NASIONAL

Anggota DPR RI. M. Sarmuji; Bersama Merawat Persatuan Indonesia

Dinamika yang berkembang dalam masyarakat akhir-akhir ini, pertanda bahwa perlu adanya instrumen yang dapat digunakan untuk menyamakan presepsi, mindset dan rasa toleransi bersama, hal itu membuahkan asas atau pijakan yang tak lain ialah kepentingan ideologi kita (Pancasila). Oleh. M. Hassan Minanan Jakarta, FNN – Founding fathers kita, telah final menyusun konsep pemersatu dari kurang lebih 13.466 pulau dan 750 suku bangsa yang tersebar seluruh Indonesia. Bahwa Pancasila adalah dasar Negara dan Pancasila merupakan payung dari UUD 1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum Negara. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI. M. Sarmuji menyampaikan hal tersebut, saat menjadi pembicara pada sosialisasi empat pilar Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) di Gedung Serbaguna Wonodadi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Rabu 4 Desember 2019. Dalam pandangan Anggota Dewan Praksi Golkar kepada 150 warga yang hadir sebagai peserta sosialisasi tersebut. Pilihan Pancasila sebagai dasar negara tentu mempunyai nilai yang kuat. Itulah sebabnya, para Founding Fathers menyebut pancasila sebagai Philosophische Grondslag, sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sampai pada titik ini Sarmuji menyatakan. Titik tolak multietnik dan dimensi multikulture yang menyertainya untuk mempertegas bahwa pancasila tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Indonesia, pancasila itu adalah ruh eksistensi Indonesia. Menurut Sarmuji Pancasila telah mempersatukan kita. Karena kita memiliki satu pandangan dengan saudara-saudara kita di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa, Bali, Maluku dan pulau lainnya menjadi satu kesatuan. Menumbuhkan rasa kebersamaan Nasionalisme, mengajarkan kita untuk saling mencintai diantara kita. Pancasila juga mengajarkan kita untuk hidup saling mengasihi diantara sesama manusia. Istilah Bhineka menjadi tunggal ika menjadi landasan melalui sidang BPUPKI & PPKI secara musyawara mufakat, kemudian menjadi sila ke-3 Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia". Dan UUD 1945 sebagai konstitusi yang mengatur Bangsa dan Negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah masa lalu, posisi perjuangan dan pejalanan masa depan akan mengikat kita. Untuk itu, jangan sampai ada pihak yang bisa memisahkan kita. Sebab kita bisa bersama-sama dalam mencitapkan pilar-pilar yang saling menghormati, menyayangi dan mencintai diantara kita. Tujuannya, mendukung kebaikan bersama bagi generasi yang akan datang. Butuh Kedewasaan Pada kesempatan itu, Sarmuji juga mengingatkan. Meskipun Pancasila tetap tegak berdiri mengawal pelaksanaan roda pemerintahan, tetapi dari masa ke masa sejak awal kemerdekaan hingga hari ini mempunyai corak atau konfigurasi politik yang berbeda-beda. Pancasila yang sesungguhnya menjadi dasar, asas, atau pijakan dalam pelaksanaan birokrasi yang demokratis justeru pada masa Orde Baru, jaman Soeharto berkuasa penggunaan kata “Pancasila” mengalami overdosis atau terjadinya kekacauan epistemologis pada konteks politik. Sehingga, meskipun tindakan-tindakan inkonstitusi sekalipun dilandasi atau didalilkan simetris dengan Pancasila. Kegaduhan dan kericiuan terus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Beragam isu yang menjadi reaksi masyarakat, hal itu merupakan dampak dari konflik yang masuk ke dalam nilai. Sehingga menambah muatan pertarungan bahkan dengan prinsip survivel of the fittest memicu terbelahnya sosial menimbulkan potensi masing-masing pihak bertahan atas nilai dan keyakinannya sendiri-sendiri. Adnan Buyung Nasution mengatakan ada tiga kelompok ideologis yang bertarung dalam debat Badan Konstituante (Lembaga Pembentuk UUD) sepanjang tahun 1955-1957. Buyung mengatakan itu dalam “The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia 1992, yang berbasis disertasinya di Universitas Utrecht Belanda. Ketiga kelompok tersebut adalah, kelompok Pancasila yang diwakili oleh Partai Nasional Indoensia (PNI), Kelompok Islam oleh Masyumi dan Nahdatul Ulama dan Kelompok Sosial-Ekonomi oleh Partai Murba Dan Partai Buruh (fnn.co.id) Berdasarkan latar belakangnya, secara psikologis hal itu tidak sekedar melahirkan rasa tidak tentram dan tidak nyaman, kemampuan untuk mengatur, mengurus, mengelolah dan mendaya-gunakan selaga potensi yang dimiliki ada jejak langkah yang telah jauh keluar koridor dalam mebangun presepri dan mindset masyarakat. Serta tidak sungguh-sungguh berupaya menjalankan amanah kekuasaan, dalam keberpihakan kepada seluruh rakyat. Inilah rekayasa adudomba yang dirasakan rakyat. Perjalanan “panjang dan gelap gulita” itu terus terjadi, selama kita tidak menyadari bahwa pancasila dan Undang-Undang Dasar kita, nyaris disobek-sobek oleh bangsa Negara luar alias aasiing. Bila ada yang muncul sebagai panglima, yang menjalankan amanat sesuai Pesan pancasila dan UUD 2945 benar-benar dihadang tanpa ada celah. seperti kata para pakar, Negara kita sedang berada dalam sebuah kapal rusak. Itulah Indonesia. Barangkali tidak salah mengatakan, katanya Mpu Tantular “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa” berbeda warna kulit, dan rambut alias beraneka ragam namun tetap tunggal jua. Adalah penegasan loyalitas tunggal pada ibu pertiwi. Upaya menata dan merumuskan kembali sistem nilai dan jejaring sosial itu bisa dilakukan pada beberapa strata sosial, kalau pemulihan nilai belum terselesaikan di tingkat nasional pun juga sulit di tingkat provinsi. Maka, hal itu bisa dilakukan pada tingkat komunitas pedesaan, serta lingkup keluarga supaya hubungan tetap terjaga dengan baik. Dilihat dari banyak komunitas pedesaan yang mampu membangun rasa kebersamaan, rasa persaudaraan dan terlihat seperti acuh dan tak mau tahu dengan segala urusan Negara atau media sosisal yang heboh. Hal itu merupakan gejala yang mana sebagian besar warga negara telah kehilangan panutan, kerana nilai-nilai telah larut ke lautan bebas. tetapi dalam kondisi begini bukan berarti tak ada harapan. harapannya ada pada komunitas pedesaan dan keluarga. Semoga, segala ikhtiar untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang kuat, utuhdan dan tidak mudah terpecah selalu ada solusi yang terbaik kedepannya. *Penulis adalah Wartawan Yunior*

Silaturrahim, Cara Kapolri Idham Meredam Perbedaan

By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Rasulullaah SAW bersabda waman kaana yu’minu billaahi walyaumil akhir, falyashil rahimahu. Artinya, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia menyambung tali silaturrahim”. Pada Hadits yang lain Rasulullaah SAW bersabda man ahabba an yubsatha lahu fii rizkihi wayunsaa’a lahu fii atsarihi falyashil rahimahu. Artinya, “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menjalin hubungan silaturrahim”. Jendral Polisi Idham Azis dilantik sebagai Kapolri pada Jum’at, 1 November 2019 di oleh Presiden Jokowi. Setelah dilantik di Istana Negara, ba’da sholat Jum’at itu juga Kapolri silaturrahim ke Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Jalan Medan Merdeka Barat. Kunjungan itu untuk membangun sinergitas TNI-Polri dalam menjaga keamanan di dalam negeri. Pada hari pertama, minggu pertama bertugas sebagai Kapolri, Senin siang 4 November 2019, Jendral Idham bersilaturrahim ke Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jalan Rasuna Said, Kuningan. Kunjungan ke KPK juga untuk membangun kebersamaan dan sinergitas. Bergandengan tangan antara Polisi dan KPK dalam rangka penegakan dan pencegahan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Kondensat Rp 37,8 Triliun Mangkrak Setelah bersilaturrahim ke Panglima TNI dan KPK, Senin sore masih di tanggal yang sama, 4 November 2019, giliran Kapolri Idham silaturrahim ke Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kejaksasaan Agung, jalan Sisingamangaraja. Kunjungan ke Kejaksaan Agung ini adalah kunjungan ketiga Idham sebagai Kapolri ke instansi vertikal pemerintahan dan negara. Silaturrahim ke Jaksa Agung menjadi penting bagi Jendral Idham. Kapolri paham betul cara dan pola penangan perkara yang ditangani polisi, pasti berujung di pemeriksaan jaksa. Targetnya agar perkara yang disidik polisi bisa cepat dan lancar sampai dengan disidangkan di pengadilan. Sebagai orang reserse dan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Idham sangat paham pentingnya membangun hubungan yang indah, asyik, dan harmonis dengan jajaran kejaksaan. Sudah benar Idham berkunjung ke Kejaksaan Agung. Sebab sampai sekarang, masih banyak perkara yang ditangani polisi mangkrak di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Lamanya perkara yang tertahan di semua tingkatan jajaran kejaksaan bisa bertahun-tahun. Tergantung kemauan jajaran kejaksaan, apakah mau dibawa ke pengadilan atau tidak. Salah satu kasus besar yang masih mangkrak di Kejaksaan Agung sampai sekarang adalah kasus korupsi kondensat. Kasus ini mengakibatkan kerugian keuangan negara USD 2,7 miliar dollar. Jika dihitung dengan kurs yang berlaku sekarang Rp 14.000 per dollar, maka nilainya setara dengan Rp 37,8 triliun. Sangat besar dan fantastis untuk ukuran kasus korupsi. Kasus korupsi kondensat ini disidik Bareskrim Polri sejak Juni 2015. Sudah empat tahun lebih mangkrak di gedung Bundar. Dimulai ketika itu Kabareskrim dijabat Komjen Polisi Budi Waseso (Buwas). Sampai dengan Idham Azis menjabat Kabareskrim, tercatat sudah lima Kabareskrim yang menangani skandal mega korupsi ini. Setelah Buwas, Kabareskrim berikutnya adalah Komjen Polisi Anang Iskandar. Setelah itu, Komjen Polisi Aridono Sukmanto dan Komjen Polisi Arief Sulistyanto. Sedangkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) yang menangani perkara ini sudah tiga orang. Pertama Jampidsus R. Widyo Pamono. Setelah itu Arminsyah yang sekarang menjabat Wakil Jaksa Agung. Terakhir adalah Jampidsus Adi Toegarisman, yang masih menjabat sekarang. Meskipun Adi Toegarisman sudah berkali-kali mengatakan kasus korupsi kondensat U$ 2,7 miliar dollar ini sudah lengkap atau P-21. Namun sampai sekarang belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Padahal, dua dari tiga orang telah ditetapkan polisi sebagai tersangka, yaitu Raden Priyono dan Djoko Harsono dari BP Migas. Mereka berdua juga sudah pernah ditahan. Namun sekarang mereka berdua sudah dibebaskan lagi tanpa disidangkan. Tinggal pemilik PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratmo yang masih buron. Sampai sekarang polisi belum menemukan Honggo. Tidak adanya Honggo, dijadikan alasan oleh Jampidsus untuk tidak menerima pelimpahan perkara tahap dua, tersangka dan lainnya. Jampidsus sepertinya tidak mau membawa kasus korupsi kondensat ini ke pangadilan. Padahal persidangan tanpa kehadiran tersangka (in absensia) sudah sering digelar di pengadilan Indonesia. Fakta adanya persidangan in absensia ini bisa dilihat pada persidangan-persidangan kasus yang terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). NU dan Muhammadiyah Setelah silaturrahim ke Panglima TNI, Pimpinan KPK dan Jaksa Agung, Selasa 12 November 2019, giliran Kapolri Idham bersilaturrahim ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Nahdatul Ulama adalah Organisasi Kemasyarakatan (Ornas) terbesar di Indonesia. Sangat tepat sebagai Kapolri baru, Idham berkunjung ke markasnya kaum nahdliyin tersebut. “Kunjungan ke Ketua Umum PBNU sudah merupakan tradisi dari setiap Kapolri baru. Sebagai orang yang diberikan amanat untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di Polri, kunjungan seperti ini sudah menjadi tradisi yang berjalan baik dari para Kapolri pandahulu. Tradisi yang sudah baik ini, tentu saja sangat baik dan bermanfaat kalau dilanjutkan oleh kami para yunior, “ ujar Idham Azis. “Besarnya komitmen jamaah nahdiyin untuk mengawal dan menjaga keutuhan NKRI juga tidak perlu diragukan lagi,“ kata Kapolri Idham. Apalagi selama ini Polri sangat merasaklan besarnya bantuan PBNU dalam membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik, aman, damai, tenteram, dan tertib. Polri juga tidak mungkin bisa bekerja sendirian tanpa bantuan dari ormas-ormas keagamaan seperti PBNU. Setelah itu, pada Kamis 21 November 2019, giliran Kapolri bersilaturrahim ke kantor Pusat Da’wah Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Pada silaturrahim ini Kapolri didampingi Kepala Badan Intelijen Keamanan (Kabaintelkam) Komjen Agung Budi Maryoto, Kepala Devisi Propam Irjen Listyo Sigit, Wakabaintelkam Irjen Suntana, Kepala Devisi Humas Irjen Muhammad Iqbal, Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Irjen Muhammad Fadil Imron dan Staf Ahli Bidang Politik Irjen Nico Afinta. Kapolri diterima oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Dari pengurus PP Muhammadiyah yang ikut mendampingi Ketua Umum Haedar Nashir menerima silaturrahim Kapolri dan rombongan, antara lain Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Syafiq Mughni dan pengurus yang lainnya. Dari lima kunjungan silaturrahim ini, ke Panglima TNI, Pimpinan KPK, Jaksa Agung, PBNU dan PP Muhammadiyah, terlihat kalau Kapolri Idham punya misi terselubung. Paling kurang Kapolri mencoba membangun kelancaran komunikasi antara Polri dengan lembaga-lembaga vertikal di luar Polri. Tampaknya Kapolri sangat sadar bahwa meredam sekecil apapun setiap perbedaan diantara sesama anak bangsa jauh lebih penting dan lebih baik. Sebab perbedaan dan masalah dapat timbul kapan saja setiap saat. Cara meredam yang lebih baik, lebih ampuh, dan lebih efektif adalah dengan rajin-rajin menjalin silaturrahim di antara sesama anak bangsa. Lebih gampang dan mudah, dari pada masalah yang timbul tersebut sudah membesar. Yang juga tidak kalah penting dari safari silaturrahim itu, tentu Kapolri Idham tidak lupa mengajak lembaga dan institusi yang dikunjungi agar sama-sama menjaga dan memperkuat rumah besar kita NKRI. Selian itu, ikut mengawasi proses penegakan hukum agar dapat bejalan dengan cepat, tepat, efektif, dan murah sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum jangan sampai ditegakkan dengan membolak-balik, yang seharusnya benar menjadi salah. Sebaliknya, membuat yang salah menjadi tampak benar. Tidak ada persoalan bermasyarakat yang tak bisa diselesaikan dengan media silatutrrahim. Sebab dengan silaturrahim, masalah yang tadinya membeku bisa menjadi cair. Yang tadinya kusut bisa terurai dan yang tadinya macet bisa menjadi lancar lagi. Semunya bisa diatasi hanya dengan membangun tali silaturrahim. Sebab manfaat dari silaturrahim itu akan memperpanjang umur dan memperumudah rezeki (memperlancar urusan pekerjaan). Wallaahu alam bishawab. Penulis adalah Wartawan Senior

Sebentar Lagi Sperma Terpapar Radikalisme

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Beberapa hari lalu, Wapres Ma’ruf Amin mengatakan ada sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) yang terpapar radikalisme. Ma’ruf mengatakan itu setelah dia berkunjung ke berbagai daerah. Wapres berkata, banyak sekolah yang masih menggunakan bahan ajar yang mengandung unsur radikalisme. Bahan ajar itu lolos hingga ke tangan anak-anak, bahkan tak jarang dijadikan sebagai soal ujian. Pernyataan ini dikutip beberapa media online. Pernyataan Ma’ruf ini mendapat reaksi keras dari kalangan pengelola PAUD. Ada yang mempertanyakan kriteria bahan ajar radikal yang dimaksudkan Ma’ruf. Misalnya, banyak PAUD yang menghafalkan nama 25 nabi kepada anak-didik. Apakah ini digolongkan bermuatan radikal. Kemudian, ada pula pelajaran merakit mainan Lego. Radikalnya di mana? Terlepas dari rasa heran kalangan pengelola PAUD, kita harus mengacungkan jempol kepada Wapres. Ini baru hebat. Program pembasmian radikalisme yang disusun dan dieksekusi pemerintah, benar-benar komprehensif. Menyeluruh jangkauannya. “No stone will be left unturned”. Alias, tidak akan ada ceruk atau celah yang tak diamati. Semua akan disasar dan disisir. Sekolah PAUD juga akan dicecar. Setelah menemukan radikalisme di tingkat PAUD, kelihatannya tak lama lagi para penguasa akan mengejar radikalisme sampai ke jenjang usia yang lebih awal dari usia PAUD. Tapi, apakah ada yang lebih dini usianya dari anak-anak PAUD? Ada! Yakni, sebelum anak-anak itu menjadi manusia. Tepatnya, ketika masih dalam bentuk sperma. Jadi, bisa saja nanti akan keluar sinyalemen atau pernyataan bahwa sperma umat Islam banyak yang terpapar radikalisme. Artinya, aksi pemberantasan radikalisme akan sampai ke pengujian sperma. Kalau ini menjadi kenyataan, maka para calon pengantin laki-laki muslim akan diwajibkan memeriksakan sperma. Untuk mengetahui apakah sperma mereka pernah bersentuhan dengan bahan-bahan radikal. Kalau ada sperma yang positif radikal, kemungkinan akan diharuskan mengikuti pendidikan deradikalisasi sperma. Guna memastikan agar pengaruh radikalisme di kalangan sperma sudah terkikis. Terpaksalah nanti pemerintah memberlakukan ketentuan pemeriksaan sperma secara rutin. Supaya program ini sukses, bagus juga dibentuk Densus Sperma. Bisa jadi nanti Wapres Ma’ruf menginstruksikan agar Densus Sperma di seluruh Indonesia menyediakan kursus Cegah Radikalisme Sperma. Kemudian detasemen ini akan ditugaskan mengeluarkan SK-SBR (Surat Keterangan Sperma Bebas Radikalisme). Kita tunggu saja bagaimana jadinya.[] 4 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Masih 212: Pencekalan Membuat Posisi Habib Semakin Kuat

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Acara Reuni 212 kemarin berlangsung tanpa HR Shihab. HR mengatakan beliau tidak bisa pulang ke Indonesia karena dicekal Arab Saudi atas permintaan pemerintah Indonesia. Sedangkan para penguasa negera ini mengatakan, tidak ada inisiatif pencekalan dari Jakarta. Siapa yang Anda percaya? Silakan simpulkan sendiri. Pertanyaan penting dari pencekalan HR Shihab adalah: siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Para penguasa Indonesia mungkin merasa pencekalan HR Shibah akan membuat gerakan 212 melemah dan akhirnya bisa pupus. Artinya, pemerintah diuntungkan. Hampir pasti, begitulah harapan penguasa. Big mistake! Salah besar anggapan ini. Dan salah besar tindakan pencekalan itu. Pencekalan merugikan pemerintah. Mengapa? Karena umat Islam akan terus membicarakan ini. Kesan negatif umat terhadap pemerintah akan senantiasa menggantung bagaikan awan hitam. Dan kesan negatif itu malah akan semakin pekat. Akan semakin keraslah keyakinan umat bahwa pemerintah memang berlaku zalim. HR Shihab telah menunjukkan dokumen otentik tentang inisiatif pemerintah Indonesia untuk mencekal Imam Besar. Di acara 212 kemarin (2/12/2019), HRS dengan lantang mengimbau lewat video-conference agar pemerintah menghentikan kebohongan. Agar pemerintah tidak lagi berbohong. HRS tidak ragu mengatakan bahwa pemerintah berbohong dalam hal pencekalan atas dirinya. Pernyataan ini sangat serius dan menohok. Tidak mungkin Habib berani mengatakan itu kalau dia tidak punya bukti yang kuat. Para pejabat pemerintah bolak-balik membantah. Ada kesan para penguasa kocar-kacir untuk menjelaskan soal pencekalan itu. Apalagi pemerintah Saudi (cq Duta Besar mereka di Jakarta) sudah pernah menjelaskan dengan bahasa yang lugas bahwa Saudi siap memulangkan HR ke Indonesia kalau penguasa di sini mau menerima. Secara implisit pemerintah Saudi mengatakan pemerintah Indonesia-lah yang tidak mau menerima Habib. Keinginan para penguasa bahwa HR Shihab akan menjadi lemah, tampaknya “jauh panggang dari api”. Pencekalan ini, sebaliknya, hanya akan memperkuat posisi politik Habib. Publik semakin yakin bahwa HR5 telah menjadi figur yang sangat dicemaskan oleh para penguasa. Dan faktanya, Mendagri Tito Karnavian belum lama ini mengatakan, setelah 01 dan 02 bersatu, kini tinggal gerakan 212 yang menjadi masalah. Tentu saja gerakan 212 itu identik dengan Habib. Pencekalan akan menguntungkan Habib dalam banyak hal. Pertama, Habib terkesan dikeroyok oleh para penguasa Indonesia. Posisi seperti ini membangkitkan semangat publik untuk mendukung gerakan 212 lebih kuat lagi. Sebagai contoh, begitu banyak jemaah umrah yang menyempatkan diri untuk menjumpai HR5. Padahal, para penguasa bermaksud melemahkan Habib dan 212 dengan cara “mengasingkan” Imam Besar itu. Kedua, kalangan pemerintah dan publik di Arab Saudi semakin paham peranan Habib dalam menyatukan umat Islam di Indonesia. Mereka mengerti bahwa HR5 benar-benar memperjuangkan keadilan bagi semua orang tanpa kecuali. Penguasa dan publik Saudi menjadi tahu bahwa Habib dan gerakan 212 adalah kelompok yang sedang melawan skenario jahat untuk menghancurkan negara, khususnya umat Islam. Ketiga, pencekalan itu membuka lebar mata khalayak. Publik menjadi tahu dan percaya tentang adanya konspirasi besar dan kuat yang sedang diarahkan ke umat Islam. Indikasi ini tampak dari kebijakan pemerintah yang saat ini didominasi oleh isu radikalisme. Publik, terutama umat Islam, memperhatikan dengan saksama tindakan berlebihan yang dialakukan pemerintah. Seperti menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mengawasi perilaku radikal ASN dan CPNS. Juga ada perintah Wapres Ma’ruf Amin agar polisi mengawasi masjid. Kemudian ada sinyalemen radikalisme yang dikatakan melanda anak-anak setingkat PAUD. Jadi, pemerintah melakukan kesalahan kalkulasi. Pencekalan HRS yang semula dimaksudkan untuk meredupkan ketokohan Habib dan gerakan 212, yang terjadi malah sebaliknya. Dan, semakin lama drama ini berlangsung, akan semakin buruk dampaknya bagi pemerintah. Karena itu, langkah yang terbaik bagi penguasa ialah menerima kepulangan HR Shihab. Dan dari ini besar kemungkinan bisa dibangun rekonsiliasi nasional secara menyeluruh.[] 3 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Bahaya Korporasi Global Dibalik Gagasan Presiden Tiga Periode

Konstitusi memang selalu diandalkan untuk dijadikan pijakan oleh semua negara. Tetapi kontitusi membutuhkan politisi arif dan bijak untuk menjaga dan mengawalnya. Sebab setiap waktu, sesuai arus naik kepentingan korporasi menguasai sumberdaya alam, konstitusi bisa diinjak-injak oleh para politisi. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Presiden Indonesia, entah apa pertimbangan spesifiknya, sedang digagas untuk, tentu kelak, memegang jabatan selama tiga periode berturut-turut. Hebatnya masa jabatannya pun digagas untuk diubah, dalam makna diperpanjang. Buka lima tahun lagi, tetapi tujuh tahun. Bahkan ada yang mewacananakan delapan tahun. Siapa yang pertama memetik seluruh keuntungan? Terutama keuntungan ekonomi dari perpanjangan masa jabatan itu? Rakyat kecil dalam sejarahnya, hanya berdaulat selama lima menit dan lima meter persegi. Jalan untuk mereka bisa terjalin dengan presiden terpilih telah tertutup, bahkan jauh sebelum pemilu berakhir. Jangankan presiden terpilih, hasil pemilu pun tidak dapat mereka kontrol. Itulah mereka rekyat kecil. Status politik dan konstitusional mereka sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan suara hanya dagangan semata. mereka disimbolkan sebagai penentu siapa berkuasa dan seluruh aspek lainnya, juga tidak lebih dari sekadar retorika belaka. Bukan mereka yang berdauat secara empiris. Korporasi besarlah yang mengambil alih semua kedaulatan itu. Korporasi besar inilah (sekarang konglomerat), dalam sejumlah kasus muncul sebagai kelompok yang berdaulat secara empiris. Bukanlah rakyat kecil yang suaranya didengar pada kesempatan pertama oleh pembuat kebijakan. Mereka para konglomerat itu sangat cerdas dalam semua aspek. Terlalu lincah, licin dan kuat untuk semua urusan. Sumberdaya Ekonomi Perang dunia pertama, bahkan perang dunia kedua bukan perang membebaskan negara-negara dari penjajahan. Kalau pun soal itu menjadi pertimbangan, perangsang utama perang-perang itu adalah penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi. Perang dunia pertama misalnya tidak pernah jauh dari perebutan kekayaan alam dari penguasa Turki Otoman di sepanjang garis teritorinya. Disintegrasi kekuasaan Turki Otoman disempurnakan pada perang dunia kedua. Bukan apa-apa, tetapi perang dunia pertama itu tidak cukup memberikan keuntungan besar kepada Amerika. Keuntungan besar dari dari perang dunia pertama lebih banyak diperoleh Inggris dan Perancis. Apapun itu, dalam kenyataanhya garis batas teritori disepanjang bekas teritori Turki Otoman, kelak perlu ditata lagi. Dalam identifikasi Charlote Bennet, sebagian mengikuti garis aliran pipa minyak. Perang dunia adalah perang dengan dan untuk mendapatkan minyak, tulis Charlote Bannet. Sembari mengenalinya, satu hal yang pasti negara-negara baru, harus membentuk konstitusi. Seperti Jerman dan Turki pada perang dunia pertama. Konstitusi-konstitusi negara baru pecahan Turki Otoman harus mengadopsi sejumlah prinsip, dalam sebutan mereka adalah “pencerahan”. Konstitusi negara-negara baru juga harus memberi jaminan tentang hak asasi manusia dan hal lain dalam semangat yang sejenis. Tetapi ini bukan hal yang terbilang penting dan hebat. Hal hebat adalah negara dan keuasaan Turki Otoman itu harus terpecah-belah, dan terciptalah negara-negara baru, seperti yang terlihat hari ini di kawasan Timur-Tengah. Penciptaan negara baru adalah jalan baru, ke sumberdaya alam minyak. Pada konteks ini pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) sebuah Negara harus menjadi kepentingan korporasi atau konglomerat. Begitu juga sebuah negara atau perubahan UUD sebuah Negara. Setiap pembentukan dan perubahan UUD harus dalam identifikasi korporasi. Hanya boleh dilakukan jika kepentingan mereka terakomodasi. Kepentingannya selalu spesifik. Yang spesifik itu tidak pernah jauh dari melapangkan jalan ke penguasaan atas sumberdaya alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya. Kepentingan-kepentingan korporasi tersebut disamarkan sedemikian canggihnya. Sehingga tak mudah untuk bisa diidentifikasi oleh politisi dengan kampuan pas-pasan. Politisi yang tak tahu dan sadar kalau mereka telah dibeli oleh para korporasi. Para korporasi sangat cerdas dalam penyamaran. Karena yang nantinya muncul ke permukaan bukan dari kalangan korporasi. Yang muncul adalah organisasi yang berkedok demokrasi dan hak asasi, dengan orang yang terlihat independen. Mereka juga berbaju tradisional keilmuan. Melemahkan satu organ di satu sisi, dan memperkuat organisasi lain disisi lainnya adalah cara dan pola berpikir mereka koporasi. Pada tahun 1970-an, di Amerika Serikat misalnya, muncul ide mengubah bentuk pertanggung jawaban anggota parlemen. Kongres hendak dibuat tidak lagi bertanggung jawab kepada konstituen mereka. Center for the Study of Democratic Institution (CSDI) misalnya, menurut John Coleman menyebarkan ide-ide yang akan mendatangkan reformasi social. Jenis reformasi yang lebih liberal, dengan demokrasi sebagai idiologinya. Salah satu kegiatannya adalah merancang konsep konstitusi baru Amerika Serikat, yang akan bersifat monarkis dan sosialis seperti Denmark. Sampai tahun 1973 mereka telah sampai pada draf konstitusi ke 35. Dalam draf ini mereka menjamin hak lingkungan. Inti amandemen ini dalam menguasai basis industri Amerika. Organisasi-organisasi ini tidak bekerja secara sembunyi-sembunyi. Diskusi, seminar, roundtable, public opinion adalah sedikit dari serangkaian kegiatan dan cara mereka lakukan. Dengan opini publik lawan disudutkan, ditenggelamkan. Argumen lawan dijadikan parody. Kuasai Pemerintah UUD sebuah bangsa adalah cara bangsa itu mengindetidikasi dirinya, dan nasibnya dalam semua aspek. Bagaimana bangsa dan rakyatnya itu dibawa? Bagaimana cara rakyat diurus? Termasuk di dalamnya sumberdaya alamnya ditangani menjadi isu-isu utama dalam UUD. Untuk tujuan itu, maka ketepatan penataan kekuasaan, muncul menjadi hal yang esensial dalam semua UUD. Menariknya, organisasi-organisasi berkedok internasional, atas penyebaran gagasan hak asasi manusia, demokrasi dan semua derifasinya begitu bergairah. Mereka sangat bersemangat “dalam istilah memberi bantuan” kepada negara-negara tersebut. Amerika Latin misalnya, merupakan contoh terbaik bagaimana organisasi-organisasi berkedok internatsional bermain. Mereka menyiapkan bergam isu tentang reformasi konstitusi. Organization of American State (OAS) misalnya, menyelenggarakan serangkaian rountable di Santiago Chile dalam rangka reformasi konstitusi. Tidak hanya mereka, Institute for Democracie and Electoral Assitance (IDEA) juga bergabung untuk isu yang sama. Latin American Public Opinion Orgazation (LAPOP), Latin Barometero Corporation dan Canadian International Cooperation Agency (CIDA), pada kesempatan lain juga masuk dalam isu yang sama di Amerika Latin. Tetapi mengapa America Latin yang telah terdemokratisasi menurut skema barat, tidak juga stabil? Uruguay, Bolivia, Kolumbia, Venezuela, Chile, untuk menyebut beberapa saja, mereka tidak stabil. Masa jabatan presiden yang telah ditetapkan batas waktunya menurut skema barat, menjadi berantakan. Itu yang sudah terjadi. Ambil saja misalnya di Venezuel, Biolivia dan Uruguay. Mahkamah Konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi menurut skema sangat demokrasi mutakhir. Dalam kasus Bolivia, Uruiguai dan Venezuela menjadi tukang stempel presiden. Mahkamah-mahkamah ini membenarkan perpanjangan masa jabatan presiden. Orang-orang seperti Chaves, Fujimori dan Evo Morales berkuasa melampaui masa jabatan presiden yang ditetapkan dalam konstitusi. Penguasa, bukan rakyat yang menit ke menit mengurus semuan urusan Negara. Pemerintah menjadi satu-satunya figur yang mendefenisikan semua hal dalam semua aspek bernegara. Pemerintah adalah sumber segala kebijakan dalam semua aspek. Mengontrol pemerintah, presiden atau perdana menteri, sama saja dengan mengontrol pembuatan kebijakan negara. Mengontrol kebijakan negara sama dengan mengontrol dan mengendalikan alokasi serta distribusi sumberdaya, politik dan ekonomi. Bagaimana melakukannya? Mudah. Semua sistem politik modern menyediakan pemilu sebagai cara mengisi jabatan itu. Semua sistem hukum pemilu mempertalikan suara “hak memberikan suara atau memilih” dengan “hak memberi sumbangan” kepada kandidat presiden atau perdana menteri. Itulah sebabnya memberikan sumbangan, in toto, tidak bisa dinyatakan sebagai perbuatan terlarang. Pemilu atau pemilihan, terbukti dalam sejarah sebagai urusan yang seluruh aspeknya terhubung dengan uang, uang dan uang. Hukum tata negara positif tak bisa menyanggahnya. Inilah persoalannya. Bawalah sumbangan tersebut ke kas kampanye dan kas pelantikan presiden, maka jalan untuk mendekat ke presiden dan perdana menteri semakin terbuka luas. Hukum tata negara dan ilmu politik memang menyebut itu sebagai sumbangan. Bukan sebagai jual beli kekuasaan. Tapi tabiat politik menunjukan secara jelas. Politik praktis selalu berputar di lingkaran inti balas budi, quid pro quo. Tidak ada makan siang yang gratis. Setelah sumbangan diberikan, kebijakan yang menguntungkan harus dibuat. Siapa yang paling bisa memberi sumbangan? Rakyat kecil? Mungkin juga. Tetapi tidak seberapa pengaruhnya. Yang berada dalam jangkauan memberi sumbangan, dalam jumlah di luar jangkauan rakyat kecil, tidak pernah lain kecuali perorangan berstatus kapitalis dengan korporat besarnya. Tidak ada yang lain, selain dari mereka para korporasi atau konglomerat tersebut. Hanya mereka yang bisa memberikan sumbangan dengan angka-angka yang pantastis dan mencengangkan. Setelah semuanya berlalu, maka giliran penguasa yang mulai bekerja politik quid pro quo, untuk balas budi. Impeachment terhadap presiden Trumph pada saat ini membuka sejumlah isu sumbangan. Terlihat sumbangan menjadi tali pengikat pertemanan, bahkan kebijakan. Presiden yang punya kebijakan menjanjikan keuntungan besar, tetapi belum terealisasi, harus dipastikan realisasinya. Hambatan konstitusional, harus disingkirkan secara konstitusional. Caranya, ya mengubah UUD. Tidak perlu bikin UUD baru. Cukup pasal yang menghambat saja yang disingkirkan. Itu saja. Tetapi apakah isu penambahan masa jabatan presiden dari lima tahun ke 7 (tujuh) tahun dan presiden menjabat selama tiga periode berturut-turut yang menggema saat ini harus dikerangkakan pada perspektif itu? Jokowi, presiden dua periode ini terlihat tidak menyenangi isu itu. Apakah korporasi global berdiam diri dalam soal ini? Korporasi adalah entitas paling cerdas. Mereka memiliki cara yang sangat canggih. Mereka tak teridentifikasi, sehingga membuat siapapun keluar dan masuk ke dalam kekuasaan, semudah setiap orang menghirup udara. Tidak friendly dengan mereka, sama dengan mengundang bencana. Jabatan bisa melayang. Pemilu yang diidentifikasi curang di Indonesia sama sekali tidak mengusik mereka. Tetapi pemilu curang di Bolivia, membuat OAS bergerak. Rakyat turun ke jalan, dan presiden incumbent tersingikir. Begitulah politik dan ekonomi bertali-temali dengan tata negara dalam urusan masuk dan keluar seseorang dalam jabatan presiden. Konstitusi memang selalu diandalkan untuk dijadikan pijakan oleh semua negara. Tetapi kontitusi membutuhkan politisi arif dan bijak untuk menjaga dan mengawalnya. Sebab setiap waktu, sesuai arus naik kepentingan korporasi menguasai sumberdaya alam, konstitusi bisa diinjak-injak oleh para politisi. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Pak Polisi, Berhentilah Mendustai Rakyat

Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Polda Metro Jaya memprediksi tidak ada peserta reuni aksi 212 yang berasal dari luar kota. Polda menyebut peserta hanya dari sekitar Jakarta. Paling dari sekitar Jakarta. "Tidak ada, tidak ada. Peserta luar kota paling dari sekitar Tangerang saja. Kita masih berkoordinasi dengan panitia," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Yusri Yunus kepada wartawan di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (1/12/2019). Ucapan tersebut keluar dari Kabid Humas Polda Metro Jaya. Yang nota bene Yusri adalah juru bicara polisi di Metro Jaya. Kalimat itu keluar dari seorang perwira polisi. Bukan dari oknum polisi. Omongan itu keluar menjelang Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad Sollohu alaihi wassalam dan Reuni 212. Ketika membaca keterangan Yusril Yunus di media resmi. Bukan di media sosial-- FB, WA, IG dan Twiter, saya merasa sedih dan kasihan sama ini polisi. Kenapa? Karena dalam pikiran saya, dan kenyataan yang terjadi selama ini, peserta reuni 212 selalu datang meluber dari bergagai daerah, antar pulau, dan bahkan dari beberapa negara. Yang datang di reuni 212 bukan hanya umat Islam, tetapi juga pemeluk agama lain (Nasrani, Hindu, Budha, Kong Ghu Chu) dan tokoh-tokoh agamanya. Mungkin yang tidak ada wakilnya hanya dari komunis dan aliran kepercayaan. Karena sebetulnya mereka sangat benci ajaran agama (apa pun), terlebih ajaran Islam yang mengedepankan kedamaian dan kesejukan. Selama ini polisi seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan ngawur, alias tidak sesuai kenyataan. Apalagi menyangkut hajatan 212. Betul Yusril Yunus mengatakan, memprediksi atau memperkirakan. Akan tetapi, mestinya bicara logis dan berpikiran jernih. Jangan asal bunyi atau asbun. Walaupun tidak suka atau kurang suka dengan acara 212, yang insya Allah tiap tahun akan diperingati, jangan asal bunyi begitulah. Mestinya walaupun hanya prediksi, mohon jangan membuat perkiraan yang ngwur seperti itulah. Walaupun prediksinya pasti salah, namun dekatkan sedikilah pada kebenaran. Walapun tidak benar-benar amat juga. Insy Allah saya akan berusaha untuk selalu hadir di reuni 212. Saya dan teman-teman yang tinggal di Tangerang alhamdulillaah kali ini hadir . Oke, saya dan teman adalah bagian dari Jakarta dan sekitarnya. Artinya, anggap saja Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi adalah sekitar Jakarta. Meski beda provinsi. Akan tetapi, apakah Serang, Cilegon, Lebak, Pandeglang, Cianjur, Bandung, Ciamis dan Cirebon masih disebut dari sekitar Jakarta juga? Oke, kita anggap saja masih sekitar Jakarta. Pertanyaannya, apakah Lampung, Jambi, Bengkulu, Padang (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), Sumut dan Aceh masih juga disebut sekitar Jakarta? Apakah, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Madura, NTT, Kalimantan dan Sulawesi masih sekitar Jakarta? Apa yang menjadi ukuran dari sekitar Jakarta pak polisi? Kenapa saya bertanya seperti itu? Sebab, sejak seminggu sebelum acara Senin, 2-12-2019 diadakan, sudah banyak peserta yang berangkat ke Jakarta. Mereka berangkat, sekaligus mengunjungi saudara atau famili yang ada di Jakarta dan sekitarnya (Bodetabek). Mereka ke Jakarta (tidak sedikit bersama keluarga), juga sekaligus rekreasi. Mungkin polisi, khususnya pak Yusril Yunus tidak percaya. Akan tetapi, cobalah buka dan baca media resmi yang sudah memberitakan keberangkatan peserta sehari atau dua hari sebelumnya. Misalnya, yang berangkat dari Surabaya dan Madura. Mungkin polisi belum percaya dan memprediksi yang datang itu masih dari Jakarta dan sekitarnya. Bisa benar, jika parameter atau ukuran sekitarnya tidak jelas. Ibarat rumah, kan harus jelas ukuran yang menjadi tetangga kita. Kalau ukuran tetangga suka-suka, maka saya yang tinggal di Kota Tangerang pun bisa disebut tetangga teman saya Kisman Latumatulita yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan. Jika ukuran Jakarta dan sekitarnya tidak jelas, alias suka-suka yang bicara, maka Sabang dan Merauke pun bisa masuk. Akan tetapi, jika ukuran Jakarta dan sekitarnya berdasarkan akal sehat dan bukan dungu, maka selama ini hanya Bodetabek. Polisi, berhentilah berdusta! Mengapa saya membuat judul seperti itu? Karena saya khawatir semakin banyak masyarakat yang benci dan tidak percaya kepada polisi. Padahal, masih banyak polisi-polisi yang baik. Setahu saya, masih banyak polisi-polisi yang suka dengan berdusta. Cobalah baca kembali berita- berita ke belakang. Banyak ucapan polisi yang seakan-akan menjadi propaganda pemerintah. Padahal, sejatinya polisi itu netral -- walaupun merupakan bagian dari pemerintah (bagian dari yudikatif). Polisi mestinya tidak mengeluarkan keterangan atau pernyataan yang berbau bohong kepada masyarakat. Masih ingat peristiwa Trisakti 1998. Saya masih ingat dan menyimpan keterangan Kapolri waktu itu Jendral Polisi Dibyo Widodo yang mengatakan, aparat di lapangan tidak membawa peluru tajam. Oke, karena waktu itu Polri masih di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) - sekarang TNI. Pernyataan Kapolri itu bisa dimaklumi. Akan tetapi, dalam peristiwa 21 dan 2 2 Mei 2019 yang lalu. Juga peristiwa turunnya anak-anak SMK (mereka lebih senang disebut anak-anak STM), polisi juga mengatakan, anggota yang bertugas di lapangan tidak dibekali dengan peluru tajam. Akan tetapi, kenyataannya ada korban yang meninggal dunia karena peluru tajam. Lalu siapa yang membawa peluru tajam tersebut? Tentu, polisilah yang lebih tahu akan masalah tersebut. Kita percaya polisi yang paling mengetahui hal itu. Polisi, berhentilah berdusta! Kembali ke Reuni 212 yang diprediksi tidak diikuti peserta dari luar Jakarta, kecuali Jakarta dan sekitarnya. Sebagai wartawan senior saya mencoba langsung mengecek di lapangan. Yang saya lakukan hanya survei kecil-kecilan, karena saya tidak percaya dengan keterangan polisi. Kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Saya bertemu dengan keluarga yang datang dari Madura. Saya bertemu dengan pasangan suami-istri yang datang dari surabaya dengan menggunakan sepeda notor, berplat nomor L. Saya bertemu dengan peserta dari Rangkasbitung, Lebak, Provinsi Banten. Untuk yang ini saya ambil foto dan sempat saya catat namanya. Terus terang saya tidak memeriksa KTP mereka. Saya percaya mereka tidak berbohong. Apalagi seorang peserta dari Rangkasbitung, TB. Royani Tirtawijaya yang menurut penuturannya berusia 80 tahun. Datang dari Rangkas sendirian pake kereta api, dan nyambung di stasiun Tanah Abang serta Manggarai. Lalu turun di Staiun Juanda. "Dari Juanda saya jalan kaki ke sini (Monas)," kata pria yang memakai tongkat itu ketiķa berbincang-bincang dengan saya di depan panggung utama. TB Royani pun memperlihatkan kepada saya kartu yang dikalungkang di leher dengan simbol mudah jatuh. Saya juga sempat ngobrol dengan peserta yang datang dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada juga yang datang dari Banjarmasin, Makassar. Kalau begitu prediksi Yusril Yunus tidak tepat. Bahkan, walaupun prediksi, tetapi prediksinya cenderung bohong, atau mendekati kebohongan. Apalagi, keterangan itu disampaikan beberapa jam sebelum pergantian tanggal 1 ke tanggal 2 Desember 2019. Ketika polisi memberikan keterangan tentang prediksi, peserta reuni akbar 212 yang bukan dari Jakarta dan sekitarnya sudah masuk Jakarta. Sebagian menginap di hotel, di rumah saudara, di masjid dan tempat-tempat penampungan yang disediakan panitia. Penulis adalah Wartawan Senior

Reuni 212, Apakah Masih Perlu?

Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama. Sebab mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah. Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Senin 2 Desember 2019, Reuni Akbar Alumni 212 akan kembali digelar di Lapangan Monas, Jakarta. Acara digelar bersamaan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan diberi tajuk Maulid Agung. Banyak yang mempertanyakan urgensinya, perlunya reuni itu digelar setiap tahun. Apalagi di tengah upaya “rekonsiliasi,” menyatukan kembali anak bangsa yang terbelah sangat dalam, pasca Pilpres 2019. Bagi yang tidak sepakat dengan reuni, kegiatan itu hanya akan mengganggu proses “rekonsiliasi” yang tengah diupayakan pemerintah. Mendagri Tito Karnavian secara terbuka menyatakan alumni 212 menjadi penghambat terwujudnya stabilitas nasional. Kendati disampaikan secara berseloroh, apa yang diucapkan Tito haruslah dilihat sebagai sikap resmi pemerintah. Bercanda, tapi serius. Pemerintah masih tetap menganggap alumni 212 sebagai ganjalan terbesar. Kelompok yang sampai aekarang belum/tidak bisa ditaklukkan. Semacam duri dalam daging. Sebagai mantan Kapolri, tentu Tito sangat paham betul dengan siapa dia berurusan. Gerakan ini tidak mudah bisa dipatahkan dan ditundukkan. Tidak bisa ditakut-takuti, juga tidak bisa dikooptasi. Mereka berbeda dengan kubu pendukung Prabowo. Lepas dari ketidak-sukaan pemerintah, menarik untuk mempertanyakan apakah urgensi dari reuni tersebut? Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama. Sebab mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah. Hanya kelompok yang berani menyatakan TIDAK, ketika semua instrumen demokrasi nyaris mati suri dan membebek terhadap apapun keinginan pemerintah. Tanda-tanda negara ini dibawa menjauh dari demokrasi tampak sangat nyata. Tanda-tanda bahwa negara ini ingin kembali dibawa ke praktik kekuasaan otoriter sudah di depan mata. Ada upaya secara sistematis mengembalikan pemilihan presiden ke MPR. Ada upaya nyata menjadikan Jokowi sebagai presiden “seumur hidup.” Upaya itu dibungkus dengan wacana memperpanjang masa jabatan dari 5 tahun menjadi 8 tahun. Mengubah pembatasan masa jabatan dua periode menjadi tiga periode. Bila upaya tersebut sukses, tidak tertutup kemungkinan tidak ada lagi pembatasan masa jabatan presiden seperti pada masa Orde Baru, dengan dalih kembali ke UUD 45. Pemerintah melangkah terlampau jauh memasuki aktivitas privat masyarakat. Yang lebih memprihatinkan pemerintah terkesan terjangkit dan mengembangkan wacana Islamophobia. Wacana perang terhadap radikalisme dikembangkan sedemikian rupa dan sasaran utamanya adalah umat Islam. Akibatnya, kegiatan majelis taklim harus terdaftar. Polisi disebar untuk mengawasi masjid-masjid yang diduga sebagai tempat penyebar kebencian. Pemerintah juga menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mencegah paham radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan masa depan demokrasi Indonesia, ketika tidak ada lagi elemen kritis yang terorganisasi. Dalam konteks inilah reuni alumni 212 menemukan urgensinya. Harus terus ada kelompok yang menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah. Mereka harus terus dirawat. Dijaga soliditasnya. Jangan pandang mereka sebagai kelompok berbahaya yang harus terus dimusuhi. Jadikan mereka partner di luar pemerintahan untuk menjaga demokrasi kita tumbuh sehat dan kuat. Demokrasi dapat tegak berdiri tanpa oposisi, adalah ilusi. End Penulis adalah Wartawan Senior

Suka atau Tidak, Reuni 212 Kini Menjadi Arus Besar

Arus dan gelombang besar 212 akan terus mempersoalkan prilaku ketidakadilan yang bersumber dari para penguasa. Juga akan mempersoalkan kesemena-menaan para pemilik modal yang menguras habis sumber daya alam milik rakyat. Gerakan 212 juga mengingat terus para pemburu rente ekonomi impor yang telah menyesarakan petani, peternak dan nelayan. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Bisa dipastikan bahwa semua penguasa tingkat tinggi tidak ada yang suka melihat pelaksanaan Reuni 212 tahun 2019 ini. Yang juga tidak suka termasuk para konglomerat, terutama mereka yang hitam. Yaitu, para konglomerat yang merasa umat Islam garis lurus sebagai penghalang bagi kesewenangan dan rencana-rencana jahat mereka. Kalau ada yang bilang mereka suka, hampir pasti pernyataan itu hoax atau bohonh. Pura-pura saja mereka. Alias munafik. Sebab sejauh ini, hanya Gubernur DKI Anies Baswedan yang diyakini tidak gerah melihat Reuni 212. Dia langsung memberikan izin penggunaan kawasan Monas untuk acara reuni. Bisa dipastikan pula bahwa para penguasa memiliki perangkat lunak dan perangkat keras untuk mencegah gerakan umat Islam ini. Mereka bisa melarang, menghalangi massa, dan mereka bisa menciptakan suasana yang membuat para peserta merasa tak nyaman. Supaya pendukung Reuni 212 tak mau hadir lagi. Semua ini bisa mereka rekayasa sesuka hati. Tetapi, perhelatan Reuni 212 insya Allah akan terlaksana besok, 2 Desember 2019. Meskipun semua pemegang kekuasaan membencinya. Meskipun institusi-institusi keamanan tidak suka. Meskipun kaum liberal, kaum sesat, umat garis bengkok sangat tidak suka. Meskipun Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda, Sukmawati, Megawati, Paloh, Bamsoet, Banser, dan lain-lain, juga tidak suka. Mengapa para penguasa, pengusaha, orang-orang sesat dan bengkok pikiran itu tak suka adanya 212? Karena gerakan 212 berhasil menghimpun kekuatan umat garis lurus. Yang akan menghadang dan mpersoalkan prilaku kesewenangan, keserakahan, dan kebatilan ideologi. Arus dan gelombang besar 212 akan terus mempersoalkan prilaku ketidakadilan yang bersumber dari para penguasa. Juga akan mempersoalkan kesemena-menaan para pemilik modal yang menguras habis sumber daya alam milik rakyat. Gerakan 212 juga mengingat terus para pemburu rente ekonomi impor yang telah menyesarakan petani, peternak dan nelayan. Kekuatan 212 akan melawan habis ideologi-ideologi yang berbahaya bagi kelansungan hidup bangsa dan Negara kita. Akan melawan sampai mati keinginan para penganut komunisme dan kekuatan politik besar yang punya ambisi hendak mengijonkan dan menyerahkan negara ini kepada RRC. Inilah peranan penting kehadiran dan keberadaan gerakan 212. Kekuatan ini tak bisa dianggap enteng, karena sudah didukung oleh semua lapisan masyarakat. Ada jutaan “ordinary people” (orang biasa). Tetapi banyak pula kaum intelektual, para ilmuwan, teknokrat, dan lain sebagainya. Umat dari segala latar-belakang itu bersatu dan menyatu tanpa ada sekat. Gerakan 212, insya Allah, tak mungkin lagi bisa dibendung. Gerakan ini sudah menjadi “rallying point” atau “tempat berkumpul” umat dadn manusia garis lurus. Kekuatan ini telah menjadi “mainstream” (arus besar) umat. Yaitu, gerakan yang telah diterima oleh mayoritas umat. Mau suka atau tidak suka. Sepanjang para tokohnya bisa selalu menjaga kesakralan gerakan dan misinya, dapat dipastikan Arus 212 bisa menimbulkan distorsi serius terhadap agenda jahat yang disusun oleh musuh-musuh bangsa dan Negara. Penulis adalah Wartawan Senior

Mana Lebih Urgen: Narkoba Atau Radikalisme?

By Asyari UsmanJakarta, FNN - Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata sekitar 4,200,000 (4.2 juta) pemakai narkoba di Indonesia. Jumlah desa dan kelurahan tercatat 83,447. Jadi, rata-rata desa dan kelurahan memiliki 50 orang pemakai narkoba. Ini angka rata-rata. Kalau diasumsikan pemakai narkoba itu lebih banyak di kawasan perkotaan (urban), boleh jadi di setiap kelurahan di kota-kota besar ada 80-an pemakai narkoba.Kalau 50 orang pemakai narkoba per desa/kelurahan itu melakukan rekrutmen, bisa dibayangkan masa depan bangsa ini. Jika 50 orang pemakai itu berhasil menambah anggota 25 orang per tahun, berarti dalam lima tahun akan bertambah 125 orang pemakai baru. Karena itu, pada 2025 nanti Indonesia memiliki “pasukan narkoba aktif” sebanyak 50+125x83,447=14,603,225. Kita sederhanakan saja menjadi 14 juta orang. Angka ini tidak memperhitungkan kalau para pemakai baru melakukan rekrutmen. Jika pemakai baru juga aktif mencari teman baru, silakan para pakar matematika membuatkan tabulasinya.Baik. Kita ambil sajalah angka 14 juta sebagai proyeksi jumlah pemakai narkoba pada 2025. Kira-kira, serepot apa bangsa ini nanti? Di desa atau kelurahan Anda nantinya akan ada 175 orang pemakai narkoba. Ada 175 sel aktif narkoba di sekitar Anda. Kalau 10 persen saja diantara mereka kita sebut “pemakai radikal”, berarti ada 17 orang yang siap menjadi “bom bunuh diri” yang akan meneror tiap desa dan kelurahan.Ada lagi angka yang sangat mencemaskan dari Komisi Perlindingan Anak Indonesia (KPAI). Di awal Maret 2018, Komisi mengatakan dari 87 juta anak di bawah 18 tahun, hampir 6 juta diantaranya masuk kategori pencandu narkoba.Selain angka pemakai dan proyeksi rekrutmen ini, kita lihat sepintas kerugian lain akibat penggunaan narkoba. BNN mengatakan, sekitar 40 orang menemui ajal setiap hari karena benda yang berbahaya ini. Potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 75 triliun rupiah per tahun.Sebelum dilanjutkan, kita memohon kepada Allah SWT agar proyeksi ini tidak menjadi kenyataan. Amin, Allahumma amin.Nah, dari angka-angka yang sangat menyeramkan ini, menurut Anda mana lebih urgen masalah narkoba dibandingkan isu radikalisme? Sebagai ilustrasi saja, radikalisme yang sangat ditakuti oleh para penguasa, terutama Menag Fachrul Razi, itu baru sebatas pemakaian cadar dan celana cingkrang. Kalau pun lebih dari ini, radikalisme di kalangan umat Islam baru sebatas aktivitas amar-ma’ruf nahi mungkar oleh FPI atau cita-cita khilafah di kalangan “ormas ompong” HTI.Atau, radikalisme itu baru sebatas kepatuhan kaum perempuan muslim untuk menutup aurat mereka. Di kampus-kampus atau di tempat kerja. Atau, radikalisme itu baru sebatas ghirah untuk ikut Reuni 212.Dan tidak semua umat Islam punya ghirah yang tinggi untuk bersyariat. Masih ada puluhan juta yang tak mau tahu soal halal-haram. Ada jutaan lagi umat Islam garis bengkok yang siap membakar bendera Tauhid. Masih banyak yang siap bekerja sama dengan Israel atau China komunis, dlsb. Dan mereka ini siap pula berhadapan dengan kaum yang dilabel-label radikal itu.Jadi, masalah radikalisme yang menghantui para penguasa saat ini masih belumlah mencemaskan. Tidak semengerikan 6 juta anak-anak di bawah 18 tahun yang saat ini kecanduan narkoba. Belumlah tertandingi angka kematian akibat narkoba yang mencapai 40 orang tiap hari.Dampak cadar, cingkrang, janggut, atau pakaian muslimah lainnya, belumlah bisa menandingi kerugian ekonomi sebesar 75 triliun per tahun terkait peredaran narkoba. Kalau radikalisme itu kalian anggap sebagai gangguan, masih belumlah menyamai jumlah 50 orang pencandu narkoba per desa atau kelurahan di Indonesia.Karen itu, cobalah Anda para penguasa merenungkan mana yang lebih urgen masalah narkoba dibandingkan isu radikalisme?Mana yang lebih berbahaya: ratusan ton sabu dan 13 juta butir ekstasi yang tak tertangkap oleh aparat atau Reuni 212, cadar, celana cingkrang, janggut, jilbab, dll?[]30 November 2019Penulia wartawan senior.

Agnes Mo, Anies Baswedan & Sukanto Tanoto dalam Nasionalisme Kita

Sikap Anies ini berbeda antara bumi dan langit dengan Sukanto Tanoto. Sukanto Tanoto, yang kekayaannya melimpah ruah karena berbagai "kemudahan" bisnis di Indonesia malah menyatakan bahwa RRC lah ayah kandungnya. Ini tentu sebuah gambaran buruk dwi identitas dibanding Anies tadi. Seharusnya Sukanto menjadikan Indonesia "ayah kandung" untuk berbakti, bukan sebaliknya. By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Banyak tokoh-tokoh pegiat politik marah dengan Agnes Mo beberapa hari ini. Bahkan, mantan Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Emmi Hafidz, seperti dikutip Tempo dari akun FB-nya, minta Agnes pindah saja ke neraka. Pasalnya, dalam suatu wawancara bergengsi di Amerika, BUILD Series, Agnes mengatakan dia tidak punya sama sekali darah Indonesia. Sebelumnya, Kevan Kenney, pembawa acara, menanya Agnes, kenapa dia profil fisiknya berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Pihak-pihak yang marah maupun bertanya-tanya antara lain dilatari. Pertama, Agnez dinilai tidak tahu berterima kasih terhadap Indonesia yang sudah membesarkan dia. Kedua, Agnez membangkitkan sentimen nasionalistik. Dapat berdampak sentimen atas darah keturunan yang ingin disamakan (dianggap setara pribumi) selama ini menjadi dipertanyakan kembali. Ketiga, bagaimana Agnez bisa punya kewarganegaran Indonesia? Soal Agnez ini menarik untuk kita diskusikan. Karena Agnez adalah artis terkenal di Indonesia. Dia mempunyai banyak fans. Kedua, beberapa waktu lalu "kasus kebangsaan" ini banyak terjadi. Anies Baswedan misalnya, menyatakan akan membangun Pribumi dalam pidato kemenangannya Oktober 2017. Selain itu, Jokowi mengangkat menteri energi, Archandra, pada saat mana Archandra tercatat sebagai warga Negara Amerika. Beberapa tahun lalu, pengusaha Sukanto Tanoto juga mengatakan persoalan yang hampir sama dalam sebuah pertemuan elit di RRC. Dia mengatakan bahwa RRC adalah bapak kandungnya. Sedangkan Indonesia hanya sebagai bapak tiri Sukamto Tanoto. Begitu juga dengan Bahlil Lahadalia, yang dikecam orang-orang Papua karena dianggap mengaku-ngaku sebagai orang Papua. Di jaman globalisasi dan internet of things, pembicaraan kebangsaan ini tetap dalam kontroversi. Antara lain cairnya identitas seseorang d i satu sisi versus mengentalnya netionalisme di sisi lain. Kita akan tetap menemukan kontrovensi masalah ini dengan pelaku yang berbeda di masa mendatang. Kita akan membandingkan kasus-kasus seperti di atas pada isu nasionalisme bangsa kita. Apakah memang benar bahwa bangsa kita tidak ada yang asli? Sebagaimana Sukarno dan para founding fathers membuatnya pada pasal 6 UUD 1945 yang asli. Apakah persoalan identitas yang ditampilkan Agnez vs. Anies vs. Archandra vs. Sukanto Tanoto vs. Bahlil mempunyai skala isu yang sama? Pribumi vs Non Pribumi Bangsa Indonesia dan warganegara Indonesia adalah suatu yang berbeda. Agnez pada dasarnya ingin memberitahu pembawa acara Kevan Kenney, atau semua kita yang saat ini terlibat diskusi ini, bahwa dia bukanlah Bangsa Indonesia, melainkan hanya warganegara Indonesia. Karena tidak ada darah Indonesia yang mengalir di dalam tubuhnya. Sebagaimana Michael Jackson atau Rihanna di Amerika, misalnya, mereka adalah Bangsa Afrika, tetapi adalah warganegara Amerika. Begitu juga dengan Agnez, yang adalah bangsa campuran Jepang, China dan Jerman, tetapi warganegara Indonesia. Di Amerika orang Afrika menyebut dirinya Afro-American atau Black America. Sebuah bangsa menurut ahli seperti Anthony Smith vs. Ernst Gellner sudah berbeda. Dalam "The Warwick Debate", yang menjadi rujukan para ahli "national vs nationalism", antara keduanya di Universitas Warwick, Inggris, tahun 1996, Smith meyakini bahwa fenomena bangsa itu ada. Sedangkan Gellner meyakini bahwa bangsa itu hanya produk modernisme dalam abad industri. Pikiran bahwa bangsa itu ada, sejalan dengan Soekarno dan para founding fathers bahwa Bangsa Indonesia itu artinya adalah yang asli. Bukan bangsa Arab, China maupun Eropa. Amien Rais dan kawan-kawan, pada tahun 1999-2002, tidak percaya bahwa Bangsa Indonesia asli itu ada. Akibatnya, pasal 6 UUD 1945 yang dirumuskan BPUPKI dirubah mereka dalam Amandemen. Siapapun termasuk Agnez punya hak yang sama dengan orang-asli asli untuk menjadi presiden kita. Pemikiran Amien Rais dan kawan-kawan tersebut, ternyata sejalan dengan Ernst Gellner, Eric Hobswam dan Ben Anderson. Bahwa yang ada adalah warganegara atau pemegang parpor seperti Agnez Mo. Pemegang aspor bukanlah sebuah bangsa. Dalam pikiran Sukarno dan pendiri Negara lainnya, bahwa garis kewarganegaran itu mengalir dari darah kebangsaan. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Professor Hikmahanto Juwana. Kewarganegaraan cecara otomatis diberikan buat bangsa lainnya sesuai aturan yang mengaturnya. Lalu bagaimana soal pribumi vs. non pribumi? Senator Mc Cain, 2008, di pilpres USA, sebagai penantang Obama, pernah mengatakan bahwa Obama bukanlah pribumi. Lebih tepatnya Mc Cain menyebut "American Heritage" berasal dari Anglo Saxon. bukan Afrika seperti Obama. Namun, McCain gagal memberi perspektif yang bertentangan soal siapa Bangsa Amerika. Sebab, semua orang Amerika adalah pendatang. Setidaknya mereka menganggap begitu. Warga negara Amerika kemudahan adalah siapapun yang lahir di Amerika. Anies juga bicara soal kemajuan kaum pribumi, pada tahun 2017. Ketika menyampaikan pidato kemenangan dia sebagai Gubernur DKI, 2018 (lihat Syahganda dalam "Anies, Mandela dan Evo Morales : Aspek Teoritik dan Sejarah Perjuangan Pribumi"). Kala itu dia menyebutkan akan berjuang untuk kemajuan pribumi. Namun isu itu surut ketika Anies dilaporkan warga ke polisi, karena dianggap rasis. Anies juga diejek oleh sebagian nitizen kalau dia bukan pribumi alias Arab. Namun, jika melihat kasus Bahlil yang besar di Papua dan anak-anak "pendatang" (lahir dan besar di Papua) menjadi korban kebiadaban di Wamena beberapa waktu lalu. Mereka dianggap bukan dianggap asli maupun pribumi di sana. Maka asli dan pribumi itu terlihat pula memiliki tempat dalam kazanah politik kita. Bahkan, di Papua, hanya orang Papua asli alias pribumi yang boleh jadi Gubernur di sana. Lalu apakah Anies membedakan antara pribumi vs. asli? Dari apa yang terlihat, semangat Anies memperjuangkan pribumi adalah nyata. Jika Anies, yang pasti sadar bahwa dia adalah turunan Arab, bukan asli, namun cinta pribumi, maka dapat dipastikan itu adalah spirit ke Indonesiaan dan patriotisme yang dimilikinya. Sama dengan kakeknya, yang anggotan BPUPKI A. R Baswedan, yang memilih berjuang bersama pribumi Indonesia melawan Belanda. Sikap Anies ini berbeda antara bumi dan langit dengan Sukanto Tanoto. Sukanto Tanoto, yang kekayaannya melimpah ruah karena berbagai "kemudahan" bisnis di Indonesia malah menyatakan bahwa RRC lah ayah kandungnya. Ini tentu sebuah gambaran buruk dwi identitas dibanding Anies tadi. Seharusnya Sukanto menjadikan Indonesia "ayah kandung" untuk berbakti, bukan sebaliknya. Tantangan Nasionalisme Apakah Agnez perlu pindah ke neraka? Soal Agnez ini adalah soal identitas sosial belaka. Masalah kontestasi identitas ini mungkin menyakitkan masyarakat awam. Apalagi jika Agnez yang sudah dianggap Indonesia, kemudian terkesan menyepelekan Indonesia. Saya bukanlah orang awam yang larut dalam perdebatan semu soal Agnez. Sedikit kecewa, mungkin iya. Tapi, bagi saya Agnez adalah gadis jujur belaka. Yang mengungkapkan tentang dirinya, sebagai sebuah klarifikasi sosial apa adanya. Tidak menambah. Juga tidak mengurangi. Dalam jaman global ini, Agnez dan fenomena sebagian masyarakat sebagai anggota atau bagian "global community" merupakan keniscayaan, khususnya di kota-kota besar. Mengapa saya tidak menganggap ini terlalu penting? Karena Agnes tidak melibatkan negara, bangsa dan masyarakat Indonesia pada urusannya tersebut. Tentu hanya orang awam pula yang perlu atau punya "hak" menista Agnez. Sebaliknya, orang-orang politik atau mengerti politik, akan menjadi "misleading" jika ikut dalam polemik isu Agnez. Artinya, dalam "political sphere" maupun "public domain", soal Agnez ini tidak merugikan. Namun, soal "Anies dan Pribumi", "Archandra dan Dwi Kewarganegaran", "Sukanto Tanoto dan Bapak Kandung" serta "Bahlil dan Asli Papua", merupakan tema politik dan harus dibahas serius oleh pemimpin-pimpinan bangsa ini. Apakah pribumi, asli dan nasionalisme, akan kita anggap sebagai produk modernisme, sesuatu yang akan kita biarkan sirna? Atau sebaliknya? Kita justru kembali merivitalisasi spirit kebangsaan kita. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendiri bangsa? Membiarkan sirna, artinya kita tidak perlu lagi mempersoalkan siapa pemilik tanah air ini. Namun sebaliknya, jika mengikuti "spirit Sumpah Pemuda", maka tanah air ini ada pemiliknya. Berbagai negara dan bangsa di dunia saat ini banyak melakukan revitalisasi kebangsaan mereka. Seperti di Eropa dan Amerika. Juga Amerika latin. Hal ini penting bagi mereka untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam struktur negara bangsa. Dari cepatnya perputaran migrasi penduduk dunia saat ini. Penutup Soal Agnez hanyalah soal identitas tanpa muatan politik. Sehingga tidak perlu dikecam berlebihan. Apalagi harus meminta Agnez pindah ke neraka. Orang-orang harus sadar, bahwa masalah nasionalisme kita bukan pada isu identitas bangsa vs. kewarganegaran Agnes. Namun, ada pada kemauan kita mengembalikan identitas politik bangsa ini. Apakah bangsa pribumi atau asli ini akan tetap menjadi pemilik tanah air Indonesia? Ataukah akan terhempas dalam kejayaan bangsa-bangsa asing yang menguasai sumber daya alam dan kekayaan lainnya? Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle