HUKUM

Hukum dan Senjata, Dua Alat Utama Rezim Otoriter

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Kamis (24/12). Sejarah kekuasaan tirani menyajikan banyak hal yang seluruh aspeknya menarik. Monopoli kebenaran, dan mobilisasi pendapat umum, hanyalah dua aspek kecil menarik menandai rezim barbarian ini. Berbahaya, itu jelas. Tetapi sebahaya-bahanya monopoli kebenaran dan mobilisasi pendapat umum, masih tidak lebih berbahaya dibandingkan penggunaan hukum dan senjata. Hukum dan senjata, tersaji begitu telanjang dalam sejarah kekuasaan tirani. Sebagai dua alat utama penopang kekuasaan. Hukum dan senjata menjadi dua pilar penyangga terhebat di sepanjang garis eksistensinya yang dapat diperiksa. Kedua senjata mematikan itu sepenuhnya merupakan will of the ruler’s. Tyran, yang menurut Benedikt Forchner dalam artikelnya “Law’s Nature: Philosophy Argument in Cicero’s Writing” oleh Cicero disebut “belua” that is, as a wild animal. Penilian menjadi alasan tepat menyatakan Cicero tidak hendak menjadi “salus populi supreme lex esto” menghabisi individu. Rules by rulers, bukan rule of law, teridentifikasi sejarah sebagai inti penegakan hukum dan politik pada rezim-rezim tiran. Law adalah titah, decree, sang tiran. Law, dalam semua aspeknya, pembentukan dan penegakannya, sepenuhnya merupakan ekspresi kehendak sang tiran. Dalam beberapa kasus, khususnya Jerman, tipikal itu ditunjukan dengan sangat jelas melalui apa yang dikenal dengan Enabling Act 1933. Anabling Act ini yang memungkinkan Hitler menjadi Fuhrer. Yang mengakhiri semua prilege krule of law yang digaris dalam Wimar Constitution 1919. Konstitusi demokratis ini dicampakan secara kasar, khas politik rezim binasa. Freedom from illegal arrest, and from search and seizure, inviolable secrecy of all communication by mail, telegraph or telephon, freedom of speech freedom of the press, freedom of assembly, and freedom to organized club and association, tulis Fredercik Hoefer, semuanya diberangus. Hitler sejak saat itu, segera memanfaatkan polisi yang berada dibawah kendali Frcik dan Hermann Goring, Menteri Dalam Negeri, memenjarakan para oposan. Frcik secara terbuka menyatakan don’t worry, when we are in power we shal putt of you guys in cenocentration camp. Tidak lama setelah itu, 40.000 political opponent melarikan diri keluar negeri, dan 45.000 orang ditempatkan di komp konsentrasi. Agar terlihat sebagai rechstaat, pemerintahan teroro ini mendirikan special court untuk mengadili mereka. Enabling Act 1933, membenarkan hukum yang bersifat ex post facto. Hukum ini mengalihkan legislative power dari parlemen ke tangan Hitler. Judiciary independent, oleh Enabling Act juga dihapus. Judiciary independent hanya bisa indah dalam mimpi hakim-hakim merdeka. Mengerikan hukum ini juga menjungkalkan apa yang dalam ilmu hukum pidana kenal dengan nulla siene poena sine lege. Dua tahun kemudian, tepatnya tangal 15 September 1935, ketika berpidato di Nuremberg, Hitler mendekritkan (decree), apa yang dikenal dengan nurember law atau The Reich Citizen law. Diskriminasi rasial, teridentifikasi sebagai gagasan dasar The reich Citizen law ini. Tetapi harus diakui tidak seorangpun dihukum karena bermimpi. Mimpi tidak dikualifikasi sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Padahal tipikal totalitarian, rezim ini telah menyediakan tatanan ganda untuk hukum. Benar-benar rezim teror, totalitarian, extra judicial arrest, extra murder and extra punishment, dilembagakan di dalam hukum pidana substantifnya. Pada saat yang sama rezim ini juga melembagakan judicial arrest. Khusus untuk extra judicial arrest and murders, disajikan sertas dilembagakan dalam tatanan politik dan hukumnya untuk justifikasi kehadiran concentration camp. Kajian-kajian hukum terhadap pemerintahan teror memang tidak menemukan kenyataan penggunaan “mobilisasi rakyat” dalam mempropagandakan pernyataan Marcus Tulius Cicero “salus populi suprema lex esto”. Sama sekali tidak begitu. Tidak juga seperti itu. Tetapi mobilisasi pendapat rakyat atas tindak tanduk pemerintah, menjadi tipikal rezim teror ini. Rezim ini, tentu dengan alasan yang khasnya, melembagaan “penghianatan tingkat tinggi “high treason” dalam hukum pidana. Sesuai tipikalnya, defenisi kejahatan ditentukan oleh sang tiran melalui decree. Hukum ini lalu dipertalikan dengan keamanan nasional. Apa yang dihiananti? Nazi, yang dipuncaknya bertengger sang Fuhrer. Demi keamanan, sisi esensial dari “salus populi suprema lex esto” itulah, rezim totalitarian ini menyatakan “hight and low treason” sebagai kejahatan. Populi yang beroposisi menemukan diri berada dalam titik bidik brutal, norak dan konyol rezim teror ini. Yang suprema bukan populi, tetapi elit rezim. Bahaya, tidak hanya disebabkan rezim ini memiliki aparatur bersejnata dalam menegakan hukum. Namun juga hukuman mati disediakan untuk mereka yang berhianat. Sebut untuk kaum opisisi, tetapi lebih dari itu. Aparatur hukum bersenjata, yang juga menyandang aparatur politik ini mendefenisikan hukum dalam praktek kekuasaanya. Aparatur hukum, termasuk hakim identik dengan kaki tangan Nazi. Mereka inilah yang mengenergizer hukum dan kamp konsentrasi. Untuk apa kamp konsentrasi itu? Extra judicial punishment atau illegal punishment atau unlawfull punishment. Hakim-hakim yang mengabdi pada nuraninya, dan dengan itu menjaga judiciary independency, juga dihukum. Otto Weis, anggota parlemen dari Social Democratic Party, terlempar karena mengeritik Anabling Act. Pejabat berotak waras, tak mau jadi domba pemerintahan Hitler, yang mengeritik Nazi, ambil misalnya Hans von Dohnanyi, juga dihukum. Hans von Dohnanyi, anak muda ahli hukum ini, diidentifikasi Hans Peter Graver dalam artikelnya yang dimuat di German Law Journal Vol. 19 No.04, tahun 2018, memegang jabatan tinggi di Kementerian Kehakiman dihukum. Dohnanyi dihukum atas tuduhan berkonspirasi dengan Canaris melawan Nazi. Latza dan Kanter’s, sekalipun tidak seheroik Hans von Dohnanyi, juga dihukum untuk hal yang sama. Kalau mau mati, setidaknya masuk penjara, silakan beroposisi. Rezim ini tidak memiliki kemampuan untuk sekadar senyum kepada orang yang mencetak Koran, yang memberitakan kritik terhadap pemerintahan ini. Rezim ini juga tak mampu senyum terhadap berita radio yang kritis. Rezim totaliter ini menyediakan hukuman penjara lima tahun untuk mereka yang sekadar bersuara kritis terhadap rezim. Sungguhpun begitu, tidak logis membayangkan orang-orang tidak bisa bicara politik sama sekali. Selalu bisa, bahkan perlu. Rezim ini malah membutuhkan para penggembira, tukang tepuk tangan, terlatih menyanyikan lagu berlirik puji-pujian konyol terhadap rezim. Bagaimanapun rezim tiran selalu picik dan kerdil dalam banyak aspek. Itu sebabnya rezim-rezim tiranis memerlukan polesan yang khas. Polesan itu berbentuk propaganda atas hal-hal, yang dengannya kelangsungannya menemukan pijakannya. Itu yang dikerjakan Joseph Goeble, propagandis kawakan andalan Hitler. Apakah hukum totalitarian memenuhi persyaratan ontologi dan epistemologi sebagai hukum? Ilmu hukum barat, jelas mengagungkan positivisme. Esensinya positivisme barat mengesampingkan penyatuan moralitas dan etika dengan hukum. Keduanya, dalam pandangan positivisme khas H. A.L Hart, harus dipisahkan. Ini jelas berbeda, dengan ontologi dan epistemologi hukum alam. Hukum alam tidak memisahkan, apalagi rigid antara norma hukum buatan, yang diciptakan manusia, dengan etika atau moralitas. Tetapi apapun itu, bagaimana menemukan justifikasi rasional terhadap pelembagaan, tidak hanya diskriminasi ras, termasuk agama minoritas, dan kebebasan berbicara, berorganisasi atau berkumpul? Rasio macam apa yang dapat disodorkan untuk menjustifikasi norma hukum yang melarang orang berserikat dan berbicara? Mau disebut apa orang mati di Kamp konsesentrasi, tanpa dapat membela diri? Logiskah extra court punishment, bahkan extra court killing dilembagakan? Stephen Riley, yang pandangannya dikutip Simon Lavis dan dimuat dalam disertasinya, menilai Nazi law is not law. Penilaiannya memang berbeda dengan H.A.L Hart, positivist tulen dalam khasanah ilmu hukum. Hart tetap menganggap Nazi law is law. Baginya, law harus dibedakan dengan moralitas. Penilaian Hart ternyata disanggah oleh Llon Fuller. Penyangkalannya didasarkan serangkaian fakta, terutama extra judicial killing di kamp konsentrasi. Bagi Fuller penghukuman jenis ini tidak dapat dibenarkan, dengan semua alasan yang mungkin. Baginya nazi law is not positive law. Llon Fuller memang tidak sezaman dengan Cicero. Memang itu jelas. Tetapi kenyataan itu tidak menjadi alasan Fuller, tidak menjustifikasi pernyataan Cicero “salus populi suprema lex esto” yang disukai oleh rezim-rezim teror dan otoriter. Fuller, yang memperlakukan etika ditempat terhormat semua hukum, tahu Cicero menolak hukum yang berwatak terror, dan merendahkan human dignity. Itu menjadi alasan valid Fuller “salus populi suprema lex esto” tidak dimaksudkan Cicero untuk membenarkan tindakan teror demi keamanan masyarakat. Bagi Fuller, Cicero memperlakukan hukum sebagai cara masyarakat menjaga keamanannya. Fuller tahu Cicero memahami hukum sebagai refleksi human nature. Hukum diapresiasi tinggi sebagai sarana untuk memelihara human dignity. Pandangan Cicero tentang hukum itu juga terlihat jelas pada kajian Yasmina Benferhat. Dalam artikel berjudul Cicero and the Small World of Roman Jurist, diedit Paul J. du Plessis, yang dimuat dalam buku berjudul Cicero’s Law, Rethingking Roman Law of the Late Republic, Cicero menempatkan “populous was the prime sources of legitimacy for all form of government and constitution. Hukum tidak dibuat untuk menyangkal sifat bawaan alamiah manusia. Dalam konteks filsafat, menurutnya hukum dipertalikan dengan kondisi manusia dalam eksistesinya hidup berdampingan satu dengan lainnya secara alamiah. Hukum dibuat untuk memastikan eksistensi alamiah itu. Dalam konteks itu, hukum, menurutnya harus dimengerti sebagai sesuatu yang ideal secara alamiah untuk kehidupan bersama. Cicero memang mengawali diskurusnya dengan bicara masyarakat, tetapi hal itu tidak dapat dimengerti bahwa Cicero menempatkan masyarakat secara kolektif pada jantung pandangannya. Kombinasi semua pandangan Cicero itu, menjadi alasan siapapun untuk menyanggah “salus populi suprema lex esto” digunakan di luar kerangka hukum berspirit human nature, untuk menghasilkan terpeliaranya human dignity. Apalagi Cicero juga menyatakan just as law contradiction nature, must not be called law. Tidak ada human dignity yang menjustifikasi extra court murder dan extra judicial killing. Tidakkah Allah Subhanauhu Wata’ala, yang menciptakan hamba-hambanya, menghukum orang yang membunuh orang lain? Semoga tatanan hukum Indonesia tidak bergeser. Tidak masuk ke dalam tatanan polititik dan hukum totaliter yang fasis. Semoga.* Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Gurihnya Dana Bansos

