HUKUM

Kematian 6 Orang Anggota FPI, Polisi Harus Bertanggungjawab

by Sugito Atmo Pawiro Jakarta FNN - Senin (07/12). Kepolisian RI jelas harus memikul tanggungjwab hukum terhadap peristiwa penembakan hingga menewaskan 6 (enam) orang anggota Laskar FPI yang mengawal Imam Besar FPI Habib Riziq Shihab (HRS) dalam perjalanannya bersama keluarga, di KM 50 Tol Cikampek, dinihari (Senin, 7 Desember 2020). Menyusul peristiwa kelabu ini, sebuah rekayasa cerita tiba-tiba dipertontonkan kepada publik oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, bahwa seolah-olah polisi terpaksa membela diri dengan menembak keenam pengawal HRS yang menyerang lebih dahulu dengan tembakan senjata api. Alibi yang dibangun polisi itu menjadi sebuah ilusi. Pertama, untuk apa aparat kepolisian berada dalam iringan rombongan HRS dan keluarga yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat di Karawang dan sekitarnya untuk menjalankan acara dakwah pada Senin Subuh itu. Bukankah tidak ada urgensi dan kepentingan aparat kepolisian untuk berada di antara iringan kendaraan HRS dan keluarga yang akan menjalankan ibadah Sholat Subuh berjamaah, dini hari tadi?. Jika begitu berarti tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam peristiwa ini. Jelaslah betul ada aktivitas tertentu dalam bentuk semacam operasi khusus yang senyap dari aparat kepolisian untuk menguntit HRS, keluarga dan rombongannya. Sebuah agenda kegiatan dari aparatur negara yang mengingkari kebebasan asasi warga negara. Penembakan terhadap keenam anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga adalah puncak kekonyolan dalam operasi yang tidak memiliki manfaatnya bagi negara ini. Kedua, cara-cara yang dilakukan kepolisian ini bersifat terencana, sistematis dan berkesinambungan untuk mengikuti setiap gerak perjalanan dan aktivitas HRS sejak kepulangannya ke Indonesia awal bulan lalu. Tampaknya aparat kepolisian mendapatkan perintah khusus untuk mencari cela agar menimbulkan sebuah peristiwa yang dapat membuat surut kiprah HRS. Peristiwa tewasnya keenam pengawal HRS sebagai puncak dari kegiatan operasi kepolisian yang melampaui batas dan kepatutan hukum. Ketiga, adalah mustahil keenam pengawal HRS melakukan penyerangan lebih dahulu terhadap petugas kepolisian, oleh karena fokus kerja keenam anggota Laskar FPI adalah pengawalan kepada HRS dan keluarga, dan bukannya untuk menyerang orang lain. Selain itu tidak ada seorang pun anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga menggunakan senjata api. Perlu ditegaskan bahwa rombongan HRS dalam perjalanan di KM 50 Tol Cikampek tersebut tidak dapat melakukan identifikasi terhadap aparat kepolisian di antara rombongan di jalan tol Cikampek itu. Dalam dugaan semula, para penembak yang mencegat pengawal HRS adalah orang-orang yang tidak dikenal (OTK). Justru identitas penembak diketahui kemudian sebagai aparat kepolisian setelah mendengar klarifikasi dari Kapolda Metro Jaya. Pelanggaran HAM Berat Penguntitan dan penghadangan terhadap rombongan HRS dan keluarga yang hendak menjalankan aktivitas dakwah dan berbuntut penembakan hingga menewaskan para pengawal yang juga anggota Laskar FPI, untuk sementara, dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) oleh aparatur negara terhadap warga negara biasa. Suatu tindakan yang tidak patut dan tidak diperlukan dalam upaya pengamanan dan penciptaan ketertiban di masyarakat. Justru kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan aparat kepolisian ini merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terklasifikasi berat. Pihak kepolisian sejauh ini masih membangun sebuah alibi bahwa anggota FPI yang menyerang aparat kepolisian terlebih dahulu. Pernyataan luas ini menimbulkan kesan bahwa kepolisian yang menembak dan menewaskan keenam anak manusia itu hanyalah cara bela diri oleh aparat negara. Demikian dianggap tidak memiliki implikasi hukum apa pun. Seolah-olah hal keji tersebut dapat dibenarkan demi tegaknya hukum. Padahal pertanyaannya adalah: hukum manakah yang ingin ditegakkan ketika aparat kepolisian berpakaian preman untuk terus menguntit dan menghadang rombongan warga negara yang hendak menjalankan ritual agama dalam perjalanan di jalan bebas hambatan? Untuk membuka kebenaran dalam peristiwa kejahatan melawan kemanusiaan oleh aparat negara terhadap warga negara ini, maka urgensinya saat ini adalah membentuk semacam Tim Pencari Fakta (TPF) guna menemukan fakta sejelas-jelasnya (fact finding) ihwal siapa yang seharusnya bertanggungjawab di muka hukum atas peristiwa kelabu ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus membentuk TPF ini dari berbagai unsur anggota yang kredibel dan bebas dari anasir politik. Apabila nanti ditemukan fakta bahwa prosedur penembakan terhadap warga negara biasa yang mengawal HRS dalam kegiatan keagamaan itu adalah tidak patut dan menyalahi norma hukum, maka diperlukan Langkah penegakan hukum berdasarkan prinsip equality before the law. Siapa pun memiliki kesamaan di muka hukum, dan jika terang-benderang bersalah, maka harus dimintakan pertanggungjawabannya di muka hukum. Siapa pun berhak memperdebatkan kiprah HRS dan FPI dalam pro dan kontra. Akan tetapi tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan kesewenang-wenangan negara untuk membunuh warga negara mana pun. Untuk itu marilah kita ungkap kebenaran.*** Penulis adalah Ketua Bantuan Hukum FPI.

