NASIONAL
Ingat Perintah MPRS, "Teliti Itu Ajaran Bung Karno"
by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Bukankah idiologi itu secara pars pro toto telah merupakan haluan kehidupan buat sebuah bangsa? Tidakkah idiologi itu telah dengan sendirinya mewakili ide yang dianggap logis? Yang dengan itu sebuah bangsa tersebut bergerak meniti kehidupan kongkritnya? Tidakkah ide yang kelak dipakai menjadi idiologi itu, sampai pada titik itu, disebabkan kemampuannya mengadptasikan nilai-nilai hebat? Yang dengan itu diterima menjadi haluan, dan atau pandangan hidup berbangsa dan bernegara? Bila idiologi yang per defenisi telah merupakan haluan itu, “masih harus dirumuskan lagi haluannya,” lalu apa itu idiologi? Soal-soal di atas, sejauh ini merupakan kristalisasi dari ragam kritikan yang terus mewarnai kehidupan politik Indonesia hari-hari ini. Soal itu berkelindan dengan kenyataan lain. Kenyataan lain yang fundamental adalah RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) yang tidak menunjuk Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai dasar pijakannya. MPRS Mau Meneliti Ketetapan MPRS di atas, teridentifikasi sejauh ini mendominasi rute perbincangan RUU HIP. Menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah-olah TAP itu adalah satu-satunya TAP, yang relefan untuk diperbicangkan. Ketetapan MPRS yang lain, seolah kehilangan relefansinya. Ada juga Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu. Apa yang hendak dicapai dengan ketetapan yang hanya berisi 5 (lima) pasal ini? Dalam pertimbangannya dinyatakan; a. bahwa karya-karya Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno perlu diabadikan untuk kepentingan Rakyat. Oleh karena itu Rakyat berhak dan berkewajiban untuk mengembangkannya secara keratif; bahwa sebagai ajaran, karya-karya Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno perlu disistimatisasi dan menghilangkan kata-kata dan bagian-bagian yang sekedar merupakan tanggapan insidentil dari pimpinan Besar Revolusi Bung Karno terhadap sesuatu Bab atau sesuatu masalah tertentu; Bahwa dengan adanya penghianatan gerakan kontra-revolusi G. 30 S PKI, ada bagian-bagian dari ajaran Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno yang dipersoalkan oleh masyarakat dan berhubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia wajib menanggapi secara wajar dalam rangka mendapatkan kepastian yang objektif tentang ajaran-ajaran tersebut, agar dalam mengamalkannya, rakyat Indonesia tidak mudah terjerumus ke dalam tindakan-tindakan atau sikap yang bertentangan atau menyeleweng daripadanya. Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang. Apa isi laporannya? Sampai sekarang tidak jelas. Pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, bahkan sampai sidang umum MPR tahun 1973, tidak terlihat laporan itu, apalagi dibahas. Apakah benar-benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu. Kenyataan ini mengandung dua masalah. Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno? Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi? Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak-tidaknya tidak bisa dikembangkan. Kedua, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum. Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal. Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum. Menandai RUU HIP itu sebagai cara pengembangan ajaran bung karno, didorong oleh kenyataan. Untuk sebagian, RUU ini terang-terangan mengutip bagian-bagian kecil pidato Bung Karno yang disampaikan dihadapan rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Harus disebut sebagian kecil saja, sebab soal lain yang teridentifikasi berasal dari Bung Karno, terutama setelah 5 Juli 1959, juga beralasan disodorkan. Mengambil pidato Bung Karno tangga 1 Juni 1945 sebagai ajaran Bung Karno, dalam sifatnya tidak menyelesaikan soal. Mengapa? Bagaimana memberi pijakan rasional atas pidato itu sebagai ajaran ajaran Bung Karno? Itu satu. Kedua, disebabkan Bung Karno hanyalah satu diantara sejumlah tokoh yang menyampaikan pikiran dan gagasannya dalam rapat itu. Mau diapakan atau diberi sifat apa terhadap pidato tokoh-tokoh lain, yang menyampaikan pikirannya pada tempat dan tanggal yang sama 1Juni 1945 itu? Tak bisa disangkal dari pidato Bung Karno itulah, nama Pancasila untuk pertama kalinya disebut. Bung Karno menyebut lima prinsip. Kelak dikenal dengan lima sila Pancasila. Susunan prinsip-prinsip yang disebut Bung Karno, yang dinamakan Pancasila adalah: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam uraian Bung Karno selanjutnya dinyatakan; Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong.” Negara Indonesia yang kita dirikan harus berdasarkan gotong royong. Prinsip gotong royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesuia. Inilah saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Berubah 100 Persen Bung Karno melanjutkan lagi, Pancasila menjadi Tri Sila, Eka Sila. Tetapi terserah tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih; Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi (Pidato Bung Karno ini dikutip dari RM. A.B Kusuma, 2004). Kenyataan itu tak bisa disangkal untuk alasan apapun. Sama dengan tak bisa juga menyangkal kenyataan lain kala itu. Termasuk yang tak bisa disangkal adalah kenyataan yang muncul dikemudian hari. Perubahan-peerubahan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan. Kenyataan lain sesudah itu adalah kelima prinsip yang Bung Karno sebut Pancasila itu, mengalami perubahan 100 persen setelah dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Isi dan susunannya berubaha total. Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, berubah menjadi sila pertama, berbeda dengan susunan Bung Karno. Keadilan sosial, yang sama sekali tak disebut oleh Bung Karno, muncul menjadi sila kelima. Sila-sila lainnya juga berubah. Bagaimana menjelaskan kenyatuan ini? Bagaimana kenyataan ini muncul? Beralasankah melepaskan kenyataan baru pidato-pidato tokoh lainnya kala itu? Profesor Soepmomo misalnya, pada satu bagian pidatonya bebricara tentang musyawarah dan keadilan. Soal agama dan keadilan, di sisi lain terlihat begitu dalam dijelaskan oleh Ki Bagoes Hadikusumo. Profesor Soepomo, saya kutip seperlunya menyatakan: Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelengarakan keinsafan keasdilan rakyat, haru senantiasa memberi bentuk (Gestaltung), kepada rasa keadilan, dan cita cita rakyat. Oleh karena itu, Soepomo melanjutkan, kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah orang Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya untuk maksud itu. Senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya. Supaya pertalian batin antara pemimpin dan rayat seluruhnya senantiasa terpelihara. Hasrat keadilan telah dilambungkan Profesor Soepomo. Terlihat lebih melambung jauh dalam pidato Ki Bagoes Kadikusuma. Ki Bagoess menguraikan pikirannya ke dalam 12 (dua belas) point. Terdapat dua point yang tegas menunjukan Ki Bagoes bicara soal keadilan. Menariknya, Ki Bagoes pertalikan pikiran itu dengan jelas dan tegas pada Islam. Pada point nomor 4, Ki Bagoes menyatakan” Islam mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kokoh, maka bangunlah negara di atas ajaran Islam. Hasrat keadilan itu mucul lagi pada point 8 (delapan). Dikatakan oleh Ki Bagoes, Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakan keadilan berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama (Lihat kembali RM. AB Kusumo, 2004). Pembaca FNN yang budimkan, dua kenyataan ini, hemat saya lebih dari cukup menggoyahkan. Setidaknya membuat rapuh setiap pikiran yang menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai ajaran. Saya berpendapat tidak mungkin pikiran ini dirujuk sebagai objek penelitian BP MPR. Hemat saya yang paling mungkin ditunjuk adalah pikiran-pikirian Bung Karno yang terlontar dan sesudah memegang kekuasaan presiden sejak 5 Juli 1959. Pidato Dikuatkan MPRS Masalahnya sekali lagi, tidak diketahui ajaran apa saja dari Bung Karno yang dikesampingkan dan apa yang dapat dikembangkan. Ini, disebabkan MPRS pada tahun 1966 telah menugaskan kepada sebuah Panitia untuk meneliti ajaran-ajaran Bung Karno. Namun tak diketahui hasil akhirnya. Apa panitia itui bekerja atau tidak? Tidak diketahui. Bila bekerja, apakah hasil dilaporkan ke BP MPRS atau tidak? Juga tak diketahui. Bila berhasil, ke mana laporan itu? Aapakah dilaporkan ke BP MPRS? Dalam kenyataannya, secara hukum tidak ada satu pun TAP MPRS, bahkan tak satu pun juga TAP MPR hasil pemilu yang bersidang pada tahun 1973, yang dikeluarkan untuk tujuan itu. Apakah kegagalan ini disebabkan atau memiliki pertalian dengan Pak Jendral Nasution yang telah lebih dahulu meninggalkan MPR sebelum sidang MPR 1973? Tak juga jelas. Bung Karno setelah 5 Juli 1959, beda dengan Bung Karno sebelum 5 Juli 1959 atau sebelum dekrit. Sebelum Juli 1959 Bung Karno hanya sekadar simbol, presiden. Tak punya kuasa eksekutif. Bung Karno setelah 5 Juli, yang telah menggenggam kembali kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945, menjadi figur, kalau bukan satu-satunya, merupakan satu figur yang mendominasi kehidupan bernegara. Pidato-pidatonya pada setiap ulang tahun kemerdekaan tanggal 17 Agustus, diangkat dalam makna dikuatkan. Beberapa diantaranya dibuat menjadi TAP MPRS. Apakah hal-hal yang dinyatakan Bung Karno dalam pidato inilah yang dimaksud dengan ajaran Bung Karno oleh TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966? Lagi-lagi itu jadi soal. Rumit memang. Tetapi baiklah, mari mengenal beberapa di antara pidatonya, yang dikuatkan MPRS dengan TAP MPRS. Pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 ditetapkan MPRS sebagai landasan pembangunan. Pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 ini dikenal dalam politik Indonesia kala itu dengan nama “Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Garis besar pidato berisi lima hal. Sering disebut lima unsur. Kelima hal itu adalah: 1. UUD 1945. 2. Sosialisme Indonesia. 3. Demokrasi Terpimpin. 4. Ekonomi Terpimpin. 5. Kepribadian Indonesia. Semuanya disingkat menjadi USDEK, dan disebut Manipul Usdek. Itu sebabnya pidato ini lebih dikenal dengan nama Manifesto Politik (Manipol USDEK). Pidato ini, entah bagaimana dikuatkan dan diberi bobot hukum oleh MPRS melalui TAP MPRS. TAP MPRS dimaksud adalah TAP MPRS Nomor I/MPRS/1960 Tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Daripada Negara. Diikuti dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama. Tanggal 17 Agustus 1961 Bung Karno kembali berpidato. Pidato ini memang tidak dikuatkan dengan TAP MPRS, tetapi tetap saja menarik. Pada pidato ini dikenal apa yang disebut RESOPIM. Kependekan dari Revolusi, Idiologi Nasional Progresif, yaitu UUD 1945 plus Manipol USDEK dan Kepemimpinan Nasional. Pidato Bung Karno tangal 17 Agustus 1963 yang dikenal dengan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Juga pidato Bung Karno 17 Agustus 1964 dikenal dengan Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP). Pidato Bung Karno pada Musyawarah para Menteri negara-negara Afrika-Asia tanggal 10 April 1964, dan pidato Bung Karno yang dikenal dengan The Era of Freedom is of Confrontation di KTT Non Blok ke II di Kairo tanggal 6 Oktober 1964, semuanya dikuatkan MPRS. Ini dituangkan dalam TAP MPRS Nomor VII/MPRS/1965. Sulit memang menandai soal ini semua menjadi objek yang dituju TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966. Sulit juga menyodorkan pidato yang dikenal dengan Jalannya Revolusi Kita (JAREK) juga sebagai objek yang dituju TAP MPRS di atas. Sesulit ini sekalipun, hemat saya tidak lebh sulit daripada menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai fundasi RUU HIP. Karena alasan-alasan yang telah dikemukakan di muka. DPR boleh saja memiliki kreasi menemukan lorong-lorong sempit untuk meloloskan RUU ini. Problemnya di ujung lorong itu telah ada jebakan. Yang pasti memudarkan PDIP. Apa jebakan itu? Bila jadi RUU ini jadi UU, maka bukan hanya pasal, tetapi ayat, bahkan huruf dan kata demi kata dalam UU itu, dapat dijuji di Mahkamah Konstitusi? PDIP pasti kehilangan argumen memprtahankan Pancasila sebagai idiologi. Itu bahayanya. Saran Saya tariklah RUU ini. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
RUU HIP Dosa Politik PDIP
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (09/06). Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif Dewan ini diawali oleh usulan Fraksi PDI. Berlanjut menjadi RUU prioritas tahun 2020. RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dengan konten ideologi negara menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pro-kontra yang keras dan serius. Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Panja telah berhasil membawa RUU ke Rapat Paripurna dan mendapat ketukan palu persetujuan "kontroversial" dari Ketua DPR Puan Maharani, yang juga kader PDIP. Sebagai pemenang Pemilu dan memiliki suara mayoritas di Parlemen, PDIP tentu memiliki pengaruh politik. Apalagi Presiden pun menjadi bagian darinya. Eksekutif dan Legislatif berkonfigurasi dalam kepentingan bersama melalui Koalisi. Faktor ini membuat RUU HIP mendapat kemudahan dan dukungan dominan, dengan delapan Fraksi setuju, dan satuFraksi, yakni PKS, tidak setuju. RUU HIP ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Masalah bagi rakyat adalah kontroversi muatan RUU yang berbicara tentang ideologi Pancasila. Ada ketetapan strategis yang tidak dimasukkan sebagai konsiderans, yaitu Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. Lalu pasal yang "mundur" soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Masalah rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Serta kedudukan "Ketuhanan" dan "Agama" yang terkesan dikecilkan. Publik menyebut RUU HIP ini berbau "kiri" bahkan komunisme. Tentu secara politik sorotan ini hakekatnya menjadi dosa politik dari PDIP yang mungkin dapat merugikannya. Sekurang-kurangnya terdapat lima hal yang merugikan PDIP. Pertama, PDIP akan dianggap sebagai partai nasionalis berbasis kiri. Atau sekurangnya tersusupi oleh kader kader berhaluan kiri (leftist). Memproduk RUU bernarasi beda dengan sila-sila Pancasila, yang menjadi hasil dan konsensus 18 Agustus 1945. Kedua, Soekarno yang yang menjadi simbol perjuangan sekaligus tokoh bangsa, mulai mendapat sorotan atau terjadi "bongkar bongkar borok" yang sebenarnya tak perlu. Hubungan Soekarno dengan PKI diangkat kembali. Akibatnya, citra Soekarno tidak menjadi bagus. Ketiga, penetapan hari lahir Pancasila 1 Juni 1945 digugat kembali. Diragukan keabsahannya, baik secara historis maupun secara hukum ketatanegaraan. Bila rumusan 1 Juni 1945 menjadi basis pembahasan RUU, maka umat Islam mendapat kesempatan untuk membangkitkan kembali rumusan Pancasila 22 Juni 1945. Rumusan yang diakui pula oleh Soekarno. Keempat, PDIP yang awalnya berslogan sebagai partai rakyat, dengan kemenangannya, justru terkesan menjadi partai yang semata-mata berkhidmat pada kekuasaan. Benturan kepentingan dengan aspirasi kerakyatan, khususnya umat Islam, dalam konteks RUU HIP dapat menjadi kenyataan. Kelima, RUU HIP dengan kontroversinya, bisa saja dengan segala upaya menjadi Undang Undang. Tetapi ini akan menjadi bom waktu bagi munculnya gumpalan kekuatan yang akan mempersoalkan secara terus menerus. Bagi PDIP atau Pemerintah, hal ini dapat mengganggu realisasi program strategis lain yang mungkin dinilai lebih penting dan perlu. Oleh karenanya demi mempertahankan semangat kebersamaan dan menghindari benturan friksi, bahkan konflik akibat "otak atik" ideologi negara yang sudah final, baiknya RUU HIP ditarik kembali dan tidak menjadi agenda pembahasan. Gagalnya RUU HIP menjadi UU adalah keselamatan bangsa. Rakyat sudah mulai khawatir, dan berbicara tentang kebangkitan PKI dan komunisme. Hal ini disebabkan oleh blunder politik dalam pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila. RUU HIP bisa diplesetkan menjadi RUU HIV. Virus yang merusak sistem kekebalan ideologi negara. Virus HIV juga sekaligus sindroma dari penyakit yang berbahaya dan menular. AIDS bias menjadi virus yang menghancurkan tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karenanya plihan itu hanya satu, yaitu tolak RUU HIP, apapun resikonya...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
RUU HIP Rawan Bikin Perpecahan Bangsa
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (08/06). Rakyat tidak tinggal diam. Perhatikan suara publik yang beredar di media sosial. Betapa kritisnya masyarakat menilai bahaya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP). Penolakan terjadi dimana-mana. Umat Islam dan kelompok anti komunis menggelindingkan, dan mengangkat isu kebangkitan komunis- PKI. Umat Islam menghawatirkan UU HIP kelak bakal dijadikan sebagai alat dan sarana untuk pengembangan faham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara terselubung. Ini berbahaya. RUU HIP yang cacat yuridis, filosofis, dan sosiologis ini tidak layak untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang. Muatan politik sangat kental. Partai pemenang pemilu mencoba menggoyang dengan bermain licik di RUU HIP. Rakyat tidak sebodoh yang kalian duga dan bayangkan. Rakyat tidak lagi mudah terkecoh dengan permainan licik ini. Secara yuridis RUU ini bermasalah karena ditetapkan oleh DPR dengan rekayasa. Diketuk palu bulan Ramadhan menjelang buka, dihadiri fisik hanya 41 anggota DPR, kehadiran virtual yang tak sehat dengan ruang sempit untuk menyampaikan pendapat. Pengambilan keputusan yang dipaksakan. Bagaimana ada satu fraksi, artinya ada sejumlah anggota, yang tidak setuju lalu bisa diketuk palu dengan putusan aklamasi ? Jelas Melanggar hukum dan melanggar asas demokrasi. Secara filosofis, masalah ideologi negara ini tidak patut menjadi muatan sebuah Undang Undang. Sebagai "Staats Fundamental Norm" persoalan haluan ideologi negara hanya bisa diatur pada tingkat Konstitusi atau sekurang-kurangnya pada level Ketetapan MPR. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) saja yang kontennya lebih rendah dari "Haluan Ideologi" negara, diamanatkan oleh para "The Founding Fathers" untuk menjadi kewenangan MPR. Bukan kewenangan DPR dan Pemerintah. Jangan ngaco dan ngawur. Secara sosiologis, telah merebak penolakan publik atas RUU HIP yang diusulkan awal oleh Frkais PDIP ini. Bukan hal yang mustahil penolakan tersebut, bergerak dari diskusi dan pernyataan politik menuju aksi aksi unjuk rasa. Sebagai bentuk penggunaan hak rakyat yang dilindungi oleh Undang-Undang. Jika tetap dipaksakan juga, maka pasti kegaduhan baru telah diciptakan oleh DPR dan Pemerintah. Seharusnya perasatuan yang diciptakan. Pemerintah tentu saja memiliki pekerjaan rumah yang tak perlu. Soal komunisme dan kebangkitan PKI adalah isu politik yang sangat sensitif. Ingat itu. Secara hokum, bisa saja nantinya dipilih upaya gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi skeptisme publik dapat mengambil pilihan lain. Unjuk rasa besar-besaran yang lebih besar dari perserta aksi 212. Besar karena melibatkan semua kerlompok agama. Atau keduanya. Oleh karena itu di samping ini menjadi ujian bagi DPR untuk mengubah peta konfigurasi kepentingan di dalam. Juga menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk berpihak pada suara rakyat. Caranya, dengan menolak hadir membahas RUU HIP yang diusulkan DPR itu menjadi UU. Bila Pemerintah lunak dan hanya ikut alur, maka rakyat dapat berasumsi bahwa RUU HIP meski merupakan hak usul inisiatif dewan, tetapi kenyatannya adalah "permainan" juga dari Pemerintah. Koalisi adalah kepanjangan tangan eksekutif di lembaga legislatif. Koalisi itu kolusi dan kooptasi. Demi mencegah terjadinya desintegrasi nasional akibat salah kaprah dengan bermain-main di aras ideologi Pancasila, maka sebaiknya diambil jalan opsional. Pertama, DPR menarik kembali RUU ini dan tidak melanjutkan pembahasan dengan Pemerintah. Mengingat kan dampak buruk yang diakibatkan. Kedua, melanjutkan pembahasan tetapi dengan ujung keputusan tidak menetapkan RUU HIP menjadi Undang Undang. Konsekuensi logis dari RUU yang cacat hukum, kezaliman filosofis, dan daya dukung publik yang minim. Rakyat tidak ada yang menduking. Ini hanya akal-akalan DPR dan pemerintah saja. Dalam situasi pandemi Covid 19 yang membutuhkan konsentrasi dan penanganan serius, janganlah ada kelompok kepentingan yang mencoba melakukan penelikungan atas ideologi Pancasila. RUU HIP ini dinilai sesat dan menyesatkan. Kita wajib menyelamatkan bangsa dan negara dari penghianatan yang selalu terjadi berulang-ulang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Transisi PSBB, Anies Prioritaskan Buka Tempat Ibadah
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin(08/06). Di tengah tekanan sejumlah pihak agar gubernur DKI membuka mall, pasar, tempat wisata dan sejumlah gerai bisnis, Anies justru membuka tempat ibadah. Anies mendahulukan pembukaan tempat-tempat ibadah, daripada pusat-pusat perbelanjaan dan tempat wisata. Sebelumnya, Anies menghubungi seorang ulama, yang menjadi salah satu pengurus aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Setelah berbincang ,yang intinya Anies minta nasihat, arahan dan fatwa terkait shalat jumat berjamamaah di masjid. Inilah pejabat yang paling bener. Pertama, agama harus dijadikan pondasi yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen beragama dapat menjadi landasan moral dalam mengelola negara. Hilang atau menipisnya landasan agama, mengakibatkan pelanggaran hukum terjadi, termasuk korupsi. Negara ini harus punya ruh. Dan ruh itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana tertuang di sila pertama dari Pancasila. Setelah agama, masjid, gereja dan tempat ibadah lain juga dibuka. Setelah itu baru mall dan bisnis lainnya. Begitu kata Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia. Kedua, umara (pemerintah) mestinya minta fatwa soal agama ke ulama. Jangan malah umara yang ngasih fatwa ke ulama. Kebalik jadinya. Maknya ngaco. Serahkan persoalan kepada ahlinya. Atau tunggu datangnya petaka. Waduh... Ngeri kan… Hari berikutnya, MUI rapat. Pro kontra dalam diskusi terkait teknis shalat jumat terjadi. Adu dalil dan argumentasi berjalan normal. Terkait shalat berjarak, masjid diperluas, mushalla digunakan untuk shalat jumat, hingga shalat jumat dua-tiga kali di satu tempat. Setelah melalui perdabatan yang alot dan panjang, Akhirnya, fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 keluar. Keputusannya, shalat jumat seperti biasa dengan protap covid-19. Fatwa ini yang dijadikan pegangan Anies untuk membuat kebijakan membuka tempat-tempat ibadah. Agama sebagai basis Ketuhanan sebagaimana Sila Pertama Pancasila, harus dikembalikan fungsinya jadi pondasi bernegara. Untuk mengembalikan sila pertama jadi pondasi bernegara dan berbangsa, nggak perlu harus dibuat lembaga seperti BPIH, atau UU Haluan Ideologi Negara (HIP). Ujung-ujungnya, malah konser. Orang lain ikut konser, ditangkap. Pening kepala rakyat. Pancasila dengan lima sila itu jelas, tegas dan mudah dipahami. Rakyat sangat ngerti ko. Pakai banget lagi. Berbagai upaya regulasi, formulasi dan penafsiran seringkali malah membuat rakyat bingung. Yang muncul justru Pancasila dalam berbagai versi kepentingan. Yang dibutuhkan rakyat cuma satu, “keteladanan pemimpin”. Kalau para pemimpin dan elit politik itu bersikap dan bertindak ala Pancasila, rakyat ngikut saja. Rakyat hanya ingin lihat para pemimpinnya itu menjalankan Pancasila nggak? Itu saja, titik. Nggak perlu pakai teriak-teriak "Aku Pancasila". Itu kuno! Gimana cara hidup yang pancasialis tersebut? Gampang bangat. Semua regulasi dan kebijakan mesti berorientasi untuk rakyat. Tujuannya untuk mensejahterakan, terutama pada aspek ekonomi. Bukan untuk kepentingan oligarki dan konglomerat. Apalagi yang aseng. Contoh lainya, kalau bicara jujur dan terukur. Kalau janji, ya ditepati. Jangan adu-domba masyarakat. Jaga itu persatuan dan kesatuan, dengan tidak menggunakan anggaran untuk buzzer. Adil dalam penegakan hukum. Ini diantara cara hidup Pancasilais. Mosok harus diajarin lagi sih? Dalam Pancasila itu, sila pertama menjadi ruh dan pondasi bagi empat sila berikutnya. Tanpa sila pertama, humanity dalam sila kedua, nasionality di sila ketiga, democracy yang tertuang dalam sila keempat, dan social justice di sila kelima tak akan terwujud. Paham itu. Ketuhanan tidak cukup di tempat ibadah. Tapi harus jadi ruh perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dengan parlemen. Aspek ketuhanan diantaranya diukur dari kejujuran. Jujur nggak ketika parlemen membuat undang-undang, dan pemerintah menerbitkan aturan serta kebijakan. Kemanusiaan yang adil dan beradab mesti ditunjukkan dengan tegaknya hukum dan aturan. Nggak pilih-pilih berdasarkan warna politik, pri dan non-pri. Persatuan tidak memberi peluang kepada "buzzer premium" yang selama ini bikin gaduh. Buzzer yang juga telahmerusak keutuhan berbangsa. Kerakyatan itu demokrasi yang menghargai perbedaan suara dan kebebasan berpendapat. Tak ada lagi terror terhadap diskusur yang dilakukan civil society. Apalagi asal main tangkap. Keadilan sosial tak mengenal mana pendukung dan mana yang bukan pendukung. Ini tercapai jika ketuhanan sebagai simbol ketulusan dan kejujuran jadi landasan dasar bernegara. Ini yang mungkin jadi alasan mengapa Anies mengawali masa transisi PSBB ini dengan membuka tempat ibadah. Ini simbolis. Pesannya, “kembali ke sila pertama dalam Pancasila”. Jadikan Tuhan sebagai basis untuk menjaga ketulusan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dari sini akan muncul keadilan dan persatuan. Dua kata yang berulang-ulang diungkapkan, dan sangat digemari oleh gubernur DKI ini. Tidak hanya masjid yang dibuka Anies, tetapi semua tempat ibadah. Termasuk gereja, wihara, pure dan klenteng. Kalau para pemimpin betul-betul mengelola negara berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima) akan terwujud. Lalu, kapan Spa dibuka? Cukup Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemprov DKI yang jawab. Dari 18 sektor usaha di Jakarta, sektor wisata seperti Spa, gerai pijat dan karaoke dibuka nanti yang paling terakhir. Belakangan! Saja. Dan tak segan untuk dicabut ijin usahanya jika disalahgunakan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Haji Yang Wajib Ditunda, Pilkada Dipaksakan 2020
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (07/06). Memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 sangat tidak bijak rasional. Apalagi Pilkada yang tanpa peduli, apakah pandemi covid 19 telah selesai atau belum? Tentu saja dapat menimbulkan masalah baru. Masalah utama adalah anggaran yang besar untuk Pilkada, yang harus disiapkan di tengah prioritas penanganan covid 19. Apalagi baru saja Ketua KPU tanpa malu-malu telah meminta anggaran tambahan sebesar Rp. 535 miliar untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD). Belum lagi dampak kesehatan yang bakal timbul kelak. Akan terjadi pengumpulan massa sebagaimana biasanya musim kampanye. Pertemuan-pertemuan dilakukan dengan intensif. Memakai media zoom dinilai tidak lagi efektif untuk berkempanye Pilkada. Pemilu di TPS tidak mungkin menggunakan "zooming". Kalau dengan e-voting dijamin pasati curang. Pada pencoblosan manual saja perhitungan elektronik begitu leluasa dimainkan. Apalagi ditambah dengan kemungkinan adanya "hacker". Kecurangan diprediksi semakin besar. Peran Lembaga Pengawas Pemilu akan terbatas perannya jika covid 19 masih mengintai. Juli 2020 harus sudah mulai pentahapan Pilkada. Artinya, data pemilih dan verifikasi juga telah mulai. Sementara "physical distancing" dipastikan masih berlaku sampai Juli 2020 nanti. Tidak cukup hanya dengan bermodal masker dan sanitizer untuk melakukan tahap-tahapan Pilkada. Bila tidak ingin berjatuhan korban, khususnya para Petugas Pengumutan Suara (PPS), maka sebaiknya Pilkada ditunda saja dulu. Lain halnya kalau kita memang sudah terbiasa untuk "menumbalkan" petugas penyelenggara dengan kematian yang tidak terverifikasi ? Jangan lagi berulang kebiasaan untuk mengentengkan urusan kesehatan dan nyawa para petugas penyelenggara pemilu. Cukup pemilu 2019 lalu yang mengorbankan nyawa 894 petugas PPS, cukup menjadi pelajaran paling pahit catatan demokrasi Indonesia (FNN.co.id 04/06/2020). Ketika Perppu dan Undang-Undang dibuat untuk penggunaan dana corona, yang katanya "darurat" sehingga tak bisa diawasi. Ketika ibadah haji harus ditunda. Karena dana dari APBN digunakan dulu untuk penanggulangan pandemi covid 19. Eh, soal Pilkada yang semestinya bisa diundur atau ditunda, malah dipaksakan waktu pelaksanaannya. Rakyat dipaksa digiring fikiran dan orientasinya kepada Pilkada. Sungguh kebijakan sangat tidak bijak. Presiden juga masih "tidak jelas" sikap antara kampanye "new normal" dengan kekhawatiran akan belum stabilnya angka ODP dan PDP. Masyarakat masih "stay at home" dan "work from home". Begitu juga PSBB di beberapa daerah dilakukan perpanjangan waktu. Kini aneh, jika rakyat atau masyarakat sudah harus berkonsentrasi pada kegiatan politik di daerah. Menunda Pilkada adalah pilihan bijaksana. Sense of crisis harus tetap dibangun dan ditanamkan. Jangan berdemokrasi setengah hati. Pilkada dengan banyak pembatasan dipastikan akan melanggar hak-hak politik warga. Tunggu dulu waktu yang tepat. Orang beribadah haji saja sampai ditunda. Tempat umum dibuka juga baru coba coba. Pilkada mau dipaksakan. Tundalah Pilkada. Tanggal 9 Desember 2020 terlalu dekat untuk tahapan Pilkada. Penuh dengan spekulasi tingkat tinggi bahwa pandemi covid 19 telah selesai ketika itu. Di tengah ketidak pastian dunia, baiknya pencanangan Pilkada minimal dilaksanakan pada tahun 2021. Penundaan ke 2021, tampaknya itu lebih rasional. Ketua KPU juga tak perlu mengemis dari sekarang minta tambahan anggaran sebesar Rp. 535 miliar hanya untuk pengadaan APD. Sangat menggelikan, sekaligus menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Impeachment Itu 90% Rana Politik, Hukum 10%
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Menurut Blakcstone “kejahatan berat” bermakna kejahatan melawan negara, seperti penghianatan. Sementara “perbuatan tercela yang berat” merujuk pada korupsi dalam jumlah besar dan pemerintahan yang salah urus (Richard M. Tivus). Jakarta FNN – Ahad (07/06). Kekuasaan, dengan sedikit kekecualiaan, selalu mengenakan, mengasyikan, dan membanggakan. Kombinasi manis ketiga hal itu mengakibatkan kekuasaan selalu dirindukan oleh banyak orang yang tak berakal, dan tak berilmu. Tunggang langgang membungkuk, mencium tangan-tangan kotor uang sekadar membuka jalan setapak demi setapak memasuki dan menggenggam kekuasaan itu. Btulah akibat kecilnya. Tak melihatnya sebagai cara hina. Itulah akibat lainnya. Toh demokrasi mengkhutbahkannya sebagai cara yang sah. Ambisi, yang posisinya bersebelahan dalam jarak yang dekat adalah rakus dan tamak. Membakar semua rasa malu. Semua yang dinilai merendahkan terbakar hangus jadi debu. Beterbangan, entah kemana. Bohong, mencla-mencle dan planga-plongo muncul sebagai yang hal biasa. Itu juga akibat lain yang paling menjijikan, tetapi harus diambil demi kekuasaan. Jinakan Ambisi, Hindari Tirani Korupsi dikekuasaan Romawi, tulis Profesor Syed Husen Al-Atas, menunjuk pada sumbernya dengan sejelas-jelasnya, “kerakusan manusia dan kegandrungannya pada kekuasaan”. Tidak seorangpun, kata Profesor hebat ini, akan menunjuk pada pengaruh kesukuan, sistem semenda, lembaga hadiah, atau perkembangan yang cepat. Keberhasilan Cicero melawan Gaius Verres menunjukan adanya kesadaran bahwa apa yang dilakukan Veres adalah salah. Alasan pokok bagi merajalelanya korupsi, kata professor Al-Atas adalah tipe orang yang naik ke tampuk kekuasaan. Yang dalam sejarahnya, diawali oleh Yulius Caesar, yang tegar, kurang perhitungan dan korup. Gaiyus Veres dan Yulius Caesar, dua nama itu tak muncul dalam perdebatan para pembuat UUD Amerika. Nama inipun tak muncul ketika mereka memperdebatkan soal impeachment. Itu berbeda dengan, misalnya nama George II. Raja Inggris ini cukup jelas dimunculkan, dengan nada ketakutan, karena absolutismenya. Nama Raja George II ini, muncul dalam perdebatan tentang penciptaan presidensial. Hidup dan menyaksikan, bahkan sebagian dari para perancang UUD itu menjadi gubernur negara bagian. Yang sebagian mempraktekan sistem parlemen ala Inggris. Mengakibatkan mereka menolak sistem parlementer untuk pemerintahan federal yang sedang dirancang. Pilihannya jatuh pada presidensial. Yang pada saat itu belum ada presedennya. Menariknya, pilihan itu tak menghapuskan ketakutan mereka terhadap potensi presiden jadi tiran. Pada titik ini terlihat agak aneh. Mengapa? Mereka tidak mau diganggu oleh parlemen, sehingga meletakan kekuasaan pemerintahan itu sepenuhnya pada presiden. Itu terjadi ditengah mereka dibayangi ketakutan presiden bisa menjelma jadi tiran. Pada titik itu, harus diakui mereka cemerlang. Ketakutan itu dipecahkan dengan cara fungsi tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislative dan yudikatif dipertalikan satu sama lainnya secara tumpang tindih. Tiga organ ini dipisahkan secara formil. Tetapi dipertalikan fungsinya secara materil, sehingga mereka saling bergantung dan mengawasi. Teori Montesqieu dan John Locke, hanya bekerja sebagian. Kedua teori itu disintesakan dan diambil sebisanya saja. Tetapi apapun itu, argumen mereka yang praktis, khususnya James Madison, perancang Virginia Plan (rancangan awal UUD) mereka, memukau melebihi kedua filosof itu. Dua kalimat pendeknya, terlihat benar-benar memukau. Cahayanya melampaui zaman. karena relefansinya bekerja sampai sekarang. Apa dua kalimat itu? Ambition, kata Madison. must be made counteract with ambition. Berhentikah Madison dengan kalimat itu? Tidak. Kalimat selanjutnya juga hebat. Kalimatnya begitu utuh, seutuh dia mendengar cerita alam tentang tabiat bawaan, alamiah, manusia. Hingga kini kalimatnya mengesankan. “the interest of the man must be connected with the constitutional rights of the place” (Lihat The Federalist Paper, Nomber 51). Batas kewenangan presiden dipertalikan dengan, misalnya kewenangan legislatif dan juga yudikatif. Semua kewenangan itu dipertalikan juga dengan hak-hak asasi warga negara. Tujuannya sederhana. Pemerintah tidak merusak kehidupan individu, yang menjadi hak rakyatnya. Begitulah, makna dan hakikat dari kalimat terakhirnya itu. Cara itu memunculkan konsekuensi satu lembaga tidak bakal bisa mendominasi, atau menjadi tiran bagi lembaga lainnya. Itulah pijakannya. Sekaligus hakikat dari cheks and balances. Selesaikah ketakutan mereka terhadap kemungkinan presiden menjadi tiran? Belum. Ketakutan itu masih bekerja lagi. Memaksa mereka menemukan metode pencegahan lainnya. Apa metodenya? Batasi masa jabatan presiden, dan memungkinkan presiden diberhentikan dari jabatannya. Cara terakhir itu dikenali sebagai pengawasan terhadap presiden. Ini yang dijelaskan oleh Richard Tivus, penulis artikel “Kekuasaan Presiden” pada Majalah Demokrasi. Pada tahun 2003, Profesor ilmu politik ini memegang jabatan kepala Departemen Ilmu Politik Bernard College. Juga mengajar pada Graduate School of Arts and Science Colombia University. Hal terpenting, dari tulisnya, pengawasan terhadap presiden melibatkan tindakan pencegahan pelengkap. Tindakan pelengkap itu berupa impeachment, dan pemecatan karena “kejahatan berat (hight crimes) dan perbuatan tercela (misdemeanor). Professor Richard menguraikan lebih lanjut. Merupakan istilah kejahatan yang diambil dari praktek hukum Inggris berdasarkan penjelasan hukum Inggris (Commentaries on law of England) dari Lord Blacstone. Bagaimana ceritanya hingga cara ini melembaga menandai, sering digambarkan oleh ahli hukum tata negara sebagai ciri pemerintahan presidensial? Tivus tidak menjelaskannya. Politik Penentunya Sulitkah impeach itu? Bukan saja sulit, tetapi mustahil bila bos-bos mereka tidak mau. Sebaliknya, impeach menjadi begitu mudah semudah semua politisi bernapas, bila bos mereka bilang go ahead. Sederhana sekali. Ini nilainya bisa 90% impeach pasti terlasana. Hukum? Oh ini soal paling kecil. Nilainya paling Cuma 10% saja. Malah bisa kurang. Apalagi hukum tata negara. Hukum tata negara berjarak hanya beberapa milimeter dari politik. Bukankah impeach itu semata-mata hukum? Bukankah impeach adalah cara hukum untuk pemberhentian presiden? Betul. Impeachment pertama dalam sejarah tata negara Amerika, sepenuhnya bicara tentang politik. Yang meminjam hukum sebagai tumpangannya. Tidak lebih. Impeachment itu bicara secara terang-terangan tentang pertarungan antara republikan dengan demokrat. Andrew Johnson yang diimpeach itu presiden dari Demokrat, diimpeach oleh partai Republik. Dimensi dasarnya jelas. Impeach ini betul-betul bergantung pada elit politik. Fokus dan percepatan rekonstruksi negara-negara Selatan, hanyalah satu isu. Ini jadi soal. Mengapa harus dijadikan isu? Bukankah negara-negara Selatan telah mengalami kerusakan sehingga harus direkonstruksi? Dimanakah letak tidak logisnya tindakan rekonstruksi Presiden Andrew Johnson, yang akhirnya diimpeach? Isu ini dicatat oleh Ralp Epperson. Jatuh dan bertemu dengan isu lainnya. Isyu lain itu adalah hutang pemerintah kepada Swasta, termasuk usaha mati-matian para banker pendirian Bank Sentral, serta ancang-ancang partai republik membawa Edwin Stanton, menteri pertahanan yang diberhentikan oleh Andrew Johnson, menjadi presiden. Inilah gunung isu kala itu. Betul Presiden Johnson diimpeach, karena memberhentikan Edwin Stanton dari jabatan Menteri Pertahanan. Tindakan ini dikualifikasi tercela, karena Presiden tidak meminta persetujuan Senat. Itu saja tuduhannya. Politik telah bekerja mengubah, dalam makna memberi bobot hukum pada tindakan itu menjadi alasan impeachment untuk Presiden Johnson. Tidak ada korupsi, tidak ada suap, tidak ada penghianatan terhadap negara. Hanya ada misdemeanor, perbuatan tercela. Simple betul menemukan senjata itu. Politik bekerja memudahkannya. Konfigurasi politik yang menentukan. Bukan soal lain. Kasus ini Johnson diselematkan hanya dengan satu suara. Konfigurasi politik di Kongres bekerja untuk impeachment Presiden Richard Nixon. Ini impeach kedua dalam sejarah Amerika. Sebabnya sederhana. Pekerja perbaikan pipa air di kantor Demokrat, ternyata orang-orangnya. Mereka mengambil info untuk digunakan Nixon pada kemenangan pemilu 1972, untuk masa jabatan kedua kalinya. Tindakan ini dikenal, skandal Watergate, menjadi dasar tuduhan. Itu saja? Secara formal, Demokrat yang gunakan. Tetapi itu gambaran kecil. Gambaran besarnya, impeachment ini teridentitikasi sebagai wujud pertarungan besar. Pertarungan itu meliputi pro-kontra kebijakan perang Vietnam, kebijakan pemberantasan narkoba, dan kebijakan perminyakan di Timur Tengah. Satu hal menarik impeach ini adalah sikap Jaksa Agungnya, Elit Richarsdson. Ia menolak perintah Nixon uuntuk memberhentikan Archibal, professor yang bertindak sebagai jaksa penyelidik independen pada kasus Watergate itu. Alsannya mengagumkan, dia tidak mengabdi pada presiden, melainkan kepada keadilan, kepada hokum, kepada bangsa dan kepada konstitusi. Selalu begitu politik impeachment. Tidak pernah bicara secara tunggal tentang penyebabnya. Ini terlihat juga pada impeachment Presiden Bill Clinton dari Demokrat. Presiden ini diimpeach oleh republik. Tuduhannya misdemeanor. Tuduhan ini dibangun atas dasar affairnya dengan karyawan Gedung Putih, Monica Lewinsky. Tidak lebih dari itu. Begitulah politik. Ken Star, pada kasus Clinton bertindak sebagai jaksa penyelidiki independen. Tetapi pada kasus Trumph, dia bertindak sebagai pengacara Trump. Dan menariknya, Alan Dershowitz yang pada kasus Clinton justru membela Clinton, tentu berbeda pendapat dengan Ken Star, keduanya bersatu dan berada kubu Tump. Tuduhan Demokrat bahwa Trump menyalhgunakan kekuaasan, lolos di House of Representative, yang didominasi Demokrat, tetapi kandas di Senat, yang didominasi Republik. Trump dinilai menggunakan kebijakan bantuan keuangan terhadap Ukraina, sebagai alat menghentikan Joe Biden, calon lawannya pada Pemilu Presiden November 2020 ini. Alan Dershowitz kembali mendemonstrasikan argumennya ketika membela Clinton. Dia berpendapat, tuduhan itu tidak sesuai kriteria teknis konstitusi tentang kejahatan. Loloskah kedua orang ini karena argumen hukum? Mungkin. Tetapi keduanya lolos pada konfigurasi politik yang sama. Trump lolos di tengah Senat yang didominasi Republik, dan Clinton juga lolos dari impeach di tengah Senat didominasi Demokrat. PDIP dan Empat Partai Lain Trump, sama dengan Bill Clinton. Keduanya lolos dari tembakan senjata berkarat itu, karena Senat dikontrol oleh partai mereka. Titik. Tidak lebih. Dan seperti sebelum-sebelumnya, kasus ini juga menunjukan politik mengemudikan hukum tata negara. Bukan sebaliknya. Hukum tata negara, dalam tipikalnya sebagai politik yang diberi bentuk normatif. Lebih dari jelas, daya kerja norma tata negara bergantung penuh pada daya kerja politik. Kerja politik impeach bergantung pada kenyataan tak menyenangkan partai politik, yang berada diseberangnya. Selalu begitu. Kemudahan dan kerumitan, karena itu tidak terletak pada hukum. Liku-liku rumit yang terkerangkakan dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945, dalam kasus Indonesia, bisa berubah menjadi hal mudah semudah politisi berganti partai. Apalagi pasal 7A itu menyediakan loophole besar. Apa loopholenya? Apa itu norma atau konsep “penghianatan terhadap negara? Apa itu korupsi, apa itu tindak pidana berat lainnya, atau apa itu perbuatan tercela, yang merupakan alas an pada pasal 7A UUD 1945? Debatnya pasti panjang. Akhir debat ditentukan oleh kekuatan politik. Titik. Tidak lebih Konfigurasi politik Kongres atau DPR, tidak bisa disembunyikan sebagai satu-satunya fariabel penentu sukses atau gagalnya impeach. Tidak lain dari itu. Itu diperlihatkan secara telanjang disepanjang jalan impeach sebanyak empat kali di Amerika. Konstelasi dan komposisi politik itu juga bicara pada tiga peristiwa pemberhentian Bung Karno, Pak Harto dn Pak Abdurrahman Wahid. Pemberhentian mereka memang tak bisa dikerabngkakakn dalam impeach khas pasal 7A dan 7B UUD 1945, tetapi impeach bekerja dengan cara yang mirip. Konstelasi politik faktual, sejauh ini memberi gambaran jelas. PDIP melalui eksponennya telah bicara mengenai sulitnya impeach. Kerumitan dan bergelombangnya prosedur hukum yang dipandu UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 memang memungkinkan PDIP bicara mengenai kesulitan impeach. Apalagi PDIP. Bukan Gerindra, bukan Golkar, bukan PKB, juga bukan Nasdem. Elit-elit partai, mungkin dan sejauh bisa, harus dipastikan satu gelombang dengan presiden. Itu mutlak. Sejarah impeach sepenuhnya merupakan sejarah politik para elit. Impeach itu ya soal elit. Tidak lain dari elit. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Pemakzulan Presiden Ala Paranormal
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (06/06). Setelah ramai berita kegagalan acara diskusi ilmiah yang bertema Pemakzulan Presiden di kampus Universitas Gajah Mada (UGM), lalu ada kajian ilmiah diskusi soal yang sama yakni "Pemakzulan". Acara ini diselenggarakan Mahutama. Para pembicara antara lain Prof. Dr. Dien Syamsuddin, Prof. DrRefly Harun dan lainnya. Pada diskusi melalui virtual zoom ini, muncul pula melalui video tema pemakzulan Presiden. Video ini diungkapkan oleh paranormal Ki Sabdo Jagad Royo. Intinya meramalkan Presiden Joko Widodo akan lengser atau segera dimakzulkan. Video menampilkan tiga babak. Babak pertaman, sebelum menjabat periode 2019-2024. Babak kedua, saat pelantikan Oktober 2019. Babak ketiga, setelah menjabat 2019-2024. Ki Sabdo Jagad Royo adalah paranormal, yang menurut dirinya membantu menyukseskan keberhasilan Joko Widodo untuk menjabat Gubernur DKI, Presiden periode 2014-2019 serta terakhir Presiden periode 2019-2024. Ada nada kecewa Ki Sabdo Jagad Royo akibat "penghianatan" Joko Widodo dalam video viral tersebut. Pada sesi awal, Ki Sabdo menerangkan bahwa Joko Widodo sudah ditempelkan makhluk gaibnya Nyi Roro Kidul oleh Ki Sabdo sehingga sukses mendapat jabatan Gubernur hingga Presiden. Namun Joko Widodo berkhianat tidak membayar kesuksesan atas bantuan tersebut. "Kalau Nyai Roro Kidul saya ambil maka Joko Widodo pasti lengser". Menurutnya, Joko Widodo itu seperti "kacang lupa kulitnya". Ki Sabdo Jagad Royo mengancam "memakzulkan" Jokowi karena suksesnya itu tergantung Ki Sabdo. "Yang pasang Nyai Roro Kidul adalah saya". Entah kemudian pembayaran beres atau lainnya, pada bulan Oktober 2019 menjelang pelantikan, Ki Sabdo Jagad Royo bersemedi di Gedung Nusantara V DPR RI untuk mengamankan agenda pelantikan. Waktu itu Ki Sabdo memanggil atau memasang makhluk halus Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, jin Kahyangan dan lainnya. Ki Sabdo membenarkan usahanya itu atas perintah dari Joko Widodo. Dijamin pelantikan berjalan lancar. Tidak jelas waktu nampaknya sesi ketiga setelah pelantikan, Ki Sabdo mengancam pemakzulan kembali karena mungkin pembayaran yang tidak beres. Ia sengaja membuat video lanjutan. Teriak soal pembayaran gaji kepada Jokowi. Lalu Ki Sabdo Jagad Royo menyatakan bahwa jabatan Joko Widodo tidak akan sampai finish alias dilengserkan. Joko Widodo berkhianat pada dirinya. Ki Sabdo Jagad Royo berujar dengan kalimat kutukan dan ancaman pelengseran yang jelas dan meyakinkan. Memang pernyataan Ki Sabdo Jagad Royo ini bikin heboh. Mengungkap tentang mistik-mistik di sekitar kekuasaan Joko Widodo. Hebatnya lagi, Ki Sabdo Jagad Royo siap mempertanggungjawabkan secara hukum atas sikap atau pernyataan "bantuan spiritual" nya ini. Perlu klarifikasi. Apakah tindakan Ki Sabdo Jagad Raya ini adalah "pemerasan", atau memang tagihan dari kesepakatan "bisnis hantu" diantara keduanya? Akhirnya kita bangsa Indonesia merasa prihatin atas kekacauan spritualitas pemimpin negara. Konsep Ketuhanan yang bergeser menjadi Kehantuan. Ketauhidan "Yang Maha Esa" berubah dengan Kemusyrikan "Yang Membuat Binasa" bangsa ini. Tak jelas reaksi Presiden Joko Widodo, yang diramalkan paranormal Ki Sabdo Jagad Royo bakal dimakzulkan di tengah jabatannya ini. Apakah menertawakan, gemetar, atau merasa kuat karena telah memiliki Paranormal tandingan lain? Jika yang dikatakan Ki Sabdo Jagad Royo adalah hoaks, maka Joko Widodo mesti berani memproses secara hukum. Jangan biarkan masyarakat terkecoh atas isu-isu yang berkeliaran. Apalagi di tengah wabah corona, kita masih saja dipertontonkan adegan konser mistik perhantuan di sekitar Istana. "Wao wao heboh heboh", kata Ki Sabdo Jagad Raya. New normal diterjang paranormal yang membuat Istana semakin terlihat ikut-ikutan abnormal. Semoga tidak terlalu banyak predikat untuk istana Presiden, selain istana boneka (doll castle), istana labirin (labyrinth palace) dan istana hantu (ghost palace). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Halo Dirut TVRI, Kenapa Takut Dengan Rekam Jejak Pro-PKI?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Rabu (03/06). Dirut TVRI yang baru, Iman Brotoseno (IB) menghapus akun Twitternya, @imanbr. Dia juga menutup blognya. Di kedua akun ini, IB punya banyak rekam jejak yang pro-PKI, pro-Gerwani, pro-pornografi. Plus, sikapnya yang cenderung tak suka pada figur-figur Islam, kalau pun tidak bisa disebut tak suka Islam. Dia babak belur diganyang oleh banyak orang dari segala lapisan. Ada netizen biasa, wartawan, penulis, politisi senior, dlsb. Semua ikut menyerang. Bagi mereka, IB tak layak menjadi Dirut lembaga siaran publik dengan semua rekam jejak yang dianggap buruk itu. Selama bertahun-tahun ini, IB memang gencar memperlihatkan preferensinya terhadap paham komunis. Di kedua akun medsos yang ditutupnya itu. Iman Brotoseno juga mengatakan Hari Kesaktian Pancasila tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang jenderal-jenderal yang dibunuh PKI. Yang menjadi pertanyaan: apa salahnya Iman Brotoseno menunjukkan sikap pro-PKI? Bukankah itu lebih bagus? Dalam arti tegas dalam berprinsip. Transparan dalam bersikap. Tidak mencla-mencle. Bukankah orang seperti ini yang hidup terhormat? Bukankah konsistensi dalam ideologi dan sikap itu adalah perilaku yang mulia? Misalnya, dia tunjukkan rasa senangnya pada komunisme, marxisme-leninisme. Bukankah sikap ini sesuatu yang terpuji? Dalam arti, orang tidak perlu lagi mencari-cari siapa itu IB. Bukankah semua orang menjadi ‘lega’ bahwa IB blak-blakan dengan preferensi ideologinya? Tidak sembunyi-sembunyi. Bagi saya, itu malah mempermudah orang untuk memposisikan IB di peta sosial-politik Indonesia. Dengan memamerkan preferensi ideologinya itu, IB mempelihatkan sikap kesatria! Berani terang-terangan menunjukkan pikirannya. Teguh dalam berprinsip. Tentulah orang seperti beliau ini yang punya harga diri. Sekali dia tunjukkan pro-PKI dan Gerwani, dlsb, dia tidak gentar dan tidak mundur. Begitulah seharusnya. Sama seperti Ribka Tjiptaning. Dia menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Anggota DPR-RI dari PDIP ini tidak malu-malu kalau publik tahu bahwa dia anak PKI. Dua jempol! Tapi, mengapa sekarang Iman Brotoseno seperti ketakutan dengan rekam jejaknya yang membela PKI, membela Gerwani, dan membenci Islam? Sampai-sampai dia harus menghapus akun Twitter dan blog yang berisi banyak cuitan dan tulisan “yang bagus-bagus” meskipun kontroversial. Agak mengherankan. Seharusnya sekarang, dengan jabatan penting sebagai Dirut TVRI, IB semakin keras menunjukkan keberpihakannya pada PKI. Supaya publik tahu siapa dia. Jangan malah surut. Seharusnya Anda, Bung Iman Brotoseno, tidak menghapus akun-akun medsos itu. Kalau perlu ditambah lagi. Jika tadinya Anda punya akun Twitter dengan nama @imanbr, sekarang buat yang lebih lantang lagi. Misalnya, gunakan nama @imanbrpropki, dlsb. Kok malah dihapus akun-akun medsos Anda itu? Sayang sekali. Apalagi banyak ‘follower’-nya. Dihapus itu artinya Anda pengecut. Tunjukkan saja pro-PKI dan komunisme. Mengapa takut atau malu-malu? Sekarang Anda menjadi Dirut TVRI. Inilah waktunya Anda lebih leluasa membela PKI. Anda sekarang mengendalikan televisi publik itu. Kesempatan baik bagi Anda untuk mempromosikan PKI atau ajaran-ajaran yang membuat umat Islam meradang. Isi saja TVRI itu dengan acara-acara yang mengkampanyekan komunisme-PKI. Tidak perlu terselubung. Dengan strategi begini, persoalan bangsa dan negara ini bisa ‘diselesaikan’ lebih cepat lagi. Bagus ‘kan? Ayo, Bung. Berani, enggak? Sisa-sisa PKI pasti mendukung. Dan blok politik besar “induk semamg PKI” pasti siap melindungi dan membeking Anda. Penulis adalah Wartawan Senior
BPIP Lembaga Mahal Yang Miskin Khazanah
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (03/06). Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang bertekad untuk puasa bicara karena "salah melulu". Akhirnya jebol juga bicara, saat peringatan harlah Pancasila. Yadian mengimbau para agar produsen hoaks menghentikan kebiasaannya mengeluarkan berita hoaks yang merugikan masyakat. Sindiran media adalah pertanyaan, siapa yang paling potensial untuk memproduksi hoaks itu? Arahnya adalah kekuasaan. Lembaga kekuasaanlah yang memiliki segala alat untuk memproduksi informasi hoaks tersebut. "Yudian tidak takut dipecat ?" sindirnya. Miskin khazanah, itu konklusinya untuk yang paling pas untuk BPIP. Omongannya kurang bermutu. Grasa-grusu asal ngomong. Senang memproduksi kegaduhan di masyarakat. Lalu, apa urgensinya dari lembaga yang "mahal" ini jika produksi narasi hanya segitu. Narasi kelas rendahan. Memiliki Kepala Lembaga yang narasinya "pas-pasan" saja. Terkesan kalau tidak memiliki kapasitas politik yang memadai. Apalagi jiwa kenegarawanan. Orientasi kerakyatan dan keumatan juga yang beradasa di kelas rendahan. Lebih dominan karena berada di tempat kepentingan kekuasaan. Ideologi Pancasila tidak tercerahkan kepada masyarakat dengan baik. Apalagi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Malah semakin jauh, buram dan kusam dibuatnya. Tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila saja "debatable". Masa Pancasila lahir dengan sila pertama kebangsaan dan terakhir ketuhanan yang berkebudayaan? Terbalik, justru yang ada adalah pemerosotan. Ini sama saja dengan lahir itu"sungsang". Karena sangat berbeda jauh dengan Pancasila kini, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga saja pernyataan rezim Jokowi bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai lahirnya Pancasila bisa dibatalkan dan dicabut lagi setelah Jokowi nanti tidak berkuasa. Yang benar Pancasila itu lahir sempurna 18 Agustus 1945. Setelah sebelumnya melalui proses “Piagam Jakarta” yang disepakati tanggal 22 Juni 1945. Bukan 1 Juni 1945. Sebab pada tanggal 1 Juni 1945 itu sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa Ditempat di ekor. Bukan di kepala. Yudian mengaitkan pengamalan Pancasila dalam bergotong royong. Dia juga menyontohkan masyarakat bersama membuat solokan atau gotong royong mengantar jenazah. Betapa rendah dan sesederhana itu. Lagi pula "gotong royong" itu kini menjadi kalimat samar dalam kaitan "jas merah", Pak. Pertama gotong-royong itu artinya kerjasama. Kedua, gotong royong itu adalah Ekasila nya Soekarno. Ini hanya bentuk opsi lain dari Pancasila. Bukan Pancasila. Narasi yang disampaikan kepada masyarakat jangan sampai mempermalukan dan merendahkan kelembagaan BPIP yang super mahal itu. Pancasila versus Ekasila. Sejak "salam Pancasila" dan " agama adalah musuh Pancasila" maka kompetensi Kepala BPIP ini mulai diragukan. Dampaknya, pada fungsi dan peran BPIP yang turut diragukan pula. Apalagi kini muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berbau Soekarno-isme dan Komunisme-PKI. BPIP tidak mampu mengarahkan apa-apa untuk meluruskan makna Pancasila yang ada pada RUU HIP tersebut. Oleh karena itu, sudah sangat layak jika BPIP yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati Soekarno Putri ini segera dibubarkan saja. Boros dan habis-habiskan anggaran saja. Mendingan, dan sangat bermaat bila anggaran untuk BPIP dipakai untuk membantu ekonomi masyarakat yang terdampak pandemii virus corona. Kembali pada produsen hoaks, rakyat bertanya siapa yang paling siap bermain di arena produksi ini? Oposisi atau yang pro kekuasaan? Pemerintah yang punya banyak alat, termasuk intelijen harus bisa membuktikan dan membongkar dimana pabrik hoaks itu berada? Apakah di Posko Oposisi atau justru adanya di dalam Istana? Ini sangat penting, agar masyarakat atau rakyat tidak terombang ambing oleh jebakan permainan hoaks yang produsennya misterius. Lakukan pelacakan, mulai dari siapa figur yang gemar berbohong, berjanji palsu, atau membangun pencitraan diri. Terus meluas dan mendalam. Dengan kemahiran pelacakan aparat, diharapkan akan ditemukan produsen hoaks sebenarnya. Lalu Yudian Wahyudi insya Allah akan kecewa karena pernyataannya terbukti tidak akurat. Selamat malakukan pelacakan. Happy tracking. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mungkinkah PKI Bangkit Kembali?
By Asyari Usman Jakarta FNN – Selasa (02/06). Kalau pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD (31/5/2020) dijadikan pegangan, tampaknya tidak mungkin PKI bisa hidup lagi. Sebab, kata Pak Mahfud, Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme tidak bisa dicabut oleh pihak mana pun. Dan, kata Mahfud lagi, tidak ada juga pihak yang ingin mencabut itu. Kalaulah anda semua yakin dengan ucapan Mahfud itu bisa dijadikan landasan, tentu tidak ada yang perlu khawatir. Kecuali anda tidak percaya kepada beliau. Lain lagi masalahnya. Terlepas dari jaminan Menko Polhukam, kita semua melihat begitu banyak gejala yang menunjukkan bahwa PKI sedang berusaha untuk bangkit lagi. Kita uraikan gejala-gejala yang membuat publik, khususnya umat Islam, menjadi curiga PKI tidak akan tinggal diam. Misalnya, ada upaya yang rapi untuk membalikkan fakta. Setelah Reformasi 1998, orang-orang atau kelompok tertentu berusaha menyebarkan opini bahwa PKI tidak melakukan kesalahan dalam peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam (dinihari 1 Oktober 1965). Kemudian, ada pula desakan dari orang-orang yang mengatasnamakan keluarga PKI agar pemerintah Indonesia meminta maaf secara resmi kepada PKI. Maaf atas rangkaian peristiwa yang memakan korban orang-orang PKI. Bahkan ada yang meminta supaya kuburan massal PKI 1965 diusut tuntas. Seterusnya, bermunculan seminar atau diskusi yang arahnya membela hak-hak asasi manusia (HAM) warga atau keturunan PKI. Upaya ‘ilmiah’ ini diiringi pula oleh pemameran simbol-simbol atau lambang PKI di banyak pelosok negeri. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ada banyak yang memakai kaos palu-arit di depan public. Ada pula yang membuat graffiti (corat-coret) di tembok yang memajangkan slogan atau lambang komunisme dan PKI. Terbaru, adalah kasus bendera merah-putih yang diberi lambang palu-arit. Bendera ini ditemukan kampus Universitas Hasanuddin, Makassar beberapa hari lalu. Jadi, belakangan ini bagaikan ada upaya sistematis untuk membukakan peluang bagi komunisme-PKI berkembang lagi. Banyak orang yang memberikan simpati kepada PKI. Dengan berbagai cara. Ada yang memperjuangkan pencabutan Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme-marxisme-leninisme. Dan ada pula yang mengatakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh PKI. Yaitu, mengatakan bahwa orang yang memakai kaus palu-arit hanyalah ‘trend’ anak muda saja. Yang sangat mengkhawatirkan adalah perlindungan yang diberikan oleh kekuatan politik resmi. Misalnya, blok politik besar yang sengaja menampung orang-orang yang terkait dengan PKI. Menampung orang-orang yang menginginkan implementasi paham komunis di negeri ini. Kekuatan politik yang memiliki hubungan historis yang kental dengan PKI dan komunisme itu, tidak berlebihan kalau disebut sengaja memberikan ‘ruang hidup’ kepada sisa-sisa PKI. Ini dapat dilihat dari upaya memuluskan pengesahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang diprakarsai oleh DPR. RUU yang ditolak oleh PKS bersama PAN dan dipersoalkan oleh PPP itu, tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 seperti disinggung di awal tadi pada konsideran RUU. Banyak yang melihat ini sebagai upaya untuk menghalalkan komunisme dan PKI bangkit lagi. Meskipun Menko Polhukam dan para petinggi DPR yang menangani RUU HIP sibuk meyakinkan publik bahwa UU HIP akan memperkuat ideologi Pancasila. Tampaknya, tahun-tahun mendatang ini akan menjadi masa yang penuh tantangan berat bagi rakyat. Terlebih khusus umat Islam yang sangat keras melawan PKI. Umat Islam tidak boleh lengah. Sebab, sangat pantas diyakini bahwa memang ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menghidupkan kembali komunisme-PKI di Indonesia. Dengan segala gejala pro-komunisme dan pro-PKI yang ada sekarang ini, kita akan setiap hari bertanya: mungkinkah PKI bangkit kembali? Penulis adalah Wartawan Senior