HUKUM

Haruskah Sumpah Mubahalah Dengan Komnas HAM?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memiliki kewenangan penuh untuk menggali fakta dan menyelidiki kasus pembunuhan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 Jalan tol Jakarta-Cikampek (Japek). Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM berujung pada kesimpulan bahwa telah terjadinya "unlawful killing" oleh aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya Komnas HAM juga menyatakan sebagai pelanggaran HAM, maka selanjutnya mesti diproses secara hukum. Bukan kategori pelanggaran HAM berat. Akibatnya, publik menilai kerja Komnas HAM belum optimal karena ada hal yang tidak terungkap, janggal, bahkan mungkin juga disembunyikan. Atas dasar banyak faktor. Namun paling kurang ada tiga hal yang menjadi pertanyaan mendasar, yang justru tidak diungkap oleh Komnas HAM. Pertama, Komnas sama sekali tidak melihat adanya indikasi penganiayaan oleh aparat terhadap keenam anggota Laskar FPI. Padahal foto-foto dan hasil otopsi dimiliki justru sangat mencurigakan. Saat ini dugaan tersangka aparat kepolisian justru dituduh atas pelanggaran terhadap Pasal 338 Jo 351 KUHP. Nah, Pasal 338 KUHP menyangkut pembunuhan dan Pasal 351 adalah penganiayaan. Kedua, keberadaan mobil Land Cruiser yang datang ke Tempat Kajadian Perkara (TKP ) di Rest Area kilometer 50 tidak terkuak siapa personalnya? Padahal saksi yang ada yang ada TKP melihat bahwa terjadi selebrasi seperti sebuah tim bola voli. Selebrasi yang dipimpin oleh "pejabat" yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut. Pemeriksaan kepada polisi yang bertugas di kilometere 50 tol Japek telah dilakukan oleh Komnas HAM. Apakah seluruh saksi bungkam, termasuk yang berselebrasi atas siapa "komandan" yang memimpin itu? Benarkah Komnas HAM tidak tahu juga siapa yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut? Ketiga, yang menjadi pertanyaan Komnas HAM mengenai mobil yang membuntuti dan menembak saat berkejar-kejaran di jalan menuju gerbang tol Karawang Barat. Ada mobil Avanza hitam nomor polisi B 1739 PWQ dan Avanza silver nomor polisi B 1278 KJD. Aneh bin ajaib jika Komnas HAM tidak dapat menemukan siapa penumpang dua mobil pembuntut dan pengejar tersebut. Semestinya terlalu mudah bagu Komnas HAM untuk mengetahui penumpak di movil Avanza hitam B 1739 PWQ dan avanza silver B 1278 KJD. Mudah karena bisa didapat dari keterangan anggota polisi sendiri. Apalagi dalihnya adalah "tembak-menembak" dengan aparat kepolisian. Atau memang mereka bukan Polisi? Kalau bukan polisi, mereka dari instansi mana? Mungkinkah mereka yang terlibat tembak-menembak, sehingga mengakibatkan dua anggota Laskar FPI meninggal itu di TKP adalah anggota polisi yang Bawah Kendali Operasi (BKO) ke instansi negara lain? Misalnya, di-BKO-kan ke Badan Intelijen Negara (BIN)? Mengapa Komnas HAM begitu berat untuk mengungkapkan pelaku penembakan terhadap dua anggota Laskar FPI tersebut. Tiga hal di atas menjadi sangat penting ,atau bagian dari kunci operasi pembunuhan dan penganiayaan terhadap enam anggota laskar FPI. Tiga hal yang semestinya diketahui Komnas HAM saat melakukan penyelidikannya. Jika ternyata memang mengetahui tetapi tidak mengungkapkan, berarti Komnas HAM telah menyembunyikan fakta atau temuan. Keyakinan Komnas HAM bahwa telah terjadinya tembak-menembak yang menewaskan dua anggota laskar FPI. Sementara Komnas HAM tidak mengetahui siapa pelaku atau aparat penguntit dan pembuntut yang terlibat "tembak menembak". Ini juga sangat aneh dan janggal. Bisa berkesimpulam terjadi tembak-menembak. Tetapi tidak tau siapa pelaku yang terlibat tembak-menembak. Komnas HAM juga menyimpulkan tidak terjadi unlawful killing pada pembunuhan dua anggota Laskar FPI tersebut. Padahal keterangan itu hanya didapat dari pengejar, pembuntut, serta penembak sendiri. Mereka adalah penumpang mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Pihak keluarga meyakini keenam laskar tidak memiliki senjata api. Sementara pihak Kepolisian dan Komnas HAM yakin terjadi tembak-menembak. Artinya, anggota laskar itu memiliki senjata api. Beberapa waktu lalu pihak keluarga korban menantang kepolisian untuk melakukan sumpah mubahalah terkait dengan tuduhan kepemilikan sejata api, namun pihak kepolisian tidak ada yang hadir. Mengingat layak diduga terjadi penyembunyian fakta dan temuan oleh Komnas HAM, apalgi Komnas HAM telah meyakini anggota laskar memiliki senjata api, maka muncul pertanyaan haruskah dilakukan pula sumpah mubahalah dengan Komnas HAM? Ketika tuntutan masyarakat agar dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen tidak dipenuhi, maka Komnas HAM akhirnya diberi kepercayaan untuk melakukan penyelidikan. Dengan demikian, tanggungjawab hukum telah diambil oleh Komnas HAM. Mengingat hal ini menyangkut urusan nyawa manusia, maka Komnas HAM tentu juga bertanggung jawab untuk urusan dunia dan akhirat. Karenanya sumpah mubahalah adalah sarana lain yang bisa digunakan untuk menguak misteri pembunuhan sadis atas enam anggota laskar FPI oleh aparat kepolisian atau instansi lain yang terlibat. Beranikah Komnas HAM sumpah mubahalah? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

KM 50 Tol Japek Memburu Pemilik Ide Kejahatan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Bangsa ini sering dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Juga dielu-elukan sebagai negara hukum. Namun sejarah membuktikan, pertarungan ideologi dan kepentingan politik tak jarang mengangkangi hukum dan demokrasi. Kini, sejarah itu kembali menampakkan kepongahannya. Kasus hukum yang bertubi-tubi menimpa Front Pembela Islam (FPI), ditengarai cacat hukum, intimidatif dan diskriminatif. Konon, itu terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), penutupan organisasi FPI, dan seterusnya. Puncaknya adalah unlawful killing, pembunuhan di luar hukum terhadap enam pemuda laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek), beberapa waktu lalu. Terhadap pembunuhan di luar hukum ini, hasil penyelidikan Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta aparat berwenang untuk menyelidiki lebih lanjut. Permintaan Komnas HAM merujuk secara khusus kepada wafatnya empat laskar FPI. Soalnya, empat pemuda ini harus menemui ajal dalam penguasaan polisi. Versi polisi, mereka merebut pistol aparat sehingga bentrok tak terelakkan di dalam mobil. Namun argumen polisi itu terasa janggal. Keempat laskar harusnya diborgol, sebagaimana jamaknya Standard Operation Procedure (SOP) penangkapan yang dilakukan polisi. Apalagi, mereka dituding terlibat adu tembak sebelum akhirnya dibekuk. Meski polisi beralasan aparat tidak dilengkapi borgol karena mereka bukan tim penangkapan, namun tetap saja kita mencium aroma kelalaian. Borgol bukanlah barang "mewah". Bukan pula barang yang memerlukan kualifikasi tertentu untuk ditenteng aparat, sebagaimana senjata berpeluru tajam. Dua anggota laskar FPI lainnya wafat lebih dulu di lokasi kejadian. Baik kepolisian maupun Komnas HAM, keduanya berpendapat terjadi baku tembak. Namun, sejumlah pihak menemukan keterangan berbeda. Salah satunya temuan wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi. Saat menginvestigasi ke Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di akun youtubenya, Edy mengaku telah mewawancara tiga orang sumber yang saat itu berada lokasi kejadian, yang polisi menyebutnya dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Para saksi itu menerangkan tidak melihat ada baku tembak, melainkan hanya mendengar dua kali tembakan. Dua tembakan itulah yang diduga menewaskan dua laskar FPI. Belakangan, Rest Area KM 50 dibongkar habis. Diratakan dengan tanah. Tidak ada lagi yang tersisa di TKP Rest Area KM 50 Tol Japek. Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI Abdullah Hehamahua mempertanyakan tindakan ini. Menurutnya, di lokasi bukan tak mungkin terdapat barang bukti yang masih dapat ditelisik. Kekhawatiran Hehamahua tentu bisa dipahami. Yang menyedihkan, dalam perjalanan perkara selanjutnya, keenam pemuda FPI itu dijadikan tersangka, meski telah wafat. Alasan versi Menkopolhukam Mahfud MD, konstruksi hukum mengharuskan penersangkaan. Tetapi sejumlah ahli hukum membantah dan menyebut langkah hukum ini justru melawan Pasal 77 KUHP. Artinya, melawan hukum. Sarat Kontroversi Begitu banyak kontroversi dalam kasus ini, hingga sulit diramu satu per satu. Namun satu hal yang pasti, konstitusi memerintahkan “negara melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia”. Melindungi setiap nyawa warga negara adalah kewajiban pemerintah. Sebaliknya, penghilangan nyawa satu rakyat saja tanpa alasan kuat adalah tindakan melawan konstitusi yang juga melanggar HAM. HAM adalah anugerah yang wajib dihormati. Dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan kita semua. HAM seharusnya menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diskriminasi dan intimidasi yang berujung pada hilangnya hak hidup, tentu harus direspon oleh hukum secara adil. Bila tidak, wajah bangsa ini akan semakin kusam dalam pandangan dunia internasional. Karena kejahatan HAM selalu menjadi perhatian masyarakat global. Bangsa ini telah cukup banyak menyimpan problem HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Jangan ditambah lagi. Hari ini ,16 Maret 2021, tepat 100 hari kematian 6 pemuda Laskar Front Pembela Islam. Hingga 100 hari pasca kepergian almarhum, pihak keluarga masih mengejar keadilan. Kita bersimpati kepada keluarga yang ditinggal dan memanjatkan doa terbaik untuk para almarhum. Semestinya, belasungkawa juga datang dari pemerintah. Entah itu dari Presiden Jokowi atau setidaknya salah seorang menteri Kabinet Indonesia Maju. Tetapi kita tidak mendengar ucapan itu. Sangat kering dan gersang negara berbelasungkawa kepada rakyatnya. Apalagi karangan bunga dukacita segala. Konteksnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini tentang soal kemanusiaan. Ikut bersimpati pada duka keluarga korban rasanya tidak akan terlalu memberatkan. Tidak juga mengurangi kehormatan dan waktu para pejabat. Sebaliknya, ucapan dukacita barangkali saja bisa mendinginkan suasana dan menjadi pintu masuk dialog antara keluarga korban dengan pemerintah. Di jegad media sosial, viral orang tua para almarhum laskar FPI yang wafat itu melakukan sumpah mubahalah. Sumpah mubahalah memang dikenal pada mekanisme hukum pembuktian Islam di zaman Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam. Sumpah ini bahkan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallaahu Alaihi Wasallam sendiri. Hukum Indonesia tidak mengenal sumpah mubahalah. Kalau toh dilakukan, agaknya tidak akan meringankan atau memberatkan dalam konteks hukum positif Indonesia. Tetapi sumpah itu toh tetap saja menjadi pilihan. Boleh jadi karena orang tua korban merasa kepentingan hukumnya tidak bakalan sepenuhnya diayomi penegak hukum. Memasuki Babak Baru Kini, insiden wafatnya enam laskar FPI memasuki babak baru. Tiga anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam bentrok dengan enam laskar FPI, tengah diperiksa. Sinyal yang diberikan Kabareskrim Polri, tidak menutup kemungkinan ketiganya menjadi tersangka. Bila benar tiga Anggota Polda Metro Jaya melakukan pembunuhan itu, harus dipastikan apakah tindakan itu dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasan? Yang kita tahu, garis komando itu begitu mendarah daging dalam diri aparat kepolisian dan personel TNI. Seorang petugas lapangan umumnya tidak akan berani mengambil keputusan berdampak besar bila tidak ada perintah atasan. Jika benar didasari atas perintah atasan, maka kasus ini tidak boleh berhenti hanya pada petugas di lapangan. Pemilik ide kejahatan dan pemberi komando harus dikejar. Meski begitu, harus diakui pula bahwa kemungkinan inisiatif sendiri tetap ada, meski potensinya sangat kecil. Itu bisa terjadi jika situasi lapangan mengharuskan. Pada sisi lain, lagi-lagi muncul kontroversi baru. Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI menduga ada eksekutor lain dalam peristiwa di Km 50 Tol Japek, 7 Desember 2020. Dugaan ini disinyalir Ketua TP3 Abdullah Hehamahua berdasarkan penuturan saksi mata di sekitar lokasi. Dugaan Hehamahua sebaiknya tidak dikesampingkan begitu saja. Terlebih, dugaan ini punya kecocokan dengan temuan investigasi Komnas HAM. Komnas menyebut ada sejumlah pria yang membawa senjata laras panjang di sekitar KM 50, yakni aparat penjaga jalur pengiriman vaksin Covid-19. Meski begitu, selalu terbuka alternatif lain yang dapat terjadi. Belajar dari kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnain, misalnya. Faktanya, di persidangan terungkap bahwa eksekutor yang disewa Mantan Ketua KPK Antasari Azhar ternyata gagal menunaikan tugas. Pistol sang eksekutor macet. Tetapi Nasrudin Zulkarnain toh tetap tewas dengan peluru bersarang di kepala. Peristiwa sejenis itu pula yang dikhawatirkan oleh Hehamahua. Menurut dia, peluru yang menyasar di kepala Nasrudin Zulkarnain berasal dari senapan sniper, penembak jarak jauh. Baik Komnas HAM maupun penyidik di Kepolisian seharusnya memikirkan alternatif semacam ini, agar penanganan dan pengembangan perkara tepat sasaran dan berkeadilan. Jangan sampai yang salah dibuat menjadi soelah-olah benar, dan yang benar jangan sampai disalahkan. TP3 bersama Amien Rais telah menemui presiden. Segala harapan, unek-unek, dan bahkan ancaman siksa api neraka telah disampaikan. Kita menunggu sejauh mana langkah bijak Presiden Joko Widodo. Penulis Adalah Senator DPD RI

Pembunuhan Enam FPI Laskar Pelanggaran HAM Berat