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (23/12). Anggaran bansos per paket seharga 300 ribu rupiah. Ini angka resminya. Untuk apa saja? Beras 10 kg harga Rp. 129.390 (Rp. 12.939/kg). Minyak goreng 2 liter harga Rp. 27.800 (Rp.13.900/lt). Sarden 9 kaleng harga Rp. 71.550 (Rp. 7.950/kaleng) Mie instan 12 bungkus harga Rp. 34.260 (2.855/bks). Sambel kecap harga Rp. 7.000. Goodie bag Rp. 15.000. Keuntungan rekanan Rp. 15.000.Total: Rp. 299.990 (Genapin jadi Rp. 300.000). Coba anda lihat harga barang-barang itu di super market, mini market, agen, atau warung biasa. Jauh lebih murah. Apalagi kalau belinya glosiran. Murah banget! Kenapa untuk bansos lebih mahal? Satu alasan, buat bagi-bagi! Untuk bisa berbagi, harus ada selisih. Makin besar selisihnya, makin banyak yang dapat bagian. Caranya? Pertama, dimark up harganya. Otak-atik cocok, sikat. Kedua, volume barang dikurangi. Dengan cara ini, selisih jadi besar, dan bagi-baginya menjadi semakin besar. Ini lagu lama bro! Lagu Korupsi jaman bahula dulu. Dipakai lagi sekarang. Coba cek ke penerima bantuan. Kadang berasnya bulukan, kadang 5 kg, sarden dan mie instan cuma 5 biji. Kasus seperti ini, kabarnya banyak sekali ditemukan di masyarakat penerima bantuan. Anda bisa cek ke lapangan. Dari selisih harga saja, sudah untung besar. Kok masih nggak puas? Barang dikurangi pula. Taksiran harga beras 10 kg Rp. 82.000. Minyak goreng 2 liter Rp. 25.000. Sarden 10 kaleng Rp. 22.500. Mie instan 12 Rp. 7.200. Sambel kecap Rp. 4.100. Goodie bag Rp. 9.000. Jadi totalnya Rp. 149.000 Dengan begitu, ada selisih sekitar Rp. 150.000. Kemana saja selisih ini? Beberapa sumber mengatakan bahwa Rp. 25.000 untuk rekanan. Rp. 25.000 untuk oknum-oknum di Kementerian Sosial (Kemensos). Yang Rp.100.000 kemana? Ini tugas KPK menelusuri aliran dana Rp.100.000 itu? Adakah dana itu nyasar ke partai dan ke lingkaran istana? Dengan skema seperti ini, para pengusaha berebut. 1 SPK (Surat Perintah Kerja) minimal dapat 200.000 paket. Silahkan kalikan keuntungan dan bagi-baginya. Gede banget. Itu baru 1 SPK. Kalau sekian SPK? Karena itu, para pengusaha nggak segan-segan keluarin uang di muka untuk si A, si B, si C, sampai si Z. Bagi-bagi di awal. Uang pelicin! Bansos jelas dikorup. Dilakukan dengan telanjang mata dan terang-terangan. Nggak perlu kepandaian KPK untuk mengungkap ini. Karena jenis korupsinya sangat transparan. Dan praktek ini terjadi sejak dari awal. Jadi gosip di warung kopi dan cafe-cafe. Kenapa perampok uang negara ini terkesan dibiarkan? Anda jangan berpikir KPK hebat telah menangkap Mensos Julian Batubara. Tidak. Kalau lihat kasus ini dari awal, KPK justru dianggap telat. Mestinya nangkap dari awal. Katanya UU KPK yang baru lebih berorientasi pada pencegahan? Ini harus dibuktikan. Tugas KPK adalah membongkar kasus ini sampai ke seakar-akarnya. Julian Batubara tidak sendiri. Korupsi uang gede, kecil kemungkinan sendirian. Pasti berjama'ah. Lalu, siapa anggota jama'ahnya? KPK harus kejar siapa saja yang terlibat. Semua rekanan harus diusut. Tanpa terkecuali. Jangan pakai random smpling. Ini bukan survei! Penyedia kantongnya harus juga diinvestigasi. Dalam hal ini adalah PT. Sritex. Plus siapa yang saja yang merekomendasukan PT. Sritex jadi rekanan. Adakah uang gratifikasi yang mengalir ke orang itu. Nggak usah pedulikan siapa dan anak siapa dia. Kalau terlibat, usut! Semua pihak ketiga yang menjadi mediator dan ikut menikmati bagi-bagi dana bansos juga harus diusut. Jangan berhenti di Julian Batubara saja. Bawahan, bahkan partai Julian Batubara berasal, semua harus ditelusuri terkait aliran dana bansos ini. Kasus ini mesti dituntaskan. Adakah kemauan KPK untuk menuntaskan kasus bansos ini sebagai tanda bahwa KPK masih ada dan sudah siuman dari tidur panjangnya? Kita tunggu! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Hukuman Mati Menanti Juliardi Batubara, KPK Macan Ompong?