Buntut Penembakan Laskar FPI, Presiden Jokowi Didesak Copot Kapolri dan Kabaintelkam Polri

by Neta S. Pane Jakarta FNN - Senin (07/12). Presiden Jokowi harus segera mencopot Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kabaintelkam Polri Komjen Rycko Amelza, sehubungan terjadinya kasus penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Tol Cikampek, Jawa Barat pada Senin 7 Des 2020 subuh. Selain itu, Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar segera dibentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk mengungkapkan, apa yg terjadi sebenarnya. Sebab antara versi Polri dan versi FPI sangat jauh berbeda penjelasannya. Polri mengatakan, anggotanya ditembak Laskar Khusus FPI yang mengawal Rizieq. Apakah benar bahwa Laskar PFI itu membawa senjata dan menembak polisi? Agar kasus ini terang benderang anggota Polri yg terlibat perlu diamankan terlebihdahulu untuk dilakukan pemeriksaan. Sebab menurut Siaran Pers FPI, rombongan Rizieq lah yang lebih dulu dihadangan sekelompok orang yang berpakaian sipil, sehingga mereka menduga akan dirampok orang tak dikenal di jalan tol. Dalam kasus Cikampek ini muncul sejumlah pertanyaan. Pertama, jika benar FPI mempunyai laskar khusus yang bersenjata, kenapa Baintelkam tidak tahu dan tidak melakukan deteksi dan antisipasi dini serta tidak melakukan operasi persuasif untuk "melumpuhkannya". Kedua, apakah penghadangan terhadap rombongan Rizieq di KM 50 Tol Cikampek arah Karawang Timur itu sudah sesuai SOP, mengingat polisi penghadang mengenakan mobil dan pakaian preman. Ketiga, jika Polri menyebutkan bahwa anggotanya ditembak lebih dulu oleh Laskar Khusus FPI, berapa jumlah tembakan itu dan adakah bukti bukti, misalnya ada mobil polisi yang terkena tembakan atau proyektil peluru yg tertinggal. Keempat, dimana TKP tewas tertembaknya keenam anggota Laskar Khusus FPI itu karena menurut rilis FPI keenam anggotanya itu diculik bersama mobilnya di jalan tol. Kelima, bahwa keenam anggota FPI yang tewas ditembak itu bukanlah anggota teroris, sehingga polisi wajib melumpuhkannya terlebih dahulu karena polisi lebih terlatih dan polisi bukan algojo tapi pelindung masyarakat. Keenam, jalan tol adalah jalan bebas hambatan sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol adalah sebuah pelanggaran hukum, kecuali sipengandara nyata nyata sudah melakukan tindak pidana. Ketujuh, penghadangan yang dilakukan oleh mobil sipil dan orang orang berpakaian preman, patut diduga sebagai pelaku kejahatan di jalan tol, mengingat banyak kasus perampokan yang terjadi di jalanan yang dilakukan orang tak dikenal. Jika polisi melakukan penghadangan seperti ini sama artinya polisi tsb tidak promoter. Dengan tewas tertembaknya keenam anggota FPI itu, yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Kapolri Idham Azis. Tidak promoternya Idham Azis dalam mengantisipasi kasus Rizieq sudah terlihat sejak kedatangan pimpinan FPI itu di Bandara Soetta, yang tidak diantisipasi dengan profesional tapi terbiarkan hingga menimbulkan masalah. Penulis adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch

Penjelasan Polisi Soal Penembakan Laskar FPI Tidak Boleh Menjadi “Putusan Pengadilan”

by Asyari Usman Medan FNN - (Senin 07/12). Penjelasan pihak Polri, dalam hal ini Polda Metro Jaya (PMJ), mengenai insiden penembakan mati enam pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) dipenuhi banyak kejanggalan. Penjelasan itu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran dan pembenaran atas penembakan yang menewaskan keenam pengawal tsb. Klarifikasi sepihak Polisi dalam insiden yang menyebabkan begitu banyak nyawa melayang, tidak boleh dijadikan “putusan pengadilan”. Seperti disarankan sejumlah pihak, ada baiknya segera dilakukan misi pencarian fakta independen yang melibatkan Komnas HAM, Kontras, YLBHI, dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jika disimak dengan cermat, banyak yang aneh di dalam rangkaian penjelasan Kepolisian yang disebarluaskan oleh media online. Mari kita telisik hal-hal yang janggal itu dalam klarifikasi yang disampaikan oleh Kapolda Metro Irjenpol Fadil Imran. PARAGRAF PERTAMA"Sekitar pukul 00.30 WIB di jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 telah terjadi penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS yang dijadwalkan berlangsung hari ini jam 10.00 WIB," jelas Fadil yang didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/12/2020). Kejanggalan 1: Untuk apa Polisi melakukan penyelidikan di jalan tol tentang rencana pemeriksaan HRS. Kalau pun ada informasi intelijen mengenai massa pendukung HRS akan dikerahkan ke Polda, kenapa