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ocehan Mahfud MD yang meminta bukti terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat tentu tidak proporsional. Sejak awal yang dituntut oleh publik adalah pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Bukan hanya diserahkan kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM. Usul ini dimaksudkan agar temuan lebih obyektif, dan mendalam. Hasil temua dari TPF Independen diharapkan tidak terpengaruh oleh kekuasaan, baik itu Pemerintah maupun para tertuduh, yakni aparat Kepolisian. Kalau hanya mengandalkan penyelidikan dari Komnas HAM, maka kemungkinan pengaruh-pangruh berbagai pihak bisa saja bermunculan. Pengaruh itu tidak tampak ke permukaan. Namun bisa dirasakan oleh masayarakat. Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD hanya menjadi corong dari semangat "negara tidak boleh kalah" dan "aparat juga yang tak boleh kalah". Ini persoalan bukan persoalan kalah menang, tetapi benar atau salah. Karenanya perlu pemeriksaan dan pengusutan kasus yang secara transparan dan obyektif. TPF Independen mampu untuk ini. Komnas HAM faktanya bekerja tidak transparan. Malah ada kecendrungan "takut-takut" membongkar fakta yang sebenarnya. Misalnya, nama-nama pelaku yang diduga sebagai pembunuh di lapangan saja tak berani untuk dipublikasikan. Dari sini, patut diduga kalau Komnas HAM mengalami tekanan yang luar ketika melakukan penyelidikan peristiwa yang terjadi di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu. Kesimpulan penyelidikan Komnas HAM hanya menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM biasa. Meski dianggap lumayan, daripada tidak tidak sama-sekali. Tetapi perasaan keadilan masyarakat masih sangat mempertanyakan kesimpulan tersebut. Bukan semata keyakinan, tetapi indikasi yang terbaca oleh publik adalah terjadinya pelanggaran HAM berat yang melibatkan banyak fihak, termasuk petinggi dari aparat penegak hukum dan pemerintahan. Pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki syarat pokok bahwa penyiksaan atau pembunuhan itu harus menjadi bagian dari "serangan yang meluas atau sistematik". Pasal 9 UU tersebut menyatakan, "kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : a. pembunuhan......f. penyiksaan..". Atas dasar hal tersebut, maka pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek memang merupakan pelanggaran HAM berat. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat. Pertama, pembunuhan dan penyiksaan adalah bagian dari serangan sistematik yang terjadi sejak pembuntutan dan penguntitan terhadap Habib Rizieq Shuhab (HRS) pada tanggal 5 Desember 2020 di Mega Mendung Bogor. Diawali dengan terdeteksi pengawasan menggunakan drone oleh agen intelijen yang berhasil ditangkap oleh laskar laskar FPI. Pembuntutan dan penguntitan yang masif, dan berlanjut terus-menerus terhadap HRS, hingga operasi pengejaran pada tanggal 6 Desember 2020, berujung pembunuhan dan penyiksaan. Ini bukan terjadi dengan tiba-tiba. Namun dengan perencanaan dan penugasan berdasarkan surat tugas dari atasan pelaku di Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kedua, pembunuhan ini bagian dari operasi pembunuhan politik. Diduga bukan semata kerja aparat Kepolisian sendirian. Namun melibatkan institusi negara yang lain. Dimulai dari penurunan spanduk dan baliho oleh sekitar 500 personil pasukan TNI atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman tanggal 20 November 2020. Dilanjutkan dengan teror konvoi kendaraan tempur TNI ke markas FPI Petamburan, Jakarta Pusat oleh pasukan Koopssus TNI. Pasukan elit gabungan tiga matra angkatan di TNI, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Walaupun belakangan dibatah bahwa pasaukan Koopssus TNI hanya lewat di kawasan Petamburan Ketiga, pembunuhan ini bagian dari serangan meluas atau sistematik berhubungan dengan kepulangan HRS ke tanah air. Bahkan jauh sebelum kepulangannya, yakni gangguan terjadi selama HRS di Saudi Arabia. Kemudian mencari kesalahan hukum atas acara pernikahan di Petamburan dan pengajian Maulid Nabi di Mega Mendung. Semua adalah bagian dari operasi pemerintah untuk menekan dan melumpuhkan lawan politik. Oleh karena itu pembunuhan enam anggota laskar FPI bukankah pembunuhan biasa. Pengejaran masif di jalur Karawang Timur, Karawang Barat, hingga berakhir di kilometer 50 tol Japek adalah penuntasan operasi target atau target antara. Adanya penyiksaan menunjukkan terjadi perbuatan kejahatan pasca kilometer 50. Penyiksaan berat inipun menjadi indikasi terjadi pelanggaran HAM berat. Ada pesan dari teroris yang ingin disampaikan. Maka tiada pilihan lain, agar kasus ini benar-benar bisa terbuka dan tuntas, menghukum semua pihak yang terlibat dengan cara Komnas HAM melakukan kerja ulang yang lebih serius. Kembali dibentuk TPF atau diproses para tersangka melalui Pengadilan HAM di bawah ketentuan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pembunuhan sadis enam anggota laskar FPI bukan pembunuhan ecek-ecek. Tetapi pembunuhan politik yang meluas atau sistematik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Audiensi Jokowi & TP3: Komitmen dan Prospek Penuntasan Kasus Pembunuhan 6 Laskar FPI

Oleh Marwan Batubara (Badan Pekerja TP3) Jakarta, FNN - Setelah berproses lebih sebulan, akhirnya audiensi Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Laskar FPI (TP3) dengan Presiden Jokowi terlaksana Selasa, 9 Maret 2021, di Istana Negara, Medan Merdeka Timur, Jakarta. Perwakilan TP3 adalah M. Amien Rais, Abdullah Hehamahua, Muhyidin Junaedi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Wirawan Adnan dan Ansufri Sambo. Sedangkan Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensekneg Pratikno. Proses dimulai dengan surat TP3 kepada Presiden Jokowi 4 Februari 2021 yang intinya berisi keinginan TP3 beraudiensi guna membuka jalan bagi penyampaian masukan dan temuan-temuan sejujur-jujurnya. TP3 menyatakan ingin ikut berperan mengawal penuntasan kasus pembunuhan enam laskar FPI, setelah melihat adanya beberapa versi temuan yang berkembang di masyarakat yang cenderung berat sebelah. TP3 menuntut agar kasus tersebut diselesaikan melalui proses hukum yang berjalan adil, objektif dan transparan. Dua minggu berselang, karena sangat confidence dengan sikap dan langkah-langkah yang akan diambil menangani kasus pembunuhan tersebut, Presiden tampaknya tidak merasa perlu menjawab langsung surat TP3. Presiden, melalui Mensekneg, memerintahkan Kemenko Polhukam membalas surat TP3. Kemenko Polhukam, melalui Sekretaris Kemenko, kemudian menjawab surat TP3 tertanggal 4 Februari 2021, melalui surat No.B-583/HK.00.00/2021 pada 25 Februari 2021. Surat Kemenko Polhukam esensinya berisi sikap pemerintah yang sangat yakin dengan laporan penyelidikan Komnas HAM yang dinyatakan sebagai lembaga “independent”. Pemerintah telah berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM. Dinyatakan, jika TP3 memiliki temuan lain dapat disampaikan kepada Bareskrim Polri. Jika TP3 mempunyai laporan tertulis, dipersilakan dikirim ke Kantor Kemenko dalam seminggu setelah surat diterima. Kemenko bersedia mempertimbangkan diadakannya pertemuan, jika TP3 menganggap ada hal yang perlu didiskusikan. Memperhatikan sikap pemerintah dan jawaban Kemenko Polhukam, untuk sementara TP3 menyimpulkan Presiden Jokowi memang tidak berkenan beraudiensi. Padahal di sisi lain, TP3 sangat yakin laporan Komnas HAM yang menjadi rujukan pemerintah menuntaskan kasus, berisi rekomendasi yang bias dan tidak kredibel. Karena itu, pada 4 Maret 2021, TP3 kembali bersurat kepada Presiden, dengan tembusan kepada Menko Polhukam dan Mensekneg. Dalam hal ini, TP3 tidak merasa perlu kembali meminta kesempatan audiensi. Kali ini surat TP3 hanya berisi 2 paragraf. Pertama, berupa ucapan terima kasih atas jawaban Presiden, meskipun dilakukan melalui Kemenko. Kedua, berupa pernyataan bahwa Presiden dianggap unwilling and unable menuntaskan kasus pembunuhan ini. Isi lengkap paragraf kedua sbb: Dengan tanggapan tersebut kami meyakini bahwa Presiden Republik Indonesia telah menunjukkan sikap yang tidak berkenan dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk menuntaskan kasus pembuhunan tersebut yang menurut pengamatan dan keyakinan kami merupakan Pelanggaran HAM Berat. Kami tetap akan melakukan perjuangan untuk memperoleh keadilan bagi para korban sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang yang berlaku. Setelah 4 hari surat bertanggal 4 Maret 2021 terkirim, pada 8 Maret 2021 TP3 "dikejutkan" oleh undangan dari Sekretariat Kepresidenan. Maka terjadilah audiensi antara Presiden Jokowi dengan TP3 pada 9 Maret 2021. TP3 tidak ingin berspekulasi, mengapa akhirnya Presiden berkenan beraudiensi. Bagi TP3 yang lebih penting terbuka kesempatan, dan disaksikan pula oleh publik, untuk menyampaikan masukan dan fakta-fakta hukum bagi penuntasan kasus. Guna membuat pertemuan berjalan efektif, efisien, bebas basa-basi, dan pesan penting tersampaikan dengan seksama, TP3 memang telah mempersiapkan dua tulisan untuk dibacakan saat audiensi, yaitu kata pengantar dan pernyataan sikap. Karena itu, pertemuan hanya berlangsung sekitar 20 menit (ada yang menyebut 15 menit). Bagi TP3, yang penting masukan telah tersampaikan. Sehingga durasi pertemuan yang singkat bukan soal penting yang perlu dibahas. Kata pengantar dibacakan Amien Rais berisi peringatan Allah SWT dalam Al-Qur’an kepada ummat manusia perihal pembunuhan dan ancaman hukuman terhadap pelakunya sbb: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena orang itu berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia. Dan barang siapa menyelamatkan kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia telah menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia (Surah Al-Maidah, Ayat 32). Dan barang siapa membunuh seorang Beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya (Surah An-Nisa, Ayat 93). Amien Rais menyatakan atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an di ataslah, TP3 dibentuk dan berusaha sesuai kemampuan untuk ikut berperan menuntaskan kasus. Adapun esensi pernyataan sikap TP3 yang dibacakan Marwan Batubara adalah sbb: TP3 memiliki keyakinan bahwa 6 laskar yang merupakan anak-anak bangsa, telah dibunuh secara kejam dan melawan hukum (extra judicial killing) oleh aparat negara. POLRI memang telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan telah terjadi pelanggaran pidana biasa. Akan tetapi temuan TP3 menyatakan pembunuhan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu TP3 menganggap kasus ini masih jauh dari penyelesaian yang sesuai dengan azas keadilan dan kemanusiaan sesuai Pancasila dan UUD 1945. TP3 mendesak pemerintah dengan dukungan lembaga-lembaga terkait lainnya untuk memproses kasus pembunuhan ini sesuai dengan ketentuan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. TP3 juga mendesak agar kasus tersebut segera diselesaikan secara tuntas, transparan dan berkeadilan, agar tidak menjadi warisan buruk dari pemerintahan ini. Sebagai tanggapan, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah telah meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan tentang apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan pemerintah dalam peristiwa pembunuhan enam laskar FPI. Presiden menyatakan siap menerima masukan-masukan dari TP3. Presiden juga berjanji menjamin penuntasan kasus secara transparan dan berkeadilan. Menimpali tanggapan Presiden, Mahfud MD juga mempersilahkan TP3 memberi masukan berdasar bukti bukan berdasar keyakinan. TP3 bersyukur telah berkesempatan mengingatkan penguasa tentang adanya Allah SWT, firmanNya dan hidup setelah mati. Dengan itu, TP3 berharap pemerintah konsisten menjadikan Pancasila sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan dan menyelenggarakan negara dalam berbagai bidang, termasuk penegakan hukum dalam kasus laskar FPI. Pesan TP3, azas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil Beradab dalam Pancasila, harus benar-benar diwujudkan dalam dunia nyata, bukan sekedar slogan kosong tanpa makna. Presiden Jokowi sudah sering mengucapkan “Saya Pancasila”. Mari kita menanti konsistensi ucapan dengan perbuatan, terutama langkah yang akan diambil pemerintah dalam proses hukum penuntasan kejahatan kemanusiaan tersebut. TP3 juga telah menyatakan perbedaan sikap dengan tegas dan terbuka atas temuan dan rekomendasi Komnas HAM, yang menyatakan pembunuhan tersebut sebagai pelanggaran HAM biasa. Bagi TP3, laporan Komnas HAM bersifat bias, tidak objektif, tidak konsisten antara fakta-fakta hukum dengan rekomendasi, sehingga tidak kredibel. TP3 menganggap pembunuhan sistemik, sadis, dan sarat penganiayaan tersebut adalah pelanggaran HAM berat yang harus diproses sesuai UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Tampaknya pemerintah cenderung memproses penuntasan kasus ini sesuai rekomendasi Komnas HAM. Bagaimana prospek penuntasan kasus?Apakah sikap pemerintah akan berubah setelah kelak menerima masukan dari TP3? TP3 dan rakyat tidak tahu. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang tahu. Yang jelas, pemerintah telah berjanji secara terbuka akan menerima masukan TP3 dan akan menuntaskan kasus pembunuhan tersebut secara adil dan transparan sesuai peraturan berlaku. Dalam waktu dekat, TP3 akan datang kepada pemerintah dengan bukti-bukti dan analisis komprehensif, yang akan dituangkan dalam buku putih, bukan dengan “keyakinan” seperti yang disebutkan Mahfud MD. Semoga tulisan ini dapat memberi pemahaman bagi anak-anak bangsa, pencinta NKRI serta pendamba tegaknya hukum dan keadilan di bumi Pancasila. Semoga rakyat memahami apa yang terjadi dan bagaimana upaya yang dilakukan TP3 selama ini, sehingga ke depan berkenan untuk bergabung melakukan advokasi berkelanjutan secara bersama-sama. TP3 dan rakyat tentu ingin Presiden Jokowi konsistensi dengan komitmen yang dibuat, agar prospek penuntasan kasus menjadi lebih jelas ke arah tegaknya kemanusiaan dan keadilan.[]

Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan Habib Rizieq Tidak Sah

Jakarta, FNN - Tim Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab, Djudju Purwantoro menegaskan Surat Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri pemohon (Habib Rizieq Shihab), tidak sah menurut hukum. Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang didasari 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan yang berdiri masing – masing dengan nomor, tanggal dan bulan yang berbeda-beda, padahal tersangkanya sama, yaitu ; Habib Rizieq Shihab. Peristiwa hukum yang sama; Locus Delictie dan Tempus Delictinya sama, yaitu 'berkerumun' di daerah Petamburan, Jakarta Pusat, dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya tim kuasa hukum Habib Rizieq Shihab, juga menyatakan penyidik Polda Metro Jaya tidak memiliki dua alat bukti yang sah dalam menangkap dan menahan kliennya atas kasus pelanggaran protokol kesehatan. Hal itu disampaikan Djudju dalam siaran pers yang diterima FNN Jumat (10/3). Tim kuasa hukum HRS menilai tindakan kepolisian tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Di mana dijelaskan, dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus ada dua alat bukti yang sah. "Bahwa termohon telah menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan bahkan termohon menerbitkan surat perintah penangkapan dan surat penahanan atas diri pemohon, padahal termohon tidak ada/tidak memiliki dua alat bukti yang sah untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka," kata Djudju. Djudju menyatakan kepolisian selaku pihak termohon belum pernah melakukan penyitaan terhadap alat bukti. Djudju juga mengklaim upaya pemanggilan terhadap Rizieq hingga pemeriksaan saksi