HUKUM
Penangkapan Munarman di Live Televisi, Mau Cuci Tangan KM 50?
by Tarmidzi Yusuf Bandaung FNN - Kemarin sore (27/4) Munarman, mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) ditangkap Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di rumahnya, Perumahan Modern Hills Pamulang Tangerang Selatan. Terlihat seperti mengerikan dan menakutkan. Munarman baru terduga. Belum pernah diperiksa. Apa alasan Polisi memperlakukan Munarman seperti itu? Tak berselang lama dari penangkapan Munarman. Markaz FPI di Petamburan Jakarta digeledah oleh Densus 88 Polri. Katanya ditemukan bahan peledak. Sudah diduga juga arahnya mau kemana. Lebih mengerikan lagi. Saat tiba di Polda Metro Jaya, tangan Munarman diborgol dan mata ditutup kain hitam. Seru seperti di film G 30 S/PKI. Jangankan teroris, penjahat aja bukan. Penangkapan Munarman disiarkan secara Live di sebuah stasiun televisi. Menjelang berbuka lagi. Biasanya banyak yang di depan televisi. Ini bentuk framing dan stigmatisasi dari penguasa. Tontonan di bulan Ramadhan yang sangat menyakiti ummat Islam. Ada apa dibalik ini? Bukankah ini hanya akal-akaln untuk pengalihan dari masalah yang sebenarnya? Apa itu masalahnya sebenarnya? Upaya “cuci tangan” pembantaian dan pembunuhan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) yang Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah diratakan dengan tanah itu? Terorisasi FPI dan Islam. Tujuannya adalah agar dugaan keterlibatan seorang jenderal dan kelompok sekuler kiri radikal dalam kejahatan di kilimeter 50 tol Japek tidak bisa dituntut dan diungkap? Apakah Munarman itu teroris? Apakah ada bukti? Atau hanya berdasarkan pengakuan dari seorang mantan anggota FPI yang sudah digarap, lalu dikait-kaitkan dengan bom Makassar Maret 2021 lalu? Katanya karena itu-ikutan baiat dengan ISIS. Padahal bukankah ISIS itu organisasi teror buatan MOSSAD, CIA dan SAVAK? Alasan yang kurang logis. Mengapa Densus 88 hanya bisanya menangkap Munarman doang yang dituduh sebagai teroris itu? Sementara OPM yang telah membunuh Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen IGP Danny, Densus 88 tidak turun tangan. Densus lagi dimana saja ya? Apakah ada bukti otentik kalau Munarman dan FPI pernah melakukan teror? Berapa orang yang mati terbunuh akibat tindakan teror yang dilakukan oleh Munarman dan FPI? Boleh dong publik ingin mengetahui. Asal datanya valid saja. Agar tidak ada dusta diatas dusta. Mengapa Densus 88 tidak turun tangan menghadapi OPM yang jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI? Bahkan Mabes Polri seperti dilansir CNN Indonesia (27/4), menolak menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST). Wajar bila ummat Islam curiga. Karena ada standar ganda? Keras terhadap ummat Islam. Lembek ke non Islam. Padahal, apakah itu OPM, KKB atau KST itu maunya merdeka lagi bro Densus 88 Polri. Omong kosong dengan NKRI harga mati yang disuarakan oleh agama tertentu dan etnis minoritas radikal. Apakah belum cukup bukti pembunuhan dan tindakan kekerasan yang dilakukan berulang kali oleh OPM, KKB dan KST? Kepala BIN Papua Brigjen IGP Danny tewas terbunuh oleh OPM. Kenapa yang ditangkap hanya Munarman? Bukan OPM, KKB KSN yang ditangkap Densus 88 Polri? Publik berhak mendapat penjelasan yang masuk akal. Bukan penjelasan pembenaran. Ada apa dengan Densus 88? Apakah betul Densus 88 dibentuk targetnya hanya Islam dan ummat Islam? Masih ingat terorisasi terhadap Ustadz Abu Bakar Ba'asyir beberapa tahun silam. Ummat Islam percaya? Tidak bro. Desas-desus siapa dibelakang Densus 88 ramai diperbincangkan di media sosial. Menyebut tokoh dari etnis minoritas tertentu dan kelompok sekuler kiri radikal. Ummat Islam patut saja curiga. Pasalnya, yang nyata-nyata gerakan separatis dan teroris seperti OPM/KKB Papua tidak diapa-apain. Apakah karena OPM, KKB dan KSN itu mayoritas beragama non muslim? Sehingga Densus 88 Polisi tidak bergerak kesana? Padahal sudah banyak yang dibunuh OMPM, KKB dan KSN itu. Misalnya membunuh anggota TNI, Polri dan warga masyarakat termasuk Brigjen IGK Danny. Pnulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Munarman Teroris? Densus 88 Polri Gaweannya Lucu Amat Sih!
Sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an, Munarman sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI jika kekuasaan Soeharto berakhir kelak. Kini Munarman mau dituduh teroris? Ya pastinya mayoritas aktivis ‘98 yang mengenalnya puluhan tahun, tidak mau percaya degan geweannya Densus 88 Polri yang lucu-lucuan itu. Namun kalau Polisi menuduh Munarwan sukanya melawan kekuasaan yang zolim, tidak adil, semena-mena dan otoriter, korupsi dana bansos dan uangnya kaum difabel, antek aseng dan asing Bejing, itu mungkin ada benarnya. Karena itulah yang dikenal dari seorang pejuang demokrasi yang bernama Munarman. by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN – Ade pameo di polisi, kalau "teman satu angkatan atau teman seperjuangan saja bisa dikorbankan, apalagi orang lain". Pamoe ini sekarang terbukti pada diri Munarman, yang sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI. Namun sekarang Munarman ditahan Polisi dengan tuduhan yang dibuat-buat, karena kejadiannya sejak tahun 2015 lalu. Yang terjadi pada Munarman ini, bukan lagi seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Tetapi seperti kacang lupa sama tanah yang pernah menyuburkan dan membesarkan pohon kacang. Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga untuk para aktivis muda lainnya, agar belajar dari kasus Munarman. Jangan sampai menyesal di belakangan tidak ada gunanya. Masyarakat sama sekali tidak terkejut ketika Selasa sore (27/04/2021), menyaksikan dan membaca berita berbasis satelit, Munarman ditangkap oleh Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di kediamannya, Blog G Klaster Lembah Pinus, Perumahan Modern Hills, Pamulang, Tangerang Selatan. Perlakuan polisi terhadap Munarman ketika ditangkap juga sangat buruk dan tidak manusiawi. Tuduhan utama polisi terkait penangkapan mantan Sekretaris Jendral eks Front Pembela Islam (FPI), yang sekarang ini tengah mati-matian memperjuangkan kepentingan hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut, adalah terkait baiat di UIN Jakarta, Makassar dan Medan beberapa waktu lalu. Munarman yang nampak tidak takut itu, lalu dibawa masuk ke mobil putih dan meluncur ke Mapolda Metro Jaya. Tuduhan Munarman terkait teroris itu disampaikan oleh Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan. "Jadi (penangkapan) terkait dengan kasus baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan. Jadi ada tiga hal tersebut," kata Ramadhan pada wartawan. (Kompas.com, 27/4/2021). Yang paling nyata disini, ayah tiga putra kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 53 tahun silam, itu bukan sosok bajingan atau pengkhianat Merah Putih yang akan menjual NKRI ke negara lain. Dia bukan anak PKI, dan dia sendiri juga bukan penganut paham komunis. Bukan koruptor bansos dan difabel, Juwasraya, Asabri serta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan bandar atau penyebar narkoba. Bukan teroris. Munarman bukan pelaku yang menguras habis uang negara. Dia tidak turut campur dalam merancang UU Omnibus Law. Bukan pula perancang tergerusnya Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bukan perancang hilangnya pelajaran Agama Islam dan Bahasa Indonesia bagi anak didik sekolah. Munarman bukan sosok yang membuang pendiri NU, Hasyim Ashari, dari literasi sejarah. Yang kita kenal, Munarman adalah oposan negara yang setiap saat merobek robek ketidak adilan rezim Jokowi (panggilan Presiden Joko Widodo). Munarman sebagaimana rekan seperjuangannya, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang lebih dulu berurusan hukum, memperjuangkan ketidak adilan dibidang hukum, ekonomi, politik maupun ketimpangan rezim lainnya. Munarman bergerak dalam basis akidah Islam yang kental, kuat dan mendasar. Ibarat jet tempur F-16 Fighting Falcon, Munarman meluncur secara Fly by Wire dengan kendali Sang Khaliq di Singgasana Arasy. Karenanya, Munarman babar blas tidak ragu. Apalagi gentar tentang apa yang dia