NASIONAL

RUU Omibus Ciptakan “Fasilitas Kerja Untuk Korporasi”

By Dr. Margarito Kamis (Bagian Pertama) Jakarta FNN - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus (artinya semua – multi aspek, multi faset, ragam materi) Cipta Kerja, yang telah diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama Presiden, sejauh ini disebut-sebut bertujuan mengakselerasi investasi. Tetapi tujuan ini, nampaknya bukan tujuan tunggal. Ini disebabkan Airlangga Hartarto, Menteri kordinator Ekonomi, menyatakan RUU ini menghindarkan Presiden dari kemungkinan pemakzulan. Pemakzulan akibat dari kesalahan menterinya, (RMol, 20/2/2020). Andai benar inilah tujuan utamanya, maka masalahnya apakah cara ini tepat, dan perlu? Tidakkah cara ini memilki potensi jebakan? Presiden, tentu lebih mengerti. Presiden Pusat Kontrol Tetapi terlepas dari logis atau tidaknya pernyataan Airlangga. Baik juga untuk menerimanya. Entah tujuan atau apapun namanya, otoritatif RUU ini. Ini menarik. Dimana letak menariknya? Hal-hal menarik itu akan ditunjukan sejauh yang bisa pada uraian selanjutnya. Tetapi simpan sebentar analisis teknis atas norma. Mari mengenal nalar. Tentu saja yang terlihat dibalik gagasan menjadikan presiden sebagai pusat kontrol pemerintahan dibidang investasi. Pointnya adalah presiden muncul sebagai pusat kontrol. Inilah point strategisnya. Sebagai pusat kontrol, presiden dari waktu ke waktu di sepanjang hari dalam menyelengarakan pemerintahan harus memperoleh laporan terbaru tentang hal-ihwal investasi. Presiden, dengan demikian, dari hari ke hari juga harus mengeluarkan seluruh energi politik dan teknisnya memastikan kelangsungan investasi. Menteri-menteri, suka atau tidak, dari hari ke hari harus memberi kepastian informasi pasti dan terbaru kepada Presiden bahwa tindakan-tindakan administrasi mereka tidak teridentifikasi menjadi barir investasi. Ini logis. Mengapa? Presiden, menurut pasal 166 dan 170 RUU ini diberi kewenangan khusus, eksklusif mengubah semua peraturan perundangan yang dinilai bertentangan dengan UU ini. Selain menteri, para investor dapat, tentu saja dengan cara dan argumen mereka, memberi informasi terbaru. Strategis atau tidak, apapun yang mereka hadapi atau alami, informasih itu perlu sampai kepada Presiden. Ini logis. Mengapa? Toh kewenangan memutus, bahkan mengatur telah diletakan pada Presiden. Logis para investor memberi informasi langsung ke Presiden. Sampai dititik itu, pola pemberian kewenangan kepada Presiden terlihat rasional menurut sudut pandang konsititusi. Polanya eksplisit. Diatur dan dinyatakan dalam undang-undang. Bukan implisit, yakni ditarik dari fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan. Sebagaimana terbiasa digunakan oleh Presiden Soeharto di masa lalu dan presiden-presiden Amerika sejak era Abrahan Lincoln. Mereka menggunakan executive order. Kebijakan dalam RUU ini dengan tegas menguatkan Presiden. Bukan Wakil Presiden. Presiden menjadi satu-satunya figur tata negara dan adinistrasi negara yang menentukan arah kebijakan investasi. Wapres Pak Kiyai Ma’ruf Amin mungkin saja bisa ikut memikirkan, tetapi tidak bisa mengambil tindakan bersifat decisive. Wapres Pak Ma’ruf tidak bisa berperan layaknya Pak JK dimasa lalu. Pada saat menjadi Wakil Presidennya Pak Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), Pak Jusuf Kalla (JK) pernah menangani Excon Mobil yang beroperasi di Natuna. Tahu mengapa Pak JK berkeras harus mengubah konrak itu? Karena formula bagi hasinya tidak adil menurut Pak JK. Tahu bagaimana komposisi bagi hasilnya? 80 untuk Exon dan 20 untuk Indonesia. Timpang sekali menurut Pak JK. Niat Pak JK itu disampaikan ke eksekutif Exon ketika Pak JK berada di Amerika. Eksekutif Exon bereaksi, dalam nada yang menolak. Tetapi Pak JK, pria Bugis yang cerdas nan lincah ini bertahan pada sikapnya. Apa yang terjadi? Eksekutif Exon menempuh cara khasnya, melobi Pak JK. Tetapi Pak JK tidak mau dilobi. Pak JK memberi alasan mau ke Arab menunaikan ibadah umrah. Eksekutif Exon, tidak patah arang. Eksekutif ini mau menyertai Pak JK ke Arab. Pak JK menolak. Pak JK mengatakan ini urusan pribadi. Tetapi Eksekutif Exon tetap kukuh. Si eksekutif bilang kalau begitu di Jakarta saja. Hebat, Pak JK tidak mau. Pak JK bilang dia mau langsung ke Makassar. Pada satu kesempatan, yang menurut saya ini menarik. Pak JK mengatakan kalau saja dirinya suka uang, pastilah “imannya” goyang dengan lobi Exon itu. Tetapi karena konsisten dengan apa yang dilakukannya, semata untuk negara dan bangsa, JK sepelekan lobi Exon tersebut. Hebat Pak JK. Pada kasus lain, khususnya penjualan gas di Lapangan Tangguh ke Cina, yang menurt identiikasi Pak JK sangat murah itu sasngat mengusik Pak Jk. Karena itu, Pak JK berencana mengubah kontraknya. JK menyampaikan niatnya itu ke Wapres Cina pada satu pertemuan. Sang Wapres Cina terkaget-kaget. Tetapi Pak JK segera menenangkan sang Wapres. Pak JK memberi kepastian dukungan suplai tidak dikurangi. Mendapat jaminan itu, Wapres Cina pun sepakat untuk mencari cara mengubah kontrak tersebut. Hanya saja Wapres Cina menyatakan, dalam arti memberi syarat harus dilakukan melalui perundingan antara pemerintah atau G to G (Lihat JK Ensiklopedia, 2012:305-307). Kecuali diotorisasi secara khusus oleh Presiden, cara tipikal Pak JK dalam pemerintahan Pak SBY ini jelas tidak bisa dilakukan oleh Pak Wapres Ma’ruf. Ini, sekali lagi merupakan akibat logis dari wewenang eksklusif di bidang ini telah diletakan, dikonsentrasikan hanya kepada Presiden. Berurusan dengan pemegang otoritas eksklusif jauh lebih masuk akal, dibanding berurusan dengan pejabat lain, apapun fungsi mereka. Toh pejabat lain tidak bisa memberi keputusan. Karena wewenang untuk memutuskan telah dikonsentrasikan secara eksklusif pada Presiden. RUU Omnibus ini, sejauh pasal-pasal yang telah dikenali secara terbuka, cukup jelas dalam satu hal. Hal itu adalah menciptakan iklim yang lebih bersahabat dengan investasi. Untuk alasan apapun, RUU in jelas disukai oleh korporasi. Mereka, dengan tabiat ekspansifnya, terus menemukan ladang usaha baru, apapun itu. Dengan nalar logis, tidak mungkin mengeritik RUU ini. Kasus Exon yang diceritakan Pak JK hanya satu di antara sejumlah kasus tentang korporasi. Prilaku koporasi yang meraup untung dari kebijakan investasi, yang didahului pembentukan UU. Freeport juga muncul diujung lain dalam spektrum itu. Hak eksklusif mereka dalam menambang dibenarkan oleh UU Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan Tahun 1967. Di luar kebijakan-kebijakan investasi yang diatur melalui UU, Indonesia dalam rute liberalisasi ekonomi tahun 1980-an, mengandalkan hukum-hukum administrasi untuk tjuan itu. Singkatnya, keputusan-keputusan Presiden dindalkan dalam rute ini. Dalam konteks ini, maka spirit RUU Omnibus sama dalam esensinya dengan spirit kebijakan-kebijakan liberalisasi Orde Baru. Rezim Orde Baru menempatkan Presiden sebagai pusat kontrol kebijakan itu. Tetapi yang diandalkan adalah Kepres. Bukan Perpres. Masalahnya adalah, seberapa potensial kebijakan-kebijakan investasi di tangan presiden dirancang dan dimanifestasikan menurut kaidah dan spirit transparansi? Jangan lupa, soal ini gagal dimanifestasikan oleh orde baru. Dan disitulah masalahnya. David Bouchier dalam artikel “Magic Memos, Collusion and Judges With Attitude, dalam buku Law Capitalism and Power in Asia dengan Kaniskya Jayasuriya (ed) di masa orde baru, koneksi politik muncul menjadi faktor penting dan determinan menentukan keberhasilan usaha. Anna Erliyana disisi lain, dalam studi doktoralnya di Fakultas Hukum UI tahun 2004 menyuguhkan satu kasus menarik. Gugatan dari Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara yang dioreguister dengan Nomor Register 091/G.TUN/1998/PTUN-JKT tanggal 30 September 1998. Di antara 15 (lima belas) Kepres yang dijadikan objek gugatan, satu di antaranya adalah Kepres Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura Tentang Pengembangan Sumber-Sumber Air di Provinsi Riau dan Pemasokan Air dari Indonesi ke Singapura. Dalam pelaksanaannya, tulis Anna, Keputusan Presiden itu memberikan hak khusus kepada perusahaan patungan yang dimiliki kelompok Salim. Grup Salim diberikan diberikan mandat eksklusif untuk mengusahakan pengembangan dan pemasokan air baru dari setiap sumber di Riau (Anna Arliyana, 2004: 128). Pada isu lain, khusus impor berbagai jenis di bawah kategori baja dan besi, menunjukan adanya kebijakan pemberian hak yang eksklusif itu. Rizal Malarangeng mencatat PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam semula diberi hak eksklusif untuk mengimpor. Setelah tahun 1985, Rizal menulis semua perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama disingkirkan, kecuali PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam. Dengan nada tanya yang kritis, Rizal menulis siapa yang menguasai perusahaan yang disebut terakhir? Ternyata Lim Sio Liong, Sudwikatmono dan rekan-rekan bisnis mereka (Rizal Malarangeng, 2002: 162). Inilah bahaya nyata dari konsentrasi kewenangan untuk banyak urusan teknis pada Presiden. (bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate

Presiden Jokowi dan Petruk Dadi Ratu

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Presiden Jokowi baru saja membeli sebuah lukisan menarik. Penuh simbol dan makna. Lukisan karya mantan tahanan politik Joko Pekik itu berjudul “Petruk Dadi Ratu. Semar Kusirnya.” Rencananya lukisan besar berukuran 5 X 2 meter itu akan di pasang di istana negara yang baru di Kalimantan Timur. Dalam artikel di majalah Tempo Edisi 22 Februari 2020 dengan judul “Lukisan Petruk Untuk Istana Baru” Joko Pekik mengaku lukisan itu dibeli dengan harga sangat mahal. Miliaran rupiah. Tapi tak dijelaskan berapa harga pastinya. Dalam lukisan mantan seniman Lekra (organisasi seniman onderbouw PKI) yang pernah lama mendekam di penjara itu, Petruk sedang menyalami kerumunan rakyat jelata yang mengelu-elukannya. Ada petani dan ibu-ibu yang menggendong anaknya. Di seberang mereka, dibatasi jalan yang membelah kerumunan, berdiri orang-orang berdasi dan berjas, juga deretan gedung yang menjulang. Di belakang Petruk, Semar terlihat mengemudikan kereta kencana. Kisah Petruk Dadi Ratu adalah salah satu episode yang sangat terkenal dalam dunia pewayangan. Ceritanya berupa pasemon, sindiran sekaligus nasehat tentang mengelola sebuah negara. Petruk adalah seorang raja yang memperoleh kekuasaannya secara tidak sah. Tidak diridhoi dan diberkahi para dewa. Akibatnya negara yang dipimpinnya kacau balau. Dia adalah seorang punakawan, abdi dalem anak Semar dengan kemampuan intelektual yang terbatas. Namun dia pandai melucu. Menghibur para tuannya. Bersama dua saudaranya Gareng dan Bagong, mereka bertugas mengocok perut para penonton yang sudah mulai mengantuk. Mereka biasanya muncul lewat tengah malam dalam babak Goro-goro. Para punakawan ini bercanda, sindir kiri kanan, kritik sana-sini. Semar akan tampil sebagai orang bijak. Dia memberi petuah tentang kehidupan, maupun berbangsa dan bernegara. Petruk digambarkan bertubuh tinggi kurus, dengan tampilan sangat bersahaja. Ciri khas lainnya, hidungnya sangat panjang. Tapi ini hidung asli. Beneran. Beda dengan Pinokio yang hanya memanjang kala dia berdusta. Alkisah, dalam episode Petruk Dadi Ratu disebutkan dia menggelapkan jimat Kalimasada yang dititipkan oleh seorang kesatria Bambang Priyambada kepadanya. Dia khianat dan menguasai jimat Kalimasada, dan menggunakannya untuk meraih kekuasaan. Dia menjadi raja dengan gelar Prabu Kantong Bolong Belgeduwelbeh Tongtongsot. Karena tidak punya kapasitas yang memadai dan memperoleh kekuasaan secara tidak sah, Petruk memerintah seenak udelnya. Dia mengangkat petinggi negara dari kalangan inner circle-nya tanpa memperdulikan kapasitas dan kemampuannya. Gareng dan Bagong diangkat menjadi petinggi istana. Tatanan dalam dunia pewayangan dia jungkir balikkan. Situasi negara kacau balau. Negara Amarta dan Astina yang secara tradisonal bermusuhan, bersatu padu. Mencoba mengalahkan Prabu Kantong Bolong. Semuanya kalah. Petruk punya kekuatan tak tertandingi, yakni jimat Kalimasada. Ada yang menafsirkan jimat itu adalah dua kalimat sahadat dalam lafal Jawa. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan strategi dakwah para Wali yang menggunakan medium pewayangan. Akhirnya Prabu Belgeduwelbeh dapat dikalahkan oleh Semar yang menyamar menjadi salah satu petingginya. Rahasianya terbongkar. Dia kembali menjadi rakyat jelata, punakawan yang kerjanya tukang melucu. Tatanan dunia pewayangan kembali tata tentrem setelah jimat dan singgasana kerajaan dikembalikan kepada yang berhak. Tafsir yang berbeda Dalam tafsir Joko Pekik seperti dilansir Tempo, ceritanya agak berbeda. Menurut Pekik, karyanya menggambarkan Dewa Semar yang memegang kendali bangsa Indonesia pasca-reformasi. Sedangkan Petruk didapuk sebagai pelaksana pemerintahan. “Sekarang Dewa Semar mengendalikan kereta kencana karena Petruk jadi ratu,” ujar. Kisah Petruk Dadi Ratu memang bukan cerita pewayangan biasa. Banyak menjadi kajian sejumlah peneliti kebudayaan Jawa. Sejumlah Indonesianis seperti Ben Anderson, bahkan Denys Lombard pernah mengkaji dan menuliskannya. Cerita ini juga sering digunakan untuk menyindir penguasa yang diaggap lalim. Sebagai presiden yang tengah berkuasa, pasti Jokowi tidak punya niat untuk menyindir atau mengkritik diri sendiri . Lukisan ini tampaknya dimaksudkan Jokowi sebagai pengenget (pengingat) bagi dirinya dan tentu saja bagi para presiden penggantinya kelak. Itu juga kalau benar lukisan jadi di pasang di istana negara yang baru. Dengan catatan istananya ada, dan ibukota barunya jadi dibangun. End Penulis wartawan senior. Foto: Sketsa Umar Khayam

Mahfud MD Ngawur Soal Hapus Penyidikan di Polsek

By Kisman Latumakulita Jakarta FNN- Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengusulkan agar Kepolisian Sektor (Polsek) tidak lagi diberi wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polsek cukup ditugaskan mengemban dan meningkatkan fungsi pengayoman kepada masyarakat. Sedangkan fungsi penyelidikan dan penyidikan dipusatkan di Polres. Polsek bisa lebih difungsikan untuk meningkatkan penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Konsepnya, melalui keadilan restoratif yang melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan. Alasannya, polisi harus meningkatkan restorative justice. “Jangan sedikit-sedikit KUHP dan KUHP, “ujar Mahfud usai ketemu Presiden Jokowi, Rabu minggu lalu (iNews.id 19/02/2020). Mahfud beralasan, dia mendapat informasi bahwa Polsek-Polsek sering dibebani target penanganan perkara pidana. Akibatnya, Polsek sering menggunakan pasal-pasal pidana, dibandingkan dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif. Padahal dengan hanya fokus pada fungsi pengayoman masyarakat, Polsek-Polsek tidak lagi perlu mencari-cari perkara. Negara Kepulauan Mungkin saja Mahfud MD lupa, atau tidak mengerti bahwa Indonesia ini negara kepulauan. Bukan negara daratan seperti Kanada atau Eropa. Jumlah pulaunya juga tidak sedikit. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Pusat Survei dan Pemetaan (Pussurta) ABRI tahun 1987, tercatat Indonesia memiliki 17.503 pulau besar dan kecil. Tahun 2002, kajian citra satelit mengoreksi angka 17.503 pulau yang dipunyai Indonesia. Angka terbaru yang dirilis Pussurta ABRI adalah 18.306 pulau. Dari jumlah tersebut, sekitar 6.000 pulau lebih yang dihuni oleh masyarakat. Sisanya sekitar 11.000 pulau lebih belum berpenghuni. Dengan posisi kita sebagai negara kepualuan, masyarakat yang menghuni pulau-pulau tersebut terbilang tidak sedikit. Untuk itu, gagasan Mahdud MD untuk menghapus fungsi penyelidikan dan penyidikan di Polsek, terkesan ngawur dan asal ngomong. Terlihat Menkopolhukam tidak mengerti persoalan. Mahfud juga tidak memhami posisi kita sebagai negara kepulauan. Dengan posisi kita sebagai negara kepulauan, justru Polseklah yang seharusnya lebih diberdayakan. Fungsi penyelidikan dan penyidikan agar diperbanyak di Polsek. Bukan malah di Polres. Tujuannya, agar tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan dapat belangsung secara cepat, efektif, efisien dan murah. Alasan pembenarannya, karena mudah dan murah untuk dijangkau oleh masyarakat. Mahfud jangan samakan Indonesia dengan daratan di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Polsek di Jawa dan Sumatera itu umumnya bisa dijangkau melalui jalan darat atau menggunakan kereta api. Namun untuk Maluku, Maluku Utara, Sulewesi Utara, Kepaluan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Bangka Belitung, sebagian besar melalui laut. Daerah-daerah tersebut mempunyai pulau ratusan, bahkan ada yang ribuan pulau. Sangat susah untuk dijangkau melalui jalan darat. Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat di pedalaman di Papua dan Papua Barat. Daerahnya bergunung-gunung. Untuk bisa sampai ke Kota Kabupaten, karena Polresnya berada di Kota Kabupaten, dibutuhkan pejalanan darat 3-5 hari. Tidak ada sarana transportasi melalui darat, baik dengan menggunakan angkutan umum mobil maupun kereta api. Pesawat hanya dari Kota Kabupaten ke Kota Kabupaten yang lain, atau ke Kota Provinsi. Begitu juga dengan Maluku. Pulaunya ada lebih dari seribu. Makanya Maluku terkenal dengan sebutan “Daerah Seribu Pulau”. Sama dengan Maluku Utara, yang jumlah pulaunya hampir sama dengan Maluku. Dengan kondisi ombak yang tingginya 2-3 meter, dan jarak tempuh perjalan melalui laut antara 3-6 jam. Apa tidak menyiksa dan menyusahkan masayarakat tuh Pak Menkopolhukam? Kalau di pulau tersebut masih ada Polsek, untuk apa penyelidikan dan penyidikan harus dipindahkan Polres yang berada di Kota Kabupaten atau Kotamadya? Berapa biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk memenuhi panggilan penyidik Polres. Apa Pak Mahfud mau mengganti biaya perjalanan, dan waktu yang terbuang percuma akibat tidak bisa pergi ke kebun atau melaut? Kalaupun mereka itu masyarakat pantai, yang sudah terbiasa dengan ombak besar, apa tidak sebaiknya waktu mereka digunakan untuk mencari nafkah dengan meluat? Tampaknya sangat dangkal gagasan yang disampaikan Pak Mahfud kepada Presiden Jokowi untuk meniadakan penyelidikan dan penyidikan di Polsek-Polsek. Selian itu tampak juga Pak Mahfud tidak tidak mengerti persoalan. Meskipun Menkopolhukam secara ex officio adalah Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun sebaiknya jangan ngomonglah. Dibuat dulu kajian secara menyeluruh dari berbagai aspek dan sudut pandang, barulah disampaikan kepada presiden. Bukan jaminan Pak Mahfud sudah memahami semua persoalan bidang tugas yang berada di bawah kordinasi Menkopolhukam. Polsek Yang Diperkuat Sampai sekarang, pemerintah pusat sudah mengucurkan hampir Rp 300 trliun untuk Dana Desa. Dengan anggaran di desa sebesar itu, maka yang perlu diperkuat adalah Polsek. Bukan Polres yang diperkuat. Sebagian besar anggaran penyidikan harus dialokasikan ke Polsek. Penyidik polisi yang hebat-hebat di Polda dan Polres diarahkan untuk memperkuat Polsek. Mereka agar dipindahkan ke Polsek. Konsekwensinya, polisi yang bertugas di Polsek, terutama Polsek yang jauh dari Kota Provinsi dan Kota Kabupaten harus diberikan penghargaan, dibandingkan yang bertugas di Polda dan Polres. Misalnya, diutamakan dalam setiap promosi jabatan. Selian itu, didahulukan untuk mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Inpektur Polisi (SIP). Bukan malah mendahulukan anggota polisi yang bertugas di Polda dan Polres. Tujuannya, untuk mendorong setiap anggota polisi untuk mau bertugas di Polsek. Setiap 50 orang lulusan terbaik dari setiap tingkatan pendidikan yang di bawah PTIK, perlu disebarkan ke Polsek-Polsek. Selain itu, untuk jangka panjang, perlu dipikirkan agar urusan yang berkaitan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM), perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) cukup hanya dikeluarkan oleh Polsek. Masyarakat tidak perlu jauh-jauh datang ke Kota Provinsi dan Kota Kabupaten hanya untuk mengurus SIM, parpanjangan STNK dan urus SKCK. Penulis adalah Wartawan Senior

Jokowi Korbankan Buruh Menanggung Beban Investasi Asing

Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi yang terkesan indah dan hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Banyak kendala yang dibuat oleh pejabat terkait perizinan.Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Sehubungan Pemerintahan Jokowi telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kepada DPR untuk dibahas, menurut saya ada 3 poin penting yang harus dicermati pemerintah, DPR dan publik. Pertama, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didasari pada situasi di mana relokasi investasi di China ke Asia Tenggara kecuali Indonesia. Artinya tujuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Pemerintah akan memberikan segala kemudahan dan kepastian dalam berinvestasi. Oleh karena itu pemerintah dan DPR sepatutnya fokus pada efisiensi perijinan dan incentive berinvestasi. Bukan menciptakan aturan-aturan yang mengorbankan kesejahteraan buruh. Bukan pula menaruh nasib buruh pada level yang lebih rendah dalam Omnibus Law. Jika demikian halnya, maka sama saja demi kepentingan investasi asing, Jokowi mengorbankan buruh. Jadinya buruh ikut menanggung beban investasi asing. Pemerintah dapat mengkreasikan aturan-aturan atau biaya investasi yang kompetitif dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia. Pemerintah tidak perlu mengurangi apa yang telah didapat buruh selama ini. Yang sudah didapat oleh buruh, biarkan saja apa adanya. Pemerintah seharusnya mendorong investor dengan memberikan incentive progresif kepada investasi yang menggunakan tenaga kerja Indonesia di atas 80%. Atau incentive progresif untuk investasi yang export oriented, atau penggunaan bahan baku lokal di atas 80%. Kedua, perlu jaminan implementasi Omnibus Law ini. Bagaimana aturan teknisnya nanti benar-benar ciptakan efisiensi. Selama ini selain aturan yang tumpang tindih, biaya perijinan investasi tidak efisien, karena mental koruptif birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Jadi, efektifitas Omnibus Law ini dalam menarik investasi akan sangat ditentukan oleh praktek birokrasi. Apa yang terkesan bagus dalam narasi, akan gagal jika birokrasinya masih koruptif. Selain itu, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus didukung penuh oleh para buruh dan pemerintah daerah. Jika akhirnya masih sering terjadi aksi pemogokan buruh, akibat dari Omnibus Law yang dipaksakan pemerintah pun tidak akan berhasil menarik investasi asing masuk. Kita harus belajar dari paket-paket ekonomi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi terkesan indah hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. Ketiga, jiwa RUU Omnibus Law ini jangan sampai menghidupkan kembali sentralisme pada pemerintah pusat. Sekarang kita sudah melangkah jauh dengan desentralisme otonomi daerah. Pemerintah daerah harus diajak terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Tujuannya, agar Pemerintah Daerah dapat memahami betul isi dan tujuannya, sehingga implementasinya di daerah juga efektif dan seragam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)

Defender of the Cukongs Mulai Kepanasan

“If you have enemies, that means you stand for the right,” kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” By Asyari Usman Jakarta FFN - “Smoked out” artinya keluar dari persembunyian. Kepanasan. Terus, maki-maki. Defending the crooks. Bad enough, tentunya. But, that’s what you will expect from Zeng Wei Jian called “Ken Ken” by his fooled admirers. Ken Ken mencak-mencak gegara dua tulisan yang mengurai peranan para cukong dalam mendikte politik Indonesia. Dia buat tulisan konyol. Dia tunjukkan as if (seolah-olah) dia adalah kaki tangan para cukong parpol itu. Sungguh kasihan. Sebenarnya, banyak orang tahu Zeng “bukan penulis lepas”. Tangannya terborgol oleh keharusan untuk menjaga agar “debit card” itu bisa tetap berlaku di tempat-tempat nongkrong. Sebenarnya, pena yang dia gunakan untuk menulis sangat canggih. Tapi, ada “remote control”-nya. Pengamat politik, Hersubeno Arief, menguraikan siapa-siapa yang disebut sebagai cukong yang melakukan mafia politik. Yakni, mereka yang membeli parpol untuk kuasai Indonesia. Itu saja. Sekadar mengelaborasi “pengalaman” Ketua MPR Bambang Soesatyo bahwa para cukong alias pemodal, domestik maupun asing, membeli “Satu Partai Satu Triliun” untuk menguasai negeri. Celakanya, kalau Anda selami pikiran Zeng, Anda akan temukan di kepalanya bahwa beli parpol “is the thing right to do”. Beli partai itu bagus bagi Zeng. Hancurlah Indonesia. Mas Hersu dan teman penulis satu lagi hanya mencarikan perspektif yang tepat dari deklarasi Pak Bamsoet. Hersebeno menjelaskan siapa-siapa saja yang punya duit besar, yang mampu membeli parpol-parpol “in order to gain the real power” dalam mengelola kekayaan negara. Sangatlah logis kalau kemudian Hersubeno memperkenalkan kepada khalayak nama-nama taipan yang mungkin sekali berkepentingan untuk membeli kekuasaan politik. Lagi pula, nama-nama yang membuat Zeng naik tensi itu adalah mereka yang disebut oleh “Forbes” sebagai orang-orang terkaya di Kolam Susu-nya Koes Ploes. Hersu hanya mengutip “Forbes” itu. Nothing more. Zeng menjadi panik. Dia bela para cukong itu. Menuduh Hersu bebuat SARA. Baseless accusation. Tuduhan yang terbentuk dari “inability to understand the whole context of Hersu’s argument”. Tidak ada SARA. Yang diuraikan itu semata-mata fakta murni. Zeng keluar dengan cercaan yang menggelikan. Dia caci-maki kedua penulis that stand for the right. Zeng tidak rela pembeberan the truth of the day. Perilaku Zeng sangat memalukan, by all standards. Neither morality, nor journalism principles. Dapat dibaca dengan jelas arah tulisannya. Seratus persen menggonggong untuk the masters –para cukong itu. Pantas diduga, ada imbalan yang sangat menggiurkan di balik “pikiran sesat” Zeng. Reaksi ngawur Zeng Wei Jian sama sekali tidak mengherankan. Dia memusuhi tulisan-tulisan yang tidak sejalan dengan “money making process” yang dia punya. Zeng langsung terusik ketika ada yang coba menyentuh para cukong yang telah merusak semua sendi kehidupan bangsa ini. However, Mas Hersubeno dan teman penulis satu lagi tidak perlu terlalu hirau dengan jurus-jurus Zeng. Anda berdua paham tentang dia. Publik juga mengerti. Dan Anda berdua juga tahu mengapa Anda punya musuh. “If you have enemies, that means you stand for the right”, kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” Penulis adalah Wartawan Senior

Celaka Omnibus Law Cilaka

Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - "Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat."(QS Al-Baqarah 79). Ada tiga kata celaka dalam Surat Al-Baqarah itu. Kata pertama “celaka” dalam tafsir Jajalayn disebut sebagai “siksaan berat”. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan “kebinasaan dan siksaan”. Sementara itu kbbi.web.id, menerjemahkan arti celaka “v 1 (selalu) mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dan sebagainya; malang; sial”. Belakangan kata “celaka” menjadi buah bibir. Ya, setelah pemerintah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) sekaligus draf dan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ke DPR RI. Hanya saja, “celaka” itu dilafalkan dengan “cilaka”. Kalangan aktivis dan cerdik pandai menyebut RUU Cilaka untuk draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Kata “cilaka” adalah akronim dari “cipta lapangan kerja”. Merespon itu, Presiden Joko Widodo lalu mengubahnya menjadi RUU Cipta Kerja disingkat “cika”. Saat pertama kali dicetuskan, nama yang muncul sebenarnya adalah RUU Omnibus Law Kemudahan Berusaha dan Daya Saing. Lantaran ada kesan RUU ini hanya untuk kepentingan pengusaha alias tidak pro buruh, maka nama itu ditanggalkan. Diganti. Dimunculkanlah nama “cipta lapangan kerja”. Celakanya, banyak pihak kelewat cerdas sehingga membuat akronim “cilaka”. Kalangan buruh bahkan ada menyebut “Cilaka 12”, untuk 12 alasan menolak RUU ini. Jokowi mengganti “cilaka” menjadi “cika”. Hanya saja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, membikin nama yang berbeda. Ia lebih suka dengan “ciptaker” kependekan dari cipta kerja. Wakil Ketua Komisi IX, Sri Rahayu, juga punya akronim yang berbeda lagi. "Disingkat cilaka enggak bagus, makanya (kata) lapangannya dihapus, jadi cipta kerja jadi ciker," ujarnya, saat menerima audensi dari perwakilan massa aksi buruh di ruang rapat Komisi IX Rabu (12/2). Sapu Jagat Seperti yang sudah terjadi, RUU Cilaka alias Cika alias Ciker alias Ciptaker ini kini sudah sampai ke Senayan. Para buruh menolak dan menggelar aksi demonstrasi. Mereka menilai RUU ini sarat kepentingan pengusaha. Bakal UU “sapu jagat” ini memang penuh kontroversi lantaran melebur sejumlah perundang-undangan dalam satu keranjang. Tujuannya bagus, meringkas berbagai macam peraturan yang selama ini dinilai menghambat investasi. Akan tetapi, sejak diwacanakan Jokowi, penyusunan RUU ini sangat tertutup. Tak seperti lazimnya sebuah RUU, naskah akademiknya tidak bisa diakses. Masyarakat pun buta tentang apa saja yang bakal diatur dalam RUU itu. Padahal, masukan dari para pemangku kepentingan sangat vital dalam penyusunan sebuah RUU. Dalam sejarah penyusunan perundang-undangan, baru pada rezim pemerintahan sekarang sebuah RUU dikerjakan secara kilat, tak melibatkan masyarakat, dan sulit diakses. Sebut saja penyusunan RUU KPK yang tak mengajak KPK dan ujung-ujungnya membuat lembaga antirasuah itu kehilangan taji. Melempem. Demikian halnya RUU Cilaka alias Cika alias Ciker alias Ciptaker. Dalam urusan ketenagakerjaan, RUU ini justru banyak memangkas hak tenaga kerja. Salah satunya adalah ketentuan mengenai permohonan PHK yang harus diajukan tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta alasan yang menjadi dasarnya. Artinya, dengan RUU ini, pengusaha bisa memecat karyawan secara semena-mena. Wajar jika ada yang bilang RUU ini merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. Substansi RUU Cilaka menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka menyebut konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU mirip aturan Koeli Ordonantie masa kolonial Belanda. Aturan itu untuk menjamin pengusaha dapat mempekerjakan kuli perkebunan tembakau dengan upah sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan. Lebih jauh lagi bahkan ada yang bilang Omnibus Law Cilaka mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme hukum yang kuat dalam RUU menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai. Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan, kepolisian dan Badan Intelijen Negara atau BIN untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Lagi-lagi, penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu. Kejanggalan lainnya adalah direduksinya beberapa ketentuan tentang pembakaran hutan oleh korporasi. Belum lagi dengan dihapusnya pasal tentang ruang partisipasi publik untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan/atau izin usaha melalui peradilan administrasi. Selanjutnya, hak paten juga dikebiri. Hak dan kewajiban pemegang paten akan dihapus. Padahal, ketentuan ini dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan, investasi, dan penyediaan lapangan kerja. Harus diingat, belum tentu pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia. Jika tidak hati-hati membahasnya, RUU ini memang bisa membikin kita “cilaka” Penulis wartawan senior.

