NASIONAL

Kudeta Demokrat, Ada Luhut di Belakang Moeldoko?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Pertempuran jelang Pilpres 2024 mulai menghangat. Sejumlah tokoh nasional mulai ancang-ancang untuk menjadi kontestan dalam pergelaran 5 tahunan tersebut. Setelah ramai “kampanye” Erick Tohir, Menteri BUMN, melalui sejumlah media luar, ruang terpasang di sejumlah daerah di Indonesia, terkini kabarnya Moeldoko juga menyusul bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Yang dilakukannya tidak main-main. Moeldoko dituding telah siapkan “kudeta” menjungkalkan Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat. Dengan kata lain, Demokrat dilirik Moeldoko menjadi “kendaraannya” untuk maju Pilpres 2024. Meski Partai Demokrat hanya mengantungi suara lebih-kurang 8 persen pada Pemilu 2019 lalu, Demokrat yang kini menjadi “oposisi tanggung itu”, dipandang berpotensi mengirim capres pada Pilpres 2024. Selain dua nama tokoh nasional di atas, nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, AHY, dan bahkan nama Mensos Tri Rismaharini, muncul juga di tengah masyarakat sebagai kandidat capres dan cawapres terkini. Di belakang mereka, masih ada nama Capres dan Cawapres 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harus diakui, meski gelaran Pilpres 2024 masih berselang lebih-kurang 3 tahun lagi, situasi politik mulai memanas. “Konflik” Demokrat dengan Moeldoko diyakini akan semakin panas. Mungkin saja akan berimbas ke parpol-parpol lain. Jika para gajah sudah mulai bertarung seperti sekarang, siapa yang akan menjadi korban? Apakah pertarungan para gajah tersebut akan menguntungkan atau demi kepentingan rakyat? Hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban! Terungkapnya “rencana kudeta” Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), itu disampaikan AHY sendiri dalam jumpa pers sebelumnya. AHY memang tak menyebutkan nama, karena mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menunggu proses konfirmasi. Pasca konferensi pers AHY, berkembang spekulasi, siapa sosok pejabat pemerintahan yang dimaksud AHY ini. Selasa malam (2/2/2021), KSP Moeldoko sendiri memberikan penjelasan langsung yang bisa disaksikan oleh rakyat. “Respon beliau sudah terprediksi. Nervous, gugup, dilihat dari gerakan tangan dan beberapa kali KSP Moeldoko menyebut gua gue gue,” ungkap Kepala Badan Komunikasi DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Moeldoko menganggap dirinya dikaitkan dalam gerakan ini, karena berdasarkan foto-foto belaka. Padahal, faktanya tidak demikian. “Untuk itu, atas nama Partai Demokrat, saya perlu memberikan tanggapan atas pernyataan KSP Moeldoko,” lanjutnya. Pertama, pertemuan antara KSP Moeldoko dan beberapa kader Demokrat, tidak dilakukan di rumah, melainkan di luar rumah. Kedua, kedatangan kader Demokrat dari daerah ke Jakarta, itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh pelaku gerakan. Menurut Herzaky, ada yang mengundang, membiayai tiket pesawat, menjemput di bandara, membiayai penginapan, termasuk konsumsi. Ketiga, Jika Moeldoko mengatakan konteks pembicaraan nggak dimengerti, sungguh sulit dipahami.” Berdasarkan keterangan yang dimiliki Demokrat, pembahasan utama yang disampaikan pelaku gerakan dalam pertemuan itu adalah rencana mengusung KSP Moeldoko sebagai calon Presiden 2024. “Untuk memuluskan rencana tersebut, para pelaku gerakan mempersiapkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat, melalui proses Kongres Luar Biasa (KLB),” lanjut Herzaky Mahendra. Keempat, proses pengiriman surat Ketum Demokrat AHY kepada Presiden Joko Widodo merupakan buah dari komitmen dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk saling menjaga hubungan baik dan komunikasi yang lancar. Komitmen tersebut dilakukan juga untuk menghentikan tindakan orang-orang yang gemar mencatut dan mengatasnamakan Presiden, maupun nama Ketum Partai Demokrat, dengan tujuan yang tidak baik dan mengadu domba. Mereka, kata Herzaky, berencana menjemput KSP Moeldoko sebagaimana menjemput SBY pada 2004 sebagai calon presiden. Lalu ada pelaku gerakan bernama Yus Sudarso menyatakan, “apa salahnya kami melakukan ini? Salahnya adalah upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah melalui Kongres Luar Biasa,” tegas Herzaky Mahendra. Dulu, hal itu tidak ada. Bapak SBY duduk sebagai Dewan Pembina,” lanjutnya. Jadi, kalau KSP Moeldoko mau menjadi Capres melalui Partai Demokrat, ya bikin KTA dulu sebagai kader Partai Demokrat. Jangan tiba-tiba ingin menjadi Ketua Umum, apalagi melalui KLB. Itu saja sudah salah besar. Itu jelas inkonstitusional. Pak Moeldoko itu siapa? Pak Moeldoko itu KSP, stafnya Presiden. Tugasnya sekarang membantu Presiden menyelesaikan pandemi dan krisis ekonomi. “Kasihan rakyat, lagi pandemi kok malah memikirkan pencapresan. Kasihan Presiden yang membutuhkan bantuan untuk menangani krisis pandemi dan ekonomi,” ujarnya. Sebut Luhut Dalam tulisan sebelumnya, saya menulis, sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis”. Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil, sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa “RI-1 dan RI-2” pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Padahal ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik. Siapa Jenderal Pebisnis yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya itu? Sekarang mulai terbuka. Sebelumnya, Moeldoko menyebut nama Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Moeldoko mengatakan bahwa Luhut juga pernah bertemu dengan sejumlah kader Demokrat, sama seperti dirinya. Menanggapi hal itu, filsuf politik Rocky Gerung memaparkan, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. “Ya dua soal sebetulnya. Ingin nyari patron supaya bebannya enggak terlalu berat, maka sebagian dilimpahkan kepada Pak Luhut,” katanya di kanal YouTube Roger Official seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Kamis, 4 Februari 2021. Akan tetapi Roger tidak melihat Luhut melibatkan diri di dalam proyek kudeta Partai Demokrat. “Mungkin Pak Luhut punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di internal Partai Demokrat,” ujar dia Tetapi ini, AHY langsung bikin konferensi pers. Artinya, ada skala persoalan yang luar biasa besar itu,” lanjut Roger yang akademisi itu. Roger memperkirakan saat ini sangat mungkin 10 persen kader Partai Demokrat di tingkat DPC sudah dapat sejumlah uang. Jadi, mungkin problem-problem itu yang dikhawatirkan oleh Partai Demokrat, karena itu dibeberkan. Menuru Roger, Moeldoko berupaya untuk mencari pelindung. Tetapi bahwa hal kurang tepat. “Itu peristiwa yang lain dengan maksud yang lain. Karena itu jangan terlalu banyak cari alibi, Pak Moeldoko. Nanti kejebak. Sementara Luhut itu dijadikan jembatan untuk memberi tahu pada Presiden Joko Widodo bahwa tidak sedang terjadi apa-apa. Tidak hanya Moeldoko. Konon, Luhut juga pernah didatangi mantan Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang sama-sama ingin Kudeta Demokrat. Presiden Jokowi sendiri, kabarnya, ngamuk setelah baca surat AHY yang dikirimkan kepadanya. Ia memanggil “Kakak Pembina”. Jokowi marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau nggak mau dicopot”, begitu kata Jokowi saking marahnya, mengutip akun Twitter@DalamIstana. “Kakak Pembina” yang dimaksud selama ini tidak lain adalah KSP Moeldoko. Apakah ini sinyal bahwa istana pecah? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pemilu Serentak 2024, Berapa Lagi Mau Terbunuh?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Pertanyaan aneh tetapi rasional berdasarkan pengalaman empirik. Pemilu 2019 telah tewas lebih dari 800-an petugas secara misterius tanpa penyelidikan seksama. Ditambah saat aksi unjuk rasa 21-22 Mei. Saat itu Pemilu digabung antara Pemilihan Legislatif (Pileg)dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam satu hari. Nah kini ada beberapa partai politik bersikukuh dan ngotot untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Bukan saja Pileg dengan Pilpres yang disatukan. Tetapi juga bersama dengan Pilkada 34 Provinsi dan 416 Kabupeten serta 98 Kota. Jadi, total Pilkada pada 2024 nanti ada 558 daerah. Terbayang bagaimana tingkat kesulitan dan "kelelahan" yang bakal dialami para penyelenggara. Belum lagi soal kecurangan. Waktu 2019 lalu, rakyat perhatian tersedot ke Pemilu Pilpres sehingga perhatian dan pengawasan pada Pileg menjadi kurang. Bahkan boleh dibilang tidak ada yang peduli dengan Pilkada. Sehingga abai terhadap kecurangan yang mungkin saja masif pada Pileg. Bukan rahasia lagi jika money politics marak terjadi pada setiap pelaksanaan Pileg. Karena hampir semua pasang mata masyarakat tertutup oleh magnet kompetisi dua sampai tiga pasang kontestan Pilpres. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pilpres selalu saja yang paling menarik perhatian masyarakat. Kenyataan ini membuat ruang kecuarangan para Pelig dan Pilkada menjadi sangat masif. Partai Politik memang pragmatis dan "koor" dengan suara mayoritas setelah Presiden sebagai dirijen melalui Kepala Staf Kantor Presidenan (KSP) Moeldoko memberi arah kecenderungan kepada Pilkada 2024. Tak peduli dengan garuk-garuk Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bingung dan bersiap-siap dengan risiko yang lebih parah dari Pemilu tahun 2019. Ketua KPU pasti sudah mulai memperkirakan berapa banyak jumlah anak buahnya yang menjadi Kalompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal karena kelelahan. Petugas yang terbunuh oleh "kelelahan" kelak mungkin lebih banyak lagi. Lalu siapa yang harus tanggung jawab? Apakah bakal didiamkan begitu saja, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Karenanya DPR RI dalam memutuskan bahwa Pilkada serentak harus tetap dilaksanakan tahun 2024, sebaiknya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, evaluasi total penyelenggaraan Pemilu gabungan Pileg dan Pilpres tahun 2019, dan harus ada model pelaksanaan penyelenggaraan yang baru agar lebih terjamin keamanan khususnya para petugas. Kedua, penyelidikan ulang kasus terbunuh akibat "kelelahan". Meninggalnya para petugas Pemilu karena peristiwa '"pelanggaran HAM" ini dinilai janggal. Baru terjadi dalam sejarah Pemilu di negara Republik Indonesia. Belum pernah terjada pada pemuli-pemuli sebelumnya. Anehnya, pemerintah dan KPU tidak melakukan penyelidikan khusus. Ketiga, baik KPK, Pemilu Watch, serta aparat lebih seksama mempersiapkan pengawasan Pemilu serentak "aneh" dan "dipaksakan" tahun 2024 tersebut. Karena politik uang, kecurangan, serta "virus sabotase” sangat mungkin terjadi di tengah kebingungan KPU dan penyelenggara Pemilu Daerah. Konsekwensinya pengawasan tidak boleh diperlonggar. Perlu penegasan pula bahwa Pileg, Pilpres, dan Pilkada yang dilakukan serentak tahun 2024 sebenarnya bukanlah pelaksanaan dari asas demokrasi (kedaulatan rakyat). Melainkan kondisi ini sebagai sebuah praktek dari mobokrasi (kedaulatan gerombolan). Bagaimana tidak, pemaksaan kehendak politik (political violence) lebih dikedepankan daripada kebijakan politik (political wisdom). Partai Politik berjuang melalui upaya politik dengan "memakan" kelompok politik yang lemah. Bila perlu dengan cara-cara pengeroyokan sekalipun. Merujuk pada Pemilu 2019 yang lalu, wajar bila timbul pertanyaan serius yang muncul dalam benak masyarakat, apakah Pemilu 2024 akan berjalan dengan jujur, adil, dan aman? Berapa banyak lagi anggota KPPS dan Pengawasan yang akan terbunuh akibat kelelahan? Sekibat partai-partai politik yang hanya memikirkan kepentingan partainya sendiri ? Paradigma politik kontemporer yang sama sekali tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mungkinkah Presiden Jokowi Dikudeta?

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - DI tengah ramainya persekongkolan politik untuk mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono oleh Jend TNI (Purn) Moeldoko Cs, terbesit dalam benak saya tentang kemungkinan kudeta terhadap Presiden Joko Widodo. Apakah itu mungkin terjadi ? Kalau pertanyaannya seperti judul tulisan ini, maka kemungkinannya bisa saja terjadi. Apalagi beberapa hari lalu, di Myanmar juga telah terjadi kudeta militer atas penguasa sipil di negeri pagoda itu. Kanselir Negara Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung Suu Kyi kecewa atas kudeta ini. Sebaliknya warga muslim Rohingnya yang diusir rezim Aung San Suu Kyi, menyambut gembira peristiwa kudeta tersebut. Berita mengenai penangkapan Suu Kyi itu tersebar dengan cepat di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak di Bangladesh, di mana sekitar sejuta pengungsi Rohingya tinggal. "Dia penyebab semua penderitaan kami," kata tokoh masyarakat Farid Ullah seperti dilansir kantor berita AFP dari Kutupalong -- kamp pengungsi terbesar di dunia. Di era Orde Baru, setiap gejolak politik yang terjadi di negara tetangga Filipina selalu menjadi bahan analisa yang menarik untuk dikaji. Ini karena Presiden Filipina waktu itu Ferdinand Marcos dianggap memiliki kemiripan dengan Presiden Soeharto. Sama dengan Soeharto, Marcos merupakan Presiden terlama di Filipina. Dia menjadi Presiden Filipina sejak tàhun 1965 dan berakhir pada tàhun 1986 setelah digulingkan melalui kekuatan People Power. Nah ketika Marcos digulingkan oleh Corazon Aquino, seorang politisi wanita Filipina tàhun 1986, secara tidak langsung peristiwa politik tersebut telah menginspirasi kalangan sipil di Indonesia. Gerakan People Power di Filipina waktu itu telah membangkitkan semangat warga sipil di Tanah Air yang kemudian akhirnya terwujud dalam Gerakan Reformasi yang terjadi tàhun 1998. Seperti kita ketahui, pada bulan Mei 1998, Soeharto akhirnya bisa ditumbangkan setelah menjadi presiden selama 32 tàhun. Banyak analis politik menyebutkan, Soeharto waktu itu lengser dari kursi presiden bukan sepenuhnya sebagai gerakan people power seperti di Filipina. Proses suksesi di Indonesia waktu itu kental dengan gerakan politik yang awalnya dipicu oleh mundurnya sejumlah menteri kepercayaan Soeharto. Sejarah telah mencatat, Ginandjar Kartasasmita merupakan sosok menteri yang memelopori gerakan politik di jajaran Kabinet Pembangunan yang melawan kekuasaan Soeharto. Kendati sebelumnya dia dikenal dekat dengan Soeharto, tapi toh Ginandjar bersama sejumlah menteri lainnya memilih melawan Soeharto dengan cara ramai-ramai mengundurkan diri dari kabinet. Setelah itu, bola politik bergulir ke lembaga MPR-RI. Ketika itu Ketua MPR Harmoko yang sebelumnya dikenal sebagai loyalis Soeharto saat puluhan tahun menjadi Menteri Penerangan , akhirnya juga ikut mencabut mandat yang telah diberikan MPR kepada Soeharto. Jadi, dengan kata lain, lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan sepenuhnya karena gelombang aksi mahasiswa. Aksi demo mahasiswa hanya sekedar faktor yang ikut memanaskan situasi politik waktu itu. *Pergantian Panglima TNI* Pertanyaannya, apakah pergantian presiden sekarang bisa dilakukan melalui proses politik seperti yang terjadi tàhun 1998 ? Secara de facto, saat ini sulit mengharapkan pergantian presiden melalui gerakan atau proses politik. Sebab saat ini hampir semua kekuatan parpol sudah dapat dikendalikan rezim oligarki. Memang peran Presiden Jokowi tidak seperti Soeharto yang waktu itu mampu mengontrol semua kekuatan politik yang paling penting yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar (ABG). Namun, kini Presiden Jokowi dikendalikan oleh kekuatan pemilik modal (konglomerat) dan oligarki Parpol. PDIP sebagai partai penguasa, selain mampu mengatur Presiden Jokowi juga bisa "mengatur" suara parpol lain di parlemen kecuali PKS. Dalam contoh sederhana, betapapun besarnya keinginan Presiden Jokowi untuk mengganti Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan berbarengan dengan reshuffle menteri beberapa waktu lalu, namun kalau Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tidak setuju, maka keinginan Jokowi pun kandas. Menurut sejumlah sumber di bidang Polkam, Jokowi telah mengajukan beberapa kali usulan untuk mengganti Kepala BIN sebab Budi Gunawan dianggap sudah cukup lama menjabat sebagai Kepala BIN yakni sejak tàhun 2016. "Namun usulan Jokowi tersebut ditolak Megawati. Padahal Jokowi akan memberi tempat jabatan menteri di kabinet kepada Budi Gunawan. Akhirnya, dalam reshuffle kabinet beberapa waktu lalu, Kepala BIN tidak jadi diganti," kata sebuah sumber. Lalu kelompok mana yang potensial untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Jokowi? Saya mengamati, kelompok yang sangat potensial untuk melakukan itu adalah jajaran militer. Sedangkan Polisi sudah berada di bawah kendali langsung presiden setelah mendapat anggaran jumbo dari APBN. Selama tàhun 2020 saja, Polri menikmati suntikan dana APBN sebesar Rp 104,7 Trilyun. Dengan demikian, Polri telah menjadi anak emas pasca reformasi, khususnya dengan alokasi anggaran yang besar. Di atas kertas, kecil kemungkinannya pihak kepolisian melakukan kudeta. Justru Polri yang akan mengamankan posisi Presiden Jokowi. Bagaimana dengan kelompok militer TNI ? Meskipun secara institusi lembaga TNI sudah bisa dikendalikan presiden sebagai Panglima Tertinggi, namun di lapisan bawah masih muncul riak-riak kecil dan gesekan akibat adanya kecemburuan yang muaranya bersumber pada perbedaan sumber anggaran antara TNI dan Polri. Kenyataan ini, antara lain misalnya, tercermin dari kasus bentrokan antara kelompok TNI dan polisi di Kawasan Ciracas Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Memang masih patut dipertanyakan apakah sebagian prajurit atau perwira TNI yang kecewa itu, akan mampu melakukan kudeta atau tidak. Yang jelas kalau melihat peristiwa kudeta di Myanmar, yang melakukan kudeta adalah pemimpin tertinggi militernya. Momen kudeta militer di Indonesia bisa saja terjadi pada saat proses pergantian Panglima TNI. Seperti diketahui, tàhun 2021 ini Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun. Pada tàhun 2014 atau saat pertama Jokowi menjadi presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla, tradisi pemilihan Panglima TNI dari tiga angkatan secara bergilir mulai dirombak. Pada periode pertama sebagai Presiden, Jokowi tidak mengajukan nama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) sebagai pengganti Jenderal Moeldoko dari unsur Angkatan Darat, sesuai dengan tradisi bergilir pengangkatan panglima sebelumnya, tetapi mengangkat KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Gatot Nurmantyo dilantik sebagai Panglima TNI pada 8 Juli 2015. Namun Gatot menjadi Panglima TNI hanya 2,5 tahun, kemudian digantikan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebelumnya menjabat KSAU. Kali ini, Jokowi menerapkan kembali tradisi bergiliran dalam pengangkatan Panglima TNI. Penunjukan KSAU Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI sesuai dengan UU 34/2004 tentang TNI. Pasal 13 ayat 4 menyebutkan, Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Marsekal Hadi Tjahjanto secara resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI pad 8 Desember 2017. Sebenarnya, Presiden Jokowi juga melakukan penataan organisasi TNI bersamaan dengan penyusunan Kabinet Indonesia Maju 2019–2024. Melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI, yang ditandatangani 18 Oktober 2019, ditetapkan satu posisi baru, yakni Wakil Panglima TNI yang keberadaannya membantu Panglima TNI untuk urusan teknis organisasi. Meski jabatan wakil panglima kembali dihidupkan setelah dihapus tahun 2000, tetapi hingga saat ini belum ada jenderal bintang empat yang ditunjuk mengisi posisi tersebut. Tiga kepala staf dari tiap matra, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara berpotensi menjadi wakil panglima di organisasi TNI itu. Menurut sejumlah sumber di bidang Polkam, posisi Wakil Panglima TNI sebenarnya sudah ditawarkan kepada KSAD Jenderal TNI Andhika Perkasa, namun dia menolak jabatan tersebut. Andhika lebih memilih sebagai KSAD karena dianggap lebih penting dan strategis daripada posisi Wakil Panglima TNI. "Jenderal Andhika Perkasa akan lebih memilih jabatan sebagai Panglima TNI ketimbang Wakil Panglima TNI," ujar sebuah sumber di bidang Polkam. Nah, akankah Presiden Jokowi kembali akan mengesampingkan KSAL dan lebih memilih KSAD dalam menunjuk Panglima TNI yang baru nanti ? Jika Presiden Jokowi mau konsisten dengan tradisi giliran dalam penentuan jabatan Panglima TNI, maka Panglima TNI mendatang seharusnya berasal dari angakatan laut, yakni KSAL Laksamana TNI Yudo Margono. Kita lihat saja nanti apakah Panglima TNI baru akan diberikan lagi kepada KSAD atau KSAL. Yang jelas, jika pergantian Panglima TNI ini tidak menimbang dan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada terutama keadaan yang dialami para prajurit TNI, akan bisa menimbulkan gejolak keamanan. Dan bukan mustahil akan mendorong terjadinya kudeta militer. Wallohu a'lam bhisawab. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pemilu Serentak 2024, Waraskah Itu Pak Presiden?

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Pemilu dan pilkada memang bisa ditunda. Bisa juga dipercepat, dan diakali dengan seribu satu akal udang dan bulus. Mati tidak. Mati itu pasti. Dia akan mendatangi siapapun sesuai tabiatnya, yang tak tertebak mahluk. Tak ada seorangpun, termasuk Presiden, yang sejauh ini terlihat menolak menyelenggarakan pilkada pada tahun 2022, bisa lari dari kedatangannya. Sebagai mahluk, presiden dengan semua kebesaran artifisialnya, tak dibekali dengan kemampuan untuk menghindari kematian. Nafas akan selalu begitu, menemui akhir yang pasti. Nafas akan berhenti pada waktunya. Selalu begitu dalam rahasianya, kematian mengirim sebab untuk mendahuluinya. Kematian Yang Brutal Tidak seperti pemilu dan pilkada yang bisa diprediksi awal dan akhirnya, mati tidak? Tidak seperti pemilu dan pilkada, mati tak bisa diakali. Kematian punya tabiat sendiri, yang untuk alasan apapun, oleh siapapun, tidak dapat disetarakan dengan pemilu. Mati itu pasti dalam semua aspeknya. Pemilu tidak. Ingat, Pemilu itu, apapun jenisnya, bisa diakali pada semua sudutnya dari awal hingga akhir. Akhir yang menyenangkan untuk siapa? Dan akhir yang pahit untuk siapa? Selalu mudah dikerjakan dan disajikan dalam pemilu. Siapa menang dan siapa kalah, tersaji menjadi hal biasa dalam pemilu dimanapun itu. Termasuk dunia politik sedemokratis Amerika sekalipun. Itulah tabiat bawaan pemilu yang disajikan sejarah. Sejarah sehitam itu, terekam otentik sejak pemilihan konsul di Romawi kuno dan beberapa presiden Amerika. Pemilihan konsul di Romawi kuno tahun 68 setelah masehi terekam oleh Machivelli dengan jual beli suara. Sejarah Romawi itu, dan sejarah pemilu Amerika adalah menjadi sejarah tentang mainan orang berduit. Kaum aristokrat Romawi kuno merupakan blok khusus pada strata patrician inilah yang mengendaslikan pemilihan konsul. Romawi yang memulai tradisi republik, yang dengan itu pemilu diadakan. Memberi sumbangan otentik tentang larangan jual-beli suara. Larangan itu teridentifikasi pada Lex Vigula. Lex ini diprakarsai pembentukannya oleh Vigulus, senator top yang dipercaya Cicero. Markus Tulius Cicero, yang kala itu ikut kontestasi Konsul, mendesaknya membuat lex itu. Cicero cukup yakin dia akan terlempar, bila kelakuan beli-membeli suara yang telah melembaga, yang dilakukan para aristokrat tak dihentikan. Level negarawan yang dimilikinya, diyakini tidak bisa membantunya. Terlalu banyak pemilih yang tidak cukup cerdas. Terlalu banyak pemilih yang tak dapat diandalkan dan diminta mengetahui risiko salah pilih orang. Cicero tahu tanpa UU itu, jabatan Konsul akan jatuh dan jatuh lagi pada kelompok aristokrat, oligarki yang sepanjang sejarah selalu membinasakan itu. Lex vigula memang berhasil membentengi Cicero. Dia menang dan jadilah konsul pada waktunya. Bagaimana dengan Indonesia? Hukum larangan beli-membeli yang diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada hanya memiliki daya ledak setara meriam bambu. Bunyinya doang yang gede. Efeknya? Nyamuk pun tak bisa sempoyongan, apalagi mati. Lalu Pemilu yang berintegritas? Itulah omong kosong terbesar dalam politik dan hukum pemilu Indonesia. Pemilu ya uang. Beli ini dan itu dalam nada curang dan sejenisnya dengan segala pembenarannya. Bagaimana dengan pemilu 2019? Itu pemilu pailing brutal, jorok, primitf dan bar-bar. Bahkan lebih jorok, primitif dan brutal dibandingkan dengan pemilu-pemilu otoritarian sepanjang orde baru. Pemilu Presiden, DPR, DPD dan DPRD 2019 tertulis jelas. Pemilu itu tertulis sebagai pemilu menjijikan, dengan duka dan pilu pada dimensi praktisnya. Itulah kenyataan sejarah tata negara dan politik Indonesia dibawah Presiden Jokowi. Lebih dari 800 orang Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) mati. Mereka mati sesaat setelah mengadakan penghitungan suara. Ini otentik dengan ketelanjangannya yang utuh. Pemilu itu juga telanjang untuk ketidakberesan dan ketidaknetralan aparatur negara. Jorok, jijik, brutal, dan sejenisnya memang menjadi penanda pemilu 2019 itu. Entah ambisi murahan khas orang-orang tak beradab, yang tak punya malu, yang menyediakan dirinya menjadi jongos oligarki atau hal lainnya. Kematian tragis KPPS itu berlalu begitu saja. Tak ada investigasi terkordinir dan bertanggung jawab dari pemerintahan Jokowi. Bahkan belasungkawapun, kalau tak salah, tak terucap dari pemerintahan Jokowi. Tragis dan menyedihkan. Main kasar bermantel konstitusionalisme dalam pemilu 2019 itu. Hebat politik konstitutionalisme menerima hasil akhirnya sebagai legal. Konstitusionalisme memang begitu, selalu kalah dan menyerahkan nasibnya pada pemenang. Itu kelemahan terbesar konstitusionalisme. Postur kehidupan tata negara dan politik yang dihasilkan sesudah itu, jelas. Gersang dan main suka-suka, kasar dan habis-habisan terlihat menjadi epistemologi politik sesudah itu. Kearifan kelembagaan yang secara diam-diam diminta oleh demokrasi konstitusional, kini terlihat mengering sempurna. Corak politik berkelas rendahan ini, beralasan diproyeksikan sebagai hasil akhir pemilu “mematikan lagi” dan “brutal lagi” malah “lebih brutal” dan lebih menginjak-injak harkat dan martabat orang pada pemilu 2024 yang diserentakan nanti. Empat kotak saja telah mematikan begitu banyak petugas KPPS, apalagi lima kotak. Masih Waraskah? Hukum konstitusi tak lain merupakan kristalisasi murni ambisi dan kalkulasi partisan yang saling bersaing. Mengerti hukum konstitusi, termasuk yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) harus dimengerti juga dalam konteks itu. Hukum konstitusi tentang pemilu yang lahir dari putusan MK, entah nomor berapa itu, jelas mewakili perspektif ini. Bagaimana bisa menandai pandangan Bang (almarhum) Slamet Effendy Jusuf (semoga Allah Yang Maha Rahman selalu merahmatinya di alam sana), sebagai pemilu serentak? Bagaimana skema gagasan yang diperagakan Bang Slamet dimengerti sebagai pemilu lima kotak? Skema itu hanya menegaskan pejabat-pejabat untuk jabatan tunggal (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota), harus dipilih. DPR, DPD dan DPRD juga harus dipilih. Tidak ada yang diangkat. Itu saja. Itu substantial intenttion dari gagasan yang diperagakan Bang Slamet. Tidak lebih dari itu. Hukum konstitutsi final saat ini secara kategoris menempatkan pilkada sebagai bukan pemilu. Memang saat ini sengketa pilkada diperiksa, diadili dan diputus oleh MK. Tetapi itu sepenuhnya disebabkan peradilan khusus yang diperintahkan pembentukannya oleh UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota belum dipenuhi. Kecuali mau menyebut hukum konstitusi tentang pemilu saat ini sebagai hukum suka-suka, seenaknya saja, asal saja, penggabungan pemilu presiden dan legislatif di level pusat dengan pilkada, jelas tidak waras. Sekali lagi itu pelaksanaan demokrasi yang tidak waras. Kalau akhirnya kedua jenis pemilihan ini disatukan, dan diserentakan penyelenggaraannya pada pemilu 2024, maka sempurnalah sifat “suka-suka” pada hukum pemilu. MK jelas punya andil besar atas lahirnya hukum suka-suka ini. Ahli hukum bukan jongos, bukan juga penjilat, entah apa namanya, memang bisa menemukan argumentasi penyatuan ini. Sekali lagi bisa. Ahli hukum yang bukan jongos dan babu politik bisa saja beragumen pemilu dan pilkada sebagai dua peristiwa hukum, yang secara konstitusional disifatkan sebagai dua hal hukum berbeda. Argumentasi justikatif itu tidak akan dapat dilihat lain, selain sekadar memoles kedangkalan penalaran dan inkonsistensi dari lembaga yang namanya MK. Pak Presiden, dengan segala hormat, saya sarankan abaikan putusan MK itu. Putusan itu tidak logis. Kalau kontraksi politik membayangi Pak Presiden sehingga harus diikuti, maka waras sekali kalau pelaksanaannya dipisahkan. Karena memang harus dipisahkan. Serentak pada satu waktu untuk pemilu Presiden, DPR dan DPD. Dan serentak pada waktu yang lain untuk pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD Provinsi, kabupaten dan Kota. Itu cara waras merawat kehebatan bangsa, yang kian mengering, dan mencekam hari demi hari ini. Menyerentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah, termasuk DPR provinsi, kabupaten dan kota bukan takdir konstitusi. Juga bukan takdir republik. Republik hanya punya takdir jabatan-jabatan itu harus diisi dengan cara dipilih. Mereka dipilih oleh rakyat. Republik ini menakdirkan mereka sebagai sumber kekuasaan. Itu saja. Tidak lebih. Jadilah orang besar. Orang besar menandai dirinya dengan kualitas dan kapasitas mengenal yang tak dikenal, dengan citarasa arif yang tak terjangkau politisi kacangan. Jadilah orang besar yang mampu membalut nafas, fikiran dan tindakannya dengan cita rasa menahan diri yang tak biasa. Konstitusi tak selalu indah. Tetapi bisa sangat indah dan menjadi kekuataan yang di Amerika ditunjuk sebagai penyumbang kejayaan mereka, karena dua hal. Putusan hakim dan keputusan pemimpin politik, khususnya Presiden. Presiden-presiden hebat memandu kehebatannya dengan kearifan. Mereka tahu kearifan pemimpin politik memiliki tempat istimewa dalam demokrasi. George Washington, Thomas Jefferson, Ulisius Grant, dan lainnya, memenuhi kualifikasi itu. Mereka membuat konstitusi dan demokrasi terlihat hebat, dalam sifatnya sebagai modal politik tak tergantikan. Toleransi terhadap sikap lembaga lain, itu juga yang diminita demokrasi konstitusional menghidupkan mimpi-mimpi konstitusi. Golkar, Nadem, PKS dan Demokrat, untuk alasan separtisan apapun, tidak dapat dibilang menyimpan amibis lain atas gagasan agar pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan pada tahun 2022 ini. Waras mereka. Ada sisi kemanusiaan yang timbangannya begitu berat dalam gagasan itu. Partai-partai itu terasa tidak sedang main kasar, apalagi main habis-habisan sampai menabrak, menghancurkan prinsip-prinsip konstitusi. Sama sekali tidak. Nelar mereka waras. Terlihat nyata citarasa penghormatan kemuliaan manusia dalam gagasan itu. Demokrasi itu ada karena ambisi memuliakan manusia, bukan mematikan melalui politik tak yang waras dan jorok. Jangan ada lagi KPPS yang mati. Tetapi KPPS akan mati lagi, bila pemilu dan pemilihan kepala daerah diserentakan pada waktu yang bersamaan. Menghindarinya akan terasa seperti kerbau menangkap angin disenja hari. Mimpi Golkar, Nasdem, PKS dan Demokrat itu masuk akal. Ada cahaya terang kemanusiaan yang dijanjikan akan menyinari jalannya bangsa ini. Lupakanlah sejenak ambisi partisan. Sejukkanlah bangsa ini sesejuk embun pagi. Waras memang menyambut gagasan mereka. Renungkanlah itu Pak Presiden agar terlihat waras. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Menjegal Anies Baswedan & Menguatnya Posisi Tito Karnavian

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Sebenarnya tulisan ini merupakan dua tulisan saya yang dirilis setahun yang lalu. Prediksi dan analisis yang disajikan banyak bersesuaian dengan kondisi objektif politik hari ini. Pertama, tulisan tentang “Anies Baswedan Dihadang Skenario 2022 Tidak Ada Pilgub DKI”. Penulis rilis 19 November 2021. Kedua, tulisan penulis, 25 Januari 2020 tentang Posisi Strategis Tito Karnavian dan Upaya Menjatuhkan Anies Baswedan Menjelang 2024. Dua tulisan tersebut sengaja saya angkat lagi. Sehubungan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang hangat dibahas DPR. Melihat peta politik DPR hari ini, termasuk prediksi pecah kongsinya Anies Baswedan dan Gerindra di tahun 2024. Kemungkinan tahun 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada serentak termasuk DKI Jakarta. Menurut Undang-Undang No 10/2016, Pilkada serentak dilakukan pada 2015, 2017, dan 2018. Kemudian akan dilakukan lagi pada 2020 sebagai lanjutan Pilkada 2015. Pilkada 2022 adalah lanjutan dari Pilkada 2017, dan 2023 lanjutan Pilkada 2018. Pada Pilkada 2024, akan diikuti seluruh daerah yang melakukan Pilkada pada 2020, 2022, dan 2023. Konsekuensinya, pemenang Pilkada 2020 hanya akan menjabat selama empat tahun. Sementara untuk Pilkada 2022, dan 2023 akan dipilih pejabat kepala daerah (jika UU Pemilu tidak direvisi) untuk mengisi kekosongan, sambil menunggu Pilkada 2024. Hal ini merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pilgub DKI Jakarta akan digelar pada 2022. Merujuk pada UU No 10/2016 ada kemungkinan Pilgub DKI Jakarta tahun 2022 ditiadakan. Akan digelar serentak pada tahun 2024 berbarengan dengan Pilpres. Artinya, selama 2 tahun hingga 2024 DKI Jakarta akan dijabat oleh Pejabat Gubernur. Untuk pertama kalinya, Indonesia berencana menyerentakkan pilkada, pileg, dan pilpres pada 2024. Tercatat ada 541 daerah yang akan menggelar pilkada selanjutnya. Selama tidak ada revisi UU Pemilu Nomoe 10 tahun 2016, klausul kepemimpinan pejabat kepala daerah sampai tahun 2024 berlaku. Posisi Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri dinilai sangat strategis untuk maju pada Pilpres 2024. Bila UU Pemilu tidak direvisi, ada sekitar 25 Pejabat Gubernur diangkat oleh Mendagri Tito Karnavian. Tito Karnavian atas restu Jokowi bisa membangun 'kekuatan politik' melalui penunjukan sekitar 25 Pejabat Gubernur termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiga propinsi lumbung suara Pilpres 2024. Membangun kekuatan politik diluar jalur partai, karena keduanya tidak punya posisi strategis di partai dan Tito Karnavian bukan orang partai. Tidak menutup kemungkinan bakal ada skenario beberapa jenderal polisi aktif turun gunung. Ditunjuk sebagai pejabat gubernur di ketiga propinsi yang paling potensial untuk mengantarkan Tito Karnavian ke kursi Presidenan. Selain jenderal polisi aktif bisa juga pejabat sipil loyalis Tito Karnavian ditunjuk sebagai pejabat gubernur, bupati dan walikota. Masalahnya kemudian adalah partai apa yang bakal mengusung Tito Karnavian? Disinilah kita memahami kenapa Moeldoko, pensiunan Jenderal AD 'berambisi' mengambil alih Partai Demokrat. Orang-orang dilingkaran Istana sedang berkompetisi merebut tiket pilpres 2024. 'Adu kuat' mantan Kapolri vs mantan Panglima TNI. Belajar dari Pemilu 2019, dimana Pileg dan Pilpres disatukan telah banyak menelan korban jiwa. Lebih dari 894 orang petugas pemilu meninggal, yang hingga kini masih menjadi misteri penyebab kematian ratusan petugas pemilu tersebut. Tidak dapat kita bayangkan bila 2024 Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan. Mungkin saja ribuan petugas pemilu harus merenggang nyawa. Belum lagi money politic dan kongkalikong penyelenggara pemilu dengan kandidat presiden, caleg dan kandidat kepala daerah sulit untuk dikontrol. Bisa jadi akan menimbulkan 'kekacauan nasional'. Resistensi konflik dan perpecahan sangat tinggi. Sebaiknya dikaji lagi penyatuan pemilu yang rentan manipulasi dan korban meninggal dunia. Revisi UU Pemilu menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari kekacauan dan kecurangan nasional. Revisi tentang pemilu serentak (pileg, pilpres dan pilkada) dan sulitnya pembuktian kecurangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah mustahil kecurangan bisa dibuktikan di UU yang sekarang. Keterlibatan Polisi dan TNI di Bawaslu dan Panwaslu di semua level baik nasional maupun daerah untuk menjamin netralitas Polisi dan TNI dalam pemilu. Sudah menjadi rahasia umum, kalau ada kelompok politik tertentu yang punya track record curang dan bengis kepada rakyatnya sendiri. Seperti dipertontonkan pada Pilpres 2019 yang lalu. Akhirnya, terjawab sudah misteri kenapa Mendagri dijabat oleh Tito Karnavian. Padahal pada periode pertama Jokowi menjadi jatahnya PDIP. Apalagi Kapolri yang sekarang, Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan loyalis Jokowi. Munculnya kekuatan politik baru dari jenderal polisi memungkinkan presiden selanjutnya dari jenderal polisi dengan dukungan kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang punya segalanya (uang, jaringan, intelijen dan media). Prediksi saya, bila kekuatan politik Islam lemah dan mau “dilemahkan”, presiden 2024 kemungkinan besar tipikalnya seperti Jokowi. Presiden yang didukung oleh kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang mengontrol politik dan ekonomi 5 tahun terakhir. Disinilah kenapa Anies Baswedan sebagai calon Presiden yang memiliki peluang besar untuk menang, mau dijegal melalui RUU Pemilu yang meniadakan Pilkada serentak 2022 dan 2023. Selanjutnya, terserah pecinta NKRI dan ummat Islam. Mau pasrah dengan keadaan karena lemahnya posisi politik atau bangkit dari keterpurukan untuk melawan. Bangkit untuk melawan agenda terselubung dari pembenci Islam yang secara terbuka telah melakukan deislamisasi, baik secara politik, ekonomi, pendidikan dan dakwah Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

Kudeta Terhadap AHY dari Istana?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kuderta menjadi istilah yang sedang "in" saat ini. Dalam kancah internasional, ada peristiwa kudeta militer atas penguasa sipil di Myanmar. Kanselir Negara Myanmar, Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung setia Suu Kyi tentu saja kecewa atas kudeta ini. Sementara di dalam negeri, lagi ramai pula rencana kudeta atas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari jabatan Ketum Partai Demokrat oleh gerakan Moeldoko yang sekarang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KKSP). Rencananya AHY mau dikudeta melalui upaya Kongres luar Biasa (KLB). Gonjang-ganjing dan situasi panas di partai yang rada malu-malu untuk beroposisi atau setengah oposisi ini cukup mengejutkan. Sabab rupanya rezim Jokowi ingin menaklukan semua Partai politik yang ada di parlemen. Tinggal Partai Demokrat dan PKS saja yang belum "bergotong royong" dengan Pemerintahan Jokowi. AHY pun berkirim surat segala kepada Presiden Jokowi untuk klarifikasi. Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam)Mahfud MD dalam cuitannya membantah ikut dan tahu soal rencana kudeta di tubuh Partai Demokrat terhadap AHY tersebut. Disamping Moeldoko, ada beberapa menteri yang dicurigai terlibat dengan rencana ini. Sayangnya rencana kudeta ini keburu diketahui oleh kubu AHY. Moeldoko menyatakan, keterlibatan dalam persoalan Partai Demokrat sebagai uruan pribadi. Tak berkaitan dengan Presiden Jokowi ataupun kedudukannya sebagai Kepala KSP. Moeldoko berujar, bahwa kudeta itu dari dalam Partai Demokrat. Bukan dari luar. Mungkin Moeldoko lupa bahwa kudeta itu biasanya biasa digerakkan oleh pihak luar. Moeldoko kini seolah menjadi brutus yang menikam Julius Caesar. Moeldoko yang dulu diangkat oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari mulai Kasdam Jaya, menjadi Pangdam Jaya, lalu menjadi Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), seterusnya menjadi KSAD dan Panglima TNI tersebut, mau memimpin kudeta terhadap partai dan anaknya SBY. Beredar media sosial berbagai fose foto Moeldoko sedang mencium tangan Presiden SBY saat itu. Namun Mooldoko hari ini bukan lagi Moeldoko yang dulu berkali-kali menciun tangannya SBY. Moeldoko sekarang adalah anak buahnya Presiden Jokowi yang diberikan kehormatan dan jabatan sebagai Kepala KSP. Tidak semua orang bisa meraih jabatan tersebut. Bulan Oktober 2020 lalu, pernah ramai juga isu kalau Jokowi akan dikudeta. Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto yang mengangkat isu itu dengan sebutan "kudeta merangkak". Menurutnya, solusi untuk mengantisipasinya adalah Jokowi harus melakukan reshuffle kabinet. Lalu Ketua Brigade 98 juga menyebut ada empat kelompok yang ingin mengkudeta Jokowi yang salah satunya adalah kelompok Cendana. Tiga kelompok lainnya yang mau mengkudeta Presiden Jokowi adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kalangan pengusaha hitam, dan kelompok oligarki. Ujunya adalah HTI dibuabrkan. Langkah pembubaran HTI itu didahului dengan kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Masyarakat melihat isu kudeta terhadap Presiden Jokowi hanya "mainan" untuk meningkatkan wibawa Jokowi sendiri yang terus merosot. Kecuali kudeta dalam partai politik, baik melalui pembiayaan "jor-joran" di forum pemilihan Ketua Umum, atau melalui pembelahan partai. Makanya kudeta terhadap seorang Kepala Negara tidak tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Nah wajar kita curiga, ke depan bukan mustahil muncul isu kudeta lagi. Apalagi di tengah belepotan dan paniknya pemerintah menghadapi segudang persoalan. Misalnya, gagalnya penangan pandemi covid-19, korupsi yang pelakunya berlindung di sekeliling istana, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), macetnya investasi dari luar, tumpukan hutang luar negeri yang menggunung, daya beli masyarakat yang rendah, serta krisis ekonomi yang sedang terjadi. Rupanya perlu kreativitas palsu-palsuan untuk mendongkrak krisis terhadap kepemimpinan negara. Akan tetapi rakyat itu suah semakin cerdas. Sangat sulit untuk menipu rakyat dengan drama teror, walaupun berjudul kudeta. Acta est fabula, plaudite. "Sandiwara telah berakhir, ayo segera bertepuk tanganlah"! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wajah Demokrasi Makin Buram di Pemilu Serentak 2024

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Demokrasi direpresentasikan paling nyata dalam pemilu. Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Setiap orang diberi hak suara. One man One vote One value. Di Indonesia, dalam lima tahun, ada sekali pilpres, sekali pileg-pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan 548 kali pilkada. Terdiri dari 514 Kabupaten dan Kota dan 34 Provinsi. UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 menghendaki adanya pemilu serentak 2024. Pilpres, Pileg dan Pilkada diselenggarakan sekaligus. Bersama-sama dalam satu waktu. Belajar dari Pilpres dan Pileg 2019 lalu, ada sebanyak 894 petugas pemilu yang meninggal dunia. Katanya karena faktor kelelahan. Dibilang "katanya", karena beritanya simpang siur. Dan nggak ada hasil investigasi. Maka, diusulkanlah revisi UU tersebut. Dan RUU-nya telah masuk Prolegnas. Ada banyak perubahan di RUU. Termasuk usulan "normaliisasi pilkada" 2022 dan 2023. Semula, hanya PDIP yang menolak. Partai lain, semua sepakat adanya "normalisasi pilkada". Artinya, 2022 dan 2023 tetap ada pilkada. Belakangan, Presiden mendukung pemilu tetap diselenggarakan serentak di 2024, sesuai UU No 10 Tahun 2016 tersebut. Setelah pernyataan presiden ini, banyak partai yang mendadak berbalik. Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP mendukung usulan presiden. Otomatis, mendukung PDIP. Total suara partai pendukung usulan presiden itu ada 327 suara di DPR. Sementara hanya PKS, Demokrat dan Nasdem yang tetap bertahan dengan usulan "normalisasi pilkada" 2022 dan 2023. Total suaranya hanya 248. PKS, Nasdem dan Demokrat kalah suara. Maka, keputusannya sudah bisa dibaca: 2022 dan 2023 tidak ada pilkada. Diundur di 2024. Para kepala daerah, gubernur, walikota dan bupati yang habis masa kerjanya tahun 2022 dan 2023 akan diganti oleh Pelaksana Tugas (Plt). Jumlahnya ada 272 kepala daerah. Masing-masing Plt menjabat 1-2 tahun. Dari mana Plt-Plt ini? Akankah semuanya diisi dari pejabat Kemendagri? Ataukah ada yang dari Polri, mengingat Mendagri Tito Karnavian adalah mantan Kapolri? Atau ada yang dari TNI, semacam alasan untuk berbagi? Atau juga ada dari kader parpol yang ditunjuk oleh mendagri? Memang, jika pemilu diselanggarakan serentak, maka akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Tetapi sangat berisiko. Petugas akan kelelahan. Belajar dari pemilu 2019 yang hanya pilpres-pileg saja, hampir seribu petugas pemilu meninggal dunia. Meski menyisakan teka-teki, apakah seluruhnya mati karena unsur kelelahan, atau ada faktor lain. Dalam pemilu serentak, manipulasi kemungkinan akan lebih masif. Karena pengawasan sangat terbatas. Cara berpikirnya sangat sederhana. Sebab pemainnya bertambah banyak, sementara jumlah pengawas tetap. Tidak bertambah. Ya pasti tidak proporsional. Pada pemilu 2019, Panwas mengawasi Pilpres danPpileg saja sudah sangat kedodoran. Bagaimana mungkin ditambah lagi dengan pemilihan bupati/walikota dan gubernur? Mau berapa banyak lagi petugas Pemilu yang harus meninggal dunia karena kelelahan. Pemilih pun umumnya gagal fokus. Karena banyaknya jumlah surat suara dan jumlah calonnya. Dalam satu waktu pemilih harus mencoblos surat suara untuk DPRD I, DPRD II, DPR, DPD, bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden. Tujuh surat suara. Pasti akan sangat membingungkan. Dua surat suara saja, banyak yang nggak fokus. Apalagi ini tujuh surat suara. Coba hitung jumlah caleg DPR, DPRD I, DPR II, calon DPD, calon bupati/walikota, dan calon gubernur, plus calon presiden-wakil presiden. Kurang lebih ada 40 nama. Anda yang muda dan cerdas saja kebingungan untuk memilih. Apalagi ABG dan para orang tua. Bagaimana mau menghasilkan pejabat yang berkualitas? Anda coba bayangkan ketika mereka kampanye di depan anda. Ada 40 calon yang kampanye. Dan hampir semuanya tidak anda kenal dengan baik. Siapa yang akan anda pilih? Tak sedikit pemilih yang akhirnya pragmatis. Sama-sama tidak kenal, pilih yang kasih uang paling besar. Selama ini, itulah yang banyak terjadi di desa-desa, dan daerah pinggir perkotaan. Pemilih pragmatis. Karena sistem mendorong pemilih untuk bersikap pragmatis. Apalagi, hukum tak pernah hadir disitu. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan. Bisa sehari semalam. Bahkan sampai pagi. Disini, para saksi juga akan mengalami kelelahan. Apalagi Panwas dan petugas KPPS. Kasihan mereka para petugas itu. Idealnya, ada tiga kali pemilu. Pilkada, pileg dan pilpres dilakukan secara terpisah. Pemilih bisa fokus pada pilihannya. Pengawasan juga bisa dilakukan dengan baik. Masyarakat, lembaga-lembaga independen dan pers bisa jadi alat kontrol untuk menjaga kualitas pemilu. KPPS, Panwas dan para saksi tidak harus menanggung risiko fisik karena faktor kelelahan atau lainnya. Entah apa yang menjadi pertimbangan partai-partai tersebut sehingga pemilu diusulkan serentak. Jangan sampai hasrat politik mengalahkan kepentingan bangsa, termasuk untuk keselamatan petugas KPPS, Panwas dan para saksi. Terutama "yang paling penting" untuk menjaga kualitas hasil pemilu. Selama ini, kualitas pemilu kita sudah buruk. Sarat money politics, intimidatif dan manipulatif. Dengan pemilu serentak, besar kemungkinan akan semakin buruk. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Presiden Rasis Jika Abu Janda Tidak Diproses Tuntas

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Diproses seriuskah Abu Janda setelah ber hahaha hehehe minta maaf? Cukup sampai di sinikah hukum berbicara? Wah keterlaluan. Ini bukan negara minta maaf, apalagi minta wakaf segala. Ini negara hukum yang menempatkan semua berkedudukan sama di depan hukum. Pejabat dengan rakyat kebanyakan itu sejajar. Profesor Guru Besar dengan badut juga sama. Pengecualian hanya kepada oranag gila yang tak bisa dipidana. Tetapi kalau itu gila-gilaan, maka harus menjadi alasan untuk memperberat hukuman. Begitulah cara hukum itu berbicara, dan memandu penyelenggara negara untuk menegakakan kepada semua warga negara. Hukum tegak tanpa harus memandang siapa latar belakang orang tersebut. Hari Senin kemarin, katanya Abu Janda diperiksa Direktorat Ciber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Berita yang muncul menyatakan tidak jelas kapan Abu Janda datang ke Bareskrim. Ujug-ujug sudah ada di dalam, dan "sedang diperiksa" katanya. Laporan perbuatan pidana atas dirinya adalah "rasis" dan "penistaan agama" terhadap agama Islam. Masalah sasis dan penistaan atas agama adalah dua delik berat yang mesti dipertanggungjawabkan secara hukum. Sispapun orang . Abu Janda boleh pulang setelah dicecar dengan 50 pertanyaan oleh penyidik. Entah akan ada pemanggilan lanjutan atau tidak? Ditangkap atau tidak? Suka-suka Bareskrim saja. Masyarakat tinggal menonton, apa hasil akhirnya nanti. Toh, dalam kasus penembakan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), Barekrim juga terlihat suka-suka hati. Itu terlihat dari rekonstruksi perkara yang dilakukan Bareskrim terhadap kasus kilometer 50 tol Japek. Arahnya mengikuti keterangan awal yang disampaikan Kepolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadil Imran. Untung saja masih ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang melakukan penyelidikan. Hasilnya, walaupun dengan bebrbagai catatan yang cenderung kompromistis, namun Komans HAM yang menyatakan penembakan terhadap empat anggota FPI yang berada di dalam penguasaan polisi dari Polda Metro Jaya sebagai pelanggaran HAM. Kalau tidak, maka polisi menjadi benar selamanya, dan FPI menjadi salah selama-lamanya juga. Banyak pihak berkeyakinan Abu Janda akan kena batunya. Tetapi tidak sedikit juga yang skeptis pada keseriusan Direktorat Ciber Bareskrim memeriksa Abu Janda. Seorang jurnalis senior FNN.co.id, Asyari Usman meragukan. Asyari Usman menulis di FNN.co.id edisi Senin (01/02/2021) dengan judul “Abu Janda Ditangka? Anda Pasti Sedang Mimpi Atau Berkhayal". Judul tulisan Asyari usman ini tentu saja merujuk pada beberapa laporan terdahulu yang telah menguap begitu saja. Dari sudut manapun mengaitkan Natalius Pigai dengan "evolusi" adalah penghinaan yang sangat rasis dan keji. Soal penghinaan dapat dimasukkan dalam klacht delict (delik aduan). Tetapi soal rasisme tentu saja tidak. Demikian juga dengan "Islam arogan" mudah untuk dikualifikasikan sebagai penodaan agama. Ahok saja soal tafsir ayat dikenakan hukuman. Bila terbukti dan terpenuhi rumusan delik, serta dukungan publik yang kuat atas perilaku kriminal Abu Janda, namun tidak diproses Direktorat Ciber Bareskrim sebagaimana mestinya, Padahal Abu Janda adalah bagian dari Istana atau "influencer bayaran", kemudian istana membiarkan, maka istana tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab politiknya. Proteksi otoritatif yang layak ikut menanggung dosa. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pada Pasal 7 mengingatkan bahwa Pemerintah wajib memberi perlindungan efektif kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis. Perlindungan yang dimaksud itu adalah dengan penegakan hukum melalui proses peradilan. Kepolisian itu di bawah Presiden. Presiden memiliki kewenangan memantau dan memerintahkan. Jika tugas yang dibawah kewenangan itu bekerja lambat atau menyimpang, dapat dan harus ditegur. Tidak bisa dengan enteng berkilah "bukan urusan saya". Ada tanggungjawab moral, politik, dan hukum disana sebagai konsekuensi dari statusnya sebagai Kepala Pemerintahan Indonesia. Tanggungjawab Presiden itu berkaitan dengan sikap pembiaran negara "by omission", yakni negara yang tidak melakukan sesuatu tindakan lebih lanjut untuk melaksanakan yang menjadi kewajiban hukumnya. Rasisme seorang Abu Janda atas Natalius Pigai tidak bisa dibiarkan oleh negara. Pemerintah harus hadir untuk memproteksi. Pembiaran menjadi kejahatan yang berkualifikasi sama bagi pemegang otoritas. Abu Janda yang tidak diproses tuntas dalam kasus rasisme, akan membawa konsekuensi pada predikat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah seorang yang rasis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Raja, Kapan Engkau Sembuh?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip cerita Sa'di, seorang penyair Persia, dalam karyanya yang diberi judul "Gulistan" . Ketika itu ada seorang Raja Yunani yang sedang sakit. Sakitnya parah, dan kabarnya susah disembuhkan. Oleh tabib, Raja diberi resep, “potong leher pemuda dan dijadikan tumbal”. Ditunjukkan oleh tabib ciri-ciri pemuda itu. Singkat cerita, pemuda itu ditemukan. Kedua orang tuanya diberi banyak yang uang, dan sangat senang. Pengadilan pun membuat keputusan bahwa untuk menyelamatkan Raja, sah nyawa pemuda dikorbankan. Lalu tiba saatnya pemuda itu dihadapkan kepada Raja, dan siap dieksekusi. Ketika di depan Raja, pemuda itu mengangkat kepalanya ke langit, lalu tersenyum. "Dalam keadaan seperti ini, kamu masih bisa tersenyum?" Tanya Raja. Pemuda itu menjawab, "orang tua yang seharusnya melindungi dan merawat anaknya, tetapi justru menjualnya demi uang. Hakim Agung mestinya menjadi tempat pengaduan, tetapi menvonisnya. Dan Raja seyogianya menjadi tempat mencari keadilan, tetapi malah sewenang-wenang. Selain Tuhan, tak ada lagi yang bisa menolongku."Kemana aku harus lari dari cengkeraman tanganmu? Aku kucari keadilan yang bertentangan dengan kekuasaanmu". Kegitu kata-kata pemuda tersebut menutup kalimatnya. Pemuda hanya berharap pertolongan Tuhan. Mendengat kata-kata pemuda itu, hati sanga Raja tersentuh. Raja menangis dan berkata, "lebih baik aku yang binasa daripada menumpahkan darah pemuda yang tidak bersalah". Lalu, Raja memeluk pemuda itu dan mencium kepalanya. Pemuda itupun diberi hadiah dan disuruh pulang. Setelah itu, Raja sembuh dari penyakitnya. Luar biasa sang Raja. Pesan cerita ini sangat patut untuk dicontoi para penguasa. Sebab jika seorang Raja ingin sembuh dari penyakitnya, maka dengarkan anak-anak muda. Peluklah dan sayangi mereka. Sebab, mereka adalah generasi masa depan yang menyelamatkan bangsa dan negara. Anak-anak muda itu sekarang ada di kampus-kampus. Bebaskan mereka dari segala bentuk intimidasi para rektor yang dikendalikan oleh SK Menteri. Anak-anak muda itu juga menyebar di berbagai media. Jangan berangus mereka dengan menyandera para pemilik media. Anak-anak muda itu juga aktif di berbagai organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok studi, forum-forum kajian dan pengajian. Jangan habisi mereka ketika mereka datang dan mengingatkan Sang Raja. Karena pasti ada manfaatnya anak-anak muda itu. Biarkan mereka bicara, tanpa tekanan dan rasa ketakutan. Jika mereka takut, lalu bisu dan tak bicara, maka mereka tidak akan bisa menyembuhkan Raja. Hanya mereka yang menjadi obat Raja. Kejujuran, ketulusan dan idealisme mereka adalah obat untuk kesembuhan Raja. Untuk itu, Raja harus segera disembuhkan. Jika Raja sakit, bangsa dan negara juga ikut sakit. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Bangsa Terbelah, Ini Sangat Menyedihkan

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Kalah menang, itu biasa. Termasuk kalah menang dalam pemilu. Kalau yang kalah itu kecewa, wajar. Secara psikologis, ini manusiawi. Sebagian ada yang belum move on, harus juga dimaklumi sebagai wajar juga. Tugas kita, terutama pemenang, menyadarkan mereka yang belum move on itu. Menyapa dan merangkulnya. Jumlah mereka nggak banyak, dan mudah untuk dipulihkan. Yang menjadi masalah, dan soal ini cukup serius adalah, orang-orang yang melakukan kritik kepada pemerintah dituduh sebagai bagian dari kelompok yang belum move on. Dianggap sebaga kelompok mencari-cari kesalahan dan mau menjatuhkan wibawa pemerintah. Disini letak kesalahannya. Di tengah gendutnya koalisi penguasa, posisi pemerintah saat ini sangat kuat. Nyaris tidak terkontrol. Partai-partai nyaman dengan berbagai posisi dan bagiannya. DPR menjadi lumpuh. Tidak lagi punya gigih, kecuali hanya menjadi legitimator bagi keputusan dan kerja eksekutif. Ini sangat menyedihkan. DPR terburuk dalam sejarah demokrasi negeri ini. Pers dan mahasiswa juga tiarap. Disini, penguasa cenderung berprilaku semaunya. Banyak kebijakan yang tak aspiratif dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Kebjakan yang dibuat pemerintah lebih utama untuk menampung kepentingan oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas, tamak dan rakus. Rakyat hanya menonton main pemerintah bersama oligarki dan konglomerasi. Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu diingatkan. Disini, perlu orang-orang yang kritis yang mau mengontrol kinerja dan memberi peringatan ketika ada kebijakan pemerintah yang keliru. Supaya ada check and balances. Supaya pemerintah tau kalau rakyat itu kritis. Sehingga pemerintah tidak asal-asalan dalam membuat kebijakan negara. Setiap rezim, selalu muncul orang-orang dan kelompok idealis. Mereka lahir untuk meluruskan arah kebijakan penguasa yang salah. Menembalikan penguasa kepada tujuan bernegara yang digariskan oleh para pendiri bangsa. Ini terjadi dari zaman awal kemerdekaan, hingga era reformasi. Dan saat ini, kita sedang menghadapi era neo-reformasi. Era yang berbeda sama sekali dari pra dan pasca reformasi. Sayangnya, munculnya kritik seringkali dianggap sebagai upaya menjatuhkan penguasa. Ini yang keliru. Jika kritik itu datang bukan dari kelompok pendukung, dituduh belum move on. Jika kritik berasal dari pendukung, dianggap sakit hati karena tak mendapat posisi. Gak ada yang bener. Parahnya, ada petugas khusus yang disiapkan untuk menghadapi para pengkritik ini. Mulai dari buzzer rupiah, hingga yang bertugas sebagai pelapor ke polisi. Mereka seperti "kebal hukum". Diduga kuat ada pihak yang melindungi mereka. Mereka bisa dengan leluasa mempolisikan siapa saja yang dianggap sebagai oposisi kepada kekuasan. Hebat sekali mereka. Sampai disini, keterbelahan yang sudah muncul saat pemilu, sekarang makin parah. Penguasa tidak terlihat merangkul pendukung yang kalah. Sementara kerja buzzer rupiah bekerja semakin masif untuk merusak tatanan persatuan dan kesatuan. Pancasila dan NKRI seringkali menjadi mainan narasi melawan kelompok pengeritik. Media dan medsos isinya penuh provokasi. Aksi dan reaksi kedua belah pihak terus mengambil sejarah kegaduhan bangsa ini. Istilah dan nama "binatang" sudah jadi identitas kebanggaan masing-masing kelompok. Sopan santun dan sikap saling menghargai sebagai ciri khas dan karakter bangsa mendadak hilang dari kehidupan kita. Mendadak dan cepat giganti dengan cacian dan kebencian. Sekedar analogi, jika di dalam rumah anda selalu terjadi keributan, jangan salahkan anak-anak. Tetapi, itu salah ayah dan ibunya. Mereka adalah orang tua yang diberi kepercayaan mengelola rumah tangga. Artinya, kalau ribut terus, berarti bapak-ibunya nggak becus urus itu rumah tangga. Negara adalah rumah tangga dalam bentuk yang lebih besar. Saat ini, setiap orang seolah dipaksa untuk memilih. Anda berada disini, atau berada disana? Kalau nggak disini, berarti anda musuh kami. Stigma ini membuat banyak intelektual kehilangan jati diri dan akal sehatnya. Agamawan telah dihadap-hadapkan dalam arena pro dan kontra. Yang pro dapat uang, yang kontra seringkali diancam. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE) serta Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 7/2021 tentang "Ektrimisme" yang dipikir bisa diharapkan jadi solusi, ternyata malah banyak kontradiksi. Bukannya mendamaikan atau menyatukan. Tetapi malah semakin menambah ketakutan dan keterbelahan anak bangsa. Lalu apa solusinya? Pertama, rangkul para pengkritik dengan cara mendengarkan mereka. Negara akan sehat jika kritik didengarkan. Jangan anggap mereka sebagai musuh. Kedua, hentikan buzzer rupiah yang terus membuat kegaduhan. Stop anggarannya, mereka akan berhenti. Sebab, operasional buzzer rupiah itu cukup besar. Tanpa biaya operasional, mereka nggak bisa beroperasi. Stop itu. Ketiga, hadirkan hukum untuk memberi rasa keadilan kepada semua rakyat. Jika demokrasi berjalan normal dan wajar, tidak ada lagi orang-orang sewaan yang bekerja untuk memproduksi kegaduhan di masyarakat. Hukum ditegakan di atas semua golongan, maka Indonesia akan menyuguhkan kenyamanan dan selamat dari keterbelahan. Sampai disini, kita bisa teriak bersama bahwa "NKRI Harga Mati". Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.