perjuangkan. Sebagai pejuang demokrasi dan kemanusiaan, Munarman tentu tidak gagal paham tentang resiko yang akan dialaminya. Secara fighter view, penjara akan diterjemahkan sebagai anugerah tanda jasa luar biasa. Atau ibarat sakera dari Madura. Penjara akan dipandang sebagai tempat mengasah celuritnya. Hingga semakin tajam dan mematikan musuh-musuhnya, kelak jika keluar penjara. Jangan mengaku pemain bola, jika belum punya bekas luka jatuh akibat tackling lawan. Atau jangan mengaku pengganti Valentino Rossi dan Dani Pedrosa di Motor GP, jika belum pernah patah tulang akibat tersungkur saat meluncur sentrifugal di lintasan kelok. Itu semua hal biasa saja untuk seorang Munarman, yang sudah pernah ditahan di Polda Metro Jaya. Itu sekedar contoh tentang nilai-nilai perjuangan Munarman. Perjuangan yang tidak mungkin dicapai hanya dengan melakukan korupsi. Atau menjual bangsa dan negara dengan memburu rente Vaksin Sinovac. Munarman tidak menjual bangsa dengan hanya dengan berpura-pura kerja sama investasi. Atau malah menuduh para pejuang kebenaran, sebagai biang keladi kerusuhan. Tidak seperti itu. Munarman menyuruh anak buahnya dari FPI berada di garda terdepan setiap kali bencana alam terjadi. Pada hari pertama ,ketika institusi negara belum hadir di setiap bencana alam, anak buah Munarman dari FPI sudah berada di lokasi benacana. Wajar saja kalau media internasional kelas Washinton Post, New York Times mengganjal FPI sebagai organisasi paling manusiawi dalam setiap bencana alam. Bicara penjara dan pejuang, maka hampir semua pahlawan nasional pejuang revolusi dan kemerdekaan NKRI pernah mengenyam indahnya jeruji besi. Keluar masuk penjara tak membuat mereka kapok untuk melawan penjajah dan kekuasaan yang zolim. Bahkan, mungkin malah dianggapnya keluar masuk rumah makan saja. Karena melawan kekuasaan yang zolim pasti mengantarkan mereka ke syurga. Itu pasti. Tidak ada keraguan. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno, Mohamad Hatta, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin, Sultan Nuku, Kapitan Pattimura, serta sejumlah pahlawan lainnya yang turut mendirikan negeri ini. Posisi mereka tak ubahnya Munarman, HRS, Sobri Lubis Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan para pejuang masa kini lainnya. Mereka pilih keluar dari zona-zona nyaman. Para pejuang dan pahlawan terdahulu musuh utamanya penjajah. Mereka bukan saja dipenjara, melainkan juga disiksa, bahkan dibuang ke pulau terpencil atau luar negeri. Harta-benda, bahkan nyawa mereka dipertaruhkan. Yang mereka tidak pertaruhkan hanyalah kebenaran dan akidah. Sekarang tugasnya berteriak melawan kekuasaan yang zolim dan tidak adil. Kekuaksaan yang semena-mena dan otoriter. Tak terperikan perjuangan mereka. Namun, Bung Karno masih mengakui kalau berat perjuangannya masih belum seberapa, jika dibandingkan perjuangan para pahlawan sesudahnya kelak. Kata Bung Karno, “perjuanganku tidak seberapa, sebab musuhku jelas Belanda. Sedangkan musuhmu nanti adalah bangsamu sendiri. Maksud Bung Karno kura kira "merepotkan". Dibilang musuh itu, kawan. Tetapi dibilang kawan, ternyata (mohon maaf, karena bulan puasa) bangsat. Ternyata benar apa yang "ramalkan" Bung Karno. Sekarang sudah terbukti. Munarman, HRS, Sobri Lubis, Syahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan sahabat senasib seperjuangannya, kini berhadapan dengan musuh yang tak lain adalah bangsanya sendiri. Munarman sejak menjadi aktivis akhir 1980-an, selalu bersikap melawan rezim zolim dan otoriter Soeharto. Rezim yang menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan untuk memenjarakan para aktivis demokrasi. Sikap Munarman itu tidak pernah bergeser sampai sekarang. Keputusannya menerima jabatan KetuaYayasan Lebaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Katua Kontras, dua LSM Menteng yang menjadi salah satu musuh utamnyanya kekuasaan Soeharto adalah pilihan melawan kekuasaan zalim, otoriter, dan tidak adil. Ketika Munarman bercita-cita untuk memishkan Polisi dari ABRI di tahun akhir tahun 1980-an dan saat menjabat Ketua YLBHI dan Ketua Kontras dulu, yang hari ini menjadi pemimpin Polisi belum menjadi anggota Polisi. Sebagian besar masih menjadi siswa taruna polisi di Magelang dan Akpol Semarang. Masih berjuang untuk menjadi anggota polisi. Namun Munarman sudah berjuang melawan kekuasaan yang menjadikan Polisi sebagai alat politik untuk memukul lawan-lawan politik Soeharto. Ingat itu petuah orang tua-tua kampong, "jangan seperti kacang yang lupa kulitnya". Selain sebagai Ketua YLBHI dan Ketua Kontras, Munarman juga mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PPI) dan Himpunan Mahasiswa islam (HMI). Para aktivis '98 yang kenal dengan Munarman sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an seperti Fadli Zon, Haris Rusli Moti, Agus Prijono Jabo, Yusuf Lakaseng, Ray Rangkuti, Fahri Hmazah, Muhammad Naufal Donggio, Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Adi Arief, Bursah Zarnubi, Rama Pratama, Iwan Somule, Adam Wahab, Ahmad Muzani, Adrianto, Ahmad Yani, pastinya tidak akan percaya kalau Munarman terpapar paham teroris. Begitu juga dengan almarhum Bang Buyung Nasution dan almarhum Bang Mulyana W. Kusumu, mungkin saja akan menjadi saksi di pengadilan akhirat kalau Munarman pasti tidak terpapar teroris. Karena yang menjagokan Munarman menjadi Ketua YLBHI adalah Bang Buyung Nasution dan Bang Mulyana W. Kusuma. Hampir dipastikan kali ini Densus 88 Polri keliru besar. Hanya karena khawatir kemungkinan Munarman yang menjadi Ketua Tim Pembela HRS, bakal menangkis semua alibi Polisi dan Jaksa di persidangan. Selain itu, hawatir juga Munarman bakal membongkar keterlibatan intitusi negara di luar Kepolisian yang diduga terlibat dalam pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Sebab kalau hanya soal dugaan keterlibatan teroris (baiat) yang terjadi tahun 2015 dulu, masa sih mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian PhD tidak tau? Ingat, Pak Tito itu orang hebat di Densus 88 lho, selain Pak Gories Mere. Apalagi Munarman sering berkomunikasi dengan Pak Tito, karena punya hubungan baik. Sama-sama Wong Kitogalo dan sekolah di SMA yang sama. Kalau Munarman itu terpapar paham teroris, tidak mungkin Pak Tito yang sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan menjadi salah satu kandidat potensial untuk Calon Presiden 2024 nanti itu tidak tau. Sebab bisa jadi dugaan tindak pidana yang kemukinan polisi lain tidak tau, Pak Tito pasti tau. Sedangkan yang Pak Tito tau, belum tentu polisi lain tau. Ingat, Pak Tito itu polisi hebat, polisi pintar, polisi cerdas. Polisi yang top markotp. Makanya Densus 88 Polri sebaiknya jangan sampai anggap reme Pak Tito, kalau sampai menuduh Munarman terpapar teroris. Itu kurang baik, bahkan kurang ajar. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Kasus KM 50, Diduga Institusi Kepolisian Yang Mau Dikorbankan
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Hingga kini Kepolisian masih otak-atik untuk mengumumkan nama-nama tersangka pembunuhan enam anggota laskar mantan Front Pdembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Konon satu orang palakunya sudah meninggal dalam kecelakaan tunggal. Itu pun tak jelas peristiwanya. Dunia tentu mentertawakan kinerja dan pekerjaan yang sebenarnya sangat mudah, akan tetapi menjadi sulit seperti ini. Masalah sulitnya adalah karena berupaya untuk mempertimbangkan skenario dan menyembuyikan kebenaran. Bukan menguak fakta kebenaran atau keadilan. Lemparan awal yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dan logika. Akibatnya yang berikutnya bisa berubah ubah. Penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sarat dengan kritik keraguan publik juga menghadapi kemandegan tindak lanjut. Meski Komnas HAM telah diback-up habis Presiden Jokowi dan Menteri Kordintor Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) masih berjalan di tempat. Tidak melakukan penyelidikan lanjutan Komnas HAM seharusnya melakukan penyelidikan lanjutan yang bersifat pro justisia. Sebab penyelidikan pro justisia itu sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Tinggal