HUKUM

Pidana Mati Untuk Korupsi Bansos, Itu Sangat Logis

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Juliari tersangkut kasus dugaa korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian yang dipimpinnya. Ia akhirnya, entah minta berhenti, atau diberhentikan oleh Presiden dari jabatan itu. Geram dengan korupsi dana untuk oran miskin ini, maka bergemalah pidana mati untu para pelakunya. Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), begitu gema tuntutan itu. KPK tidak boleh kehilangan nyali untuk menuntut Juliari dan kawan-kawannya dengan pidana mati. Mereka dianggap keterlaluan. Bantuan negara untuk orang fakir dan miskin, ko masih dimakan juga. Keterlaluan biadab memang. Begini Kuncinya Apakah bansos kepada rakyat miskin, ditengah keadaan ekonomi yang sangat berantakan, dan daya beli masyarakat yang terus bergerak turun, dapat dijadikan justifikasi mengenakan pidana mati kepada para pelaku tindak pidana ini? Apa uang yang akan diserahkan kepada Juliari dapat dikategori uang suap? Bisakah uang itu dikategori sebagai keuangan negara? Ya uang negara? Apakah uang yang ketika disita penyidik KPK terlihat bertas-tas besar itu adalah uang negara? Mungkinkah secara hukum, uang yang terlihat berasal dari penyuap alias swasta, tak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai uang negara? Itulah soal-soal elementer hukum, yang harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Mengapa? Hukum korupsi itu punya kriteria jelas. Pelaku tindak pidana korupsi dapat dipidana mati bila terdapat dua syarat atau keadaan hukum. Pertama, uang yang dikorupsi harus uang yang secara hukum, nyata-nyata memiliki sifat sebagai uang negara. Kedua, tempus (waktu) terjadi tindak pidana (delic) itu harus bersifat absolut, terjadinya keadaan bencana. Soal-soal di atas harus dibuat terang hukumnya oleh Penyidik KPK, suka atau tidak. Tidak bisa main pakai pidana mati saja. Penyidik harus mampu menemukan keadaan-keadaan itu. Setelah itu, barulah muncul justifikasi untuk pidana mati. Tanpa keadaan-keadaan itu, tidak bisa dipakai hukum pidana mati. Apakah penyidik KPK punya kemampuan untuk menemukan sifat keuangan negara pada uang yang dipakai menyuap Juliari itu? Dengan cara apa penyidik memasuki dan menemukannya? Satu-satunya cara yang tepat secara hukum adalah melakukan interpretasi. Tetapi bukan interpretasi analogi. Sebab hukum pidana tidak memberi tempat untuk itu. Berbahaya risikonya. Lalu harus pakai interpretasi apa? Bagaimana step-stepnya menurut kaidah keilmuan hukum? Sukarkah soal ini? Tidak sama sekali. Penyidik, dalam kerangka itu, dapat menggunakan interpretasi tekstual dengan pendekatan ejusdem generis. Penyidik harus mengawali interpretasinya dengan memeriksa fakta. Lalu secara deduktif menginferensinya dengan kaidah hukum. Dalam inferensi ini, penyidik harus benar-benar memeriksa. Kata Ali, pejabat humas KPK, seperti dilansir Liputan6.com (27/1/2021) KPK telah memeriksa Budi Pamungkas. Budi diminta keterangan terkait keikutsertaan perusahaannya dalam menyediakan paket bansos. Tidak itu saja. Budi juga dimintai keterangan tentang teknis pembayaran atas kerjasama pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos. Temukan Uang Negara Keterangan ini menaik. Apanya yang menarik? Proyek ini telah berjalan. Pembayaran telah dilakukan. Kenyataan ini bernilai sebagai penentu. Dimana letak penentunya? Proyek ini telah berjalan, dan uang negara telah keluar dari kas negara untuk mebayar paket bansos. Masalahnya sekarang uang swastakah yang mau diberikan kepada Juliari? Uang itu murni berasal dari pengusha? Apakah uang itu dapat dikategorikan sebagai keuntungan pengusaha? Sebab memperoleh keuntungan dalam berusaha itu soal biasa. Masalahnya, apakah keuntungan itu turut dirancang oleh pejabat pengguna barang dan jasa itu atau tidak? Ini harus dibuat sejelas-jelasnya oleh penyidik KPK. Agar jelas, maka tidak ada pilihan lain, selain soal-soal berikut dibuat jelas oleh penyidik KPK. Apakah jenis dan jumlah barang memiliki nilai uang setara Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau tidak? Apakah jenis dan jumlah barang bantuan itu tidak setara dengan nilai uangnya Rp. 300.000,- tetapi tetap dihargai setara Rp.300.000,- Sekali lagi, soal-soal diatas harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Bila dapat dilakukan secara meyakinkan oleh KPK, maka dapat diketahui ada atau tidak mark-up harga. Semoga tidak ada mark-up. Bagaimana kalau ada mark-up? Apa konsekuensi hukumnya? Konsekuensinya penyidik harus memperoleh fakta yang secara jelas menerangkan kesesuaian angka Rp.300.000 dengan jenis dan jumlah barang. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian antara angka Rp. 300.000 dengan jenis dan jumlah barang, maka penyidik menggunakan fakta itu sebagai dasar konstruksi tentang sifat jumlah uang atas harga barang itu. Konstruksinya bisa seperti ini. Agar terlihat tak melawan hukum, maka selisih harga barang, yang seharusnya tidak perlu ada atau terjadi, tetapi tetap diadakan. Lalu diintegtrasikan ke dalam anggaran bansos. Cara itu menjadi pijakan penyidik memasuki konstruksi atas sifat uang itu. Itu fase krusial. Pada titik ini, suka atau tidak penyidik harus melakukan interpretasi terhadap uang Bansos perpaket itu. Adakah selisih lebih didalamnya? Dalam hal ada selisih lebih di dalam anggaran Bansos perpaket, maka tersedia jalan kristalisasi sifat hukum uan itu sebagai keuangan negara. Penyidik, mau tau mau harus melakukan interpretasi. Metodenya tak mungkin lain selain tekstualis. Interpretasi, tidak lain merupakan kontruksi menurut istilah Profesor Sudikno Mertokusumo menemukan hukum. Ini sangat eksplosif. Lalu bagaimana inferensinya? Inferensinya begini. Selisih lebih uang, sebut saja Rp. 10.000. (sepuluh ribu rupiah) per paket, sebagai fokus interpretasi tekstual. Pendekatannya ejusdem generis. Pendekatan ini mengharuskan penyidik fokus pada terminologi “keuangan negara”. Terminologi ini jelas didefenisikan pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pada titik itu penyidik harus fokus menemukan sifat selisih uang sebesar Rp. 10.000,- per paket. Bila nyata-nyata uang selisih lebih sebesar Rp. 10.000,- yang itu dimaksudkan untuk dijatahi kepada Juliari, terlepas dari jumlah akumulatifnya, maka interpretasi tekstualis dengan pendekatan ejusdem generis jadi begini. Uang sebesar Rp.10.000. itu adalah spesis dari uang yang dianggarkan untuk bansos. Jadi, total uang untuk kegiatan Bansos, yang sebesar Rp. 300.000. per paket itu adalah genusnya. Sedangkan uang Rp 10.000,- per paket, yang berasal dari anggaran bansos ini adalah spesisnya. Kongklusinya adalah uang sebesar Rp. 10.000,- itu merupakan spesis dari genus (uang untuk seluruh anggaran bansos sebesar Rp. 300.000,- per paket). Konsekuensi konstruksi hukumnya menjadi begini, uang sebesar Rp. 10.000,- yang merupakan selisih lebih dari harga yang seharusnya, mutlak memiliki sifat hukum sebagai keuangan negara. Hukumnya jelas kasus ini bukan penyuapan. Peluang Terbuka Lebar KPK seperti dilansir (liputan6.com) sedang menyelisik peran dan arahan khusus dari mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial tahun anggaran 2020. Penyidik KPK memeriksa Ex ADC Mensos Eko Budi Santoso pada hari ini, Rabu (27/1/2021). Eko diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Juliari Batubara. "Eko Budi Santoso didalami pengetahuannya terkait peran dan arahan khusus tersangka Juliari Peter Batubara. Peran dalam hal apa? Penentuan jenis dan jumlah barang? Termasuk harganya? Dua hal ini, saya cukup yakin, menjadi episentrum penyidikan KPK. Tetapi saya juga berharap penyidik KPK tidak menemukan fakta itu. Sebab bila penyidik menemukan fakta itu, maka kelebihan harga Rp. 10.000 ,- per paket akan menjadi terang. Terang dalam makna uang Rp.10.000,- yang menjadi selisih lebih itu dirancang secara sadar, atau dimaksudkan untuk dikembalikan kepada pejabat. Hukumnya jelas. Hukumnya adalah tindak pidana. Sekali lagi, ini bukan penyuapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana ini lebih tepat diterapkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini membenarkan terdakwanya dituntut dengan pidana mati. Ayat (2) pasal ini mengatur norma adanya keadaan tertentu. Apakah pandemi Covid-19, dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai bencana non alam atau tidak? Secara hukum itu tidak menentukan determinatif. Mengapa? Kenyataannya, pandemi itu nyata-nyata ada. Ini telah menjadi kenyataan umum. Keadaan itu juga menjadi dasar Mensos keluarkan paket Bansos. Masalahnya bagaimana memberi nilai dan sifat hukum terhadap kenyataan (pandemi covid-19) itu? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Penembakan di KM 50 Jangan Seperti Kasus Novel Baswedan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sejak hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dilaporkan kepada Presiden dua minggu yang lalu hingga kini terlihat adama-yem saja. Tidak ada kebijakan atau perintah apapun yang diberikan Presiden untuk menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI tersebut. Jika ada itikad baik dan serius, maka semestinya sudah ada langkah tindak lanjut dari pelaporan kepada Presiden. Kini bola berada di tangan Presiden. Mau diapakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menghebokan jagad politik dan hukum Indonesia itu, terserah pada Presiden. Mau didiamkan saja hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut? Ataukah akan ditindaklanjuti dengan penyidikan yang menetapkan para pelaku penembakan sebagai tersangka? Peristiwa yang dikenal dengan “kasus kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)” ini, memang sejak awal penanganan oleh Komnas HAM sudah dinilai "bermasalah". Karena banyak kejanggalan yang dilakukan Komnas HAM dalam menyimpulkan hasil penyelidikan dan narasi rekomendasi. Fakta yang disampaikan pun terpotong-potong dan kurang lengkap. Komnas HAM membuat kesimpulan dengan loncat sana-loncat sini. Tidak runtun mengikuti temuan yang didapat di lapangan. Saking kecewanya, publik menginginkan adanya evaluasi dan pendalaman ulang kerja Komnas HAM yang tersksan sebagai hasil negoisiasi dan barter terhadap kematian orang. Kekecewaan itu sampai pada usul agar Komnas HAM dibubarkan saja. Hingga kini tidak diumumkan siapa-siapa saja pelaku penembakan yang telah melakukan pelanggaran HAM tersebut? Komnas HAM hanya mengumumkan bahwa pelakukan penmabakan adalah anggota Kepolisian. Padahal untuk menemukan pelakukan penembakan adalah pekerjaan paling mudah dan gampang. Namun oleh Komnas HAM dibuat menjadi berbelit-belit. Jadi teringat pada kasus penyidik sinior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dulu. Untuk menemukan siapa pelaku penyiram air keras ke mata Novel Baswedan, rupanya tidak gampang. Butuh waktu sampai tiga tahun lebih untuk menemukan pelakunya. Ternyata pelakunya adalah anggota Polisi sendiri. Sungguh sangat ironi. Untuk menemukan pelaku kejahatan pidana yang dilakukan anggota polisi, seperti yang terjadi pada Novel Baswedan, rupanya tidak mudah. Sangat sulit, sebab butuh waktu seribu hari lebih atau bertahun-tahun. Namun andaikan pelanggaran hukum itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi terlihat bekerja sangat hebat, cepat dan canggih untuk menemukan pelakunya. Untuk kasus pidana teroris misalnya, polisi tampil sangat menghebokan. Namun berbeda antara langit dan bumi dengan kasus Novel Baswedan. Ujung dari cerita model Novel Baswedan ini adalah vonis hakim untuk pidana penjara selama 1,5 dan 2 tahun. Sementara aktor intelektual "bablas angine". Semoga kasus Novel Baswedan ini tidak terulah pada penembakan enam anggota Laskar FPI. Semoga saja tidak membutuhkan waktu tiga tahun juga untuk mengumumkan nama-nama pelaku pembunuh enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Novel Baswedan. Haruskah dibawa berputar-putar dahulu hingga masa pemerintahan Jokowi usai? Atau sedang disusun skenario ceritra novel yang menarik dan terlihat logis untuk menyelamatkan wajah Kepolisian, instansi lain, dan presiden sendiri? Kejujuran itu lebih baik. Yang salah nyatakan salah, kalau ditutupi juga toh sejarah akan menjadi hakim kelak. Lebih baik buka saat ini, lalu selesailah masalah satu persatu. Jangan ditumpuk hingga berkarat. Sebab peristiwanya akan dicatat dengan tinta hitam nantinya sebagai rezim yang paling buruk dalam sejarah hukum Republik Indonesia. Tertunda, tetapi menyakitkan diri dan untuk anak cucu. Pembunuhan terhadao enam anggota laskar FPI disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM. Itu artinya bukan pembunuhan biasa. Harus cepat ditindaklanjuti dengan proses hukum. Jika mengambang tentu akan dikategorikan bahwa negara itu "unwilling" dan “unable". Artinya berlaku kepedulian universal yang menyebabkan lembaga peradilan internasional wajar dan harus ikut turun tangan. Kasus yang terjadi di kilometer 50 tol Japek jangan seperti Novel Baswedan. Apakah Novel Baswedan atau ceritra Novel yang memang bertele-tele? Masyarakat dunia sudah membaca duduk perkaranya. Semua terhalang hanya oleh kemauan politik yang terkesan sedang ditutup-tutupi. Pembunuhan oleh aparat ini terlalu sarat dengan bahasa politik. Political language is designed to make lies sound thruthful and murder respectable. Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan itu terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihargai (George Orwell). Untuk itu, kasus kilometer 50 tol Japek ini harus segera tuntas, jangan menjadi narasi konspirasi politik yang dibuat bertele-tele. Penjahat kemanusiaan harus segera dihukum berat ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Abu Janda Ditangkap? Anda Pasti Sedang Bermimpi atau Berkhayal

