NASIONAL
KPU Mutilasi UUD 1945 dan UU No. 7/2017
by Radhar Tribaskoro “UUD 1945 pasal 6A menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Jakarta FNN – Kamis (09/07). Ketentuan konstitusional Pasal 6A UUD 1945 ini dikutip dengan sangat lengkap dalam Pasal 416 ayat 1 Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilihan Umum. Tidak ada penambahan maupun pengurangan satu kalimat, kata atau hurup dari redaksi Pasal 6A UUD 1945. Dengan demikian, maka menurut konstitusi dan perundang-undangan kita, terdapat dua norma untuk keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslonpres). Pertama, norma tentang representasi pemilih individual (suara terbanyak). Kedua, norma yang berkaitan dengan representasi masyarakat provinsial. Dipilih dengan suara minimum 20% di setiap provinsi, dan kemenangan yang tersebar di lebih dari 50% provinsi). Kedua norma tersebut normal dan umum dalam praktek ketatanegaraan dunia. Beberapa negara seperti India dan Amerika Serikat misalnya, menerapkan metode electoral college dalam pemilihan presidennya. Metode tersebut memberi kesempatan rakyat memilih langsung presidennya. Namun suara rakyat itu dihitung habis di tingkat negara bagian. Paslonpres yang memperoleh suara terbanyak memperoleh semua electoral college (hak suara) yang dimiliki oleh negara bagian itu. Selanjutnya paslonpres yang memiliki jumlah electoral college terbanyak akan dipilih menjadi presiden dan wakil presiden. Dalam metode electoral college ini jumlah electoral college yang dimiliki suatu negara bagian ditentukan oleh jumlah penduduknya. Dengan ketentuan ini, pada umumnya paslonpres yang memperoleh electoral college terbanyak juga memperoleh suara pemilih terbesar. Tetapi selalu ada perkecualian. Dalam sejarah pilpres di Amerika Serikat, ada lima paslonpres yang memenangkan popular votes tetapi kalah perolehan electoral college. Contoh terdekat adalah ketika Al Gore kalah dari George Bush dalam pilpres tahun 2000. Al Gore unggul 500.000 suara, tetapi kalah lima electoral college dari Bush. Prinsip dua norma ini, juga berlaku dalam pemilihan presiden secara tidak langsung di parlemen. Misalnya, yang terjadi di Jerman, Pakistan, Italia, dan lain-lain. Dalam sistem parlemen bikameral, wakil rakyat yang dipilih secara individual (lower house) mengadakan joint session dengan wakil daerah (senat) untuk memilih presiden. Pada beberapa Negara, parlemen-parlemen daerah menunjuk wakil untuk bergabung dalam pemilihan presiden itu. Tak Perlu Sewenang-Wenang Dengan argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan konstitusi yang menghendaki adanya keterwakilan individu dan keterwakilan masyarakat tidak mengada-ada (arbitrary). Ketentuan tersebut telah dipraktekan selama ratusan tahun oleh banyak negara di dunia. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 telah memutilasi prinsip keterpilihan yang diatur dengan tegas, jelas dan dinyatakan oleh UUD 1945 pasal 6A dan UU No.7/2017 pasal 461. Peraturan KPU tersebut telah mendrop norma keterwakilan masyarakat. Sebaliknya, menjadikan keterwakilan individu (suara terbanyak) sebagai satu-satunya norma keterpilihan paslonpres. Permasalahan inilah yang saya kira yang menjadi semangat dan spirit dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019. Putusan yang menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 nyata-nyata telah bertentangan dengan perundangan-undangan di atasnya, yaitu Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 461 UU No.7/2017 pasal 461 Apa kata KPU? KPU selalu berdalih bahwa situasi persaingan biner hanya bisa diputuskan melalui norma suara terbanyak. Itu alasan mereka membuat peraturan di atas. Namun cara berpikir itu berdampak KPU telah memutilasi keinginan luhur dan mulia dari pembuat konstitusi yang ingin mendrive perilaku paslonpres agar tidak memusatkan perhatian kepada provinsi yang kaya suara saja dengan mengabaikan provinsi sedikit suara. Para penulis dan pembuta konstitusi sangat menyadari bahwa, kalau hanya menerapkan norma suara terbanyak, maka paslonpres hanya memusatkan perhatian di Pulau Jawa saja, sudah lebih dari cukup untuk memenangkan pilpres. Karena di Pulau Jawa terdapat lebih dari 50% suara pemilih. Namun demikian, di tengah ketidak-seimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa itulah, keinginan dari konstitusi itu sangat luhur mulia. Sayangnya, KPU telah melangkah sangan jauh. Langkah KPU melampaui kewengan dari pembuat kontitusi dan pembuat undang-undang. KPU telah memutilasi keinginan luhur tersebut. KPU misalnya, beralasan dan mengatakan bahwa Peraturan KPU Nomor/2019 itu mesti dibuat karena undang-undang tidak menjelaskan situasi dimana paslonpres hanya ada dua (biner). Menurut saya keresahan ini tidak perlu ada. Membuat aturan sendiri untuk hal yang tidak diperlukan adalah perbuatan yang sewenang-wenang. Melampaui kewenangan dari para pembuat konstitusi dan undang-undang. Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilu memang tidak secara implisit menjelaskan situasi paslonpres banyak dan paslonpres biner. Namun undang-undang itu dengan tegas mengatakan bahwa, bila dalam situasi paslonpres banyak, tidak ada paslonpres memperoleh suara lebih separuh, pilpres harus dilanjutkan ke tahap dua. Di tahap kedua ini dilombakan dua paslonpres dengan bersuara terbanyak itu. Komisioner KPU Mengundurkan Diri Saja Dengan menyatakan bahwa pilpres tahap dua, yang terdiri dari dua paslonpres, maka UU No.7/2017 secara implisit sudah mengafirmasi situasi kemungkina ada dua paslonpres. Ini berarti Peraturan KPU No.5/2019 tidak lagi diperlukan. Dengan kata lain, prinsip dua norma sebagaimana tercantum dalam pasal 461 ayat 1 UU No.7/2019 berlaku utuh dan tidak perlu ditafsirkan dan dipersoalkan oleh KPU yang posisi dan kedudukannya hanya sebagai penyelenggara. Peratanyaa, apakah bila norma keterwakilan suara di setiap provinsi minimal 20% tersebut diadopsi, berarti dimungkinkan pilpres bakal tiada akhir? Tidak akan ada pemenang? Karena norma tersebut sulit dipenuhi? Tentu saja tidak. Perolehan 20% suara bukan jumlah yang unattainable. Paslonpres akan dapat memenuhi ketentuan tersebut, asalkan ketentuan tersebut masuk ke dalam elemen strateginya. Kekhawatiran yang tidak perlu, telah membuat KPU secara sewenang-wenang melucuti norma tersebut dari pemilihan presiden. KPU telah berubah dari hanya pelaksana pemilu menjadi pembuat norma baru UUD 1945 dan undang-undang. KPU periode 2017-2022 terus dilanda masalah. Pilpres tahun lalu dipenuhi protes public. Dimulai dari orang gila ikut menjadi pemilih. Situng yang dirancang tidak bisa menjumlah dengan benar. Proses yang sangat lambat. Kematian 894 petugas KPPS yang tidak disidik secara wajar, sampai demo protes yang menelan puluhan jiwa meninggal dan hilang entah kemana. Inkompetensi KPU terbukti dan terkonfirmasi dengan tertangkapnya komisioner Wahyu Setiawan dalam kasus suap Harus Masiku. Begitu juga dengan dipecatnya komisioner Evi Novinda Ginting karena telibat dalam manipulasi suara. Satu demi satu kebobrokan KPU terbuka dengan sendirinya kepada publik. Bukan itu saja. Ketua KUP Arief Budiman dan tiga Komisoner lainnya Viryan Azis, Ilham Saputra dan Pramono Ubaid Tanthowi sudah diberikan sanksi, berupa peringatan keras dan terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Kompas.com 25 Juni 2020). Sekarang KPU terbukti sewenang-wenang dalam membuat peraturan tentang pemilu. Semau udelnya dewe. Tragisnya, peraturan yang dibuat oleh KPU tersebut nyata-nyata telah menabrak dua perundang-undangan di atasnya, yaitu UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dampaknya sangat besar dan luar biar terhadap legitimasi Presiden dan Wakil Presiden sekarang. Maka, kebijakan terbaik yang harus dilakukan KPU di bawah pimpinan Arief Budiman adalah mengundurkan diri. Itupun kalau masih paunya rasa malu dan bersalah. Penulis adalah Pengamat Politik
