dulu digaungkan dalam kampanye Pilpres. Tapi ingat, ini wilayah panas yang sinyal kuat potensi korupsinya tinggi. Investasi bisa untung, bisa rugi dan bagaimana status keuangan negara di situ, bagaimana pula pertanggungjawaban pidananya. Belum lagi kredibilitas pengelolanya. “Bagaimana jika dimanfaatkan selayaknya bisnis manajemen aset swasta, yang sebagian besar aktornya saya amati dominan berperan dalam pembentukan UU ini,” ujarnya. Yang jelas, jika ada yang berkata UU Cipta Kerja sangat urgent untuk menarik investasi demi lapangan kerja bagi 22 juta pengangguran, jangan mudah percaya. Skeptislah, karena itu bisa jadi pemanis belaka. Edy Kristianto mengingatkan, UU Cipta Kerja bisa juga kita curigai menjadi alat segelintir orang untuk menjadi broker investasi asing dengan menjual kekayaan negara ini. “Lapangan kerja bagi pengangguran belum terwujud, tapi pundi-pundi harta orang-orang itu sudah gemuk terlebih dulu,” katanya. Melansir Koran Tempo, Selasa (13/10/2020), munculnya sejumlah versi UU Cipta Kerja dengan sejumlah perubahan pada subtansi pasal setelah disahkan DPR dalam paripurna pada 5 Oktober 2020 menjadi tanda cacat formal. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan perubahan subtansi setelah pengesahan menunjukkan rendahnya legitimasi dalam perumusan Undang-undang tersebut. “Dari sisi legal, itu sudah melanggar,” katanya seperti dikutip Koran Tempo. Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011, DPR memiliki waktu 7 hari untuk merapikan draf UU yang disahkan kepada Presiden Jokowi. Tapi, menurut UU, yang boleh diubah hanya kesalahan ketik dan penyesuaian format tulisan. Perubahan subtansi tidak diperkenankan karena bakal mengubah materi Undang-undang. “Mengubah satu ayat pun tidak boleh. Itu sama dengan pencurian pasal,” ujarnya. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id