HUKUM

Terima Kasih, Peradilan Indonesia Menorehkan Tinta Emas

by Habib Umar Alhamid Jakarta FNN - Nama baik lembaga peradilan Indonesia kembali mendapat simpatik dan kepercayaan dari masyarakat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada persidangan Habib Rizieq Shihab (HRS) tanggal 27 Mei 2021 kembali menorehkan tinta emas. Putusan yang membuktikan bahwa lembaga peradilan Indonesia masih tetap independen. Tidak bisa diintervensi oleh kekuasahaan apapun, termasuk pemerintah. Bukan saja terhadap kekuasaan pemerintah, namun peradilan Indonesia juga tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan-kekuasaan yang lain, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kenyataan ini memberikan harapan baik. Bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervansi lembaga manapun itu nyata-nyata ada di negeri ini. Dibuktikan dan disaksikan oleh rakyat hari ini. Masyarakat internasional juga menyaksikan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia bebas dari intervensi pihak manapun. Harapan untuk mencari dan menggapai keadilan di lembaga peradilan Indonesia masih terbuka lebar. Kenyataan ini agar tetap dipertahankan, sehingga perbaikan atas buruknya tata kelola negara oleh kekuasaan pemerintah, bisa diperbaiki oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas dari intervensi pihak manapun. Fakta yang dirasakan masyarakat hari ini adalah cengkrakan atas lembaga dan kekuasaan negara oleh oligarki dan konglomerat hitam, picik, licik, tamak dan rakus. DPR dibuat lumpuh, sehingga tidak lagi mampu untuk menyuarakan suara dan penderitaan rakyat. Karena Partai Politik sudah di bawah genggaman oligarki dan kolomerat busuk. Yang tersisa untuk rakyat dari cengkaran konglomerat hitam dan busuk hanya lembaga peradilan yang mandiri dan independen. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membebaskan Habib Rizieq Shihab dari hukuman pidana, dan hanya memberikan saksi administratif sebesar Rp 20 juta untuk kasus Megamendung di Bogor adalah nyata-nyata kalau hukum itu berdiri tegak. Begitu juga hukuman pidana penjara delapan bulan untuk kerumunan di Petamburan. Putusan tersebut yang membuktikan bahwa hukum di negeri ini tidak bisa dikangkangi oleh kekuasaan manapun. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi jajaran ring satu pemerintahan Presiden Jokowi agar mulai menyadari, jika hukum jangan lagi dimainkan. Jangan juga hukum dijadikan alat untuk mengintimidasi rakya, ulama, aktivis demokrasi dan tokoh bangsa. Sebab dapat menimbulkan gejolak dan keresahan di masyarakat. Dampaknya sangat meluas. Bangsa ini butuh disatukan, apalagi di tengah kegagalan pemerintah mengatasi wabah pandemi covid-19, yang belum menunjukan tanda-tanda akan mereda. Kondisi ini makin diperparah dengan persoalan ekonimi bangsa yang semakin memburuk. Tingkat pengangguran yang terus bertambah. Tidak adanya lapangan kerja baru. Sementara Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Bejing terus membanjiri beberapa wilayah Indonesia, seperti Morowali, Konawe, Halmahera dan Kepulauan Riau. Membanjirnya TKA asal Bejing tentu sangat menyesakan dada rakyat. Rasa keadilan untuk mendapatkan pekrjaan yang layak sangat jauh dari harapan. Tragisnya, kenyataan ini terjadi saat pengagguran yang tingg. Daya beli masyarakat yang semakin tertekan. Angka kemiskinan yang juga terus bertambah. Untuk itu, pemerintah harus berhenti mengkriminaliasi rakyat, ulama, aktivis demokrasi dan tokoh bangsa. Rakyat tidak akan diam melihat hilangnya keadilan di negeri ini, terutama akibat ulah jajaran penegak hukum (Polisi dan Jaksa). Rakyat pasti melawan penegak hukum yang tidak adil dan zolim. Prilaku penegak hukum jangan sampai menimbulkan polemik baru. Misalnya, ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah dari segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi hanya untuk hal-hal yang remeh-temah seperti kasus Habib Rizieq Shihab. Dengan pembebasan Habib Rizieq Syihab, semoga mempunyai dampak positif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Harapannya, masyarakat berangsur-angsur kembali kepada kehidupan normal setelah tercabik-cabik akibat pandemi covid-19. Penegakan hukum jangan sampai merusak persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa. Sebab persatuan itu penting dari segala-galanya. Persatuan itu lebih penting dari penegakan hukum itu. Untuk apa penegakan hukum yang menimbulkan perpecahan diantara anak bangsa? Pemerintah Jokowi perlu belajar banyak dari cara Pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyelesaikan masalah Gerkan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. GAM yang sudah nyata-nyata melanggar hukum. Melukan pemberintakan bersenjara bertahun-tahun. Membunuh begitu banyak prajurit TNI dan Polri. Namun dikesampingkan masalah penegakan hukum terhadap anggota GAM dan pengikutnya. Karena persatuan lebih penting daripada penegakan hukum. Apalagi Cuma betujuan mengkriminalisasi tokoh panutan rakyat dan umat seperti Habib Rizieq Shihab. Habib Rizieq Shihab yang baru datang atau tiba di tanah air, sudah dilibatkan dalam eskalasi politik tingkat tinggi dan panas. Dutuduh dan dipidanakan dengan berbagai tuduhan yang sangat dicari-cari. Alhamdulillaah di pengadilan tidak terbukti. Selian itu, juga karena pengadilan masih independen, sehingga membabaskan Habib Rizieq Shihab. Pemerintah tidak mungkin, dan pastinya tidak akan berhasil kalau punya keinginan untuk memutuskan kecintaan rakyat dan umat Islam kepada Habib Rizieq Shihab. Upaya ke arah itu hanya akan sia-sia dan membuang energi pemerintah dari tugas utamanya melindungi dan mensejahterakan rakyat. Sebab Habib Hizieq Shihab bukan koruptor yang merampok uang negara seperti bansos dan lain-lain. Rakyat dan umat malah semakin bertambah cintanya kepada Habib Rizieq Shihab. Itu pasti terjadi. Apalagi dengan putusan berkeadilan yang keluar dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Semoga semuanya bisa berakhir dengan baik dan indah. Tidak ada yang perlu ada pihak merasa dirugikan dengan putusan tersebut. Karena memang begitu adanya. Semua komponen bangsa sebaiknya menyatu untuk melangkah ke depan. Berfikir dan bekerja sama untuk menghadapi musuh besar bangsa saat ini, yaitu mengatasi wabah virus covid 19, dan bahaya korupsi yang semakin menjadi-jadi. Bukannya saling mengkiriminalisasi. Jangan lagi menempatkan sanak bangsa yang berbeda pendapat, atau bersikap kritis kepada pemerintah sebagai musuh. Tugas utama pemerintah itu merangkul yang berbeda dengan pemerintah. Bukannya memukul, dan menciptakan permusuhan dengan menggunakan insturmen hukum. Memastikan persatuan tercipta di negeri ini. Bukannya membuat keterbelahan diantara sesama anak bangsa. Memastikan kalau hukum itu tegak kepada para koruptor Bansos, PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, BPJS Tenaga Kerja. Musuh bangsa sekarang adalah 97.000 pegawai negeri bodong. Mereka marampok uang negara setiap tahun sebesar Rp 8 triliun, jika gaji rata-rata per orang adalah Rp 5-6 juta. Kalau skandal pegawai negeri bodong ini sudah lima belas tahun, maka nilai korupsinya mencapai Rp 120 riliun. Skandal ini jelas-jelas musuh bangsa. Siapa saja menikmatinya? Harus diusut tuntas. Apa kabar Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang berkantor di Cawang Jakarta Timur. Jangan hanya urus Tes Wawasan Kebangsaan kepada pegawa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sudah diusut oleh Polisi dan Jaksa belum? Jangan hanya jago untuk mencari-cari pasal kesalahan Habib Rizieq Shihab dan pengurus Fron Pembela Islam (FPI). Setelah itu menekan dan melakukan penahanan. Sebaiknya Polisi, Jaksa, Badan Intelijen Negara (BIN), dan penyelenggara negara lainnya menjiwai dan resapi itu sila ”Perssatuan Indonesia” dalam setiap denyut nadi. Jangan hanya bisa menghafal dan mengucapkan “saya Pancasila, saya NKRI”. Namun prilaku dan prakteknya jauh. Terkesan tidak mencerminkan, bahkan tidak memahami dan menjiwai Pancasila dan NKRI. Penulis adalah Ketua Umum Generasi Cinta Negeri (GENTARI).