rombogan HRS yang sedang berjalan tengah malam itu yang diselidiki. Bukankah polisi seharusnya memburu pengorganisasian massa yang bakal datang ke Mapolda Metro? Kejanggalan 2: Ketika menyampaikan klarifikasi, untuk apa Kapolda Metro harus didampingi oleh Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman? Apa urgensinya? Bukankah insiden itu 100% urusan kepolisian? Polisi bukan sedang mengejar teroris atau anggota separatis. Satu-satunya jawaban untuk kejanggalan ini adalah bahwa Kapolda Fadil Imran merasa perlu “ditemani” oleh seseorang yang dia anggap berposisi kuat dan sekaligus pernah berselisih dengan HRS. Kehadiran Pangdam Jaya sangat politis sifatnya. PARAGRAF KETIGA“Terkait hal tersebut, kami kemudian melakukan penyelidikan kebenaran informasi tersebut. Dan ketika anggota PMJ mengikuti kendaraan yang diduga adalah pengikut MRS, kendaraan petugas dipepet, lalu kemudian diserang dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam sebagaimana yang rekan-rekan lihat di depan ini.” Kejanggalan: Laskar FPI dikatakan punya senjata api. Ini tentu menjadi tanda tanya besar. Hampir tidak mungkin mereka memiliki senjata api secara legal. Kalau begitu, FPI memiliki senjata api secara legal? Malah semakin runyam. Masuk akalkah Polisi tak mengetahui senjata ilegal di tangan FPI? Mungkinkah Intelijen kepolisian kecolongan? Tidak bisa mendeteksi senjata ilegal di kalangan FPI? PARAGRAF KEDELAPAN“Selanjutnya kami, saya dan Pangdam Jaya, mengimbau kepada saudara MRS dan pengikutnya untuk tidak menghalang-halangi proses penyidikan. Karena tindakan tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidana, dan apabila tindakan menghalang-halangi petugas membahayakan keselamatan jiwa petugas, kami, saya, bersama Pangdam Jaya tidak akan ragu untuk melakukan tindakan yang tegas.” Kejanggalan: Kapolda Irjen Fadil Imran kembali “membawa” Pangdam Jaya. Lagi-lagi untuk tujuan apa? Apakah sedang terjadi kerusuhan skala besar sehingga Polisi harus meminta bantuan TNI? Itulah antara lain berbagai kejanggalan di dalam klarifikasi Kapolda Metro. Sementara itu, pihak FPI mengatakan bahwa mereka dihadang dan diserang di jalan tol Cikampek KM-50 oleh orang tak dikenal (OTK) yang ternyata kemudian adalah aparat kepolisian seperti penjelasan Kapolda. Menurut FPI, jangankan membawa senjata api, pentungan saja pun tidak ada mereka bawa. Lembaga pemantau kepolisian, Indonesia Police Watch (IPW), juga meminta agar dilakukan penyelidikan independen untuk menemukan fakta-fakta dalam insiden penambakan mati enam lascar FPI itu. IPW juga menyebutkan banyak kejanggalan dalam peristiwa ini. IPW meminta Presiden Jokowi agar mencopot Kapolri Idham Aziz dan Kabaintelkam Komjen Rycko Amelza. IPW pun ingin mengetahui apakah benar anggota FPI membawa senjata api di dalam insiden ini sebagaimana dijelaskan Kapolda Metro. Ketua Presidium IPW Neta S Pane mempersoalkan penghadang kepolisian yang mengunakan pakaian preman dan mobil tanpa atribut Polri. Ada tujuh aspek yang dipertanyakan oleh Pane. Termasuk penghadangan beratribut sipil yang dilakukan oleh petugas kepolisian di jalan tol. Dia mengatakan, siapa yang melakukan penghadangan dengan tampilan sipil do jalan tol berarti melakukan pelanggaran hukum. Mengingat penembakan keenam laskar FPI itu berpotensi menjadi pelangaran HAM berat, publik menuntut agar Komnas HAM secepatnya turun tangan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Hukum Mati Mensos, Logika Hukum Firli dan Mahfud MD

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/12). Anda yang berharap Mensos Juliari P Batubara dihukum mati, bersiap-siaplah kecewa. Jangan lupa Anda masih hidup di Indonesia. Presidennya juga masih Jokowi. Partai yang berkuasa juga masih PDIP. Come on. Wake Up! Cobalah lebih menjejak bumi. Harapan yang terlalu melambung tinggi, bisa membuat kita kecewa. Sedih dan depresi. Kalau sudah begitu, imunitas tubuh bakal menurun. Rentan terkena Covid-19. Tambah berat lah beban hidup Anda! Silakan cermati kembali apa yang dikatakan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dia hanya menyatakan, KPK tengah mendalami penerapan pasal hukuman mati. KPK juga tengah mendalami apakah ada aliran dana ke PDIP. Tolong dicatat! Hanya mendalami ya. Jangan langsung berkesimpulan bahwa KPK akan menerapkan hukuman mati. Jangan pula berkesimpulan PDIP akan dibubarkan karena menerima aliran dana korupsi. Itu namanya kesimpulan yang terlampau jauh. Jumping to conclusions. Nggege mongso, kata orang Jawa. Hiduplah dalam kenyataan. KPK hanya menerapkan pasal 12 dan 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana sudah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001. Dalam pasal 12 disebutkan, seorang penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, ancaman hukumannya dipidana seumur hidup, paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun. Sementara dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Bagaimana dengan pasal 11? Nah ini lebih asyik lagi. Ancaman hukumannya paling singkat 1 tahun. Paling lama 5 tahun. Dendanya paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Hukuman mati diatur dalam pasal 2. Tapi ada syaratnya. Dalam ayat 1 dinyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 Milyar. Ayat 2, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam keadaan tertentu ini bersifat interpretatif. Pemerintah menafsirkan bahwa keadaan tertentu itu adalah bencana alam. Sementara Covid-19 bencana non alam. Benar bahwa Firli tidak secara tegas menyebut Covid-19 bencana non alam. Tapi berbagai pernyataannya terkesan ambigu. Ketika berbicara di Komisi 3 DPR RI Firli menyatakan, pelaku korupsi dana Covid-19 bisa dihukum mati. Begitu juga ketika berbicara dalam wawancara di sejumlah media. Sekarang dia mencoba mencari jalan aman. Mengambangkannya dengan kata “tengah mendalami.” Soal dalam atau tidak dalamnya, lain lagi urusannya. Yang penting tekanan publik bisa diredam. Firli saat ini tengah menikmati “kesuksesan” KPK menangkap dua orang menteri. Fakta itu setidaknya bisa meredam sikap skeptis publik terhadap KPK, di bawah kepemimpinannya. Firli sekarang mengambil alih peran. Dia langsung tampil dalam setiap jumpa pers mengenai OTT Mensos. Sebelumnya ketika OTT Menteri Kelautan cukup diserahkan ke wakilnya. Dia tengah menikmati sorotan kamera. Sambil berhitung-hitung jangan sampai menggigit tulang yang terlalu keras. Bagi Firli —bukan bagi penyidik ya— beberapa OTT ini semacam lucky blow, pukulan keberuntungan dalam tinju. Dia mencoba memanfaatkan second wind, semangat baru setelah sebelumnya limbung terkena hook keras berbagai kasus pribadinya. Syukur kalau dia bisa membuat lompatan kodok karirnya karena "sukses" memimpin KPK. Mahfud dukung Firli Bagaimana dengan Menko Polhukam Mahfud MD? Menurutnya, syarat yang dimaksud dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor ialah negara dalam keadaan bahaya. Saat ini tak ada negara yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Covid-19, kata Mahfud MD, tidak termasuk dalam bencana alam. Walaupun begitu dia tidak membantah dampak Covid-19 ini lebih besar daripada bencana alam nasional. Mahfud menyatakan Indonesia juga tidak sedang mengalami krisis ekonomi, melainkan resesi. "Yang dinyatakan resesi itu tidak sama dengan krisis ekonomi. Resesi itu adalah manakala pertumbuhan ekonomi kita minus dua kuartal berturu-turut, itu resesi namanya," ujarnya. Berdasarkan penjelasan itu, Mahfud menilai Ketua KPK Firli Bahuri saat ini sulit menemukan kaitan antara syarat-syarat dalam UU Tipikor dengan kasus yang menjerat Juliari Batubara. Penjelasan Mahfud MD harus dilihat dalam posisinya sebagai Menko Polhukam. Bukan pakar hukum. Itu adalah sikap resmi dari pemerintahan Jokowi. Pernyataan itu merupakan signal sekaligus dukungan karena Firli telah “berada di jalan yang benar.” Tidak menerapkan hukuman mati. Signal itu juga harus ditangkap oleh lembaga penegak hukum lainnya, dalam hal ini hakim di pengadilan Tipikor. Ada alternatif hukuman paling berat dan paling ringan. Bisa diambil jalan tengah. Untuk meredam kemarahan publik jangan dihukum terlalu ringan. Tapi juga jangan terlalu berat. Yang sedang-sedang saja. Toh nanti bisa banding ke pengadilan tinggi. Kasasi atau peninjauan kembali (KPK) di Mahkamah Agung. Setelah itu, jangan lupa ada potong masa tahanan berupa remisi, asimilasi, dan kalau perlu……. grasi. Sampai di sini paham khan? Ah jangan terlalu sering bermimpi lah. Apalagi mimpi yang indah! Anda masih hidup di Indonesia Bro! Bangun…..bangun!!!! EndPenulis wartawan senior FNN.co.id

