HUKUM

Menghukum Dr. Syahganda Nainggolan=Menghina Bung Hatta dan Profesor Soepomo

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Agar sebuah masyarakat dianggap benar-benar demokratis, harus ada perlindungan dalam derajat tinggi untuk keperluan ide-ide dalam bentuk yang terpublikasikan, apakah mediumnya surat kabar, majalah, buku, pamphlet, film, televisi atau yang paling mutakhir internet. (John W. Johnson, Penulis Historic U.S Court Cases: Encyclopedia Second Edition, 2001). Jakarta FNN - Dr. Syahganda Nainggolan, dikenal luas sebagai pengeritik tangguh dan rasional terhadap pemerintahan Jokowi. Pikiran-pikirannya tersebar luas diberbagai media, terutama online. Pikiran-pikiran kritis itulah yang menjadi sebab utama dia ditangkap, ditahan lalu disidangkan. Menggelikan dan konyol, tetapi itulah kenyataannya. Dia akan menghadapi tuntutan jaksa. Seharusnya tuntutannya Jaksa Penuntut Umum telah disampaikan pada Kamis Minggu lalu. Tetapi sampai dengan jam sidang berlalu pada Kamis itu, Jaksa Penuntut Umum tak kunjung membacakan tuntutannya. Aneh Bin Ajaib Perkara ini, untuk semua alasan yang bisa digunakan, telah menempatkan jaminan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 untuk kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat berada dalam bahaya besar. Keangkuhan terlihat berada dibalik kegagalan penggunaan akal sehatnya. Kegagalan mengenal ide dan kehendak dasar pembentuk UUD 1945 dibalik jaminan konstitusional terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat, terlihat jelas dalam perkara ini. Sama betul dengan kegagalan pemerintahan Bung Karno, dengan demokrasi terpimpinnya pada tahun 1963. Persis perkara Syahganda saat ini, Pemerintah Bung Karno juga menggunakan Polisi memperkarakan Buya Hamka. Sedikit berbeda dengan perkara Sahganda, perkara Buya Hamka sepenuhnya dikarang. Perkara yang dikarang polisi dari Departemen Kepolisian (DEPAK) kala itu adalah Buya Hamka ikut rapat gelap di Tangerang. Ini yang dijadikan materi pemeriksaan kepada Buya. Buya Hamka juga dituduh terlibat dalam Gerakan Anti Soekarno (GAS). Ini juga karangan keji dan primitif. Soedakso (Inspektur) Moeljo Koesomo (Inspektur), Soejarwo (Inpektur), Siregar (Inspektur) adalah pemeriksa-pemeriksa terhadap perkara “karangan” mereka. Menariknya mereka malah meminta Buya Hamka berkata, memberi jawaban “jujur” setiap kali diperiksa. Perkaranya dikarang, tetapi meminta Buya Hamka berkata jujur, itulah yang dilakukan polisi-polisi pemeriksa itu. Mereka malah memperlakukan Buya dengan kasar. Suara mereka meninggi kalau Buya memberi keterangan yang tidak sesuai ekspektasi mereka. Kotor dan menjijikan para polisi itu. Begitulah sejarah kecil tentang “karang-mengarang” kasus lalu dituduhkan kepada Buya Hamka. Hebatnya lagi perkara “karangan” itu dilakukan rekonstruksi. Buya Hamka dihadirkan juga ke TKP “karangan” mereka. Aneh meman. Tetapi begitulah kenyataannya. Kasus ini jelas beda dengan kasus yang didakwakankan kepada Dr. Syahganda. Kasus Syhaganda, untuk alasan apapun, nyata dan ada. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya apakah peristiwa nyata itu beralasan hukum obyektif untuk dikualifikasi sebagai peristiwa pidana? Syahganda jelas mengekspresikan fikiran-fikirannya tentang beberapa isu yang sedang berkembang. Isu isi RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja, cukong-cukong pilkada, yang dinyatakan oleh Profesor Mahfud MD. Pernyataan Profesor Mahud MD, ini yang dikomentari lebih jauh oleh Syahganda dan dituliskan dalam WhatsApp-nya. Tidak itu saja, Syahganda memberi selamat kepada buruh yang akan berdemontrasi. Serta mengutip pula pernyataan Pak jendral (Purn) Gatot, tentang RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja.Perbuatan-perbuatan itulah yang dikualifikasi sebagai pidana. Perbuatan itu dikualifikasi secara spesifik sebagai “menyebarkan kabar bohong” yang menimbulkan “keonaran.” Aneh dan ajaib betul. Berpikir dan mengekspresikan isi pikirannya, tetapi dikualifikasi menyebarkan berita berbohong. Lucu. Menganalisis isi RUU dan mengekspresikan hasil pikiran atas isi RUU yang telah dianalisis “dikualifikasi” menyebarkan kebohogan. Ini konyol. Sebab orang-orang sekolahan tahu perbedaan sudut pandang menjadi kekuatan inti perkembangan ilmu pengetahuan. Perbedaan sudut pandang, termasuk pendekatan dalam dunia penegakan hukum juga menjadi esensi penegakan hukum. Dalam dunia hukum “teks” pasal atau ayat, harus ditafsir. Tafsir atas teks, dalam dunia ilmu hukum, karena perbedaan pendekatan, telah melahirkan begitu banyak konsep. Clasical originalism, modern originalism, isolasionism dan pragmatic enrichment, historical interpretation sekadar beberapa contoh hasil kongkrit perbedaan pendekatan tafsir. Orang Hukum benaeran, tahu tidak ada kata yang tidak memiliki makna. Kata memantulkan makna. Tidak ada teks yang tidak punya pijakan empiris, sebagai konteks teks. Konteks teks tak dapat diperiksa hanya atas dasar debat pembentukan teks itu. Tidak begitu. Sebab debat teks harus didalami hingga ke soal bagaimana, dalam suasana apa, dan peristiwa apa yang melatarbelakangi sekaligus sebagai inspirasi teks itu. Ini disebut metateks. Metateks menggambarkan kehendak asli pementuknya. Perkara ini, mau tak mau, suka atau tidak, JPU dan hakim harus memeriksa konteks sosial dan politik teks pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Terminologi “bohong dan onar” pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu berakar pada keadaan sosial politik September 1945 hingga Februari 1946. Bohong ala Tan Malaka yang kemana-mana menyebarkan berita bahwa Bung Karno, Bung Hatta sdan Bung Sjkahrir telah ditangkap Inggris misalnya, itu bohong. Ini yang disebarkan, dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian di kalangan masyarakat. Ini memicu terjadi keonaran nyata di tengah masyarakat. Onar, dalam konteks ini, adalah cerminan dari tindakan-tindakan orang masuk keluar kampung, dengan beragam tujuan. Masuk keluar tentara Gurka di kampung-kampung, dengan tujuan yang tak jelas, itu onar. Pengejaran terhadap orang Bali misalnya, yang diprovokasi Belanda sebagai pencuri, pembuat onar dan seterusnya, itulah onar. Itulah yang dimamksud dengan onar pada teks pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946. Sangat Tidak Beralasan Seriuh apapun sebuah demonstrasi, hukum tak dapat mengkualifikasinya sebagai peristiwa pidana, juga membuat onar. Sebabnya, hukum membenarkan demonstrasi. Kalau ada demonstran yang merusak dan sejenisnya, perbuatan merusak itu yang berkualifikasi pidana. Bukan demonstrasinya. Hukum juga tidak menunjuk analisis kritis yang disebarkan sebagai pidana. Bagaimana jadinya dunia ini andai tidak ada lagi orang bisa berpikir? Macam apa dunia tanpa orang yang berpikir kritis, dan mengekspresikan hasil pemikirannya? Mau ciptakan dunia khas fir’aun? Tuhan jadi-jadian itu? Fir’aun begitu pada pikiran cerdas. Itu sebabnya dia memburu Nabi Musa Alaihissalam, yang fikirannya menantang klaim konyol nan bodohnya Fir’aun sebagai Tuhan. Galileo Gelilei harus menjalani hukuman, hanya karena pikirannya bertentangan dengan kenyataan yang telah diyakini penguasa. Dia dituduh membuat pernyataan yang menyangkal kebenaran yang telah terlembaga oleh penguasa. Andai kasus ini terjadi di Indonesia saat ini, Galileo mungkin akan dituduh dan disidangkan, persis seperti Syahganda, menyebarkan berita bohong dan bikin onar. Matinya ide-ide, sama dengan matinya kehidupan di dunia. Seba dunia hanya akan dihuni oleh kambing, kerbau, babi hutan, singa dan lainnya. Tidak ada diantara hewan-hewan ini yang membutuhkan sistem hukum, sistem politik, partai politik, kebebasan berpendapat dan sejenisnya. Sebegitu pentingnya ide-ide kritis itu, sehingga Muh. Hatta, harus habis-habisan meyakinkan Profesor Soepomo, Ketua Tim Pembentuk UUD 1945 agar UUD yang sedang dirancang itu memberi jaminan kepada setiap orang berkumpul mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapatnya. Waras dan hebat. Sebagai orang terpelajar, Bung Hatta tahu bahaya nyata penguasa tanpa kontrol. Karena pentingnya kontrol itu, maka wajib diberi jaminan konstitusional dalam UUD. Hasilnyas usahanya adalah lahirnya Pasal 27 UUD 1945. Esensi ide Bung Hatta itu, kini dikukuhkan pada pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Bung Hatta bukan tidak tahu bahwa organ-organ pengawasan, khususnya DPR, telah diberi fungsi itu. Tetapi baginya itu tak cukup. Rakyat harus diberi kepastian dapat berpikir kritis. Hasil pikirannya itu diekspresikannya secara terbuka sebagai cara mereka mengawasi jalannya pemerintahan. Hanya picik yang belajar ilmu hukum di pinggir jalan dan pasar loakan saja yang bisa diandalkan untuk mengisolasi konsep kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945 sebatas hal yang dibolehkan pemerintah. Hanya politik busuk saja yang dapat dipakai mengkategorikan analisis terhadap isi RUU, apapun itu, dan mendukung demonstrasi sebagai perbuatan pidana. Politik, andal dalam mengubah sesuka-sukanya sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum menjadi bertentangan dengan hukum. Politik pulalah yang mampu menemukan pembenaran atas tindakan-tindakan sah, berubah dan dikategorikan sebagai tindak pidana. Politik kotor tidak pernah bekerja dengan akal sehat. Sama sekali tidak. Politik kotor bekerja dengan motif tunggal “mengamankan kekuasaan”, dengan semua cara yang dapat dibayangkan. Tidak lebih. Itu yang dapat dijelaskan dari tuduhan “kasus karangan” terhadap Buya Hamka. Keadilan dalam lingkungan politik kotor, persis yang dipresentasikan Nazi Hitler. Keadilan jenis Hitler tidak punya karakter lain, selain apa yang didefenisikannya. Keadilannya sangat partisan. Sangat personal. Hitler tersinggung saja, anda habis. Padahal Hitler itu berkuasa melalui proses demokrasi. Pertimbangan politik, terlihat secara hipotetikal menjadi sebab terbesar yang dominan membawa kasus Syahganda ke jalan pidana. Diluar itu tidak ada. Juga tak ada jalan rasional hukum yang bisa diandalkan membawa kasus Syahganda ke pidana, apalagi dipidana. Ini bukan keadilan khas impian Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ketika Islam Dihina, Dimana Teroris Ngumpet Ya?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom panci semakin populer dan menjadi pilihan favourite tukang panci, eh maksudanya tukang bom-boman. Kalau sudah ada bom panci, umat atau kelompok Islam selalu saja menjadi tertuduh untuk kasus serupa berkali-kali. Sebelum diumumkan, ketika peristiwa terjadi, sudah diduga arah akan tertuju pada kelompok "teroris Islam". Seperti barang peliharaan yang telah diatur kapan munculnya. Supya mudah diarahkan tuduhannya ke kelompok Islam, maka tempat meledaknya bom panci juga diduga dipilih yang memiliki hubungan. Sehingga Gereja Katedral Makassar yang jadi sasaran peledakan. Artinya, yang kemungkinan sarat dengan nuansa-nuansa keagamaan. Tak ada hujan, tak juga ada angin yang dikaitkan dengan konflik Islam-Kristen. Namun ujug-ujug Gereja yang menjadi sasaran. Apa salah dan masalah pada Gereja Katedral? Dipastikan tidak ada. Umat Islam juga tidak ada yang punya kebencian pada Gereja beserta para jamaatnya ini. Situasi normal-normal saja. Maka pembawa bom itu yang justru dalam keadaan yang tidak normal. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai meledaknya bom panci di Gereja Katedral Makasar ini bukan soal agama. Tetapi rekayasa dan adu domba. Bukan hanya haedar Nashir, namun banyak kalangan menilai serupa. Sebab tidak percaya pada spirit terorisme berbasis agama. Jika adapun, maka itu artifisial atau buatan. Ini yang perlu dicari siapa pembuatnya. Dari dahulu tidak pernah ketemu si dalang. Mungkin saja si dalang sedang berada di tempat terang. Mungkin di depan hidungnya yang belang-belang. Aneh aparat keamanan kita tak mampu menemukan dalangnya? Selalu saja wayang-wayang, yang itupun nyawanya pada melayang. Dapat dipastikan jejak dan operatornya sudah menghilang. Masuk lubang yang berdinding uang. Klasik cerita bom panci ini...duaar dengan obyek Gereja. Cepat sekali polisi mengidentifikasi pelakunya, yang beridentitas Islam. Terlihat seperti kerja polisi yang sangat huebat dan luar biasa. Namun betapa bodoh dan dungu si pelaku yang menunjukkan siapa dirinya. Pakai surat wasiat jihad segala. Teroris sejati semestinya melakukan penyamaran, karena berorientasi pada hasil. Teroris sejati kemungkinan mengincar korban itu jemaat gereja. Bukan satpam atau pejalan kaki. Dungu jika teroruis harus bersorban, berpeci, atau berjilbab. Yang dipastikan cerdas adalah koordinator atau pembujuk atau pemegang remote control. Juga pihak ketiga yang mempunyai sumber daya, baik tenaga maupun dana. Ahli strategi yang mahir memotivasi, menggaransi, dan pastinya membohongi. Kalau lagi ruwet dan moumet..duaaar. Ruwet kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang terus ribut. Ruwet karena pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang bergaung dan bersambung. Ruwet akibat pandemi yang menggerus uang hingga harus hutang dikorupsi. Ruwet karena skandal korupsi yang terus-terusan disorot oposisi. Ruwet karena memikirkan kemungkinan kerasnya perlawanan rakyat menolak keinginan dan ambisi besar menjabat selama tiga periode kekuasaan. Kemungkinan berpasangan dengan mantan rival yang sekarang menjadi anak buah. Ingin tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan, menggemukkan kroni, dan melindungi dinasti. Ruwet dan riubet. Umat Islam selalu mengerutkan dahi. Benarkah teroris berjuang untuk Islam? Lantas ketika Islam dihina-hina, Islam dinistakan, Islam dimain-mainkan dengan keji oleh para tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk, dimana saja para teroris itu sembunyi dan ngmpet ya? Padahal ketika itu seharusnya teroris yang ngakunya pejuang Islam itu hadir berbuat untuk Islam dong. Jika perlu para teroris keluar untuk menghabisi para tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk yang menghina dan menistakan Islam tersebut. Sayangnya itu tak terjadi. Tidak ada teroris yang muncul saat ini. Ah, memang dasar teroris gadungan, teroris kaleng-kelang, teroris odong-odong, dan teroris beleng-beleng. Hanya mau menjadi teroris kalau diperintah oleh pemegang remote control. Disadari betul bahwa memang teroris tersebut bukan berjuang untuk Islam. Justru sebaliknya kelakuan mereka teroris-terorisan itu menghancurkan Islam dan mengadu domba umat Islam. Teroris itu tak lain adalah species yang satu komunitas dengan tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk itu sendiri. Mereka adalah bagian dari penjahat umat, bangsa, dan negara. Kini kasus bom-boman datang lagi. Aparat diharapkan profesional menangani pelakukan. Segera saja tangkap dan adili dalang. Bukan hanya wayang atau tukang gendang. Jangan cepat-cepat ditembak atau dibom. Mereka yang dianggap terlibat, tangkap hidup-hidup dan seret ke ruang pengadilan agar semua bisa mengikuti bahwa benar jaringan itu ada. Sang dalang juga segera dapat diketahui keberadaannya. Apakah di luar negeri, di hutan, di perbatasan, atau di markas sendiri? Selamat bekerja bapak-bapak aparat. Rakyat pasti sangat mendukung kerja keras, kerja tuntas, dan kerja jelas aparat. Namun bukannya kerja bias dan bermain-main dalam kebijakan yang tidak waras. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nama Tersangka Tak Diumumkan, Bagaimana Rakyat Percaya?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Satu dari tiga terlapor pelaku penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Rakyat boleh bertanya dong, tersangka yang mana? Siapa namanya? Apa perannya dalam pembunuhan enam laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu? Ini sih masih pertanyaan yang wajar-wajar saja. Sampai saat ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri belum mengumumkan, siapa nama ketiga terlapor calon tersangka tersebut. Bagaimana mungkin rakyat bisa mempercayai? Dugaan muncul bahwa ini menjadi bagian dari rekayasa untuk menghindari penetapan pelaku yang sebenarnya. Rakayasa yang terlalu fulgar dan telanjang untuk dipahami dan dipercara rakyat. Sejak penetapan keenam anggota laskar sebagai tersangka, rakyat juga mulai bingung. Bagaimana opini hendak dibalik dari korban menjadi pelaku? Sebaliknya pelaku kejahatan pembunuhan kemungkinan berubah menjadi pahlawan ? Namun akhirnya walaupun berat, rekomendasi Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak bisa diabaikan begitu saja. Suka atau tidak suka, tersangka harus ditetapkan dari anggota Polda Metro Jaya. Maka, munculah tiga nama terlapor calon tersangka, yang anehnya hingga kini masih dirahasiakan oleh pihak Kepolisian identitasnya. Sipa nama mereka? Masa sih ada tersangka pembunuhan, namaun tidak punya nama? Apa mungkin ada tersangka anggota polisi yang tidak nama? Mengejutkan tetapi lucu juga, sebab tiba-tiba saja Kepala Bareskrim Polri Komjen Polisi Agus Andrianto menyampaikan kepada publik, bahwa satu dari tiga terlapor tlah meninggal dunia karena kecelakaan. Pengumuman ini membuat fikiran publik melayang bebas kemana-mana. Tentu saja dengan seribu asumsi dan opini. Ada rekaysa apa lagi ini? Beberapa asumsi dan opini yang mungkin muncul. Pertama, yang meninggal kecelakaan bukanlah terlapor tetapi anggota Polisi lain. Mungkin saja yang tidak ada hubungan dengan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI. Klaim sebagai terlapor lumayan dapat mengurangi beban. Tinggal otak-atik dua terlapor tersangka lain. Teman sambil berseloroh mengatakan jangan-jangan kodok mati tertabrak juga disebut sebagai terlapor meninggal. Kedua, memang benar terlapor calon tersangka itu yang menjadi pelaku utama, akan tetapi kecelakaannya adalah sengaja dan bagian dari operasi. Untuk menghilangkan jejak dan jaringan. Karenanya perlu kejelasan dan penyelidikan serius soal "kecelakaan" ini. Siapa? Dimana? Kapan? Mengapa terjadi kecelakaan tersebut? Hingga kini kejadiannya masih kabur. Ketiga, seluruh terlapor hanya "bawahan" yang menjalankan perintah atasan. Perlu ada "cut off" agar semua terlokalisasi kepada jumlah orang yang sedikit. Dengan info meninggal satu, yang dua bisa saja nantinya satu kabur, satu lagi di covidkan. Jika benar terjadi kecelakaan, maka itu adalah suatu kelalaian fatal. Ketiga calon tersangka seharusnya ditahan. Mengapa mereka tidak ditahan. Padahal ini bukan kasus ecek-ecek seperti pencurian sendal jepit, melainkan kasus kejahatan kemanusiaan yang menjadi perhatian semua manusia yang menghormati dan menghargai kemanusiaan. Karena Allah Subhaanahi Wata’ala sangat memuliakan manusia. Membunuh satu menusia sama dengan membunuh semua manusia. Layaknya calon tersangka itu lebih dari tiga orang. Saat melaporkan enam anggota laskar FPI, tiga orang anggota Polri menjadi Pelapor dan Saksi, yaitu Briptu FR, Bripka AI dan Bripka F. Mereka mengetahui pembunuhan empat anggota laskar FPI. Sementara di mobil yang mengawal keempat anggota laskar adalah Briptu FR, Ipda EZ, dan Ipda YMO. Jadi disini sudah lima orang. Ketika Polisi menerapkan Pasal 351 ayat (3), maka diakui terjadi penganiayaan. Artinya, keempat anggota laskar dianiaya hingga mati? Tidak mungkin dianiaya didalam mobil. Diduga terjadi di suatu tempat. Kaitan kendaraan yang ada di km 50 terdapat fakta ada 4 unit mobil, yang personal keseluruhan di samping 5 orang di atas, ditambah dengan Aipda T, Bripka D, AKP WI, dan Petugas R. Sehingga total menjadi 9 orang. Apakah kesembilan orang ini yang terlibat dalam penganiayaan dan pembunuhan? Menurut Komnas HAM pengintaian dan pembuntutan dilakukan juga oleh instansi di luar Kepolisian. Rekomendasi Komnas HAM adalah perlunya penegakkan hukum kepada orang yang berada di mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Dengan demikian, maka calon tersangka dapat dipastikan melebihi jumlah 9 orang. Banyak personal yang terlibat di kilometer 50 tol Japek. Sehingga jika proses peradilan dapat berjalan transparan, maka bukan saja para petugas di tingkat bawah yang layak diproses, tetapi juga atasan mereka. Bukankah penguntitan dan pembuntutan itu didasarkan adanya surat perintah? Jangan hanya mengorbankan bawahan atas konspirasi sistematik yang berujung pada pelanggaran HAM. HAM berat. Mengorbankan bahwan itu bisa menambah pelanggaran hukum baru lagi. Pikir baik-baik. Dunia sudah semakin terbuka. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Call Centre Untuk Bantu Cerna Informasi Galau Pak Polisi

by Asyari Usman Medan, FNN - Tidak pernah disebut siapa inisialnya. Tidak diketahui apa pangkatnya. Tak diketahui pula di kesatuan mana dia berada. Tiba-tiba saja pada 25 Maret 2021 diumumkan bahwa dia meninggal dunia pada 4 Januari 2021 karena kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi ketika dilakukan gelar perkara kasus pembunuhan 4 laskar FPI pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS). Dia dibebaskan tugaskan pada 10 Maret 2021 bersama dua polisi lainnya yang juga terduga pembunuh 4 pengawal HRS itu. Siapakah dia? Dia adalah salah satu polisi yang diduga menyiksa dan menembak mati keempat pengawal HRS tsb. Mari kita buat ‘slow motion’ informasi tentang kegalauan Pak Polisi di atas. Ke-ce-la-ka-an: 4 Ja-nu-a-ri 20-21, te-was. Di-u-mum-kan te-was: 25 Ma-ret 20-21. Di-be-bas-tu-gas-kan: 10 Ma-ret 20-21. Sekarang kita kasih tanda panah blip-blip: Tewas: 4 Januari 2021. Dibebastugaskan: 10 Maret 2021. Diumumkan tewas: 26 Maret 2021. Mati lebih dulu, baru kemudian dibebastugaskan. Mirip dengan mati lebih dulu, baru dijadikan tersangka. Seperti yang dilakukan terhadap 6 mayat pengawal HRS. Mungkin ini inovasi baru dalam penanganan perkara di Polri. Kalau Anda kesulitan mencerna informasi galau di atas, silakan kontak ‘call centre’ berikut ini untuk konsultasi: 0000-0000-0000. Kalau tersambung, minta bicara dengan Unit Omong Kosong, di Divisi Otak Keong. Jika gagal tersambung, mohon bersabar menunggu antrian. Tolong jangan buat kerumunan. Aturan konsultasi sama dengan inovasi baru Pak Polisi. Yaitu, Anda buat kesimpulan lebih dulu, baru kemudian cari pembenaran. Mirip dengan tembak dulu, baru kemudian dilabel teroris. Atau, tangkap dulu baru kemudian berbaris minta maaf. Itu pun kalau korban salah tangkap kolonel AD.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pertunjukan Slaughter House?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Ketua Tim Pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS), Munarman mempertanyakan keganjilan dakwaan dari Jaksa Penutut Umum (JPU) yang meminta penghapusan atau pencabutan hak politik atas diri HRS. Meski belum sampai pada tahap penuntutan. akan tetapi dakwaan ini berlebihan. Dakwan yang penuh kebencian kepada terdakwa. Dakwaan bukan untuk mau menegakkan keadilan. Jaksa memerkan dan mempetontonkan keangkuhan pada peradilan sesat. Peradilan suka-suka, bahkan peradilan yang penuh dengan dagelan menjadi pantas disematkan untuk proses pengadilan HRS di PN Jakarta Timur. Soal persidangan "online" dan "offline" saja telah membuat gaduh dunia peradilan Indonesia.. Kasus kerumunan walimahan pernikahan, pengajian dan test Swab yang didakwakan sebenarnya pidana samar dan tergolong sederhana. Akan tetapi diolah menjadi pidana yang terkesan raksasa dan sangat menggemparkan. Maklum saja, karena ini kasus politik. JPU sebagai perpanjangan tangan pemerintah di bidang penuntutan telah menggap kalau HRS sebagai orang yang sangat berbahaya. Diposisikan sebagai musuh negara. Kalau bisa tank, pesawat tempur, bahkan kapal induk dikerahkan untuk menyerang sorban seorang ulama. Semua kekuatan negara hraus dikerahkan untuk melumpuhkan HRS. Suara dakwah kebenaran, keadilan dan melawan kezoliman terdengar bising di telinga pendosa. Bagai dengung nyamuk, lalat, atau lebah yang membuat panik, marah, jengkel, dan takut. Sambil berlari menepis dengan satu pilihan "pites, libas" atau matikan. Hal ini menjadi wujud dari radikalisme negara dan intoleransi terhadap keragaman dan sikap keagamaan. Nampaknya benar pandangan bahwa ini bukan ruang pengadilan. Bukan juga keadilan yang ingin digapai dari sebuah proses persidangan. Tetapi hanya persidangan untuk bisa mendapatkan pembenaran hukum untuk penghukum anak bangsa yang bernama HRS. Berusaha untuk menggorok dengan pisau hukum dan kekuasaan negara atas pesakitan yang selama ini menjadi lawan politik. Pengadilan yang berubah menjadi slaughter house (rumah jagal). Ada target atau harapan yang ingin dicapai bahwa HRS bukan saja dihukum pidana penjara. Tetapi juga hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politik. Targetnya, HRS jangan melakukan kegiatan politik apapun, karena terlalu berbahaya untuk keselamatan dan kenyamanan penguasa. Pencabutan hak politik, baik hak untuk dipilih atau hak untuk menjadi pejabat publik sebagai hukuman tambahan jauh lebih layak bagi para koruptor penggarong uang rakyat di tengah bencana pandemi covid-19. Sebab mereka adalah para penghianat negara yang menjual kedaulatan negara. Bukan untuk mereka yang mengadakan acara walimahan, pengajian, atau sekedar test Swab. Pembantaian pendahuluan telah dilakukan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal keluarga HRS di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) sebagai "road map to the slaughter house". Sebelumnya adalah penurunan baliho HRS oleh pasukan TNI. Setelah itu, "penyerangan" oleh gabungan pasukan khusus dari AL, AU, dan AD (Koopssus) ke markas FPI di Petamburan. Paska pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI, dilanjutkan dengan pembubaran dan pelarangan FPI serta pemblokiran 92 rekening, termasuk rekening keluarga HRS yang kemudian dinilai "unlawful". Setelah dipersoalkan oleh anggota Komisi II DPR, Asrul Sani dan Habuburrahman, sekarang saling lempar tanggung jawa terjadi antara Pusat Pelaporan Analisa dan Transksi Keuangan (PPATK) dengan Polisi. Kini proses hukum di "slaughter house" sedang berlangsung dengan sangat rapih. Sayangnya, upaya buruk terhadap warga negara ini, mudah untuk dibaca oleh masyarakat sipil (civil society). Perlawanan keras dari HRS mampu mengubah sidang "online" menjadi "offline". Mampukah HRS dengan para pengacaranya lolos dari upaya "slaughtering" ketukan palu di meja hijau atau akhirnya semua berjalan sesuai skenario? Rakyat sedang menonton dengan serius pertunjukan panggung lelucon yang tidak lucu. Panggung arogansi melawan ketidak adilan dan kezoliman. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

TP3 Menjawab Menko Polhukam Mahfud MD

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Audiensi Presiden Jokowi dengan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam anggora Laskar Fron Pembela Islam (FPI) telah berlangsung Selasa, 9 Maret 2021 di Istana Negara. Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensekneg Pratikno. TP3 yang dipimpin oleh M. Amien Rais datang bersama Abdullah Hehamahua, Muhyiddin Junaidi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Wirawan Adnan dan Ansufri Sambo. Setelah audiensi, pada hari yang sama, Mahfud MD menggelar konferensi pers, menyebar link YouTube dan wawancara eksklusif (TVOne) secara sepihak. Selain itu, ada kalangan yang coba menggiring opini ke arah isu bernuansa politik pencitraan. Hasil pemilu 2019 yang diduga banyak masalah dan memakan korban ratusan orang tewas, perlu di-endorse semua pihak. Karena itu, perlu ada yang bersuara. Pesannya, karena Amien datang ke istana, telah terjadi rekonsiliasi antara Jokowi dengan Amien Rais. Kedatangan Amien Rais bersama anggota TP3 tidak ada urusan dengan rekonsiliasi. Pemilu 2019 yang diduga sarat kecurangan dan pengorbanan petugas KPPS biarlah jadi catatan sejarah kelam. Kelak harus dipertanggungjawab pelakunya di hari kemudian. Bagi TP3 kejahatan kemanusiaan yang menewaskan enam anak bangsa secara brutal dan sarat penyiksaan oleh aparat negara adalah masalah yang sangat besar untuk ditumpangi isu rekonsiliasi. TP3 paham, siapa saja sebetulnya pihak yang mendambakan pengakuan dan endorsement! Pemerintah berhak melakukan konprensi pers secara sepihak. Namun sesuai kebiasaan dan etika moral, pihak-pihak yang terlibat di satu pertemuan wajar mengadakan konprensi pers bersama. Terutama untuk menunjukkan kebersamaan, mencegah misinformasi, menghilangkan disinformasi, menghidari penggiringan opini sesuai kepentingan sepihak. Konprensi pers bersama juga layak dilakukan untuk mencegah agar tidak ada pihak yang merasa lebih unggul atau mendominasi kebenaran. Terkait konpres Mahfud itu, TP3 perlu memberi catatan. Bagi TP3, sepanjang yang diungkap itu objektif, faktual dan fair, tentu tidak ada masalah. Namun faktanya ada hal-hal yang TP3 anggap tidak lengkap, distortif, tidak objektif, tendensius atau spekulatif, untuk tidak mengatakan manipulatif. Karenanya perlu diklarifikasi atau dijawab. Hal-hal tersebut akan diuraikan berikut ini. Kata Mahfud, “TP3 datang tanpa bukti, karena pada dasarnya memang tidak punya bukti. Sejak awal kami tahu mereka tidak punya data gitu. Dan betul tadi tidak ada data yang disampaikan, bukti yang disampaikan tidak ada. Cuma pernyataan”. Padahal, sebagaimana dimuat dalam Surat TP3 4 Februari 2021, tujuan TP3 beraudiensi adalah guna membuka jalan bagi penyampaian masukan dan temuan-temuan sejujur-jujurnya. TP3 menyatakan ingin ikut berperan mengawal penuntasan kasus pembunuhan enam laskar FPI, setelah melihat adanya beberapa versi temuan yang tidak objektif. TP3 menuntut agar kasus tersebut diselesaikan melalui proses pengadilan objektif, transparan dan adil. Dengan terwujudnya audiensi 9 Maret 2021, TP3 berhasil mendapatkan dua komitmen penting dari Presdien Jokowi yang perlu dicatat. Pertama, pemerintah siap menerima masukan dan bukti-bukti yang akan diserahkan TP3. Kedua, pemerintah akan terlibat aktif, sesuai wewenang, menuntaskan kasus pembunuhan enam laskar secara transparan dan berkeadilan. Karena itu, mari kita catat dua janji Presiden Jokowi tersebut. Mari kita tunggu realisasi janji tersebut dalam proses hukum yang kelak berlangsung. Bahwa itu tersebut bukan cuma omong-kosong atau basa-basi. Selain itu, publik diharap tidak tergiring dengan penjelasan Mahfud yang distortif dan misleading. Kata Mahfud, "namun jika ada yang mengungkapkan hal tersebut mengalami kejadian HAM berat, maka mana buktinya. Mana bukti pelanggaran HAM berat, mana bukti ya, bukan kenyakinan. Jika ada, Pemerintah menunggu, secuil apapun buktinya. Terkait bukti, TP3 menyatakan akan menyampaikan pada waktunya. Bukti-bukti milik TP3 kelak berupa data dan informasi yang telah beredar di publik. Sudah dipublikasi Komnas HAM, maupun sama sekali baru (karena selama ini tersembunyi, disembunyikan atau dimanipulasi). Bukti-bukti TP3 bisa sama dengan Komnas HAM. Namun diyakini sebagian bukti telah direkayasa atau tak dimanfaatkan seutuhnya oleh Komnas HAM, sehingga diperoleh laporan dan rekomendasi yang tidak kredibel dan manipulatif. TP3 paham yang berfungsi mencari alat-alat bukti adalah negara. Bukan perorangan, keluarga korban atau kelompok masyarakat seperti TP3. Tapi karena sudah committed mengawal kasus pembunuhan, dan berjanji akan menyampaikan, TP3 akan menyerahkan bukti-bukti dan hasil analisisnya segera. Esensi jawaban TP3 atas komentar Mahfud, Tujuan TP3 beraudiensi adalah untuk menyatakan sikap dan meminta komitmen Presiden Jokowi. TP3 datang beraudiensi sesuai surat 4 Februari 2021, bukan untuk menyerahkan dan membahas bukti-bukti, karena sadar itu bukan forum yang tepat. Namun bukan berarti TP3 tidak punya bukti seperti diklaim Mahfud. Pada waktunya bukti-bukti itu diserahkan. Karena itu sepanjang bukti-bukti yang akan diserahkan objektif, faktual dan valid, TP3 meminta agar tak dicarikan alasan-alasan untuk mengabaikan atau menolak. Kita minta Mahfud dan pemerintah bersikap konsisten, fair dan ksatria. Kata Mahfud, “kalau bicara pengadilan HAM itu, satu tidak bisa Presiden. Pak Amien Rais dulu yang buat undang-undang itu tahun 2000 ketika beliau ketua MPR. Yang menentukan pengadilan HAM atau bukan, itu Komnas HAM. Disitu disebutkan Komnas HAM yang menyelidiki, Komnas HAM yang menentukan sesuatu itu melewati pengadilan HAM atau tidak”. Persepsi TP3, intinya Mahfud membangun opini dan menggiring pemahaman masyarakat ke arah yang sesat dan meyesatkan. Penjelasannya sebagai berikut. Komnas HAM dibentuk sesuai UU. UU tersebut dibuat tahun 2000 di eranya oleh Amien Rais dan kawan-kawan. Era Amien jadi anggota DPR. Lalu Presiden memerintahkan Komnas HAM mengusut kasus sesuai UU tersebut. Kalau TP3 permasalahkan sikap pemerintah yang percaya hasil Komnas HAM, dan menjalankan pula rekomendasinya, maka salahkanlah siapa pembuat UU, dan itu salah satunya Amien Rais. Jawaban TP3 sebagai berikut. Pertama, ada dua UU terkait HAM yang dibentuk periode Amien Rais jadi Anggota DPR/MPR, yaitu UU HAM No.39/1999 dan UU Pengadilan HAM No.26/2000. Untuk kasus pembunuhan enam laskar berkategori kejahatan kemanusiaan itu, Komnas HAM yang menerima “Perintah” Presiden, mestinya menggunakan UU No.26/2000. Tapi justru Komnas HAM dengan sengaja memilih menggunakan UU No.39/1999. Maka jelas kesimpulan dan rekomendasi tidak valid, bermasalah dan tidak berlaku untuk penuntasan kasus sesuai proses hukum selanjutnya. Kedua, penyimpangan atas penerapan berbagai ketentuan UU sudah kerap terjadi. Meskipun ketentuan dalam UU itu sudah sesuai UUD 1945, kepentingan publik dan berbagai azas pembentukan UU. Hal itu terjadi pula dalam pengusutan kasus pembunuhan enam laskar FPI. UU yang disebutkankan Mahfud sudah berisi berbagai ketentuan yang sesuai konstitusi dan azas-azas yang dipersyaratkan. Masalahnya, pengguna UU, terutama pemerintah dan Komnas HAM menyimpangkan implementasinya. Lalu penyimpangan ini ditutupi dengan menyalahkan para pembuat UU. Maka sesuai keinginan dan rekayasa Mahfud, terjerat dan terseretlah Amien Rais yang saat itu menjadi Angota DPR/MPR. Ketiga, kegiatan yang telah dilakukan Komnas HAM dalam mengusut kasus, dan membuat rekomendasi adalah pemantauan, bukan penyelidikan. Bagaimana bisa proses hukum lanjutan berstatus penyidikan atau penuntututan? Selain itu, sudahlah menggunakan UU yang salah, Komnas HAM pun membuat rekomendasi yang melampaui kewenangan. Bagaimana bisa rakyat mempercayai penyelenggara negara dan Komnas HAM, jika proses hukum yang dijalankan bermasalah sejak awal, in the first place? Keempat, ada hal-hal mengapa TP3 menganggap Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM bermasalah dan tidak kredibel. Salah satunya persetujuan pengadilan sebelum Komnas HAM lakukan pemantauan, seperti diatur dalam Pasal 89 Ayat 3 UU No.39/2009. Kalau belum memperoleh persetujuan Pengadilan, maka Komnas HAM sangat nyata telah melanggar ketentuan UU. Jika proses “pemantauan” Komnas HAM saja sudah bermasalah, bagaimana publik percaya dengan hasil dan rekomendasinya? Karena itu, agar konsisten dengan Pembukaan UUD 1945, dimana negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah dituntut konsisten menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pancasila, konstitusi dan UU yang berlaku. Rakyat harus diberi informasi dan penjelasan yang objektif, transparan dan mencerdaskan. Jauh dari konten yang distortif, spekulatif, tendesius dan sarat rekayasa. UU yang digunakan harus sesuai dengan konteks dan azas penegakan hukum terhadap kasus yang sedang diusut. Jauh dari direkayasa guna memenuhi kepentingan sempit oknum-oknum penguasa! TP3 menuntut agar rekayasa dan manipulasi proses hukum, termasuk “memanfaatkan” Komnas HAM secara melanggar hukum dalam penuntasan kasus pembunuhan ini harus dicegah. Sebaliknya, Komnas HAM sebagai lembaga independen yang dibentuk sesuai perintah UU dan amanat konstitusi, mestinya berfungsi melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat. Komnas HAM bukan justru terlibat atau tunduk pada kepentingan oknum-oknum kekuasaan. Kepada Mahfud, TP3 berharap bisa membuat pernyataan yang akurat, objektif, fair, serta tidak distortif dan tendensius. Langkah ini minimal bisa dimulai dengan konprensi yang tidak sepihak. Penulis adalah Badan Pekerja TP3 Enam Laskar FPI

Sidang Offline HRS: Penyusup Bisa Buat Onar dan Kembali Online

by Asyari Usman Medan, FNN - Hari ini, 26 Maret 2021, adalah hari pertama sidang offline (hadir langsung di ruang sidang) yang akan dijalani oleh Habib Rizieq Syihab (HRS). Di persidangan sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Timur mengabulkan permohonan HRS agar sidang-sidang selanjutnya bisa dia hadiri langsung. HRS sangat berkepentingan hadir langsung. Di samping perjuangan yang pasti all-out dari tim pembelanya, HRS sendiri ingin memastikan agar dia mendengarkan langsung tanpa hambatan teknis dan psikologis apa-apa yang diucapkan oleh semua pihak di ruang pengadilan. Mengapa ada hambatan teknis dan psikologis di persidangan online (daring)? Hambatan teknis tentu saja sudah sama-sama dipahami. Bagi HRS, tampaknya ada hambatan psikologis kalau dia tetap mengikuti sidang daring. Pertama, bisa saja ada perasaan bahwa sidang itu tidak serius, padahal dia sangat serius. HRS tentu telah menyiapkan diri secara maksimum. Dia pasti sudah tahu kekuatan dirinya dan sudah paham pula tentang pihak-pihak yang dihadapinya. Kedua, HRS adalah orang yang sudah terbiasa beradu argumentasi dengan cerdas, tegas, tapi santun di ruang sidang. Berbicara lewat daring pastilah terasa “kosong”. Terasa seperti seminar daring, barangkali. Ketiga, berada di ruang sidang dan langsung menghadapi hakim, jaksa dan tim hukum, akan membuat HRS bisa menatap langsung orang-orang yang betul-betul hadir untuk menegakkan keadilan atau yang hanya hadir sebagai “perpanjangan tangan”. Untuk mendapatkan persetujuan sidang offline ini bukan perjuangan yang ringan. HRS dan tim hukum sudah menyampaikan jaminan bahwa para pendukung Imam Besar itu tidak akan menimbulkan masalah kalau mereka datang ke PN Jakarta Timur. Ketika dia berusaha meyakinkan majelis hakim tentang sidang offline, HRS mengatakan dia akan mengeluarkan imbauan kepada para pendukung agar tertib dan mengikuti protokol kesehatan Covid-19. Di sini, para pendukung HRS perlu sangat berhati-hati jika mereka memutuskan untuk datang ke lokasi sidang. Sebab, bisa saja ada orang-orang tak dikenal yang sengaja disseludupkan ke kawasan di sekitar PN Jakarta Timur untuk menimbulkan keonaran. Kalau nanti terjadi keributan, maka sangat mungkin pihak yang berwenang akan mengembalikan persidangan ke sistem daring (online) dengan alasan keamanan dan ketertiban (kamtib). Ini sangat mungkin terjadi. Sangat mungkin. Bisa di sidang hari ini atau di sidang-sidang selanjutnya. Jadi, untuk kepentingan agar HRS tetap bisa sidang offline sampai selesai, para pendukung sebaiknya memikirkan dengan matang perlu-tidaknya hadir di lokasi sidang. Atau, kalau pun merasa perlu hadir, hendaknya memahami betul aspek-aspek negatif yang bisa muncul di lapangan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Waduh, Polisi Terduga Pembunuh Laskar FPI Tewas

by Asyari Usman Medan, FNN - Salah satu polisi terlapor pembunuh 4 laskar FPI dikatakan tewas dalam kecelakaan. Sewaktu mengikuti gelar perkara pembunuhan itu. Dari berbagai pemberitaan, tak jelas kapan gelar perkara dilaksanakan dan di mana. Tiba-tiba saja Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono kemarin (25/3/2021) muncul dengan pengumuman tewas karena kecelakaan. Polri harus transparan soal ini. Tewas karena apa? Kalau sakit, apa sakitnya? Siapa nama polisi itu? Apa pangkatnya? Publik harus diberitahu secara lengkap. Tidak bisa hanya bilang, “Terlapor meninggal dunia,” tanpa menguraikan kronologi lengkap. Semua pihak menuntut agar semua orang di jajaran Polri tidak menutupi peristiwa apa pun. Kepolisian adalah lambaga publik yang dibiayai oleh dana publik. Karena itu, publik berhak mengetahui apa saja yang melibatkan personel kepolisian. Janganlah lagi menyangka publik akan diam saja. Atau menerima begitu saja penjelasan pimpinan Polri. Era itu sudah jauh ditinggalkan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jaksa Kebingungan, Sidang Tuntutan Syahganda Nainggolan Ditunda

DEPOK, FNN -- Sidang lanjutan terhadap mantan aktivis mahasiswa ITB Dr Syahganda Nainggolan, Kamis (26/3/2021), terpaksa ditunda hanya karena Jaksa Penuntut Umum belum siap dengan tuntutan hukumnya. Syahganda Nainggolan ditangkap, ditahan dan diadili atas tuduhan penyebaran berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak UU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus law). Akhirnya Ramon Wahyudi, Ketua Majelis Hakim PN Depok, Jabar, memutuskan sidang ditunda hingga 1 April 2021. Seperti pada sidang sebelumnya, proses persidangan terhadap Syahganda Nainggolan ini dilakukan secara virtual. "Kami belum ada tuntutan karena belum siap, Yang Mulia. Mohon diberi kesempatan untuk selanjutnya," kata jaksa Ivan Rinaldi dalam sidang di PN Depok, Jabar. Penasihat hukum Syahganda Nainggolan, Abdullah Al Katiri, yang ditanya wartawan seusai sidang mengatakab tidak heran kalau Jaksa Penuntut Umum menyatakan belum siap membacakan tuntutan. "Jaksa Kebingungan harus menuntut apa kepada terdakwa. Sebab di persidangan tidak ada fakta hukum yang membuktikan Syahganda telah melakukan perbuatan pidana," ungkap Alkatiri. Bahkan, lanjut Alkatiri, saksi yang dihadirkan jaksa pun justru meringankan terdakwa. Oleh karena itu, pihaknya merasa yakin kliennya Syahganda Nainggolan bisa bebas dari tuntutan hukum. Alkatiri meyakini majelis hakim yang mengadili Syahganda Nainggolan bisa bersikap profesional dan objektif. Dalam kasus ini, Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak omnibus law yang berujung ricuh di Jakarta akhir tàhun 2020 lalu. Syahganda didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal ini, Syahganda terancam pidana penjara 10 tahun. Sidang yang semula dijadwalkan jam 10 pagi, molor hingga jam 1 siang. Sidang ini juga dihadiri para aktivis Pro Demokrasi. Setelah sidang, mereka memberikan semangat kepada Syahganda yang berada di Bareskrim Mabes Polri. (TG)

Hakim PN Jakarta Timur Buang Heurestika Hukum di Tumpukan Sampah Mana?

“Suatu perkara akan berakhir setelah dijatuhkan putusan. Namun tanggung jawab seorang hakim atas putusan itu sesungguhnya barulah dimulai. Oleh sebab itu, berhati-hatilah sebelum menjatuhkan putusan, karena hakim tidak akan bisa mencegah malapetaka yang ditimbulkan oleh putusannya, ketika apa yang diputuskan mengandung kekeliruan”. (Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH.) by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Adillah kepada lawan sekalipun. Begitu alam semesta berbisik indah ke setiap telinga yang terdidik. Bisikan nan indah itu, bagi yang berilmu dengan telinga terdidiknya, akan membuat mata hatinya terbimbing oleh mozaik keadilan. Tetapkanlah hukum dengan seadilan-adilnya pada perkara apapun, itulah sabda alam. Alam meminta hakim berseru dengan seruan kebijaksanaan. Jangan bawa benci masuk kedalam pengetahuanmu kala kamu menetapkan hukum atas perkara apapun. Begitu para bijak bicara kepada murid-muridnya. Hakim, siapapun dia, termasuk dan tak terbatas pada Ketua Majelis Perkara Habib Rizieq Sihab Yang Mulia Suparman Nyompa, diminta alam untuk tak boleh mendekorasi pengetahuannya dengan teks hukum semata. Hakim harus tahu tingkatan hukum dan rahasia dibalik teks hukum itu apa? Hakikat Hak Alam memuliakan para hakim. Allah Suhaanahu Wata’ala yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua mahluk, dengan Kemahatahuan-Nya tahu siapa anda, detik demi detik. Kemahatahuan-Nya tahu kadar keadilan dan ketidakadilan dalam hukum yang ditetapkan setiap hakim pada setiap perkara. Pengetahuan itu absolut. Tidakkah tuan-tuan hakim yang mulia tahu kemahatahuan Allah ajja wa zallah bekerja pada putusan Nabi Daud Alaihissalam? Hukum yang ditetapkan oleh Nabi Daud Alaihissalam dalam perselisihan antara pemilik hewan dengan pemilik kebun, yang tanamannya dimakan hewan piaraan pemilik hewan itu, dikoreksi oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dia yang Maha Tahu menghadirkan Nabi Soleman Alaihissalam, putranya Nabi Daud Alaihissalam, untuk mengoreksi putusan ayahanda tercinta. Itulah yang diabadikan dalam Al-Quranul Karim. Kisah itu diabadikan, tepatnya pada surat Al-Anbiya. Hakim harus pintar, itu pinta Allah untuk mereka yang menjadi hakim. Bersidang dan memutuskan atau menetapkan hukum atas perkara yang disidangkan, harus oleh hakim yang berilmu. Harus berilmu, itu tidak lain dari hakim yang arif. Kearifan menjadi napas pengetahuannya. Kearifan yang membawanya kekeadilan. Kearifan menjauhkannya dari culas, sombong, benci, ketakutan pada bos, istri, anak dan sahabat karib. Semua tertelah, sirna seketika oleh keasrifan. Hakim berilmu disambut semesta dengan pelukan kasih. Hakim akan selalu dipeluk rindu penuh cinta oleh Pencipta alam semesta ini. Sebaliknya hakim berilmu, tetapi memutus perkara tidak dengan ilmunya, justru dibenci, direndahkan dan dihinakan sehina-hinya oleh alam semesta. Begitu juga dengan Hakim bodoh. Yang dengan kebodohannya menetapkan hukum pada perkara disidangkannya, disambut semesta dengan cibiran merendahkan. Semesta membawa dan melemparkannya kekubangan sampah yang busuk. Orang busuk memang adanya di tempat busuk. Orang baik adanya ditaman nan indah dengan harum kembang semerbak. Hanya hakim berilmu tahu apa itu hak dan hakikatnya. Hakim berilmu tahu bagaimana hak berawal dan berakhir. Tahu semua yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Semua yang terlihat, pasti sirna, dimakan akhir yang pasti. Hak bukan padanan kewajiban. Hak kebalikan dari kewajiban. Tetapi keduanya saling berkait. Bukan karena ditetapkan hukum bentukan politisi konyol, tetapi karena begitulah fitrahnya. Tidak ada artinya hak, tanpa ada kewajiban di seberangnya. Tidak ada artinya kewajiban, bila tak ada hak di seberangnya. Dalam hakikat, keduanya sama. Sama-sama didedikasikan kepada pemegang hak itu. Tetapi tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kebaikan bersama.Tidak ada hak dan kewajiban yang mengalir dari semesta. Itulah hakikat hak. Itulah hakikat dari pernyataan semesta bahwa di dalam hakmu, terdapat hak mahluk lainnya. Dari situ lahirlah aksioma “gunakanlah hak” sejauh tepat menurut kaidah kehidupan bersama. Pada level praktis, hak memberi kepada pemegang kekuasaan melakukan atau tiak melakukan sesuatu yang terkait dengan hak itu. Hak menjadi dasar sahnya tidakan. Semesta menghormatinya dengan cara menyerahkan sipemegang hak itu untuk digunakan atau tidak digunakan haknya itu. Semesta tahu batas hak dan awal dimulai kewajiban. Tak mencampurkan keduanya. Itu karena semesta tidak punya bakat berupa sombong, bodoh, menindas, dan menyesatkan. Hanya penguasa otoriter yang menjadikan bodoh dan angkuh sebagai nafasnya. Penguasa otoriter mengandalkan penindasan, pembodohan dan penyesatan membuat orang tunduk dan membuat dirinya terlihat hebat. Itulah cara Fir’aun, dengan semua penguasa bajingan sesudahnya. Semesta tak menghadiahi hakim dengan sikap “bijaksana” sejauh hakimnya tidak memberatkan nafas mencahayai dirinya dengan ilmu menit ke menit, disepanjang nafasnya berdetak. Semesta menggariskan pada dirinya, keadilan bekerja melalui ilmu sang pengadil. Ilmu yang membawa dan mendekatkan kebijaksanaan kepada Nabi Daud Alaihissalam. Ilmu menghidupkan kebijaksanaan Nabi Daud, sehingga tak sudi bertengkar dengan Nabi Soleman, anaknya yang masih kecil, yang mengoreksi putusannya. Pembaca FNN yang budiman. Ilmu yang mencayahayai Sayidina Umar Bin Khattab Radiallaahu Anhu membuat setiap kebijaksanaan, sehingga mulutnya terkunci, tatkala seorang wanita biasa-biasa saja menyanggah pernyataannya tentang mahalnya mahar kawin. Ilmu membawa Sayidina Umar untuk adil pada Yahudi sekalipun, yang tanahnya diambil Gubernur Mesir Amru Bin Ash untuk dibangun masjid. Sayidina Umar Bin Khattab Radiallaahu Anhu tahu hak si Yahudi atas tanahnya. Tahu hak ya hak. Bukan tak bisa dilepaskan, tetapi cara melepaskan hak itu harus sama kadarnya. Harus dengan cara yang hak pula. Itu pula yang dilakukan Sayidina Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Amirulmukminin gagal menemukan cara yang hak untuk mengambil haknya (baju perang). Padahal cara yang hak itulah yang dinyatakan oleh Yang Mulia Hakim Syuraih. Sekalipun yang dihadapi adalah Sayidina Ali, Amirulmukminin, Syuraih mengalahkan Sayidina Ali Radiallaahu Anhu. Jernihkan Dengan Keadilan Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH.MH, Ketua Mahkamah, apa pendapat Yang Mulia terhadap hilangnya hak terdakwa untuk hadir di persidangan? Tidak hadir di ruangan sidang pengadilan sebagai akibat dari lahirnya Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik? Apa kabar dengan gagasan besar dan sangat mengagumkan dari Yang Mulia tentang “Heurestika Hukum”? Dibaca dan difahami tidak para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu? Tulisan itu bagus dan bermutu tinggi dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern, Pendekatan Heurestika Hukum”? Tulisan “Heurestika Hukum” yang sangat bermutu tinggi itu mau ditaruh atau dibuang di tumpukan sampah yang mana oleh para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur? Meski awalnya terkesan dilecehkan, semoga saja tulisan berkelas dan mengagungkan tentang “Heurestika Hukum” itu tetap menjadi panduan ilmu hukum untuk para hakim. Karena gagasan tentang “Heurestika Hukum” itu muncul dari pengalaman dan pendalaman Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH. selama 32 tahun menjadi hakim. Bagaimana jadinya kalau permintaan jaksa ditolak oleh terdakwa? Bagimana kalau permintaan terdakwa untuk disidangkan secara elektronik ditolak oleh JPU? Hakim, karena jabatannya, harus memutuskan sendiri permintaan Jaksa? Kepada Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, hukum apa yang harus dijadikan dasar oleh hakim dalam memutuskan perselisihan itu? Perma Nomor 4 Tahun 2020 atau UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman? Kebodohan merupakan hal yang ditakuti, lebih dari pada perang oleh Sayidina Ali Abi Thalib, sang Amirulmukminin ini. Itu karena kebodohan selalu ditemani keangkuhan, suka ngeyel, mengada-ada, cari-cari alasan kepanpun sibodoh itu pergi dan berada. Benar-benar bahaya orang ini. Yang Mulia Profesor. Dr. Muhammad Syarifuddin, SH. MH , Ketua Mahkamah Agung, tolong alirkan mozaik “Heuristika Hukum” yang bermutu tinggi kepada para hakim-hakimmu. Ketuklah mata hati anak buahmu dengan cara sesekali mengelus-elus mereka untuk memasuki dunia hebat “Heuristika Hukum”. Hidupkanlah mata hati hakim-hakimmu dengan konsepmu yang sangat hebat, top dan mengagungkan tersebut. Dunia peradilan dan keadilan tidak pernah bisa, dengan alasan apapun, menjadi dunia mekanistik. Menjadi dunia teks dan teks semata. Tidak ada teks yang tak memiliki jiwa, dan tidak diabdikan pada impian memperbesar keindahan semesta. Keindahan yang tertangkap dalam impian besar “Heuristika Hukum”, yang menggema mengantar Yang Mulia ke dunia keprofesoran. Dunia keprofesoran tidak pernah jauh dari dunia nilai-nilai filsafati, untuk tak menyebut epistemologis. Ini dunia yang indah, mengasyikan, sekaligus melelahkan. Kehancuran fatal yang melanda sidang kedua Habib Rizieq Shihab (HRS). Sungguh tak enak untuk ditulis, apalagi dikenang. Karena sangat memalukan dan menjijikan peradilan kita. Tak ada lagi cat alam yang tersedia untuk menghapusnya dari setiap memori. Koreksi Ketua majelis Hakim, dengan penetapannya memerintahkan Jaksa Penuntut Umum menghadirkan terdakwa HRS di sidang pengadilan, itu bagus. Sebagus itu sekalipun, kehancuran fatal yang terjadi sebelumnya, telah meninggalkan pilu di sana-sini. Keadilan terluka sudah, dan itu fatal. Dari kejauhan seolah tak ada lagi cara menghilangkannya dari benak ummat Muhammad, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, dia yang Rahmat dan Rahim Allah Subhanahu berawal dan berakhir. Samar-samar terlihat peristiwa pilu itu, memahat benak anak manusia yang penuh hafalan huruf demi huruf Al Quran dan hadist, sebagai ketidakdilan sudah terpahat untuk Habib Rizieq Shihab. Itu soalnya. Semoga saja salah, dan tidak benar. Sekali lagi semoga begitu. Tetapi memang semesta terlalu kaya dengan kerifan. Semesta pasti menyukai orang yang merenung, mengenal diri, menimbang nafas sekadar menggapai tobat seasli-asli-aslinya. Tapakilah jalan “Heuristika Hukum” dari Yang Mulia Profesor Dr. Muhammad Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung. Tenang dan fokuslah, agar anda terperangkap dalam substansinya. Biarkan substansi membimbing, menuntun dan membawamu pada cinta keadilan, yang Allah Maha Tahu merestuinya. Pembaca FNN yang budiman. “Heurestikan Hukum” dari Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH. telah membangkitkan kembali ingatan kita pada hakim-hakim top kelas dunia seperti John Marshal, Ketua Mahkamah Agung Amerika, William P. Chase, Louise Brandies, Oliver W. Holmes, Earl Warren, O. Connors, dan Antonio Scalia. Yang Mulia Prof. Dr. Muahmmad Syarifuddin dan para hakim top kelas dunia itu tak bisa menyediakan obat untuk hati terdakwa yang terlanjur terluka. Tidak, dengan teori keadilan dan hukum apapun. Tidak ada hakim di dunia ini yang memilik obat untuk luka hati terdakwa, yang tergilas oleh ketidakadilan proses sidang. Entah kemanapun kau mengadu, aduanmu tetap saja menggantung sejauh luka hati terdakwa menganga menanti perhitunghan akhir yang otentik oleh Allah Subhaanahu Wata'ala Yang Maha Adil, kelak disuatu hari nanti. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.