menyampaikan pemberitahuan kepada Kejaksan Agung bahwa Komnas HAM sedang melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus kilometer 50 tol Japek. Pertanyaan paling mendasar adalah benarkah pembunuh enam anggota Laskar FPI itu adalah aparat Kepolisian atau instansi lain selain Kepolisian? Melihat penetapkan tersangka yang berbelit-belit, dan cenderung disembunyikan, maka wajar saja kalau publik meragukan intitusi kepolisian sebagai pelaku pembunuhan. Meskipun telah diakui oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imran. Yang diragukan dan dibicarakan publik bukan hanya soal dua korban "tembak-menembak" dan empat yang ditembak. Sebab keenam anggota laskar mantan FPI itu mengalami luka tembak mematikan yang sama, yaitu seluruhnya ditembak dari jarak dekat. Memilah-milah keduanya adalah keliru besar. Komnas HAM hanya menerima keterangan sepihak dan diduga kuat ikut menyembunyikan kebenaran. Jika Polisi sudah yakin bahwa pembunuh itu Elwira, Yusmin dan Fikri Ramdhani, maka segera umumkan saja, dan selesai. Selanutnya tangkap dan tahan mereka. Tinggal penyidikan lanjutan atas status tersangka mereka. Masalahnya adalah pelapor awal yang mentersangkakan "korban" pembunuhan adalah justru paket lain, yaitu Faisal, Fikri, dan Adi Ismanto. Pilihan paket ini juga menjadi menarik. Tampak kalau Bareskrim Polri masih ragu dengan skenario ini. Sebab bisa-bisa mengorbankan institusi Kepolisian yang mungkin saja bukan pelaku sebenarnya. Wajar kalau publik menduga, pelakunya anggota polisi yang diperbantukan ke institusi negara yang lain. Akibatnya adalah institusi Kepolisian akan dicatat oleh sejarah sebagai pelaku pembunuhan warga negara yang berada dalam penguasaan anggota polisi yang bertugas. Beredar viral tentang adanya tim penguntit dan pemburu Habib Rizieq (HRS) dan rombongan yang ternyata bukan semata-mata hanya dari elemen Kepolisian. Ada banyak personal dari Badan Intelijen negara (BIN). Diantaranya anggota BIN dari Daerah. Penguntitan yang dilakukan puluhan personal tentu saja didasarkan atas Surat Tugas dari atasan. Kalau dengan Surat Penugasan dari atasan, maka dengan demikian ada kegiatan yang dilakukan secara sistematik dan terencana. Sehingga menjadi unsur-unsur dari terjadinya pelanggaran HAM berat. Aneh saja kalau Komnas HAM tidak berani mendapatkan keterangan atau informasi dari personil yang bukan dari institusi Kepolisian seperti ini. Komnas HAM hanya fokus di Polri saja. Kalau benar terlibat, maka lambat atau cepat dugaan keterlibatan institusi lain di luar Kopolisian pasti akan terungkap. Itu berarti penyelidikan duagaan adanya pelanggaran HAM terkait pembunuhan enam anggota lankar mantan FPI di kilometer 50 tol Japek bakal dimulai dari awal lagi. Hasil kerja Komnas HAM yang sekarang bisa dikatagorikan sebagai penyelidikan yang abal-abal semata. Dugaan hubungan antar instansi sebagai bagian operasi sistematik ini tergambarkan melalui cepatnya konperensi pers Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman. Jika konteks pembunuhan adalah penegakkan hukum, maka cukuplah konperensi pers dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya. Tidak perlu Pangdam Jaya ikut-ikutan pekerjaan yang bukan tupoksinya. Kini pertanggungjawaban hukum tidak cukup selesai pada pelaku di lapangan. Akan tetapi kebijakan komando juga harus dibongkar. Komnas HAM diduga menutup voice note antar petugas dengan para komandan. Fadil Imran tidak bisa berleha-leha. Begitu juga dengan Dudung Andurahman. Kabareskrim belum tentu tak terlibat. Jadi kisah pelanggaran HAM berat Km 50 harus dibuka habis. Jika hanya pelaku lapangan yang terkena target, maka persoalan masih akan terus menggantung. Bisa ujung-ujungnya pertanggungjawabanpelanggaran HAM berat pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar mantan FPI adalah Presiden Jokowi. Harusnya negara hadir untuk melindungi anak bangsanya. Bukan sebaliknya, negara terlibat dalam pembunuhan rakyatnya. Peristiwa ini bukan semata kasus hukum. Peristiwa ini adalah kejahatan kemanusiaan yang berbentuk pembunuhan politik. Harus dipertanggungjawaban juga secara politik. Kilometer 50 tol Japek tak boleh diabaikan. Kilometer 50 tol Japek adalah crimes against humanity. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Please Pak Hakim, Bebaskan Dr. Syahganda Nainggolan
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN - Perkara Dr. Syahganda Naingolan telah memasuki babak akhir. Hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara ini segera menjatuhkan putusan. Akankah hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Dr. Syahganda dijatuhi hukuman penjara 6 (ernam) tahun, setengahnya atau dibebaskan? Tersediakah alasan yang bersumber dari fakta persidangan untuk hakim pijaki secara jujur sehinga dapat menyatakan hukum yang berberda dengan yang dituntut oleh JPU? Misalnya hakim menyatakan benar tuduhannya terbukti. Tetapi hal yang terbukti itu tidak beralasan hukum yang logis untuk dinyatakan sebagai perkara pidana, sehingga Syahganda diputus lepas dari segala tuntutan hukum, onslag van rechtvervolging? Persidangan perkara ini dilakukan secara terbuka. Fakta persidangan tersebar luas. Dapat diidentifikasi oleh berbagai pihak. Fakta ini memungkinkan siapapun menganalisisnya, dan membayangkan hukum yang akan ditetapkan hakim. Fakta yang tersebar itu telah cukup berbicara secara gamblang bahwa perkara, dengan semua argument hukum yan tersedia, tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana. Saya tidak akan menyajikan lagi argumen-argumen teknis hukum pada kesempatan ini. Sebab argumen-argumen itu telah saya sajikan pada artikel-artikel sebelumnya. Kali ini saya ingin menyajikan dimensi lain. Dimensi yang hendak saya sajikan adalah relasi antara peradilan dengan bobot rule of law. Bagi saya soal terpenting pada titik ini adalah apakah hakim memahami eksistensinya dalam spectrum rule of law? Sebab rule of law tidak meminta banyak dari hakim. Yang diminta rule of law kepada hakim hanyalah membebaskan diri dari lilitan penguasa. Itu saja. Tidak lebih dari itu. Independensi atau kemandirian hakim tidak ditentukan oleh pernyataan dalam huruf-huruf konstitusi. Sama sekali tidak. Eksistensi independensi, sepenuhnya merupakan cerminan sikap pribadi hakim. Praktis sikap pribadi hakimlah merupakan kunci independensi peradilan. Cara berpikir atau penalaran hakim tertuang dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Penalaran merupakan cerminan level mahkota hakim, sekaligus level mahkota independensi itu. Disebut mahkota hakim, karena penalaran hakim mencerminkan kadar dan level ilmunya. Level ilmu merupakan cerminan level kebijaksanaannya. Level kebijakan merupakan cerminan dari kombinasi manis antara pemahaman ilmu hukum, ilmu pengetahuan lainnya, termasuk keadaan faktual. Ilmu apa yang dapat digunakan secara logis untuk membuat kongklusi bahwa pengrusakan yang terjadi dalam satu demontrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja sebagai pidana? Ilmu hukum tidak menyediakan satu pun dimensinya untuk diambil dan digunakan sebagai pijakan membuat kongklusi demontrasi yang disertai pengrusakan itu bersifat pidana. Pengrusakan harus dikualifikasi sebagai tindak pidana. Tetapi bukan kegiatan demonstrasinya. Ilmu hukum dibangun dengan prinsip perbuatan para perusak itulah yang harus dipidana. Bukan kegiatan demontrasinya yang dinyatakan pidana. Itu sebabnya para perusak dalam demonstrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja saja yang ditangkap dan diproses hukum. Ini logis dan benar menurut hukum. Yang tidak benar adalah demonstrasi dikualifikasi sebagai pidana. Sekali lagi ini tidak benar. Sangat buruk dan primitif. Tidak benar, bukan disebabkan oleh demonstrasi itu merupakan tampilan ekspresif dari hak berbicara dan menyatakan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945. Sebabnya adalah sistem hukum memberi sifat hukum pada demonstrasi sebagai tindakan hukum yang sah dan legal adanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Tidak ada penalaran yang dapat digunakan untuk menyatakan hal hukum yang sah itu, berubah menjadi