NASIONAL

Langgar Hukum, Dana Hibah KONI Dibuat Kontrak Pemain!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Berdasar jejak digital yang ditulis Kompas.com (11/02/2016, 20:07 WIB), terungkap adanya praktek “kontrak atlet” antar provinsi dalam gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, September 2016. Atlet renang nasional, Indra Gunawan mengaku masih menunggu dana yang akan digunakan untuk latihan dan persiapan menjelang membela kontingan Jawa Timur di arena PON 2016, September 2016. Indra Gunawan, 31 tahun, yang saat itu bermukim dan berlatih di Bali mengaku mengalami kendala dana untuk berlatih secara maksimal. “Dana untuk suplemen, try out, training camp, dan juga peralatan tak pernah turun hingga saat ini,” kata Indra yang dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto. Ia menyebut, bahkan untuk melakukan tes fisik di Surabaya pun, Januari 2016, Indra tak bisa datang karena terkendala dana. “Pemberitahuan terlalu mepet, sehari sebelumnya. Belum lagi ada kendala dana,” ungkap Indra. Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas untuk nomor 50 meter gaya dada. Indra yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara mengaku tidak bermasalah dengan gaji bulanan dari KONI Jawa Timur. “Meski waktunya tidak teratur, namun gaji bulanan selalu saya terima,” kata ayah dua anak ini. Berita yang ditulis Kompas.com itu merupakan salah satu petunjuk adanya praktek Kontrak Atlet antar provinsi. Yang banyak Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Untuk mengambil atlet angkat besi, Eko Yuli Wirawan misalnya, Jatim mesti membayar Kaltim dengan mahar Rp 300 juta. Nominal berkisar Rp 200 juta hingga Rp 500 juta juga dikeluarkan untuk 15 atlet lain yang pindah ke Jatim. Melansir Tirto.id (23 September 2016), diantara mereka ada lima atlet boling dari Jabar, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper. Jatim juga telah berhasil membajak perenang pelatnas, Ressa Kania Dewi dan Glen Victor Susanto. Kabarnya mahar dua atlet ini di atas Rp 600 juta. Untuk melobi perenang andalan Jabar lain, Triady Fauzi Sidiq, Jatim bahkan sempat menego Rp 780 juta. Namun, tawaran itu ditolak oleh KONI Jabar. Semakin besar prestasi dan potensi si atlet mendapat medali maka semakin juga mahal “uang pembinaannya”. Kegilaan tawaran mutasi atlet memang sudah kelewat batas. Pecatur andalan Jabar, Irene Kharisma Sukandar bahkan sempat “dibeli” Jatim Rp 1 miliar pada 2013. Surat kontrak antara Irene dan KONI Jatim sudah dibuat. Tapi, transaksi ini gagal karena Jabar menang saat proses gugatan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI). Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain. Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkedok permainan kontrak pemain. Kabarnya, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar fee transfer dan kontrak pemain. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet! Langgar Hukum! Coba kita simak Pasal 9 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahgaraan Nasional, Bagian Kedua mengenai Alokasi Pendanaan. Pasal 9 (1)Dana yang diperoleh dari sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat dialokasikan untuk penyelenggaraan keolahragaan yang meliputi: a.olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi; b.pembinaan dan pengembangan olahraga; c.pengelolaan keolahragaan; d.pekan dan kejuaraan olahraga; e.pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga; f.peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; g.pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; h.pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan; i.pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan; j.pembinaan dan pengembangan industri olahraga; k.standardisasi, akreditasi dan sertifikasi; l.pencegahan dan pengawasan doping; m.pemberian penghargaan; n.pelaksanaan pengawasan; dan o.pengembangan, pengawasan, serta pengelolaan olahraga profesional. (2)Tata cara penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya kita simak juga PP Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan, Bab XII mengenai Pendanaan Keolahragaan. Pasal 69 (1)Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2)Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 70 (1)Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan. (2)Sumber pendanaan keolahragaan dapat diperoleh dari: a.masyarakat melalui berbagai kegiatan berdasarkan ketentuan yang berlaku; b.kerja sama yang saling menguntungkan; c.bantuan luar negeri yang tidak mengikat; d.hasil usaha industri olahraga; dan/atau e.sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 71 (1)Pengelolaan dana keolahragaan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2)Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 71 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov untuk KONI Provinsi. Kabarnya, ini terjadi di ketiga provinsi yang disebut di atas tadi. Dari jejak digital pula diketahui, Pemprov Jatim mengucurkan anggaran Rp 208 miliar untuk KONI Jatim pada 2015. Jumlah itu meningkat tajam jika dibandingkan pada 2014 yang hanya Rp 120 miliar. Seperti dilansir Bhirawa.com, Senin (2/2/2015), menurut Ketua Umum KONI Jatim Erlangga Satriagung, anggaran dari Pemprov Jatim meningkat karena KONI Jatim memiliki sejumlah angenda yang membutuhkan uang cukup besar. Yakni, penyelenggaraan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) V di Banyuwangi, try out cabang olahraga (Cabor) untuk persiapan PON Jabar 2016 dan penambahan cabor di Pemusatan Latihan Daerah (Puslatda). “Banyak program yang membutuhkan anggaran cukup besar. Tahun 2015 ini ada Porprov dan cabor-cabor mulai banyak try out sebagai persiapan PON 2016,” kata Erlangga, Senin (2/2/2015). Seberapa besar dana hibah yang diduga diselewengkan oleh tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016, tentu pihak berwenang yang lebih tahu. Sebab, semua bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum! Penuturan Indra Gunawan tentang “kontrak atlet" yang para atlet alami di Indonesia tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menegakkan aturan tentang pengelolaan dana hibah. Jangan hanya demi ambisi dan prestasi semata, daerah menghalalkan segala cara. Alhasil, prestasi olahraga Indonesia pada tataran internasional juga ikut berdampak akibat minimnya regenerasi. Sudah saatnya para penegak hukum berlaku adil dengan mengusut tuntas kesalahan pengelolaan dana hibah untuk masalah transfer atlet ini. Dan, di sisi lain, daerah harus serius menggunakan dana hibah ini untuk proses regenerasi atlet! *** Penulis wartawan senior.

Misteri Hukum Politik Dibalik Omnibus Law

Oleh Raditya Mubdi Jakarta, FNN – Metode Omnibus Law sebagai pilihan pemerintah untuk menyederhanakan puluhan undang-undang dan ribuan pasal menuai pro dan kontra di masyarakat. Selain materi Rancangan Undang-Undang (RUU), prosedur omnibus law ini dianggap tidak lazim di Indonesia yang memiliki latar belakang hukum civil law atau disebut eropa continental. Omnibus Law merupakan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyederhanakan beberapa undang-undang sekaligus menjadi satu undang-undang. Sehingga ada yang menggunakan istilah beleid sapu jagat. Metode omnibus law ini sering digunakan di negara-negara yang sistem hukumnya common law. Sementara indonesia sebagai negara penganut sistem hukum civil law memiliki cara dan teknis berbeda dalam perubahan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi pertanyaan publik. Sebab tidak biasa terjadi. Sekalipun ada beberapa ahli hukum yang membangun argumentasi terkait penerapan omnibus law sebagai sistem hukum common low secara teknis untuk mendukung pemerintah dalam penerapan omnibus law di indonesia, tetap saja terlihat tidak normal dalam sistem hukum di indonesia. Ibarat duren berbuah mangga. Hal ini bukan suatu terobosan normal. Melainkan rekayasa dengan metode hibridisasi dua komponen sistem hukum yang berbeda. Artinya terdapat latar belakang yang sangat fundamental dari kebijakan pemerintah tersebut. Tidak dapat dipungkiri, di alam demokrasi seperti Indonesia. Politik sangat berperan penting untuk memperkuat kekuasaan. Itulah hukum politik di indonesia. Jika penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang dilakukan pemerintah melalui revisi, maka memakan waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan anggaran yang dikeluarkan sangat besar, karena berkaitan dengan revisi puluhan undang-undang tersebut. Jika pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), sebenarnya sangat mudah dan sederhana. Namun sangat berisiko secara politik dikemudian hari. Sehingga bisa jadi omnibus law sebagai jalan pintas untuk meredam semua risiko yang akan dihadapi. Inilah ranah teka-teki hukum politik yang dihadapi. Jika kita tilik lebih dalam, apa sesungguhnya yang paling urgent dari kebijakan pemerintah ini? Sehingga harus membutuhkan omnibus law sebagai alat konsolidasi politik yang strategis? Sekalipun memiliki kewenangan hukum, namun pemerintah tidak berani mengambil resiko secara sepihak. Butuh dukungan politik untuk legitimasi kebijakan yang dikeluarkan melalui omnibus law ini. Istilahnya, menabrak sistem hukum saat ini tak mengapa. Jika dibandingkan dengan di kemudian hari menjadi bumerang yang berakibat gejolak politik yang sangat fatal. Hari ini dapat dilihat reaksi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat terhadap RUU omnibus law. Bukan saja dari kalangan para buruh, beberapa elite pun turun gelanggang berkomentar terkait kebijakan pemerintah mengajukan RUU omnibus law ini. Mereka beranggapan kebijakan pemerintah melalui RUU omnibus law sangat merugikan beberapa komponen masyarakat dan menguntungkan investor dan pengusaha. Selain itu, kebijakan ini dianggap menabrak aturan yang ada. Penulis adalah Fungsionaris PB HMI

Parpol: Di Bawah Lindungan Para Taipan

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ketua MPR Bambang Soesatyo buka rahasia sangat besar! Tapi sebenarnya kalau mau jujur, sudah bukan rahasia. Kita sudah sama-sama tahu. Untuk menguasai partai politik, kata Bamsoet, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 Triliun! Artinya dengan jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9, maka untuk menguasai parlemen secara penuh hanya butuh modal Rp 9 Triliun. Jumlahnya jauh lebih sedikit, karena untuk menguasai parlemen tak perlu semua partai harus dibeli. Cukup dua pertiga suara saja. Pilih 3-4 parpol dengan suara tertinggi. Jadi modalnya kira-kira hanya Rp 5-6 Triliun mereka sudah bisa menguasai Indonesia. Murah bukan? Dengan menguasai parpol, menguasai parlemen, maka para pemodal bisa menentukan siapa yang menjadi Presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota dan berbagai jabatan publik lainnya. Tentu saja termasuk pimpinan MPR, DPR dan DPD. Ongkos tambahan diperlukan ketika berlangsung pilkada, pemilihan jabatan publik melalui DPR, dan puncaknya yang paling besar ketika berlangsung pilpres. Sejumlah pengamat pernah menyebut untuk maju pilpres, seorang kandidat setidaknya membutuhkan dana Rp 7 Triliun. Tapi melihat praktik Pilpres 2019 lalu, jumlah yang dibutuhkan jauh lebih besar dari itu. Bagi pemilik modal, angka tersebut tetap saja murah, mengingat yang akan dia kuasai adalah Indonesia. “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita,” ujarnya. Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet ingin mengatakan parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar proxy, boneka dari para pemilik modal. Mereka adalah orang-orang yang dimodali untuk menjalankan agenda kepentingan para pemilik modal. Urusannya tidak jauh-jauh penguasaan sumber daya alam dan ekonomi melalui politik kekuasaan. Bamsoet menjamin apa yang dikatakannya sahih. Berdasarkan pengalaman sekian puluh tahun terjun di dunia politik. Dia juga pernah mencoba maju menjadi ketua umum Golkar. Namun melalui lobi-lobi, tarik ulur dan tekanan politik dia harus mengalah ke Airlangga Hartarto. Tidak gratis. Kompensasinya dia mendapat posisi sebagai Ketua MPR dan Wakil Ketua Umum Golkar. Sebelumnya Bamsoet jug pernah menjadi Ketua DPR. Sebuah posisi yang hanya bisa diraih melalui proses lobi-lobi politik yang tidak gratis juga. Jadi sekali lagi apa yang dikatakan Bamsoet dapat dipastikkan, dijamin sahih. Bukan hoax, apalagi fitnah. Siapa para pemilik modal itu? Kalau melihat angkanya dalam jumlah triliunan, maka sebenarnya tidak banyak orang Indonesia yang memilikinya. Mereka adalah sekelompok kecil orang kaya Indonesia. Mereka punya kepentingan politik agar bisnisnya tetap terjaga dan bisa lebih menggurita. Siapa para orang kaya itu. Datanya terbuka. Setiap tahun majalah Forbes melansir daftar 100 orang terkaya di Indonesia. Dipastikan pemainnya tidak jauh-jauh dari mereka. Di posisi 10 besar urutan pertama ditempati mantan pemilik pabrik rokok Djarum R Budi dan Michael Hartono. Jumlah kekayaan: US$37,3 miliar (Rp526,11 triliun). Berikutnya pemilik PT Sinar Mas Group Widjaja Family (2). Jumlah kekayaan: US$9,6 miliar (Rp135,4 triliun). Pengusaha hutan dan Petrokimia Prajogo Pangestu (3) Jumlah kekayaan: US$7,6 miliar (Rp107,2 triliun). Pemilik pabrik rokok PT Gudang Garam Susilo Wonowidjojo (4). Kekayaan: US$6,6 miliar (Rp93,1 triliun). Pengusaha Petrokimia Sri Prakash Lohia (5) Kekayaan: US$5,6 miliar (Rp78,9 triliun). Berikutnya pengusaha Anthoni Salim (6) kekayaan: US$5,5 miliar (Rp77,5 triliun). Pemilik Mayapada Group Tahir (7).Kekayaan: US$4,8 miliar (Rp67,7 triliun). Pengusaha farmasi Boenjamin Setiawan (8) kekayaan: US$4,35 miliar (Rp61,3 triliun). Pengusaha media Chairul Tanjung (9) Kekayaan: US$3,6 miliar (Rp50,7 triliun). Pemilik PT Mayora Jogi Hendra Atmadja (10).Jumlah kekayaan: US$3 miliar (Rp42,3 triliun). Coba perhatikan jumlah kekayaan mereka. Angka Rp 1 Triliun adalah jumlah kecil. Cuma seupil! Kalau bench mark-nya adalah orang terkaya di Indonesia, keluarga Hartono. Maka jumlahnya hanya 0.0019 persen dari total kekayaannya. Itu hanya tusuk gigi bagi mereka! Dari 10 orang terkaya itu, hanya dua orang yang bukan taipan dari etnis Cina. Sri Prakash Lohia dan Chairul Tanjung. Jika kita teruskan daftarnya sampai 100 orang terkaya, maka komposisinya juga akan sama. Mereka semua adalah taipan yang menguasai perekonomian Indonesia. Tidak semua taipan bermain-main dengan politik kekuasaan. Tapi kebanyakan yang bermain adalah mereka. Karena mereka lah yang punya modal dan kekuatan dana. Kalau yang bermain adalah negara asing, maka kita dengan mudah menyebut Cina lah saat ini yang paling berkepentingan. Cina banyak menggelontorkan dana untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Dan semua itu pasti tidak gratis. Apa yang disampaikan Bamsoet seharusnya membuka mata kita. Negara ini tengah dalam bahaya. Sistem politik liberal yang sangat mengandalkan kekuatan uang, membuat sekelompok orang, sekelompok pemodal, kepentingan asing, dengan mudah dan murah, membajak negeri ini melalui proses demokrasi. Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi. Siapa yang menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan semua jabatan publik lainnya sudah mereka ditentukan. Mereka lah para oligarki yang menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini. Para politisi, pejabat negara mulai pusat sampai daerah, sesungguhnya hanya proxy yang dibayar murah! Penulis wartawan senior.

Tiba-tiba Saja Ketua MPR Bambang Soesatyo Terbangun

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tak ada angin, tak ada hujan. Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan dua hari lalu (17/2/2020) bahwa para pemodal menguasai parpol-parpol. Bahkan cukup dengan uang satu triliun saja. Setelah itu, mereka bisa mendikte kebijakan parpol yang dibayar. Untuk selanjutnya, mereka mendikte parlemen (DPR). Kata Bamsoet, para cukong menyusup ke parpol-parpol untuk merebut posisi ketua umum. Mereka datang ketika sedang berlangsung Munas, muktamar, kongres, dan sejenisnya. Setelah duit digelontorkan, bereslah semua. “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya,” ujar Bamsoet lagi. Rakyat boleh juga bersyukur atas kesiuman Bamsoet dari pingsannya. Anggap saja dia pingsan. Cukup lama. Padahal, anak-anak SMP saja sudah paham bahwa para cukong sejak dulu menguasai parpol-parpol. Kecuali satu parpol saja. Bamsoet terbangun dari tidurnya. Terlambat, tapi tetap disyukuri. Ketimbang tak pernah lagi siuman. Yang menjadi pertanyaan di benak penonton, mengapa Bamsoet baru sudi mengatakan itu dua hari lalu? Apakah karena dia sudah bosan bermukim di kolam terus? Mimpi apa kira-kira? Mungkinkah Bamsoet kecewa? Kecewa karena dia sendiri menjadi korban penyingkiran dari posisi ketua umum Golkar? Rakyat yang dibodohi oleh para politisi, termasuk Bamsoet, ‘kan sudah paham sejak dulu. Paham bahwa parpol, dan kemudian parlemen, selalu berada di bawah telunjuk pemodal. Itulah sebabnya dari pemilu ke pemilu orang semakin tidak berminat datang ke TPS. Karena mereka merasa pemilu adalah panggung penipuan. Nah, sekarang KPK dilemahkan sampai bonyok oleh DPR bersama Presiden Jokowi. Saking lemahnya, KPK mulai mengerjakan OTT 15-jutaan. Tak berdaya lagi menangkap koruptor-koruptor berkelas. Kalau pemandulan KPK ini dirujuk ke penyataan Pak Bamsoet yang terhormat, menjadi klop bahwa para cukonglah yang sesungguhnya berkuasa di negeri ini. Terima kasih banyak Pak Bamsoet. Semoga koleksi mobil mewah penjenengan terus bertambah. Hehe! [] 19 Februari 2020 Penulis wartawan senior.

Transformasi FPI dan Revolusi Sosial

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FFN – Jumat lusa, 21/2 Front Pembela Islam(FPI) akan menggelar demo besar-besaran untuk melawan wabah korupsi yang merajalela di Indonesia. Wabah korupsi itu semakin menjadi sejak kepemimpinan Jokowi. Pembobolan institusi keuangan, misalnya, di jaman Habibie berjumlah sebesar Ro. 400 milar, kasus "cessie" Bank Bali. Pembobolan jaman SBY naik tajam sebesar Rp. 6,7 triliun pada Kasus Bank Century. Nah, di jaman Jokowi ini naik menjadi 17 Triliun, kasus Jiwasraya. Ditambah Asabri akan menjadi Rp. 25 Triliun. Semua ini berujunga pada sebuah skandal politik. Pembobolan perusahaan asuransi milik negara. Umumnya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu terkait dengan kekuasaan. Bahkan, Soesilo Bambang Yudhoyono menantang rezim Jokowi dan DPR untuk membongkar keterkaitan pembobolan Jiwasraya dengan pendanaan pilpres 2019. Ini adalah gerakan FPI pertama kali dalam tema strategis. FPI bergerak di luar urusan keagamaan an sich. Atau dengan kata lain, perjuangan Islam memang dikatakan strategis kalau perjuangan itu sudah masuk kepada tema-tema struktural. Menyangkut dengan nasib rakyat yang dihancurkan melalui agenda-agenda korupsi kekuasaan. Transformasi Besar FPI Beberapa bulan lalu ketika saya di panel dengan Rocky Gerung (RG), di acara talk show Rahma Sarita, saya kaget dengan statement RG. Katanya, dia dulu paling benci lihat FPI dan Munarman. Dulu, di mata RG, FPI hanyalah preman berjubah putih. Namun, RG mengatakan bahwa FPI saat ini sungguh luar biasa. Larena FPI, dimata Rocky, telah mengambil peran yang sangat positif, sebagai pembela rakyat. Beberapa hari lalu, hal senada kita lihat dalam berita yang menyajikan pandangan Rizal Ramli. Rizal sangat kagum ketika menjadi pembicara pada acara yang diadakan FPI (bersama GNPF dan Alumni 212) tentang BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial). Rizal tidak membayangkan FPI dan kelompok-kelompok Islam militan ini konsern pada isu strategis seperti kenaikan iuran BPJS yang menyakitkan rakyat banyak. Bagi Rizal Ramli dan Rocky Gerung, tokoh sekuler yang di masa lalu alergi dengan FPI, memberi apresiasi terhadap FPI, bisa dimaknai dengan terjadinya transformasi FPI. Menjadi organisasi yang lebih dewasa dan bertanggung jawab. Namun, sebenarnya di sisi lain kita bisa juga melihat bahwa baik Rizal Ramli maupun RG, mungkin juga bertransformasi ke arah pemahaman yang utuh tentang pergerakan Islam. Kedua hal di atas, apapun faktanya, perlu diteliti dan di apresiasi. Pergerakan Islam maupun pergerakan ideologis lainnya memang ditahap awal membutuhkan doktrin tunggal kepada pengikutnya. Hal ini penting untuk menjaga pertumbuhan awal organisasi agar tidak disusupi pemikiran lain yang merusak maupun pembelokan arah gerakan. Dengan begitu, kita melihat sejak berdirinya FPI tahun 1998 sampai tahun 2014, tema-tema perjuangan FPI masih fokus pada isu "sektarianisme". Misalnya, anti maksiat, anti Syiah, anti Ahmadiyah, anti Komunis serta fokus melindungi diri dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah (versi Habaib). Pada tahun 2015, khususnya sejak aksi Parade Tauhid, bulan Juni, FPI masuk pada agenda kekuasaan (power). Pada tahun yang sama, bulan Desember, pada aksi 4/11 dan 2/12, gerakan FPI total berkembang pada isu kekuasaan. FPI akan selalu di garda paling depan mengahadapi kekuasan yang korup, zalim, dan semena-mena. Isu kekuasaan maksudnya adalah FPI secara terbuka menentang kekuasaan yang sedang eksis, yakni kekuasaan Jokowi. Bahkan, pada tahun 2017, FPI berhasil mendongkel Ahok dari kekuasaannya di Jakarta. Padahal Ahok di dukung penuh oleh semua kekuasaan rezim Jokowi. Setelah masuk pada isu kekuasaan, FPI berkembang seiring dengan munculnya “mazhab Rizieqisme". Mazhab yang menggambarkan pergolakan pikiran dan ajaran Habib Rizieq tentang Ideologi Negara, Pancasila. Pembelaan atas orang-orang miskin, konsep negara syariah. Dalam tulisan saya sebelumnya, “mazhab Rizieqisme” yang saya maksud itu mencakup ajaran HRS. Pertama, perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. Kedua, perjuangan harus diakar rumput. Ketiga, Islam sebagai alat persatuan. Keempat, radikal atau tidak mengenal kompromi. Kelima, tanggung jawab sosial alias solidaritas. Informasi Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Guru Besar ekonomi UI, yang juga menantu Proklamator Bung Hatta, ternyata HRS menguasai Pancasila jauh di atas rata-rata elit nasional. Hal ini dikatakannya setelah Sayidiman, jenderal tertua yang masih hidup, bersama dia, berdiskusi soal Pancasila dengan HRS. Banyak hal yang luar biasa tentang konsep Pancasila dari HRS. Pemehaman HRS melebihi pemahaman Jenderal Sayidiman dan Prof Dr. Sri Edi tersebut. Kembali pada perubahan sikap Rocky pada FPI, memang kita melihat bahwa tranformasi telah terjadi pada FPI secara keseluruhan. Dengan agenda-agenda besar negara, seperti menolak merajalelanya korupsi di kubu rezim Jokowi, transformasi FPI telah menjadikan organisasi itu sebagai kekuatan "civil society" terdepan untuk mengawal penyelenggara negara. Revolusi Sosial Sebuah perjuangan pada akar rumput selalu berarah pada revolusi sosial. Jean Jacques Rousseau, pemikir besar revolusi Prancis beberapa abad lalu, sebagaimana dikutip Wikipedia, berpikir bahwa "Rousseau posits that the original, deeply flawed Social Contract (i.e., that of Hobbes), which led to the modern state, was made at the suggestion of the rich and powerful, who tricked the general population into surrendering their liberties to them and instituted inequality as a fundamental feature of human society." Jean Jacques pada intinya mengatakan, segelitir orang-orang kaya dan penguasa yang curang telah memanipulasi masyarakat. Targetnya, meraka terus bisa memperkaya diri dan agar percaya ketimpangan sosial merupakan kewajaran. Pembebasan manusia dari cengkraman "kontrak sosial palsu”, yang menghancurkan peradaban, menurut Jean Jacques adalah keharusan. Manusia adalah makhluk mulia yang dipasung sistem kekuasaan masyarakat jahat. Ajaran Jean Jacques tentang kontrak sosial baru yang berisi kebebasan dan persamaan derajat semua manusia, telah mengantarkan revolusi di Francis pada abad ke 18 dulu. Rizieq ddan FPI i Indonesia dan telah bertransformasi dari ajaran perjuangan ahlak dan baik buruk. FPI telah berkembang pesat menjadi ajaran revolusioner saat ini. Mereka telah mendorong adanya sebuah konsep sosial baru di mana keadilan harus diletakkan pada rakyat mayoritas. Bukan pada segelintir taipan sebagai pengendali negeri alias sembilan naga. Pikiran dan ajaran FPI ini bukan lagi dengan membenturkan antara Pancasila vs Islam. Namun ini adalah pertentangan historic, antara yang disebut Jacques Rousseau tadi, yaitun "Kontrak Sosial Palsu" melawan "Kontrak Sosial Sempurna". Keuntungan kelompok FPI dalam perjuangannya adalah pikiran mereka sejalan dengan cita-cita pendiri negara (founding fathers). Bahwa negera dalam kontrak sosial adalah melindungi segenap tumpah darah dan menciptakan keadilan sosial secara total. Tidak dan selain itu. Penutup Perubahan sikap yang dalam dari tokoh-tokoh sekuler seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli terhadap eksistensi FPI terjadi belakangan ini. Mereka tidak lagi menganggap FPI sebagai preman bersorban putih. Mereka meyakini telah terjadi transformasi, dimana FPI saat ini adalah organisasi perjuangan rakyat yang utama. Organisasi yang selalu tampil membela rakyat. Memang, tanpa disadari, selama lima tahun terkahir, FPI masuk pada perjuangan strategis dengan isu-isu keadilan sosial. FPI yang anti korupsi dan berharap pemerintah yang membela rakyat. Basis argumentasi FPI dan khususnya Habib Rizieq, semakin lama semakin kuat dan komprehensip. Perjuangan yang dahulu terkenal sektarian, kini menjadi terbuka pada front nasional yang lebih luas. Dalam agenda terbaru, FPI masuk pada kritik kenaikan iuran BPJS yang memberatkan rakyat. Sedangkan pada Jumat, 21/2, nanti FPI masuk pada agenda aksi anti korupsi (Jiwasraya, Asabri, dan Bumiputra). Sebuah agenda besar rakyat untuk menghancurkan kezaliman struktural. Situasi ke depan Indonesia akan masuk pada tahun-tahun sulit. Akibat dari kemunduran pembangunan ekonomi. Keploporan FPI dalam perjuangan rakyat mungkin akan disambut diseluruh pelosok negeri. Tinggal rakyat berharap sejauh apa perubahan sosial yang mampu tercipta. Semoga ada kontrak sosial baru tentunya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

"Pemotongan” Dana Pensiun Aparatur Negara, Dalih Tutupi Miss-management Proyek Infrastruktur?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kebijakan Presiden Joko Widodo mengalihkan uang pensiun dari Taspen dan Asabri ke BPJS Tenaga Kerja (TK) menuai kontroversi. Para pensiunan diyakini bakal terkena potongan rata-rata sebesar Rp 300 ribu. Karena ada pemotongan ini, perwakilan pensiunan PNS, TNI, dan Polri menggugat Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial, kebijakan ini akan diterapkan paling lambat pada 2029, seiring berkurangnya jumlah pensiunan. Sebuah pertanyaan mengemuka: ada apa dengan pengelolaan jaminan sosial dan asuransi di Indonesia? Dan, mengapa Jokowi terkesan buru-buru mengalihkan dana pensiun ke BPJS TK, ketika manajemen BPJS sedang menjadi sorotan masyarakat? Kebijakan baru tentang uang pensiunan dikeluarkan Presiden Jokowi. Namun, kebijakan ini membuat was-was pensiunan dan pegawai yang akan pensiun. Sebab, hal ini akan merugikan mereka. Rencananya, pemerintah meleburkan pengelolaan dana pensiun pegawai negeri sipil (PNS) dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS TK atau Ketenagakerjaan. Hal ini dinilai bakal merugikan, karena pemotongan dana pensiun itu dan manfaat lain yang sangat tinggi sehingga pensiunan PNS yang sudah bekerja dan mengabdi kepada negara tak memperoleh manfaatnya. Akhirnya sejumlah pensiunan yang tak terima atas kebijakan Presiden Jokowi itu menggugat melalui MK. Menurut Andi Muhamad Asrun, kuasa hukum dari 18 orang (terdiri dari 7 orang pensiunan dan sisanya principal), hal ini berdampak pada kerugian konkret dan tidak konkret. Andi menjelaskan, pensiunan dengan pelapor seorang PNS dengan gaji pokok paling rendah Rp 1.560.800, ketika jaminannya dialihkan ke BPJS TK, maka nominal uang pensiun yang diperoleh menyusut cukup ekstrem, bahkan sampai Rp 300.000. Hal ini juga terjadi pada PNS dengan gaji tertinggi Rp 4.425.900. “Kemudian (PNS/pelapor) gaji yang tertinggi Rp 4.425.900 akan berubah menjadi Rp 3,6 juta. Jadi, ada penurunan yang signifikan dan ini tidak dijawab sampai sidang kemarin,” tegasnya. Pensiunan berharap masalah tersebut teratasi dan tidak menimbulkan ketidakpastian akan perolehan pensiun bekas abdi negara. “Peraturan pemerintah ini tidak sinkron dan mau diputuskan paling lambat tahun 2029. Kalau paling lambat, artinya kan bisa saja besok bisa kapan-kapan tergantung pemerintah,” katanya. Merunut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Asabri dan Taspen harus melebur ke BPJS-TK paling lambat pada tahun 2029. “Para pemohon merasa saat ini mendapat keuntungan dari Taspen dan sudah real. Kenapa sesuatu yang sudah real dicoba dikonversi ke sesuatu yang tidak real. Mereka ini berhak mendapat kepastian, tapi dilanggar, makanya diuji. Harapannya dikabulkan ya,” jelasnya. Adapun beberapa pasal yang digugat adalah pasal 57 huruf f, pasal 65 ayat 2 dan pasal 66. Ini dinilai bertentangan dengan pasal 28 h ayat 3 dan pasal 34 ayat 2 UUD 45. Dalam pasal 28 h ayat 3 UUD 45 menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat. Sementara pasal 34 ayat 2 UUD 45, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu. Putusan pada 1998 memperkuat kehadiran PT Taspen, tertuang dalam 98/PU/15XV/2017 dan putusan MA Nomor 32P/HUM/2016. “Jelas menyatakan, PT Taspen itu memiliki dasar hukum yang kuat, kalau itu dihilangkan maka kerugian operasional akan hilang,” jelasnya. PT Taspen itu masuk sebagai perusahaan jasa keuangan BUMN dalam pengawasan Panja Industri Jasa Keuangan yang dibentuk Komisi XI DPR RI belum lama ini. Dirut PT Taspen ANS Kosasih menyebut, jika pihaknya dipanggil, itu tidak akan menjadi masalah. Hal ini mengingat dana pensiun anggota DPR akan dibayarkan oleh Taspen. “Lha, kalau Taspen kita dipanggil ya datang, kita hargai itu. Wajar saja kok karena pensiunan DPR yang bayar Taspen,” lanjut ANS Kosasih, mengutip TribunJatim.com, Kamis (13 Februari 2020 08:55). “Kita juga punya kesempatan untuk menyampaikan kepada Bapak Ibu di DPR, dananya aman kok, pasti prudent,” kata Kosasih di Menara Taspen, Senin (27/1/2020). Menurut Kosasih, DPR memang berkepentingan dalam mengetahui kinerja PT Taspen. Namun, saat ditanya peleburan PT Asabri dan PT Taspen ke BPJS TK, Kosasih menyebut itu adalah wewenang Kementerian BUMN. “Yang itu gini, kan itu masih dibicarakan di tingkat atas. Kami sih ikut pemegang saham,” ungkap Kosasih. “Kan Taspen bukan punya kita. Taspen kan punya RI jadi tanya ke stakeholder (Kementerian BUMN),” jelasnya. Kosasih menyebutkan, sebagai pengelola PT Taspen, pihaknya juga tidak berwenang menjawab hal itu. Tapi, ia mengaku tanggung jawabnya hanya sebatas mengelola dan memperoleh imbal hasil yang baik. “Kita enggak berwenang jawab itu ya. Kita cuma kelola dan alhamdulillah dapat imbal hasil yang baik,” ungkapnya. Sebelumnya, DPR Komisi XI membentuk Panja yang menyoroti kinerja beberapa perusahaan jasa keuangan. Antara lain, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), AJB Bumiputera 1912, PT Asabri (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Reaksi keras datang dari Adhie Massardi lewat akun Twitter-nya @AdhieMassardi. Jubir era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menilai, kebijakan Presiden Jokowi memotong uang pensiun merupakan bentuk perampokan. “Kalau dipotong seenaknya, namanya perampokan,” kata Adhie Massardi di akun Twitter-nya @AdhieMassardi. Kata Adhie, uang pensiun bukan hibah dari pemerintah atau pemberi kerja.Tapi uang pegawai/pekerja yang dipotong tiap bulan. “Uang pensiun ada UU-nya. Wajib disisihkan dan ditempatkan perusahaan asuransi pensiun,” papar Adhie, seperti dilansir SuaraNasional.com, Jum’at (14/2/2020). Biayai Proyek Menurut Koordinator Komunitas Relawan Sadar (Korsa) Amirullah Hidayat, Pemerintah berlaku zalim dengan menggunakan dana BPJS Ketenagakerjaan (atau dikenal BPJS TK) untuk pembangunan infrastruktur. “Itu suatu tindakan yang tidak manusiawi dan penghinaan yang dilakukan terhadap buruh,” kata Amirullah Hidayat. Seperti diberitakan, BPJS Ketenagakerjaan telah menginvestasikan Rp 73 triliun pada proyek infrastruktur per Januari 2018. Melansir RMOL.com, Senin (26/3/2018), investasi tersebut adalah investasi tidak langsung yaitu dalam bentuk surat utang (obligasi) yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seperti diketahui, BPJS Ketenagakerjaan diperuntukkan untuk pekerja atau buruh sebagai Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP). “Bukan untuk dijadikan pembangunan infrastruktur. Bila ini terlaksana maka buruh harus melakukan perlawanan atas kebijakan ini, jika perlu buruh melaporkan kebijakan ini ke pengadilan internasional sebab ini jelas-jelas pelanggaran HAM yang nyata,” ujar Amirullah. Menurutnya, tidak ada alasan yang masuk logika menggunakan duit buruh untuk membangun infrastruktur, sebab pembangunan infrastruktur itu tanggung jawab pemerintah. Jika memang pemerintah tidak sanggup membangun infrastruktur, “jangan dipaksakan!” “Janganlah buruh yang dikorbankan untuk nafsu pemerintahan Jokowi ini,” lanjut Amirullah. Ia mengatakan, buruh mengeluarkan keringat siang malam hanya untuk mencari uang guna membayarkan BPJS setiap bulan. “Tapi uangnya dimanfaatkan untuk yang tidak ada kaitan dengan kepentingan dengan buruh, ini sama saja pemerintah Jokowi mengeksploitasi para buruh, ini adalah suatu tindakan yang menyedihkan,” tambah Amirullah. Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah bagaimana memberi penghargaan terhadap buruh, seperti dengan menyetop buruh kasar Asing (TKA) masuk ke dalam negeri. Bukan memanfaatkan uang buruh. Tampaknya, untuk menutupi dana Rp 73 triliun yang sudah dipakai untuk membiayai proyek infrastruktur itu, sehingga Presiden Jokowi perlu membuat “kebijakan” potong uang pensiun PNS, TNI, dan Polri ini. Jangan-jangan rencana pemerintah meleburkan pengelolaan dana pensiun dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS TK itu hanya dalih guna menutupi Rp 73 triliun tersebut? Penulis wartawan senior

Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan (Bagian Kedua)

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Apakah korupsi itu budaya kita? Banyak peneliti yang mencari adanya hubungan korupsi dengan sistem birokrasi dan kekuasaan. Namun banyak juga mencoba mencari korelasi korupsi pada persoalan moral dan budaya para pemimpin. Para filosof, sebagaimana dikatakan dalam "Stanford Encyclopedia of Corruption: Philosophers, at least, have identified corruption as fundamentally a moral, as opposed to legal, phenomenon. Acts can be corrupt even though they are, and even ought to be, legal. Moreover, it is evident that not all acts of immorality are acts of corruption; corruption is only one species of immorality." Dari sini terlihat para filosof sangat mengaitkan korupsi dengan perbuatan amoral. Tentu saja kebanyakan filosop ini berbeda dengan Machiavelli yang menyatakan korupsi itu adalah godaan yang alami. Sebagaimana di atas disebutkan, Sarah Chayes mengutip Machiavelli dalam "Thieve of State". Luhut Binsar Panjaitan, salah satu arsitek utama rezim Jokowi, pada tahun 2018, mengatakan bahwa semua orang memiliki gen maling. Pikiran LBP ini terlihat mirip dengan pandangan Machiavelli, bahwa tidak jelas soal kaitan moral dan korupsi. Namun, dahulu Bung Hatta misalnya mengatakan, sampai matipun korupsi itu sebuah kejahatan. Cerita yang jadi legenda tentang keteladanan Bung Hatta adalah menahan keinginan beliau membeli sepatu Bally seumur hidupnya. Bung Hatta terus menabung selama sebelas tahun ketika menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia. Tabungan itu diletakkan diatas meja Wakil Presiden dan disisinya ada iklan sepatu Bally. Sepatu yang sangat populer masa itu. Namun, sayang sekali, tabungannya tidak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally itu. Dan dia tidak pernah menerima suap dan tidak korupsi. Sebaliknya, banyak elit kekuasaan sekarang hanya butuh beberapa tahun untuk menumpuk kekayaan dari hasil korupsi. Tampak selain masalah moral, korupsi juga sering dihubungkan dengan kelemahan sistem pemerintahan (struktural). Namun, kita yakin persoalan moral tetap menjadi kunci utama. Nasib Revolusi Mental Jokowi sudah jelas dalam tesisnya pada "Revolusi Mental", bahwa korupsi akan melumpuhkan bangsa kita. Sementara kita melihat bahwa belum ada tanda-tanda Jokowi akan bersikap tegas pada korupsi. Apa itu sikap tegas? Jika membandingkan dengan rezim Xi Jin Ping di RRC, di sana banyak pejabat ditembak mati karena kasus korupsi. Namun, kita tetap mengharapkan Jokowi mampu menjadi "role model" atau simbol moral anti korupsi. Sebuah agenda non sistem atau structural. Jokowi harus mampu menghadirkan agenda moral itu. Hal itu pertama harus keluar dari dirinnya Jokowi. Dalam kaitan korupsi, yakni tidak mengambil keuntungan pribadi dari agenda publik, kebijakan publik, nepotisme, suap dan lain-lain. Jokowi harus menjadi inspirasi bagi kekuasaannya. Setidaknya di lingkungan keluarga, istana dan kabinet, seperti Bung Hatta, sang Proklamator hebat itu. Di luar sebagai inspirator yang personal, Jokowi juga harus membangun moral kelompok pada elit kekuasaan untuk tidak tergiur dengan urusan-urusan yang bersifat material. Namun, baik sebagai simbol moral maupun agenda struktural, pemberantasan korupsi tidak terlihat dalam periode kedua Jokowi. Burhanuddin Muhtadi, misalnya, dalam "Dilema Jokowi, Publik atau Kartel Politik?” (Media Indonesia, 18/12/19), melihat bahwa Jokowi tidak lagi masuk pada isu HAM dan pemberantasan korupsi pada era kedua berkuasa. Katanya, Jokowi hanya masuk pada isu-isu ringan, seperti pungutan liar (pungli) saja. Selain itu, sebagian besar rakyat, tidak dapat menerima gejala nepotisme yang ditunjukkan keluarga Jokowi, yang anak, menanti dan ipar ramai-ramai maju di pilkada saat ini. Dengan demikian, apakah nasib revolusi mental Jokowi sudah menjadi masa lalu? Reshuffle Kabinet Korupsi merajalela, yang terungkap dari kasus Jiwasraya dan Asabri, serta kasus kompleks Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, menunjukkan kelemahan Jokowi dan rezimnya sejak awal berkuasa. Kelemahan ini ditandai dengan suasana ketidaktertiban rezim penguasa. Bahkan, Sekjen partai penguasa, Hasto Kristyanto, menuduh bahwa dia dijalimi oknum penguasa. Bagaimana mungkin Sekjen Partai penguasa dizalimi? Apakah itu menunjukkan keretakan dalam tubuh rezim? Diantara situasi kelemahan ini, elit Kantor Staf Presiden, saat ini melemparkan isu perombakam kabinet. Isu perombakan kabinet tentu saja memberi peluang bagi Jokowi untuk kembali pada cita-cita revolusi mental dan nawa citanya. Paling kurang Jokowi memberikan harapan baru bagi rakyat. Namun, isu perombakan kabinet juga menyisakan pertanyaan tentang "kenapa mengurus negara seperti main-main?" Seharusnya, desain organisasi pemerintahan, apalagi bagi petahana, sudah sejak awal dirancang dengan matang. Dasain organisasi pemereintah harus ditunjukkan dengan soliditas kabinet, yang disisi oleh orang-orang profesion dan membumi. Jika perombakan kabinet yang dihembuskan elit Kantor Staf Presiden merujuk pada perlunya koreksi moral pemerintahan Jokowi, maka hal itu menjadi penting. Sebaliknya, jika hanya merujuk isu salah komposisi kabinet, perombakan itu hanyalah politik kekuasaan yang kurang bermoral. Manggali lubang bukan untuk meneutup lubang, tetapi untuk menutup goa. Penutup Kita harus benar-benar mengembalikan spirit bernegara pada tempat dan arah yang benar. Bernegara dalam konstitusi kita adalah mengutamakan rakyat. Mengutamakan rakyat adalah konsep moralitas yang sudah diajarkan Bung Hatta, dan para founding fathers lainnya. Mengutamakan rakyat hanya bisa dilakukan jika penyelenggara negara mampu pisahkan kepentingan pribadi adan kelompoknya dengan kepentingan rakyat. Memisahkan kepentingan itu, lebih jauh lagi adalah membunuh ambisi-ambisi pribadi untuk memperkaya diri. Situasi merajalelanya korupsi saat ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan bangsa kita. Pada saat yang bersamaan, kondisi ekonomi kita semakin terpuruk. Kenyataan ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh dari janji-janji kampanye Jokowi (petumbuhan ekonoimi 7 %) dan hutang negarapun yang menumpuk yang luar biasa besar. Kedua persoalan ini, korupsi yang merajalela dan pertumbuhan ekonomi di bawah 7% merupakan koeksistensi, di mana keduanya membuat Indonesia bisa terperangkap ke arah negara gagal. Sebuah negara yang tidak pernah stabil di sosial politik dan keamanan. Akibatnya, kemarahan rakyat akan meluas sebagai dampak dari korupsi yang kronis di kalangan pejabat. Sementara pada waktu yang bersamaan, kemiskinan dan ketimpangan sosial menganga lebar. Isu reshuffle kabinet yang dihembuskan kalangan istana belakangan ini, haruslah dikaitkan dengan moralitas kekuasaan. Bukan sekedar menakut-nakuti anggota kabinet dan sekedar "power sharing" kekuasaan. Menghentikan korupsi dan mengembalikan kekuasaan pada orang-orang bermoral adalah agenda urgen Presiden Jokowi secepatnya. (habis) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Ahok Rebranding

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ahok disiapkan untuk kembali ke jalur politik elektoral? Tanda-tanda itu sangat kuat menyusul munculnya nama mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam sebuah survei. Dengan memanfaatkan “momentum” banjir di Jakarta, Ahok dimunculkan kembali sebagai figur jagoan dan sukses ketika memimpin ibukota. Dia dinilai paling berhasil menangani banjir di ibukota. Tak tanggung-tanggung. Kinerja Ahok, mengutip survei yang baru saja dirilis oleh Indo Barometer, paling mencorong. Dibandingkan dengan Jokowi saja, Ahok lebih unggul. Konon pula dibandingkan dengan Anies Baswedan yang kini tengah menjabat. Sangat njomplang. Seperti bumi dengan langit! Ahok paling TOP! Itu berdasarkan “persepsi” publik nasional. Artinya penilaian dari warga sak-Indonesia, yang diwakili oleh populasi sampel sebanyak 1200 orang. Bukan warga Jakarta yang langsung merasakan dampak banjir dan penanganannya. Namanya juga persepsi. Ya bebas-bebas saja. Jadi tidak perlu diadu dengan data dan fakta. Ihwal sampel publik secara nasional inilah yang belakangan banyak disoal oleh para pendukung Anies. Ada yang menuding survei tersebut sebagai pesanan. Survei yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan kredibilitas Anies, sekaligus mengangkat Ahok. Maklumlah dari sisi elektabilitas, Anies saat ini adalah kandidat capres paling moncer. Belum ada kandidat lain yang berhasil menyainginya. Jadi perlu ada operasi politik untuk menghancurkannya. Downgrading! Survei sejauh ini terbukti berhasil mempengaruhi opini publik dan keputusan politik, sekaligus menjadi sebuah justifikasi keabsahan kemenangan seorang kandidat. Bagi yang memahami dunia marketing politik, munculnya kembali nama Ahok dalam sebuah survei tak terlalu mengagetkan. Ini jelas sebuah indikasi kuat dia sedang disiapkan untuk come back ke dunia politik. Ahok sedang menjalani proses rebranding. Sebuah strategi pemasaran dimana nama baru istilah, simbol, desain, konsep, atau kombinasi dibuat untuk sebuah merek dengan maksud mengembangkan identitas baru yang dibedakan dalam benak konsumen, investor, pesaing, dan pemangku kepentingan lainnya (wikipedia). Singkat kata rebranding adalah sebuah strategi pemasaran untuk mengubah citra sebuah produk, dalam hal ini adalah Ahok. Maklumlah, setelah kalah di Pilkada DKI 2017 dan masuk penjara karena penistaan agama, nama Ahok hancur-hancuran. Dia juga menghilang dari ingatan publik. Dipersiapkan dengan hati-hati dan cermat Bila kita mengamati berbagai tahapannya, upaya rebranding ini dipersiapkan dengan sangat cermat. Utamanya menjelang hari-hari kebebasannya. Sejumlah pendukungnya yang biasa disebut sebagai Ahoker menyiapkan sebuah buku biografi. Judulnya “Tjahaja Seorang Basuki” yang ditulis oleh Rudi Thamrin. Ahok juga membuat sebuah akun di Youtube bernama “Panggil saya BTP.” Coba perhatikan. Permintaannya untuk tidak lagi dipanggil sebagai Ahok, secara marketing politik pasti punya tujuan yang jelas. Ahok adalah simbol nama minoritas Cina. Secara politik sangat tidak menguntungkan. Belum lagi bila dikaitkan dengan kasusnya “Ahok si Penista Agama!” Setelah keluar dari penjara, Ahok memilih bergabung dengan PDIP. Bukan PSI sebuah partai yang semula disiapkan akan menjadi kendaraan politiknya. Sebuah pilihan yang cerdas dan rasional. PDIP adalah partai pemenang pemilu. Secara tradisional basis pemilihnya juga lebih luas. Sementara PSI tidak lolos ambang batas parlemen. Perlu kerja keras untuk menjadi kendaraan politik yang bisa diandalkan. Kerugian lain bila Ahok memilih bergabung dengan PSI, maka asosiasinya dengan kelompok minoritas akan semakin kuat. Sebagai besar pengururus dan aleg PSI adalah etnis Cina dan non muslim. Dalam pemilu lalu materi kampanye PSI juga dianggap menyerang umat Islam. Mulai dari anti Perda Syariah dan anti poligami. Semua itu akan sangat merugikan Ahok. Membuat stigma lamanya sebagai penista agama, akan semakin kuat. Tahapan paling berani dari rebranding Ahok adalah penunjukannya sebagai Komisaris Utama PT Pertamina. Jokowi punya andil besar di balik penunjukan itu. Pertamina adalah BUMN dengan asset terbesar. Posisinya juga sangat strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Meneg BUMN Erick Thohir kepada media menyatakan alasan memilih Ahok karena dia dikenal sebagai figur pendobrak. Pertamina butuh itu. Sekali lagi perhatikan diksi “pendobrak.” Kata itu sangat sejalan (in line with) dengan branding berhasil mengatasi banjir di Jakarta. Bersama kemacetan, banjir adalah sebuah problem yang tidak pernah berhasil diatasi oleh para gubernur DKI. Dan Ahok paling sukses! Melalui posisinya sebagai Komut Pertamina, Ahok kembali masuk dalam jalur perbincangan publik dan media. Sebuah tahapan penting dalam marketing politik: awareness dan popularitas berhasil kembali diraihnya. Dari sisi media, peran dan pemberitaan soal Ahok jauh lebih menonjol dibandingkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati. Sampai-sampai Ahok disindir sebagai Komut rasa Dirut. Urusannya tinggal mendongkrak likeness dan elektabilitas. Lembaga survei punya peran besar pada tahapan ini. Melihat berbagai tahapan-tahapan itu, kita bisa dengan mudah menduga ke mana arah barang ini. Jadi Jangan terlalu kaget bila pada tahun 2022 ketika Pilkada DKI ditunda dan ditunjuk seorang Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur, maka sangat mungkin Ahok akan ditunjuk oleh Jokowi sebagai Plt Gubernur DKI sampai Pilpres 2024. Alasannya cukup kuat. Dia adalah figur “pendobrak” dan “paling sukses” mengatasi banjir! Dari posisi ini tracknya menjadi lebih jelas lagi. Pilpres di depan mata dan Ahok sudah punya modal yang sangat kuat! Welcome back Ahok…Eh maaf….BTP Penulis wartawan senior.

Pancasila Adalah Intisari Dari Al-Qur’an dan Injil

By Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta, FNN - Adu domba agama dengan Pancasila semakin meruncing. Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) menghembuskan pernyataan yang sangat fatal. Agama bagi Kepala BPIP Yudian Wahyudi adalah musuh bagi Pancasila. Sepanjang sejarah Republik Indonesia setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai partai terlarang, baru kali ini seorang Kepala Lembaga Negara, memulai kembali adu domba Agama dan Pancasila. Hal serupa pernah terjadi di bawah pemerintahan demokrasi terpimpin Soekarno (Orla). Waktu itu PKI menjadi salah satu partai yang paling dekat dengan penguasa. Karena itulah Almarhum Jenderal Besar A.H. Nasution dalam sebuah pernyataannya mengingatkan kita bahwa yang mengadu domba Pancasila dan Islam hanya kaum Komunis. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah "kebebasan untuk tidak beragama." Menyebut Agama sebagai musuh utama Pancasila, tentu bertentangan dengan sejarah Pancasila dan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila diramu dan dirumuskan oleh founding fathers bangsa berdasarkan nilai-nilai Islam. Kalau kita baca risalah sidang BPUPK dan risalah sidang PPKI, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pancasila itu dirumuskan berdasarkan nilai agama, khususnya Islam. Pancasila adalah satu nilai yang hidup itu yang disebut sebagai filosofische groundslaag Indonesia merdeka. Sebagai falsafah, Pancasila adalah sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara pondasi Pancasila adalah ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fundamen utama dari keseluruhan sila itu. Pancasila adalah “Piagam Djakarta” minus tujuh kata. Piagam Djakarta menyebutkan “Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja” menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjarawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia. Maka menyebut agama sebagai musuh utama Pancasila adalah merupakan penistaan terhadap nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebab antara Pancasila dan Agama merupakan dua hal yang tidak ada perbedaan sama sekali. Baik dari segi konsep maupun implementasinya kalau dijalankan secara konsekuen. Akan berbeda lagi kalau Pancasila dijadikan alat untuk memukul lawan dengan memonopoli tafsiran Pancasila dengan pendekatan kekuasaan. Pola ini yang sedang dikembangkan BPIP sekarang. Tafsiran sepihak pada Pancasila pernah dilakukan oleh Orde Lama dan Orde Baru, dan kedua-duannya adalah pemerintahan yang otoriter. Apabila Pancasila ditafsirkan oleh penguasa, maka dapat dikatakan bahwa penguasa itu otoriter dan atau diktator. Yang dilakukan BPIP bukan hanya menafsirkan. Justru Mengadu domba pancasila dan Agama. Proyek Komunisme tahun 1960-an itu kini hidup kembali. Bagi PKI yang tidak beragama, adu domba sangat menguntungkan. Karena yang digalakkan komunisme adalah perang mati-matian melawan agama. Ketika Lenin menulis sebuah artikel, dia mensetir Karl Marx bahwa agama adalah Vodka yang memabukkan. Begitu juga yang dikembangkan komunisme diseluruh dunia. Agama adalah musuh utama. Karena bagi komunis, agama musuh yang harus binasakan. Aidit Tokoh sentral PKI, dengan tegas mengatakan “Revolusi Mental tak akan berhasil kalau masyarakat tidak dijauhkan dengan Agama” Ada lagi tokoh yang dengan Bangga mengatakan “Revolusi Mental akan gagal kalau Agama tidak dipisahkan dengan Politik”. Persis seperti yang diungkapkan oleh Yudian Kepala BPIP. Sementara bagi kaum Pancasilais, agama adalah kata kunci bagi falsafah Pancasila. Baik Islam maupun agama lain menyebutkan “ Pancasila sebagai titik temu agama-agama”. Ini tentu berbeda dengan BPIP, yang mengadu domba agama dan Pancasila, dengan dalil bahwa agama merupakan musuh Pancasila. Tentu saja sangat mirip sekali dengan gaya PKI. Hal tersebut sangat tidak Pancasilais, dan musuh Pancasila bukan agama, tetapi komunisme dan orang-orang yang memusuhi agama atau mereka yang anti agama. Pancasila Titik Temu Agama Bagi saya, menyebut agama musuh Pancasila merupakan sikap dan perilaku anti Pancasila. Tidak selaras dengan nilai-nilai dan ajaran Pancasila. Orang ini tidak pantas menduduki jabatan apapun, karena ada semangat anti Pancasila. Seharusnya Yudian Wahyudin sebagai guru besar harus mampu mendamaikan suasana. Apalagi sebagai kepala BPIP yang katanya sebagai pembina Ideologi. Pancasila itu adalah titik temu bagi semua agama, dan perbedaan dalam NKRI. Risalah perdebatan panjang konstituante dapat dijadikan pelajaran bagaimana menghasilkan perdebatan yang bermutu. Ada yang menarik dalam adu argumentasi itu, ketika Arnord Mononutu menyampaikan sebuah pidato yang disambut hangat oleh Mohammad Natsir. Alnord Mononutu, seorang Kristen yang baik. Anggota konstituante dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Mononutu tidak menyebutkan Pancasila digali dari masyarakat Indonesia. Dia justru menyebut intisari dari ajaran Injil. Natsir tokoh Islam yang paling berpengaruh. Tokoh penting Masyumi, jauh sebelum sidang Konstituante menyebut Pancasila dan ajaran Islam adalah satu kesatuan yang tidak bertentangan satu sama lain. Natsir mengatakan itu ketika berpidato di Pakistan di berbagai tulisannya. Natsir menegaskan pendiriannya itu dalam sidang konstituante bahwa Pancasila merupakan point of referensi dari semua sila yang ada di sila ke empat. Sejalan dengan Natsir, dalam pidato yang disambut penuh suka cita oleh Natsir itu (Lukman Hakim 2019), Mononutu dengan tegas berkata “Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bagi kami. Pokok dan sumber dari lain-lain sila. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa,Pancasila hanya akan menjadi filsafat materialistis belaka.” Yang penting menurut Mononutu, ialah Pancasila sebagai realisasi dari jalan pikiran monistis bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat religieus-monistis. “Titik pertemuan dari segala golongan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, apapun juga Nabi golongan itu masing-masing.” Dengan riang gembira, Natsir menyambut pidato Mononutu “saudara Ketua, bukankah ini berarti, di sinilah kita sampai pada titik pertemuan antara umat Kristen dan Islam. Sama-sama hendak mencari dasar negara yang bersumberkan kepada wahyu Ilahi. Baik yang melalui Injil ataupun melalui Quran. Kisah kedua tokoh yang berbeda agama dalam sidang konstituante itu menjadi bukti nyata bahwa Pancasila dan Agama merupakan dua hal yang tidak bertentangan satu dengan yang lain. Pancasila mempertemukan dua front besar yang selama ini berbeda. Tempat bersepakatnya orang-orang beragama. Agama menjadi sumber nilai bagi Pancasila. Maka Mononutu enggan menyebut Pancasila digali dari masyarakat Indonesia, melainkan intisari dari ajaran Injil. Sementara golongan Islam menganggap Pancasila adalah manifestasi dari nilai-nilai Islam yang dirumuskan oleh mayoritas tokoh-tokoh Islam, baik itu dalam sidang BPUPKI maupun PPKI. Musuh Utama Pancasila Musuh utama Pancasila adalah orang yang memperkelahikan Pancasila dengan agama. Karena Pancasila mengakui agama, dan Pancasila bersumber dari ajaran agama, khususnya Islam. Bagaimana mungkin Islam menjadi musuh Pancasila. Maka musuh Utama Pancasila itu orang yang anti agama (Komunis) Musuh selanjutnya Pancasila adalah korupsi, kezaliman dan ketidakadilan. Karena ia telah membuat negeri ini menderita dalam waktu yang lama. Para penjahat kemanusiaan juga musuh Pancasila. Korupsi musuh yang paling berbahaya bagi Pancasila. Selain mengkhianati Pancasila juga merusak tatanan bernegara. Korupsi Jiwasraya, korupsi Asabri, suap menyuap di KPU, dan kejahatan korupsi yang berjibun banyaknya terjadi akhir-akhir ini adalah musuh Pancasila. Musuh Pancasila juga adalah pemimpin yang berbohong dan ingkar janji. Pemimpin yang berdusta, dan para pemujanya adalah musuh yang perlu diperangi oleh Pancasila. Perang melawan pembohong atau pendusta ini kewajiban bagi orang-orang yang Pancasilais. Untuk menutupi kebohongan dan kedustaan itulah, Pancasila dan agama diadu. Ini ada hidden agenda yang ingin dimainkan untuk mengamankan isu Jiwasraya yang membuat negara ini bangkrut. Utang yang tak terbayar akibat kekuasaan di pegang oleh orang-orang yang berjiwa “jongos”. Kenaikan iuran BPJS yang memberatkan rakyat adalah kebijkan yang tidak Pancasilais. Membiarkan korporasi menguasai lahan juataan hektar, asing monopoli sumber daya alam, penguasaan tanah dan air yang menjadi hajat hidup orang banyak oleh oligarki ekonomi, merupakan kejahatan terhadap Pancasila. Maka mengatakan agama sebagai musuh Pancasila hanya untuk mengalihkan perhatian publik pada tumpukan masalah saat ini. Karena itu kita perlu waspada bahwa ini Pancasila sedang diujung tanduk. Sebab PKI sebelum melakukan pemberontakan ia terus menerus mempertentangkan Pancasila dan Agama, untuk mengalihkan perhatian. Sekarang kita berada di situasi yang hampir sama. Kita patut bertanya ini agenda apa dan untuk siapa? wallahualam bis shawab. Penulis Advokat, Dosen Fakultas Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta

Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan (Bagian Pertama)

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Hariman Siregar dalam kebingungannya dikalangan aktifis, menyampaikan pertanyaan, kenapa jaman Habibie pembobolan Bank Bali hanya Rp. 400 Milyar, jaman SBY pembobolan Bank Century Rp. 6, 7 Triliun dan sekarang jaman Jokowi, kasus Jiwasraya, pembobolan naik pesat Rp. 13 Triliyun. Apakah semua elit kita sudah gila?, tanya Hariman diantara aktifis pengunjung ulang tahun seorang aktifis senior, akhir bulan lalu. "Space platform WhatsApp Group" memang dipenuhi tiga isu yang berebutan dan berhimpitan beberapa waktu belakangan ini. Isu itu adalah korupsi , WNI eks ISIS, dan Virus Corona. Isu terkait korupsi melibatkan nama-nama Harun Masiku, Hasto Kristyanto, Heru Hidayat, Benny Tjokro dan lain-lain. Semuanya dikaitkan dengan istana maupun kekuasaan rezim Jokowi. Para penghuni dunia medsos dari kalangan non pendukung Jokowi sering mengingatkan agar fokus saja di kasus korupsi. Ingatan ini dimaksudkan untuk penguatan atau gaung tentang isu Jiwasraya dan Masiku tidak hilang ditelan isu ISIS dan Corona. Namun, sebagian netizen tetap bersikukuh bahwa semua isu ini harus dihadapi. Tesis pendukung isu korupsi Jiwasraya dan Harun Masiku di "amplifier" oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Rizal Ramli dan Said Didu. Ketiganya sangat fokus pada isu korupsi Jiwasraya. Tesis mereka, pembobolan uang asuransi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sebesar Rp 13 Triliyun di masa pemerintahan Jokowi pasti mempunyai arah ke pendanaan pilpres 2019. Arah itu perlu dikejar. Fokus mereka bertiga pada isu korupsi memang sangat beralasan. Bank Dunia sudah hampir dua puluh tahun ini melibatkan diri pada riset-riset terkait korupsi. Kepentingan Bank Dunia adalah agar uang yang dipinjamkan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, digunakan semua untuk program pembangunan. Tanpa itu Bank Dunia khawatir pembangunan tidak akan mensejahterakan rakyat miskin. Sarah Chayes pengarang "Thieve of State" merujuk pada Machiavelli menyampaikan "corruption is the natural temptation of rulers, but it is often what ultimately brings them down". "The natural temptation" memang terkesan bahasa netral, yang bisa menghinggapi semua penguasa, siapapun. Sebagaimana di review oleh Giles Foden, The New York times, 2015, buku "Thieve of State" yang mengamati Afganistan dan Iraq, memperlihatkan bahwa korupsi bisa menjadi struktural dan mengumpulkan semua uang-uang korupsi secara hirarki untuk elit berkuasa. Ini bukan hanya kasus di sana saja katanya. Chayes mengatakan negara isinya hanyalah mafia berjenjang (vartically integrated criminal syndicates). Dalam "Corruption, Global Security and World Order: To Bribe or to Bomb: Do Corruption and Terrorism Go Together?", buku editan Robert I. Rotberg, 2009, korupsi selain ditempatkan sebagai center dalam persoalan keamanan dunia, disebutkan juga bahayanya korupsi yang mempunyai koeksistensi yang saling memperkuat dengan terorisme. Korupsi Jiwasraya berlanjut dengan isu korupsi uang Asabri. Pelakunya, otaknya sama, Benny Tjokro, pebisnis asal Solo. Kehilangan uang pensiun prajurit ini mencapai Rp 10. triliun. Artinya yang diakui pembobolnya. Pembobolan-pembobolan uang yang melibatkan kekuasaan resmi negara di asuransi ini berbeda dengan kasus investasi bodong maupun asuransi non negara seperti Bumiputra. Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, pimpinan perusahan adalah wakil resmi negara, yang ditunjuk menteri BUMN. Jadi, kasus ini masuk dalam isu korupsi. Di masa lalu, kasus yang mirip telah terjadi di Jamsostek. Pimpinan Jamsostek (BPJS) kala itu, Ahmad Junaidi dan Andi Alamsyah, masuk penjara. Semua tahu bahwa Jamsostek saat itu melayani kekuasaan dan bandar bandar kekuasaan. Nah, bagaimana Jiwasraya serta Asabri? Jika konsisten pada pikiran SBY, Rizal Ramli dan Said Didu, maka seharusnya kita menuntut kepada negara agar dibentuk komisi independen yang meriksa semua pihak yang terlibat dalam kasus Jiwasraya, secara transparan dan objektif. Karena mempercayakan pemeriksaan pada jajaran hukum dan DPR-RI saja, tentu sulit mendapatkan kebenaran objektif kasus ini. Disamping Jiwasraya, kasus Wahyu Setiawan (KPU) dan Harun Masiku adalah kasus besar lainnya, menyangkut korupsi dielit negara. Masiku yang misterius keberadaanya dan adanya koneksi kasus ini dengan Hasto Kristyanto, Sekjen PDIP, juga menghebohkan politik nasional. Dua isu di atas, Jiwasraya dan skandal KPU, memberi kesan adanya kebobrokan pada rezim Jokowi terkait isu pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih. Mengapa bobrok? Apa tolak ukurnya? Kebobrokan ini kita ambil tolak ukurnya dengan merujuk tulisan Revolusi Mental ala Jokowi yang ditulisnya di Kompas, 10 Mei, 2014. Menurut Jokowi reformasi yang terjadi sebelum dia memimpin hanyalah reformasi institusi yang tidak menyentuh mental manusia. Dalam bagian itu Jokowi mengatakan: "Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas." Nyatanya, setelah Jokowi berkuasa, korupsi masih merajalela dan Jokowi malah ikut pula melumpuhkan KPK melalui revisi UU KPK tahun lalu. Dengan revisi UU KPK, Prof. Syamsudin Haris, anggota Dewan Pengawas KPK, sudah mengakui membuat KPK menjadi lemah. (Bersambung) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle