NASIONAL
KAMI Itu Beroposisi Terhadap Ketidakadilan Penguasa
by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (31/08). Maklumat yang dikeluarkan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tidak lebih dari sebuah bentuk kegelisahan. Resah atas fenomena yang menimpa negara hari ini. Fenomena ketidakadilan yang berdampak kerusakan kehidupan bernegara. Tapi sayangnya, maklumat tersebut tidak pernah dijawab atau dibantah sesuai dengan muatan konten masalah dan argumentasi. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Mirip prilaku dan tindakan negara komunis Mao. Menyerang pribadi para deklarator secara membabi buta. "Apabila kamu tidak bisa mematahkan argumentasi lawanmu, maka seranglah pribadinya". (Mao Tse Tung). Untung saja kelakuan para buzzer dan influencer bayaran ini untuk menggembosi gerakan KAMI tidak berpengaruh terhadap masyarakat. Toh buktinya, sejak dideklarasikan tanggal 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, gerakan KAMI ini disambut berbagai daerah bagaikan gelombang tsunami tak terbendung. Sampai saat ini, setidaknya KAMI sudah dideklarasikan belasan provinsi. Saya yakin September ini insya Allah akan genap di 34 provinsi. Ini menunjukan, kemunculan kami bagaikan 'pucuk dicinta, ulampun tiba'. Ketika trias politika mati di negeri ini, KAMI hadir sebagai arus alternatif untuk melakukan koreksi terhadap rezim yang setiap hari semakin membawa kerusakan di segala lini. Wajar kelompok tertentu pendukung rezim panas dingin dengan kehadiran KAMI. Karena kalau dilihat secara arah gerakan, baik komposisi maupun personality -nya memiliki banyak keunggulan dan keunikan yang tidak bisa dianggap remeh, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pertama. KAMI adalah gerakan moral dengan nuansa kebangsaan. Dimana secara otomatis narasi radikal, intolerans, tidak bisa disematkan kepada gerakan KAMI. Sebagaimana selama ini rezim membungkam kelompok Islam. Kedua. Secara komposisi personal individu, para deklarator KAMI adalah para tokoh nasional yang mempunyai cadangan 'deposit moral' yang sangat kaya. Para tokoh nasional yang punya kredibilitas dan berpengaruh di masyarakat bawah. Sehingga upaya "blamming game" dari para buzzer rupiah murahan untuk mendegradasi ketokohan para deklarator KAMI tidak signifikan. Ketiga. Ada perimbangan keterwakilan yang apik bagaikan formulasi indah kebangsaan dari anatomi para deklarator KAMI ini. Ada dari kalangan militer dengan sosok Pak Gatot Nurmantio bersama rekan-rekannya. Ada sosok lintas agama dengan sosok Prof Din Syamsudin dari Muhammadiyah. Prof Rahmad Wahab dari NU Khittoh, Habieb Muchsin Al Athos dari Syuro FPI, KH Zainudin Rosmin dari PA 212, Bapak Bahtiar Chamsyah dari Parmusi, MS Ka'ban bersama Dr Ahmad Yani dari Masyumi Reborn. Belum lagi tokoh kharismatik KPK Bapak Dr Abdullah Hemahua, aktifis KAPPI dan HMI semasa remajanya. Begitu juga untuk kalangan non muslim ada Koh Lius, Dr Antony Budiman, dan Prof Philips bersama rekan. Tidak hanya dari kalangan keagamaan, hadir juga dari kalangan akademisi seperti Prof Hafiz, Prof Laode Kamaludin, serta para intelektual Refly Harun dan Rocky Gerung. Para pakar ekonomi Ichsanoedin Noersy, aktifis senior legendaris Bang Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Keempat. Di dalam barisan nama para deklarator KAMI, ada beberapa nama yang sebelumnya adalah bahagian dari pemerintahan. Yang tentu saja, akan banyak tahu tentang sistem pemerintahan serta jeroannya rezim hari ini apa saja. Para mantan pejabat yang secara pengetahuan dan jam terbang pemerintahannya tidak diragukan lagi seperti Dr Said Didu. Itu baru nama-nama yang muncul. Di belakang nama-nama besar tersebut tentu lengkap dengan gerbongnya masing-masing. Belum lagi para tokoh dan pejabat aktif sekalipun yang diam-diam turut memberikan dukungan dengan gerakan KAMI ini. Kelima. Momentum kehadiran KAMI sangat tepat. Ketika negara mengalami konstraksi dan titik jenuh pasca disahkannya UU Corona, UU KPK, UU Minerba, dan hiruk pikuk RUU HIP/BPIP dan RUU Omnibus Law. Karena, boleh dikatakan, matinya fungsi DPR RI sebagai alat kontrol, pengawasan dan budgetting alias tersanderanya Parpol oleh kekuasaan oligharki. negara ini seakan-akan berjalan tanpa navigasi dan semakin zig-zag menuju otoritenisme absolute. Dan ini sangat berbahaya kalau terus dibiarkan. Karena bisa memicu konflik besar yang berujung kepada disintegrasi bangsa. Negara bisa hancur lebur. Tak akan rela mayoritas rakyat Indonesia falsafah Pancasila diganti menjadi Ekasila dan Trisila yang notabenenya akan menggeser negara Indonesia menjadi berhaluan komunis. Sebenarnya masih sangat banyak lagi yang mau disebutkan, dimana intinya adalah kombinasi para deklarator KAMI bagaikan “The Avengers”-nya Indonesia hari ini. Untuk menentang para "penjahat negara" yang menjadi proxy kekuatan elit global asing-aseng untuk menjarah Indonesia. Sehingga lahirlah ketidakadilan dimana-mana. Semua dikuasai oleh segitiga oligharki (Politisi-Cukong-Pejabat). Selanjutnya. Keunggulan KAMI lainnya adalah memahami masalah secara dalam. Data-datanya faktual tidak terbantahkan. Sesuai dengan kenyataan bangsa kita hari ini yang kalau dibiarkan akan semakin sekarat. Kesimpulannya, KAMI tidak akan lahir kalau negara hari ini baik-baik saja. KAMI tidak akan mendapatkan sambutan luar biasa dari lapisan rakyat kalau apa yang diperjuangkan KAMI tidak selaras dengan kondisi bangsa hari ini. Seharusnya, kalau rezim mempunyai hati yang lurus, maka semestinya mereka tidak arogan dan justru berterimakasih kepada KAMI. Karena telah mau melakukan koreksi untuk mengingatkan bahwasanya negara sedang darurat. Sudah salah di jalan yang salah urus. Kalau bersih tak usah risih. Kalau merasa benar tak usah klepar-klepar. Kalau merasa baik, tak usah paranoid dan panik. Dari semua itu, artinya adalah KAMI beroposisi terhadap ketidakadilan hasil ulah para oknum yang telah merusak negeri ini secara sistematis. KAMI itu beroposisi terhadap setiap kebijakan yang membawa kerusakan dan kerugian negara. Kerugian yang diambil dan diputuskan oleh para penyelenggara negara. Saat ini, kerusakan ekonomi sudah parah sehingga kondisi rakyat semakin sulit. Ketimpangan penegakan hukum sungguh nyata sehingga banyak masyarakat yang teraniaya. Penyimpangan pemerintahan dan ideologi semakin menjadi sehingga negara lari jauh dari amanat konstitusi. Perampokan terhadap sumber kekayaan alam begitu jelas, sehingga negara terlilit hutang dan BUMN sebagai unit ekonomi negara terancam bangkrut. Kemiskinan dan kesulitan hidup rakyat semakin tinggi. Lapangan kerja semakin sulit. Sedangkan biaya hidup semakin naik. Semua kerusakan dan penyimpangan itu KAMI paparkan secara seksama dengan berbagai fakta bukti akurat. Tujuannya apa? Agar negara ini tidak semakin terpuruk dan bersegera melakukan pembenahan serta perbaikan. Tapi apa yang terjadi? KAMI diserang dengan berbagai bentuk caci maki, fitnah, dan komentar destruktif lainnya. Mulai dari buzzer sampai kalangan elit pemuja rezim. Tentu saja, kejadian arus balik ini semakin memperjelas "positioning" antara KAMI dengan para oknum yang berkuasa hari ini. Mereka yang lagi berkuasa dan merasa dirinya adalah sama dengan negara. Yang akhirnya terbentuk adalah pertarungan antara haq melawan kebatilan. Untuk memperjuangkan yang haq inilah, KAMI tidak akan tinggal diam dan membiarkan negeri ini dirampok dan dijarah. KAMI adalah gerakan moral. Dimana moral inilah yang sudah "defisit" dari implementasi bernegara kita hari ini. Makanya sambutan rakyat terhadap KAMI tak terbendung dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana ujungnya? Biar waktu yang menjawabnya. Yang jelas KAMI sedang menunaikan hak dan kewajibannya. Hak sebagai warga negara menyampaikan pendapat yang dijamin konstitusi pasal 28 UUD 1945. Serta kewajiban bela negara sesuai dengan pasal 30 UUD 1945. Apapun caci-maki para pendengki dan para penjahat negara terhadap KAMI. Insya Allah KAMI akan terus bergerak bersama ke seluruh rakyat Indonesia untuk menyelamatkan Indonesia. Salam Indonesia Jaya ! Penulis adalah Pemerhati Militer, Politik dan Sosial Budaya.
Ma'ruf Digoyang, Ma'ruf Juga Melawan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (31/08). Beberapa hari lalu Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S. Pane konferensi pers. Menyinggung kantor Wakil Presiden (Wapres) agar dibersihkan dari orang-orangnya Jusuf Kalla Para pendukung Ma'ruf merasa tak nyaman, katanya. Orang-orang Jusuf Kalla dianggap menjadi penghambat interaksi keluarga dan para relawan dengan Wapres Ma’ruf. Aneh! Sangat ganjil! Sulit diterima akal sehat! Orang-orang Jusuf Kalla masih kuasi kantor Wapres? Mereka menghambat para pendukung Ma'ruf masuk ke kantor Wapres? Lalu, apa kepentingan Jusuf Kalla menguasai kantor Wapres? Menjadi tidak aneh jika ungkapan Ma'ruf Amin dan para relawan yang disampaikan Neta S. Pane dipahami sebagai manuver. Bukan ditujukan kepada orang-orangnya Jusuf Kalla sebagai sasaran tembaknya. Tapi kepada Jokowi. Menyoal orang-orang Jusuf Kalla di kantor wapres hanya sebagai prolog. Tuntutan dan sasaran utamanya adalah Jokowi. Maka, dalam konferensi pers, disinggung soal reshuffle kabinet dan posisi komisaris di BUMN. Apa targetnya? Memberi peran Ma'ruf sebagai wakil presiden secara proporsional. Terutama dalam menyusun kabinet dan penempatan orang-orang sebagai komisaris di BUMN. Publik tahu, posisi Wapres selama ini hanya sebagai pelengkap konstitusi. Nyaris tak ada peran signifikan. Bahkan media pun tidak memberi ruang yang proporsional. Bagaikan burung di sangkar emas, kata Neta. Bandingkan ketika Jusuf Kalla yang jadi wapres. Nyaris seperti masa Orde Baru. Wapres hanya sebagai syarat konstitusional tanpa signifikansi peran. Hanya sesekali muncul di berita. Semua media didominasi berita tentang presiden. Presiden gendong cucu saja viral. Apalagi presiden marah-marah dan lempar bingkisan. Wajar jika wapres dan para relawannya protes. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi pertama, ada tekanan terhadap Wapres akhir-akhir ini. Maksudnya, Wapres sedang digoyang. Kemungkinan kedua, posisi presiden mulai melemah ketika dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi. Disini, Ma'ruf punya peluang bergaining. Bahkan bisa lebih dari itu. Krisis ekonomi jadi pintu masuk. APBN mengalami defisit. Diperkirakan hingga 6,72 persen dari PDB. Sekitar 1.028,6 triliun. Pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. PLN rugi Rp. 38,87 triliun. Pertamina rugi Rp. 11,13 triliun. Harga minyak dunia turun, tapi dijual dengan harga normal ke rakyat kok bisa rugi? Tanya Ahok bro. Pertamina mengalami rugi Rp. 11,13 triliun, mungkin gara-gara ngitungnya sambil merem. Nasib BUMN yang lain? Cari saja sendiri datanya! Terlalu panjang kalau ditulis di sini. Yang pasti, sejumlah BUMN telah dijaminkan untuk pinjaman infrastruktur. Ngeri-ngeri sedap barang itu. Di sisi lain, gelombang protes rakyat mulai menyebar dan semakin masif. Muncul sejumlah kelompok oposisi. Diantaranya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan oleh ratusan tokoh berpengaruh dari berbagai elemen bangsa. Juga lahirnya "Anak NKRI" tak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan 212 yang dikomandoi Habib Rizieq Shihab (HRS), Persatuan Alumni 212 dan GNPF Ulama juga masih terus eksis. Protes Ma'ruf dan para relawannya adalah cara bergaining yang boleh jadi efektif, tetapi tetap saja berisiko. Efektif, jika kondisi ekonomi makin memburuk. Apalagi upaya pemerintah mendesak Bank Indonesia melakukan burden sharing (cetak uang) nampaknya belum ada tanda-tanda berhasil. Sekarang kas negara kabarnya sedang bermasalah. Cari pinjaman luar negeri di masa pandemi juga tak mudah. Hampir punya semua negara punya masalah ekonomi yang sama. Hampir semua ekonom di luar pemerintah memprediksi ekonomi bakal collaps. Manuver Ma'ruf Amin tetap saja berisiko. Aapalagi jika Presiden Jokowi nantinya berhasil mengatasi kompleksitas masalah bangsa, terutama ekonomi. Maka posisi Ma'ruf bisa makin kehilangan peran. Bakal tambah kecewa lagi para pendukung Wapres. Bagaimanapun, terjun di dunia politik harus berani ambil risiko. Dari pada hanya sebagai pelengkap konstitusi. Pilihan untuk melawan jauh lebih rasional dan elegan. Rasional, karena Wapres mesti punya peran. Elegan, peran ini akan ditulis sebagai referensi sejarah bangsa Indonesia. Buat apa jadi Wapres kalau kelak ditulis oleh sejarah sebagai Wapres terlemah karena hanya sebagai pelengkap konstitusi tanpa peran berarti. Mundur atau melawan itu lebih terhormat. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-1)
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Senin (31/08). Pembatasan, untuk membedakan dan memudahkan dalam artikel berseri ini, maka hasil amandemen UUD 1945 kita sebut dengan UUD 2002. Baca juga Undang Undang Dasar 1945 yang diamandemen 10 Agustus 2002) tidak identik dengan Undang Undang Dasar 1945 konsensus 18 Agustus 1945. (Google). Lima kesepakatan dasar yang disusun Panitia Ad Hoc 1 MPR RI dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR RI pada 1999-2002, (Prof. Dr. Maria Farida Indrati, 18/8/2020, Webinar GKI-Panji Masyarakat) adalah 1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. 2. Tetap mempertahankan NKRI. 3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial. 4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal. 5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum. Mengapa lima kesepakatan dasar di atas ditempatkan di awal artikel ? Pertama, kesepakatan tersebut penting, ketika kita bicara seputar amandemen UUD 1945. Kedua, prinsip negara konstitusi, darul ahdi, darul mitzaq, negara kesepakatan, dimana orang wajib patuh dan tunduk apa yang telah diputus atau disepakati. (Prof. Jimly Assiddiqie, 23/8/2020, WhatsApp). Untuk membedah dan bagaimana rasa buah amandemen, Veteran Komisi Konstitusi MPR RI dan generasi muda turun gunung pada Webinar peringatan Hari Konstitusi, 18/8/2020. Webiner tersebut diselenggarakan oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia bersama Panji Masyarakat. Apa kata mereka ? Prof. Dr. Tjipta Lesamana, Guru Besar Ilmu Komunikasi, Sekretaris Tim Penyusun Laporan Akhir Komisi Konstitusi MPR RI mengtakan, implementasi gabungan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi telah dijabarkan sangat jelas dalam UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3). “Setelah amandemen, adanya ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, dinilai sangatlah kontroversial karena bernafaskan asas liberal dan kapitalis, kata Prof. Tjipta. Demokrasi ekonomi yang dicita-citakan telah dibunuh sistem kapitalisme liberal sejak reformasi. Jurang antara kaya dan miskin di Indonesia terus melebar. Menurut Bank Dunia sebagian besar penduduk hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Namun, orang yang super kayapun semakin banyak. Selama masih ada ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, omong kosong Indonesia bisa adil makmur yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan UUD 1945, nyaris membawa Indonesia ke arah sistem oligarki. Kekuasaan politik di pemerintahan dan parlemen, secara efektif dipegang oleh kelompok kecil elit politik. Khusus implementasi ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, juga ikut merusak sebagian dari tantanan hukum, tantanan pendidikan, kebudayaan dan pergaulan sosial. Ditambah tidak adanya penjelasan, membuat pasal-pasal dalam UUD 2002, sangat multi interpretatif. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH, MH, Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan, Anggota Komisi Konstitusi MPR RI, Hakim Konstitusi MK 2008-2018 menyoroti hilangnya marwah MPR sesudah perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 memang tidak tabu. Namun disayangkan, perubahan tidak dimulai dari pasal yang awal sampai pasal yang terakhir, sehingga secara “Sistematika Kelembagaan” telah menimbulkan kerancuan dalam rumusan dan implementasinya. Walau tidak terucap oleh Prof. Maria, namun kesepakatan dasar yang disusun PAH 1 MPR RI dalam perubahan UUD 1945 ada dimakalahnya. Kita tahu, perubahan UUD 1945 tidak dengan cara adendum. Artinya, ada ketidakpatuhan dalam perubahan UUD 1945 terhadap hal yang sudah disepakati. Eksistensi MPR RI secara kuantitas, sebelum perubahan memiliki tiga fungsi. Namun setelah perubahan, memiliki lima fungsi. Secara kualitas, fungsi MPR sebelum perubahan lebih bagus atau bergengsi, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar, membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 dan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945). Setelah perubahan, setiap lima tahun sekali hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden, yang sifatnya seremonial. Sedang empat fungsi lainnya jika perlu saja. Pertanyaan kritisnya, dengan tidak adanya Tap MPR, siapakah yang menetapkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia ? Sebab, KPU hanya menetapkan pasangan Capres dan Cawapres pemenang Pemilu. Membingungkan bukan ? MPR bukan lagi pelasana kedaulatan rakyat, walaupun pelaksana kedaulatan tersebut kemudian dimandatkan kepada Presiden terpilih. MPR tidak sehebat sebelum perubahan, maka tidak heran banyak pihak menganggap yang berlaku saat ini bukan UUD 1945, kata Prof. Maria diplomatis. Dr. Laode Ida, Tokoh Muda Gerakan Reformasi, Anggota Komisi Konstitusi MPR RI menambahkan, semangat mudanya untuk membawa negara lebih baik. Dengan cara menuntut perubahan konstitusi. Mengubah pemilihan Presiden dari dipilih sekelompok orang, menjadi dipilih rakyat langsung. Begitu juga halnya pemilihan Kepala Daerah, untuk menghindari pemilihan lewat DPRD yang rawan dibayari oleh para pemilik modal. Di masa reformasi, Dr. Laode menjabat di DPD dan Ombudsmen RI. Banyak peristiwa di Indonesia yang dibacanya. Pilpres dan Pilkada secara langsung, telah megubah wajah demokrasi Indonesia. Celakanya, pemilik modal ternyata memiliki kemampuan membeli suara rakyat Indonesia. Suka tidak suka, demokrasi ala Indonesia saat ini telah membuat kerusakan yang sangat masif, kata Laode Ida. Persoalan lain, seperti disampaikan Prof. Tjipta , adanya ayat (4) Pasal 33 UUD 2002. Persoalan sumber kekayaan alam yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, nyaris dikuasai asing. Bagaimana mungkin satu orang bisa menguasai sejuta hektare lahan. Ada hal yang sensitif dan merisaukan, yaitu hilangnya syarat Presiden orang Indonesia asli dalam UUD 2002. Pada tingkat tertentu, ketentuan ini digugat oleh orang-orang daerah, tatkala ada atas nama pemerintah pusat dan kebijakan nasional, terkait dengan penguasaan dan pengelolaan sumber kekayaan alam oleh asing. Siapakah sesungguhnya yang berdaulat? Apa kita harus membangunkan bapak pendiri negara yang sudah wafat dan tanya apa yang dimaksud “orang Indonesia asli”? Secara sosio-antropologis, orang Indonesia asli itu mereka yang secara turun menurun di Indonesia, menempati suatu ruang, pulau, tempat dan sejarah etnik ada di situ. Di luar terminologi itu, bukan orang Indonesia asli, kata Dr. Laode Ida. “Apabila kita ingin mengembalikan ruh konstitusi, persoalan format kedaulatan rakyat dalam Pilpres dan Pilkada, ayat (4) Pasal 33 UUD 2002 dan syarat Presiden orang Indonesia asli, itulah yang perlu didiskusikan”, tutur Dr. Laode Ida tokoh yang dulu menuntut perubahan konstitusi itu menutup pendapatnya. Bagaimana pendapat Generasi Muda dan tokoh lainnya dalam Webinar? Silakan baca “Membedah dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 ( Bagian-2) Generasi Muda Turun Gunung”. Lebih melengkapi, ditinjau dari perspektif lain. Semoga bermanfaat, amin. (bersambung). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Rocky Gerung de Plato
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Senin (31/08). Rocky Gerung (Roger) telah memberi ceramah sepuluh menit yang menakjubkan dalam rapat perdana Majelis Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di Pendopo milik Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, beberapa hari lalu. Pertama, Roger mengatakan bahwa untuk bersekutu dengan KAMI dia harus naik ke Gunung Pancar. Roger merobek bajunya serta menuliskan KAMI pada robekan itu. Setelah Roger lalu menancapkan pada sebuah pohon di puncak gunung. Kedua, dari Gunung Pancar itu dia melihat sebuah Pendopo yang angkuh. Yang suatu saat nanti, akan dia lumpuhkan keangkuhan pendopo itu. Hanya berselang beberapa waktu ternyata dia berpidato di pendopo tersebut (acara KAMI). Ketiga, Roger mengatakan bahwa di puncak Gunung Pancar itu, dia memikirkan dua hal, yakni a) Rolling Stone. Sebuah batu besar yang berguling dari puncak gunung itu mungkin akan berakibat pada dua hal, yakni a. 1) batu besar itu tidak menyisakan bekas apapun pada bagian luarnya. Bahkan bekas lumut sekalipun. a. 2) Namun batu besar yang berguling itu dapat membuat batu-batu di sekitarnya ikut berguling bergelinding ke bawah sehingga membuat perubahan struktur gunung itu. Pikiran lainnya, b) Roger menemukan kekeringan pada desa-desa di Gunung Pancar. Karena sumber air disedot oleh properti-properti mewah milik orang kaya di kaki Gunung Pancar. Petani dikorbankan oleh situasi itu. Roger memukau KAMI dalam pidato singkatnya. Karena Roger dapat menjelaskan kerangka perjuangan KAMI dengan dialektika yang baik. Roger menjelaskan arah perjuangan KAMI adalah menjadikan orang-orang miskin di puncak Gunung Pancar harus lebih mulia daripada orang-orang kaya raya di bawah gunung itu, di Sentul. Roger menjelaskan strategi perubahan harus melihat tanda-tanda alam dan melihat bergulirnya bebatuan. KAMI sebagai "batu besar" harus mampu menggerakkan bebatuan lainnya bergulir dan merubah struktur pegunungan (perubahan sosial besar). Roger adalah bapak filsuf Indonesia. Seperti Plato, Roger mengalami transformasi dari "pure reason" menjadi juga "empiricism". Pembahasan Roger terhadapa segala hal, sebagaimana Plato muda, harus mengutamakan akal sehat. Jika tidak bisa dicerna akal sehat, maka apa yang bisa didiskusikan? Namun, perenungan Roger dari gunung ke gunung, seperti juga Himalaya beberapa tahun lalu, membawa Roger percaya pada kekuatan alam semesta. Dalam "pure reason", Roger juga sering menyelipkan kata-kata tentang hukum alam dan kekuatan alam. Dari sinilah Roger berinterseksi dengan kalangan agama yang menempatkan kekuatan "beyond ratio" pada Tuhan Yang Maha Esa. Ruang interaksi itu membuat perubahan besar Roger muda dengan Roger saat ini, dimana dirinya banyak berinteraksi dengan para agamawan, khususnya kalangan ulama. Pengamatan atau observasi Roger atas nasib petani yang kekurangan air, membawa Roger dari filsup "prepositional knowledge" ke arah sosiolog. Tesa, Anti Tesa dan Sintesa tidak lagi terjadi karena (ala hegelian) perbenturan idea, namun Roger menemukan jawaban dari observasi (pengamatan). Fakta dan tafsir atas fakta menjadi penting dalam bagian hidup Roger. Fakta dan tafsir atas fakta pada kehidupan Plato telah pula merubah Plato, yang awalnya percaya demokrasi menjadi ragu terhadap demokrasi. Kematian gurunya, Socrates, dihukum mati, di era demokrasi Yunani, membawa Plato terguncang. Roger sepanjang hidupnya adalah pejuang demokrasi. Di masa otokrasi Orde Baru, Roger telah ikut mendirikan Fordem (Forum Demokrasi), yang melawan Suharto. Forum Demokrasi sangat terkenal didirikan antara lain oleh Gus Dur, Marsilam Simanjuntak, Rahman Toleng. Dua nama terakhir adalah bagian guru politik Roger. Namun, Roger melihat sepanjang dua puluh tahun belakangan ini, demokrasi telah ditunggangi dan dikangkangi pemilik modal dan kaum oligarki lainnya. Oligarki yang membuat antara lain, petani-petani kehilangan air karena disedot properti mewah orang-orang kaya. Dua puluh tahun, atas nama demokrasi, perampokan sumber daya alam kita terjadi dan tidak menyisakan bagian orang-orang miskin. Bisa jadi jalan demokrasi bagi Roger sedang dicurigainya, sebagaimana yang terjadi pada Plato, yang akhirnya menolak demokarasi. Namun, tampaknya Roger masih menyimpan demokrasi sebagai yang terbaik. Penutup Debat Roger dengan seorang pejabat negara dari Kementerian Kominfo , yang juga Guru Besar Universitas Airlangga, dua hari lalu di sebuah stasiun TV swasta, telah diikuti dengan hujatan sang Guru Besar bahwa Roger memberi dua manfaat di Indonesia katanya. 1) Roger telah menyatukan mereka yang dinilai kelompok intolerant. 2) Roger membantu Guru Besar tersebut memperbanyak follower tweeter-nya. Penjelasan saya di atas sebelumnya, telah menjelaskan bahwa Roger adalah pewaris pikiran kaum liberal. Pikiran yang di jaman Belanda dan Kemerdekan, disebut orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun, paska kematian Dr. Syahrir dan kematian Rahman Toleng, gurunya, transformasi telah terjadi pada Roger. Roger telah mengasah dirinya menjadi kekuatan pencerah bagi bangsa dan perjalanan cita-cita bangsa. Istilah intoleran, misalnya, dalam pandangan kekinian Roger bukanlah sekedar pembelahan sosiologis. Namun intolerant bagi Roger adalah kritikan kepada orang-orang kaya supermewah di kaki Gunung Pancar. Mereka yang telah merampok air dari orang-orang petani miskin di wilayah atasnya. Kelompok intoleran bagi Roger bukan lagi mayoritas Islam yang ingin menegakkan Kalimat Tauhid. Namun adalah segelintir orang yang menguasasi 80% kekayaan bangsa kita. Mereka yang menjadikan orang-orang miskin menjadi pengemis di negerinya sendiri. Professor atau bukan, buat Roger adalah soal kecil. Sebagaimana ejekan guru besar itu padanya. Bagi Roger, guru besar jika otaknya kecil, akan tidak bermakna apa-apa. Tidak ada manfaatnya, termasuk untuk snag guru besar. Dalam sejarah "Genocide" pada jutaan orang-orang Jahudi di Jerman di masa Hitler adalah karena hampir semua guru besar terlibat mendukung kebijakan Hitler. Sebagai seorang filsup, kekuatan Roger adalah di "otak besar" yang melampaui batas-batas epistemologi dan methodologi. Sebab epistemologi dan methodologi seringkali menjerat kaum cendikiawan pada tanggung jawab kemanusiannya. Sebagai filsup, Roger telah menjadi candu bagi anak-anak milenial dan emak emak untuk kembali belajar filsafat (sebuah ilmu yang rumit dan membosankan). Kemampuan Roger mencerahkan manusia dengan akal sehat dan mudah dipahami, membuat Roger mampu menghimpun banyak pebgikut, "No Rocky, No Party". Guru Besar Airlangga itu kagum kepada Roger, karena bisa menambah jumlah followers setelah debat dengan Roger. Dalam masa tranformasi dunia saat ini karena pandemi (digitalisasi total kehidupan, deglobalisasi, dan social justice) peranan filsup sangat dibutuhkan, disamping ulama-ulama dan tokoh-tokoh agama. Mudah-mudahan Roger akan sebesar atau lebih besar dari Plato nantinya. “Bravo Roger” Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Menguliti KAMI
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (30/01). Kehadiran Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia(KAMI) mengejutkan Jokowi, Prabowo, Megawati dan publik secara luas. Dunia akademik juga terkejut, karena sebagian besar kelompok oposisi intelektual berkumpul dalam satu entitas koalisi untuk menyelamatkan Indonesia. KAMI muncul di banyak daerah, bahkan di sejumlah negara, terbaru saya dengar di Australia. Reaksi di luar KAMI cukup beragam dan menarik. Relawan Jokowi membentuk tandingan bernama Kerapatan Indonesia Tanah Air(KITA). Sejumlah politisi partainya Prabowo bersuara miring terhadap KAMI. Megawati juga merespon langsung bahwa KAMI kumpulan orang-orang yang ingin jadi Presiden. Publik dan media, baik mainstream maupun non mainstream berhari-hari mendiskusikan keberadaan KAMI dan sejumlah kritik-kritiknya pada pemerintah. Kelompok buzzer menyerang personal tokoh-tokoh KAMI. Bukannya mendebat gagasanya atau kritik-kritiknya. Bahkan peretasan terjadi pada akun media sosial Din Syamsudin, salah satu Deklarator KAMI. Buzzer menyebut KAMI ini kelompok orang-orang sakit hati. Rocky Gerung, salah satu Deklarator KAMI menyebut penguasa dan para buzzer sebagai kelompok sakit jiwa. Sakit hati adalah perbuatan melawan sakit jiwa. Keduanya sama-sama sakit. Entah mana yang sakitnya stadium satu, mana yang stadium empat. Bagaimana secara singkat fenomena ini dibaca dan dikuliti dengan menggunakan perspektif sosiologi politik? Sebagai akademisi, saya tidak ingin terjebak dalam tarikan analisis yang subyektif. Tentu pijakan analisisnya mesti scientifict. Berbasis data dan meminjam beberapa perspektif teori Sosiologi Politik. Cara membacanya bisa menggunakan indikator social movement yang beragam tidak tunggal. Menghindari cara menguliti dengan indikator tunggal sejenis seperti yang ditulis Zeng Wei Jian di akun facebook nya dengan judul "Tidak Ada Gerakan Moral", menguliti KAMI tetapi rujukanya political movement David S. Meyer dan Ralp W Nicholas. Ya, kesimpulanya jelas, karena paradigma analisisnya menggunakan analisis gerakan politik pasti kesimpulanya KAMI gerakan politik. Ini kutipan yang ditulis Zeng Wei Jian : A political movement is a collective attempt by a group of people to change government policy or society with mainly political goals. Jelas perspektifnya political movement, ya pasti kesimpulanya KAMI ditempatkan sebagai gerakan politik. Itu mirip ada satu gelas air putih lalu diberi setengah gelas garam. Lalu diaduk, dan buat kesimpulan itu air garam, padahal obyek asalnya adalah air putih. Coba kita kuliti KAMI dari perspektif yang berbeda. Menempatkan KAMI sebagaimana adanya. Diantaranya dengan menggunakan perspektif social movement theory, atau teori gerakan sosial. Ada banyak teori yang bisa digunakan. Tetapi dalam artikel singkat ini, cukup satu atau dua rujukan saja yang digunakan. Diantaranya perspektif Jurgen Habermas. Jurgen Habermas ketika menjelaskan fenomena gerakan sosial, mengemukakan bahwa social movement dipahami sebagai devensive relations to defend the public and private sphere of individuals againts the inroad of the state system and market economy (Gemma Edwards, Habermas and Social Movement Theory, 2009). Perspektif Habermas tersebut, menggambarkan bahwa sesuatu disebut gerakan sosial, jika terjadi relasi defensif antar anggota masyarakat yang terkonsolidasi untuk melindungi ruang publik dan private mereka. Akiabatnya, masyarakat melakukan perlawan, karena tekanan dari negara (state system) maupun ekonomi pasar (market economy). Sementara menurut Anthony Giddens ( Politics, Government and Social Movements , Sociology 7th Edition, 2013), gerakan sosial dimaknai sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama. Juga gerakan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lembaga- lembaga formal yang mapan. Dari perspektif Habermas dan Giddens diatas, sudah cukup untuk menempatkan KAMI sebagai gerakan sosial. Karena telah terpenuhinya sarat. Diantaranya sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Melindungi ruang publik dan privat (hak individu sebagai pribadi dan sebagai warga negara). Adanya tindakan kolektif (bergerak bersama). Dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga formal mapan, tetapi oleh KAMI yang baru berdiri 18 Agustus 2020 lal. Entitasnya sangat cair, dan non formalistik. Bisa juga meminjam perspektif Sidney Tarrow dalam bukunya Power in Movement : Social Movements and Contentious Politics(2011). Sidney Tarrow yang menjelaskan bahwa sebuah gerakan sosial setidaknya memiliki empat indikator empirik penting. yaitu collective challenge, common purpose, social solidarity, and sustained interaction. Perspektif tersebut menegaskan bahwa dalam gerakan sosial, ada tantangan kolektif yang diyakini bersama. Juga ada tujuan bersama yang ingin dicapai, ada solidaritas sosial, dan adanya interaksi yang berkelanjutan antar mereka. Dengan meminjam perspektif Sydney Tarrow dan membaca fakta KAMI melalui analisis media, dan pengamatan langsung, maka KAMI memenuhi indikator sebagaimana yang ditulis SidneyTarrow sebagai gerakan sosial. Dalam indikator collective challenge, common purpose, social solidarity, and sustained interaction itulah moralitas gerakanya (misi besarnya) bisa dianalisis. KAMI bisa ditempatkan sebagai gerakan sosial berbasis pada kesamaan moralitas. Baik dalam melihat tantangan yang dihadapi, tujuan bersama yang ingin dicapai, solidaritas sosial yang dibangun dan kontinuitas jaringan yang terbentuk. Hal tersebut sesungguhnya juga terlihat jelas pada naskah jati diri KAMI dan Maklumat Deklarasi KAMI. Menganalisis isi dokumen secara mendalam dari sebuah entitas yang kita teliti adalah diantara cara scientifict di bidang ilmu-ilmu sosial. Itulah sebabnya KAMI dapat dibenarkan menyebut dirinya sebagai gerakan moral, karena pengakuan identitas dirinya dalam jati diri KAMI sebagai gerakan moral. Visi besarnya dalam Maklumat Deklarasi KAMI untuk membenahi negara melalui jalur oposisi non partai politik adalah juga moralitas gerakanya yang lebih memperjelas. Posisi KAMI sebagai gerakan moral nampaknya lebih menyulitkan kelompok penguasa dalam mematikan langkah KAMI. Apalagi kemudian dengan jejaring yang semakin luas. KAMI juga sesungguhnya bisa dikuliti dari sisi aktor atau tokoh-tokoh yang terlibat. Secara umum mayoritas tokoh KAMI adalah tokoh dari kalangan terpelajar, cendekiawan, tokoh agama, purnawirawan tentara atau polisi, kelompok profesional, pebisnis, pegawai BUMN, mantan pejabat, jurnalis, buruh, petani, nelayan, mahasiswa, dan rakyat jelata. Dari sisi aktor, sulit untuk memposisikan KAMI sebagai gerakan politik. KAMI hanya tepat ditempatkam sebagai gerakan sosial yang berbasis moralitas bersama (gerakan moral). Bukan gerakan politik. Jika posisi gerakan moral ini konsisten, maka kehadiran KAMI akan terus dirindukan rakyat banyak, terutama dirindukan oleh rakyat jelata. Penulis adalah Analis Sosial Politik UNJ & Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS)
Catatan Buat Pak Jokowi, "Bangsa Indonesia Dibelah"
by Prof. Dr. M. Amien Rais Jakarta FNN – Sabtu (29/08). Sudah seharusnya kita bangsa Indonesia melakukan kritik dan koreksi atas perjalanan bangsa yang telah kita lewati. Koreksi yang jujur, berani dan seobjektif mungkin. Agar kita mampu melihat apa saja masalah-masalah nasional yang perlu kita angkat ke permukaan, secara apa adanya. Namun segera harus kita catat, bahwa tulisan singkat ini hanyalah mengemukakan puncak- puncak masalah. Tentu diperlukan sebuah tulisan tebal bila kita ingin menyajikan telaah yang relatif lengkap tentang kondisi bangsa Indonesia dewasa InI. Saya sadar, tidak ada satu analisis atau gagasan mengenai apa saja, yang tidak menimbulkan sikap pro dan kontra. Saya tentu siap menerima kritik, koreksi dan bantahan serta masukan lain.Bahkan dengan senang hati saya ingin melakukan diskusi terbuka dengan siapa pun tentang apa yang saya kemukakan secara terbuka ini. Demokrasi sejati selalu membuka lebar kran pertukaran gagasan supaya muncul pilihan-pilihan alternatif bagi seluruh anak bangsa. Pilihan yang bersifat pro bono pub/ico. Pilihan yang menguntungkan kepentingan orang banyak, sepantasnya menjadi pilihan kita.Sedangkan pilihan yang bersifat eksklusif untuk sekelompok kecilyang cenderung memangsa (predatorik) kepentingan bangsa atau kepentingan nasional, biarlah terlempar ke sampah sejarah. Saya lihat dan cermati bahwa dalam pergaulan antar bangsa, dewasa ini Indonesia yang kita cintai bersama semakin tidak bersinar. Malahan semakin meredup. Kekuatan-kekuatan anti ke-Tuhanan nampak semakin beringas dan berani. Kemanusiaan kita bisa dikatakan cenderung menjadi kemanusiaan agak zalim dan tidak lagi beradab. Persatuan Indonesia semakin goyah. Ini karena politik rezim tidak memiliki kesadaran bahwa politik adu domba atar kekuatan sosial-politik dengan harapan rezim penguasa semakin kuat dan stabil, justru dapat menghancurkan bangsa seluruhnya. Kerakyatan kita kini cenderung membuang hikmah serta keunggulan prinsip permufakatan, permusyawaratan dan perwakilan. Mayoritas rakyat kecil kita belum merasakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa. Tetapi lebih sering menderita dan menikmati kezaliman sosial dari mereka yang berkuasa dan berharta. Saya membaca perkembangan kehidupan politik, sosial, ekonomi, penegakan hukum serta kehidupan moral bangsa terus mengalami kemerosotan. Kehidupan yang tidak memiliki pijakan yang kokoh diatas akhlaq, moralitas atau etika dapat dipastikan akan meluncur ke bawah.Tidak mustahil pula proses kemerosotan multidimensional itu membuat semakin redup kehidupan bangsa kita. Menjadikan bangsa Indonesia seolah tanpa masa depan. Sejak Jokowi menjadi presiden pada periode pertama ( 2014-2019), dan diteruskan pada periode kedua sampai sekarang, perkembangan politik nasional bukan semakin demokratis. Malahan kian jauh dari spirit demokrasi. Tidak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik dimasa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan Jokowi terhadap umat Islam yang bersikap kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Kriminalisasi, demonisasi, dan persekusiterhadap para ulama yang beramar ma'ruf dan bernahi-munkar telah menjadi rahasia umum. Sebagai Presiden, seharusnya Jokowi berpikir, bekerja dan terus berusaha supaya tidak jadi pemimpin partisan. Membela sekitar separuh anak bangsa. Menjauhi, bahkan kelihatan memusuhi sekitar separuh anak bangsa lainnya. Politik partisan semacam ini tidak bisa tidak, cepat atau lambat membelah bangsa Indonesia. Tidak boleh seorang Presiden terjebak pada mentalitas "koncoisme”. Sekeping contoh bisa dikemukakan. Tatkala jutaan umat Islam berunjuk rasa secara damai, tertib, bersih dan bertanggung-jawab pada tanggal 4 November 2016, tiga orang utusan mereka ingin bertemu dengan Jokowi.Tetapi ditunggu dari pagi sampai larut senja, Jokowi pada hari itu seharian meninggalkan istana.Alasannya, ada satu urusan teknis harus diselesaikan di bandara Sukarno-Hatta. Sampai sekarang penyakit politik bernama partisanship itu tetap menjadi pegangan rezim Jokowi dalam menghadapi umat Islam yang kritis terhadap kekuasaannya. Para buzzers bayaran dan juga para jubir istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun televisi, semakin menambah kecurigaan banyak kalangan terhadap politik Jokowi yang beresensi politik belah bambu. Menginjak sebagian dan mengangkat sebagian yang lain. Penulis adalah Ketua MPR Periode 1999-2004.
Masirah Al Kubra Luruskan Kesesatan Penyelenggara Negara
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Agak lama umat menunggu Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan Maklumat kembali yang berisi tahzir (peringatan). MUI yang menolak dengan tegas tanpa kompromi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) karena substansi materi keduanya dinilai sama. Memberi ruang untuk berkembangnya neo PKI dan faham komunisme. Merujuk pada hasil Kongres Umat Islam 2020 di Pangkal Pinang , yang meminta kepada Presiden agar BPIP segera dibubarkan. Pernyataan tegas MUI yang sudah disiapkan itu bagus dan juga menggigit, terutama sikap tegas bahwa Kepres No 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila agar segera dicabut. Kepres ini menjadi sumber penyelewengan atas tafsir Pancasila. Hari lahir Pancasila itu bukan pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi 18 Agustus 1945. Karenanya Pemerintah sepantasnya mengeluarkan Kepres baru yang menetapkan hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Pancasilan tanggal 1 Juni 1945 adalah Trisila dan Ekasila, serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Bukan Ketunanan Yang Maha Esa seperti Pancasila 18 Agustus 1945. Bagi MUI yang sejak awal menegaskan penolakan RUU HIP, yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP, itu memenuhi dua kewajiban. Pertama, kewajiban syar'i . Kedua, kewajiban kebangsaan dalam rangka penegakan kesepakatan. Ini artinya baik RUU HIP yang menjadi inisiatif DPR dan RUU BPIP yang menjadi usulan Pemerintah adalah bukti dan wujud penghianatan dari kesepakatan bangsa Indonesia. MUI sebagai lokomotif perjuangan umat Islam Indonesia, tentu sangat merasakan kegelisahan umat. Sekarang umat Islam merasa bahaya terhadap bangsa dan negara andai kedua RUU tersebut ditetapkan sebagai Undang Undang. Karenanya sedemikian serius MUI mewanti-wanti, bahkan sangat mungkin mengancam atas pengabaiannya. Bila sikap Pemerintah dan DPR tetap bersikukuh mempertahankan kedua RUU tersebut, maka tidak ada jalan lain, selain melakukan al masirah al kubra (parade akbar) sebagai jalan konstitusional untuk meluruskan kesesatan yang dilakukan para penyelenggara negara. Demikian sejak dini dikemukakan MUI. Bahkan telah menyebut persiapan panglima segala. Model "warning" yang seperti ini semestinya menjadi perhatian, baik Pemerintah maupun DPR, agar segera mengoreksi diri. Membuat keputusan untuk tidak melanjutkan pembahasan terhadap RUU HIP dan RUU BPIP. Bahkan sebaiknya batalkan dan cabut segera dari Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2020 . Juga segera laksanakan pembubaran BPIP. Jika peringatan MUI dikeluarkan, maka hal itu merupakan peringatan keagamaan. Bukan peringatan politik atau lainnya. Karenanya pernyataan bahwa al masirah al kubra adalah "jalan untuk meluruskan kesesatan" menjadi peringatan yang bermuatan syar'i. Umat Islam tentu saja bersiap-siap untuk merespon secara konstruktif seruan MUI tersebut. Tentu dengan risiko dan semangat berkorban apapun untuk agama yang diyakini kebenarannya. Bangsa dan negara harus diselamatkan dari kemungkinan rencana penyelewengan terhadap ideologi Pancasila, yang dilakukan secara terselubung. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Kenapa Pemerintah Beroposisi Terhadap KAMI?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia KAMI) muncul dengan maklumatnya, publik jadi ramai. Umumnya masyarakat positif menyambutnya. Bahkan cukup rakyat antusias. Ada dua indikator. Pertama, berita media. Sangat masif pra dan pasca deklarasi KAMI. Kedua, berdirinya sejumlah KAMI di daerah. Meski begitu, ada juga yang kontra. Terutama dari sejumlah elit dan pendukung pemerintah. Mereka nampak gerah dan merasa nggak nyaman. Tentu saja mereka punya alasan mengapa gerak dan nggak nyaman. Soal rasional tidaknya alasan ketidaknyamanan itu, biar rakyat yang akan menilai. Kegerahan itu terlihat dengan munculnya sejumlah statemen negatif. Bahkan juga muncul tandingan terhadap KAMI. Lahir komunitas yang mengatasnamakan KITA, KALIAN atau KAMI dengan singkatan yang berbeda-beda. Karena sifatnya reaktif, apalagi hanya sebagai tandingan, biasanya nggak lama. Muncul, lalu segera tenggelam. Gerakan tanpa militansi dan orientasi perjuangan biasanya nggak bertahan lama. Apalagi jika bergantung biayanya. Beberapa tokoh membuat tudingan yang cenderung menyudutkan KAMI. Mereka menganggap KAMI adalah kumpulan barisan sakit hati. Nggak siap menerima kekalahan. Pingin jadi presiden, dan makar. Tudingannya macam-macam. Anehnya, mereka yang melakukan kritik terhadap KAMI umumnya tidak bicara substansi. Lima hal yang menjadi bagian dari maklumat KAMI terkait persoalan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan HAM serta Sumber Daya Alam, nyaris tak disinggung. Yang disorot justru organisasi dan para tokohnya dengan berbagai stigma dan tuduhan yang nggak perlu. Semacam tuduhan yang kekanak-kanakan. Sebaiknya perlu baca dulu maklumat KAMI. Pahami, lalu bahas dan diskusikan isi maklumatnya. Kalau sudah baca, lalu sengaja mengabaikan, karena dalam maklumat tersebut ada kebenaran data. Makanya tentu ini bukan saja nggak fair, tetapi juga gak mendidik bagi rakyat. Mestinya, para pengkritik KAMI membaca, lalu pelajari lebih dulu substansi dan konten maklumat KAMI. Jadikan konten itu sebagai tema diskusi. Adu data dan analisis yang jauh akan lebih konstruktif. Memberikan referensi yang baik dan dapat mencerdaskan rakyat. Tapi, jika yang disoal adalah organisasi gerakan dan para tokohnya saja. Apalagi dengan cara menyeebar fitnah, dan sibuk membuat tuduhan, maka hal ini hanya akan menjauhkan bangsa dari substansi persoalan yang sedang dihadapi. Tahu-tahu sudah krisis saja. Tahu-tahu bangkrut saja. Tahu-tahu meledak dan terjadi gejolak sosial saja. Tahu-tahu dan kemungkinan-kemungkinan itu dan inilah yang jauh lebih berbahaya untuk bangsa ini nantinya. Karena itu, gerakan seperti KAMI dan sejenisnya perlu hadir sebagai alarm. Sebelum negara ini semakin terpuruk dan terlambat untuk diatasi permasalahannya. Ada ungakapan, "orang bodoh selalu melihat siapa yang bicara. Orang pintar selalu melihat apa (konten) yang dibicarakan. Dan orang beradab selalu melihat nilai (value) di balik konten yang dibicarakan". Nah, silahkan pilih sendiri, anda mau masuk ke kelompok mana? Supaya tidak dianggap masuk yang "bodoh", maka sebaiknya semua pihak mestinya melihat maklumat KAMI sebagai tema diskusi kebangsaan hari ini. Dari sinilah rakyat belajar dan bagaimana ikut ambil peran menghadapi persoalan negaranya. Dalam konteks ini, nampaknya KAMI lebih siap untuk beradu gagasan dan data. Kesiapan itu terlihat dari kredibilitas para tokohnya yang tampil ke permukaan. Soal ekonomi, ada Said Didu, Ichsanuddin Noersy, Budhiyanto dan Didik J. Rachbini. Ekonom Rizal Ramli, kendati tak berada di struktur KAMI, tapi selalu mendukung dan satu pandangan dengan KAMI dalam analisis ekonominya. Soal Hukum, ada Refly Harun, Abdullah Hehamahua, Joko Edy, Ahmad Yani dan sejumlah advokat. Soal politik, ada Gatot Nurmantyo, Husnul Mariyah, Ubaidillah Badrun, Bachtiar Hamzah dan Tamsil Linrung. Soal Sumber Daya Alam ada Marwan Batubara yang aktif menulis tentang persoalan minerba. Soal sosial budaya, ada Din Syamsuddin, Rachmat Wahab, dan Jeje Zainuddin. Tokoh-tokoh yang jumlahnya ada 150 ini punya kapasitas di bidangnya masing-masing. Jumlah tokoh yang bergabung ke KAMI terus bertambah. Apalagi ada program KAMI berbasis profesi. Kabarnya akan lahir KAMI mahasiswa, KAMI kedokteran, KAMI advokat, KAMI purnawirawan, KAMI buruh, KAMI petani, KAMI nelayan, dan KAMI-KAMI yang lain. Jika ini terealisir, tentu akan menjadi potensi yang besar untuk berkontribusi kepada bangsa, sesuai bidang masing-masing. Pemerintah bisa manfaatkan mereka sebagai sparing partner dalam membangun gagasan dan kebijakan. Bukan sebaliknya, sibuk mencari kesalahan dan melakukan pembunuhan karakter terhadap para tokohnya. Itu prilaku picik, amatiran, kacangan, kaleng-keleng, odong-odong dan beleng-beleng. Tentu, ini tidak baik bagi proses pembelajaran politik dan demokrasi kita. Pemerintah dan DPR mestinya berterima kasih kepada para tokoh dan anak bangsa yang ikut membantu secara aktif menyelamatkan Indonesia dari krisis, terutama ekonomi, hukum dan politik. Mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap bangsa dan negaranya. Dengan jiwa nasionalismenya, gerakan semacam KAMI inilah yang dapat mencegah terjadinya deviasi, distorsi dan disorientasi pengelolaan negara, dari nilai dasar dan cita-cita bangsa. Terutama di tengah DPR yang sedang kehilangan spiritnya untuk menjalankan tugas kontrolnya. Jangan justru sebaliknya, pemerintah malah merasa gerah dan berupaya mengganjal KAMI. Nggak lucu kalau kemudian pemerintah mangambil sikap oposisi terhadap KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Presiden Dilarang Membual
by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (26/08). Peradaban manusia, yang di dalamnya termasuk peradaban hukum dan politik telah menulis takdirnya sendiri. Sesederhana apapun kehidupan itu, begitu takdirnya, selalu jatuh dalam kebutuhan untuk diorganisasikan. Langkah pengorganisasian itu dirangsang oleh banyak mimpi. Mimpi-mimpi itu semuanya indah. Tetapi seindah-seindahnya semua mimpi itu, tak lebih indah dari mimpi diperlukannya seorang saja sebagai pemimpin. Sekali lagi seorang saja. Bukan dua orang. Mengapa bukan dua, apalagi banyak orang? Begitu dua orang menjadi pemimpin dalam satu organisasi, maka kekacauan menjadi hasil yang pasti menyertai organisasi itu disepanjang waktu. Kekacauan itu jelas sejelas matahari mengawali sapaannya kepada dunia dari timur. Kasian Rakyat Tidak banyak yang dibicarakan tentang orang macam apa yang dapat menjadi presiden. Ini patut dikenali. Tetapi dari tidak banyak itu, terdapat dua hal hebat yang layak dipertimbangkan. Pertama, presiden harus dipilih. Kedua, presiden bukan malaikat. Dia punya kelemahan akal budinya, terlepas dari bobotnya dan siapapun orangnya. Mengandalkan “pemilihan” bukan penunjukan. Apalagi diwariskan sebagai cara menemukan seseorang menjadi presiden, diyakini sebagai cara tepat memperoleh orang yang masuk akal memegang kekuasaan menjalankan hukum. Kekuasaan inilah yang disebut kekuasaan pemerintahan. Berjualan ide. Begitu orang-orang yang berhasrat jadi presiden. Itu untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Padahal acapkali jualan ide menjadi bualan. Tetapi dengan membual itulah dia terlihat secara transparan. Tetapi setransparan apapun, selalu ada yang disembunyikan. Selalu ada bualan dalam setiap aspeknya. Bisakah dikoreksi sesudah si kabualan itu jadi presiden? Tidak bisa. Sistem didunia ini tidak menunjuknya sebagai alasan hukum dan politik memberhentikannya. Jadi? Membuallah sehebat-hebatnya pada saat balapan capres. Bualan-mualan itu, idealnya harus dihentikan bersamaan dengan dirinya resmi menjalankan pemerintahan. Setidak-tidaknya tidak boleh lagi muncul pernyataan yang tidak memiliki pijakan fakta dan rasio. Juga tidak boleh muncul pernyataan yang satu dan lainnya saling menyangkal. Mengapa presiden harus berhenti membual dalam menjalankan pemerintahannya? Dalam kedudukanya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, semua tindakan presiden memiliki nilai. Setiap katanya dinilai otoritatif. Dalam kedudukan itu, presiden juga dinilai secara politik untuk disamakan dengan kepastian. Masa depan negara, postur politik di panggung internasional, tercermin dari setiap kata-katanya. Satu saja pernyataan yang dinilai tidak masuk akal, segalanya bisa berubah. Dunia ekonomi akan bergejolak. Pasar uang dan pasar saham bisa bergelombang naik atau terjun bebas hanya dengan satu kata dari presiden. Relasi sosial juga akan terguncang kencang hanya dengan satu kata presiden. Kekayaan negara dan aset perusahaan bisa turun ke dasar hanya dengan satu kata dari preiden. Hubungan dan diplomasi internasional bisa memburuk hanya dengan satu kata presiden. Presiden haruslah manusia paling cerdas di negara dalam penggunaan setiap penggal kata yang keluar dari mulutnya. Presiden jangan sampai asal bicara. Begitu aturan tidak tertulis yang mutlak untuk dipahami seorang presiden. Body language presiden itu punya makna sangat yang tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kasian negara kalau presiden sampai asal-asalan. Presiden harus pandai menemukan pijakan faktual. Presiden juga harus, bahkan mutlak pandai merangkai fakta itu. Fakta yang telah dirangkai itu harus disajikan dengan kalimat yang tepat. Diksinya harus bernilai dan berkelas. Kalau presiden hendak mengeritik lawan-lawanya, pilihan diksinya yang harus menjelaskan kelasnya sebagai politisi top. Politisi kelas dunia. Bukan sebagai politisi yang abal-abal. Tak boleh membual, sekecil appun bualannya itu, dan dalam situasi apapun. Terlalu besar konsekuensinya. Bukan saja perkara bualannya itu, bisa menandai dirinya tak kompeten, tak bermutu, dan tak memiliki dari aspek kapasitas dan kapabilitas. Tetapi efeknya itu. Sangat bahaya bila presiden membual. Jangan, jangan itu terjadi. Kasian negara dan rakyat. Republik Melarang Menginginkan dengan sangat untuk meyakinkan sesuatu yang positif terjadi, tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi, mungkin tidak dapat dinilai sebagai bualan. Menginginkan pertumbuhan ekonomi 7% dan kurs Rp 10.000 per dollar misalnya, tetapi dalam kenyataannya justru negatif sekian persen, mungkin juga tak bisa untuk sebagai disebut bualan. Berhasrat kuat mengubah pandemi corona menjadi peluang, dan melakukan lompatan jauh untuk menggenggam masa depan yang gemilang, itu hebat. Kalaupun dalam kenyataan, Indonesia hari ini sedang berupaya dan bekerja keras untuk mengimpor vaksin dari China, mungkin tak dapat dinilai sebagai bualan. Boleh jadi itu malah bagus. Itu malah dapat dilihat sebagai postur kongkrit tanggung jawab Presiden. Risikonya Indonesia jadi pasar vaksin China. Dan dalam skema itu Indonesia harus bayar patennya. Yang terakhir ini yang menjadi soal Pak Presiden. Sudah jadi pasar China, eh harus bayar pula patennya lagi. Tragis nasib bangsa ini. Bahwa korporasi-korporasi China mendapatkan untung. Itu memang logis. Negara itu memang menjadikan Marxisme sebagai fundasi politiknya, tetapi tidak untuk urusan untung. Urusan ini, China jagonya. Apa boleh buat. Toh Indonesia baru mampu menyerap anggaran penanganan Corona dan PEN tak lebih dari 45,69% dari pagu anggaran Corona dan PEN per 19 Agustus 2020. Sebagian PEN malah belum ada DIPA-nya (Lihat CNN Indonesia, 25/8/2020). Indonesia harus realistis. Juga harus bisa rendah diri. Ini memang bisa ditertawakan. Bahkan bisa diolok-olok, karena bertolak belakang dengan hasrat, entah serius atau tidak dari Presiden sendiri. Berhasrat mengubah tantangan pandemi ini menjadi kesempatan besar untuk meraih kemajuan, melakukan lompatan besar ke depan, tetapi jatuh di tengah keharusan mengimpor vaksin dari China. Apa boleh buat. Amerika yang top, jago dalam banyak hal, cemerlang dalam hal inovasi, sejauh ini belum menemukan vaksin anti corona. Apalagi Indonesia yang selalu kedodoran, tertatih-tatih dalam lomba inovasi. Ingat mobil Esemka? Mobil yang dipropagandakan sebagai mobil nasional itu, sejauh ini seperti barang bualan. China hebat, tanggap dan cekatan bergerak memenuhi kebutuhan Indonesia. China mungkin tahu Indonesia terkenal tahu diri. Harus selalu siap sedia menyediakan kebutuhan China. Indonesia akan cekatan menyediakan kebutuhan China untuk memperlancar investasinya. Presiden dan DPR sedang habis-habisan sediakan berbagai fasilitas investasi. Presiden dan DPR menyiapkan RUU Omnibus Cipta Kerja. Dalam RUU ini, telah disediakan pasal yang memberi kewenangan Presiden mengubah pasal-pasal dalam UU dengan Peraturan Pemerintah (PP). Itu ditulis dalam pasal 170 RUU Omnibus. Andai sukses, Presiden dan DPR secara bersama-sama membinasakan tatanan bernegara berdasarkan UUD 1945. Kelak presiden, siapapun orangnya, dengan pasal itu akan menjadi figur yang powerfull. Bahkan presiden dengan kewenangan baru itu, layak disamakan dengan raja-raja absolut abad ke-17. Apalagi bila partai-partai tetap mengelompok sedemikian rupa seperti saat ini. Partai saat telah menampilkan ciri layaknya partai tunggal. PKS dan Partai Demokrat, terbukti kalah canggih dari bekerjanya liberalisme ganas yang menghasilkan pengelompokan itu. Presiden memang tidak sedang membual dengan tekadnya menyajikan lingkungan persaingan terbuka dalam semua aspek. Tekad ini terlihat telah bekerja secara efektif. Semua orang bisa bersaing. Anaknya dan menantunya sendiri pun berhak bersaing menjadi calon walikota Solo dan Medan, kampung halamannya sendiri. Itu juga hebat. Tekad itu terlihat tak terkontrol. Pandangan itu mengandung bahaya ganas yang tersembunyi. Mengapa? UMKM, mau atau tidak, suka atau tidak, harus bersaing terbuka dengan korporasi. Ini bahaya tipikal kapitalisme yang ganas itu. Juga tak seirama dengan pasal 33 UUD 1945. Membahayakan demokrasi? Ya, untuk demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal yang impor. Demokrasi liberal terlalu kaya dengan bualan-bualan, yang setiap aspeknya canggih. Penyesatan adalah salah satunya. Penyesatan itu bualan. Tetapi secanggih itu sekalipun demokrasi liberal, nurani republik melarang presiden, siapapun orangnya untuk membual. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Kejaksaan Agung: Kebakaran yang Ideal dan Sempurna
by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (25/08). Sabtu malam Minggu, jam 19.10. Hari libur. Dan dalam suasana Covid-19. Hampir pasti tidak ada yang bekerja. Pada saat itulah kebakaran dahsyat melenyapkan gedung Kejaksaan Agung. Inilah kebakaran yang ‘ideal’ dan ‘sempurna’. Ideal, dalam arti tidak ada korban jiwa. Yang korban ‘hanya’ berkas-berkas perkara saja. Sehebat apa pun berkas perkara itu akan dianggap ‘tak penting’ dibanding korban jiwa. Sempurna, dalam arti kobaran api leluasa merambat ke segala penjuru. Memangsa semua yang “diinginkan” api. Sempurna, juga dalam arti gedung yang ‘penuh kenangan indah’ bagi para VIP yang sering nongkrong dan berbagi macam-macam hal di situ, kini hanya tinggal tulang-belulang. Alhamdulillah, tidak ada korban nyawa dalam peristiwa 22 Agustus 2020 itu. Syukur sekali, Allah SWT “pilihkan” itu terjadi pada hari Sabtu. Bukan hari kerja. Kalau pun ada yang masuk, tentu tidak banyak. Andaikata ada yang masuk kerja Sabtu pagi itu, diperkirakan mereka sudah pulang semua sebelum malam tiba. Apalagi, Jakarta masih bergelut dengan Covid-19. Pastilah protokol ketat berlaku juga di Kejaksaan Agung. Hebat sekali “pilihan” Tuhan itu. Bayangkan kalau kebakaran terjadi pada hari kerja dan siang hari pula. Selasa atau Jumat, misalnya. Mungkin ratusan orang ada di gedung itu. Besar kemungkinan ada korban jiwa. Sangat menarik untuk merenungkan “pilihan” Tuhan ini. Pada hari Sabtu malam kebakaran dahsyat itu berkecamuk. Boleh jadi, libur itu menyebabkan tidak banyak ‘property’ penting Kejaksaan yang bisa diselamatkan. Kabarnya, memang tidak ada yang terselamatkan atau diselamatkan. Para penguasa Kejaksaan pantas bersyukur tak putus-putus karena kebakaran itu “dituliskan” Allah terjadi di hari libur. Luar biasa ‘kasih sayang’ Allah kepada orang-orang Kejaksaan Agung. Allah turunkan musibah itu ketika semua pegawai, tinggi dan rendah, tidak masuk kerja. Tidak salah kalau dikatakan ‘doa’ para petinggi Kejaksaan selalu didengar. Mungkin juga doa mustajab orang-orang yang ‘terzolimi’. Misalnya, orang seperti Tuan Joko Tjandra. Beliau ini bisa disebut sebagai orang yang ‘terzolimi’. Mengapa? Karena Tuan Joko terkenal sangat baik. Pemurah. Dermawan. Suka dan cepat bagi-bagi rezeki. Tapi, tiba-tiba sekarang dia ‘dimusuhi’ oleh orang-orang yang dekat dengannya. Dijebloskan ke penjara. Cuma, memang perlu dikorfirmasikan dulu apakah dia benar mendekam di penjara. Ketika perkara si Tuan mau dibongkar habis dan dia dimasukkan ke tahanan, tentu itu termasuk bentuk penzoliman kepada JT. Barangkali saja beliu berdoa agar ‘kasus zolim’ itu bisa lenyap. Benar saja. Kasus Tuan Joko dilenyapkan pada hari Sabtu. Tanpa korban jiwa. Sekarang, kita menunggu hasil investigasi Pak Polisi. Untuk membuktikan apakah musibah di Kejaksaan Agung itu kebakaran ‘pilihan’ Tuhan. Ataukah mirip cerita-cerita Bollywood yang selalu serba kebetulan. Selalu rapi, timely, dan dengan presisi yang tinggi. Ingat, jangan berspekulasi. Curiga dan menduga tentu boleh-boleh saja. Dilindungi oleh UU. Tapi, lebih baik Polisi kita beri kesempatan untuk mendalami kebakaran yang ‘tematis’ dan ‘sistematis’ itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID