NASIONAL

Setelah 9 Tokoh Oposisi, Kini Lahir Koalisi Menyelamatkan Indonesia

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Senin (03/08). Minggu kemarin, 2 Agustus 2020, ada deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Deklarasi ini digagas oleh sejumlah tokoh nasional yang selama ini dikenal sangat kritis terhadap pemerintah. Lahirnya KAMI merupakan tindak lanjut dari 9 tokoh oposisi. Semula 9 tokoh, sekarang bertambah, dan semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah adalah Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Din Syamsudin, Gus Najih, Habib Rizieq, Rizal Ramli, Refly Harun, Rocky Gerung dan Said Didu. Dari 9 tokoh itu, kini jumlahnya sudah semakin banyak. Ada dari militer seperti Gatot Nurmantyo. Ada juga Rahmawati Soekarnoputri. Ada ekonom Ichsanudfin Noersy. Ada aktifis seperti Syahganda Naenggolan, Ahmad Yani, Habib Muchsin, Habib Smith Alhadar, MS Ka'ban, Jumhur Hidayat, Sri Bintang Pamungkas dan Chusnul Mar'iyah. Ada juga dari tokoh NU yaitu Djoko Edy dan Rachmad Wahab. Berdirinya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah Indonesia dalam kondisi tidak selamat? Lalu, mau menyelamatkan Indonesia dengan cara apa? Dari banyak komentar, sejumlah tokoh yang tergabung dalam KAMI, nampak tegas kesimpulannya bahwa Indonesia sedang menuju ke arah yang salah. Bisa-bisa hancur akibat cara yang keliru dalam mengelola negara. Zig zag dan cenderung ugal-ugalan. Bermula dari ambisi pembangunan infrastruktur, yang membuat hutang negara mengalami pembengkakan yang luar biasa. Jumlahnya kini sekitar Rp 7.000 triliun. Hutang yang diperkirakan tidak mampu untuk dibayar oleh pemerintah. Menjadi beban untuk negara puluhan tahun ke depan. Korupsi yang semakin masif. Diantaranya mengakibatkan sejumlah BUMN bangkrut. Terbit UU yang "dicurigai" untuk melindungi para koruptor, konglomerat dan perampokan negara. Terutama revisi UU KPK, UU Corona dan UU Minerba. Belum lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang semakin memangkas hak masyarakat bawah, dan memiskinkan kaum buruh. Maka, lahirnya KAMI adalah bagian dari bentuk keprihatinan atas bangsa yang semakin hari semakin terpuruk. Penguasa dengan semua aturan dan kebijakannya dianggap lebih berpihak pada korporasi, dari pada memikirkan nasib rakyatnya sendiri. Tanpa UU Corona, UU Minerba dan RUU Omnibus Law, kehidupan rakyat sudah sangat berat. Lahirnya sejumlah UU dan RUU tersebut membuat kehidupan rakyat semakin frustrasi. Belum lagi hukum yang cenderung berpihak kepada orang-orang seperti Djoko Tjandra, Harun Masiku dan Abu Janda. Representasi dari konglomerasi, partai pengusung dan kelompok pendukung. Halo E-KTP? Terkini adalah RUU HIP. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lebih dari 200 ormas menolak RUU ini. Karena dianggap sebagai upaya untuk memberi peluang bangkitnya komunisme. Tapi, pemerintah dan fraksi PDIP nampaknya kekeh dan tetap akan mensukseskan RUU HIP ini. Meski kali ini diwacanakan dengan nama baru RUU BPIP. Belum lagi praktek politik yang menganut asas "demokrasi terkendali". Semua serba dikontrol, baik melalui undang-undang maupun aparat. Saluran demokrasi tersumbat. Partai Politik berjalan sendiri sesuai selera penguasa dan korporasi. Penegak hukum dipakai sebagai alat untuk membungkam para aktivis yang kritis terhadap penguasa. Dari semua keprihatinan ini, lahirlah KAMI. Dari segi nama, gerakan ini fokus untuk menyelamatkan bangsa. Bagaimana cara menyelamatkannya? Menasehati dan kritik pemerintah? Sudah. Bahkan hampir tiap hari. Demo? Sering sekali. Apakah berpengaruh? Tidak! Lalu? Apakah mau ganti presiden dengan memintanya mundur? Pasti presiden gak bakal mau. Bisa-bisa akan dianggap makar. Tapi setidaknya, berkumpulnya para tokoh nasional dari berbagai unsur bangsa ini akan menjadi perhatian tersendiri bagi rakyat Indonesia saat ini. Apalagi jika jumlah tokoh semakin banyak dan mendapatkan semakin besar dukungan dari rakyat, maka segala kemungkinan bisa terjadi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Indonesia Seperti Negara Bagian China (Bag. Pertama)

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Pada tahunn 2007 makanan hewan buatan China dianggap sebagai penyebab kematian ratusan hewan di Amerika. Di tahun yang sama, serentetan kematian orang di Panama dikaitkan dengan bahan kimia buatan China yang dicampur dalam obat batuk. (Ben Chu, Editor Ecokonomi Harian Independen Inggris). Jakarta FNN – Senin (03/08). Menurut Ben Chu pada Maret 2013 ratusan ribu bangkai babi berpenyakit ditemukan mengapung di sungai Huangpu. Sungai yang merupakan sumber air bagi kota Shanghai. Asal bangkai babi tidak diketahui. Tetapi sebuah teori mengatakan bahwa penyelidikan perdagangan ilegal daging hewan yang berpenyakit telah menyebar luas. Mendorong para peternak untuk membuang babi-babi tersebut ke hulu sungai. Mengapa harus Indonesia? Mengapa bukan Malaysia, atau Philiphine yang dijadikan obyek uji coba vaksin buatan China? Apakah Malaysia dan Philipine tidak akrab seakrab Indonesia terhadap China? Apakah Malaysia dan Philipine telah tidak menyediakan diri sebagai tempat untuk mengujicobakan kandidat vaksin itu? Karena tindakan itu melukai harga diri mereka? Apakah dua negara itu telah menemukan kandidat vaksin hasil karya ahli-ahli mereka sendiri? Tidak tersedia informasi utuh soal ini. Apakah kedua negara itu telah mengetahui informasi yang ditulis Ben Chu, sehinga melihat bahaya nyata dibalik kandidat vaksin itu itu? Tidak jelas. Tetapi Indonesia, entah apa pertimbangan terbesar Presiden Joko Widodo, bersedia mengujicoba kandidat vaksin Sinovak itu. Sambutan Presiden Apakah informasi yang ditulis Ben Chu di atas tersedia di atas meja kebijakan presiden Joko Widodo? Kecuali pembantunya, tidak ada orang lain yang tahu.Kenyataannya Presiden Joko Widodo, bukan hanya menyambuat kandidat vaksin yang belum jelas efektifitasnya itu, tetapi bersikap lebih dari itu. Presiden terlihat antusias mempercepat uji coba kandidat vaksin yang belum jelas itu. Apakah sambutan bergairah itu disebabkan presiden dirangsang oleh kenyataan bahwa uji coba kali ini telah berada pada tahap ketiga? Tahapan yang sempurna? Tahapan yang menurut Profesor Kusnandi Rusmil, Ilmuan vaksin senior dari Universitas Padjajaran, aman (lihat Koran Tempo 23/7/2020). Bagaimana mendapatkan relawan? Apakah pemerintah menyediakan relawan untuk ujicoba vaksin Sinovak? Bila tidak, siapa yang menyediakan diri atau bagaimana cara mendapatkan mereka? Bagaimana bila kandidat vaksin yang disuntikan kepada para relawan itu memiliki efek samping atau gagal? Siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah Presiden dan para menterinya mau bertanggung jawab bial terjadi kegagalan? Dimana Presiden dan para pembantunya pahami pesan penting "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia?" Soal ini jelas tak bisa disepelekan. Bila sukses atau berhasil, siapa yang paling berhak untuk mem-patenkannya? Apakah China atau Indonesia? Uji-coba kandidat vaksin Sinovak ini boleh jadi merupakan hasil kongkrit kemesraan relasi politik dan dagang Indonesia-China. Uji coba vaksin ini melengkapi kemesraan Indonesia-China, yang telah memungkinkan tenaga kerja berdatangan ke Indonesia di tengah Corona. Kerjasama yang bersumbu pada kemesraan hubungan kedua negara. Kemesraan itu, mungkin tak bakal dilihat sebagai kerjasama yang membutakan salah satu pihak. Kerjasama berkerangka kesetaraan, dimanapun dan dalam urusan apapun selalu disajikan sebagai kunci multifungsi dalam membendung penilaian bahwa salah satu pihak dalam kerjasama itu terlihat sebagai sub-ordinat. Konsep kesetaraan dapat menjadi kunci menghindari penilaian Indonesia terlihat sebagai konfederasi China, yang sejauh ini terlihat sangat cerdik dalam percaturan Internasional. China telah memiliki keberanian yang belum pernah diekspresikan dalam menghadapi Amerika, negeri imperial modern itu. China cukup tahu bahwa kesetaraan dalam lingkungan internasional hanya mungin tercipta bila kapasitas negara yan saling berhubungan itu setara dalam banyak aspek. Kekuatan ekonominya telah membuat China seolah mengatakan kepada Amerika, “anda menutup Konsul kami di Houston, kami juga menutup konsulat anda di Chengdu”. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, untuk argumen apapun yang mungkin, jelas bukan negara tandingan China dalam banyak aspek. Di tengah Corona, China mengekspor beragam alat kesehatan ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di tengah Corona, tenaga kerja China terus saja masuk ke Indonesia dengan sangat mudah. Sepeti membetangkan karpet merah kepada tenaga kerja China. Malah para pekerja China itu bisa dengan leluasa menggunakan visa kunjungan untuk bekerja di pabrik nikel. Tidak hanya ke Konawe, Sulawesi Tenggara. Tetapi juga di Weda Halmahera Tengah dan Obi Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pada dua daerah Halmahera ini, sejumlah perusahaan milik China menambang disana. Korporasi-korporasi itu mempekerjakan tenaga kerja China. Seperti pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara, Pemerintah Provinsi Maluku Utara juga tak bisa mengoreksi kebijakan pusat yang memungkinkan pekerja China bekerja di tambang-tambang itu. China Tak Bodoh Indonesia bukan negara bagian China. Juga sejauh ini, bukan provinsi ke sekian dari China.Indonesia negara merdeka. Seperti China, Indonesia juga punya konstitusi sendiri. Konstitusi ini memungkinkan Indonesia bermain di panggung internasional dengan nada dan nafas menciptakan dunia yang damai. Pembaca FNN yang budiman. Konstitusi dimanapun tidak bicara hal-hal deteilnya. Urusan deteilnya itu diserahkan kepada pemimpin negara, terutama Presiden. Tindak-tanduk Presidenlah yang menentukan yang detail-deteil itu. Rakyat Indonesia menyaksikan dengan cukup jelas Presiden telah menyambut kandidat vaksin Sinovak itu dengan bahasa yang lugas. Payah juga ya? China memang sempat dipusingkan oleh tuduhan Amerika. Tuduhan sebagai negara yang, kalau tidak menciptakan Virus Covid, justru mendahului semua pengetahuan dunia tentang covid. Tetapi China sejauh ini, tidak terlihat melemah di panggung internasional. Presiden Xi Jinping terlihat menyajikan diri di pangung politik dunia sebagai menejer krisis yang andal. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh Presiden Joko Widodo. Seperti yang dilakukan oleh Zhu Rong Ji, Perdana Menteri China tahun 1998. Prefesor Zhu Rong Ji menolak skenario IMF untuk mendevaluasi Renmimbi (mata uang China), pada saat negara-negara Asia dipukul wabah Wall Street (krisis keuangan). Presiden Ping saat ini menydorokan diri dengan kebijakan khas mereka. Presiden Xi Jimping tidak membebek kepada Presiden Amerika. Bagaimana China bisa sedemikian leluasa dalam menanganai berbagai urusan? Apakah kelincahan China itu berkat seorang Presiden semata atau dituntun oleh faktor lain? (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Dukungan Untuk Koalisi Menyelamatkan Indonesia

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (03/08). Hari Ahad tanggal 2 Agustus 2020 kemarin tokoh bangsa berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, disingkat KAMI. Beberapa tokoh yang hadir antara lain Prof. Dr. Din Syamsuddin, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Dr. Said Didu, Prof. Rocky Gerung, Prof. Dr. Refly Harun, Prof. Dr. Husnul Mar’iyah, Dr. Marwan Batubara, Dr. Masri Sitanggang, Habib Mukhsin Alatas, Edwin Sukawati, dan lainnya. Pembentukan koalisi para tokoh ini tentu berangkat dari keprihatinan atas kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tata kelola dan penyelenggaraan negara yang telah salah arah. Tidak lagi negara dikelola dan diurus sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Tidak lagi berpedoman pada cita-cita dan tujuan bernegara. KAMI patut didukung karena tujuan mulia yang melandasinya. Rakyat Indonesia merasakan bahwa kondisi kini sangat parah. Kondisi ekonomi sudah parah sebelum datangnya corona. Sekarang bertambah parah. Pengguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana. Tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat sangat miris. Pertumbuhan ekonomi jadi minus, karena pemerintah tidak mengertti dan paham cara menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pemandangan yang sangat memeprihatinkan terjadi para penegakan hukum. Para penegak hukum semakin parah moralnya. Penegak hukum negeri bisa dengan diatur dan dikendalikan oleh buronan yang berstatus terhukum Djoko Tjandra. Dia bisa dengan mudah mengatur tiga institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Kemenkumham (Imigrasi). Dua institusi lainnya juga diatur dengan mudah oleh Djoko Tjandara, yaitu Ditjen Dikcapil Kemendari dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Warwatan senior Asyari Usman menyebut Djoko Tjandra sebagai pembeli kekuasaan dengan predikat best buyer (FNN.co.id 23 Juli 2020). Artinya, pembeli kekuasaan terbaik. Buronan yang bisa masuk dan keluar dari Indonesia dengan sangat bebas tanpa ditahan oleh aparat penegak hukum. Malah mendapat fasilitas surat jalan untuk kesana-kemari. Keadilan bagi semua semakin jauh dari kehidupan kita. “Kemanusian Yang Adil dan Deradab serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” enteh disumbunyikan dimana? Keadilan hanya bisa dengan mudah dinikmati oleh pemilik kekuasaan dan pembeli kekuasaan terbaik (best buyer). Kondisi politik lebih para lagi. Presiden nyata-nyata telah melanggar konstitusi negara UUD 1945, dengan memutilasi hak budgeting DPR. Namun oleh para politisi kacangan, tengih, kaleng-kelang dan beleng-beleng dianggap sebagai hal yang biasa saja. Sepertinya tidak ada pelanggaran apa-apa terhadap konstitusi UUD 1945. Tragedi politik paling tragis adalah DPR meloloskan usulan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi RUU hak usul inisiatif DPR untuk dibahas bersama pemerintah. Namun setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, giliran pemerintah yang mengusulkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ngaco dan ngawur. Sayangnya RUU BPIP masih dengan misi dan tujuan yang sama dengan RUU HIP. Bernapsi sekali untuk menjadikan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 sebagai dasar pijakan. Bukan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang berbasis pada konsensus tanggal 22 Juli 1945. Salain itu, RUU BPIP juga bermaksud untuk menepatkan pemerintah dan BPIP sebagai panafsir kebenaran mutlak dari Pancasila. Ini sangat tragis, dan miris wajah perpolitikan kita di bawah pemerintahan sekarang. Wajah sosial kemasyarakatan kita bertambah parah dan kusam. Nilai etika dan kepatutan tidak menjadi hal tabuh dan mamalukan bagi penguasa. Sabaliknya, penguasa dengan enteng melakukan prostitusi politik, kata Rocky Gerung di pertemuan KAMI Ahad kemarin, di kawasan Cilandak Jakrata Selatan. Tragisnya, prostitusi politik itu dilakukan dengan telanjang di depan rakyat. Tidak perlu risih dan malu. Prostitusi politik paling yahud hit dan hot adalah tawaran jabatan penting, di bawah atau setingkat menteri kepada Achamad Purnomo agar tidak maju sebagai Calon Walikota Solo pada Pilkada