tidak sah hanya karena ada tindak pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang. Demonstrasi itu, untuk semua cakrawala ilmu hukum konstitusi diterima sebagai bentuk kongkrit dari ekspresi hak masyarakat menyatakan pendapat. Menuliskan pikiran atas suatu hal, untuk alasan ilmu hukum konstitusi merupakan cara hak menyatakan penapat yang diberi bentuk dan eksis. Pada titik ini hakim harus tahu bahwa konsep hak menyatakan pendapat tidak bersifat tunggal. Hak ini dalam ekspresinya bersifat jamak. Konsep ini luas. Boleh saja demokrasi diisolasi atau relasi fungsional antara demonstrasi dengan hak menyatakan pendapat. Masalahnya cara itu menyangkal hukum alam, yang menjadi basis alamiah lahirnya konsep hak menyatakan pendapat. Eksistensi alamiah orang diukur antara lain oleh apakah lingkungan tempat orang itu hidup memungkinkan dia menggunakan akal pikirannya atau tidak. Soal ini memiliki sifat alamiah, dengan derajat fundamental. Itu sebabnya ilmu konstitusi memberi sifat hak menggunakan akal pikiran itu sebagai hak yang bersifat negatif. Negatif karena hak itu melekat pada diri setiap orang, siapapun orangnya, karena mereka adalah manusia. Melekatnya hak itu pada setiap orang sama sekali tidak ditentukan oleh sebab dari luar orang itu. Ini disebut sebab yang artifisial. Sama sekali bukan begitu. Melekatnya hak itu pada setiap orang, karena mereka, sekali lagi adalah manusia yang sebenarnya. Praktis hak itu ada dan melekat pada setiap manusia bukan karena dinyatakan dalam UU, positum. Ini harus dimengerti betul oleh hakim. Analisis Syahganda atas berbagai persoalan, termasuk menyatakan dukungannya atas rencana para pekerja berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja, itu bukan perbuatan pidana, apapun alasannya. Sama sekali bukan. Demontran yang terus berdemonstrasi hinga batas waktu yang ditentukan, bukan pidana. Demontrasi yang melampaui waktu yang ditentukan, sekacau apapun, tidak dapat dikualifikasi sebagai onar menurut konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Apa argumennya? Demontrasi bukan onar menurut pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946. Demontrasi menolak RUU Cipta Kerja misalnya, jelas maksudnya. Maksudnya adalah menolak RUU itu. Hal yang sedari awal jelas maksudnya, untuk alasan apapun, termasuk analogi, tidak dapat diserupakan dengan onar. Itu karena konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, sedari awal tidak jelas maksudnya. Itu menimbulkan ketakutan atau kebingungan atau kegaduhan ditengah masyarakat. Itulah onar. Ini diistilahkan dalam ilmu interpretasi dengan objective teleologis. Objective teleologis adalah maksud obyektif dari pembuat UU. Bahaya yang ditimbulkan dari keonaran itu harus kongkrit atau nyata-nyata adanya. Bukan hayalan. Ini yang dalam ilmu hukum disebut present danger. Present dangger inilah pulalah yang menjadi objective teleologis pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Praktis sifat bahanya harus present. Bukan potential danger atau bahaya yang dibayangkan secara hipotetik. Konsep present danger ini, hemat saya mencerminkan secara nyata pemerintah kala itu mengerti sifat alamiah warga negara yang mengekpresikan hak menyatakan pendapatnya. Ekspresi hak itu harus jelas maksudnya. Itu sebabnya yang dilarang adalah ekspresi hak yang tidak jelas maksudnya. Itulah yang harus dikenali benar oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini. Konyol sekali kalau demonstrasi yang menimbulkan ekses dijadikan titik tolak menyatakan demonstrasi itu sebagai onar. Bila demonstrasi yang menimbulkan dikualifikasi sebagai onar, maka akibatnya jelas. Bangsa ini ditarik jauh kebelakang meliputi masa-masa zaman penjajahan dulu. Menarik bangsa ini ke masa-masa zaman penjajahan memang merupakan soal besar. Tidak lebih dari menjungkir-balikan sesuatu yang secara alamiah diterima sebagai postulat tentang eksistensi manusia merdeka. Disebut manusia merdeka, karena cara itu mengingkari apa yang secara alamiah menjadi parameter kemanusiaan manusia. Menghukum perbuatan analisis terhadap sesuatu yang dalam sistem hukum telah dikualifikasi buruk, misalnya “cukong” jelas konyol. Beda angka yang dikutip dari pernyataan orang, tak dapat diinterpretasi sebagai telah terjadi kebohongan. Selisih lebih atau selisih kurang dari angka yang dinyatakan orang dan dikutip oleh Syahganda, tidak dapat diinterpretasi sebagai menyebar kebohongan. Sebabnya sifat dasar kenyataan itu tidak berubah. Sifat dasarnya tetap buruk. Buruk memang dapat dibuat gradasinya. Tetapi apapun gradasinya, cukong itu tetap saja buruk dalam semua sifatnya menurut sistem hukum yang eksisting. Konsekuensi level gradasi tidak dapat dijadikan “denominator dominan” atau “determinative factor” untuk menyatakan perbedaan gradasi menjadi kunci adanya “berita bohong” yang disebarkan. Hakim, tidak dapat menggunakan perbedaan angka itu sebagai “denominator dominan” yang mempertalikan dan mengutuhkan dua kenyataan berbeda itu, lalu membuat kongklusi adanya kebohongan. Pembaca FNN yang budiman. Tak masuk akal mengesampingkan sifat alamiah berpikir dan menyatakan pikiran. Berpikir dan menyatakan hasil pikirnya itu, merupakan hal alamiah yang bersifat categorial imperative dalam spektrum Immanuel Kant, filosof Jerman ini. Menghukum pikiran, jelas mengingkari sifat alamiah, yang Immanuel Kant sebut cateogorial imperative itu. Benar-benar patut ditertawakan bila hal yang bersifat imperative itu secara alamiah disingkirkan. Harus ditertawakan, oleh karena hal itu mencerminkan orang kehilangan bawaan alamiahnya. Padahal justru untuk mengagungkan hal yang secara alamiah merupakan parameter kemanusiaan, dan itu bersifat kategorial, peradilan dan hakim dihadiahi atau diatributifkan dengan senjata yang bernama “independensi” peradilan. Demi hukum dan bawaan alamiah manusia, tidak hanya untuk Syahganda Nainggolan, tetapi untuk semua warga negara Indonesia, yang UUD atribusikan eksistensi mereka sebagai orang merdeka, maka Syahganda harus bebas. Sungguh tak tersedia alasan masuk akal untuk menghukumnya. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Tak Ada Alasan Hukum Untuk Menghukum Syahganda
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jarkarta FNN - Perkara Syahganda Nainggolan, segera diputus. Syahganda didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) “menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan terjadi keonaran”. JPU pun telah membacakan tuntutannya, termasuk menyanggah tanggapan Syahganda. Sejauh teridentifikasi melalui berbagai pemberitaan, JPU berpendapat dakwaannya terbukti. Atas dasar penilaian itu, JPU menuntut Syahganda dihukum 6 (enam) tahun. Sekarang perkara ini sepenuhnya berada di tangan hakim-hakim yang menyidangkan, memeriksa dan akan memutusnya. Sulitkah hukum dalam perkara ini? Sama sekali tidak, dengan apapun alasannya. Hukum pada perkara ini begitu sangat mudah. Semudah atlit bernapas. Yang berat adalah lilitan politiknya. Inilah yang memusingkan Jaksa dan hakim. Secara teknis, unsur kunci atau yang ahli ilmu hukum pidana sebut “unsur delik” pada perkara ini adalah Pertama “kabar bohong”. Kedua, “onar.” Hanya itu tidak lebih. Apapun ilmu interpretasi yang mau digunakan untuk melebarkan cakupan konsep atau teks atau unsur delik “bohong” dan “onar” dalam perkara ini, tetap tak tersedia jalannya. Ilmu interpretasi hukum dimanapun didunia ini memandu setiap aparatur hukum dengan sangat jelas. Tidak ada interpretasi yang tidak diawali dengan interpretasi terhadap teks-kata dan kalimat-dalam pasal. Tidak ada pula ilmu interpretasi di dunia ini yang menyatakan bahwa teks tidak memiliki konteks. Justru sebaliknya setiap teks memiliki konteks. Itu prinsipil dalam ilmu hukum. Tidak ada ilmu hukum yang tidak mengajarkan bahwa inti penerapan hukum adalah interpretasi. Tidak ada interpretasi yang tidak bertalian dengan sistem hukum. Sistem hukum melahirkan konsekuensi berupa terdapat level-level rules atau lapisan-lapisan rules. Interpreter, suka atau tidak, harus pergi menggali dan menemukan text representation level dan intention. Itu disebabkan teks tidak pernah tidak merupakan refleksi atau pantulan kehendak pembentuk teks itu. Ilmu hukum mengajarkan dengan jelas, teks tidak selalu atau tak pernah secara alamiah menggambarkan dengan tepat dan jelas maksud pembentuknya. Itu menjadi dasar ilmu hukum memaksa hakim, siapapun mereka, dalam perkara apapun, pergi menyelam, memeriksa setepat mungkin kehendak pembentuk teks itu. Dalam perkara ini, suka atau tidak, soal pertama dan utama yang harus diperiksa adalah teks “bohong” dan “onar.” Kedua hal ini menjadi dua unsur delik kunci. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 mengartikan kata “bohong” itu. Bohong a 1. tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya “dusta”, kabar itu-belaka, 2. Ia berkata-kaya cak bukan yang sebenarnya, palsu (biasanya mengenai permainan) lotre. Membohong, menurut kamus ini, “mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada; membohongi-berbohong kepada mendustai kepada. Pembohong, orang yang suka berbohong. Bohong-bohong, bukan sebenarnya. Kebohongan, perihal bohong, sesuatu yang bohong. Bagaimana dengan teks atau unsur delik onar? Menurut KBBI di atas onar 1. huru-hara, gempar, ulahnya menimbulkan, 2. Keributan, kegaduhan, anak-anak itu sering membuat, meng-onarkan-menghuru-harakan, menggemparkan, mengacaukan, tindakan pejabat itu masyarakat. 2 Onar kl n akal busuk, tipu muslihat, pedagang sering melakukan-terhadap pembeli. Apa hal bohong yang Syahganda sebarkan, yang mengakibatkan terjadinya keonaran? Lupakan dulu tabiat hukum pidana pada rumusan pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana yang didakwakan kepada Syahganda. Sekali lagi, lupakan dulu itu. Mari kenali hal bohong yang dituduhkan kepada Syahganda. Hal bohong yang dituduhkan kepada Syahganda adalah (i) kutipan Syahganda terhadap isi pidato Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo di Karawang. (ii) analisisnya teradap rancangan UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja. (iii) dukungan Syahganda dan rekan-rekannya di KMAI yang akan ikut demonstrasi buruh menolak RUU itu. Terakhir adalah analisis Syahganda terhadap pernyataan Profesor Mahfud MD, Menko Polhukam tentang calon kepala daerah yang disinyalir dibiayai para pemilik modal. Ini disebut cukong. Perihal ini juga, kalau tak salah pernah dirilis oleh KPK. Hanya harus diakui jumlah, terdapat perbedaan dalam jumlaah persentasinya. Anggap saja semua hal di atas benar ada dan terbukti dalam sidang. Soal hukumnya apakah perbuatan itu dapat dipersalahkan? Bila ya, bagaimana penalarannya? Penalaranlah yang menjadi hal kunci dalam menentukan kualifikasi atas sifat fakta yang tersaji dalam sidang itu. Ini benar-benar krusial. Hakim mau tidak mau harus memadati interpretasinya dengan pengetahuan yang cukup tentang latar-belakang teks. Dititik ini ketepatan identifikasi atas “kontek teks” yaitu situasi empirik sebagai basis teks, memainkan peran kunci. Ketepatan identifikasi konteks teks situasi empirik menentukan kualifikasi sifat hukum terhadap hal keadaan yang terbukti dalam sidang. Tidak itu saja, pengetahuan hakim tentang ilmu hukum, khususnya ilmu perundangan-undangan turut menentukan. Hakim harus tahu konsekuensi alamiah yang membadakan RUU dan UU. Jangankan RUU yang pasti berubah, bagian-bagian tertentu dalam UU juga bisa berubah, karena dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kantitusi (MK). Praktis begitulah inferensi yang harus ditapaki dalam semua kasus, pada semua peradilan. Diawali dengan mengidentifikasi fakta dalam semua aspeknya. Berikut pertalian antara satu fakta dengan lainnya, yang merupakan ekstraksi atas fakta itu. Itulah proses awalnya. Proses selanjutnya, fakta itu dipertalikan dengan hukum. Dititik inilah proses identiikasi hukum atas fakta itu berawal. Proses ini berakhir dengan lahirnya kongklusi pemberian hukum atas fakta itu. Dititik ini lahir kongklusi apakah tuduhan itu terbukti tidak? Kalau pun terbukti, fase ini juga menentukan apa hal yang terbukti itu benar-benar meyakinkan untuk dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum pidana atau tidak. Begitulah cara inferensi, baik fakta maupun hukum dalam perkara ini. Logisnya inferensi menjadi kunci logisnya hukum yang disifatkan atas fakta yang tersaji. Untuk selanjutnya ditarik kongklusi, baik perbuatannya maupun hukum astas perbuatan itu. Ini disebut penalaran dedeuktif. Sekarang bagaimana menginferensi kasus ini? Proses inferensi kasus ini, praktis harus dimulai dengan mempertanyakan atau mengidentifikasi keadaan apa dalam RUU? Apakah menurut ilmu hukum, RUU memiliki kualifikasi hukum atau kebahasaan atau leksikal sebagai keadaan sebenarnya? Tidakkah heading RUU, sebagai heading utamanya maupu heading pada setiap Bab, juga materi muatannya potensial berubah dalam pembahasan antara DPR dengan Pemerintah? Disebabkan perubahan pada heading utama, dan heading pada Bab, juga materi muatannya merupakan hal alamiah dalam proses pembentukan UU (proses pembahasan) antara DPR dengan Pemerintah, muncul satu soal prinsipil. Soalnya dengan cara apa dalam ilmu interpretasi yang logis digunakan untuk menyebut hal dalam RUU yang pasti berubah itu sebagai hal tidak berubah alias keadaan sebenarnya? Tidak ada nalarnya sama sekali. Mari beralih pada isu lainnya. Sebut saja Pak Jendral (Purn) Gatot mengutuk dan menolak RUU Omnibus Cipta Kerja” lalu pernyataan itu dikutip oleh Syahganda dan disebarkan. Soal hukumnya adalah inferensi hukum macam apa yang dapat digunakan untuk menghasilkan kongklusi tentang sifat “bohong” pada perbuatan Syahganda itu? Bila pun pernyataan Pak Jendral (Purn) Gatot itu disebarkan, dan itu menyemangati calon demonstran untuk menyelenggarakan berdemonstrasi, maka soal hukumnya adalah bagaimana menginferensinya untuk menghasilkan kongklusi tak meragukan bahwa tindakan Syahgada tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya alias bohong? Pasti tak ada nalarnya, suka atau tidak. Disisi lain, andaikan saja Syahganda menyatakan “selamat bergerak” kepada rekan-rekan KAMI-nya, yang akan ikut bergabung dalam demonstrasi buruh, dimana letak “bohongnya” pernyataan Syahganda itu? Demonstrasi itu mau diberi sifat dan kualitas hukum sebagai onar? Boleh saja, tetapi syaratnya harus cabut UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum. Sisi eksplosif lainnya dalam kasus ini adalah analisis Syahganda atas pernyataan orang. Sebut saja pernyataan Profesor Mahfud MD, tentang pembiayaan calon kepala daerah oleh cukong. Andaikan angka yang dikutip Syahganda tak sesuai dengan angka yang disebut Pak Mahfud, maka soal hukumnya bagaimana menginferensi fakta itu untuk menghasilkan kongklusi sebagai pernyataan bohong? Menggelikan dan konyol sekali kalau kesalahan atau perbedaan angka yang disebut Syahganda dengan yang disebut Pak Mahfud dijadikan titik tolak kongklusi adanya hal “bohong.” Sebabnya tidak ada peralatan interpretasi yang dapat dipakai untuk membenarkan cukong-cukong sebagai hal hukum sah dalam peristiwa hukum sah. Misalnya pemilihan kepala daerah. Untuk alasan apapun, cukong dalam pilkada, tidak dapat dibenarkan. Konsep cukong, tidak pernah memiliki, jangankan sifat dan kapasitas sah, kesan sah pun tidak dalam kerangka sistem hukum. Sekali lagi tidak. Undang-Undang pilkada hanya mengenal penyumbang kepada calon kepala daerah. Itu sebab utama mengapa “cukong” untuk alasan apapun, buruk dalam seluruh aspeknya. Hal eksplosif lain yang menentukan yang tak dapat diabaikan dalam kasus ini adalah, apa pernyataan-pernyataan Syahganda “mengakibatkan” terjadi keonaran? Demonstrasi mau diberi sifat sebagai hal onar? Jelas tidak. Sebab kalau mau diberi kualifikasi itu, konsekuensi logisnya UU NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM mutlak harus dicabut. Praktis tidak ada penalaran hukum yang bisa digunakan, apapun caranya, menyatakan perbuatan Syahganda melawan hukum pidana, khususnya UU pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Perbuatannya pasti terbukti, tetapi perbuatan itu tidak melawan hukum pidana. Itu sebabnya tidak ada alasan untuk menghukum Syahganda. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternarte.
Berdoa Untuk Mubahalah Keluarga Korban Pembunuhan 6 Pengawal HRS
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Penuntasan kasus pembunuhan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, pada 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak dengan memproses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan hasil peyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel. Bahkan tidak valid dan sarat dengan rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan? Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap. Sebelumnya pada Kamis minggu lalu Rusdi di Mabes Polri mengatakan, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kesimpulan yang didapat dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga anggota polisi tersebut kini dinaikkan menjadi tersangka," (6/4/2021). Namun hal yang paling mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, adalah kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa sampai sekarang mereka tak kunjung ditahan aparat? Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar-benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan. Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI sesuai dengan skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut versi Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak. Para pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario inilah dicoba untuk diselaraskan oleh hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”. Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu. Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdo’a dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdo’a, siang dan malam, agar Allah mengabulkan do’a-do’a kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan taqdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban. Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar-benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di kilometer 50 tol Japek. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil, sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja). Namun sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata apapun, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan seluruh keluarga korban pembunuhan juga sama. Bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata atau senjata api. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat yang semula disangka preman, karena tak penah menyatakan identitas sebagai aparat polisi. Karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri. Yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing. Bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM. Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini. Salah satunya dengan menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada tanggal 9 maret 2021 yang lalu. Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Polri melalui surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. Ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa kilometer 50 tol Japek. Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebut dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak. Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut “demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di kilometer 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut”. “Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksaMu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya. Jika pihak apparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. “Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan apparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan. Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata). Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di kilometer 50 tol Japek, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No. 26 Tahun 2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejaksaan Agung. Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM hanya mengatakan telah terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat. Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3. Atas dasar pula, sehingga TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut. Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam. Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama itu, TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian kilometer 50 tol Japek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan. Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhoi seluruh upaya kita. Semoga Allah mengabulkan do’a orang-orang yang dizalimi. Mengabulkan do’a para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah Subhaanahu Wata’ala kita bertawakkal. Penulis adalah Juru Bicara Badan Pekerja TP3
Kapolri Anulir Telegram Berpolemik, Demi Citra Polisi?
By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengapresiasi keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah mencabut Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021. Meski Surat Telegram tersebut akhirnya dicabut, namun KKJ berharap preseden serupa tidak lagi terjadi ke depan. Sebagai catatan, KKJ dideklarasikan di Jakarta, Jum’at, 5 April 2019. Anggota KKJ organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI); Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebelumnya, Jenderal Listyo menerbitkan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik pada Senin, 5 April 2021. Telegram yang ditujukan kepada para Kapolda Up Kabid Humas tersebut dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, penerbitan Surat Telegram Kapolri tersebut juga menutup masuknya kritik-kritik membangun dari media selaku representasi publik terhadap Lembaga Kepolisian. Dalam Surat Telegram huruf B poin 1 disebutkan, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanistik. Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan ini berlawanan dengan ayat (2) Pasal 4 UU Pers: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Selain itu, ayat (3) Pasal 4 UU Pers juga menyebutkan, “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Tentu, dalam menyajikan pemberitaan, pers juga memiliki koridor tersendiri yang telah jelas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Penerbitan Surat Telegram Kapolri yang ditandatangani Kepala Divis Humas Polri Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono atas nama Kapolri ditujukan dalam pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik (huruf B) dan bukan semata-mata mengatur program kehumasan Polri. Oleh karena itu, Surat Telegram tersebut dikhawatirkan juga akan diterapkan pada peliputan-peliputan media massa/pers pada umumnya yang melakukan peliputan kegiatan-kegiatan Kepolisian. Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian dikhawatirkan justru akan menutup upaya bersama untuk mewujudkan reformasi di tubuh Kepolisian. Padahal, transparansi menjadi salah satu syarat utama dalam proses perbaikan kinerja dan profesionalitas Kepolisian. Adapun, untuk poin-poin isi Surat Telegram Kapolri Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 lainnya, KKJ menilai isi materinya telah sesuai dengan UU Pers dan P3SPS. Jika dirinci, setidaknya ada 11 poin dari telegram Kapolri yang mengatur aktivitas jurnalistik terkait peliputan media: Pertama, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis; Kedua, tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana; Ketiga, ]tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian; Keempat, tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan; Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual; Keenam, menyamarkan gambar wajah dan indentitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya; Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur; Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku; Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detil dan berulang-ulang; Kesepuluh, dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten; Kesebelas, tidak menampilkan gambaran secara eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. Seorang wartawan menyebut, poin no 1-4 itu juga sudah masuk wilayah kerja jurnalistik. Polisi tidak semestinya membuat keputusan sepihak seperti itu. Pers bukan anak buah atau humas polisi. Kecuali no 10, poin no 5-11 itu secara umum sudah termaktub di kode etik jurnalistik, UU Pers, serta peraturan terkait di bawahnya. Untuk yang nomor 10, bagaimana kalau insan pers mengetahui (bukan pemberitahuan dari polisi) ada penangkapan terhadap pelaku kejahatan? Apa wartawan dilarang melakukan peliputan? Tentu tidak tepat bila polisi menghalangi tugas jurnalistik. Karena ini jelas bertentangan dengan UU Pers. Apakah telegram Kapolri tersebut ada kaitannya dengan terungkapnya kekejian polisi ketika menembak mati 6 laskar FPI, penembakan hingga tewas wanita “teroris” di Mabes Polri, dan penyiksaa wartawan TEMPO Nurhadi di Surabaya? Tapi, sehari setelah terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram tersebut dengan menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 pada 6 April 2021. Yang berisi: menyatakan pencabutan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pernah mencatat, Polri diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran HAM sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas. “Selama satu tahun periode Juli 2019 sampai Juni 2020, tercatat ada 921 peristiwa kekerasan oleh kepolisian,” kata peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, Selasa (30/6/2020) Jakarta, seperti dilansir CNN Indonesia, Rabu (01/07/2020 07:36 WIB). Sepanjang 2020, personel polisi kerap menggebuki dan mengintimidasi demonstran. Bukan hanya terhadap mereka yang vandalis, tapi juga pada orang-orang yang sudah tidak melawan, warga biasa, atau bahkan wartawan yang meliput demonstrasi. Lembaga pengawas Kepolisian yang seharusnya menjadi evaluator juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak semua dugaan kasus itu berujung pada penyelidikan tuntas dan memberikan sanksi pada polisi. Salah satu yang benar-benar diusut tuntas adalah penembakan berujung kematian kepada mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Immawan Randi. Remaja usia 21 tahun itu meninggal setelah ditembak saat demontrasi #ReformasiDikorupsi. Selain Randi, satu mahasiswa lain yang meninggal adalah Muhammad Yusuf (19). Enam anggota polisi divonis bersalah berdasar pertimbangan dari Divisi Propam Polda Sultra yang merupakan pengawas internal kepolisian. Mereka tak dikenakan pasal pembunuhan. Tapi, hanya dianggap melanggar disiplin karena membawa dan menembakkan senjata tajam. Hukuman untuk 6 anggota Polres Kendari itu berupa teguran lisan, penundaan satu tahun kenaikan pangkat, dan dikurung selama 21 hari. Harus diakui, semua tindak kekerasan aparat kepolisian itu terungkap berkat jari-jemari para jurnalis. Itulah masalah yang kini dihadapi Jenderal Listyo! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
Membaca Fenomena Teroris, Dari Manifesto Sampai Surat Wasiat
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Bom Bunuh diri di Gereja Katedral Makasar (28/03) dan serangan teror di Markas Besar Kepolisian (31/03) menggugah penulis untuk membaca ulang fenomena teroris ini. Tidak mudah memang membaca fenomena teroris. Apalagi untuk memastikan kapan terorisme mulai ada. Tetapi secara historis, awal mula terorisme itu bisa ditelusuri dari wilayah Eropa. Dalam catatan sejarah, bisa dicermati dari abad ke-5 Masehi. Pada tahun 476 Masehi, dunia mencatat serangan teroris terhebat yang mampu meruntuhkan kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat waktu itu. Teroris yang meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat ini berasal dari salah satu suku di Eropa. Pada saat itu orang Romawi Barat menyebut suku tersebut sebagai Barbar. Peristiwa ini mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa. Peristiwa runtuhnya Romawi Barat ini menandai mulainya abad kegelapan (dark ages) di Eropa selama 1000 tahun. Pada masa terorisme awal ini, latar belakangnya bukan karena hal-hal yang bersifat sakral atau keagamaan, tetapi lebih karena persoalan keinginan untuk berkuasa dan semacam ada idiologi anarkisme di kaum barbar. Secara etimologis, istilah teror dan terorisme sesungguhnya baru mulai populer pada abad ke-18. Namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah fenomena baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) mengemukakan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis. Tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Prancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror, yang menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Sementara menurut David C Rapoport(1989), pendiri jurnal ilmiah Terrorism and Political Violence, dalam The Morality of Terrorism, membagi teror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious Terror, (2) State Terror, dan (3) Rebel Terror. Jika dilihat dari segi pelakunya, bisa dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu personal terrorism, collective terrorism, dan state terrorism. Contoh paling mudah untuk memahami religious terror adalah keadaan yang terjadi saat perang salib(1096-1271). Contoh state teror atau state terrorism adalah serangan besar-besaran Amerika Serikat terhadap warga sipil Afghanistan (2001) dan Iraq (2003). Contoh rebel terror dan atau collective terrorism adalah pemberontakan kelompok radikal dalam suatu negara. Sedangkan contoh personal terrorism adalah Gavrilo Princip yang menembak mati Archduke Franz Ferdinand pewaris tahta kerajaan Asutria Hungaria pada 28 Juni 1914 di Sarajevo. Diksi terorisme makin populer pada awal abad ke 21 ketika gedung World Trade Centre (WTC) New York yang merupakan simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh pada 11 september 2001 lalu. Peristiwa ini bagi bangsa Amerika disebut sebagai the day of infamy yang kedua setelah pengeboman Jepang atas Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 silam. Kalau peristiwa Pearl Harbour mendorong Amerika untuk menyerang Jepang dan menghancurkan Jepang pada Perang Dunia II, peristiwa WTC mendorong Amerika memerangi apa yang disebutnya sebagai Terorisme. Celakanya peristiwa tersebut sering dikait-kaitkan dengan agama. Satu kesimpulan yang patut dipertanyakan. Benarkah peristiwa WTC itu karena motif Agama? Logika Teroris Jika kita bongkar seluruh literatur agama sampai kitab sucinya, maka kita akan menemukan bahwa logika teroris itu bukan berasal dari logika agama. Sebab tidak ada satu dogma agama satu pun yang mengajarkan terorisme pada penganutnya. Pada titik ini, yang justru harus banyak didiskusikan yaitu mencari akar persoalan penyebab munculnya terorisme di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam konteks itu sejumlah pertanyaan patut diajukan. Bagaimana cara ilmuwan menemukan akar persoalan penyebab munculnya terorisme? Menggali argumen pelaku teror adalah salah satu solusinya. Cara terbaik menemukan data primer atau data yang bersumber dari pelaku utama teror adalah melalui salah satu teknik dalam metode penelitian kualitatif, yaitu melakukan wawancara mendalam (deept interview) terhadap pelaku teror. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan satupun hasil wawancara mendalam dan utuh terhadap para pelaku teror. Seringkali semua pelaku teror sudah mati sebelum digali logikanya melalui wawancara mendalam oleh para ilmuwan. Namun demikian, ada satu ilmuwan yang penulis baca dan realtif berhasil menemui mantan teroris berjumlah 60 orang. Meskipun wawancaranya tidak dijelaskan seberapa mendalam, tetapi mampu mengungkap secara psikologis. Tori DeAngelis mengutip temuan satu ilmuwan tersebut John Horgan, seorang Psikolog dan Direktur pada Center for Terrorism and Security Studies Amerika Serikat, setelah mewawancarai 60 teroris mengemukakan bahwa seseorang memilih jalan melakukan tindakan teror disebabkan karena tujuh hal penting. Pertama,) merasa marah, terasing, dan kehilangan hak. Kedua, meyakini bahwa keterlibatan politiknya tidak memungkinkan mengubah keadaan. Ketiga, merasakan ketidakadilan, Keempat, merasa perlu bertindak segera daripada mendiskusikan masalah. Kelima, mempercayai bahwa terlibat dalam kekerasan melawan negara merupakan hal yang dimaklumi. Keenam, ada yang mendukung dan bersimpati terhadap gerakan terorisme. Ketujuh, mempercayai akan mendapatkan penghargaan sosial dan psikologis (Tori DeAngelis, Understanding Terrorism, American Psychological Association, 2009:60). Alasan-alasan teroris yang ditemukan John Horgan d iatas, tidak satupun menyebutkan bahwa seseorang melakukan teror karena perintah agama. Manifesto & Surat Wasiat Sebagai akademisi, penulis meyakini bahwa masih terus dibutuhkan upaya untuk mengungkap dan mengurai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik prilaku para teroris. Setiap peristiwa teror yang terjadi di sejumlah negara ternyata memiliki alasan-alasan yang berbeda, dan latar belakang yang berbeda. Dalam kesempatan ini penulis coba mencermati dua peristiwa penting dari pelaku teror di dua negara yaitu di Selandia Baru (2019) dan di Indonesia (2021). Pelaku dari dua peristiwa itu sama-sama meninggalkan dokumen. Dari dua peristiwa itu ada data dokumen yang bisa dicermati, yaitu dari teroris di Selandia Baru meninggalkan manifesto dan dari teroris di Indonesia meninggalkan surat wasiat. Pada 15 maret 2019 terjadi serangan terhadap jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor dan Mushala Linwood di Christchurch, Selandia Baru. Peristiwa teror ini menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya. Peristiwa ini dinilai sangat kejam, diantaranya karena ada satu peristiwa menurut pengakuan terorisnya ia melakukan dua tembakan langsung ke bayi berusia tiga tahun yang sedang memegangi kaki ayahnya yang sudah meninggal. Pelaku teror ini bernama Brenton Tarrant, pria berusia 28 tahun asal Australia.Sebelum melakukan teror ia membuat manifesto setebal 73 halaman yang diberi judul “The Great Repalcement”. Dari manifesto yang ia buat inilah publik dunia mengetahui motifnya. Setidaknya ada tiga alasan Brenton Terrant melakukan kejahatan kemanusiaan paling kejam di dunia ini. Pertama, mengurangi imigran. Kedua, supremasi kulit putih. Ketiga, balas dendam. Alasan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan global. Di dokumen manifesto tersebut tidak ada alasan perintah agama yang mendasarinya melakukan tindakan teror. Bagaimana dengan alasan teroris di Indonesia melakukan aksi terornya? Ternyata di Indonesia beberapa kali teroris melakukan aksi teror selalu meninggalkan surat wasiat. Teroris terbaru yang meninggalkan surat wasiat adalah pelaku teror bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28/3) berinisial MLA ,dan teroris yang melakukan serangan ke Mabes polri (31/3) berinisial ZA. Uniknya, surat wasiat yang ditinggalkan terduga teroris tersebut memiliki kemiripan.Diantaranya diawal surat dibuka dengan permintaan maaf ke ibu. Lalu berpesan kepada orang tua agar tidak meninggalkan sholat. Kemudian bagian paling mirip adalah saat menyatakan bahwa dirinya menyayangi ibunya, tetapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah. Kedua pelaku juga sama-sama berpesan agar keluarganya berhenti meminjam uang di bank karena riba. Sulit menemukan motif dari surat wasiat yang