belum pernah dilakukan oleh termohon. Dalam surat permohonan gugatan praperadilan tersebut, Tim Kuasa Hukum Habib Rizieq menyoroti adanya dua surat perintah penyidikan yang dinilai janggal. Pertama, surat perintah penyidikan dengan nomor SP.sidik/4604/XI/2020/Ditreskrimum tanggal 26 November 2020, dan Surat perintah penyidikan kedua dengan nomor SP.sidik/4735/XII/2020/Ditreskrimum tanggal 9 Desember 2020. "Surat perintah penangkapan Nomor SP.Kap/2502/XII/2020 Ditreskrimum tanggal 12 Desember 2020 atas diri pemohon adalah tidak sah karena mengandung cacat hukum, dan tidak sesuai dengan hukum administrasi yang diatur dalam KUHAP dan juga melanggar peraturan Kepala Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana," tulis surat tersebut. Sedangkan 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan tersebut kata Djudju digunakan sebagai dasar dari Termohon untuk menerbitkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon, dalam kasus yang sama. Oleh karenanya mengakibatkan (kausalitas) Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon adalah Cacat Hukum administrasi dan tidak sah menurut hukum, dan sudah sepatutnya dibatalkan. Hal tersebut juga selaras dengan pendapat Ahli, DR. Abdul Chair Ramadhan, SH,MH. yang dinyatakan dalam persidangan Prapud tersebut. Demikian juga ahli menyatakan bahwa Perkara khusus (Lex Specialis) tidak dapat digabungkan sangkaannya dengan Tindak Pidana Umum (lex generalis). Dengan demikian, ketentuan pasal 63 KUHP; tentang Penggabungan Beberapa Perkara Pidana yang diatur dengan peraturan hukum yang berbeda-beda, maka yang dikenakan hanya salah satu peraturan. Ahli berpendapat bahwa apabila ada suatu peristiwa hukum diatur dalam suatu peraturan Pidana Umum, dan juga diatur dalam peraturan Pidana Khusus, maka Pidana yang Khusus itulah yang semestinya diterapkan, sebagimana Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Walaupun ancaman hukumannya berbeda- beda, namun yang diterapkan tetap pidana khusus nya. Hal tersebut diperkuat oleh Yurisprudensi Putusan Nomor : 1/ Pid.Pra/2019/PN. PNG. tanggal, 25 Maret 2019, (Pengadilan Negeri Ponorogo). Dalam amar putusannya menyatakan bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan berdasarkan 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan adalah Cacat Hukum dan Tidak Sah menurut hukum.; Delik pidana (larangan berkerumunan) tersebut seperti diatur klausulnya dalam Pidana Khusus, yaitu undang- undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Faktanya Termohon (pihak Polri) menyalahi hukum, dengan menahan Pemohon (Habib Rizieq) menggunakan sangkaan Pidana Umum (pasal 160 KUHP). Konsekuensinya, Surat Perintah Penahanan atas nama diri Pemohon mengandung cacat hukum, karena menggabungkan peristiwa pidana khusus dengan pidana umum. Ahli juga berpendapat adalah cacat hukum, Termohon menerbitkan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan sebelum dilakukannya pemeriksaan (BAP) Termohon oleh Pemohon. Putusan hakim (vonis), akan dilakukan pada Rabu, 17 Maret 2021. (SWS)

Menguak Terus Misteri Kilometer 50 Tol Japek

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Peristiwa pembunuhan atau pembantaian atas enam syuhada anggota laskar Fron Pembela Islam di kilometer 50 jalan tol Jakarta Cikampek (Japek) tidak akan mudah dihapus jejaknya. Meskipun bangunan rest area yang ada di sana kini telah dibantai dan dihabisi. Ada peristiwa dramatis, tragis, dan sadis terjadi di area dimana peristiwa bermula, berakhir, atau dilewati. Upaya untuk menghentikan kasus ini dengan akal-akalan mentersangkakan keenam syuhada telah gagal. Reaksi publik sangat keras atas pemberian status tersangka pada jenazah tersebut. Disamping mengada- ada, juga bertentangan dengan undang-undang. Ketika status itu dicabut, maka kasus ternyata tidak bisa terhenti. Terlalu berat bermain dalam skema seperti ini. Akhirnya tersangka berbalik, yaitu tiga orang anggota Kepolisian dari Polda Metro Jaya. Meski belum diumumkan namanya secara resmi oleh Mabes Polri, tetapi publik menduga tersangka ini adalah pelapor dan saksi yang menyebabkan keenam syuhada berstatus tersangka. Mereka adalah Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Adi Ismanto, dan Bripka Faisal Khasbi. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigjen Polisi Andi Ryan Djajadi menyatakan, ketiga anggota Polri yang berpotensi sebagai tersangka tersebut dapat dikenakan pasal 338 KUHP junto Pasal 351 ayat (3), yakni pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Munculnya pasal penganiayaan ini menarik karena menjadi pengakuan Polisi bahwa memang telah terjadi penganiayaan berat terhadap korban. Sesuatu atau stigma yang selama ini selalu ditepis oleh polisi. Seakan-akan tidak adanya penganiyayan. Bahkan semula dinyatakan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran bahwa korban menyerang polisi. Ketiga personel kepolisian yang menjadi potensi tersangka ini akan menjadi pembuka dari keterlibatan banyak fihak lain. Baik itu personil pembuntut yang jumlahnya lebih dari tiga orang, sebagaimana temuan dan hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM). Selain itu, terbuka peluang untuk dapat diketahui siapa "komandan" eksekusi yang diduga penumpang di mobil Land Rover yang tiba di rest area kilometer 50 malam itu? Ada selebrasi perjuangan dan kemenangan. Sampai sekarang, dua mobil lain yang bukan dari anggota Polda Metro Jaya belum juga diungkap ke publik oleh Komnas HAM siapa mereka? Moga kita berharap bahwa ketiga potensi tersangka ini benar pelaku sebenarnya. Bukan orang "yang senagaja dikorbankan" untuk menutupi pelaku lain yang justru menjadi aktor intelektual dari kejahatan kemanusiaan yang menyedihkan bangsa dan negara Indonesia ini. Sejarah kelam yang tidak boleh dimanipulasi. Harus menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Sikap keangkuhan terhadap kebenaran tidak boleh dibiarkan hanya dimonopoli oleh polisi. Korbannya adalah rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Apalagi mengingat pembunuhan enam syuhada ini dikaitkan dengan "unlawful hunting" tokoh dan ulama Habib Rizieq Shihab (HRS), maka dapatlah dikategorikan sebagai pembunuhan politik. Harus memantau dan mengikuti dengan akstif persidangan ini nantinya. Suapay bisa membongkar misteri yang berdampak sistemik. Oleh karena itu semua kita tidak berharap kasus "Harun Masiku" yang hilang atau dihilangkan, tidak terjadi pada pelaku sebenarnya atau pelaku kunci dari kasus pembunuhan 6 anggota laskar yang menjadi syuhada ini. Semoga misteri akan terus terkuak. Rakyat tetap mengawal proses politik dan hukum dengan ketat. Dasar keyakinan adalah bahwa Allah Subhaanahu Wata’ala Yang Maha Kuasa itu juga Maha Melihat dan Maha Mendengar. Ada atau tanpa Mubahalah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kiyai Ma’ruf Sembunyikan Kaget Miras, Pembatalan oleh Jokowi Harus Dikawal Terus

by Asyari Usman Medan, FNN - Ada berita menarik. Wapres Kiyai Ma’ruf Amin mengaku kaget dengan Perpres 10/2021 tentang investasi produksi minuman keras (miras). Kata juru bicara Wapres, Masduki Baidowi, Pak Kiyai tidak tahu Perpres itu diterbitkan. Menurut Masduki, Kiyai Ma’ruf sangat tersudut akibat penerbitan Perpres miras itu. Tapi, rasa kaget Pak Kiyai baru dibeberkan kemarin, Selasa, 2 Maret 2021. Rasa kaget itu disimpan dulu. Diungkapkan setelah Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan Perpres yang diprotes keras dan luas itu. Lumayanlah. Walaupun kaget itu disembunyikan dulu, tetap wajar dihargai. Beliau, kata Masduki, sengaja tutup mulut karena tak ada gunanya bicara dalam kondisi panas. Kata Masduki, Kiyai Ma’ruf melakukan berbagai usaha agar investasi miras dibatalkan. Nah, ternyata Pak Kiyai berusaha keras tanpa suara keras agar polemik minuman keras tidak makin keras. Jangan dulu menyangka Pak Kiyai diabaikan oleh Jokowi ketika membuat Perpres Miras itu. Buktinya, sebelum pengumuman pencabutan, Jokowi bicara dulu empat mata dengan Pak Kiyai, kata Masduki lagi. Begitu lebih-kurang posisi Pak Kiyai sebagai Wapres terkait penerbitan Perpres Miras. Nah, apakah sudah selesai? Tampaknya belum. Para pengamat dan pakar hukum masih skeptis. Tidak percaya terhadap pencabutan lisan Lampiran III tanpa pencabutan Perpres 10/2021 itu secara total. Per hari ini, para pengamat dan pakar hukum itu memperingatkan bahwa pencabutan Lampiran III di Perpres 10/2021 tentang investasi minuman keras (miras), jangan dulu dianggap sebagai jawaban untuk protes. Pencabutan lampiran itu tidak bisa dijadikan jaminan bahwa miras tidak akan diproduksi. Pencabutan itu harus diperjelas oleh pemerintah. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja gagasan produksi miras dimunculkan kembali. Alasan mereka, di Perpres itu masih tetap terbuka investasi untuk bidang usaha yang memerlukan persyaratan tertentu. Pakar dan peniliti hukum Dr Muhammad Taufiq memperingatkan, produksi miras bisa saja dilakukan atas nama otonomi daerah oleh pemda-pemda. Meskipun Lampiran III sudah dibatalkan. Malahan, kata dia, proses pendirian usaha miras di daerah bisa lebih mudah lagi. Sedangkan asisten profesor hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia, Sonny Zulhuda, memperingatkan bahwa ketentuan pembolehan bisnis miras masih tercantum di regulasi induknya yaitu UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja alias Omnibus Law. Jadi, para ulama dan semua pimpinan ormas yang menentang produksi miras harus terus mengawal pencabutan aturan investasi miras di Perpres 10/2021. Ada kemungkinan main akal-akalan di pihak penguasa. Bisa saja nanti ada klaim bahwa pencabutan itu hanya secara lisan oleh Jokowi. Tidak memenuhi landasan hukum untuk meniadakan produksi miras.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Setelah Investasi Miras, Batalkan Juga Semua Regulasi Lain Yang Beratkan Rakyat

by Asyari Usman Medan, FNN - Kita sampaikan apresiasi kepada Presiden Jokowi yang telah mencabut aturan tentang investasi minuman keras (miras). Aturan itu tercantum di dalam Perpres 10/2021 yang ditandatangani pada 2 Februari 2021. Alhamdulillah, tidak ada lagi kegaduhan tentang produksi minuman keras yang diberlakukan di empat provinsi yaitu Bali, NTT, Sulut dan Papua. Langkah Jokowi ini sesuai dengan permintaan semua elemen masyarakat. Alhamdulillah juga Presiden mau mendengarkan protes dari rakyat. Begini kata Jokowi tentang pencabutan bagian Perpres 10/2021 yang mendorong produksi miras itu. "Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya, serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," ujar Jokowi. Mari jadikan ini sebagai ‘turning point’ (titik balik) untuk menghapuskan semua regulasi yang memberatkan rakyat. Persis seperti yang dikatakan Pak Jokowi tentang penolakan ormas-ormas terhadap aturan investasi miras, mereka juga meminta agar semua regulasi yang memberatkan rakyat ikutdi dilenyapkan. Misalnya, hingga sekarang rakyat tetap menuntut agar UU Cipta Lapangan Kerja dibatalkan. Kalau pun dengan berbagai alasan ini tidak mungkin dilakukan, Presiden Jokowi minimal bisa memerintahkan revisi UU Nomor 11 Tahun 2020 itu. Sebab, begitu banyak aspek yang kontroversial di UU Omnibus Law tsb. Yang merugikan rakyat dan lingkungan hidup, ketenagakerjaan, pendidikan dan bidang pers. Sekarang ini, UU ITE yang membungkam ruang kritik seharusnya dicabut saja dulu sambil menunggu revisi. Sebab, kritik-kritik positif yang diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan menjadi tertekan. Orang tidak berani berbicara. Bangsa ini menjadi ketakutan. Para penulis senantiasa waswas. Setidak-tidaknya UU ITE itu dikembalikan ke tujuan awal dan asalnya. Yaitu, mengejar transaksi-transaksi keuangan yang merguikan negara. Sekali lagi, pencabutan ketentuan investasi miras sangat tepat dan pantas diapresiasi. Rakyat menunggu penghentian penggunaan pasal-pasal karet UU ITE. Semoga terealisasi segera.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

OTT Gubernur Sulsel, "Nama-nama Besar" Bakal Terseret?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sebuah kabar beredar di grup WhatsApp, pada Sabtu, 27 Februari 2021. Pukul: 01.00 Wita, Tim KPK sebanyak 9 orang telah melakukan OTT kepada Gubernur Sulawesi Selatan M. Nurdin Abdullah, di rumah jabatan Gubernur berdasarkan Sprindik No: Sprin.Lidik-98/01/10/2020. Tim KPK telah mengamankan beberapa orang antara lain: 1. Agung Sucipto (Kontraktor, 64 tahun); 2. Nuryadi (Sopir Agung, 36); 3. Samsul Bahri (Adc Gubernur, Polri, 48); 4. Edy Rahmat (Sekdis PU Provinsi Sulsel); 5. Irfandi (Sopir Edy Rahmat). Barang bukti yang diamankan oleh Tim KPK, yaitu 1 (satu) koper yang berisi uang sebesar Rp. 1 miliar yang diamankan di Rumah Makan Nelayan Jl. Ali Malaka, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar. Tim KPK kemudian langsung membawa Nurdin Abdullah dan Rombongan langsung ke Klinik Transit di Jl. Poros Makassar untuk dilakukan pemeriksaan Swab antigen untuk persiapan berangkat ke Jakarta melalui Bandara Sultan Hasanudin. Tim KPK dan Rombongan dikawal oleh 4 orang Anggota Detasemen Gegana Polda Sulsel yang dipimpin Iptu Cahyadi. Pada pukul 05.44 Wita rombongan itu selesai melaksanakan pemeriksaan Swab antigen dan menuju Bandara Sultan Hasanudin. Rombongan itu kemudian terbang ke Jakarta menggunakan Pesawat Garuda GA-617 pada pukul 07.00 Wita. Kabar ini langsung merebak di berbagai media online maupun elektronik. Namun, Juru Bicara Gubernur Sulsel Veronica Moniaga secara tegas membantah. Veronica Moniaga membantah bahwa Nurdin Abdullah terkena OTT KPK, karena yang bersangkutan sedang beristirahat saat petugas datang ke rumah jabatan di Makassar, Sabtu (27/2/2021) dini hari. “Terkait bapak gubernur terkena operasi tangkap tangan, itu tidak benar. Karena bapak saat itu sedang istirahat. Seperti yang kita tahu, OTT adalah orang yang tertangkap tangan dan bapak tidak sedang melakukan itu,” ujar Vero, seperti dilaporkan Antara. Terkait keberangkatan Nurdin Abdullah ke Jakarta itu, Vero menyebut Nurdin pergi atas permintaan KPK untuk menyampaikan keterangan selaku saksi. Nurdin disebut hanya membawa pakaian secukupnya. Menurut Vero, petugas KPK datang ke Rumah Jabatan Gubernur sekitar pukul 01.00 dini hari. Kemudian Nurdin Abdullah dibangunkan dan menemui pihak KPK yang datang. Itu mengagetkan karena sebelumnya tidak ada surat apapun mengenai permintaan keterangan. “Mereka diterima baik di Rujab Gubernur dan bapak pun dengan sikap patriotisme mengikuti tim KPK. Tidak ada barang bukti sama sekali pada saat bapak dijemput oleh KPK, hanya membawa pakaian secukupnya,” ungkapnya. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, kegiatan OTT berawal dari informasi masyarakat terkait adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara pada Jumat (26/2/2021) malam. KPK menerima laporan bahwa Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto (AS) akan memberikan sejumlah uang kepada Nurdin melalui perantara Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER), yang juga orang kepercayaan Nurdin. Pukul 20.24 WIB, AS bersama Irfandi (Sopir ER) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dan setiba di rumah makan tersebut telah ada ER yang telah menunggu,” kata Firli dalam konferensi pers yang disiarkan kanal YouTube KPK, Minggu (28/2/2021) dini hari. Agung adalah seorang kontraktor yang berasal dari pihak swasta, yang diketahui telah lama mengenal Nurdin. Agung berkeinginan mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021. Firli mengungkapkan, dengan beriringan mobil, Irfandi mengemudikan mobil milik Edy, sedangkan Agung dan Edy bersama dalam satu mobil milik Agung. Kedua mobil itu pun kemudian bergerak menuju Jalan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan tersebut, Agung diketahui menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021 kepada Edy. Sekitar pukul 21.00 WIB, Irfandi kemudian mengambil koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS dan dipindahkan ke bagasi mobil milik Edy di Jalan Hasanuddin. Firli mengungkapkan, sekitar pukul 23.00 Wita, KPK mengamankan Agung ketika dalam perjalanan menuju Bulukumba. Sementara itu, satu jam berikutnya giliran Edy beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan KPK di rumah dinasnya. Adapun uang Rp 2 miliar itu sebelumnya akan diberikan Edy kepada Nurdin Abdullah. Kemudian, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah diamankan KPK sekitar pukul 02.00 Wita di rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel. Adapun Nurdin diduga juga telah menerima uang dari kontraktor lain diantaranya sebesar Rp 200 juta pada akhir 2020. Nurdin juga diduga menerima uang pada pertengahan Februari 2021 melalui Samsul Bahri, ajudannya, sebesar Rp 1 miliar. “Awal Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar,” terang Firli. Atas dugaan tersebut, Nurdin dan Edy disangkakan sebagai penerima. Nurdin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sebagai pemberi, Agung Sucipto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UUU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Versi JATAM Ada pertanyaan menarik dari seorang wartawan saat Ketua KPK Firli Bahuri jumpa pers soal PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Kedua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel. Dua perusahaan itu juga pernah disebut-sebut dalam tulisan Jaringan Advokasi Tambang di Jatam.org. JATAM menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL. Dari total 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar, dua diantaranya adalah PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel Nurdin Abdullah. PT Banteng Laut Indonesia merupakan pemilik konsesi, tempat PT Boskalis Internasional Indonesia menambang pasir, yaang pemilik/pemegang sahamnya, antara lain Akbar Nugraha sebagai Direktur Utama, Sunny Tanuwijaya sebagai Komisaris, Abil Iksan sebagai Direktur, dan Yoga Gumelar Wietdhianto. Selain Akbar Nugraha dan Abil Iksan, nama Fahmi Islami juga tercatat sebagai pemegang saham di PT Banteng Laut Indonesia. Sementara di PT Nugraha Indonesia Timur, Abil Iksan juga tercatat sebagai Direktur, Akbar Nugraha sebagai Wakil Direktur, dan Kendrik Wisan sebagai Komisaris. Nama-nama seperti Akbar Nugraha, Abil Iksan, dan Fahmi Islami, diketahui pernah menjadi bagian dari Tim Lebah Pemenangan Pasangan Nurdin Abdullah – Andi Sudirman Sulaiman. Pasangan ini diusung PDIP, PKS, dan PAN pada Pilgub Sulsel 2018 lalu. Selain sebagai pemilik/pemegang saham di perusahaan tambang, Akbar Nugraha — yang diketahui teman seangkatan dengan anak Nurdin Abdullah, Fathul Fauzi Nurdin di Binus University – juga ditunjuk sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) oleh Nurdin Abdullah sejak 2018 sampai sekarang, usai terpilih menjadi gubernur Sulsel. Sementara Fahmi Islami, tercatat sebagai Staf Khusus Gubernur Nurdin Abdullah. Selain itu, Fahmi Islami juga juga menjadi bagian dari Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Provinsi Sulsel. Sejumlah nama lain juga berada di balik kedua perusahaan tambang di atas. Seperti Sunny Tanuwidjaja dan Kendik Wisan. Sunny Tanuwidjaja tercatat sebagai Komisaris Utama di PT Banteng Lautan Indonesia. Sunny Tanuwidjaja adalah mantan staf khusus Pemprov DKI Jakarta semasa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang tercatat sebagai Sekretaris Dewan Pembina PSI. Sunny Tanuwidjaja juga pernah dikaitkan dengan kasus suap anggota DPRD Pemprov DKI Jakarta Muh Sanusi, dalam kaitan dengan reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta. Sementara Kendirk Wisan adalah pemegang saham terbesar (50%) di PT Nugraha Indonesia Timur. Kendrik diketahui sebagai pengusaha di PT Comextra Majora, bergerak di bidang eksportir kakao dan kacang mede. Pertanyaannya kemudian, akankah mereka yang terkait dengan Nurdin Abdullah juga bakal diseret, atau minimal dimintai keterangan oleh KPK? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Siapa "King Maker" di Balik Kasus Jaksa Pinangki?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Siapa sosok “King Maker” dalam skandal korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari hingga kini masih menyisakan misteri. Hakim menegaskan sosok itu memang ada. Namun, hingga sidang vonis 10 tahun atas Pinangki, sosok tersebut belum juga terungkap. Sosok misterius king maker perlu diusut. Agar kasus mafia hukum yang menjerat Pinangki dan Djoko S. Tjandra dapat terungkap dengan jelas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun didesak untuk turun tangan dan segera mengusut. Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengultimatum KPK. Ia memberi waktu satu bulan pada lembaga antirasuah itu untuk mengusut king maker dalam pusaran kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) itu. Bahkan, Boyamin mengancam, jika dalam satu bulan tidak ditindaklanjuti KPK, maka MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan. Sebab dalam laporan yang ia sampaikan, sudah ada dua alat bukti yang bisa digunakan untuk mengungkap King Maker tersebut. Begitu ungkap Boyamin di kompleks Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/2/2021). Kedatangannya ke KPK itu untuk menagih janji terkait penanganan laporan keterlibatan King Maker dalam pusaran kasus Pinangki dan Djoko S Tjandra. Selain itu, pihaknya juga menyerahkan profil King Maker lebih rinci. Diakui, dirinya yang bukan personil penegak hukum saja mengetahui sosok “King Maker” dalam skandal korupsi mantan Pinangki. Secara teori sangat tidak mungkin jika para petinggi dan penyidik KPK itu, tidak mengetahui dalang yang mengatur operasional mantan Jaksa Pinangki tersebut. Digambarkan, sosok King Maker itu merupakan aparat penegak hukum. Jabatannya tinggi. Oknum penegak hukum itu, saat ini masih aktif dan memiliki kekuasaan mengatur penegakan hukum di Indonesia. Itu berdasarkan versi dari salah satu saksi saat disidang. Tapi, dirinya untuk saat ini tak memiliki hak untuk menyebut secara transparan nama dalang tersebut. Ini karena dirinya hanya LSM saja. Bukan penegak hukum. “Jika KPK tidak mengusut laporan MAKI sampai batas waktu yang kami berikan, maka kami akan melakukan gugatan Praperadilan. Dalam sidang gugatan itu, saya akan buka sosok King Maker, yang membuat KPK ewu pakewuh untuk mengusutnya,” ujarnya, seperti dilansir Bongkah.id. Sebelumnya, keberadaan King Maker ini dinilai majelis hakim Pengadilan Tindak Tipikor, Jakarta, benar adanya. Dalam pembacaan vonis kepada Pinangki, majelis hakim Tipikor menyatakan, sosok diduga King Maker itu memiliki andil terkait pengurusan fatwa MA. Yang akan digunakan buronan Djoko Tjandra untuk bebas dari hukuman dua tahun penjara, atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Namun, pengadilan tidak mampu mengungkap sosok tersebut. Kegagalan pengadilan mengungkap sosok King Maker tersebut, karena Pinangki tetap tutup mulut. Istri perwira Polri ini terkesan menutupi keterlibatan pihak lain termasuk King Maker, dalam kenakalannya mempermainkan hukum di Indonesia terkait kasus Djoko Tjandra. Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menegaskan bahwa KPK membuka peluang mengusut dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus pengurusan fatwa MA, yang menjerat mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra. “Kalau ada dugaan-dugaan tindak pidana korupsi lain yang belum diungkapkan, tentu kami sangat terbuka. Tapi, tentu kami akan menunggu dari hasil putusan dulu sejauh mana kemungkinan itu,” kata Ghufron kepada wartawan di Jakarta, Selasa (9/2/2021). Dalam kasus pengurusan fatwa MA itu, hanya Djoko Tjandra yang belum dijatuhi vonis. Sementara dua terdakwa lain, yakni Pinangki dan Andi Irfan Jaya sudah divonis bersalah. Dari putusan terhadap kedua terdakwa itu, hakim menilai ‘King Maker’ benar adanya. Tapi, menurut hakim, sosok tersebut tidak berhasil diungkap selama persidangan. Ini karena keterangan terdakwa yang tidak jujur. KPK pernah menerbitkan surat perintah supervisi penanganan perkara Djoko Tjandra, yang ditangani Kejaksaan Agung dan Polri. Kasus yang ditangani Polri adalah dugaan suap perihal penghapusan DPO atas nama Djoko Tjandra, yang menjerat dua jenderal polisi. Yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo yang kasusnya ditangani pihak Polri. Bahkan, ketiga lembaga penegak hukum tersebut sempat melakukan gelar perkara di Gedung Dwiwarna KPK, sekitar September 2020. Tapi, Ghufron enggan menyampaikan perkembangan dari supervisi itu. Ia hanya memastikan, KPK akan mengusut dugaan tindak pidana yang melibatkan pihak lain yang didukung dengan alat bukti yang ada. Begitu pula berdasar alat bukti yang diberikan masyarakat. Beberapa waktu lalu, Boyamin pernah melaporkan sejumlah hal terkait kasus Jaksa Pinangki ke KPK. Termasuk melaporkan adanya istilah 'Bapakku-Bapakmu' dan King Maker dalam asus tersebut. Menurut Boyamin, Polri sudah melakukan tugasnya dengan menjerat Napoleon Bonaparte, Prasetijo Utomo, dan juga Tommy Sumardi. Begitu pula dengan Kejaksaan Agung yang sudah menjerat Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Jaksa Pinangki. Jadi ini tugas keduanya sudah cukup dan ini jadi tugas KPK untuk mengungkapkan peran lain yang belum bisa terungkap oleh proses penyidikan maupun di pengadilan Tipikor. Saat itu Boyamin menegaskan, apabila dalam 3 atau 4 bulan ke depan, KPK tidak kunjung mengusut keterlibatan pihak lain dalam perkara tersebut, pihaknya akan melakukan gugatan praperadilan atas kinerja lembaga antirasuah. “Jadi, ini tugasnya KPK, dan nanti kalau KPK ini enggak bergerak-bergerak kami akan gugat KPK melalui upaya jalur praperadilan atas tidak diprosesnya atau tidak dilanjutkannya proses Djoko Tjandra kepada pihak lain yang terlibat,” tegasnya. Terkait King Maker, hakim Pengadilan Tipikor menegaskan, sosoknya memang ada dalam kasus Pinangki. Tapi, hakim tidak bisa mengungkap siapa King Maker itu. Ia dinilai berbelit-belit dalam persidangan, berusaha menyembunyikan keterlibatan pihak lain. Dalam kasus ini, Djoko Tjandra diduga bersedia memberikan imbalan sebesar 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 14,85 miliar kepada Pinangki. Menurut Kejagung, Pinangki menyusun proposal action plan untuk membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa di MA. Proposal itu telah diserahkan ke Djoko Tjandra melalui perantara. Tapi, Djoko Tjandra membatalkan kerja sama mereka lantaran tak ada rencana seperti dalam proposal Pinangki yang terlaksana. Padahal, Djoko Tjandra sudah memberikan uang 500.000 dollar AS (50 persen) dari imbalan yang dijanjikan kepada Pinangki sebagai uang muka. Dari total uang itu, Pinangki diduga memberikan 50.000 dollar AS kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum. Anita, mantan pengacara Djoko Tjandra. Ia juga diduga bersedia membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa itu. Sementara, uang yang masih tersisa digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan. Dalam kasus ini, Pinangki dijerat dengan pasal berlapis terkait dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara, penyidik Kejagung masih merampungkan berkas perkara untuk tersangka Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya. Sejauh ini, Anita tidak berstatus tersangka di kasus ini. Tapi, ia ditetapkan Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus lain yang masih terkait Djoko Tjandra. Dalam kasus dugaan gratifikasi dan suap ini, Jampidsus telah menetapkan 3 orang tersangka. Yakni Djoko Tjandra, Pinangki, dan eks kader Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya. Sebelumnya, Kejaksaan Agung merespons pernyataan sejumlah pihak ihwal tak dibukanya nama-nama yang diduga membantu Jaksa Pinangki saat menawarkan kepengurusan fatwa bebas di MA untuk Djoko Tjandra. Dilansir Tempo.co, Sabtu (19/9/ 2020 09:38 WIB), Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono menuturkan, selama penyidikan sejumlah pihak tersebut tak memiliki pembuktian keterlibatan. Menurut Ali bahwa selama itu tidak ada kaitannya dengan pembuktian, untuk apa? Kalau ada pembuktian, baru. “Kalau hanya bapakku bapakmu, apa hubungannya dengan pembuktian?” ucap Ali saat dikonfirmasi pada Sabtu, 19 September 2020. Namun, jika dalam gelaran sidang perdana Jaksa Pinangki pada Rabu, 23 September 2020 muncul pembuktian baru maka pihak Kejaksaan Agung akan menelusuri. “Kalau misalkan nanti mengandung nilai pembuktian baru kami cek,” kata Ali. Munculnya pihak-pihak baru yang diduga berperan dalam kasus Pinangki berawal dari laporan MAKI. Koordinator MAKI Boyamin Saiman yang menyebut ada istilah 'bapakku' dan 'bapakmu' dalam kasus tersebut. Selain itu ada juga lima nama baru, yakni T, DK, BR, HA, dan SHD. Mulanya, MAKI hanya mendorong Kejagung menyelidiki sejumlah informasi tersebut. Namun belakangan ia juga melaporkan nama-nama tersebut ke KPK, sehingga KPK ikut diminta mendalami. Permintaan itu dilakukan Boyamin lantaran menilai Kejagung terburu-buru melimpahkan berkas perkara Jaksa Pinangki. Alhasil, ia menduga penyidik Kejagung enggan mengusut tuntas nama-nama lain yang ditengarai ikut terlibat. Kini bola berada di KPK. Jika KPK tak juga mengusut siapa pihak yang telah disebut King Maker, MAKI akan menggugat praperadilan ke KPK. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.