Ketika DPR Menjadi Kantor Cabang Presiden

By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – “Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untuk yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Wakil rakyat kumpulan orang hebat. Bukan kumpulan teman-teman dekat. Apalagi sanak famili. Di hati dan lidahmi kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu, jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang, jangan hanya diam”. “Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke. Saudara dipilih, bukan dilotre. Meski kami kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih para juara. Juara diam, juara he eh, juara ha ha ha. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu siding soal raktat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagi setuju”. Dua paragraf kalimat-kalimat di atas berasal dari lirik lagunya Iwan Fals. Penyanyi, yang sekaligus kritikus kepada kekuasaan Soeharto yang otoriter dan tirani. Judul lagunya “Surat Buat Wakil Rakyat”. Lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan Fals ini, direkam dan dirilis menjelang pemilihan umum tahun 1987. Lagu ini diciptakan untuk mengkritik kinerja anggota dewan yang banyak tidur saat sidang-sidang DPR. Sayangnya, lagu ini sempat dicekal pemerintah Orde Baru. Lagunya tidak boleh ditayangkan di televisi. Karena pemerintah beranggapan lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” mengganggu stabilitas politik nasional. Selain tidur, DPR juga tidak menonjol memperjuangan kepentingan rakyat. DPR ketika itu, yang isinya 75% pendukung utama pemerintah Orde Baru (Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI) lebih sebagai stempel pembenaran atas semua kemauan pemerintah. Apa saja kemauan rezim Soehato, hampir pasti 99% disetujui DPR. Iwan Fals, banyak menciptakan lagu, yang bertujuan mengkritik kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, namun memanjakan pengusaha atau orang kaya. Selain Iwan Fals, kalangan sastrawan yang juga terbilang keras mengkrtik rezim Orde Baru ketika itu adalah W.S. Rendra. Penyair dengan julukan “Burung Merak” ini mengkritik permerintah melalui syair-syair sajaknya. Entah karena kritikan dari Iwan Fals dan W.S. Rendra atau bukan, yang pasti setelah Pemilu tahun 1992, anggota DPR yang masuk ke senayan, banyak tokoh-tokoh yang kritis kepada pemerintahan Soehato. Malah anggota DPR yang galak-galak itu bukan saja dari partai non pemerintah, seperti PDI dan PPP. Namun ada juga dari Fraksi Golkar dan ABRI yang galak-galak. Dari PPP ada singa sekalas Hj. Aisyah Amini, H. Ismail Hasan Metarium, H. Dja’far Sidiq, H. Imam Churmain, H. Muhammad Sulaiman dan Hamza Haz. Sedangkan Dari PDI, ada macan seperti Hj. Fatimah Ahmad, H. Ipik Asmasubarata, H. Yahya Nasution, Aberson Marle Sihaloho dan Sabam Sirait. Hamza Haz, Yahya Nasution dan Aberson Marle Sihaloho terkenal sebagai "trio pakarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)". Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Mar’ie Muhammad sering kewalahan di sidang-sidang komisi APBN jika menghadapi trio anggota dewan ini. Terkadang asumsi-asumsi APBN yang bakal diajukan pemerintah, dua tiga bulan sebelumnya sudah bisa diprediksi oleh trio anggota DPR ini. Hasilnya, 85%-90% sama dengan yang diajukan pemerintah. Sebagai wartawan di bidang ekonomi, saya dan sesama teman wartawan, banyak mendapat informasi awal mengenai rencana asumsi APBN dari trio anggota dewan ini. Selain itu, kami juga mendapat informasi mengenai asumsi APBN dari Muhba Kahar Muang, Idra Bambang Oetoyo dan Dwie Riawenny Nasution dari Fraksi Golkar. Dari kubu pendukung pemerintah, muncul para anggota DPR yang tidak kalah kritisnya. Dari Fraksi Golkar, ada Tadjudin Noer Said, Marzuki Darusman, Mubha Kahar Muang, Anang Adenensi, Indra Bambang Oetoyo, Iskandar Madji, Abdurrahman Rangkuti dan Umbu Mehang Kunda. Dari Fraksi ABRI, tampil singa perempuan yang galak kepada pemerintah, Brigjen Polisi Rukmini. Ada juga Mayjen TNI Syamsudin. Meskipun menjadi anggota DPR yang ditunjuk oleh Mabes ABRI Cilangkap. Namun mereka menjadi anggota dewan yang bermutu dan berkelas. Mereka lebih memilih membela kepentingan rakyat. Akibnatnya, mereka sering berbenturan dengan para menterinya Soeharto. Mereka top, top top markotop. Suatu waktu Kasospol ABRI, Letjen Harsudiono Hartas bercerita tentang cepanye dia mengingatkan Brigjen Rukmini dan Mayjen Syamsudin. Banyak menteri anggota kabinet Soerharto meminta tolong agar Kasospol ABRI bisa meredam atau menertibkan Rukmini dan Syamsudin. Kata Hartas—panggilan akrab Kasospol ABRI, “Itu Rukmini dan Syamsudin kalau diingatkan, jawabnya sih enak didengar. Jawabnya siap,siap dan iya, iya. Namun begitu balik ke DPR, kambuh lagi mereka”. Pemerintah Orde Baru memang sangat kuat dan dominan. Dengan mesin politik utama ABRI dan Golkar, pemerintah bisa berbuat apa saja jika mau. Contoh paling nyata adalah Waduk Kedung Ombo. Masyarakat satu Kecamatan bersama perangkat Desanya, semua diangkut keluar dari Kedung Ombo. Namun warna perbedaan perdebatan di DPR terlihat sangat berbobot dan berkelas. Sebelum sampai pada persetujuan di sidang Paripurna, perdebatannya sangat bermutu dan argumentatif. Bagi yang menonton sidang-sidang di komisi DPR, banyak informasi penting dan bermutu yang bisa diperoleh. Yang tidak bisa dilakukan DPR di kekuasaan eranya Orde Baru Cuma satu, “Penggunaan Hak Interpelasi”. Penggunaan hak DPR yang satu ini menjadi barang haram ketika itu. Namun tidak adanya penggunaan “Hak Ingterpelasi” bukanlah menjadi penghalang bagi lahirnya perdebatan yang bermutu dan berkelas di sidang-sidang komisi DPR. Enak bangat untuk didengar dan ditonton. Dewan Produk Reformasi DPR di era Orde baru tidak dapat menggunakan “Hak Interpelasi”, tentu saja dapat dipahami dan dimengerti dengan sangat jelas. Semuanya terang-berderang. Tidak ada yang abu-abu. DPR Hanya tukang stempel atas segala kebijakan dan kemauan rezim Orde Baru. Tidak lain. Hanya itu. Keberadaan PPP dan PDI di DPR tidak mempunyai kekuatan untuk melawan maunya rezim Soeharto. Paling hanya bisanya walk out dari sidang sebagai bentuk protes dan penolakan. Hanya itu yang bisa dan sering dilakukan PPP dan PDI. Namun begitu, keluarnya PPP dan PDI dari ruang sidang, sama-sekali tidak merubah keputusan dewan. Karena prosentase PPP dan PDI paling banyak hanya 30%. DPR periode 2014-2019 sekarang ini adalah DPR yang keempat sejak reformasi. DPR yang lahir dari produk demokrasi yang sangat bebas. Namun mereka juga menjadi DPR yang paling lemah kepada pemerintah di era reformasi. DPR yang lebih memilih membela maunya pemerintah daripada membela rakyat. Lihat saja, masyarakat, dosen, mahasiswa dan siswa STM berdemonstrasi berhari-hari menolak revisi undang-undang KPK. Namun semua itu hanya dianggap sebagi pepesan kosong oleh DPR. Hasilnya, tok tok tok, revisi undang-undang KPK tetap jalan dan disahkan. Begitu juga menyampaikan pengantar Nota APBN 2020 di DPR, Presiden Jokowi minta izin untuk memindahkan ibukota negara ke luar pulau Jawa. Tanpa lebih dulu melakukan perubahan atas undang-undang ibukota negara, DPR menyetujui keinginan pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Pulau Kalimantan. Belakangan ketika skandal korupsi Jiwasraya meledak, rakyat meminta DPR agar membentuk Pansus Jiwasraya. Namun DPR sepertinya tidak mau membentuk Pansus Jiwasraya untuk menyelidiki skandal yang merugikan BUMN asuransi Rp 17 triliun itu. Kabarnya, tidak dibentuknya Pansus Jiwasraya itu atas permintaan dan tekanan dari Istana Negara Maimun. Setelah Jiwasraya, kini meledak lagi skandal korupsi di PT Asabri. Kerugian di Asabri diperkirakan mencapai Rp 21 triliun. Pelakunya masih hampir sama dengan mereka yang membobol Jiwasraya. Namun, lagi-lagi DPR tidak juga bergeming untuk segera membentuk Pansus Jiwasraya maupun Pansus Asabri. Atau Pansus Jiwasraya dan Asabri. Rupanya untuk DPR periode sekarang, skandal korupsi dengan nilai hampir Rp 40 triliun, bukanlah sesuatu yang penting dan mendesak untuk dibahas dan diselidiki oleh pansus DPR. Tidak terlalu penting, atau karena angkanya tidak besar-besar amat. Mungkin saja kalo angkanya di atas Rp 100 triliun pun belum juga perlu untuk dibentuk pansus DPR. Belom lama ini pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Dari draf PDF yang beredar di media sosial, RUU Omnibus Law ini akan merampok sejumlah kewenangan Pemerintah Daerah. Bahkan atas nama undang-undang ini, para Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, bisa saja dipecat oleh pemerintah pusat. Bukan itu saja. Eksekutif juga dapat mengambil alih sejumlah kewenangan Legislative dan Yudikatif hanya dengan memakai Peraturan Pemerintah (PP) berdasarkan mandat yang diberikan oleh undang-undang Omnibus Law. Atas nama penciptaan lapangan kerja, Presiden dapat saja menumpuk sejumlah kewenangan Pemerintah Daerah, Legislatif dan Yudikatif di tangannya. Meskipun RUU ini bakal menampilkan wajah dan topeng baru kekuasaan yang sentralistik dan otoritarian. Namun kemungkinan besar RUU Omnibus Law bakal disetujui oleh DPR. Ya, memang sangat wajar dan bijak kalau RUU ini disetujui DPR. Apalagi DPR dalam posisi barunya sebagai Kantor Cabang Presiden dari Istana Negara Maimun. Selamat memasuki kekuasaan baru yang otoriter dan tirani. Penulis adalah Wartawan Senior

Lebih Wingit Kota New York atau Kota Kediri?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sampai sejauh ini setidaknya ada dua kota yang sangat dihindari Presiden Jokowi. Kota New York di AS, dan kota Kediri di Jawa Timur. Diantara kedua kota itu, mana yang paling wingit? Paling angker? Bagi Presiden Jokowi tampaknya jawabannya sangat jelas. New York kota yang menjadi markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jelas jauh lebih wingit. New York berada diperingkat pertama. Baru diperingkat berikutnya Kediri. Kota lain? Belum ada konfirmasi. Selama lima tahun periode pertama jabatannya, Jokowi terkesan sangat menghindari New York, khususnya kegiatan Sidang Majelis Umum ( SMU ) PBB. Sudah lima tahun berturut-turut Jokowi absen SMU PBB. Kegiatan penting dan sangat prestisius itu cukup diwakilkan kepada (mantan) Wapres Jusuf Kalla. Sebuah rekor yang belum pernah dicapai oleh seluruh Presiden Indonesia. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun Susilo Bambang Yuhoyono tidak bisa menandinginya. Kalau dalam sepakbola “prestasi” semacam itu disebut sebagai quintrick, memborong lima gol sekaligus. Luar biasa! Prestasi semacam ini hanya pernah ditorehkan bintang sepakbola paling top di dunia sekelas Ronaldo dan Lionel Messi. Alan Shearer dan Robert Lewandowski juga pernah melakukannya. Sebaliknya untuk Kota Kediri, Jokowi baru sekali absen. Jokowi tidak hadir pada sebuah acara di Pesantren Lirboyo Kediri. Semula berdasarkan penjelasan dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung, agar Jokowi terhindar dari bencana lengser seperti yang pernah menimpa almarhum Presiden Abdurahman Wahid ( Gus Dur ). Ada beberapa lokasi di kota Kediri yang jadi pantangan seorang presiden, dan tidak boleh dilewati kalau tak mau bernasib apes. Jadi yang paling aman bagi seorang presiden, hindari sejauh mungkin kota yang pernah menjadi pusat kerajaan Dhaha itu. Belakangan pernyataan Pram diralat. Dia menyatakan konteks pembicaraannya dalam nada bercanda dan disalahpahami media. "Kita tahu Presiden kita ini tidak takut ke mana-mana. Mau ke mana saja, ke Afghanistan saya juga mendampingi, apalagi hanya ke Kediri. Saya melihat berita sudah melenceng jauh dari substansi awal," ujar Pramono. "Sampai hari ini Pak Jokowi tidak pernah diundang ke Kediri. Tergantung undangannya saja," tambahnya. Okay lah. Sementara ini permasalahannya kita anggap clear. Presiden tidak pernah takut kemanapun. Apalagi cuma kota Kediri. Kita tinggal tunggu kapan Jokowi berkunjung ke kota yang identik dengan rokok PT Gudang Garam itu. Ada baiknya untuk uji nyali, sekaligus uji sahih ucapan Pram, pemerintah setempat, atau warga kota Kediri segera mengundang Presiden Jokowi. Kita buktikan Jokowi hadir atau tidak. Lagi pula Kediri selama ini selalu dikuasai oleh PDIP, partai yang menjadi basis utama pendukungnya. Harusnya menjadi prioritas Jokowi. Apa gedung PBB sangat angker? Urusan kota Kediri untuk sementara boleh dilupakan. Sekarang kita balik lagi ke kota New York. Apa iya kota New York, khususnya markas PBB yang sangat wingit, angker, keramat, bisa membuat Jokowi dilengserkan kalau sampai berani mengunjunginya? Kalau tidak super wingit lantas apa penjelasannya, kok sampai lima kali berturut-turut tidak hadir? Pada SMU PBB ke-74 tahun 2019 Wapres Jusuf Kalla kembali mewakili Jokowi. Itu menjadi kali terakhir Kalla bisa mewakili. Dia berharap, pada sidang ke-75 tahun 2020 Jokowi bisa hadir. “Semua pemimpin negara lain bertanya-tanya. Mana Pak Jokowi,” ujar Kalla. Kehadiran seorang kepala negara dalam forum internasional semacam itu sangat penting. Para kepala negara bisa menyampaikan agenda dan gagasan di pentas dunia. Forum semacam itu biasanya dimanfaatkan untuk saling bertemu dan menjalin kerjasama. Sebuah kesempatan yang mahal, langka, dan sangat penting. Pada 30 September 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang sangat terkenal di depan Majelis Umum PBB. Pidatonya diberi judul "To Build the World A New". Bung Karno menguraikan soal Pancasila, perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, posisi Indonesia dalam masalah kolonialisme, dan usaha perbaikan organisasi PBB. Presiden Soeharto dalam Sidang Majelis Umum Ke-47 PBB pada 24 September 1992 menyampaikan "Pesan Jakarta.” Pesan tersebut dirumuskan dalam KTT ke 10 Gerakan Non Blok (GNB) yang dilaksanakan di Jakarta antara tanggal 1-6 September 1992. Soeharto bukan hanya mewakili 180 juta penduduk Indonesia namun juga mewakili 108 negara anggota GNB. Dua per tiga dari keseluruhan keanggotaan PBB. Presiden Gus Dur juga pernah hadir dalam sidang di Markas PBB pada tahun 2000. Bahkan pada bulan Desember 2003 setelah tidak menjadi presiden dia mendapat penghargaan “Global Tolerance Award” dari PBB. Sementara Megawati yang menggantikan Gus Dur pernah hadir dalam SMU PBB tahun 2001. Megawati juga tercatat sebagai presiden pertama dari negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang mengunjungi AS setelah tragedi 11 September 2001. Begitu pula halnya dengan Presiden SBY yang sangat aktif dalam forum-forum internasional, khususnya di PBB. Pada sidang PBB ke-67 tahun 2012 SBY menyampaikan sikap Indonesia terhadap maraknya penistaan agama di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2020 ini kita akan kembali menyaksikan apakah markas PBB di kota New York masih menjadi tempat yang angker dan wingit bagi Jokowi? Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah menyatakan, kesibukan di dalam negeri menjadi alasan mengapa Jokowi tidak pernah hadir di SMU PBB. Lagi pula menurutnya Wapres Jusuf Kalla juga merupakan representasi negara. “Jadi tak perlu dipersoalkan,” tegasnya. Masalahnya kata Kalla, PBB punya aturan protokol yang ketat. Kelas seorang wapres tidak bisa disamakan dengan presiden. "Jadi ukurannya bukan negara besar atau tidak, tapi Anda pangkatnya apa, itu protokolernya berlaku. Seperti tadi yang berbicara pertama dari Mauritius, itu negara penduduknya hanya 20 ribu sampai 30 ribu. Jadi kalau Pak Jokowi, mungkin hari pertama atau hari kedua berbicara,” ujar Kalla. Pada sidang ke-74 Kalla baru mendapat giliran pidato pada hari ketiga setelah semua kepala negara berpidato. Dia harus bersabar dan mengalah menunggu giliran, setelah pidato kepala negara sekelas Nauru, Fiji, atau negara-negara lain yang namanya tidak pernah kita dengar. SMU PBB biasanya digelar pada bulan September. Masih beberapa bulan lagi. Apakah kali ini Jokowi akan kembali absen, atau memutus “tradisi” selama lima tahun terakhir. Kalau Jokowi kembali absen, kira-kira apa alasannya? Kalau kendala bahasa, hal itu tak seharusnya menjadi penghalang. Secara undang-undang sesungguhnya seorang presiden harus menggunakan bahasa Indonesia di forum-forum resmi. Apalagi di forum internaaional. Pak Harto paling taat dan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Kalau absen lagi, siapa kira-kira yang akan diutus? Wapres Ma’ruf Amin atau pejabat yang lain? Sambil menunggu bulan September tiba, bila Anda termasuk orang yang ingin menjadi presiden Indonesia dan terpilih sampai dua kali, tidak ada salahnya mulai riset kemungkinan tempat-tempat wingit di kota New York. Jembatan Broklyn, Patung Liberty, Fifth Avenue, Park Avenue, Central Park, Ground Zero, atau Gedung Markas PBB? Jangan-jangan disitu lah kunci rahasianya. End. Penulis wartawan senior.

Langgar Hukum, Dana Hibah KONI Dibuat Kontrak Pemain!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Berdasar jejak digital yang ditulis Kompas.com (11/02/2016, 20:07 WIB), terungkap adanya praktek “kontrak atlet” antar provinsi dalam gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, September 2016. Atlet renang nasional, Indra Gunawan mengaku masih menunggu dana yang akan digunakan untuk latihan dan persiapan menjelang membela kontingan Jawa Timur di arena PON 2016, September 2016. Indra Gunawan, 31 tahun, yang saat itu bermukim dan berlatih di Bali mengaku mengalami kendala dana untuk berlatih secara maksimal. “Dana untuk suplemen, try out, training camp, dan juga peralatan tak pernah turun hingga saat ini,” kata Indra yang dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto. Ia menyebut, bahkan untuk melakukan tes fisik di Surabaya pun, Januari 2016, Indra tak bisa datang karena terkendala dana. “Pemberitahuan terlalu mepet, sehari sebelumnya. Belum lagi ada kendala dana,” ungkap Indra. Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas untuk nomor 50 meter gaya dada. Indra yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara mengaku tidak bermasalah dengan gaji bulanan dari KONI Jawa Timur. “Meski waktunya tidak teratur, namun gaji bulanan selalu saya terima,” kata ayah dua anak ini. Berita yang ditulis Kompas.com itu merupakan salah satu petunjuk adanya praktek Kontrak Atlet antar provinsi. Yang banyak Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Untuk mengambil atlet angkat besi, Eko Yuli Wirawan misalnya, Jatim mesti membayar Kaltim dengan mahar Rp 300 juta. Nominal berkisar Rp 200 juta hingga Rp 500 juta juga dikeluarkan untuk 15 atlet lain yang pindah ke Jatim. Melansir Tirto.id (23 September 2016), diantara mereka ada lima atlet boling dari Jabar, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper. Jatim juga telah berhasil membajak perenang pelatnas, Ressa Kania Dewi dan Glen Victor Susanto. Kabarnya mahar dua atlet ini di atas Rp 600 juta. Untuk melobi perenang andalan Jabar lain, Triady Fauzi Sidiq, Jatim bahkan sempat menego Rp 780 juta. Namun, tawaran itu ditolak oleh KONI Jabar. Semakin besar prestasi dan potensi si atlet mendapat medali maka semakin juga mahal “uang pembinaannya”. Kegilaan tawaran mutasi atlet memang sudah kelewat batas. Pecatur andalan Jabar, Irene Kharisma Sukandar bahkan sempat “dibeli” Jatim Rp 1 miliar pada 2013. Surat kontrak antara Irene dan KONI Jatim sudah dibuat. Tapi, transaksi ini gagal karena Jabar menang saat proses gugatan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI). Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain. Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkedok permainan kontrak pemain. Kabarnya, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar fee transfer dan kontrak pemain. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet! Langgar Hukum! Coba kita simak Pasal 9 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahgaraan Nasional, Bagian Kedua mengenai Alokasi Pendanaan. Pasal 9 (1)Dana yang diperoleh dari sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat dialokasikan untuk penyelenggaraan keolahragaan yang meliputi: a.olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi; b.pembinaan dan pengembangan olahraga; c.pengelolaan keolahragaan; d.pekan dan kejuaraan olahraga; e.pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga; f.peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; g.pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; h.pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan; i.pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan; j.pembinaan dan pengembangan industri olahraga; k.standardisasi, akreditasi dan sertifikasi; l.pencegahan dan pengawasan doping; m.pemberian penghargaan; n.pelaksanaan pengawasan; dan o.pengembangan, pengawasan, serta pengelolaan olahraga profesional. (2)Tata cara penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya kita simak juga PP Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan, Bab XII mengenai Pendanaan Keolahragaan. Pasal 69 (1)Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2)Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 70 (1)Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan. (2)Sumber pendanaan keolahragaan dapat diperoleh dari: a.masyarakat melalui berbagai kegiatan berdasarkan ketentuan yang berlaku; b.kerja sama yang saling menguntungkan; c.bantuan luar negeri yang tidak mengikat; d.hasil usaha industri olahraga; dan/atau e.sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 71 (1)Pengelolaan dana keolahragaan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2)Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 71 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov untuk KONI Provinsi. Kabarnya, ini terjadi di ketiga provinsi yang disebut di atas tadi. Dari jejak digital pula diketahui, Pemprov Jatim mengucurkan anggaran Rp 208 miliar untuk KONI Jatim pada 2015. Jumlah itu meningkat tajam jika dibandingkan pada 2014 yang hanya Rp 120 miliar. Seperti dilansir Bhirawa.com, Senin (2/2/2015), menurut Ketua Umum KONI Jatim Erlangga Satriagung, anggaran dari Pemprov Jatim meningkat karena KONI Jatim memiliki sejumlah angenda yang membutuhkan uang cukup besar. Yakni, penyelenggaraan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) V di Banyuwangi, try out cabang olahraga (Cabor) untuk persiapan PON Jabar 2016 dan penambahan cabor di Pemusatan Latihan Daerah (Puslatda). “Banyak program yang membutuhkan anggaran cukup besar. Tahun 2015 ini ada Porprov dan cabor-cabor mulai banyak try out sebagai persiapan PON 2016,” kata Erlangga, Senin (2/2/2015). Seberapa besar dana hibah yang diduga diselewengkan oleh tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016, tentu pihak berwenang yang lebih tahu. Sebab, semua bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum! Penuturan Indra Gunawan tentang “kontrak atlet" yang para atlet alami di Indonesia tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menegakkan aturan tentang pengelolaan dana hibah. Jangan hanya demi ambisi dan prestasi semata, daerah menghalalkan segala cara. Alhasil, prestasi olahraga Indonesia pada tataran internasional juga ikut berdampak akibat minimnya regenerasi. Sudah saatnya para penegak hukum berlaku adil dengan mengusut tuntas kesalahan pengelolaan dana hibah untuk masalah transfer atlet ini. Dan, di sisi lain, daerah harus serius menggunakan dana hibah ini untuk proses regenerasi atlet! *** Penulis wartawan senior.

Misteri Hukum Politik Dibalik Omnibus Law

Oleh Raditya Mubdi Jakarta, FNN – Metode Omnibus Law sebagai pilihan pemerintah untuk menyederhanakan puluhan undang-undang dan ribuan pasal menuai pro dan kontra di masyarakat. Selain materi Rancangan Undang-Undang (RUU), prosedur omnibus law ini dianggap tidak lazim di Indonesia yang memiliki latar belakang hukum civil law atau disebut eropa continental. Omnibus Law merupakan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyederhanakan beberapa undang-undang sekaligus menjadi satu undang-undang. Sehingga ada yang menggunakan istilah beleid sapu jagat. Metode omnibus law ini sering digunakan di negara-negara yang sistem hukumnya common law. Sementara indonesia sebagai negara penganut sistem hukum civil law memiliki cara dan teknis berbeda dalam perubahan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi pertanyaan publik. Sebab tidak biasa terjadi. Sekalipun ada beberapa ahli hukum yang membangun argumentasi terkait penerapan omnibus law sebagai sistem hukum common low secara teknis untuk mendukung pemerintah dalam penerapan omnibus law di indonesia, tetap saja terlihat tidak normal dalam sistem hukum di indonesia. Ibarat duren berbuah mangga. Hal ini bukan suatu terobosan normal. Melainkan rekayasa dengan metode hibridisasi dua komponen sistem hukum yang berbeda. Artinya terdapat latar belakang yang sangat fundamental dari kebijakan pemerintah tersebut. Tidak dapat dipungkiri, di alam demokrasi seperti Indonesia. Politik sangat berperan penting untuk memperkuat kekuasaan. Itulah hukum politik di indonesia. Jika penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang dilakukan pemerintah melalui revisi, maka memakan waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan anggaran yang dikeluarkan sangat besar, karena berkaitan dengan revisi puluhan undang-undang tersebut. Jika pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), sebenarnya sangat mudah dan sederhana. Namun sangat berisiko secara politik dikemudian hari. Sehingga bisa jadi omnibus law sebagai jalan pintas untuk meredam semua risiko yang akan dihadapi. Inilah ranah teka-teki hukum politik yang dihadapi. Jika kita tilik lebih dalam, apa sesungguhnya yang paling urgent dari kebijakan pemerintah ini? Sehingga harus membutuhkan omnibus law sebagai alat konsolidasi politik yang strategis? Sekalipun memiliki kewenangan hukum, namun pemerintah tidak berani mengambil resiko secara sepihak. Butuh dukungan politik untuk legitimasi kebijakan yang dikeluarkan melalui omnibus law ini. Istilahnya, menabrak sistem hukum saat ini tak mengapa. Jika dibandingkan dengan di kemudian hari menjadi bumerang yang berakibat gejolak politik yang sangat fatal. Hari ini dapat dilihat reaksi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat terhadap RUU omnibus law. Bukan saja dari kalangan para buruh, beberapa elite pun turun gelanggang berkomentar terkait kebijakan pemerintah mengajukan RUU omnibus law ini. Mereka beranggapan kebijakan pemerintah melalui RUU omnibus law sangat merugikan beberapa komponen masyarakat dan menguntungkan investor dan pengusaha. Selain itu, kebijakan ini dianggap menabrak aturan yang ada. Penulis adalah Fungsionaris PB HMI