ditinggalkan para teroris di Indonesia, kecuali seolah ia merasa jalan yang ia tempuh itu disayangi Allah. Fenomena membuat surat wasiat sebelum melakukan teror di Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh dua teroris tersebut. Tetapi juga dilakuka oleh teroris-teroris lainya. Diantaranya teroris yang ditangkap pada 10 Desember 2016 di Bekasi dan yang ditembak pada 25 Desember 2016 di Waduk Jatiluhur Purwakarta. Pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah, mengapa sejumlah teroris di Indonesia banyak yang buat surat wasiat? Mengapa ada yang memiliki kemiripan pada surat wasiatnya? Ada semacam satu pola perintah untuk membuat surat wasiat?. Kesamaan pola ini menunjukan kemungkinan adanya semacam satu mekanisme yang bekerja. Pada titik ini fenomena kemiripan surat wasiat teroris ini perlu diungkap sebagai salah satu celah untuk menelusuri lebih dalam. Adakah aktor-aktor kolektif terorganisisr yang memerintahkan atau semacam membuat tata cara melakukan teror dengan sebelumnya membuat surat wasiat? Atau mungkin saja telah disediakan contoh surat wasiat yang harus mereka siapkan? Untuk mengungkap semua itu perlu melibatkan para ahli yang memahami bahasa, psikologi, dan pola-pola terorisme. Untuk mengungkap terorisme dengan pola buat surat wasiat yang terjadi berkali-kali di Indonesia ini, sebaiknya pihak kepolisian segera melibatkan banyak ahli. Tujuannya agar ketemu sampai ke akar-akarnya. Apakah benar mereka aktor sendirian atau adah mekanisme kolektif yang bekerja? Lalu siapa mereka yang terlibat dalam mekanisme kolektif itu? Penulis adalah analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Wanita Jilbab Duduk di Motor Menghadap ke Kanan, Terorisme Atau Telorisme?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar terus diinterprestasi publik. Sebenarnya atau rekayasa. Negara dan aparat kecolongan atau ada yang sengaja nyolong-nyolong? Internasional, nasional, atau lokal, Islam atau Islam-islaman, teror atau teror-teroran. Terorisme atau telorisme? Semua pertanyaan itu menjadi pembicaan publik. Telor itu dihasilkan dari ayam, bebek, burung atau sejenisnya. Telor adalah produk dari kolaborasi atau konspirasi jantan dan betina. Dari hubungan intim. Telor bisa dimakan mentah, setengah matang, didadar, ceplok, atau lainnya. Ada telor asin ada telor pindang. Telornya diolah sesuai selera sipembuat. Telur busuk bisa juga untuk dilempar-lempar. Pemimpin yang pembohong dan pembuat susah rakyat pantas untuk dilempar telur busuk. Tuman. Telorisme adalah sesuatu yang dihasilkan dari konspirasi, yang diolah sesuai dengan kepentingan pemilik otoritas, baik otoritas budaya, ekonomi maupun politik. Karenanya bersifat multi purpose. Telorisme berupaya menjadikan suatu produk dapat digunakan dan diolah sesaat lalu selesai (split second) atau dapat digunakan berulang-ulang melalui penetasan (hatching). Pertanyaan besar atas kasus peledakan bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar adalah apakah itu teror atau telor, terorisme atau telorisme? Meninjau banyak kejanggalan dari kasus ini nampaknya lebih dekat pada telorisme. Di media sosial banyak netizen cerdas dan jeli dalam menganalisa dan menduga-duga. Suami istri nikah baru enam bulan, kok bunuh diri spektakuler dengan mainan bom. Memilih Gereja dinilai aneh untuk berjihad. Apalagi cuma di halaman Gereja. Mengapa tidak tempat karaoke, panti pijat, atau mungkin lokalisasi pelacuran. Jika orientasinya adalah daulah, ya istana atau gedung parlemen. Dalam agama, merusak rumah ibadah apa saja itu dilarang. Bahkan merusak apapun, bukanlah tuntunan agama. Walau dengan menggunakan atribut keagamaan bersorban atau berhijab. Jamaah Anshorud Daulah (JAD) adalah makhluk jadi-jadian yang dijadikan dan diproduksi oleh makhluk jahat berkualifikasi Iblis. Agama Islam yang dimain-mainkan. Afiliasi ISIS? ISIS itu buatan Yahudi, maka JAD adalah buatan institusi yang berafiliasi dengan Yahudi. Berjuang untuk Daulah? Mendirikan Daulah dengan berboncengan indehoy suami-istri, piknik ke Gereja? Filem kartun-kartunan saja tidak ada yang mau untuk bercerita seperti itu. Sebab pasti dijamin tidak akan laku. Netizen mengungkap kejanggalan foto viral sang teloris yang cepat dimuncukan. Kok wanita dibonceng menghadap kanan? Yang lazim, ya ke kiri. Hasil CCTV atau jepretan foto? Ranca bana. Lucu, ke Gereja berbusana muslim bersorban dan berhijab burqa, serta Gereja beraspal mulus. Tetapi foto bersepeda motor suami istri, ko bukan berjalan aspal? Ah ada-ada saja. Kurang canggih dong? Apapun itu, memunculkan sosok beridentitas muslim sebagai pelaku bom bunuh diri itu tendensius dan menghina umat Islam. Pengendali atau perekayasa memang Dajjal yang bukan saja berniat untuk mengadu-domba. Tetapi juga framing pembenaran tentang radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Yang hebat dan mengagumkan lagi, dengan langkah yang super cepat dari Makassar, lalu berlanjut dengan penggerebegan di Condet . Hasilnya menjadikan buku fisika dan kaos FPI sebagai barang bukti. Untung saja FPI sudah dibubarkan jadi kaosnya bisa beli dari loakan he he he Walaupun demikian, kita tidak perlu terlalu serius dalam membaca peristiwa yang berbau politik. Toh sering tidak nyambung hukum kausalitasnya atau berbeda das sollen dengan das seinnya. Bangsa ini diwanti-wanti harus mewaspadai bahaya radikalisme dan terorisme. Akan tetapi yang muncul adalah telorisme. Hidup teloooor.. ! Pemerhati adalah Politik dan Kebangsaan.
Investigas Bom Makassar Versus Investigas KM-50
By Asyari Usman Medan, FNN - Investigasi bom bunuh diri Makassar yang terjadi pada 28 Maret 2021 bisa jadi adalah salah satu yang terbaik dan tercepat di dunia. Juga yang paling efisien dan paling komprehensif. Rekaman CCTV ledakan berkualitas terbaik di dunia. Rekaman berwarna dan sangat “sharp” (tajam). Ada mobil warna merah, ada yang berwarna abu-abu metalik, ada warna hitam, warna putih, dlsb. Warna api ledakan pun cukup tajam. Sudut rekaman CCTV sangat bagus. Setelah beberapa mobil lewat yang disusul mobil putih, bom pun meledak. Beberpa detik setelah ledakan, lewat mobil abu-abu metalik. Mobil ini membanting ke kiri; kemungkinan refleksi pengendaranya. Tidak ada informasi tentang dari CCTV gedung mana rekaman ini diperoleh. Tapi, proses untuk mendapatkannya sangat cepat. Identifikasi pelaku pun, juga sangat kilat. Inisial pelaku terungkap dalam waktu tak sampai 2 x 24 jam. L dan YSF. Pasangan suami-isteri. Polisi bisa mengetahui kapan mereka menikah. Yaitu, baru enam bulan. Foto CCTV pelaku yang mengendaraai sepedamotor matik, sangat jelas. Bisa pula didapatkan surat wasiat berjihad yang ditulis pelaku kepada orang tuanya. Informasi mengenai sepedamotor yang digunakan pelaku, sangat lengkap. Nomor plat DD-5984-MD. Nomor ini juga sangat jelas di foto yang diambil dari CCTV. Berdasarkan informasi dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sulsel, sepeda motor matik merek Honda buatan 2014 Kepemilikan pertama. Pajak motor sudah habis masa berlakunya pada 20 Oktober 2020. Total tunggakan pajak adalah sekitar Rp224,040 termasuk pembayaran PKB pokok, PKB denda, SWDKLLJ pokok, dan SWDKLLJ denda. Ada kode ACH1M21B04AT di badan sepedamotor. Lengkap dan cepat sekali terkumpul informasi yang paling kecil sekalipun. Luar biasa. Dahsyat sekali kecepatan dan kelengkapan investigasi Pak Polisi untuk kasus bom Makassar. Patut diapresiasi. PEMBUNUHAN KM-50 Kita lihat kembali investigasi pembunuhan 6 pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) yang terjadi pada 7 Desember 2020. Penyelidikan dan penyidikan kasus ini sangat lambat. Padahal, Komnas HAM mengatakan ada tiga polisi yang terindikasi melakukan penembakan. Tetapi, sampai hari ini tiga polisi hanya dietetapkan sebagai terlapor. Entah apa alasan untuk tidak menjadikan mereka tersangka. Untuk menetapkan sebagai terlapor saja pun memakan waktu lama sekali. Padahal, Polisi mengakui bahwa anggota merekalah yang melakukan pembunuhan itu. Dan sudah punya bukti yang cukup. Hingga sekarang belum diungkap inisial ketiga polisi tsb. Ketika ditanyakan, para pejabat tinggi Kepolisian cenderung mengelak. Berat sekali mereka mengungkap nama-nama terlapor. Ketiga terlapor itu dibebastugaskan pada 10 Maret 2021. Hebatnya, proses penyelidikan yang bertele-tele ini pun dilanda kejanggalan yang menghina akal sehat. Seorang polisi terlapor dinyatakan meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal pada 4 Januari 2021. Tak kalah anehnya, pengumuman tewas itu baru dilakukan pada 25 Maret 2021. Lucunya, Polisi malah menetapkan 6 korban pembunuhan sebagai tersangka. Meskipun langsung di-SP3-kan (dihentikan penyidikannnya). Betul-betul proses suka-suka hati. Rekaman CCTV peristiwa pembunuhan di KM-50 tidak lengkap. Banyak yang rusak seperti dikatakan PT Jasa Marga yang mengelola Jalan Tol Jakarta Cikampek. Dan yang rusak itu terjadi di segmen-segmen jalan tol yang krusial dalam peristiwa pembunuhan sadis ini. Juga sangat aneh, Polisi belum berhasil mengungkap mobil Land Cruiser warna gelap yang hadir di lokasi pembunuhan KM-50. Komnas HAM, dalam termuannya, menganggap mobil ini sangat perlu diungkap siapa saja yang ada di dalamnya waktu itu. Yang juga sangat janggal adalah tindakan penguasa menghancurkan ‘rest area’ di KM-50. Padahal, di lokasi ini diduga berat bisa ditemukan banyak barang bukti yang terkait dengan pembunuhan itu. Jadi, begitulah perbedaan besar kemampuan Polisi dalam mengungkap bom Makassar dan pembunuhan 6 laskar pengawal HRS. Di Makassar, Polisi sangat cepat, cekat, mulus. Sedang di KM-50, Polisi lambat dan sulit. Ada apa?[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)