by Asyari Usman Medan, FNN - Tiba-tiba saja banyak yang berharap, dan yakin, Polisi kali ini akan menjebloskan Permadi Arya alias Abu Janda ke penjara. Alasannya banyak. Si Abu sudah sangat keterlaluan. Kali ini dia diduga melakukan “multiple crimes” (banyak tindak pidana). Rasis (SARA) terhadap tokoh Papua, Natalius Pigai. Terus, dia juga dituduh menistakan Islam sebagai agama arogan. Tuduhan-tuduhan ini tentu sangat serius. Khususnya perbuatan rasis terhadap Pigai. Ini bisa mengancam persatuan bangsa dan negara. Si Abu tak bisa mengelak lagi. Begitu juga kasus Islam agama arogan. Ini pun sangat berbahaya kalau dibiarkan. Plus, kasus-kasus peti-es yang cukup banyak selama ini. Kesimpulannya: pasti dia kena kali ini. Itu dari sisi dugaan tindak pidana. Dari sisi pelapor, lebih seru lagi. Membuat semua orang bersemangat. Seolah-oleh si Abu tak berkutik. Ketua Umum KNPI Haris Pertama melaporkan ke Polisi. Semua parpol di DPR mendukung, kecuali satu-dua. Belum lagi komentar-komentar keras dari para tokoh NU –ormas yang selama ini dibawa-bawa si Abu sebagai tempat berlindung. Ketua KNPI tidak tanggung-tanggung. Dia akan mundur kalau Abu Janda tidak diproses. Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini ikut memojokkan si Abu. Terus, Bu Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan) ikut juga memberatkan pegiat medsos yang sangat tak disukai banyak orang itu. Bu Susi mengajak netizen agar ‘unfollow’ akun Abu Janda. Tentu pukulan Bu Susi ini mencerminkan semua orang dibuat resah oleh Abu Janda. Pokoknya, kali ini Abu Janda selesai. Klar. Tak mungkin lolos lagi. Tambahan pula, dia sendiri menghapus cuitan rasis terhadap Pigai. Ini dianggap sebagai bentuk ketakutan si Abu. Dengan alasan-alasan inilah publik berharap Polisi akan memborgol si Abu sambil pakai rompi oranye. Publik mungkin tidak sekadar berharap. Tapi yakin akan diproses. Masyarakat begitu bersemangat. Tak lama lagi Abu Janda meringkuk di penjara. Nah, ini dia. Sebaiknya, jangan dulu keluarkan harapan Anda itu. Kalau pun dikeluarkan, pelan-pelan dulu. Jangan cepat-cepat percaya Abu Janda kali ini akan ditangkap. Kali ini dia tak bisa berkelit. Karena sudah sangat keterlaluan. Kalau sekadar bermimpi dia masuk penjara, wajar. Namanya juga mengimpikan sesuatu. Apalagi kalau cuma berhayal dia masuk penjara. Ini lebih pas lagi. Kenapa pesimis sekali, Bang? Lha, rupanya saudara-saudari semua optimis? Anda percaya Polisi akan berubah? Anda percaya Listyo Sigit Prabowo yang kemarin-kemarin mengurusi kasus-kasus buzzer dalam posisi Kabareskrim, tiba-tiba hari ini berubah drastis karena dia sekarang duduk sebagai Kapolri? Anda yakin Polisi akan sim-salabim, tidak lagi menjadi alat politik para penguasa? Anda yakin Listyo Sigit akan blokir nomor HP orang-orang kuat? Apakah mungkin Listyo menolak arahan para pelindung si Abu? Sekali lagi, kalau sebatas bermimpi Abu Janda masuk penjara, bisa dipahami. Karena sudah begitu lama perasaan Anda terpenda, ingin melihat kebal hukumnya si Abu, luntur. Tentu tidak salah berhalusinasi. Silakan saja. Gratis, kok. Cuma, untuk melihat si Abu masuk penjara tampaknya posisi panggang masih terlalu jauh dari api. Tak bakalan matang. Perlu 4-5 tahun baru masak. Harus tahan lapar sampai 2025. Atau, tak usah dipanggang kalau apinya kejauhan. Bisa digulai asam. Bisa juga disambal balado. Yang dikhawatirkan, Anda semua tak sabar. Panggangannya Anda giling, Anda jadikan makanan ternak.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Menunggu Langkah Polisi Atas Kegilaan Abu Janda

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Apakah Abu Janda itu aset negara? Hueeeek...! Sudah pasti bukan. Tetapi anehnya Abu Janda dengan kegilaannya ini seperti dipelihara oleh negara. Apakah negara mendapatkan value dari kegialaan Abu Janda? Juga tidak. Paling-paling yang mendapatkan keuntungan adalah kekuasaan dan mereka yang mencari perlindungan di sekitar kekuasaan. Selebihnya tidak ada manfaat apa-apa dari Abu Janda, selain kegaduhan dan perpecahan diantara sesama anak bangsa yang sengaja dilalukan Abu Janda. Walau diserang habis-habisan, bahkan dilapor-laporkan. Namun terkesan Abu Janda tetap saja diproteksi. Kini dengan dibela Denny Siregar, Abu Janda terus bekoar-koar seperti orang paling benar sendiri di republik ini. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pratama pun diancam-ancam Abu Janda. Badut istana berjoget-joget dengan sesumbar bahwa dirinya kebal hukum. Semakin membuktikan bahwa hukam hanya tegak kepada mereka yang menjadi opisisi kepada penguasa. Tidak kepada mereka yang mendukung penguasa. Kapolri Jendral Listyo Sigit diuji, apakah bisa membawa Polri menjadi penegak hukum yang sebenarnya? Atau hanya penegak kepentingan kekuasaan. Fakta hukum yang ada adalah Abu Janda sangat layak untuk diproses secara hukum, dan harusnya ditahan. Menghina agama, melecehkan aktivis, rasis dan menantang opini dengan akting bersama zionis. Membiarkan bebas Abu Janda, sama saja menjadikan Polri sebagai cerminan dari kegilaan seorang pembual, peleceh dan pemecah-belah anak bangsa. Bukan persatuan yang bakal ditemukan dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tekanan permasalahan bangsa hari ini seperti ekonomi, kesehatan dan sosial. Karena Abu Janda terus dan terus memproduksi perpecahan. Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PW NU) DKI Jakarta merasa gerah oleh ulah Abu Janda. Banyak prilakuknya yang merugikan NU. Gerakan Pemuda (GP) Ansor diminta oleh NU memanggil Abu Janda untuk mengklarifikasi keanggotaannya sebagai anggota Banser. Perlu dilakukan klarifikasi atas status sebagai anggota Banser. Jika iya, Abu Janda diminta untuk segera dinonaktifkan. Katib Syuriah PB NU sudah menilai Abu Janda banyak merugikan NU. Kulminasi dari pernyataan Abu Janda yang nyeleneh adalah soal rasis "evolusi" yang ditujukan kepada pegiat Hak Asasi Manusia (HAK) dan Keadilan Natalius Pigai. Dia juga menyebut sebutan "Islam arogan". Partai-partai politik sudah mendesak penegakkan hukum atas kasus Abu Janda, demikian juga dengan suara DPR. Ternyata dukungan pelaporan oleh KNPI soal rasis dan penistaan agama semakin meluas. Pemuda Muhammadiyah, Hima Persis, terakhir Ikatan Pemuda Tionghoa pun ikut mengecam perilaku rasis Abu Janda, dan mendukung pelaporan yang dilakukan Ketua Umum DPP KNPI Haris Pratama. Tinggal menunggu sikap tegas dari Bareskrim Polri saja. Nampaknya dengan penahanan Ambroncius Nababan untuk kasus rasis yang sama, menimbulkan harapan bahwa Abu Janda bisa jadi abu-abuan sekarang ini. Kena batunya karena mencoba-coba untuk bermain dan berurusan dengan Natalius Pigai, tokoh Papua yang menjadi aktivis ’98 sejak kuliah di Yagyakarta. Apalagi ikut menyerang agama. Jika Abu Janda akhirnya "dilepas" negara dengan diproses hukum, maka akan berdampak psikologis kepada para rekan-rekannya "se-ideologis". Membuat gemetar sedikit. Umat Islam Tasikmalaya akan lebih gencar menagih hutang laporan polisi terhadap Denny Siregar yang menghina santri Hafidz Qur’an. Ade Armando juga memiliki banyak tabungan kasus keumatan. Abu Janda dengan segala kegilaan gaya dan ucapannya, semoga saja segera terhenti. Negara memang perlu menamatkan riwayat Abu Janda. Biarkan saja dia menikmati status baru sebagai "janda yang terpenjara". Agar sadar bahwa dirinya tidak kebal hukum negeri ini. Hukum pun sebal padanya. Apalagi manusia yang ber-Pancasila dengan konsensus 18 Agustus 1945. Ada pepatah "bermain api hangus, bermain air basah". Risiko penjara adalah akibat ulah sendiri dari sang badut istana yang bernama Abu Janda alias Permadi Arya. Rakyat menunggu untuk menyaksikan langkah Kapolri bari Jendral Listyo Sigit yang masih merangkap sebagai Kabareskrim Polri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pigai, Aktivis ‘98 Hebat, Top Markotop dan Mengagumkan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Akhirnya Ambroncius Nababan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam kasus penghinaan kepada Natalius Pigai. Ambroncius sendiri sudah meminta maaf kepada Pigai. Penetapan status tersangka ini mengejutkan di tengah hukum yang biasa berpihak hanya kepada pendung penguasa. Natalius Pigai adalah tokoh kemanusiaan dan mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tokoh Papua ini juga yang dikenal sangat kritis kepada pemerintah sejak pertengahan priode pertama Jokowi menjabat sebagai Presiden. Dalam membela masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan kemanusiaan, Pigai tidak perduli pada latar belakang agama dan status sosial. Siapun pejabat negara yang berprilaku melanggar HAM dan hukum, dipastikan akan dilawan oleh Pigai yang aktivis 98 di Yogyakarta ini. Bahkan pernah tampail paling depan sebagai Ketua Tim Pembela ulama dan Habib Rizieq Shihab (HRS) ketika dikriminalisasi dulu, sebelum akhirnya hijrah ke Mekah Arab Saudi selama dua setengah tahun. Hebat, top markotop dan mengagungkan Pigai. Biasanya laporan kepada "lawan penguasa" dari tokoh kritis diabaikan oleh Kepolisian. Bahkan sangat sering laporannnya ditolak. Apalagi Ambroncius Nababan ini adalah Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin (Projomin) yang tentu masuk dalam klaster "kebal hukum". Namun kali ini Kepolisian bersikap lain. Tampaknya mau menegakan hukum kepada siapa saja. Mudah-mudahan semoga. Akun Facebook yang memuat foto Pigai dengan Gorilla konon sudah banyak beredar. Ambroncius Nababan hanya ikut-ikutan membuat narasi tentang Pigai dan Gorilla. Ditambah alasan pembelaan kepada Pemerintah atas penolakan Pigai terhadap vaksin Sinovac. Namun masalah ini menjadi serius, karena berkaitan dengan penghinaan kepada Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Persoalan Pigai dan Gorilla ini juga sangat tidak etis dan pantas. Sebab sudah menyentuh persoalan kemanusiaan yang disamakan dengan binatang. Hanya orang yang tidak berprikemanusiaan yang menyamakan manusia dengan binatang. Dengan demikian, orang tersebut tidak Pancasilais, sehingga tidak pantas hidup di negara dengan Falsafah Pancasila. Sikap Bareskrim Polri yang menetapkan Ambroncius Nababan sebagai tersangka, dan langsung ditahan menimbulkan tanda tanya. Apakah ini murni hukum menerobos budaya diskriminatif atau memang ada ketakutan politik soal rasisme yang dihubungkan dengan Papua? Takut juangan sampai peristiwa yang pernah terjadi Surabaya beberapa tahun lalu, yang mengakibatkan protes keras dan masif dari masyarakat Papua terulang kembali? Pigai selalu berteriak keras semasa Pemerintahan Jokowi terkait masalah-masalah yang berkaitan erat dengan pembunuhan, pembantaian, dan pelanggaran HAM di Papua. Pigai juga melawan mengkritik keras setiap prilaku yang berkaitan dengan rasisme kepada siapapun. Mabes Polri mewanti-wanti agar warga Papua tidak melakukan tindak pidana akibat isu rasisme ini. Dugaan nyali ciut atas Papua ini pantas muncul. Karena rasisme adalah isu yang tergolong sensitif. Isu yang dapat saja menggumpal hingga berskala Internasional. Gerakan separatisme juga semakin menguat sampai ada deklarasi Negara Papua Barat oleh Benny Wenda. Disamping itu Papua terus menjadi "mainan" kepentingan negara tertentu seperti Australia dan Amerika. Natalius Pigai memang hebat, top markotop dan mengagumkan. Sekarang akibat kasusnya, justru mendapat simpati warga Papua. Pigai bukan tokoh separatis. Namun Pigai tokoh yang sangat ansionalis. Rasa nasionalismenya yang tinggi membuat dirinya menjadi tokoh yang disegani. Sering berkorban untuk kepentingan orang lain. Pigai juga pelaku sejarah dan aktivis ‘98 tulen dari Yogyakarta. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) Hendropriyono pun dibuat gelisah oleh sentilannya soal ancaman kepada eks Front Pembela Islam (FPI). Pembelaan Pigai kepada umat Islam mendapat apresiasi sangat tinggi. Pigai konsisten dengan pembelaan HAM dan keadilan tanpa mau melihat siapa dan apa latar belakang orang yang dibela tersebut. Soal pembantaian enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) Pigai dengan tegas dan jelas mengatakan sebagai “pelanggaran HAM berat”. Menurut Pigai, sangat mudah untuk membuktikan terjadinya “pelanggaran HAM berat” oleh aparat kepolisian. Namun snagat disayangkan, karena hasil penyelidiakan Komnas HAM tidak berani menyimpulkan terjadi “pelanggaran HAM berat”. Cuitan Twitter akun pribadi Pigai menohok PDIP dan Jokowi. Ketika menyatakan dari 34 menteri anggota kabinet Pemerintahan Jokowi, tidak satupun yang berasal dari putra Papua. Pigai juga menyatakan di "Jaman Jokowi dan PDIP yang memproduksi rasisme secara masif". Sikap dan pernyataan kritis dari Pigai ini sering membuat kuping penguasa panas. Salah satunya dampaknya adalah Ambroncius Nababan ditetapkan sebagai tersangka. Kini Ketum Jokowi-Amin telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mabes Polri. Proses lanjutan akan terus dipantau. Apakah Ambroncius Nababan benar-benar obyektif diadili atau proses hanya berfungsi sebagai peredam saja? Publik tentu saja akan mengikuti penangan masalah ini dengan serius. Apakah akan berunjung