Terpidana Mantan Wali Kota Medan Bebas dari LP Tanjung Gusta

Medan, FNN - Rahudman Harahap terpidana yang juga mantan Wali Kota Medan menjalani eksekusi bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tanjung Gustam Medan, Sumatera Utara. Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Sumanggar Siagian, ketika dikonfirmasi di Medan, Selasa, membenarkan mantan Wali Kota Medan itu telah menjalani eksekusi bebas. Ia menjelaskan, Rahudman dibebaskan dari Lapas Medan, Senin (31/5), sekitar pukul 22.30 WIB. "Pelaksanaan eksekusi tersebut dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Kasi Pidsus Kejari Jakarta Pusat," ujarnya. Sumanggar menyebutkan bahwa eksekusi berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Nomor: Print-458/M.1.0/Fu.1/05/2021 tanggal 31 Mei 2021 yang melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor: 341PK/Pid.Sus/2019 tanggal 29 Mei 2021 atas nama Rahudman Harahap. Adapun amar putusannya menyatakan terpidana Rahudman terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak merupakan tindak pidana. Melepaskan terdakwa tersebut dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolnging), memerintahkan penuntut umum segera mengeluarkan terpidana dari masa menjalani pidana. Bahwa Rahudman dieksekusi bebas dalam kasus dugaan korupsi pengalihan aset PT KAI di Jalan Jawa Medan seluas 7 hektare tahun 2015, kasus yang turut melibatkan Direktur Utama PT Arga Citra Kharima (ACK) Handoko Lie itu, ditangani oleh Kejaksaan Agung. Dalam kasus tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp185 miliar. "Proses pengeluaran terpidana Rahudman dari Lapas Medan berlangsung aman, dan pihak keluarga, para pendukung dan kerabat turut menjemput," kata Sumanggar yang juga mantan Kasi Pidum Kejari Binjai itu pula. (sws/ant)

Di Tengah Gempuran Buzzer, Kini Anies Tak Terbendung

Oleh: Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Sejak Anies Baswedan terjun ke perpolitikan Jakarta melalui kontestasi pilgub DKI pada 2017, sebagian warga yang dipengaruhi buzzer bayaran dan sektarian, membentuk barisan yang tugasnya merundung dan memfitnah Anies. Anies, yang karena mendapat dukungan sebagian kalangan Islam politik selama kampanye, dituduh menunggangi politik identitas. Padahal, Anies juga mendatangi komunitas-komunitas non-muslim meminta dukungan. Dan ketika memenangkan pertarungan secara dramatis melawan Ahok yang main politik uang atas dukungan para taipan, Anies menjadi musuh besar mereka sampai hari ini. Hasil analisis data elektoral pilgub DKI 2017 oleh Syebubakar (2021) mengungkap bahwa sentimen politik identitas bukan faktor penentu kemenangan Anies. Lebih karena terkuaknya kebobrokan cagub petahana Ahok selama memimpin ibukota dan kecurangannya dalam pilgub. Puncaknya, ketika tim Ahok tertangkap basah menebar paket sembako secara masif – bertruk truk di masa tenang, menjelang pencoblosan. Akibatnya, mayoritas swing-voters dan undecided-voters serta sebagian pemilih non-sosiologis Ahok, dengan pertimbangan rasional, menjatuhkan pilihan pada Anies. Sementara, elektabilitas kedua pasangan cagub, sebelum pencoblosan, tidak terpaut jauh, dengan selisih elektabilitas masih dalam rentang margin of errors. Dengan kata lain, mereka dalam posisi seimbang. Fakta elektoral juga menunjukkan mayoritas mutlak kalangan non-muslim menjatuhkan pilihan pada Ahok. Sementara pemilih muslim terbagi dua secara merata, untuk Ahok dan Anies. Yang mengejutkan, bukan hanya warga Jakarta yang terlibat kubu-kubuan secara emosional, tapi juga warga di luar Jakarta. Tak heran, orang menyebut kontestasi Anies-Ahok sebagai pilgub rasa pilpres. Terlebih, Ahok menjadi pertaruhan hidup mati para taipan dan rezim Jokowi, menyangkut mega proyek reklamasi teluk Jakarta. Kompetisi Anies melawan Ahok berlangsung di tengah prahara penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Kendati Anies netral, kelompok anti demokrasi (hiper-nasionalisme, pluralisme represif, dan Islam-fobia, dengan perlindungan rezim Jokowi dan oligarki) menganggap Anies mengambil keuntungan dari insiden ini. Saking emosinya, mereka tak segan memfitnahnya sebagai pendukung khilafah dan “Islam radikal.” Belakangan, perbagai kalangan di Jakarta menyadari mereka telah salah nilai, setelah terbukti Anies memperlakukan semua kelompok agama secara adil melalui kebijakan dan program afirmatif yang inklusif. Hasilnya, Anies menerima Harmony Award Tahun 2020 dari Kemenag karena sukses melakukan harmonisasi kehidupan beragama di Jakarta. Tetapi buzzer bayaran terus memelihara dendam politik hingga sekarang. Apa pun yang dilakukan Anies langsung diserang secara membabi buta dan irasional. Kepemimpinan Anies yang mumpuni – akuntabel, kredibel, rasional, dan simpatik, bukannya mengembalikan akal sehat, malah membuat mereka semakin kalap. Sementara, karena kinerja gemilang, Anies telah menerima lusinan penghargaan dalam dan luar negeri selama tiga tahun kepemimpinannya. Bandingkan dengan Ahok yang hanya mendapat tiga penghargaan dalam negeri selama tiga tahun kepemimpinannya. Itupun penghargaan yang memang rutin diterima DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Atas semua fakta tersebut, para buzzer bayaran dan haters Anies tutup mata. Tak henti-hentinya, mereka mencari celah untuk membunuh karakter Anies yang mendapat perhatian dunia internasional karena reputasi intelektualitas dan kinerjanya memimpin Ibukota. Ia pun diundang berceramah di pusat-pusat kota dunia untuk berbicara tentang isu-isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Dalam menghadapi pandemi covid-19, Anies didaulat bicara di antara gubernur dan walikota seluruh dunia tentang pengalamannya mengatasi corona di Jakarta yang dianggap sukses. Belum lama ini, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Jejaring C40 Cities untuk Perubahan Iklim, Anies menyampaikan pidato singkat selama 2 menit dalam dialog yang dihadiri Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan delegasi asosiasi kota besar dunia. Anies menyampaikan usulan kepada PBB untuk membantu kota-kota di dunia mengatasi dampak perubahan iklim, dan usulan itupun langsung disetujui oleh Sekjen PBB Antonio Gutteres. Sementara itu, pendukungnya serta kalangan yang berpikir rasional dan obyektif makin yakin dengan kualitas seorang Anies yang telah teruji menghadapi segala godaan dan cobaan memimpin Jakarta. Bagaimana ia tampil dengan terobosan-terobosan gemilang untuk melayani dan meningkatkan kualitas hidup warganya, serta memperindah Ibukota. Banyak yang berdecak kagum, mengapa ia begitu berhasil menata kota yang rumit ini dan menyejahterakan warganya tanpa caci maki seperti Ahok. Dengan tidak menafikkan adanya “persoalan lama” Ibukota, seperti banjir dan polusi udara, di bawah kepemimpinan Anies, kemiskinan yang sudah sangat rendah terus berkurang, demokrasi pulih setelah diacak acak Jokowi dan Ahok, pembangunan manusia tumbuh pesat, potensi korupsi redup, oligarki surut, kohesi sosial membaik, penampilan fisik Jakarta makin indah, dan kemacetan berkurang. Selain itu, keberanian politik Anies melawan super-oligarki dengan menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta juga patut diapresiasi, meskipun akhir-akhir ini terjadi kontroversi reklamasi Ancol yang proses pengembangan, pengelolaan dan peruntukannya sangat berbeda. Sementara, pada masa kepemimpinan Ahok, tingkat kemiskinan di Jakarta meningkat, demokrasi babak belur, oligarki meluas, dan korupsi merajalela. Laporan keuangan DKI semasa Ahok pun belum pernah mendapat penilaian WTP dari BPK. Terbukti kejujuran, kesantunan, dan kecerdasan Anies jauh lebih bertenaga untuk memajukan kota dan membahagiakan warganya. Inilah sebabnya mengapa pendukung Anies dan kalangan yang melek politik rasional merasa telah menjatuhkan pilihan yang tepat ketika memilihnya dulu. Alhasil, orang-orang yang masih dendam pada Anies, terutama buzzer bayaran, tentu akan mengeksploitasi semua isu untuk menjatuhkan Anies, tak peduli apa yang dikakukan Anies masuk akal dan bermanfaat bagi orang banyak. Maklum, target mereka adalah mencegah Anies ikut kontestasi pilpres 2024. Namun, sejauh ini upaya mereka melakukan pembunuhan karakter Anies gagal total. Publik lebih menilai kualitas personal Anies, serta menyaksikan dan merasakan hasil kerja nyatanya selama ini. Komunitas internasional pun mengapresiasi kinerja gubernur yang satu ini. Salah satu kinerja Anies yang mencolok adalah penanggulangan covid-19. Sampai-sampai rezim Jokowi yang amburadul dan menjadi pelindung Ahok pun terpaksa mengekor pada inisiatif-inisiatif Anies, meskipun selalu terlambat. Dus, pertarungan pilpres 2024 mendatang tidak akan lepas dari sosok Anies. Dia menjadi salah satu capres terfavorit, bahkan terkuat dari kalangan non-parpol. Sejumlah survei elektabilitas selalu menempatkan Anies di 3 tokoh dengan elektabilitas tertinggi capres 2024, dan sering kali menempati urutan teratas, menyalip para elit parpol yang menjadi jagoan rezim Jokowi dan para taipan. Yang pasti, potensi keterpilihan Anies untuk bertarung dalam pilpres 2024 tidak terbendung. Terlebih nanti mendapat endorsement dari parpol atau gabungan parpol. Kebencian sebagian orang, terutama kelompok yang buta politik and masih terjerat politik identitas, tidak akan mampu menghalangi Anies memimpin dan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan yang sangat dalam akibat salah urus rezim saat ini. Penulis adalah Dewan Pengurus IDe

Harus Diusut 97,000 PNS Palsu, Ini Kejahatan Bukan Kelalaian

By Asyari Usman Medan, FNN - Sangat tak masuk akal itu bisa terjadi dan sangat memalukan. Ada 97,000 data pegawai negeri sipil (PNS) yang misterius. Selama bertahun-tahun, negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah setiap bulan untuk membayar gaji dan pensiun PNS palsu. Kasus masif ini diungkap oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) beberapa hari lalu. Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan salah satu penyebabnya adalah pemutakhiran data PNS yang tidak dilakukan sehingga banyak yang tidak akurat. Jumlah PNS palsu yang begitu banyak tidak boleh dianggap sebagai keteledoran atau kelalaian biasa. Harus dilakukan penyelidikan pidana. Tidak tertutup kemungkinan ada sindikat yang mengendalikan data palsu PNS itu. Kalau jumlah yang palsu hanya ratusan dari sekian juta PNS, masih bisa dianggap sebagai kelalaian. Tapi, 97,000 data palsu tidak mungkin lagi dianggap sebagai kesalahan administrasi. Sangat besar kerugian negara akibat data palsu ini. Kalau misalnya rata-rata PNS palsu itu mendapatkan gaji/pensiun Rp3,100,000 per bulan, berarti negara kecolongan 300 miliar tiap bulan atau lebih 3.5 triliun per tahun. Mencurigai ini sebagai kejahatan atau konspirasi, sangat wajar. Sebab, operasi mempertahankan aktivasi 97,000 data palsu memerlukan kerja sama banyak pihak. Patut diduga keterlibatan orang-orang di dalam BKN, pihak penerima pembayaran gaji/pensiun palsu, dan kemungkinan keterlibatan bank-bank yang merawat rekening para PNS palsu tsb agar tetap aktif. Bisa jadi pula ada sekian banyak orang yang punya otoritas untuk menarik uang gaji/pensiun itu dari bank penerima, ikut terlibat. Itu jika pembayaran melalui transfer. Kalau pembayaran tunai langsung (yang jumlahnya sangat kecil), berarti ada orang yang bersandiwara sebagai kurir. Singkatnya, sangat banyak aspek yang perlu diselidiki oleh para penegak hukum. Sekali lagi, 97,000 PNS dan pensiunan palsu tidaklah sedikit. Kepalsuan dan misterius ini sudah berlangsung lama. Tidak ada alasan untuk meyebut ini sebagai peristiwa yang tidak disengaja. Harus dibongkar. Semua yang berperan dan mengambil keuntungan, harus dihukum berat.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

