NASIONAL
Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945 (Bagian-4)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. (Al Quran, Surah Al Hujuraat : 13) Jakarta FNN – Sabtu (31/10). ”Untuk membedakan dan mempermudah, maka hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Amien Rais berpendapat, jika kembali ke UUD 1945, maka pasal Hak Asasi Manusia (HAM) dan sepuluh ayat yang melindungi HAM Indonesia menjadi hilang. Juga tidak ada pasal yang menjamin kelestarian NKRI. Padahal justru UUD 1945 pasca perubahan yang telah menjamin Pasal 1 ayat (1) tidak dapat diubah. Sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi. Benarkah pendapat ini? Sejarah mencatat, perdebatan penyusunan UUD 1945 tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa Indonesia. Mencermati Piagam Jakarta, Islam tampak memberikan warna. Karena itu, nilai dalam artikel ini salah satunya dipilih Surah Al Hujuraat : 13. Firman Tuhan tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Manusia saling mengenal, saling menghormati agar bersatu. Pemahaman tersebut mendasari pandangan bangsa Indonesia terkait HAM. Artinya, negara melindungi segenap hak asasi warga negaranya. Termasuk di dalamnya hak-hak asasi individu. Strategic Assessment Hal ini dapat kita baca dalam alinea-1 Pembukaan UUD 1945. Narasi yang menunjukkan sikap bangsa Indonesia dalam menghargai hak HAM sebagai makhluk sosial. Bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Pokok-pokok pikiran Pembukaan ini mengalir ke pasal-pasal UUD 1945. Pasal 6 UUD 1945, “Presiden ialah orang Indonesia asli” menunjukkan bangsa Indonesia menjunjung tinggi hak asasinya orang Indonesia asli. Pribumi atau orang Indonesia asli, juga disebut boemiputra, adalah suku-suku bangsa pertama yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Mereka datang dari arah penjuru dunia, mana saja tidak masalah. Selama mereka datang pertama ketika Nusantara ini masih perawan, tiada penghuni, mereka itu orang Indonesia asli. Silakan baca : (https://www.teropongsenayan.com/83343- adakah-dan-siapakah-orang-orang-bangsa- indonesia-asli -itu). Apakah pribumi itu ada dan diakui? Ya, pribumi itu ada dan diakui. PBB mengakui adanya pribumi dengan hak-haknya. Penjajah Belanda juga mengakui dengan membagi status sosial : (1) European/Eropa (2) Vreemde Oosterlingen/Timur Asing (3) Inlander/ Pribumi. The founding fathers telah mempraktekkan HAM bangsa Indonesia dengan menetapkan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Hal ini sejalan dengan penelitian Dr. La Ode, bahwa hakikatnya (1) Pribumi pendiri negara (2) Pribumi pemilik negara (3) Pribumi penguasa negara. (M.D. La Ode, 2018, Trilogi Pribumisme, Resolusi Konflik Pribumi Dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia). Ketika sidang BPUPKI mencari dasar negara, diawali pemikiran Muh. Yamin (29/5/1945), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mr Soepomo (31/5/1945), terakhir Ir. Soekarno (1/6/1945), belum ada satupun yang ditetapkan sebagai dasar negara. Semua pemikiran dijadikan bahan oleh Panitia Sembilan. Awalnya Panitia Sembilan menyelesaikan konsep Pembukaan Undang-undang Dasar, dengan apa yang kita kenal sebagai Piagam Jakarta. Sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18/8/1945 untuk pengesahan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta sudah mengalami perubahan. Beberapa perubahan antara lain. Pertama, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, “Presiden orang Indonesia asli yang beragama Islam” berubah menjadi “Presiden orang Indonesia asli”. Perubahan berjalan secara musyawarah dan penuh etika. Usul perubahan justru datang dari golongan agama Islam. Hal ini membuktikan, betapa penting dan mahalnya persatuan dan sikap toleransi dalam bernegara. Inilah wujud praktek menghargai hak asasi orang lain. Dengan tidak adanya pasal HAM di UUD 1945 sebagaimana di UUD 2002, apakah bisa menuduh bangsa Indonesia abai terhadap HAM? Jelas saja tidak. Walau tidak secara eksplisit, UUD 1945 sudah mewadahi HAM dalam perspektif manusia sebagai makhluk sosial yang di dalamnya ada HAM individu. Dalam hal ini, negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau besar saja. Tidak juga menganggap kepentingan seseorang sebagai paling penting. Namun, negara menjamin keselamatan, kemerdekaan dan kebutuhan hidup warga negaranya. Termasuk hak asasi orang yang ada di dalamnya. Soepomo menyebutnya sebagai teori integralistik ajaran Spinoza, Adam Muler dan lain-lain. Namun, jika ada pendapat itu bukan ajaran Spinoza, tidak masalah. Sebut saja itu pandangan bangsa Indonesia. Nilai itu ada di dalam Pancasila dan ditransformasikan ke pasal-pasal UUD 1945, demi persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indah sekali. Kita memang tidak menganut teori individualistis dari Thomas Hobes dan John Locke, ataupun teori golongan ajaran Marx, Engels dan Lenin. Kita mengambil dari budaya yang tumbuh dalam masyarakat. Budaya yang lebih suka berpikir dan berbuat kebajikan untuk orang lain. Apakah para pengamandemen menyadari itu? Ya, mereka sadar, terbukti adanya Pasal 28J UUD 2002. Bahwasanya, setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Sesungguhnya, Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 2002, ada di dalam “cakupan” Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945. Artinya, Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945, turunannya bisa dalam bentuk undang-undang. Dengan isi seperti pasal-pasal HAM dalam UUD 2002, atau bahkan lebih luas lagi. Apabila kita kembali ke UUD 1945, untuk disempurnakan dengan adendum, Pasal 1 ayat (1) menjamin lestarinya NKRI. Kita tidak akan temui DPD sebagai ciri negara federal. Kita tidak ketemu Pilpres langsung yang kita tengarai sebagai penyebab robeknya persatuan, dan telah cenderung membelah bangsa berdasarkan SARA. Juga merusak sendi kehidupan sosial budaya. Di sisi lain, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran bagi warga negara, antara lain juga terwadahi dalam Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagai anggota MPR. Disinilah rakyat non Parpol memiliki hak mengajukan calon Presiden/Wapres serta menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (GBHN). Berbeda dengan di UUD 2002, hak rakyat non Parpol di atas tidak kita temui. Padahal ada pasal HAM. Dengan demikian, jika kembali ke UUD 1945 untuk kita sempurnakan tidak masalah. Karena persoalan HAM terwadahi dalam UUD 1945. Ada narasinya, ada juga praktek bernegaranya. Untuk lebih memahami HAM di UUD 1945 dikaitkan dengan pasal-pasal HAM dalam UUD 2002, kita bicarakan dalam artikel bagian-5. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat demi bangsa dan negara. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Future Impossible Tense
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Sebuah meme atau karikatur bertema English Class di papan tulis tertulis "Tense". Artinya pelajaran tentang waktu. Si guru bertanya kepada muridnya "One day our country will be corruption free. Which tense is it?" Si murid lalu menjawab "Future impossible tense". Si guru lantas marah, he he hee. Nampaknya ini sedang cocok bagi kondisi Indonesia sekarang ini tentang pemberantasan korupsi. Suatu jawaban dari murid yang pas dengan kalimat "Future impossible tense". Sebab bangsa ini telah pesimis pada hilangnya korupsi. Jangankan hilang, untuk berkurang saja tidak yakin. Cara penegak hukum memberantas korupsi memang sangat tidak meyakinkan. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan yang semakin dikebiri. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil memaksa lembaga KPK untuk dimandulkan. Operasi Tangkap Tanga (OTT) KPK tergantung pada Dewan Pengawas ber SK Presiden. Politik hukum pada era Pemerintahan Jokowi yang buruk seperti ini mesti dipertanggungjawabkan kelak. Tidak dianggap angin lalu. Jangan sampai dianggap sesuaitu yang biasa-biasa saja. Presiden Soekarno jatuh bukan oleh korupsi keuangan, tetapi Soekarno sangat doyan dan menikmati betul korupsi kekuasaan politik atau ideologi. Sementara Soeharto memang terkait korupsi keuangan yang membuatnya jatuh. Keberadaan KPK adalah solusi reformasi di bidang Pemerintahan. Efektif sekali keberadaan Komisi ini pada awalnya. Di masa Pemerintahan Jokowi KPK dilumpuhkan. Akibatnya buntut kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi mengendap. Skandal Bank Century juga tenggelam. Jiwasraya hanya yang ecek-ecek saja. Pertamina selesai dengan sendirinya. Potensi korupsi dana Covid 19 sudah diamankan dengan Perppu Nomor 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU Nomo 2/2020. Sama sekali tidak ada kemauan keras dari pemerintahan ini untuk memberantas korupsi. Rezim investasi Jokowi disindir Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. Bahwa Amerika sangat siap untuk berinvestasi di Indonesia, tetapi bersihkan dulu dari budaya korupsi. Syarat berat bagi rezim yang sudah terbiasa kongkalikong dengan gaya usaha model Cina. Suap suap suap, mark up, dan komisi sana komisi sini. Percukongan adalah biang dari korupsi. Sayangnya hal seperti dianggap biasa-biasa saja. Hal yang lumrah saja. Pidato-pidato tentang pemberantasan korupsi hanya "lip service" belaka. Sadarkah akan prediksi bahwa nanti akhir dari masa jabatan pemerintahan adalah awal dan dimulainya bongkar-bongkar kasus mega korupsi ? Ketika kekuasaan di tangan, segala kejahatan bisa diredam dan disembunyikan. Tetapi ketika kekuasaan sudah tak ada, maka itulah masa penghukuman tiba. Sebagus dan serapi apapun bau busuk korupsi yang ditutupi dan disembunyikan oleh penguasa ini, tetap saja meninggalkan jejak. Sebab belajar dari pengalaman yang sudah-sudah para pejabat Bank Indonesia (BI) milsanya, baru diproses kasus korupsinya setelah kekuasaan berganti. Begitu selalu pengalaman yang harus dijadikan rujukan. Mulai terasa saat ini akan getaran kejengkelan rakyat Indonesia pada perilaku pemimpin culas, curang, picik, tamak dan khianat. Dilakukan oleh oligarki, korporasi, konglomerat, aparat, dan pejabat yang korup dan jahat. Meskipun demikian, saat ini kalimat untuk Indonesia bebas korupsi masih "Future Impossible tense". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mendambakan DPD RI Punya Nyala dan Nyali
by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Profesor Jimly Asshiddiqie yang diinternal DPD sering kita panggil dengan sebutan Senator Jimly, sudah bersuara lantang. Bahwa para aktivis tidak pantas ditahan. Apalagi diborgol untuk disiarkan disebarluaskan dan dipertontonkan ke publik. Seperti perlakuan terhadap Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Kingkin Anida dan beberapa aktivis lain. Mereka adalah cendekiawan, aktivis, pejuang HAM dan demokrasi serta pemimpin gerakan moral yang menjaga dan meluruskan kiblat bangsa. Mereka bukan penjahat. Bukan penghianat yang menggadaikan bangsa. Apa yang disuarakan aktivis-aktivis tersebut, bahkan merefleksikan kegelisahan rakyat yang terus mengartikulasikan aspirasi. Membanjiri jalanan. Dalam eskalasi panjang dan meluas. Aksi-aksi itu, bahkan masih terus berlangsung hingga hari ini. Maka festivalisasi penangkapan para aktivis banyak ditentang. Sejumlah rangkaian kebijakan yang mendahuluinya, UU Omnibus Law bahkan disoroti oleh media internasional seperti The Economist sebagai jalan mundur demokrasi menuju neo otoritarianisme. Itu adalah aib untuk negara demokrasi besar seperti Indonesia. Kritik lantang Senator Jimly, adalah representasi aspirasi masyarakat yang ril. Jangan biarkan Senator Jimly bersuara sendiri. Apa yang disampaikan, mewakili suara kita selaku anggota DPD RI. Mestinya juga diperjuangkan secara serius oleh mereka yang menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Sangat tidak pantas jika keadaan demikian ini dibiarkan dan menjelma menjadi ketidakwarasan kolektif. Sebab barisan shaf yang terus menerus menyuarakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap banyaknya produk perundang-undangan yang tidak aspiratif semakin panjang. Sebelum terangkum dalam UU Omnibus Law, banyak UU yang telah mendapatkan penolakan dari masyarakat. Ada UU Minerba, RUU Haluan Ideologi Pancasila hingga RUU Pesantren. Dari 79 UU yang diintegrasikan dalam Omnibus Law, yang paling banyak mendapatkan penolakan adalah klaster Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Bersyukurlah, para Guru Besar ikut bersuara lantang. Padahal, suaranya kerap kali diabaikan, atau sebatas mendapat respons basa-basi formalitas. Karena dianggap hanya suara kaum elite yang tak berakar kuat ke rakyat, dan akan segera berakhir bila telah diberi obat penenang. Namun Ternyata kali ini kekuasaan keliru. Karena mereka yang bersuara adalah yang punya rekam jejak yang berbeda. Punya kiprah pengabdian yang jelas. Mereka adalah puluhan, bahkan ratusan Guru Besar yang telah lama berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Seperti Profesor Jimly yang biasa juga dijuluki “Sang Pendekar Konstitusi”. Pernha menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama. Ada juga Guru Besar Ahli Hukum Tata Negara UGM, Profesor Zaenal Mochtar Ariifin yang mengusung ide Pembangkangan Sipil (civil disobidiece) sebagai ekspresi puncak kemarahan rakyat kepada kekuasaan. Suara ini tidak main main. Bobotnya tinggi. Para guru besar yang biasanya jarang-jarang sejalan dengan mahasiswa, kali ini besikap lain. Para Guru Besar dan mahasisanya punya sikap yang sama. Sehingga hanya kekuasaan yang telah tertutup nurani dan buta mata batinnya yang bisa dengan penuh keangkuhan untuk terus mempertahankan pendapat. Argumen yang bukan hanya tidak popular dan bertentangan dengan arus utama kepentingan rakyat. Tetapi juga telah jauh menyimpang dari menjalankan amanat rakyat. Maunya pemerintah tidak sejalan dengan maunya kebaynyakan rakyat. Namun pemerintah budeg dan tuli. Di tengah arus ketidakwarasan, para Senator yang terhormat harus tampil mendukung aspirasi rakyat. Berbaris di dalam satu shaf bersama Prof. Jimly Asshiddiqie untuk berjuang membebaskan para aktivis pergerakan. Mereka secara patriotik sejak masih mahasiswa telah mewakafkan dirinya demi bangsa ini. Menempuh jalan perjuangan yang dijamin oleh prinsip-prinsip demokrasi. Bagi DPD, sengkarut problem yang mendera bangsa adalah momentum membuktikan diri. Buktikan jika DPD adalah lembaga perwakilan pembawa aspirasi daerah ini, layak didaulat sebagai pengemban amanah rakyat yang sesungguhnya. Bahkan bisa tampil dalam membangun dialog dengan eksekutif. Dalam kondisi perekonomian yang jauh dari menguntungkan ini, DPD harus mendorong negara agar lebih fokus dalam melakukan pengendalian dan penanganan Covid-19. Serta menyelamatkan rakyat. Bukan sebaliknya menyesarakan rakyat. Laporan anyar Bank Dunia sudah mewanti-wanti. Sepertiga atau 90 juta penduduk Indonesia saat ini makan lebih sedikit akibat dampak ekonomi Covid-19. Fakta soal Covid-19 dan problem ekonomi serta kebutuhan mendasar rakyat itu, adalah tantangan konkret yang harus diselesaikan. Permasalahan yang tidak bisa diatasi jika situasi tidak kondusif terus dibiarkan dengan menciptakan pemantik-pemantik emosi publik yang berakar pada imajinasi jebakan masa depan yang suram. DPD dengan modalitas kepercayaan rakyat yang cenderung lebih baik, harus menjadi pelopor. Agar segala bentuk perdebatan yang tidak produktif ditinggalkan. Dahulukan anak negeri. Indonesia yang tegak sebagai Negara Kesatuan, harus bersikap mewujudkan kedaulatan. Menyusun UU berdasarkan kepentingan bangsa dan melindungi seluruh rakyat. Jangan sampai ada kesan, bila kerja-kerja yang dilakukan adalah balas budi terhadap negara donor. Sehingga ke depan, kita bukan hanya disibukkan dengan berpikir membayar angsuran pinjaman. Tetapi terancam untuk kehilangan segalanya. Kita terancam Kehilangan aset, kehilangan kemandirian. Semua itu berujung pada kehilangan harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa. DPD RI harus segera bersikap. Bila ini dilakukan, maka DPD akan dikenang punya Nyala dan Nyali. Penulis adalah Senator DPD RI
Abu Janda Ngoceh Lagi, Bela Marcon
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (29/10). Lama Abu Janda tidak muncul di media. Tokoh "super" pegiat medsos ini hilang di tengah iklim politik panas yang semestinya bisa jadi ladang ocehannya. Ada penolakan masih terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang didemo intens. Ada petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap. Nah sekarang, pada saat ada kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam di Perancis Abu Janda muncul lagi. Sambil demonstratif makan di restauran makanan Perancis, Permadi Arya berpetuah agar umat Islam memaafkan penghina Nabi. Apakah mau membela Emmanuel Macron Presiden Prancis atau sang guru penghina yang dipenggal? Tentu saja Macron. Sebab yang terakhir sudah mati. Urusannya hanya dengan Allah saja di alam yang dipastikan mengejutkan dirinya. Ada dua kesalahan dari ocehan sang asbun, yang pro pembela penghina Nabi ini. Pertama, bahwa Presiden Perancis Emmanuel Macron tidak meminta maaf kepada umat Islam. Lalu apa yang mau dimaafkan ? Kedua, penghinaan bukan dilakukan kepada diri Nabi pribadi yang sudah tiada. Tetapi kepada ajaran Nabi. Kepada agama Islam. Umat Islam tentu tersakiti karena Nabinya dihina dengan sengaja, dan agama-Nya dinistakan. Dalam sejarah, hal ini bisa berujung pada hukuman mati atau perang terhadap pelaku penghinaan. Abu Janda seperti yang tidak merasa sakit, bahkan dengan akting sinis ngoceh agar umat Islam memaafkan. Umat Islam model apakah Abu Janda? Umat Islam sudah lama tidak jengkel atas ulah Abu Janda. Selama ini orang dengan nama asli Permadi Arya ini hilang tidak muncul lagi. Su'udhonnya Abu Janda kena corona atau dimakan buaya. Eh, tiba-tiba muncul berada di blok Perancis sang penghina Nabi. Dia rupanya sangat bahagia bisa memukul lebih sakit perasaan umat Islam. Arya seperti bela Macron. Momen untuk mengejek umat Islam yang dianggap tidak menghormati kebebasan pendapat. Perancis adalah perintis "Liberte, Egalite, Fraternite". Abu Janda menantang umat Islam dengan berada di ruang Perancis, layaknya bersaudara dengan Macron. Masuk dalam kelompok yang sama-sama sefaham yang bebas moral. Abu Janda tentu tidak khawatir ngoceh apapun yang menyinggung umat Islam dan Nabinya. Karena mungkin menganggap ada yang menjadi pelindung. Mumpung negeri ini sedang berpihak pada para penyembah berhala, yang tidak suka pada nafas Tauhid. Bendera merah tengkorak lebih ditoleransi daripada bendera Tauhid. Negeri yang lebih nyaman bagi fikiran, sikap, ideologi, maupun kultur kebebasan berpendapat. Kaumnya Abu Janda ketimbang para pembela agama. Negerinya para tikus. Les rats dangeroux pour l'homme. Muncul abu Janda bagaikan "whack a mole game". Jika si tikus nongol maka palu pemukul siap memukulnya. "Whack a mole game" adalah permainan mendera tikus tanah. Muncul si tikus dan memukulnya membuat tambahan nilai. Pahala dalam bahasa agamanya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Tikus.
Tiga Tahun Dipimpin Anies, Jakarta Telah Berubah
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (29/10). Gubernur Indonesia, begitu rakyat negeri ini menjuluki Gubernur DKI Anies Baswedan. Lahirnya julukan ini menunjukkan bahwa Anies diterima tidak saja oleh warga Jakarta. Tetapi juga diterima oleh rakyat Indonesia. Lima tahun, itu jatah untuk Anies memimpin Jakarta. Artinya, ada tersisa dua tahun lagi. Jabatan Anies akan berakhir pada Oktober 2022. Dan bisa diperpanjang jika ada pilkada pada 2022 nanti. Untuk mengukur kinerja Anies, mesti berangkat dari tiga hal. Pertama, visi Anies. Kedua, janji-janji Anies ketika kampanye Pilgub dulu . Ketiga, tingkat kepuasan warga atas pelayanan dan perubahan yang dilakukan Anies untuk Jakarta. Visi Jakarta di bawah kepemimpinan Anies adalah "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Visi ini juga sekaligus menjadi tageline. Visi yang mencakup tidak saja infrastruktur kota. Tetapi juga menggarap aspek psikologi warga. Untuk membuat maju kotanya, pembangunan infrastruktur menjadi keniscayaan. Pelebaran jalan, memperbaiki trotoar, memperbanyak taman. Ini pekerjaan yang lumrah saja. Toh, hampir semua kepala daerah melakukan pembangunan infrastruktur. Yang membedakan adalah seberapa besar fungsinya. Trotoar misalnya, kita bisa lihat setiap kota ada. Dibongkar lalu dibangun kembali, atau setidaknya ditambah dan dicat ulang. Kalau hanya ini yang dilakukan, berarti itu proyek menghabiskan anggaran. Terhadap trotoar di Jakarta, Anies melakukan pelebaran. Dalam kondisi lebar, trotoar benar-benar akan berfungsi dan membuat nyaman bagi para pengguna jalan. Tidak asal ada sebagai asesoris kota. Di kota-kota maju seperti di Amerika, Eropa, bahkan Jepang, Korea, Hongkong dan Sungapora, setiap hari banyak orang jalan kaki ke stasiun MRT, terminal dan public service yang jaraknya bisa 500 meter hingga 1 kilometer. Kok bisa? Karena tempat untuk jalan kaki lebar dan nyaman. Anies juga membangun jalur bersepeda. Untuk keperluan transportasi ke depan, diharapkan warga DKI lebih banyak yang naik sepeda. Baik ke kantor maupun urusan bisnis. Dengan begitu, polusi udara dan kemacetan bisa diminimalisir. Untuk itu, Pemprov DKI harus terus menerus dan lebih masif lagi kampanyekan sepeda. Untuk urusan transportasi, DKI menerapkan program Jaklingko. Satu tiket bisa digunakan untuk naik sejumlah kendaraan. Cuma dengan 5.000 rupiah anda setiap hari bisa keliling Jakarta menggunakan MRT, busway dan angkot. Tanpa kena biaya tambahan. Selain ganjil genap, program Jaklingko terbukti telah berhasil mengurangi tingkat kemacetan Jakarta. Pengguna public transportation yang semula hanya 360.000-an orang, kini naik menjadi lebih dari satu juta penumpang. Peningkatan yang hampir mencapai 200%. Pada tahun 2017, Jakarta masuk peringkat ke-4 kota termacet dunia. Tahun 2018 menjadi peringkat ke-7. Dan tahun 2019 menjadi peringkat ke-10 dunia. Kapan Jakarta keluar dari peringkat 10 besar kota termacet dunia? Ini yang menjadi PR bagi Anies. Kalau cuma naik angkot gratis saja, gampang bangat. Asal ada tulisan Jaklingko. Anda cuma butuh modal kartu e-toll atau kartu sejenis. Kasih kartu itu ke sopir, tempel di mesin Jaklingko, nol rupiah. Alias gratis. Saya sudah pernah merasakan ini. Selain ankot gratis, DKI juga telah berhasil menyulap Jalan Soedirman-MH. Thamrin manjadi semacam destinasi. Di ruas jalan itu, ada nuansa yang agak berbeda. Disitu, anda seperti tidak sedang berada di Indonesia. Tertata rapi, indah dan artistik. Selain infrastruktur jalan, beberapa waktu lagi, Jakarta akan punya stadion bertaraf internasional. Sekelas Real Madrid dan Barcelona. Proses pembangunannya sedang dikerjakan. Rencananya akan selesai tahun depan. Jika stadion ini jadi sebelum berakhirnya masa jabatan Anies, ini jadi poin. Ada juga masjid terapung dan museum Rasulullah di Ancol. Teringat masjid terapung di Jeddah dan museum Rasulullah di Turki. Alhamdulillah, di kedua tempat itu saya pernah berkunjung. Dari sejumlah infrastruktur yang dibangun di DKI, nampak perencanaan kota yang sengaja dibangun dengan orientasi kerakyatan. Artinya, punya dampak perilaku, mental dan psikologis bagi warga Jakarta. Mungkin ini sengaja dibuat agar visi Jakarta "Maju Kotanya Bahagia Warganya" bisa dicapai. Terkait soal pandemi covid-19, publik tahu bahwa Jakarta yang paling awal siaga. Sebanyak 48% rakyat yang mendapatkan tes PCR nasional adalah warga DKI. Sisanya 52% lagi dibagi di 33 provinsi. Tingkat kematian (mortality) sangat rendah. Hanya 2,8%. Lebih rendah dari mortality global, yaitu 3,3%. Ini bentuk nyata kesiagaan Gubernur dalam menghadapi pandemi. Di tengah pelajar dan mahasiswa yang kuliah dengan sistem wibiner, dimana kebutuhan Internet sangat tinggi, DKI membuat program JakWifi. DKI melakukan lemasangan Wifi di 9.413 titik. Program ini untuk membantu masyarakat, terutama mahasiswa dan pelajar, juga UMKM dan untuk kebutuhan produktif masyarakat yang lainnya. Di tengah pandemi, Wifi gratis di DKI ini bisa jadi malaikat penolong, khususnya untuk mahasiswa dan pelajar yang miskin. Di luar program-program itu, Anies masih berhutang 23 janji kampanye. Janji tetap janji. Tak ada alasan untuk diingkari. Anies memastikan 23 janji akan selesai di 2022. Rakyat harus terus mengingatkan, mengawasi, mengevaluasi dan ikut memastikan bahwa 23 janji Anies itu seluruhnya bisa tertunaikan. Tak satupun yang boleh dilewatkan. Bagaimana dengan janji-janji kampenye presiden dan para kepala daerah yang lain? Bagaimana dengan janji anggota DPR dan DPRD? Itu tugas anda menagihnya. Tiga tahun memimpin Ibu Kota, Jakarta mendapat WTP berturut-turut dari BPK. Ini bukti adanya clean governon dan good goverment. Tiga piala dari KPK terhadap DKI semakin menegaskan bahwa DKI adalah kota bebas korupsi. Ini soal integritas seorang pemimpin. Tersisa dua tahun lagi. Rakyat berharap Anies istiqamah. Konsisten dengan program-program yang berorientasi pada warga DKI. Melihat semua kebijakan Anies, terlihat ada kepastian soal komitmennya kepada rakyat. Jika Anies konsisten atas komitmen ini, pilpres 2024 bisa menguntungkan baginya. Lima tahun akan jadi catatan sepanjang sejarah Indonesia bagaimana Anies memimpin ibukota. Kelak, 100 tahun lagi, atau bahkan ribuan tahun lagi, rakyat akan membaca catatan itu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Jokowi Jadi Wapresnya Airlangga Hartarto 2024?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (29/10). Ini usulan nyeleneh kader dan petinggi Golkar Leo Nababan untuk Pilpres 2024, yaitu Airlangga sebagi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapre) adalah Jokowi. Usulan yang "out the box" ini memang menggelikan. Bahkan bisa membuat tertawa terbahak-bahak sampai mati. Bisa dibilang mati ketawa ala Indonesia. Leo Nababan berharap kemudiannya Jokowi maju kembali sebagai Capres. Tujuanya untuk mengawal pembangunan agar bisa terlaksana hingga tahun 2045. Keberadaan sebagai Cawapres ini hanya untuk menerobos dan mengakali aturan yang tidak lagi membolehkan untuk menjabat sebagai Presiden lebih dari dua kali berturut turut. Karena Jokowi untuk menjadi Capres lagi setelah 2024 memang tidak dibolehkan. Namun untuk menjadi Cawapres masih dibolehkan. Maka celah inilah yang dilihat oleh Leo Nababan untuk mendorong kembali Jokowi setelah tahun 2024 nanti. Semua boleh, kecuali ada larangan. Sama seperti anak dan mantu Jokiwi yang maju sebagai calon Walikota Solo dan Medan. Meskipun kapasitas dan kapabiltas dari anak Gobran Rakabuming, dan mantu Bobby Nasution diragukan dan dipertanyakan. Namun karena tidak ada aturan yang dilanggar, jadinya boleh-boleh saja. Apalagi ada sejumlah Partai Politik yang berebutan untuk mendukung Gibran dan Bobby. Aneh cara berfikir politisi Golkar ini. Kalkulasi politik yang pragmatik, amatiran dan picisan hanya untuk menjilat Jokowi. Kadang juga salah baca, seolah-olah Jokowi itu tokoh karismatik. Bacaan rakyat banyak, Jokowi justru gagal dalam memimpin bangsa ini sekarang. Terlebih dan nyata itu pada periode kedua dari kepemimpinan Jokiwi. Sehingga siapapun yang menggandeng Jokowi dipastikan bakal rontok. Kalau nggak percaya, lihat saja hasil survei Litbang Kompas, media pendukung utama Jokowi. Begitu juga dengan hasil survei indikator politik, milik Burhanudin Muhtadi, salah satu lembaga survei pendukung utama Jokowi. Rontoh tingkat kepuasan publik kepada Jokowi sekarang. Buang dulu fikiran mekanisme keterpilihan dengan cara curang. Karena cara ini hanya bisa mendustai untuk jangksa waktu sesaat. Tetapi tidak bisa mendustai untuk selamanya. Sebab cara curang itu akan tercatat sepanjang hayat kehidupan bangsa ini sebagai sejarah hitam dan kelam. Leo Nababan dan politisi lain pendukung Jokowi, apa bisa menghapus jejak keterpilihan Jokowi pada Pilpres 2919 lalu? Dengan dugaan kemenangan yang berbingkai rekayasa dan manipulasi angka? Semua itu akan dicatat oleh sejarah anak milenial sekarang. Pastinya akan dibuka nanti saat Jokowi tidak lagi punya kekuasaan. Sementara kekuasaan itu dipastikan berakhir. Untuk mampu bertahan hingga 2024 saja, itu sudah sangat hebat. Kisah kepemimpinan Jokowi diduga akan bertambah gawat. Hari ke hari berjalan tertatih-tatih akibat kebijakan yang tidak merakyat. Selalu saja membuat gelisah dan kecewa berat rakyat. Urusan Omnibus Law saja terus diganggu-gugat. Yang diharapkan oleh Jokowi agar datang, seperti masuknya invetasi dari asing, malah tidak bakal datang-datang. Sementara yang tidak diharapkan oleh Jokowi, seperti demo masih di seluruh penjuru tanag air oleh buruh, mahasiswa dan pelajar, justru datang membuat Jokowi pusing tidak karuan. Membuat kebijakan yang menyulitkan sendiri kekuasaan Jokowi. Mebuat Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Ngakunya betujuan untuk meningkatkan dan mempermudah masuknya investasi asing. Mana ada investasi yang masuk di era pandemi virus corona sekarang. Akibatnya, yang datang berhadap-hadapan dengan Jokowi adalah demo masif dari para buruh, mahasiswa dan pelajar STM di seluruh penjuru tanah air. Jika Presiden bergeser menjadi Wapres, maka nasib "dilupakan" akan sama dengan Ma'ruf Amin. Hilang otoritas kepemimpinan dalam mengelola negara. Seperti burung yang dikurung di dalam sangkar emas. Belum lagi jika ada bongkar bongkaran dosa politik saat menjabat Presiden. Sebagai Wapres, tentu saja proteksi kekuasaan menjadi lemah. Apalagi jika "dilepas" oleh Presiden. Jadi terbayang model "mati ketawa cara Rusia". Seorang warga berteriak "Nikolay goblog" lalu ia ditangkap oleh KGB. Ia berkelit bahwa yang dimaksud adalah Nikolay yang lain. Tetapi petugas KGB itu tetap bersikukuh "Kalau kau teriak Nikolay goblog, maka pasti itu adalah Kaisar". Jika nantinya pak Jokowi siap posisinya hanya sebagai Wapres, sudah barang tentu akan membuatnya imut imut. Rakyat pun tertawa tanpa jeda. Dan inilah "mati ketawa ala Indonesia". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pemuda & Mahasiswa Hadapi Penguasa Otoriter
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (29/10). Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Itulah bunyi sumpah pemuda 28 Oktober 1928 Para pemuda Indonesia bersumpah. Sumpah pemuda ini lahir dari Konggres Pemuda II. Dimana seluruh organisasi pemuda berkumpul dan sepakat untuk mengangkat sumpah, yaitu sumpah pemuda. Sebelumnya, 30 April-2 Mei 1926, para pemuda dari berbagai organisasi baik Jong Java, Jong Batavia, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain-lain berkumpul. Mereka menyatukan satu cita-cita, yaitu kemerdekaan Indonesia. Diperlukan wadah organisasi persatuan bagi para pemuda untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan itu. Dan Konggres Pemuda II menguatkan semangat memperjuangkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Para pemuda saat itu mampu melampaui batas-batas kepentingan. Baik itu kepentingan pribadi maupun kelompok. Melepaskan ego etnis, agama dan kelompok. Melebur jadi satu wadah perjuangan. Berjuang bersama, hidup atau mati untuk Indonesia merdeka. Saat itu, mereka menghadapi musuh bersama yaitu penjajahan Belanda. Penderitaan rakyat akibat penjajahan menggugah para pemuda untuk bersatu dan melakukan perlawanan. Hasilnya, 17 Agustus 1945, Indonesia pun merdeka. Pada era Soekarno, para pemuda pun bangkit kembali. Tepatnya tahun 1966. Otoritarianisme kekuasaan yang digemgang Soekarno menjadi isu bersama. Triggernya adalah pemberontakan PKI dan krisis ekonomi. Dan pada tahun 1967, Soekarno yang 22 tahun berkuasa pun tumbang secara tragis. Sedangkan era Soeharto, isunya pun sama. Yaitu otoritarianisme kekuaaan Soeharto. Dwi Fungsi ABRI dan Golkar menjadi pengawal utama Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Pada 1998, krisis ekononi menjadi trigger para pemuda, khususnya mahasiswa. Hasilnya, Soeharto pun terguling. Setelah itu, era reformasi lahir. Sudah 22 tahun. Muncul Jokowi. Banyak pengamat menilai jika di era Soeharto tentara menjadi pengawal utama, maka di era Jokowi posisi itu digantikan oleh polisi. Menurut mereka, hal ini setidaknya dilihat dari sejumlah posisi strategis bagi perwira polisi. Besarnya anggaran kepolisian, maupun keberpihakan polisi terhadap kepentingan politik istana. Lepas dari semua itu, kekuasaan Jokowi seringkali dianggap tak sejalan dengan kemauan rakyat. Berkolaborasi dengan DPR. Lahirlah banyak peraturan yang dianggap tak berpihak kepada rakyat. Gelombang protes yang begitu masif, dan terus-menerus menjadi bukti nyata adanya penolakan dan perlawanan rakyat terhadap pemerintah maupun DPR. UU KPK, UU Corona, UU Minerba, RUU HIP, dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Semuanya mendapatkan penolakan masif dari rakyat. Namun meski ditolak rakyat, semua aturan itu diketuk palu di DPR, dan ditanda tangani presiden. Sah barang itu! Tersisa RUU HIP yang masih mencari celah. Protes rakyat tak berhenti. Diantaranya dari mahasiswa dan pelajar. Beberapa mahasiswa dan pelajar ditangkap dan menjadi tersangka. Kantor GPI-PII diobrak abrik. Bahkan, ada yang mati saat berhadapan dengan aparat. Belum lagi nasib sejumlah pengkritik pemerintah. Di dalam setiap demo, selalu saja ada provokator. Entah siapa mereka, dan diutus oleh siapa. Pelaku dan otaknya terlalu canggih hingga nggak terendus. Mahasiswa dan pelajar terjebak dan menjadi korban. Pasal tindak anarkis berhasil menjerat mereka. Di luar demo, kita hanya bisa kasih nasehat, jangan terprovokasi. Jangan melakukan tindakan anarkis. Jangan terjebak tindak pelanggaran hukum. Namun nampaknya, ada pihak yang melakukan cipta kondisi agar demo anarkis dan mahasiswa bisa ditangkap. Apakah ketika sejumlah mahasiswa ditangkap akan menyurutkan mental mereka dan mengendorkan demo? Bergantung! Sebab, ada mahasiswa yang dilobi, lalu dikasih uang, kemudian berhenti demo. Ada juga mahasiswa yang ketika temannya ditangkap lalu ciut nyalinya. Ada mahasiswa yang malah nyalahin teman-temannya yang ditangkap. Mereka itu fokus urus IP, karena takut kalau lulus gak dapat kerjaan. Inilah tipologi mahasiswa pecundang, begitu kata para senior mereka. Bagi mahasiswa yang terus berteriak tak berhenti menyuarakan kepentingan rakyat untuk buruh, untuk pendidikan, untuk pribumi, untuk keselamatan bangsa, merekalah yang kelak paling siap memimpin bangsa ini kedepan. Mereka adalah para mahasiswa tangguh yang terus menjaga idealisme, patriotisme, dan nasionalismenya. Mereka terus mematangkan diri sebelum kelak estafet kepemimpinan bangsa diserahkan kepada mereka. Saat ini, isu yang dihadapi mahasiswa dan pemuda adalah kekuasaan yang otoriter. Mirip dengan yang dihadapi oleh mahasiswa era tahun 1928, 1966 dan 1998. Apakah mahasiswa sekarang akan sekuat dan sehebat para penguasa pendahulunya? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Jokowi Akan Dikudeta Siapa?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (27/10). Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto mewanti-wanti agar Presiden Jokowi waspada. Sebab kemungkinan Jokowi akan dikudeta oleh Menteri yang sedang bermanuver untuk kepentingan politik. Menteri-menteri ini akan kudeta di tengah jalan. Karena itu menurutnya ,Jokowi harus segera melakukan reshuffle kabinet. Tentu saja penyataan Darmadi Durianto ini tak jelas sasarannya. Kepada siapa yang dimaksudkan dengan para menteri tersebut. Pastinya Darmadi Durianto tidak berani juga menyebut nama. Hanya menurutnya mereka merangkak keistana mengganggu kinerja Pemerintah. Pertengahan jalan nanti akan mulai terlihat misi kepentingan politik mereka untuk kepentingan 2024. Demikian menurut Darmadi Durianto. Sebenarnya pandangan tersebut sangat kontradiksi. Sebab tidak jelas waktunya. Bibilang antara kudeta dan Pilpres 2024. Hanya isu tentang kudeta ini mengejutkan, karena disamping tidak ada dalam budaya ketatanegaraan kita, juga kudeta sipil itu mustahil bisa terjadi. Kalau toh ada yang punya keinginan, maka itu hanya hayalan semata. Dipastikan tidak akan terjadi. Ataukah yang dimaksud oleh Darmadi Durianto adalah kudeta Menteri yang berasal dari kalangan pensiunan atau mantan militer? Luhut, Prabowo, Rozi, Moeldoko atau Terawan. Luhut dalam pandangan awam sudah lama meng"kudeta" karena menjadi penentu Pemerintahan. Prabowo setelah masuk kabinet sudah berubaha menjadi "anak manis" pemuja, pemuji dan…. Jokowi. Mungkin karena kemarin jumpa Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat, sehingga patut untuk dicurigai. Fachrul Rozi, Menteri Agama yang lebih bikin susah umat beragama, terutama umat Islam. Sementara Terawan Menteri Kesehatan yang justru babak belur dihajar Corona. Terawan pasti tidak masuk dalam kualifikasi sebagai pemberontak. Apalagi Terawan nyata-nyata telah menjadi obyek yang ditunjuk-tunjuk oleh Presiden dalam beberapa rapat kebinet. Mengapa PDIP begitu khawatir akan terjadinya kudeta? Jangan-jangan seperti ini meniru pola yang dipakai jaman Pertai Komunis Inbdonesia (PKI) dulu. Dibangunlah isu politik tentang keberadaan Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terdahap Presiden Soekarno. Ternyata PKI sendiri yang mencoba untuk mengambil alih kekuasaan itu dari Presiden Soekarno. Hasilnya sejumlah jendaral dari TNI Angkatan Darat, termasuk Menteri Panglima Angkatan Darat Jendral TNI Ahmad Yani dibunuh. Politik lempar batu sembunyi tangan. Reshuffle kabinet, yang bukan untuk pembenahan kinerja, tetapi mencegah kudeta adalah sangat berbahaya. Bisa masuk semburan fitnah "firehose of falsehood". Apalagi dalam kondisi dimana tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat yang rendah kepada pemerintah Jokowi saat ini. Reshuffle kabinet untuk saat ini bukan solusi yang pas. Karena dipastikan tidak akan mampu untuk menjadi dewa yang menyelamatkan pemerintahan Jokowi dari keambrukan. Kuncinya bukan pada para Menteri. Tetapi pada Presiden yang lemah soal leadership. Jika kudeta menjadi isu yang diperbesar, maka nanti akan ada omongan orang "maling teriak maling". Seperti satpam yang diikat perampok, padahal itu adalah kerjasama antara pelakukan perampokan dengan satpam yang mengingat. Tujuannya adalah merampok bersama dengan upaya mengecoh orang lain yang dianggap bodoh. Sebuah rekayasa "playing victim". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Rezim Yang Ngotot Dan Bandel
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (26/10). Undang-Undang Omnibus Law dianggap "mission sacre" oleh Pemerintah. Perlawanan dalam bentuk unjuk rasa menjadi aksi berkelanjutan. Demo dan unjuk rasa tidak reda dengan hanya penangkapan penangkapan. Kegoncangan bukan saja di tingkat nasional, tetapi juga reaksi internasional. Para buruh marah, mahasiswa terbangun, pelajar terinspirasi, umat Islam siap siaga. Langkah pun sudah dimulai bersama. Ada tiga hal yang menjadi fenomena menarik dari sikap pemerintah atas penentangan atau unjuk rasa Undang-Undang Omnibus Law ini, yaitu : Pertama, ngotot sampai titik darah penghabisan. Taruhannya siap sampai kursi goyang atau rubuh. Kehebatan apa di belakang undang-undang otoriter ini ? Betapa kuat sang pengorder. Sepertinya berapapun "economic and political costs-nya” siap untuk dibayar. Kedua, bandel dan nakal alias ngeyel yang menganggap semua sebagai hal yang wajar. Nanti juga rakyat akan diam sendiri. Suruh saja ke MK kan saja. Paling dijewer-jewer sedikit, namanya juga "Pemerintahan Sinchan". Yang penting ujungnya bus akan jalan terus meski supir mabuk atau ugal-ugalan. Ketiga, planga-plongo. Pemerintah yang bingung mundur kena maju kena. Antara misi dan reaksi membuat sikap Pemerintah seperti orang yang "kesambet setan". Linglung berjalan sambil menghitung angka-angka dan tertawa. Pemerintah yang depresi, cemas, dan stress. Negara dalam ketidakpastian. Jokowi sudah sulit dipercaya untuk mampu mengendalikan negara ke arah yang dicita-citakan. Penampilannya kalem, namun selalu bikin kebijakan yang gaduh. Bias antara manajemen konflik dan mis-manajemen. Faktanya mengelola negara secara acak-acakan. Undang-Undang Omnibus Law adalah aturan tebal bermakna tipis. Nafsu besar tenaga kecil. Seperti keangkuhan di tengah kelemahan. Orientasi kerakyatan yang gagal. Buruh dilecehkan dan rakyat yang dinistakan. Bagai lempar makanan kepada hewan dari dalam mobil. Jika dasar penolakan itu hoaks karena dianggap buta undang-undang, maka Pemerintah lah yang telah menciptakan dan memproduksi hoaks dengan aturan yang membabi buta. Buruh itu tidak bodoh. Mahasiswa yang membantu buru itu bukan rekayasa, umat teriak karena ikut terinjak. Bus "menabrak sana sini" melesat terburu-buru untuk kejar setoran. Dunia ikut bersuara. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) telah meminta agar Undangg-Undang Omnibus Law dibatalkan karena melanggar hak-hak demokratis, hak buruh, dan lingkungan hidup. Selanjutnya "Undang-Undang ini tidak didasarkan atas ilmu ekonomi, melainkan oportunisme semata" kata Charles Santiago, Ketua APHR. Gerakan aksi buruh menentang Undang-Undang Omnibus Law didukung pula oleh organisasi serikat buruh internasional seperti Internasional Trade Union Confederation (ITU), yang menurut Said Iqbal Ketua KSPI organisasi ini beranggotakan 59 konfederasi serikat pekerja dari 34 negara Asia dan Pasifik. Kebijakan semestinya diambil dengan mudah untuk memulihkan keadaan, yakni tunda atau batalkan. Tetapi yang mudah dan simpatik ini nyatanya sangat sulit. Kesannya lebih baik mengorbankan segalanya daripada menarik kembali Undang-Undang Omnibus Law. Sungguh rezim telah menutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar aspirasi rakyatnya. Rezim memang tidak aspiratif, ngotot dan bandel. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ganjar Kerja Keras Singkirkan Puan dan Budi Gunawan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (26/10). Persaingan yang sedang terjadi di PDIP semakin ketat. Siapa yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dari PDIP? Tentu saja Megawati maju jika elektabilitasnya memungkinkan. Jika berat, setidaknya ada Puan Maharani dan Budi Gunawan. Karir Puan, baik di PDIP maupun di pemerintahan cukup bagus. Di PDIP, Puan pernah menjadi wakil ketua. Di pemerintahan, Puan menjabat Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sebelum dilantik menjadi ketua DPR sekarang. Pengalaman politik Puan Maharani dianggap lebih dari cukup jika didapok menjadi capres 2024 nanti. Dan sepertinya, Puan memang dipersiapkan oleh Megawati untuk menjadi capres 2024. Minimal Cawapres. Sayangnya, elektabilitas Puan stagnan. Jauh tertinggal dari Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dua periode. Mungkin karena Puan belum serius menggarap branding dirinya untuk nyapres. Disisi lain, posisi Ganjar Pranomo sebagai gubernur, nampaknya telah diamnaatkan secara serius, dan digarap menjadi panggung untuk menaikkan popularitas lelaki dari Purworejo ini. Menjadi drama, kata Natalius Pigai. Tim media dan medsos Ganjar bekerja efektif. Selfie di tempat karantina pasien. Sidak ke bandara, dan berpenampilan informal dengan pasang senyumnya yang khas, adalah setting pencitraan yang sukses digarap oleh tim Ganjar untuk meningkatkan popularitasnya. Ini bagian dari kerja keras yang harus dilakukan Ganjar jika ingin singkirkan Puan Maharani, dan juga Budi Gunawan. Agak mirip dengan Jokowi. Ketika popularitas Jokowi tinggi, maka terjadi gelombang dukungan dari kader PDIP untuk capreskan mantan Walikota Solo ini. Megawati terdesak, dan akhirnya tersingkir. Tahun 2014, Megawati pun digantikan Jokowi untuk menjadi capres. Apakah Puan Maharani akan tersingkir juga oleh Ganjar? Tak menutup kemungkinan perkiraan itu bakal terjadi. Jika Puan tak serius menyiapkan tim untuk branding dirinya, maka besar kemungkinan juga akan tersingkir. Seperti ibunya dulu. Apalagi lihat kerja serius Ganjar yang sangat sistematis. Apabila ini terjadi, maka trah Soekarno mungkin memang ditakdirkan sementara untuk urus partai saja. Sedangkan capres menjadi ladang untuk kader yang lain. Pebruari lalu, Indobarometer merilis elektabilitas Ganjar 11,8 persen. Rilis tersebut menempatkan Ganjar mengungguli Puan Maharani yang hanya berada di angka tak lebih dari 1 persen. Sementara survei Median, Ganjar 9,6 persen dan Puan tetap di angka 1 persen. Survei terbaru di bulan oktober, Indikator merilis elektabilitas Ganjar naik lagi jadi 18,7 persen. Tertinggi saat ini. Jika dibandingkan Puan, tentu sangat jauh. Ganjar dengan kerja keras, serius dan sistematisnya, berhasil membonsai elektabilitas Puan Maharani. Ganjar lebih pandai memanfaatkan panggungnya sebagai gubernur Jawa Tengah dibanding Puan Maharani di DPR. Juga Budi Gunawan di BIN. Elektabilitas Ganjar yang cukup tinggi dan terus naik bisa dipahami, mengingat belum ada kepala daerah atau tokoh lain yang secara serius melakukan branding dan kerja-kerja politik untuk persiapan 2024. Ganjar saat ini, dengan keseriusan dan kehebatan timnya, sedang main sendiri tanpa lawan. Pertanyaannya, kenapa Ganjar terkesan curi star? Melakukan branding dari sekarang? Bukankah pilpres 2024 masih jauh? Empat tahun lagi. Jawabannya, karena Ganjar harus menjebol dua tembok besar. Tembok pertama bernama PDIP. Untuk dapat tiket PDIP, Ganjar harus kerja keras dan memastikan elektabilitasnya jauh di atas calon yang lain. Khususnya Puan Maharani dan Budi Gunawan yang saat ini menjadi calon potensial dari PDIP. Sedangkan tembok kedua bernama e-KTP. Ganjar Pranowo harus berhasil mengalahkan isu e-KTP yang sempat dikait-kaitkan dengan nama dirinya. Dengan elektabilitas yang tinggi tersebut, isu e-KTP diharapkan akan diabaikan oleh publik. Ini alasan masuk akal, jika Ganjar untuk saat ini berusaha melawan dua tembok besar itu. Mumpung belum ada lawan. Sebagai pemain tunggal, tim Ganjar bisa terus menaikkan elektabilitasnya. Apalagi kalau mau bermain mata dengan lembaga survei, ini akan lebih mendongkrak elektabilitas. Toh masyarakat nggak bisa klasifikasi jika menyangkut hasil survei. Kecuali ada hasil survei yang lain. Sebab, dalam sejumlah survei, selain angka ilmiah, kerapkali ada angka konspirasi. Bergantung siapa yang memesan. Tetap saja, semuanya dikembalikan kepada persepsi publik. Apapun dinamika di lembaga-lembaga survei itu, kerja keras dan keseriusan tim Ganjar menyingkirkan popularitas serta elektabilitas Puan Maharani, juga Budi Gunawan, tampaknya cukup berhasil. Ini obyektif, mengingat angkanya stabil di sejumlah lembaga survei. Tanpa singkirkan Puan dan Budi Gunawan, Ganjar tak akan punya ruang untuk dicapreskan oleh PDIP. Karena itu, harus kerja keras. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.