di pengadilan? Kita tunggu. Apapun itu, Natalius Pigai telah sukses membuat ciut nyali para pendukung Jokowi dalam membela perjalanan pemerintah Jokowi akibat berbagai masalah sosial ekonomi. Apalagi kegagalan pemerintahan Jokowi kini menumpuk di bidang kesehatan, terutama pengedalian pandemi covid-19 yang nyata-nyata gagal. Angka rakyat yang positif covid -19 menembus satu juta orang. Kenyataan ini semakin diperparah dengan resesi ekonomi yang terjun bebas dengan roket ke bawah, dengan minus. Bank Indonesia yang semula ada rencana mencetak uang Rp. 300 trilun kemungkinan batal, karena terlanjur dibocorkan oleh FNN.co.id. Bank Indonesia kemudian membatah rencana mencetak uang Rp. 300 triliun itu. Natalius Pigai memang tokoh muda bangsa dan aktivis ’98 yang fenomenal. Tetap konsisten, dan tampil apa adanya sebagai aktivis dan anak Papua. Tidak ada yang dibuat-buat dan direkayasa. Namun seorang Pigai berhasil memporak-porandakan pertahanan lawan dari jendral sampai relawan. Harap tetap menjadi kesahatan bung Pigai. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi bung Pigai dan keluarga untuk selalu mengawal dan menjaga tegaknya penghormatan kepada kemanusiaan manusia dan keadilan di Indonesia. Bung Pigai adalah “mutiara hitam dari upuk timur Indonesia”. Mutiara kalau dilempar ke lumpur, lalu diangkat lagi, tetap saja mutiara. Mutiara yang tidak pernah berubah warna, bentuk dan makna. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Presiden & Kapolri Baru, Kunci Penuntasan Pembunuhan Laskar FPI

by Dr. Margarito Kamis SH. Mhum. Ternate FNN - Terbunuhnya enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) tanggal 7 Desember 2020, hampir dua bulan yang lalu, memunculkan dua fakta. Fakta yang ditemukan oleh Polri, dan fakta yang ditemukan Kimisi Nasiona Hak Asasi Manusia (Komnas Ham). Kedua temuan itu berbeda pada sejumlah aspek krusialnya. Fakta itu muncul pada waktu yang berbeda. Fakta yang ditemukan Polisi mendahului fakta yang ditemukan Komnas Ham. Fakta yang ditemukan Polisi terlihat selaras dengan pernyataan Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Esensi pernyataannya adalah Laskar menyerang petugas. Serangan itu membahayakan keselamatan petugas, sehingga terjadi baku tembak. Baku tembak versi Kapolda itulah yang direspon Bareskrim, yang dipimpim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Mereka telah melakukan reskonstruksi. Aspek Non Hukum Rekonstruksi terlihat berbasis kasus menurut Muhamad Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya. Sekarang ini buntu. Ini disebabkan Komnas Ham menemukan kenyataan yang berbeda. Empat orang mati setelah diangkut dengan mobil petugas. Dua lainnya mati, entah saat baku tembak atau setelah jedah. Empat orang yang mati setelah diangkut dengan mobil petugas, jelas. Unlawfull killing. Dua lainnya tidak diberi sifat lawfull atau unlawfull killing. Apapun itu, kematian mereka mewakili satu kecenderungan. Bahkan pola kematian mereka yan teridentifiksi kritis terhadap pemerintah. Kematian itu, untuk alasan apapun, tidak bisa dilepaskan dari gairah pemerintah menandai Habib Rizieq Shihab (HRS). Nampaknya HRS ditandai sebagai oposan tulen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Terus saja begitu setelah HRS kembali dari mengasingkan dirinya ke Arab Saudi. Segera setelah tiba di tanah air, HRS yang kritis ini menggaungkan apa yang beliau sebut “revolusi ahlak.” Entah untuk merealisasikan hasratnya atau bukan, terlihat secara empiris HRS melakukan serangkaian kegiatan. Sangat akseleratif. Setelah merayakan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, yang dihadiri lautan kecil manusia di Petamburan, beliau bergerak ke Mega Medung. Mirip di Petamburan, sambutan orang di Mega Mendung juga terlihat bagai lautan kecil. Di Mega Mendung, entah saat itu juga atau setelahnya, HRS telah berada dalam pantauan aparatur kepolisian. Polda Metro nampaknya menemukan justifikasi untuk mengintensifkan pemantauan itu. Sadar atau tidak, diperhitungkan atau tidak oleh Habib, ketidakhadiranya memenuhi penggilan penyidik Polda Metro dalam kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan, menjadi justifikasi Polda. Waktu terus berjalan, hingga tiba pada tanggal 14 Januari 2021, Komnas Ham menyerahkan laporan penyelidikannya ke Presiden. Apa respon Presiden? Presiden tidak menyatakan sendiri sikapnya. Melainkan sikap Presiden dinyatakan oleh Menko Polhukam. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan kalau Presiden Joko Widodo sudah menerima kesimpulan maupun rekomendasi Komnas HAM terkait insiden “baku tembak” (tanda petik dari saya) laskar FPI dengan aparat kepolisian. Tadi Presiden sudah menerima laporan investigasi dengan semua rekomendasinya. (Lihat CNN. Indonesia.com. 14/1/2021). Apa betul Presiden memiliki persespi peristiwa ini sebagai baku tembak? Baku tembak atau menembak? Semoga tidak begitu. Bila betul begitu, maka tantangan pengungkapan kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab kenyataannya, tidak persis sama dengan persepsi Presiden, yang dinyatakan oleh Menko Polhukam itu. Dalam konfrensi pers penyampaian kesimpulan investigasi mereka, Komnas membagi, dalam esensinya, area peristiwa kematian keenam orang laskar FPI ini. Dua orang mati, entah pada saat kejar-kejaran, serempet-menyerempet dan seruduk-menyeruduk, terutama disepanjang jalan Internasional Karawang Barat, diduga hingga Kilometer 49, dan berakhir di Kilometer 50. Komnas menyebut bahwa di Kilometer m 50 Tol Jakarta Cikampek (Japek), 2 (dua) orang anggota Laksus ditemukan dalam kondisi meninggal. Empat lainnya masih hidup, dan dibawa dalam keadaan hidup oleh petugas Kepolisian. Dua orang mati saat baku tembak didalam mobil? Empat orang itu ditembak di dalam mobil petugas yang membawa mereka dari Kilometer 50 menuju Polda Metro Jaya. Penembakan ini, menurut Komnas Ham merupakan respon petugas atas sikap keempatnya melawan petugas. Sikap keempat almarhum, yang hanya diterangkan oleh petugas itu, membahayakan keselamatan petugas, (Lihat Press Rilis Komnas Ham, tanggal 8 Januari 2021). Kalau begitu, mengapa Presiden tidak bicara sendiri? Mengapa sikap Presiden disampaikan oleh Menko Polhukam? Apa yang membuat Presiden tidak menyampaikan sendiri sikapnya? Ini menarik dianalisis. Transparansi penyidikan kasus ini, mungkin akan menjadi sesuatu yang sangat sulit diwujudkan. Sikap Presiden, suka atau tidak harus dipertimbangkan. Presiden boleh saja bicara buka kasus ini setuntas-tuntasnya. Tetapi masalahnya tidak disitu. Masalahnya mengapa lebih dari sebulan tidak ada instruksi spefisik kepada Kapolri dan Kabareskrim untuk mengusut secepat, tepat dan transparan kasus ini? Setidaknya instruksi itu dikeluarkan segera setelah Komnas menyampaikan temuannya ke masyarakat. Apakah kelambanan itu menjadi cerminan Presiden memiliki persepsi FPI sebagai Ormas yang memecah belah? Berkarakter rasis? Berada di atas negara? Apakah Presiden memiliki persepsi FPI sebagai Ormas yang terus-terusan menyusahkan Presiden? Semoga saja tidak. Pelarangan FPI berkegiatan, pemblokiran rekening-rekening FPI, dengan alasan adanya aliran dana dari luar negeri sekalipun, semuanya menyatu menjadi tirai tebal antara Presiden dan FPI. Menumpuknya tuduhan kepada HRS, suka atau tidak, telah menandai soal lain, yang menghasilkan kesulitan bekerjanya transparansi dalam pengungkapan kasus ini. Menjadi ajudan Presiden, mungkin menghasilkan keadaan tertentu antara Kapolri dengan Presiden. Mungkin saja. Tetapi lupakan saja itu. Soal terbesarnya bukan disitu. Soal terbesarnya adalah Bareskrim di bawah Komjen Listyo Sigit terlihat kelewat lambat menyidik kasus ini. Kabareskirm memiliki wewenang menyidik kasus ini. Tanpa perlu menunggu rekomendasi Komnas HAM yang berada di tangan Presiden. Apa yang membuat Kabareskrim lambat? Mengapa Kabareskrim tidak responsive? Mengapa responsif baru diucapkan dalam fit and proper test sebagai calon Kapolri? Tidak Bisa Berharap Bisakah faktor teknis, apapun itu, disodorkan sebagai penyebab lambatnya pengungkapan kasus ini? Bila iya, maka soalnya beralih ke level kerja transparansi berbasis due process of law penyidikan kasus ini. Pada titik ini tantangan baru segera menemui Kapolri baru. Apa tantangan itu? Dapatkah dua mobil yang menurut Komnas Ham tak teridentifikasi dari satuan mana, tetapi aktif terlibat dalam pembuntutan itu, disajikan secara tuntas? Ini bukan soal penyidik pemeriksa. Sama sekali bukan. Soal ini berada diluar kendali mereka. Ini bukan soal Kabareskrim baru. Ini soal Kapolri baru nanti. Termasuk dalam soal itu adalah menemukan fakta yang kokoh atas kematian dua orang yang terpisah dari kematian keempat orang lainnya. Logiskah penyidik bekerja hanya sebatas kesimpulan lemah Komnas Ham? Berhenti pada petugas yang ada dalam mobil? Kematian dua orang yang terpisah dari empat almarhum, seolah telah beres dengan kesimpulan Komnas Ham. Tidakkah bekas tembakan justru menghadirkan keharusan untuk meragukan temuan Komnas? Tembak-menembak lalu peluru kena dada keduanya? Diturunkan dari mobil di Kilometer 50 dalam keadaan telah mati? Keraguan juga menemukan alasan untuk diketengahkan dalam mengenal sebab sesungguhnya dari kematian keempat orang almarhum. Area peristiwa itu (dalam mobil) memang memudahkan penyidik menemukan pelakunya. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya adalah setepat apakah penyidik menyajikan fakta secara utuh. Untuk apa? Agar distribusi tanggung jkawab menjadi adil. Konsekuensinya penyidik tidak memiliki pilihan lain selain harus menggali setuntas-tuntasnya prosedur penanganan keempat almarhum itu. Pada titik ini, penyidik mau tidak mau, akan berhadapan dengan tuntutan teknis yang logis. Penyidik dipaksa secara teknis mendapatkan keterangan, misalnya apakah para petugas melaporkan keadaan keempat orang yang telah berada dalam mobil kepada atasan atau tidak? Termasuk bagaimana keputusan membawa keempat almarum ke rumah sakit. Apakah keputusan membawa keempat almarhum ke rumah sakit, dibuat sendiri oleh petugas dalam mobil itu atau diperintahkan oleh orang lain? Logiskah petugas dalam mobil mengambil prakarsa menembak mereka? Rumitkah ini secara teknis? Terlihat tidak. Kerumitan non teknis, untuk sejumlah alasan, merupakan tantangan terberat yang melingkari kasus ini. Politik hukum pemerintahan Presiden Jokowi mungkin tak bakal dapat menyediakan energi untuk transparansi bekerja setuntas-tuntasnya. Itu sebabnya siapapun dapat memasuki soal ini dengan menyatakan serelatif apapun kasus ini terungkap, mungkin sudah sangat hebat. Tidakkah kematian 7 (tujuh) pendemo tanggal 21 Juni 2019, dalam protes hasil pemilu juga berlalu begitu saja? Tak ada yang dibawa ke depan pengadilan. Mereka diidentifikasi melalui investigasi sebagai pembuat kekacauan. Membuat kekacauan diambil dan disodorkan sebagai alasan pembenar. Argumen itu membut peristiwa tragis ini berlalu begitu saja bersama waktu. Sebanyak 989 petugas KPPS pemilu 2019, yang juga mati ditengah dan dalam waktu berdekatan dengan penyelesaian penghitungan pemilu, hanya jadi cerita pilu dan hitam ditengah gelora demokrasi dan rule of law. Tak ada satu pun manusia yang dihadapkan ke pengadilan. Terlihat sama polanya. Kematian demonstran penolak RUU KUHP dan UU KPK juga berlalu begitu saja saja. Dilansir dari Merdeka.com tanggal 17 Okober 2019, total ada lima korban meninggal pasca demo berujung ricuh dengan polisi tersebut. Mereka adalah Maulana Suryadi (23), Akbar Alamsyah (19) dan Bagus Putra Mahendra (15) di Jakarta dan dua mahasiswa Universitas Haluoleo yakni Immawan Randi (21) serta Muhammad Yusuf Kardawi (19). Sementara jumlah korban luka tak diketahui persis berapa banyaknya. Satu yang paling parah adalah mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, Faisal Amir (Merdeka.com, 17 Oktober 2019). Kematian-kematian dalam lintasan berdimensi politik, sejauh ini terlihat memola menjadi hal biasa disepanjang pemerintahan Jokowi. Bikin ricuh, bikin kacau atau ditunggangi, terlihat menjadi alasan terpola, yang membenarkan kematian tersebut. Itu sebabnya mengharapkan lebih dari yang bakal disajikan dalam penydikan kasus Kematian laskar FPI, pasti terasa aneh. Akan muncul berbagai keadaan justifikasinya. Toh hukum dalam dimensi politik, untuk semua alasan yang mungkin dipakai, selalu begitu, menjadi hamba politik. Politik putih, hukum putih. Politik hitam, hukum hitam. Politik busuk, hukum jadi alat tercaggih memukul oposan. Begitulah sejarah bangsa ini menuliskannya. Presiden Jokowi dan Pak Kapolri sekarang dan baru nanti mau ditulis sejarah sebagai apa? Sejarah akan menemukan dan menulis bapak berdua, entah sebagai apa. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

HAM Indonesia: Jangan Ada Lagi Madam Bansos, Jenderal Drakula, Boneka Solo, dll

by Asyari Usman Medan, FNN - Sekitar 40 tahun lalu, di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkenalkan teori tentang tahapan-tahapan hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya tertunaikan di seluruh dunia. Teori itu disebut “three generations human rights”. Yaitu, HAM tiga tahap (generasi). Yang paling dasar (first generation atau tahap pertama) yang disebut juga “negative rights” (disederhanakan menjadi “hak larangan”-red) adalah hak-hak yang sifatnya melarang pemerintah melakukan tindakan yang mencederai (melukai) warga negaranya. Ini termasuklah bebas dari penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing). Hak asasi level berikutnya disebut “second generation” (tahap kedua). Disebut pula sebagai “positive rights”. Yaitu, hak-hak yang sifatnya mengharuskan pemerintah menyediakan manfaat (benefit) sosial-ekonomi tertentu bagi warga negaranya. Termasuklah layanan kesehatan dan lingkungan kerja yang baik. Seterusnya, hak asasi level disebut “third generation” (tahap ketiga). Ini disebut “solidarity rights” yang mewajibkan pemerintah menghormati hak-hak rakyat secara kolektif, seperti hak pembangunan (fisik dan kapasitas), hak atas lingkungan bersih, hak atas ketenteraman (perdamaian), dlsb. Nah, di tahap mana HAM Indonesia? Tentu sangat jelas nasib rakyat ini kalau diacu ke konsep HAM tiga tahap itu. Cukup Anda tuliskan saja pertanyaan-pertanyaan ini. Pertama, apakah warga negara Indonesia sudah terbebas dari penyiksaan fisik dan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing)? Jawabannya: BELUM huruf kapital. Capek kita meriset angka-angka tentang ini. Yang jelas, sejak masa kampanye Pilpres 2019 hingga pembunuhan 6 pemuda FPI pada 7 Desember 2020, bisa disimpulkan bahwa di tahap pertama saja HAM rakyat Indonesia belum tertunaikan. Kedua, apakah warga negara ini sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak berbayar dan bagus? BELUM huruf besar juga. Kalau ada yang mengatakan sudah, hampir pasti dia baru bangun dari mimpi. Bagaimana dengan BPJS? Bukankah ini pelayanan tak berbayar? Pertanyaan untuk Anda: apakah Anda tidak membayar BPJS? Indonesia seharusnya mampu menyediakan layanan kesehatan tanpa bayaran apa pun jika kekayaan negara ini tidak dikelola untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Negara mampu seandainya kekayaan rakyat tidak dikelola seperti benur lobster ala Edhy Prabowo, bansos ala Juliari Batubara, e-KTP ala Setya Novianto, pertambangan ala Luhut Panjaitan. Negara juga mampu kalau tidak ada korupsi Bank Century, BLBI, Bank Bali, Jiwasraya, Pertamina, plus BUMN-BUMN lainnya. Ketiga, apakah sudah terpenuhi hak pembangunan, lingkungan hidup yang bersih, di bawah suasana tenang, tenteram, dan relatif adil? Yang ini malah sangat jauh panggang dari api. Alias, tak bakalan pernah ada kalau menajemen ekonomi-sisial-politik (Ekosospol) masih berlanjut seperti sekarang. Pertanyaan keempat, apakah masih ada harapan untuk sampai ke HAM generasi ketiga (tahap ketiga)? Jawabannya, marilah terus berharap sambil berjuang mendidik anak-cucu Anda. Semoga mereka tidak menjadi seperti manusia-manusia yang hari ini menghancurleburkan Indonesia. Kita wajib menghasilkan generasi yang baik. Jangan sampai ada lagi Madam Bansos, Pangeran Lobster, Menko Segurus, Menko Sangkuni, Jenderal Drakula, Boneka Solo, Boneka Hambalang, Parasit Senayan, dll, yang berperan memperkuat serta melanggengkan kekuasaan otoriter-destruktif saat ini. Jika di masa depan masih ada penguasa dengan karakter-karakter seperti ini, Indonesia bakal menjadi negara paria. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ketua Komnas HAM Bagaikan Merangkap Ketua Tim Pembela Polisi

By Asyari Usman Medan, FNN - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, penguntitan (surveillance) yang dilakukan Polisi dengan alasan orang tidak memenuhi dua kali panggilan, adalah hal yang normal. “Wajar saja,” ujar Taufan. Hal ini disampaikan oleh Taufan dalam wawancara video dengan Medcom-id yang ditayangkan pada 17 Januari 2021. Ketua Komnas menjawab begitu ketika ditanya seluk-beluk penguntitan yang dilakukan oleh “OTK” (yang kemudian ternyata aparat kepolisian) terhadap rombongan Habib Rizieq Syihab (HRS) yang berakhir dengan penembakan mati 6 anggota FPI. Jadi, kalau nanti Anda atau siapa saja yang tidak memenuhi panggilan Kepolisian dua kali berturut-turut, maka ada kemungkinan Polisi akan melakukan penguntitan terhadap gerak-gerik Anda. Seperti apa penguntitan itu, tentu terserah Polisi. Yang penting Ketua Komnas bilang tindakan itu ok-ok saja. Secara umum, jawaban-jawaban Taufan Damanik dalam wawancara ini luar bisa ‘clear’ (bernas). Rasa-saranya, tak kurang dari 80% jawaban Ketua Komnas terang-terangan menyalahkan para pemuda FPI yang mengawal HRS dalam insiden 7 Desember 2020. Taufan mengatakan dengan sinis bahwa anak-anak muda FPI itu menikmati bentrokan dengan penguntit. Tapi, Ketua Komnas terlihat pula menikmati wawancara ini. Dia bersemangat sekali menjawab pertanyaan. Sayangnya, Ketua Komnas terkesan menggiring opini publik bahwa insiden 7 Desember itu sepenuhnya kesalahan para pemuda FPI. Wawancara ini sangat menghibur. Unmistakably, very entertaining! Tidak rugi seandainya pun video wawancara ini harus diperoleh melalui situs berbayar. Pak Taufan mengatakan, pengawal HRS yang berada di dua mobil paling belakang seharusnya tidak menunggu penguntit yang sudah jauh di belakang. Untuk kedua mobil ini, Pak Ketua menggunakan istilah “memprovokasi” penguntit. Dahsyat, Pak Ketua! Cuma, konyol sekali cara berpikir Taufan Damanik. Mari kita lihat siapa yang memprovokasi. Rombongan HRS keluar dari Sentul. Mereka dibuntuti oleh pihak yang tak dikenal (OTK). Tidak ada tanda-tanda mereka aparat negara. Para penguntit kemudian mencoba masuk ke dalam konvoi HRS dengan cara yang membahayakan. Inilah yang menyebabkan mobil-mobil pengawal HRS berusaha menghalangi mereka. Kalau mereka memang ditugaskan menguntit (surveillance), tentu mereka tidak perlu masuk ke dalam konvoi. Bukankah kelaziman di dunia ‘surveillance’ adalah bahwa penguntit berusaha agar mereka tidak dicurigai melakukan penguntitan. Nah, dalam kasus 7 Desember kenapa para penguntit malah mengganggu rombongan yang diuntit? Kalau mereka malam itu hanya melakukan tugas itu sesuai dengan definisi ‘surveillance’, tak mungkin akan terjadi pergesekan atau pepet-memepet. Pak Taufan mengatakan dalam wawancara ini bahwa pembunuhan 6 pemuda FPI itu bukan pelanggaran HAM berat. Karena, surat tugas yang dikeluarkan untuk aparat malam itu adalah perintah ‘surveillance’. Bukan surat perintah pembunuhan. Kalau surat perintahnya melakukan pembunuhan, barulah bisa disebut pelanggarah HAM berat. Begitulah alur berpikir Taufan Damanik. Harus hati-hati selagi beliau ini menjadi ketua Komnas. Jadi, jawaban-jawaban Pak Taufan dalam wawancara itu seperti terkena “Efek Istana” (the Palace Effect). Alias, sangat terpukau setelah bertemu Presiden Jokowi (14/1/2021) dalam rangka menyerahkan hasil investigasi dan rekomendasi Komnas tentang insiden KM-50. Saking terpukaunya, sampai-sampai Ketua Komnas HAM sekarang ini bernarasi seakan-akan dia juga merangkap sebagai Ketua Tim Pembela Polisi.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Komnas HAM Sebaiknya Dibubarkan Saja