PDIP Partai Terbersih? Salah Ketik, Barangkali

By Asyari Usman Medan, FNN - Tiba-tiba PDIP menjadi partai terbersih di Indonesia. Begitulah hasil survei yang dikeluarkan oleh Puspoll, beberapa hari lalu. Entah kapan lembaga ini terbentuk, tapi baru pertama kali namanya terdengar. Survei ini menanyakan tentang partai-partai politik yang dianggap bersih dari korupsi dan pro-pemberantasan korupsi. Hasil survei Puspoll menempatkan Banteng pada posisi 15.7%, Gerindra 10%, dan PKS pada tingkat 7.8%. Dahsyat sekali. Dari posisi partai terkorup, PDIP menjadi partai terbersih. Yang menjadi pertanyaan, sejak kapan PDIP bersih dari korupsi? Dan sejak kapan pula mereka pro-pemberantasan korupsi? Sebaliknya, selama ini publik mencap Banteng sebagai partai terkorup sesuai fakta OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Dari 41 kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun pemerintahan Jokowi, 14 orang berasal dari PDIP. Artinya, 34% kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun ini adalah kader PDIP (14 dari 41). Ini baru kepala daerah (gubernur-bupati-walikota). Belum lagi di level menteri dan kementerian. Ada kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Juliari Batubara. Ada pula Harun Masiku (HM) yang belum juga ditemukan. Bisa dibayangkan berapa orang yang akan diseret oleh HM kalau dia ditangkap. Pasti banyak dan besar-besar. Kalau tidak, tak mungkin dia sulit sekali ditangkap setelah 500 hari berlalu. Dari angka 34% di atas, dapat pula dikatakan bahwa probabilitas (kemungkinan) kader PDIP melakukan korupsi mencapai 34:100. Ini ‘corruption rate’ yang sangat tinggi. Wajar pula untuk disimpulkan bahwa kemungkinan besar banyak kader PDIP yang melakukan korupsi tapi tidak terdeteksi. Itulah yang bisa disarikan dari probabilitas 34:100 itu. Nah, hari ini Puspoll mengangkat PDIP ke level terbersih. Dari mana alur logika yang dipakai? Bukankah publik akan curiga terhadap hasil survei seperti ini? Kita menjadi ingin bertanya: apakah para pengelola Puspoll tidak berkonsultasi dulu dengan pimpinan PDIP sebelum mengeluarkan hasil yang sangat fantastis itu? Seharusnya tanyakan dulu kepada mereka apakah memang benar temuan Puspoll. Sebab, hasil yang sangat indah itu menjadi beban bagi mereka meskipun dari satu sisi sangat menyenangkan. Lihat saja reaksi publik dalam dua-tiga hari ini. Semuanya mempertanyakan predikat “terbersih” itu. Atau, jangan-jangan definisi “terbersih” itu bermakna lain? Bukan kinerja, tetapi dari segi fisik. Misalnya, terbersih ruang kantornya, terbersih toiletnya, terbersih halaman parkirnya, terbersih mobil-mobil mewah mereka, dlsb. Jika itu yang dimaksud, bisa saja. Tapi, itu pun perlu survei dalam rentang waktu panjang sebelum menyimpulkan hasilnya “terbersih” untuk berbagai fasilitas tadi. Jadi, Puspoll harus menelaah kembali temuan survei tentang PDIP itu. Apakah tidak mungkin terjadi “salah ketik” atau “salah input”. Atau malah para operator Puspoll sendiri sempat terpukau dan mabuk ketika melihat para petinggi PDIP yang keren-keren dan banyak duit. Kita tunggu klarifikasi Puspoll tentang apa yang terjadi. Di mana letak ‘error’-nya. Apakah disebabkan responden survei hanya para penghuni kantor-kantor PDIP? Atau, mungkinkah para pengelola Puspoll tidak tahu perkembangan PDIP selama 6-7 tahu belakangan ini?[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Bupati Nganjuk Tersandung Gratifikasi Jual-beli Jabatan, Disusul Pengadaan Alkes?

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat yang selama ini dikenal dermawan dan dekat dengan rakyat diamankan tim Satuan Tugas (Satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (10/5/2021), dini hari. Ia diamankan bersama sejumlah orang lainnya terkait kasus dugaan suap jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk. Novi Rahman Hidayat adalah Bupati Nganjuk periode 2018-2023. Novi juga tercatat menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jatim periode 2021-2026. Sebelum menjabat Bupati Nganjuk, karier Novi Rahman cukup moncer sebagai pengusaha. Novi tercatat pernah menjadi Kepala Wilayah KSP Tunas Artha Mandiri Jatim (2003-2005); Direktur HRD KSP Tunas Artha Mandiri (2005-2007); Direktur Utama Tunas Artha Mandiri (2007-2016). Kemudian, Ketua Bidang Strategi Pengembangan Bisnis KSPPS Tunas Artha Mandiri (2016-2018); Presiden Direktur PT Putra Tunas Artha Mandiri Group (2006-2017); Direktur Utama PT Putra Tunas Artha Mandiri Group (2008-2018); Komisaris Utama PT BPR Tunas Artha Jaya Abadi (2009-2018). Tak hanya itu, Novi juga pernah menjabat sebagai Komisaris Bidang Pengembangan Bisnis PT Tunas Terafulk Line (2010-2018); Ketua Umum KSU Kembang Wijaya Kusuma (2008-2018); Komisaris Utama PT Putra Mandiri Real Estate (2008-2018); Komisaris Utama PT Putra Mandiri Plastik (2008-2018); Komisaris Utama PT Putra Mandiri Sawit (2011-2018); serta Direktur Utama PT Putra Mandiri Jaya (2006-2018). Pria kelahiran Nganjuk tersebut menjabat sebagai Bupati Nganjuk sejak 24 September 2018. Ia terpilih sebagai Bupati Nganjuk menggantikan Taufiqurrahman. Taufiqurrahman juga pernah ditangkap oleh KPK terkait kasus rasuah. Dari segi pendidikan, Novi Rahman merupakan magister (S2) lulusan Universitas Islam Kediri tahun 2006. Sebelumnya, dia lulus sebagai sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Blitar pada 2005. Novi Rahman diduga menerima suap terkait jual-beli jabatan di wilayahnya. Novi Rahman disebut menetapkan tarif bagi jajarannya untuk mendapatkan jabatan. Ratusan juta rupiah disita oleh KPK sebagai barang bukti. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri membenarkan terkait OTT tersebut. “Informasi yang kami terima, benar ada kegiatan tangkap tangan di wilayah Jawa Timur,” kata Ali Fikri. Novi Rahman sendiri memiliki harta kekayaan Rp 116 miliar. Dia memiliki tiga unit mobil. Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang tercatat di KPK, total hartanya itu berjumlah Rp 116.897.534.669 (Rp 116 miliar). Harta tersebut terdiri dari tanah dan bangunan, alat transportasi dan mesin serta harta lainnya. Di garasinya, Novi Rahman tercatat memiliki tiga unit mobil. Pertama adalah Toyota Harrier 2.4L 2WD AT tahun 2005 senilai Rp 346,5 juta dengan hasil sendiri. Tidak hanya itu, ia juga memiliki mobil ikonik Suzuki SJ410 Katana. Suzuki Katana tahun 2006 yang diperoleh dari hasil sendiri itu memiliki nilai Rp 67,5 juta. Terakhir, Novi Rahman memiliki mobil besar Toyota Hiace 2.5 MT tahun 2011. Mobil itu juga diperoleh dari hasil sendiri dengan nilai Rp 350 juta. Adapun total kendaraan milik Novi Rahman diperkirakan senilai Rp 764 juta. Harta Bupati Nganjuk paling banyak adalah tanah dan bangunan. Novi Rahman memiliki 32 bidang tanah yang tersebar di sejumlah daerah seperti, Nganjuk, Kediri, Jombang, Surabaya hingga di Jakarta Selatan dengan nilai total Rp 58.692.120.000 (Rp 58 miliar). Melansir Kompas.com, Rabu (12/05/2021, 05:59 WIB), tujuh tersangka telah diumumkan Mabes Polri terkait kasus jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Selasa (11/5/2021). Mereka adalah Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Camat Pace Dupriono (DR), Camat Tanjungnaom Plt Camat Sukomoro Edie Srijato (ES), dan Camat Berbek Haryanto (HY). Kemudian Camat Loceret Bambang Subagio (BS), mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo (TBW), dan Ajudan Bupati Ngajuk M Izza Muhtadin. “Bupati Nganjuk NRH, ini telah menerima hadiah atau janji terhadap pengisian jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, dalam tayangan Kompas TV, Selasa (11/5/2021). Penetapan ini merupakan hasil dari OTT penyidik KPK dan Bareskrim Polri terhadap Novi Rahman Hidayat dua hari sebelumnya, Minggu (9/5/2021). Dalam penangkapan ini, penyidik KPK-Polri menyita uang Rp 647,9 juta dari brankas di kediaman Novi Rahman. Selain itu, penyidik juga menyita 8 handphone, buku tabungan, dan sejumlah dokumen milik para tersangka. Akibat perbuatannya, para tersangka terancam hukuman pasal berlapis dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukum pidana itu meliputi Pasal 5 Ayat (1) Huruf A atau B dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp 50 juta sampai Rp 250 juta. Kemudian Pasal 11 dengan pidana dengan hukuman penjara paling 5 tahun dan denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Selanjutnya, Pasal 12B dengan penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Dalam pemeriksaan, Novi Rahman diduga mematok harga jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk senilai Rp 2-50 juta untuk posisi kepala desa hingga kecamatan. Semakin tinggi posisi jabatan, maka patokan nilainya pun kian meningkat. Uang-uang tersebut diberikan ke Bupati Nganjuk lewat ajudan M. Izza Muhtadin. Kendati demikian, penyidik masih terus mendalami terkait patokan nilai harga jual beli jabatan itu. Termasuk akan mengkroscek penggunaan uang dari jual beli jabatan itu. Bareskrim Polri sedang mendalami dari pemeriksaan Bupati ke tersangka lain, ini sudah berapa lama berlangsung. Bareskrim Polri juga mendalami dugaan adanya aliran dana ke partai politik maupun petingginya dalam kasus ini. Dari jejak digital disebutkan, Novi Rahmah Hidayat diusung oleh PKB, Partai Hanura, dan PDIP dalam Pilkada Nganjuk 2018. Ia berpasangan dengan Marhaen Djumadi. Saat ini belum bisa dipastikan dari partai politik mana Novi Rahman berasal. Sebab, PKB maupun PDIP tak mengakuinya sebagai kader. Sekretaris Gerakan Sosial dan Kebencanaan DPP PKB Luqman Hakim mengirimkan video berisi pernyataan Novi Rahman yang mengaku sebagai kader PDIP. Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat menampik pernyataan Novi Rahman dalam video itu. Ia mengatakan, Novi Rahman bukan kader PDI-P. “Bukan anggota dan tidak ber-KTA PDI Perjuangan,” ujar Djarot kepada Kompas.com, Senin. Menurut Djarot, yang merupakan kader PDIP adalah Wabup Nganjuk, Marhaen Djumadi. Ia menuturkan, Marhaen merupakan salah satu Wakil Ketua DPD PDIP Jatim. Surat Warga Jauh hari sebelum Novi Rahman ditangkap Satgas KPK, seorang warga Nganjuk mengirim surat yang ditujukan ke Bupati Nganjuk dengan tembusan KPK, Kejagung, Kapolri, dan Kapolda Jatim. Berikut petikannya. Kami sebagai warga masyarakat NU Nganjuk, sangat mendukung komitmen Bupati Bapak Novi Rahman Hidayat yang sangat bagus untuk memajukan Kabupaten Nganjuk. Khususnya terhadap masalah kesehatan di Kabupaten Nganjuk, berharap agar Bapak selaku Aparat Penegak Hukum mampu bertindak tegas atas penyelewengan yang terjadi, khususnya di permasalahan Kesehatan. Pertama, terbengkalainya peralatan medis nilainya miliaran rupiah (sekitar Rp 21 miliar) atas pembelian peralatan Cateterisasi Jantung dan ruangan yang sudah disiapkan di Lantai 3 (di atas gedung Poliklinik Jantung). Alat tersebut telah dibeli dengan anggaran DAK/APBN tahun 2016. Hingga kini alat tersebut belum sama sekali dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat Kabupaten Nganjuk. Berapa besar kerugian yang diakibatkan oleh perencanaan dan pengadaan oleh RS serta peran Dinas Kesehatan yang tidak mampu mengendalikan dan memantau pelaksanaan pelayanan kesehatan di RSUD Nganjuk. Belum lagi pengadaan beberapa peralatan baru (2018-2019) yang tidak atau belum berfungsi seperti alat Autoclave senilai sekitar Rp 2 miliar di Instalasi Pengelolaan Limbah RS. Kedua, permasalahan lainnya di RSUD Kertosono terjadi penerimaan karyawan yang sifatnya Tenaga Harian Lepas (THL) sejumlah sekitar 70 orang pegawai yang direkrut oleh pejabat RSUD Kertosono tahun 2019-2020 tanpa sepengetahuan Bupati. Bahkan, isu yang berkembang mereka para THL tersebut dimintai sejumlah uang Rp 60-80 juta per orang untuk bisa diterima sebagai THL. Belum lagi ada sejumlah 11 Dokter Spesialis yang akan diterima, dan juga sebagian sudah dimintai sejumlah uang, serta terjadi jual-beli jabatan untuk bisa diangkat sebagai Kepala Ruangan atau pindah ke unit pelayanan yang diinginkan dengan membayar Rp 15 juta per orang. Dinas Kesehatan selaku Penanggung Jawab di Bidang Kesehatan seharusnya mampu mengendalikan Program Pembangunan mulai dari Puskesmas hingga RS. Namun pada kenyataannya justru membimbing ke jalan yang tidak benar. Ditandai dengan sejumlah informasi tentang pemotongan nilai Kapitasi sekitar 5% dari masing-masing Puskesmas melalui dalih adanya Forum Komunikasi Kepala Puskesmas. Di Nganjuk, pengadaan alat kesehatan yang puluhan juta sulit walaupun diperlukan. Tapi kalau harga Ratusan Juta atau Miliaran, malah lebih cepat. Ada apa? Pembangunan Rehab tidak menggunakan prosedur yang benar (lelang) tapi penunjukan langsung. Demikian curahan dan laporan kami sebagai warga masyarakat yang minta keadilan dan pembenahan di agar Nganjuk benar-benar bisa lebih maju dan bermartabat, Terima kasih atas perhatiannya. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Koruptokrasi dan Sakratulmaut KPK

By Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Banyak orang terkejut, sekaligus marah, dengan pembantaian KPK oleh Rezim Jokowi. Paling mutakhir adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai “syarat” peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Peralihan status kepegawaian tersebut merupakan konsekuensi logis dari revisi UU KPK yang menegaskan lembaga anti-rasuah ini sebagai bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif sesuai putusan MK No.36/PUU-XV/2017. Revisi UU KPK sendiri menjadi bagian penting dari rangkaian upaya sistematis Rezim Jokowi mengebiri KPK. Dengan revisi UU KPK, lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tidak lagi melekat pada KPK. Tetapi tunduk pada aturan dan kewenangan pemerintah yang nota-bene merupakan salah satu sumber utama korupsi. Sungguh ironis, KPK diminta bunuh diri. Sederet pertanyaan dalam TWK bukan saja tidak relevan dengan tugas dan fungsi KPK, tetapi juga bernuansa sentimen sektarian, merendahkan martabat perempuan, dan bertentangan dengan etika serta nilai-nilai Pancasila. Tak berlebihan jika Wartawan Senior Ashari Usman, seorang penulis prolifik, menyebutnya Tes Wawasan “Kebangsatan.” Sebut saja pertanyaan soal doa qunut dalam sholat subuh, kesediaan lepas jilbab, pendapat tentang kasus HRS, pandangan terkait seks bebas, kenapa belum menikah, punya hasrat seks atau tidak, setuju tidak homoseksual diberikan hukuman badan, rela tidak jadi istri kedua, setuju tidak semua China sama saja dan semua orang Jepang itu kejam, dan berbagai pertanyaan absurd lainnya. Apa hubungan doa qunut atau jilbab dengan wawasan kebangsaan dan semangat nasionalisme? Apa relevansi hasrat seks dengan ASN? Apa pula kaitannya dengan pemberantasan korupsi? Sejatinya, TWK hanya kedok untuk menyingkirkan kelompok di KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan menjadi algojo para koruptor kelas kakap. Mereka tidak terbeli uang dan jabatan. Pun tidak tunduk pada tekanan penguasa dan pengusaha. Perlu dicatat, integritas para algojo koruptor akan terjaga jika habitat institusional mereka, yaitu KPK, tetap independen. Tidak menjadi bagian pemerintah, atau minimal, pegawai KPK tidak dikonversi menjadi ASN. Sebab, status ASN, dapat menghalangi mereka untuk bertindak obyektif dan tegas terhadap para penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi. Saya sendiri sangat marah, namun tidak terkejut sama sekali, dengan amputasi KPK. Sebaliknya, saya kaget seandainya KPK diperkuat oleh rezim Jokowi, dengan meluasnya represifitas dan korupsi sekaligus. Alasannya sederhana, tidak butuh literasi politik canggih untuk memahami kondisi paradoksal ini. Lahir dari rahim politik transaksional, di bawah kendali para pemodal, dan selanjutnya sesak dengan para pialang dan petualang politik, hampir tidak mungkin rezim Jokowi memiliki keberanian memberantas korupsi. Sebaliknya, rezim menjelma jadi koruptokrasi, di mana kekuasaan berada di tangan para penyelenggara negara korup dalam naungan sistem/kelembagaan politik ekstraktif. Sistem ini, menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson, menghisap sumberdaya negara untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi segelintir elit di atas penderitaan rakyat banyak (Why Nations Fail 2012). Rezim koruptokrasi berlindung di balik otoritas institusional untuk menutupi tindak kejahatan korupsi di dalam tubuhnya, dan menghancurkan setiap yang berusaha membongkarnya (Yasraf A. Piliang, Kompas, 2012). Dus, alih-alih memperkuat, rezim koruptokrasi Jokowi justru melumpuhkan KPK secara sistematis sejak awal berkuasa, melalui skenario kriminalisasi Ketua Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto pada tahun 2015. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017, hingga kini menjadi misteri. Rezim koruptokrasi Jokowi enggan mengusut tuntas dan membuka otak di balik penyerangan sadis ini. Hanya pelaku lapangan, diduga pemeran pengganti, yang dihukum ringan. Keseriusan dalam pemberantasan korupsi semakin muskil dengan banyaknya kalangan internal rezim koruptokrasi Jokowi tersangkut kasus korupsi. Terlebih, kelompok parpol pendukung, terutama PDIP, menjadi sarang koruptor. Dan upaya melumpuhkan KPK terus berlanjut dalam bentuk yang lebih sistemik dan sistematis dengan lahirnya Undang-undang KPK nomor 19 tahun 2019 hasil revisi. Selain peletakan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif (termasuk konversi pegawainya menjadi ASN), UU hasil revisi memandatkan dibentuknya Dewan Pengawas yang memangkas kewenangan pokok KPK terkait penyadapan, penyidikan, penuntutan, dan sejumlah prosedur yang merumitkan proses penindakan. Akibatnya, KPK terbelenggu dan tidak dapat bekerja dengan baik. Tak ayal, korupsi makin luas dan buas, di masa rezim koruptokrasi Jokowi jilid I dan II. Terjadi lonjakan kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir. Dari rekap data tindak pidana korupsi KPK (2020), antara 2015 dan 2019, tercatat hampir 600 kasus, lebih dari dua kali lipat jumlah kasus korupsi selama lima tahun sebelumnya. Sebelum pandemi Covid, menjelang Pilpres 2019, terungkap kasus mega skandal Jiwasraya dan Asabri, yang melibatkan elit politik di lingkaran kekuasaan, dengan kerugian negara tidak kurang dari Rp. 38 triliun. Skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka. Di saat rakyat makin menderita akibat salah urus negara dan dampak negatif Covid-19, para koruptor berpesta pora menjarah uang negara. Sebut saja korupsi Bansos oleh eks Mensos Juliari Batubara, Wakil Bendahara Umum PDIP, yang memotong sekitar 40% dari Rp. 6,8 triliun total anggaran Bansos Sembako Jabodetabek. Belum menyebut potensi korupsi program-program bansos nasional dengan anggaran ratusan triliun. Sekitar dua minggu sebelumnya, pada akhir November 2020, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas gratifikasi izin ekspor benih lobster, dibantu kader partai banteng. Masih panjang daftar skandal korupsi era rezim koruptokrasi Jokowi yang banyak melibatkan elit politik, baik di pusat maupun daerah. Pada saat yang sama, dalam Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global 2020, skor IPK Indonesia anjlok dari 40 menjadi 37, membuat posisinya merosot 17 peringkat, dari 85 menjadi 102 di antara 180 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Timor Leste dan Etiopia. IPK merupakan indeks agregat untuk mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, berdasarkan penilaian para pakar dan survei eksekutif bisnis, dengan rentang skor antara 0 dan 100. Skor 0 berarti sangat korup, sementara 100 berarti sangat bersih dari korupsi (Transparency International, 2020). Anjloknya IPK Indonesia di era rezim koruptokrasi Jokowi menunjukkan penyuapan, dan pencurian dana publik oleh pejabat negara dan politikus makin luas. Juga menggambarkan absennya kemauan politik negara dalam pemberantasan korupsi. Memang, tak dapat dipungkiri, keberadaan KPK tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kasus korupsi di Indonesia. Sejak lembaga anti-rasuah ini berdiri pada 2002, insiden korupsi bukan saja tidak turun, justru meningkat dengan volume kerugian negara yang makin besar. Sebagai anak kandung reformasi, peran simbolik KPK untuk merawat semangat demokratisasi, tata kelola pemerintahan yang baik, serta penegakan hukum dan hadirnya (rasa) keadilan di tengah-tengah masyarakat, tidak relevan lagi. Yang tersisa, hanya mayat lembaga pemberantasan korupsi. Kalaupun 75 pegawai (yang diskenariokan tersingkir oleh pimpinan KPK melalui TWK) bergabung menjadi ASN, tidak akan menyelamatkan nyawa lembaga anti-rasuah ini. Paling jauh, para pegawai yang dikenal berintegritas ini bisa membantu “pernapasan buatan” untuk KPK, tetapi tidak akan bertahan lama. Selanjutnya, mereka ikut mengusung keranda mayat KPK menuju tempat peristirahatan terakhir. Di akhir tulisan ini, perlu digarisbawahi, untuk memberantas korupsi yang sangat sistemik dan luas, penegakan hukum melalui KPK yang kuat dan independen sekalipun, tidak cukup. Selama ini, KPK lebih banyak menjalankan peran pemadam kebakaran, sementara fungsi pencegahan tidak maksimal. Sehingga, dibutuhkan kemauan politik negara untuk mengurai akar kejahatan luar biasa ini, di tingkat hulu, yaitu politik kekuasaan yang sangat kumuh. Kemudian, melakukan pembenahan secara radikal dan menyeluruh. Hal tersebut dapat terwujud, jika rakyat, terutama kaum intelektual dan kelas menengah, memiliki kesadaran dan keberanian politik untuk memotong titik episentrum rezim koruptokrasi. Penulis, Ketua Dewan Pengurus IDe

Hadiah Lebaran KPK Yang Menyakitkan!

Oleh : Ubedilah Badrun Jakarta, FNN - Dua puluh tiga tahun lalu, pada Mei 1998, nyawa telah berguguran, darah dan air mata telah ditumpahkan. Itu terjadi karena spirit semata-mata untuk memperbaiki negeri ini agar korupsi diberantas tuntas. Karenanya institusi yang digagas pada saat itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hari ini, persis dua hari sebelum lebaran kita semua anak negeri ini dikejutkan dengan pengumuman bahwa Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK diberhentikan. Ini menyakitkan hati, bak ditusuk sembilu. Pasalnya mereka adalah para penyidik yang memiliki integritas, diberhentikan karena dinilai tidak lulus tes wawasan kebangsaan dengan model tes yang bermasalah. Penuh nuansa terencana untuk menyingkirkan Novel Baswedan dan kawan-kawan. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Narasi empirik dari Lord Acton (1833-1902) itu kini diabaikan. Parahnya yang mengabaikan itu justru KPK. Memberhentikan penyidik berintegritas sama saja membiarkan kekuasaan yang cenderung korup. Jelang lebaran rakyat mestinya bahagia. Tetapi tahun ini rakyat bertubi-tubi disakiti. Dari PHK, THR yang berkurang bahkan belum dibayar, mudik yang dilarang, hingga penyidik KPK berintegritas yang diberhentikan. Menyakitkan! Rakyat sudah sakit hati sejak UU KPK disahkan meski ditolak mahasiswa dan rakyat pada 2019 lalu. UU KPK versi revisi itu kini menunjukkan taringnya untuk menggerogoti kaki-kaki pemberantas korupsi di KPK. Ini terjadi justru di tengah kuasa yang korup. Sepekan lalu sejumlah profesor mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi upaya 51 Guru Besar yang meminta Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga ditolak. Kini puluhan penyidik KPK yang berintegritas telah tersingkir melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan yang ngaco itu. KPK dan MK dua lembaga yang dibangun dengan darah dan nyawa reformasi, kini lunglai terpuruk di titik nadir. Penyuap KPU Harun Masiku tak kunjung ditangkap. Bahkan koruptor yang merugikan negara puluhan triliun rupiah dibebaskan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) untuk koruptor BLBI yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu. Ya, lebaran tahun ini benar-benar menyakitkan. Sebagai akademisi saya bertanya-tanya, mengapa nurani dan nalar sehat KPK ini membatu. Keras kepala dan keras hati mengabaikan aspirasi rakyat. Mungkin KPK sudah jadi hamba oligarki. Apa mereka lupa bahwa milyaran bahkan triliunan rupiah APBN untuk membiayai KPK sejak berdirinya itu berasal dari pajak rakyat yang berasal dari keringat, peluh dan air mata rakyat? Rakyat tidak ingin mendapat balas budi triliunan rupiah, tetapi rakyat hanya ingin jeritan hatinya yang terdalam didengar KPK, jangan teruskan upaya melemahkan pemberantasan korupsi ini. Tetapi KPK dan elit politik republik ini berkali-kali mengabaikan jeritan rakyat. Mereka para komisioner apa buta mata hatinya bahwa saat koruptor itu beraksi menjarah uang rakyat pada saat yang sama rakyat sedang kelaparan mengais rezeki ditengah pandemi. Jika begini terus maunya penguasa, jangan kaget jika rakyat pada waktunya akan bergerak mengeksplisitkan luka hatinya yang terdalam. Karena derita lapar diberi hadiah lebaran yang menyakitkan! Ubedilah Badrun, Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Polisi Semakin Arogan, Sudah Waktunya Direstrukturisasi (Bagian-1)

Reformasi dan demokrasi, yang menjadi faktor kunci perubahan fundamental eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam tatanan ketatanegaraan kita, ternyata jauh dari cita-cita dan tujuan berbangsa Indonesia. Kepolisian justru semakin tampil mencekik reformasi dan demokrasi itu sendiri. Kepolisian benar-benar gagal mengenal, memahami dan mengaktualisasikan dirinya dalam nilai-nilai reformasi dan demokrasi yang memisahkannya dari TNI. by Luqman Ibrahim Soemay Gorontalo FNN - Kepolisin sekarang semakin memantapkan diri untuk menjadi lawan dan musuh utama dari reformasi dan demokrasi. Citra buruk TNI selama 32 tahun sebagai penopang utama kekuasaan rezim Orde Baru sekarang diambil-alih dengan sempurna Kepolisin. Prilaku buruk yang sudah ditinggalkan oleh TNI dengan senang hati (legowo). TNI sadar betul kalau menjadi musuh reformasi dan demokrasi, maka akan selalu dikenang sebagai catatan buruk perjalanan negeri ini. Dari waktu ke waktu, hari ke hari disepanjang rute reformasi dan demokrasi gelombang kedua (1998-hinga sekarang) setelah gelombang pertama 1950-1959, Kepolisian terlihat semakin menakutkan dan menyeramkan untuk rakyat negeri ini. Arogansinya Kepolisian tak kunjung menemui titik akhir. Arogansi mereka terhadap Buya Hamka dulu, terus saja terlihat dalam berbagai bentuk dan sifat, yang pada sejumlah aspek memiliki kemiripan. Buya Hamka dituduh (dengan direkayasa) Kepolisian kalau Buya Hamka terlibat dalam rapat gelap untuk menggulingkan Bung Karno. Rapat itu, begitu yang dikarang para polisi dari Departemen Kepolisian (Depak), berlangsung disebuah rumah di daerah Tengerang. Tidak itu saja, Buya Hamka juga dituduh (dengan rekayasa) Polisi tergabung dalam Gerakan Anti Soekarno ( GAS). Bejat betul polisi-polisi ketika itu, yang mungkin saja telah almarhum, semoga Allaah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa mereka. Mereka polisi-polisi bejat tersebut tahu betul bahwa kasus yang dikenakan kepada Buya Hamka itu full dengan rekayasa. Tetapi polisi-polisi itu malah dengan gagah dan membanggakan berani menyuruh Buya Hakmka untuk berbicara dengan jujur. Kurangajar dan tak punya hati memang. Sudah merekayasa kasus, tetapi meminta untuk Buya Hamka jujur. Pembaca FNN yang budiman. Untuk mengetahui selengkap-lengkapnya kasus rekayasa Polisi-polisi bejat itu terhadap Buya Hamka, kami persilahkan untuk baca sampai tamat buku dengan judul “Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi”. Penulisnya adalah Haidar Mustafa. Penyunting adalah Farid Wijan. Penerbitnya adalah Imania. Cetatakan pertama tahun 2018. Sekali lagi bacalah baik-baik buku ini, karena kami percaya, dari sana pembaca FNN yang budiman memproleh hikmah apa yang terjadi dengan Kepolisian kita hari ini. Dengan demikian, pembaca FNN akan terbentuk perspektif yang masuk akal tentang bagaimana cara yang tepat dalam mengontrol dan mengendalikan arogansi Kepolisian ke depan. Oke, pembaca FNN yang budiman. Boleh saja ada yang mengatakan kalau arogansi Kepolisian terhadap Buya Hamka itu bisa terjadi oleh satu sebab yang mendasar. Sebab itu adalah mungkin saja kala itu belum ada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur cara-cara kerja polisi yang bermartabat, berdasarkan hukum dan berkemanusiaan. Kala itu hukum acara masih didasarkan pada HIR peninggalan penjajah Belanda. Okelah kalau begitu. Tetapi apakah arogansi Kepolisian itu berhenti setelah KUHAP terbentuk pada tahun 1981 lalu? Masih ingatkah pembaca FNN kasus Karta dan Singkong? Setelah dua anak manusia ini dipenjara bertahun-tahun, muncul fakta baru yang menyangkal keduanya sebagai pembunuh korban. Masih ingatkah kasus Udin, jurnalis di Jogyakarta yang hilang, entah kemana? Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 20 Tahun V, tangga 13 Januari 1997 menulis kasus ini dengan sangat menarik. Dwi Sumadji, tersangka pembunuh wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudin dibebaskan dari tahanan. Polisi dianjurkan mencari terasangka lain. Lebih lanjut Majalah FORUM Keadilan menulis, penahanan terhadap Dwi Sumadji alias Iwik, tersangka kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudfin, sudah ditangguhkan. Tidak urung, penangguhan tersebut mengesankan kalau polisi akhirnya kebingungan sendiri. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa Iwik hanya korban dari rekayasa penyelidikan dan penyidikan Polisi bejat ketika itu. Untuk mengukap kasus ini, banyak pihak ketika itu yang menyarankan agar polisi mulai menyidik tersangka alternatif. Oke itu urusan rekayasa kasus. Sekarang mari melihat penambahan jumlah Polda yang terjadi pada tahun 1996. Polda yang semala jumlahnya hanya 17, sejak tahun 1976 itu dimekarkan. Begitu istilahnya sesuai dengan jumlah provinsi. Praktis setiap provinsi ada Polda. Ini diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1996. Lagi-lagi Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 14 Tahun V, tanggal 21 Oktober 1996 mempertanyakan efekfitas kehadiran Polda-Polda baru tersebut. Pertanyaan Majalah FORUM Keadilan itu berbunyi begini, “apakah penambahan Polda-Polda baru akan menjamin kinerja Polisi semakin baik dalam menangani kriminalitas? Majalah FORUM Keadilan tidak memiliki jawaban yang kongklusif. Majalah FORUM Keadilan hanya menyatakan masih harus menunggu kenyataan. Disisi lain Kapolri Jendral Polisi Drs. Dibyo Widodo menyatakan tujuannya adalah untuk memang meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Empat tahun setelah itu, gagasan pemekaran Polda-Polda tersebut direalisasikan. Namun tragisnya, publik Indonesia digemparkan dengan perilaku buruk seorang Wakapolres. Publik terhentak dengan pemberitaan Majalah FORUM Keadilan esisi nomor 39, tanggal 29 Oktober 2000 menurunkan berita dengan judul “Polisi Beking Itu Babak Belur”. Wakapolres Sinjai, Senior Inspektur Sapewali dan ajudannya Kopral Ahmad Patudani, keduanya diamuk masa masyarakat di daerah tersebut. Dua gigi sang Wakapolres sampai copot dibuatnya. Lalu, apa penyebabnya? Warga menduga Wakapolres Supewali adalah beking dari perjudian, pencurian ternak dan penjualan ballo (tuak) di Kabupaten Sinjai. Menggunakan judul “Pak Polisi”, Pemimpin Redaksi Karni Ilyas dalam catatan hukuk Majalah FORUM Keadilan edisi nomor 16, tanggal 25 Juli 1998 menulis begini, “penegakan hukum di hiruk-pikuk reformasi ini bukan semakin baik, malah membingungkan. Berbagai aparat hukum lebih terkesan meriah, tetapi tidak memberikan kepastian hukum apa-apa”. Karni Ilyas selanjutnya menulis, “ketika masyakarat mengharapkan Polisi melakukan tindakan-tindakan untuk memberi rasa aman, Polisi justru melakukan tindakan sepele yang mengundang perdebatan luas. Misalnya, pekan-pekan ini, tiba-tiba saja polisi memperkarakan media cetak yang menyiarkan tulisan dan gambar-gambar yang dianggap porno”. (bersambung). Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Wuiiish Munarman Ditangkap, Kriminalisasi?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Penangkapan terhadap mantan Sekretaris Jendral dan Juru Bicara Frot Pembela Islam (FPI) Munarman yang dikaitkan dengan terorisme, dan itu terjadi tahun 2015, adalah aneh. Orang dengan mudah nyeletuk mestinya tangkap tahun itu kan ada bukti acara FPI Makassar dan lainnya. Munarman juga berulang melakukan klarifikasi soal acara tersebut. Persoalan sebenarnya adalah bahwa keperluan untuk melakukan penangkapan itu memang saat ini. Bukan tahun 2015 lalu itu. Apalagi di tengah kasus Habib Rizieq Sihab (HRS) yang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dimana Munarman menjadi salah satu pembelanya. HRS, FPI, dan Munarman adalah target politik perlu dilumpuhkan dengan perangkat hukum. Salah atau benar berdasarkan hukum, itu urusannya nanti. Pasalnya nanti bisa dicari-cari belakangan. Yang paling panting itu adalah tangkap, dan selanjutnya ditetapkan menjadi tersangka saja dulu. Sebab ini bukan ansih urusan hukum, yang dasar rujukannya adalah benar atau salah menurut. Ini berkaitan dengan urusan politik. Politik itu tidak menganal salah atau benar. Lumpuhkan dulu lawan politik. Begitu kekuasaan politik punya keinginan. Akibat dari kekuasaan yang salah dalam mengelola negara. Kewengan publik dikelola dengan cara-cara yang amtiran dan kampungan. Akibatnya kekuaaan yang kepusingan ketika berhadapan dengan sikap kritis dari orang-orang seperto HRS, Munarman, Syaganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, Gus Nur dan lain-lain. Penangkapan Munarman oleh Densus 88 menimbulkan pro dan kontra. Fadli Zon menyebut mengada-ada. Haris Rusly Moti, mantan Presiden PRD yang mengenal dengan Munarman mengatakan sangat berlebihan kalau dituduh teroris. Menyeret secara tidak berkemanusiaan dari rumah kediamannya dinilai melanggar Hak Asasi manusi (HAM) karena untuk memakai sandal saja tak diberi kesempatan. Sebagai advokat, tentu perlakuan polisi ketika menangkap seperti itu di luar batas kepatutan. Advokat yang semestinya diperlakukan dengan hormat. Melalui proses pemanggilan hukum tentu Munarman akan datang memenuhi. Sebagai mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Munarman bukan tipikil anak bangsa yang melanggar hukum. Kalau melawan kezoliman dan perlakuan tidak adil, otoriter punguasa, Munarman paling depan. Jika kriminalisasi menjadi target, makan apapun bisa dilakukan penguasa. Asas praduga tak bersalah sangat mudah diabaikan. Barang bukti dapat diolah, bubuk deterjen pembersih toilet di markas Petamburan bisa menjadi narkoba atau bahan peledak. Untuk meledakkan para cecunguk atau tikus. Buku do'a, kumpulan hadits dapat dituduh menjadi panduan untuk mati syahid. Dengan tuduhan terorisme maka semua prosedur hukum dapat dilewati. Sejak jaman Adnan Buyung Nasution dahulu Munarman sudah menjadi advokat di LBH. Munarman sangat gigih membela klien korban pelanggaran HAM. Pembelaan dalam kasus HRS menunjukkan kualitasnya yang faham hukum, cerdas, dan berani. Wajar jika Munarman selalu menjadi subyek dan obyek berita media massa maintsream, baik dalam maupun luar negeri. Ketika kini dikaitkan keterlibatan dengan terorisme yang jelas melanggar hukum, maka tentu jauh dari karakter dan kapasitas Munarman yang selama ini dikenal masyarakat. Publik dipastikan tidak akan percaya dengan tuduhan yang dialamatkan Densus 88 Polri kepada Munarman. Apalagi Munarman terkenal memiliki prinsip kehati-hatian hukum yang tinggi dalam rangka penegakkan hukum. Ya proses politik sedang berjalan HRS, FPI, dan Munarman memang menjadi target. Dari kacamata ini kita dapat melihatnya, sebab jika konteksnya penegakkan hukum dan keadilan, maka peristiwa HRS, FPI, dan Munarman tentu tidak akan terjadi. Menjadi pertanyaan umum di kalangan publik, kita ini sedang menjalankan prinsip negara hukum atau negara kekuasaan? Jika yang kedua, yaitu negara kekuasaan, maka kriminalisasi bisa saja menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja untuk rezim atau penguasa. Hanya masalahnya apakah masyarakat, rakyat, dan umat haruskah pasrah untuk berada dibawah bendera negara kekuasaan? Jangan menjaawabnya sekarang. Nanti saja. Simpan saja dulu jawabannya. Pertanyaan, sudah tidak ada lagikah pejuang kebenaran dari kalangan ulama, cendekiawan, politisi, pengacara, TNI-Polri, mahasiswa, buruh dan elemen strategis lainnya? Tentu masih banyak aktivis perjuangan yang memiliki kepedulian. Kasus Munarman yang juga diyakini bukanlah teroris, namun kepentingan politik begitu mudah mengaitkan dengan terorisme. Kasus Munarman ini perlu dikawal proses hukum yang dijalankan. Semoga asas praduga tak bersalah tidak disimpan Densus 88 Polri di tong sampah, sehingga tetap diberlakukan. Polisi hanya institusi penegak hukum. Bukan lembaga yang benar menurut hukum. Pengadilan saja masih diragukan putusannya kalau tunduk pada tekanan kekuasaan. Apalagi Cuma polisi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.