NASIONAL

Coronavirus, Pertumbuhan Ekonomi vs Penyelamatan Nyawa Rakyat

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN - Menteri Infrastruktur Belanda, Cora Van Nieuwenhuizen, seperti diberitakan rtlnews.nl, langsung menyampaikan ke publik mengurung diri di rumah setelah mengetahui Menhub Budi Karya positif Coronavirus, kemarin, 14 Maret 2020. Rtlnews memberitakan antara lain. "Minister Cora van Nieuwenhuizen (Infrastructuur en Waterstaat) moet in ieder geval tot 24 maart thuis werken. Woensdag had ze een ontmoeting met een Indonesische collega die het virus blijkt te hebben. Eerder vandaag werd gezegd dat ze geen klachten heeft en zich goed voelt." Meski terlihat baik-baik saja. Namun dia akan di rumahnya mengurung diri sampai tanggal 24/3. Tanggal ini tepat dua minggu setelah dia ketemu Menhub Budi Karya di Jakarta, sebagai bagian kerjasama Kerajaan Belanda dengan Indonesia. Pilihan mengisolasi diri ini adalah untuk nenghindari kontak dengan semua manusia. Sebab, masa inkubasi dua minggu coronavirus tidak bisa disimpulkan dengan test secanggih apapun, seperti yang dipertontonkan presiden dan kabinet pemerintahan Jokowi merespon situasi yang sama. Di Indonesia, Menhub Budi Karya, yang dinyatakan positif terinfeksi kemarin. Seharusnya membuat semua Menteri, Dirjen, pejabat lainnya dan juga presiden kita mengambil tindakan yang menjadi standar internasional. Sebagaimana yang dilakukan oleh Menteri Infrastruktur Belanda tersebut. Jika siapa saja melakukan kontak dalam jarak di bawah dua meter, harus dianggap potensi tertular virus. Namun, kita melihat hal itu tidak terjadi di kita. Menteri-menteri dan Jokowi masih berinteraksi dengan berbagai manusia lain dalam aktifitasnya. Situasi penanganan pandemik covid-19 ini, terutama sejak WHO dan masyarakat dunia melakukan langkah-langkah ekstrim. Indonesia masih memperlihatkan ketidak jelasan kordinasi. Jakarta Post beberapa hari lalu sudah memvonis Jokowi amatiran. Sedangkan hari ini cnnindonesianews menuliskan berita bahwa Jokowi harus meminta maaf kepada bangsa ini. Faktanya, hari demi hari semua kepala daerah melakukan konprensi pers sendiri-sendiri. Kepala Daerah juga membuat gugus tugas sendiri-sendiri. Bergerak mengumpulkan stok masker sendiri-sendiri, dan sejenisnya. Semua dilakukan demi keselamatan masyarakat di daerahnya. Ketidakjelasan situasi sampai saat ini terlihat dengan keputusan terkahir Jokowi yang menyerahkan urusan "lack down" atau tidak, hanya melalui pertimbangan kepala daerah. Sedangkan, disisi lain, sebelumnya, kemarin Jokowi membentuk Gugus Tugas. Kerjanya memperkuat kordinasi dan sinergi nasional mengatasi penyebaran virus ini. Seharusnya kedua hal itu bernuansa kontradiktif. Dalam penjelasan di istana Bogor tadi (15/03), sebagaimana dikutip berbagai media, Jokowi meminta Pemda menjalin kerjasama intens dengan BNPB dan menggunakan anggaran yang efisien. Penjelasan ini tidak menunjukkan ketegasan apakah Doni Monardo, sebagai Kepala BNPB atau Kepala Gugus Tugas, dapat melakukan kordinasi lintas daerah atau hanya sinergi (kerjasama) saja. Sebab, jika misalnya satu daerah melakukan "lockdown", pertanyaan berikutnya adalah apakah BNPB dapat menutup Kota atau Daerah itu? Ataukah Gugus Tugas yang baru dibentuk itu yang melakukannya? Kondisi ini menunjukkan adanya kebingungan dari Jokowi dalam merespon situasi. Berbagai negara di dunia sudah melakukan lockdown, sebagian lockdown ataupun menyatakan darurat negara. Darurat negara adalah beda dengan darurat bencana. Darurat negara bersifat nasional. Sedang darurat bencana, bisa bersifat lokal. Nah, Jokowi lebih memilih urusan mengenai virus corona ini diselesiakan di tingkat lokal demi lokal saja. Dari penjelasan Jokowi tadi di Istana Bogor, dimana Jokowi menekankan tentang pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi. Ada kesan faktor perekonomian kita dipertaruhkan dengan nyawa manusia yang mulai ketakutan dengan coronavirus ini. Padahal, sesungguhnya, ketakutan rakyat kita atas coronavirus sudah dirilis oleh survei YouGov pertengahan Maret lalu, rakyat kita yang paling cemas dibanding negara-negara lain di asia. Kita dihadapkan pada pilihan sulit. Mau menyelamatkan ekonomi atau mau menyalamatkan manusia, terkait pandemik coronavirus ini. Memang kita tidak menafikkan pentingnya ekonomi terus tumbuh dan berkembang. Namun, manusia juga butuh keselamatan hidup. Fakta selama ini, kita bisa lihat pada kepala-kepala daerah yang panik sendiri-sendiri mengatasi situasi pandemik coronavirus. Rakyat juga ikut panik karena kepastian informasi sulit untuk dipercaya. Coba bayangkan dua hal ini. Pertama, mantan karyawan telkom yang wafat di Cianjur, 3/3/2020. Awalnya dinyatakan negatif covid-19. Hari ini, setelah 12 hari meninggal, dinyatakan positif coronavirus. Butuh waktu untuk menganulir hasil test awal. Artinya lama dan test tidak begitu canggih. Akibatnya, apa? Istri dan anak karyawan itu dinyatakan positif coronavirus. Lalu bagaimama dengan orang-orang yang berhubungan dengan almarhum? Padahal dia sudah berobat ke mana-mana sebelum ke Rumah Sakit yang di Cianjur. Kedua, bagaimana mungkin seorang menteri (Menhub) terkena infeksi coronavirus? Bukankah seharusnya elit-elit negara lebih siap menangkal dirinya terhindar dari virus itu? Tentu saja setinggi pangkat apapun bisa tertular virus corona ini. Bagaimana membayangkan seorang Menteri Perhubungan yang berkali-kali ke istana negara. Tentunya telah disensor thermal scanner. Ko bisa membawa virus itu ke istana? Bahkan, bagaimana dia membawa virus itu ke acara Indonesia dan Kerajaan Belanda. Melihat kasus Menhub Budi Karya dan kasus eks karyawan telkom di Cianjur itu, kita perlu refleksi bahwa fokus kita pada penanganan wabah coronavirus ini belum optimal. Jika pemaksimalan ikhtiar baru dilakukan dengan fokus, maka pilihan penyelamatan ekonomi vs. penyelamatan nyawa manusia harus dilihat bersifat "trade-off". Kita tidak bisa memilih keduanya. Mungkin ekonomi akan turun dua persen dari target pertumbuhan. Namun kita bisa optomalkan penyelamatan nyawa manusia sebagai kewajiban utama negara. Penutup Menyebarkan virus corona ke Kerajaan Belanda, bisa saja sebuah ketidaksengajaan. Namun, ikhtiar memperbaiki diri bisa menunjukkan rasa penyesalan kepada negara sahabat. Memperbaiki diri yang dibutuhkan adalah melakukan semua standar internasional pada batas maksimal. Bukan batas minimal. Misalnya, pemerintahan Jokowi harus menyatakan "Kabinet Lockdown", sebagaimana ditulis oleh RMOL.co kemarin (14/03). Artinya, selama dua minggu sejak Menhub Budi Karya dinyatakan positif coronavirus, semua menteri mengkarantina diri atau mengisolasi diri. Jika jumlah orang-orang yang berhubungan dengan Budi Karya pada hubungan langsung dan tidak langsung sangat banyak, maka mereka dapat diberikan pinjaman sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Misalnya di Pulau Galang, Batam, sebagaimana sudah diputuskan Jokowi tempo hari. Tulisan cnnindonesianews tentang Jokowi perlu meminta maaf kepada Bangsa Indonesia harus di respon positif. Juga tulisan JakartaPost beberapa hari lalu agar Jokowi jangan amatiran harus direspon sebagi perubahan ke arah yang lebih professional. Semua ini perlu cepat. Pembentukan Gugus Tugas dan alokasi APBN 1 Triliun sudah sebuah kemajuan. Namun, mengingat ledakan eksponensial jumlah terjangkit virus akan segera datang, maka kita harus mengantisipasi pengendalian stok makanan dan minuman. Begitu juga dengan stock obat-obatan dan masker, agar tidak hilang di pasaran. Pemerintah juga harus memastikan anak-anak sekolah belajar di rumah. Memastikan jumlah pusat karantina cukup dan tersebar di seluruh Indonesia. Memastikan perawat dan dokter cukup. Tentara, misalnya, harus diberi wewenang menembak mati spekulan-spekulan barang, terutama mereka yang selalu mencari keuntungan dalam kesempitan. Gugus Tugas diberikan kewenangan pasti untuk melakukan kordinasi lintas sektoral dan daerah. Bukan seperti sekarang masing-masing kota melakukan gugus tugas sendirian. Untuk itu, Jokowi harus menunjukkan ketegasan maksimum dalam menangani pandemik ini. Tidak perlu ragu memilih, perekonomian lambat vs nyawa rakyat yang harus diselamatkan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Anies dan Nyawa Warga DKI

Yang pasti, langkah Anies memancing sejumlah reaksi. Diantaranya dari Menkes. Langkah Anies dianggap kurang tepat. Sementara Mahfud MD mengimbau agar kepala daerah tidak menjadikan kasus Covid-19 sebagai panggung politik. Sejumlah orang yang teridentifikasi dalam kelompok yang "mendapat tugas khusus mencari kesalahan Anies", merasa mendapat kesempatan. Macam-macam tuduhan dan hujatan dilontarkan. By Tony Rosyid Jakarta FNN - Kata Anies, "Posisi DKI siap mem-back up pemerintah pusat dalam penanganan Corona. Kalau tidak ada langkah yang pasti, DKI akan ambil tanggung jawab". Dari narasi Anies ini dapat disimpulkan, tampak bahwa : Pertama, tetap loyal dan bersinergi dengan pemerintah pusat dalam mengatasi virus corona. Kedua, ambil tanggung jawab jika tidak ada pihak yang menghadapi penyebaran virus corona ini. Tentu saja ini bukan soal siapa jagoan dan siapa ingin menjadi pahlawan. Ini menyangkut nyawa manusia, terutama warga DKI, dimana Anies sebagai pemimpin disitu. Pemimpin harus tanggung jawab terhadap warganya, termasuk menyelamatkan nyawa warganya. Soal ada orang Bandung sibuk caci maki, itu lain soal. Anies ambil langkah cepat. 22 Januari Anies ijinkan Dinas Kesehatan DKI konferensi pers. Ingatkan warga akan perlunya kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19. Tanggal 29 Januari Anies pimpin langsung rapat Pemprov DKI untuk menyiapkan langkah-langkah menghadapi Covid-19. Hari itu juga Dinas Kesehatan mengeluarkan surat edaran perlunya kewaspadaan terhadap imported virus ini. Melihat dan memantau perkembangan, tanggal 25 Pebruari Anies mengeluarkan Instruksi Gubernur No 16 Tahun 2020. Isinya tentang langkah-langkah yang diperlukan oleh jajaran pemprov DKI untuk penanganan Covid-19 yang penyebarannya mulai mengganas. Tidak hanya surat edaran dan Ingub, Gubernur DKI ini juga membuat situs khusus mengenai segala hal yang terkait virus corona. Alamat situs itu di https//corona.jakarta.go.id. Di situs itu ada informasi, tanya jawab, aduan dan segala macam terkait virus corona. Masyarakat antusias mengunjungi situs itu. Tidak hanya warga DKI, tapi banyak juga dari warga non DKI. Sejumlah pihak meradang. Anies dianggap terlalu maju. Malah ada yang menuduh Anies itu monster. Menakut-nakuti dan bikin gaduh masyarakat. Gak ada Suspect. Indonesia zero Corona, kenapa Anies keluarkan Ingub? Anies pun dibully. Hujatan mulai muncul di berbagai media sosial. Para haters Anies bergeliat. Terbuka ruang bagi mereka untuk down grade Anies. Harusnya gubernur itu menenangkan, bukan bikin panik, kata mereka. Dasar "......" kalimat dititik-titik ini gak saya tulis. Karena tak pantas. Apapun alasannya, makian bukan bagian dari budaya kita. Apalagi jika keluar dari orang terpelajar, sangat memalukan. Maaf kawan, gak saya kutip. Sebab, masih banyak pilihan kata yang lebih bagus dan lebih sopan. Tapi, tak sedikit juga yang mendukung langkah Gubernur Anies. Sebagai langkah antisipasi, Ingub sangat diperlukan. Dan ini adalah bagian dari tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Keselamatan warga adalah nomor satu. Ini sangat prioritas, dan di atas segala-galanya. Tak menutup kemungkinan, Anies sudah tahu ada pasien yang diduga suspect Corona. Enam rumah sakit Jakarta milik Pemprov DKI bisa jadi sumber informasi akurat terkait dengan kemungkinan adanya dugaan suspect. Anies tak mau mengumumkan informasi yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ini soal etika. Anies lebih memilih untuk ambil langkah, meski harus dibully dan dicaci maki. Risiko pemimpin, harus siap dibully. Tak semua orang bisa memahami kebijakan dan langkahnya. Ada yang suka, ada pula yang tidak suka. Yang tak suka akan selalu tak setuju, apapun langkah dan kebijakan yang dibuat gubernur. Pasti saja ada salah, dan tidak ada benarnya. Yang pasti, langkah Anies memancing sejumlah reaksi. Diantaranya dari Menkes. Langkah Anies dianggap kurang tepat. Sementara Mahfud MD mengimbau agar kepala daerah tidak menjadikan kasus Covid-19 sebagai panggung politik. Sejumlah orang yang teridentifikasi dalam kelompok yang "mendapat tugas khusus mencari kesalahan Anies", merasa mendapat kesempatan. Macam-macam tuduhan dan hujatan dilontarkan. Dua hari pasca Ingub Anies keluar, dan setelah Anies babak belur dengan semua tuduhan dan caci maki, presiden secara resmi mengumumkan bahwa ada dua warga asal Depok positif terinveksi Corona. Sejak itu, bullyan terhadap Anies mulai agak reda. Kini, giliran situs DKI yang disoal oleh menkominfo. Katanya gak sinkron dengan situs punya kemenkes. Anies diminta menyesuaikan narasi. Tak lama kemudian, situs pemprov DKI dihajar hacker. Sempat, situs https/corona.jakarta.go.id tak bisa dibuka. Gak tahu, bagaimana kondisinya sekarang? Silahkan dicek. Dari sisi tampilan, situs DKI lebih simpel. Sub portalnya sederhana. Isinya lebih detail dan lengkap dibanding situsnya Kemenkes. Tapi, kenapa dihack? Siapa yang nge-hack? Padahal, ini soal nyawa manusia. Kalau ini menyangkut politik, mestinya nggak harus bermain di wilayah yang berbahaya buat keselamatan nyawa manusia. Langkah proaktif Anies mulai mendapat pembenaran setelah terbukti banyak orang di Indonesia yang terinveksi virus corona. Semula dua orang. Lalu 19 orang. Nambah delapan, jadi 27 orang, naik lagi menadi 34 dan 96. Sekarang sudah menjadi 117 orang (Liputan6.com 15/03/2020). Sudah ada empat orang yang meninggal. Nampaknya akan terus bertambah seiring dengan penyebaran yang tidak semuanya terdeteksi. Apakah Indonesia akan lock down seperti Itali, Denmark dan Manila? Apakah semua pabrik dan toko akan tutup? Apakah sekolah-sekolah akan diliburkan? Apakah alat transportasi akan dihentikan? Tak menutup kemungkinan. Apalagi, cara penanganan virus corona di Indonesia telah banyak mendapat kritik oleh sejumlah negara. Artinya, jika tak lebih serius dan ketat lagi dalam penanganan covid-19 ini, Indonesia terancam lock down. Sejumlah event baik nasional maupun internasional sudah diumumkan penundaannya. Formula E ditunda. Berbagai Munas ormas juga ditunda. Bahkan acara seminar, diskusi dan pengajian juga sudah banyak yang ditunda. Ada sebagian sekolah yang sudah meliburkan diri. Pelan tapi pasti, aktifitas sosial mulai berkurang. Mall-mall mulai agak sepi. Suatu saat nanti tak menutup kemungkinan akan ditutup. Soal Corona, Jakarta lebih serius dan lebih maju langkahnya dari daerah lain. Bahkan lebih maju dari pemerintah pusat. Wajar! Jakarta adalah ibu kota. Tempat interaksi sosial antar warga negara sangat masif. Perlu kewaspadaan tingkat dewa. "Semua dilakukan dengan tenang agar tak terjadi kegaduhan", kata Anies. Itulah barangkali karakter sosok yang besar di Jawa-Jogja ini. Cucu Abdurrahman Baswedan, tokoh BPUPKI ini paling risih dan sensi ketika melihat ada orang yang dipermalukan. Dan ini bisa dilihat reaksi Anies ketika ada anak buahnya dimarahi di depan umum saat terjadi banjir. Anies bilang "jangan marahi dia, marahi saya aja." Kasus Corona ini menyangkut nyawa warga. Anies memilih untuk melangkah, meski dengan segala risiko menghadapi banyak tuduhan dan bullyan. Bagi Anies, nyawa warga DKI lebih utama untuk diselamatkan dari pada sekedar menghadapi tuduhan dan bullyan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Mandat Kuat Masyumi Reborn

Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN - Kelahiran kembali Masyumi adalah kebutuhan kekinian. Kalau PKI sekarang sudah kembali unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi. Inilah mandat paling kuat dari umat. Sabtu, 7 Maret 2020, Aula Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), di Jalan Kramat Raya No. 45 penuh sesak. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Yang dating melimpah sampai pelataran gedung . Pada barisan dan kursi-kursi depan, tampak sejumlah tokoh nasional dan tokoh-tokoh sepuh. Di panggung depan, terpampang layar lebar yang menayangkan biorama perjuangan Partai Islam Masyumi, sejak lahir hingga bubarnya. Sementara di kiri-kanan layar itu, serta sebahagian besar dinding ruangan, menempel wall banner dari tokoh tokoh Masyumi seperti KH. Hasyim Ashari, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Natsir, Wahid Hayim, H. Agus Salim, Buya Hamka, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap, KH. Isya Ansyori dan lain-lain. Menariknya lagi, setiap wall banner dari tokoh itu disertakan pula kutipan pesan perjuangannya. Suasana itu membawa setiap hadirin yang berusia sikitar 70 tahun pada kenangan masa kecil ketika Partai Islam Masyumi masih ada. Suasana ini juga menumbuhkan kerinduan akan hadirnya masa lalu itu. Bagi genarasi di bawahnya, atau malah genarasi melenial, suasana tersebut tentu saj membangkitkan rasa ingin tahu tentang apa itu Partai Masyumi dan sepak terjangnya dalam perpolitikan nasional. Juga sekaligus menumbuhkan semangat untuk mengikuti jejak perjuangan Masyumi. “Umur kami mungkin tidak lama lagi. Tetapi kami tidak rela dipanggil Allah SWT ketika kami dan teman teman seangkatan kami yang pernah dididik oleh para tokoh Masyumi belum mewariskan ruh perjuangan Masyumi melalui jalur Politik formal. Kami membayangkan andaikan dulu Partai Masyumi tidak membubarkan diri karena dipaksa bubar, mungkin NKRI sudah menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghaffur. Semoga adik-adik yang menggagas Masyumi Reborn bisa meneruskan risalah ini dengan mengajak seluruh keluarga besar, anak cucu dan pecinta ideologi Masyumi secara ikhlas tanpa pamrih jabatan. Tidak terburu-buru, sistematis dan istiqomah. Semoga Allah SWT merestui ijtihad ini demi NKRI yang tercinta”. Itulah sebuah flyer berisi foto KH. A. Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’I, Abdullah Hehamahua danTaufiq Ismail yang ditayangkan di layar lebar. Rangkaian kalimat yang menumpahkan kegelisahan hati para pejuang sepuh yang sadar tinggal menghitung hari untuk kembali menghadap Sang Khaliq. Hidmad dan sangat hidmat. Pandangan para hadirin tampak terpaku pada untaian kalimat di flyer tereebut. Tidak sedikit diantara mereka mengusap matanya karena haru berlinang air mata. Ini memang acara “Silaturrahmi Keluarga, Anak Cucu dan Pecinta Masyumi”. Themanya, “Masyumi Reborn, Masyumi lahir kembali”. Tidak hanya dari propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa yang hadir. Tetapi juga banyak dari luar Jawa. Tercatat misalnya, datang dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggro Aceh Darusalam, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Menariknya, acara silaturrahmi ini diikuti dari berbagai lintas usia, dari usia senja 80-an tahun hingga yang disebut dengan melenial. Tidak kurang 20 orang tokoh dari kalangan ulama, politisi, akademisi, budayawan dan kalangan pergerakan ditampilkan di atas panggung. Mereka berbicara beberapa menit tentang Masyumi dan pandangannya terhadap Masyumi Reborn. Diantara tokoh-tokoh yang berbicara itu KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Taufik Ismail, Dr. Abdullah Hehamahua, Prof Dr Fuad Amsyari, Ridwan Saidi, Dr. MS Ka’ban, Dr. La Ode Kamaluddin, Dr. Musni Umar, Drs. Lukman Hakim, Bachtiar Chamsah, Ustadz Khotot, Nurdiati Akma ,Egy Sujana, Joko Edy, Sri Bintang Pamungkas dan Chairul Anas “si robot pendeteksi kecurangan” yang mewakili kelompok melenial. Ada juga tokoh yang tidak bisa hadir karena berhalangan lalu menitipkan pesan tertulisnya untuk dibacakan. Diantara mereka adalah Dr. AM Saefuddin, Letjen (Purn) Syarwan Hamid dan Mohammad Siddik Ketua Dewan Dakwah. Ada juga yang hadir tapi tidak sempat memberi pandangan, namun memberikan dukungan penuh, karena harus segera menghadiri acara lain seperti Ustadz Zaitun Rasmin. Menjawab tantangan Dr. Masri Sitanggang, Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II), semua pembicara yang tampil sepakat “perlu segera melahirkan kembali Partai Masyumi”. Dalam sambutannya Masri Sitanggang melaporkan bahwa selama empat bulan perjalanan P-4II, diperoleh kenyataan bahwa umat Islam mengelu-elukan lahirnya kembali Masyumi. Hampir Semua provinsi dan sebagian besar kabupaten kota telah memberikan dukungan. Masing-masing telah siap untuk membentuk membentuk komunitas di daerahnya. Tetapi P-4II tidak merasa puas sebelum menyelenggarakan pertemuan Silaturrahmi Akbar antara Anak Cucu dan Pencinta Masyumi untuk mendengarkan pendapat mereka. Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. Kami patuh kepada perintah para ulama dan tokoh umat. Namun bila kami boleh berpesan kepada para ulama dan tokoh umat, maka pesan kami adalah “Kalau PKI sekarang sudah unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi?”. Begitu pekik Masri Sitanggang yang disambut pekik takbir dari para hadirin. Pertemuan silaturrahmi di Aula Dewan Dakwah itu memiliki banyak arti penting. Pertama, ini merupakan mandat dari keluarga, anak cucu dan pecinta Masyumi kepada P-4II untuk melahirkan kembali Masyumi. Dengan demikian legalitas dan kinerja P-4II diakui oleh umat Islam secara luas. Setidaknya oleh keluarga dan pecinta Masyumi. Dengan demikian pula, tidak ada lagi partai selain yang dilahirkan oleh P-4II. Hanya P-411 yang dapat mengklaim dirinya sebagai (penerus) “ Partai Masymi”. Apalagi ternyata pertemuan silaturrahmi ini disenggarakan di Dewan Dakwah, sebuah lembaga yang ketahui sebagai “Pewaris Masyumi”. Kedua, undangan yang disampikan secara terbuka di berabagai media. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ini juga terbuka bagi siapa saja yang merasa anak cucu dan pecinta Masyumi untuk menyampaikan pokok pirannya seputar Masyumi Reborn. Dengan demikian, bila kelak di belakang hari ada pandangan miring terhadap, atau bahklan mempertanyakan kelahiran Masyumi, maka itu tidak lagi pada tempatnya. Gugur dengan sendirinya. Ketiga, tampilnya sejumlah besar pembicara dari berbagai latar belakang disiplin menunjukkan bahwa upaya melahirkan kembali Masyumi bukanlah kemauan orang per orang. Bukan pula alasan kepentingan kelompok. Tetapi adalah hasil proses pengamatan dan pengkajian memadai dari kalangan yang memiliki spectrum yang luas. Pertemuan ini juga sekaligus menepis anggapan bahwa kelahiran kembali Masyumi adalah akibat perpecahan di kalangan elit partai tertentu. Sebaliknya, kelahiran kembali Masyumi dinilai sebagai kebutuhan mendesak di tengah situasi politik yang tidak menentu dan cenderung tidak menguntungkan umat Islam. Masyumi diharapkan dapat menjadi wadah pemersatu gerakan politik sekaligus gerakan dakwah umat Islam ke depan. Keempat, nama besar Masyumi ternyata masih melekat di hati umat dan masih dirindukan kehadirannya. Membludaknya peserta silatutrrahmi dan antusiasme umat dengan membentuk komunitas di berbagai daerah serta pokok-pokok pikiran yang terlontar dalam pertemuan yang dipandu oleh Dr. Ahmad Yani, membuktikan lekatnya Masyumi di hati ummat dan kerinduan akan kehadirannya kembali. Masyumi masih punya daya tarik yang sangat kuat. Bola salju telah bergulir. Para tokoh gerakan, ulama, politisi dan akademisi serta anak cucu dan pecinta Masyumi telah memberi mandat. Ketua Badan Penyelidik Usaha Pendirian Partai Islam Ideologis, KH Cholil Ridwan, telah memberi petuah bahwa cuma ada dua partai dalam perspektif Islam, yaitu “Hisbullah dan Hizbussyaithan”. Panitia pun telah pula bekerja keras menyiapkan segala perangkat. Kini tinggal menungu waktu yang tepat untuk memberi maklumat “wahai para politisi musafir, pulanglah, Masyumi telah lahir”. #MasyumiReborn. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II).

Babak Baru Amandemen UUD 1945 Sofyan Effendi Disomasi

Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - SEDIKITNYA 26 orang mantan Panitia Ad Hoc (PAH) I dan III Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999-2004 gusar. Mereka yang tergabung dalam Forum Konstitusi (FK) tidak menerima pernyataan mantan Rektor Universitas Gajahmada (UGM) Yogjakarta, Prof. Sofyan Effendi yang menuding 11 fraksi MPR saat itu menerima uang berkarung-karung dari pihak asing dalam proses amandemen UUD 1945. Kegusaran mereka itu dilakukan dalam bentuk somasi kepada Sofyan Efdendi. Sofyan harus meminta maaf secara terbuka dan mempertanggungjawabkan tudingannya itu berdasarkan fakta yang benar. Kegusaran mereka yang tergabung dalam Forum Konstitusi disampaikan dalam pertemuan pers, di kantor pengacara Zoelva & Parthner, di kawasan Gandaria City, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Maret 2020. "Secara resmi kami akan menyampaikan somasi kepada Prof Sofian untuk meminta maaf secara terbuka mengklarifikasi dan mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Jika tidak, maka kami akan melakukan langkah-langkah hukum melaporkan secara pidana dan perdata," kata Pengawas Forum Konstitusi, Hamdan Zoelva. Hadir dalam konferensi pers itu di antaranya mantan Ketua PAH I BP MPR Jakob Tobing, mantan anggota PAH I Pataniari Siahaan, mantan anggota PAH I Lukman Hakim Saifuddin (mantan Menteri Agama), mantan anggota PAH I Zain Badjeber, mantan anggota PAH I Baharudin Aritonang, mantan anggota PAH I Seto Haryanto, mantan anggota PAH I Irjen (Purn) Ketut Astawa, mantan anggota PAH I, Theo Sambuaga. Pernyataan Sofian itu disampaikan dalam acara peluncuran buku di sebuah kampus di Jakarta Selatan pada Rabu, 11 Marer 2020 dan dimuat di media daring. Dalam pernyataannya, Sofian menyebut uang berkarung-karung dibawa untuk menyogok 11 Fraksi MPR guna memasukkan pasal sesuai dengan pesanan. Pernyataan Sofyan yang tidak mereka terima itu adalah : ... "dalam rapat-rapat panitia ad hoc di MPR juga dihadiri oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia. Dan LSM National Democratic Institute (NDI), kata Prof Sofyan, membawa uang berkarung-karung ke dalam gedung MPR dan membagi-bagi uang itu kepada semua 11 fraksi." "Kami ingin menjelaskan kepada masyarakat itu bohong! Tidak benar! Dan selanjutnya kami akan ambil tindakan-tindakan hukum pidana dan perdata," kata Jacob Tobing. Forum Konstitusi memberi waktu kepada Sofian dalam waktu maksimal 3 x 24 jam untuk meminta maaf dan mengklarifikasi secara terbuka. Bila tidak, Forum Konstitusi akan melaporkan tindakan hukum. Jika Sofyan meminta maaf, mereka masih terus melihat perkembangannya dalam bentuk pertanggungjawaban yang bersangkutan. Kemungkinan lanjut ke ranah hukum bisa terjadi sebagai bentuk pembelajaran agar tidak asal bicara. Apalagi yang melemparkan tudingan itu seorang profesor. "Ini terkait kepentingan bangsa. Bukan saja urusan pribadi. Karena ini mendemoralisasi UUD 1945, mendemoralisasi hasil keputusan oleh 700 anggota MPR," kata Hamdan yang juga mantan Ketua MK. Menurut Zoelva, permintaan maaf dan pertanggunjawaban itu sangat penting. "Ini dalam rangka pelurusan sejarah bangsa di masa yang akan datang. Jika tidak diluruskan, dikhawatirkan generasi mendatang menganggap UUD 1945 diubah karena uang," kata Hamdan Zoelva. Sedangkan Baharudin Aritonang dan Theo Sambuaga menyebutkan, pernyataan Sofyan itu tidak benar dan merupakan fitnah kepada mereka yang bekerja habis-habisan mengamandemen UUD 1945. Masuk angin "Tudingan Sofyan yang menyebutkan National Democratic Institute membawa uang, apalagi berkarung-karung untuk dibagikan kepada 11 Fraksi MPR tidak benar dan fitnah," kata Theo Sambuaga. Sedangkan Baharuddin Aritonang mengatakan, " Kami sudah capek difitnah terus. Ini (fitnahan) tidak bisa dibiarkan terus." Apa yang dikatakan Aritonang itu ada benarnya. Sebab, sejak proses amandemen UUD 1945 dilakukan, isu tak sedap mengenai uang bertebaran sudah mengemuka. Aroma yang dihembuskan waktu itu adalah istilah "masuk angin." Sebagai wartawan yang aktif meliput kegiatan MPR/DPR waktu itu, desas-desus dihembuskan beberapa pihak karena sebagian amandemen UUD 1945 itu dianggap merupakan pesanan asing. Namun, namanya kabar burung, isu adanya uang dalam menggolkan amandemen tersebut hilang begitu saja. Belakangan, isu uang itu muncul kembali, terutama jika Amien Rais melakukan manuver politik. Saat amandemen UUD 1945, Amien Rais adalah Ketua MPR RI. Akan tetapi, Yakob Tobing menepis kaitan fitnah itu ditujukan untuk menjatuhkan kredibilitas Amien Rais. Sebab, selama proses amandemen, Amien Rais lebih banyak menerima hasil dan laporan dari PAH BP MPR. ** Penulis wartawan senior. Penulis, Wartawan Senior

Dipersekusi Segelintir Orang, Polresta Malang Berupaya Hentikan Kajian UBN

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Acara kajian Islam Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) di Hotel Radho Syariah Jalan Simpang Kawi Kota Malang “dibubarkan” oleh aparat Polresta Malang dengan alasan tidak mengantongi izin dan berpotensi menimbulkan keributan. Apalagi, menurut Kasat Intelkam Polresta Kompol Sutiono, sejak sore telah banyak aduan dari masyarakat yang menolak kajian tersebut. “Banyak yang ngadu ke saya dan ke Pak Kapolresta (Kombes Pol Leonardus Simarmata),” tegasnya. Melansir RadarMalang.id, Selasa (10 March 2020 1:12 pm), “Sebelumnya mereka ditolak mengadakan acara di masjid Universitas Brawijaya, lalu di Sengkaling, tiba-tiba pindah ke sana (Hotel Radho),” lanjut Sutiono. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari warga sekitar, Ustadz Bachtiar Nasir sebagai pembicara dianggap membawa materi kajian yang provokatif. Secara prosedur pun, acara ini ternyata belum memenuhi syarat. Karena surat baru sampai ke divisi Intelkam pada Senin sore. Sementara kajian tersebut diadakan malam harinya pukul 19.00 WIB. “Prosedurnya surat harus dikirim 3×24 jam sebelum acara digelar. Lha ini nggak. Surat baru masuk sore. Digelar juga sore itu. Saya telepon penanggungjawabnya juga nggak bisa,” ujar Sutiono. Akhirnya polisi pun mendatangi lokasi dan mengamankan peserta kajian yang berjumlah 200 orang itu. Polisi juga berusaha meredam emosi warga sekitar dan ormas. “Saya lobi ke pak ustadz agar dihentikan. Saya tidak melarang, tapi ini mengundang gesekan, sebaiknya dihentikan lebih cepat. Ini demi keamanan saja. Karena, ya kami ingin Malang ini damai,” lanjutnya. Negosiasi sempat alot. Namun, pada pukul 21.00 WIB, peserta kajian diarahkan ke luar gedung dengan pengawalan oleh tak kurang 100 anggota kepolisian. “Kami ingin memastikan peserta kajian aman dan selamat,” pungkas dia. Menurut Ustadz Muhammad Ali yang dapat kabar dari peserta kajian Ustadz Bachtiar Nasir yang akrab dipanggil UBN itu, sebenarnya yang unjuk rasa itu jumlahnya sekitar 15 orang saja. “Kenapa justru kajian yang harus dibubarkan?” katanya. Bagaimana peristiwa yang sebenarnya malam itu telah diungkap oleh Gus Abrar Rifai, Ketua PA 212 Malang. Acara itu bukan hanya dihadiri oleh Kompol Setiono saja yang berpakaian preman, tapi juga Wakapolresta Malang AKBP Setyo Koes Heriyatno dengan seragam. “Sampai sekarang serasa masih ada bongkahan batu yang mengganjal di hati, menyaksikan UBN acaranya dihentikan dan kemudian beliau digelandang pergi dari hotel,” ungkap Gus Abrar. Sekitar pukul delapan malam, Ahad malam Senin kemarin, Habib Asadullah Alaydrus kontak Gus Abrar Rifai. “Beliau memberi kabar, ada penolakan acara yang akan dihadiri UBN di Malang,” lanjutnya. Malam itu juga Gus Abrar kontak Mas Lutfi Ardobi, sekretaris PA 212 dan KH. Khoirul Anam, Ketua Rampak Naong (komunitas kiai berdarah Madura di Malang). “Saya minta panitia untuk bertemu,” ungkapnya. Tapi rupanya DR. Muwafik, dosen Fisip UB yang menjadi Ketua Panitia sedang berada di Jakarta. “Sehingga yang diutus adalah Mas Reza, dosen Fakultas Teknik UMM, selaku Sekretaris Panitia,” jelas Gus Abrar. Menurutnya, Habib Asad pun mempercepat pengajiannya, untuk bisa bertemu mereka. “Kiai Anam pun saat saya telpon, sebenarnya sudah bersiap ke peraduan. Entah mau apa tidur sesore itu,” lanjutnya. Akhirnya pukul 23.30 mereka bertemu. Gus Abrar mendengar langsung permasalahannya. Termasuk update surat ke Polisi yang masih belum mendapatkan Surat Keterangan Tanda Terima (SKTT). Malam itu setelah berbincang, kita sepakat acara tetap lanjut. “Tapi, Mas Reza saya minta untuk segera mendapatkan SKTT,” tegasnya. Besoknya, ia mendapatkan info dari Mas Lutfi, ternyata Polsek Dau tidak mau mengeluarkan SKTT. Tapi acara tetap akan dilaksanakan, hanya tempatnya yang dipindah dari Hotel Radho Sengkaling ke Hotel Radho Kawi. Gus Abrar mendapatkan kepastian, Kokam siap memberi pengamanan. LPI pun sudah siap sedia. Laskar Gamal pun sudah siap. “Saya kontak Mas Junaedi dan Gus Hisa (Ansor), mereka memberi kabar bahwa tidak ada penolakan secara insitusi dari Ansor maupun Banser. Itulah kemudian, saya pastikan bahwa tidak ada penolakan acara UBN di Malang!” tegasnya. Senin Malam selepas isya’ ia menuju lokasi acara. Sampai sana suasana aman-aman saja. UBN sudah di lokasi, tapi masih di kamar. Namun, saat itu UBN disebut sedang mandi. “Saya balik arah menuju ruang acara, masih separuh kursi terisi,” ungkapnya. Setelah itu Gus Abrar Rifai keluar hotel, melihat-lihat suasana. Seorang laskar membuntuti. “Gak apa-apa, sampean balik ae nang jerru,” katanya. Ia jalan-jalan di sekitar hotel. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Tapi, kemudian beberapa mobil Polisi yang ditumpangi banyak perwira berdatangan. Satu, dua, dan seterusnya. Akhirnya secara bersamaan, Habib Zainal Abidin Bilfeqih dan Doktor Muwafiq datang. Ia masuk bersama mereka. Naik ke lantai lima, tempat acara. UBN sudah ada di sana. “Kami dipersilakan duduk di deretan kersi di depan. Saya dan Dr. Muwafiq menampik,” ujarnya. Gus Abrar memilih kembali turun ke bawah, sementara Dr. Muwafiq memilih duduk di kursi paling belakang, di belakang para ibu-ibu. Sedang Habib Zainal, karena beliau memang harus memberi sambutan, beliau pun maju. Duduk di sebelah UBN. Acara dimulai: mulai MC, tilawah, sambutan, dan paparan UBN. Lancar-lancar saja. Peserta membludak. Kursi tidak cukup. Banyak peserta yang berdiri. Semua lancar terkendali. “Saya husnuzhzhan saja, ini tidak ada apa-apa,” ungkap Gus Abrar. Tapi tak lama kemudian, ada kabar dari Ustadz Abdullah Hadrami, Habib Asad dan beberapa orang lainnya, mereka mendapat info dari Polisi bahwa sedang ada pergerakan massa menuju lokasi acara. Gus Abrar mengumpulkan para pimpinan laskar, “Kalian jangan terprovokasi. Berjagalah di depan hotel,” instruksinya. “Kalau mereka melakukan aksi di halaman, biarkan saja. Itu adalah tugas Polisi, apakah akan membiarkannya atau membubarkan. Tugas kalian adalah menjaga acara untuk tetap berjalan. Kalau sampai mereka masuk hotel untuk mengacau, baru kalian boleh bertindak!” “Siaaap!” jawab mereka. Tidak berapa lama memang ada beberapa orang, kisaran belasan orang saja. “Menurut informasi kawan-kawan, diantara mereka ini adalah orang-orang yang sama yang dulu pernah menolak deklarasi PA 212 di Gedung Muamalat,” ujarnya. Gus Abrar masuk ke barisan laskar di teras hotel. Mendengar, menyimak suara-suara mereka. Tid ak jelas memang, karena mereka tidak menggunakan pengeras suara. diantara beberapa yang terdengar, “Ayo mettuo koen, nyingkrio. Ojok nggawe kisruh nang Malang!” “Wong atasane dudu ulamaˋ kok ngaku-ngaku ulamaˋ. Ayo rene balapan karo aku moco kitab kuning, moco Imriti, moco Alfiyah…” dan lain sebagainya teriakan mereka. “Teman-teman diam saja mendengarkan teriakan mereka. Sambil sesekali tersenyum dan tertawa, kalau didapati ada yang dirasa lucu,” ungkap Gus Abrar Rifai. Teleponnya berdering, Mas Lutfi meminta Gus Abrar baik ke lantai tiga. Rupanya sedang berlangsung negosiasi antara beberapa Polisi dengan Dr. Muwafiq. Polisi minta acara dihentikan. Gus Muwafiq bersikeras tidak. Adu argumen terjadi. Polisi berdalih, acara ini tidak mengantongi SKTT. Sehingga harus bubar! Dr. Muwafiq berdalih, ini acara ilmiah, seminar, diskusi. Di dalam ruangan, bukan di ruang terbuka, tidak perlu adanya SKTT dan sejenisnya. “Kami sudah sering mengadakan acara semacam ini. Tidak pernah ada apa-apa. Polisi tidak ada yang meminta kami bubar.” “Tapi ini ada penolakan massa. Sehingga untuk alasan keamanan, acara dihentikan saja. Kami minta begitu. Tolong!” timpal seorang Polisi. Gus Abrar ikut menyela, “Pak, kalau memang untuk menghindari keributan, kenapa bukan mereka saja yang dibubarkan. Kenapa harus kami?” “Tidak bisa. Mereka adalah warga yang menolak.” “Alasannya apa?” Polisi tidak menjawab. Mereka tetap hanya meminta acara dibubarkan, agar situasi kembali baik. “Sekarang begini saja. Siapapun mereka yang melakukan penolakan, sebaiknya Sampean ajak masuk. Sampean dan mereka hadir saja, ikut mendengar ceramah UBN. Kalau memang dalam isi ceramah beliau ada yang tidak sesuai, silakan diturunkan. Silakan distop!” Tapi mereka tetap tidak mau. Mereka hanya meminta acara dihentikan. Itu saja. Negosiasi bubar. Gus Abrar tanya Dr. Muwafiq sebagai Ketua Panitia. “Gimana?” “Iya, kita ngalah saja. Acara kita hentikan,” jawabnya. Waktu mendekati pukul 21.00. “Saya dekati MC, saya sampaikan apa yang terjadi. Ustadz Bachtiar dibisiki. Beliau mengangguk. Tapi beliau minta waktu, sedikit saja. “Kalau begitu kita lompat saja ke urutan yang terkhir,” katanya kepada hadirin. Tepat jam 21.00 beliau mengakhiri ceramahnya. Tidak ada tanya jawab. “Saya meminta mic, saya kabarkan kepada jamaah, bahwa acara kita sukses, karena bisa terlaksana hingga pukul sembilan malam, sebagaimana rencana semula,” ujar Gus Abrar. Ia tidak memberitahu jamaah secara eksplisit tetang apa yang terjadi. Gus Abrar juga hampiri UBN, kita salaman dan bercipika-cipiki. Ia pun lantas berbisik, “La baˋsa. Hadza syaiˋ ‘adi fidda’wah.” Apakah setelah acara dihentikan kemudian tuntutan selesai? Ternyata tidak! Polisi meminta agar peserta cepat-cepat keluar dari hotel. Padahal makan malam sudah terlanjur disiapkan. Gus Abar minta waktu kepada Polisi, “Biarkan mereka makan dulu, Pak.” Polisi setuju. Tapi tak lama, Polisi meminta agar cepat-cepat selesai, semua harus keluar dari hotel. Semua peserta sudah keluar. “Yang tersisa di hotel adalah para tamu, yang sebagian saya lihat wajah mereka menyuratkan kecemasan. Saya dan beberapa panitia memang sudah buka kamar, jadi kami termasuk tamu hotel,” ungkap Gus Abrar. Tapi, setelah itu apakah urusan selesai? Ternyata tidak! Kali ini Polisi meminta UBNr untuk menemui orang-orang pengunjuk rasa. “Saya setuju, Mas Reza setuju. Dr. Muwafiq sudah tidak ada di lokasi. Saya telpon beliau, tapi ternyata sudah menjauh dari hotel,” katanya. Ia sampaikan kepada beberapa orang yang mengawal UBN –sebagiannya disebut ajudan– agar ditemui saja mereka. Kita dialog, kita diskusi, apa sebenarnya yang menjadi penolakan mereka terhadap UBN. Biarkan UBN menjawab. Ternyata menunggu lama, UBN tak juga keluar dari kamar. Bahkan seorang diantara yang disebut pengawal UBN berujar, “Gak perlu ditemui mereka. Malah nanti kita bisa marah, kalau mereka melontarkan omongan-omongan yang tidak sopan.” Dari situ Gus Abrar sudah tidak OK. Kenapa harus takut dengan cercaan, cacian dan bahkan hinaan sekaligus. Justru ini kesempatan bagi UBN untuk mendengar dan menyampaikan sikapnya. Apalagi di hadapan Wakapolresta dan jajarannya, yang sudah menyatakan akan mendampingi. UBN tidak juga keluar. Polisi terus mendesak. Akhirnya Gus Abrar berinisiatif ia dan Pak Dadik, pemilik hotel yang menghadapi. Kita temui lima orang perwakilan mereka. “Tapi pembicaraan sudah tidak fokus ke substansi,” lanjutnya. Tapi malah melebar ke mana-mana: Parkiran mobil, pedagang nasi, orang Malang dan bukan orang Malang dan lain-lain. Mereka menuntut adanya ganti rugi dari Pak Dadik terkait juru parkir yang katanya tidak bisa bekerja karena adanya acara ini. Ada juga pernyataan ketidaksukaan terhadap UBN. Tapi tak disertai alasan apa yang membuat mereka tidak suka kepada UBN. Pak Dadik menjelaskan bahwa hotel ini bebas. Siapa saja boleh menginap dan membuat acara. “Lha wong saya ini bisnis, ” kata Pak Dadik. “Ada banyak ulamaˋselain UBN yang menginap dan membuat acara di hotel Radho. Kita terima saja.” Pak Dadik kemudian menyebut banyak nama yang sudah pernah menginap di Radho Hotel. Termasuk juga daftar ulamaˋyang akan menginap. Diantaranya KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia. Pak Dadik memberi sejumlah uang, yang katanya untuk ganti rugi mereka. Mereka juga mengultimatum agar Pak Dadik tidak lagi menerima UBN dan yang sama dengannya. “Saya tidak tahu pasti, apa yang dimaksud sama,” ujarnya. Apakah setelah itu selesai? Ternyata tidak! Kali ini tuntutannya sebagaimana yang disampaikan oleh Wakapolresta adalah UBN keluar dari hotel. Entah pindah hotel atau keluar Malang. “Saya jamin keamanan beliau selama dalam perjalan,” kata Wakapolresta. “Sampai di situ saya minggir. Saya tidak ikut-ikut lagi. Saya serahkan bagaimana Mas Reza dan Timnya UBN. Saya naik ke lantai tiga, menemui teman-teman Forum Peduli Bangsa (FPB) yang kebetulan malam itu juga sedang rapat,” ungkap Gus Abrar. Selanjutnya ia sudah tidak tahu apa yang terjadi. Sampai akhirnya terdengar teriakan-teriakan keras. "Rupanya UBN sudah dikeluarkan dari hotel, disertai Polisi. Diiringi teriakan orang-orang yang entah apa maksudnya,” katanya. Jadi, siapa sebenarnya yang menolak UBN di Kota Malang itu? *** Penulis wartawan senior.

RUU Omnibuslaw Minerba, Balas Jasa Kepada Bandar Tambang Batubara

By Salamuddin Daeng Jakarta FNN - Membaca draf UU Omnibuslaws terkait dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Minerba), disana tampak bahwa Omnibuslaws ini adalah UU untuk menciptakan pekerjaan bagi para bandar batubara. Mereka itu yang ditenggarai menjadi penyandang dana utama dalam Pilpres 2019 lalu. Draf Omnibuslaws UU Minerba memperlihatkan ambisi para taipan tambang, terutama tambang batubara. Mereka berambisi untuk mengeruk keuntungan dengan sangat efektif dan efisien. Untuk itu, mereka sangat berharap berbagai kemudahan yang akan diberikan langsung oleh pemerintah pusat dalam hal ini oleh Presiden, melalui : Pertama, menghapus semua kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam UU Minerba. Yang paling utama adalah bagian perijinan. Pengusaha pertambangan berharap Pemda menyerahkan semua hak dan keweangan terkait pertambangan kepada pemerintah pusat yakni presiden. Rencana ini termuat dalam sebagian besar pasal Omnibuslaws. Bahkan menjadi maksud dan tujuan utama penghapusan banyak pasal dalam UU minerba. Pintu masuknya adalah Pasal 4 ayat (2) RUU Omnibuslaw, yaitu “penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan Pemerintah Pusat”. Pada ayat (3) ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penguasaan mineral dan batubara diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, penyediakan pintu ijin pertambangan khsus bagi pihak-pihak yang diangap pemerintah harus diberi kehususan. Misalnya, “pertambang milik oligarki penguasa sendiri, teman-temannya penguasa sendiri, atau asing yang biasanya selalu dihkususkan oleh penguasa”. Ketentuan mengenai masalah ini termuat dalam pasal 36 ayat (1) “kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan pertambangan khusus terdiri atas dua tahap kegiatan, yaitu eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Berikutnya adalah operasi produksi, yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta reklamasi dan pasca tambang. Sedangkan ayat (2)​RUU ini menyatakan “pelaku usaha yang memenuhi perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara”. Pada ayat (3) berbunyi “pelayanan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah. Ketiga, melepaskan kewajiban perusahaan pertambangan batubara dari kegiatan pengolahan di dalam negeri. Selama ini kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri dianggap telah menghambat ijin, ekspor, dan lain sebagainya. Maksud ini termuat dalam RUU ini pasal 102 ayat (1), yaitu “pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau Batubara melalui a). pengolahan dan Pemurnian Mineral logam, b). pengolahan mineral bukan logam, c). pengolahan batuan, dan/atau d). pengembangan dan pemanfatan batubara”. Sementara pada (2) menyatakan “pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri”. Keempat, pemberian hak lebih luas kepada pemegang ijin pertambangan khsus untuk bermitra dengan yang tidak khusus. Jadi, dengan demikian ijin bersifat kusus, namun pemanfaatan bahan tambangnya bersifat umum atau seperti pertambangan lainnya. Maksud ini termuat dalam pasal 104 yakni (1) RUU ini adalah Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan, dan kegiatan usaha pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengolahan dan/atau pemurnian dengan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengolahan dan/atau pemurnian. Pada ayat (2) menyatakan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengembangan pemanfaatan batubara dengan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengembangan dan pemanfaatan batubara. Kelima, pemberian fasilitas tambahan kepada perusahaan tambang batubara berupa pembebasan kewajiban royalty menjadi nol persen (0%). Padahal selama ini royalty pertambangan batubara hanyalah secuil dibandingkan dengan nilai batubara yang dikeruk dari bumi Indonesia. Maksud ini tertuang dalam Pasal 128 dan 129. Yang disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 128A yang berbunyi sebagai berikut (1) pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan b/JHC batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128. Sementara pada ayat (2) ​pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalty sebesar 0%. Keenam, memberikan hak perpanjangan otomatis kepada perusahaan yang berakhir masa kontraknya, tanpa melalui lelang. Ketentuan ini dipastikan berkaitan dengan tambang batubara raksasa yang akan berakhir masa kontraknya sampai dengan tahun dalam tahun 2020-2021. Maksud ini termuat didalam Pasal 169 dan Pasal 170. Juga disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 169A pada ayat 91) yang berbunyi “Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara: a). yang belum memperoleh perpanjangan, dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara”. Sedangkan pada huruf berikutnya b). menyatakan “yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara”. Jadi luar biasa hasil pemilihan presiden langsung di Indonesia kakli ini. Telah mengasilkan politik balas jasa dari para penyelenggara negara kepada para bandar yang menjadikan mereka sebagai pejabat negara, dan menjadi orang hebat. Ini sungguh pengabdian para pejabat negara ini kepada para taipan yang mengkhianati amanat Pancasila dan UUD 1945. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (EPI)

Jokowi Siapkan Ahok Jadi Presiden?

Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. By Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahok, manusia satu ini gak ada matinya. Didemo tujuh hingga belasan juta orang, jatuh. Kalah di pilgub DKI dan dipenjara dua tahun. Keluarganya pun ikut berantakan. Keluar dari penjara, Ahok bangkit kembali. Kali ini jadi komisaris utama (komut) PT. Pertamina. BUMN yang aduhai duitnya. Protes dimana-dimana, Jokowi hitung. Ternyata hanya riak, bukan gelombang. Tak berbahaya. Rencana jalan terus. Rupanya, Jokowi punya keyakinan sendiri tentang Ahok. Keyakinan atau rencana? Itu yang sedang dalam banyak pengamatan. Rakyat membaca keyakinan atau rencana Jokowi itu. Kemana arah manuver Jokowi ini nantinya. Yang pasti, Ahok sudah menjadi komut PT. Pertamina. Ini tanda bahwa Ahok punya kesempatan untuk bangkit kembali. Tepatnya, dibangkitkan lagi oleh Jokowi. Belum tampak hasil kinerjanya sebagai komut di PT. Pertamina. Jokowi sebut-sebut Ahok akan jadi calon kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Sepertinya Ahok adalah calon terkuat. Meski ada nama Bambang Bridjonegoro, Abdullah Azwar Anas dan Tumiyana. Tiga nama yang disebut belakangan boleh jadi sekedar cadangan. Cadangan hanya akan dipakai jika Ahok gagal. Berpotensi gagal jika protes terhadap Ahok membesar jadi gelombang. Selama protes terhadap Ahok tak masif, apalagi hanya riak-riak kecil di medsos, atau paling banter di acara ILC, peluang Ahok jadi kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru sangat besar. Protes tidak massif, artinya tak bakal membahayakan terhadap posisi Jokowi. Sebaliknya, jika protes mulai membahayakan, mungkin Jokowi akan berhitung lagi. Ahok bisa ditarik mundur selangkah. Seandainya pun Ahok gagal sebagai kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, tak lantas karir Ahok berhenti di PT. Pertamina. Masih akan ada posisi-posisi strategis yang disiapkan untuk Ahok ke depan. Tentu, sebelum Jokowi turun dari kursi presiden. Jabatan komut PT. Pertamina diduga oleh banyak pengamat hanya sebagai batu loncatan untuk Ahok reborn. Analisis ini seolah mendapat pembenaran ketika Jokowi mengumumkan Ahok sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Clear! Tak lama setelah nama Ahok disebut sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, lagi-lagi Jokowi membuat sebuah pernyataan mengejutkan. "Tidak masalah presiden Indonesia itu non-muslim". Publik ramai. Jokowi dianggap seolah-olah telah menyiapkan perahu politik untuk Ahok yang notabene non-muslim sebagai capres 2024. Analisis ini masuk akal mengingat belum ada nama kandidat yang potensial di luar Anies Baswedan. Survei elektabitas Tito Karnavian, orang dekat Jokowi, masih sangat rendah. Sementara Puan Maharani, Ganjar Pranowo dan Risma, selain masih sangat rendah, juga bukan calon Jokowi. Tiga kader PDIP itu milik Megawati. Kecil kemungkinan Jokowi berpatner dengan Megawati di pilpres 2024. Gabung dengan Mega, Jokowi pasca pensiun hanya akan jadi anggota biasa di PDIP. No pengaruh. Apalagi selama menjadi presiden, kabarnya Jokowi telah banyak mengecewakan Megawati. Maka, akan jauh lebih strategis jika Jokowi punya calon sendiri. Untuk sementara, hanya Ahok dan Tito Karnavian yang bisa dimainkan oleh Jokowi sebagai jagoannya. Jika kedua tokoh ini pun gagal dibranding, mendukung Anies bagi Jokowi jauh lebih rasional dari pada bergabung dengan Megawati. Ketika Jokowi bilang bahwa calon presiden boleh non-muslim, tentu sebagai presiden, Jokowi tak asal bicara. Soal langkah politik, Jokowi sangat terukur. Boleh orang meemehkan, tapi dua periode menjadi presiden bukan perkara mudah. Butuh kemampuan berpolitik kelas tinggi. Jadi, ucapan Jokowi bahwa presiden boleh non-muslim tentu punya arah. Ucapan Jokowi tersebut tidak keluar di ruang hampa. Artinya, bukan omong kosong. Komut PT. Pertamina, lanjut kepala Otorita Ibu Kota Baru, lalu nyapres adalah proses branding. Ahok sendiri baru-baru ini juga pernah menyatakan bahwa dia bisa jadi presiden. Bagaimana dengan aturan perundang-undangan? Semua bisa dirubah dan dikondisikan. Parlemen saat ini ada di genggaman Jokowi. Persoalan sesunghuhnya bukan di aturan, tapi begaimana hasil survei elektabilitas Ahok. Itulah yang akan jadi variabel untuk menentukan. Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. Secara obyektif, berbasis pada pertama, analisis pilgub DKI 2017. Kedua, melihat psikologi dan karakter rakyat Indonesia, maka rivalitas Anies vs Ahok di pilpres 2024 tidak hanya akan membuat benturan social. Lebih dari itu akan berpotensi terjadinya perang saudara. Tentu, ini adalah prediksi. Bagi kelompok tertentu, Ahok dianggap ancaman. Tidak saja terhadap agama Islam yang dipeluk mayoritas rakyat, tetapi juga bangsa dan negara. Ini sebuah analisis yang baik, sekiranya disurvei datanya di lapangan. Bukan hanya survei elektabilitas berbasis kuantitatif, tetapi juga survei etnografis untuk membaca potensi konflik jika Ahok dipaksakan untuk nyapres. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Produksi Blok Rokan Turun, SKK Migas Bertanggungjawab?

By Marwan Batubara Jakarta FNN - Pengelolaan Blok Rokan akan beralih ke Pertamina pada Agustus 2021. Sebelumnya dikuasai oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) lebih dari setengah abad. Blok Rokan adalah penghasil minyak terbesar Indonesia. Puncak produksi sekitar satu juta barel per hari (bph) pada 1980-an. Saat ini, produksi Blok Rokan hanya sekitar 160.000-an bph. Blok Rokan hanya berpotensi menghasilkan minyak sekitar 140.000-an bph pada 2021. Penurunan produksi tersebut sebagai akibat kelalaian dan pelanggaran peraturan oleh CPI dan pemerintah, terutama SKK Migas. Dalam kondisi produksi migas nasional yang terus menurun pada 6-7 tahun terakhir, Indonesia harus mengimpor minyak (BBM) lebih banyak dari yang mampu diproduksi. Saat harga minyak dunia naik, meningkatnya impor minyak berdampak pada naiknya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (current account deficit). Itu sebabnya Presiden Jokowi sangat concern dan berulang-ulang mengingatkan isu defisit kepada jajaran kabinetnya dalam dua tahun terakhir. Saat ini masalah defisit sedikit tertolong karena turunnya harga minyak dunia akibat membanjirnya supply dan melemahnya demand. Akibat lain karena merebaknya wabah Covid-19. Namun jika penurunan kuota produksi minyak OPEC dan Rusia akhirnya disepkati (Jumat 6/3/2020 kesepakatan gagal tercapai), maka harga minyak dapat kembali pulih. Bagi Indonesia, pulihnya harga minya akan menjadi runyam. Sebagai akibat terus turunnya produksi minyak, termasuk dari Blok Rokan. Apalagi jika nilai tukar dollar terus menguat terhadap rupiah. Khusus untuk Blok Rokan, siapa pihak yang pantas dituntut untuk bertanggungjawab? Sebaiknya, mari kita telusuri dan teliti bersama. Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR (20/1/2020), Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak menerangkan bahwa CPI sudah tidak melakukan pengeboran lagi di Blok Rokan sejak 2019. Karena menilai investasinya tidak lagi ekonomis. Untuk mempertahankan tingkat produksi, Albert mengatakan ada tiga opsi yang dapat diambil. Opsi Pertama, CPI yang mendanai dan membor. Opsi Kedua, CPI yang membor dan Pertamina yang mendanai. Opsi Ketiga, Pertamina yang membor dan mendanai. Namun opsi pertama sudah tidak berlaku lagi. CPI telah menghentikan investasi, karena menganggap tidak lagi ekonomis. Saat RDP tersebut, Albert mengaku telah melakukan proses rencana alih kelola Blok Rokan di bawah koordinasi SKK Migas. Untuk itu, telah dibentuk tim koordinasi. Diakui bahwa proses tersebut sudah memiliki jadwal yang disepakati, dan berjalan dengan baik. Namun ternyata hingga saat ini, ketiga opsi semuanya belum ada yang terlaksana. Berkaitan dengan itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan (26/1/2020), pemerintah terus mendorong proses transisi di Blok Rokan. Harapannya, dapat berjalan mulus supaya Pertamina segera berinvestasi, sehingga penurunan laju produksi di Blok Rokan dapat ditekan. Guna mengantisipasi dan menjamin tingkat produksi terjaga, pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No.26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 2 Permen tersebut menyatakan: Pertama, kontraktor wajib menjaga kewajaran tingkat produksi migas sampai berakhirnya masa Kontrak Kerja Sama (KKS). Kedua, dalam rangka menjaga tingkat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kontraktor wajib melakukan investasi pada wilayah kerjanya. Selain itu, Permen ESDM No.26/2017 lebih telah direvisi dengan terbitnya Permen ESDM No.24/2018 yang menjamin pengembalian investasi CPI segera dibayar Pertamina sebelum KKS berkahir. Pasal 8 Permen ESDM No.24/2018 antara lain menyatakan bahwa Kontraktor baru (maksudnya Pertamina) wajib melakukan penyelesaian atas nilai pengembalian biaya investasi yang dikeluarkan CPI paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum penandatanganan KKS oleh Pertamina. Hingga saat ini kesepakatan antara CPI dan Pertamina belum juga tercapai. Akibatnya, produksi minyak berpotensi terus turun. Dalam hal ini, kita pantas mempertanyakan atau menggugat CPI dan SKK Migas bertanggungjawab atas potensi kegagalan lifting. Terkait CPI, pertama dinyatakan pada RDP Komisi VII DPR bahwa CPI siap bekerjasama dengan SKK Migas dan Pertamina untuk menciptakan alih kelola yang lancar. Namun, pada prakteknya, CPI tampaknya justru bersikap tidak kooperatif. Kedua, CPI dapat dianggap membuat pernyataan yang tidak benar di hadapan DPR. CPI menyebutkan bahwa investasi di Rokan sudah tidak ekonomis, sehingga CPI tidak melakukan pengeboran. Namun saat yang sama CPI menghalangi Pertamina menjalankan opsi ketiga, di mana Pertamina yang melakukan pemboran sekaligus berinvestasi, dengan berbagai alasan yang lebih bersifat administratif. Ketiga, CPI telah sengaja mengabaikan kewajiban, serta melecehkan peraturan dan kedaulatan negara dengan melanggar pasal 2 Permen ESDM No.26/2017. Peraturan tersebut mewajibkan Kontraktor KKS melakukan investasi guna menjaga tingkat produksi, karena pada prinsipnya seluruh investasi yang dilakukan akan segera dibayarkan kembali oleh Pertamina sebelum KKS berakhir, sebagaiman diatur dalam pasal 8 Permen ESDM No.24/2018. Keempat, terkait dengan butir ketiga, pada prakteknya CPI mengakui telah menghentikan pemboran sejak 2019. Dalam hal ini, rencana tersebut mestinya telah termuat dalam Work Program & Budget (WP & B) yang disepakati dengan SKK Migas pada akhir 2018 atau awal 2019. Dengan kondisi seperti ini, tampak bahwa sebelum negosiasi alih-kelola berlangsung. CPI telah menunujukkan iktikad tidak baik tanpa peduli kepentingan nasional untuk mempertahankan produksi melalui pengelolaan Blok Rokan yang optimal. Terkait dengan SKK Migas, kita perlu mengungkap dan menggugat berbagai kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan. SKK Migas dapat dicurigai bernuansa moral hazard dalam pengelolaan Blok Rokan. Pertama, SKK Migas telah lalai menjalankan tugas dan fungsi sesuai Permen ESDM No.17/2017, yang antara lain memberikan persetujuan rencana WP&B, serta memonitor dan melaporkan pelaksanaan KKS kepada Dewan Pengawas, agar lifting tetap terjaga. Kedua, terkait dengan butir pertama, sesuai Perpres No.9/2013, Menteri ESDM sebagai Kepala Dewan Pengawas SKK Migas juga dituntut ikut bertanggungjawab atas penurunan lifting tersebut. Karena membiarkan sikap tidak kooperatif CPI dan kelalaian SKK Migas mengendalikan pelaksanaan KKS dan WP & B Blok Rokan. Menteri ESDM Arifin Tasrif (dan yang sebelumnya Ignatius Jonan) tidak cukup hanya bersikap “mendorong” penyelesaian proses alih-kelola, tanpa menggunakan kekuasaan untuk memaksa dijalankannya peraturan. Ketiga, sebagai pengawas pelaksanaan WP & B berdasarkan SK Kepala SKK Migas No.0154/SKKO/2015 tentang Pedoman Tata Kerja WP&B, SKK Migas telah lalai atau sengaja membiarkan CPI tidak melakukan pemboran pada 2019, sehingga lifting terancam. Ada dua kemungkinan sebagai sumber masalah. Pertama, SKK Migas membiarkan CPI yang sejak semula tidak merencanakan pemboran pada 2019, tanpa memaksa untuk melakukan revisi WP & B sesuai ketentuan PTK No.0154/2015. Kedua, SKK Migas membiarkan saja CPI tidak merealisasikan pemboran meskipun pada awalnya CPI telah membuat rencana dalam WP & B. Keempat, berangkat dari pengalaman alih kelola Blok WMO dan Mahakam, tanpa adanya peraturan pendukung dan peran aktif SKK/BP Migas, maka lifting migas telah menurun drastis saat pengelolaan berpindah tangan. Untuk kasus Blok Rokan, peraturan pendukung telah tersedia, yakni Permen ESDM No.26/2017 dan No.24/2018. Namun, karena ketidakpedulian SKK Migas, yang seharusnya berperan aktif dan antisipatif, malah terkesan enggan melakukan koreksi. Dengan demikian, penurunan produksi seperti kasus WMO dan Mahakam akan kembali terulang. Uraian di atas menunjukkan mengapa dan siapa yang telah bersikap abai atau melanggar aturan? Dampaknya, tingkat produksi Blok Rokan akhirnya menurun lebih cepat dari tingkat penurunan alaminya (karena telah berumur tua). CPI sebagai Kontraktor jelas telah menyatakan sikap tidak berminat berinvestasi karena hal itu sudah tidak ekonomis. Namun CPI tidak pantas berbuat sesuka hati, karena ada peraturan yang membatasi. Masalahnya, SKK Migas yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian. Setelah itu menjamin dilaksanakannya seluruh peraturan oleh Kontraktor KKS. Namun pada prakteknya pun ikut-ikutan tidak peduli atau membiarkan pelanggaran terjadi. IRESS ikut terlibat aktif bersama Serikat Pekerja dan berbagai elemen masayarakat guna mengadvokasi agar Blok WMO dan Blok Mahakam dikelola BUMN. Saat itu barisan rakyat justru berhadapan dengan Kementerian ESDM dan/atau BP/SKK Migas yang memihak asing. Untuk Blok Rokan, memang keputusan pengelolaan oleh Pertamina telah ditetapkan pada Juli 2018. Meskipun untuk hak yang dijamin konstitusi tersebut, Pertamina harus membayar sekitar Rp 11 triliun. Namun, untuk proses alih kelola yang smooth tampak SKK belum bekerja optimal dan terkesan “lebih dekat” dengan CPI. Semoga saja kesan IRESS di atas salah. Walau indikasi kedekatan tersebut cukup terasa. Sekarang, terserah Presiden Jokowi. Apakah akan bersikap konsisten dengan kebijakan dan program untuk menekan defisit melalui peningkatan lifting migas, terutama menahan laju penurunan lifting Blok Rokan. Bisa juga sabliknya, membiarkan SKK Migas dan CPI mengulur-ulur waktu, entah untuk kepentingan apa? Namun rakyat tidak butuh retorika. Apalagi sandiwara yang melecehkan akal sehat dan dapat dicurigai bernuansa moral hazard. Penulis adalah Managing Director IRESS

RUU Omnibus Cipta Kerja VS Pancasila, “Dimana BPIP Ngumpet?”

By Margarito Kamis Jakarta FNN - Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP), entah apa penyebabnya, sejauh ini tidak mendatangi rakyat Indonesia dengan pikiran-pikiran mereka tentang artikulasi Pancasila dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Padahal dalam kenyataannya, RUU multispektrum ini, telah menarik begitu banyak pikiran kritis. Langgamnya jelas, kelak bila diterima jadi UU, diyakini bakal menyengsarakan. Bukan bakal menyenangkan rakyat. Menariknya, BPIP telah begitu bergairah memasuki panggung bernegara dengan serangkaian gagasan. Setidaknya pikiran-pikiran kritisnya. Itu terlihat di pekan-pekan sebelumnya. Jadilah pekan-pekan itu sebagai pekan yang gaduh. Gaduh karena pikiran-pikiran yang terlontar, terlihat tidak terkerangkakan secara konseptual. Tetapi apapun itu, soalnya sekarang adalah mengapa BPIP diam dalam isu RUU Cipta Kerja ini? Apa karena kegaduhan yang melilit BPIP beberapa waktu lalu itu menjadi penyebab terbesarnya? Apakah BPIP memandang Pancasila hanya relefan dibicarakan, sejauh menyangkut tindak-tanduk sebagian atau seluruh ummat Islam? Apa Pancasila hanya dibicarakan dalam konteks radikalisme, intoleransi dan sejenisnya yang diasosiasikan secara signifikan pada Ummat Islam? Apa Pancasila hanya relefan dibicarakan untuk memastikan integrasi sosial ditengah pluralisme? Bila hanya itu relefansinya, apakah BPIP hendak mereduksi level Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, filsafat berbangsa dan bernegara? Sebagai dasar negara, sebagai filsafat bernegara dan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa direduksi sekadar sebagai timbangan terhadap tindak-tanduk sosial dan kultural individu atau kelompok. Tidak bisa. BPIP, layak dibayangkan, harus memasuki isu hukum. Beralasan BPIP menakar setiap RUU. Bukan hanya RUU ini, tetapi juga UU lain dengan Pancasila. Dalam konteks itu, BPIP perlu berurusan dengan teknis penalaran hukum atas teks dalam pasal, ayat dan huruf RUU atau UU. BPIP perlu menakar level nilainya, level meta yuridisnya dan konsekuensi-konsekuensi implisitnya. Khusus meta yuridis, harus dikatakan dimanapun, selalu bertalian dengan nilai-nilai fundamental. Bukan pasal demi pasal atau UU itu saja, melainkan juga pandangan hidup sebuah bangsa di balik pasal-pasal tersebut. Pancasila dengan kelima silanya itu harus. Dengan demikian, diterima tanpa reserve sebagai genus nilai dalam pembentukan hukum. Pada konteks itu, BPIP layak mendemonstrasikan pikiran-pikiran brilian megenai derajat nilai kemanusiaan dalam pasal demi pasal RUU ini. BPIP mesti dapat memastikan bahwa kemanusiaan yang dikonsepkan RUU ini senafas dengan nilai kemanusiaan yang terkonsep dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab. Menciptakan lapangan kerja, yang secara konstitusional tertakdir sebagai kewajiban pemerintah. Sepintas terlihat hebat. Tetapi tidak cukup hanya sampai disitu. Mengapa? Pancasila mengharuskan lapangan kerja yang tercipta itu menjadi sarana idiologis untuk “mengadabkan” manusia Indonesia. Poin idiologisnya adalah lapangan kerja yang diciptakan itu harus membuat pekerja mampu menghasilkan kehidupan yang adil, beradab dan bermartabat. Rasanya agar konsep kemanusiaan yang adil dan beradab itu teralisasikan, bukan didengungkan begitu saja oleh BPIP. Untuk itu, BPIP harus memiliki kriteria idiologis tentang, misalnya konsep kerja yang menurut satuan waktu. Konsep kerja satuan waktu ini terlihat dari rumusan waktu kerja, seminggu sekian jam atau sehari sekian jam. Konsep itu melahirkan konsekuensi kerja “jam-jaman.” Hebat bila BPIP dapat memproyeksikan konsekuensi legal dan teknisnya. Konsekuensi teknis legal yang saat ini dapat dibayangkan adalah korporasi dapat secara bebas dan leluasa menggunakan pasal “bekerja berdasarkan jam-jaman.” Ini masalahnya. Apakah konsep ini senafas dengan kriteria idiologis Pancasila? Apakah BPIP memiliki criteria itu? Yang saya maksudkan dengan kriteria idiologis adalah konsep itu harus menghasilkan kepastian bagi setiap pekerja merencanakan kehidupannya. Dengan merencanakan kehidupan masa depannya, maka mereka dapat hidup dengan level martabat dan adab yang diimpikan Pancasila. Masalahnya, apakah BPIP memiliki kriteria dan penalaran yang khas tentang itu? BPIP, mesti mempertimbangkan apakah logis “bekerja jam-jaman”? Tetapi kepada pekerja tidak diberikan, misalnya hak pensiun atau pesangon? Andai dianggap logis. Tidak diberi hak pensiun atau pesangon, karena sifat kerjanya adalah yang jam-jaman. Bukan bekerja secara permanen, maka soal idiologis segera muncul. Apa itu soalnya? Soalnya adalah beradabkah membangun sistem kerja yang tidak berkepastian bagi pekerja? Beradabkah menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang memasukinya, tetapi tidak memilki dasar untuk membayangkan, apalagi merencanakan kehidupan masa depannya? Konseptualisasi kerja jam-jaman, harus diakui, telah menjadi hal biasa dalam tatanan kerja universal. Terlihat jelas pola itu disajikan sebagai salah satu cara paling tepat dan unggul. Yang memungkinkan sebagian negara, terutama liberal ke level ekonomi hebat. Liberalisasi tenaga kerja asing terlihat biasa saja dalam konteks ini. Korporasi, asing maupun dalam negeri, akan menerima sistem ini sebagai sistem yang hebat. Mereka terbebas dari berbagai kewajiban yang selama ini teridentifikasi memberatkan. Masalahnya, pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945 menggariskan prinsip khusus yang harus dituruti oleh pemerintah. Pasal 27 mengharuskan pemerintah menomorsatukan Warga Negara Indonesia. Menyediakan mereka pekerjaan yang layak bagi perikemananusiaan dan perikeadilan. Perikemanusiaan dan perikeadilan yang dibayangkan sebagai cara menghasilkan kehidupan yang beradab dan bermartabat. BPIP harus dapat memastikan bahwa pemerintah merealisasikannya. Tidak itu saja. BPIP harus pada setiap saat memastikan pemerintah membangun sistem ekonomi yang selaras dengan konsep kekeluargaan, ya "gotong royong". Tidak yang lain. Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas dalam soal itu. Pasal ini juga jelas membebani pemerintah dengan kewajiban menciptakan sistem ekonomi yang tidak merusak lingkungan sekitar, termasuk tidak merusak masyarakatnya. Lebih jauh menurut pasal 33 UUD 1945, juga mengharuskan pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efisien. Tetapi efisiensi yang digariskan pasal 33 UUD 1945 adalah efisiensi yang tidak “memberangus” nilai keadilan. Efisiensi tipikal ini tidak memiliki makna lain selain “efisiensi” yang menghidupkan perikemanusiaan. Praktis ini eifisiensi berkarakter idiologi Pancasila. Efisiensi jenis itu jelas bukan efisiensi liberal. Bukan juga efisiensi klasik maupun modern, yang bertumpu pada kebebasan berkontrak. Konsep kekebasan berkontrak, khas liberal, klasik maupun modern bertumpu pada otonomi individu. Dalam konsep ini, otonomi individu tertakdir menjadi genusnya dan kekebasan berkontrak menjadi sui generisnya sendiri, dan hanya itu dalam karakter ikutannya. Ini bukan pola hubungan hukum hubungan kerja khas yang dikehendaki oleh pasal 33 UUD 1945. Bila BPIP memiliki kehendak memasuki isu hukum, maka menarik menantikan bagaimana BPIP menjelaskan dengan langgam kongklusif nama RUU ini. Namanya RUU Cipta Kerja, tetapi isinya mencakup berbagai isu. Itukah yang menjadi soal? Tidak. Yang menjadi soal adalah bagaimana BPIP menjelaskan genus RUU ini, dan sui generisnya. Sesuai namanya, maka cipta kerja harus dianggap dan diterima sebagai genus RUU ini. Tetapi mengapa terdapat pengaturan mengenai investasi, izin dan lain sebagainya ikut menjadi materi muatan yang bersifat integral dalam RUU ini? Apakah pemerintah menggunakan penalaran berdasarkan genus proximum et diferentiam spesificam? Terus terang nalar ini cukup sulit diterapkan dalam RUU ini. Mengapa? Izin lingkungan, Amdal, dan sertifikasi halal misalnya, jelas bukan satu bentuk terdekat sui negeris. Bukan pula “diferentiam spesificam” pada konsep cipta kerja. Sungguh terlihat banyak kekaburan penalaran menyertai RUU ini. Soal ini logis dibayangkan sebagai masalah dasar RUU ini. Mengapa? RUU ini, kelak setelah menjadi UU tidak bakal menghasilkan kepastian hukum. Padahal kepastian hukum menjadi jantung dari hukum. Watak objektif dari hukum terletak ada kepastian hukum. Sekali watak ini hilang, maka yang muncul adalah tindakan sewenang-wenang. BPIP pada titik itu, logis untuk memasuki isu ini. Tentu saja dengan menggunakan atau menyodorkan pertimbangan dan penalaran idiologis yang berbasis Pancasila. Pancasila yang tidak mungkin memberi toleransi pada kesewenang-wenangan. Pasti itu tidak mungkin. Tetapi kesewenang-wenangan itu sangat mungkin bisa terjadi, karena kekaburan konsep dasar dari RUU ini. BPIP mau tidak mau harus menemukan cara. BPIP harus keluar untuk menyelaraskan RUU ini, khususnya materi muatan dalam pasal, ayat dan huruf, dengan nilai-nilai kebesaran Pancasila. BPIP tidak boleh hanya jago dalam berwacana sekitar radikalisme dan intoleransi. BPIP harus mengerti lebih dari siapapun di Indonesia bahwa UU merupakan cara sebuah bangsa menciptakan tatanan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya ada hak dan kewajiban yang menemukan bentuknya yang kongkrit. Akhirnya mari menantikan pikiran-pikiran BPIP tentang Pancasila yang terkait dengan RUU ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Periodesasi Jabatan Hakim, Logika Menyesatkan Atas Kekuasaan Kehakiman

Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. By Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Jabatan hakim adalah suatu jabatan yang dijamin kebebasan dan kemerdekaannya. Hakim yang harus bebas itum baik di dalam konstitusi maupun prinsip- prinsip universal kekuasaan kehakiman. Article A.1-A.2 International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence,1982, menyebutkan bahwa, “hakim harus mendapatkan independensi personal dan independensi substantif." Independensi personal, mengartikan bahwa syarat dan kondisi pelayanan peradilan dijamin secara memadai. Harus dipastikan bahwa hakim tidak tunduk pada kontrol eksekutif. Sedangkan Independensi substantif, mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi yudisialnya, hakim tidak tunduk pada tekanan apapun selain hukum dan hati nuraninya. Untuk itu, kekuasaan kehakiman secara keseluruhan harus mendapatkan otonomi dan independensi. Berkaitan dengan itu, patut dipertanyakan apa rasio legis yang digunakan oleh pihak yang mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, terkait dengan masa jabatan hakim Agung? Logika yang dibangun oleh pihak yang mengajukan JR terhadap UU Mahkamah Agung adalah sebuah logika yang sangat dangkal dan minim landasan filosofis. Logika yang dibangun tak lain hanya bersandarkan kepada kepentingan praktis semata. Apalagi dengan membandingkan jabatan hakim dengan jabatan yang lain, seperti jabatan Presiden dan Jabatan Wakil Presiden, yang dipilih lima tahun sekali. Sangat dangkal sekali. Setelah itu, Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali dalam periode berikutnya, untuk jangka waktu lima tahun. Tanpa melihat pada apa karakter dan jenis kewenangan yang melekat pada kekuasaan kehakiman tersebut. Membandingkan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden dengan kekuasan kehakiman adalah penyesatan yang mengada-ada. Jika dibandingkan dengan kekuasaan lain, seperti Presiden dan DPR. Secara esensial, masing-masing jabatan memiliki karakter yang berbeda-beda. Dari sisi fungsi dan kewenanganya, juga masing-masing berbeda. Tidak dapat disamakan, atau dicoba untuk disamakan. Demikian juga dengan cara pengisian jabatan terkait kekuasaan kehakiman. Berbeda dengan cara pengisian jabatan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, Begitu juga dengan kekuasaan DPR. Kekuasaan Kehakiman adalah suatu kekuasaan yang dikonstruksikan sebagai kekuasaan yang merdeka. Yang terbebas dari segala bentuk intervensi dan campur tangan kekuasaan lain. Oleh karena itu, di Amerika Serikat misalnya, masa jabatan Hakim Agung itu seumur hidup. Setelah ditetapkan atau dipilih oleh Kongres, Hakim Agung dapat menjalankan tugas dan kewenangannya selama seumur hidup. Kewenangan ini diberikan, agar Hakim Agung yang terpilih tidak terikat atau tergantung dengan kepentingan politik apapun. Pada tahun 1953, ada usaha untuk mengubah masa jabatan Hakim Agung, termasuk hakim Negara Federal. Dari sebelumnya dari seumur hidup, menjadi usia 75 tahun melalui amandement Konstitusi Amerika Serikat. Usul ini diajukan oleh American Bar Association yang diterima oleh Senat tahun 1954. Akan tetapi upaya ini kemudian ditolak oleh Hose Representative, sehingga upaya amandement untuk mengurangi masa pensiun Hakim Agung itupun tidak berhasil. Upaya pembatasan masa jabatan Hakim Agung ini ditolak. Penolakan semata-mata untuk menjaga agar independensi keluasaan kehakiman tetap terjaga. Para hakim terbebas dari tekanan politik. Para hakim juga harus bebas dalam menguji undang-undang sebagai produk Kongres dan tindakan-tindakn kekuasaan Eksekutif yang bertentangan dengan Kinstitusi. Sudah dapat dipastikan jika saja hakim agung diseleksi setiap lima tahun sekali, maka sangat rawan dan rentan akan intervensi politik. Hakim Agung yang diseleksi sangat memiliki ketergantungan secara politik dengan kekuasaan maupun partai-partai politik yang ada di DPR. Jika kondisi ini yang terjadi, maka para hakim tidak bebas dan tidak mandiri dalm menjalankan kekuasaan kehakiman. Dapat dikatakan bahwa kekuasan yudikatif terbelenggu oleh kekuatan dan tekanan politik dari kekuasan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. Pada kondisi semacam inilah, sangat dikhawatirkan akan terjadi penyalagunaan kewenangan. Korupsi bisa terjadi di setiap sektor pelayanan publik. Bahkan tindakan-tindakan zolim bisa saja terjadi setiap saat kepada masyarakat. Jaminan akan kepastian hukum dan keadilan bagi warga masyarakat pencari keadilan tak kunjung diperoleh akibat lemahnya kekuasaan kehakiman. Sekali lagi, patut diduga bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki, agar pelaksanaan fungsi checks and balances system antar pelaksana kekuasaan dalam mengontrol jalannya pemerintahan tidak berjalan normal sebagaimana mestinya. Penulis adalah Dosen Fakuktas Hukum Universitas Nasional Jakarta