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Bekerja sia-sia saja. Bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas untuk diberikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 7 Desember 2021 lalu di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Harapan publik begitu besar atas kerja keras penyelidikan Komnas HAMK yang transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM. Ada kesan Komnas HAM menyembunyikan fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Indikasi ke arah itu cukup nyata. Misalnya, komnas HAM tidak mengungkapkan siapa dan dari institusi mana pelaku penembakan terhadap dua anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Begitu juga Komnas HAM menyebutkan siapa-siapa yang berada di dalam dua mobil Avanza yang membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak dari Sentul Bogor? Lalu siapa penumpang yang berada di dalam mobil Landruiser, dan berapa nomor polisinya? Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menempatkan Komnas HAM sebagai yang lembaga mandiri. Komnas HAM berfungsi untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM. Kuat sekali mandat undang-unang yang diberikan kepada Komnas HAM untuk bekerja. Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan, maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM. Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar FPI. Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen, maka sesuai UU No 26 tahun 2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hok yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2). Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM, Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga melakukan pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam penyelidikan kasus ini. Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture), bahkan terkesan menghindar. Kenyataan ini merupakan pelanggaran atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan. Keempat, Komnas HAM keliru. Hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu dalam bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya. Apalagi mengganggu asas dan dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan Komnas HAM. Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar "mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM". Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis. Maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri. Sehingga jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Amien Rais Cs Minta Pertanggungjawaban Jokowi atas Pembunuhan Enam Warga Sipil

by Tjahya Gunawan Jakarta, FNN - Pengungkapan terhadap kasus pembunuhan keji yang dilakukan aparat kepolisian terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) memasuki babak baru. Tokoh reformasi Amien Rais bersama 17 tokoh masyarakat lainnya membentuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI di Jakarta, Kamis (21/1/2021). Pembentukan TP3 Enam Laskar FPI diumumkan lewat siaran langsung melalui akun YouTube Refly Harun dari sebuah hotel di Kawasan Senayan Jakarta. Undangan acara tersebut bersifat terbatas karena masih berada dalam situasi pandemi Covid19. Dalam undangan kepada para wartawan, Ketua TP3, Abdullah Hehamahua, sehari sebelumnya meminta agar undangan ini tidak di share ke manapun. Jurnalis yang akan hadir diwajibkan untuk memberi konfirmasi pada panitia. Sesaat sebelum acara jumpa pers diadakan, sejumlah personel polisi mendatangi lokasi kegiatan. Wakapolres Metro Jakarta Pusat AKBP Setyo Koes Heriyanto memimpin jajarannya melakukan penyisiran. Setyo sempat bertemu dengan salah satu panitia acara Marwan Batubara guna menanyakan apa maksud tujuan mereka menggelar acara tersebut. Marwan menjawab, pihaknya sudah diberikan izin oleh pihak hotel untuk menggelar acara tersebut. Menurutnya, beberapa waktu lalu dirinya juga menggelar serupa, tetapi tidak sampai didatangi oleh pihak kepolisian. Amien Rais menjelaskan, TP3 enam laskar FPI, akan melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan agar kasus pembunuhan enam warga sipil terungkap jelas dan pelakunya diadili sesuai hukum yang berlaku. TP3 melakukan langkah-langkah advokasi setelah mengamati secara cermat sikap, kebijakan dan penanganan kasus oleh pemerintah dan Komnas HAM, yang mereka nilai jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan. Dari kompilasi infomasi yang dilakukan, TP3 menemukan fakta bahwa laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan dan dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak. TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat polisi tersebut sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan alias extrajudicial killing. Tindakan brutal aparat polisi ini, kata Amien Rais, merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas azas praduga tidak bersalah dalam pencarian keadilan, sehingga bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan yang berlaku. Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait. TP3 menuntut pelakunya diproses hukum secara adil dan transparan. Sebagai pemimpin pemerintahan, TP3 meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi atas tindakan sewenang-wenang dalam kasus pembunuhan tersebut. Penyerangan sistematik TP3 menyatakan, penembakan enam laskar FPI oleh aparat negara tidak sekadar pembunuhan biasa dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Komnas HAM. "Kami dari TP3 dengan ini menyatakan bahwa tindakan aparat negara yang diduga melakukan pengintaian, penggalangan opini, penyerangan sistemik, penganiayaan, dan penghilangan paksa sebagian barang bukti merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)," demikian pernyataan sikap mereka. Pembunuhan 6 (enam) laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang Nomor 5 tahun 1998. Oleh karena itu, proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. TP3 menilai penyerangan sistematis terhadap warga sipil enam Laskar FPI merupakan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka berat pada tubuh atau untuk kesehatan mental atau fisik. Sampai saat ini, Negara Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan enam Laskar FPI dan tidak menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga mereka. Bagi TP3, ini adalah satu pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No. 13 tahun 2006 jo UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun anggota TP3 antara lain Dr. Busyro Muqoddas, KH. Dr. Muhyidin Djunaedi, Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Firdaus Syam, Dr. Abdul Chair Ramadhan dan Hj. Neno Warisman. ** Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id.