NASIONAL

Pernawirawan TNI Resah, Indonesia Darurat Korupsi & Komunis

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Dua fenomena menarik yang terjadi di Indonesia saat ini. Pertama bangkitnya para Guru Besar dalam menyoroti negara Indonesia yang berada dalam bahaya korupsi. Terjadi darurat korupsi. Lebih dari 50 Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka Para Guru Besar tersebut menilai UUK KPK hasil revisi DPR dan Pemerintah telah melumpuhkan KPK dalam fungsi dan tugas-tugas pemberantasan Korupsi. Di antara Guru Besar ada nama Azyumardi Azra, Emil Salim, Frans Magnis Suseno, Ramlan Surbakti dan lain-lainnya. Kedua, muncul gerakan dari para purnawirawan TNI AD melalui pernyataan keprihatinan bahwa negara berada dalam bahaya cengkeraman “Oligarki Neo Komunis”. Pernyataan 2 Mei 2021 tersebut dibuat oleh Mayjen TNI (Purn.) Deddy S Budiman, Letjen TNI (Purn.) Yayat Sudrajat, Mayjen TNI (Purn.) Robby Win Kadir, Brigjen TNI (Purn.) Budi Sudjana, dan lainnya. Oligarki Neo Komunis yang kerjanya mengadu-domba dan memfitnah umat Islam dan TNI, termasuk dengan mengkriminalisasi Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI). Sedangkan soal korupsi memang sudah berat diatasi, menggurita dan terang benderang. Pemerintah tidak serius untuk memberantasnya bahkan KPK pun telah dihancurkan peran dan independensinya. Wajar saja jika para Guru Besar berteriak walaupun sudah terlambat. Para mahasiswa dulu telah "berdarah-darah" memprotes penghancuran KPK ini. Lucunya kini Menkpolhukam Mahhfud MD minta permakluman pada status Pemerintahan yang memang Korup. Minta masyarakat memaklumi saja prilaku korupsi yang dilakukan pemerintah. Penangananan korupsi Jiwasraya, Asabri dan BPJS Tenaga Kerja merayap menuju menguap. Korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Juliari Peter Batubara yang diduga melibatkan "madam" masih dibawa berputar-putar tidak jelas ujungnya. Keluhan Mensos Risma tentang 21 Juta data ganda, membuat geleng-geleng kepala. Syamsul Nursalim buron malah diberikan SP3 oleh KPK. Top markotop. Sepertinya pada setiap investasi dan hutang luar negeri melekat prilaku korupsi. Dampaknya seruan ayo berinvestasi sama saja dengan ayo korupsi. Akibatnya, sejumlah negara faksi Amerika Seruikat menunda pinjaman bilateral. Mereka adalah Australia, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Saudi arabia. Investasi juga semakin selut masuk ke Indonesia. Kenyataan ini dikeluhkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Soal Neo Komunis yang diprihatinkan para Purnawirawan TNI itu, memang semakin menyengat baunya. Terasa hampir pada semua lini penyelenggaran negara. Saat petinggi PKI akan kabur dan bergerak masing-masing, lalu mereka berkomitmen untuk berjuang "tanpa bentuk". Nampaknya komitmen itu semakin terealisasi kini. Kini mulai menyusup, mempengaruhi dan mengendalikan. Prakteknya pelan-pelan mulai tampak. Dimulai sejak Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP). Road map pendidikan nasional tanpa mata pelajaran Agama. Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghilangkan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia. Ini jangan dianggap biasa-biasa saja. Agenda senyap ini semakin memperlihatkan batang hidungnya dengan penunjukkan Hilmar Farid, mantan aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) sebagai Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional. Wajar saja kalau publik khawatir arah negara ini menuju revolusi kebudayaan yang melumpuhkan agama. Maka Purnawirawan TNI AD menyebut ini bahaya Oligarkhi Neo Komunis. Memang para pemimpin negara harus diingatkan. Tetapi apa yang diungkapkan Prof. Dr. Ayzyumardi Azra cukup menarik, yaitu pesimistik. Sudah sulit untuk mendengar kebenaran mengema lagi di jagad Sabang sampai Merauke, dan dari Pulau Nias sampai Miangas. Seraya mengutip atau merujuk pada Ayat Al Qur'an bahwa telinga, mata, dan hati mereka telah tertutup. "Allah akan isi Neraka Jahanam bagi banyak Manusia dan Jin. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, mereka memiliki telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendemgar" ( QS Al A'raf 179). Allah SWT memperumpamakan mereka sebagai binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. "Ulaa-ika kal an'am bal hum adlol, ulaa-ika humul ghafiluun". Artinya, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu, mereka adalah orang-orang yang lalai.. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Produksi Demokrasi dan Hukum Itu Mainan Oligarki (Bagian-1)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN- Demokrasi dan rule of law, untuk alasan praktis, merupakan dua konsep yang teramat ganjil disepanjang sejarah. Keduanya pada level itu, justru malah saling menyangkal pada sejumlah aspek. Bukan disebabkan keduanya tidak memiliki bentuk final secara materil, tetapi ada soal lain yang gagal dikenali. Sehingga orang-orang bodoh berlomba memuja keduanya sebagai barang hebat. Michael Carigan, kolumnis kawakan yang pernah menulis The History of Death, Who Lies Were: A Guid To Famous and the Mediterranean, yang disiarkan secara serial di BBC mengidentifikasi serangkaian penyebabnya. Selalu dimana pun dalam dunia demokrasi, dulu dan sekarang, ada saja sekelompok orang yang diistimewakan. Merekalah pendefenisi sebenarnya demokrasi dan rule of law. Orang-Orang Siluman ​Menunjuk demokrasi sebagai faktor determinan hadirnya hukum yang baik, jelas itu bodoh, tolol dungu, dan dongo. Tidak ada sejarahnya itu. Yang disajikan sejarah, hukum diperlukan oleh semua bentuk negara, juga sistem dan bentuk pemerintahan. ​Tidak ada penguasa durjana, otoriter, facis, totaliter dan demokratis, yang tidak menggunakan hukum. Tidak ada itu. Jangan tolol untuk itu. Justru sebaliknya, sejarah cukup jelas menunjukan semua penguasa durjana dan demokratis menyodorkan dan menggunakan hukum untuk berbagai kepentingan. ​Demokrasi memang memukau. Konsep-konsep dasarnya tentang manusia jelas mengagumkan. Manusia itu merdeka sedari lahir. Inilah mahkota manusia. Mahkota ditransiformasi dalam konsep kebebasan alamiah, khususnya kebebasan berpikir dan menyatakan akal pikiran, serta memiliki harta benda. ​Inilah yang memukau dan mendekorasi serangkaian sebab yang menghasilkan revolusi Perancis tahun 1789 lalu. Sejarawan Andre Hussely, di satu sisi dan James Harvely Robinson dan Charles A. Beard di sisi lain, melukiskan keadaan itu dengan sangat menarik. ​Prancis, khususnya Paris kala itu, diidentifikasi Andrew sebagai kota yang gelap dan terang datang secara bergantian. Bagai angin puyuh. Tanpa sebab jelas, keadaan bisa seketika berubah menjadi huru-hara. Ada begitu banyak gerakan bawah tanah dan terlalu banyak sekte di Paris ketika itu. Andrew menunjukan itu sebagai ikon lain Paris kala itu. Mereka yang kaya dan miskin memperlihatkan tingkah laku yang satu dan lainnya kontras dalam semua aspeknya. Seperti biasa, kenyataan itu menyiskan duka dan luka di hati untuk kalangan tak punya. Eksplosif, karena kenyataan itu bertemu dengan kenyataan lain, yang mengerikan. Kenyataan lain itu, kelak menjadi sebab langsung muncul revolusi berdarah-darah 1789, karena kerajaan telah terlilit inflasi ganas. Kas deficit. Mau apa? Mau Pinjam? Pinjam Kemana? Italia tidak mau kasih pinjaman. Begitu juga dengan Inggris. Mau apa tuan raja? Ralp H. Epperson, sejarahwan top ini mengidentifikasi keadaan itu sebagai prakondisi yang diciptakan secara sistimatis oleh sekelompok kecil orang untuk memanggil datangnya revolusi. Revolusi itu tidak hanya untuk mengubah Kota Paris, tetapi Prancis secara keseluruhan. Andrew Hussey, memang tak menunjuk secara defenitif kelompok Fremansory berada dibalik kekacauan itu. Tetapi Andrew mengidentifikasi antara tahun 1700-1750 terdapat lebih dari selusin sekte di Prancis. Mereka dikenal sangat radikal. Mereka pernah memberontak. Tetapi apapun itu, sesuatu yang tidak bisa ditolak adalah apa yang identifikasi oleh James Harvey Robinson dan Charles A. Beard. Kerajaan, dalam identifikasi kedua sejarahwan ini, telah berada dalam pelukan inflasi yang kronis dan ganas. Semua aspek yang mendatangkan uang telah deficit. Raja, seperti semua rezim sesudahnya yang terlilit infasi ganas, menyodorkan pemecahan klasik. Raja menginstruksikan “ciptakan dua jenis