HUKUM

Komnas HAM Memang Top

by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Senin (11/01). Membunuh satu orang, sama dengan membunuh semua manusia. Begitu Allah Subhanahu Wata’ala memperingatkan hamba-hambanya. Sakral manusia itu di mata Allah. Kesakralan itu memiliki daya tolak terhadap semua argumen official, serapih apapun, dalam menyembunyikan nyawa-nyawa yang dihabisi itu. Kesakralan nyawa-nyawa manusia, bagi yang berotak, tahu dihormati, diagungkan setiap republik di dunia. Love humanity, love dignity, love justices, and love peace, itulah nilai-nilai sakral semua yang dipunyai republik. Itu sebabnya semua republik, memandu aparatur pelaksana hukum dan pemegang bedil dengan due process of law. Alhamdulillah nilai-nilai sakral itu dihidupkan republik Indonesia tercinta ini. Itulah hakikat keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Syukur, Komnas HAM cukup jujur memasuki peristiwa terbunuhnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS). Cerdas, Komnas pun telah mengumumkan temuannya. Alhamdulillah. Lubang-Lubang Kecil Substansi keterangan Pers Komnas Ham Nomor 003/Humas/KH/I/2021 tertanggal 8 Januari 2021, terpola dalam satu ciri umum. Cirinya adalah tidak menyebut nama pemberi keterangan. Ini yang tidak menarik. Yang menarik adalah Komnas HAM memberi ciri spesifiknya. Ciri spesifik ditandai dengan tak dijelaskannya hal-hal kunci. Komnas HAM tak menyebut bagaimana peluru mengenai dan mematikan dua almarhum yang diturunkan di rest area kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Apakah keduanya tertembak di dalam mobil ditengah keadaan saling tembak, saling serempet, seruduk dan kejar-mengejar di sepanjang jalan Internasional Karawang? Tida ada penjelasan rinci. Halaman tujuh poin sembilan dari konfrensi persnya, Komnas HAM hanya menyebutkan, untuk lengkapnya saya kutip secara utuh. Bahwa empat anggota Laksus yang kemudian “ditembak mati di dalam mobil petugas” (tanda petik dari saya) saat dalam perjalanan dari kilometer 50 ke atas (menuju Polda Metro Jaya) dengan informasi hanya dari petugas kepolisian semata bahwa terlebih dahulu telah terjadi upaya melawan petugas yang mengancam keselamatan diri, sehingga diambil tindakan tegas dan terukur. Hanya itu penjelasan polisi. Tidak dijelaskan juga siapa petugas Polisi yang menembak empat orang almarhum dalam mobil itu? Mobil yang mereka tumpangi menuju Polda Metro. Mengapa mereka tak diborgol? Apakah para almarhum itu telah tak berdaya secara fisik? Kalau mereka tidak dalam keadaan seperti itu, mengapa tak diborgol? Apakah keadaan tak diborgol itu merupakan perintah atasan? Logiskah hanya satu orang Polisi duduk dibangku tengah mengapit satu orang Laskar FPI? Logishkah tiga orang lainnya di jok belakang, tanpa kawalan? Lalu empat orang yang tangannya tak diborgol ini merebut senjata petugas, tetapi gagal? Logis ini? Atau hanya dongeng belaka? Kalau mati dalam mobil, adakah sidik jari dalam bobil itu? Tidak ada sehelai rambut pun ditemukan dalam mobil itu? Tidak ada bercak darah dalam mobil itu? Kalau semua ini tak ada, apa hipotesisnya? Mati di dalam mobil atau diluar mobil? Bila mati di luar mobil, maka soalnya jadi lebih menarik. Mungkinkah petugas di dalam mobil itu yang menembak mereka? Bila ya, apakah petugas itu mengambil keputusan sendiri untuk menembak mereka? Beranikah petugas tidak melaporkan keadaan itu kepada atasannya? Bila melapor, apa perintah atau petunjuk dari atasan? Fakta yang disajikan Komnas HAM, harus diakui, tak bisa diandalkan untuk menemukan jawabannya. Tetapi apakah keadaan yang terlihat tak terang itu menggambarkan Komnas HAM tak memiliki data itu? Lebih logis untuk berhipotesa kalau Komnas HAM benar-benar memiliki fakta itu, tetapi tidak mau untuk menyajikannya pada konfrensi pers. Kenyataan-kenyataan lain yang menyajikan soal, tersaji pada angka 5 pada halaman 6 point 8. Kenyataan itu sangat bernilai. Isinya “sedangkan untuk kendaraan jenis Avanza Silver B 1793 PWQ dan B 1278 KJD yang menurut keterangan saksi dan hasil identifikasi rekaman CCTV serta analisis rekaman percakapan terlibat aktif dalam pembuntutan terhadap rombongan HRS, tidak diakui sebagai mobil milik petugas Polda Metro Jaya yang sedang melaksanakan tugas pembuntutan”. Siapa mereka? Hantukah mereka? Apakah mereka yang menembak dua angota FPI lebih dulu, yang diturunkan di rest area kilometer 50? Apakah yang diterangkan petugas dalam pemeriksaan Komnas HAM mengenai dua mobil Avanza ini? Mereka mengakui? Menyangkal? Akankah soal ini terus menjadi misterius? Kenyataan ini bukan dongeng. Harus dibuat terang, seterangnya terangnya. Perjelas Konteks Konteks yang disajikan Komnas HAM terlihat persial, terpisah-pisah, terisolasi satu dengan lainnya. Padahal konteksnya begitu mudah. Konteksnya, suka atau tidak adalah HHS. Kepulangannya menyita perhatian pemerintah. Tidakkah telah menjadi pengetahuan umum, kepergiannya keluar negeri, semata menghindari tindakan hukum kepada dirinya, yang HRS nilai tidak adil? Apakah petugas lapangan memiliki kesanggupan dan kewenangan official untuk memilih tindakan, yang berpotensi, bahkan actual unlawful? Persoalan ini ak tersedia informasi oleh Komnas HAM. Tidak penting lagi mempertanyakan mengapa Komnas HAM memilih sikap itu. Sekali lagi tidak penting. Karena Komnas HAM sudah cukup cerdas. Mereka menyajikan fakta, yang terlihat terpisah, tetapi detailnya saling mendukung dalam membentuk konteksnya secara utuh dan menyeluruh. Itu terlihat pada fakta sebagai berikut. Pada halaman tujuh di bawa sub-topik pada pokoknya peristiwa di atas adalah (penebalan dari saya) Komnas Ham nyatakan: Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa mengindikasikan adanya unlawfull killing terhadap empat anggota laskar FPI. Nalarnya, hanya empat orang itu yang unlawfull killing. Dua lainnya lawfull killing. Logisklah ini? Terlihat logis bila konteksnya diisolasi pada kejar-mengejar, serempet-menyerempet dan tembak-menembak sejak di Jalan Internasional Karawan hingga keluar dari jalan itu. Soalnya sekarang, logiskah konteksnya diisolasi Komnas HAM sebatas itu? Apakah logis kejar-mengejar dan seterusnya diisolasi dari kenyataan adanya pembuntutan petugas kepada Habib sejak dari Sentul? Bila tak ada pembuntutan, apakah kejar-mengejar dan seterusnya bisa terjadi? Bagaimana dengan kenyataan adanya mobil mistrerius yang aktif membuntuti romobongan HRS? Bila kenyataan itu harus diisolasi juga, sehingga kematian dua orang itu disebut lawfull killing, maka muncul soal hukum baru. Soalnya adalah bagaimana menerangkan fakta yang ditemukan Komnas HAM bahwa Habib Rizieq telah dipantau sejak sebelum berada di Sentul? Tidakkah Habib Rizieq telah dipantau sejak di Mega Mendung dan Sentul? Tidakkah fakta itu bernilai hukum, sehingga petugas polisi mampu memantau, menginteli Habib Rizieq, pada dua tempat (Mega Mendung dan Sentul) itu tanpa insiden apapun? Mengapa menempuh pola terakhir yang fatal itu? Tidakkah petugas tahu bahwa HRS belum berstatus tersangka? Mau atau tidak, soal ini harus diintegrasikan dan dijadikan konteks peristiwa. Dengan begitu, maka sifat lawfull atau unlawfull atas kematian kedua almarhum itu, dapat ditentukan secara objejktif. Konsekuensinya, konteks peristiwa tidak dapat diisolasi sebatas kejar-mengejar, dan seterusnya. Konteksnya harus ditarik sejak peristiwa, setidaknya kerumunan di Petamburan, dan seterusnya. Bukankah peristiwa kerumunan di Petamburan itulah, yang mengakibatkan Habib dipanggil penyidik Polda Metro untuk dimintai keterangan? Bukankah terdapat dua pemantauan sebelumnya, yaitu di Mega Mendung dan Sentul, yang nyatanya semuanya oke, tanpa ada insiden, apalagi yang mematikan? Hanya dengan cara itu, hukum tentang lawfull atau unlawfull atas kematian dua almarhum menjadi objektif. Penentuan sifat kematian keduanya, dalam konteks rule of law juga due process of law, dengan sendirinya, memiliki nalar yang berbasis hukum. Komnas HAM juga menemukan kenyataan yang dinyatakan pada angka 6 point 6 halaman 6. Kenyataan ini justru menguatkan nalar pentingnya membuat konteks peristiwa ini secara utuh. Isi angka 6 point 6 halam 6 itu adalah “terdapat pula informasi adanya kekerasan, pembersihan darah, pemberitahuan bahwa ini kasus narkoba dan terorisme, pengambilan CCTV di salah satu warung dan perintah penghapusan dan pemeriksaan handphone masyarakat di sana.” Mengapa harus dibersihkan? Mengapa harus dihapus? Mengapa HP orang harus diperiksa? Lawfull ko takut pada kenyataan yang terekam? Imperatif untuk dikaitkan dengan konteks, dan kejelasan dua mobil misterius yang tidak diakui Polda. Agar sejumlah hal hukum memiliki nilai, maka soal ini harus ibuat jelas. Agar jelas, maka harus diperjelas konteks. Ini cara menghindari munculnya imaginabled context atau enggenering context, konteks yang dihayalkan dan direkayasa. Bahaya konteks tipikal ini adalah kekeliruan menentukan siapa yang bertanggung jawab apa? Dan sejauh mana tanggung jawab itu disebar? Bisakah konteks dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang terlihat tak saling terangkai, hilang, disebut sebagai loophole-loophole? Bila pun iya, hal itu tak mengubah fakta apapun dalam temuan Komnas HAM ini. Sebab terlalu mudah untuk menemukan nalar loophole-loophole itu. Tetapi harus diakui, itu akan terjadi bila penyidikan nanti sungguh-sungguh disemangati dan dikerangkakan ke dalam imperatif-imperatif due process of law. Buka otak, hidupkan nurani, hidupkan kejujuran, tatap di hari akhir yang indah adalah menghidupkan due process of law. Maka objektifitas penyidikan kasus ini, datang dengan sendirinya. Detail peristiwa, dengan demikian, akan mudah muncul bila, sekali lagi, bila otak bekerja dengan panduan nurani yang bening. Dengan panduan cahaya kejujuran dan rindu akhir hidup yang khusnul khotimah. Due process of law juga akan bersinar terang dengan sendiri. Keadilan memang sulit didefenisikan. Tetapi tidak bagi orang yang tahu hakikat perintah Allah Subhanahu Wata’ala tentang hak ya hak, benar ya benar, dan batil ya batil. Hukumlah mereka yang perbuatannya nyata-nyata salah, dan bebaskanlah mereka yang perbuatannya nyata-nyata tidak salah. Jangan memproduksi dongeng. Komnas Ham memang top. Kecerdasan, keberanian dan kecerdikan tuan-tuan di Komnas HAM semua, telah menghadirkan harapan kecil yang hebat buat republik ini. Insya Allah republik ini tidak semakin terluka, tercabik-cabik dengan diskriminasi hukum dan politik. Love justice, love humanity, love dignity, itulah permintaan sakral semua pendiri republik ini. Hormat untuk tuan-tuan Komnas HAM semua.** Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Presiden Segera Non Aktifkan Kapolda Metro Jaya

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (11/01). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merilis hasil kerja penyelidikan tewasnya 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dikenal dengan “Tragedi Penembakan kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Komnas HAM merekomendasi empat hal, yaitu soal pelanggaran HAM dan proses peradilan, penegakan hukum orang yang berada di dua mobil avansa yang bukan dari petugas Polda Metro Jaya, pengusutan senjata api, serta penegakan hukum yang akuntabel, obyektif dan transparan. Hasil kerja dan rekomendasi Komnas HAM disampaikan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti. Presiden kini memegang bola panas itu. Rakyat menunggu sikap politik dan kepatuhan Presiden kepada hukum. Apalagi Presiden berulang-kali menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, Presidem segera berpidato untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Gunakan segala fasilitas yang disediakan oleh negara. Pakai itu podium dan mimbar di Istana Negara untuk berbicara kepada rakyat negeri ini. Bicara untuk didengar oleh masyarakat dan komunis pegiat HAM di muka bumi ini. Bicara, apresiasi dan tindak lanjuti itu hasil kerja Komnas HAM. Meski dengan kesadaran bahwa masih banyak pihak yang kecewa atas kerja Komnas HAM tersebut. Namun sekurangnya masih ada tiga pertanyaan krusial dan keingintahuan publik berkenaan dengan temuan Komnas HAM yang butuh penyelidikan lebih lanjut tersebut. Pertama, benarkah terjadi tembak-menembak sebelum sampai di kilometer 50 tol Japek? Atau baru terjadi tembak-menembak baru terjadi persis di kilometer 50 tol Japek seperti keterangan warga kepada wartawan FNN.co.id Edy Mulyadi? Pertanyaan ini penting mengingat sampai dengan rilis Komnas HAM itu disampaikan kepada masyarakat, tidak ada keterangan atau penjelasan sedikitpun "goresan" pada para petugas yang juga ditembak itu? Apakah kemungkinan dua anggota Laskar FPI yang sudah meninggal lebih dulu itu ditembak secara sepihak oleh "petugas misterius" dari dua mobil Avanza yang ikut membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak dari sentul? Sebab Komnas HAM dengan sangat jelas telah merekomendasi penegakan hukum kepada mereka-mereka di dua mobil Avanza tersebut. Kedua, mengusut senjata api rakitan. Apakah benar senjata rakitan tersebut adalah milik anggota Laskar FPI? Ataukah juga milik petugas yang kemudian dinyatakan seolah-olah merupakan milik anggota Laskar sehingga tersimpulkan terjadi "tembak-menembak" tersebut? Apalagi FPI telah menyatakan bahwa tidak ada anggotanya yang dibekali dengan senjata api atau senjata tajam lainnya. Pengusutan atas kepemilikan senjata rakitan ini menjadi penting mengingat adanya perubahan pada keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Dr. Fadil Imron. Semula ketika memberikan keterangan dengan didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman, Kapolda Mtero Jaya menyatakan pistol tersebut asli jenis revolver. Kemudian pernyataan itu berubah menjadi hanya pistol rakitan. Ketiga, kesimpulan tidak ada penyiksaan perlu dilakun pendalaman oleh tim forensik yang independen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Bukan tim forensik dari Rumah Sakit Polri mengingat adalanya jenazah yang lebam-lebam. Terjadi pembengkakan organ pada jenazah, serta melepuh dan mengelupas. Benarkah jenazah yang lebam-lebam, pembengkakan organ tubuh, melupuh dan mengelupas tersebut, semua hanya efek dari penembakan atau kolestrol? Sebab jarak waktu antara penembakan dengan otopsi, serta pemulasaraan jenazah relatif pendek. Perlu pendalaman yang lebih terperinci lagi. Keempat, atas rekomendasi bahwa terjadi pelanggaran HAM, maka harus ditindaklanjuti pada tingkat pengadilan. Dengan sendirinya petugas kepolisian akan segera menjadi tersangka. Kemungkinan sebagai atasan, Kapolda Metro Jaya Fadil Imron juga akan menjadi terperiksa. Demi berlanjutnya kasus "pelanggaran HAM" ini, maka dua hal menjadi mutlak adanya. Pertama, segera non aktifkan Kapolda Metro Jaya Irjan Pol. Dr. Fadil Imran. Kedua, Presiden harus segera memerintahkan Kapolri untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut. Bila Presiden merasa tidak terkait, dan memiliki tanggung jawab besar kepada rakyat, maka segera perintahkan pula pembentukan Peradilan HAM atas peristiwa ini. Pembentukan pengadilan HAM menjadi penting, untuk menghindari keterlibatan lembaga HAM, atau bahkan Peradilan HAM internasional untuk ikut menangani kasus pelanggaran HAM kilometer 50 tol Japek ini. Presiden jangan diam saja. Jangan pula serahkan respon Pemerintah kepada keterangan atau pidato Menkopolhukam. Karena sudah terlalu banyak blunder yang dibuat Pak Menteri ini yang suka membuat rakyat kurang percaya kepada pemerintah. Ataukah memang Pak Presiden juga merasa sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat ? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Presiden Harus Menindaklanjuti Laporan Komnas HAM

by Dr. Ari Yusuf Amir SH. MH. Jakarta, FNN - Ahad (10/01). HASIL penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa terbunuhnya 6 orang laskar Forum Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 7 Desember 2020 lalu, mulai dibuka ke publik. Jumat (8/1) lalu, Komnas HAM telah merilis hasil pengumpulan data dan fakta yang telah diuji, dianalisis dan disimpulkan, serta direkomendasikan dalam sebuah laporan temuan hasil penyelidikan terhadap peristiwa penembakan di KM 50 ruas tol Jakarta-Cikampek (Japek). Satu hal yang setidaknya lebih jelas bahwa dari 6 orang laskar FPI yang tewas, Komnas HAM menyatakan, terdapat 4 orang korban yang didapatkan tewas akibat kekerasan dan penembakan dengan sengaja oleh polisi di luar mekanisme penegakan hukum yang seharusnya (unlawful killing). Bahkan sebelum dibunuh terungkap temuan pada tanda-tanda fisik yang menunjukkan bahwa keempat korban telah terlebih dahulu mengalami penyiksaan (torture). Dalam bahasa Komnas HAM, keempat orang FPI ini masih hidup ketika dalam penguasaan resmi petugas negara. Namun kemudian tewas di tangan petugas tanpa ada upaya lain untuk mencegahnya. Oleh karena itulah tindakan petugas yang menyiksa dan mengakibatkan kematian anggota FPI tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM (serious violation of human rights). Sementara itu, masih menurut versi Komnas HAM, dua orang laskar FPI yang tewas lainnya merupakan akibat penghadangan terhadap petugas negara. Terjadi kontak senjata ketika itu, dan dua anggota FPI itu kemudian gugur. Kesan yang ingin dibangun dari konstruksi cerita ini, bahwa dua orang yang tewas berkategori ' lawfull killing ' karena petugas negara sedang menegakkan hukum. Hanya saja aktivitas penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi pada saat itu adalah menguntit HRS sebagai terduga pelaku pembuat kerumunan di masa pandemi Covid 19. Cara dan prosedur penegakan hukum yang berbuntut pada kekerasan fisik secara berlebihan ini kemudian mengundang kontroversi, karena tidak sebanding dengan dugaan kesalahan para korban. Harapannya, apabila terbukti terdapat pelanggaran HAM oleh kepolisian terkait dengan tewasnya 4 orang laskar FPI itu, tentu saja kita berharap agar kasus ini segera ditindaklanjuti melalui proses pemidanaan terhadap pelaku penembakan dan penyuruh (pemberi perintah) penembakan. Tentu saja penegakan hukum yang ' fairness ' hanya bisa dilakukan jika laporan Komnas HAM ini ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi. Bagaimana pun Komnas HAM adalah ' government body ' yang memberikan rekomendasi hasil kerjanya hanya kepada Presiden sebagaimana amanat UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai kepala negara tentu saja presiden sejatinya menindaklanjuti rekomendasi pemidanaan tersebut. Tentu tidak sepatutnya bagi presiden memberikan imunitas (melindungi orang agar terbebas dari hukuman) apabila proses pemeriksaan nantinya menemukan pihak yang menjadi aktor pemberi perintah terjadinya pelanggaran HAM ini. Jika Presiden tidak sigap, tanggap dan cepat dalam merespon dan menindaklanjuti laporan Komnas HAM ini, bukan tidak mungkin kasus ini akan di-peties-kan atau dibekukan. Alhasil tidak akan ada bedanya dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Kasus ini bisa serupa dimana aktor yang diusut hanyalah pelaku dan bukan penyuruh (dader). Apabila proses penegakan hukum terhadap kasus ini lamban karena faktor terhentinya proses tindaklanjut di meja Presiden, wacana untuk menyeret kasus ini ke peradilan pidana internasional ( International Criminal Court /ICC) akan memanas. Dan tentu saja hal ini akan menurunkan reputasi negeri ini di mata dunia. Lebih dari itu, jika mau jujur maka pelaku atau eksekutor penembak bersama dengan penyuruh atau pemberi perintah membunuh, atau orang yang mendesain terjadinya peristiwa ini, untuk segera ditangkap dan ditahan polisi. Merekalah yang harus dikriminalisasi melalui proses pemidanaan yang fair-play untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Salah satu usulan terpenting untuk memulai proses pemidanaan terkait dengan tindaklanjut laporan Komnas HAM ini adalah institusi kepolisian harus fokus pada upaya menyelamatkan citra dan kepercayaan masyarakat. Caranya, konsentrasi saja pada pengungkapan oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku pelanggar HAM ini. Siapa pun pihak-pihak terduga pelaku dan penyuruhnya, sebaiknya segera dinonaktifkan dari kedudukan strukturalnya. Para individu ini harus diproses secara objektif dan bebas dari anasir tekanan dan intervensi pihak mana pun. Tidak boleh diberikan kesempatan adanya oknum pemberi perintah yang merekayasa kasus ini dengan membangun alibi bahwa petugas di lapangan membela diri sehingga sah membunuh. Padahal itu dilakukannya untuk menutupi rencana pembunuhan terhadap korban atas nama penegakan hukum. Pemberi perintah dan pelaksana perintah adalah oknum Polri yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara individual. Dengan cara tersebut maka citra institusi Polri dapat terselamatkan dari krisis kepercayaan, dan secara kelembagaan tetap berwibawa dalam mengemban tugas penegakan hukum. Tantangan Kapolri Baru Kita tentu saja menaruh harapan besar kepada figur Kapolri mendatang untuk memiliki komitmen tinggi dan kesungguhan pada usaha penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM oleh jajaran kepolisian ini. Penyidikan yang dilakukan menyusul rekomendasi Komnas HAM kepada presiden tersebut, hendaknya mendapatkan proteksi dari Kapolri agar bisa memastikan tidak adanya intervensi dari unsur pimpinan Polri lainnya yang dapat merusak objektivitas temuannya. Pimpinan Polri yang baru hendaknya menunjukkan kepada publik bahwa siapa pun individu dalam tubuh Polri yang salah dalam penerapan hukum, prinsip, prosedur, tata cara, serta melanggar kaidah penegakan hukum yang mengakibatkan kematian warga negara harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Jadi institusi Polri tidak melindungi anggota Polri yang salah secara hukum dan tidak akan membebaskannya dari sanksi hukum. Dengan demikian tidaklah benar anggapan di masyarakat selama ini bahwa Polri akan melindungi anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap 6 Laskar FPI, kalau pun di proses maka hanya akan memproses pelaku di lapangan saja tanpa membongkar siapa figur pemberi perintahnya. Penulis adalah Paktisi Hukum.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (7)

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (10/01). Tinggal satu TKP yang belum ditulis dari rangkaian Rekonstruksi atau reka ulang alias reka adegan dalam tulisan ini. Yakni TKP atau Lokasi Keempat. Versi polisi, di sinilah terjadi upaya merebut pistol polisi oleh laskar FPI. Benarkah? Lokasi Keempat Lokasi ini ada di KM 51 Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Mobil Daihatsu Xenia sebenarnya akan membawa empat anggota FPI ke Polda Metro Jaya. Namun, di KM 51 Tol Japek itu, menurut polisi, keempat anggota FPI itu melawan dan berupaya merebut pistol polisi. Lokasi KM 51 menjadi TKP nomor empat yang ditandai Polisi. Menurut polisi, para anggota FPI berupaya merebut pistol anggotanya. Sehingga, polisi akhirnya menembak keempatnya di dalam mobil. Kejanggalan reka ulang lokasi 4: Dengan posisi duduk hanya satu orang polisi di bangku tengah dengan seorang polisi berdampingan di sebelah seorang laskar FPI, dan tiga orang laskar ada paling belakang. Jika memang terjadi upaya perebutan senjata rasanya cukup mustahil seorang polisi mampu melawan 4 orang laskar FPI yang diketahui punya ilmu bela diri. Dalam keadaan serba genting seperti itu di dalam mobil yang berjalan tentu akan cukup sulit polisi melakukan perlawanan apalagi sopir fokus ke jalan dan yang beraksi hanya dua polisi. Seorang polisi disergap dari belakang oleh tiga orang, semantara satu orang di sampingnya maka lebih yakin senjata polisi akan dengan mudah mereka rebut. Tentunya polisi itu sendiri akan menjadi korban. Dan besar kemungkinan justru akan terjadi tembak-menembak dalam mobil. Ini jelas aneh, apalagi dari hasil pemeriksaan korban yang tewas terdapat banyak luka di tubuhnya. Peluru yang ditembakkan polisi seperti sangat terarah, karena tepat di jantung dan selebihnya acak. Koq bisa? Hal lain yang perlu kita perhatikan bahwa semua peluru yang ditembakkan polisi (di antara 3 polisi itu) tembus di tubuh korban. Jika tembus, maka seharusnya mobil Xenia itu di bagian belakang akan banyak sekali bekas tembakan karena pelurunya juga bisa mengenai kursi, dinding bahkan mungkin kaca mobil. Apakah mobil Xenia itu rusak di bagian dalamnya? Di mana proyektil dan selongsongnya? Bukankah seharusnya masih ada jejaknya di mobil? Ini semakin tidak masuk akal kita kalau mencermati kronologi reka ulang tersebut. Keramaian di lokasi Rest Area KM 50 tersebut diperkirakan selesai sekitar pukul 01.30 Wib bersamaan dengan waktu mobil polisi melaju ke jalan tol kembali. Sekitar pukul 3 pagi 6 laskar tersebut tiba di Rumah Sakit Polri Kramatjati. Jarak tempuh antara lokasi rest area dengan RS itu sekitar 1 jam dan berarti seharusnya sampai pukul 2.30. Pertanyaannya kemudian adalah ke mana mobil Xenia polisi itu sebelum sampai di RS Polri, jika dikatakan laskar FPI ditembak dalam mobil yang sedang melaju karena mereka berupaya melawan 2 orang polisi dalam mobil? Diduga, mobil polisi Xenia itu stop dahulu di suatu tempat, menurunkan mereka, menganiaya mereka baru kemudian ditembak. Setelah itu dibawa masuk lagi ke dalam mobil melanjutkan perjalanan dan pukul 03.00 sampailah di rumah sakit dalam kondisi sudah tewas! CCTV Error? PT Jasa Marga (Persero) Tbk melalui anak usaha yang bergerak di bidang pengoperasian di Jalan Tol, PT Jasamarga Tollroad Operator (JMTO), menjelaskan terjadi gangguan pada link jaringan backbone CCTV/Fibre Optic di KM 48+600 sejak Minggu (6/12/2020) pukul 04.40 WIB. Disebutkan, gangguan di titik tersebut mengakibatkan jaringan CCTV mulai dari KM 49 (Karawang Barat) sampai dengan KM 72 (Cikampek) menjadi mati. Direktur Utama (Dirut) PT Jasamarga Syubakti Syukur memenuhi panggilan Komnas HAM, untuk memberikan penjelasan terkait "bentrokan" anggota Polri dengan laskar khusus pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS). Peristiwa tersebut terjadi di Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (7/12/2020) pukul 00.30 WIB. Syubakti telah memberikan keterangan dan dokumen terkait peristiwa yang terjadi di Tol Jakarta-Cikampek kepada Komnas HAM. Syubakti mengatakan, CCTV di kawasan tersebut tidak rusak. “Kalau mengenai CCTV yang kemudian dikabarkan rusak, itu sebenarnya enggak, CCTV kita itu semuanya berfungsi,” kata Syubakti di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (14/12/2020). Menurut Syubakti, di Tol Jakarta-Cikampek terpasang ratusan CCTV. Menurutnya, rekaman CCTV yang terjadi pada KM 50 bukan rusak, melainkan terdapat gangguan pengiriman data. “Jadi CCTV kita di Jakarta-Cikampek maupun elevated di bawahnya itu ada 277 CCTV yang kemarin memang kebetulan terganggu tersebut bukan CCTV-nya. CCTV tetap berfungsi, tapi pengiriman data itu terganggu hanya 24 CCTV dari KM 48, 49 sampe 72,” lanjutnya. Kendati demikian, Syubakti menyebut CCTV pada lokasi kejadian tidak terekam. Itu karena terdapat kesalahan pada pengiriman data perekaman CCTV. “Kalau di luar yang 23 tersebut, sekian jam itu dari pukul 4.50 atau jam 5 sampai 4 besoknya itu di 23 titik itu enggak kekirim data. Nggak ada rekaman,” ungkap Syubakti. Akibatnya, sebanyak 23 CCTV mulai dari KM 49 sampai dengan KM 72 tak bisa melakukan perekaman data dalam rentang waktu terjadinya insiden tewasnya 6 orang Laskar FPI. Penjelasan Syubakti di atas jika benar, maka pihak kepolisian tentu tidak akan punya data rekaman kecuali dalam kasus ini sebenarnya CCTV itu normal dan kemudian datanya saat kejadian itu dihapus setelah di-copy. Dalam hal ini polisi harus membuktikan kalau memang ada rekamannya. Jika, tidak ada maka pihak polisi bisa dianggap telah membuat pembohongan publik. Tapi, jika ada, maka pihak Jasa Marga harus diproses hukum, kerena sudah membuat statement simpang siur. Siapa yang sengaja menghapus rekaman di 23 titik CCTV itu sejak pukul 4.50 beberapa jam kemudian, ini patut dicari tahu. Pihak Jasa Marga-kah? Atas permintaan siapa sampai tidak bisa terekam atau hilang rekamannya? Atau ada pihak lain yang memerintahkan hapus? Jika benar sudah ada pengakuan dari Polri bahwa pihaknya yang “ambil”, betapa ini suatu perbuatan melawan hukum: Merusak fasilitas milik Negara! Melansir Detik.com, Jum’at (08/01/2021), Komnas Ham menyebut: saksi mata penembakan oleh polisi terhadap 6 anggota FPI hingga gugur semuanya, mendengar perintah polisi agar menghapus hasil rekaman CCTV di areal tempat kejadian. Tidak hanya itu. Melansir pula Portalislam.id, Sabtu (19/12/2020), yang mengutip hasil dari investigasi Tempo.co, semua hand phone milik masyarakat yang berada di sekitar lokasi Rest Area KM 50 diperiksa polisi. Mengapa itu sampai dilakukan polisi? Apakah hal itu dimaksudkan untuk memastikan, pada seluler masing-masing warga tidak terdapat foto, video, tulisan atau apa pun yang bisa mengarah terbongkarnya peristiwa sebenarnya? Wallahu ‘alam. Lini masa Reza Berikut kutipan Lini masa Muhammad Reza yang sudah ditulis Tempo.co dan juga beredar di Youtube Channel “Tukang Cendol 9.0”. Kami mencoba untuk mencari tahu kronologi perjalanan 6 Laskar. Dari sekian banyak opsi yang memungkinkan, mendapatkan histori perjalanan atau Linimasa adalah yg terbaik, untuk bisa mengetahui posisi korban ketika hilang. Kami mencoba masuk ke salah satu Gmail korban, Muhammad Reza. Dengan berbagai upaya akhirnya kami bisa masuk, ke Gmail korban. Kami segera mengamankan Gmail tersebut dengan mengganti password dan memasang autentikasi. Karena pada saat yang sama Hape Muhammad Reza sudah disita Polisi. Ternyata ada 2 Hape yang terhubung ke Gmail Reza. Xiaomi Redmi 8 dan Samsung Galaxy A20. Kami berusaha memutus koneksi Gmail Reza dengan Hape yang sudah disita. Setelah berhasil memutus koneksi, mengganti password dan device, kami mulai request download data Gmail. Karena dari sana semua data yang ada di Gmail Reza dapat kami pelajari. Sambil menunggu, kami teruskan dengan menjelajahi Lini masa Reza. Lini masa pada 6 Desember 2020 berakhir pada jam 22:36. Ini bersamaan waktunya dengan hilangnya Reza dan Laskar lainnya. Dalam laporan kepolisian tertanggal 7 Desember 2020, disebutkan kejadian penembakan terjadi pada 6 Desember jam 23:45. Ini sesuai dengan hilangnya Lini masa Reza, dan tiba tiba saja Hape Reza aktif kembali pada jam 7:04 di Jl. Pasar Baru Timur Dalam. Sementara dalam status Whatsappnya, aktif terakhir 7 Desember 2020 jam 8:20. Yang aneh Lini masa Reza terus bergerak pada tanggal 7 Desember tersebut. Akhirnya kami mengetahui, bahwa hanya Hape Xiaomi Redmi 8 yang disita dan dijadikan barang bukti. Sementara Hape Samsung A20 masih terus dibawa-bawa oleh seseorang yang kuat terlibat dalam pembunuhan 6 Laskar, di mana setiap pergerakannya dapat di lihat dengan jelas dalam video. Lini masa di Hape Samsung A20 terakhir bergerak tanggal 9 Desember dari POM Bensin / SPBU KS Tubun pada jam 00:45 - 00:56. Kemudian bergerak menuju suatu tempat/Villa di Megamendung. (Selesai) *** Penulis wartawan senior fnn.co.id

Pembunuhan 6 Laskar FPI, Apa Sebab Mereka Bertindak Sadis?

by Asyari Usman Medan, FNN - Minggu (10/01). Beberapa hari lalu, saya berbincang dengan seorang psikolog di Medan, Bu Irna Minauli. Dia adalah seorang pengajar psikologi di beberapa universitas. Selain itu, beliau juga mengelola klinik konsultasi psikologi. Kami membahas tentang mengapa orang tega membunuh orang lain, dan mengapa tega membunuh dengan sadis? Mengapa orang ringan tangan menembak mati orang lain? Apakah faktor perbedaan ideologi atau kepercayaan bisa membangkitkan ‘semangat’ seseorang untuk menghabisi orang lain? Banyak lagi aspek yang saya tanyakan kepada Bu Irna. Bincang-bincang ini menjadikan penembakan mati 6 anggota FPI sebagai latar belakang. Ini kami buat sebagai “talking point” karena pembunuhan itu dinilai sangat sadis. Secara umum, Irna mengatakan orang bisa dengan ‘enteng’ membunuh orang lain dengan sadis karena sudah punya ‘bakat’ sejak kecil. Sejak kecil dia senang melihat pihak lain tersiksa. Contohnya, semasa anak-anak, orang itu suka melihat kucing berjalan tertatih-tatih setelah kaki hewan itu dia pukul sampai patah. Dia senang melihat burung kesulitan terbang setelah sayapnya dia patahkan. Bisa juga orang ringan tangan membunuh karena dia merasa sedang berhadapan dengan musuh ideologisnya. Atau, musuh keyakinannya. Baik itu keyakinan relijius maupun keyakinan komunal. Artinya, menurut Bu Irna, sangat mungkin pelaku pembunuhan 6 pemuda FPI itu adalah orang-orang yang tidak seideologi atau tidak sekeyakinan dengan korban. Tetapi, kata Irna, tidak sedikit orang membunuh orang-orang yang sekeyakinan dengan mereka. Misalnya, dalam banyak peristiwa kekerasan yang bermotif perampokan, pencurian atau pertengkaran biasa. Dalam hal ini, kata Irna, orang yang melakukan pembunuhan kemungkinan tidak mengetahui ideologi atau keyakinan korbannya. Atau karena mereka tidak peduli siapa korbannya dan apa keyakinan korban. Karena motifnya memang jelas bukan perbedaan ideologi atau keyakinan. Mereka mau merampok, mencuri atau membegal. Dalam kasus pembunuhan 6 pemuda FPI, peristiwa ini bukan perampokan, bukan pembegalan, dan bukan pertengkaran antargeng. Juga bukan tindak kekerasan biasa, kata Irna. Ditambahkan oleh Irna, faktor lain yang bisa membuat orang ringan melakukan pembunuhan adalah pengaruh zat yang membangkitkan semangat. Para pembunuh menjadi “boosted”. Sering disebut “sedang naik” atau “sedang tinggi”. Atau bisa juga sistem pendidikan atau pelatihan yang diterima sehingga melihat orang lain sebagai ancaman. Pembunuhan 6 pemuda FPI memiliki banyak sisi. Ada bau politiknya, ada bercak-bercak SARA, dan ada terlihat sketsa dendam institusional, ujar Irna menambahkan. Inilah yang diceritakan oleh foto-foto korban yang dirilis oleh FPI dan viral di media sosial. Foto-foto itu merekam dengan jelas tindakan sadis yang dilakukan terhadap mereka. Kemungkinan lain adalah dendam kesumat. Orang yang tega membunuh dengan senjata api atau senjata lain bisa jadi melampiaskan ketegaannya karena sudah lama menyimpan ketidaksukaan kepada korban. Bisa dendam pribadi atau dendam kelompok, ujar praktisi psikologi yang aktif sebagai pembicara dan narasumber. Lebih-kurang begitulah ringkasan bincang-bincang dengan Irna Minauli. Saya kemudian mencari sumber lain yang bisa menjelaskan mengapa orang menjadi mudah membunuh orang lain. Dalam buku “The Pity of War” (London, 1998), Niall Ferguson (University of Chicago) menjelaskan bahwa bagi banyak orang, pertempuran bukanlah pengalaman yang buruk. Sebaliknya, menyenangkan dan mengasyikkan justru karena pertempuran itu penuh bahaya. Ada rasa girang bisa membunuh orang, kata Ferguson. Pembunuhan 6 pemuda FPI itu bisa dilihat dalam perspektif ini. Boleh jadi para pembunuh itu “menikmati” momen-momen ketika mereka menarik pelatuk senpi dan melepaskan tembakan. Para penembak merasa senang melepaskan peluru ke tubuh para korban. Sementara itu, Joanna Bourke dalam buku “An Intimate History of Killing” (London, 1999) menyimpulkan bahwa latihan kemiliteran berperan dalam mengubah watak seseorang dari semula menentang pembunuhan menjadi menikmatinya. Ada “intense feeling of pleasure” (rasa sangat senang), kata Bourke. Dia mencermati surat korespondensi, catatan harian, memoar dan laporan-laporan para veteran tiga perang, yaitu Perang Dunia Pertama, Perang Dunia Kedua, dan Perang Vietnam. Bourke mendapati bahwa orang-orang yang digembleng sebagai prajurit tempur akan merasa membunuh orang sebagai hal yang enteng. Berdasarkan perasaan ‘enteng’ ini, Bourke menyimpulkan kalau ada orang yang telah digembleng dalam dinas kelimiteran merasa gelisah setelah membunuh, maka prajurit seperti ini masuk dalam kelompok “aberrant group” (kelompok yang menyimpang). Dari kajian Bourke ini, tidak keliru kalau dikatakan bahwa para pembunuh (penembak) 6 pemuda FPI itu tidak masuk ke “aberrant group”. Dalam arti, para pembunuh itu adalah orang-orang yang memiliki “kesempurnaan personalitas” sebagai manusia-manusia yang telah dilatih untuk membunuh. Mereka tidak canggung mengokang senjata dan melepaskan tembakan. Mereka berhasil menyisihkan perasaan berat hati membunuh orang lain. Sebaliknya, mereka sepenuhnya telah menjadi pribadi-pribadi yang merasa ringan (at ease) membunuh orang lain.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

"Terima Kasih" Komnas HAM untuk Dua Rekomendasi Berbahaya Itu

by Asyari Usman Medan FNN - Sabtu (09/01). Kecewa dengan Komnas HAM? Tunggu dulu. Kesimpulan mereka tentang pembunuhan 6 laskar FPI yang diuraikan kemarin (8/1/2021), perlu dibaca dengan cermat. Harus sabar. Termasuk sabar membaca tulisan yang agak panjang ini. Tidak mudah melakukan penyelidikan tindak kekerasan. Apalagi tindak kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang Kepolisian sendiri. Pastilah banyak tantangan. Mungkin juga rintangan. Inilah yang dihadapi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka sedang “apes”, terpaksa menyelidiki tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polisi. Bisa Anda bayangkan kesulitan yang harus dihadapi Komnas. Karena itu, wajarlah disampaikan “terima kasih” bertanda kutip kepada Komnas HAM yang telah merampungkan penyelidikan atas pembunuhan 6 anggota FPI yang terjadi pada 7 Desember 2020. Apresiasi pantas disampaikan meskipun banyak yang kecewa. Publik menuntut agar Komnas menyatakan pembunuhan 6 laskar itu sebagai pelanggaran HAM berat. Tapi, Komnas hanya menyebutnya “pelanggaran HAM” saja. Tanpa kata “berat”. Karena tidak ringan menambahkan kata “berat” itu. Sebab, yang mempelototi Komnas dalam kasus ini adalah orang-orang kelas berat semua. Mereka, Tim Komnas, pasti ingin bekerja maksimal. Tetapi, dalam situasi dan kondisi Indonesia yang sedang mempraktikkan kekuasaan otoriter saat ini, Komnas HAM tentu saja ikut kecipratan dampaknya. Dampak itu antara lain adalah tekanan eksternal dan kegamangan internal. Kita tidak perlu pengakuan atau bantahan orang Komnas tentang tekanan dan kegamangan itu. Cukup dikatakan bahwa semua orang paham apa yang terjadi. Di bawah kekuasaan otoriter ini, Komnas harus menunjukkan harga dirinya. Manunjukkan mereka mandiri. Bahwa mereka independen sesuai mandat UU yang memayungi mereka. Sayangnya, semua ini hanya sebatas legal-formal belaka. Tidak di level praktikal. Untuk waktu ini, independensi maksimal Komnas HAM adalah kesimpulan bahwa pembunuhan 4 (empat) laskar FPI merupakan “unlawful killing” (pembunuhan tak berdasar hukum). Sedangkan pembunuhan terhadap 2 (dua) laskar lainnya dianggap sebagai korban kontak tembak. Kematian mereka dianggap ok. Komnas ‘tak berdaya’ menyatakan pembunuhan yang 2 orang itu pun “unlawful killing” juga. Mungkin karena mereka ini ditemukan tewas di dalam mobil yang mereka kendarai. Sehingga, apa kata polisi dianggap lebih meyakinkan bagi Komnas ketimbang apa kata intuisi dan akal sehat. Polisi mengatakan yang dua itu tewas karena tembak-menembak. Komnas pun percaya karena Kapolda Metro Irjen Fadil Imran sudah “terlanjur” mempertontonkan senjata api (pistol) yang dia katakan adalah milik para anggota FPI. Tetapi, Komnas mencari jalan lain untuk menolak narasi “tembak-menembak” itu. Dalam poin ke-3 dari rekomendasi 4 poin kasus pembunuhan 6 laskar itu, Komnas meminta agar kepemilikan senjata api (senpi) FPI diusut lebih lanjut. Artinya, secara tersirat Komnas meragukan pernyataan Polisi bahwa FPI memiliki senpi. Ini salah satu rekomendasi jebakan yang dikeluarkan Komnas. Sebab, jika penyelidikan lebih lanjut dilakukan dengan transparasi 100 persen plus kerjasama penuh semua pihak dan ‘outside interference’ (campur tangan luar) nol persen, maka sangat mungkin narasi “FPI memiliki senpi” akan goyah dan bisa dipatahkan. Jika narasi ini terpatahkan dalam proses pengusutan lebih lanjut, maka seluruh penjelasan Polisi tentang peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI menjadi tidak ‘credible’ lagi. Tidak bisa dipercaya. Kesimpulan (Komnas HAM menggunakan istilah ‘substansi fakta’) lainnya yang “cukup berbahaya” adalah keberadaan dua mobil yang ikut dalam penguntitan rombongan Habib Rizieq Syihab (HRS). Tetapi, Polisi tidak mengakui dua mobil itu milik mereka. Yaitu, Avanza B-1739-PWQ dan B-1728-KJD. Komnas juga “curiga” terhadap keberadaan sejumlah mobil lain yang berada di belakang iring-iringan HRS. Mobil-mobil tsb terekam kamera CCTV milik Jasa Marga (pengelola jalan tol). Komnas merekomendasikan pengusutan kedua mobil itu. Sebab, kata Komnas, keduanya aktif dalam kronologi penguntitan. Sekali lagi, andaikata nanti ada yang bisa melakukan pengusutan secara transparan tanpa hambatan, maka poin ke-2 dari rekomendasi 4 poin Komnas HAM akan mampu membuka tabir tentang apa sebenarnya tujuan penguntitan rombongan HRS. Pengusutan senpi FPI dan dua mobil misterius yang direkomendasikan Komnas bukanlah permintaan biasa. Pengusutan tuntas dan transparan terhadap kedua hal ini bisa mengubah total alur cerita yang telah dijelaskan ke publik. FPI konsisten membantah tuduhan pemilikan senpi. Kalau dalam penyelidikan lanjut yang diminta Komnas itu terkonfirmasi bahwa FPI tidak punya senpi, maka kesimpulan (substansi fakta) Komnas pada poin 6 yang menyebutkan ada kontak senjata antara mobil FPI dan mobil petugas, bisa berubah total. Sekali lagi, Komnas terbaca tidak sepenuhnya menerima penegasan Polisi bahwa mereka (laskar FPI) membawa senpi. Rekomendasi pengusutan lanjut senpi FPI, menunjukkan Komnas masih sangat ragu. Demikian pula rekomendasi agar dilakukan pengusutan lanjut terhadap kedua mobil Avanza yang bukan milik Polisi itu. Pengusutan ini sangat krusial. Sebab, kedua mobil misterius tsb, plus beberapa mobil yang disebut Komnas berada di belakang rombongan HRS tetapi tak bisa dipastikan apakah mereka ikut menguntit atau tidak, menyimpan teka-teki kunci yang harus diungkap tuntas. Kalau kedua hal itu (senpi FPI dan dua mobil misterius) terurai tanpa ada yang disembunyikan, dipastikan akan terjadi “gempa 9.5 Richter” dalam keseluruhan proses penyelidikan pembunuhan ini. Bangunan narasi Polisi akan ambruk. Sekaligus akan runtuh pula tembok yang melindungi orang-orang misterius yang diduga kuat ikut “bermain”. Bahkan, boleh jadi sebagai “pemain utama”. Kedua mobil Avanza yang misterius itu, dan beberapa mobil misterius lain dibelakang rombongan HRS, kuat dugaan “berselancar” dalam drama penguntitan HRS oleh Polda Metro. Sangat mungkin mereka “membajak” penguntitan itu sehingga ada kronologi yang tak bisa dijelaskan. Ada “missing link”. Ada mata rantai yang “tercecer”. Misalnya, tim penyelidik Komnas HAM tidak mencatumkan apa saja temuan mereka setelah 4 orang laskar yang dimasukkan ke dalam mobil di sekitar rest area KM-50 dalam keadaan hidup tetapi kemudian diumumkan tewas. Komnas mengatakan mereka dibawa ke Mapolda. Tetapi, banyak pertanyaan yang harus dijawab. Apa yang terjadi sebelum mereka sampai ke Mapolda? Siapa yang memberi komando? Siapa yang menembak mereka? Siapa yang berada di dalam mobil Land Cruiser? Dan lain sebagainya. Kecewa kepada Komnas HAM, boleh. Tapi, jangan terlalu. Malahan, tidak berlebihan ucapan terima kasih Anda untuk dua rekomendasi “berbahaya” yang mereka tuliskan itu. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

FPI & Keluarga Korban Boleh ke ICC Den Haag

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (09/01). Telah dirilis hasil penyelidikan Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek) yang dikenal dengan peristiwa Kilometer 50. Nampaknya rilis tanggal 8 Januari 2021 ini hasil final. Karena ada butir-butir narasinya, akan dilaporkan kepada Presiden, Menkopolhukam dan Kapolri. Adapun Rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM dari penyelidikan tersebut ada empat butir. Pertama, tewasnya empat anggota Laskar FPI di tangan atau kekuasaan aparat negara merupakan kategori pelanggaran HAM. Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar dilakukan proses penegakan hukum lanjutan melalui mekanisme pengadilan pidana. Kedua, mendalami dan penegakan hukum orang-rang yang berada dalam dua mobil petugas di laur anggota Polda Metra Jaya. Kedua mobil tersebut adalah Avansa Hitam B 1739 PWQ dan Avansa silver B 1278 KJD. Karena kedua mobil yang bukan dari Polda Metro Jaya ini melakukan pembuntutan sejaka dari Megamendung, Setntul sampai Cikampek. Ketiga, mengusut kepemilikan senjata api milik Laskar FPI. Keempat, dilakukan proses penegakan hukum yang akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai standar HAM. Meski meragukan dan belum jelas dalam kaitan kepemilikan senjata api milik Laskar FPI, yang menyebabkan kematian dua anggota Laskar FPI tersebut, tidak terungkap soal tanda-tanda penyiksaan. Tidak terungkapoleh Komnas HAM telah terjadi terjadi penyiksaan terhadap empat anggota Laskar FPI yang meninggal di tangan anggota Polda Metro Jaya. Catatan penting yang didapat dari rilis Komnas HAM ini adalah keyakinan bahwa telah terjadinya perbuatan yang dikategorikan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh anggota Polda Metro Jaya. Karenanya harus berlanjut pada proses peradilan. Empat orang yang tewas ditembak pada tahap kedua, yang dikategorikan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM dapat menjadi pintu masuk. Pintu untuk menguak lebih lanjut kebenaran dari kasus yang menghebohkan ini. Apalagi terkait dengan adanya keterlibatan pihak yang bukan aparat kepolisian. Begitu juga dengan pembuntutan yang intensif dan masif terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS). Apa dasar hukumnya? Padahal HRS ketika itu bukan bestatus tersangka. HRS juga tidak berstatus sebagai buronan. Sehingga keterlibatan atasan aparat pelaku pembuntutan dan penembakan patut digali dan didalami lebih lanjut. Jika tidak, maka bisa muncul dugaan adanya kebijakan target "pembunuhan politik" terhadap HRS. Mengapa sejak dari awal keluarnya surat penugasan, petugas dari Polda Metro Jaya tidak meperkenalkan diri atau memperlihatkan surat tugas kepada HRS? Bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan terkait dengan dugaan pengerahan massa besar-besaran? Sehingga tidak perlu terjadi pepet-pepetan dengan Laskar FPI yang mengawal HRS selama di jalan tol. Dengan memperlihatkan surat tugas resmi, maka petugas Polda Metro Jaya juga tidak perlu memaksakan diri untuk masuk dalam barisan atau konvoi rombongan keluarga HRS selama di jalan tol. Sebab antara petugas Polda Metro Jaya dengan pihak HRS sudah saling kenal dan mengetahi posisi masing-masing. Kalau sudah saling tau dan kenal, kemungkinan malah petugas Polda Metro Jaya dibiarkan saja untuk bergabung dalam rombongan HRS selama di tol. Sebab petugas tidak lagi dicurigai oleh pengawal HRS sebagai maling atau penjahat lainya. Sehingga harus dijauhkan dari rombongan keluarga HRS. Pelaku Belum Terungkap Dua hal yang disayangkan, dan tidak terungkap secara transparan dari penyelidikan Komnas HAH. Pertama, soal eksplanasi tanda-tanda penyiksaan yang menyertai pembunuhan. Kedua, siapa atau berapa orang pelaku penembakan terhadp enam anggota Laskar FPI? Pengungkapan terhadap jumlah dan identitas pelaku ini penting. Mengingat pembunuhan di kiloeter 50 ini kategorinya adalah perbuatan adalah pelanggaran HAM. Komnas HAM semestinya menemukan identitas pelaku personal perbuatan kriminal tersebut. Hasil penyelidikan Komnas HAM sebenarnya inkonsisten. Karena setelah meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. Tetapi tidak merekomendasi ke arah penegakan hukum melalui pengadilan HAM. Ini bukan semata pembunuhan. Namun pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat. Dasarnya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini agar kasus serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran berharga bagi para pelanggar HAM. Konsekuensinya, jika tidak melalui Pengadilan HAM, maka masyarakat masih dapat mendorong dan mengajukan agar proses peradilan dilakukan melalui Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag Belanda. Alasan untuk membawa masalah ini ICC adalah Pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mengadili pelaku kejahatan HAM. Pembunuhan dan penyiksaan dengan kategori pelanggaran HAM masuk dalam kompetensi peradilan ICC. Tinggal masyarakat mendorong saja. Bahwa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tidak menjadi alasan kemungkinan tidak diproses oleh ICC. Kasus Myanmar, Amerika, dan Israel adalah contoh negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma. Tetapi terbukti menjadi obyek peradilan ICC. Apalagi legal standing untuk proses ICC bukankah negara tetapi individu dan masyarakat. Sebentar lagi bola berada di tangan Presiden. Akan diuji komitmen dan keseriusannya sebagai Kepala Negara dalam penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jika tidak serius dan bermain-main dalam kasus ini, maka Presiden dapat dikategorikan sebagai bagian dan terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (6)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jumat (08/01). Eksekusi mati atas 6 Laskar FPI yang dilakukan aparat Kepolisian, jelas pelanggaran HAM Berat. Jika Komnas HAM tak berani mengungkap secara transparan, kasus ini berpotensi dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Para pakar hukum lebih memahami peraturan perundangan dan undang-undang apa saja yang telah dilanggar aparat kepolisian terkait eksekusi mati terhadap 6 laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab menuju tempat pengajian rutin keluarga. Padahal rombongan HRS ketika itu sedang dalam perjalanan melaksanakan pengajian rutin keluarga bersama anak-cucunya, bukan sedang melakukan kegiatan kriminal, perampokan, begal, narkoba, apalagi teroris. Kalaupun misalnya HRS tidak atau belum memenuhi panggilan polisi terkait pelanggaran protokol kesehatan, apakah harus dilakukan upaya pembunuhan sebagai motto Tindakan Tegas polisi dan dikuntit ke mana saja ia pergi seolah HRS itu seorang kriminal? Hasil Uji Balistik Komnas HAM menguatkan baku tembak antara polisi dan anggota FPI sebelum KM 50. Ada proyektil dan selonsong yang identik dengan pistol milik polisi dan pistol yang diduga milik anggota FPI. (Koran Tempo, 7 Januari 2021). Kejanggalan Rekonstruksi Bareskrim Polri melakukan reka ulang penembakan terhadap enam anggota laskar FPI yang merupakan pengawal HRS pada Senin dini hari (14/12/2020. Rekonstruksi menggambarkan rentetan kejadian hingga berakhir pada tewasnya enam anggota FPI. “Rekonstruksi ini hasil dari berita acara pemeriksaan, olah TKP dan bukti petunjuk,” ungkap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono seusai rekonstruksi di Jalan Tol Jakarta Cikampek, Karawang, Senin, 14 Desember 2020. Polisi membagi rekonstruksi ke dalam empat titik lokasi. Lokasi Pertama Lokasi pertama di depan Hotel Novotel Karawang, Jalan International Karawang Barat. Hal ini berdasarkan reka adegan, saat kejadian itu ada dua mobil yang ditumpangi anggota FPI, yaitu Toyota Avanza dan Chevrolet Spin. Sedangkan empat anggota polisi menaiki sebuah mobil Avanza. Polisi menyebut di Kawasan tersebut mobil anggotanya dipepet oleh mobil Avanza FPI hingga ke pinggir jalan. Setelahnya mobil itu pergi. Namun, mobil Spin yang berisi enam orang anggota FPI berhenti di depan mobil Avanza polisi. Empat anggota FPI keluar dari mobil itu membawa senjata tajam. Dua anggota di antaranya disebut memukul mobil polisi dengan senjata tajam. Merespon hal itu, seorang polisi keluar dari mobil dan melepaskan tembakan peringatan. Tembakan peringatan membuat empat laskar FPI kembali masuk ke dalam mobilnya. Namun, setelah itu dua anggota FPI lain yang tadinya berada di dalam mobil menembak sebanyak tiga kali ke arah mobil polisi, lalu kembali melaju. Kejanggalan lokasi pertama:Dalam rekaman Audio Relawan dalam komunikasi intens mereka sepanjang perjalanan, mereka sama sekali tidak menyinggung atau bercerita tentang peristiwa ini. Seandainya ada, maka sejak awal seharusnya mereka sudah melakukan penghindaran dari kejaran polisi dan tidak akan terus mengawal HRS dan tentu komunikasi mereka akan jauh lebih terkesan panik. Tapi, kenyataannya dalam rekaman audio kemunikasi mereka malahan sangat rileks, bahkan santai sepanjang perjalanan hingga Rest Area KM 50 . Itu artinya, tidak ada kejadian seperti reka ulang (silakan cermati lagi audio komunikasi mereka). Dalam reka ulang ini Isi Mobil Spin Adalah 6 Orang, Bukan 10 Orang! Dan, itu berlawanan dengan penjelasan polisi bahwa masih ada 4 orang lain melarikan diri. Di sini polisi diduga berusaha berbohong. Lokasi Kedua Reka adegan berlanjut di lokasi kedua, yakni Jembatan Badami yang berjarak sekitar 500 m dari lokasi pertama. Di jembatan itu, dua mobil kembali terlibat kejar-kejaran. Reka adegan menunjukkan, polisi dan FPI kembali terlibat baku-tembak. Mobil polisi gagal menyalip karena terhadang truk yang melintas di pertigaan. Mobil Spin melaju ke arah tol Jakarta-Cikampek. Kejanggalan Lokasi kedua: Dalam adegan ini dikatakan ada kejadian baku tembak. Dan, itu artinya justru menjadi janggal. Sebab penjelasan polisi sebelumnya mengatakan dalam jumpa pers bahwa laskar menembakkan tiga kali saja. Kalau memang ada tembak-menembak, maka tentu akan banyak paluru ditembakkan dan ada kemungkinan kendaraan polisi bisa terkena tembakan laskar. Meskipun tak mengenai polisi, namun faktanya tidak ada kendaraan polisi yang terkena tembakan dalam kejadian ini. Jika menyimak rekaman pembicaraan selama perjalanan, lagi-lagi dalam komunikasi audio, tidak ada cerita para laskar membahas kejadian tembak- menembak di lokasi ini. Lokasi Ketiga Reka adegan selanjutnya dilakukan di Rest Area KM 50. Di lokasi itu, mobil Spin 6 laskar FPI terhalang sebuah mobil saat ingin keluar dari rest area. Saat itulah empat polisi keluar dari mobil dan mengepung mobil Spin tersebut. Polisi langsung membekuk empat anggota FPI dari dalam mobil, lalu memerintahkan mereka tengkurap di tanah. Adapun dua anggota FPI sisanya nampak terkulai tak bergerak di dalam mobil. Seorang anggota polisi mengecek kondisi kedua orang itu. Dia juga menyita sepucuk senjata api, 10 butir peluru dan sejumlah senjata tajam dari dalam mobil. Polisi juga menyita ponsel milik keenam anggota FPI tersebut. Kemudian datang mobil Daihatsu Xenia yang ditumpangi oleh dua orang polisi di Rest Area KM 50. Setelahnya, para polisi mengangkat dua orang anggota FPI dari dalam mobil Spin, lalu merebahkan tubuh kedua laskar FPI itu di bagian belakang mobil Avanza. Kemudian, dua orang anggota polisi menaiki mobil tersebut dan membawa mereka. “Setelah kejadian ternyata dalam kondisi luka, sehingga dibawa ke RS Kramat Jati Polri,” ungkap Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Andi Rian di lokasi. Sementara, keempat anggota FPI lainnya dibawa dengan menggunakan mobil Xenia. Tiga anggota polisi ikut dalam mobil yang membawa 4 anggota FPI. Sementara, seorang polisi menaiki mobil derek yang membawa mobil Spin. Di mobil Xenia, dua orang polisi duduk di depan. Seorang polisi duduk di tengah bersama seorang anggota FPI. Tiga anggota FPI yang lainnya duduk paling belakang. “Mereka tidak diborgol,” kata Andi. Kejanggalan Lokasi 3: Di lokasi ini ternyata sudah ada 2 orang terkena tembakan. Yang jadi pertanyaan, mereka ini ditembak di mana? Di lokasi 2 kah? Bagaimana bisa ada dua orang sudah tertembak di lokasi 2 saat terjadi tembak-menembak? Jika memang ada tembak-menembak di lokasi dua dan memakan korban 2 orang maka paling tidak mobil Spin itu sudah tertembak dan tentu ada bekas tembakan dan darah korban. Jadi jika dikatakan ada 2 orang sudah tertembak saat dikepung, maka semakin aneh. Karena, saksi yang ada di lokasi mengatakan ada 2 tembakan! Dan itu dijelaskan oleh wartawan Edy Mulyadi ketika cek lokasi TKP. Hal lainnya, kok bisa masih ada 10 peluru? Katanya di lokasi 2 terjadi tembak-menembak? Bagaimana menjelaskan itu semua? Menurut saksi di lokasi, setengah jam lebih kurang datang mobil ambulan untuk membawa 2 korban pergi. Tetapi direka-ulang, korban malah dinaikan ke mobil Avanza? Penjelasan Andi justru makin aneh saja. Belum lagi adanya penjelasan dari investigasi Edy Mulyadi bahwa kendaraan itu rodanya ditembak, sehingga saat masuk area TKP dan mobil sudah terseok-seok. Anggaplah ini benar kena tembak saat tembak-menembak di lokasi 2 tetapi apakah mungkin mobil dalam kondisi ban pecah sampai ke lokasi Rest Area KM 50? Mengapa tidak disergap saja saat di lokasi 2, sebab mobil sudah pasti akan berjalan lamban? Dalam reka ulang terlihat bahwa 4 orang dibawa polisi dengan mobil Xenia hanya dikawal dengan 3 orang polisi. Satu polisi berdua dengan seorang korban dan ini akan menjadi dasar kematian 4 orang ini di KM 51, apakah mungkin? Apakah yakin mereka tidak diborgol dengan posisi duduk demikian dalam mobil di mana hanya ada 1 polisi di tengah bersama seorang laskar? (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Ini Daftar Koruptor Kepala Daerah Era Presiden Jokowi

by Asyari Usman Medan, FNN - Selasa (05/01). Korupsi besar dana bansos yang dilakukan Juliari Batubara, mantan menteri sosial (PDIP), menambah panjang daftar elit koruptor di era Jokowi. Di masa pemerintahan Jokowi-lah terbanyak jumlah pejabat yang tertangkap menilap uang rakyat. Supaya tulisan ini tidak terlalu panjang, langsung saja kita urut para kepala daerah koruptor yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. (1)-Ojang Suhandi, bupati Subang (PDIP), kena OTT KPK pada 11 April 2016; (2)-Yon Antor Ferdian, bupati Banyuasin (Golkar), OTT 4 September 2016; (3)-Atty Suharti Tochija, bupati Cimahi (Golkar), OTT 1 Desember 2016; (4)-Sri Hartini, bupati Klaten (PDIP), kena OTT 30 Desember 2016; (5)-Ridwan Mukti, gubernur Bengkulu (Golkar), kena OTT 20 Juni 2017; (6)-Achmad Syafii, bupati Pamekasan (PD), kena OTT 2 Agustus 2017; (7)-Siti Mashita Soeparno, walikota Tegal (NasDem), OTT 29 Agustus 2017; (8)-OK Arya Zulkarnaen, bupatu Batubara (Golkar), OTT 13 September 2017; (9)-Eddy Rumpoko, bupati Batu Malang (PDIP), kena OTT 16 September 2017; (10)-T Imam Ariyadi, walikota Cilegon (Golkar), OTT 22 September 2017; (11)-Taufiqurrahman, bupati Nganjuk (PDIP), kena OTT 25 Oktober 2017; (12)-Abdul Latif, bupati Hulu Sungai Tengah (Berkarya), OTT 4 April 2018; (13)-Nyono Suharli W, bupati Jombang (Golkar), OTT 3 Februari 2018; (14)-Marianus Sae, bupati Ngada NTT (PDIP), kena OTT 11 Februari 2018; (15)-Imas Aryuningsih, bupati Subang (Golkar), OTT 13 Februari 2018; (16)-Mustafa, bupati Lampung Tengah (NasDem), OTT 14 Februari 2018; (17)-Adriatna Dwi Putra, walikota Kediri (PAN), kena OTT 28 Februari 2018; (18)-Abu Bakar, bupati Bandung Barat (PDIP), kena OTT 11 April 2018; (19)-Dirwan Mahmud, bupati Bengkulu Sel (Perindo), OTT 15 Mei 2018; (20)-Agus Faisal Hidayat, bupati Buton Selatan (PDIP), OTT 23 Mei 2018; (21)-Tasdi, bupati Purbalingga (PDIP), kena OTT 4 Juni 2018; (22)-Syahri Mulyo, bupati Tulung Agung (PDIP), kena OTT 8 Juni 2018; (23)-M Samanhudi Anwar, walikota Blitar (PDIP), kena OTT 8 Juni 2018; (24)-Ahmadi, bupati Bener Meriah (Golkar), kena OTT 5 Juli 2018; (25)-Irwandi Yusuf, gubernur Aceh (Partai Aceh), OTT 5 Juli 2018; (26)-Pangonal Harahap, bupati Labuhan Batu (PDIP), OTT 17 Juli 2018; (27)-Zainuddin Hasan, bupati Lampung Tengah (PAN), OTT 26 Juni 2018; (28)-Setiyono, walikota Pasuruan (Golkar), kena OTT 4 Oktober 2018; (29)-Neneng Hassanah Yasin, bupati Bekasih (Golkar), OTT 15 Oktober 2018; (30)-Sanjaya Purwadi, bupati Cirebon (PDIP), kena OTT 24 Oktober 2018; (31)-Remigo Berutu, bupati Pakpak Bharat (PD) , OTT 18 November 2018; (32)-Ivan Rivano Muchtar, bupati Cianjur (NasDem), OTT 12 Desember 2018; (33)-Khamami, bupati Mesuji (NasDem), OTT 23 Januari 2019; (34)-Sri Wahyuni Monalip, bupati Talaud (Hanura), OTT 30 April 2019; (35)-Nurdin Basirun, gubernur Kepri (NasDem), OTT 10 Juli 2019; (36)-Muhammad Tamzil, bupati Kudus (non-partai), OTT 26 Juli 2019; (37)-Ahmad Yani, bupati Muara Enim (PD), kena OTT 2 Agustus 2019; (38)-Saiful Ilah, bupati Sidoarjo dari PKB, OTT 7 Januari 2020; (39)-Ismunandar, bupati Kutai Timur (NasDem), OTT 2 Juli 2020; (40)-Wenny Bukamo, bupati Banggai Laut (PDIP), OTT 3 Desember 2020; (41)-Ajay M Priatna, walikota Cimahi (PDIP), OTT 27 November 2020. Jadi, ada 41 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) yang kena OTT KPK sepanjang 2016 sampai 2020. Lumayan memalukan bagi yang punya rasa malu. Nah, bagaimana cara Anda membuat kesimpulan dari fakta ini? Kesimpulan yang terbaik adalah bahwa para pejabat yang terjaring OTT KPK ini sebagian besar berasal dari partai-partai yang berkoalisi dengan Presiden Jokowi. Tentunya bisa saja Anda rumuskan berbagai kesimpulan lain. Misalnya, pimpinan partai yang mengatakan bahwa dia sudah bolak-balik menasihati agar kadernya tidak korupsi, ternyata kader partai itulah yang paling banyak tertangkap korupsi. Para senior PDIP mengatakan ketua umum mereka sering mengingatkan agar kader tidak korupsi. Dari 41 kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun pemerintahan Jokowi, 14 orang berasal dari PDIP. Berdasarkan fakta ini, maka kesimpulan berikutnya yang juga ‘valid’ adalah “atlet PDIP paling banyak merebut medali”. Itu kalau kita ibaratkan korupsi seperti kompetisi. Terus, kesimpulan apa lagi? Kalau metode sampling penelitian atau survei dipinjam untuk menafsirkan angka-angka di atas, maka sangat wajar untuk disimpulkan bahwa kemungkinan besar banyak kader PDIP yang melakukan korupsi tapi tidak terdeteksi. Dasarnya? Kita lihat 34% kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun ini adalah kader PDIP (14 dari 41). Dengan demikian, probabilitas (kemungkinan) korupsi kader PDIP mencapai 34:100. Ini ‘corruption rate’ yang sangat tinggi.[] Penulis adalah Waratwan Senior FNN.co.id.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (5)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Selasa (05/01). Apapun alasannya, penutupan Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek atas perintah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) melalui suratnya pada 20 Maret 2020, jelas dapat diidikasikan "perbuatan melawan hukum". Pasalnya, Rest Area KM 50 ini bagian dari TKP penyergapan 6 laskar FPI. PT Jasa Marga resmi menutup atau merelokasi Rest Area (tempat istirahat) KM 50 ruas Tol Japek. Alasannya, relokasi itu dalam rangka menjaga kelancaran pada pertemuan lalu-lintas kendaraan dari ruas Tol Japek Elevated dengan Ruas Tol Japek (jalur bawah). ”Mulai kemarin (Senin) Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Dwimawan Heru, Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Selasa (22/12/2020). Menurutnya, relokasi itu dilakukan secara permanen arah Cikampek di ruas Tol Japek. Penambahan lajur dan penutupan rest area itu dalam rangka kelancaran pada pertemuan lalu lintas dari Tol Japek Elevated dan Tol Japek (jalur bawah) di KM 48 sampai dengan KM 50 ini adalah instruksi dari BPJT. Bahkan, lanjutnya, ini sejalan dengan arahan Korlantas Polri yang telah terbit sejak jauh hari, yaitu pada sekitar Triwulan I 2020, seluruh tenant-tenant yang berada pada tempat istirahat (TI) KM 50 A akan direlokasi ke TI KM 71B. Untuk menampung tenant ex TI KM 50, Jasa Marga memperluas bangunan rest area di KM 71 sehingga tenant-tenant dari TI 50 dapat melanjutkan kegiatan usahanya di bangunan baru yang ada di TI KM 71. Yang dilakukan Jasa Marga itu dapat diindikasikan sebagai “perbuatan melawan hukum”, karena TKP KM 50 itu termasuk “barang/alat bukti” adanya tindak pidana. Bagaimana KM 50 bisa menjadi saksi atas penembakan laskar FPI jika sudah tidak ada lagi. Tidak seharusnya Rest Area KM 50 itu ditutup permanen sebelum proses hukum atas kasus penembakan 6 laskar FPI yang terjadi pada Senin (7/12/2020) dini hari itu selesai disidang di pengadilan. Komnas HAM seharusnya dan wajib mempertanyakan soal ini kepada Jasa Marga. Misteri KM 50 Sejauh ini pihak polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup dibawa, setelah dua orang ditembak di TKP KM 50. Dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu. Ini harus diadakan investigasi oleh pihak terkait, terutama Komnas HAM. Tentunya, polisi yang mengeksekusi korban harus lebih dahulu dilakukan upaya hukum dan proses penahanan jika memang hukum mesti ditegakkan tanpa pandang bulu. Mengingat hal ini bukan perkara kriminal biasa. Tapi, pelanggaran HAM berat. Silakan polisi yang terlibat membawa 4 korban itu menujukkan lokasi tempat menembak korban yang jelas-jelas bukan lagi melumpuhkan, tetapi “pembantaian” jika ingin bicara kebenaran. Menurut Polda Metro Jaya, dari enam orang yang tewas ditembak masih ada 4 lagi laskar FPI pengawal HRS yang melarikan diri. Padahal dalam mobil Chevrolet B 2152 TBN itu hanya berisi 6 orang. Apakah mungkin Chevrolet itu berisi 10 orang? Perlu diketahui bahwa laskar FPI pengawal HRS itu ada 24 orang dalam 4 mobil. Masing masing Mobil berisi 6 orang. Selain 6 laskar di Chevrolet B 2152 TBN, semuanya pulang dalam keadaan selamat. Karena memang beda kendarraan. Dari mana polisi mengatakan, masih ada 4 orang lagi melarikan diri, sedang penumpang hanya 6 orang dan semua tewas? Ini terkesan polisi sedang membuat semacam trik alibi pada media, sebab tidak sesuai dengan jumlah penumpang dan jumlah rombongan pengawal HRS. Polisi sebelumnya juga menunjukkan dua senjata api sebagai barang bukti. Senjata api itu disebut digunakan oleh laskar khusus untuk menyerang anggota polisi ketika melakukan pengintaian terhadap rombongan HRS. Bahkan, polisi menyebut laskar khusus pengawal Rizieq sempat melesatkan tembakan 3 kali hingga mengenai mobil anggota polisi. “Asli ini (senjata api) ada tiga yang sudah ditembakan. Hasil awal kelompok yang menyerang ini diidentifikasi adalah laskar khusus yang selama ini menghalang-halangi penyidikan,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran. Jika berasumsi telah ada 3 peluru yang ditembakan maka di mana laskar FPI itu menembak polisi, sedangkan di TKP hanya terjadi 2 tembakan dan korban tewas? Semua barang bukti yang ditunjukan oleh Polda Metro Jaya sepertinya itu sengaja diadakan. Sebab, seperti yang telah dijelaskan oleh Edy Mulyadi bahwa tidak ada tembakan apapun di TKP KM 50 selain 2 tembakan saja dan itu didengar oleh saksi-saksi. Bahkan, ada saksi yang sangat dekat dengan pristiwa itu sehingga hal ini menjadi sanggahan bagi polisi yang mengatakan telah terjadi tembak-menembak di TKP KM 50. Misalnya, korban membawa pistol dan lebih dulu menembak, maka tentunya di TKP dengan banyaknya polisi di situ akan jatuh korban dari polisi juga, sehingga akan ada aksi tembak-menembak yang ramai dan semua orang yang diusir polisi dari lokasi tentu akan mendengar. Namun, kenyataan itu tidak terjadi. Yang ada adalah banyaknya tembakan polisi ke tubuh 4 korban dan eksekusi mati itu terjadi di tempat lain. Dengan dasar itu tidak mungkin di tempat lain (Lokasi X) 4 korban membawa senjata, karena saat dibawa dari KM 50 mereka digelandang dengan tangan kosong. Pertanyaanya, dari mana polisi mengklaim bahwa senjata itu dari laskar FPI yang mereka tembak? Sebagaimana hasil analisa pihak FPI dan keluarga korban bahwa para korban ditembak cukup banyak lebih dari 1 peluru di masing-masing tubuh korban. Maka, muncul pertanyaan, di mana polisi menembak mereka. Sedangkan di TKP KM 50 tidak terjadi demikian? Bagaimana polisi bisa menjelaskan, mengapa tembakan mereka pada korban hampir semua mengarah ke jantung? Bukankah itu artinya korban sudah tidak berdaya karena nyaris semua korban mengalami luka tembak yang sama dan selebihnya ditembak membabi buta? Melihat penjelasan keluarganya perihal keadaan korban dalam rapat Komisi III DPR jelas sekali, polisi menembak jarak dekat dan itu adalah eksekusi korban, bukan lagi dikatakan bahwa polisi membela diri. Diduga, sebelum ditembak, para korban yang berjumlah 4 orang itu lebih dahulu ditanya banyak hal dengan paksaan dan siksaan untuk menjawab, baru ditembak sedemikian rupa lebih dari beberapa kali untuk memastikan mereka benar-benar telah tewas. Tindakan seperti ini bukan lagi tindakan sesuai SOP Kepolisian, melainkan sudah memenuhi unsur kriminalyang dilakukan polisi sendiri, apalagi dilakukan secara rahasia (Lokasi X). Bukankah dalam prosedur penangkapan itu jika masih hidup mestinya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan kemudian ditahan? Mengapa para korban seolah dianggap Teroris kelas kakap, padahal ada banyak kasus teroris yang tertangkap tidak serta merta diekskusi mati tanpa prosedur? (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id