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Rabu (23/12). Kita sedang menghadapi krisis ekonomi dan krisis Kesehatan Akibat Pandemi Covid~19. Pada tanggal 13 April Presiden menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Artinya sampai saat ini kita masih menghadapi bencana. Untuk mengatasi dampak dari bencana itu, presiden telah mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang untuk menstimulasi dampak Covid di berbagai sektor. Salah satunya adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang namanya sangat panjang itu. Lalu kemudian di sahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Dalam Pasal 27 UU a quo, terdapat imunitas bagi pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selama itu berkaitan dengan covid~19. Namun dalam hal imunitas, menurut Prof. Eddy Oemar Syarif Hiariej, ada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi. Berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang itu untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat. Yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Berdasarkan Pasal 50 KUHP “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Bahwa seorang pejabat memiliki imunitas, hal tersebut tidak berlaku apabila ada perbuatan yang memenuhi pasal-pasal pidana. Jadi, imunitas dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah imunitas bersyarat. Pertama, diterapkannya prinsip iktikad baik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam UU Nomor 2/2020. Kedua, tugas pokok dan fungsi aquo dilaksanakan sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada kekebalan hukum apabila ditemukan itikad jahat (mensrea) dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Setiap tindakan pejabat negara yang menyalahi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak memiliki itikad baik dalam mengeluarkan keputusan, entah itu ada pasal imunitas atau tidak, tetap akan dipertanggungjawabkan dihadapan hukum. Jadi, dalam konteks apapun, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, kapan saja dapat dihukum. Ada atau tanpa imunitas. Hukum Mati Koruptor Korupsi adalah kejahatan extra ordinary crime. Sehingga tingkat kerusakannya demikian besar. Ada beberapa kerusakan akibat dampak korupsi ini. Berdasarkan Background Paper Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru 2002, ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi. Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, sambung najih, korupsi dianggap merusak aturan hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat pembangunan berkelanjutan. Keempat dari korupsi adalah merusak pasar. Kelima, korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Terakhir, korupsi melanggar hak asasi manusia. Melihat dampak Korupsi yang sedemikian besar tersebut di atas, jelas bahwa korupsi bukanlah kejahatan biasa. Melainkan kejahatan yang luar biasa. Sehingga dalam melakukan upaya pemberantasannya harus dengan cara-cara yang luar biasa juga. Karena itu, di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kita mengenal istilah hukuman mati bagi koruptor. Hal itu terbaca dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Keadaan tertentu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tercantum, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Korupsi di Kemensos Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran penanganan covid sudah mencapai Rp. 677 triliun. Dengan pembagian struktur PEN menjadi sebanyak Rp.87,55 triliun untuk kesehatan, perlindungan sosial Rp. 203,9 triliun, insentif usaha Rp. 120,61 triliun, UMKM Rp. 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp. 53,57 trilun dan sektoral/pemerintah daerah Rp. 106,11 triliun. Melihat data tersebut, anggaran perlindungan sosial yang dikelola oleh Kementrian Sosial sangat besar, yaitu senilai Rp. 203,9 triliun. Sedangkan realisasi anggaran sudah mencapai Rp 144,4 triliun. Namun dibalik anggaran besar, dan realisasi anggaran tersebut, ternyata ada praktek korupsi yang masif terjadi di Kementerian Sosial. Hal ini sangat melukai perasaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam situasi bencana nasional sebagaimana yang telah di tetapkan oleh presiden dalam Kepres Nomor 12 Tahun 2020, sampai saat ini masih berlaku, maka sesuai dengan rumusan Pasal dalam UU Tipikor di atas, terbuka peluang hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan korupsi dana bantuan sosial terkait bencana nasional yang sedang dihadapi negara saat ini. Apalagi anggaran tersebut diperuntukan untuk pemulihan ekonomi nasional akibat krisis ekonomi dan moneter yang sedang menimpa Indonesia saat ini. Karena itu, dalam perspektif hukum pidana, tersangka korupsi di Kementrian Sosial dapat di dakwah melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan dapat dijatuhi hukuman mati. Wallahualam Bis shawab. Penulis adalah Ketua Presidium Nasional Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM

Kata Netizen, “#Tangkap Anak Pak Lurah!”

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (22/12). Tangkap Anak Pak Lurah! Nggragas kok pol-polan. Tas bansos saja diembat. Vangke...” Begitu tulis netizen Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB, di akun Facebook-nya, Senin (21/12/2020). Respon pun beragam. Antara lain, seperti berikut: Wahyudi Gondin: Bukan gragas tapi original. Ani Rohani Panjaitan: Pengen denger komentar dari para 'pemuja' nya. Yang selama ini 'mengagungkan' keluarga pak lurah dan turunannya bersih, gak KKN, gak rakus jabatan, selalu berusaha mandiri. Preeeeettt.... Nelly Siswati Baswir: Ktnya nyambung jg ya ke anak bu Camat... Muhammad Ferdian Nuur: Dana bansos dikorupsi, tapi sibuk nuduh kotak amal sumber dana teroris. Budiwanti Nasution: Muhammad Ferdian Nuur, barusan beli soto di SSB...ada kotak ...terus perhatiin kotak amal .. Daan apa .. ah dengernya sakit hati . Cuma ujungnya dia bilang ..hati hati aja .. Antje Mtz II: Ngragas sudah bakat dari sebelum bapakne dadi lurah masih sbg "kader binaan" OomPung. Diah Nur Hayanti: Bisa jadi, danan operasional dari yang kecil-kecil menjadi besar. Ibarat iuran Bu. Ratih Oemiati: #TangkapAnakPakLurah#. Yusmainar 'Niar': Rakus serakus rakusnya... Rahmiyati Znoer: Tempo....keren ya..berani bongkar2. Sebelumnya, Majalah TEMPO Edisi 21-27 Desember 2020 dengan judul cover “Koruspi Bansos Kubu Banteng” menyoroti sepak terjang elit PDIP dalam korupsi Bansos. Dalam sebuah judul di Majalah TEMPO, “Otak-Atik Paket Bansos dan Jatah untuk Pejabat Negara” ditemukan adanya peran putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam pengadaan goodie bag yang diproduksi PT Sritex. Konon, nama Sritex merupakan rekomendasi Gibran. Hanya saja penyebutan untuk Gibran disamarkan oleh sumber TEMPO dengan kode “Anak Pak Lurah”. Oleh TEMPO, kode “Pak Lurah” disebut mengacu ke Jokowi. Masih menurut laporan Majalah TEMPO, pada akhir April lalu, mantan Mensos Juliari Peter Batubara telah menyatakan mengajak perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah untuk memproduksi goodie bag. Politikus PDIP Deddy Sitorus mempertanyakan data yang diperoleh Majalah TEMPO. Sebab seharusnya, data yang didapat tersebut menjadi dokumen hukum yang seharusnya dibuka di pengadilan. “TEMPO tahu dari mana? Terserah mereka-lah. Nanti di tingkat pengadilan, kalau tidak benar nanti kita sue (tuntut) TEMPO-nya,” ujarnya, seperti dilansir SuaraNasional.com, Minggu (20/12/2020). Perusahaan tekstil raksasa Sritex mendapat jatah pembuatan 1,9 juta kantong kemasan, berkat rekomendasi “Anak Pak Lurah”, Gibran Rakabuming Raka, yang baru memenangkan Pilkada Kota Solo pada Pilkada Serentak 2020, 9 Desember lalu. PDF, _screenshot_ majalah TEMPO menyebar dengan cepat di media sosial. Media-media online juga ikut ramai mengutip laporan TEMPO dan memberitakannya. Pemberitaan media dan tagar #TangkapAnakPakLurah ini, direaksi kubu pendukung Presiden Jokowi. “Sejak Senin pagi (21/12/2020) tagar #TempoMediaASU mulai bergema. Dan, masuk dalam trending topic Indonesia, namun belum bisa mengalahkan #TangkapAnakPakLurah,” ungkap wartawan senior Hersubeno Arief. Riuh rendahnya pemberitaan dan tagar Anak Pak Lurah ini juga membuat Gibran gerah. Dia menantang agar KPK segera menangkapnya. “Silakan tangkap kalau ada bukti,” tantangnya. Melihat pilihan kosa kata ASX, kita sesungguhnya sudah bisa menduga siapa yang bermain di belakang tagar ini. Kosa kata itu khas gaya Jawa Tengah-an, khususnya kota Solo. Kata itu adalah sebuah makian. Menunjukkan betapa kesal dan marahnya mereka kepada Majalah TEMPO. TEMPO Group dalam beberapa pekan terakhir memang tidak hanya menelanjangi Juliari dan PDIP, tapi juga menyerang “Anak Pak Lurah”. Masih ingat saat ramai-ramai menjelang Pilpres 2019 lalu? Bupati Boyolali Seno Samudro memaki Capres Prabowo ASX. Gara-garanya, hanya karena Prabowo Subianto mengucapkan guyonan “Tampang Boyolali”. Sebuah makian yang sangat tidak pantas terhadap seorang capres. Apalagi kini Prabowo malah menjadi Menhan dalam Pemerintahan Presiden Jokowi. *Rekom Gibran?* Dalam Laporan Utama Majalah TEMPO Edisi 21-27 Desember 2020 disebutkan, masuknya nama Sritex sebagai penyedia goodie bag bansos merupakan rekomendasi dari putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Juliari diduga bertemu dengan salah seorang anggota staf Puan Maharani – yang oleh netizen disebut “Anak Bu Camat” yang mengarah ke Megawati Soekarnoputri – berinisial L. Dalam pertemuan itulah duit miliaran rupiah diserahkan kepada perempuan tersebut. Dua hari sebelum ditahan di rutan KPK, Mensos Juliari menghadap Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jumat pagi, 27 November lalu. Bersama Menko PMK Muhadjir Effendy dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Juliari melaporkan perkembangan penyaluran bansos untuk masyarakat yang terdampak Corona virus Disease 2019 (Covid-19). Kepada TEMPO di kantomya pada Selasa, 15 Desember lalu, Muhadjir mengatakan, dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi meminta tahun depan bantuan sosial diberikan dalam bentuk tunai selama 6 bulan. “Presiden bilang bansos sembako sudah cukup,” kata Muhadjir. Rencananya, duit yang dibagikan per bulan bemilai Rp 300 ribu. Menurutnya, pemberian bansos membetot perhatian Jokowi sejak awal. Sehari seusai pertemuan di Istana, Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan Juliari menjadi tersangka penerima suap bansos. Sebelumnya, KPK mencokok pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso, dan sopimya; Sanjaya, Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja; broker Harry van Sidabukke; serta beberapa orang lain di Jakarta dan Bandung. “Penyerahan uang dilakukan pada Sabtu pukul 02.00 di salah satu tempat di Jakarta,” kata Firli. KPK menyita duit Rp 14,5 miliar dalam penangkapan tersebut. Pemberian fulus itu diduga bertujuan agar Juliari dan anak buahnya memilih perusahaan Ardian dan Harry sebagai vendor penyedia bansos di kawasan Jabodetabek. Ardian dan Harry menjadi tersangka pemberi suap, sedangkan Juliari dan dua anak buahnya, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, menjadi tersangka penerima suap. Dari pengusaha ini, Juliari diduga telah menerima suap senilai Rp 17 miliar. Duit ini dipungut dari pemotongan dana bantuan sosial sebesar Rp 10 ribu dari paket bahan pokok seharga Rp 300 ribu. Selama 8 bulan ini, sudah 23,708 juta paket senilai Rp 6,464 triliun yang disalurkan. “Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang haruss disetorkan para rekanan pada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko,” ujar Firli. Pada Ahad dinihari, 6 Desember 2020 lalu, setelah anak buahnya ditangkap KPK, Juliari menyerahkan diri kepada komisi antikorupsi. Setelah diperiksa KPK, dia menyatakan akan mengikuti proses hukum. “Mohon doanya,” kata Juliari kepada para pewarta . Program bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19, yang terdiri atas 14 tahap, dua diantaranya buat komunitas, diduga dirancang untuk menjadi proyek bancakan. Mendasarkan pada regulasi kedaruratan bencana. Kemensos pada Rabu, 8 April 2020, menetapkan mekanisme penunjukan langsung pada perusahaan penyedia paket bahan pokok, penyedia goodie bag, hingga untuk jasa pengiriman bantuan sampai ke kelompok penerima manfaat. Memilih vendor, Menteri Juliari Batubara membentuk tim khusus yang beranggota Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Pepen Nazaruddin serta dua pejabat pembuat komitmen, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Dua pengusaha dan seorang sumber di Kemensos bercerita, tim Juliari itu kerap menggelar pertemuan dengan calon rekanan di restoran Sate Khas Senayan seberang Kemensos, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sejak awal penunjukan, Matheus dan Adi meminta fee Rp 10 ribu per paket. Menurut sumber yang sama, duit itu diserahkan setelah perusahaan mereka mendapat surat perintah kerja dari Kementerian Sosial. Mereka bercerita, belakangan Matheus dan Adi meminta tambahan upeti, selain Rp 10 ribu untuk Juliari Batubara, sebesar 10-12 persen dari nilai pengadaan. Penyebabnya, paket itu ada pemiliknya, yakni sejumlah politikus dan pejabat pemerintah. Nilai rupiah yang “dicopet” itu, seperi informasi yang diterima KPK, mencapai Rp 100.000 per paket. Seperti ditulis Kompas.com, Senin (14 Desember 2020 | 16:13 WIB), bansos yang diterima masyarakat tersebut hanya senilai Rp 200.000 dari yang seharusnya Rp 300.000. “Kalau informasi di luar sih, itu dari Rp 300 ribu, paling yang sampai ke tangan masyarakat 200 (ribu), katanya, kan gitu,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Senin (14/12/2020), dikutip dari Tribunnews.com. Konon, duit hasil “copetan” dana bansos itu sebagian mengalir ke PDIP, dan dipakai untuk pemenangan calon dari PDIP pada Pilkada 2020 lalu. Benarkah? Ditunggu keberanian dan independensi KPK tentunya. Apalagi, Gibran sudah berani menantang KPK, jika “Anak Pak Lurah” ini terbukti ikut menikmati dana bansoss. Penulis wartawan senior fnn.co.id

Setelah Korupsi Juliari, Bagaimana Cara Menyelamatkan PDIP?

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (22/12). Inilah momen yang sangat menentukan bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banteng sedang sekarat. Dikuliti habis oleh majalah TEMPO. Intinya, korupsi Bansos Covid-19 membuat nama PDIP semakin terperosok. Korupsi bansos oleh Juliari Batubara menunjukkan ada masalah serius di tingkat elit PDIP. Artinya, dalam jangka penjang, partai berlambang kepala banteng ini tidak akan menarik bagi generasi muda, khususnya generasi milenial. Ada yang mulai mempertanyakan apakah entitas politik seperti PDIP bisa dibubarkan gara-gara terlalu banyak kadernya melakukan korupsi. Sebetulnya tidak perlu berpikir untuk membubarkan PDIP. Sebab, partai ini sangat mungkin akan bubar dengan sendirinya. Alias auto-bubar. Mengapa bisa begitu? Pertama, ke depan ini kelangsungan hidup suatu partai akan sangat tergantung pada minat kalangan milenial untuk bergabung. Tanpa kaderisasi milenial yang serius, PDIP akan kehabisan darah untuk terus hidup. Ini yang menjadi masalah besar bagi Banteng. Konektivitasnya dengan generasi milenial sangat lemah, kalau tak bisa dikatakan nyaris tidak ada. Nah, secara umum, anak-anak milenial ‘tak masuk’ dengan cara berpikir dan bertindak Bu Megawati, Puan Maharani, Hasto Kristiyanto, dan para senior PDIP lainnya. Kedua, anak-anak milenial rata-rara sangat benci terhadap korupsi. Juga mereka tak suka kolusi dan nepotisme. Plus, mereka pasti tidak akan suka dengan feodalisme di kerajaan PDIP. Padahal, feodalisme inilah yang menjadi “AD-ART” Banteng. Sekali lagi, yang sangat tidak menarik bagi generasi milenial adalah reputasi jelek PDIP gara-gara korupsi yang dilakukan oleh begitu banyak kadernya. Ketiga, gambaran korupsi yang melilit PDIP saat ini sangat mencemaskan. Boleh dikatakan, Banteng dilanda penyakit korupsi akut. Sulit diobati. Sejauh ini, secara statistik, PDIP menempati urutan teratas sebagai partai dengan kader yang terbanyak terlibat korupsi. Yang terbaru, dalam rentang 10 hari terciduk tiga kader PDIP. Pada 27 November 2020, walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna, kena OTT dan ditetapkan sebagai tersangka. Tak sampai sepekan kemudian, bupati Banggai Laut, Wenny Bukamo, terkena operasi yang sama pada 3 Desember 2020. Puncaknya, pada 5 Desember 2020, Juliari Peter Batubara yang waktu itu menjabat sebagai menteri sosial juga kena OTT. Juliari dijadikan tersangka penyunatan dana bansos setidaknya Rp10,000 per paket bantuan Covid-19. KPK menduga jumlah yang dikorupsi kemungkinan mencapai Rp100,000 per paket. Ada jutaan paket yang telah didistribusikan kepada warga yang berhak menerima. Sepanjang 2018, ada delapan (8) kepala daerah asal PDIP yang terjaring OTT korupsi. Dari 8 orang itu, tujuh bupati dan satu walikota. Ini dalam 12 bulan saja. Bisa dibayangkan sebesar apa dampak negatif dari OTT delapan kepala daerah ini. PDIP pastilah mandi comberan akibat penangkapan kedelapan kader seniornya itu. Dan juga akibat berbagai penangkapan lainnya. Baik itu sebelum 2018 maupun setelahnya. Pemberitaan tentang PDIP yang terkait dengan korupsi berlangsung masif. Tak terelakkan, publik mengidentikkan PDIP dengan korupsi. Begitulah kesan yang didapat kalangan milenial. Mereka tahu bahwa PDIP sarat dengan skandal korupsi. Generasi milenial juga menyimak banyaknya komentar di media mainstream dan media sosial yang menyebutkan bahwa PDIP adalah partai terkorup di Indonesia. Sepanjang 2002 hingga 2017, dari 341 kasus korupsi kader 12 parpol, 120 diantaranya (35%) adalah kader PDIP. Jadi, sangatlah berat bagi PDIP untuk membawa masuk anak-anak muda yang berpikiran lurus dan sangat membenci korupsi. Tapi, kalau PDIP tak peduli dengan reputasinya, tentu masih tersedia anak-anak muda yang siap melanjutkan praktik korupsi itu. Di tangan mereka inilah nanti PDIP punah dengan sendirinya. Jadi, setelah korupsi bansos Juliari Batubara, pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara menyelamatkan PDIP. (Penulis wartawan senior fnn.co.id)