Siapa Menteri Ketiga Diambil KPK?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (06/12). Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, salah satu kader terbaik Partai Gerindra terjerat korupsi benih lobster (benur), kini giliran Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, salah satu kader terbaik dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketam Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikabarakan marah-marah atas kelakuan “anak selokan" terbaik binaannya. Entah dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Apakah juga ikut marah-marah atau seperti Prabowo terhadap Edhy Prabowo, atau tidak atas kerjaan dan kelakuan Wakil Bendahara Umum PDIP ini. Marah-marah itu bisa karena mencemarkan nama baik pribadi Ketum atau partai. Namun bisa juga karena cara kerja mencuri yang kok bisa ketahuan. Apapun itu, ketika awal ramai penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi, partai-partai berlomba untuk menempatkan kadernya di posisi-posisi yang dianggap basah, penting dan strategis. Pertengkaran antar koalisi kadang hanya disebabkan memperebutkan posisi basah dan kering seperti ini. Setelah Menteri dari Gerindra dan PDIP terjerat korupsi, timbul pertanyaan kader partai mana lagi yang menjadi target berikutnya dari KPK. Pertanyaan aneh, tetapi wajar saja sebab semua juga tahu bahwa kader-kader partai yang ditempatkan pada jabatan-jabatan pemerintahan, baik di Kementrian maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat dipisahkan dari misi partai, baik pengaruh maupun untuk pengisi kas partai. Presiden Jokowi tentu saja tidak tuli dan buta pada kepentingan partai. Terutama melalui pembagian jabatan di pemerintahan. Jadi, logisnya Presiden mampu memainkan ritme dan fluktuasi politik di lingkungan internal pemerintahan. Kejaksaan Agung atau KPK bukan barang yang steril. Toh, Dewan Pengawas KPK bisa menjadi jembatan komunikasi yang bagus dengan pusat kekuasaan. Maknya publik mungkin ragu, jika tertangkapnya dua menteri Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara adalah kejutan bagi Presiden Jokowi. Keraguan yang wajar-wajar saja. Dua partai yang juga potensial untuk diredam oleh aksi KPK berikutnya yaitu Partai Golkar dan Nasdem. Kedua partai ini mulai "nakal". Nasdem mulai aktif mendekati Anies Baswedan yang selama ini menjadi "musuh utama istana". Sedangkan Golkar, disamping tidak dukung prolegnas RUU HIP, juga memiliki tapak pada Jusuf Kalla (JK) yang membuat poros politik baru JK-Surya Paloh-Anies-HRS. JK adalah sesepuh dan mantan Ketum Partai Golkar. Untuk satu tahap, Jokowi dapat sukses menekan dan meredam KPK. Tetapi kondisi ini dapat menjadi api dalam sekam. Jika partai-partai pendukung mulai gerah karena kader-kadernya digoyang terus, maka pemerintahan Jokowi akan menjadi "tidak lagi berpartai". Kondisi akan rawan pula untuk digoyahkan ke depan. Secara politik terbuka ruang balas dendam. Dua Menteri dihajar korupsi suap. Apakah suap model seperti ini hanya dilakukan dua Menteri itu saja? Patut diduga tidak mungkin. Perlu dilakukan pengusutan yang menyeluruh. Pesiden harus meminta KPK, baik langsung maupun melalui Dewan Pengawas untuk bekerja keras seobyektif mungkin. Akan tetapi sebenarnya persoalan berat yang dihadapi adalah apakah Presiden juga bersih? Kini kita tunggu saja siapa menteri ketiga yang telah masuk agenda "permainan" bongkar-bongkar borok demi kepentingan politik ini? Satu catatan terpenting adalah bahwa pertarungan internal telah dimulai.Ke arah mana angin akan berhembus? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Korupsi Marak Saat Rakyat Menderita, Dimana Jokowi?

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (06/12). Hampir satu tahun lalu kita semua dibuat penasaran tentang penyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menghilang tak tentu rimbanya. Sementara komisioner KPU-nya sudah dipenjara. Entah mengapa KPK sampai saat ini belum menemukan sosok yang dekat dengan petinggi partai berkuasa tersebut. Lalu kita dihebohkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Edhy Prabowo Menteri Kelautan dan Perikanan pada akhir November lalu. OTT ini membuat publik marah, dan sampai saat ini belum sirna dari ingatan publik. Diduga kuat Edhy Prabowo menerima suap sebesar Rp3,4 Milyar. Tiba-tiba awal Desember ini, publik kembali dihebohkan dengan berita OTT pejabat Kementerian Sosisl RI. KPK sudah menetapkan bahwa Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial) sebagai tersangka. Publik tentu semakin marah, karena diduga kuat yang dikorupsi itu uang bantuan sosial untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19. Yang dikorupsi di Kemensos juga uang untuk mereka yang berpenghasilan kecil. Uang untuk mereka yang miskin dan menderita. Uang untuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka korupsinya cukup fantastis. Diduga mencapai Rp. 14,5 miliar Jika dicermati, dana untuk penanganan pandemi Covid-19 mencapai Rp 677,2 triliun. Ini dana yang sangat besar, tetapi rawan dan berpotensi dikorupsi karena lemahnya pengawasan publik dan lemahnya pengawasan internal akibat situasi pandemi covid-19. Pesan Jokowi & Maraknya Korupsi Masih lekat dalam ingatan publik bahwa satu tahun lalu lebih, pada 23 oktober 2019 lalu, saat melantik 34 menterinya, Presiden Jokowi mengingatkan, "Saya telah perintahkan seluruh kabinet yang sudah saya umumkan, yang pertama jangan korupsi. Supaya menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi". Peringatan Jokowi kepada para menterinya itu dilakukan berkali-kali. Kalau begitu, pertanyaanya adalah mengapa masihg tetap saja terjadi korupsi? Mencermati kondisi tersebut, setidaknya menunjukkan terdapat lima hal penting. Pertama, peringatan Presiden Jokowi tidak didengar oleh para menterinya. Peringatan Presiden Jokowi hanya didengar sambil lalu saja. Tidak dianggap sebagai hal penting. Bahkan kemungkinan dinilai hanya sebagai pemanis bibir, dan bumbu citra rasa bagi seorang Presiden. Kedua, kepemimpinan Presiden dalam menjaga kabinetnya untuk tidak korupsi terlihat lemah. Presiden tidak mampu memanage, dan mengontrol menterinya untuk tidak korupsi. Bukankah setiap rapat kabinet ada update laporan dari para menterinya? Pada setiap laporan, mestinya Presiden mampu temukan celah potensi korupsi? Tetapi jika menemukan celah, potensi kemungkinam korupsi lalu dibiarkan dan tidak ditegur, ini berarti kemungkinan ada semacam pembiaran atau kepercayaan Presiden yang berlebih kepada para menterinya. Ketiga, itu menunjukkan saat proses pengangkatan Menteri cenderung mengabaikan sisi integritas calon menterinya. Lebih dominan faktor transaksional politisnya. Ini sudah diduga dari awal, karena proses pengangkatan para menteri diawal periode kedua Jokowi ini memang tidak melibatkan KPK dalam seleksinya. Berbeda dengan saat periode pertama yang meminta KPK. Ada semacam menseleksi dari sisi track record (rekam jejak) integritas nama nama calon menterinya. Keempat, menunjukkan bahwa sang menteri, sejak awal memang tidak memiliki integritas yang baik. Selain itu, perlu ditelusuri, apakah praktek korupsi tersebut sengaja dibiarkan, disetujui, atau diperintah oleh partai politiknya? Kelima, menunjukkan tidak jera nya para elit politik dalam melihat penangkapan OTT yang dilakukan KPK. Termasuk tidak takut untuk malukukan korupsi, karena hukuman bagi koruptor ternyata ringan. Bahkan boleh lagi menjadi caleg, atau calon kepala daerah setelah keluar dari penjara. Meminjam terminologi Inge Amundsen yang disebutkan dalam artikel yang berjudul Research on Corruption: A Policy Oriented Survey (2000) karakteristik koruptif bribery (suap), embezzlement (penggelapan), dan nepotism (kedekatan hubungan) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Peristiwa dan analisis di atas adalah obyek empiriknya. Dimana Tuan Presiden? Pada titik inilah kita patut bertanya di mana integritas Presiden Jokowi di tengah masih maraknya korupsi? Di mana posisi Presiden Jokowi dalam mendorong hukuman berat bagi para koruptor? Di mana komitmen Presiden dalam upaya pencegahan praktek korupsi di Kementrian dan Lembaga di bawah kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan? Korupsi di tengah situasi bencana pandemi covid-19, dan situasi krisis ekonomi, bahkan dalam situasi resesi ekonomi menuntut penegakan hukuman yang sangat berat. Bila perlu hukuman mati sangat dimungkinkan menurut Undang-Undang. Lantas, di mana posisi dan komitmen Presiden Jokowi yang dulu berkampanye untuk hukum berat koruptor? Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Kemudian pada ayat berikutnya (2) disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dimaknai sebagai delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan. Bukan dengan timbulnya akibat. Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menetapkan Corona sebagai bencana nasional. Maka dari itu, jika terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana anggaran untuk penanganan Corona, maka sesungguhnya bisa ditindak sesuai dengan Pasal 2 UU tindak pidana korupsi tersebut. Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi bencana nasional pandemi covid-19. Kita dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Lalu apakah hukuman mati akan diterapkan? Ini momentum penting bersejarah dalam penegakan hukuman bagi para koruptor agar semua elit politik yang berniat korupsi jera dan tidak akan melakukan tindakan korupsi lagi. Pertanyaanya, sampai saat ini, usai KPK menetapkan Mensos JPB sebagai tersangka korupsi bantuan sosial, apa suara Presiden Jokowi? Jokowi hanya mengatakan bahwa dirinya tidak akan melindungi menterinya yang korupsi. Itu benar Tuan Presiden. Tetapi ini situasi bencana nasional dan krisis ekonomi. Di mana suara lantangmu soal hukuman mati Tuan Presiden? Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Hati-hatilah, Doa Bayi Lobster Itu Didengar Juga