pajak baru, dan naikan pajak konvensional”. Tragis. Kala raja mengumumkan rencana itu, Estate General (Dewan Kerajaan), khususnya dari kalangan strata ketiga (third estate), menolak. Roberspierre wakil utama third estate ini berada di garda terdepan melakukan penolakan. Dia malah menuntut penyamaan status antara mereka dengan clergy dan nobility dalam estate general itu. Gumpalan awan perlawanan terus membesar. Marrat, seorang ilmuan kawakan kala itu muncul dengan sebuah publikasi. Kata-kata extravaganza. Dia beri judul artikelnya “The Frined of the People”. Marrat, sang ilmuan ini mengulas “aristocrat and bourgeoise” meliputi para kelas pekerja terbesar dan petani. Apapun itu, Andrew menemukan kenyataan lain. Ibu-ibu, katanya yang sudah tidak lagi memiliki bahan makanan untuk dimakan. Orang-orang lalu ini berbaris penuh amarah menuju dan menyerbu penjara Bastiles. Ini pemicu kongkrit revolusi merobohkan kerajaan. Roberspierre, salah satu republikan radikal segera memegang kekuasaan. Roberspierre menggariskan Prancis baru harus dibangun diatas prinsip liberte, egalite dan fraternite. Prinsip itu direalisasikan dengan tangan besi, menandai pemerintahan terror Roberspierre yang hanya sebentar. Berbaris ditengan prinsip itu, Roberspierre memberi status nobles kepada imigran dari Hunggaria dan Jerman. Menariknya, Roberspierre diidentifikasi Rapl H. Epperson sebagai orang suruhan kelompok perencana yang tak terlihat dalam revolusi itu. Menariknya, Roberspierre segera dihabisi. Tragis. Begitulah jalan awal demokrasi di Prancis. Jalan itu mirip dengan jalan awal demokrasi di Inggris, yang dipicu oleh revolusi gemilangnya pada tahun 1688. Omong Kosong Itu Prancis tahu apa yang Inggris dendangkan tentang hukum ditengah gelora demokrasi. Tak lama setelah Inggris melembagakan demokrasi, setidaknya membatasi kekuasaan Raja disatu sisi, dan disisi lain memperluas kekuasaan parlemen. Bahkan parlemen dijadikan supreme, para borjuis yang tidak lain adalah financial oligarki licik, picik, tamak dan rakus yang segera berpesta. Prinsip tahta suci dan hak suci raja yang dicanangkan secara berani oleh Raja James I tahun 1626, tergulung dan tersapu oleh dahsyatnya revolusi. Raja tak lagi berada di atas hukum. Raja telah tak lagi berstatus “king as a state”. Prinsip ini telah berganti menjadi “law as a supreme in the Land of England”. Segera terlihat tabiat bawaan revolusi dan demokrasi. Orang miskin segera berpesta dengan kebebasan baru. Orang kaya lalu mendekorasi tatanan baru itu. Tujuannya untuk konsolidasi kepentingan bisnis mereka. Apa yang segera orang-orang bisnis ini lakukan? Tahu kerajaan telah kehabisan sumberdaya, para financial oligarki Inggris kala itu, dengan kemurahan hatinya mendatangi kerajaan. Mereka hendak meminjamkan uang kepada kerajaan. Disertai syarat tertentu. Syaratnya harus ada otorisasi parlemen. Cerdas mereka. Sebab kepada parlemen mereka juga mengajukan syarat lain. Apa syaratnya? Buatkan UU yang memungkinkan mereka dapat menampung uang dari bea shipment. Penampungan ini mau tak mau, harus diletakan dibank. Itulah inti Duane Act 1694. Canggih cara main finalicial oligarki. Mereka tidak minta buat UU tentang Bank Bank, yang kelak menjadi cikal bakal Bank of England. Tetapi hanya minta beri wewenang menampung uang mereka. Itu saja. Suka atau tidak, kerajaan dan parlemen telah berada dalam kekangan mereka. Inggris memberi pelajaran hebat untuk oligarki-oligarki Prancis. Antara tahun 1696-1698, para produsen kain wol dari East Anglia dan West Country bersekutu dengan para pengrajin sutra dari London, Carterbury dan sebuah perusahaan bernama Levant Company mencari siasat untuk menyingkirkan sutra Asia. Apa yang mereka lakukan untuk menggolkannya? Koalisi para produsen tekstil ini mengusulkan sejumlah RUU ke meja Parlemen. Isi RUU itu antara lain melarang warga Negara Inggris memakai busana dari bahan katun dan sutra Asia. Sukses, tahun 1701 Parlemen menggolkan RUU itu menjadi UU. Menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku “Mengapa Negara Gagal” sejak bulan September 1791 Parlemen Inggris mengumumkan UU yang menguntungkan koalisi ini. Isi ketentuan itu adalah semua kain sutra palsu, kain Bengal, dan sejenisnya yang dicampur bahan sutra asli atau herba, yang dibuat di Persia, China dan India Timur, semua jenis kain balacu, yang diwarnai, dicelup atau dicetak di negara itu dan diimpor ke wilayah Inggris, menjadi terlarang. Ruang ini terlau sempit untuk mengetengahkan semua praktik hukum Inggris yang menguntungkan kaum kaya, sebelum Prancis mulai menata hukum sebagai tuntutan langsung revolusi mereka. Tetapi semua yang terjadi di Inggris telah cukup memberitahu Prancis bahwa hukum di tengah demokrasi memang diperuntukan, terutama untuk kaum yang istimewa ini. Frederich Bastiat, Jurnalis kawakan, sekaligus anggota parlemen tahun 1850-an ini, sekadar sebagai ilustrasi mati-mati berdiri di garis depan mempromosikan pasar bebas. Dia jelas menjadi penantang paling tangguh atas ide sosialis. Baginya, sosialis tidak pernah baik dalam semua bentuknya. Mereka hendak mengambil kekayaan orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Bagi Bastiat, cara satu-satunya adalah menciptakan pasar sebebas mungkin. Dia meyakini kompetisi yang tercipta dengan bebas, merupakan cara terbaik memakmurkan orang. Semua orang, begitu Bastiat meyakini memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi apa saja yang dia mau. Ketika Prancis naik ke permukaan demokrasi, Amerika, koloni Inggris ini telah mengawali pemerintahan demokratis. Pemerintahan ini dipandu dengan konstitusi yang dibuat tahun 1787 di konvensi Philedevia. Diawali untuk pertama kalinya oleh Presiden George Washington dengan John Adam sebagai wakilnya. Tetapi sedari awal omong kosong demokrasi segera tersaji. Sejak saat itu sampai dengan paruh kedua abad ke-20, orang negro tak berstatus sama dengan orang kulit putih. Rasdiskriminasi merajalela pada semua kehidupan demokrasi Amerika. Tahun 1964, sepuluh tahun setelah putusan MA yang bersejarah, yang dibuat oleh Earl Warren, barulah muncul Civil Righst Act. Orang hitam mulai disetarakan. Memeriksa semua sudut pertalian demokrasi dan hukum dalam sejarah Amerika adalah memeriksa aspek omong kosong keduanya. Sebabnya keduanya dikendalikan oleh oligaki finalsial dan lasinnya. Pembentukan The Federal Reserve Act 1913 itu, contoh kecil. Contoh besarnya ditunjukan oleh pemerintahan Franklin Delano Rosevelt. Hukum-hukum itu dibuat untuk dan atas atas nama restrukturisasi seluruh struktur ekonomi Amerika sepanjang tahun 1993-1945, justru merupakan kedok penyelamatan dan konsolidasi oligarki. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Pandemi Demokrasi & Information as a Public Good

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 03 Mei 2021 mengusung tema “Information as a Public Good”. Artinya, “Informasi Sebagai Milik Publik”. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tanggal 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Sidang Umum tahun 1993 untuk memperingati penyelenggaraan “Deklarasi Windhoek” di Namibia (1991). Deklarasi Windhoek itu adalah inisiatif pekerja pers Afrika untuk memperjuangkan media yang bebas, independen, dan pluralistik di tengah tekanan dan kekerasan yang terus-menerus terjadi pada para jurnalis di beberbagai belahan. Tekanan terhadap kebebasan pers seperti santapan yang harus dinikmati setiap saat oleh pekerja pers. Tidak pernah berhenti. Kapan saja tekanan selalu datang menghampiri. Deklarasi Windhoek itu berisi empat pontui. Pertama, negara harus proaktif dalam melindungi jurnalis dan mengupayakan agar warga negara dapat menggunakan kebebasan berekspresi. Kedua, negara harus menghindari pengendalian media. Ketiga, mencegah monopoli negara atas media. Keempat, negara memastikan dukungan hukum dan dukungan praktis lainnya untuk sektor-sektor seperti pelayanan publik dan media komunitas. Perlu diingat bahwa tema Hari Pers Sedunia Tahun 2020 di Belanda adalah “Journalism Withuot Fear and Favour”. Artinya, “Jurnalisme Tanpa Ketakutan dan Bantuan”. Tema yang sangat menggambarkan kondisi objektif dari kegelisahan masyarakat pers dunia saat ini. Kondisi yang juga terjadi pada masyarakat pers di Indonesia. Memang penting, merawat memori kolektif publik. Karena masyarakat masih terus menyaksikan banyaknya negara yang melakukan sensor, memberlakukan denda, atau menghentikan beroperasinya media massa. Komunitas pers, seperti jurnalis, editor, dan penerbit bahkan masih menjadi korban penyerangan, dipenjara, hingga dibunuh. Hari Kebebasan Pers Sedunia menjadi momentum dukungan kepada media yang menjadi sasaran pengekangan, sekaligus mengenang para jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugasnya. Padahal para pekerja media itu bekerja dengan suka rela. Memberikan kontribusi yang signifikan. Mengolah informasi dan data ilmiah yang kompleks menjadi lebih mudah untuk dicerna oleh publik. Menyediakan data yang diperbaharui secara berkala, dan melakukan pengecekan fakta. Kebebasan pers tidak hanya krusial bagi para juru warta. Tetapi juga masyarakat umum. Pers yang bebas secara moral terikat mendukung kesinambungan partisipasi warga negara untuk berperan aktif dalam demokrasi. Akan tetapi dalam perkembangannya, serangan masifitas pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 telah memaksa mayoritas negara berperilaku represif menyikapi protes warga. Protes yang kebanyakan disuarakan lewat media pers. Protes untuk menanggapi kebijakan penanganan pandemi yang tidak maksimal. Kenyataan ini, tidak terkecuali Indonesia, yang mencatat banyak isu kebebasan berpendapat dan berekspresi di media yang perlu ditangani. Karena terkait dengan maraknya praktik kriminalisasi publik dengan menggunakan “kekebalan” pasal karet ” UU ITE. Ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang virtual pun terus bermunculan, sehingga warga semakin takut bersuara. Bayang-bayang kelam di kecerahan langit dunia pers mulai terlihat di depan mata. Ancaman punahnya sejumlah komitmen kemandirian pers demi demokrasi tersandung opsi pengarusutamaan pengendalian serangan pandemi Covid 19. Ini terjadi di semua negara. Hanya pola gradasi dan antisipasinya yang berbeda- beda. Yang paling mengenaskan, pemerintahan yang rapuh demokrasinya. Pemerintahan yang rapuh ini menemukan ruang perlindungan legitimasi praktik otoritarianisme. Alasan keselamatan jiwa rakyat menjadi pendulum gerakan represif yang terlegitimasi. Pemerintah berlindung di balik prinsip, “salus populi, suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Penulis buku “Sapiens dan Homo Deus”, sejarawan dan sastrawan Israel Yuval Noah Harari, melalui artikelnya berjudul “The World After Coronavirus”, yang ditulisnya di Financial Time, edisi 20 Maret 2020, menggambarkan perubahan kondisi yang mungkin terjadi setelah pandemi virus Corona (Covid-19) berakhir. Harari menyebutkan kasus pandemi Covid-19 berpotensi mendorong, bahkan dapat menjadi preseden bangkitnya pemerintahan yang otoritarianisme. Harari menambahkan, kuatnya signal kebangkitan otoritarianisme atau totalitarianisme itu ditandai dengan munculnya indikasi surveillance state atau negara pengawasan. Pemicunya diakibatkan tingginya tingkat penularan Covid-19. Mengisyaratkan pemerintah harus menjaga agar physical distancing tetap terjaga dengan menempatkan berbagai kamera CCTV. Menariknya, di luar aspek ekonomi, Harari justru menyebutkan, akibat tingginya tuntutan publik atas pengendalian pandemi Covid 19, membuat pemerintah dan masyarakat “terpaksa” sepakat untuk menghadirkan “negara pengawasan”. Negara melakukan pelonggaran hak privasi. Sebelumnya, Harari juga telah mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di Israel. Netanyahu yang kalah dalam pemilihan umum, justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk menutup parlemen Israel. Memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan menetapkan keadaan darurat. Atas hal tersebut, Netanyahu disebutnya sebagai seorang diktator. Karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memperoleh mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan. Harari memberikan pandangan negatif terkait bangkit atau setidaknya potensi kebangkitan pemerintah otoriter dalam menangani pandemi Covid-19. Berbagai pihak justru menempatkan diri berseberangan dan menyebutkan otoritarianisme memang bentuk pemerintah yang dibutuhkan untuk memerangi virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok itu. Shaun Walker dalam tulisannya di The Guardian mengutip ilmuwan politik asal Bulgaria, Ivan Krastev yang menyebutkan “bersama pandemi Covid-19, masyarakat di berbagai belahan dunia telah memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19”. Otoriter mendapat toleransi dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat, seperti Kepala Daerah maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan lockdown guna mencegah penularan Covid-19. Mirip pernyataan Walker, masyarakat seyogianya telah memiliki toleransi atau penerimaan apabila nantinya pemerintah berlaku otoriter untuk memerangi virus tersebut. Narasi antisipasi seperti apakah yang mesti dipilih pemerintahan Jokowi untuk memerangi pandemi Covid-19 di Indonesia? Senang atau tidak senang pandemi Covid 19 telah memaksa penggiat demokrasi di banyak negara untuk menata ulang. Melakukan restrukturisasi pola kerja dan operasi demokrasi. Bukan cuma itu, bahkan dampak negatif pandemi Covid 19 serta-merta merubah artikulasi demokrasi. Kehadiran “sekutu” baru demokrasi, yang bernama “negara pengawasan” tersebut, justru terhantar atas jaminan konstitusi atas nama “keselamatan rakyat”. Surveillance State dan Demokrasi telah “serumah” sebagai sekutu temporer. Perpaduan pada keduanya adalah narasi baru dari demokrasi yang sudah masuk di ruangan tidur publik. ​Menarik merujuk kembali kepada pernyataan Harari yang menyebutkan, “konsekuensi luas dari pandemi telah membuat kesehatan masyarakat dibingkai ulang sebagai masalah keselamatan dan keamanan nasional secara global”. Hal itu sendiri, katanya, tidak selalu buruk. Tetapi di banyak negara sekuritisasi kesehatan, masyarakat telah menghasilkan momentum tiba-tiba untuk melanggar batas privasi hingga saat ini. Karena dianggap “tidak dapat diterima di negara demokrasi”. Kenyataan ini termasuk juga pada penggunaan alat komunikasi yang mengintegrasikan kesehatan publik dan database telekomunikasi pribadi. Juga penggunaan data lokasi pribadi oleh pemerintah dari ponsel cerdas untuk melacak dengan cermat interaksi seluruh populasi atau untuk menegakkan kepatuhan karantina sukarela, ujar Harari. Di luar perdebatan mengenai kebangkitan otoritarianisme tersebut, Rachel Kleinfeld dalam tulisannya “Do Authoritarian or Democratic Countries Handle Pandemics Better”? (31/03/20. Ilmuwan perempuan Amerika itu memberikan penekanan yang cukup menarik. Menurutnya perihal penanganan Covid-19, sebenarnya bukanlah menjadi perdebatan, apakah putusan yang diambil tersebut adalah otoriter atau demokratis, karena perdebatan yang seharusnya dilakukan adalah “seberapa efektif putusan tersebut mengatasi pandemic”? Kleinfeld menegaskan, dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan yang dibuat negara merujuk pada sains medis. “Oleh karenanya tidak perlu lagi ditemukan perdebatan terkait apakah penerapan lockdown ataupun hadirnya surveillance state misalnya, merupakan bentuk pemerintah otoriter atau tidak”. Kembali kepada peringatan Hari Kebebasan Pers se-Dunia. Lantas, bagaimana menempatkan pesan legendaris Nelson Mandela yang terucapkan belasan tahun sebelum ada pandemi Covid 19? Revolusioner antiapartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999 itu, terkenal dengan ucapannya tentang peran pers yang sentral. Kata Nelson Mandela, "Pers kritis, independen, dan investigatif adalah sumber kehidupan demokrasi apa pun. Pers harus bebas dari gangguan negara. Perrs harus memiliki kekuatan ekonomi untuk bertahan menghadapi kebodohan pejabat pemerintah. Pers itu harus memiliki independensi yang cukup dari kepentingan pribadi untuk berani dan bertanya tanpa rasa takut atau bantuan. Pers harus menikmati perlindungan konstitusi, sehingga dapat melindungi hak-hak kita sebagai warga negara”. ​Wartawan senior teman lama, kembali mengirim pesan WhatsApp, ia mengutip Martin Luther King Jr. dan ia menulis begini, "kebebasan tidak pernah secara sukarela diberikan oleh penindas, itu harus dituntut oleh yang tertindas". Mungkinkah??? Penulis adalah Wartawan Senior & Pmerhati Sosial Budaya.

Densus 88 Berhasil Jungkirbalikan Indonesia Negara Demokrasi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pada masa Orde Baru dahulu aktivis mahasiswa yang ditahan dan diadili melakukan pembelaan atas penindasan hak mahasiswa. Mengkritisi rezim yang menekan rakyat dengan menggunakan aparat keamanan. Pledoi Caretaker Presidium Dewan Mahasiswa ITB Sukmadji Indro Tjahjono cukup menarik karena berjudul "Indonesia di Bawah Sepatu Lars". Pledoi itu kemudian dibukukannya, meskipun pernah dilarang. Namun melihat penangkapan Munarman di kediamannya oleh sepasukan berseragam dan bersenjata lengkap Densus 88, dan sama sekali tidak memberi kesempatan memakai sandal kemudian menutup mata, jadi teringat masa represivitas Orde Baru dahulu. Semestinya tak perlu dilakukan penangkapan dengan cara yang primitif seperti itu. Toh, Munarman sehari-hari ada di sekitar kita. Tiap agenda persidangan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pangadilan Negeri Jakarta Timur, Munarman selalu muncul sebagai pembela. Jadi bukannya teroris yang sembunyi, menyiapkan peledakan, atau sedang membangun jaringan bawah tanah untuk melakukan teror ini dan itu kembali. Munarman itu Advokat yang terang-benderang selalu berada di raung publik. Munarman tidak pernah sembunyi. Selalu dikenal media, serta berada di ruang rutinitasnya. Tentu operasi penangkapan oleh Densus 88 dapat membangun citra bahwa memang Indonesia berada di bawah Sepatu Lars kembali. Seperti eranya Orde Baru dulu. Densus 88 telah menjungkir-balikan, dan porak-porandakan Indonesia sebagai negara yang kaya demokrasi. Pergeseran dari Lars TNI menjadi Lars Polri tidak boleh terjadi. Sebab wajah Indonesia sebagai negara hukum harus tetap dijaga. Indonesia bukan negara kekuasaan. Terlalu mahal biaya politiknya jika rezim Jokowi yang berpenampilan politik sipil. Tetapi mengimplementasikan peran-peran politiknya secara militeristik dan polisional. Apalagi jika dengan cara memojokkan umat Islam. Radikalisme, intoleransi, hingga terorisme yang disematkan pada aktivis Islam akan membuat "traumatic experience" yang tidak perlu. Kecurigaan dan dendam politik berkepanjangan. Akibatnya, kepercayaan pada pemerintahan rendah bahkan hilang. Ketika terjadi krisis nasional yang memerlukan penanganan kolektif, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan support publik. Indonesia di bawah Sepatu Lars kini adalah berada pada sikap berlebihan Angkatan Bersenjata Kepolisan: Brimob dan Densus 88. Sebaiknya dua kesatuan ini diintegrasikan pada TNI saja, agar lebih proporsional dalam kaitan pertahanan dan keamanan negara. Ketika berada di bawah Kepolisian, maka masyarakat bukan merasa aman atau nyaman melainkan tertekan dan justru terteror. Kasus penangkapan Munarman adalah contoh iklim yang dibangun secara tidak sehat. Indonesia di bawah Sepatu Lars tidak boleh terjadi lagi. Itu pengalaman yang sangat buruk dan primitif dalam berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai polihan politik, konsekwensinya Indonesia adalah negara merdeka, yang sangat menghormati hak-hak warga negara. Hak-hak masyarakat sipil, dan hak Hak Asasi Manusia (HAM). Aparat bersenjata harus melindungi keamanan rakyat. Bukannya sebaliknya menakut-nakuti rakyat. Mengubah citra Indonesia negara di bawas Sepatu Lars adalah mengembalikan secara proporsional porsi dan fungsi TNI-POLRI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Implementasi yang bersahabat dengan rakyat, sang pemilik negara. Tanpa harus mengubah dengan citra palsu yang sok kasual atau milenial, menjadi Indonesia di bawah Sepatu Kets atau di bawah Sepatu Kelinci. Mahfud Berprilaku Iblis Berita Tempo.co yang menyatakan bahwa menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, rakyat tidak harus sepenuhnya kecewa karena pemerintah sekarang yang koruptif dan oligarkhi. Padahal tentu saja mengecewakan. Begitulah bentuk lain dari negara di bawah tekanan Sepatu Lars. Rakyat dipaksa menerima sesuatu yang aneh bin ajaib. Bagaimana tidak, terhadap kondisi pemerintah yang menyimpang dari tujuan bernegara itu, rakyat tidak boleh kecewa. Alasannya ada kemajuan dari waktu ke waktu. Anehnya kemajuan itu bukan berdasarkan penilaian rakyat. Tetapi berdasarkan penilaian dari pemrintah. Ada tiga hal penting tentang betapa kelirunya pandangan Mahfud MD tersebut Pertama, di belahan dunia manapun, pemerintahan koruptif itu mengecewakan, karena menghianati mandat dan kepercayaan yang diberikan rakyat. Bantuknya merampok uang rakyat. Misi moral politik pemerintah adalah membersihkan aparat dari mental korup. Tidak mentoleransi korupsi. Pemerintah koruptif layak diprotes, didemonstrasi, bahkan wajib untuk diganti. Kedua, oligarki harus dicegah karena membenarkannya sama saja dengan menghianati demokrasi. Kekuasaan itu di tangan rakyat. Bukan di tangan segelintir atau sekelompok orang. Oligarki itu inheren dengan otokrasi, pemerintahan di satu tangan. Pemerintahan yang tidak berbasis demokrasi adalah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dibiarkan. Harus diganti. Ketiga, alasan adanya kemajuan tidak bisa menjadi pembenar dari pemerintahan koruptif dan oligarkhi. Dua permasalahan yang timbul. Pertama, kemajuan itu harus berbasis pemerintahan yang bersih dan demokratis. Bukan pemerintahan yang korup atau oligarkis. Kedua, sejauhmana kemajuan itu diakui? Faktanya ekonomi amburadul, politik sosial keagamaan diskriminatif dan pembelahan di masyarakat. Penanganan terhadap kelompok opisisi sangat represif. Pengangguran dan kemiskinan meningkat. Daya beli masyarakat tertekan dan menurun drastis. Kenyataan ini membuktikan kalau Mahfud MD memang Menteri kontroversial. Figur yang gampang berubah-ubah. Sangat tergantung pada terkait tidak dengan kepntingan pribadinya. Yang salah bisa jadi benar. Sebaliknya yang benar bisa jadi salah. Mahfud berubah drastis dari cendekiawan yang arif dan sangat moralis, menjadi politisi yang protektif dan apologetik. Baginya semua suara kekuasaan adalah benar atau dapat dibenarkan. Tentu bukan seperti ucapannya sendiri bahwa kekuasaan bisa mengubah watak manusia dari malaikat menjadi iblis. Sekarang dengan membernarkan sikap korutif, Mahfud menjadi iblis yang berwajah manusia. Jika Presiden kuat dan berwibawa Mahfud MD layak menjadi bagian dari target reshuffle berikutnya. Namun seperti pengakuan Mahfud MD bahwa pemerintahan koruptif dan oligarkis, maka tak mungkin ada reshuffle terhadap orang oligarkis dan para loyalisnya. Rakyat yang beroposisi hanya bisanya hanya mengurut dada. Mahfud lagi, Mahfud lagi. Iblis yang berwajah manusia. Iblis sekarang sukanya korupsi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Soal HAM, Ketua MPR Bamsoet Tidak Paham Konstitusi

by Marthen Goo Jakapura FNN - Dalam konflik kombatan antara TPN-OPM dan TNI-Polri, tepat pada hari minggu 25 april 2021, kita dengar bahwa Kepala BIN daerah ditembak mati TNP-OPM seperti dirilis oleh berbagai media. Tentu dalam prinsip konflik kombatan, menjadi wajar karena dalam tembak-menembak, pasti satu dari antara pihak kombatan yang bergururan. Begitu juga hukum humaniter. Dalam merespon kasus tersebut, kita dikagetkan dengan pernyataan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang mengatakan, "saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) kita bicarakan kemudian". (CNN – Indonesia, senin, 26/4/2021). Ini pernyataan yang sangat keliru. Mungkin Ketua MPR tidak mengerti perbedaan HAM dan konflik kombatan. Barang kali ketua MPR juga tidak mengerti apa itu semangat Konstitusi dalam bernegara. Kalau ketua MPR saja berpandangan seperti begini, dan tidak menunjukan layaknya ketua MPR sebagai pembentuk konstitusi, akan turut merusak dan mencederai kemanusiaan dalam bernegara. Semangat reformasi dan perubahan UUD’45 adalah untuk membangun negara berdasarkan HAM. Karenanya roh dari UUD’45 adalah HAM. Sebab HAM di dalam UUD’45 ditempatkan di tempat yang tinggi. Karena selain merupakan nilai dasar yang dirumuskan dalam pancasila, juga merupakan tujuan utama dalam berbangsa dan bernegara. Soal HAM itu merupakan prinsip yang utama dalam bernegara. Ko bisa-bisanya seorang ketua MPR mengabaikan prinsip HAM dalam UUD’45? Barangkali Ketua MPR harus rubah UUD’45 lagi. Kemudian rubah juga negara republik jadi negara Tirani. Supaya kekuasaan bisa dipakai untuk mengabaikan HAM. Batasan HAM & Konflik Kombatan HAM dan konflik kombatan, itu dua hal yang berbeda jauh. HAM di Indonesia dirumuskan dengan jelas pada UU No. 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Prinsip HAM juga dikenal sebagai nilai luhur dalam Pancasila. Kemudian diturunkan dalam tujuan bernegara dan konstitusi. Sementara konflik kombatan itu masuk dalam hukum humaniter. Kejahatan HAM dalam perspektif HAM adalah kejahatan yang dilakukan oleh State-Actor kepada warga sipil. Sehingga, jika itu masuk dalam terstruktur, sistematis dan masif, maka termasuk dalam kejahatan HAM berat. Prinsipnya adalah aktor negara sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi jika konlik itu diantara warga sipil, maka itu kemudian disebut “kriminal”. Jika itu konflik kombatan, maka itu tidak masuk rana HAM. Konflik kombatan itu masuk rana hukum humaniter atau yang berlaku adalah hukum humaniter. Jadi, jika TPN-OPM dan TNI-Polri saling tembak-menembak sampai habis, maka itu hal biasa dan wajar dalam dunia hukum humaniter atau dunia hukum perang. Tidak ada aspek HAM dalam konflik kombatan. Berbeda jika masuk rana sipil. Sayangnya, pernyataan Ketua MPR memiliki tendensius yang sangat buruk, seakan memiliki niat dan melegalkan kejahatan HAM dalam wilayah sipil di Papua. Itu bertentangan dengan hukum humaniter dan hukum HAM. Bahkan juga bertentangan dalam sistim hukum di Indonesia. Apalagi bicara soal UUD’45 dan negera republik ini. Kita harus lihat secara dalam batasan dan perbedaannya. Lemahnya wawasan para pemimpin bangsa, bisa berdampak pada korbannya rakyat sipil dan hancurnya sebuah negara. Yang disampaikan ketua MPR adalah tontonan pada seluruh rakyat di Indonesia, itu sangat buruk. Juga menggambarkan bahwa Ketua MPR belum punya kemampuan untuk membedakan apa itu rana HAM dan apa itu rana konflik kombatan. Soal HAM dan konflik kombatan itu mempunya rana yang berbeda. Kita seakan berada di bawah abad-18, abad dimana kejahatan mengesampingkan aspek HAM. Padahal menurut Usman Hamid, “kami sangat menyayangkan pernyataan Ketua MPR RI yang mengesampingkan HAM. Pernyataan itu berpotensi mendorong eskalasi kekerasan di Papua dan Papua Barat. Mengesampingkan HAM, bukan hanya melawan hukum internasional, tetapi juga tindakan yang inkonstitusional. Negara harus menegakkan prinsip negara hukum dan HAM dengan menemukan dan mengadili pelaku penembakan Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny. Insiden itu harus menjadi yang terakhir dan tak boleh dijadikan pembenaran memperluas pendekatan keamanan yang selama ini terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan masalah Papua.HAM itu bicara keselamatan semua. (CNN, 26/04/2021) Menurut Andi Muhammad, Devisi Humas KontraS, pernyataan Ketua MPR tentang penyelesaian konflik di Papua tidak mencerminkan kepribadian dan etika yang baik sebagai pimpinan MPR. Semestinya setiap anggota MPR bekerja dengan menjunjung tinggi HAM. Padahal secara etik berdasarkan Keputusan MPR Nomor 2 Tahun 2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, setiap anggota dituntut untuk menjunjung HAM (Kompas, 29/4/2021). Dari pernyataan yang disampaikan oleh Usman (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia) dan Andi Muhhamad, sesungguhnya pernyataan ketua MPR sangat bertentangan dengan konstitusi. Tidak paham konstitusi. Melegalkan kekerasan dan kejahatan HAM di Papua, bahkan melanggar kode etik MPR No. 2 Thn 2010, dimana setiap anggota MPR dituntut menjunjung HAM. Ketua MPR merespon sikap koalisi yang meminta Ketua MPR menarik pernyataannya dengan menyatakan pada pers, “tak akan menarik pernyataannya. Penembakan dan pembunuhan terhadap Kabinda Papua, sejumlah prajurit TNI-Polri, pembunuhan warga sipil hingga pembakaran sekolah, rumah, dan properti lain milik masyarakat Papua tak boleh terjadi lagi”. “Saya tidak akan menarik pernyataan saya. Tugas saya memberi semangat. Bukan menjadi pengkhianat. Negara tidak boleh tunduk” (Tempo/29/4/2021). Pernyataan tanggal 29 april 2021 dengan menyebut pembakaran sekolah, rumah dan properti lain milik masyarakat, siapa yang melakukan pembakaran? Apakah ketua MPR sudah melakukan investigasi dan menyimpulkan pelaku? Atau hanya beretorika secara politik? Penembakan terhadap Kabinda dan anggota militer adalah konflik kombatan. Konflik kombatan berbeda dengan rana HAM. Pengertian negara tidak boleh tunduk, harus dilihat pada konteks konflik kombatan. Bukan tidak boleh tunduk dengan melakukan kejahatan HAM. Bukankah negara dirikan atas semangat penghormatan pada HAM? Atau HAM yang dimaksud dalam pancasila, UUD’45 dan turunannya itu, di luar dari orang Papua? Kenapa ketua MPR tidak bersuara ketika tiga warga sipil (kakak-beradik) dibunuh oleh aparat negara di dalalam rumah sakit di Intan Jaya. Saat kedua adiknya mengantar kakak mereka yang ditembak dan ditusuk pakai sangkur oleh aparat, untuk berobat di rumah sakit ? Kenapa ketua MPR tidak bersuara terhadap perlindungan masyarakat sipil Papua yang mengungsi agar nyawa mereka tidak lenyap? Kekerasan negara sudah terjadi sejak tahun 1962, dimulai dari Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno 19 desember 1961. Kemudian dilakukan berbagai operasi, adanya kejahatan Pepera. Berbagai operasi militer dan kekerasan itu berlangsung sampai saat ini. Kenapa Ketua MPR tidak pernah bersuara dari aspek kemanusiaan? Apakah ada tendensi rasialisme? Apa sesungguhnya yang terjadi terhadap Papua ? Apakah hak asasi rakyat Papua tidak penting dalam NKRI? Menurut Yones Douw, aktivis HAM, “Jakarta tidak punya komitmen menyelesaikan masalah HAM dan status Politik Tanah Papua. Dalam operasi militer di Nduga dan Intan jaya, TNI-Polri menembak mati masyarakat sipil. Korban dari masyarakat sipil meningkat banyak. Mereka yang mengungsi meningkat, hingga kehilangan pencaharian, dan kematian. Disitulah terjadi genosida” (Tabloid Jubi/30/4/2021). Dari pernyataan aktivis Hak Asasi Manisia tersebut, apakah pernyataan ketua MPR hanya sebagai upaya untuk menutupi berbagai kasus kejahatan pelanggaran HAM terhadap orang Papua di Papua yang sudah terjadi begitu lama? Apa masih ada keseriusan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Pentingkah orang Papua berada di Indonesia dalam perspektif HAM? Barangkali, yang disampaikan Ketua MPR itu memberikan gambaran pada publik, khususnya di Papua bahwa belum ada tokoh nasional yang memiliki wawasan kebangsaan. Satu-satunya tokoh nasional yang hebat sepanjang masa adalah Gus Dur. Gus Dur menempatkan HAM orang Papua sama dengan warga negara lainnya. Sekarang beberapa yang bermunculan, dan itu bisa dihitung. Tokoh-tokoh nasional adalah mereka yang selalu berpihak pada rakyat. Menyuarakan suara ratapan dan tangisan rakyat. Seperti Rocky Gerung, Natalius Pigai, Usman Hamid, dan Haris Hazar. Ukuran tokoh nasional harus jelas dan ketat. Mereka harus berjiwa nasionalis. Jiwa jiwa yang pro rakyat. Semengatnya Pancasilais dan taat konstitusional. Itu yang menyebabkan lahirnya istilah republik. Seluruh anak bangsa harus belajar menjadi tokoh nasional yang bisa mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan rakyat sebagi bentuk perwujudan cita-cita dan nasionalis dalam bangsa. Rakyat bukan untuk dibantai dan dibunuh, apalagi melegalkan kejahatan HAM dalam prinsip bernegara. “Lebih baik kehilangan satu pulau daripada satu rakyat dikorbankan. Nasionalisme mengajarkan untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Bukan mengorbankan nyawa rakyat tak berdoa”. Ke depan ,Ketua MPR, DPR bahkan Presiden dan para menteri baiknya harus dari anak bangsa yang taat HAM dan Konstitusi Ini pembelajaran yang sangat kurang baik, kurang etis, kurang manusiawi, dan melanggar etika kebangsaan dalam semangat Pancasilais, konstitusionalis dan humanis. Dalam sila kedua Pancasila, sangat jelas menegaskan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengabaikan HAM sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Ketua MPR atau pejabat negara lain di Jakarta harus bisa membedakan antara konflik kombatan dan HAM. Harus punya wawasan kebangsaan yang cukup. Punya jiwa nasionalisme yang menyelamatkan rakyat. Memiliki pemahaman yang bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Bisa menjaga warga negara. Tujuan bernegara adalah melindungi warga negara. Bukan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga negara. Seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri soal pemahaman kebangsaan yang sebenarnya dan seutuhnya. Mengelolah negara yang multi kultur, butuh wawasan kebangsaan yang sempurna. Gus Dur harus bisa jadi contoh sebagai Bapak Bangsa yang memper-erat persaudaraan dan pembersatukan perbedaan. Yones Douw memberikan jalan yang soluktif yakni “meminta pemerintah Indonesia berunding dengan rakyat Papua untuk mencari solusi konflik Papua secara Damai. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru menyebabkan masalah baru. Kekerasan di masa lampau menimbulkan trauma kolektif dan upaya balas dendam dari kedua belah pihak”. Karenanya, seorang pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu mencari solusi damai untuk selesaikan masalah bangsa dan masalah negaranya. Bukan memakai kekerasan apalagi mengabaikan HAM. Cara-cara manusiawi dan bermartabat bisa dilakukan dan ditempuh. Alangkah Indahnya jika cara menyelesaikan masalah di Papua melalui Perundingan antara Jakarta (Istana) dan Papua (ULMWP) seperti perundingan di Aceh. Ini yang harus disuarakan oleh pejabat publik. Presiden harus bisa buka diri untuk kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Eranya Jokowi, Indonesia Buruk Soal Pemberantasan Korupsi & Demokrasi

by Gde Siriana Jakarta FNN - Indeks Persepsi Korupsi-IPK (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan Berlin-based Transparency International sejak 1995, menunjukkan bahwa IPK Indonesia tahun 2020 melorot 3 poin dibanding tahun 2019, dan menempati ranking 101 dari 179 negara. Jika dilihat sejak 2015-2020, maka score-nya pun tidak berubah banyak. Tahun 2015 score-nya 36 dengan posisi di ranking 88. Meskipun 2020 score-nya naik menjadi 37, tetapi rankingnya melorot jauh ke posisi 101. Artinya banyak negara lain yang lebih baik dalam pemberantasan korupsinya, sehingga menyalip posisi Indonesia. Soal pemberantasan korupsi ini, peran dan efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Bahkan dari dua peristiwa terakhir di tahun 2021 yang melibatkan oknum KPK, yaitu penggelapan barang bukti dan suap kepada penyidik KPK menunjukkan bahwa KPK mengalami penurunan kualitas. Bahasa halusnya degradasi moral. Dua menteri yang dijadikan tersangka oleh KPK, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara sangat mungkin perisitiwa ini yang dapat menurunkan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya sangat mungkin ini semua menurunkan score dan posisi Indonesia dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021. Indeks Demokrasi Parah Menurunnya indeks persepsi korupsi ini juga seiring dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia. Indeks demokrasi yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari The Economist Group yang berbasis di Inggris, menempatkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 di ranking 64 dari 167 negara. Fakta global menunjukkan banyak negara mengalami penurunan score indeks demokrasi selama masa pandemi Covid19. Sangat mungkin selama pandemi, pemerintahan di banyak negara merespon pandemi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak melalui proses demokratis yang melibatkan peran serta publik, sehingga kebijakannya dianggap tidak sesuai harapan publik atau pro masyarakat banyak. Meskipun secara global banyak negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi, yang paling memprihatinkan di Indonesia adalah selama lima tahun terakhir, 2015-2020 telah terjadi trend penurunan indeks demokrasi. Jika tahun 2015 score-nya 7,03 dengan ranking 49, maka di 2020 turun drastis score-nya menjadi 6,30 di rangking 64. Sedangkan untuk masuk level negara full-democracy score-nya harus mencapai 8. Artinya selama lima tahun terakhir, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Timor Leste yang ranking nya relatif tetap di posisi 44, baik di tahun 2015 maupun tahun 2020. Meskipun terjadi perubahan kriteria penilaian indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penurunan ranking itu menunjukkan ada negara lain yang lebih baik kulitas demokrasinya sehingga menyalip posisi Indonesia. Melihat trend penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi di Indonesia selama lima tahun terakhir, menarik untuk munculnya suatu hipotesa bahwa ada korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya korupsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Meskipun hipotesa itu perlu dibuktikan dengan metodelogi kuantitatif, setidaknya secara kualitatif beberapa fakta dapat dijadikan dasar bagi hipotesa tersebut. Misalnya, tidak berfungsinya peran dan fungsi parlemen sebagai saluran demokrasi sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. Karena hampir semua Parpol Politik (fraksi) menjadi bagian dari koalisi kabinet Jokowi. Sangat wajar jika kemudian kebijakan yang dianggap publik sebagai kebijakan yang berpotensi rente atau dikorupsi tidak mendapatkan resistensi dan pengawasan yang proper dari parlemen. Kita bisa menyaksikan bagaimana resistensi publik pada kebijakan Kartu Pra Kerja di awal pandemi yang kemudian direvisi karena tekanan publik yang amat kuat. Juga resistensi publik pada UU Omnibus-Law Cipta Kerja yang dianggap lebih pro pengusaha. Tidak transparanan pembuat kebijakan patut untuk dianggap sebagai kebijakan rente atau kebijakan yang koruptif, karena adanya kolusi antara pembuat kebijakan dan pengusaha. Mekanisme threshold pada kontes politik yang menimbulkan mahar politik untuk elit-elit parpol. Mekanisme ini faktanya dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pencalonan kontestan politik sangat ditentukan oleh uang. Bukan karena partisipasi atau kehendak rakyat. Ujungnya, kontes politik berbiaya tinggi ini menjadi motif dari kasus korupsi kepala daerah terpilih di kemudian hari. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan awal, bahwa selama masih ada mahar politik akibat aturan threshold, maka kontes politik yang berbiaya tinggi pasti terjadi. Ujungnya adalah kasus korupsi dan kebijakan yang koruptif (rente) di Indonesia akan sulit diberantas. Penulis adalah Direktur Eksekutuif INFUSS.

Rakyat Patungan Membeli Kapal Selam Pengganti Nanggala 402

by Agi Betha Bekasi FNN - Rakyat bangkit untuk membeli Kapal Selam baru. Gerakan rakyat untuk patungan membeli Kapal Selam sendiri sebagai pengganti KRI Nanggala 402 yang tenggelam di laut Bali. Gerakan yang akan tercatat dalam sejarah Indonesia. Bahkan pada buku sejarah dunia. Gerakan ini akan bergulir menjadi peristiwa sejarah yang fenomenal. Baru kali ini ada rakyat di sebuah negara yang mengalami duka yang sangat mendalam akibat kehilangan prajurit-prajurit terbaiknya. Hilangnya prajurit terbaiknya bukan karena suatu pertempuran dengan negara lain. Tetapi akibat dari Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang sudah berumur 40 tahun lebih. Maka, untuk melindungi dan keamaan bangsanya sendiri, rakyat sontak menciptakan usaha swadaya berupa pengumpulan dana untuk membeli Alutsista tempur Kapal Selam. Rakyat patungan untuk membeli Kapal Selam pengganti KRI Neggala 402. Sebab rakyat sangat sadar kalau pemerintahnya yang berkuasa sedang sibuk-sibuknya mencari dan mengalokasikan dana besar-bsaran untuk memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Timur. Proyek yang membutuhkan biaya raksasa senilai Rp 466 triliun. Namun untuk membeli kapal selam baru susahnya minta ampun. Rakyat juga menyadari, waktu untuk pemerintah telah habis hanya untuk mencari utangan sana-sini demi untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang pada Maret 2021 ini saja, sudah tekor sebesar Rp 144 trilun. Rakyat pun sangat paham, kalau penguasa negaranya sedang panik dalam mengejar-ngejar pajak, dengan membuat daftar baru barang-barang milik rakyat yang perlu untuk dipajaki. Rakyat harus dikuras melalui pajak demi mengisi kas negara yang kosong. Rakyat merasa kasihan melihat pemerintahnya. Karena segala daya dan upaya yang sudah dikerahkan pemerintah agar Rp 11.000 triliun duit WNI yang diparkir di luar negeri agar dibawa kembali ke sini, tak membuahkan hasil apa-apa. Padahal data-data para taipan kaya raya itu sudah ada di kantong Presiden sejak tahun 2016 lalu. Rakyat tidak pernah frustrasi. Rakyat selalu optimis. Nrimo. Juga rakyat tidak ada dendam, meski sering distigma buruk oleh pemerintahnya sendiri. Rakyat lagi berpikir, jika pemerintah sudah tidak mampu melindungi negara dan seisinya, maka mereka sendirilah yang akan bergotong royong melindungi diri sendiri. Tanpa perlu ribut-ribut menggugat dan menghujat. Tetapi langsung bertindak ngumpul dana. Makanya, tak heran jika ajakan Ustadz Abdul Somad di Instagram pribadinya agar umat mendukung “Gerakan Patungan Membeli Kapal Selam oleh Masjid Jogokaryan Jogja”, langsung disambut gegap gempita oleh rakyat. Menjadi pembicaraan dimana-mana. Menjadi “talk of the town” atau buah-bibir di sela-sela keheningan rakyat menunaikan ibadah Ramadhan tahun ini. Rasa duka cita rakyat yang mendalam karena kehilangan 53 prajurit terbaiknya bersama tenggelamnya KRI Nanggala 402, berubah menjadi harapan. Rakyat yang selalu merasa satu jiwa bersama dengan TNI menggumamkan asa bahwa tragedi yang menimpa para prajurit pilihan “Hiu Kencana” itu tak boleh sia-sia. Tidak boleh terulang lagi hanya karena peralatan yang sudah berumur 40 tahun lebih. Rakyat berkeinginan agar pasukan dan prajurit tarbaik ini seperti Yontaifib, Kopaska, Denjaka, Marinir dan seluruh prajurit TNI Angkatan Laut lainnya harus tetap bangga menjaga negaranya. Memiliki kecanggihan peralatan tempurnya yang sejajar dengan milik negara lain. Rakyat bermimpi ingin menjadikan Indonesia seperti dahulu kala. Sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan tempur terbaik dan terbesar di Asia. Makanya biarlah hilang satu, asalkan tumbuh seribu. Rakyat berduka dengan ikhklas merelakan KRI Nanggala 402 beristirahat tenang di dasar samudera. Namun rakyat Indonesia akan membelikan penggantinya yang lebih canggih melalui ajakan yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Somad. Antusiame rakyat pun membahana di seluruh pelosok negeri. Bayangkan, baru diupload selama 6 jam saja. Namun poster ajakan tokoh bangsa yang dikenal dengan sebutan UAS tersebut di Instagram untuk mendukung ide Masjid Jogokaryan Jogja dan menyumbang duit untuk membeli Kapal Selam sendiri itu, sudah disukai oleh 121 ribu lebih netizen. Termasuk disukai oleh akun resmi TNI Angkatan Laut. Status instagram UAS itu juga panen komentar, yakni ada 4.336 komentar yang umumnya mendukung seruan positif tersebut. Poster itu pun menjadi tenar. Karena di-download dan dibagikan ke berbagai media sosial. Gerakan ini benar-benar telah membuat kebangkitan untuk selalu bersama-sama dengan anak kandunya TNI dalam menjaga dan menyelamatkan bangsanya. Sementara itu di dunia nyata, rakyat Jogja juga menyambut gembira ajakan Masjid Jogokaryan. Masjid yang selama ini sangat dipercaya karena terkenal amanah dalam mengelola uang jamaah itu, menuai pujian. Ajakan orisinil itu menggerakan hati umat. Dari kelas papa hingga kaya raya. Seribu, dua ribu, uang berwarna hijau, biru, dan merah, pelahan mulai terkumpul. Melihat besarnya antusiasme rakyat dalam menyambut seruan perjuangan dari Masjid dan Takbir dari ulamanya ini, maka dapat diprediksi bahwa Gerakan Open Donasi tersebut akan menjadi bola salju yg menggelinding. Makin lama semakin membesar. Karena seruan dari satu ulama pewaris ilmu Nabi Salallaahu Alaihi Wasallam, biasanya akan digemakan oleh para ulama-ulama hanif lainnya. Gerakan ini akan menjadi orkestra ajakan yg menggema dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Pulau Nias sampai Mianga. Mari dukung Indonesia memiliki kapal selam baru yang canggih dan aman bagi para prajurit TNI penjaga laut Nusantara. Cita-cita luhur yang lahir dari rahim ibu pertiwi dan dikumandangkan oleh ulama ini, insya Allah akan membawa kejayaan bagi rakyat dan Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...!!! Jelasveva Jayamahe, Merdekaaaaaaaa...!!! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemehati Bangsa

Kematian Kabinda Papua, Presiden Harusnya Ganti Kepala BIN

by George Elkel Ambon FNN - Saat membaca kematian Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha yang di tembak di dekat Gereja, saya mulai berpikir, apakah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) organisasi bentukan yang teroganisir dan terlatih? Sebab mereka bisa punya jaringan ke tubuh institusi rahasia sekalipun seperti Badan Intelijen Negara (BIN). Apakah KKB ini murni dari sayap Organisasi Papua Merdeka? Mengapa demikian? Sebab KKB dalam memilih terget seorang Kebinda Papua itu sungguh sangat provisional dan terlatih. Selain itu, setiap turunnya Kabinda ke daerah selalu adanya Operasi tertutup. Perjalanannya sangat rahasia. Surat perjalanan dikirimkan ke Kepala BIN Pusat. Mengulas dari kematian Kabinda Papua, kita tau dalam sejarah OPM, target yang dipilih separatis OPM selalu saja tidak asal bunuh. Selalu membunuh musuh dengan membedakan, baik dari suku, jenis kulit dan lainnya. Mereka tidak asal mengeksekusi atau membakar secara membabi buta. Namun dalam selang beberapa waktu terakhir, sampai pada hari kematian Kabinda Papua, saya percaya KKB yang sering melakukan penyerangan kepada warga adalah KKB teroganisir. Mereka terhimpun dalam kesatuan komando yang dibagi sesuai wilayah. Mereka adalah KKB yang terlatih khusus dalam hal mengalihkan isu, teror, gerakan taktis, dan menakut-nakuti pribumi rakyat papua. Tujuan dari KKB ini bervariasi. Namun dari setiap postingan klip KKB di youtube, seakan-akan KKB ini ganas dan seperti teroris. Hal ini bisa saja memicu KKB dalam taktik untuk di usulkan sebagai teroris. Pernah ada usulan KKB dan OPM di Papua ditetapkan sebagai organisasi teroris. Gagasan untuk menetapkan KKB dan OPM di Papaus sebagai organsiasi teroris pernah diusung Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Jakarta, Senin 22/03/2021. “Alasannya KKB dan OPM menyerang anggota TNI/Polri dan masyarakat sipil di Papua” kata Kepala BNPT, Komisaris Komjen. Pol. Dr. Drs. Boy Rafli Amar, MH. Kalau dilihat dari pola gerakannya, KKB dan OPM sejak awal sudah berbeda. Sebab ada anggota TNI dan Polri yang membelot, dan masuk OPM. Itu sebagai akibat dari kekejaman oknum anggota TNI dan Polri yang bertugas di Papua terhadap rakyat Papua. Rakyat tidak diperlakukan sebagai saudara. Apalagi memperlakukan lawan sebagai kawan, yang akhirnya mau menjadi saudara. Harusnya pendekatan yang dilakukan adalah dengan mencontoi pola dan pendekatan TNI asal Maluku yang di turunkan ke Papua. Banyak hal manfaat yang bisa didapat. Misalnya, kebijakan OPM tidak mau menempatkan anggota TNI asal Maluku yang ditugaskan di Papua sebagai target serangan. Karena masih dianggap sebagai saudara. Kalau OPM tidak asal serang dan membunuh. OPM masih pilih-pilih target yang mau diserang. Menjadi pertanyaan, apakah pembunuhan, ancaman, pembakaran yang dilakukan KKB ini merupakan bagian atau perpanjangan tangan dari OPM? Atau KKB bentukan khusus yang terlatih untuk melakukan serangan taktis dan cepat dalam menembak, membakar dan meninggalkan lokasi. Kalau diamati hal-hal menarik dari pola KKB yang tersebar youtube, nampak seorang anggota KKB sebarkan ancaman, serta dalam hal KKB bercakap dengan pimpinannya soal utang Rp 2.350 miliar. KKB menyatakan akan membakar dan membunuh yang tersiar dan tersebar di youtube, seakan-akan publik ini dibuat penafsiran kalai KKB OPM itu berbahaya. Sejak istilah OPM di ganti dengan panggilan KKB, apakah dengan sendirinya cara-cara membunuh dan menyerang juga berubah? Ternyata sama sekali tidak. Jadi, OPM dan KKB itu dua hal yang berbeda di Papua. Kalau dilihat di dalam vidio ancaman yang tersiar di youtube ada seorang di sebelah dengan bentukan kaki bersih, licin seakan-akan bukan orang yang lama di hutan. Namun sepertinya itu adalah kaki dari prajurit yang lama ikut pendidikan khusus. Jadi kematian Kabinda Papua, perlu di tarik pada masalah bocornya operasi Rahasia Negara. Perlu adanya kebersihan pada tubuh Badan Intelijen Negara di jakarta. Sebab dalam hal laporan rahasia negara ke BIN, baik untuk perjalanan keluar dan di dalam negeri bisa di katakan sudah tidak aman lagi. Sehingga perlu adanya pemeriksaaan khusus dalam kasus kematian tersebut. Melihat pola serang KKB OPM dan pola kerja BIN sudah pasti dua hal yang berbeda jauh. Namun KKB yang berhasil membunuh Kabinda Papua adalah Keberhasilan dan kemangan OPM yang luar biasa, bila dilihat dari sisi perjuangan OPM. Kalau dilihat dari sisi strategi OPM, kejadian ini dianggap provesional. Tetapi OPM yang dimaksud sudah pasti KKB OPM yang mana? Kemungkinan bisa saja pelakunya adalah anggota TNI dan Polri yang membelot ke hutan. Dalam berita kontak senjata, apakah BIN daerah dilengkapi dengan senjata laras panjang atau pistol? Apakah Kabinda dikawal TNI dengan laras panjang atau bersama anggota BIN lapangan? Sebab kematian Kabinda Papua tidak bisa dianggap hal kontak senjata biasa. Banyak rekomemndasi BIN soal deportasi WNA akibat salah dalam jalankan tugas di Papua. Misalnya, ada WNA wanita yang menjadi pekerja sosial, dan memberikan obat kepada anggota OPM yang sakit dan lainnya telah dideportasi. Diduga sudah banyak rekomendasi yang bersifat rahasia dari BIN yang jebol dan bocor ke tangan OPM dan KKB. Untuk itu, berkaitan dengan dengan penyerangan yang berakibat kematian Kabinda Papua ini, sebaiknya Kepala diganti. Presiden Jokowi sebaiknya menunjuk Kepala BIN dari kesatuan yang di anggap lebih profesional di bidang intelijen. Bukan mantan polisi lalulintas. Sebab BIN itu adalah biji matanya negara. Hanya kepada Presiden sajalah mata itu melapor hal-hal yang urgensi. Kematian Kabinda Papua menambah deretan pertanyaan, apakah KKB itu murni OPM? Atau KKB itu bentukan dari organisasi yang terlatih? Bila KKB itu adalah murni KKB OPM, maka OPM dianggap telah menang, karena strategi dan data serta informasi negara bisa didapat mereka. Namun bila KKB itu bentukan organisasi terlatih, maka negara harus siap untuk menghadapi perang kepentingan pada setiap rahasia negara yang bocor. Untuk mencegah hal itu, negara secepatnya membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi kasus kasus bocornya rahasia negara dan menyelidiki, apakah KKB bentukan organisaisi khusus yang terlatih atau KKB OPM yang murni? Penulis adalah Sekjen Lingkar Pulai Kei Nasional.

Ada Serangan Torpedo Dibalik Tenggelamnya KRI Nanggala 402?

Rasulullaah Salallaahu Alaihi Wasallam bersabda, "siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915). by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Sejak ramai diberitakan kapal selam KRI Nanggala 402 “hilang”, penulis sudah punya firasat yang lain. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan KRI Nenggala? Apakah murni insiden kecelakaan atau kecelakaan yang by skenario? Sejak dinyatakan hilang, 21 April 2021 KRI Nanggala 402, dan isu kedatangan Warga Negara Asing (WNA) India ke Indonesia sebagai edisi lanjutan tipu-tipu politik dengan alasan covid-19. Kedua isu tersebut menjadi headline berita utama di berbagai media mainstream dan media sosial. Sejenak publik diistirahatkan dari perbincangan pengadilan politik terhadap Habib Rzieq Sihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ada juga kasus penistaan agama oleh Joseph Paul Zhang yang disebut-sebut diotaki oleh, meminjam istilah Prof. Daniel M Rosyid, kelompok sekuler kiri radikal. Belum lagi kasus pembantaian dan pembunuhan enam laskar anggota FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) telah mulai sepi. Jarang lagi diperbincangkan di berbagai media dan media sosial. Hingga hari ini pelakunya sudah ditetapkan. Namun belum ditangkap dan diadili. Konon adanya jendral bintang yang terlibat, sehingga semakin mumet kasus ini. Apalagi kasus mega korupsi seperti Jiwasraya, Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan. Ada juga SP3 atas kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim yang bernama asli Lim Tek Siong alias Lim Tjoen Ho. Semua skandal ini bakal menguap, dan divonis dengan hukuman yang sangat ringan. Maklum, bila menyangkut etnis tertentu, hukum jadi lembek. Kemarin sore di group WhatsApp, lanjut dengan japri. Penulis membaca analisis Ruslan Buton tentang tenggelamnya KRI Nanggala 402. Penulis tidak terkejut. Kenapa? Analisis tersebut sangat mungkin untuk terjadi, di tengah menguatnya kelompok sekuler kiri radikal akhir-akhir ini. Begini analisis Ruslan Buton, penulis kutip apa adanya. "Dari awal berita KRI Nanggala 402 hilang kontak, saya sempat beradu argumen dengan beberapa sahabat. bahwa sangat lucu bila kemudian kapal secanggih itu meskipun sudah uzur hilang kontak. Pesawat udara saja yang begitu cepat ketika ada trouble masih ada percakapan terakhir. Ini kapal laut yang kecepatannya tidak secepat pesawat udara, kok saat terjadi trouble posisi akhir di koordinat berapa tidak diketahui. Kemudian laporan kru kapal kepada komando juga tidak ada. Nah kita lupa, masih kata Ruslon Buton, kalau beberapa waktu lalu nelayan kita menemukan drone bawah laut di pulau selayar. Perkiraan saya malah sampai jauh kesana, bahwa KRI Nanggala 402 mendapat serangan torpedo atau rudal bawah laut. Ruslon Buton melanjutkan analisisnya. "Sekarang makin diperkuat dengan temuan serpihan-serpihan kapal. Artinya ada kemungkinan kapal rusak karena serangan”. Serangan torpedo atau masalah teknis? Benarkah ada serangan torpedo di tengah-tengah isu adanya operasi intelijen bawah air RRC terhadap Indonesia? Wallahua'lam Spekulasi ini diperkuat dengan kecurigaan terhadap RRC yang diam seribu bahasa. Saat negara lain bersimpati atas hilangnya KRI Nanggala 402, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Turki, Jerman dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut ikut membantu dengan mengirim kapal dan pesawat untuk melakukan penyelamatan. Semoga analisis atau dugaan kita keliru. Namun bila benar, menurut Ruslan Buton, ini ancaman serius buat pertahanan kita. Ternyata pertahanan kita begitu sangat lemah dan rapuh. Kemungkinan sangat mudah untuk ditembus oleh pihak lawan. Menurutnya lagi, secara otomatis opini tentang hilangnya KRI Nanggala 402 ini, akan dibungkus secara rapi supaya tidak menjadi gejolak publik. Karena apa...? Bila ternyata ini terbukti karena serangan musuh, maka jelas genderang perang telah di tabuh. Siapa atau negara manakah musuh yang dimaksud. Silahkan analisis dan jawab sendiri. Sekali merdeka tetap merdeka. Kata Ruslon Buton mengakhiri wapri dengan penulis. Akhirnya kita berdoa, semoga seluruh kru KRI Nanggala 402 yang tewas tenggelam, apalagi di bulan Ramadhan sebagai mati syahid. Semoga Syurganya Allah Subhaanahu Wata’ala telah menanti mereka. Mereka kekal dan menikmati fasilitas di syurga. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

Paul Zhang Dan Indonesia Darurat Komunis

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Semua mengecam Joseph Paul Zhang, pendeta, pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), penista Nabi. Meski kesehatan fikirannya diragukan karena mengaku sebagai Nabi ke 26, namun pandangan ngawurnya mengguncang negeri. Berkoar dari luar negeri, tak kurang Menag menjadi sasaran dan mendesak Zhang untuk segera ditangkap. Konon sedang diburu interpol. Perasaan umat Islam di Indonesia ini terus sedang diacak-acak. Penistaan agama hanya salah satu sisi saja. Ada kriminalisasi, radikalisme, dan terorisme. Peran agama dalam berbangsa dan bernegara yang dikecilkan atau dimarginalkan. Zhang hanya model gerakan yang sama dengan Janda, Densi, Laiskodat, Armando atau teman teman lainnya. Artinya Jozeph Paul Zhang tidak berdiri sendiri. Orang ini dapat untuk dimunculkan kapan saja. Tokoh JPZ bukan baru. Rekam jejaknya telah muncul sebelumnya. Meski telah ke luar dari Indonesia sejak tahun 2018, dan katanya telah melepas status WNI-nya, akan tetapi semua haruslah dibuktikan. Kepolisian dituntut untuk mampu menangkap dan mendeportasi segera ke Indonesia. Seperti biasa urusan seperti ini tak mungkin muncul suara Presiden Jokowi. Mungkin terlalu kecil. Urusan Pancasila dan Bahasa Indonesia saja kecil kok. Apalagi agama yang dinista-nistakan. Yang harus dibesarkan adalah Gibran dan tetap tersanderanya para anggota Koalisi. Urusan tiga periode juga tak kalah penting. Soal Zhang "bukan urusan saya". Zhang itu hanya wayang? Semua serba mungkin. Zhang kini melayang "tunduk pada hukum Eropa" katanya. Komunitasnya pasti mendukung. Jika wayang ini dimainkan konspirasi global, dengan target Indonesia, khususnya umat Islam, maka diduga ada jaringan di tingkat nasional yang ikut bermain. Karenanya patut dilihat keseriusan penanganan. Sebab jika Zhang lolos, dipastikan ia adalah tabungan atau investasi jangka panjang. Dalang selalu sembunyi dalam memainkan wayang. Wayang golek atau kulit selalu ada jalan ceritanya tentang kapan muncul kapan masuk kotak. Kapan perang kapan bercanda. Semua itu di atur dalang. Tim penabuh gamelan membantu suasana ceritra. Kini lakon Zhang sedang menarik. Isu sensitif penistaan agama oleh pendeta dan pendukung PKI bermata sipit. UU ITE dan KUHP Pasal 156 a layak untuk dikenakan kepadanya. Kunci awalnya adalah deportasi dahulu Zhang. Baru setelah itu proses sang wayang. Buktikan kalau Zhang tak kebal. Berikutnya semoga muncul dalang. Bila tidak, ya kasus ini dipastikan menjadi hilang dalam bayang bayang yang ditelan isu lain. Kegaduhan demi kegaduhan hanya datang dan pergi. Dalang memang piawai memainkan irama. Diam Hadapi Komunis mungkin sebagian orang menganggap berlebihan. Bukankah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan Komunisme masih berlaku? Demikian juga UU No. 27 tahun 1999 yang melarang dan mengancam pidana penyebar Komunisme dan penggantian ideologi Pancasila. Masalah yang dihadapi bukanlah ketentuan perundang-undangan. Tetapi permainan politik yang bergerak di sela-sela peraturan perundang-undangan. Tidak eksplisit berbenturan, tetapi ada agenda yang mengindikasi bahwa komunisme itu bukan hanya ada tetapi juga berkembang. Kehadiran petinggi Partai Komunis Cina yang "bersilaturahmi" dengan pimpinan partai politik di Indonesia seperti PDIP dan terakhir Dubes Xiao Qian ke PKB, ternyata direspons konstruktif. Jalinan kerjasama sepertinya terus dibangun. Dalam mengisi sejarah, ternyata PKC di rezim ini sukses bertandang ke istana Merdeka. Peta jalan (road map) pendidikan nasional menghilangkan agama, Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia. Muncul penista agama seperti Zhang yang ternyata pendukung PKI. Pelantikan Dirjen kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid ternyata aktivis PRD. Tentu semua ini bukan kebetulan. Apalagi sebelumnya disiapkan intens RUU HIP yang berbau kiri/komunis. Megawati dan Mendikbud Nadiem membahas pelurusan sejarah 1965. Entah apa yang hendak diluruskan? Faktanya PKI melakukan percobaan kudeta berulang kali dan hendak mengganti Pancasila. Sejarah kejahatan PKI tidak mungkin diluruskan. Memang kenyataannya bengkok dan merongrong ideologi bangsa dan negara. Kini aneh, Kamus Sejarah Indonesia membuang tokoh pendiri NU, tokoh HMI dan justru mengangkat tokoh PKI/Komunis. Indonesia memasuki darurat komunis. Pantas untuk disematkan dan diwaspadai. Sayang Presiden Jokowi tidak jelas sikap politiknya yang anti PKI/Komunis. Rakyat menunggu sikap tegasnya agar tetap mewaspadai bahaya PKI dan komunisme. Tidak cukup menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada masih melarang penyebaran Komunisme/marxisme. Di situasi pandemi, resesi dan krisis ekonomi, oligarkhi yang menguat, hukum yang diperalat politik, penistaan agama yang marak, budaya menjilat, serta oposisi yang ditekan dan dihabisi, maka menjadi indikasi bahwa PKI bangkit dan komunisme semakin merambah. Kondisi ini tak bisa dianggap biasa. Ada indikasi kuat dari pertumbuhannya. Jalur budaya adalah sarana versus agama. Parlemen jangan hanya memikirkan kekuasaan sendiri. Rakyat sedang terancam. TNI dan umat Islam harus segera melakukan konsolidasi. Indonesia darurat komunis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.