Gibran Terperosok Dalam Tas Kantong Bansos

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (21/12). Berbeda dengan Habib Rizieq Shihab (HRS). Gibran Bin Jokowi bisa "tertolong" soal pandemi dan kerumunan pasca kemenangan di Solo. Namun tiba-tiba saja Majalah Tempo mengaitkan Gibran Bin Jokowi dengan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Pak Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Putera Presiden Jokowi ini terseret opini yang sedang menunggu pembuktian. Diberitakan Gibran Bin Jokowi "menolong" PT Sritex untuk mendapatkan proyek pengadaan tas kantong bansos. Akibatnya, "Anak Pak Lurah" ini sontak saja menjadi perbincangan hangat di media informasi. Menteri Sosial Juliari Peter Batubara tersandung korupsi dana bansos sebesar Rp 17 triliun. Sang Menteri menarik potongan hingga Rp. 100.000 untuk setiap paket. Tentu saja Pak Menteri Jualiari tidak sendirian dalam soal ini. Kemungkinan banyak juga pejabat Kemensos yang terlibat. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatka bahwa Juliari dapat terancam hukuman mati berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman bagi mereka yang korupsi dana bencana. Uang dari negara yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat yang sedang susah dan menderita. Majalah Tempo edisi terbaru memberi judul cover "Korupsi Bansos Kubu Banteng" dengan gambar kantong bansos bertuliskan "Dana bansos yang disunat Menteri Juliari Batubara diduga mengalir sampai ke tim pemenangan kepala daerah PDIP. Elit partai banteng disebut-sebut terlibat". Entah karena PDIP tersudutkan dalam kasus korupsi ini, dengan adanya pernyataan Presiden yang menegaskan tidak akan melindungi pelaku korupsi, maka tiba tiba Gibran putera Presiden ikut disebut-sebut. Konflik Jokowi dengan Mega dimulai? Dimulai dari dua staf Kementrian Sosial (Kemensos) yang menceritakan bahwa keduanya diperintahkan untuk menghentikan pencarian vendor penyedia tas bansos karena "itu bagiannya anak pak lurah" katanya. Semula pencarian diarahkan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Namun atas rekomendasi Gibran Rakabuming Raka Bin Jokowi, maka penyedia tas bansos yang berjumlah 10 Juta unit itu diberikan kepada PT Sritex. KPK akan memanggil dan memeriksa Direktur PT Sritex dan Gibran. Pemeriksaan keduanya untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam kasus korupsi yang menimpa Mensos Juliari dari PDIP dan pejabat lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik karena dapat menjadi momen pengujian atas ketegasan Presiden dalam pemberantasan korupsi. Anak yang disayangi, dan awal tidak didorong untuk berkiprah dalam bidang politik itu kini disebut-sebut terlibat skandal. Selama ini majunya Gibran di Pilkada Solo telah disorot habis-habisan sebagai bagian dari nepotisme yang dahulu populer dengan sebutan KKN. Kini Gibran terjebak. Bukan saja terjebak dalam pusaran nepotisme. Tetapi juga dugaan korupsi dan kolusi. Masyarakat menilai Jokowi memaksakan sang putera untuk menempuh karier yang sama, yaitu mulai dengan jabatan Walikota Solo. Jika sang ayah awal sebagai pengusaha meubeul, maka sang anak adalah pengusaha martabak. Dua duanya sebenarnya diragukan kemampuannya di bidang pengelolaan negara. Ada faktor keberuntungan dan kepentingan dukungan. Jokowi dan Gibran seharusnya membaca puisi Kahlil Gibran. Bagian puisi Kahlil Gibran, sang penyair cerdas asal Lebanon yang berjudul "Anakmu bukan milikmu" cukup menarik. "Anakmu bukan milikmu Tetapi anak kehidupan Yang rindu akan dirinya Bisa saja mereka mirip dirimu Tapi jangan menuntut agar menjadi sepertimu Sebab kehidupan itu bergerak ke depan Bukan tenggelam di masa lampau" Pak Jokowi rupanya tidak membaca puisi Kahlil Gibran ini, atau mungkin membaca tetapi tidak peduli dengan urusan puisi. Karena puisi Kahlil Gibran ini pasti tidak berhubungan dengan investasi dan hutang luar negeri. Menjadikan Gibran sang putera sebagai kegiatan investasi justru membawa dirinya akan dekat dengan korupsi. Kini Gibran terperosok ke dalam tas kantong bansos. Tindak pidana korupsi sang Menteri Juliari Peter Batubara. Menterinya Pak Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wawancara TEMPO: Berarti Penembakan KM 50 “Terencana?"

by Mochamad Toha Surabaya FNN – Sabtu (19/12/20). Koran.tempo.co menulis, Rest Area Km 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Senin dinihari, 7 Desember lalu. Hampir semua mata tertuju pada Chevrolet Spin yang melaju tanpa ban kiri depan. Brak. Minibus itu lalu menabrak Toyota Corolla di akses keluar area rehat. Dalam hitungan detik, sejumlah pria bersenjata mengepung mobil yang belakangan diketahui sebagai kendaraan pengawal Habis Rizieq Shihab tersebut. Dua orang di Chevrolet Spin itu diperkirakan telah tewas dan empat orang lainnya ditangkap. Itu merupakan jam terakhir hidup mereka. Sekitar pukul 03.00, enam jenazah anggota Front Pembela Islam tersebut tiba di Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Seorang saksi di Rest Area Km 50 menceritakan penangkapan tersebut kepada Tempo. Dia melihat tiga orang ditelungkupkan di aspal. Salah satunya kemudian mendapat tendangan di kepala. “Sebelum ditendang, kedengaran suara 'ampun, Pak',” kata dia kepada tim liputan Tempo di sebuah kota di luar Jakarta, Rabu dinihari lalu. Tidak mudah baginya untuk menceritakan kesaksian itu. Sebab, identitas setiap pedagang area rehat itu dicatat polisi, sementara pengelola meminta mereka tutup mulut. Dengan bantuan seorang perantara, Tempo membutuhkan lebih dari sepekan untuk meyakininya agar bersedia diwawancarai dengan rekaman suara dan video. Beberapa keterangan yang memperkuat kesaksian tidak kami tuliskan karena dapat mengarah pada pengungkapan identitas saksi. Sejumlah pertanyaan kami ajukan berulang-ulang pada waktu terpisah dan jawabannya konsisten. Menurut saksi, polisi berseragam serba hitam memeriksa telepon seluler banyak orang di Rest Area Km 50 malam itu untuk memastikan tidak ada foto dan rekaman video. Aparat, termasuk yang berbaju sipil, berada di lokasi itu sekitar tujuh jam sebelum penangkapan. Berikut petikan wawancara Tempo: Apa yang membuat Anda melihat ke arah mobil korban? Pas mobil lewat, kaget, karena ada suara kretek-kretek. Suara pelek kena aspal. Terus nabrak mobil di depannya. Jeger. Dikira ada tabrakan. Langsung semua berkumpul di situ. Anda mendekat? Ya. (Saksi mendeskripsikan posisi dan dekatnya jarak dia dari mobil tersebut). Apa yang pertama Anda lihat? Pas saya lihat, sudah pada tiarap. Berapa orang? Yang saya lihat tiga. Mereka masih hidup? Yakin masih hidup. Apa yang membuat Anda yakin? Karena bergerak. Gerakannya bagaimana? (Menolehkan kepala ke kanan-kiri) Meleng-meleng karena waktu itu gerimis. Posisi tangan korban? Tangan ditindih badan. Dua-duanya. Selain tiga orang itu, Anda melihat apa? Saya melihat pas mengeluarkan satu orang lagi. Kayaknya udah meninggal itu. Orang itu penumpang minibus? Orang yang dari dalam mobil. Di pintu belakang kiri. Kenapa menyebut dia meninggal? Dia enggak gerak. Bagaimana cara petugas mengeluarkan? Ditarik. Bagian belakang atau depan badan? Belakang. Seluruh badan dikeluarkan? Saya melihat yang dikeluarkan setengah badan. Lalu dilepas. Kepalanya jatuh ke aspal. Hanya melihat satu korban meninggal? Kawan saya melihat ada lagi. Di pinggir kursi sopir. Tapi enggak dikeluarin. Apa hal lain yang petugas lakukan di mobil itu? Saya melihat mereka mengeluarkan senjata. Celurit sama samurai. Jam berapa peristiwa terjadi? Setengah satu. Lewat jam 12. Dengar suara tembakan? Tidak. Tapi kawan saya dengar. Dia bilang dua kali, habis mobil berhenti. Kawan saya melihat pas masuk, mobil itu sudah hancur. Bagian depan, kiri, kanan, sudah rusak. Di depannya, ada mobil. Jadi nabrak dan berhenti. Kawan saya juga melihat mobil itu dibuntuti. Penguntitnya berhenti jauh di belakang. Arah dari pintu masuk, di sebelah kiri jalan. Teman Anda juga melihat tiga orang ditelungkupkan? Kawan saya melihat empat. Karena sudut pandang beda dan gelap. Berapa lama mereka diminta tiarap? Kira-kira lebih dari 30 menit. Lama-lah. Sampai bete juga nunggunya. Tiga atau empat orang itu tidak berubah posisi selama 30 menit? Saat mereka tiarap, saya lihat ada yang kepalanya ditendang. Satu orang. Sebelum ditendang, kedengeran suara "Ampun, Pak." Anda melihat saat korban dipindahkan ke mobil? Pas dimasukin mobil, saya enggak lihat. Tapi saya lihat dua orang jalan jongkok sambil (menempatkan kedua tangan di belakang kepala). Jaraknya lumayan dari tempat kejadian. Berapa orang? Saya lihat dua. Kawan saya melihat tiga. Seorang lagi kepalanya kayak diperban gitu sebelum dimasukin ke mobil. Mereka diborgol? Tidak. Mengapa Anda mengatakan petugas telah berada di lokasi sebelum kejadian? Mereka ada sejak (Ahad, 6 Desember) sore, menjelang magrib. Pas wudu mau salat magrib, senjatanya diselempangin di punggung. Apa warna seragamnya? Hitam-hitam. Anda yakin mereka bukan cuma sedang mampir? Kalau pengunjung, enggak bakal lama di situ. Apa yang mereka lakukan selama tujuh jam itu? Teman saya melihat mereka ngopi. Ditanya, ada kegiatan apa? Dijawab yang baju hitam, "Lihat saja entar. Pokoknya spesial." Mereka ikut dalam pengepungan? Yang bawa laras panjang itu menjaga biar enggak ada yang berkerumun. Orang-orang yang mau mendekat diusir. Pas mau akhir penangkapan kayak razia gitu. Enggak boleh rekam video. Enggak boleh ada foto. Handphone dilihat sampai ke galerinya. Berapa orang yang memeriksa telepon? Saya lihat dua orang yang baju hitam itu. Semua pedagang diperiksa teleponnya? Tidak. Yang dekat lokasi saja. Sampai rombongan pergi, saya masih mendengar mereka memeriksa HP. Sekitar jam berapa rombongan polisi meninggalkan lokasi? Tidak tahu. (Majalah Tempo edisi 14 Desember 2020 menuliskan polisi beranjak dari Rest Area KM 50 sekitar pukul 01.30) Polisi pergi secara berombongan? Berurutan. Satu-satu. Sering menyaksikan polisi menangkap orang di Rest Area KM 50? Baru pertama kali. Polisi menyebutkan empat korban ditembak akibat melawan petugas di Kilometer 51+200. Anda mendengar letusan senjata sesaat setelah polisi berangkat? Enggak ada. Teman Anda mendengar? Tidak. Operasi Spesial "Lihat saja entar. Pokoknya spesial". Kutipan jawaban aparat berseragam hitam-hitam yang menunggu selama 7 jam di Rest Area Km 50 itu, menunjukkan bahwa operasi “penyergapan” pengawal HRS tersebut sudah direncanakan sebelumnya. Apalagi melibatkan aparat berseragam hitam-hitam (diduga dari satuan Brimob). Setidaknya mereka bertugas untuk mengamankan TKP dan “menjaga biar enggak ada yang berkerumun. Orang-orang yang mau mendekat diusir”. Seorang teman pedagang mendengar dua kali suara tembakan di Rest Area Km. “Dia bilang dua kali, habis mobil berhenti. Kawan saya melihat pas masuk, mobil itu sudah hancur,” ujar saksi kepada Tempo. Berarti, penembakan itu terjadi sesaat setelah mobil Chevrolet Spin berhenti di Rest Area Km 50. Boleh jadi, dua pengawal HRS itu tewas di dalam mobil. Diduga, ban mobil kiri depan itu ditembak jauh sebelum memasuki Rest Area Km 50. Adanya satuan berseragam hitam-hitam di Rest Area Km 50 sejak Minggu sore, 6 Desember 2020 dan pernyataan “pokoknya spesial” tersebut menunjukkan bahwa Rest Area Km 50 itu dipersiapkan untuk “operasi spesial” atas rombongan HRS. Dan, di Rest Area Km 50 itu pula, empat pengawal HRS lainnya diketahui masih hidup. Di mana mereka dieksekusi oleh “OTK” yang belakangan diketahui ternyata aparat Kepolisian? Versi Bareskrim Polri, di dalam mobil karena melawan. Sekitar pukul 03.00, enam jenazah anggota Front Pembela Islam tersebut tiba di Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Berdasar tulisan Tempo pula, rombongan petugas meninggalkan Rest Area Km 50 sekitar pukul 01.30. Namun, jika benar mereka ditembak di dalam mobil petugas, seharusnya saat Rekonstruksi, mobil ini dihadirkan. Dan, setidaknya bisa jadi barang bukti, kecuali dilakukan di tempat lain. Bercak darah selama 2,5 jam menuju RS pasti ada yang tercecer. “Anda mendengar letusan senjata sesaat setelah polisi berangkat? Enggak ada. Teman Anda mendengar? Tidak,” tulis Tempo. Berarti eksekusi terhadap empat pengawal HRS lainnya ini dilakukan “bukan di dalam” mobil. Apalagi ada bekas siksaan. Sangat tidak mungkin korban disiksa setelah ditembak tepat di area jantung. Yang mungkin adalah mereka disiksa dulu, setelah itu barulah ditembak. Penulis wartawan senior fnn.co.id

Menahan Orang Unjuk Rasa Jelas Pengecut dan Melanggar HAM

by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (18/12). Lebih 100 orang yang berniat ikut aksi 1812 hari Jumat (18/12), ditahan petugas di Bakauheni ketika mereka hendak menyeberang menuju Jakarta. Berbagai sumber menyebutkan, setiap orang diinterogasi lama sekali. Satu jam lebih untuk satu orang. Dari tengah malam sampai pagi hanya bisa selesai 10 orang saja. Apakah layak diperlukan waktu satu jam untuk menanyai seorang penumpang bus yang mau pergi ke Jakarta? Sangat mengada-ada. Akhirnya rombongan itu balik arah. Mereka menyerah. Tak mungkin diteruskan. Bagaimana orang melihat penahanan rombongan itu? Apakah ada justifikasi untuk petugas? Pertama, penahanan itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran hak dasar rakyat untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Melanggar hukum tertinggi di negara, yaitu UUD 1945 pasal 28 E. Karena itu, tindakan petugas yang menahan bisa diadukan ke Komnas HAM. Kedua, penahanan orang yang ingin ikut demo menunjukkan bahwa pihak yang berkuasa tak percaya diri menghadapi aksi protes yang sifatnya legal dan damai. Para penguasa menunjukkan sensitivitas. Sehingga layak disebut bahwa mereka benar-benar terpojok oleh aksi 1812. Artinya, para penguasa punya masalah besar dengan pembunuhan 6 laskar FPI dan penahanan Habib Rizieq Syihab (HRS). Ketiga, penghadangan orang yang ingin ikut aksi 1812 merupakan bentuk kepengecutan para penguasa. Kalau penguasa yakin tidak ada masalah dengan pembunuhan 6 laskar FPI dan penahanan HRS, untuk apa peserta aksi dihalangi. Biarkan saja mereka masuk ke Jakarta. Kalau pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan, bukankah kerumunan banyak terjadi di mana-mana termasuk kerumunan pilkada di Solo dan pilkada-pilkada lainnya? Pihak yang berkuasa memang diuntungkan oleh Covid untuk banyak hal. Mereka bisa kucurkan dana ratusan triliun untuk “membantu” dunia usaha yang terkena dampak wabah. Para penguasa pun bisa menilap dana itu untuk mengisi pundi-pundi mereka. Hari ini, para penguasa diuntungkan oleh Covid untuk menindas aksi unjuk rasa. Aksi yang bertujuan melawan kezaliman terhadap umat dan ulama. Tapi, cara-cara busuk pasti tidak akan bisa bertahan. Hidup ini akan terus berputar dan dipergilirkan. Itu hukum alam. Kekuasaan tidak akan menjadi milik satu orang saja. Tak lama lagi, kebenaran akan kembali berkibar dan menjadi rujukan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Penahanan HRS Boleh Jadi Awal Seleksi Cara Langit