by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (26/11). Ekspor benih lobster adalah kejahatan yang dikutuk di langit dan di bumi. Inilah bentuk kekejaman yang tak pernah dipikirkan oleh manusia, khususnya para penguasa negeri. Inilah egoisme penguasa yang sangat ceroboh. Bayi-bayi lobster itu ditangkap, dikurung, kemudian dikirim ke negeri jauh. Terpisah untuk selama-lamanya dari ayah-ibu mereka. Ekspor yang bertujuan hanya untuk memuaskan keserakahan pemegang kekuasaan. Sungguh Anda sangat tega. Anda bergembira-ria mengantungi duit hasil penjualan bayi-bayi lobster itu. Kemudian, duit hasil kekejaman itu Anda bawa jalan-jalan ke luar negeri. Anda belikan barang-barang mewah. Anda tidak memikirkan bayi-bayi lobster itu menangis sepanjang perjalanan. Anda paksa mereka pindah ke lingkungan yang asing. Kalian tidak pikirkan betapa pedihnya perasaan mereka ketika kalian renggut dari keluarga mereka. Tidak kalian pikirkan bahwa bayi-bayi lobster itu mengalami ‘bullying’ di tempat yang baru. Mungkin juga mereka sampai korban nyawa akibat tindak kekerasan di lingkungan asing. Belum lagi mereka kehilangan lantunan sholawat dan azan menjelang waktu-waktu sholat di negeri asal mereka. Wahai para penguasa yang rakus! Hentikanlah penganiayaan terhadap bayi-bayi lobster itu. Hentikanlah kezaliman kalian terhadap makhluk yang bening rupa dan bening hati itu. Sama seperti kalian, lobster juga tersayat ketika bayi-bayi mereka kalian ambil paksa. Biarkanlah mereka bermain, bercanda-ria, bersuka-cita bersama keluarga mereka. Tunggulah mereka dewasa dan paham tentang peranan mereka dalam mata-rantai kehidupan ini. Sampai mereka mengerti tentang posisi mereka dalam “food-chain” (rantai makanan) yang selalu diceramahkan oleh manusia. Kalian menyangka bahwa makhluk Allah yang tak berdaya itu bisa diperlakukan semena-mena. Kalian pikir bayi-bayi mungil itu tidak bertasbih kepada Yang Maha Pencipta. Kalian keliru total. Berhentilah kawan! Bayi-bayi lobster itu selalu “online” ke Sang Khaliq yang menjadikan semesta alam ini. Doa bayi-bayi lobster yang kalian zalimi itu didengar juga oleh-Nya. Hati-hatilah kawan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Taruhan, 99.99% Prabowo Subianto Tidak Akan Mundur Karena OTT Edhy

by Asyari Usman Medan FNN - Rabu (25/11). Ada yang berspekulasi bahwa Prabowo Subianto (PS) akan mengundurkan diri dari kabinet Jokowi gara-gara penangkapan Edhy Prabowo –menteri Kelautan dan Perikanan. Mungkinkah itu terjadi? Tidak akan. Boleh taruhan, 99.99% Prabowo tidak akan mundur. Hanya 0.01% kemungkinan dia meninggalkan Jokowi. Mengapa? Karena beberapa hal yang berkaitan dengan ambisi mantan Danjen Kopassus itu. Pertama, PS sudah terlanjur yakin bahwa dia akan didukung oleh Jokowi dan Megawati sebagai capres di Pilpres 2024. Artinya, kehilangan Edhy Prabowo jauh lebih kecil timbangannya dibandingkan harapan besar untuk menjadi presiden. Konon pula, harapan itu sangat solid. Harapan yang sangat logis. Walaupun banyak orang meragukannya. Harapan logis itu maksudnya adalah bahwa PS merasa tidak akan ada calon yang bakal mendapatkan dukungan besar di Pilpres 2024 itu. Kecuali dia. PS yakin ‘karomah’ Jokowi dan kekuatan politik Bu Mega akan dikerahkan untuk mencapai angan-angan lama beliau itu. Kedua, PS tidak akan mundur karena beliau masih belum lagi memulai misi ‘perbaikan dari dalam’ yang mendorong dia ikut kabinet Jokowi, hari itu. Bagi Prabowo, misi ini sangat sakral. Belum lagi mengayunkan satu-dua langkah untuk misi suci itu, tidak mungkinlah mengundurkan diri hanya gara-gara OTT Edhy. Ketiga, PS tidak akan mundur karena dia sudah terlanjur membuang basis dukungannya. Dukungan akar rumput sudah nyaris tidak ada lagi. Hanya tersisa para loyalis “pokok-e” saja. Dalam bahasa netizen haluan keras, PS mengkhianati puluhan jutaan pendukung yang telah mempertaruhkan segalanya. Mereka ini memisahkan diri dari begitu dia masuk ke kabinet Jokowi. Artinya, pengunduran diri dari kabinet Jokowi akan mengakhiri semua kemungkinan karir politik Prabowo. Dia tidak akan bisa kembali seperti masa-masa perlawanan pra-Pilpres 2019. Puluhan juta pendukung yang telah dikecewakan itu, tidak mungkin kembali berkumpul dengan PS. Singkatnya, Prabowo tak punya pilihan lain. Dia harus tetap bertahan di bawah kendali Jokowi. Dia harus rela mendengar pernyataan Jokowi terkait OTT Edhy Prabowo bahwa dia (Jokowi) akan menghormati proses hukum di KPK. Dengan kata lain, jangan harapkan mantra Jokowi untuk melepaskan jerat yang kini melilit kaki Edhy –the Golden Boy. [] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mungkinkah Pemerintah Jokowi Guncang Akibat OTT Edhy Prabowo?

by Asyari Usman Medan FNN - Rabu (25/11). Sebesar apa dampak yang mungkin muncul akibat penangkapan Edhy Prabowo --menteri Kelautan dan Perikanan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa beragam. Tergantung sikap Prabowo Subianto (PS) sebagai pimpinan Gerindra yang menjadi wadah politik Edhy. Edhy Prabowo (EP) terkana operasi tangkap tangan (OTT) yang dipimpin oleh penyelidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. EP baru saja mendarat di bandara Soekarno-Hatta dari Hawaii (AS) pada pukul 23.40, Selasa (24/11/2020). Konsekuensi penangkapan ini bisa biasa-biasa saja. Tetapi, bisa juga mengguncang pemerintahan Presiden Jokowi. Yang jelas, penangkapan EP pastilah membuat Prabowo merasa tidak enak ‘tingkat tinggi’. Prabowo juga kehilangan besar. EP adalah ‘the most trusted person’ (orang yang paling dipercaya) oleh PS di lingkungan Partai Gerindra. Paling dipercaya itu dalam arti PS yakin EP tidak mungkin melakukan hal-hal yang konyol seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. OTT kemarin malam itu terkiat dengan dugaan korupsi ekspor bibit lobster ke sejumlah negara, terutama ke Vietnam. Banyak pihak yang menentang ekspor itu karena merugikan nelayan kecil. Mantan menteri kelautan, Susi Pudjiastuti, termasuk yang tidak setuju. Bersama EP, KPK juga menggelandang Iis Rosita Dewi, anggota Komisi V DPRRI. Iis Rosita adalah istri EP. Beberapa orang lainnya juga dibawa dengan mobil KPK. Mungkinkah pemerintah Jokowi akan mengalami terpaan keras akibat penangkapan menteri kubu PS itu? Bisa saja itu terjadi kalau Prabowo Subianto mengundurkan diri. Koalisi Jokowi bisa guncang jika PS keluar. Sebab, pengunduran diri Prabowo akan menciptakan mush baru pada saat Jokowi sangat memerlukan banyak teman. Jadi, kalau Prabowo bereaksi temperamental seperti biasanya, sangat mungkin akan terjadi kekacauan. Apalagi kalau beliau sampai gebrak-gebrak meja di Kemenhan. Pasti bakal ramai. Jokowi bisa guncang besar dan sempoyongan. Walaupun belum tentu tersungkur. Tapi, kalau Prabowo tetap dengan sikap “siap Ndan” di kabinet, maka dipastikan tidak akan ada riak. Jokowi tetap aman-aman saja. Penuli adalah Waratwan Senior FNN.co.id

Ketidakadilan Hukum Kepada HRS & Anies

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (19/11). Al-Qur'an Surat Annisa 58 mengingatkan kepada orang yang beriman dan juga umat manusia tentang dua hal. Kedua hal tersebut sangat relevan dengan peran kepemimpinan yang sedang diambannya. Pertama, perlunya menunaikan amanat. Dan amanat itu harus teralokasi kepada yang berhak (innallaha ya'murukum an tu-addul amanati ilaa ahliha). Amanat rakyat harus kembali kepada rakyat, bukan hanya sampai kepada keluarga, kerabat atau kroni. Kedua, jika menegakkan hukum, maka tegakkan dengan adil (wa Idza hakamtum bainan naas an tahkumuu bil adl). Keadilan adalan nilai tertinggi dalam hukum. Asas keadilan adalah kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Konstitusi negara RI menjamin asas kesamaan kedudukan tersebut sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum. Fenomena tersebut sekarang di negeri ini, terutama pada dua hal di atas amburadul atau acak-acakan. Amanat jabatan dikhianati dan rakyat tidak menjadi prioritas. Banyak pejabat yang lebih mementingkan diri, keluarga, dan kroni. Akibatnya korupsi, kolusi, nepotisme merajalela. Itu dilakukan secara bersama-sama, terang-terangan dan tanpa rasa malu. Pelaksanaan hukum aktual menampilkan wajah ketidakadilan. Covid 19 telah menjadi tongkat pemukul untuk memukul siapa saja yang dikehendaki. Ada yang dipukul dengan keras. Namun ada yang nyaman-nyaman saja karena sengaja memukul angin. Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Anies Baswedan dipukul dengan keras, karena adanya "kerumunan" banyak orang. Dampaknya dua Kapolda dan dua Kapolres dicopot dari jabatannya. Wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi sasaran pukulan itu. Di sisi lain, kerumunan di acara Kliwonan Habib Luthfi yang menjadi anggota Watimpres di Pekalongan dan Long march 9.000 Banser di Banyumas Jawa Tengah lancar-lancar saja. Untuk dua acara ini, tanpa teguran. Apalagi sampai pencopotan Kapolda dan Kapolres segala. Begitu juga tanpa ada pemanggilan Gubernur Jawa Tengah. Maklum dia kader PDIP. Pendaftaran KPU anak Presiden Gibran Rakabuming di Solo dengan kerumunannya juga aman-aman saja. Sementara di Medan, menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution dan kerumunan Pilkada lain sami mawon. Satu kalimat cukup untuk ini adalah "ketidakadilan hukum". Rakyat sudah tahu dan merasakan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak adil. Banyak mempermainkan hukum untuk kepentingan politik. Dari mulai Perppu, RUU HIP, UU Omnibus Law, UU ITE, hingga Covid 19 yang menjadi alat pemukul untuk memberangus lawan-lawan politik. Kini dua tokoh menjadi target, yaitu HRS dan Anies. Akan tetapi magnet keduanya dipastikan juga cukup kuat untuk meraih simpati dan dukungan rakyat. Bisa dibayangkan ketika keduanya mengikuti tahapan proses pemeriksaan Polisi, bahkan mungkin juga di Pengadilan nanti. Rakyat dan umat akan ikut berkerumun membesar dengan dukungan dahsyat. Gelombang perlawanan dapat bereskalasi di luar dugaan. Rezim Jokowi telah membuka jalan bagi peningkatan kejengkelan bahkan kemarahan. Di belahan dunia manapun, dan sejarah kapanpun telah dibuktikan bahwa ketidakadilan adalah gerbang strategis dari perubahan. Kembali kepada ayat Qur’an Surat Annisa 58 di atas, maka soal amanat dan keadilan merupakan pelajaran sempurna dari Allah "Innallaha ni'imma ya'idhukum bih". Urusan amanat yang dikhianati atau hukum yang dijauhkan dari keadilan, maka "Innallaha kaana samii'an bashiiro"-- Sesungguhnya Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Jika Allah SWT sudah membuat keputusan atas dasar Pendengaran dan Penglihatannya. Maka tak ada suatu kekuatan apapun yang bisa mencegah dan menghindar dari hukuman-Nya. Na'udzubillah min dzalik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.