Presiden Gadungan?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (09/07). Presiden gadungan adalah terjemahan dari "Fake President". Bukan Presiden sebenarnya. Ini bisa berarti Presiden tidak kompeten, baik sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Bisa juga sebagai boneka yang dimainkan oleh orang, kelompok, atau kekuatan lain. "Fake President" dapat juga identik dengan Presiden abal-abal. Presiden gadungan juga disebabkan delegitimasi atas jabatan. Misalnya, hilangnya kepercayaan rakyat. Keberadaan Presiden dinilai hanya merepotkan dan menyusahkan rakyat. Rakyat menderita oleh perilaku dan kebijakan politik Presiden yang dianggap "tak berkualitas" dan "tak memiliki sensitivitas" terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat. Penilain yang seperti ini adalah efek dari orientasi dan kebijakan Presiden yang hanya menguntungkan dirinya dan kroninya. Lalu rakyat pun menjadi bulan- bulanan dari slogan yang hanya bernilai pencitraan. Akibatnya, penderitaan yang dialami rakyat menjadi permanenn dan tidak berkesuadahan. Presiden gadungan atau "Fake President" adalah pemimpin dari negara yang ilegal. Keabsahan statusnya goyah. Sebagai contoh adalah kejutan kasus yang terbuka setelah "disembunyikan" sembilan bulan lamanya di Mahkamah Agung (MA). Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 tahun 2019 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Makan rontoklah dasar hukum yang dijadiklan KPU untuk menetapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Beberapa ahli atau loyalis Presiden menyatakan Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 tersebut, tidak berlaku surut (retroaktif). Alasan mereka, karena tak berpengaruh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menolak gugatan Prabowo-Sandi. Terhadap hal ini tentu harus diperdalam, dan masih bisa debat lanjutan. Indikatornya antara lain : Pertama, Permohonan Uji Materil oleh Bu Racmawati cs terregister di Mahkamah Agung pada tanggal 14 Mei 2019. Artinya, sebelum Putusan MK 27 Juni 2019. Maknanya adalah permohonan Uji Materil tersebut sangat berkaitan dengan Pilpres 2019. Bukan berdiri sendiri. Dalam permohonan Pemohon pun disinggung konteks Pilpres 2019. Kedua, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan Uji Materil Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut patut mengetahui dan menyadari bahwa Uji Materiel ini berkaitan dengan proses Pilpres 2019. Sehingga jika asas retroaktif tak bisa diberlakukan, Putusan MH akan tegas menyatakan bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 diberlakukan untuk Pilpres yang akan datang (penafsiran argumentum a contrario). Ketiga, tafsir bahwa MK telah memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, sehingga Putusan MA tidak berpengaruh pada hasil Pilpres, bisa keliru total. Masalah yang diputuskan MA Nomor 44 P/HUM/2019 adalah tidak memiliki kekuatan hukum mengikatnya Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 tahun 2019. Sedangkan Pasal tersebut justru menjadi dasar hukum dari penetapan Pasangan Jokowi-Ma'ruf. Keempat, "disembunyikan"nya Putusan MA ini selama semabilan bulan adalah bukti bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini sangat berpengaruh pada keabsahan hasil Pilpres 2019. Jika tidak, maka MA serta-merta akan meng-upload atau mengumumkan kepada masyarakat beberapa setelah diputuskan tanggal28 Oktober 2019. Demi kepastian hukum. Pertanyaan, siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam "penyembunyian" atau "penggelapan" Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini? Siapapun mereka, harus dituntut dan dipertanggungung jawabkan kepada rakyat. Kita semua berharap pimpinan Mahkamah Agung baru, Muhammad Syaarifuddin melakukan pengusutan internal. Hasilnya diumumkan kepada rakyat, mengapa dan apa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 disembunyikan sembilan lamanya dari rakyat? Kita berharap dan berdo'a semoga tidak ada jejak dan sidik jarinya mantan Ketua MA Hatta Ali dan mantan Sekjen MA Nurhadi di skandal penyembunyian Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini. Sebab bila ada sidik jari, bisa memperburuk wajah dan keagungan MA di mata masyarakat. Apalagi Nurhadi sedang ditahan oleh KPK untuk kasus korupsi dan penyuapan . Sedangkan Hatta Ali baru saja pensiun dari Hakim Agung dan Ketua MA pada akhir bulan April 2020 lalu. Jadi, di sini patut diduga kuat ada skandal politik dan hukum yang sangat memalukan. Ada "gaslighting" dan ada "corruption". Sinyal dari terkuaknya skandal hukum dan politik besar. Namun yang jelas adalah, dengan Putusan MA No 44 P/HUM/2019 yang diumpetin selama sembilan bulan tersebut, akan menjadi bukti bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebenarnya sangat bermasalah. Cacat politik dan cacat hukum. Bila DPR menangkap aspirasi rakyat yang mempermasalahkan kualitas dan legitimasi Presiden, maka Putusan MA tersebut dapat dijadikan dasar bagi proses pemakzulan Presiden. Putusan MA No. 44 P/HUM/ 2019 itu dalam kaitan keabsahan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, bukanlah "plintiran" tetapi "suara hukum" dari keadilan dan kebenaran. Sebagai hiburan, khususnya kepada para penjilat politik dan hukum, dihimbau untuk membaca, untuk yang belom pernah membaca, dan membaca ulang bagi yang pernah membaca, bukunya Mark Green & Ralph Nader yang berjudul "Fake President: Decoding Trump's Gaslighting, Corruption, and General Bullsh*t". Semoga tidak gagal faham. Dengan alasan apapun "Fake President" tidak boleh dibiarkan terjadi. Dampaknya sangat tidak baik bagiu pejalanan bangsa untuk mencapai cita-cita dan tujuan bernegara. Siapapun, kapanpun dan dimanapun itu. Karenanya harus diakhiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gatot Nurmantyo dan Gerakan Anti RUU HIP. Catatan Atas Wawancaran Dengan Rosi
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Selasa (07/07). Kemarin berbagai orang saling memposting potongan wawancara Rosi Kompas TV dengan Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Wawancana terkait kebangkitan Komunisme di Indonesia. Video itu ternyata viral bersamaan dengan laporan gelombang aksi menolak RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang dipelopori FPI dan MUI di seluruh Indonesia. Saya tertarik atas video tersebut. Meski kemudian saya check ke YouTube, ternyata video itu telah di upload disana setahun lalu. Namun, setahunpun ternyata tidak lama untuk melihat bagimana ideologi Gatot Nurmantyo (GN), yang setahun ini belum muncul lagi ke permukaan politik. Terdapat beberapa informasi yang menarik dari video ini. Pertama, GN menyatakan yakin bahwa Komunisme akan bangkit di seluruh Indonesia. Kedua, pemerintahan Jokowi meminta agar penanganan terhadap Komunisme dan orang-orang yang menggerakkannya diperlakukan dengan lunak saja. Ketiga, korban terbesar dalam sejarah pemberontakan komunis di masa lalu adalah para ulama dan umat Islam. Sedangkan pertanyaan menarik yang diajukan Rosi ada tiga. Pertama,) apakah GN yakin dengan informasi bangkitnya Komunisme di Indonesia? Kedua, apakah GN bukan bermaksud memprovokasi rakyat Indonesia terkait isu komunisme ini? Ketiga, apakah GN tidk takut dengan resiko yang mungkin dia hadapi dengan statusnya sudah purnawirawan saat ini? GN menyatakan bahwa pernyataan Rifka Tjiptaning tentang kebangkitan anak-anak PKI, yang jumlahnya 20-an juta sebagai rujukan dasar. Rujukan lainnya tentang kebangkitan Komunisme ada beberapa. Pertama, adanya kaderisasi partai politik tertentu ke PKC (Partai Komunis Cina), RRC yang secara rutin dan berkala. Jedua, adanya pelemahan ajaran agama dan Pancasila dalam sistem resmi kurikulum belajar pendidikan saat ini. Ketiga, adanya pertemuan-pertemuan politik anak-anak eks Komunis. Keempat, adanya distribusi kaos-kaos lambang Komunis Palu Arit meluas di Indonesia. Kelima, adanya razia buku-buku Komunis yang dilakukan jajaran militer. Tafsir Sejarah Sejarah tentunya bukan sebuah jalan lurus. Bukan pula rangkaian informasi berbasis tahun dan tanggal. Bukan pula sebuah gelombang se arah. Namun, sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa di masa lalu yang memiliki hukum sebab akibat dan mempunyai gelombang dengan arus berlawanan serta memiliki berbagai aktor dalam menentukan arahnya. Sejak Amerika merelease keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S PKI tahun 1965, sejarah kelam tahun 1965 yang selama ini dibebankan kepada Komunis atau PKI menjadi sebuah pertanyaan baru. Bukankah CIA yang membantu tentara saat itu untuk menggulingkan Sukarno dan membantai orang-orang Komunis di Indonesia? Hak kaum Komunis atau anak-anaknya tentu adalah hak historis yang sah untuk menuntut pembersihan nama baik mereka. Juga membenarkan tafsir sejarah di masa lalu. Namun, bagi ummat Islam, Komunisme sebagai ancaman tentu juga sebuh keniscayaan sejarah. Pertama, Komunisme telah terbukti sepanjang sejarah kehadirannya sebagai ideologi anti Tuhan. Kedua, Komunisme jika berkuasa akan melakukan pemerintahan diktator proletariat, yang menihilkan pemilikan individual, menihilkan demokrasi dan kebebasan individual. Ketiga, Komunis jika berkuasa akan menjadikan agama sebagai musuh, sehingga eksistensi agama hilang sebagai ajaran kehidupan. Pandangan umat Islam atas Komunisme ini dengan demikian bersifat laten dan tidak terikat pada perubahan tafsir yang mungkin terjadi pada peristiwa G30S PKI. Sehingga, kebangkitan Komunisme di Indonesia tetap dianggap ancaman bagi Islam dan ummat Islam yang mayoritas di Indonesia. Lalu bagaimana meletakkan kepentingan anak-anak eks PKI versus kepentingan ummat Islam atas isu ini? Dendam Sejarah Gatot Nurmantyo menjelaskan pada Rosi bahwa anak-anak PKI ini mempunyai dendam sejarah. Sebaliknya, ulama ulama dan umat Islam tidak. Ulama-ulama, bahkan menurut GN, lebih besar korbannya dibanding PKI. Umat Islam selama ini menjadi korban dalam berbagai peristiwa masa lalu. Sejarah yang berdarah tentunya melahirkan dendam. Namun, dendam dalam teori konflik dan resolusi konflik tidak memberikan peluang bagi perdamaian. Perdamaian justru muncul kalau pihak-pihak yang bertikai di masa lalu mempunyai ruang intropeksi dan ruang komunikasi. Beberapa tahun lalu, Taufik Kiemas, berusaha menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang bertikai di masa lalu. Taufik Kiemas mengajak untuk melupakan sejarah kelam itu. Setidaknya mengurangi dendam. Pertemuan periodik antara anak-anak tokoh Darul Islam, anak-anak eks PKI dan anak-anak eks Jenderal difasilitasinya berdialog secara rutin. Namun, kelihatannya, upaya almarhum Taufik Kiemas itu sirna saat ini. Ruang politik kita ternyata dipenuhi keinginan kebangkitan politik anti Islam dan "ajaran Komunisme" ,versus tentunya keinginan Islam untuk mempertahankan ajaran Islam sebagai acuan resmi berkehidupan berbangsa dan bernegara. Setahun setelah wawancara GN dengan Rosi itu, fenomena terkini, pertikaian antara orang-orang yang mendorong adanya Haluan Ideologi Pancasila vs. Ulama-ulama yang menolak RUU HIP itu merupakan fakta pertarungan ideologis yang sesungguhnya. Dapat dirujuk pada pikiran dan informasi GN setahun lalu tersebut. Ideologi Gatot Nurmantyo Meskipun wawancara GN dan Rosi di Kompas TV yang viral itu sudah berlangsung setahun lalu, namun dapat ditafsirkan bahwa GN mempunyai ideologi anti Komunisme yang tidak bisa ditawar. GN menjelaskan bahwa TNI ketika dia berkuasa ingin menghapuskan gerakan-gerakan anak-anak eks PKI tersebut. Namun pemerintahan Jokowi melarangnya. Dan menurut GN itu lah yang bisa dilakukan TNI saat itu, yakni memberikan peringatan akan bangkitnya Komunisme. Dalam video versi yang lengkap "Siapa Mau Nonton Nobar?", yang dapat dilihat di YouTube, GN mendapat argumen tantangan dari dua nara sumber yang hadir. Mereka mengatakan bahwa GN terlalu cepat menyimpulkan adanya gerakan Komunisme itu. Seorang sejarawan pada acara itu mengatakan bahwa tidak benar ada gerakan Komunis dan eks PKI saat ini. Fenomena Ribka Tjiptaning, anak eks PKI di DPR, menurutnya adalah hak seseorang yang saat ini tidak bisa dihindari. Khususnya, karena anak eks PKI bukanlah seorang Komunis. Selanjutnya, penggiat hak asasi manusia, sebagai penantang lainnya berharap GN tidak seperti jenderal orde baru, yang suka menuduh Komunis atau PKI bersalah di masa lalu. Namun, GN dalam video itu tetap berpegang teguh pada pandangannya bahwa ada kebangkitan Komunisme di Indonesia dan menilai Komunisme adalah ajaran sesat yang berbahaya. Menurutnya, dia hanya ingin kaum milenial yang minim informasi dapat mempelajari sejarah secara lengkap. Pandangan GN ini telah nenempatkan dirinya dan ketokohannya sebagai kontra kebangkitan Komunisme di Indonesia. Berbagai pernyataannya secara bersamaan, GN mengatakan bahwa ulama adalah pendiri bangsa, yang paling utama. Kedua hal ini menunjukkan posisi ideologi GN yang berhimpitan dengan ajaran Islam. Atau sering diidentikkan sebagai Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari yang utama. Penutup Setahun setelah video resmi di upload di YouTube, wawancara Rosi dan GN, yang kemudian potongannya viral saat ini, menjelaskan posisi ideologi GN yang pro Islam dan sekaligus anti Komunisme. Hal ini tentunya memberikan resonansi pada pertarungan kelompok-kelompok Islam melawan pengusung RUU HIP. Berbagai demonstrasi massa ummat Islam telah terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Sehingga ditingkat pikiranpun telah terjadi resonansi. Yang dimaksud telah terjadi antara pikiran GN, pandangan HRS, pandangan ulama-ulama, dan khususnya pandangan dua ormas Islam besar, yakni NU dan Muhammadiyah. GN tentu bukan lagi tentara aktif. Namun, sebagai mantan Panglima TNI, pikiran ideologis yang viral tersebut memberi makna adanya konsistensi TNI. Setidaknya sampai beberapa tahun lalu, di mana GN berkuasa, menolak eksistensi Komunisme. Sehingga makna ini menambah moral gerakan umat dalam melawan kebangkitan Komunisme di Indonesia. Itulah makna sumbangan ideologis Gatot Nurmantyo. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
RUU HIP Itu Bukti Menghianati Bung Karno
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (06/07). Bahwa Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 menawarkan rumusan ideologi negara apakah Pancasila, Trisila, atau Ekasila tak bisa dibantah sebagai fakta sejarah. Pidato "perasan" ini disampaikan di depan peserta sidang BPUPKI yang dipimpin dr. Radjiman Wedyodiningrat. Masalahnya adalah Ir. Soekarno sama sekali tidak menetapkan atau bersepakat dengan Pancasila rumusan 1 Juni tersebut. Masih mengambang, dan itu adalah sebatas tawaran pilihan dari Soekarno saja. Usulan dan pidato-pidato berikut dari para peserta sidang tidak menyepakati tawaran Bung Karno tersebut. Dalam rangka menggodok semua masukan peserta siding, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno sendiri. Panitia Sembilan sepakat rumusan Pancasila sebagaimana yang dikenal dengan nama “Piagam Jakarta”. Sila pertama adalah "Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja". Bung Karno tentu menandatangani rumusan Pancasila 22 Juni 1945 tersebut. Maka lahirlah Pancasila. Inilah Pancasila yang dilahirkan oleh BPUPKI. Oleh Ir. Soekarno. Makanya keliru jika menyatakan 1 Juni 1945 sebagai kelahiran Pancasila. Belum ada kesepakatan apa-apa saat itu. Masih penggodokan, adu konsep atau adu tawaran gagasan. Soekarno sendiri masih ragu soal Pancasila, sehingga merasa perlu menawarkan untuk dipertimbangkan alternatif Trisila dan Ekasila. Tawaran ini pun tidak mendapat sambutan apa-apa. Apalagi sampai persetujuan. Sama sekali tidak ada. Soekarno telah men"drop" tawarannya, dan tidak lagi mencoba untuk memperjuangkan pasca pidato. Tidak ada lobi-lobi yang "ngotot" untuk menggoalkan Trisila dan Ekasila. Fakta terakhir yang disetujui oleh Soekarno adalah Pancasila dengan rumusan sebagaimana tercantum dalam "Piagam Jakarta". Soekarno tidak menyesal atas tidak diterima tawaran "peras perasan" sila-sila pada Trisila dan Ekasila. Rumusan"Piagam Jakarta" adalah keyakinan dan kebenaran ideologi yang diterima Ir. Soekarno. Ini adalah rumusan ideal ideology Soekarno. Sekurangnya untuk saat itu 22 Juni 1945. Kini Soekarnois mencoba memasukan Pancasila (1 Juni 1945), Trisila, dan Ekasila dalam Pasal RUU HIP. Tidak disadari bahwa perjuangan ini adalah penghianatan pada diri Soekarno sendiri. Presiden pertama ini sudah men"drop" gagasan itu. Bahkan secara formiel dan materiel Soekarno sudah menerima. Soekarno sudah sepakat pada rumusan Pancasila 22 Juni 1945. Kemudiannya menjadi Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945. Saat Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, dan merupakan satu kesatuan dengan UUD tersebut. Tidak terlintas dalam fikiran Soekano bahwa ada Pancasila 1 Juni 1945 atau Trisila dan Ekasila itu menjadi jiwa dari UUD 1945. Menghidupkan sesuatu yang sudah dikubur oleh Soekarno sendiri merupakan upaya, yang bukan saja menghianati bangsa Indonesia. Tetapi juga menghianati pribadi proklamator bangsa Indonesia yang bernama Ir. Soekarno itu. Bilangnya sih menghormati Soekarno. Namun yang tidak disadari bahwa sebenarnya telah menghianati Soekarno. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Yang Bermasalah Itu Kalian, Bukan Pancasila
by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (06/07). Setelah gagal dengan RUU HIP yang bertujuan untuk memeras (ekstraksi) Pancasila menjadi Trisila-Ekasila, PDIP masih ingin ‘melanjutkan’ konstroversi soal Pancasila. Mereka mencoba mengajukan revisi. Sekarang, Banteng maju dengan perubahan judul RUU. Bukan lagi Haluan Ideologi Pancasila (HIP), tetapi Penguatan Ideologi Pancasila (PIP). Yang menjadi pertanyaan, apakah memang perlu ada UU untuk melindungi Pancasila sebagaimana diinginkan oleh PDIP? Mengapa partai ini bingung sekali menjaga agar Pancasila kuat dan menjadi ‘manual’ setiap manusia Indonesia? Sangat mengherankan. Untuk apa PDIP bingung? Untuk apa Bu Mega dan para elit politik, elit eksekutif, merasa resah? Mengapa Anda cemas, seakan rakyat tidak akan berpancasila? Sehingga, harus ada UU PIP atau sejenisnya? Bu Mega dan bapak-ibu sekalian yang sedang berkuasa, baik yang memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan ekonomi-keuangan! Yang harus Anda lakukan itu adalah melihat diri Anda sendiri. Berkaca, kata orang. Bapak-Ibu sekalian. Ada tiga kelompok manusia yang paling banyak merusak negara ini. Mereka merusak keadilan politik dan ekonomi. Merusak tatanan dan keadilan sosial. Merusak nilai-nilai moralitas. Dan juga merusak alam lingkungan hidup. Semua itu terjadi karena kerakusan. Rakus kekuasaan. Rakus kekayaan. Rakus syahwat hedonisme dan birahi. Siapakah ketiga kelompok yang merusak itu? Yang pertama, politisi. Yang kedua, penguasa eksekutif. Yang ketiga penguasa ekonomi-bisnis. Hebatnya, ada sekian banyak orang yang sekaligus memiliki ketiga macam kerakusan itu. Jadi, kalau Anda masuk ke dalam salah satu kategori di atas, itu berarti Anda berpotensi menjadi orang yang merusak negara ini. Atau, Anda malah sudah menjadi pelaku kerusakan itu. Hari ini, kalianlah yang sibuk dengan Pancasila. Sibuk mau memperkuat Pancasila. Seolah-olah kalianlah yang pantas menyandang predikat pancasilais sejati. Orang lain tidak. Seolah-olah kalianlah yang telah menerapkan nilai-nilai Pancasila itu. Orang lain tidak. Tapi, cobalah Anda berkaca. Lihatlah diri Anda sendiri. Bercerminlah. Apakah Anda sudah berpancasila? Apakah Anda tidak korupsi? Apakah Anda tidak menipu rakyat? Apakah Anda menang tanpa kecurangan dalam pemilihan umum? Apakah Anda tidak menggunakan cara sogok-menyogok untuk mendapatkan kekuasaan? Apakah Anda tidak menyalahgunakan kekuasaan? Apakah Anda tidak menumpuk kekayaan? Apakah Anda memperoleh kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi-keuangan, dengan cara yang jujur? Apakah Anda memberikan atau mendapatkan hak pengelolaan sumber alam dengan cara yang jujur, tanpa sogok-menyogok? Apakah Anda tidak pernah menerima upeti (sogok) dari para penghisap kekayaan negara ini? Apakah Anda tidak ikut berlomba-lomba mengoleksi rumah mewah, mobil mewah, barang-barang mewah? Apakah rekening bank Anda isinya pernah tak sampai satu juta rupiah? Wahai para politisi, para penguasa ekeskutif, dan penguasa ekonomi-bisnis yang rakus-rakus! Banyak lagi pertanyaan yang perlu kalian jawab. Banyak lagi cermin yang harus kalian tatap. Dan banyak introspeksi yang harus kalian lakukan. Kalian perlu duduk tenang sambil merenungkan perilaku kalian. Kalian perlu mewaraskan diri agar bisa melihat apa yang kalian kerjakan, dan apa yang dikerjakan oleh rakyat. Supaya kalian sadar bahwa yang bermasalah itu kalian, bukan rakyat. Yang bermasalah itu kalian, bukan Pancasila. Pancasila tidak perlu diutak-atik. Pancasila tidak perlu diperkuat dengan undang-undang. Yang perlu direhabilitasi itu adalah isi kepala kalian. Yang harus disempurnakan adalah otak-otak kalian. Bukan Pancasila. Jadi, berhentilah mencari kesalahan di luar diri kalian. Sebab, semua persoalan bangsa dan negara ini ada di dalam diri Anda. Penulis adalah Penulis Wartawan Senior.
Ingat, DPR Itu Bukanlah Dewan Perwakilan Rezim
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (05/07). Rezim atau regime adalah bentuk pemerintah. Bisa juga seperangkat aturan, norma budaya atau sosial yang mengatur operasi suatu pemerintah atau lembaga dalam interaksinya dengan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rezim adalah tata pemerintah negara atau pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasti bukanlah DewanPerwakilan Rezim. Karenanya meskipun DPR dan Pemerintah sama-sama menjadi institusi supra struktur politik, namun memiliki posisi yang berbeda. Pemerintah adalah pengelola negara dan "memerintah" rakyat. Sedangkan DPR mewakili rakyat dan atas nama rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam kaitan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), penyimpangan dilakukan sejak dini. Penyimpangan dilakukan oleh menggagas tanpa keterlibatan rakyat. Gagasannyamuncul diam-diam. Tanpas diketahui oleh rakyat. Baru ketahuan setelah adanya penetapan kontroversial menjadi RUU. Rakyat teriak setelah RUU inisiatif Dewan ini diserahkan kepada Pemerintah. Pemerintah bersikap mengambang dan "cari aman". Bahasa yang dipakai oleh pemerintah adalah "menunda" peembahasan RUU. Mungkin juga harapannya terganjal. Ungkapan ketidaktahuan 100 % Presiden dipastikan hoaks. Gelombang penolakan ternyata sangat masif dan dahsyat. Baik itu dalam bentuk deklarasi atau aksi. Hampir terjadi di seluruh Indonesia. Intinya mendesak RUU HIP agar dicabut atau dibatalkan pembahasannya lebih lanjut. Tidak ada negoisisasi untuk direvisi atau diganti namanya. Rakyat sebagai pemilik negara sudah punya penilaian sendiri. Rakyat sudah punya kesimpulan bahwa RUU HIP ini berbau neo Komunisme. RUU ini untuk membuka peluang bagi bangkitnya PKI. Misi terselubung dari konseptor atau pengusul terkuak oleh publik. Tuntutan pengusutan juga mengemuka. DPR anehnya belum mengambil sikap yang jelas juga. Bahkan ada yang mencoba untuk mengotak-atik. Misalnya, dengan mengubah judulnya, dari sebelumnya HIP menjadi Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Meski ada perbedaan isi dan arah, tetapi bahasan RUU ini sudah kehilangan ruh. Sudah kadaluarsa. Mengganti judul RUU, apapun namanya, apakah itu PIP, BIP, SIP, RIP atau lainnya sudah tidak berguna lagi. Suara rakyat sudah sangat jelas dan tegas. Rakyat hanya ingin menolak, hentikan atau batalkan. Lagi pula dengan mengganti nama dan isi RUU, seharusnya masuk dalam proglegnas baru. Dari awal lagi. Jika terus mengambang, apalagi hendak mengalihkan pembahasan RUU hanya sebagai bekal buat BPIP semata, maka DPR yang telah mengabaikan suara rakyat. DPR akan menghadapi teriakan rakyat yang lebih keras lagi. Terutama kepada partai-partai di DPR yang dianggap rakyat "tuli" dan "buta". Yang berani dan mencoba-coba mengabaikan aspirasi rakyatnya. Menipu rakyat dengan geseran bahasan, justru akan menggeserkan tekanan pula. Jika BPIP menjadi sentral, maka suara rakyat akan terarah kepada BPIP dan instansi yang berada di belakangnya. Seruan rakyat kelak bisa berubah drastic, menjadi "bubarkan BPIP". Bisa juga "turunkan penanggung jawab yang berada di belalang BPIP". Bukan mustahil Presiden akan menjadi sasaran berikutnya. Sekedar meningkatkan bahwa status dan dasar pengaturan BPIP dari "Perpres" menjadi "Undang-Undang" juga terlalu berlebihan. Hanya buang-buang enerji untuk hal yang tidak penting untuk rakyat. Sudah sangat jelas, kalau DPR dengan RUU inisiatifnya ini menjadi lembaga penyalur kepentingan Pemerintah. Padahal BPIP yang bentukan Presiden ini dinilai rakyat sudah tidak bermanfaat. Hanya buang-buang anggaran hampir satu triliun rupiah setiap tahun untuk hal yang sama-sekali tidak dirasakan manfaatnya oleh. Mendingan dana tersebut dipakai untuk membantu ekonomi yang lagi kekusahan. Lebih efektif. Ketika DPR diam atau "buta" dan "tuli" terhadap aspirasi rakyat, yang mendesak agar RUU HIP dibatalkan atau dihentikan, maka DPR telah menempatkan dirinya bukan lagi sebagai "Wakil Rakyat". Yang didengar dan diperjuangkan adalah kepentingan. Jika bukan karena kepentingan Pemerintah, maka itu adalah untuk dirinya sendiri. Juga kepentingan Partai Politiknya. RUU HIP menjadi bukti dan alat uji atas pertanyaan mendasar. Apakah saat ini DPR itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Partai? Jangan-jangan memang telah berubah menjadi Dewan Perwakikan Rezim? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi dan Megawati Dendam Ideologis Terhadap Katolik
by Natalius Pigai Jakarta FNN – Ahad (05/07). Pada 21 Februari 1957, Sukarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Sukarno melontarkan gagasan yang kemudian dikenal dengan nama “empat kaki”. Terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Cikal Bakal Nasakom. Namun Masyumi dan Partai Katolik dengan tegas menyatakan penolakan terhadap gagasan “empat kaki” Soekarno. Sukarno ketika itu tersingung berat. I.J Kasimo sebagai Ketua Partai Katolik dengan tegas mengayatakan mundur. I.J Kasimo adalah salah satu motor utama menjatuhkan Sukarno. Akibatnya, tahun 1965 di Floress, ribuan pengikut komunis dibantai. Gereja Katolik seolah-olah diam membiarkan pembantian terhadap pengikut PKI oleh para algojo di Floress. Tidaklah mengherankan, bila tidak ada tempat bagi orang Katolik di eranya Jokowi dan PDIP sekarang. Jika mereka adalah pengikut Tri Sila, Eka Sila, dan anti terhadap individualism, karena itu adalah filosofi dasar dari faham komunis. Mungkin saja karena mereka dendam. Tahun 1991 L.B Mardani yang beragama Katolik menjaga Ibu Megawati di tengah tekanan Orde Baru yang sangat kuat dan keras. Tahun 1998 L.B Mardani juga berada dibalik kejatuhan Suharto. Ibu Megawati menjadi Presiden tahun 2001. Yacob Nuwa Wea ketika itu bisa menjadi menteri karena main keras. Yacob menggerakan buruh untuk menekan Ibu Megawati. Pada tahun 2014 PDIP berkuasa. Orang Katolik tidak dipakai. Andaikan Jonan bisa menjadi Menteri Perhubungan, karena diduga Jonan didukung asing (pengusaha yang berbasis di Singapura). Selain itu, tuntutan dari rakyat yang kuat karena Jonan dinilai sukses membenahi moda transportasi Kereta Api Indonesia (KAI). Pada tahun 2019, Jhoni Plate menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Keberadaan Jhoni Plate di kabinet bukan karena wakil dari Katolik. Namun karena diusulkan oleh Surya Paloh sebagai wakil dari Partai Nasdem. Hari ini orang-orang NTT disingkirkan semua dari Pengurus DPP PDIP. Sama sekali tidak ada satu orangpun masuk di struktur inti partai. Keberadaan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP hanya sebagai simbol tipu-tipu muslihat PDIP. Dipastikan Jokowi dan Megawati tidak akan memberikan Hasto menduduki jabatan menteri. Andre Parera untuk menjadi Dubes saja sulitnya bukan kepalang. Padahal dulu Andre Parera adalah Ketua Departemen Luar Negeri PDIP sebagai partai penguasa. Hari ini, ada sekitar 2.200 jabatan yang bisa ditunjuk dengan tangannya Jokowi. Namun orang Katolik kurang lebih hanya dua atau tiga orang saja yang menjadi komisaris di BUMN. Itupun karena usaha dan kerja keras mereka. Kemampuan dan profesionalisme yang dipunyai mereka. Tokoh Katolik yang hebat hari ini adalah Frans Leburaya, Mantan Gubernur NTT dua periode. Frans sekarang mengangur. Diabaikan begitu saja di struktur PDIP. Untuk jabatan Menteri atau Dubes juga sulit. Begitu juga dengan Cornelius, mantan Gubernur Kalbar. Jika tidak terpilih menjadi anggota DPR RI, Cornelius sudah yakin bakal diacuhkan. Sepertinya Katolik bagi PDIP, Megawati dan Jokowi ada persoalan prinsipil masa lalu yang mengganjal . Mungkinkah itu soal “ideologi”? Orang Katolik dan minoritas, sebaiknya jangan selalu girang dan Gede Rasa (GR) karena PDIP mendukung Kepala Daerah atau anggota legislatif yang berasal dari Katolik. Karena untuk partai politik, langkah itu sebagai hal biasa untuk mencari dukungan massa (vote getters). Lihat saja ukuranya itu adalah berapa jabatan yang diakasih melalui penunjukkan. Catatan ini bukan soal jabatan, tetapi persoalan ideologis. Ini soal prinsip dasar bernegara Pancasila dan ideologi yang dijiwai oleh spirit sosialisme, leninisme, komunisme dan marxisme, Eka Sila, Tri Sila. Juga anti individualisme atau anti penghargaan terhadap kreatifitas manusia. Kesimpulannya sepanjang PDIP, Jokowi, Megawati masih memilih visi, misi Sosio demokrasi, Ketuhanan yang Berkebudayaan, mungkin “Gujarat” (sansekerta) hinduisme Jawa, Tri Sila, Eka Sila dan Mematikan Individualisme (membunuh kreatifitas individu). Maka jangan pernah bermimpi PDIP menjadi rumah bagi Katolik dan kaum minoritas. Penulis adalah Aktivis (PMKRI) Kelompok Cipayung, Aktif di Pergerakan dan Diskusi di PRD 1997-1999.
Umat Islam Jangan Terjebak Dengan Isu Reshuffle
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (05/07). Dari adegan marah-marah di rapat dengan para menteri, dengan ujungnya adalah ancaman reshuffle. Maka ceritra menjadi berlanjut. Reshuffle dimainkan menjadi isu baru untuk mengalihkan pehatian umat Islam dari masalah vital dan serius Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rapat yang sudah dilaksanakan tanggal 18 Juni 2020 itu sengaja dimunculkan lagi satu minggu kemudian. Maka mulia muncul isu reshuffle. Mulai dari susunan nama-nama hoaks di medsos soal si anu menjadi menteri, si anu akan dicopot. Masyarakat dicoba dibuat "tertarik" untuk urusan ganti-ganti menteri, agar ada mainan baru yang bisa menggeser RUU HIP. RUU HIP ini dapat membuat keguncangan politik yang keras. Rakyat kemungkinan akan berhadap-hadapan secara nyata. Satu kelompok menolak dengan keras RUU HIP. Kelompok ini pendukung Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945, yang dimotori oleh umat Islam. Imamnya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU, Muhammadiyah dan dua ratus lebih ormas Islam. Kelompok lainnya, yang disebut Ustadz Edy Mulyadi, wartawan senior FNN.co.id yang juga Sekjen GNPF Ulama adalah “Gerombolan Trisila dan Ekasila”. Kelompok ini pendukung setia Pancasila 1 Juni 1945. Gerombolan Trisila dan Ekasila didukung penuh oleh PDIP sebagai partai pengusul utama RUU HIP. Tentu saja PDIP partai pemenang Pemilu sekaligus menjadi partai Pemerintah menjadi sorotan. Komandan koalisi partai pendukung Presiden ini dibongkar bongkar "borok-boroknya”. Tidak tanggung-tanggung yang dibuka. Soal neo PKI dan Komunisme. Hanya gara-gara ngotot menolak Tap MPRS XXV tahun 1966 dan keberanian memuat pasal Trisila dan Ekasila pada RUU HIP. Gelombang aksi belum reda. Bahkan cenderung bereskalasi ke seluruh daerah di Indonesia. Rakyat, khusunya umat Islam tidak tertarik dengan "penundaan" atau ganti nama jadi “RUU PIP atau RUU BIP” atau apapun namanya. Seruan masih tetap saja sama. Hentikan atau cabut. Tidak berlaku ganti nama Pemerintah dan beberapa Fraksi DPR terlihat masih mencoba bermain-main dengan rakyat, khususnya umat Islam. Tidak mau dicabutnya RUU HIP dari Prolegnas. Padahal sudah sepakat untuk mencabut 16 pasal dai RUU HIP. Ini membuktikan masih bermain-mainnya pihak-pihak yang berkepentingan. Reshuffle hanyalah "olah geser" perhatian rakyat, khususnya umat Islam. Istana mulai mencoba ikut meramaikan. Entah siapa yang mulai melontarkan, seolah-olah manusia super kontroversial Ahok nanti menjadi Menteri BUMN. Ahok diisukan akan menggantikan Erick Thohir. Soal Ahok akan menggantikan Erick ini pun bagian dari olahan pengalihan isu saja. Agar publik, khususnya umat Islam masuk ke dalam ruang pro kontra soal Ahok sebagai si penista agama. Jabatan lain seolah-oleh ditawarkan juga ke berbagai kader partai. Mainan dagang sapi menjelang Iedul Adha. Jika rakyat, khususnya umat Islam tetap fokus pada pembelaan terhadap ideology Pancasila 18 Agustus 1945, maka isu reshuffle akan hilang dengan sendirinya. Realitanya reshuffle kabinet tersebut bukan masalah yang penting sekarang ini. Mau reshuffle atau tidak sama saja. Begitu juga dengan isu tentang Ahok. Mau si mulut penista agama ini masuk atau tidak sebagai menteri, juga tidak ada pengaruhnya. Malah lebih bagus kalau Ahok masuk sebagai menteri. Sebab masalah utama bangsa bukan pada Ahok. Ada empat masalah utama bangsa hari ini. Pertama, kebangkrutan ekonomi nasional. Kebangkrutan ini sudah terjadi jauh sebelum datangnya pendemi covid 19. Kedua, penjajahan oleh asing dan aseng, khususnya China komunis. Ketiga, adanya rongrongan terhadap keberadaan dan eksistensi ideologi Pancasila konsesnus 18 Agustus 1945. Rongrongan itu dating dari gerombolan Trisila dan Ekasila, yang menjadi pendukung setia Pancasila 1 Juni 1945. Keempat, masalah pada Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. “Jokowi tidak mampu menempatkan dirinya sebagai Presiden yang patuh dan taat kepada panduan-panduan bernegara yang tertera dan tersaji dengan sangat jelas di konstitusi UUD 1945, kata Ahli Hukm Tata Negara Dr. Margarito Kamis, “Mengurus Republik, Presiden Dilarang Ngawur (FNN.co.id, Kamis 02/07/2020) Khusus soal Ahok tidak perlu untuk diributkan. Biarkan saja Ahok ikut dalam barisan Kabinet hasil reshuffle nanti. Mau urus Kementerian BUMN atau Menteri tanpa urusan pun tidak apa-apa. Kehadirannya justru akan menjadi "boomerang" bagi Pemerintah Jokowi nantinya. Toh sudah terbukti ketika jadi Komisaris Utama Pertamina. Ahok tidak becus juga mendongkrak Pertamina. Malah mesti diusut penyelewengan dana yang ada di Pertamina selama "seumur jagung" dirinya menjabat. Pertamina sekarang malah jadi tukang peras rakyat sebesar Rp. 7 triliun lebih setiap bulan dari penjualan BBM di dalam negeri. Lebih parah dari penjajah VOC Balanda. Isu reshuffle pun menjadi cermin dari keputusasaan Jokowi sendiri "tidak ada progress" serunya. Bukti akan ketidakmampuan menjadi dirigen yang memacu semangat kerja tim dalam orkestra. Marah-marah tentu bukan solusi. Orang bisa membaca bahwa kapal akan segera karam. Makanya nakhoda sedang panik. Rakyat tidak perlu terjebak dengan isu reshuffle. Tetap saja fokus pada bagaimana menyelamatkan ideologi Pancasila dari penggerogotan atau pembusukan kelompok yang bertarget pada penggantian. Lalu berjuang keras agar Indonesia tidak terjajah oleh negara China komunis yang mencoba menanamkan kuku melalui investasi dan hutang luar negeri. Jikapun terpaksa harus ikut berfikir soal reshuffle, maka ditimbang dalam-dalam tentang efektivitas dan efisiensi. Apalagi yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi dan politik ini. Apakah perlu untuk reshuffle Menteri atau reshuffle Presiden ? Bila pilihannya adalah "reshuffle" Presiden, kenapa tidak? Toh konstitusi bernera kita UUD 1945 mengatur pilihan atas kedua-duanya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
RUU HIP Untuk Kontemplasi 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Baik penentang dan pengusul RUU HIP teriak : Pancasila Dasar Negara, Pancasila Ideologi Negara, Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara, Pancasila Alat Pemersatu, dan lain-lain. Kalau sudah paham Pancasila, lalu mau ngapain?” (Group WhatsApp). Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Kesadaran rakyat tentang Pancasila di atas, pada hakikatnya karena adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Himpunan Ideologi Pancasila (HIP). RUU ini digugat oleh rakyat. Besok, Minggu 5 Juli 2020, genap 61 tahun Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Peristiwa Dekrit Presiden ini momentum untuk rakyat berkontemplasi. Apakah Pancasila sekarang sudah dijadikan norma fundamental untuk bernegara? Lalu apa kata para tokoh? Persatuan Bangsa Terbelah Pertama, Prof. Dr. Effendi Ghazali. “Bangsa ini terbelah gara-gara Presidential Threshold (PT)”. Pendapat ini digunakan sebagai alasan permohonan uji materiil UU No.17/2017 Tentang Pemilu. Namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan ini juga terasa aneh. Bagaimana mungkin ambang batas dari Pemilu sebelumnya 2014, digunakan sebagai dasar pelaksanaan Pilpres 2019? Kedua, “tidak mau bangsa terpecah lagi”. Prof. Dr. Jimly Assiddiqie mendukung Presidential Threshold ditiadakan” (12/6/2020). Artinya, Jimly sejalan dengan gugatan Effendi Gazali. Penyebab lainnya, karena liberalisme politik yang memaksa Presiden ke bawah bersikap pragmatis, jangka pendek dan transaksional. Budaya feodal, sikap Asal Bapak Senang (ABS) dan medsos tidak terkendali, lanjut Jimly Assiddiqie. (WhatsApp, 23/6/2020). Semua itu terkait dengan hasil amandemen UUD 1945. Tanpa maksud apa-apa, untuk membedakan dengan UUD 1945 asli. Hasil amandemen dalam artikel ini, kita sebut UUD 2002. Lalu bagaimana hubungan Dasar Negara dengan Undang-Undang Dasar dan pendapat tentang UUD 2002? Dasar Negara dan UUD 2002 Pertama, teori Hans Nawiasky, “die theorie vom stufenordung der rehtsnormen”. Bahwa Dasar Negara posisi teratas. Sebagai norma fundamental negara atau “Staatsfundamentalnorm”. Sedang Undang-undang Dasar atau Aturan Pokok Negara merupakan “Staatsgrundgesetz”. Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara di Pembukaan UUD 1945. Pendiri negara secara cerdas telah mentransformasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sehingga isi Batang Tubuh koheren dengan Pembukaan. Pembukaan dan isi Batang Tubuh diberi penjelasan di bagian ‘Penjelasan’ UUD 1945. Kedua, Prof. Dr. Kaelan berpendapat, beberapa pasal dalam UUD 2002, tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila. Perubahan hampir 90 % tidak tepat disebut amandemen. Amandemen seharusnya hanya beberapa pasal dengan memberikan adendum pada Undang-Undang Dasar aslinya. Konstitusi kita saat ini, hakikatnya telah mengganti UUD 1945. Dengan demikian, itu berarti telah membubarkan Negara Proklamasi 17/8/1945. Sehingga tidak tepat jika disebut UUD 1945. Karena tidak lagi memiliki korelasi dengan Proklamasi, lanjut Prof. Kaelan. Ketiga, tahun 2002, MPR RI membentuk Komisi Konstitusi. Tugas komisi ini untuk mengkaji hasil amandemen. Prof. Dr. Dahlan Thaib menulis, “Nasib Kerja Komisi Konstitusi tentang Amandemen UUD 1945” dengan ringkasan antara lain : Pengaturan sistem Presidential, prinsip kedaulatan rakyat, konsep negara hukum dan “check and balance” tidak diterapkan secara konsisten. Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas. Rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik. Keempat, keprihatinan dan usulan para tokoh, terkait UUD 2002, terhimpun dalam beberapa buku, yaitu (1) “Bangkit, Bersatu, Bergerak, Berubah atau Punah” (2) “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” (3) “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Disertai Adendum” (4) “Pancasila Jati Diri Bangsa” (5) “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945”. Analisis dan Rekomendasi Pilpres langsung melahirkan liberalisasi politik, akibat dari demokrasi liberal. Siapa kuat, siapa berduit, menang. Kenyataan ini bertentangan dengan Pancasila. Penikmat Pilpres langsung bilang, inilah kedaulatan rakyat yang benar. Benarkah? Tidak juga. Itu hanya demokrasi semu. Hanya kulitnya, sesaat saja. Hanya lima menit di bilik coblosan. Selanjutnya, kedaulatan milik rakyat musnah. Kedaulatan beralih milik Ketua Parpol dan pemilik modal. Bagaimana tidak, dia bisa mencopot wakil rakyat tanpa tanya kepada pemilihnya. Demokrasi liberal diramaikan oleh buzzer politik, guna memenangkan jagonya. Medsos sebagai wahana melahirkan adu domba, fitnah, ujaran kebencian, hujatan, dan kebohongan. Dampak buruk pemilihan langsung tidak hanya itu. Prof. Mahfud MD mengatakan, “sekarang KKN lebih banyak dari zaman pak Harto. Zaman reformasi itu lebih parah….” (ILC TV One). Sejumlah pengamat juga ikut membenarkan Mahfud MD yang menyebut, Pilkada saat ini seperti peternakan koruptor, (Harian Terbit, 20/4/2018). Jika konstitusi UUD 2002 memiliki berbagai kelemahan. Juga berdampak buruk dalam bernegara. Apalagi beberapa pasal bertentangan dengan Norma Fundamental Negara, maka tepatlah kita melakukan kontemplasi. Apakah UUD 2002 sudah sesuai dengan jiwa Pancasila? Jika Batang Tubuh UUD 2002 tidak koheren dengan Pancasila, tidaklah salah jika kita “Kembali ke UUD 1945”? Prinsip mengatasi ketersesatan di jalan adalah dengan kembali ke titik awal. Jangan lanjutkan berjalan dari posisi yang salah. Akibatnya akan akan lebih tersesat lagi. Jangan berkilah kita tidak bisa memutar balik arah jarum jam ke belakang. Siapa bilang? Kita punya banyak pengalaman. Dari UUD 1945, kita pernah berganti ke UUD RIS. Setelah itu kita berganti lagi ke UUDS ’50. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kita kembali lagi ke UUD 1945. Jangan bilang, kalau kembali lagi ke UUD 1945, akan menghidupkan lagi Dwi Fungsi ABRI. Tidaklah mungkin itu bisa terjadi lagi. Mengapa tidak terjadi lagi? Karena UUD 1945 tidak pernah dan tidak ada satu katapun yang berbicara tentang Dwi Fungsi ABRI. Takut Presiden bisa dipilih terus menerus? Kita sempurnakan dengan adendum pembatasaan masa jabatan Presiden. Takut kalau Polisi kembali digabung dengan TNI? Gampang, sempurnakan dengan memberikan tugas yang jelas dengan adendum. Adendum itu diijinkan, karena hakikat pasal 37 UUD 1945 memang untuk perubahan yang bersifat teknis saja. (Mr. Soepomo dalam Sidang BPUPKI). Melalui pemahaman posisi dan peran Pancasila, mari kita gunakan untuk mengkaji, apakah pasal-pasal dalam UUD 2002 sudah menjiwai Pancasila? Walaupun Dekrit Presiden 1959 sudah 61 tahun yang lalu, kiranya nafas dan tekad untuk kembali ke cita-cita Proklamasi waktu itu, masih relevan untuk saat ini. Tidak perlu mengakui salah. Amandemen yang lebih 20 tahun yang lalu, sudah kadaluarsa. Kita cukup menyadari bahwa saat ini kita sudah jauh tersesat. Jauh dari cita-cita proklamasi. Demi bangsa dan Negara, harus berani bertindak “Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum”. Amin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Dari New Normal ke New Indonesia
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (03/07). Pandemi covid-19 belum berakhir. Sampai kapan? Semua prediksi masih meleset. Semua survei belum ada yang tepat. Sementara, rakyat tak tahan lagi di rumah. Tabungan habis. Next, mau makan apa? Berbondong-bondong mereka keluar rumah. Jalankan aktivitas kembali. Kerja dan cari penghidupan. Di luar rumah, situasinya sudah mulai normal. Tapi, kali ini dengan protokol covid-19. Pakai masker dan sebagian masih mau cuci tangan. Tapi, physical and social distancing tak berlaku lagi. Kerumunan, bahkan joget dangdut bersama sudah dimulai. Nggak peduli yang terinveksi perharinya nambah kisaran 1500 orang. Cuek! Inilah New Normal. Hidup dipaksa untuk normal lagi. Mau tak mau. Faktor ekonomi jadi alasan utama. Soal ini, banyak pakar sudah bicara. Berbagai hasil analisis bertebaran di media. Cukup! Saya hanya merenung, kenapa New Normal tidak didorong untuk melahirkan spirit lahirnya New Indonesia? Apa New Indonesia itu? Keadilan sosial. Tentu saja, harus berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan Trisila dan Ekasila. Bagaimana memulainya? Keadilan sosial bisa diwujudkan jika hukum ditegakkan. Pangkal persoalan bangsa ini adalah masalah penegakkan hukum. Jika hukum bener, inysha Allah Indonesia juga bener. Nasib hukum sangat bergantung pada lembaga dan institusinya yang menegakkan hukum. DPR sebagai lembaga yang punya otoritas untuk membuat produk hukum atau konstitusi. Kalau banyak anggota Dewan titipan taipan, gimana mungkin produk hukum itu bisa bener? Aya aya wae. Saat pileg, para pemodal tabur uang. Kabarnya, ada kelompok korporasi dan taipan tententu yang punya anggota dewan di DPR lebih dari seratus orang. Lebih dari satu fraksi paling besar di DPR. Setara dengan fraksi PDIP yang punya anggota dewan lebih dari seratus orang. Ratusan anggota dewan terima jatah dana miliaran rupiah dari sang pemodal itu untuk membiayai kampanye. Dimulai dari biaya kegiatan survei, beli alat peraga, operasional kampanye, serangan fajar, sampai untuk menyuap petugas pemilu dan Bawaslu. Begitulah sistem kerjanya. Ada yang modal sendiri? Pasti ada. Secara jumlah, boleh jadi tak sebanyak yang pakai modal orang lain. Yang disumbangkan oleh korporasi licik, culas dan tamak. Ini hipotesis. Silahkan kesimpulan ini di-cross ceck benar-salahnya. Mahasiswa bisa jadikan ini sebagai obyek penelitian untuk skripsi, tesis atau disertasi. Wajar jika produk hukum itu seringkali terasa nggak rasional. Mereka itu titipan bro. Dari mana saja? Pemodal, taipan dan korporasi. Gimana nasib rakyat dan bangsa yang mau mereka perjuangkan? Sesekali anggota dewan perlu marah-marah ketika sidang. Biar dianggap mereka pro rakyat. Belum lagi faktor penegak hukum. Hulu sampai hilir suka nggak bebas dari transaksi. Markus namanya. Makelar kasus ada dimana-mana. Sudah jadi lahan bisnis mereka. Sudah dianggap sebagai pendapatan. Bahkan ada juga yang anggap itu reziki. Setiap pasal tentu ada harganya. Kenapa jadi begitu? Para pemodal ko cerdas ya? Bisnis dengan sistem ijon. Cari orang-orang yang berpotensi jadi pejabat di institusi hukum untuk 10-30 tahun ke depan. Beli integritas dan loyalitas mereka. Saat mereka menjabat, semua bisa diatur. Jangan harap anda menang perkara melawan para pemodal. Bisa, tetapi susah. Tidak mudah. Kecuali anda penguasa. Tak hanya parlemen dan lembaga hukum yang bermasalah. Eksekutif juga tak lepas dari masalah. Emang istana bisa bebas dari intervensi para pemodal? Kampanye di pilpres itu besar biayanya bro. Bisa puluhan triliun. Dari mana dana itu? Ya, dari pemodal. Emang gratis? Kagak. Jadi, kalau ada kementerian dijabat oleh seorang pemilik modal, ya jangan kaget. Itu sudah hal biasa saja. Belum lagi kepala daerah. Gubernur, bupati dan walikota juga butuh modal saat pilkada. Peluang para pemodal terbuka. Kesempatan mereka berternak uang di dunia politik. Hasilnya berlimpah. Jauh lebih besar dan lebih cepat dari bisnis biasa. Gak perlu kaget kalau ada hasil penelitian bahwa 60 persen kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia didapat melalui akses kekuasaan. Anda pasti tak keberatan untuk mengaminkan kesimpulan ini. Yang unik, banyak profesor dan kaum akademisi mendukung keadaan ini. Bahkan ikut numpang cari makan dengan menduduki suatu jabatan dan posisi. Terasa terhormat. Popularitas naik dan dapat menambah portofolio. Mereka tak sadar, bahwa posisi itu salah satu tugasnya adalah jadi tukang stempel kebobrokan negara. Jadi, New Normal dalam situasi pandemi, itu soal kecil. Tak perlu risau dan banyak dipersoalkan. Justru yang jadi persoalan, dan ini sangat serius adalah bagaimana membangun New Indonesia? Gimana caranya? Perbaiki tiga lembaga di atas. Eksekutif, legislatif dan lembaga hukum. Penyelenggara negara harus dijauhkan dari mafia pemodal jabatan, maka akan ada New Indonesia. Indonesia yang sumberdaya alamnya bisa dinikmati rakyat secara adil karena produk hukumnya dibuat dan ditegakkan untuk melindungi kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pemodal. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa