HUKUM

Jenazah Ustadz Maheer Perlu Diotopsi Tim Dokter Independen

by M. Rizal Fadillah Bandaung FNN - Ustadz Maheer At Thuwailibi telah meninggal dalam status tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Mengapa dalam keadaan sakit, masih tetap dipaksakan untuk ditahan? Mengapa tidak ditangguhkan saja dulu penahanannya sesuai permohonan penagguhan penahanan dari istri almarhum Ustadz Maheer? Tentu dengan alasan terbuka meninggalnya Ustadz Maheer adalah akibat sakit yang belum jelas jenis penyakitnya apa? Konon masalah lambung. Diantara kuasa hukumnya, ada yang mencurigai kematian Ustadz Maheer itu sebagai meninggal tidak wajar. Sebab itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berniat menyelidiki sebab meninggalnya ustadz Maheer. Sayangnya niat baik Komnas HAM tersebut direspon dengan tidak antusias oleh publik. Ada rasa tak percaya kepada Komas HAM berdasarkan pengalaman penyelidikan atas terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Khawatirnya hasil penyelidikan Komnas HAM malah mirip-mirip dengan penjelasan polisi. Meski ada dugaan yang menguat di masyarakat. Tetapi tidak bisa dipastikan bahwa Ustadz Maheer meninggal sebagai korban dari pembunuhan politik. Apalagi akibat diracun segala. Untuk itu, ada baiknya dilakukan otopsi dan klarifikasi kebenaran bahwa pendakwah ini meninggal dengan wajar. Bukan meninggal karena diracun atau sejenisnya. Otopsi melibatkan tim kesehatan yang independen. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Mer-C dan Dokter Rumah Sakit Muhammadiyah perlu dilibatkan dalam tim yang melakukan otopsi. Sebab bagaimanapun kematian dalam status sebagai tahanan patut untuk dicurigai. Aapalagi akses publik yang terbatas terhadap tahanan adalah faktor-faktor keniscayaan itu. Dalam sejarah, kematian aktivis HAM Munir dalam perjalanan pesawat Garuda 747 rute Jakarta-Amsterdam Belanda tahun 2004 adalah bukti pembunuhan politik dengan diracun lewat makanan dan minuman. Pilot senior pesawat Garuda, almarhum Pollycarpus Budihari yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir. Pollycarpus dihukum oleh Pengadilan dengan penjara 14 tahun. Pada bulan Oktober 2020 lalu, Pollycarpus meninggal dunia setelah selesai menjalani hukuman di penjara. Publik sangat faham kalau Pollycarpus hanya sebagai fasilitator pembunuhan Munir. Orang yang dipilih untuk dikorbankan. Sedangkan aktor intelektual hingga kini tidak terungkap. Aktornya masih bergentayangan sampai sekarang. Kecurigaan pembunuhan melalui racun juga terjadi pada saat meninggalnya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik dengan indikasi wajah yang penuh bintik merah. Husni Malik menjadi penanggungjawab atas pelaksanaan Pilpres 2014. Tidak ada penyelidikan apa-apa atas kematiannya itu. Dugaan bisa iya bisa juga tidak, karenanya semestinya ada otopsi dan penyelidikan yang mendalam. Dugaan racun yang mengakibatkan kematian juga terjadi pada mantan Jaksa Agung, alhmarhum Baharuddin Lopa. Publik mengenal Baharuddin Loppa sebagai Jaksa Agung yang tidak memberi ampun kepada para koruptor yang terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLIB). Lopa meninggal di Arab Saudi. Jasadnya hitam, yang diduga kebakaran akibat racun. Racun sebagai alat pembunuhan politik telah tercatat sejak lama digunakan oleh penguaa. Pada masa Kerajaan Romawi Kuno, para Kaisar maupun lawan-lawan politiknya biasa dibunuh dengan cara diracun. Racun menjadi salah satu alat paling ampuh untuk membunuh lawan. Nero dan Caligula membunuh penentangnya dengan berbagai cara, diantaranya dengan racun. "Janda Hitam dari Roma" tiga peracik racun terkenal yang dipekerjakan oleh Kaisar untuk membunuh lawab politiknya adalah Martina, Locusta, dan Canidia. Kaisar perempuan Cina Wu Zetian juga gemar meracun pihak yang berseberangan dengannya, termasuk terhadap anggota keluarganya sendiri. Dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam. Alexei Novalny tokoh oposisi Rusia koma karena diracun pada teh yang diminum saat tinggal landas dari bandara Omsk. Kim Jong Nam, adaik tiri penguasa tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, bulan Februari 2018 dibunuh di Kuala lumpur dengan mengoleskan racun saraf kimia VX di wajahnya. Racun menjadi alat paling ampuh untuk menghabisi lawan politik. Georgi Markov yang menjadi salah satu pengeritik Pemerintah Bulgaria meninggal karena diracun dengan zat O,2 miligram risin. Dan banyak lagi tokoh politik yang dibunuh dengan cara diracun. Tentu saja tidak boleh ada kecurigaan, kalau Ustadz Maheer yang meninggal di Rutan Bareskrim Polri karena diracun. Untuk itu, perlu dilakukan otopsi oleh tim independen. Supaya tidak ada kecurigaan yang berkiatan dengan wafatnya ustadz Maheer, perlu dioptimalkan klarifikasi dan pertanggungjawaban. Perlu dilakukan dengan pembuktian kesehatan dan penanganan pada saat masih sakit. Sebelumnya publik telah dikejutkan oleh peristiwa sesak nafas berat yang dialami Habib Rzieq Shihab (HRS) dalam tahanan Polda Metro Jaya. Sehingga tabung oksigen selalu disiapkan untuk HRS. Kini pun konon HRS masih sakit-sakitan. Tragis memang prilaku penegak hukum republik ini. Harus memaksakan kewenanganya untuk menahan orang di dalam Rutan, meskipun dalam keadaan sakit. Entah sila kemanusiaan yang adail dan beradab yang seperti apa yang dipahami oleh mereka? Dimana saja sila yang kedua dari Pancasila ini ditempatkan dalam panduan penegakan negeri ini? Ulama dan aktivis Islam serta pejuang demokrasi banyak ditahan dan dalam proses peradilan. Akses komunikasi sangat terbatas dengan alasan pandemi Covid 19. Agar terjamin kondisinya dan terhindar dari kecurigaan atas perlakuan yang di luar hukum dan melanggar HAM, perlu selalu terinformasikan keadaannya baik kepada keluarga maupun masyarakat luas. Sebenarnya kasus Ustad Maheer hanya berkaitan dengan delik penghinaan yang sifatnya "personal". Rasanya tidak perlu sampai mendapat tekanan hukum yang berlebihan, sehingga menderita sakit parah di dalam Rutan Bareskrim. Ungkapan Novel Baswedan perlu menjadi pelajaran "orang sakit kenapa dipaksakan ditahan?". Menurutnya kematian ini bukan persoalan sepele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pak Hakim, Jangan Hukum Syahganda dan Jumhur

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum (Bagian Pertama) Ternate FNN - Tim penasihat hukum Syahganda yang berjumlah 25 orang terlihat skeptis terhadap persidangan Syahganda. Sikap itu diperlihatkan, pada satu sidang dengan walk out. Skeptisisme itu terlihat juga pada persidangan Jumhur Hidayat. Sama, ada keraguan terhadap bobot kejujuran hakim yang menyidangkan perkara mereka. Kalau kasus yang dipaksankan kepada Sahghanda, telah memasuki pemeriksaan bukti. Ini berbeda dengan peradilan untuk kasus yang dipaksakan kepada Jumhur. Sidang perkara Jumhur baru sampai tahap putusan sela. Tetapi apapun itu, skeptisisme telah melilit kencang tubuh kejujuran peradilan. Kemuliaan Artifisial “Yang Mulia”, itu panggilan untuk hakim di peradilan manapun. Sebutan itu harus duiberikan kepada mereka saat para hakim yang memeriksa dan mengadili sebuah perkara, apapun itu. Hakim, entah berkelakuan baik, berpengetahuan top atau tidak, harus dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia” kala mereka memeriksa dan mengadili perkara. Itu absolut. Sebegitu mulianya hakim, sehingga penghormatan kepada mereka diberikan sejak hakim itu memasuki ruang sidang. Bahkan hingga meninggalkan ruang sidang itu. Berdiri dan bersikap hormat, itu sikap yang diharuskan oleh adab peradilan kepada siapapun kala hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang. Begitu peradaban hukum memuliakan para ahli yang putus perkara ini. Sebutan mewah itu disodorkan peradaban hukum, karena “adil” bekerja dan menemukan bentuk kongkrit melalui putusan mereka. Peradaban hukum tak membekali mereka dengan senjata dan pasukan. Tidak. Peradaban hukum hanya membekali mereka dengan “independensi.” Itu benteng dan senjata mereka yang tercanggih. Peradaban hukum betul-betul memandang mereka sebagai hal penting ,yang tidak terkira. Contemp court, untuk tujuan itu, disodorkan untuk mengaja kehormatan mereka. Tetapi semulia-mulianya hakim didunia ini, pasti tak lebih mulia dari wali Allah Subhanahu Wata’ala. Kemulian hakim diberi oleh hukum, sedangkan kemuliaan para wali Allah datang dengan sendirinya. Wali malah menyembunyikan kemuliaannya dihadapan manusia. Kemuliaan yang didemonstrasikan, sejatinya bukan kemuliaan. Itu sebabnya wali tak mencari dan meminta orang memuliakan mereka. Sama sekali tidak. Hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu kewalian mereka. Top markotop. Hakim pasti tak mencarinya. Kemulian mereka diberikan oleh peradaban hukum. Karena sejumlah pertimbangan, yang epistemologisnya jelas. Itulah beda hakim dan wali. Hakim dimuliakan oleh peradaban politik dan hukum karena dalam sifat epistemologisnya berinduk pada keadilan. Main golf, bukan pekerjaan wali. Entah kalau hakim. Boleh jadi ada yang melepas penat dengan cara main golf. Mungkin seiring datangya kepenatan berurusan dengan tumpukan erkas yang harus diselesaikan. Apakah hakim-hakim di pengadilan negeri Depok, yang saat ini sedang memeriksa, mengadili dan akan memutus perkara sahabat Dr. Syahganda Nainggolan, melepas penat dengan cara golf? Entahlah. Hebatkah mental hakim-hakim ini? Entahlah. Sikap hakim yang tidak membolehkan Dr. Syahganda Nainggolan hadir di persidangan merupakan sikap terkordinasi? Entahlah. Bila ya, dengan siapa kordinasi dilakukan? Layakkah kordinasi dipertimbangan dalam menganalisis kenyataan pahit nan pedih ini? Tak ada alasan untuk spekulasi bicara. Hakim-hakim yang hebat atau biasa-biasa saja, dimanapun di dunia ini tahu, mereka bukan tukang hukum orang. Pasti itu. Tukang hukum itu pekerjaan orang tak berakal. Bandit pun belum tentu mampu melakukannya. Mereka juga punya rasa, punya belas kasih, punya akal dan hati. Para hakim didunia ini tahu pekerjaan mereka adalah menemukan hukum untuk perkara yang mereka periksa, adili dan putus. Tidak lebih. Menemukan itu setara pekerjaan meniti titian tipis terjal. Sekejab saja hilang fokus, keseimbangan melayang, anda akan terjatuh, terjerembab dalam derita nan pedih. Itu dicontohkan oleh hakim Syuraih, sang ahli fiqih, yang diangkat Sayidina Abubakar menjadi hakim ini. Syuraih, hakim top sepanjang masa ini, dalam sejarah peradaban hukum Islam terukir utuh dengan konsistensi, tawaddu tanpa batas. Tawaddu, karena ia mengerti risiko dirinya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai hakim. Kedalaman pemahamannya terhadap Din Islam, hak dan bathil, asbabun nudzul teks dari kalam Allah, sungguh mengagumkan. Syuraih tahu keharusan berlaku adil dalam memutus perkara. Dia juga tahu akhir hidup yang pasti. Kedalaman ilmunya menenggelamkan diri di lautan kalam Allah, tersaji menjadi kunci utama dia menghidupkan samudara keadilan. Sebab di jalan itu dia memperlakukan para Khulafa Ar-Rashidin, Sayidina Umar dan Sayidina Ali, sebiasa dia memperlakukan rakyat biasa. Dia, terlihat pada perkara baju besi yang diklaim Sayidina Ali Bin Abi Thalib, memperlakukan teks tidak sebatas huruf demi huruf. Dia mengerti yang dikenal dengan beyond the text. Tahu penyebab lahirnya teks itu. Pengetahuannya membawa dirinya menyelami apa yang disebut asbabul nudzul-nya, atau apa yang P.S Atiyah, ahli hukum Inggris sebut sebagai black box. Syuraih tak mungkin dicampakan sejarah. Ia terlalu anggun untuk dibiarkan tercecer dalam memori pemikiran dan peradaban peradilan Islam. Tak canggung, atau harus berkoordinasi dengan Sayidina Ali. Ia memutus berdasarkan hukum dan ilmu yang dipunyainya. Status Sayidina Ali sebagai Imam dan Amirul Mukminin, tak mampu membuat Syuraih kehilangan iman. Kebesaran Sayidina Ali, tak membuatnya membungkuk khas jongos, yang terampil dengan suka menjilat kekuasaan. Hebat, sebab adil itu perkara besar. Lebih besar dari semesta. Adil itu jelas, bukan perkara politik kelas pecundang. Bukan. Ini perkara, yang terlalu besar untuk dianggap biasa. Adil bukan perkara teknis hukum. Adil bukan perkara, yang John Rawls, Hakim Agung Amerika yang top itu sebut fairness. Memahami teks, adalah step awal absolut bagi hakim. Tetapi teks tidak pernah sempurna sebagai penanda maksud pembuatnya. Teks selalu memiliki konteks. Konteks hanya dapat dimengerti kalau diinterpretasi. Interpretasi, bukan kegiatan yang lepas tuntas dari kedalaman pengetahuan dan derajat nilai yang dianut oleh hakim. Interpretasi tidak mungkin tidak merupakan pengujian, tes, terhadap keselarasan norma dengan prinsip-prinsip yang melembaga dalam sistem hukum, yang menjadi bagian integralnya. Derajat keterterimaan norma yang bersifat hipotetikal, dan justifikasi keputusan yang didasarkan padanya, tergantung pada seberapa tepat sebab timbulnya aturan itu dimengerti secara utuh oleh hakim. Cukupkah itu? Tidak. Itu masih tergantung pula pada apakah derajat keterterimaannya terlihat konsisten dan koheren atau tidak. Praktis aturan yang bersifat hipotetik harus dicari konteksnya, lalu ditimbang konsistensi dan koherensinya dalam penerapannya. Itulah jalan kecil menemukan hukum yang adil. Telusuri Konteks Lahirnya UU Hakim dalam perkara kawan-kawan ini, mau atau tidak mau, harus menemkukan secara tepat konteks teks pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Menyiarkan “berita atau pemberitaan bohong” atau “kabar yang berlebihan” bukan teks tanpa konteksnya. Konteksnya harus kongkrit, tak hipotetikal. Teks itu harus dikenali dengan sangat cermat oleh majelis hakim. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak diperlukan juga ahli bahasa, juga ahli administrasi negara untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak juga diperlukan ahli bahasa untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Berita mengenai demonstrasi buruh, itu nyata. Dapat diverifikasi. Demonstrasi yang diberitakan itu, nayat-nyata terjadi. Itu sebabnya, untuk alasan apapun, berita yang diberitakan oleh siapapun yang merujuk berita itu, atau berita lain dari siapapun, tidak dapat dikategori sebagai “berita tak pasti, dan bohong yang disengajakan menciptakan keonaran”. Begitu Pak Hakim. Kecuali jongos kekuasaan, ilmu hukum tidak menyediakan argumen untuk siapapun menginterpretasi, apapun metode atau pendekatannya, demonstrasi sebagai keonaran. Tidak itu. Demonstrasi yang ricuh, jelas tidak sesuai dengan hukum. Onarkah ini? Tidak juga. Kericuhan itu hanya berakibat secara hukum menjadi alasan hukum demonstrasi dibubarkan. Kalau ada yang membakar, dan sejenisnya, ilmu hukum mengharuskan pelakunya dihukum. Hanya itu titik. Tidak lebih dari itu Pak Hakim. Tindakan melawan hukum pada demonstrasi itu, sama sekali tidak dapat ditunjuk ilmu hukum sebagai “keadaan hukum yang mengubah sifat demontrasi itu sebaga peristiwa hukum sah menjadi melawan hukum. Ini juga disebabkan norma “memberitakan berita yang berlebihan dan dengan sengaja membuat onar” sama sekali tidak bersifat hipotetikal. Norma “menyebarkan berita bohong, dan dengan sengaja menerbitkan keonaran” dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946, menunjuk keadaan kongkrit Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Norma pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) juga pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 ini bertolak dari keadaan kongkrit pada Dr. Syahganda, Jumhur dan teman-temannya. Situasi politik dan keamanan jauh dari beres dalam arti minimal sekalipun di tahun 1946 itu. Kabinet baru terbentuk tanggal 4 September 1945, organ pemerintah dan negara belum terbentuk. KNIP masih jadi badan pembantu Presiden. TNI baru belum ada. Polisia apalagi, entah dimana? TKR memang dibentuk tanggal 5 Okober 1945, tetapi organisasinya jauh dari masuk akal untuk sebuah negara yang akan berperang. Desas-desus Belanda akan masuk lagi terus menghantui masyarakat. Benar tanggal 15 September 1945 sekutu masuk. Belanda, si tukang jajah membonceng di dalamnya. Namanya NICA, di dalamya ada tentara. Politik dalam negeri tidak juga stabil. Ada ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Bung Karno. Pemerintahannya dinilai antek jepang dan fasis. Pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan diplomasi Indonesia. Sekutu tidak akan suka bicara dengan pemerintah. Cara untuk menghindarinya adalah mengubah sistem pemerintahan itu. KNIP yang dari awal dirancang menjadi badan yang membantu Presiden, diubah jadi badan legislatif. Karena situasi, maka fungsi itu cukup diselenggarakan oleh satu Badan Pekerja (BP). BP KNIP akhirnya dibentuk, dengan 15 personl. Sjahrir, orang yang sedari awal tidak sejalan dengan Bung Karno memimpin Badan ini. Kelak setelah melewati perbincangan politik yang perlu, sistem pemerintahan diubah. Dinyatakan dalam Maklumat X yang ditandatangani Bung Hatta. Tanggal 14 November 1945 sistem pemerintahan Presidensial dengan Bung Karno sebagai Presiden berakhir. Diganti dengan Kabinet Sjahrir I, diresmikan pada tanggal itu juga. Bung Karno tak keberatan. Tetapi Ali Sastroamidjoyo jelas menilai tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, apapun alasannya. NICA Belanda, beraksi keras. Begitu juga tentara sekutu. NICA malah merekrut sebagian personil KNIL, tentara lokal yang dipekerjakan sebagai tentara mereka. Sebagian lagi, yang terbanyak tentu saja, tetap bekerja untuk Indonesia yang masih muda itu. KNIL Belanda sangat ganas. (Bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Catatan Hukum untuk Kapolri, Inikah Kebijakan Yang Adil dan Pro-Umat Islam?

Kepada Pak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, penulis bertanya. Inikah kebijakan Polri yang promoter? Inikah kebijakan Polri yang pro terhadap umat Islam? Sampai kapan, para ulama dan aktivis dizalimi? by Ahmad Khozinudin SH. Jakarta, FNN - PENULIS prihatin, tetapi tidak terlalu terkejut mendengar kabar KH Ahmad Sabri Lubis (mantan Ketum DPP FPI), Ustaz Haris (mantan Bendahara DPP FPI), Habib Hanif Alatas (Menantu IB - Ketum FSI), Habib Idrus Al Habsy (mantan Ketua LDF FPI), Habib Ali Alatas (mantan Sekretaris LDF) dan Ustaz Maman Suryadi (mantan Panglima Nasional LPI), ditahan oleh Bareskrim Mabes Polri (Senin, 8/2). Prihatin, karena penahanan ini menambah deret panjang nama sejumlah ulama dan aktivis yang dikriminalisasi oleh rezim. Tidak terkejut, karena sesungguhnya tindakan ini sudah menjadi pola rezim. Semua yang kontra rezim, dianggap berseberangan dengan rezim, ditahan. Baik dengan proses pemeriksaan pendahuluan, atau langsung ditangkap dan ditahan seperti klien penulis, Gus Nur. Namun, tidak berselang lama penulis sedih dan marah. Bersedih, karena tidak lama ada kabar dari ruang tahanan Bareskrim Polri, Ustaz Maheer At-Thuwailibi meninggal dunia. Marah, karena beliau meninggal dalam status ditahan oleh Bareskrim hanya karena unggahan status Twitter. Lantas, penulis bertanya dalam hati. Apakah, Polri dengan menahan para ulama dan aktivis Islam, sudah merasa gagah ? Menunjukkan, bahwa negara tidak kalah ? Lantas, kenapa itu tidak terjadi atau tidak berlaku pada Abu Janda? Ade Armando? Deni Siregar? Apalagi, kematian Maheer At-Thuwailibi sungguh sangat tidak bisa diterima. Status almarhum masih tersangka, bukan terpidana. Beliau, memiliki hak untuk diperlakukan dengan asas praduga tidak bersalah. Semestinya, proses hukum tidak wajib dengan penahanan. Jika sudah meninggal dunia begini, apa alasan Polri ? Hanya akan mengunggah argumen 'kematian Ustaz Maheer At-Thuwailibi adalah takdir Allah SWT'? Tidak perlu diajari, jika itu yang dikemukakan, tak perlu mengunggahnya. Kami umat Islam, terbiasa ridlo dengan Qadla Allah SWT, baik maupun buruk dalam pandangan kami. Namun, yang menjadi pertanyaan kami umat Islam, perlakuan apa yang diterima Ustaz Maheer At-Thuwailibi sehingga beliau meninggal dunia di tahanan? Kalau sakit, apa penyebabnya? Apakah, Polri tidak segera mengambil tindakan preventif dan kuratif untuk menjaga kesehatan tahanan yang berada dalam kewenangan dan tanggung jawab Polri? Jika kesehatan dan keselamatan Ustaz Maheer At-Thuwailibi tidak terjaga dan bahkan meninggal dunia dalam tahanan, bagaimana dengan nasib tahanan lainnya. Bagaimana dengan nasib Gus Nur? Bagaimana dengan nasib Habib Rizieq? Bagaimana dengan nasib Syahganda Nainggolan ? Bagaimana dengan nasib Jumhur Hidayat? Bagaimana dengan nasib ustazah Kinkin? Bagaimana dengan nasib Ali Baharsyah? Bagaimana nanti keadaan KH Ahmad Sabri Lubis, Ustaz Haris, Habib Hanif Alatas, Habib Idrus Al Habsy, Habib Ali Alatas dan Ustaz Maman Suryadi, yang baru saja ditahan oleh Bareskrim Polri? Selama ini, para ulama dan aktivis dipersoalkan dengan sejumlah pasal yang sumir. Dari pasal 28 ayat (2) UU ITE, pasal makar, UU Kesehatan, hingga dianggap melakukan penghasutan dengan delik pasal 160 KUHP. Sudah banyak aktivis dan ulama yang ditangkap dan ditahan Bareskrim. Ada yang sudah disidang, adapula yang masih dalam penyidikan. Apa pun alasannya, yang jelas Maheer At-Thuwailibi meninggal dunia di tahanan Mabes Polri dalam status tersangka. Semua ada pada kewenangan dan tanggung jawab Polri. *Umat Islam perlu jawaban yang jujur, apa yang sebenarnya terjadi pada Ustadz Maheer At-Thuwailibi.* Kepada Pak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, penulis bertanya. Inikah kebijakan Polri yang promoter? Inikah kebijakan Polri yang pro terhadap umat Islam? Sampai kapan, para ulama dan aktivis dizalimi? Seorang tahanan meninggal dunia, benar-benar merupakan kinerja yang tak profesional. Kebijakan penanganan kesehatan yang diberikan, tidak mencerminkan layanan yang modern. Dan kasus ini, jelas menggerus kepercayaan publik khususnya umat Islam kepada Polri. Tak perlu berdalih, kepolisian hanya menindaklanjuti laporan masyarakat. Buktinya, laporan umat Islam termasuk terhadap Abu Janda juga ditanggapi biasa saja. Semua penyematan status tersangka hingga kebijakan menahan tersangka, termasuk meninggalnya tahanan di Bareskrim Polri menjadi tanggung jawab Kapolri. Penulis berharap, agar Kapolri Listyo Sigit Prabowo terbuka dan memberikan penjelasan yang tuntas tentang semua ini. Jangan sampai, umat Islam merasa terzalimi dan didiskriminasi di era kepemimpinan Anda. ** Penulis adalah Advokat, Aktivis dan Sastrawan Politik.

Kasus Laskar FPI dan Abu Janda, Ujian Kesetiaan Kapolri Pada Presiden dan NKRI!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ujian terbesar Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo saat ini memang tentang penuntasan pembunuhan 6 Laskar FPI. Jika Kapolri ini ingin namanya tercatat dengan tinta emas lembar sejarah bangsa, dia harus berani menyeret dalang di balik peristiwa ini ke meja hijau. Tidak hanya sekadar menyeret, tetapi Kapolri harus transparan kepada publik dan memiliki alat bukti yang kuat. Hal ini harus dilakukan supaya ketika kasus disidangkan, publik tidak melihat permainan hukum semata, dengan “mengorbankan” kroco-kroco saja. Pada sisi lain, kesungguh-sungguhan Jenderal Listyo untuk mengungkap tuntas kasus Laskar FPI ini dengan menyeret aktor intelektualnya akan menepis anggapan, Polri “bermusuhan” dengan kaum Muslim. Hal ini akan menjadi preseden baik di mata publik, mengingat bahwa Jenderal Listyo seorang beragama Kristen. Selain itu, supaya Kapolri akan bisa menyelamatkan Presiden Joko Widodo dari “ancaman” lengser. Sebab, bukan tidak mungkin akan terjadi aksi massa untuk melengserkan Jokowi dengan menumpang sejumlah isu yang dirasa menyudutkan kaum muslim saat ini. Harus diingat, indikator untuk pelengseran Jokowi dan upaya mempercepat pilpres sudah nyata terlihat di lapangan. Dan, isu untuk itu, salah satunya, muncul dari belum terlihatnya upaya nyata penuntasan kasus 6 Laskar FPI dan menyeret aktor intelektual di belakangnya. Apalagi, lewat Menko Polhukam Mahfud MD, Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar kasus terbunuhnya enam 6 Laskar FPI diusut secara hukum dengan adil dan transparan. Ini bagus. Tapi pertanyaannya, bagaimana realisasinya di lapangan? Perintah Presiden ini seharusnya mengunci Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Dia tidak punya pilihan lain, kecuali harus melaksanakan perintah atasannya. Mengabaikan perintah tersebut, sama artinya Kapolri melakukan insubordinasi. Kapolri jangan melawan Presiden! Tidak hanya rakyat Indonesia, mata dunia pun sekarang tertuju pada upaya Kapolri untuk menuntaskan kasus tersebut. Bisa tuntas atau tidak? Atau, justru malah Jokowi yang ikut “terjungkal”. Atau, ini jalan untuk mempercepat Pilpres. Jenderal Listyo bisa ikut menentukan arahnya. Karena, akhir-akhir ini fakta nyata telah ada upaya pemakzulan Presiden Jokowi. Undangan rencana demonstrasi itu mulai beredar di medsos dan WAG. “Tindakan rezim Jokowi sangat jauh dari harapan rakyat, tidak amanah, penyalahgunaan jabatan, bahkan tidak berkeadilan hukum dalam banyak kasus yang terjadi,” tulis undangan atas nama Humas BEM Indonesia itu. “Maka diminta untuk semua rakyat indonesia yang menginginkan perubahan kepemimpinan yang adil agar kiranya bisa merapat pada: Jumat, 12 Pebruari 2021, pukul 13:00 s/d lengserkan Jokowi – Ma’ruf Amin. Pantang pulang sebelum rakyat menang.” “Kawal demokrasi, kawal keinginan rakyat yang berkeadilan, kawal konstitusi, kembalikan Pancasila dan UUD 45, Kembalikan Dwifungsi ABRI sebagai alat Pertahanan Keamanan Negara serta berpolitik, bubarkan kabinet dan parlemen, bentuk DPR/MPRS.” Terlepas apakah benar yang mengungundang tersebut berasal dari Humas BEM Indonesia, setidaknya hal itu telah membuktikan adanya kegelisahan sebagaian masyarakat yang bisa melihat kondisi sosial-politik dan hukum yang terjadi akhir-akhir ini. Lihat saja bagaimana perlakuan aparat penegak hukum kepada pegiat media sosial Permadi Arya atau Abu Janda yang saat ini menjadi sorotan sejumlah kalangan. Salah satunya, pakar telematika KRMT Roy Suryo. Nama Abu Janda makin melejit karena dianggap “sakti” tak tersentuh oleh hukum. Padahal, beberapa kali dia dilaporkan atas berbagai kasus terkait ocehan yang menyinggung suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Seperti dilansir dari GenPI.co, Jum’at (05 Februari 2021 09:20), Roy Suryo menyimpulkan, perilaku Abu Janda di media sosial yang kerap menuai polemik dikarenakan dia dibayar oleh uang rakyat. “Dari pengakuan si Abu Janda @permadiaktivis1 ini setidaknya ada dua fakta, (Pertama) Komisaris-komisaris BUMN adalah (bagi-bagi Jabatan) untuk yang berjuang di TKN,” cuit Roy Suryo dalam Twitter, Rabu (3/3/2021). Sebelumnya, beredar video di mana Abu Janda mengatakan secara gamblang, dia direkrut oleh Jokowi untuk menjadi tim pemenang kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 2018. Roy Suryo juga mengatakan bahwa Abu Janda dan juga Deni Siregar merupakan Influencer peliharaan yang dibayar menggunakan uang rakyat. Sebelumnya, Abu Janda memang dikenal sebagai sosok yang membela Jokowi habis-habisan. Kendati begitu, Abu Janda menolak disebut buzzer. Ia mengaku ketiuka itu posisinya sebagai influencer atau orang yang memberikan pengaruh kepada masyarakat. Dalam sebuah kesempatan Abu Janda pun membeberkan pendapatannya serta hasil menjadi infuencer presiden. “Kalau orang bisnis itu istilahnya jebol, ya pas direkrut sama Pak Jokowi tahun 2018,” ujarnya. “Kami direkrut setahun sebelum Pilpres. Jadi aku lumayanlah, Alhamdulillah dapetnya (gaji) lumayan. Itu jackpot lah, sebelumnya bisa makan aja udah syukur,” beber Abu Janda, Selasa (2/2/2021). Dia juga mengaku ketiban durian setelah menjadi Tim Sukses Jokowi. “Plus gara-gara jadi Timses Jokowi, aku ada peluang untuk itu (pergi ke luar negeri untuk menjadi pembicara). Alhamdulillah, rezekinya lumayan,” katanya. Dalam kesempatan yang sama, Abu Janda juga bicara mengenai peluangnya menduduki kursi komisaris BUMN. Sebab, banyak pendukung Jokowi yang belakangan ramai mengisi jabatan tersebut. Dia pun mengatakan tak pernah ditawari kursi komisaris lantaran dia sudah dibayar besar sebagai influencer. “Kenapa ada yang dapat jabatan komisaris dan enggak? Karena, orang-orang yang dapat jabatan komisaris ini adalah orang-orang yang memang berjuang di TKN waktu itu. Kalau aku dan Denny Siregar adalah influencer yang dibayar, gede lagi,” jelas Abu Janda. Benarkah pengakuan Abu Janda yang menyeret nama Presiden Jokowi tersebut, Jenderal Lisyo Sigit harus bisa menjawabnya dengan memproses hukum Abu Janda secara adil dan terbuka. Sebab, pengakuan Abu Janda itu jelas sangat merugikan citra Presiden Jokowi. Jika proses hukum tak dilakukan pada Abu Janda yang jelas-jelas merusak nama baik Presiden Jokowi, jangan salahkan jika rakyat berbuat seperti polisi yang mengeksekusi 6 Laskar FPI. Adanya perlakuan tidak adil yang dialami rakyat yang kritis ternyata juga menimpa tokoh nasional sekelas Kwik Kian Gie. Mantan Menko Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengaku saat ini sangat takut menyampaikan kritik. Padahal pada masa Orde Baru sangat berkuasa, dia bebas mengritik melalui artikelnya yang dipublikasikan harian Kompas. Bukan hanya Kwik sebenarnya yang takut bicara. Ki Dalang mbeling Sujiwo Tedjo yang sangat kritis juga mengaku takut. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum ini juga menjadi korban bully karena bersikap kritis. Dia disebut sebagai Kadrun dan (maaf) Asu, karena dinilai membela Gubernur DKI Anies Baswedan. Pembungkaman orang-orang kritis seperti mereka itu jelas tidak sehat, apapun alasannya. Ini justru berpotensi terjadinya ketidakstabilan politik dalam negeri. Semua itu juga berawal dari perlakuan “tidak adil” aparat penegak hukum seperti Polisi. Makanya, beragam kasus yang kini ditangani Polri, termasuk pembunuhan 6 Laskar FPI dan kasus Abu Janda, merupakan “ujian” kesetiaan Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada Presiden dan NKRI. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.

Pembantaian Talangasri 1989, Mungkinkah Hendropriyono Diadili?

by Asyari Usman Medan, FNN - Hingga hari ini, pembantaian warga sipil di Umbul Cihideung, yang dikenal dengan Peristiwa Talangsari, masih belum diselesaikan secara tuntas. Pelanggaran HAM berat ini terjadi ketika hubungan pemerintah Orde Baru dengan umat Islam berada pada titik rendah. Pembantaian pada 7 Februari 1989 itu tidak bisa dilaporkan secara objektif oleh media massa waktu itu. Semua surat kabar hanya mengutip sumber resmi. Dan pemberitaan serta analisis yang disajikan pun cenderung memberikan justifikasi atas tindakan penguasa waktu itu. Sumber resmi (Pangdam Sriwijaya) ketika itu mengatakan 29 orang yang tewas. Namun, penyelidikan pasca-Reformasi menemukan setidaknya 130 orang yang dibunuh. Temuan lain menyebutkan 246 warga Cihideung dibantai. Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, media massa menjadi bebas. Begitu juga perpolitikan dan penegakan hukum mengalami perbaikan. Independensi DPR dan cabang-cabang kekuasan lainnya, mulai tumbuh. Ada reformasi besar-besaran. Meskipun dalam beberapa tahun ini suasana reformasi mundur lagi ke suasana Orde Baru. Kebebasan pers dan independensi baru setelah Reformasi membuat pembantaian Talangsari bisa diungkap kembali. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pada 7 Juni 1993 bisa bekerja lebih leluasa. Komnas membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talagsari 1989 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim Ad Hoc terdiri dari anggota dan staf Komnas HAM serta unsur dari masyarakat. Tim bekerja sejak 1 Mei 2007 sampai 31 Juli 2008. Tim menemukan setidaknya 130 orang tewas dan 109 rumah terbakar atau rusak. Tim Ad Hoc Talangsari 1989, dengan laporan tertanggal 31 Januari 2008, mengatakan bahwa: “Penyerangan terhadap komplek pondok Warsidi yang menyebabkan meninggalnya 130 orang melibatkan peleton dari infantri Korem 043 Garuda Hitam dan 1 Peleton dari Brimob. Peleton Brimob tersebut merupakan polisi yang di-BKO-kan dari Polwil Lampung. “Penyerangan yang berujung pada pembunuhan terhadap penduduk sipil dilakukan oleh setidaknya pasukan dari Korem Garuda Hitam dan Pasukan Brimob yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam pada waktu itu. Peranan dan keberadaan Danrem dalam lokasi penyerangan ini bukan saja sebagai sebagai pimpinan pasukan tetapi juga terindikasi kuat merupakan pihak yang merencanakan penyerangan sebagai penjabaran dari perintah Pangdam.” “Bahwa serangan yang terjadi pada 7 Pebruari 1989, merupakan serangan yang bersifat sistematik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya skala (large scale) serangan yang terjadi. Rangkaian kekerasan tersebut melibatkan sumber daya logistik berupa perlengkapan militer antara lain senjata, kendaraan berupa truk, jeep dan helikopter.” Menurut Tim Ad Hoc, serangan terhadap warga Cihideung terjadi setelah seorang perwira militer tewas terkena panah warga. Berikut kutipan laporan Tim. “Pada 6 Pebruari 1989, sekitar pukul 11.30 WIB, rombongan berjumlah sekitar 20 orang terdiri atas Kasdim Metro bernama Mayor Oloan Sinaga, Danramil Way Jepara bernama Kapten Sutiman, Serka Dahlan Bataud, Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki dan Stafnya, Lurah Rajabasa Lama bernama Amir Puspamega, Kadus Talangsari bernama Sukidi, dan beberapa orang lagi menuju ke pondok pesantren Warsidi. “Kapten Sutiman mengendarai sepeda motor dan berada paling depan serta menembak ke arah pos jaga. Mendengar tembakan tersebut, sekitar 4 orang yang sedang tidur-tidur di pos jaga tersebut meneriakkan “Allahu Akbar”. Selanjutnya, jamaah yang berada di pondok keluar dan mengejar ke arah suara tembakan tadi. “Sepeda motor Kapten Sutiman terjatuh dan dia meninggalkan sepeda motornya dengan berlari mundur sambil terus menembak. Sedangkan, rombongan yang lain berbalik arah dan melarikan diri meninggalkan pondok. Dalam pelariannya, tidak jauh dari pondok, Kapten Sutiman dipanah oleh jamaah dan terkena di dada kiri dan dada kanannya dan akhirnya Kapten Sutiman tewas dalam kejadian tersebut.” Portal berita online TirtodotID pada 7 Februari 2018 menurunkan artikel “Mengenang Pembantaian Umat di Talangsari”. Berikut petikannya. “Tengah malam menjelang 7 Februari 1989, tepat hari ini 29 tahun lalu, Kolonel Hendropriyono memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo edisi 18 Februari 1989, sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri. “Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menurunkan laporan terperinci yang berjudul Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan. Laporan itu menyebutkan pasukan yang dipimpin Hendropriyono dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. “Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk menyelamatkan diri, mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya.” (TirtodotID). Publik terus menuntut agar pelanggaran HAM berat di Talangsari diselesaikan tuntas. Mereka mendesak agar orang-orang yang diduga terlibat, termasuk Danrem Kolonel Hendropriyono, yang kemudian menjadi jenderal dan terakhir menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN), diadili di pengadilan HAM sesuai UU yang berlaku. Mantan Menkopolkam Sudomo (almarhum) diperiksa oleh Komnas HAM pada 27 Februari 2008. Menurut Sudomo, yang bertanggung jawab atas peristiwa Talangsari adalah Hendropriyono yang menjabat sebagai Danrem 043 waktu itu. Namun, pemerintahan yang silih berganti gagal menuntaskan kasus ini. Sebab, bisa dipahami, orang-orang seperti Hendropriyono tidak mudah untuk dibawa ke pengadilan. Bagaimanapun juga, Hendro adalah orang kuat yang memiliki pengaruh besar di Indonesia. Jadi, publik hanya bisa mendesak dan bertanya: mungkinkah Hendropriyono diadili?[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pidana Mati Untuk Korupsi Bansos, Itu Sangat Logis

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Juliari tersangkut kasus dugaa korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian yang dipimpinnya. Ia akhirnya, entah minta berhenti, atau diberhentikan oleh Presiden dari jabatan itu. Geram dengan korupsi dana untuk oran miskin ini, maka bergemalah pidana mati untu para pelakunya. Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), begitu gema tuntutan itu. KPK tidak boleh kehilangan nyali untuk menuntut Juliari dan kawan-kawannya dengan pidana mati. Mereka dianggap keterlaluan. Bantuan negara untuk orang fakir dan miskin, ko masih dimakan juga. Keterlaluan biadab memang. Begini Kuncinya Apakah bansos kepada rakyat miskin, ditengah keadaan ekonomi yang sangat berantakan, dan daya beli masyarakat yang terus bergerak turun, dapat dijadikan justifikasi mengenakan pidana mati kepada para pelaku tindak pidana ini? Apa uang yang akan diserahkan kepada Juliari dapat dikategori uang suap? Bisakah uang itu dikategori sebagai keuangan negara? Ya uang negara? Apakah uang yang ketika disita penyidik KPK terlihat bertas-tas besar itu adalah uang negara? Mungkinkah secara hukum, uang yang terlihat berasal dari penyuap alias swasta, tak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai uang negara? Itulah soal-soal elementer hukum, yang harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Mengapa? Hukum korupsi itu punya kriteria jelas. Pelaku tindak pidana korupsi dapat dipidana mati bila terdapat dua syarat atau keadaan hukum. Pertama, uang yang dikorupsi harus uang yang secara hukum, nyata-nyata memiliki sifat sebagai uang negara. Kedua, tempus (waktu) terjadi tindak pidana (delic) itu harus bersifat absolut, terjadinya keadaan bencana. Soal-soal di atas harus dibuat terang hukumnya oleh Penyidik KPK, suka atau tidak. Tidak bisa main pakai pidana mati saja. Penyidik harus mampu menemukan keadaan-keadaan itu. Setelah itu, barulah muncul justifikasi untuk pidana mati. Tanpa keadaan-keadaan itu, tidak bisa dipakai hukum pidana mati. Apakah penyidik KPK punya kemampuan untuk menemukan sifat keuangan negara pada uang yang dipakai menyuap Juliari itu? Dengan cara apa penyidik memasuki dan menemukannya? Satu-satunya cara yang tepat secara hukum adalah melakukan interpretasi. Tetapi bukan interpretasi analogi. Sebab hukum pidana tidak memberi tempat untuk itu. Berbahaya risikonya. Lalu harus pakai interpretasi apa? Bagaimana step-stepnya menurut kaidah keilmuan hukum? Sukarkah soal ini? Tidak sama sekali. Penyidik, dalam kerangka itu, dapat menggunakan interpretasi tekstual dengan pendekatan ejusdem generis. Penyidik harus mengawali interpretasinya dengan memeriksa fakta. Lalu secara deduktif menginferensinya dengan kaidah hukum. Dalam inferensi ini, penyidik harus benar-benar memeriksa. Kata Ali, pejabat humas KPK, seperti dilansir Liputan6.com (27/1/2021) KPK telah memeriksa Budi Pamungkas. Budi diminta keterangan terkait keikutsertaan perusahaannya dalam menyediakan paket bansos. Tidak itu saja. Budi juga dimintai keterangan tentang teknis pembayaran atas kerjasama pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos. Temukan Uang Negara Keterangan ini menaik. Apanya yang menarik? Proyek ini telah berjalan. Pembayaran telah dilakukan. Kenyataan ini bernilai sebagai penentu. Dimana letak penentunya? Proyek ini telah berjalan, dan uang negara telah keluar dari kas negara untuk mebayar paket bansos. Masalahnya sekarang uang swastakah yang mau diberikan kepada Juliari? Uang itu murni berasal dari pengusha? Apakah uang itu dapat dikategorikan sebagai keuntungan pengusaha? Sebab memperoleh keuntungan dalam berusaha itu soal biasa. Masalahnya, apakah keuntungan itu turut dirancang oleh pejabat pengguna barang dan jasa itu atau tidak? Ini harus dibuat sejelas-jelasnya oleh penyidik KPK. Agar jelas, maka tidak ada pilihan lain, selain soal-soal berikut dibuat jelas oleh penyidik KPK. Apakah jenis dan jumlah barang memiliki nilai uang setara Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau tidak? Apakah jenis dan jumlah barang bantuan itu tidak setara dengan nilai uangnya Rp. 300.000,- tetapi tetap dihargai setara Rp.300.000,- Sekali lagi, soal-soal diatas harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Bila dapat dilakukan secara meyakinkan oleh KPK, maka dapat diketahui ada atau tidak mark-up harga. Semoga tidak ada mark-up. Bagaimana kalau ada mark-up? Apa konsekuensi hukumnya? Konsekuensinya penyidik harus memperoleh fakta yang secara jelas menerangkan kesesuaian angka Rp.300.000 dengan jenis dan jumlah barang. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian antara angka Rp. 300.000 dengan jenis dan jumlah barang, maka penyidik menggunakan fakta itu sebagai dasar konstruksi tentang sifat jumlah uang atas harga barang itu. Konstruksinya bisa seperti ini. Agar terlihat tak melawan hukum, maka selisih harga barang, yang seharusnya tidak perlu ada atau terjadi, tetapi tetap diadakan. Lalu diintegtrasikan ke dalam anggaran bansos. Cara itu menjadi pijakan penyidik memasuki konstruksi atas sifat uang itu. Itu fase krusial. Pada titik ini, suka atau tidak penyidik harus melakukan interpretasi terhadap uang Bansos perpaket itu. Adakah selisih lebih didalamnya? Dalam hal ada selisih lebih di dalam anggaran Bansos perpaket, maka tersedia jalan kristalisasi sifat hukum uan itu sebagai keuangan negara. Penyidik, mau tau mau harus melakukan interpretasi. Metodenya tak mungkin lain selain tekstualis. Interpretasi, tidak lain merupakan kontruksi menurut istilah Profesor Sudikno Mertokusumo menemukan hukum. Ini sangat eksplosif. Lalu bagaimana inferensinya? Inferensinya begini. Selisih lebih uang, sebut saja Rp. 10.000. (sepuluh ribu rupiah) per paket, sebagai fokus interpretasi tekstual. Pendekatannya ejusdem generis. Pendekatan ini mengharuskan penyidik fokus pada terminologi “keuangan negara”. Terminologi ini jelas didefenisikan pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pada titik itu penyidik harus fokus menemukan sifat selisih uang sebesar Rp. 10.000,- per paket. Bila nyata-nyata uang selisih lebih sebesar Rp. 10.000,- yang itu dimaksudkan untuk dijatahi kepada Juliari, terlepas dari jumlah akumulatifnya, maka interpretasi tekstualis dengan pendekatan ejusdem generis jadi begini. Uang sebesar Rp.10.000. itu adalah spesis dari uang yang dianggarkan untuk bansos. Jadi, total uang untuk kegiatan Bansos, yang sebesar Rp. 300.000. per paket itu adalah genusnya. Sedangkan uang Rp 10.000,- per paket, yang berasal dari anggaran bansos ini adalah spesisnya. Kongklusinya adalah uang sebesar Rp. 10.000,- itu merupakan spesis dari genus (uang untuk seluruh anggaran bansos sebesar Rp. 300.000,- per paket). Konsekuensi konstruksi hukumnya menjadi begini, uang sebesar Rp. 10.000,- yang merupakan selisih lebih dari harga yang seharusnya, mutlak memiliki sifat hukum sebagai keuangan negara. Hukumnya jelas kasus ini bukan penyuapan. Peluang Terbuka Lebar KPK seperti dilansir (liputan6.com) sedang menyelisik peran dan arahan khusus dari mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial tahun anggaran 2020. Penyidik KPK memeriksa Ex ADC Mensos Eko Budi Santoso pada hari ini, Rabu (27/1/2021). Eko diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Juliari Batubara. "Eko Budi Santoso didalami pengetahuannya terkait peran dan arahan khusus tersangka Juliari Peter Batubara. Peran dalam hal apa? Penentuan jenis dan jumlah barang? Termasuk harganya? Dua hal ini, saya cukup yakin, menjadi episentrum penyidikan KPK. Tetapi saya juga berharap penyidik KPK tidak menemukan fakta itu. Sebab bila penyidik menemukan fakta itu, maka kelebihan harga Rp. 10.000 ,- per paket akan menjadi terang. Terang dalam makna uang Rp.10.000,- yang menjadi selisih lebih itu dirancang secara sadar, atau dimaksudkan untuk dikembalikan kepada pejabat. Hukumnya jelas. Hukumnya adalah tindak pidana. Sekali lagi, ini bukan penyuapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana ini lebih tepat diterapkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini membenarkan terdakwanya dituntut dengan pidana mati. Ayat (2) pasal ini mengatur norma adanya keadaan tertentu. Apakah pandemi Covid-19, dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai bencana non alam atau tidak? Secara hukum itu tidak menentukan determinatif. Mengapa? Kenyataannya, pandemi itu nyata-nyata ada. Ini telah menjadi kenyataan umum. Keadaan itu juga menjadi dasar Mensos keluarkan paket Bansos. Masalahnya bagaimana memberi nilai dan sifat hukum terhadap kenyataan (pandemi covid-19) itu? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Penembakan di KM 50 Jangan Seperti Kasus Novel Baswedan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sejak hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dilaporkan kepada Presiden dua minggu yang lalu hingga kini terlihat adama-yem saja. Tidak ada kebijakan atau perintah apapun yang diberikan Presiden untuk menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI tersebut. Jika ada itikad baik dan serius, maka semestinya sudah ada langkah tindak lanjut dari pelaporan kepada Presiden. Kini bola berada di tangan Presiden. Mau diapakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menghebokan jagad politik dan hukum Indonesia itu, terserah pada Presiden. Mau didiamkan saja hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut? Ataukah akan ditindaklanjuti dengan penyidikan yang menetapkan para pelaku penembakan sebagai tersangka? Peristiwa yang dikenal dengan “kasus kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)” ini, memang sejak awal penanganan oleh Komnas HAM sudah dinilai "bermasalah". Karena banyak kejanggalan yang dilakukan Komnas HAM dalam menyimpulkan hasil penyelidikan dan narasi rekomendasi. Fakta yang disampaikan pun terpotong-potong dan kurang lengkap. Komnas HAM membuat kesimpulan dengan loncat sana-loncat sini. Tidak runtun mengikuti temuan yang didapat di lapangan. Saking kecewanya, publik menginginkan adanya evaluasi dan pendalaman ulang kerja Komnas HAM yang tersksan sebagai hasil negoisiasi dan barter terhadap kematian orang. Kekecewaan itu sampai pada usul agar Komnas HAM dibubarkan saja. Hingga kini tidak diumumkan siapa-siapa saja pelaku penembakan yang telah melakukan pelanggaran HAM tersebut? Komnas HAM hanya mengumumkan bahwa pelakukan penmabakan adalah anggota Kepolisian. Padahal untuk menemukan pelakukan penembakan adalah pekerjaan paling mudah dan gampang. Namun oleh Komnas HAM dibuat menjadi berbelit-belit. Jadi teringat pada kasus penyidik sinior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dulu. Untuk menemukan siapa pelaku penyiram air keras ke mata Novel Baswedan, rupanya tidak gampang. Butuh waktu sampai tiga tahun lebih untuk menemukan pelakunya. Ternyata pelakunya adalah anggota Polisi sendiri. Sungguh sangat ironi. Untuk menemukan pelaku kejahatan pidana yang dilakukan anggota polisi, seperti yang terjadi pada Novel Baswedan, rupanya tidak mudah. Sangat sulit, sebab butuh waktu seribu hari lebih atau bertahun-tahun. Namun andaikan pelanggaran hukum itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi terlihat bekerja sangat hebat, cepat dan canggih untuk menemukan pelakunya. Untuk kasus pidana teroris misalnya, polisi tampil sangat menghebokan. Namun berbeda antara langit dan bumi dengan kasus Novel Baswedan. Ujung dari cerita model Novel Baswedan ini adalah vonis hakim untuk pidana penjara selama 1,5 dan 2 tahun. Sementara aktor intelektual "bablas angine". Semoga kasus Novel Baswedan ini tidak terulah pada penembakan enam anggota Laskar FPI. Semoga saja tidak membutuhkan waktu tiga tahun juga untuk mengumumkan nama-nama pelaku pembunuh enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Novel Baswedan. Haruskah dibawa berputar-putar dahulu hingga masa pemerintahan Jokowi usai? Atau sedang disusun skenario ceritra novel yang menarik dan terlihat logis untuk menyelamatkan wajah Kepolisian, instansi lain, dan presiden sendiri? Kejujuran itu lebih baik. Yang salah nyatakan salah, kalau ditutupi juga toh sejarah akan menjadi hakim kelak. Lebih baik buka saat ini, lalu selesailah masalah satu persatu. Jangan ditumpuk hingga berkarat. Sebab peristiwanya akan dicatat dengan tinta hitam nantinya sebagai rezim yang paling buruk dalam sejarah hukum Republik Indonesia. Tertunda, tetapi menyakitkan diri dan untuk anak cucu. Pembunuhan terhadao enam anggota laskar FPI disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM. Itu artinya bukan pembunuhan biasa. Harus cepat ditindaklanjuti dengan proses hukum. Jika mengambang tentu akan dikategorikan bahwa negara itu "unwilling" dan “unable". Artinya berlaku kepedulian universal yang menyebabkan lembaga peradilan internasional wajar dan harus ikut turun tangan. Kasus yang terjadi di kilometer 50 tol Japek jangan seperti Novel Baswedan. Apakah Novel Baswedan atau ceritra Novel yang memang bertele-tele? Masyarakat dunia sudah membaca duduk perkaranya. Semua terhalang hanya oleh kemauan politik yang terkesan sedang ditutup-tutupi. Pembunuhan oleh aparat ini terlalu sarat dengan bahasa politik. Political language is designed to make lies sound thruthful and murder respectable. Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan itu terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihargai (George Orwell). Untuk itu, kasus kilometer 50 tol Japek ini harus segera tuntas, jangan menjadi narasi konspirasi politik yang dibuat bertele-tele. Penjahat kemanusiaan harus segera dihukum berat ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Abu Janda Ditangkap? Anda Pasti Sedang Bermimpi atau Berkhayal

by Asyari Usman Medan, FNN - Tiba-tiba saja banyak yang berharap, dan yakin, Polisi kali ini akan menjebloskan Permadi Arya alias Abu Janda ke penjara. Alasannya banyak. Si Abu sudah sangat keterlaluan. Kali ini dia diduga melakukan “multiple crimes” (banyak tindak pidana). Rasis (SARA) terhadap tokoh Papua, Natalius Pigai. Terus, dia juga dituduh menistakan Islam sebagai agama arogan. Tuduhan-tuduhan ini tentu sangat serius. Khususnya perbuatan rasis terhadap Pigai. Ini bisa mengancam persatuan bangsa dan negara. Si Abu tak bisa mengelak lagi. Begitu juga kasus Islam agama arogan. Ini pun sangat berbahaya kalau dibiarkan. Plus, kasus-kasus peti-es yang cukup banyak selama ini. Kesimpulannya: pasti dia kena kali ini. Itu dari sisi dugaan tindak pidana. Dari sisi pelapor, lebih seru lagi. Membuat semua orang bersemangat. Seolah-oleh si Abu tak berkutik. Ketua Umum KNPI Haris Pertama melaporkan ke Polisi. Semua parpol di DPR mendukung, kecuali satu-dua. Belum lagi komentar-komentar keras dari para tokoh NU –ormas yang selama ini dibawa-bawa si Abu sebagai tempat berlindung. Ketua KNPI tidak tanggung-tanggung. Dia akan mundur kalau Abu Janda tidak diproses. Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini ikut memojokkan si Abu. Terus, Bu Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan) ikut juga memberatkan pegiat medsos yang sangat tak disukai banyak orang itu. Bu Susi mengajak netizen agar ‘unfollow’ akun Abu Janda. Tentu pukulan Bu Susi ini mencerminkan semua orang dibuat resah oleh Abu Janda. Pokoknya, kali ini Abu Janda selesai. Klar. Tak mungkin lolos lagi. Tambahan pula, dia sendiri menghapus cuitan rasis terhadap Pigai. Ini dianggap sebagai bentuk ketakutan si Abu. Dengan alasan-alasan inilah publik berharap Polisi akan memborgol si Abu sambil pakai rompi oranye. Publik mungkin tidak sekadar berharap. Tapi yakin akan diproses. Masyarakat begitu bersemangat. Tak lama lagi Abu Janda meringkuk di penjara. Nah, ini dia. Sebaiknya, jangan dulu keluarkan harapan Anda itu. Kalau pun dikeluarkan, pelan-pelan dulu. Jangan cepat-cepat percaya Abu Janda kali ini akan ditangkap. Kali ini dia tak bisa berkelit. Karena sudah sangat keterlaluan. Kalau sekadar bermimpi dia masuk penjara, wajar. Namanya juga mengimpikan sesuatu. Apalagi kalau cuma berhayal dia masuk penjara. Ini lebih pas lagi. Kenapa pesimis sekali, Bang? Lha, rupanya saudara-saudari semua optimis? Anda percaya Polisi akan berubah? Anda percaya Listyo Sigit Prabowo yang kemarin-kemarin mengurusi kasus-kasus buzzer dalam posisi Kabareskrim, tiba-tiba hari ini berubah drastis karena dia sekarang duduk sebagai Kapolri? Anda yakin Polisi akan sim-salabim, tidak lagi menjadi alat politik para penguasa? Anda yakin Listyo Sigit akan blokir nomor HP orang-orang kuat? Apakah mungkin Listyo menolak arahan para pelindung si Abu? Sekali lagi, kalau sebatas bermimpi Abu Janda masuk penjara, bisa dipahami. Karena sudah begitu lama perasaan Anda terpenda, ingin melihat kebal hukumnya si Abu, luntur. Tentu tidak salah berhalusinasi. Silakan saja. Gratis, kok. Cuma, untuk melihat si Abu masuk penjara tampaknya posisi panggang masih terlalu jauh dari api. Tak bakalan matang. Perlu 4-5 tahun baru masak. Harus tahan lapar sampai 2025. Atau, tak usah dipanggang kalau apinya kejauhan. Bisa digulai asam. Bisa juga disambal balado. Yang dikhawatirkan, Anda semua tak sabar. Panggangannya Anda giling, Anda jadikan makanan ternak.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Menunggu Langkah Polisi Atas Kegilaan Abu Janda

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Apakah Abu Janda itu aset negara? Hueeeek...! Sudah pasti bukan. Tetapi anehnya Abu Janda dengan kegilaannya ini seperti dipelihara oleh negara. Apakah negara mendapatkan value dari kegialaan Abu Janda? Juga tidak. Paling-paling yang mendapatkan keuntungan adalah kekuasaan dan mereka yang mencari perlindungan di sekitar kekuasaan. Selebihnya tidak ada manfaat apa-apa dari Abu Janda, selain kegaduhan dan perpecahan diantara sesama anak bangsa yang sengaja dilalukan Abu Janda. Walau diserang habis-habisan, bahkan dilapor-laporkan. Namun terkesan Abu Janda tetap saja diproteksi. Kini dengan dibela Denny Siregar, Abu Janda terus bekoar-koar seperti orang paling benar sendiri di republik ini. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pratama pun diancam-ancam Abu Janda. Badut istana berjoget-joget dengan sesumbar bahwa dirinya kebal hukum. Semakin membuktikan bahwa hukam hanya tegak kepada mereka yang menjadi opisisi kepada penguasa. Tidak kepada mereka yang mendukung penguasa. Kapolri Jendral Listyo Sigit diuji, apakah bisa membawa Polri menjadi penegak hukum yang sebenarnya? Atau hanya penegak kepentingan kekuasaan. Fakta hukum yang ada adalah Abu Janda sangat layak untuk diproses secara hukum, dan harusnya ditahan. Menghina agama, melecehkan aktivis, rasis dan menantang opini dengan akting bersama zionis. Membiarkan bebas Abu Janda, sama saja menjadikan Polri sebagai cerminan dari kegilaan seorang pembual, peleceh dan pemecah-belah anak bangsa. Bukan persatuan yang bakal ditemukan dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tekanan permasalahan bangsa hari ini seperti ekonomi, kesehatan dan sosial. Karena Abu Janda terus dan terus memproduksi perpecahan. Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PW NU) DKI Jakarta merasa gerah oleh ulah Abu Janda. Banyak prilakuknya yang merugikan NU. Gerakan Pemuda (GP) Ansor diminta oleh NU memanggil Abu Janda untuk mengklarifikasi keanggotaannya sebagai anggota Banser. Perlu dilakukan klarifikasi atas status sebagai anggota Banser. Jika iya, Abu Janda diminta untuk segera dinonaktifkan. Katib Syuriah PB NU sudah menilai Abu Janda banyak merugikan NU. Kulminasi dari pernyataan Abu Janda yang nyeleneh adalah soal rasis "evolusi" yang ditujukan kepada pegiat Hak Asasi Manusia (HAK) dan Keadilan Natalius Pigai. Dia juga menyebut sebutan "Islam arogan". Partai-partai politik sudah mendesak penegakkan hukum atas kasus Abu Janda, demikian juga dengan suara DPR. Ternyata dukungan pelaporan oleh KNPI soal rasis dan penistaan agama semakin meluas. Pemuda Muhammadiyah, Hima Persis, terakhir Ikatan Pemuda Tionghoa pun ikut mengecam perilaku rasis Abu Janda, dan mendukung pelaporan yang dilakukan Ketua Umum DPP KNPI Haris Pratama. Tinggal menunggu sikap tegas dari Bareskrim Polri saja. Nampaknya dengan penahanan Ambroncius Nababan untuk kasus rasis yang sama, menimbulkan harapan bahwa Abu Janda bisa jadi abu-abuan sekarang ini. Kena batunya karena mencoba-coba untuk bermain dan berurusan dengan Natalius Pigai, tokoh Papua yang menjadi aktivis ’98 sejak kuliah di Yagyakarta. Apalagi ikut menyerang agama. Jika Abu Janda akhirnya "dilepas" negara dengan diproses hukum, maka akan berdampak psikologis kepada para rekan-rekannya "se-ideologis". Membuat gemetar sedikit. Umat Islam Tasikmalaya akan lebih gencar menagih hutang laporan polisi terhadap Denny Siregar yang menghina santri Hafidz Qur’an. Ade Armando juga memiliki banyak tabungan kasus keumatan. Abu Janda dengan segala kegilaan gaya dan ucapannya, semoga saja segera terhenti. Negara memang perlu menamatkan riwayat Abu Janda. Biarkan saja dia menikmati status baru sebagai "janda yang terpenjara". Agar sadar bahwa dirinya tidak kebal hukum negeri ini. Hukum pun sebal padanya. Apalagi manusia yang ber-Pancasila dengan konsensus 18 Agustus 1945. Ada pepatah "bermain api hangus, bermain air basah". Risiko penjara adalah akibat ulah sendiri dari sang badut istana yang bernama Abu Janda alias Permadi Arya. Rakyat menunggu untuk menyaksikan langkah Kapolri bari Jendral Listyo Sigit yang masih merangkap sebagai Kabareskrim Polri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pigai, Aktivis ‘98 Hebat, Top Markotop dan Mengagumkan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Akhirnya Ambroncius Nababan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam kasus penghinaan kepada Natalius Pigai. Ambroncius sendiri sudah meminta maaf kepada Pigai. Penetapan status tersangka ini mengejutkan di tengah hukum yang biasa berpihak hanya kepada pendung penguasa. Natalius Pigai adalah tokoh kemanusiaan dan mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tokoh Papua ini juga yang dikenal sangat kritis kepada pemerintah sejak pertengahan priode pertama Jokowi menjabat sebagai Presiden. Dalam membela masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan kemanusiaan, Pigai tidak perduli pada latar belakang agama dan status sosial. Siapun pejabat negara yang berprilaku melanggar HAM dan hukum, dipastikan akan dilawan oleh Pigai yang aktivis 98 di Yogyakarta ini. Bahkan pernah tampail paling depan sebagai Ketua Tim Pembela ulama dan Habib Rizieq Shihab (HRS) ketika dikriminalisasi dulu, sebelum akhirnya hijrah ke Mekah Arab Saudi selama dua setengah tahun. Hebat, top markotop dan mengagungkan Pigai. Biasanya laporan kepada "lawan penguasa" dari tokoh kritis diabaikan oleh Kepolisian. Bahkan sangat sering laporannnya ditolak. Apalagi Ambroncius Nababan ini adalah Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin (Projomin) yang tentu masuk dalam klaster "kebal hukum". Namun kali ini Kepolisian bersikap lain. Tampaknya mau menegakan hukum kepada siapa saja. Mudah-mudahan semoga. Akun Facebook yang memuat foto Pigai dengan Gorilla konon sudah banyak beredar. Ambroncius Nababan hanya ikut-ikutan membuat narasi tentang Pigai dan Gorilla. Ditambah alasan pembelaan kepada Pemerintah atas penolakan Pigai terhadap vaksin Sinovac. Namun masalah ini menjadi serius, karena berkaitan dengan penghinaan kepada Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Persoalan Pigai dan Gorilla ini juga sangat tidak etis dan pantas. Sebab sudah menyentuh persoalan kemanusiaan yang disamakan dengan binatang. Hanya orang yang tidak berprikemanusiaan yang menyamakan manusia dengan binatang. Dengan demikian, orang tersebut tidak Pancasilais, sehingga tidak pantas hidup di negara dengan Falsafah Pancasila. Sikap Bareskrim Polri yang menetapkan Ambroncius Nababan sebagai tersangka, dan langsung ditahan menimbulkan tanda tanya. Apakah ini murni hukum menerobos budaya diskriminatif atau memang ada ketakutan politik soal rasisme yang dihubungkan dengan Papua? Takut juangan sampai peristiwa yang pernah terjadi Surabaya beberapa tahun lalu, yang mengakibatkan protes keras dan masif dari masyarakat Papua terulang kembali? Pigai selalu berteriak keras semasa Pemerintahan Jokowi terkait masalah-masalah yang berkaitan erat dengan pembunuhan, pembantaian, dan pelanggaran HAM di Papua. Pigai juga melawan mengkritik keras setiap prilaku yang berkaitan dengan rasisme kepada siapapun. Mabes Polri mewanti-wanti agar warga Papua tidak melakukan tindak pidana akibat isu rasisme ini. Dugaan nyali ciut atas Papua ini pantas muncul. Karena rasisme adalah isu yang tergolong sensitif. Isu yang dapat saja menggumpal hingga berskala Internasional. Gerakan separatisme juga semakin menguat sampai ada deklarasi Negara Papua Barat oleh Benny Wenda. Disamping itu Papua terus menjadi "mainan" kepentingan negara tertentu seperti Australia dan Amerika. Natalius Pigai memang hebat, top markotop dan mengagumkan. Sekarang akibat kasusnya, justru mendapat simpati warga Papua. Pigai bukan tokoh separatis. Namun Pigai tokoh yang sangat ansionalis. Rasa nasionalismenya yang tinggi membuat dirinya menjadi tokoh yang disegani. Sering berkorban untuk kepentingan orang lain. Pigai juga pelaku sejarah dan aktivis ‘98 tulen dari Yogyakarta. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) Hendropriyono pun dibuat gelisah oleh sentilannya soal ancaman kepada eks Front Pembela Islam (FPI). Pembelaan Pigai kepada umat Islam mendapat apresiasi sangat tinggi. Pigai konsisten dengan pembelaan HAM dan keadilan tanpa mau melihat siapa dan apa latar belakang orang yang dibela tersebut. Soal pembantaian enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) Pigai dengan tegas dan jelas mengatakan sebagai “pelanggaran HAM berat”. Menurut Pigai, sangat mudah untuk membuktikan terjadinya “pelanggaran HAM berat” oleh aparat kepolisian. Namun snagat disayangkan, karena hasil penyelidiakan Komnas HAM tidak berani menyimpulkan terjadi “pelanggaran HAM berat”. Cuitan Twitter akun pribadi Pigai menohok PDIP dan Jokowi. Ketika menyatakan dari 34 menteri anggota kabinet Pemerintahan Jokowi, tidak satupun yang berasal dari putra Papua. Pigai juga menyatakan di "Jaman Jokowi dan PDIP yang memproduksi rasisme secara masif". Sikap dan pernyataan kritis dari Pigai ini sering membuat kuping penguasa panas. Salah satunya dampaknya adalah Ambroncius Nababan ditetapkan sebagai tersangka. Kini Ketum Jokowi-Amin telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mabes Polri. Proses lanjutan akan terus dipantau. Apakah Ambroncius Nababan benar-benar obyektif diadili atau proses hanya berfungsi sebagai peredam saja? Publik tentu saja akan mengikuti penangan masalah ini dengan serius. Apakah akan berunjung di pengadilan? Kita tunggu. Apapun itu, Natalius Pigai telah sukses membuat ciut nyali para pendukung Jokowi dalam membela perjalanan pemerintah Jokowi akibat berbagai masalah sosial ekonomi. Apalagi kegagalan pemerintahan Jokowi kini menumpuk di bidang kesehatan, terutama pengedalian pandemi covid-19 yang nyata-nyata gagal. Angka rakyat yang positif covid -19 menembus satu juta orang. Kenyataan ini semakin diperparah dengan resesi ekonomi yang terjun bebas dengan roket ke bawah, dengan minus. Bank Indonesia yang semula ada rencana mencetak uang Rp. 300 trilun kemungkinan batal, karena terlanjur dibocorkan oleh FNN.co.id. Bank Indonesia kemudian membatah rencana mencetak uang Rp. 300 triliun itu. Natalius Pigai memang tokoh muda bangsa dan aktivis ’98 yang fenomenal. Tetap konsisten, dan tampil apa adanya sebagai aktivis dan anak Papua. Tidak ada yang dibuat-buat dan direkayasa. Namun seorang Pigai berhasil memporak-porandakan pertahanan lawan dari jendral sampai relawan. Harap tetap menjadi kesahatan bung Pigai. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi bung Pigai dan keluarga untuk selalu mengawal dan menjaga tegaknya penghormatan kepada kemanusiaan manusia dan keadilan di Indonesia. Bung Pigai adalah “mutiara hitam dari upuk timur Indonesia”. Mutiara kalau dilempar ke lumpur, lalu diangkat lagi, tetap saja mutiara. Mutiara yang tidak pernah berubah warna, bentuk dan makna. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.