by Asyari Usman Medan FNN - (Selasa 14/12). HRS diperiksa polisi selama 13 jam. Setelah itu, ditahan. Tangannya digari. Dibawa dengan mobil tahanan menuju sel. Perlukah semua ini dilakukan oleh polisi? Tentu jawaban normatifnya adalah semua itu prosedur tetap (protap). Apa kira-kira maksud protap itu diberlakukan kepada Habib? Pantas diduga tujuan gari tangan, rompi orangye, mobil tahanan dan kemudian sel tahanan adalah untuk merendahkan Habib. Membuat agar beliau ‘down’. Tercapaikah tujuan itu? Kelihatannya tidak. HRS sudah siap mental. Dia tahu persis risiko perjuangan yang diusahakannya. Rata-rata orang berpandangan bahwa gari tangan, mobil tahanan dan sel penjara adalah bentuk penghinaan terhadap ulama. Dilihat sebagai tindakan yang melecehkan. Tindakan yang berlebihan yang tidak perlu. Dan sangat menyakitkan bagi umat. Pastilah menyakitkan. Jika dilihat dengan cara biasa, maka proses penahanan HRS itu menjatuhkan martabatnya. Karena itu, banyak umat yang merasa sedih. Terpukul melihat perlakuan terhadap Habib. Banyak yang menangis menyaksikan itu. Terasa kejam dan sangat kasar. Begitu penilaian banyak orang dengan cara pandang biasa. Ini bisa dimaklumi. Namun, ada cara lain melihat proses penahanan HRS yang tampak kejam itu. Peristiwa gari tangan, mobil tahanan dan sel penjara untuk HRS bukanlah penghinaan. Boleh jadi, inilah awal dari proses seleksi rancangan Langit. Yaitu, seleksi yang bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepahaman tentang perjuangan. Lebih-kurang, Allah SWT lewat penahanan HRS yang terasa menyakitkan itu sedang merekrut orang-orang yang siap maju ke depan. Siap berjuang ‘all out’ untuk menegakkan keadilan. Agar keadilan itu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Yaitu, keadilan untuk rakyat jelata. Keadilan untuk para penguasa. Ketika rakyat bahagia, maka para penguasa pun wajar bahagia. Jika rakyat menderita, maka para penguasa harus merasakan penderitaan itu. Bila perlu, penderitaan penguasa lebih berat lagi. Ketika rakyat dizalimi oleh para penguasa, maka para penguasa harus menerima kembali kezaliman itu. Inilah konsep keadilan yang akan ditegakkan oleh para pejuang yang boleh jadi sedang diseleksi oleh Yang Maha Kuasa, hari ini. Jika rakyat diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa, maka penguasa pun harus merasakan derita yang setimpal dengan kesewenangan mereka. Jika rakyat kehilangan kuping, maka para pelaku kezaliman harus kehilangan kuping. Siapa pun pelakuknya. Jika rakyat kehilangan nyawa karena kesewenangan para penguasa, maka para penguasa pun wajib dihukum secara adil dan setimpal dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Itulah cara lain melihat proses penahanan HRS. Ada semacam pesan Langit kepada seluruh umat bahwa mereka sedang diseleksi dengan sistem yang tidak sama dengan cara pengrekrutan di Bumi. Seleksi cara Langit bisa sangat sulit dipahami. Tetapi, proses itu akan berjalan dengan sendirinya. Semua pejuang keadilan yang diperlukan Langit akan terkumpulkan secara natural. Akan berbondong-bondong umat yang mengikuti seleksi Alam itu. Ini yang mungkin tidak terkalkulasikan oleh lingkaran kezaliman. Wallahu a’lam.[] Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Tetapkan Gibran & Bobby Sebagai Tersangka

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/12). Penetapan tersangka kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan lima orang lainnya adalah preseden buruk penegakan hukum negeri ini. Pada kekuasaan Jokowi inilah hukum ditegakkan suka-suka seleranya penguasa saja. Persoalan keadilan dan kezaliman, itu urusan nanti. Yang penting, tangkap saja dulu. Salah atau benar, juga itu urusan belakangan. Model kegiatan serupa yang berfokus pada adanya kerumunan oarang dalam jumlah banyak harusnya juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pilkada sangat potensial untuk menetapkan banyak orang menjadi tersangka. Salah satunya adalah Pilkada Solo dimana Gibran bin Jokowi telah melakukan unjuk massa pendukung untuk berkerumun. Begitu juga yang terjadi dengan Bobby Nasution, suaminya Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Bobby juga mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Mulai dari rangkaian kegiatan pra pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sampaing dengan pendaftaran di KPU dan kampanye-kapmpanye pasangan Bobby di pemilihan Walikota Medan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk kepada putera dan anak mantu Presiden Gibran dan Bobby. Asas "equality before the law" itu berlaku universal untuk semua warga negara. Karenanya tidak berbeda antara HRS dengan Gibran dan Bobby Nasution. Proses hukum juga harus diberlakukan kepada Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution dengan tuduhan sama kepada HRS. Tersangkakan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, serta orang-orang sekitarnya yang ikut menentukan terjadinya kerumunan dalam melanggar protokol kesehatan. Masyarakat berhak bertanya, mengapa urusan Pilkada dibenarkan untuk berkerumun? Apakah karena dilakukan oleh pendukung dari kalangan partai politik penguasa? Mengapa kerumunan di pasar-pasar tradisional masih dibolehkan, mengapa acara pernikahan di tempat lain, meski dengan anjuran mengikuti protokol kesehatan tetap berkerumun juga tidak ditersangkakan? Maksimum hanya ditegur. Memang persoalan HRS dilihat penguasa bukan lagi masalah hukum. Tetapi persoalan stabilitas politik . Masalah represivitas penguasa dan keangkuhan politik terasa sangat dominan. Nah kini dalam kasus proses politik, maka hal yang membahayakan kesehatan masyarakat harus diberi sanksi pula. Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, mantu Jokowi termasuk di dalamnya. Kegiatan dan proses politik yang nyata-nyata membahayakan keselamatan masyarakat. Karena itu harus ada pertanggungjawaban atas kerumunan para pendukung dalam kemenangannya. Apakah memang polisi mennganggap bahwa tidak ada pelanggaran protokol kesehatan pada kumpulan banyak orang yang dilakukan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution? Ketika ada pejabat beralasan bahwa kasus Gibran dan Bobby Nasution berada di bawah aturan UU Pilkada, sehingga jadinya berbeda dengan perlakukan kepada HRS. Jika demikian yang menjadi alasan, maka ini nyata-nyata pembodohan publik namanya. Sebab keduanya berada dalam kondisi yang sama, yaitu sedang musim pandemi Covid 19. Bahwa yang satu diatur dengan UU Pilkada, maka yang lainnya juga diatur oleh UU Perkawinan. Jika diberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai "Lex Specialis", maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan perlakuan hukum. Kalau HRS ditersangkakan, maka layak untuk Gibran dan Bobby juga jadi tersangka. Sebagai anak Presiden tentu tidak bisa dibedakan dan diringankan hukumannya. Malah seharusnya menjadi teladan, sehingga perlu diberatkan hukumannya. Pelanggaran atas asas "equality before the law" adalah pelanggaran juga terhadap UUD 1945. Artinya Presiden telah melanggar konstitusi negara. Hanya satu pilihan opsional untuk keadaan ini, yaitu bebaskan HRS dari tuduhan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP atau segera tersangkakan dan proses hukum Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Apapun yang ditimpakan kepada HRS, berlaku pula untuk Gibran daqn Bobby. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.