HUKUM

Kejar Aktor Pelanggaran Ham Berat di KM 50 Tol Japek

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuai kecaman. Karena Komnas HAM dianggap tidak mampu untuk menuntaskan tugas penyelidikan dengan baik, berkaitan dengan pembunuhan yang dilakukan anggota Polda Metro Jaya terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 to Jakarta Cikampek (Japek). Terlalu banyak pertanyaan yang menyertai pengumuman hasil penyelidikan Komnas HAM. Misalnya, benarkah terjadi tembak-menembak? Dimana sebenarnya dua orang anggota Laskar FPI tewas itu ditembak? Siapa penembak dua dan empat anggota Laskar FPI itu? Benarkah dua anggota Laskar FPI telah ditembah oleh anggota Polda Metro Jaya seperti yang diakui oleh Kapolda Metero Jaya? Bagaimana menjelaskan dugaan adanya bekas luka siksaan pada tubuh korban? Lalu siapa saja penumpang-penumpang yang ada di dalam dua mobil Avanza sebagai pembuntut misterius, yang bukan dari polisi Polda Metro Jaya? Sebab dua mobil Avanza tersebut membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shuhab sejaka dari Santul. Apakah penumpang-penumpang di kedua mobil tersebut yang terlibat baku tembak, sehingga mengakibatkan dua anggota Laskar FPI meninggal? Lalu siapa "sang komendan" yang ada di dalam mobil Landcruiser itu? Mobil Landcruiser itu milik siapa? Berapa plat nomor polisinya. Jabatannya sebagai apa? Dalam rangka apa orang yang berada di dalam mobil Landruiser itu berada di lokasi rest area kilometer 50 tol Japek. Apakah komendan yang ada di dalam mobil Landruiser itu ikut juga memberikan perintah atau arahan kepada dua mobil Avanza dan mobil-mobil dari Polda Metro Jaya? Masih banyak lagi pertanyaan lain yang mengganjal. Nyaris pekerjaan penyelidikan Komnas HAM sia-sia karena gagal menemukan fakta-fakta penting. Hasil kerja Komnas HAM sangat normatif, tak ambil risiko, dan ujung-ujungnya pro kepada Polisi. Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM terkesan berubah menjadi juru bicara Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial melapor ke Presiden. Tua-tuan Komnas HAM yang hebat-hebat, Presiden Indonesia itu bukan atasannya Komnas HAM. Lalu Komnas HAM juga bekerja bukan bekerja atas dasar perintah dari Presiden, sehingga hasilnya harus dilaporkan kepada Presiden. Tetapi atas perintah dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, perlindungan atas nila keadilan dan harkat serta martabat kemanusiaan Salah satu lembaga yang wajib untuk dilaporkan hasil kerja penyelidikan Komnas HAM adalah Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Untuk di dalam negeri, laporan disampaikan Komisi III DPR dan Mahkamah Agung. Bukan melaporkan hasil penyelidikan kepada Presiden. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021 telah menyatakan bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas. Untuk itu diminta untuk Komnas HAM mendalami kembali, sehingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan "unlawful killing" tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran HAM. Tetapi pelanggaran HAM berat. Presiden hendaknya mendukung pendalaman atau investigasi guna menyeret aktor intelektual hingga ke proses peradilan. Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" bukan insiden yang kebetulan semata. Karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan yang intens terhadap HRS dan FPI. Suatu cara kerja yang tidak lazim. Bahkan berindikasi melanggar aturan hukum positif yang berlaku. Keberadaan mobil Landcruiser yang datang mengomandani"pembunuhan atau pembantaian, patut untuk ditelusuri lebih lanjut. Begitu juga dengan keberadaan surat perintah atau surat tugas dari institusi yang menugaskan penumpang yang berada di dalam mobil Landruiser tersebut. Orangnya berasal dari institusi mana. Berada di KM 50 tol Japek atas perntah siapa pimpinannya? Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini adalah Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan tidak mustahil juga Presiden Republik Indonesia. Karenanya perlu ada kejelasan dari Komnas HAM. Meski pihak Kepolisian telah membantah adanya keterlibatan atasan. Akan tetapi indikasi yang ada menuntut untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak Komnas HAM agar dapat ditemukan aktor intelektual dari kejahatan ini. Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" ini sangat penting untuk sekurangnya tiga hal. Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk melepas tanggungjawab atasan dan kepentingan politik yang lebih luas. Kedua, menjadi terobosan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM yang menggantung dan terus menjadi tagihan dari perilaku rezim sekarang dan rezim yang sebelum-sebelumnya. Ketiga, dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan peradilan HAM internasional. Dari pantauan publik dan juga laporan "sederhana" Komnas HAM, maka peristiwa pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" diduga kuat menjadi peristiwa berdisain matang dan panjang yang melibatkan satu atau lebih aktor intelektual. Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan saja rasional dan obyektif, tetapi juga merupakan jalan strategis bangsa untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi Manusia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Khadavi, Korban Pembunuhan Polisi di KM 50

by Abdullah Hehamahua Bandung FNN - Mobil yang saya tumpangi melaju ke arah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Matahari telah condong ke barat. Di depan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, mobil berhenti. Sebab, adzan maghrib terdengar di beberapa masjid dan mushalla di Kawasan tersebut. Kami menuju mushalla kecil di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Melihat ukuran mushalla, dugaan kuat, tidak semua muslim di kantor itu, shalat dzuhur berjamaah. Mungkin saja pimpinannya nonmuslim. Kalaupun pimpinannya muslim, nilai Pancasila yang diperoleh ketika kuliah, paling nilai C. Sebab, sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa- menunjukkan Indonesia negara agama, bukan negara komunis. Sepertinya Kepala Kejaksaan Negara (Kajari) atau pejabat di kantor itu kurang memahami isi UUD 45. Sebab, hakikat pasal 29 ayat (1) dan (2) mewajibkan umat beragama, khususnya Islam untuk shalat berjamaah di masjid atau mushalla. “Mau jumpa siapa pak,” tegur pegawai kantor itu setelah kami bersama selesai shalat berjamaah. “Cuma mampir untuk shalat maghrib,” jawabku singkat. Rumah Sederhana di Mulut Gang Mobil diparkir di tepi jalan Puri Kembangan yang sudah mulai sepi. Kami berlima menyeberang jalan. Sekitar seratus meter, kami menjumpai banyak anak muda berpakaian koko dan ketayap putih. Gang sempit di depan rumah orang tua Khadavi digelar tikar dan karpet. Banyak anak muda duduk sambil berdzikir. Kami berlima dipersilahkan duduk di atas tikar tersebut. Malam itu, 15 Desember 2021, hari ke-40, enam laskar FPI meninggal dunia dibunuh polisi dari Polda Metro Jaya. Rumah itu sederhana itu panjangnya mungkin 8 meter. Lebarnya sekitar enam meter. Ruang tamu berukuran, kurang lebih dua setengah kali tiga meter. Ruang keluarga sekitar tiga kali tiga setengah meter. Tidak nampak perabot rumah yang mewah. Di atas meja kecil, terpampang foto Khadavi. Wajahnya cerah, ganteng, bercahaya. Masih muda, sekiar 21 tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Anak pertama dari dua orang bersaudara. September nanti, Khadavi akan wisudah. Dia kuliah di Fakultas Perkapalan, satu universitas di Jakarta. Khadavi Ingin Menegakkan Keadilan “Khadavi pernah mau pindah ke jurusan hukum,” kata Herman Mulyana, ayah Khadavi. Mantan Satpam di salah satu super market di Jakarta ini berperawakan sedang, ramping tubuhnya. Memerhatikan postur dan penampilannya, musykil bagi saya, Herman bisa mendidik anaknya menjadi seorang teroris. “Mengapa dia ingin pindah jurusan? ” tanya saya penasaran. “Dia ingin menegakkan keadilan dan melindungi ulama,” terang Herman. Saya termenung sekejap. “Menegakkan keadilan,” gumam saya. Sesampai di rumah malam itu, terbayang kawan-kawan di KPK. Ada Penyelidik dan Penyidik KPK yang sengaja ditabrak di jalan sampai cedera. Teror dan intimidasi sudah jamak bagi pegawai Gedung Merah Putih ini. Bahkan, terjadi “perang” di antara cicak dan buaya, sampai beberapa jilid. Beberapa komisioner KPK dikriminalisasi, ditahan, dan diberhentikan secara tidak adil hanya karena mereka membuka borok korupsi yang ada di Indonesia. Wajah pegawai KPK yang saya tidak bisa lupakan adalah Novel Baswedan. Sewaktu jumpa di Singapura (2018), saya lihat bola mata kanannya menonjol keluar. Mata kiri, hampir tertutup seluruhnya. Novel berada di Singapura untuk operasi mata akibat disirami air raksa oleh dua anggota polisi. Kini, sekalipun sudah melalui operasi dan pengobatan oleh dokter pakar di Singapura, mata Novel tetap tidak pulih sebagaimana sebelumnya. Beliau mengalami cacat mata permanen. Kawanan harimau di wilayah Riau, protes atas penyelesaian kasus salah seorang kawan mereka. Sebab, Januari tahun lalu, hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap pemuda yang membunuh rekan mereka, tanpa hak. Pembunuh mungkin mau menjual kulit harimau yang dibunuh tersebut. Kawanan harimau tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena kawan mereka tidak dapat hidup kembali sekalipun pembunuhnya dihukum empat tahun penjara. Di alam manusia yang konon paling pancasilais, penganiaya Novel hanya dijatuhi hukuman penjara setahun dan setahun setengah. Padahal, sebelah mata Novel buta total dan yang lainnya hanya 25% berfungsi. Alasan jaksa dan hakim, pelaku tidak berniat jahat untuk mencelakai Novel. Saya yang sarjana hukum dan delapan tahun berkhidmat di KPK saja, kurang mafhum atas alasan penegak hukum tersebut. Khadavi yang masih berstatus mahasiswa. Wajar jika beliau ingin menjadi sarjana hukum agar dapat menegakkan keadilan. Mungkin dalam pikirannya, bagaimana subuh hari, dua polisi datang ke masjid tempat Novel shalat, kemudian menyirami wajah Penyidik KPK tersebut dengan air raksa, tanpa niat. Apakah niat mereka sebenarnya datang ke masjid untuk shalat berjamaah saja? Sewaktu melihat Novel, timbul kegeraman mereka karena sakit hati atas apa yang dilakukan terhadap atasan mereka, beberapa waktu sebelumnya. Spontan, mereka mencelakai Novel. Sampai di sini, masih manusiawi alasannya. Pertanyaannya, dari mana air raksa yang digunakan untuk mencelakai Novel tersebut? Oh “niat”, dimana engkau berada.? “Puyeng” untuk bisa memahami jalan pikiran jaksa dan hakim. Tentu, jutaan rakyat Indonesia yang waras akan berpikir seperti saya. Wajar jika Khadavi bercita-cita, menegakkan keadilan. Kekhawatiran saya, selama pemerintahan Jokowi, ratusan, ribuan, bahkan jutaan akan bernasib sama dengan Khadavi. Tujuh jutaan peserta 212 yang di Monas tahun 2016 lalu akan menjadi Khadavi-Khadavi baru. Apalagi dengan menyaksikan penahanan HRS, ulama, dan aktivis KAMI secara lebai dan semena-mena. Khadafi Akan Wisudah Khadavi mengambil jurusan perkapalan, salah universitas di Jakarta. Di depan saya dan empat anggota rombongan lainnya, Herman mengekspresikan wajah sedihnya sewaktu mengatakan, “September ini Khadavi akan diwisudah”. Seorang mantan Satpam dengan isteri yang hanya suri rumah membesarkan dan menyekolahkan kedua anak mereka. Kedua anak ini, terkenal saleh. Apalagi Khadavi biasa menasihati orang tuanya agar jangan gila dunia. Ingatlah kehidupan akhirat. Selangkah lagi, Herman dan pasangannya akan menyaksikan anak sulungnya duduk di pelaminan, mengenakan pakaian kebesaran ‘toga’ sebagai seorang sarjana perkapalan. Namun harapan tersebut pupus hanya karena kegilaan dan nafsu duniawi di hati polisi yang menganiaya Khadavi sampai tewas. Terbayang, betapa bangga dan gembira ketika dengan isteri menghadiri satu persatu anak-anak saya wisuda. Tiba-tiba muncul gambaran syahdu di benak saya. Muncul kenangan sewaktu saya harus mengaduk semen sebagai kernek tukang bangunan di kawasan Cheras, Selangor, Malaysia agar bisa membayar uang kontrakan rumah. Bagaimana saya harus menjual pisang goreng dan air kelapa muda di tepi jalan, kawasan Ulung Kelang, Selangor, guna membeli perlengkapan sekolah anak-anak. Begitulah kira-kira perasaan dan kenangan seorang Herman dan jutaan Herman lainnya di pelosok negeri yang jatuh bangun membesarkan anak-anak dalam keterbatasan ekonomi keluarga. Pertemuan Terakhir Pagi itu, Khadavi seperti biasa pamit dari ayah dan ibunya menghadiri majelis ilmu. Sejak SMP, Khadavi rajin mengikuti majelis ta’lim di mana-mana di Jakarta. Belakangan, beliau rajin mengikuti kegiatan FPI. Apalagi memerhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah khususnya lima tahun terakhir ini, membuat Khadavi semakin tertarik dengan kegiatan dan dakwah FPI. FPI sering muncul ketika terjadi bencana alam, baik tsunami, gempa bumi atau banjir. Mereka menolong korban tanpa pamrih, mulai dari tsunami Aceh, Banten, NTB, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta bencana lainnya di hampir seluruh Indonesia. Herman dan isterinya tidak sangka, pertemuan pagi itu, 6 Desember 2020 adalah pertemuan terakhir dengan anak sulungnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Herman sedih tapi bersemangat ketika mengemukakan kondisi fisik jazad anaknya. Menurutnya, ada dua lobang peluru dekat jantung, berwarna hitam. Maknanya, Khadavi ditembak dari jarak dekat. Matanya juga terdapat bekas penganiayaan. Ada jahitan di dada yang menunjukkan rumah sakit melakukan autopsi tanpa ijin keluarga. Bagian belakang kepala Khadavi, sampai di liang lahat pun masih keluar darah. Wajar jika Herman menolak tuduhan polisi yang mengatakan anaknya membawa senjata. “Beli gorengan saja, dia kongsi dengan kawan-kawannya. Dari mana duit untuk beli senjata,” tambahnya. “Senjatanya adalah baju koko dan kopiah putih,” lanjutnya. Itu sebabnya, Herman menolak memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Menurutnya, dua kali surat panggilan Polda Metro Jaya dibawa oleh Babinsa dan Ketua RT. Herman minta agar pak RT mengembalikan surat panggilan polisi tersebut. Herman kemudian minta keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya terhadap para pelaku pembunuhan. Keadilan yang bagaimana? Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini ditegaskan lagi di UUD 45, pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) mengatakan, “negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan Pancasila dan UUD 45 terebut mengisyaratkan bahwa, hukuman bagi pembunuh (tanpa hak) harus sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Esa. Maknanya, penegak hukum harus merujuk Al-Qur’an, Injil, dan KUHP di mana pembunuh harus dijatuhi hukuman mati. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al Baqarah: 178). “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Injil, Kejadian 9:6). “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” (KUHP pasal 340). Jika polisi yang membunuh Khadavi, ikhlas menjalani hukuman mati yang didahului dengan tobat nasuha, in syaa Allah, mereka akan memeroleh keringanan dalam pengadilan akhirat nanti. Bahkan, bisa masuk surga jika dia muslim. Para Penyidik, JPU, dan Hakim yang menyidik, menuntut, dan memutuskan hukuman mati juga akan memeroleh keringanan atau kebebasan hukuman di akhirat kelak. Penulis adalah Mantan Penasehat KPK.

Hancur-Lebur, Ketua Komnas HAM Menjadi Jurubicara Polisi

by Asyari Usman Medan, FNN - Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM, mengatakan di satu diskusi ‘online’, 17/1/2021, bahwa laskar FPI ketawa-ketawa ketika terlibat bentrok dengan aparat kepolisian pada 7 Desember 2020. Lebih sinis lagi, Taufan menilai para pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) itu “menikmati pergulatan”. Ini betul-betul hancur-lebur. Posisi ketua Komnas berubah menjadi jurubicara polisi. Pernyataan seperti ini seharusnya diucapkan Irjen Argo Yuwono atau jubir-jubir Polri lainnya. Taufan Damanik menyimpulkan begitu berdasarkan rekaman suara (voice note) percakapan di antara para pengawal HRS yang dia dengar. Mungkin pernah Anda dengar juga. Waktu itu viral di medsos. Ada bagian-bagian dari ‘voice note’ percakapan tsb yang sesekali terdengar ketawa. Tetapi, Taufan tidak meletakkan suara ketawa itu dalam konteks yang utuh. Pertama, para pengawal HRS tidak tahu siapa penguntit yang sedang mereka hadapi. Sebelum konprensi pers Kapolda Metro (7/12/2020) siang yang mengakui aparat kepolisian membunuh 6 pemuda FPI, pihak FPI tidak menyadari bahwa para penguntit itu adalah polisi. Artinya, pada saat terjadi kejar-kejaran itu pihak FPI beranggapan mereka tidak sedang berhadapan dengan polisi. Mereka menyebutnya OTK (orang tak dikenal). Dalam konteks ini, Taufan Damanik salah total. Dia mengatakan, “ada anggota laskar Front Pembela Islam yang tertawa-tawa saat terlibat bentrok dengan anggota Polda Metro Jaya pada 7 Desember 2020.” Taufan lupa bahwa para anggota FPI itu tidak tahu kalau para penguntit adalah aparat kepolisian. Para penguntit yang menggunakan beberapa mobil biasa (unmarked police car) itu tidak pernah menyebutkan identitas mereka. Ketua Komnas tidak bisa mengatakan, “…ketawa-ketawa ketika terlibat bentrok dengan aparat kepolisian...” Karena, kembali lagi, rombongan OTK itu masih berstatus “bukan aparat kepolisian”. Saat itu, anak-anak muda FPI tsb sedang ada masalah dengan OTK. Bisa jadi mereka menduga para penguntit adalah preman-preman yang berniat melakukan kejahatan. Kedua, Taufan Damanik juga mengatakan ada keterangan yang menunjukkan bahwa para pengawal HRS ingin berhadapan dengan pihak yang membuntuti. Tentang ini, tak perlulah analisis para ahli. Anak-anak muda yang menduga para penguntit mereka adalah “para penjahat”, pastilah mereka ingin menghadapi para penguntit OTK itu. Sesuatu yang wajar dalam insiden kejar-mengejar di jalan raya (c.q. jalan tol) seperti yang terjadi tengah malam itu. Dalam kesimpulan penyelidikan Komnas HAM, kesan “ingin menghadapi OTK” itu menjadi salah satu yang ditekankan. Di dokumen resmi Komnas disebutkan “menunggu mobil petugas” di satu rest area. Di sini, Komnas lebih berat menyalahkan anak-anak FPI itu. Bukannya menyalahkan aparat kepolisian yang jelas-jelas telah menembak mati anak-anak muda itu. Ketua Komnas sangat subjektif. Berat sebelah. Lebih berpihak kepada para penguasa ketimbang kepada rakyat. Taufan Damanik harus mencabut ucapannya tentang “anak-anak FPI ketawa-ketawa ketika menghadapi aparat”. Anda itu digaji oleh rakyat bukan untuk menjadi jurubicara polisi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Langgar Prokes, Raffi Ahmad dan Ahok Harus Ditangkap!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ulah selibritas Raffi Ahmad “happy-happy” tanpa prokes, membuat Presiden Joko Widodo kini dalam dilema. Bagaimanapun itu sebuah pelanggaran. Apalagi, dia “duta vaksin” yang menemani Jokowi vaksin perdana. Masyarakat akan mencermati, apakah ada tindakan hukum yang keras seperti halnya kepada Habib Rizieq Shihab. Konsistensi terhadap penegakan hukum yang imparsial kembali diuji. Dampaknya bisa sangat serius bagi program Jokowi melawan Covid-19. Benar-benar serius atau sekadar “basa-basi” sok serius? Pasalnya, ada beberapa kasus terkait kerumunan saat pandemi Covid-19 ini, mesti tak menerapkan protokol kesehatan, ternyata tak diproses hukum, kecuali hanya berlaku kepada HRS dan FPI. Keraguan masyarakat semakin bertambah terhadap program vaksinasi, karena duta vaksinnya sendiri justru melanggar prokes. Apalagi, pelanggaran itu dilakukan bersama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Komisaris Utama PT Pertamina. Acara pesta ulang tahun yang dihadiri Raffi hingga pejabat seperti Ahok di wilayah Prapanca, Mampang, Jakarta Selatan pada Rabu (13/1/2021) itu dipastikan polisi tak berizin. “Yang pasti dari pihak kepolisian tidak ada menerima pemberitahuan, tidak mengeluarkan izin,” kata Kapolsek Mampang Kompol Sujarwo, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (14/1/2021). Sujarwo mengaku pihaknya kesulitan mendeteksi kegiatan yang terjadi di wilayah tersebut. Menurutnya, pesta yang kemudian diduga melanggar prokes Covid-19 itu digelar di rumah pribadi. “Itu rumah pribadi ya, bukan cafe dan sebagainya,” ujarnya. Menurut Sujarwo, berdasarkan informasi awal yang dihimpun kepolisian, pesta itu dihadiri sekitar 30 orang. Mobil-mobil para tamu, lanjutnya, juga terparkir di dalam rumah sehingga tak menutupi jalan dan memperlihatkan tanda-tanda terjadinya kerumunan. Sebagai informasi, lokasi tersebut merupakan kediaman dari pembalap Muhammad Sean Ricardo Gelael. Dalam acara itu, sejumlah selebritas dan pesohor hadir, mulai dari Raffi Ahmad, Once, Gading Marten, hingga Ahok. Kisruh ini bermula ketika selebgram Anya Geraldine mengunggah foto di Instagram Story, Rabu (13/1/2021) malam. Dalam foto itu, terlihat Raffi, Nagita Slavina, Anya Geraldine, Sean Gelael, dan Gading Marten, berpose berdempetan tanpa mengenakan masker. Raffi pun langsung dibanjiri kritik dari berbagai pihak. Ia menjadi sorotan lantaran mengikuti pesta tanpa mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Di saat yang sama, pihak Istana Kepresidenan menegur Raffi karena kedapatan melanggar protokol kesehatan beberapa jam setelah menjalani vaksinasi Covid-19 bersama Presiden Joko Widodo. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono mengatakan pihaknya telah berkomunikasi dengan Raffi agar kembali menerapkan prokes. “Sudah diingatkan kembali oleh tim komunikasi covid-19 untuk tetap pakai masker, cuci tangan, jaga jarak,” kata Heru kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/1/2021). Mengapa cuma diingatkan, tidak “diperintahkan” diproses hukum dengan penahanan? Meski polisi, kabarnya, sedang menyelidiki pesta di rumah pembalap Sean Gelael tersebut! Jika polisi berani menahan Raffi dan juga Ahok, pasti rakyat akan acung jempol! Toh, tidak bakal ada “penembakan” seperti yang dialami oleh 6 laskar FPI yang mengawal HRS, Minggu-Senin, 6-7 Desember 2020, hingga tewas. Di sini keseriusan polisi benar-benar diuji. Padahal, persoalannya juga sama: melanggar prokes Covid-19! Seperti halnya Raffi, meski pesta itu diadakan bukan di rumahnya, sebagai duta vaksin, dia seharusnya memberi contoh yang baik. Apalagi, Ahok yang pejabat negara. Tidak seharusnya memberi “contoh buruk” ikutan kumpul bareng selibritas seperti Raffi dkk. Raffi Ahmad sendiri telah buka suara terkait ikut serta dirinya dalam pesta setelah divaksinasi Corona perdana. Raffi meminta maaf atas tindakannya. Permintaan maaf itu disampaikan Raffi di akun Instagram-nya, Kamis (14/1/2021). Raffi mulanya menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Jokowi dan seluruh masyarakat Indonesia. “Terkait peristiwa tadi malam, di mana saya terlihat berkumpul dengan teman-teman tanpa masker dan tanpa jaga jarak, pertama saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Republik Indonesia Bapak @jokowi,” tutur Raffi Ahmad. Juga kepada Sekretariat Presiden, KPCPEN, dan kepada seluruh masyarakat Indonesia atas peristiwa itu. Raffi menjelaskan peristiwa yang terjadi itu merupakan keteledoran dan kesalahannya. Dia pun berjanji ke depannya akan lebih mematuhi protokol kesehatan. “Jujur bahwa kejadian tadi malam adalah murni karena keteledoran saya, karena kesalahan saya. Ke depan, saya akan lebih menaati protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan),” tulisnya. “Saya juga berharap teman-teman dan seluruh masyarakat Indonesia agar terus menjalankan protokol kesehatan, meskipun vaksinasi sedang berjalan. Vaksin dan protokol kesehatan adalah satu kesatuan,” papar Raffi. Sebelumnya, perlakuan serupa diterima 2 bos Waterboom Lippo Cikarang, Kabupaten Bekasi yang dijadikan tersangka pelanggaran prokes. Keduanya tidak ditahan. Mereka dikenakan pasal dengan ancaman maksimal hukumannya 1 tahun penjara. Dua orang petinggi Waterboom Lippo Cikarang yakni General Manager Waterboom Lippo Cikarang Ike Patricia dan Manager Marketing Waterboom Lippo Cikarang, Dewi Nawang Sari ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana kekarantinaan. Proses hukum kepada 2 orang tersebut bermula dari adanya kerumunan di Waterboom Lippo Cikarang pada Minggu (10/1/2021). Mereka berdua tidak ditahan polisi. Andai HRS sebagai pemilik Waterboom Lippo Cikarang seperti James Riady, pastilah aman. Andai HRS seorang selebritas seperti Raffi dan pejabat negara seperti Ahok, pastilah tidak akan dikenakan pasal “penghasutan”. Inilah fakta hukum di Indonesia! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Percayalah, Kasus Pembunuhan 6 Pemuda Itu Bakal Lenyap Juga

by Asyari Usman Medan, FNN - Putus harapan tak boleh. Pesimis wajar. Begitu mungkin advis terbaik dalam melihat destinasi kasus pembunuhan sadis 6 warga negara Indonesia yang berstatus sebagai anggota FPI. Mereka ditembak mati oleh aparat negara dalam insiden penguntitan rombongan Habib Rizieq Syihab (HRS) di jalan tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020. Masih adakah harapan penegakan keadilan? Per hari ini, harapan masih ada. Sebab, pembunuhan itu tetap menjadi salah satu topik pembicaraan luas di kalangan media dan warga internet (netizen). Sorotan ke pemerintah sebagai penyelenggara penegakan keadilan, masih sangat kuat. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), saat ini sedang hangat diperdebatkan. Ketua Komnas, Ahmad Taufan Damanik, sudah menyampaikan langsung temuan, kesimpulan, dan rekomendasi kepada Presiden Jokowi, Kamis (14/1/2021). Meskipun rekomendasi itu disambut publik waras dengan perasaan kecewa. Kecewa karena ada kesan Komnas tak berani apa adanya. Presiden memerintahkan agar rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti. Secara normatif, pernyataan Jokowi ini cukup untuk membangkitkan semangat optimistik bahwa pembunuhan ini akan diadili sebersih mungkin. Cuma, harap diingat, pengalaman masa lalu menunjukkan penyelesaian kejahatan HAM selalu kandas. Khususnya kasus-kasus yang menyeret nama-nama besar yang bisa melakukan apa saja. Kalau pun tidak kandas, sangat lumrah penyelesaiannya didasarkan pada inspirasi, bukan esensi. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, adalah salah satu contoh penyelesaian yang dipenuhi banyak inspirasi. Esensi kasus Novel tak muncul sama sekali. Tertutup oleh inspirasi.. Publik berharap, proses lanjutan perkara pembunuhan yang masuk kategori “pelanggaran HAM” (bukan pelanggaran HAM berat) ini bisa bebas dari inspirasi pihak mana pun. Biarkanlah esensi peristiwa yang menjadi pedoman. Jangan ada naskah yang telah disiapkan oleh pihak tertentu yang akhirnya diikuti oleh pelaksana rekomendasi. Novel Baswedan berpendapat penyelesaian kasus penyiksaan terhadap dirinya penuh dengan inspirasi. Yaitu, inspirasi yang melindungi pihak yang memberikan perintah penyiraman air keras ke wajah Novel. Begitu juga pendapat para ahli dan publik tentang penyelesaian kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Diduga kuat, seorang berpangkat jenderal terlibat pembunuhan Munir pada 7 September 2004 ketika dia dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia. Majelis hakim yang mengadili kasus ini menghukum pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, sebagai pelaku pembunuhan. Dia bebas murni pada 29 Agustus 2018. Tidak penuh menjalani hukuman 14 penjara tahun. Hingga sekarang belum bisa diungkap aktor yang memberikan perintah kepada Pollycarpus. Pemberi perintah itu “wajib ada” karena sulit mencarikan alasan pilot Garuda itu menghabisi Munir. Sekarang, kasus Munir semakin gelap. Polly meninggal dunia belum lama ini karena Covid. Kisah-kisah penyelesaian yang penuh inspirasi seperti inilah yang mungkin akan membayangi penyelesaian kasu pembunuhan 6 pemuda FPI. Komnas HAM menyimpulkan 4 di antara 6 orang itu dibunuh sewaktu mereka berada di tangan aparat negara. Aparat negara harus bertanggung jawab. Tetapi, para aparat bawahan itu hampir pasti hanya mengikuti perintah atasan mereka. Mata rantai komando ini harus diuraikan dengan transparan. Jangan lagi ada “orang besar” yang disembunyikan. Perintah Presiden Jokowi agar rekomendasi Komnas HAM ditintaklanjuti, memang cukup membesarkan hati. Tetapi, rekomendasi dan implementasi adalah dua hal yang selalu bertolak belakang seperti selama ini. Proses hukumnya seringkali mengundang “distrust” (ketidakpercayaan) publik. Belum lagi dimulai proses tindak lanjut yang diusulkan Komnas HAM, publik sudah lebih dulu skeptis. Sejumlah netizen mengatakan, “Percayalah, kasus pembunuhan sadis 6 pemuda itu bakal lenyap juga.” Tapi, marilah tetap berharap dan mengawal kasus ini. Semoga tidak menguap pelan-pelan di makan waktu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Dorong Koalisi Sipil Lapor ke Pengadilan Kejahatan Internasional

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah final menyampaikan hasil penyelidikan. Bahwa kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar Pront Pembela Islam (FPI) adalah "Pelanggaran HAM". Selanjutnya proses Pengadilan pidana adalah tindak lanjut. Presiden tinggal memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mulai penyidikan. Mudah-mudahan saja, untuk menetapkan tersangka, baik pelaku penembakan maupun yang ikut serta, termasuk kemungkinan atasan dari pelaku kejahatan tidak menemui hambatan. Tidak ada lagi kesulitan, seperti yang terjadi pada penyedisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Tidak perlu butuh bertahun-tahun untuk menemukan tersangkanya. Entah bentuk perlawanan atau pengaburan kasus, serangan penguasa kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) belakangan ini terasa semakin membabi buta. Seribu satu macam kesalahan pun dicari-cari. Setelah kasus baru ditimpakan seperti soal test swab di Rumah Sakit (RS) UMMI yang menyeret juga menantu HRS dan Direksi RS UMMI, kini soal pemblokiran rekening yang merajalela. Disamping 59 rekening yang terkait dengan FPI diblokir oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), juga 7 rekening milik putera HRS pun ikut diblokir. Belakangan adanya informasi bahwa bahwa rekening pribadi Munarman yang konon untuk menampung uang pensiunan ayahnya juga diblokis. Padahal rekening Munarman itu, sebagai biaya ibunya yang sedang sakit. Pemblokiran yang sebenarnya secara hukum tidak beralasan ini dapat saja digugat ke pengadilan. Akan tetapi persoalannya adalah kuatnya kemauan politik yang tidak peduli akan hukum. Kemauan politik yang bermisi secara brutal untuk "menghabisi HRS, keluarga, FPI, dan segala keterkaitannya". Hal ini sesungguhnya masuk dalam ruang kesewenang-wenangan kekuasaan yang sekaligus menjadi lanjutan pelanggaran HAM secara terang-terangan. Dalam kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI terus digemakan suara pentingnya pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Disamping itu, untuk obyektivitas dan keterbukaan proses peradilan, semangat menarik kalau melibatkan Mahkamah Internasional. Banyak fihak yang mencari solusi untuk mekanisme atau prosedurnya. Komnas HAM sendiri yang melapor hasil penyelidikan kepada Presiden, semakin terlihat tidak dapat dipercaya. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari banyak organisasi yang peduli dengan HAM telah membuat buku saku tentang International Criminal Court (ICC). Buku saku untuk ICC sebagai lembaga peradilan kejahatan internasional yang siap mengadili kejahatan kemanusiaan. Apalagi negara pelanggar HAM tersebut, tidak ada kemauan (unwilling) dan tidak ada kemampuan (unability) untuk memproses kejahatan pelanggaran HAM. Nampaknya perlu kebersamaan semua pihak untuk menguak pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Baik kasus 6 laskar FPI, kasus kematian 6-9 orang pada 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu, atau pun kasus tewasnya kurang lebih 989 petugas Pemilu pada Pilpres yang lalu. Semuanya menjadi terasa mutlak untuk keterlibatan Pengadilan Kriminal Internasional. Apalagi mengingat ketidakmauan dan ketidakmampuan Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. Keluarga korban, tokoh dan aktivis, para pengacara, bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil kiranya perlu mencari solusi. Pelaporan atau pengaduan kepada lembaga seperti ICC menjadi salah satu upaya yang dinilai strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Andaikata pemerintah mau "mundur sedikit" melangkah bersama rakyat, maka mungkin solusi bersama mengatasi problema dapat digalang. Akan tetapi bila "maju terus pantang mundur", maka posisinya yang berhadap-hadapan dengan koalisi masyarakat sipil pasti akan terjadi. Iklim politik yang tidak sehat seperti ini selalu berprinsip "menang dan kalah". Lalu negara (baca : pemerintah) tidak boleh kalah ? Jika demikian berlaku hukum, "Fa idza jaa-a ajaluhum la yasta'khiruun saa'atan walaa yastaqdimuun" (QS Al A'raf 34). Jika saat ajal telah tiba, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mempercepat atau memundurkan. Itulah momen dari perubahan. Bisa 2024 bisa pula 2021. Wallahu a'lam. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pak Taufan Damanik, Komnas HAM Itu Bukan Organisasi Selebriti

by Asyari Usman Medan FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga yang pasti akan berhadapan dengan para penjahat kelas berat. Sangat mungkin akan berhadapan dengan para pemilik laras panjang otomatis yang bisa membunuh belasan orang dalam hitungan menit. Komnas akan berhadapan dengan berbagai institusi negara dan kelompok atau kartel yang memiliki senjata api, baik legal maupun ilegal. Komnas HAM tidak mungkin berhadapan dengan orang-orang lemah. Tidak mungkin juga akan berhadapan dengan preman kampung, maling ayam, maling singkong, atau orang-orang lemah lainnya yang melakukan kejahatan recehan. Komnas tidak akan mengusut kasus perampokan, pencurian, pembegalan, dlsb, yang menyebabkan korban jiwa. Tidak juga kasus tabrakan maut. Termasuk tidak akan mengurus tabrakan beruntun yang, katakanlah, menewaskan puluhan orang. Komnas bukan dihadirkan untuk menyelidiki kematian akibat tanah longsor, gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, kecelakaan pesawat, kecalakaan kapal, dsb. Komnas HAM dibentuk untuk mengusut kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara, kelompok pemberontak, atau kartel narkoba yang memiliki kekuasaan dan kekuatan besar. Yang bisa melakukan apa saja. Yang memiliki perangkat lengkap untuk merekayasa kejadian. Yang memiliki sistem, peralatan, dan kapabilitas serta kapasitas untuk mengadakan atau tidak mengadakan sesuatu. Komnas HAM dibentuk terutama untuk mengusut pembunuhan yang dilakukan oleh aparat bidang Hankam. Tepatnya, tindak kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan oleh institusi negara, termasuk Polri, TNI, atau lembaga-lembaga intelijen. Jadi, bisa dibayangkan medan yang dihadapi oleh para komisioner Komnas. Banyak intimidasi, tekanan, ancaman fisik dan ancaman nyawa. Artinya apa? Artinya, para komisioner lembaga penegak hak asasi ini harus siap menghadapi semua kemungkinan. Termasuk kemungkinan dilenyapkan. Jadi, seharusnya sejak awal para komisioner sudah paham tugas mereka dan risiko yang melekat pada tugas itu. Anda bukan dipilih untuk menuliskan laporan pelanggaran sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan. Kemudian Anda persembahkan laporan yang “aman dan nyaman” itu kepada presiden. Anda punya alasan untuk bertemu presiden. Berita pertemuan itu masuk telvisi dan dimuat di banyak media lainnya. Setelah itu, Anda merasa senang foto Anda bersama presiden dimuat di mana-mana. Kalau itu yang Anda bayangkan ketika melamar menjadi komisioner Komnas HAM, Anda bukan orang yang tepat untuk duduk di situ. Anda hanya menyia-nyiakan uang rakyat. Jadi, wahai Pak Taufan Damanik (ketua Komnas HAM) dan para komisioner lainnya, Komnas itu bukan organisasi selebriti yang mengutamakan agenda pertemuan dengan presiden. Supaya beritanya viral. Kalau itu tujuan Anda, lebih baik Anda bergabung ke paguyuban artis sinetron saja. Kalau Anda takut diintimidasi, jangan masuk Komnas HAM. Serahkan saja kepada orang lain yang siap menghadapi semua risiko. Mau sesadis apapun, apalagi pembunuhan 6 warga negara itu baru akan Anda sebut “pelanggaran HAM berat”? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ujian Kapolri Baru, Koreksi Narasi Komnas HAM yang “Identik” dengan Polri

by Mochamad Toha Surabaya FNN - BISA dipastikan, Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang kini menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri yang namanya diajukan Presiden Joko Widodo ke Komisi lll DPR, Rabu (13/1/2021) ini untuk diproses mengikuti fit and propper test. Dari 5 calon Kapolri pengganti Jenderal Polisi Idham Azis yang akan pensiun 30 Januari ini yang diserahkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Presiden Jokowi akhirnya menunjuk Komjen Listyo untuk mengikuti uji kelayakan di Komisi III DPR. Penunjukan Komjen Listyo sebagai Kapolri, memang sudah diprediksi sebelumnya, karena kedekatan (chemistry) antara Listyo pribadi dengan Presiden Jokowi. Pria kelahiran Ambon, Maluku, 5 Mei 1969, itu adalah pati lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1991. Selama ini, Listyo Sigit dikenal dekat dengan Presiden Jokowi. Kedekatan itu diperkuat saat ia bertugas sebagai ajudan Presiden pada 2014-2016. Kedekatan Listyo Sigit dan Jokowi terbangun dalam peristiwa yang mengguncang Solo pada September 2011, yakni bom bunuh diri di halaman Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton. Bom itu meledak hanya berselang lima bulan setelah ia dilantik menjadi Kapolres Solo. Peristiwa bom itu cukup memukul karena tiga hari kemudian, Solo mesti menjadi tuan rumah Asian Parliamentary Assembly atau Majelis Parlemen Asia. Pada saat yang sama, Walikota Jokowi sedang gencar mempromosikan Solo sebagai destinasi wisata. Sigit lalu meyakinkan bahwa Solo aman. Dia bergerak mengamankan acara internasional itu dengan memulihkan kepercayaan wisatawan, dan juga pendatang. Listyo Sigit resmi dilantik menjadi Kepala Bareskrim Polri pada Senin, 16 Desember 2019. Dia mengisi kursi lowong setelah pejabat sebelumnya, Idham Azis dilantik menjadi Kapolri. Sebagai pejabat Bareskrim baru, jenderal bintang tiga itu mematok target kerja. Utamanya mengevaluasi reserse dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Selama berkarier, Listyo Sigit pernah beberapa kali menduduki jabatan strategis di Polri. Lulusan S2 Universitas Indonesia dengan tesis penanganan konflik etnis di Kalijodo Jakarta itu pernah menjabat Kapolres Pati (2009) dan tahun selanjutnya menjadi Kepala Kepolisian Resor Sukoharjo (2010). Setelah itu, dia menduduki posisi Wakapoltabes Semarang, dan pernah menjadi Kapolres Solo. Pada 2012, Jokowi yang diusung oleh PDIP maju sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menang dalam Pilkada tersebut, Listyo Sigit juga ikut pindah ke Ibu Kota Negara di Jakarta dengan menjabat Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri. Pada 2013, Listyo Sigit dipercaya menjadi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara (2013), namun pada 2014 setelah Jokowi menjadi Presiden, ia kembali ke Jakarta untuk mengemban tugas menjadi ajudannya pada 20 Oktober 2014 hingga 5 Oktober 2016. Selanjutnya ia mendapat promosi jabatan sebagai Kapolda Banten dan menyandang pangkat Brigjen. Listyo Sigit memimpin Polda Banten selama 2 tahun, yakni 5 Oktober 2016 hingga 13 Agustus 2018. Selepas menjabat Kapolda Banten, ia menjadi salah satu anggota polisi yang mendapatkan promosi jabatan di lingkungan Mabes Polri, menjadi Kadiv Propam menggantikan Irjen Martuani Sormin, yang ditugaskan sebagai Kapolda Papua. Setelah kosong selama 35 hari sejak ditinggalkan Idham Azis, melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/3229/XII/KEP/2019 pada 6 Desember 2019, diterangkan Kadiv Propam Polri Irjen Polisi Listyo Sigit Prabowo menjadi Kabareskrim Polri. Selama menjabat Kabareskrim Polri banyak kasus besar yang berhasil dibongkar bersama anak buahnya. Kasus yang menonjol adalah penangkapan buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra di Malaysia. Penangkapan Djoko Tjandra dipimpin langsung oleh Komjen Listyo sekaligus membuka tabir sejumlah pihak yang terlibat. Dari lima tersangka, 2 di antaranya anggota polisi yakni Brigen Pol Prasedjo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonarparte. Kasus menonjol lainnya adalah kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyidik Bareskrim telah menetapkan 8 orang sebagai tersangka. Mereka adalah tukang di Kejaksaan Agung berinisial, T, H, S, dan K. Pekerja lain yang mengerjakan wallpaper berinisial IS, mandor berinisial UAM, vendor maupun PT ARM inisial R dan PPK inisial NH. Kasus besar lainnya yang dibongkar jajaran Bareskrim adalah mengungkap narkoba jenis sabu sebanyak 1,2 ton, 35.000 butir pil ekstasi dan 410 Kg ganja selama kurun waktu Mei-Juni 2020. Barang bukti tersebut disita dari jaringan Iran-Timur Tengah yang ditangkap di dua lokasi berbeda, yakni Serang, Banten, dan Sukabumi, Jawa Barat. Dari hasil penangkapan itu, Tim Satgas Merah Putih berhasil mengamankan 7 orang tersangka. Kasus lain yang menjadi perhatian publik adalah membantu menangkap Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan BNI 46 senilai Rp1,7 triliun. Penangkapan ini dipimpin langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Dalam beberapa kesempatan Komjen Listyo menegaskan bahwa penuntasan berbagai kasus merupakan bentuk komitmen, transparansi di tubuh Polri. Terutama kasus Djoko Tjandra yang melibatkan 2 anggota polisi berpangkat Brigadir Jenderal. “Bareskrim Polri terus melakukan pembenahan internal untuk lebih profesional dan produktif dalam penanganan penegakan hukum di Indonesia,” ungkap Komjen Listyo. Tugas Berat Sebagai pejabat yang ikut menangani kasus penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab yang kini sedang berproses, Listyo Sigit bakal diuji dengan tugas berat. Yakni, membangun kembali trust rakyat kepada institusi Polri yang selama ini mulai pudar. Simpang-siur narasi pejabat Polri seperti Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran terkait kasus penembakan 6 laskar FPI di KM 50 hingga KM 51 Tol Jakarta-Cikampek pada Minggu malam, 6 Desember 2020, hingga Senin dini hari, 7 Desember 2020, harus dibuka kembali. Hasil akhir investigasi Komnas HAM memang nyaris sama narasinya dengan tim Bareskrim Polri: “Insiden bentrok antara polisi dengan anggota FPI hingga terjadi tembak-menembak!” Sepertinya Komnas HAM lebih percaya pada versi Polisi ketimbang FPI. Hasil penyelidikan Komnas HAM terkait “insiden bentrok” antara polisi dengan anggota FPI menyatakan telah terjadi pelanggaran oleh pihak kepolisian. Hal ini terkait penembakan oleh polisi terhadap empat anggota FPI. Komnas HAM menyebut kasus ini sebagai “Peristiwa Kerawang”. Terkait peristiwa KM 50, terdapat 4 orang masih hidup dalam penguasaan resmi petugas negara yang kemudian ditemukan tewas, maka peristiwa tersebut bentuk peristiwa pelanggaran HAM. Begitu kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (8/1/2021). “Penembakan sekaligus 4 orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuh korban jiwa mengindikasikan ada tindakan unlawful killing terhadap laskar FPI,” ujar Choirul Anam. Komnas HAM merekomendasikan peristiwa tewasnya 4 laskar FPI dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana. Komnas HAM juga merekom pengusutan itu lebih lanjut dugaan kepemilikan senjata api yang diduga digunakan pihak FPI. Sejak peristiwa terjadi, Komnas HAM melakukan peninjauan langsung ke lokasi peristiwa, Kerawang, pada 8 Desember 2020. Komnas HAM bekerja sesuai mandat Komnas HAM Pasal 89 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sejak Senin, 7 Desember 2020. Dalam peninjauan itu, pihaknya menemukan beberapa benda yang diduga sebagai bagian peristiwa tersebut. Beberapa diantaranya tujuh buah proyektil, tiga buah slongsong, bagian peluru, pecahan mobil, dan benda lain dari bagian mobil seperti baut. Komnas HAM juga meminta keterangan terhadap sejumlah pihak, antara lain kepolisian, siber, inafis, dan petugas kepolisian yang bertugas, hingga pengurus FPI. Komnas HAM juga mendalami bukti-bukti 9.942 video dan 137 ribu foto yang berkaitan dengan insiden tersebut. Bukti itu dijadikan tahap finalisasi laporan akhir Tim Penyelidik Komnas HAM sebelum mengumumkan hasil rekomendasi akhir. Selain itu, Komnas HAM juga melakukan pengecekan terhadap barang bukti, termasuk mobil yang dipakai saat bentrok polisi-FPI itu terjadi. Komnas HAM juga melakukan rekonstruksi insiden bentrok ini di kantor mereka secara tertutup dengan menghadirkan anggota Polri. Namun, nyatanya sebagian kalangan masyarakat tidak percaya dengan narasi Komnas HAM yang nyaris sama dengan Polisi. Kapolri Baru harus berani menyidik ulang! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Vendor Gugat PT IMSS, Anak Perusahaan PT. INKA

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Matahari mengambang sepenggalah. Belum meninggi berada di titik kulminasi. Waktu itu, pendule jam menunjuk kisaran pukul 10 pagi, waktu di seputaran Pengadilan Negeri Madiun, yang berdiri di jantung kota, Selasa (12/01). Sejurus kemudian, berjalan seorang pria separuh baya, bagus rupa. Benturan lantai tumit sepatunya tak terdengar. Lantaran pria berperawakan gemuk, agak pendek, itu mengenakan sepatu catch warna biru tua. Model sepatunya seperti yang biasa dikenakan Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN itu. Penyuka alas kaki demikian mencerminkan pemakainya dinamis. Energik, namun rileks. Sehingga fleksibel dikenakan sosok dengan mobilitas tinggi. Pria itu adalah Kolik, Direktur Utama PT. Inka Multi Service Solution (IMSS), yang tak lain adalah anak perusahaan BUMN PT. INKA (Persero). Kolik mendatangi gedung Pengadilan Negeri Madiun, dengan diapit dua orang pengacaranya, Joko SH. dan Wahyu SH. sebagai tergugat secara perdata. Penggugatnya adalah Sunarto, warga Desa Sukoharjo, Kecamatan Kayen Kidul, Kediri, sebagai vendor atau mitra kerja PT IMSS. Sunato pernah mengerjakan beberapa item proyek di lingkungan PT. INKA, pesanan kerja dari anak usahanya PT. IMSS. Sunarto mengaku sebagai korban atas klausul kerjasama pengerjaan berbagai proyek, yang dimulai sejak tahun 2017. Terkait pembayaran nilai proyek, menurut Sunarto, masih terdapat sisa senilai Rp. 500 juta. Uang tersebut hingga kini belum tertuntaskan. Berulangkali korban Sunarto menagih ke Kolil dan PT IMSS. Penagihan yang dilakukan, baik langsung maupun lewat sambungan telepon kepada Direktur Utama PT. IMSS, Kolik. Namun selalu mental dan gagal. Hingga akhirnya dia menggugat secara hukum. "Duuoooookkkkk.....". Palu hakim tunggal Pengadilan Negeri Madiun Kota, yang digenggam Endratno Rajamai, SH, MH, sekali membentur papan meja di tempat duduknya. Pertanda persidangan dimulai. Boleh jadi bagi penggugat, terlebih tergugat, tak mengira kerja samanya selama ini berakhir di tempat yang propertinya dominan serba hijau. Pengadilan. "Jangankan cuma Direktur Utama, presiden yang baik (negara, yang saat ini dijabat Jokowi) pun harus bertanggung jawab saat dia menjabat. Terlepas dari terjadinya persoalan sebelum dia menjabat sebagai presiden," tegas hakim tunggal PN Madiun Kota, Endratno Rajamai, SH., MH, memberikan permisalan. Perumpamaan ditujukan kepada Direktur Utama PT. IMSS, Kolik sebagai tergugat, saat memulai sidang perdana gugatan yang diajukan mitra kerjanya, Sunarto (penggugat), di pengadilan negeri setempat, Selasa (12/01). Terminologi kepemimpinan tersebut diungkapkan Endratno Rajamai, menjawab Kolik, yang saat itu diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat sebelum sidang dilanjutkan. Sewaktu diberi kesempatan menyampaikan keberatannya, Kolik yang duduk dalam apitan dua lawyernya, Joko SH. dan Wahyu SH. bersemangat menyampaikan keberatannya, sembari menggerak gerakkan kedua tangannya naik turun, guna memperjelas maksud yang diungkapkan. "Begini Pak Hakim. Yang membuat kami keberatan atas gugatan ini, saya menjabat sebagai Dirut PT. IMSS pada Tahun 2019. Sedangkan persoalan yang digugat penggugat itu terjadi sebelum saya menjabat," ucap Kolik yang mengenakan masker medis hijau itu. Namun intonasi meninggi bicara Kolik langsung mereda, sewaktu hakim tunggal bermasker putih itu menjelaskannya sebagaimana terkutip di kalimat langsung di atas. Sidang perdana gugatan perdata beragenda pembacaan materi gugatan itu berlangsung singkat. Di hadapan floor yang bersengketa, Endratno Rajamai sengaja tidak menuntaskan bacaan gugatan. Hakim beranggapan (yang diiyatakan kedua pihak) para pihak telah memahami isi gugatan. Sementara menurut vendor Sunarto selaku penggugat, pihaknya terpaksa menggugat secara hukum lantaran merasa telah jenuh dengan cara tagih konvensional yang tidak pernah berhasil. "Jadi kita bekerja itu banyak saksinya. Baik karyawan saya, maupun orang PT. INKA yang mengawasi pekerjaan saya. Saya sudah menagih berulangkali dengan baik baik. Namun selalu gagal," tutur Sunarto kepada jurnalis usai persidangan. Sementara pengacara Sunarto, Arifin P. SH. Menilai gugatan tidak dialamatkan kepada badan hukum PT. IMSS, mengingat badan hukum perusahaan tersebut, tentu memiliki perangkat sumber daya manusia, sebagai yang mengendalikan jalannya perusahaan. "Lucu kalau kami menggugat badan hukumnya. Kan di badan hukum PT IMSS itu ada pimpinan yang bertanggung jawab," jelas Arifin. P. SH. Kerugian yang diderita Sunarto mencapai Rp. 500 juta. Sedangkan proyek yang sudah selesai dikerjakan menyangkut perbaikan rel kereta api, pengecatan, pengelasan serta jenis pekerjaaan proyek lainnya. Selian Sunarto, gugatan perdata terhadap PT. IMSS itu juga dilakukan dua vendor lain, yakni Sugito dan Widodo. Dalam konteks yang sama, kedua vendor itu mengalami kerugian masing masing sebesar Rp. 500 juta. Sugito dan Widodo akan tampil menggugat di persidangan yang sama pada Rabu (13/01). Dengan pengacara tidak berbeda, yakni Arifin. P, SH. Penulis adalah Wartawan FNN.coid.

Komnas HAM Bisa Dilaporkan ke Pengadilan Kriminal Dunia ICC

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (12/01). Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang wajar dan dapat dimengerti. Terlalu banyak pertanyaan yang masih menggantung jawabannya dari hasil penyelidikan yang telah dirilis Komnas HAM pada tanggal 8 Januari lalu. Banyak masalah yang belum dijelaskan oleh Komnas HAM. Misalnya, soal tembak-menembak, kepemilikan senjata api rakitan, alas hukum pengintaian dan pembuntutan, dan penyiksaan. Siapa komandan di dalam mobil Landcruiser? Berapa nomor polisi mobil Landcruiser? Hingga kendaraan pembuntut berisi petugas yang misterius itu. Pembunuhan yang dikategorikan pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya. Siapa pelaku penembakan? Adalah wartawan dan reporter senior FNN.co.id, Eddy Mulyadi yang membeberkan banyak kejanggalan dari rilis Komnas HAM tersebut. Berlembar-lembar analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Analisis yang tajam, akurat, namun santai, khas jurnalis senior yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul Anam. Menyayangkan hasil kerja penyelidikan Tim Komnas HAM yang terkesan sangat mendalam dan mantap. Namun minim sekali hasil yang dapat disampaikan kepada publik. Meskipun menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM menjadi kelu dan ragu-ragu. Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu disambut baik. Walaupun ikut juga disesalkan kesimpulannya yang tidak sampai pada terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan, karena lebam-lebam, bengkak, cacat di kamaluan, kuku kaki yang lepas semua. Itu membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM berat. Telah nyata-nyata dari kondisi jasat enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) mengindikasikan adanya perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan. Untuk itu, wajar bila masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Ini juga sebagai opsi untuk melibatkan lembaga HAM internasional yang mengemuka. Perlu juga untuk mengagendakan pelaporan ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal Court) di Den Haag Belanda. Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Perlu diusut motif politik dari pembunuhan atau pembantaian tersebut. Berangkat dari temuan atau kesimpulan "seribu kejanggalan" ini, maka andai kasus "Pelanggaran HAM di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)" dapat dibawa ke tingkat peradilan internasional, maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan ragu-ragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula. Komnas HAM dapat diduga sebagai pihak yang telah turut serta mengaburkan peristiwa terjadinya pelanggaran HAM berat terhadap nayawa anak bangsa. Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi. Karenanya Komnas HAM pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan "pelanggaran HAM". ICC di Den Haag diharapkan dapat menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting adalah "unwillingness", yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status sebagai "non state parties" tidak menjadi halangan atas tafsiran luas dari pasal 27 dan 28 Statuta Roma. Kejahatan yang termasuk kategori "international crime" berdasarkan prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk dalam yuridiksi ICC. Tanpa harus melihat nasionalitas pelaku dan tempat perbuatan. Pasal 28 Statuta Roma menegaskan bahwa "atasan baik militer atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya". Aturan seperti ini sangat dirasakan penting untuk mampu menghukum "the most responsible person". Yang karena kekuasaan dalam negara menjadi sulit dijangkau oleh lembaga peradilan domestik. Peradilan kriminal internasional mampu menyeret Kepala Negara, Anggota Parlemen, Kapolda, atau pejabat lainnya yang dikualifikasikan terlibat dalam pelanggaran HAM (Vide Pasal 27 Statuta). Andai sejumlah organisasi pembela HAM, tokoh dan aktivis, serta keluarga korban dari pelanggaran HAM mengadu kepada ICC di Den Haag Belanda sebagai peradilan internasional independen, mungkin misteri dari peristiwa "pelanggaran HAM kilometer 50 tol Japek" akan terkuak. Yang terpenting adalah bahwa para pelaku atau perekayasa kejahatan HAM tersebut dapat dihukum. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan atau terulang. Komnas HAM yang ikut bermain-main dalam kasus sensitif ini patut pula bertanggungjawab atas kelu dan ragu-ragunya itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.