NASIONAL

Pemerintahan Jokowi Sudah Oleng

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (16/09). Kedaulatan ada ditangan rakyat. Begitu kata konstatasi konstitusi. Tetapi praktek bernegara dan pemerintahan memberi batas defenitif. Kedaulatan itu hanya bernilai tidak lebih dari limamenit. Pada saat mereka berada dalam bilik suara, untuk memilih anggota DPR dan Presiden dalam pemilu. Tidak lebih dari itu. Memberi suara menjadi akhir kedaulatan rakyat. Urusan selanjutnya? Jatuh sepenuhnya ke tangan pembesar politik dan kaum oligarki, korporasi, konglomderasi . Di dalam dan diluar kekuasaan formal. Kekuasaan jadi begitu impersonal. Loyalis intelek sekelas Pak Safii Maarif pun hanya bisa bermohon. Apalagi rakyat biasa. Kebijakan dan tindakan presiden terlalu rumit dan mewah untuk diserahkan dan disinkronkan dengan kehendak loyalis intelek. Apalagi pemilih biasa. Mau apa? Begitulah pemerintahan bekerja secara empiris. Kontraksi Terus Pembaca FNN yang budiman. Pilkada yang hanya butuh ratusan miliyar saja dicukongi oleh para cukong. Lalu pilpres yang butuh triliunan tidak? Triliunan rupiah dipakai selama kampanye keluar dari kantong capres sendiri? Yang benar saja. Tidak logis mengalamatkan efek cukong hanya pada kepala-kepala daerah. Mengapa? Hukum konstitusi cukup jelas mengatur syarat seseorang bisa jadi calon kepala daerah dan presiden. Mereka harus waras. Itu syarat materilnya. Kepala daerah waraslah yang terpilih. Mau tak mau harus merancang, membuat dan menyajikan kebijakan bersifat balas budi, quid pro quo, kepada para cukong. Bagaimana dengan presiden terpilih? Kalau di Amerika jelas. Di Indonesia, hal itu masih tetap gelap. Tidak ada data valid yang tersaji. Tetapi sudahlah. Lupakan saja dulu soal quid pro quo itu. Soal-soal pemerintahan nyata tidak kalah penting untuk dikenali. Dokter, tenaga medis mati, dan rakyat biasa yang terus mati diinfeksi corona, resesi ekonomi, menteri yang tidak mengerti birokrasi, pelemahan DPR, RUU HIP, RUU Omnibus, mekanisme bansos yang tidak beres, insentif pada pekerja yang datanya tak valid, sekedar beberapa contoh, semunya eksplosif. Keadaan faktual menungkalkan argumentasi pemerintah untuk menyatakan ekonomi tidak akan resesi. Dalam Rapat Kabinet Terbatas Senin (14/9/2020) "Jokowi menyatakan pemulihan ekonomi nasional kita masih punya waktu sampai akhir September dalam meningkatkan daya ungkit ekonomi kita (Lihat Detik Finance, 14/9/2020). Bagus Presiden menyadari keadaan ini. Tetapi mengandalkan dua minggu yang tersisa pada September ini untuk mencegah melebarnya kontraksi itu. Jelas tak masuk akal. Kaidah administrasi keuangan negara tidak memungkinkannya. Ditengah usaha itu, Gubernur Anies malah menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kota Bogor dan Depok malam menerapkan jam malam. Begitu PSBB dibunyikan, terjadilah kegoncangan pasar modal. Menko Ekonomi, Airlangga Hartarto, dengan gayanya yang lembut menunjuk kebijakan menjadi penyebabnya. Sayangnya menurut para ekonom goncangan itu merupakan respon atas gagasan pembentukan Dewan Moneter. Dewan moneter? Apalagi barang itu? Institusi mau digunakan sebagai jembatan penghubung pemerintah dengan BI dalam merancang kebijakan sistem keuangan? Tampaknya iya begitu. Pemerintah akan menempatkan orangnya dalam Dewan Moneter itu. Logiskah itu? Mungkin iya. Tetapi apa argumentasi konstitusionalnya? Itu yang tak disajikan pemerintah, entah karena apa. Tetapi apapun itu, ini menunjukan pemerintah menyangsikan keandalan. Bukan hanya sistem keuangan, tetapi sistem bernegara. Ini mirip Amerika tahun 1933 pada saat depresi ekonomi melilit mereka. Alhasil pemerintah, seperti biasa, memasuki isu Dewan Moneter dengan argumentasi yang tidak meyakinkan. Kalaupun benar terdapat masalah design sistem keuangan sejauh ini, soalnya mengapa baru dirasakan sekarang? Argumentasi pemerintahan jelas lemah. Dimana letak kelemahannya? Realisasi anggaran tanpa Daftar Isian Pagu Anggaran (DIPA) sama sekali tidak ada hubungannya dengan moneter. Kalau hanya main catat anggaran yang keluar, itu sih warung kecil dipinggir jalan juga mencatat pengeluaran mereka. Minimnya realisasi anggaran juga tidak ada hubungannya dengan soal moneter. Ini soal ada atau tidak uang yang tersedia. Dan mampu atau tidak mampunya menyediakan program dan kegiatan. Bantuan Sosial (Bansos) tidak tepat sasaran. Juga tidak punya korelasi dengan moneter. Ini soal teknis. Sama teknisnya dengan rekening pekerja penerima bantuan pemerintah. Fokuslah Presiden Ditengah keadaan itu Budi Hartono, Bos Group Jarum, menilai kebijakan PSBB Gubernur Anies tidak masuk akal. "Menurut kami, kata Budi dalam suratnya, keputusan memberlakukan PSBB (total) kembali itu tidak tepat. Hal ini disebabkan PSBB di Jakarta telah terbukti tidak efektif. Menurut Budi alasan Anies memberlakukan kembali PSBB karena khawatir daya tampung Rumah Sakit di Jakarta, kurang masuk akal (Lihat CNBC Indonesia, 13/9/2020). Kurang masuk akal? Masuk akalkah ratusan dokter, kalau tidak salah telah mencapai 115 orang mati? Masuk akalkah puluhan tenaga medis mati? Masuk akalkah membiarkan ribuan rakyat kecil mati? Apakah Budi Hartono hendak mengajak Presiden Jokowi memperdalam Indonesia ke dalam cengkeraman gerombolan korporasi licik, picik, tamak dan culas? Siapa yang akan mengerjakan, misalnya penyediaan infrastruktur khas Budi Hartono? Usaha Mengeha Kecil dan Mikro (UMKM) atau korporasi besar? Siapa yang menyediakan semua peralatan pelengkap yang diperlukan itu? UMKM atau korporasi, macam Group Jarum? Budi cukup berani dengan suratnya itu. Mengapa? Surat itu muncul ditengah KAMI memberi perhatian begitu signifikan terhadap oligarki. Mungkin saja Group Jarum bukan termasuk gerombolan oligarki, dan korporasi culas, licik, picik dan tamak. Tetapi tampilan Budi jelas sangat menarik. Sekarang tergantung Presiden. Akankah Presiden menyediakan karpet merah atas usulan Budi Hartono? Kota Bogor berstatus zona merah atau daerah dengan risiko tinggi penularan Covid-19 sejak Senin (14/9) pagi, setelah sepekan sebelumnya berstatus zona oranye atau daerah dengan risiko sedang penularan Covid-19 seperti dilansir dari Antara (CNN Indonesia, 14/9/2020). Sumatera Selatan (Sumsel), setidaknya Nias juga mengkwatirkan. Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak beda jauh. Tiga puluh kecaatan di jawa Barat juga mulai mengkhawatirkan. Menariknya, respon Presiden terhadap PSBB Jakarta, cukup khas korporatis. Presiden menyediakan hotel. Ada hotel yang berbintang ada yang tidak, untuk isolasi pasien corona. Apakah hotel-hotel itu bisa digunakan pasien dari Depok, yang menurut Ridwan Kamil rumah sakitnya sudah terisi sekitar 60% (Lihat CNBC Indonsia, 14/9/2020). Tidak jelas juga. Celakanya pemerintan tidak bisa serta-merta menyediakan makan minum untuk rakyat. Kaidah administrasi keuangan mengharuskan pemerintah tidak mengimajinaksikan calon penerima bantuan. Tidak bisa dikarang-karang begitu saja. Dalam realisasi bantuan, apakah pemerintah masih memberi warna korporatis, yakni melibatkan korporasi menyalurkan bantuan itu? Semuanya akan jadi obyek pemeriksaan BPK. Adakah pejabat yang mau bekerja sembarangan? Penjara akan menantikan pejabat yang kerja sembarangan. Itu pasti. Pemerintah ini terlihat tidak mampu menarik jarak sejauh mungkin dari sifat korporatis kebijakan-kebijakannya. Ditengah situasi ini, pemerintahan malah merancanakan penambahan pembangunan tol mencapai panjang total 18.850 kilometer. Rencana tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Bina Marga Hedy Rahadian dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI, Senin (14/9/20). "Jadi ini kami sampaikan rencana program jalan tol kita dalam rencana kami adalah 18,8 ribu kilometer," kata Hedy Rahadian dalam rapat tersebut (CNBC Indonesia, 14/9/2020). Utang lagi? Berapa banyak dan darimana? China, Amerika, Jepang, Singapura atau IMF dan World Bank? Korporasi plat merah atau kuning yang akan mengerjakannya? Siapapun yang mengerjakannya, dapat dipastikan tidak serta memulihkan ekonomi yang semakin sakit ini. Manfaat seketika pun tidak akan dirasakan rakyat miskin saat ini. Terlilit masalah sekrusial itu, tetapi Alim Ulama malah ditusuk orang gila di Lampung. Ini dialami Syekh Ali Jaber dan seorang imam masjid di Ogan Komering Ilir (Lihat Rmol, 15/9/2020). Sialnya ini terjadi ditengah hiruk-pikuk kritik atas rencana pemerintah menyertifikatkan para ustad penceramah. Tumpukan kenyataan empiris diatas, suka atau tidak, menandai bangsa ini benar-benar sedang, bukan akan oleng. Presiden, karena itu tidak boleh kehilangan fokus. Negara yang semakin oleng tidak bisa dijinakan dengan propaganda. Propaganda menyalahkan berbagai kalangan disatu sisi, dan disisi lain membenarkan semua kebijakan pemerintah, justru semakin membuat negara ini oleng. Fakta, sesuai sifatnya akan terus menemukan cara untuk dilihat orang. Tidak bisa diputarbalikan, secanggih apapun metodenya. Hitler yang memiliki Josef Goble, menteri penerangan yang jago propaganda itu, justru tergulung habis. Kebaikan dan kebatilan tidak bisa disatukan. Waktu punya cara memenangkan kebaikan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khiarun Ternate.

Rezim Telah Melakukan Kerusakan Dan Kedzaliman?

by Deddy S. Budiman Bandung FNN - Rabu (16/09). Pilpres, Pilkada, Pileg langsung berbiaya mahal, melalui sistim ambang batas, dilakukan dengan TSM untuk tidak Jurdil, dan dibiayai para pemodal /taipan, menghasilkan Wakil Rakyat dan Pemimpin Boneka dan Koruptor. "Menurut Menkopolhukam Mahfud MD 92% calon pemimpin, dibiayai oleh pemodal". Akhirnya sama-sama kita ketahui berapa banyak para pemimpin daerah yang terlibat korupsi, dan sekitar 80% tanah dan perijinan sudah diambil oleh para pengusaha Asing dan Aseng. Akan halnya RUU Omnibuslaw, UU Minerba, UU Covid dan beberapa Perpu secara kasat mata hanya berpihak kepada pengusaha, ditenggarai sebagai bayaran jasa para pengusaha/Taipan, untuk memenangkan Pemilu termasuk Pilpres. Sehingga jangan berharap para pejabat dan wakil rakyat akan berpihak kepada rakyat terutama bagi Bumiputera. Rejim penguasa membentuk Tim mengatasi Ekonomi dan Krisis Pandemi, yang di jabat oleh banyak menteri. Semua Menko duduk dijajaran Pimpinan yang dinakhodai oleh Airlangga, Menko Perekonomian/ Ketum Golkar, dan Menteri BUMN Erick Tohir sebagai ketua harian. Yang terjadi malah korban Covid-19 sejak awal semakin hari semakin meningkat, grafiknya tidak pernah melandai, dikuatirkan malah akan terjadi ledakan korban pada periode pertama ini. Patut diduga sebagai upaya genosida kepada Bumiputera. Bidang Ekonomi, yang dijanjikan meroket oleh Presiden Jokowi, malah kenyataannya nyungsep, sebelum terkena Covid-19 di kuartal pertama dari 5% turun drastis menjadi 2.7%. Covid melanda dari awal dibawa canda, akhirnya ekonomi nyungsep lebih dalam lagi minus 5,3%. Karena tetap mengutamakan mengatasi ekonomi di kuartal ketiga dan selanjutnya akan tetap minus. Hutang menggunung, BUMN Pertamina yang dibanggakan akan berjaya menandingi Petronas Malaysia, malah merugi dengan hutang menggunung dikuatirkan akan gagal bayar. Begitu juga PLN merugi, hutang gede, harga BBM seharusnya turun karena minyak dunia anjlog, malah tidak turun-turun, aneh bin ajaib Pertamina merugi. BPJS walau telah dikembalikan dengan harga awal oleh MA, Presiden Jokowi tetap ngotot menaikan dan tentunya mahal bagi bumiputera. Pengangguran dimana-mana, yang usia bekerja tidak bisa bekerja dalam kondisi perusahaan merana, TKA asing terutama TKA Cina tetap deras mengalir, sementara tenaga kerja di dalam negeri deras di PHK. Negara dalam pembukaan UUD 45 harus menjamin kesejahteraan dan pekerjaan buat rakyat, malah mengutamakan tenaga kerja asing. Pertanyaannya apa kita telah menjadi negara boneka asing. Pembangunan infrastruktur jalan terus walau BUMN sudah megap-megap, hutang BUMN diperbanyak terutama kepada RRC akan berakibat ketergantungan bagi generasi penerus untuk membayar. Dipihak lain pembangunan moral merosot, terbukti semangkin menjamurnya Korupsi, Narkoba, begal Gang Motor, dan LGBT dibiarkan membentuk komunitas termasuk di kampus-kampus. Walaupun Pemerintah Presiden Jokowi sudah masuk pada periode kedua. Mafia di berbagai bidang kehidupan tetap saja belum dimusnahkan. Mafia Impor Sandang, Pangan dan Energi, termasuk mafia pengadilan tetap merajalela. Rakyat terbelah menjadi Cebong dan Kampret/ Kadrun, terus di adu domba oleh Buzzer dan Influenser atas biaya negara dan berkantor di Kominfo. Hukum tebang pilih dan rekomendasi Covid-19 serta UU ITE di jadikan alat untuk membungkam demokrasi. WNI seperti Kapten Purn Ruslan Buton, ustadz, kiyai yang kritis di kriminalisasi dan dipersekusi. Umat Islam dijadikan sasaran fitnah dengan label radikalisme, intoleransi, khilafah, dan fitnah mau mendirikan Negara Islam dsbnya. Perang urat saraf sedang berlangsung dengan menakut-nakuti Ulama-ulama dengan penusukan dipengajian dan mesjid serta Pesantren ditakut-takuti dengan isu Good Looking pandai berbahasa Arab, hafal Alqur’an di cap sebagai kader teroris. Puncaknya Rezim secara sistimatis, melalui skenario yang dirancang secara matang sedang melakukan Makar Ideologi dengan merubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, melalui RUU HIP dan RUU BPIP, menjadi paham Neo Komunisme yang bertentangan dengan TAP MPR RI XXV/ 1966. Visi KAMI adalah menjaga kedaulatan, keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 dan menyelamatkan bangsa dari segala macam ancaman. Inti dari UUD NRI tahun 1945 adalah Pancasila inti dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Merubah Pancasila jadi Trisila dan Ekasila adalah termasuk merubah sumber segala sumber hukum NKRI dan merubah hukum-hukum Allah SWT, juga dapat diartikan memerangi Allah SWT. Merubah Pancasila jadi Trisila dan Ekasila adalah perbuatan Makar yang mengancam kedaulatan, keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 serta keselamatan bangsa, dapat diancam pidana menurut UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan KejahatanTerhadap Keamanan Negara. Sebagai seorang prajurit tua yang pernah disumpah atas nama Allah SWT saya akan tetap menghimbau kepada para patriot bangsa, tokoh bangsa dan agama, para perwira TNI dan Polisi aktif yang di amanahkan menjadi pemimpin, untuk tetap waspada terhadap segala bentuk ancaman. Ancaman terhadap Negara tidak saja melalui perang pisik akan tetapi ancaman non militer sedang berada didepan mata, terutama ancaman terhadap ideologi Pancasila. Waspada dan jangan lengah, NKRI bisa masuk kelembah hina kembali di jajah oleh Neo Komunisme, Kapitalisme, Liberalisme, Sekulerisme dan Hedonisme. Ancaman non militer, terutama ancaman terhadap ideologi Pancasila berimplikasi kepada tugas pokok dan fungsi TNI dalam menjaga kedaulatan keutuhan NKRI dan keselamatan bangsa. Menurut buku Strategi Pertahanan, untuk menghadapi ancaman non militer adalah dengan strategi berlapis dan Strategi Penangkalan, Rakyat di depan TNI di belakang membantu. TNI harus manunggal bersama rakyat, karena rakyat lah pemilik Negara, pemimpin bisa berganti akan tetapi Negara kesatuan republik Indonesia harus tetap dipertahankan untuk merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur. Sebagai seorang PATRIOT TUA yang percaya terhadap kekuasaan Allah, saya ingin mengutip beberapa ayat-ayat Allah, mudah-mudahan dapat dipahami bagi para pemimpin bangsa sebagai berikut; "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (An-Nahl 16:90). "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, setelah diciptakan dengan baik,"(Al-Araf 7:56). "agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu."(Ar-Rahman 55:8). "Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas, yang berbuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan." QS. Asy-Syu'ara'[26]: 151-152. "Hukum bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh dan di salib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia, dan akhirat mereka mendapat azab yang besar."(Al-Maidah 5:33). Tugas TNI dan Rakyat menurut UUD NRI tahun 1945 dan UU Pertahanan adalah mejaga Keutuhan, Kedaulatan NKRI serta Menyelamatkan Bangsa dari berbagai bentuk Ancaman. Untuk menyelamatkan NKRI dari ancaman neo komunisme, kapitalisme, liberalisme, sekulerisme dan hedonisme dibutuhkan kemanunggalan TNI dan Rakyat. Semoga Allah melindungi bangsa Indonesia dan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI yang ditetapkan thl 18 Agustus 1945. Aamin ya robbal aalamiin. Penulis adalah Mayjen TNI Purnawirawan (FKP2B).

Pesan Dibalik Good Looking, Preman, & Sipenusuk Gila

by Anton Permana Jakarta FNN – Selasa (15/09). Belum reda operasi “kubah putih” dan symbol “klepon”. Sebuah isyarat dalam dunia inteligent yang terungkap kepada publik. Isyarat itu dalam bentuk kode serangan terhadap ummat Islam, kembali terjadi serangan fisik berupa penusukan terhadap Ulama Syekh Ali Jaber di Lampung dan Imam Masjid di Ogam Kemilir Ulu (OKU) Sumatera Selatan. Insiden penusukan ini kembali mudah untuk ditebak, yaitu sipelaku atas pengakuan orang tuanya yang tak sampai 1 x 24 jam dinyatakan "gila". Tentu pengakuan ini kembali membuat geram banyak pihak. Modus seperti ini sudah berulang kali terjadi. Jika korban penganiayaan adalah ulama, selalu berakhirnya dengan pernyataan bahwa si pelaku adalah orang gila. Sehingga kemudian tidak bisa diproses hukum dan bebas. Silahkan searching beritanya di google. Sudah sangat banyak berita serupa terjadi sebelumnya. Banyak analisis konspirasi dan analisis inteligent menyikapi insiden itu. Termasuk saya yang juga membahasnya intens dengan beberapa kolega yang paham dan punya ilmu tentang persoalan itu. Dan hasil analisa sementaranya adalah : Pertama, insiden ini bukan insiden biasa. Ada dugaan motif lain di balik semua itu. Ujung dari rangkaian beberapa peristiwa sebelumnya. Kalau kita jeli dan teliti melihat kejadiannya, maka ada keterkaitan khusus satu sama lainnya. Ada hubungan benang yang menyambungnya. Kedua, keterkaitannya itu berhubungan dengan isu yang juga heboh atas pernyataan salah satu menteri yang mengatakan bahwa berpenampilan “good looking” itu adalah salah satu indikator masuknya paham radikalisme. Seperti fasih bahasa arab, hafidz Qur'an, serta berpakaian rapi dan Islami. Dan radikalisme itu adalah musuh negara. Sontak pernyataan sentimentil ini mematik kemarahan ummat. Sebuah komentar yang dianggap nyata-nyata sebagai bentuk kebencian dan permusuhan terhadap agama Islam. Meskipun akhirnya simenteri minta maaf. Namun pernyataan beliau sudah terlanjur menyakiti dan menoreh luka ummat Islam. Ketiga, selanjutnya, tak lama berselang juga keluar sebuah komentar dari salah satu petinggi institusi negeri ini, yang punya rencana untuk melibatkan para preman di barisan depan sebagai penegak disiplin covid-19. Tak ayal, komentar ini juga menuai protes dan kecaman dari banyak akademisi, praktisi dan tokoh masyarakat. Bagaimana seorang 'preman' mau dijadikan penegak disiplin di tengah masyarakat ? Apa ini tidak sama saja mengadu domba sesama masyarakat ? Kenapa tidak memberdayakan Ormas Bela Negara yang begitu banyak dan sudah terlatih? Tentu secara wibawa dan performance akan lebih diterima masyarakat dari pada preman. Karena preman dari pandangan umum itu cenderung negatif. Dan ini pasti akan menimbulkan masalah baru. Keempat, lalu muncullah insiden penikaman oleh Aldian terhadap Syekh Ali Jaber ini. Anehnya dalam hitungan jam, juga beredar photo sipenusuk di dalam akun sosial medianya dengan berbagai pose yang terkesan waras namun terlihat "style” premannya. Setelah ditelusuri, akun tersebut juga baru dan terkesan memang sengaja ditampilkan dan dikonsumsi publik. Lalu beredar juga postingan- postingan komentar dari yang mengaku tetangganya yang mengatakan sipenusuk tidak gila dan punya istri baru melahirkan. Terlepas apakah semua berita jagad sosial media itu akurat atau tidak, bagi saya fenomena symbol dan pesan-pesan tersirat dari rangkaian informasi itu yang menarik kita teliti dan cermati. Karena kalau berbicara tentang operasi dunia inteligent, semua bisa terjadi. Bahkan ada kemungkinan saling keterkaitan. Dimana itu kadang dikomunikasikan melalui symbol dan kata sandi tertentu. Kelima, kalau kita hubungkan antara kata “good looking” itu adalah symbol kelompok radikal, preman sebagai penegak kedisiplinan covid-19 (eksekutor), lalu insiden penusukan terhadap ulama, ini ibarat rangkaian sebuah symbol (kata sandi) perintah dari user kepada agen lapangan. Good looking adalah symbol dari target, yaitu kelompok yang radikal, preman adalah symbol dari eksekutor. Maka terjadilah sipreman menusuk “good looking” ulama atau da'i. Keenam, ada banyak kemungkinan motif dan orientasi dari skenario ini. Yaitu bisa berupa teror ancaman terhadap ulama atau da'i yang beroposisi terhadap penguasa. Bisa juga upaya provokasi adu domba, baik itu sesama ummat Islam, maupun ummat dengan aparat. Namun bisa juga upaya memancing reaksi ummat Islam agar bertindak liar atau radikal, kemudian tindakan ini digoreng dalam rangka amunisi stigmanisasi radikal, atau bisa juga pengalihan isu. Terakhir bisa juga berupa membangun image bahwa Islam dimusuhi dan memberi sugesti terhadap kelompok pembenci Islam untuk melakukan hal yang sama dimanapun berada. Yaitu untuk menghadapi kelompok Islam yang dicap radikal cukup dilawan menggunakan tangan preman. Mirip pola zaman Belanda menggunakan tangan "centeng" untuk memerangi pejuang pribumi. (Mirip film Si Pitung). Kalau kita berbicara tentang dunia inteligent, maka segala kemungkinan dan keterkaitan itu ada dan bisa terjadi. Dunia inteligent itu bisa berupa by order dari "state" atau "non-state" sebagai user terhadap agen atau elemen di bawahnya. Dan untuk menelusuri keabsahan sebuah operasi inteligent, juga harus menggunakan operasi kontra inteligent. Tidak bisa pakai cara normatif "kijang 1, kijang 2, target bergerak... grzkk..grzkk..". Untuk itulah, kita sebagai masyarakat civil society, khususnya ummat Islam Indonesia harus hati-hati menyikapinya. Jangan terlalu reaktif dan mudah terpancing. Yang bisa menggiring kita semua masuk dalam perangkap skenario inteligent. Kitapun tak bisa menyalahkan siapa-siapa di negeri ini. Karena ibarat dalam sebuah rumah, sebuah operasi inteligent bisa membuat rumah dan kamar rahasia lagi dalam rumah itu. Di dalam sebuah institusi negara sekalipun bisa terjadi infiltrasi inteligent dari pihak tertentu (invisible hand), yang mereka sendiri kadang tidak sadar (tidak tahu) sedang dimanfaatkan. Artinya, yang paling utama ditingkatkan adalah kewaspadaan. Pahami akar masalah bahwa ada motif provokasi dan teror di sini. Lalu meningkatkan sinergitas dengan para aparat dan pihak terkait yang masih merah-putih dan profesional, untuk upaya cegah dini dan tangkal dini. Juga untuk menemukan formulasi agar segala skenario inteligent apapun itu motifnya gagal di tengah jalan. Namun, untuk prosesi hukum terhadap sipelaku, tetap kita minta, dukung, dan desak aparat kepolisian untuk memprosesnya secara hukum. Membongkar siapa dalang dan pelakunya. Meskipun berat dan semoga akan maksimal. Tidak seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Semoga ke depan, semua insiden ini tidak terulang kembali. Ada saatnya nanti semua akan terbongkar dengan sendirinya kepada publik. Siapa dalang dan apa motif dari insiden ini. Karena dalam sejarah, modus dan motif penganiayaan terhadap para ulama ini juga pernah terjadi. Bahkan lebih sadis dan kejam di tanah air ini. Sejarah kebiadaban yang dilakukan para kader PKI tahun 1948 dan tahun 1965. Apakah semua ini berhubungan? Dan ada keterkaitannya dengan hari ini? Wallahu'alam bishawab. Kita tidak tahu. Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Mari kita jaga Ulama kita. Jaga para tokoh pejuang kita. Dan mari kita jaga Indonesia. Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Pemerhari Militer dan Sosial Budaya.

Salah Kaprah BIN & Ancaman Pidana

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (14/09). BIN adalah Badan Intelijen Negara yang bertugas mencari data, mengolah, menganalisis dan mengalokasikan info atau analisisnya kepada penyelenggara Negara seperti Presiden, Kementrian, atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian lain yang berkompeten dan berkepentingan. BIN bukan lembaga Kepolisian dan Ketentaraan yang bersandarkan pada kekuatan fisik atau persenjataan. Anehnya BIN di era Pemerintahan Jokowi justru menunjukkan pergeseran paradigma. Di masa pandemi Covid-19 ini, lucunya BIN seperti lompat ke kiri kanan, sehingga urusan penyemprotan desinfektan di Bandara juga pernah di bawah kendalinya. Yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah saat BIN pamer pasukan khusus yang bersenjata lengkap. Pasukan Rajawali sebutannya. Kemunculan tiba-tiba pasukan bersenjata lengkap seperti Brimob atau Densus, bahkan Kopasus ini tentu saja mengejutkan. Tampilannya seperti sulap saja "ujug-ujug" Abrakadabra atau Bim Salabim. Itu terjadi karena di arena BIN menjadi Bin Salabin. Pamer aksi di depan petinggi berbagai Angkatan tersebut, dalam rangka Inaugurasi peningkatan statuta Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul Bogor Jawa Barat. Kontroversi tentu saja terjadi. Persoalan utama adalah apakah layak atau haruskah BIN memiliki pasukan khusus bersenjata lengkap untuk pelaksanaan tugas operasinya. Adakah dasar hukumnya? Jika tidak ada dasar hukumnya, maka apa yang menjadi konsekuensi hukum yang diakibatkannya? Semua tata kelola organisasi BIN harus mengacu pada UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Tidak bisa hanya berdasarkan kemauan dan keinginan pimpinan BIN semata. BIN sebagai institusi negara, tidak bisa diselenggaran dengan suka-suka hati pimpinannya. Harus berdasarkan undang-udang. Bisa ngawur jadinya. Dan itu berbahaya. Prinsip kerja BIN adalah kerahasiaan tingkat tinggi. Segala kekuatan yang dimiliki BIN tidak boleh diketahui umum. Asasnya adalah profesionalitas, kerahasiaan, kompartementasi, koordinasi, integritas, netralitas, akuntabilitas, dan obyektivitas (vide Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2011). Adapun tujuan intelijen negara bukan berbasis pada pengerahan kekuatan bersenjata. Melainkan untuk "mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai ancaman terhadap negara" (vide Pasal 5). Sudah pasti setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen. Dan atas pembocor tersebut, dapat dikenakan pidana, dengan ancaman hukman sepuluh tahun penjara dan/atau denda 500 juta rupiah. Menunjukkan atau memamerkan kekuatan dapat dikualifikasi membocorkan kekuatan yang dipunyai oleh BIN. Seperti "fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan dan atau personel intelijen negara". Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum yang dalam Pasal 46 UU No. 17 tahun 2011 terancam pidana 10 tahun penjara dan/atau denda 500 juta tersebut. Oleh karenanya keberadaan pasukan Rajawali yang dipertontonkan BIN sudah jelas perbuatan salah kaprah. BIN bukan POLRI atau TNI yang berhak memiliki pasukan keamanan atau kombatan. Orang bertanya fungsi pasukan ini apa? Asumsi ekstrim sampai pada komentar jangan-jangan ini adalah "Angkatan Kelima" atau pasukan khusus model "Cakra Birawa". Perlu ada klarifikasi. Sementara itu memamerkan kekuatan BIN dapat dikualifikasin sebagai perbuatan "pembocoran" yang dapat dikenakan delik pidana. Kepala BIN harus bertanggungjawab. Presiden selayaknya memberi sanksi pencopotan dan segera memerintahkan untuk dilakukan pengusutan. Jika Presiden adalah pihak yang memerintahkan, maka Presiden dapat ditarik sebagai turut serta dalam perbuatan pidana tersebut (doen plegen) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Gagal Atasi Covid-19, Kenapa Cari Kambing Hitam?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/09). Jadi ternget kembali cerita Abu Nawas? Cincin hilang di depan rumah, dicari di ruang tamu. Alasannya, karena depan rumah gelap. Sedang ruang tamu terang. Koplak dan katro kan! Nah, pemerintah pusat sekarang mirip seperti Abu Nawas. Awalnya, ketika Covid-19 masih jadi ancaman, siapin kunyit dan empon-empon. Saat covid-19 sudah betul-betul masuk dan menyerbu, panik soal ekonomi. Ekonomi collaps dan datang resesi. Lalu bicara kesehatan. Presiden mulai siuman, sindir Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga. Presiden mulai menyadari betapa bahayanya pandemi covid-19. Karena itu, presiden dalam pidatonya mengungkapkan pentingnya saat ini mengutamakan kesehatan. Menyadari penyebaran covid-19 yang makin masif, Anies Baswedan, Gubernur DKI mengambil langkah cepat. Injek rem dan memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat. Para pembantu presiden teriak, "gara-gara Anies, Index Harga Daham Gabungan (IHSG) anjlok". Para buzzer pun dikerahkan. Piye iki toh mas? Sejumlah ekonom bilang, IHSG anjlok karena fundamen ekonomi lemah. Pertumbuhan ekonomi yang sudah minus -5,3 persen. Akibatnya, nilia tukar rupiah jatuh dengan terjun bebas terhadap dollar. Investasi juga menurun dengan sendirinya. Kenapa yang dusalahin Anies? Budayawan Emha Ainun Najib, yang biasa disapa Cak Nun ngetwitt: "Catat manusia-manusia yang lupa kemanusiaannya. Mereka diam ketika angka kematian dokter terus naik (109 orang). Dan teriak ketika angka indeks saham sekali turun". Negara ini mau dibawa kemana? Mengapa setiap ada masalah bukan fokus pada obyeknya saja. Setelah itu kerahkan buzzer untuk cari kambing hitam? Dampaknya, bukan penyelesaian masalah yang didapat, tapi kegaduhan yang bertambah. Mestinya, semua unsur yang ada di pemerintahan pusat, termasuk para menteri, fokus saja bekerja. Identifikasi berbagai masalah, lalu pikirkan dengan serius penyelesaiannya. Jangan kerja, kerja, kerja, tapi nggak tahu apa yang harus dikerjakan. Disinilah perlunya gagasan, strategi dan perencanaan yang matang sebelum kerja, kerja, kerja. Covid-19, ini masalah kesehatan. Menteri kesehatan mestinya berada di garda terdepan. Kenapa justru nggak kelihatan. Sementara pimpinan Satgas bukan dari orang kesehatan. Kalau memang Menkes dianggap tak mampu, ganti saja dong. Lakukan reshuffle. Toh, Presiden punya otoritas melakukan reshuffle. Nggak usah nunggu jadual reshuffle berjama'ah. Nggak mampu, ya ganti. Supaya mesin pemerintah bisa beroperasi dengan baik. Belum lagi soal anggaran. Sudah dibuat dasar regulasinya. Perppu corona diterbitkan. Diperkuat lagi dengan UU No 2/2020. Penanganan corona dan dampaknya, juga dianggarkan khusus. Bahkan terus dinaikkan berkali-kali sesuka hati. Dari Rp 405,1 tiliun menjadi 677,2 tiliun. Setelah itu naik lagi menjadi Rp 686,2 triliun. Dan sekarang Rp 905 tiliun. Tapi, kenapa covid-19 tak juga teratasi? Pertama, dari sisi anggaran menunjukkan pemerintah nggak fokus dan nggak serius tangani pandeminya. Dari sekitar Rp 905 tiliun itu, anggaran untuk kesehatan hanya Rp 87,5 triliun. Kurang dari 10 persen. Itupun yang lewat kemenkes hanya Rp 25,7 triliun. Dengan catatan, tidak ada korupsi. Mosok sih? Kedua, karena kerja pemerintah nggak terukur. Telat dua bulan terapkan PSBB. Ketika PSBB berlaku April-Mei, angka terinveksi relatif bisa ditekan. Rata-rata per hari 445 orang. Namun, buru-buru diumumkan wacana New Normal. Di bulan Juni, angka terinveksi langsung naik jadi 1.141 rata-rata per hari. Bulan Juli 1.714 per hari. Bulan Agustus naik lagi jadi 2.380 per hari. Dan bulan september ini sudah di atas 3000 rata-rata per hari. Begitu juga angka kematian. Bulan April-Mei, ada 26 orang mati rata-rata perhari. Eh, begitu muncul wacana New Normal, angka kematian jadi naik. Rata-rata perhari di bulan Juni 49 orang. Bulan Juli 73 orang. Bulan Agustus rata-rata 80 orang. September? Pasti naik. Tingkat kematian karena covid-19 di Indonesia itu 4,1 persen. Sementara rate kematian global hanya 3,3 persen. Artinya, Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di dunia. Sudah melampaui rate angka kematian dunia, sejak berlakunya New Normal yang dikampenyekan Presiden Jokowi. Dari data ini, wajar jika pandemi covid-19 di Indonesia dianggap menghawatirkan masyarakat internasional. Akibatnya 59 negara telah melockdown Indonesia. Kabarnya sekarang sudah naik lagi menjadi 69 negara yang tidak menerima orang Indonesia ke negaranya. Lalu salahkan orang lain sebagai kambing hitamnya? Kebijakan Anies, Gubernur Jakarta hampir selalu jadi sasaran dan tumbal atas kegagalan pemerintah pusat. Kebijakan Anies injek rem dianggap jadi sumber anjloknya IHSG. Dituduh sengaja ingin membuat ekonomi terpuruk agar Jokowi jatuh. Macam-macam khayalan imajinasinya. Jangan cari cincin di ruang tamu kalau cincinnya hilang di depan rumah bung.... Layakkah Anies menjadi kambing hitam berkaitan dengan injek rem PSBB? Perlu data untuk menjawab hal ini. Sekaligus melihatnya dengan cara membandingkan antara data Jakarta dengan data nasional dan global. Dengan melihat data, kita bisa lebih obyektif. Tidak imajinatif! Menghadapi covid-19, selain meminta warga DKI melakukan 3 M, yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan, Anies juga membuat strategi 3 T: Testing (PCR), tracing (penelusuran) dan treatmen (penanganan di rumah sakit). Pada tanggal 6 september, sebanyak 716.776 orang warga DKI yang dites. Ini berarti per 1 juta orang penduduk Jakarta, ada 76.335 yang dites. Bandingkan di tingkat nasional, per 1 juta penduduk, hanya 5.348 yang dites. Setiap pekan, warga DKI yang dites PCR berjumlah 59.146 orang. Jauh di atas batas minimal yang rekomendasi olehWorld Health Organization (WHO) untuk Jakarta yaitu 10.645 per pekan. Hasil tes menunjukkan bahwa kenaikan kasus positif di tingkat nasional secara total rata-rata 14 persen. Di Jakarta jauh lebih rendah, yaitu 7 persen. Pekan terakhir terjadi kenaikan 19,5 persen di tingkat nasional, dan 12,2 persen di DKI. Melihat trend dan lonjakan angkanya yang makin tinggi, jika Jakarta tak injak rem, maka kenaikan terinveksi dan angka kematian akan semakin menghawatirkan. Data ini juga disadari betul oleh presiden. Hanya saja, presiden belum mengambil langkah. Berdasarkan data statistik, jika kenaikan positif Covid-19 di Jakarta tidak ada treatmen khusus, (berlaku juga untuk daerah yang lain), maka tanggal 17 september, diperkirakan rumah sakit di DKI tak akan lagi mampu menampung pasien. Anies segera ambil langkah cepat. Injek rem. Berlakukan PSBB ketat. Kalau begitu, kenapa nggak hentikan atau kurangi saja jumlah tes PCR, supaya nggak semakin banyak yang ketahuan terinveksi? Itu namanya "Ngabu Nawas" . Dan Anies bukan Abu Nawas. Lebih baik jadi obyek sasaran dari pada jadi Abu Nawas. Anies pernah bilang: "saya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, salah langkah. Kedua, melangkahi. Saya pilih yang kedua". Rupanya, Anies sudah siap ambil risiko. Asal, tidak salah langkah. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Sikap Tegas Jenderal Gatot

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/09). Salah satu Presidium Nasional Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menghadiri Deklarasi KAMI Jawa Barat bersama Presidium lainnya Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Prof. Dr. Rochmat Wahhab. "Triumvirate" ini menyampaikan pidato "Menyelamatkan Indonesia" dalam acara tersebut. Yang menarik dari pidato Jend. TNI (Purn) Gatot Nurmantyo adalah sikap tegasnya terhadap gejala terjadinya perongrongan ideologi Pancasila serta pembelaan terhadap "penistaan" hafidz Qur'an. Dua dimensi yang terintegrasi antara aspek kebangsaan dan keumatan. Meski tidak menunjuk siapa perongrong Pancasila itu. Tetapi arahnya jelas kepada pihak-pihak yang meragukan Pancasila dengan rumusan yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tentu sebagaimana selalu diingatkan Gatot saat menjadi Panglima TNI, maka pergerakan anasir PKI atau kelompok Komunis patut untuk semakin diwaspadai. Dengan merujuk pada peristiwa perlawanan TNI terhadap perintah dari Komandan Pengawal Presiden Soekarno Cakrabirawa (PKI) Kolonel Untung, maka bawahan boleh saja melawan atasan. Apalagi atasan yang berniat mengganggu, bahkan mengganti dasar negara Pancasila. Bahasanya adalah "membunuh atasan" yang berkaitan dengan pembelaan terhadap ideologi negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Sikap itu sebagai wujud dari Sumpah Prajurit. Meskipun resikonya adalah harus dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aspek keumatan yang disentuh Jenderal Gatot adalah bentuk kekesalannya terhadap ungkapan Menteri Agama (Menag) Fachrul Rozi yang dinilai menistakan para hafidz Qur'an. Menurut Menag, ciri dari radikalisme diawali dengan penampilan yang "good looking". Apakah itu mereka yang hafidz atau menguasai penggunaan Bahasa Arab. Kecurigaan yang berlebihan dari Menag Fachrul Rozi ini yang mengingatkan Gatot pada saat menjadi Panglima TNI dulu. Ketika itu Gaot pernah mengadakan muroja'ah 1.000 hafidz Qur’an di Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap. Gatot sangat Menghormati dan memuliakan para hafridz tersebut. Untuk ini Gatot siap membela para hafidz Qur’an itu. Di tengah krisis kepemimpinan yang tidak berkarakter, kemunculan dan ketegasan sikap Jendral TNI Purnawirawan benaran (bukan jenderal kehormatan) Gatot Nurmantyo menjadi fenomena. Tanpa harus dicurigai punya keinginan untuk menjadi pemimpin, Jenderal Gatot memang seorang pemimpin sejati. Pemimpin khas militer yang memahami masalah krusial bangsa secara komperhensip dan menyeluruh. Pemahaman yang tidak asal ngomong. Juga pemahaman yang tidak hanya sepoting-sepotong. Jendral yang sangat faham dengan apa itu “proxy war”. Faham dengan hakekat ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan. Juga sangat faham bagaimana cara menghadapi dan mensikapi semua ancaman, tantangan dan hambatan tersebut. Menjadi barisan KAMI, Gatot mengajak anak bangsa untuk menyelamatkan Indonesia. Jendral Gatot didaulat untuk memimpin KAMI bersama Prof. Din Syamsuddin dari Muhammadiyah dan Prof. Rochmat Wahhab dari Nahdlatul Ulama menjadi Presidium. Jika konsistensi untuk "menyelamatkan" bangsa dapat terjaga, maka gelindingan KAMI akan menjadi gumpalan bola salju. KAMI menjadi yang sangat efektif bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan secara moral hal ini adalah suatu keniscayaan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Melawan Anies, Itu Malapetaka

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Ahad 913/09). Lockdown itu apa sih? Karena (pemahamannya) harus sama," kata Presiden Jokowi setelah meninjau rumah sakit darurat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (01/04). Jokowi menjelaskan bahwa istilah lockdown dipakai apabila semua warga benar-benar tidak boleh keluar rumah. Hanya beraktivitas di rumah. Kebijakan lockdown juga otomatis membuat seluruh layanan transportasi seperti bus, kereta api, dan pesawat pun berhenti. "Nah, ini yang kita tidak ambil jalan yang itu. Kita tetap aktivitas ekonomi ada. Tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak. Jaga jarak aman yang paling penting kita sampaikan sejak awal. Social physicial distancing, itu terpenting," katanya (lihat Republika.co.id 1/4/2020). Postur Inkonsistensi Diberitakan oleh CNBC Indonesia, Presiden Jokowi pada akhir Maret, menyatakan "kita harus belajar dari pengalaman negara lain. Kita tidak bisa menirunya begitu saja," kata Jokowi usai Ratas Kabinet. Jokowi juga mengatakan setiap negara memiliki ciri khas masing-masing. Baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, hingga kondisi geografis. Presiden lebih jauh menyatakan kita juga harus memperhatikan kemampuan fiskal. Oleh karena itu, kata Jokowi kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi. Semua harus dihitung dikalkulasi dengan cermat. Dan inti kebijakan kita sangat jelas. yakni pertama adalah kesehatan masyarakat (lihat CNBC Indonesia, 31/03/2020). Tiga bulan yang hebat selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun menemui akhir. Jokowi muncul dengan gagasan pelonggaran PSBB. Gagasan itu dilukiskan oleh Wata Ekonomi dalam judul berita “Jokowi Mau Terapkan New Normal.” Kata Jokowi "Yang penting, masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. Berdampingan itu justru tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan Covid-19 dengan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat” (lihat Warta Ekonomi.co.id, 1/6/2020). PSBB dipilih dan dilaksanakan. Tiga bulan yang menjanjikan itu, akhirnya tersingikir.Takanan pada ekonomi yang berlebihan menjadi trade mark pemerintahan Jokowi. Menariknya segera terbukti kebijakan new normal, sebuah istilah yang akrab dilidah Jokowi, merangsang membesarnya bara corona. Entah bara ini teridentifikasi dapat membakar pemerintahannya, atau hal lainnya, Presiden memberi respon. Dalam rapat paripurna kabinetnya pada tanggal 7 September 2020, Presiden menyatakan fokus utama pemerintah yaitu mengutamakan kesehatan. Pernyataan itu disambut Windhu Purnomo, epidemoplog Universitas Airlangga. Kata Windhu, sekarang ini pemerintah bilang fokus pada kesehatan. Dan itu Alhamdulillah. “Jadi, kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden mulai siuman. Mulai sadar," kata Windhu Purnomo, epidemolog Universitas Airlangga saat dihubungi CNN Indonesia.com, Selasa (8/9). Siuman? Tunggu dulu. Akhir Maret yang lalu Presiden juga menyatakan hal yang sama. Fokus pada kesehatan, kata Presiden kala itu. Tetapi dalam kenyataannya tekanan kebijakannya terletak pada ekonomi. Ada inkonsistensi yang nyata. Akankah inkonsistensi ini berlanjut lagi? Inkonsistensi itu terlihat dari data realisasi anggaran yang dikemukakan Kementerian Keuangan. Pemerintah, begitu data Kemenkeu bicara, telah menganggarkan total biaya Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp. 695,20 triliun yang dialokasikan untuk enam sektor, dimana total realisasi hingga minggu pertama Agustus adalah Rp. 151,25 triliun sudah dilaksanakan atau 21,8% dari pagu program Pemulihan Ekonomi Nasional. Lebih rinci, realisasi di sektor kesehatan Rp7,1 triliun, sektor perlindungan sosial Rp86,5 triliun, sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda Rp8,6 triliun, sektor dukungan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) Rp. 32,5 triliun, dan sektor insentif usaha sudah mencapai Rp. 16,6 triliun dan sektor pembiayaan korporasi masih belum terdapat realisasi. Dari total anggaran Rp. 695,20 triliun, realisasi untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dari DIPA sudah dikeluarkan sebesar Rp. 313,2 trilliun dan yang belum dimasukkan ke DIPA sebanyak Rp. 226,1 triliun dan anggaran yang tanpa DIPA sebesar Rp. 155,9 triliun dalam bentuk berbagai insentif pajak (http://www.kemenkeu.go.id. 10/08/2020). Realisasi anggaran, bukan pernyataan Presiden. Suka atau tidak menjadi parameter politik dan tata negara tentang postur pemerintahan. Apalagi data itu disajikan oleh Kemenkeu. Tidak ada kementerian, bahkan Presiden yang tahu detail realisasi anggaran, selain Kemenkeu, suka atau tidak. Ini Berbagaya Corona membara di Jakarta. Bisa sangat mengkhwatirkan. Kapasitas rumah sakit, kata Gubernur Anies Baswedan bakal tak mampu menampung orang terinfeksi corona. Hebatnya, Anies mengerti tanggung konstitusional yang disandangnya dan tanggung jawab moral sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak berwacana seperti Presiden. Tetapi lebih banyak bertindak. Itulah Anies, dan itulah pemimpin. Begitulah pemerintahan yang efektif. Rakyat tidak bisa dibiarkan terjatuh semakin dalam pada keadaan yang lebih parah. Mereka tidak bisa dibiarkan sakit dan mati konyol akibat salah kelola pemerintahan. Anies memperlihatkan pemerintahan yang dipimpinnya tidak berwatak korporatis yang selalu totaliter. Bergairah menyepelekan aspirasi. Setelah mengidentifikasi masalah dan memproyeksinya secara ternalar, Anies bertindak. PSBB total hasilnya. Pasar saham terguncang seketika. Airlangga Hartarto, Menko Ekonomi segera mengarahkan rasio kejatuhan pasar saham itu pada putusan Anies. Kejatuhan pasar saham memang acap berakibat fatal. Tetapi para ilmuan tahu kejatuhan pasar saham tidak pernah jadi faktor tunggal kekacauan ekonomi. Itu ditunjukan pada depresi ekonomi tahun 1929-1933. Kejatuhan pasar saham itu hanya melengkapi resesi ekonomi yang telah terjadi setahun sebelumnya. Presiden Herbert Hoveer yang ogah-ogahan mengambil tindakan radikal menangani ekonomi adalah penyebab utamanya. Apakah Jokowi akan mengirim menteri lagi untuk menekan Anies? Itu urusan Presiden. Apakah Presiden akan memaksa Anies melakukan PSBB Komunitas, mikro, sebuah gagasan yang muncul tiba-tiba? Itu juga urusan Presiden. Tetapi secara tata negara status Jakarta sebagai daerah yang diberlakukan PSBB, sampai sekarang belum dicabut. Presiden harus tahu itu. Pelonggaran PSBB, tidak sama hukumnya dengan mencabut PSBB. Pelonggaran tidak lebih dari sekadar menurunkan level PSBB. Bukan pencabutan PSBB. Itu hukumnya. Anies dengan demikian sah mengambil tindakan menghidupkan lagi PSBB seperti sedia kala. Presiden boleh punya mesin kekuasaan. Boleh dihidupkan mesin itu untuk melawan Anies. Tetapi Anies terlalu pintar untuk dipukul. Anies tahu bara corona saat ini merupakan buah pelonggaran PSBB. Anies juga pasti memiliki imajinasi politik tak terlihat. Dia tahu pelonggaran PSBB itu kebijaan Presiden. Sekarang Anies mencegah membesarnya bara itu. Lalu Prersiden mau melarang? Presiden jangan panggil bara politik dan tata negara. Presiden jangan terus-terusan memperlihatkan kekeliruan dalam mengelola negara. Sebab bisa menimbulkan masalah yang belum sempat diperkirakan sebelumnya. Mengutamakan kesehatan, melarang orang berkerumun, menunjuk Pilkada sebagai klaster corona, tetapi membiarkannya tetap berlangsung Pilkada, juga jelas tidak masuk akal sehat Pak Presiden. Tidakkah tabiat pilkada adalah orang berkerumun? Itu inkonsisten yang nya-nyata inkonsistensi. Melawan Anies itu akan terlihat masuk akal, kalau Presiden membungkus pemerintahannya dengan konsistensi. Sayangnya itu tidak terlihat Pak Presiden. Pada saat yang sama faksin anti coronanya tidak oke. Obat yang efektif juga tidak oke. Sekalipun telah berpartner dengan China, vaksinnya belum jelas. Vaksin merah putih, vaksin nasionalisme ini juga baru 50%. Tes Swap juga mahal. Itu karena watak korporatis yang menonjol pada pemerintahan ini. Dalam Raker dengan DPR, Pelaksana Tugas Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) menyatakan mahalnya biaya Test Swap karena rumah sakit swasta terlalu mencari untung. Ada yang mengenakan tarif sampai Rp. 2,2 juta, bahkan ada juga yang Rp. 5 juta (CNN Insdonesia, 9/9/2020). Awan panas RUU HIP belum mereda. Pemerintah sedang memanaskan langit politik dengan sertifikasi penceramah Agama Islam. Harga jual minyak pertamina di dalam negeri juga sama. Masih tidak bisa dimengerti orang. UU Corona dan RUU Omnibus, masih terus menyimpang antipati ke pemerintah. Kombinasi tampak tak beraturan. Semua faktor diatas menjadi alasan mendekatnya malapetaka bila Presiden memindahkan gigi kekuasaan menghentikan kebijakan Anies. Semua inkonsistensi Presiden akan silih berganti disajikan. Dan itu sama dengan memanggil malapetaka politik dan tata negara atas pemerintahan Presiden Jokowi. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Kenangan Bersama Jacob Oetama

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Hari Rabu siang (09/09/20) mata saya tertancap berita penting di Kompas Tv. Berita duka : Jacob Oetama dalam usia 88 tahun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Lahir di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 27 September 1931. Delapan belas hari lagi akan berulang tahun yang ke 89. Tidak akan saya nambah lagi komentar tentang keistimewaan sosok almarhum. Kiprahnya di dunia jurnalistik, di pergaulan sosial, wartawan yang sangat berintegritas, maupun sebagai pengusaha media yang piawai. Semuanya sudah diberitakan. Yang saya mau paparkan sisi “human interest” (kemanusiaan) almarhum. Sisinya yang bersahaja. Sesungguhnya disitulah tersembunyi kekuatannya. Persentuhan saya yang mengesankan dengan pak Jacob, terjadi tahun 1987. Kalau saya tidak salah ingat, waktu itu ada acara “Pertemuan Akbar Pemimpin Redaksi dan Pengurus PWI Se- Indonesia” bertempat di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Entah ini, sudah acara PWI se-Indonesia yang ketiga atau keempat. Hanya boleh diikuti kurang lebih 257 media cetak yang punya izin. Di era Orba (Orde Baru) kehidupan pers, khususnya media cetak dikontrol ketat oleh pemerintah melalui Deppen (Departemen Penerangan) dengan Menteri Penerangannya adalah Harmoko (1983 – 1993). Tampil sebagai pembicara di hari terakhir (hari kelima) acara itu adalah Penglima ABRI/Pengkopkamtib Benny Moerdani. Saya mendapat giliran sebagai penanya pertama. Malam itu Benny tampak malas dan suntuk. Mungkin kurang tidur, karena baru tiba di Jakarta beberapa jam yang lalu, selesai mendampingi Presiden Soeharto dalam kunjungan kerja ke luar negeri. Jendral bintang empat yang anti senyum itu kurang semangat. Benny bertanya dengan ketus kepada peserta yang datang dari seluruh Indonesia, “ngapain saudara-saudara ada disini? Ini kan malam minggu. Mestinya anda ada di tengah keluarga”. Suasana langsung kaku dan tegang. Pimpinan sidang Zulharmans Said yang Ketua Umum PWI Pusat, segera membuka acara tanya jawab. Dia menyebut nama saya sebagai penanya pertama. Itupun setelah saya angkat tangan tinggi-tinggi dan setengah menjulurkan kepala ke depan. Maklum, mungkin koran saya “Barata Minggu” tergolong koran kecil (oplag), jadi kurang “diwongke”. Maklum baru delapan tahun di tangan saya. Tanpa sponsor pemodal pula. Juga tanpa kredit bank. Biaya pribadi pula. Hidupnya sangat susah, karena harus bersaing koran raksasa harian seperti “Kompas” dan “Sinar Harapan”. Saya pertanyakan kepada Benny Moerdani, mengapa isi ceramahnya yang hampir sejam lebih itu banyak mengeritik pemberitaan di media cetak yang dianggapnya sering free kick? Mengapa bapak Jendral tidak menyinggung juga belakangan ini banyaknya acara di televisi yang bertentangan kepribadian dan nilai luhur budaya Indonesia? kata saya. Waktu itu satu-satunya televisi yang ada hanya TVRI. Punya pemerintah dan masih hitam putih. Serial di televisi yang saya gugat itu berjudul “Return To Eden” produksi Australia. Apakah pak Jendral tidak menonton acara itu di televisi? kata saya mantap. “Tidak! Saya tidak nonton yang begituan. Saya cuma nonton “Losmen”, jawab Benny tangkas. “Losmen” adalah film seri Indonesia tahun 1980-an yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari keluarga Broto yang mengelola sebuah losmen. Ditulis dan disutradarai pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing. Bintangnya Mieke Widjaja, Mang Udel, Mathias Muchus, Ida Lemandan Dewi Yull. “Return To Eden” ditayangkan serial tiap minggu beberapa tahun oleh TVRI. Dibintangi artis seksi Rebecca Giling. Menampilkan gambar nyaris tanpa sensor. Intrik, free seks, adegan porno dan kekerasan serta aneka ragam adegan pembunuhan hingga adegan panas di ranjang pun tidak disensor. Mengaku hal itu bukan kompetensinya, Benny kemudian meminta penanggung jawab televisi untuk menjelaskan. Harmoko malam itu tidak ada. Yang diminta maju adalah Dirjen PPG (Penerbitan, Pers Dan Grafika) Soekarno SH. Dengan tergopoh-gopoh menuju meja sidang. Dia terlihat seperti baru bangun tidur. Mungkin tertidur duduk karena kelelahan sebagai panitia inti. “Maaf, tolong pak Zainal Bintang mengulangi pertanyaannya”, katanya. Pejabat yang satu ini terkenal sangat santun dan lembut. Ketika itu suara peserta menjadi gaduh dan bergantian berteriak, “nah awas lo Bintang, izin kamu dicabut”. Ada juga yang bilang “mampus deh kamu kawan. Izin kamu pasti dicabutlah. Ke laut lah koran kau Bintang “, suara rekan wartawan dari Medan itu pastinya. Teriakan itu sebenarnya adalah sindiran terhadap banyaknya pembreidelan ataupun teguran lewat “sensor” telipon pejabat Deppen (Departemen Penerangan) terhadap beberapa media karena merugikan citra pemerintah. Bahkan masih banyak koran yang izinnya belum dikeluarkan seiring adanya keharusan mengurus izin baru sebagai pengganti izin lama SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) berdasarkan UU Pokok Pers Tahun 1985. Koran saya Barata Minggu izinnya masih ditahan oleh Departemen Penerangan. Karena beritanya dianggap sering “offside” menyindir pemerintah. Dengan tenang saya menjawab, “maaf pak Dirjen dan Pak Benny. Atas nama keselamatan saya, maka pertanyaan saya tarik”. Suasana dalam ruangan tiba-tiba bergemuruh. Heboh. Tidak terduga. Dan mungkin terasa lucu. Sesungguhnya suasana malah menjadi cair karenanya. Itu membuat Benny Moerdani dan rombongan punya alasan untuk segera mengundurkan diri dari acara. Malam itu berlalu tanpa tanya jawab lagi. Sebagian besar peserta menuduh saya “pengacau”. Tapi, nyatanya ada juga yang memuji. Diantara yang memuji adalah Jacob Oetama. Hal itu baru saya ketahui keesokan harinya menjelang penutupan acara. Pak Jacob memanggil saya. Kami bicara sebelum acara dimulai. “Bung Zainal”, katanya memulai pembicaraan dengan dentuman huruf “B” yang “njawani” ketika mengucapkan kata “Bung”. Medok betul. Dan itulah ciri khas Pak Jacob. “Saya mau tahu bung, apa yang ada di fikiran anda, maka tiba-tiba memilih sebuah jawaban yang singkat dan cerdas begitu”. Haahh…?? Saya kaget dan heran dalam hati. Saya tatap wajah Pak Jacob yang terlihat serius, tapi tetap dengan senyum lembutnya. Terlihat butuh jawaban yang jujur. Entah, substansi apa yang ditangkapnya dengan dalam perkataan saya ketika memutuskan membatalkan pertanyaan. “Pak Jacob, maaf saya ini kan pemain teater dan juga film pak. Jadi sebagai seniman, saya memutuskan cepat memberi jawaban yang teateral”, kata saya merendah. Setengah bercanda. Ternyata Pak Jacob ikut tertawa tergelak-gelak, tapi berusaha mengendalikannya. “Oh ya yaa. Saya mengerti. Saya mengerti. Pemain teater sih yaa”, katanya sambil mengangguk-angguk. Humoris juga orang ini yaa. Saya membatin. Agenda tahunan “Pertemuan Akbar Pemred & Pengurus PWI se-Indonesia” itu adalah sebuah tradisi yang digagas Harmoko setelah beberapa kali menjabat Ketua Umum PWI, integrasi hasil kongres pengurus “kembar” di Tretes, Malang, Jawa Timur (1971). Dimulai akhir 1979 dan berakhir setelah beberapa tahun Harmoko diangkat menjadi Menteri Penerangan oleh Soeharto (1983 – 1993). Kongres PWI di Tretes berlangsung kurang dari setahun setelah kasus pengurus “kembar” di Palembang. Kongres itu dilabel dengan frasa “integarsi” untuk menyatukan pengurus PWI yang terbelah dua pada saat kongres ke XIV di Palembang (1970) yang melahirkan dua pengurus, yakni PWI Diah dan PWI Rosihan. Kedua kubu dedengkot wartawan itu berbeda pilihan. Yang satu mendukung BM Diah (Harian Merdeka) yang lainnya memihak Rosihan Anwar (Harian Pedoman) Saya salah satu anggota delegasi dari PWI Sulawesi Selatan bersama beberapa senior, antara lain almarhum Rahman Arge tokoh wartawan dan seniman terkenal ke Tretes waktu itu. Dalam usia 24 tahun. Disitulah saya berkenalan dengan banyak tokoh pers nasional, termasuk Jacob Utama. Beberapa tahun kemudian(1992), saya bertemu lagi pak Jacob di kantor PWI Pusat di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Waktu itu saya pengurus Bidang Hukum PWI Jaya. Karena suatu keperluan organisasi, saya ke kantor PWI Pusat. Pak Jacob mengajak masuk ke ruangannya. ”Bung Zainal, anda ini bahagia sekali yaa. Anda bebas, anda hiasi korannya dengan foto berwarna dan layout huruf-hurufnyapun berwarna juga”. Saya kaget lagi. Ternyata Pak Jacob sangat detil sekali pencermatannya. Sebagai generasi muda, dalam hati saya salut pada kerendahan hati pemilik koran besar yang mau memperhatikan dengan saksama koran “kecil”. Almarhum menjelaskan dengan mimik sedikit “sedih” mengatakan koran “Kompas” agak “cemburu”. Karena tidak bisa seenaknya merubah layout. Terikat secara kebatinan dengan pembaca tradisionalnya yang masih “konservatif”. Mayoritas pembaca “Kompas” adalah eksekutif papan atas. Termasuk presiden Soeharto dan jajarannya. Almarhum merasa terikat secara moralitas untuk tetap bertahan dengan wajah “Kompas” yang hitam putih. Yang klasik. Era perkembangan teknologi modern beberapa tahun kemudian, memaksakan kompetisi pembaharuan perwajahan media cetak. “Kompas”pun terpicu menjawab permintaan pasar pembaca yang berubah. Generasi muda pembaca yang lebih modis dan trendi mendorong “Kompas” mulai terlihat “agresif”. Kompas mulai berimprovisasi menggunakan tata warna pada perwajahannya. Meski masih terkesan “malu-malu” . “Ohh…Ok..Ok pak Jacob, akhirnya tercapai jugalah cita-citamu”, kata saya dalam hati ketika setiap hari menemukan wajah “Kompas” sudah mulai “berani” warna-warni. Saya “mendekati” sosok seorang Jacob Oetama lebih menggunakan teori teater atau ilmu peran. Saya lebih suka menangkap dimensi lain yang disebut sebagai “gesture” (gerak – gerak kecil) kecil. Gerak-gerak kecil almarhum yang saya ungkapkan itu justru adalah pertanda kekuatan besar yang sejatinya ada pada semua manusia. Tapi tidak banyak yang mampu mengelolanya menjadi energi positif. Dan Pak Jacob ada disitu. Beliau mampu mengelolanya. Menatap upacara pemakaman almarhum di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di layar televisi, wajah pak Jacob berkelebat dalam ingatan saya ketika mendengarkan ratapan lirih lirik lagu “Ibu Pertiwi”. Lagu sedih yang patriotik favorit Pak Jacob. “Kulihat wajah Pak Jacob. Menekan hatinya yang sedih. Tapi tetap senyum. Air matanya tertahan. Pesan moralnya tergenang”. Selamat jalan pak Jacob. Kehadiran dan kepergianmu dikenang. Pesan moralmu terkenang. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Jokowi Sudah Tak Efektif Sebagai Pemimpin

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Indonesia dihebohkan oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) seketika rontok. Kamis 10 September kemarin, IHSG anjlok 5% ke level 4.891. Otoritas bursa sampai menghentikan sementara perdagangan saham, karena anjloknya bursa tergolong parah. Menariknya, selevel Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto langsung merespon. Namun Airlangga mengatakan, rontoknya IHSG disebabkan karena announcement Gubernur DKI Jakarta terkait akan kembali memberlakukan PSBB. Bagaimana perspektif politik membaca fenomena ini. Saya narasikan secara sederhana saja dalam artikel singkat ini. Ini semacam membenarkan tesisnya Berry Clark dalam Political economy : A Comparative Approach (2016) yang meyakini pendekatan interdisipliner dalam praktik tata kelola negara. Bahwa ada relasi kuat antara politik dan ekonomi, atau sebaliknya. Dalam konteks itu, justru narasi Airlangga Hartarto semakin memperkeruh relasi antara politik dan ekonomi Indonesia saat ini. Saya termasuk yang meyakini bahwa Anies Baswedan sebagai Gubernur membuat kebijakan kembali terapkan PSBB itu pasti berbasis data. Tidak mungkin Gubernur buat kebijakan tanpa data. Nah yang paham data terakhir Jakarta terkait Covid-19 tentu saja Anies Baswedan. Pasti bukan Airlangga Hartarto. Anies Baswedan menyampaikan data sebenarnya. Apa yang disampaikan kepada publik pada 9 September malam tersebut sudah cukup untuk menggambarkan situasi covid-19 di Jakarta saat ini. Bahwa situasi wabah di Jakarta saat ini berada dalam kondisi darurat. Ambang batas kapasitas rumah sakit untuk ruang isolasi dan Intensive Care Unit (ICU) sudah melampaui angka batas aman. Sehingga diperkirakan akan mencapai kapasitas maksimal di 17 September 2020, dan setelah itu fasilitas kesehatan di DKI Jakarta akan kolaps. Selama 6 bulan terakhir, kasus Covid-19 di Jakarta didominasi 50% kasus Orang Tanpa Gejala (OTG). Sekitar 35% lagi adalah kasus gejala ringan-sedang. Demikian data yang disampaikan dalam pernyataan Gubernur DKI tersebut untuk mengambil langkah kembali melakukan PSBB. Pernyataan Gubernur Anies Baswedan di atas dalam perspektif politik sebenarnya itu pernyataan yang biasa-biasa saja. Bukan pernyataan yang luar biasa. Pernyataan yang menunjukan tanggungjawab seorang Gubernur kepada publik. Memang seharusnya begitu Gubernur bekerja. Untuk mengingatkan publik, dan mengambil langkah yang tepat dalam beberapa hari ke depan. Dalam perspektif politik yang dilakukan Anies Baswedan juga menunjukan cara kerja dalam prinsip-prinsip Open Government. Diantaranya prinsip transparansi. Jadi saya justru heran, ko respon menteri-menteri Jokowi tidak support upaya transparansi data dan sikap Gubernur DKI tersebut. Bukankah Jokowi terakhir meski terlambat mengatakan bahwa kesehatan rakyat harus diutamakan daripada ekonomi? Yang dilakukan Anies Baswedan itu tidak bertentangan dengan Jokowi. Ada apa ini justru para menterinya yang nyinyir? Apakah sikap menteri tersebut atas perintah Jokowi? Fenomena respon dari Menko Perekonomian tersebut sesungguhnya adalah suatu pintu untuk membuka, bahwa kekacauan tata kelola pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 sedang benar-benar terjadi. Tidak ada kepemimpinan yang solid dalam menangani covid-19. Upaya jujur dan langkah cepat Gubernur DKI terlihat sangat tidak didukung Pemerintah Pusat. Sikap Pemerintah Pusat ini terlihat karena terjadi beberapa kali sejak awal kasus positif covid-19 ditemukan. Beberapa kali langkah cepat DKI Jakarta dibatalkan Presiden Jokowi. Misalnya dalam soal publikasi data, soal keinginan lockdown, dan kini soal rencana kembali berlakukan PSBB. Saat Presiden Jokowi tidak menyetujui langkah Gubernur DKI saat itu, saya berasumsi bahwa Presiden Jokowi mungkin punya kapasitas lebih untuk mengelola situasi pandemi covid ini. Tetapi setelah 6 bulan berlalu, Jokowi ternyata lebih sibuk mengeluarkan aturan yang ternyata tidak efektif dilaksanakan. Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang saling bertabrakan. Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang dikeluarkan Jokowi, dan kemudian menjadi UU Nomor 2 tahun 2020 terlihat dominan untuk memenuhi kepentingan oligarki ekonomi. Namun tidak efektif di lapangan. Jokowi juga terlihat sibuk mendorong RUU Omnibus Law Cipta Kerja agar disahkan DPR, padahal ditolak rakyat. Juga mengesahkan UU Minerba yang juga ditolak rakyat. Sibuk merevisi UU Bank Indonesia yang juga diolak rakyat. Semuanya dilakukan saat rakyat lapar akibat covid-19. Saat seratusan dokter berguguran. Saat rakyat makin susah. Saat ekonomi makin memburuk dengan angka pertumbuhan minus -5 % lebih. Jokowi sibuk marah-marah nggak karuan. Semua menterinya dimarahi karena daya serap APBN-nya yang rendah. Jokowi juga memarahi para Gubernur yang daya serapnya rendah. Tragisnya, ternyata perintah Jokowi sudah tidak bisa ditaati para menterinya. Fenomena regulasi yang ditolak rakyat. Daya serap APBN yang rendah. Angka pertumbuhan ekonomi yang sudah minus -5% lebih. Sering marah-marah kepada para menteri. Para menterinya makin lama makin sering membuat gaduh dengan kebijakan yang aneh-aneh. Para menteri juga sibuk dengan urusan masing-masing. Lebih taat pada Ketua Umum partainya. Koordinasi juga mulai terlihat berantakan. Pembagian kerja dengan Wakil Presiden juga sering tidak sinkron. Bahkan terlihat kalau wapres cenderung untuk diabaikan. Itu semua adalah indikator paling nyata bahwa kepemimpinan Jokowi sudah tidak lagi efektif. Kepemimpinan Jokowi tidak lagi mampu untuk mencapai tujuan bernegara yang telah ditetapkan di Pembukaan UUD 1945. Tetapi justru semakin terlihat kacau balau. Apakah itu semua harus dibiarkan berlanjut dan terus berlanjut? Rakyat dan pemimpin yang otentik sudah waktunya hadir? Negara harus diselamatkan dengan menghadirkan pemimpin yang otentik. Bukan pemimpinan yang suka lupa dengan omongannya sendiri. Penulis adalah Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Menteri Agama Ngawur, Presiden Kok Diam?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Ketika Menteri Agama Fachrul Razi direaksi karena ngomong tentang radikalisme melulu, Presiden diam seribu bahasa. Apakah Presiden sengaja membiarkan Menteri Agama babak belur dihajar oleh kebijakan penghapusan "ajaran radikal" dari buku pelajaran agama Islam? Begitu juga dengan omongan Menteri Fachrul Rozi soal celana cadar dan celana cingkrang. Rencana pendaftaran majelis ta'lim, serta hafidz dan mahir bahasa arab sebagai pintu radikalisme. Sehingga diduga sampai akhir jabatan Menteri Agama hanya akan berkhidmah pada "radikalisme". Dengan bekal ilmu agama Pak Menteri Fachrul sangat yang sangat minim, pas-pasan, atau nyaris kosong, tetapi berani dan bangga bicara tentang radikalisme. Hanya dengan berbekal modal dasar sebagai Menteri Agama, ngomongnya seperti orang sudah menjadi mufassir dan muhaddits. Padahal semakin banyak ngomong, Menteri Agama semakin menelajangi diri sendiri soal pengetahuan agamanya. Menteri diangkat dan diberhentikan Presiden. Oleh karenanya menteri dalam sistem ketata negaraan yang berlaku disebut menjadi pembantu Presiden. Menteri bertanggungjawab kepada Presiden, dan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan. Satu, sebagian atau seluruhnya. Reshuffle adalah kewenangan ketatanegaraan Presiden. Makanya menteri itu menjadi "wajahnya" Presiden pada tataran pelaksanaan. Ketika Menteri Agama gonjang-ganjing dengan kebijakan kontroversi, mulai celana cingkrang hingga "otak cingkrang" bahwa hafidz atau penguasaan bahasa arab menjadi pintu radikalisme, semestinya Presiden bersuara atau bersikap. Presiden seharusnya mengoreksi, meluruskan atau mungkin menegur setiap perbuatan yang menyakiti perasaan rakyatnya. Khususnya rakyat yang beragama Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Lebih tegas lagi Presiden harus menggantikannya dengan pejabat yang lain. Diganti dengan pejabat yang tidak punya hobby memproduksi kegaduhan di tenagh menguatnya dua jenis tekanan kepada masyarakat. Pertama adalah tekanan pandemi covid-19, dan kedua adalah tekanan ekonomi yang semakin meberatkan. Jika Presiden diam saja maka rakyat berhak memberikan penilaian kepada Presiden. Pertama, Presiden tidak mengerti apa yang dinyatakan oleh sang Menterinya. Ini artinya kualitas Presiden berada di bawah menteri. Kecuali Presiden bersikap lain. Misalnya, dengan mengoreksi, meluruskan atau menegur menterinya. Kedua, Presiden mengerti tetapi tak bisa mengendalikan menterinya. Maka nyatalah bahwa menteri tersebut jalan sendiri. Menteri tak lagi menjadi pembantu Presiden. Apa saja yang mau diomongin suka-suka hati pada menterinya. Tidak lagi perduli dengan apa kata Presiden. Ketiga, kebijakan menteri adalah suara dan isi hati dari Presiden. Maka tuntutan agar menteri diganti sama saja dengan meminta Presiden yang diganti. Salah sebesar apapun yang dilakukan oleh menteri, presiden bakal diam saja. Bahkan bisa saja disuruh oleh Presiden secara diam-diam. Hampir semua Menteri Jokowi tidak ada yang berprestasi. Pilihannya hanya dua, yaitu diam atau berprilaku aneh-aneh dengan membuat pernyataan yang kontroversi. Jika di era parlementer, semestinya kondisi ini menyebabkan bubarnya Kabinet. Mungkin untuk yang kelima kali. Presiden yang hanya bisa diam saja disaat menterinya salah, menggambarkan dan mengkonfirmasi kepada masyarakat bahwa Pemerintahan sudah kehilangan wibawa. Kepercayaan kepada pemerintah sudah runtuh. Pemerintah mendeklarasi dirinya tentang ketidakmampuan mengelola pemerintahan. Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat lagi? Pilihan konstitusional hanya dua, yaitu mundur atau dimundurkan. UUD 1945 mengatur cara melakukan penyegaran dalam pemerintahan, demi kebaikan besama dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mengada-ada. Apalagi makar atau kudeta. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.