Desember 2020 nanti. Pasalnya, Achmad Purnomo yang sekarang Wakil Walikota Solo itu menjadi pesaing paling kuat untuk anak Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming. Padahal anak Presiden Jokowi belum punya kapasitas dan kapabilitas untuk jabatan setingkat Walikota Solo. Masih perlu waktu untuk membaca dan belajar yang banyak. Jangan juga hanya komik yang dibaca. Mendingan matangkan diri untuk jualan martabak dululah. Toh, nanti bisa meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sambil jualan martabak. Jangan sampai baru mau belajar tentang tata kelola pemerintahan saat sudah menjabat Walikota Solo nanti. Penguasa sekarang, KKN sepertinya menjadi hal yang biasa dan wajar saja. Tidak lagi hal yang tabuh dan memalukan. Mendukung anak dan menantu untuk Pilkada Walikota Solo dan Walikota Medan tidak dianggap melanggar etika dan norma kapatutan. Sikap yang sangat ditentang oleh Soekarno, Soeharto, Habibie dan Megawati. Terlalu mudah dan gampang untuk Soekarno, Soeharto dan Habibie menjadikan ana-anak mereka menjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Soekarno bisa saja menunjuk anaknya tanpa melalui pemilihan di DPRD. Ali Sadikin jadi Gubenur DKI pertama kali tanpa pemilihan di DPRD. Begitu juga dengan Soeharto dan Habibie. Dengan hanya suara Fraksi Golkar dan ABRI di DPRD saja, sudah lebih dari cukup untuk menjadikan anak-anak Soeharto dan Habibie menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun itu tidak dilakukan Soekarno, Soeharto dan Habibie, karena ada hambatan norma etika dan kepantasan. Begitu juga dengan Megawati. Pada tahun 1999 itu, DPRD DKI Jakarta dikuasai oleh Fraksi PDIP. Namun Megawati tidak mendorong anaknya, Pranda Probowo dan Puan Maharani menjadi Gubernur DKI Jakarta. Yang dijagokan Fraksi PDIP malah pasangan Sutiyoso-Fauzi Bowo. Padahal keduanya adalah produk Orde Baru. Begitulah soal norma etika dan kepantasan itu berbicara. Untuk soal etika ini, kita harus memberikan apresiasi dan penghormatan kepada Soekarno, Soeharto, Habibie dan Megawati. Beda antara langit dan bumi dengan Rezim Jokowi yang memang oligarkhis, bahkan otokratis. Makanya, sangat tepat para tokoh bersikap untuk berkoalisi. Koreksi memang harus dilakukan oleh kekuatan yang solid. Pemerintah Sudah Out Of Orde. Di kalangan umat Islam, semangat korektif sudah terbentuk dengan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas dan tegas. Maklumat dan dalam waktu dekat "tahdzir" akan dikeluarkan MUI. Koreksi atas penyimpangan ideologi oleh kekuatan komunis yang diduga menyusup di pemerintahan dan Partai Politik. MUI sampai pada ancaman aksi besar-besaran (masirah qubro). Sikap MUI tersebut mendapat dukungan luas dari masyarakat, khususnya umat Islam. Pemerintahan Jokowi dinilai sudah "out of order" bertindak berlebihan. Prinsip "negara adalah aku" telah menyuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ekonomi politik, dan hukum terasa semakin amburadul dan tak jelas arah. Bak kendaraan yang melaju tak terkendali, karena rem blong dan supir tak mengerti arah mau kemana. Pasrah menuju kecelakaan fatal. Negara harus diselamatkan. Sinyal "SOS" telah berbunyi. Sebenarnya saat tepat untuk Presiden Jokowi mundur dengan terhormat. Demi untuk kebaikan bangsa ke depan. Beri kepercayaan kepada nakhoda atau driver lain yang lebih segar, paham dan mahir. Atau menunggu dahulu koreksi yang lebih keras? Belajarlah dari sejarah. Sebab sejarah mencatat bahwa keterlambatan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat pada penyesalan. Bisa jatuh dalam keadaan yang tidak terhormat. KAMI telah terbentuk. Semangat perubahan semakin menguat. Gumpalan perlawanan tidak bisa lagi dianggap ringan. Sebagaimana dukungan kepada MUI untuk menjadi lokomotif perjuangan umat Islam, maka dukungan kepada KAMI pun akan membesar dengan sendirinya. Dekkarasi KAMI Ahad kemarin, mengingatkan publik pada KAMI saat gerakan perubahan politik tahun 1966-an dahulu. KAMI kini adalah untuk masa depan yang lebih baik dan bermartabat. Sejarah selalu berulang. Biasanya kebenaran selalu di pihak yang menang. Kami semua mendukung KAMI. Selamat berjuang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Kedua)

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Ahad (02/08). Mari kembali melihat jejak sejarah. Sebab Perumusan falsafah negara RI mengikuti proses dialektika. Pada masa sidang BPUPK, golongan sekuler menghendaki negara ini berdasar sekulerisme, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi. Tuhan tidak dibawa dalam urusan bernegara. Ini dapat dipandang sebagai tesa. Golongan Islamis menghendaki negara ini berdasa Islam. Dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama. Gagasan ini dapat dipandang sebagai anti tesa. Maka lahirlah Piagam Jakarta sebagai sintesa (Pancasila rumusan resmi I). Sebuah naskah kompromi yang tepat disebut “gentlemen’s agreement”. Sebagaimana yang diberikan Sukiman, “RI tidak berdasar sekuler dan bukan berdasar Islam”. Namun Agama diletakkan di tempat terhormat. Pada masa pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta untuk ditetapkan pada 18 Agustus 1945 ((Pancasila rumusan resmi II), sulit untuk disebut proses dialektika. Sebab, prosesnya berjalan kurang wajar. Namun perlu diingat, setelah pengakuan Belanda terhadap Indonesia, konstitusi 18 Agustus 1945 ini hanya berlaku di satu negara RIS (Pancasila rumusan resmi III). Selanjutnya, tidak berlaku sama sekali setelah RI bersama negara-negara bagian lainnya membubarkan diri untuk membentuk NKRI berkat Mosi Integral Natsir yang menandai berlakunya UUDS 1950 (Rumusan IV). Padahal perdebatan di Konstituante, bolehlah. Anggota konstituante kembali terbelah dua. Golongan sekuler mendukung Pancasila, yang bisa di sebut sebagai tesa. Tetapi perlu diingat pula, Pancasila yang dimaksud oleh golongan sekuler tidak merujuk pada rumusan tertentu. Tidak soal apakah rumususan pribadi Sukarno tanggal 1 Juni 1945, atau rumusan resmi II, III atau IV. Yang pasti, bukan rumusan Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta mereka tolak keras seolah bukan rumusan Pancasila. Padahal, itulah rumusan resmi I tentang falsafah negara. Ini dibuktikan oleh pidato tokoh-tokoh PNI di Dewan Konstituante. Ketua Umum PNI, Soewirjo, misalnya, mengatakan, “saya tidak hendak membicarakan runtutan sila-sila atau susunan kata-katanya. Soal ini bagi PNI tidak merupakan soal yang prinsipil”. Tokoh PNI lainnya, Roeslan Abdoelgani menyatakan, “Ketuhanan disebut belakangan hendaknya jangan kemudian ditarik menjadi kesimpulan, seakan-akan dasar ini hendak kita belakangkan. Jauh daripada itu dia sekadar menuruti sistematik penjelasan saja”. Pidato Roeslan Abdoelgani tentu saja merujuk pada rumusan Pribadi Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan Golongan Islamis menghendaki kembali ke Piagam Jakarta (Pancasila rumusan resmi I). Ini dapat dipandang sebagai anti tesa. Rasio perimbangan suara antara sekuler (tesa) dan Islamis (anti tesa) adalah 5 : 4 (dalam angka kongkrit, 264 : 204). Di dalam suara golongan sekuler ada 80 suara angota PKI, yang sebenarnya sebagbagai atheis. PKI adalah pendukung Pancasila yang palsu, tulis Endang Saifuddin Anshari. Maka jika pihak sekuler dikurangi suara komunis, perbandingan menjadi 184 : 204 atau 9 : 10. Dalam sidang-sidang Konsituante, PKI sangat gigih menolak segala sesuatu yang berbau Islam. Ketuhanan, kata Aidit, adalah berarti kebebasan beragama. Yang berti pula kebebsan untuk tidak beragama. Juga kebebasan untuk mengajak orang untuk tidak beragama. Maka dari itu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, meski atas dasar kekuasaan, dapat dipandang sebagai sintesa. Sebab, dekrit menyatakan kembali ke UUD 1945 dengan menyebut, “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Satu konsideran yang tentu saja sangat tidak disukai oleh PKI. Jadi, Dekrit Prsiden menjadi Pancasila rumusan resmi V, atau rumusan terakhir adalah Pancasila 18 Agustus 1945 yang jiwanya adalah Piagam Jakarta. Bukan Pancasila tanggal 1 Juni 1945, sebab itu berarti menolak Dekrit 5 Juli 1959. Tampaknya para pengusung RUU HIP yang sekarang berlanjut dengan RUU BPIP mengajak bangsa ini kembali kepada dialektika awal. Diakletika masa-masa perdebatan di BPUPK. Mereka memperjuangkan sekulerisme sebagai tesa. Maka, agar terlahir sintesa baru, Gerakan Masirah Qubra, yang sedang menanti kedatangan Panglimanya. Tidak ada pilihan lain. Panglima Masirah Qubra harus dengan gigih memperjuangkan negara ini berdasar Pancasila 18 Agustus 19454. Ini tidak bisa terelakan. Sebab kalau Umat Islam kalah, atau tidak melakukan perlawanan, Indonesia akan menjadi sekuler-komunis. Kalau Umat Islam menang, negara tetap berdasarkan Pancasila konsensus 18 Agustus 1945. Dimana Piagam Jakarta, yang setidaknya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipertahankan. Selanjutnya, mengingat pertarungan dialektika ini menyangkut Falsafah NKRI. Bukan RI, maka segala yang berkaitan dengan Pancasila, baik itu rancangan produk hukum maupun lembaga, yang diusung oleh pihak lawan tarung harus dipandang sebagai satu kesatuan yang ditolak. Sebab, tidak sesuai dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peta jalan menuju sempurnanya penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dimulai dari terbitnya Keppres no 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah digunakan sebagai landasan dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit lagi Perpres no 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Penguasa telah menjurus pada penafsir tunggal Pancasila. Bahkan secara terang-terangan melalui Ketua BPIP yang menyatakan musuh Pancasila adalah agama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah jelaskan di atas. Terakhir, lahir RUU BPIP yang akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak lawan tarung. RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket. Makanya, BPIP tidak berkemomentar terhadap upaya penggantian Pancasila dalam RUU HIP. Oleh karena itu, sekali lagi, semua gagasan dan niat busuk yang ada di peta jalan penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu harus ditolak. Ini memerlukan Panglima Masirah Qubra yang tidak saja berani, tetapi juga cerdas dan tangkas yang didukung oleh semua lapisan umat Islam. Selamat berjuang Panglima Masirah Qubra. Selamat dan silahkan memimpin pertempuran yang berat, dan sangat menentukan ini. Tantang paling berat untuk bangsa dan negara menanti Panglima. (habis) Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.

Lawan Neo PKI Dan Komunisme Berbaju Pancasila

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Mengadu domba, fitnah, pemutarbalikkan fakta, dan memusuhi agama, baik ajaran agama maupun ulama adalah gaya PKI. Juga gaya kader Komunis dalam menjalankan misi, melalui yang disebut dengan agitasi dan propaganda. Kasus Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sampai pembakaran baliho bergambar Habib Rizieq Shihab adalah aktualisasi misi di saat kiwari. Hura-hura ala Gerwani ikut mewarnai berbagai aksi seperti itu. Dulu itu Masyumi, HMI, Ormas Islam dan para ulama menjadi sasaran penting dari propaganda PKI. Dijadikan sebagai batu loncatan yang juga penting untuk konsolidasi diri menuju pembentukan "angkatan kelima". Angkatan yang diusulkan oleh PKI untuk juga dipersenjatai. Pola-pola agitasi model PKI itu sekarang hidup lagi dalam bentuk dan yang berbeda. Yang sekarang rajin sekali berteriak “saya atau kami Pancasila”. Persis seperti PKI dulu yang rajin berteriak-teriak membela Pancasila. Bahkan Ketua PKI Diva Nusantara Aidit menulis buku dengan judul “Membela Pancasila”. Kini "hantu-hantu" itu dibuat kembali oleh neo PKI dan kader kader Komunis. Isu radikalisme, kaum intoleran, khilafah, dan HRS adalah "musuh buatan" untuk konsolidasi kekuatan kaum kiri baru. Di tengah krisis ekonomi dan kesehatan, bangsa Indonesia dibuat gerah oleh pertumbuhan gerakan komunisme yang terlihat lebih masif. Ada upaya untuk kembali bangkit. Presiden Jokowi terlihat yang diam saja menyikapi situasi ini. Mimbar Istana tidak digunakan bersikap. Bahkan cenderung menafikan kondisi yang telah menggelisahkan umat Islam tersebut. Kenyataan ini mengingatkan kita pada Soekarno yang "berapologi" tentang pentingnya keberadaan dan pertumbuhan PKI di Indonesia. Pidato Soekarno yang berjudul "subur subur suburlah PKI", telah menjadi dan memberikan angin segar bagi PKI untuk kelak mencoba mengkudeta kekuasaan. Membunuh para Jenderal TNI Angkatan Darat. PKI juga membunuh para kiyai, ulama dan santri. Dalam menghadapi gerakan neo PKI dan Komunis sekarang, Presiden Jokowi harus belajar dari Soekarno. Peran dan posisi Soekarno yang hingga kini masih misterius dalam peristiwa G 30 S PKI, tidak boleh diulangi oleh Presiden Jokowi. Harus bersikap dan punya posisi yang jelas. Tidak boleh abu-abu. Umat Islam juga dituntut peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi perubahan politik. Perubahan yang mungkin saja lebih cepat dari yang diperkirakan. Sebab keberadaan neo PKI dan komunisme bukan kekuatan yang harus dipandang kecil. Tidak bisa diremehkan atau ditertawakan. Umat Islam harus berada pada posisi siaga satu. Sebab menjadi sangat berbahaya bila menghadapi kebangkitan neo PKI dan komunisme di tengah rezim yang lemah tingkat kepeduliannya. Bahkan rezim terkesan permisif pada pergerakannya. Untuk itu, umat Islam harus selalu siap sedia menghadapi datangnya kemungkinan terburuk. Umat Islam pada kondisi tertentu nyatanya harus berjuang sendirian. Sementara insitusi kenegaraan bungkam atau dibungkamkan. Bahkan terkesan malah protektif terhadap kebangkitan gerakan neo PKI dan komunisme. Tak ada sinyal atau peringatan untuk mewaspadainya. Sampai sekarang, Presiden Jokowi belum sekalipun berpidato dari mimbar Istana Negara yang menyinggung soal kebangkitan neo PKI dan bahaya komunisme. Bahkan Presiden malah nyaman-nyaman saja bergaul dengan "mbah"nya komunis, negara Cina. Walaupun dengan daya dukung politik yang kecil, umat Islam akan tetap menjadi garda terdepan dalam melawan bangkitnya neo PKI dan komunisme. Bersama dengan elemen masyarakat anti komunis lainnya, dipastikan siap bergerak untuk melawan dan membasmi musuh agama, musuh bangsa, dan musuh negara. Pemerintah seharusnya "alert" terhadap penyusup mahir neo PKI dan faham komunisme. Mereka adalah para penyamar ideologi musang berbulu ayam. Pendusta kebenaran, kejujuran dan keadilan. Umat Islam dan elemen anti komunis telah meniup pluit untuk berjalan di rel perlawanan. Pemerintah harus berada pada posisi bersama menghadapi gerakan neo PKI dan faham komunisme. Akan tetapi jika pemerintah tidak mau bersama, maka jangan menghalangi di depan. Jika menghalangi juga, maka kereta akan terus bergerak dengan cepat. Kereta akan menabrak dan menggilas siapapun yang menyiapkan diri menjadi penghalang. Untuk yang menjadi kader neo PKI dan komunisme, tak ada toleransi dan negoisasi dengan kalian. Militansi adalah spirit nurani menghadapi kalian, tidak bisa ditawar. Sebagaimana biasa ketika melawan penjajah, berlaku prinsip "hidup atau mati". "Kill or to be killed". Hidup mulia atau mati syahid. UmatIislam tak akan pernah gentar atau mundur bila menghadapi neo PKI dan faham komunisme. Berjuang dan berkorban adalah ibadah. Untuk mendapatkan ridlo Ilahi. Syurga-Nya Allah telah setia menanti. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Pertama)

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Kondisi sekarang ini adalah pertarungan. Kalau umat Islam kalah, negeri ini bakal menjadi sekuler-komunis. Untuk itu perlu Panglima yang berani, cerdas dan tangkas menghadapi situasi ini. Fenomena ngototnya fraksi tertentu di DPR RI untuk meneruskan pembahasan RUU HIP – meski masyarakat beserta ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU, bahkan MUI seluruh Indonesia telah menyatakan menolak keras. Namun muculnya usul pemerintah tentang RUU BIP, membuktikan satu hal, “pertarungan mengenai falsafah negara belum selesai”. Masih ada kelompok yang sungguh-sungguh belum rela menerima Dekrit Presiden 1959. Diakuinya keberadaan Piagam Jakarta dalam Dekrit itu, diduga keras menjadi sebab utama penolakan mereka terutama penganut faham sekulerisme dan komunisme. Padahal, Dekrit 5 Juli 1959 ini diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli 1959. Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah satu-satunya rumusan falsafah negara yang disahkan oleh satu badan yang langsung dipilih oleh rakyat. Tambahan lagi, tujuh tahun kemudian, 19 Juni 1966, Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menjustifikasi Dekrit Presiden 5 Juli itu dan pada tanggal 5 Juli 1966 oleh MPRS ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS no XX/MPRS/1966. Dengan kekuasaan yang dimiliki, pengusung sekularisme ingin memaksakan kehendak. Ingin mengganti falsafah negara yang sah berlaku saat ini, yakni rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penggantinya adalah falsafah yang terinspirasi dari pidato usulan Ir Soekarno pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, yang oleh Endang Saifuddin Anshari (1983) disebut “Konsep Rumusan Pribadi”. Rumusan Soekarno 1 Juni 1945 adalah rumusan tidak resmi. Di dalam RUU HIP, konsep rumusan pribadi itu dinampakkan dalam wajah materialism yang terang. Menyingkirkan Tuhan dalam membangun Indonesia. Kalau pun mau ber-Tuhan, maka Tuhan harus dikurung dalam kebudayaan. Ilmu dan Teknologi lebih utama dari Tuhan. Gila dan sinting konseptornya. Tentu ini adalah serangan ekstrem radikal terhadap NKRI. Pertama, mengabaikan falsafah negara yang resmi ditetapkan melalaui Dekrit dan sah masih berlaku. Kedua, bertujuan membalikkan sistem nilai yang sudah mendarah-daging jauh sebelum bangsa ini merdeka ke arah yang bertolak belakang. Membalikan ke arah membelakangi nilai-nilai Tuhan. Indonesia hidup dengan berke-Tuhan-an bukanlah bermula dari terumuskannya Piagam Jakarta. Sama sekali bukan. Ke-Tuhan-an itu sudah menjadi jiwa masyarakat Indonesia berabad sebelum Indonbesia merdeka. Bagi Umat Islam, Ke-Tuhan-an malah menjadi spirit utama untuk mengusir penjajah. Piagam Jakarta hanya mengukuhkan apa yang menjadi sistem nilai yang hidup di tengah masyarakat itu. Berupaya menjadikannnya hukum positif. Ambillah periode yang paling dekat, tahun 1928. Tahun dimana para pemuda Indonesia bersumpah bertanah air dan berbangsa serta berbahasa satu. Di situ dinyanyikan lagu dengan syair “ bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya”. Disadari betul, bahwasanya jiwa-ruhani perlu dibangun sebagai kekuatan perlawanan menentang penjajah. Bukan fisik ansich. Mimpi para pemuda dulu itu, adalah Indonesia merdeka yang terbangun jiwa dan badannya, ruhani dan fisik-jasmaninya. Membangun jiwa-ruhani lebih utama, agar pembangunanfisik-jasmani memiliki arti buat kehidupan. Pembangunan bukan untuk pembangunan, tetapi untuk manusia yang mendiami Indonesia. Jiwa-ruhani hanya bisa dibangun dengan ajaran Tuhan. Tidak bisa dengan matematika, fisika, kimia atau sebutlah sains dan teknologi. Sains teknologi tanpa Tuhan akan melahirkan manusia tanpa hati. Manusia robot, atau paling banter seperti hewan terlatih. Ini sangat mengerikan. Indonesia akan menjadi belantara gedung pencakar langit yang dihuni oleh manusia hewani. Survival of the fittest, kata Charles Darwin. Yang kuat yang bertahan hidup. Memangsa sesamanya tanpa belas kasih. Begitulah hewan, begitulah falsafah orang tak ber-Tuhan. Merubah kesepakatan dengan kekuasaan, tanpa menghiraukan jeritan komponen bangsa yang menjadi stake holder, pada hakekatnya adalah penindasan. Penindasan penguasa terhadap rakyat, dan itu adalah penjajahan. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya kita tolak sesuai alenia pertama Pembukaan UUD 1945. Lebih menyakitkan dari Penjajahan sebelumnya, karena justeru dilakukan bangsa sendiri. Tetapi memang, begitulah tabiat pertarungan. Setiap orang berupaya keras melumpuhkan lawannya hingga tidak berkutik. Itu sah belaka. Apalagi petarungnya menganut faham bebas nilai alias tidak berke-Tuhan-an. Menghadapi petarung yang begini, adalah satu kebodohan bila berharap mereka akan mengikuti aturan main. Jangan berharap ada perasaan tersentuh mendengar jeritan dan suara kecewa serta keluh kesah. Bertarunglah sampai mampus. Tidak akan ada belas kasih. Sebab mereka adalah manusia tanpa hati. Dimana ilmu dan teknologi menjadi alat pembunuh bagi mereka. Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memerdekakan Indonesia, maka wajib ikut betanggungjawab melestarikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Selama ini umat Islam memang terlalu polos. Selalu saja berprasangka baik. Tidak pernah merasa bertarung. Tidak sadar kalau mereka diposisikan sebagai lawan oleh kelompok tertentu. Akibatnya, ketika kena “pukulan” keras, mereka cuma berkeluh kesah, kesal dan kecewa. Bertanya “kenapa kami diperlakukan begini ?”. Dalam konteks RUU HIP yang menjadi RUU BIP, adanya upaya untuk menyamakan khilafah dengan komunisme. Misalnya, masih ada umat Islam yang menilai, ini disebabkan kelompok tertentu itu dungu, bodoh, tidak faham tentang Pancasila dan khilafah. Inilah pertanda tidak sadar bahwa mereka sedang menghadapi pertarungan. Menganggap lawan bertindak tanpa rencana, tanpa perhitungan dan tujuan. Kalau umat Islam sadar bahwa mereka sedang bertarung, pastilah bersiap-siap menghadapinya. Siap menerima dan mengelakkan “serangan”. Bahkan siap pula melakukan serangan balik. Tidak ada tempat berkeluh kesah dan kecewa di situ. Yang ada, adalah : lawan tetap saja lawan. Harus lawan sampai menang atau menyerah kalah. Kalau mujahid, pilihannya menang atau mati dalam pertarungan. Isy kariman au mut syahidan. Artinya, hidup mulia atau mati syahid, kata Wakil Ketua MUI Pusat, KH Muhyiddin Junaidi. Itulah orang yang sadar. Sebagai pemimpin umat, KH Muhyiddin patut dan sudah seharusnya mendeklarasikan itu. Apa yang telah dialami umat Islam selama perumusan falsafah negara, baik masa RI maupun masa NKRI. Kenyataan ini ditambah dengan perlakuan pemerintah terhadap umat Islam atas nama Pancasila selama Indonesia merdeka adalah menyakitkan. Selama ini umat Islam berlapang dada menerima itu sebagai sebuah kenyataan dalam dinamika hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi kalau sampai ada upaya ekstrim dengan kekuasaan, sehingga membuang falsafah negara yang telah disepakati dengan jalan susah payah, ceritanya bisa menjadi lain lagi. Apalagi menggantinya dengan sesuatu yang sudah ditolak, maka itu sudah sampai pada batas tidak dapat tertolerir lagi. Wajib untuk adanya melakukan langkah Masirah Qubra, Isy kariman au mut syahidan. (bersambung). Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.

RUU HIP dan Isu Pemakzulan Jokowi

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) Jadi top scor. Tertinggi ratingnya dan mengalahkan isu-isu yang lain. Kenapa? Karena isu ini menyentuh hal yang sangat sensitif. Dicurigai berkorelasi dengan kebangkitan faham komunis PKI. Sampai disini, umat Islam dan TNI, terutama Angkatan Darat (AD) kompak bersikap. Sebab, kedua kelompok inilah yang paling besar jumlah korbannya saat PKI melakukan pemberontakan tahun 1948 dan 1965 dulu. Meski ada upaya untuk menghapus sejarah, tetapi pembunuhan sejumlah Jenderal Angkatan Darat, pembantaian para ulama dan guru ngaji di berbagai daerah adalah fakta yang memiliki banyak data dan saksi. Agak sulit untuk dibantah. RUU HIP yang diusung oleh fraksi PDIP di DPR telah mendatangkan gelombang protes yang masif. Dimotori oleh MUI, NU dan Muhammadiyah, umat Islam menuntut agar RUU HIP dicabut. Dikeluarkan dari prolegnas. Tetapi, DPR kekeh mempertahankannya dan akan tetap membahasnya. Belakangan, RUU HIP diusulkan pemerintah ke DPR untuk diganti namanya menjadi RUU BPIP. Ganti casing saja. Kenapa pemerintah tidak mengusulkan agar RUU HIP untuk dicabut, tetapi justru malah mempertahankannya dengan ganti nama menjadi RUU BPIP? Pertama, pemerintah berkepentingan untuk memperkuat posisi kelembagaan BPIP. Sebab, lembaga ini bisa dijadikan sebagai alat oleh pemerintah untuk membuat tafsir tunggal terhadap Pancasila. Tafsir tunggal ini nantinya dapat diantaranya memberi kewenangan pemerintah untuk menghakimi siapa yang dianggap tidak pancasilais. Kok curiga? Sejarah telah memberi pengalaman. Juga terutama melihat karakter dan track record rezim saat ini. Kedua, diduga kuat ada kepentingan pragmatis dibalik perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP. Melibatkan pemerintah untuk ikut mempertahankan RUU ini. Apa ada kaitannya dengan tiket dari PDIP yang diberikan kepada Gibran untuk maju ke Pilkada Solo? Namanya juga menduga-duga. Dalam politik, kepentingan pragmatis bisa dilacak melalui banyak indikator. Perubahan RUU HIP jadi RUU BPIP juga diduga menjadi upaya untuk meredam gelombang protes yang selama ini terjadi. Seolah itu jalan tengah. Namun, protes umat nampaknya tidak bakalan melunak. Mereka menganggap, RUU BPIP tak ubahnya RUU HIP. Hanya beda casing. Motif dan faktor penyemangatnya dianggap sama: memberi peluang komunisme untuk hidup kembali di Indonesia. Dalam sejumlah demo terhadap RUU HIP, tuntutan Jokowi mundur atau dimundurkan sudah mulai muncul. Meski belum begitu kuat gaungnya. Dari kalkulasi politik, gelombang protes RUU HIP tidak akan mampu mendongkel Jokowi dari kursi kepresidenan. Meski Habib Rizieq dan sejumlah elemen masyarakat lainnya terus memeriakkan "pemakzulan Jokowi". Sebagai tuntutan, boleh-boleh saja. Tetapi, sebagai "isu primer pemakzulan" sepertinya masih jauh dari mampu memenuhi syarat. Kecuali jika ada faktor lain, sebut saja "faktor x" yang mampu mendorong "tuntutan" ini menjadi arus perubahan atau transformasi politik. "Faktor x" itu misalnya ekonomi. Terjadi resesi ekonomi, dan pemerintah tak mampu lagi untuk recovery. Angka pengangguran makin tinggi dan daya beli rakyat makin terpuruk. Dalam situasi seperti ini, isu pemakzulan akan menggema dan makin kuat. Sebab, akan mendapat dukungan semakin besar dari - dan melibatkan seluruh elemen- rakyat. Atau ada salah reaksi, baik dari DPR, khususnya fraksi PDIP, atau dari pemerintah yang mendorong terjadinya kerusuhan sosial. Istilah politiknya "Blunder Akbar". Bagaimana dengan pembakaran spanduk bergambar HRS? Nampaknya belum memenuhi syarat kematangan. Apalagi "jika" itu bagian dari "test the water" yang melibatkan Intel. Tentu sudah diukur. Jadi, isu HIP hanya akan matang jika ada "faktor x" sebagai trigger primernya. Dan "faktor x" ini cenderung bersifat alamiah. Tidak sepenuhnya bisa direkayasa. Dari sini, potensi perubahan politik punya peluang untuk terjadi. Jika tidak ada "faktor x" , siapapun, terutama pemerintah, tak perlu khawatir. Langkah membatalkan RUU HIP, atau apapun istilahnya, bisa menjadi tindakan preventif yang efektif untuk menghindari situasi politik yang tidak diinginkan. Sebab, apapun yang akan terjadi besok, tak ada yang tahu. Namun, sampai hari ini, DPR dan pemerintah nampaknya masih cukup percaya diri untuk tidak membatalkan RUU HIP. Mereka punya kalkulasi politiknya sendiri dalam menghadapi gelombang protes umat Islam. Soal akurat atau tidak kalkulasi itu, sejarah yang akan menulisnya kelak. Yang pasti, para politisi di Senayan itu sudah terlatih untuk berkelit dalam menghadapi situasi apapun. Sangat lincah ketika belok kiri atau balik kanan. Meski tanpa sign. Namanya juga DPR. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Malawan Upaya Mutilasi DPR Melalui UU Korona No. 2/2020

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Selasa (28/07). Undang-undang Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran paling fatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945. Beberapa akibat negative bermunculan. Pertama, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara, yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. APBN harus dilaksanakan secara terbuka, transparan dan bertanggung jawab. APBN digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua, berdasarkan panduan dari konstitusi, Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN diajukan setiap tahun oleh Presiden. RUU APBN dibahas bersama-sama dengan DPR, dengan tetap memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga , apabila DPR tidak menyetujui, maka Rancangan APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh Presiden, maka Pemerintah dapat menjalankan pembiayaan belanja negara dengan berpedoman pada APBN tahun sebelumnya. Begitulah panduan yang diberikan oleh konstitusi UUD 1945. Tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan panduan yang telah diberikan oleh konstitusi. Tulisan ini membahas ketentuan di dalam UU No.2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945, terutama pada Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 12 ayat 2 undang-undang corona Nomor 2/2020. Pertama, pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan, pemerintah berwenang menetapkan batasan deficit . Pertama, melampaui batasan 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022. Kedua, sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Ketiga, penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap. Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, namun DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas besaran defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dimutilasi, maka kedaulatan rakyat untuk menentukan APBN pun hilang. Hilangnya hak DPR untuk menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi. Selanjutnya, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan, perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara. Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan, kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, maka terjadi proses check and balances, dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironisnya, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya sendiri. Terlepas dari partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget, mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan. Konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga itu memiliki hak untuk ikut membahas dan menetapkan APBN atau APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal yang sarat dengan moral hazad. Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa, sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain. Bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan yang memaksa pada Pasal 22 UUD 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk Komite Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 1/2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, maka pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai undang-undang APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada tanggal 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai tiga bulan. Tanpa keterlibatan DPR. Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari semula Rp. 405 triliun menjadi Rp. 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha Rp. 430 triliun lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial yang hanya Rp. 291 triliun. Sedangkan defisit APBN, naik dari semula Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1.039 triliun (6,34%). Karena pandemi, maka penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang Rp. 1.220 triliun. Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, yang mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil hanya oleh segelintir pejabat di pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan pengusaha. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung dengan mulus. Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah, Program Kartu Prakerja. Program yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020. Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk. Uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang kepada delapan provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp. 1.000.000 per orang untuk 5,6 juta orang. Empat di antara delapan provider tersebut adalah Perusahaan Modal Asing (PMA). Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program ini dapat dinikmati oleh mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki konglomerat. Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki pemburu rente. Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma-cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat yang terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut sekalipun program wajar dihentikan. Namun karena matinya empati, niat korupsi yang besar dan status kebal hukum bersarkan UU Nomor 2/2020, maka program ini tetap dilanjutkan. Kasus lain adalah tentang perubahan peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Wewenang LPS ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan begitu, LPS dapat dimanfaatkan untuk membail-out bank-bank atau perusahaan yang bermasalah sebelum datangnya korona. Pemanfaatan pasilitas LPS ini bakakan berjalan lancer, karena minimnya prosedur, syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Negara harus menolong bank dan bisnis para pengusaha yang bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard. Akibatnya, mewariskan beban utang besar pada rakyat yang tiada akhir. Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha. Kebijakan ini melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) sebesar Rp. 123,46 triliun, sesuai PP Nomor 23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana untuk UMKM sebesar Rp. 123,46 triliun itu telah diserahkan secara simbolis Rp. 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan ini dijalankan? Kebijakan yang sangat minim pengawasan. Konsultasi dan pengawasan oleh DPR pasti tidak optimal. Sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia secara komprehensif, sangat berpotensi terjadi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan untuk bank atau kredit macet, termasuk sektor properti dan kredit lainnya. Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi korona. Kredit sudah terjadi jauh sebelum korona datang. Kredir macet sebagai akibat dari pelanggaran terhadap aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk keluar dari UMKM. Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan, bank peserta menyediakan dana penyangga likuiditas untuk bank pelaksana, yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu, bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana, yang berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM. Bantuan yang seperti ini tidak mengacu pada persyaratan kondisi darurat, tetapi pada kondisi normal. Akibatnya, bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan untuk UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding kepada UMKM. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN yang pro oligarki. Yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha yang berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh. Mereka berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge. Dalam buku skandal BLBI tahun 2008, mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman pribadinya. Cerita tentang betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama para menteri yang pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November-Desember 2002. Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu. Mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura, dengan jaringan yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Akhirnya, para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan. Bahkan tumbuh lebih besar dan menggurita. Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat. Lebih menentukan kebijakan penguasa dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat. Jauh sebelum adanya program kebijakan sektor keuangan karena pendemi corona. Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah untuk oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah menerima dengan senang hati. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan. Penulis adalah Kordinator Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMKP)

Babi Naik Pohon Membawa Anaknya

by M Rizal Fadillah Kini banyak para pemimpin yang tak peduli agamanya dirusak. Kedaulatan negaranya diinjak injak. Harta rakyatnya dirampok. Aset-aset bangsanya dikuasai dan dikuras habis. Maka pemimpin seperti ini adalah "dayus" atau babi yang planga plongo dan masa bodo. Begitu juga pemimpin yang makan dari barang kotor-kotor, baik itu komisi atau rente. Keluar dan masuk got dan gorong-gorong. Berkubang di air yang kotor. Jakarta FNN – Ahad (26/07). Merenung membaca share di beberapa WA grup. Gambar hewan babi yang menaiki pohon dengan menggendong anaknya. Komentar tulisan yang menyertai beragam. Lucu-lucu dan menarik. Ada yang berkomentar "dasar babi, disuruh turun malah bawa anak". Ada juga yang mdenulis "dasaar goblook, disuruh turun malah bawa anak". Persamaannya pada kalimat "suruh turun" dan "bawa anak". Namanya meme atau karikatur. Tentu saja multi interpretasi. Mengapa harus babi yang menjadi contoh? Padahal babi bukan hewan yang biasa memanjat pohon. Disinilah mungkin uniknya itu. Berbeda dengan monyet. Babi pun tak pernah bawa anak. Apalagi sampai memanjat. Nampaknya ini sindiran tajam untuk "unright job" dan ketidakmampuan anak, sehingga harus dibawa-bawa oleh ayahnya. Karenanya seruan disana adalah untuk turun, agar tidak berada di ruang yang bukan habitatnya. Sebab babi itu hewan yang memakan kotorannya sendiri. Senang berkubang di lumpur yang kotor. Jules Winfield tokoh dalam film "Pulp Fiction" berkata ketika ditanya mengapa tidak makan babi? Dijawab oleh Jules Winfield, "saya tidak makan mahluk yang tak mengerti kotoran mereka sendiri". Salah satu sifat babi adalah kepedulian rendah. Juga tak ada rasa cemburu. Babi jantan yang tak peduli dengan pasangan betinanya "dipakai" babi jantan yang lain. Satu babi betina biasa berhubungan sex dengan banyak babi jantan di satu ruang dan waktu yang sama. Dalam kaitan manusia, watak untuk memakan barang haram. Keburukan yang menjadi makanan sehari hari. Tidak ada rasa peduli atau malu. Selain itu keserakahan untuk menguasai dapat dimisalkan sebagai watak babi. Tak peduli anak dan istri "bergaul bebas". Tak ada rasa cemburu sama sekali. Ayam jantan akan berkelahi sampai mati "memperebutkan" dan "menjaga" ayam betinanya. Namun tabiat itu tidak berlaku untuk babi. Dalam agama, watak masa bodoh babi itu disamakan dengan apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW sebagai "dayus", seperti hadits dari Ammar bin Yasir, "tiga golongan yang tidak memasuki surga yaitu dayus, wanita yang menyerupai laki-laki, dan peminum arak". Rosulullah menerangkan arti "dayus" yaitu "orang yang tidak peduli siapa yang masuk (bersama anak dan istrinya)". HR Thabrani. Kini banyak para pemimpin yang tak peduli agamanya dirusak. Kedaulatan negaranya diinjak injak. Harta rakyatnya dirampok. Aset-aset bangsanya dikuasai dan dikuras habis. Maka pemimpin seperti ini adalah "dayus" atau babi yang planga plongo dan masa bodo. Begitu juga pemimpin yang makan dari barang kotor-kotor, baik itu komisi atau rente. Keluar dan masuk got dan gorong-gorong. Berkubang di air yang kotor. Susahnya mereka itu selalu ingin naik terus. Padahal tak mampunyai kemampuan untuk itu. Angan-angan tinggi, namun penuh dengan kebohongan, dari satu kebohongan ke kebohongan yang lain. Cirinya, ketika ditegur tak mau mendengar. Pokoknya naik terus, sambil membawa, mendorong dan menggendong anak, istri dan kerabatnya. Nepotisme lagi. Karenanya sindiran bagus bagi siapapun yang terkena "sindroma babi". Yang naik ke atas pohon dengan menggendong anak babi. Msekipun diumpat dengan keras "dasar babi, disuruh turun malah membawa anak". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mainan Akhir Jokowi, Zugzwang Dan Kudeta Terselubung

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Ahad (26/07). Seperti dalam permainan catur, politik Jokowi sudah melewati permainan pembukan dan permainan tengah. Kini memasuki permainan akhir. Dalam permainan catur dikenal istilah "blunder" dan "zugzwang". Blunder apabila pemain melakukan kesalahan fatal. Sebab bisa merugikan posisinya. Zugzwang dilakukan, jika pemain tidak memiliki pilihan langkah lain. Akibatnya, apapun langkah yang dijalankan adalah langkah keterpaksaan. Langkah yang membuat posisinya semakin lemah. Kini kita bisa melihat permainan akhir Jokowi yang penuh dengan blunder dan zugzwang tersebut. Blunder dan fatal pertama, ketika Jokowi membuat Perppu Covid-19 yang sudah disahkan menjadi UU Nomor Tahun 2020. Dalam Perppu ini, untuk waktu tiga tahun ke depan (2020-2022), pemerintah Jokowi telah merampas hak budget rakyat yang diwakili DPR. Jadi, dapat dikatakan rezim Jokowi telah melakukan "kudeta terselubung". Kudeta atas hak konstitusional rakyat untuk mengontrol pemerintah melalui hak budget di DPR. Mengapa DPR menerima saja? Jelas ini buah dari grand coalition di pemerintahan Jokowi saat ini. Tidak mungkin fraksi-fraksi di DPR menentang kebijakan strategis eksekutif, karena parpol induknya ada dalam sistem eksekutif. Blunder dan fatal kedua, ketika Jokowi memaksakan syahwat politik “ajimumpung” untuk membangun dinasti kekuasaan di Solo. Langkah Jokowi ini tidak saja menampilkan, bahkan telah menelajangi diri dengan politik yang tidak bermoral dan tidak beretika. Meski tidak ada larangan dalam undang-undang untuk anaknya Gibran Rakabuming Raka ikut pilkada Walikota Solo. Bahwa benar ini kontestasi politik. Bukan jabatan dengan pengangkatan oleh Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan. Tetapi semestinya seorang presiden paham akan situasi kebatinan pejabat struktural yang ada di bawah pemerintah pusat. Juga budaya ewuh pakewuh pejabat daerah di Solo yang masih kental dan selalu dijadikan pijakan oleh masyarakat Solo. Saya yakin, tanpa diperintah langsung oleh Jokowi pun, semua struktur pemerintahan daerah di Solo akan memenangkan anaknya Jokowi. Apalagi kondisi masyarakat kita yang belum matang dalam berdemokrasi. Pada situasi normal saja, masih sarat dengan "wani piro". Apalagi saat Covid-19 yang telah menekan ekonomi rakyat sampai ke panci dan penggorengan di dapur. Dengan guyuran uang yang melimpah, dan melebihi uang lawan (jika ada lawan) dipastikan siapun yang menantang Gibran pasti kalah. Apalagi jika melawan kotak kosong. Tidak ada persaingan dalam uang cendol saat pencoblosan. Memangnya siapa yang membiayai kampanye kotak kosong? Jika Jokowi tidak memahami situasi ini, itu artinya Jokowi tidak mengenal dengan baik kondisi dan budaya masyarakatnya sendiri. Atau memang ini dimanfaatkan untuk membangun dinastinya sejak sekarang. Jika mengenal betul karakter masyarakatnya, tentu sebagai pemimpin, harusnya memberi contoh yang baik dalam berdemokrasi. Jokowi harus tetap mengedepankan moral dan etika. Bukan syahwat untuk membangun dinasti. Dengan sistem threshold 20%, maka parpol-parpol menikmati previllege dengan mahar politik dari kontestan yang ingin diusung. Dengan grand coallition di pemerintahan, tentunya semua parpol yang pro pemerintah akan bergabung mengusung anaknya Jokowi. Sehingga yang tersisa hanya PKS. Namun sayangnya PKS tetap saja tidak bisa mengajukan calon lain akibat aturan threshold ini. Apakah kenyataan ini layak untuk disebut sebagai perhelatan demokrasi yang sehat? Apakah sistem kontestasi seperti ini yang kita mau untuk dilembagakan? Untuk dicatata sebagai sejarah perjalanan demokrasi yang membanggakan? Atas dasar itulah, mengapa bung Rizal Ramli sangat menentang aturan threshold ini. Aturan yang hanya akan membodohi rakyat dan memasung kehendak rakyat. Dalam prakteknya, calon-calon kontestasi politik dipilih oleh para cukong konglomerat. Setelah itu tawarkan kepada parpol. Jika uang kampanye yang dibutuhkan parpol deal, barulah sang calon ditawarkan oleh parpol kepada rakyat. Soal rating dan elektabilitas bukan soal yang sulit. Apalagi dengan uang yang melimpah. Inilah buah dari demokrasi populism. Sebaiknya jika ada calon kontestasi politik melawan kotak kosong, sebaiknya diganti saja dengan sendal jepit. Toh, setidaknya sebelum memilih, telah lebih dulu memberikan kesempatankepada rakyat untuk berpikir. Mana yang lebih bermanfaat, si calon tunggal atau sandal jepit? Kembali ke permainan catur dan langkah "zugzwang" Jokowi. Dalam situasi ekonomi negara yang sudah masuk dalam krisis ini, nampak sekali pemerintah dalam posisi terjepit. Langkah apapun yang diambil pemerintah sekarang, tidak lagi bisa meyakinkan rakyat bahwa itu adalah sebuah harapan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali menambah utang dan jual aset negara. Bahkan publik sekarang melihat bahwa porsi anggaran yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 ini, lebih besar pada sektor pemulihan ekonomi dari pada persoalan kesehatan rakyat. Jokowi sekarang membentuk tim baru pemulihan ekonomi dan penanganan Covi-19. Ketuanya adalah Erick Tohir, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkah ini menunjukkan bahwa adanya pemikiran untuk melakukan langkah shortcut. Lambat atau cepat akan mengarah ke sana. Idealnya itu, jika untuk pemulihan ekonomi, maka bidang ini dikendalikan langsung oleh Menko Perekonomian. Namun dari pembentukan tim penggulangan Covid-19 baru ini, sepertinya Presiden tidak yakin dapat memulihkan ekonomi. Akibatnya, pejabat yang ditunjuk adalah yang mengurusi ekonomi mikro (BUMN). Meneg BUMN ditugasi menyelesaikan persoalan makro ekonimi. Ya kacaulah. Ekonomi nasional itu bukan hanya urusan BUMN Pak Presiden. Tetapi menyangkut juga ekonomi secara menyeluruh, yang terkait hajat hidup rakyat banyak. Ada usaha sektor swasta, korporasi, Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), nelayan, petani, dan lain-lain. Masa diajarin juga sih? Selama ini yang sering dilakukan di BUMN hanya "operasi plastik". Dengan cara membagus-baguskan laporan keuangan tahunan. Hanya bermain di sekitar valuation, jualan aset, jualan saham, dimerger agar rasio hutang terhadap aset jadi kecil, main di bursa saham dan sejenisnya. Singkat cerita hanya permainan porto folio saja. Tidak ada yang membangun fundamental ekonomi nasional. Padahal sejak sebelum Covid-19, bung Rizal Ramli yang sangat paham permainan-permainan di BUMN sudah mengingatkan bahwa “badai krisis ekonomi akan mudah menyerang Indonesia” karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Jadi pertanyaan besar lahir dari dibentuknya tim Erick Thohir ini adalah aset negara yang mana akan dijual? Berapa banyak lagi utang baru yang akan diciptakan? Dari tim Erick Thohir ini, terlihat juga kalau semakin jauhnya jangkauan kementerian kesehatan dalam menangani Covid-19. Pada banyak negara, yang menjadi leader dari penanganan Covid-19 adalah Menteri kesehatan langsung. Ini untuk menunjukkan tupoksi yang benar dan profesionalisme para pejabat kesehatan. Jadi, kesimpulannya sangat mungkin persoalan Covid tidak tertangani dengan baik. Juga untuk ekonomi, tidak pulih-pulih karena kebijakan yang tidak tepat dan hanya mengandalkan utang dan jual aset. Dari pemaparan di atas, sekarang ini kita sedang menyaksikan permainan akhir Jokowi yang penuh dengan langkah “blunder dan zugzwang”. Cepat atau lambat kekalahan Jokowi sudah tak bisa dihindari. Hanya menunggu waktu saja. Entah besok, lusa, minggu depan atau beberapa bulan lagi. Kita tonton saja akhir dari permainan ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS).