HUKUM
Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (5)
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Selasa (05/01). Apapun alasannya, penutupan Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek atas perintah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) melalui suratnya pada 20 Maret 2020, jelas dapat diidikasikan "perbuatan melawan hukum". Pasalnya, Rest Area KM 50 ini bagian dari TKP penyergapan 6 laskar FPI. PT Jasa Marga resmi menutup atau merelokasi Rest Area (tempat istirahat) KM 50 ruas Tol Japek. Alasannya, relokasi itu dalam rangka menjaga kelancaran pada pertemuan lalu-lintas kendaraan dari ruas Tol Japek Elevated dengan Ruas Tol Japek (jalur bawah). ”Mulai kemarin (Senin) Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Dwimawan Heru, Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Selasa (22/12/2020). Menurutnya, relokasi itu dilakukan secara permanen arah Cikampek di ruas Tol Japek. Penambahan lajur dan penutupan rest area itu dalam rangka kelancaran pada pertemuan lalu lintas dari Tol Japek Elevated dan Tol Japek (jalur bawah) di KM 48 sampai dengan KM 50 ini adalah instruksi dari BPJT. Bahkan, lanjutnya, ini sejalan dengan arahan Korlantas Polri yang telah terbit sejak jauh hari, yaitu pada sekitar Triwulan I 2020, seluruh tenant-tenant yang berada pada tempat istirahat (TI) KM 50 A akan direlokasi ke TI KM 71B. Untuk menampung tenant ex TI KM 50, Jasa Marga memperluas bangunan rest area di KM 71 sehingga tenant-tenant dari TI 50 dapat melanjutkan kegiatan usahanya di bangunan baru yang ada di TI KM 71. Yang dilakukan Jasa Marga itu dapat diindikasikan sebagai “perbuatan melawan hukum”, karena TKP KM 50 itu termasuk “barang/alat bukti” adanya tindak pidana. Bagaimana KM 50 bisa menjadi saksi atas penembakan laskar FPI jika sudah tidak ada lagi. Tidak seharusnya Rest Area KM 50 itu ditutup permanen sebelum proses hukum atas kasus penembakan 6 laskar FPI yang terjadi pada Senin (7/12/2020) dini hari itu selesai disidang di pengadilan. Komnas HAM seharusnya dan wajib mempertanyakan soal ini kepada Jasa Marga. Misteri KM 50 Sejauh ini pihak polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup dibawa, setelah dua orang ditembak di TKP KM 50. Dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu. Ini harus diadakan investigasi oleh pihak terkait, terutama Komnas HAM. Tentunya, polisi yang mengeksekusi korban harus lebih dahulu dilakukan upaya hukum dan proses penahanan jika memang hukum mesti ditegakkan tanpa pandang bulu. Mengingat hal ini bukan perkara kriminal biasa. Tapi, pelanggaran HAM berat. Silakan polisi yang terlibat membawa 4 korban itu menujukkan lokasi tempat menembak korban yang jelas-jelas bukan lagi melumpuhkan, tetapi “pembantaian” jika ingin bicara kebenaran. Menurut Polda Metro Jaya, dari enam orang yang tewas ditembak masih ada 4 lagi laskar FPI pengawal HRS yang melarikan diri. Padahal dalam mobil Chevrolet B 2152 TBN itu hanya berisi 6 orang. Apakah mungkin Chevrolet itu berisi 10 orang? Perlu diketahui bahwa laskar FPI pengawal HRS itu ada 24 orang dalam 4 mobil. Masing masing Mobil berisi 6 orang. Selain 6 laskar di Chevrolet B 2152 TBN, semuanya pulang dalam keadaan selamat. Karena memang beda kendarraan. Dari mana polisi mengatakan, masih ada 4 orang lagi melarikan diri, sedang penumpang hanya 6 orang dan semua tewas? Ini terkesan polisi sedang membuat semacam trik alibi pada media, sebab tidak sesuai dengan jumlah penumpang dan jumlah rombongan pengawal HRS. Polisi sebelumnya juga menunjukkan dua senjata api sebagai barang bukti. Senjata api itu disebut digunakan oleh laskar khusus untuk menyerang anggota polisi ketika melakukan pengintaian terhadap rombongan HRS. Bahkan, polisi menyebut laskar khusus pengawal Rizieq sempat melesatkan tembakan 3 kali hingga mengenai mobil anggota polisi. “Asli ini (senjata api) ada tiga yang sudah ditembakan. Hasil awal kelompok yang menyerang ini diidentifikasi adalah laskar khusus yang selama ini menghalang-halangi penyidikan,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran. Jika berasumsi telah ada 3 peluru yang ditembakan maka di mana laskar FPI itu menembak polisi, sedangkan di TKP hanya terjadi 2 tembakan dan korban tewas? Semua barang bukti yang ditunjukan oleh Polda Metro Jaya sepertinya itu sengaja diadakan. Sebab, seperti yang telah dijelaskan oleh Edy Mulyadi bahwa tidak ada tembakan apapun di TKP KM 50 selain 2 tembakan saja dan itu didengar oleh saksi-saksi. Bahkan, ada saksi yang sangat dekat dengan pristiwa itu sehingga hal ini menjadi sanggahan bagi polisi yang mengatakan telah terjadi tembak-menembak di TKP KM 50. Misalnya, korban membawa pistol dan lebih dulu menembak, maka tentunya di TKP dengan banyaknya polisi di situ akan jatuh korban dari polisi juga, sehingga akan ada aksi tembak-menembak yang ramai dan semua orang yang diusir polisi dari lokasi tentu akan mendengar. Namun, kenyataan itu tidak terjadi. Yang ada adalah banyaknya tembakan polisi ke tubuh 4 korban dan eksekusi mati itu terjadi di tempat lain. Dengan dasar itu tidak mungkin di tempat lain (Lokasi X) 4 korban membawa senjata, karena saat dibawa dari KM 50 mereka digelandang dengan tangan kosong. Pertanyaanya, dari mana polisi mengklaim bahwa senjata itu dari laskar FPI yang mereka tembak? Sebagaimana hasil analisa pihak FPI dan keluarga korban bahwa para korban ditembak cukup banyak lebih dari 1 peluru di masing-masing tubuh korban. Maka, muncul pertanyaan, di mana polisi menembak mereka. Sedangkan di TKP KM 50 tidak terjadi demikian? Bagaimana polisi bisa menjelaskan, mengapa tembakan mereka pada korban hampir semua mengarah ke jantung? Bukankah itu artinya korban sudah tidak berdaya karena nyaris semua korban mengalami luka tembak yang sama dan selebihnya ditembak membabi buta? Melihat penjelasan keluarganya perihal keadaan korban dalam rapat Komisi III DPR jelas sekali, polisi menembak jarak dekat dan itu adalah eksekusi korban, bukan lagi dikatakan bahwa polisi membela diri. Diduga, sebelum ditembak, para korban yang berjumlah 4 orang itu lebih dahulu ditanya banyak hal dengan paksaan dan siksaan untuk menjawab, baru ditembak sedemikian rupa lebih dari beberapa kali untuk memastikan mereka benar-benar telah tewas. Tindakan seperti ini bukan lagi tindakan sesuai SOP Kepolisian, melainkan sudah memenuhi unsur kriminalyang dilakukan polisi sendiri, apalagi dilakukan secara rahasia (Lokasi X). Bukankah dalam prosedur penangkapan itu jika masih hidup mestinya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan kemudian ditahan? Mengapa para korban seolah dianggap Teroris kelas kakap, padahal ada banyak kasus teroris yang tertangkap tidak serta merta diekskusi mati tanpa prosedur? (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Pembunuhan KM-50: Masih Adakah Harapan Pada Komnas HAM?
By Asyari Usman Medan, FNN - Minggu (03/01). Beberapa hari lagi genap sebulan pembunuhan 6 anggota FPI dalam insiden KM-50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Pembunuhan ini sedang diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnash HAM). Kepolisian mengatakan aparat mereka menembak mati keenam warga negara Indonesia itu. Ada pertanyaan kunci: beranikah Komnas mengungkap pembunuhan ini secara transparan? Beranikan mereka membuat kesimpulan bahwa pembunuhan itu adalah pelanggaran HAM berat? Pada mulanya, Komnas HAM terkesan tidak takut membongkar pembunuhan ini apa adanya. Publik pun bersemangat. Keadilan akan tegak. Dan memang meyakinkan sekali manuver-manuver mereka. Komisioner Chairul Anam menjadi salah satu bintang Komnas. Dia menunjukkan isyarat bahwa Komnas akan mengurai tuntas pembunuhan KM-50. Komnas mengatakan mereka sudah mengumpulkan banyak bukti. Termasuk sejumlah proyektil dan selongsong peluru. Plus, banyak rekaman CCTV dari Jasa Marga. Rekaman itu tentunya terkait dengan kronologi pembunuhan. Komnas juga mengatakan sudah mewawancari banyak orang. Ada puluhan polisi dan warga sipil yang diperiksa Komisi. Initinya, Komnas HAM mempresentasikan di depan publik bahwa mereka akan mengungkap semuanya. Tidak akan ada yang ditutup-tutupi. Mungkinkah itu terjadi? Inilah yang perlu kita cermati. Suara-suara di masyarakat yang tadinya optimistis, sekarang mulai pesimistis. Pesimistis Komnas akan bertindak adil. Begitulah yang banyak disampaikan lewat media sosial. Publik tidak lagi berharap terlalu banyak pada Komnas untuk menuntaskan penyelidikan secara transparan kasus pembunuhan 6 anggota FPI. Apakah ada gelagat atau pertanda Komnas “tak sanggup” menuntaskan penyelidikan KM-50? Bisa saja itu terjadi. Gelagat pertama, ada semacam hambatan psikologis yang dialami oleh para komisioner Komnas. Hambatan psikologis itu kelihatannya bersumber dari ‘inferiority complex’ (perasaan lebih rendah) yang terkait dengan kekuasaan dan kekuatan institusional. Misalnya, Komnas HAM tidak punya struktur teritorial. Juga tidak punya kekuasaan besar meskipun setingkat dengan posisi kementerian atau lembaga setingkat kementerian. Sehingga terkesan tidak seram, tidak menakutkan. Berbeda dengan Kepolisian yang memiliki kekuasaan sangat besar. Berbagai macam hal bisa mereka lakukan. Sehingga, banyak orang yang takut berurusan dengan polisi. Seragam dinas, struktur dan atribut-atribut kepangkatan di kepolisian bisa membuat orang merasa lebih rendah dari polisi. Jangan-jangan para komisioner Komnas HAM pun merasa begitu. Hambatan psikologis berupa ‘inferiority complex’ di kalangan para komisioner Komnas itu hampir pasti akan memancarkan rasa takut. Termasuk takut kalau hasil penyelidikan mereka akan memojokkan Kepolisian. Gelagat kedua adalah tindakan Komnas membuat klarifikasi tentang “rumah penyiksaan”. Sempat viral berita bahwa Komnas menemukan “locus delicti” (TKP) berupa tempat penyiksaan para anggota FPI sebelum mereka ditembak mati. Komnas kemudian membantah. Mereka mengatakan pihaknya tidak pernah menemukan atau pun menyebut “rumah penyiksaan”. Bantahan dari Komnas itu mengindikasikan bahwa mereka sensitif sekali dengan isu ini. Seolah-olah ada yang menghendaki agar “rumah penyiksaan” itu tidak masuk dalam daftar bukti. Sebetulnya, Komnas tidak perlu membantah. Cukup mereka persilakan publik menunjukkan dan menyelidiki “locus delicti” yang dimaksud. Jika masyarakat tidak bisa menghadirkan bukti itu, maka kabar tentang “rumah penyiksaan” akan terbantah dengan sendirinya. Gelagat ketiga adalah posisi Komnas HAM yang enggan berkeras untuk membentuk tim pencari fakta independen (TPFI). Sangat aneh sikap yang ditunjukkan oleh Komnas. Sebagai lembaga yang mandiri dan dilindungi oleh UU, para komisioner Komnas tidak perlu takut. Dari sisi politik dan konstitusional, Komnas HAM memiliki basis dukungan dan landasan yang kuat. Sangat mungkin gelagat-gelagat berikut akan muncul satu per satu di babak-babak selanjutnya. Karena itu, masih adakah harapan pada Komnas HAM untuk menyelidiki tuntas pembunuhan KM-50?[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Tuan Komnas HAM, Mau Mengarah ke Mana?
Petugas menembak pakai senjata apa? Laras panjang? Atas laras pendek? Kalau empat almarhum hendak merebut senjata petugas dan mencekik petugas, bagaimana menerangkan terjadinya tembak-menembak itu. Berusaha merebut senjata, pasti tidak sama dengan telah merebut senjata. Tidak sama juga dengan senjata telah berada dalam penguasaan keempat almarhum itu. Apa logis tangan almarhum tak di borgol? Masuk akalkah mereka tak diborgol tangannya? Kalau di borgol, maka pertanyaannya adalah bagaimana menerangkan usaha mereka merebut dan mencekik petugas di dalam mobil itu? Berapa petugas yang ada di mobil itu? Apakah hanya dua orang? Andai benar para almarhum berusaha merebut senjata petugas, maka nalarnya mereka, para almarhum di dalam mobil itu tak bersenjata. Wahai Komnas HAM jujurlah. Apakah keempat almarhum mati di dalam mobil atau di tempat lain? Apa yang menghalangi Komnas HAM sehingga tidak mampu untuk berkata terus terang? Pertimbangan teknis? Kalau ya, apa justifikasinya? by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – “Proyektil itu jumlahnya tujuh. Dari tujuh itu ada satu yang kami masih belum yakin. Enam kami yakin. Selongsong jumlahnya empat. Tiga utuh, satunya (nomor 17) kami duga itu bagian belakang, kayak bagian pelatuknya itu. Tetapi kami duga yang pasti selongsong ada tiga," kata Komisioner Komnas HAM Chairul Anam kepada wartawan di Jakarta, Senin. Tambah Anam, tiga jenis barang bukti terkonfirmasi selongsong. Karena belum mengalami perubahan bentuk. Sementara, satu jenis barang bukti diduga selongsong (nomor 17) bentuknya sudah berubah karena pecah. "Apakah ini betulan bagian dari selongsong itu? Kami belum bisa menilai. Makanya kami masukkan disini dengan catatan bahwa ini belum terkonfirmasi (selongsong)", kata Anam. Lebih jauh Anam mengatakan, seluruh barang bukti, baik selongsong, proyektil, maupun serpihan bagian mobil ditemukan di sejumlah titik. Tidak di satu titik saja. Yang lebih rincinya lagi, Anam tidak mau mengungkapkan. Karena khawatir ada misinformasi dan disinformasi yang muncul sebelum pemeriksaan Laboratorium Forensik (Labfor) dan uji balistik dilakukan. "Kami tidak bisa menyebutkan titiknya dimana saja. Karena itu sedang kami cross-check ulang. Titik mana saja yang sesuai," kata Anam, (Lihat Republika.co.id, 28/12/2020). Cuma segitu kerja Komnas HAM hampir sebulan? Seringan itukah temuannya? Komnas HAM sudah oleng? Komnas HAM sudah melakukan rekonstruksi? Periksa mobil, dan periksa senjata, itu bukan rekonstruksi, apapun alasannya. Rekonstruksi itu persis seperti yang dilakukan penyidik Bareskrim. Itu baru rekonstruksi namanya. Hasil rekonstruksi telah diberitakan oleh media online. BBC News Indonesia misalnya, telah memberitakannya pada tanggal 14/12/2020. Hal-hal yang direkonstruksi sangat jelas. Enam orang almarhum itu tidak mati pada tempat yang sama. Dua orang mati di dalam mobil, lalu dibawa ke rest area, dan empat orang lain dinaikan ke mobil untuk dibawa ke Polda Metro. Keempat orang yang dibawa itu, ternyata mati juga. Mereka mati tidak di tempat yang sama dengan kedua rekannya. Menurut BBC News Indonesia, keempat orang yang dibawa dengan mobil Xenia, ditempatkan di bagian belakang. Sekitar satu kilometer dari rest area, keempat almarhum, merujuk BBC News Indonesia, berusaha merebut senjata dan mencekik petugas. Bagaimana bentuk usaha itu? Memang tidak terang dijelaskan. Namun andai benar ada usaha merebut dan mencekik petugas, maka pertanyaannya adalah apakah itu menjadi sebab mereka ditembak atau baku tembak dengan petugas di dalam mobil itu? Sudahkan ini didalami Komnas? Kalau belum, kenapa? Jumlah selongsong, dan proyektil peluru, serta serpihan-serpihan mobil, menurut Komnas HAM didapat dari beberapa titik. Ini menarik dan memiliki konsekuensi. Apakah terminologi “titik” itu menjelaskan tempat? Mengapa Komnas HAN tidak menggunakan terminologi “tempat”? Komnas harus cermat tentang “tempat” terjadi peristiwa pidana ini. Ini harus mutlak. Tidak bisa hanya menyebut “titik.” Apakah mobil dapat disamakan pengertiannya dengan “titik”? Lalu “titik” itu disamakan pengertiannya dengan tempat? Komnas HAM harus spesifik menyebutnya. Kenyataannya Komnas HAM tidak menjelaskan soal ini. Komnas juga tidak menjelaskan, misalnya, mereka menemukan atau tidak menemukan bercak darah pada mobil yang ditumpangi empat orang almarhum. Itu benar-benar mengundang tanya. Perihal jumlah selongsong dan proyektil peluru, yang telah dinyatakan oleh Komnas HAM itu, memunculkan pertanyaan sederhana lain yang wajar. Apakah satu selongsong menggambarkan satu peluru? Satu proyektil menggambarkan satu peluru? Kalau satu selongsong sama dengan satu peluru, maka nalarnya ada tujuh peluru. Setidaknya enam peluru. Begitu juga kalau satu proyektil satu peluru, maka ada tiga peluru. Kalau hanya tiga peluru, maka soalnya adalah bagaimana menerangkan fakta adanya enam orang mati? Juga bagaimana menjelaskan jumlah luka di tubuh para almarhum? Satu peluru ditembakan kepada dua orang? Itu pasti tidak logis. Mengapa? Karena rekonstruksi yang diberitakan BBC News Indonesia tanggal 14 Desember yang dikutip di atas, sangat jelas. Almarhum-almarhum itu mati di mobil yang berbeda. Apakah peluru yang sama dan selongsong yang sama dipakai ditempat yang berbeda? Tidak logis itu Komnas HAM. Apakah selosongsong-selongson itu, juga proyektil, yang Komnas gambarkan ditemukan “d ititik” yang berbeda, menunjuk sekali lagi, mobil yang berbeda? Sesulitkah apakah Komnas menganalisisnya? Mengapa Komnas HAM menjauh dari mengatakan fakta itu secara terbuka? Singkirkan dulu kecurigaan, seringan apapun kepada Komnas HAM. Sebab Komnas HAM harus dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, detail dan logis secara teknis hukum. Menembak pakai senjata apa? Laras panjang? Atas laras pendek? Kalau empat almarhum hendak merebut senjata petugas dan mencekik petugas, bagaimana menerangkan terjadinya tembak menembak itu. Berusaha merebut senjata, pasti tidak sama dengan telah merebut senjata. Tidak sama juga dengan senjata telah berada dalam penguasaan keempat almarhum itu. Apa logis tangan almarhum tak di borgol? Masuk akalkah mereka tak diborgol tangannya? Kalau di borgol, maka pertanyaannya adalah bagaimana menerangkan usaha mereka merebut dan mencekik petugas di dalam mobil itu? Berapa petugas yang ada di mobil itu? Apakah hanya dua orang? Andai benar para almarhum berusaha merebut senjata petugas, maka nalarnya mereka, para almarhum di dalam mobil itu tak bersenjata. Wahai Komnas HAM jujurlah. Apakah keempat almarhum mati di dalam mobil atau di tempat lain? Apa yang menghalangi Komnas HAM sehingga tidak mampu untuk berkata terus terang? Pertimbangan teknis? Kalau ya, apa justifikasinya? Kalau ditembak didalam mobil, maka logisnya terdapat bercak-bercak darah dalam mobil? Apa Komnas HAM telah periksa ruang bagian belakang mobil tempat empat almarhum didudukan? Komnas HAM tidak menjelaskannya. Payah. Komnas HAM juga telah memeriksa aparatur Jasa Marga. Mereka diminta keterangan tentang CCTV di Kilometer 50 itu. Di luar mereka, masyarakat umum juga telah dimintai keterangan. Apa yang dimintai dari masyarakat umum? Apakah yang dimintai itu adalah keterangan tentang keadaan di rest area sejak sore hari? Adakah orang-orang bersenjata di tempat itu, di ada sore hari itu juga? Bila ya, siapa mereka dan untuk apa mereka di situ? Apa soal begini diabaikan oleh Komnas HAM? Andai ada orang bersenjata di area itu, apakah mereka sedang melaksanakan pengamanan rute pengangkutan vaksin menuju Bandung? Bila ya, apakah hanya disitu pengamanannya? Bagaimana dengan pengamanan sepanjang tol dari Bandara Soeta hingga ke rest area itu? Apa Komnas HAM menganggap soal ini tidak logis untuk dipertimbangkan? Sayang sekali Komnas HAM tidak mendekat ke metode investigasi khas Mark Fell, Agen FBI yang menginvestigasi kasus skandal Watergate. Cara Felt menangani investigasi ini justru mengurung Richard Nixon. Felt, selalu berbagi informasi dengan dua jurnalis lagendaris, Bob Woodward dan Carl Bernstein, dari Surat Kabar Washington Post. Berbekal informasi dari tangan pertama, Matrk Felt, Bob Wodward dan Carl Bernstein aktif memberitakan temuan investigasi, yang Felt pimpin. Cara ini mengakibatkan semua informasi menjadi terbuka. Nixon, akhirnya kehilangan amunisi politiknya untuk terus bersembunyi, menyangkal kasus keterlibatan Gedung Putih dalam skandal Watergate. Fakta tersaji dari hari ke hari. Terang benderang dan kredibel. Itu menjadi amunisi Komisi Judicial Kongres, yang mulai memprakarsai impeachment kepada Richard Nixon. Mereka terus memberi dukungan pada Archibal Cox, jaksa independen dari Harvard Law Departmen, yang menyelidiki kasus itu. Semakin hari semakin eksplosif. Nixon bereaksi aneh, mendesak Jaksa Agungnya memberhentikan Archibal Cox. Cox terlempar, diganti Leon Jeworsky. Menariknya Leon terus menemukan fakta mematikan. Dan Nixon tak berkutik. Nixon harus mundur dari kepresidenannya. Fakta yang diperoleh dari kombinasi manis antara Felt, dengan Archibal Cox dan Leon Jeworsky, serta Bob Wodward dan Carl Benstein, dua Jurnalis lagendaris itu, mengurung Nixon. Canggih cara kerja mereka. Mungkinkah Komnas HAM mengambil sedikit saja metode Felt? Sekadar sebagai cara meredam diisinformasi, yang Komnas HAM takutkan? Maukah Komnas HAM terbuka soal fakta? Kalau tidak mau, maka Komnas mau kemana? Komnas tidak memiliki kemampuan menghentikan munculnya pertanyaan hipotetik logis atas seluruh aspek dalam kasus ini. Komnas HAM harus tahu itu. * Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Kerja Komnas HAM Sungguh Mengecewakan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (209/12). Viral di medsos Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan melakukan konferensi pers terkait penembakan 6 (enam) anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Tepatnya hari senen kemarin, 28 Desember 2020 Jam 11.00. Publik menunggu, apa temuan yang akan diungkap oleh Komnas. Penasaran! Dalam kasus penembakan enam anak muda bangsa di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek tersebut, ditemukan banyak kejanggalan. Simpang-siur informasi dan tanggapan terhadap hasil rekonstruksi. Sehingga menyisakan banyak pertanyaan di masyarakat. Antara foto janazah yang beredar dengan pernyataan sejumlah pihak dianggap oleh publik belum sinkron. Artinya, perlu penjelasan lebih detail. Apakah dua janazah yang ditembak di kilometer 50 itu langsung mati, atau meninggalnya di rumah sakit? Apakah empat jenazah berikutnya yang belum mati di kilometer 50, seluruhnya ditembak di mobil, atau ada yang ditembak di tempat lain? Tembaknya dekat, atau jarak jauh? Menembaknya menggunakan pistol kaliber berapa? Lalu, berapa jumlah seluruh peluru yang ditembakkan? Peluru yang konon katanya tembus kepala dan punggung itu kemudian mengenai sasaran yang lain atau menerpa ruang hampa? Apakah foto-foto janazah yang beredar itu asli, atau editan? Kalau editan, pihak yang mengedit harus dituntut. Kalau asli, bagaimana menjelaskan sejumlah lubang peluru di dada para janazah? Kenapa ada kulit terkelupas? Ada alat vital janazah yang melepuh. Apakah melepuh sendiri, bekas kejatuhan benda berat, atau ada orang yang membuatnya melepuh? Janazah kenapa harus diotopsi saat keluarganya tidak mengijinkan? Betulkah enam anggota FPI membawa senjata api? Asli, rakitan atau hasil dari merebut punya orang-orang yang berpakaian preman yang ternyata kemudian diketahui adalah aparat polisi? Berapa jumlah senjata itu? Mereka dapat dari mana? Apakah senjata itu sudah ada yang digunakan untuk menembak? Kalau sudah, mengenai sasaran apa saja? Soal sejumlah CCTV yang semula diklaim rusak, berikutnya diakui oleh PT. Jasa Marga tidak rusak. Hanya saja nggak bisa kirim rekaman. Sekarang Komnas HAM memberi informasi ada ratusan potongan rekaman (10 menitan) dari empat CCTV yang terpasang di KM 48-51. Kenapa harus dipotong? Kenapa hanya sampai KM 51? Bukankah di KM 52+200 itu menurut rekonstruksi ada peristiwa penting? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung. Publik berharap dapat penjelasan dari temuan Komnas HAM. Namun setelah sekian hari menunggu, Komnas HAM pun menggelar konferensi pers. Apa yang dilaporkan? Beberapa proyektil dan bangkai mobil, bekas tembakan. Kalau hanya sekedar ingin menyampaikan informasi itu, tidak perlulah konferensi pers segala. Habiskan waktu dan tenaga awak media saja. Heboh kali rasanya mengumumkan konfrensi pers Senin kemarin (28/12). Sudah tiga minggu kerjanya, tak signifikan progresnya. Biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Apatisme publik terhadap Komnas HAM terjawab sudah. Dan memang selama ini, tak banyak kasus HAM yang bisa dituntaskan oleh Komnas HAM. Apatisme inilah yang membuat publik dari awal mendorong kasus ini dituntaskan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Sayangnya, presiden menolak dibentuknya TPF Independen. Ada Komnas, kenapa bikin TPF? Karena kerja Komnas dianggap tak meyakinkan. Bahkan meragukan. Makanya, perlu membuat TPF. Kalau Komnas HAM bisa dipercaya, penemuannya obyektif dan rekomendasinya bisa dituntaskan, untuk apa publik mendesak dibentuknya TPF Independen. Sampai disini, anda pasti mulai paham. So? Ada dua alternatif. Pertama, masyarakat bentuk sendiri TPF Independen. Sepeti dulu masyarakat melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membentuk sendiri TPF untuk kasus kematian Marsinah. TPF bentukan masyarakat ini tidak diakui pemerintah. Tentara masih sangat kuat dan perkasa di kekuasaan. Komanas HAM juga belum ada waktu itu. Jalan juga kerja TPF untuk kasus Mersinah. Hasilnya sangat menggembirakan masyarakat sipil. Banyak tokoh di luar pemerintahan yang punya pengalaman, mumpuni dan berintegritas untuk bekerja sebagai anggota TPF Independen. Ada Busro Muqaddas (Muhammadiyah), Bambang Wijayanto (Mantan Komisioner KPK), Komjen (Purn polisi) Oegroseno, Abdullah Hehamahua, Natalius Pigai, Zaenal Arifin Muchtar (UGM), Piere Suteki (Undip), Azumardi Azra (Agamawan dari UIN Jakarta), Haris Azhar (advokat) dan lain-lain yang bisa dipanggil untuk menjalankan TPF Independen ini. Kedua, jika tak tuntas, dan biasanya kasus-kasus seperti ini memang tak tuntas, maka tragedi ini segera menguap dan hanya akan menjadi memori memilukan bagi bangsa ini di masa depan. Tapi, publik tak akan pernah lupa ingatan bahwa ada enam generasi muda bangsa yang ditembak mati di Kilometer 50 dengan penanganan yang tak mencapai ujung. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Antara Mempercayai dan Meragukan Komnas HAM
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (29/12). Tuntutan obyektivitas penyelidikan kebenaran peristiwa "Kilometer 50" tol Jakarta-Cikampek adalah melalui Tim Pencari Fakta Independen. Semua pihak dapat menerima hasil penyelidikannya berdasarkan "independensi" kerjanya. Akan tetapi tuntutan atau usulan pembentukan ini ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya apa boleh buat. Tragedi penembakan polisi terhadap 6 (enam) anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang mengawal keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) tersebut, sejauh ini hanya ada dua lembaga yang melakukan penyelidikan, yaitu Bareksrim Polri sendiri dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Penolakan Pemerintah atas pembentukan tim independen ini membuat wajar jika publik memiliki penilaian awal meragukan akan kerja baik Bareskrim Mabes Polri maupun Komnas HAM. Mengingat Polri menjadi pihak yang terlibat, maka menjadi wajar bila objektivitasnya diragukan. Mabes Polri sulit untuk mendapat tempat utama dalam kepercayaan mengenai kasus ini. Tidak ada pilihan lain. Komnas HAM terpaksa harus dipercaya untuk melakukan penyelidikan di bawah pantauan publik yang sangat "terbatas". Namun setelah kurang lebih tiga minggu bekerja tanpa sinyal hasil, maka anggota DPR Fadli Zon mempertanyakan hasil kerja penyelidikan Komnas HAM melalui ungkapan di berbagai media. Dampaknya, pada hari Senin 27 Desember 2020 Komnas HAM melakukan konperensi pers tentang langkah dan hasil kerja penyelidikannya. Harapan ada temuan penting yang perlu diketahui masyarakat ternyata belum kesampaian. Komnas HAM menyatakan belum selesai menunaikan tugasnya. Publik masih harus menunggu beberapa waktu lagi. Komnas HAM menunjukan proyektil dan selongsong peluru yang ditemukan. Lalu pecahan mobil yang juga didapat. Menurut pengamatan beberapa kalangan, penunjukkan bukti ini sebagai kecerdikan Komnas HAM untuk mengamankan bukti-bukti yang ditemukan di lapangan. Cara mengamankan itu melalui keterlibatan publik dalam menjaganya. Meskipun demikian, jika konperensi pers ini hanya sekedar memperlihatkan temuan tersebut, sebenarnya terlalu teknis dan sederhana atas alat bukti yang masih interpretatif itu. Masyarakat tentu saja berharap informasi awal yang disampaikan Komnas HAM Senin kemarin (28/12) lebih dari itu. Informasi yang ditunggu bersifat fundamental, dan mudah untuk didapat cepat dari kerja Komnas HAM. Dua hal terpenting yang semestinya terungkap dari Komnas HAM. Pertama, Komnas HAM menyatakan bahwa timnya telah mengetahui siapa penembak keenam anggota Laskar FPI pengawal HRS tersebut. Apakah benar anggota Poldda Metro Jaya, atau pihak lain di luar kepolisian. Lebih hebat lagi jika identitas pelaku penembakan diumumkan. Kedua, berdasarkan kondisi jenazah, maka Komnas HAM menyampaikan bahwa disamping penembakan juga ada atau tidaknya penyiksaan terhadap korban. Komnas HAM mampu menjelaskan arti lebam-lebam, atau luka melepuh atau kulit yang mengelupas pada tubuh korban. Pengumuman awal seperti inilah yang dibutuhkan dan perlu diamankan dalam pengawasan publik yang sangat "terbatas". Masyarakat tentu saja memiliki keterbatasan untuk membantu kerja Komnas HAM dalam melakukan pengawan. Untuk itu, Komnas HAM harusnya melibatkan masyarakat dalam mengamankan barang bukti yang di dapat dalam penyelidikan. Mengingat belum ada hal penting yang dapat ditangkap publik tentang kerja Komnas HAM, maka posisinya saat ini Komnas HAM masih dalam bacaan antara diragukan atau dapat dipercaya. Wajar diragukan karena saat mempublikasikan bersama Polisi tentang temuan "revolver" yang menjadi bukti penembakan begitu yakin dengan detail penjelasan Kepolisian. Begitu juga dengan bantahan keras bahwa Komnas HAM telah menemukan rumah tempat yang diduga terjadinya penembakan atau penyiksaan. Meskipun demikian, publik masih akan menunggu finalnya hasil kerja Komnas HAM. Adanya suara yang mendorong keterlibatan lembaga internasional dalam penyelidikan kasus ini adalah bukti bahwa kerja Komnas HAM diragukan obyektivitasnya. Dengan duka dan keprihatinan mendalam atas peristiwa yang menyakitkan ini, akhirnya kita berdiam "wait and see" dalam ketertutupan dan gelapnya malam. Lokasi Kilometer 50 pun telah dihancurkan. Kini lokasi itu terbebas dari penghuni orang-orang yang biasa ramai melayani mereka yang berhenti untuk beristirahat. Suasana lingkungan kini kusam dan muram. Tetap berdoa semoga Komnas HAM dapat menjawab keraguan dengan hasil yang terang benderang. Berdoa agar anggota Komnas HAM terbebas dari status terperiksa di hari akhir, dan mendapat hukuman dari Allah SWT yang Maha Melihat dan Mendengar. Alangkah ruginya jika menjadi unsur tak terlibat dalam perbuatan ini, tetapi ikut terhukum karena menyembunyikan kebenaran. Sebaliknya, pahala besar akan diberikan Allah SWT bagi mereka yang berlaku jujur dan memberi manfaat besar bagi kehidupan orang banyak. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (2)
By Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (29/12). Tragedi yang menimpa 6 Laskar FPI hingga tewas akibat ditembak polisi itu bermula ketika rombongan Habib Rizieq Shihab (HRS) keluar dari Perumahan The Nature Mutiara, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu malam (6/12/2020). Sekretaris Umum FPI Munarman mengungkapkan, rombongan HRS kemudian masuk ke Tol Jagorawi ke arah Jakarta. Lalu via jalan Tol Lingkar Luar Cikunir ambil arah Tol Cikampek, menuju pengajian keluarga sekaligus peristirahatan dan pemulihan kesehatan di Karawang. Rombongan HRS terdiri 8 mobil; 4 mobil keluarga HRS, 4 mobil Laskar FPI sebagai tim pengawal. Rombongan keluarga terdiri dari HRS dan menantu serta 1 orang ustadz keluarga dan 3 orang sopir. Kemudian ada perempuan dan anak-anak, 12 wanita dewasa, 3 bayi dan 6 balita.Sementara, Laskar FPI terdiri dari 24 orang dalam 4 mobil, tiap mobilnya 6 orang laskar termasuk sopir. Semenjak keluar dari perumahan The Nature Mutiara Sentul, rombongan diikuti oleh mobil Avanza hitam Nopol B 1739 PWQ dan Avanza Silver Nopol B~~~KJD, serta beberapa mobil lainnya. Selama perjalanan di tol, ada upaya-upaya dari beberapa mobil yang ingin mepet dan masuk ke dalam konvoi rombongan HRS. Setelah Pintu Keluar Tol Karawang Timur, ada 3 mobil penguntit berusaha masuk ke dalam konvoi. Tiga mobil penguntit itu adalah: Avanza Hitam B 1739 PWQ, Avanza Silver B~~~ KJD dan Avanza Putih K~~~EL. Ada dua mobil dari pengikut HRS berada di belakang, mereka menjauhkan mobil penguntit dari mobil HRS.Salah satu dari dua mobil pengikut HRS adalah mobil Chevrolet warna hijau metalik bernomor polisi B 2152 TBN, berisi 6 laskar khusus. Setelah rombongan keluar pintu Tol Karawang Timur, salah satu mobil laskar pengawal, yaitu Avanza, sempat dipepet. Namun, berhasil lolos dan menuju arah Pintu Tol Karawang Barat. Lalu masuk ke tol arah Cikampek dan beristirahat di Rest Area KM 57. Sedangkan mobil laskar khusus DKI (Chevrolet B 2152 TBN), saat mengarah ke pintu Tol Karawang Barat berdasarkan komunikasi terakhir, dikepung oleh 3 mobil pengintai kemudian diserang. Ketika itu, salah seorang laskar yang berada di mobil Avanza yang tengah beristirahat di KM 57, terus berkomunikasi dengan Sufyan alias Bang Ambon, laskar yang berada dalam mobil Chevrolet B 2152 TBN. Telepon ketika itu terus tersambung. Informasi dari laskar yang berada di mobil Chevrolet melalui sambungan telepon bahwa saat Chevrolet B 2152 TBN itu dikepung, Sufyan alias Bang Ambon mengatakan, “Tembak Sini, Tembak” mengisyaratkan ada yang mengarahkan senjata kepadanya. Dan, setelah itu terdengar suara rintihan laskar yang kesakitan seperti tertembak ini, laskar Sufyan alias Bang Ambon meminta laskar lain untuk terus berjalan. Begitu pula saat laskar Faiz, dihubungi oleh salah satu laskar yang ikut di rombongan HRS, nampak ada suara orang yang kesakitan seperti setelah tertembak. Dan, seketika itu telepon juga terputus. Kabar 6 orang laskar yang ada dalam mobil Chevrolet sampai Senin siang (7/12/2020) tidak dapat dihubungi dan tidak diketahui keberadaannya. Ketika laskar yang menggunakan mobil Avanza istirahat di KM 57, nampak juga ada yang memantaunya, bahkan ada drone yang diterbangkan. Setelah 1 jam lebih di KM 57, mereka beranjak menuju markas FPI Karawang melalui akses pintu Tol Karawang Barat. Ketika memasuki pintu Tol Karawang Barat, tim laskar yang menggunakan Avanza tidak menemukan apa pun di lokasi yang diperkirakan sebagai TKP serangan terhadap rombongan laskar Chevrolet B 2152 TBN. FPI masih mencari keberadaan 6 Laskar tersebut di berbagai rumah sakit dan tempat-tempat lainnya. Sampai saat itu, mereka belum mengetahui keadaan dan keberadaan 6 laskar FPI itu. Ketika Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran mengatakan bahwa 6 laskar FPI ditembak mati, ini barulah diketahui kondisi ke-6 orang laskar yang ada dalam mobil Chevrolet sudah dalam keadaan tewas dengan banyak luka tembak dan penganiayaan. Jenazah Bicara Jasad mereka pun bicara! Sebanyak 19 lubang luka tembak ada di tubuh mereka. Fakta hasil otopsi RS Polri ini jelas berbeda sekali dengan temuan Komnas HAM. Hasil pemeriksaan di lapangan “ditemukan tujuh proyektil dan empat selongsong”. “Kami berjanji akan menggelar uji balistik secara terbuka dan transparan,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. Dari hasil pemeriksaan lapangan ada tujuh proyektil. “Namun yang kami yakin hanya enam, karena satu bentuknya sudah tidak jelas,” katanya. Pertanyaannya, mengapa Komnas HAM begitu yakin hanya 6 proyektil karena 1 bentuknya sudah tidak jelas? Tidak jelas bagaimana yang dimaksud? Karena secara fisik, mustahil jika proyektil itu “bentuknya sudah tidak jelas” setelah ditembakkan ke tubuh korban. Di sini Komnas HAM tampak sekali berusaha menutupi fakta sebenarnya yang dialami para korban. Anggaplah satu proyektil itu bukan penyebab kematian laskar FPI, berarti ada 13 proyektil lagi yang “hilang” entah di mana keberadaannya. Karena dari hasil otopsi di RS Polri sendiri sudah jelas, terdapat 19 lubang luka tembak di semua tubuh korban. Termasuk bekas penganiayaan yang dialaminya setelah “ditangkap” aparat kepolisian yang menguntit mereka. Coba simak tubuh mereka yang bicara fakta: 1. Andi Oktiawan (33 tahun): Bengkak dan lebam pipi bagian kiri, luka tembak di mata kiri, tiga luka tembakdi dada bagian kiri, kulit bagian belakang melepuh, lecet di bagian kepala sekitar 5 cm, dan kulit bagian pantan melepuh. 2. Faiz Ahmad Syukur (22 tahun): Lebam di bagian kening, dua luka tembak di dada kiri (satu di atas puting, satu di bawah puting), jahitan di bagian leher. 3. Muhammad Reza (20 tahun): Pipi dan kening bengkak lebam dan menghitam, tangan kiri melepuh, darah masih keluar dari bekas luka bagian belakang, kemaluan bengkak dan melepuh. 4. Lutfi Hakim (25 tahun): Hampir semua kulit belakang melepuh, empat luka tembak yang berdekatan di dada kiri, bekas lubang menghitam. 5. Ahmad Sofiyan alias Ambon (26 tahun): Dua luka tembak di dada kiri. 6. Muhammad Suci Khadavi (21 tahun): Lebam mata kiri dan tiga luka tembak (satu di atas puting, dua di bawah puting). Seperti dikutip TEMPO (Edisi 14-20 Desember 2020), menurut Ade Firmansyah, dokter ahli forensik RSCM Jakarta, salah satu ciri luka tembak jarak dekat ialah Tanda berwarna hitam pada bagian tubuh. Luka itu terbentuk karena mesiu yang menempel di kulit. Apakah semua fakta jasad 6 laskar FPI itu mau diabaikan begitu saja oleh Komnas HAM? Jika Komnas HAM berani, tidak sulit untuk mencari 19 proyektil berikut selongsongnya. Apalagi, luka tembaknya tidak sampai tembus tubuhnya. Dipastikan, semua proyektil tersebut pernah bersarang di tubuh mereka. Komnas HAM bisa tanya ke pihak RS Polri yang mengotopsinya. Langsung tanya saja, di mana proyektil yang lainnya disimpan? Jika hilang, mereka kena pasal penghilangan barang bukti! Di sinilah dibutuhkan kejujuran semua pihak, termasuk RS Polri dan Komnas HAM sendiri. Keberadaan selongsong lainnya, tinggal tanya para eksekutornya, di mana mereka simpan! Karena selongsong itu jatuhnya tidak akan jauh dari penembak! Jika Komnas HAM tidak bisa memaksa temukan kedua barang bukti (seperti proyektil dan selongsong) itu, jangan harap penembakan 6 laskar FPI ini bisa transparan. Karena, dengan kedua jenis barbuk itu bisa mengarahkan siapa penembaknya. Perlu dicatat, dalam setiap proyektil dan selonsong tersebut terdapat nomor register sebagai kode produksinya. Dari sini akan diketahui, peluru ini siapa yang pegang! (*Bersambung*) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Kalau Komnas HAM Oleng Menghadapi KM-50, Selesailah Semua
by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (29/12). Penyelidikan atas pembunuhan 6 anggota FPI oleh Komnas HAM mulai menampakkan titik terang. Kemarin (28/12/2020), Komnas menjelaskan tentang proyektil dan selongsong peluru yang mereka temukan di lokasi peristiwa. Komnas mengatakan, barang bukti ini didapat pada hari peristiwa pembunuhan itu terjadi. Ini artinya Komnas cukup sigap mengirimkan tim penyelidik ke lokasi. Barang bukti berupa proyektil dan selongsong tsb sangat penting. Bisa jadi pelor yang lepas dari selongsong yang ditemukan itulah yang menembus tubuh para korban KM-50. Komnas juga mengatakan mereka sudah memiliki berbagai bukti rekaman wawancara dengan orang-orang dari kedua pihak yang terlibat dalam peristiwa ini. Pembunuhan 6 anggota FPI itu menggemparkan publik Indonesia. Bahkan diberitakan oleh media-media besar di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dlsb. Banyak kontroversi dan kejanggalan di seputar peristiwa pembunuhan itu. Semua sepakat bahwa pembunuhan ini paling rendah masuk kategori “extrajudicial killing” (pembunuhan sewenang-wenang) atau “unlawful killing” (pembunuhan tanpa dasar hukum). Inilah kategori minimal untuk tindakan yang menyebabkan 6 nyawa manak-anak muda itu melayang. Publik memperhatikan dengan saksama penjelasan awal Komnas HAM. Sebab, pembunuhan 6 anggota FPI tsb memiliki semua karakteristik pelanggaran HAM berat. Ada tanda-tanda kesadisan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan. Bahkan, seperti ditulis wartawan senior FNN, Mochamad Toha, investigasi majalah TEMPO tentang pembunuhan itu menyiratkan pesan bahwa pembunuhan ini sangat pantas diduga berlangsung dengan satu perencanaan. Penyelidikan atas pembunuhan ini merupakan “the moment of truth” bagi Komnas HAM. Inilah momen untuk mengetahui jatidiri Komnas. Ujian penting bagi Komisi tentang kapasitas, kapabilitas, keberanian dan independensi lembaga penting ini. Publik dengan mudah bisa melihat apakah keempat parameter ini ada pada Komnas. Semua itu akan terbaca ketika para komisioner nantinya harus membuat kesimpulan tentang pembunuhan sewenang-wenang itu. Akankah Komnas berani memaparkan secara transparan dan apa adanya? Atau, akankah Komisi terbawa juga oleh suasana otoritarianisme yang sedang menyungkup bangsa dan negara ini? Fyi, publik masih sangat berharap pada Komnas HAM. Dan, sebetulnya, di lembaga ini pulalah tersandar harapan pertama dan terakhir untuk mengurai peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI itu. Kalau Komnas oleng, menghadapi tantangan KM-50, selesailah semua. Ambruklah harapan masyarakat. Sebab, penyelidikan oleh kepolisian tidak akan pernah dipercaya oleh publik. Fyi juga, piblik melihat Komnas HAM persis seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dulu, KPK pra-Perppu. Dalam arti, untuk pengungkapan tindak kekerasan dan pembunuhan sewenang-wenang oleh siapa pun juga, rakyat masih sangat berharap pada Komnas. Sebagaimana rakyat berharap kasus-kasus korupsi besar bisa diungkap tuntas oleh KPK. Para komisioner Komnas HAM pasti memahami harapan rakyat pada mereka. Semua gerak-gerik Komnas dalam proses penyelidikan ini akan selalu dicermati dan dinilai oleh masyarakat. Terus terang, di balik harapan publik pada Komnas, cukup kuat pula rasa pesimis. Banyak yang apriori. Tapi, apakah harapan itu akhirnya akan pupus? Bisa saja. Anda bisa buka lagi catatan tentang tindakan Komnas dalam menyelidiki sekian banyak pelanggaran HAM semasa pilpres 2019, mulai periode kampanye hingga penyelesaian sengketa. Ada sejumlah orang yang terbunuh dan mengalami penyiksaan di tangan aparat. Sampai hari ini tidak jelas rimbanya. Jadi, penyelidikan kasus pembunuhan 6 anggota FPI bisa dijadikan platform oleh Komnas HAM untuk segera melepaskan diri dari kungkungan ketakutan, dependensi, intervensi dan intimidasi. Jika tidak, maka kepercayaan publik akan kandas sampai ke dasar tong.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (1)
By Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (28/12). Dalam investigasi Majalah TEMPO, pada 7 Desember 2020, sebanyak enam Laskar FPI tertembak. Argumentasi polisi, para korban terbunuh ketika merebut senjata para personil. Namun, tubuh para jenazah itu secara fisik berbicara: Mereka terbunuh akibat disiksa! Bagian-bagian tubuh mereka terluka. Mereka tewas akibat tembakan jarak dekat. Dibuktikan dengan adanya kulit yang gosong di sekitar luka tembakan. Mereka ditembak jarak dekat agar diam, tak membongkar kekejaman yang dialami. Mereka tertembak dalam modus sama. Di sekitar dada kiri. Arah jantung untuk membunuh. Masihkah tidak ada empati bagi masyarakat Indonesia atas pelanggaran HAM berat ini? Apakah kita harus menunggu Mahkamah Internasional turun ke Indonesia? Sekarang ini masih menunggu keberanian Komnas HAM, apakah berani mengungkap semua bukti yang telah ditemukan. Terkait “rumah kejadian” yang disebut-sebut sudah ditemukan Komnas HAM saja, ternyata dinyatakan “Tidak Benar” alias Hoax! Hal tersebut disampaikan Komnas HAM dalam Konferensi Pers Tim Penyelidikan Komnas HAM Atas Peristiwa Kematian 6 Laskar FPI di Karawang: Perkembangan Penyelidikan dan Hasil Temuan Lapangan, pada Senin, 28 Desember 2020. Ironinya Temuan Seperti dilansir Tempo.co, Senin (28 Desember 2020 11:28 WIB), Komnas HAM menyebut belum mengeluarkan kesimpulan atau rekomendasi terkait insiden tewasnya enam laskar FPI pada Senin, 7 Desember 2020. “Kami tegaskan hingga saat ini, Komnas HAM belum mengeluarkan rekomendasi apapun, kami masih berproses mendetailkan insiden ini,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat konferensi pers pada Senin, 28 Desember 2020. Anam mengatakan beberapa pekan terakhir, lembaga ini telah mewawancarai sejumlah orang mulai dari kubu FPI, penyidik Polda Metro Jaya, Bareskrim, dokter forensik, bahkan Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol. Komnas telah turun ke lapangan untuk mewawancarai saksi masyarakat yang melihat peristiwa dan memeriksa CCTV di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Mereka juga memperoleh rekaman di jalan tol sebelum kejadian dan sesudah kejadian. Komnas HAM juga memperoleh proyektil peluru dan bekas pecahan mobil yang diperoleh dari lapangan. Komnas HAM mengantongi bukti-bukti ini, sebab mereka turun ke lokasi di hari yang sama saat insiden tersebut terjadi. “Kami turun sebelum ada voice note yang beredar di masyarakat,” ungkap Anam. Menurut Anam, proyektil dan selongsong ini akan diuji balistik. Ia berjanji uji balistik ini akan terbuka. Anam mengatakan dari hasil pemeriksaan lapangan ada tujuh proyektil dan empat selongsong. “Kami berjanji akan menggelar uji balistik secara terbuka dan transparan,” katanya. Anam mengatakan, dari hasil pemeriksaan lapangan ada tujuh proyektil. “Namun yang kami yakin hanya enam, karena satu bentuknya sudah tidak jelas,” kata Anam. Berarti 3 selongsong “hilang”, padahal ada 7 proyektil yang ditemukan. Seharusnya, jumlah selongsongnya ada 19 biji, karena total lubang peluru di tubuh jenazah itu ada 19. Di mana 12 proyektil lainnya? Juga, ada di mana 16 selongsong lainnya? Biasanya, selongsong peluru itu jatuhnya tidak jauh dari penembak. Komnas HAM seharusnya bisa mengungkap hal ini. Karena, tubuh jenazah itu bisa berbicara, tidak akan hoax! Anam mengatakan, Komnas HAM sama sekali belum mengeluarkan rekomendasi apapun terkait insiden ini. Sebab, kata dia, Komnas HAM masih harus mengecek sejumlah hal. Sebelumnya, seperti dilansir Detik.com, Kamis (24 Des 2020 19:23 WIB), Komnas HAM meminta keterangan polisi terkait insiden konta- tembak antara polisi dan laskar FPI di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek. “Tim penyelidikan Komnas HAM, hari ini, 24 Desember 2020, telah melakukan permintaan keterangan petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya terkait berbagai peristiwa kematian 6 orang anggota laskar FPI,” ungkap Anam. Permintaan keterangan ini berlangsung selama 5 jam dimulai pukul 11.30 WIB di Polda Metro Jaya yang diikuti oleh M Choirul Anam, Ahmad Taufan Damanik, beserta tim penyelidik Komnas HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Taufan menerangkan pemeriksaan ini dilakukan guna memperjelas kronologi kejadian. Selain itu, sambungnya, untuk menguji kesesuaian dan keterangan yang telah didapat pihak Komnas HAM. “Pemeriksaan untuk memperjelas alur kronologi, menguji persesuaian dan ketidaksesuaian, serta memperdalam beberapa keterangan yang sudah didapat,” ucapnya. Tidak hanya itu, di tempat yang berbeda, Komnas HAM juga memeriksa saksi dari anggota FPI. Komnas HAM juga mendapati dua dokumen untuk ditelaah. Pada hari itu juga tim penyelidik Komnas HAM sedang melakukan pendalaman pada saksi dari anggota FPI. Di samping kedua aktivitas itu, tim penyelidik Komnas HAM mengambil beberapa dokumen penunjang lainnya di tempat berbeda dari dua lokasi tersebut. Komnas HAM menyebut proses investigasi sudah 70 persen. Komnas juga telah memeriksa tim Bareskrim Polri terkait dengan barang bukti senjata api milik polisi dan FPI serta handphone yang juga milik laskar FPI. “Keterangan detail soal 4 senjata api milik petugas dan 2 senjata non-pabrikan yang diklaim polisi milik anggota FPI. Data yang ada di HP milik anggota FPI serta cacat di senjata tajam,” kata komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kepada wartawan, Rabu (23/12/2020). Versi polisi, laskar FPI dan polisi terlibat kontak-tembak di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (7/12/2020) dini hari. Kejadian bermula ketika aparat melakukan penyelidikan terhadap pengikut Habib Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek. Penyelidikan polisi dilakukan terkait adanya informasi pengerahan massa saat HRS diperiksa di Polda Metro Jaya pada Senin (7/12/2020). Namun, upaya pengejaran tersebut berujung perlawanan dari pengikut HRS. Anam mengatakan, perkembangan penyelidikan kasus tersebut kini dalam tahap konsolidasi bahan. Rencananya, temuan-temuan Komnas HAM akan diuji oleh para ahli. Jika semua tahapan sudah dilalui, Anam memastikan akan mengumumkan hasilnya. “Segera mungkin kalau semua prosesnya sudah kami lalui,” ujar dia kepada Tempo, Ahad, 27 Desember 2020. Versi Bareskrim Polri, pengikut HRS dan aparat kepolisian terlibat kontak-tembak hingga menewaskan 6 pengikut HRS. Benarkah memang terjadi “kontak-tembak” antara pengikut HRS dan polisi. Jenazah korban akan bicara faktanya! (Bersambung). Penulis wartawan senior FNN.co.id
Komnas HAM Smart, Proyektil dan Selongsong Dijadikan Public Domain
By Asyari Usman Medan FNN - Senin (28/12). Dalam konprensi pers (konpers) pagi tadi (28/12/2020) di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, terkait penyelidikan peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI pada 7 Desember, memang tidak banyak yang dijelaskan. Ada dua bukti kunci yang disebutkan. Yaitu, 6 proyektil dan 4 selongsong peluru yang mereka temukan di lokasi peristiwa. Selain itu, Komisaris Chairul Anam mengatakan pihaknya mengumpulkan banyak bukti lain, termasuk serpihan mobil. Dia juga menjelaskan bukti dalam bentuk wawancara dengan berbagai pihak yang relevan. Ada wawancara dengan orang FPI, dengan polisi, anggota masyarakat, dll. Ada juga ‘voice notes’ (rekaman suara) dari pihak FPI. Penjelasan Komnas masih ‘kering’ jika dilihat secara kuantitatif. Tetapi, publik sebaiknya membaca isyarat penting dari konpers ini. Bahwa Komnas ingin supaya 6 proyektil dan 4 selongsong peluru itu segera menjadi ‘public domain’ (pengetahuan publik). Kedua item ini sangat kualitatif. Tujuan Komnas menjadikan ini ‘public domain’ ialah agar barang bukti tsb langsung dikunci (locked) di kepala masyarakat dan disimpan oleh Komnas. Sehingga, tidak bisa lagi “ditukangi” oleh siapa pun. Mengapa dua item ini penting sekali? Sebab, proyektil dan selongsong peluru itu adalah pemeran utama pembunuhan KM-50. Tampaknya, Komnas menggelar konpers yang dipercepat ini dalam rangka mengamankan kedua bukti itu. Salah satu yang terbaca adalah bahwa Komnas boleh jadi sudah mendapatkan “clue” (petunjuk) tentang ke arah mana nanti pengustan proyektil dan selongsong itu akan bermuara. Sekarang, masyarakat sudah mencatat keberadaan dua bukti fisik tersebut. Kalau nanti, misalnya, hilang, dicuri atau dirusak maka publik bisa paham apa yang terjadi. Dan bisa pula menduga siapa yang paling berkepentingan agar proyektil dan selongsong itu hilang atau rusak. Komnas mengatakan terhadap kedua jenis barang bukti ini akan dilakukan uji balistik secepatnya. Sangat taktis. Komnas HAM ‘smart’ sekali. Menggelar konpers sedini mungkin untuk memberitahukan kepada khalayak tentang keberadaan dua barang bukti krusial tsb. Sekarang, kalau ada yang sangat ingin melakukan ‘upgrading’ atau ‘downgrading’ terhadap 6 proyektil dan 4 selongsong peluru itu, tentunya diperlukan kerja keras. Kedua bukti itu ada pada posisi ‘locked’ (digembok).[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Komnas HAM di Tengah Badai Hukum
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Ahad (27/12). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sejauh ini terlihat memasuki sudut-sudut eksplosif kematian 6 (enam) anak manusia di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Penyelidikan yang sejauh ini terlihat sangat kredibel dan hati-hati itu, sangat menarik. Mengapa? Pada saat yang sama Kepolisian juga sedang menyelidiki kasus ini. Dalam kerangka penyelidikan itu, Edy Mulyadi, Jurnalis FNN.co.id yang mempublikasi hasil investigasi jurnalistiknya, dimintai keterangan oleh penyelidik kepolisian. Apakah permintaan keterangan dari Edy Mulyadi merupakan realisasi dari sikap mereka bahwa siapa yang mengatakan enam orang mati itu tidak memiliki senjata akan diproses? Ini benar-benar menarik. Meta Etik Rule of Law Allah Subhanahu Wata’ala, Dia yang menciptakan langit dan bumi. Hidup dan kehidupan ini, sejauh pengetahuan saya yang serba sedikit, Allah sangat mengagungkan manusia, ciptaan-Nya ini. Bahkan lebih mulia dari malaikat. Dia, Sang Pencipta, mengagungkan manusia sedari dalam kandungan ibunya. Tidakkah sedari kandungan ibu, begitu penjelasan para ulama, manusia telah berikrar mengakui Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Tuhannya, dan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam sebagai Rasulnya. Memang dunia barat tidak terikat pada kaidah ini, tetapi tetap saja mengagumkan mengenali perdebatan mereka mengenai gagasan legalisasi aborsi. Manusialah, diandalkan Allah Subhanahu Wata’ala, mengenal dan menyampaikan perintah dan larangannya. Kata para ulama, manusia diciptakan tidak untuk berhianat kepada-Nya. Manusia diwajibkan mengormati nyawa manusia lainnya, juga menghormati hidup orang lain. Hal-hal itu memiliki sifat alamiah. Itulah, yang studi-studi filosofis barat konsepkan sebagai hak yang dimiliki setiap orang, karena mereka manusia. Dibekali dan melekat pada setiap manusia sedari lahir itulah, hak itu memiliki kapasitas sebagai asasi. Itulah basis terdalam etik rule of law, sebagai hak yang tidak bisa dikurangi, dengan alasan apapun. Cicero, ahli hukum yang gemilang dengan pernyataan “salus populi suprem lex esto”, yang dipakai rezim-rezim brutal untuk membentengi kebrutalannya, mengonsepkan kenyataan itu sebagai nature of human. Dengan dasar itu dignity bagi Cicero melekat pada setiap manusia. Ini alamiah bagi setiap orang. Hak-hak untuk hidup tidak diberikan oleh negara (sifat positif) menurut konsep Isaiah Berlin, Filosof Inggris ini. Menurut konsepnya, hak untuk hidup bersifat asasi. Karena telah terbekali hukum alam pada setiap manusia. Berlin mengkategorikan hak ini dengan hak yang bersifat negative. Rule of law menunjuk itu semua sebagai meta etiknya. Harus diselami, dimengerti dengan benar oleh setiap penguasa. Meta etik itulah mengalir gagasan rule of law. Meta etik ini meminta, dengan nada mendesak, aparatur politik dan hukum, tak memelihara kebencian dalam menegakan hukum. Meta etik itu pulalah yang mengalirkan keharusan kepada pemimpin politik dan hukum untuk menarik jarak sejauh mungkin dari kecongkakan dan keangkuhan ala Fir’aun, Musolini, Lenin, Hitler, Salazar, Juan Franco, dan lainnya. Begitu mendekat pada pandangan tiran-tiran iin, habislah human dignity. Hitler, ambil sebagai ilustrasi kecil. Menurut Mark Neocleous, dalam artikelnya “The Facist Moment, Security, Exclussion Extermination”, mengandalkan Secret State Police (Geheime Staatpolizie, Gestapo) polisi rahasia. Gestapo menjadi masin Hitler untuk menangkap orang sesuka-sukanya atas nama menjaga keamanan nasional (national security). Selain Gestapo, Hitler juga menggunakan Order Police (Ordnungspolizei). Polisi ini berfungsi menangani kasus kriminal. Polisi terakhir ini diciptakan Himler, yang kala itu mengepalai Gestapo. Hitler dengan organ Gestapo dan Ordnungspolizie boleh menangkap siapa saja mengkritiknya, atau tak disukainya. Rule of law konyol dan angkuh, yang Hitler sinonimkan dengan Rechstaat, tidak memberi tempat pada individu. Rechstaat khas Nazi Hitler mengagungkan kolektivisme. Dalam kenyataanya, Hitler menjadi “penentu” keamanan nasional itu negara. Neocleus menulis “He may well have said, at the end of security, there is Hitler”. Konsep ini dijustifikasi secara akademik oleh gagasan Gustav Rudbruch dan Carl J. Smith, dua ahli hukum Rusia itu. Gustav Rudbruch, pencipta teori tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Gustav dikenal terlepas dari spekulatif atau tidak, sebagai seorang nihilis. Tujuan hukum khasnya harus dimengerti dalam kerangka dirinya sebagai nihilis. Disisi Schimitian (Carl Schimith), yang poisisi filosofisnya membenarkan perang, tidak untuk alasan keadilan, melainkan untuk mengidentifikasi musuh dan kawan, jelas dalam semua aspeknya mengenai security. Baginya, security merupakan sifat alamiah dari politik. Berbeda seribu derajat dengan Hobbes. Bagi Schimid, perang semua melawan semua. Bukan individu melawan individu menurut konsep Hobbes, ilmuan Inggris ini. Bahaya eksis, setidaknya secara potensial, ketika terjadinya satu serangan kepada seseorang, sama dalam pandangannya, dengan seranggan kepada masyarakat secara keseluruhan. Satu keputusan untuk perjuangan berdarah, menurutnya, menjadi karakteristik politik. Juga merupakan cara politik mengidentifikasi kawan dan lawan. Baginya, dunia bisa dihindarkan dari perang. Tetapi baginya dunia tanpa perang, sama dengan dunia tanpa politik. Cara pandang ini, tentu tidak sedang melambung, mengukir jagat politik dan hukum Indonesia. Cara pandang ini konyol dalam semua sudutnya. Ini merendahkan kemuliaan manusia. Cara pandang ini tentu saja bertentangan tujuan bernegara kita “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Itulah gagasan mulia dan bernilai tinggi yang diwariskan para pembuat konstitusi negara UUD 1945. Bentengi Dengan Kejujuran Rule of law mengariskan “kematian” sebagai peristiwa hukum yang menghapuskan tanggung jawab pidana dari orang yang disangka sebagai pelaku. Hak menuntut dari negara hapus dengan sendirinya. Ini rasional. Bagaimana cara meminta orang mati bicara? Tetapi justru disitulah menariknya. Mengapa kasus ini terus diselidiki? Kemana arah penyelidikan ini? Meminta tanggung jawab pidana pada orang-orang FPI yang ikut mengawal Habib, yang tidak mati? Bila ya, itu juga menarik. Apa saja yang membuatnya menarik? Asumsi penyelidikan itu yang menarik. Apa asumsinya? Petugas polisi yang bertugas itu benar dalam semua aspeknya. Sebaliknya, orang-orang Habib yang mengawal dirinya, salah pada semua aspeknya. Titik. Rasionalkah ini? Itulah soal terbesarnya. Mengapa ini menjadi soal terbesar? Fakta tercecer sajauh ini, mendesakan logika lain yang sangat rasional. Bagaimana mengonfirmasi keberadaan senjata itu kepada orang mati? Apakah penyelidik sedang menelurusi asal-usul senjata itu? Ini mutlak dilakukan, agar valid hukumnya. Jelas itu tidak akan tetrcapai, karena orang yang akan dikonfirmasi sudah mati. Sisi lain yang menantang datang dari keterangan orang tua salah satu almarhum di Komisi III DPR. Andai saja keterangan ini benar-benar tak tersanggah dengan fakta lain, baru yang berbeda, maka tentu saja konsekuensinya juga jelas. Tetapi sejenak tinggal dulu soal itu. Mari bicara rule of law dulu. Dalam konteks ini, harus diakui keangkuhan sekaliber apapun, sulit untuk menyangkal peristiwa kilometer 50 ini menusuk, dan merobek-robek kemanusiaan kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia ber-Tuhan. Rule of law memang memungkinkan orang dihukum mati, tetapi rule of law juga mengharuskan adanya justifikasi hukuman mati itu yang rasional secara etik. Orang yang akan dihukum mati misalnya, harus, tanpa dapat ditangguhkan, diadili secara jujur di peradilan. Tidak itu saja, orang yang akan menjalani hukuman mati itu, diberi kesempatanm untuk menyampaikan permintaan atau pesan terakhir kepada ayah, ibu, istri atau anaknya, yang akan ditinggalkan. Begitulah adab etik rule of law. Begitulah etik rule of law menampilkan derajat penghormatannya terhadap nyawa manusia dan kemanusiaan. Adab itu juga akan bekerja dengan cara para penembak, yang akan menembak mati terpidana, tak diberi tahu senjata mana yang telah terisi peluru. Para penembak itu tak bakal tahu bahwa senjata yang digunakannya yang mematikan terpidana mati itu. Sebab penembak itu juga manusia. Cara itu dimaksudkan untuk tak melukai rasa etik para penembak. Komnas HAM telah bekerja. Tak usah ditawarkan aspek-aspek teknis invesitgasi dan apa yang harus didapat dalam investigasi mereka. Fakta parsial yang terekam dalam investigasi mereka, terlihat begitu meyakinkan di permukaan. Seberapa detil dan apakah setiap detilnya kredibel, masih harus dianalisis. Komnas HAM, harus diakui, tak punya apa-apa. Disisi lain medan kerja mereka berada ditengah rule of law yang telah keropos. Ketidakpastian, kata lain dari dinamika politik, yang selalu dapat menghasilkan “keadaan baru yang tak tertebak,” telah menjadi ikon rule of law mutakhir. Itu tantangan terbesar Komnas HAM. Bagaimana dan dengan apa Komnas HAM membimbing penyelidikan yang terus berlangsung ini? Komnas HAM hanya perlu membekali diri dengan keyakinan bahwa pekerjaan ini mulia dalam semua dimensinya. Jujurlah dalam semua aspek. Cukupkan saja investigasi ini dengan “jujur” sebagai jiwanya. Ukirlah dan bungkuslah seluruh temuan dengan itu kemuliaan yang tinggi. Semoga kemanusiaan yang selalu mulia dan agung itu, terus bersinar dihari-hari esok. Tuan-tuan Komnas HAM, jujur itu benteng tertangguh di dunia dan diakhirat, begitu pesan bijak Syech Abdul Kadir Jailani. Ungkaplah semua aspek peristiwa melayangnya enam nyawa manusia di kilometer 50 itu, dengan sejujur-jujur-jujurnya. Kaidah republik menggariskan kekuasaan hukum harus digunakan menurut kaidah rule of law. Sombong, angkuh, benci kelompok ini dan sayang kelompok itu, bukan kaidah republik dan rule of law. Selamat bekerja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.