NASIONAL
Defender of the Cukongs Mulai Kepanasan
“If you have enemies, that means you stand for the right,” kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” By Asyari Usman Jakarta FFN - “Smoked out” artinya keluar dari persembunyian. Kepanasan. Terus, maki-maki. Defending the crooks. Bad enough, tentunya. But, that’s what you will expect from Zeng Wei Jian called “Ken Ken” by his fooled admirers. Ken Ken mencak-mencak gegara dua tulisan yang mengurai peranan para cukong dalam mendikte politik Indonesia. Dia buat tulisan konyol. Dia tunjukkan as if (seolah-olah) dia adalah kaki tangan para cukong parpol itu. Sungguh kasihan. Sebenarnya, banyak orang tahu Zeng “bukan penulis lepas”. Tangannya terborgol oleh keharusan untuk menjaga agar “debit card” itu bisa tetap berlaku di tempat-tempat nongkrong. Sebenarnya, pena yang dia gunakan untuk menulis sangat canggih. Tapi, ada “remote control”-nya. Pengamat politik, Hersubeno Arief, menguraikan siapa-siapa yang disebut sebagai cukong yang melakukan mafia politik. Yakni, mereka yang membeli parpol untuk kuasai Indonesia. Itu saja. Sekadar mengelaborasi “pengalaman” Ketua MPR Bambang Soesatyo bahwa para cukong alias pemodal, domestik maupun asing, membeli “Satu Partai Satu Triliun” untuk menguasai negeri. Celakanya, kalau Anda selami pikiran Zeng, Anda akan temukan di kepalanya bahwa beli parpol “is the thing right to do”. Beli partai itu bagus bagi Zeng. Hancurlah Indonesia. Mas Hersu dan teman penulis satu lagi hanya mencarikan perspektif yang tepat dari deklarasi Pak Bamsoet. Hersebeno menjelaskan siapa-siapa saja yang punya duit besar, yang mampu membeli parpol-parpol “in order to gain the real power” dalam mengelola kekayaan negara. Sangatlah logis kalau kemudian Hersubeno memperkenalkan kepada khalayak nama-nama taipan yang mungkin sekali berkepentingan untuk membeli kekuasaan politik. Lagi pula, nama-nama yang membuat Zeng naik tensi itu adalah mereka yang disebut oleh “Forbes” sebagai orang-orang terkaya di Kolam Susu-nya Koes Ploes. Hersu hanya mengutip “Forbes” itu. Nothing more. Zeng menjadi panik. Dia bela para cukong itu. Menuduh Hersu bebuat SARA. Baseless accusation. Tuduhan yang terbentuk dari “inability to understand the whole context of Hersu’s argument”. Tidak ada SARA. Yang diuraikan itu semata-mata fakta murni. Zeng keluar dengan cercaan yang menggelikan. Dia caci-maki kedua penulis that stand for the right. Zeng tidak rela pembeberan the truth of the day. Perilaku Zeng sangat memalukan, by all standards. Neither morality, nor journalism principles. Dapat dibaca dengan jelas arah tulisannya. Seratus persen menggonggong untuk the masters –para cukong itu. Pantas diduga, ada imbalan yang sangat menggiurkan di balik “pikiran sesat” Zeng. Reaksi ngawur Zeng Wei Jian sama sekali tidak mengherankan. Dia memusuhi tulisan-tulisan yang tidak sejalan dengan “money making process” yang dia punya. Zeng langsung terusik ketika ada yang coba menyentuh para cukong yang telah merusak semua sendi kehidupan bangsa ini. However, Mas Hersubeno dan teman penulis satu lagi tidak perlu terlalu hirau dengan jurus-jurus Zeng. Anda berdua paham tentang dia. Publik juga mengerti. Dan Anda berdua juga tahu mengapa Anda punya musuh. “If you have enemies, that means you stand for the right”, kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” Penulis adalah Wartawan Senior
Celaka Omnibus Law Cilaka
Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - "Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat."(QS Al-Baqarah 79). Ada tiga kata celaka dalam Surat Al-Baqarah itu. Kata pertama “celaka” dalam tafsir Jajalayn disebut sebagai “siksaan berat”. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan “kebinasaan dan siksaan”. Sementara itu kbbi.web.id, menerjemahkan arti celaka “v 1 (selalu) mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dan sebagainya; malang; sial”. Belakangan kata “celaka” menjadi buah bibir. Ya, setelah pemerintah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) sekaligus draf dan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ke DPR RI. Hanya saja, “celaka” itu dilafalkan dengan “cilaka”. Kalangan aktivis dan cerdik pandai menyebut RUU Cilaka untuk draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Kata “cilaka” adalah akronim dari “cipta lapangan kerja”. Merespon itu, Presiden Joko Widodo lalu mengubahnya menjadi RUU Cipta Kerja disingkat “cika”. Saat pertama kali dicetuskan, nama yang muncul sebenarnya adalah RUU Omnibus Law Kemudahan Berusaha dan Daya Saing. Lantaran ada kesan RUU ini hanya untuk kepentingan pengusaha alias tidak pro buruh, maka nama itu ditanggalkan. Diganti. Dimunculkanlah nama “cipta lapangan kerja”. Celakanya, banyak pihak kelewat cerdas sehingga membuat akronim “cilaka”. Kalangan buruh bahkan ada menyebut “Cilaka 12”, untuk 12 alasan menolak RUU ini. Jokowi mengganti “cilaka” menjadi “cika”. Hanya saja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, membikin nama yang berbeda. Ia lebih suka dengan “ciptaker” kependekan dari cipta kerja. Wakil Ketua Komisi IX, Sri Rahayu, juga punya akronim yang berbeda lagi. "Disingkat cilaka enggak bagus, makanya (kata) lapangannya dihapus, jadi cipta kerja jadi ciker," ujarnya, saat menerima audensi dari perwakilan massa aksi buruh di ruang rapat Komisi IX Rabu (12/2). Sapu Jagat Seperti yang sudah terjadi, RUU Cilaka alias Cika alias Ciker alias Ciptaker ini kini sudah sampai ke Senayan. Para buruh menolak dan menggelar aksi demonstrasi. Mereka menilai RUU ini sarat kepentingan pengusaha. Bakal UU “sapu jagat” ini memang penuh kontroversi lantaran melebur sejumlah perundang-undangan dalam satu keranjang. Tujuannya bagus, meringkas berbagai macam peraturan yang selama ini dinilai menghambat investasi. Akan tetapi, sejak diwacanakan Jokowi, penyusunan RUU ini sangat tertutup. Tak seperti lazimnya sebuah RUU, naskah akademiknya tidak bisa diakses. Masyarakat pun buta tentang apa saja yang bakal diatur dalam RUU itu. Padahal, masukan dari para pemangku kepentingan sangat vital dalam penyusunan sebuah RUU. Dalam sejarah penyusunan perundang-undangan, baru pada rezim pemerintahan sekarang sebuah RUU dikerjakan secara kilat, tak melibatkan masyarakat, dan sulit diakses. Sebut saja penyusunan RUU KPK yang tak mengajak KPK dan ujung-ujungnya membuat lembaga antirasuah itu kehilangan taji. Melempem. Demikian halnya RUU Cilaka alias Cika alias Ciker alias Ciptaker. Dalam urusan ketenagakerjaan, RUU ini justru banyak memangkas hak tenaga kerja. Salah satunya adalah ketentuan mengenai permohonan PHK yang harus diajukan tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta alasan yang menjadi dasarnya. Artinya, dengan RUU ini, pengusaha bisa memecat karyawan secara semena-mena. Wajar jika ada yang bilang RUU ini merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. Substansi RUU Cilaka menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka menyebut konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU mirip aturan Koeli Ordonantie masa kolonial Belanda. Aturan itu untuk menjamin pengusaha dapat mempekerjakan kuli perkebunan tembakau dengan upah sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan. Lebih jauh lagi bahkan ada yang bilang Omnibus Law Cilaka mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme hukum yang kuat dalam RUU menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai. Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan, kepolisian dan Badan Intelijen Negara atau BIN untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Lagi-lagi, penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu. Kejanggalan lainnya adalah direduksinya beberapa ketentuan tentang pembakaran hutan oleh korporasi. Belum lagi dengan dihapusnya pasal tentang ruang partisipasi publik untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan/atau izin usaha melalui peradilan administrasi. Selanjutnya, hak paten juga dikebiri. Hak dan kewajiban pemegang paten akan dihapus. Padahal, ketentuan ini dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan, investasi, dan penyediaan lapangan kerja. Harus diingat, belum tentu pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia. Jika tidak hati-hati membahasnya, RUU ini memang bisa membikin kita “cilaka” Penulis wartawan senior.
Ketika DPR Menjadi Kantor Cabang Presiden
By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – “Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untuk yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Wakil rakyat kumpulan orang hebat. Bukan kumpulan teman-teman dekat. Apalagi sanak famili. Di hati dan lidahmi kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu, jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang, jangan hanya diam”. “Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke. Saudara dipilih, bukan dilotre. Meski kami kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih para juara. Juara diam, juara he eh, juara ha ha ha. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu siding soal raktat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagi setuju”. Dua paragraf kalimat-kalimat di atas berasal dari lirik lagunya Iwan Fals. Penyanyi, yang sekaligus kritikus kepada kekuasaan Soeharto yang otoriter dan tirani. Judul lagunya “Surat Buat Wakil Rakyat”. Lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan Fals ini, direkam dan dirilis menjelang pemilihan umum tahun 1987. Lagu ini diciptakan untuk mengkritik kinerja anggota dewan yang banyak tidur saat sidang-sidang DPR. Sayangnya, lagu ini sempat dicekal pemerintah Orde Baru. Lagunya tidak boleh ditayangkan di televisi. Karena pemerintah beranggapan lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” mengganggu stabilitas politik nasional. Selain tidur, DPR juga tidak menonjol memperjuangan kepentingan rakyat. DPR ketika itu, yang isinya 75% pendukung utama pemerintah Orde Baru (Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI) lebih sebagai stempel pembenaran atas semua kemauan pemerintah. Apa saja kemauan rezim Soehato, hampir pasti 99% disetujui DPR. Iwan Fals, banyak menciptakan lagu, yang bertujuan mengkritik kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, namun memanjakan pengusaha atau orang kaya. Selain Iwan Fals, kalangan sastrawan yang juga terbilang keras mengkrtik rezim Orde Baru ketika itu adalah W.S. Rendra. Penyair dengan julukan “Burung Merak” ini mengkritik permerintah melalui syair-syair sajaknya. Entah karena kritikan dari Iwan Fals dan W.S. Rendra atau bukan, yang pasti setelah Pemilu tahun 1992, anggota DPR yang masuk ke senayan, banyak tokoh-tokoh yang kritis kepada pemerintahan Soehato. Malah anggota DPR yang galak-galak itu bukan saja dari partai non pemerintah, seperti PDI dan PPP. Namun ada juga dari Fraksi Golkar dan ABRI yang galak-galak. Dari PPP ada singa sekalas Hj. Aisyah Amini, H. Ismail Hasan Metarium, H. Dja’far Sidiq, H. Imam Churmain, H. Muhammad Sulaiman dan Hamza Haz. Sedangkan Dari PDI, ada macan seperti Hj. Fatimah Ahmad, H. Ipik Asmasubarata, H. Yahya Nasution, Aberson Marle Sihaloho dan Sabam Sirait. Hamza Haz, Yahya Nasution dan Aberson Marle Sihaloho terkenal sebagai "trio pakarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)". Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Mar’ie Muhammad sering kewalahan di sidang-sidang komisi APBN jika menghadapi trio anggota dewan ini. Terkadang asumsi-asumsi APBN yang bakal diajukan pemerintah, dua tiga bulan sebelumnya sudah bisa diprediksi oleh trio anggota DPR ini. Hasilnya, 85%-90% sama dengan yang diajukan pemerintah. Sebagai wartawan di bidang ekonomi, saya dan sesama teman wartawan, banyak mendapat informasi awal mengenai rencana asumsi APBN dari trio anggota dewan ini. Selain itu, kami juga mendapat informasi mengenai asumsi APBN dari Muhba Kahar Muang, Idra Bambang Oetoyo dan Dwie Riawenny Nasution dari Fraksi Golkar. Dari kubu pendukung pemerintah, muncul para anggota DPR yang tidak kalah kritisnya. Dari Fraksi Golkar, ada Tadjudin Noer Said, Marzuki Darusman, Mubha Kahar Muang, Anang Adenensi, Indra Bambang Oetoyo, Iskandar Madji, Abdurrahman Rangkuti dan Umbu Mehang Kunda. Dari Fraksi ABRI, tampil singa perempuan yang galak kepada pemerintah, Brigjen Polisi Rukmini. Ada juga Mayjen TNI Syamsudin. Meskipun menjadi anggota DPR yang ditunjuk oleh Mabes ABRI Cilangkap. Namun mereka menjadi anggota dewan yang bermutu dan berkelas. Mereka lebih memilih membela kepentingan rakyat. Akibnatnya, mereka sering berbenturan dengan para menterinya Soeharto. Mereka top, top top markotop. Suatu waktu Kasospol ABRI, Letjen Harsudiono Hartas bercerita tentang cepanye dia mengingatkan Brigjen Rukmini dan Mayjen Syamsudin. Banyak menteri anggota kabinet Soerharto meminta tolong agar Kasospol ABRI bisa meredam atau menertibkan Rukmini dan Syamsudin. Kata Hartas—panggilan akrab Kasospol ABRI, “Itu Rukmini dan Syamsudin kalau diingatkan, jawabnya sih enak didengar. Jawabnya siap,siap dan iya, iya. Namun begitu balik ke DPR, kambuh lagi mereka”. Pemerintah Orde Baru memang sangat kuat dan dominan. Dengan mesin politik utama ABRI dan Golkar, pemerintah bisa berbuat apa saja jika mau. Contoh paling nyata adalah Waduk Kedung Ombo. Masyarakat satu Kecamatan bersama perangkat Desanya, semua diangkut keluar dari Kedung Ombo. Namun warna perbedaan perdebatan di DPR terlihat sangat berbobot dan berkelas. Sebelum sampai pada persetujuan di sidang Paripurna, perdebatannya sangat bermutu dan argumentatif. Bagi yang menonton sidang-sidang di komisi DPR, banyak informasi penting dan bermutu yang bisa diperoleh. Yang tidak bisa dilakukan DPR di kekuasaan eranya Orde Baru Cuma satu, “Penggunaan Hak Interpelasi”. Penggunaan hak DPR yang satu ini menjadi barang haram ketika itu. Namun tidak adanya penggunaan “Hak Ingterpelasi” bukanlah menjadi penghalang bagi lahirnya perdebatan yang bermutu dan berkelas di sidang-sidang komisi DPR. Enak bangat untuk didengar dan ditonton. Dewan Produk Reformasi DPR di era Orde baru tidak dapat menggunakan “Hak Interpelasi”, tentu saja dapat dipahami dan dimengerti dengan sangat jelas. Semuanya terang-berderang. Tidak ada yang abu-abu. DPR Hanya tukang stempel atas segala kebijakan dan kemauan rezim Orde Baru. Tidak lain. Hanya itu. Keberadaan PPP dan PDI di DPR tidak mempunyai kekuatan untuk melawan maunya rezim Soeharto. Paling hanya bisanya walk out dari sidang sebagai bentuk protes dan penolakan. Hanya itu yang bisa dan sering dilakukan PPP dan PDI. Namun begitu, keluarnya PPP dan PDI dari ruang sidang, sama-sekali tidak merubah keputusan dewan. Karena prosentase PPP dan PDI paling banyak hanya 30%. DPR periode 2014-2019 sekarang ini adalah DPR yang keempat sejak reformasi. DPR yang lahir dari produk demokrasi yang sangat bebas. Namun mereka juga menjadi DPR yang paling lemah kepada pemerintah di era reformasi. DPR yang lebih memilih membela maunya pemerintah daripada membela rakyat. Lihat saja, masyarakat, dosen, mahasiswa dan siswa STM berdemonstrasi berhari-hari menolak revisi undang-undang KPK. Namun semua itu hanya dianggap sebagi pepesan kosong oleh DPR. Hasilnya, tok tok tok, revisi undang-undang KPK tetap jalan dan disahkan. Begitu juga menyampaikan pengantar Nota APBN 2020 di DPR, Presiden Jokowi minta izin untuk memindahkan ibukota negara ke luar pulau Jawa. Tanpa lebih dulu melakukan perubahan atas undang-undang ibukota negara, DPR menyetujui keinginan pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Pulau Kalimantan. Belakangan ketika skandal korupsi Jiwasraya meledak, rakyat meminta DPR agar membentuk Pansus Jiwasraya. Namun DPR sepertinya tidak mau membentuk Pansus Jiwasraya untuk menyelidiki skandal yang merugikan BUMN asuransi Rp 17 triliun itu. Kabarnya, tidak dibentuknya Pansus Jiwasraya itu atas permintaan dan tekanan dari Istana Negara Maimun. Setelah Jiwasraya, kini meledak lagi skandal korupsi di PT Asabri. Kerugian di Asabri diperkirakan mencapai Rp 21 triliun. Pelakunya masih hampir sama dengan mereka yang membobol Jiwasraya. Namun, lagi-lagi DPR tidak juga bergeming untuk segera membentuk Pansus Jiwasraya maupun Pansus Asabri. Atau Pansus Jiwasraya dan Asabri. Rupanya untuk DPR periode sekarang, skandal korupsi dengan nilai hampir Rp 40 triliun, bukanlah sesuatu yang penting dan mendesak untuk dibahas dan diselidiki oleh pansus DPR. Tidak terlalu penting, atau karena angkanya tidak besar-besar amat. Mungkin saja kalo angkanya di atas Rp 100 triliun pun belum juga perlu untuk dibentuk pansus DPR. Belom lama ini pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Dari draf PDF yang beredar di media sosial, RUU Omnibus Law ini akan merampok sejumlah kewenangan Pemerintah Daerah. Bahkan atas nama undang-undang ini, para Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, bisa saja dipecat oleh pemerintah pusat. Bukan itu saja. Eksekutif juga dapat mengambil alih sejumlah kewenangan Legislative dan Yudikatif hanya dengan memakai Peraturan Pemerintah (PP) berdasarkan mandat yang diberikan oleh undang-undang Omnibus Law. Atas nama penciptaan lapangan kerja, Presiden dapat saja menumpuk sejumlah kewenangan Pemerintah Daerah, Legislatif dan Yudikatif di tangannya. Meskipun RUU ini bakal menampilkan wajah dan topeng baru kekuasaan yang sentralistik dan otoritarian. Namun kemungkinan besar RUU Omnibus Law bakal disetujui oleh DPR. Ya, memang sangat wajar dan bijak kalau RUU ini disetujui DPR. Apalagi DPR dalam posisi barunya sebagai Kantor Cabang Presiden dari Istana Negara Maimun. Selamat memasuki kekuasaan baru yang otoriter dan tirani. Penulis adalah Wartawan Senior
Lebih Wingit Kota New York atau Kota Kediri?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sampai sejauh ini setidaknya ada dua kota yang sangat dihindari Presiden Jokowi. Kota New York di AS, dan kota Kediri di Jawa Timur. Diantara kedua kota itu, mana yang paling wingit? Paling angker? Bagi Presiden Jokowi tampaknya jawabannya sangat jelas. New York kota yang menjadi markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jelas jauh lebih wingit. New York berada diperingkat pertama. Baru diperingkat berikutnya Kediri. Kota lain? Belum ada konfirmasi. Selama lima tahun periode pertama jabatannya, Jokowi terkesan sangat menghindari New York, khususnya kegiatan Sidang Majelis Umum ( SMU ) PBB. Sudah lima tahun berturut-turut Jokowi absen SMU PBB. Kegiatan penting dan sangat prestisius itu cukup diwakilkan kepada (mantan) Wapres Jusuf Kalla. Sebuah rekor yang belum pernah dicapai oleh seluruh Presiden Indonesia. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun Susilo Bambang Yuhoyono tidak bisa menandinginya. Kalau dalam sepakbola “prestasi” semacam itu disebut sebagai quintrick, memborong lima gol sekaligus. Luar biasa! Prestasi semacam ini hanya pernah ditorehkan bintang sepakbola paling top di dunia sekelas Ronaldo dan Lionel Messi. Alan Shearer dan Robert Lewandowski juga pernah melakukannya. Sebaliknya untuk Kota Kediri, Jokowi baru sekali absen. Jokowi tidak hadir pada sebuah acara di Pesantren Lirboyo Kediri. Semula berdasarkan penjelasan dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung, agar Jokowi terhindar dari bencana lengser seperti yang pernah menimpa almarhum Presiden Abdurahman Wahid ( Gus Dur ). Ada beberapa lokasi di kota Kediri yang jadi pantangan seorang presiden, dan tidak boleh dilewati kalau tak mau bernasib apes. Jadi yang paling aman bagi seorang presiden, hindari sejauh mungkin kota yang pernah menjadi pusat kerajaan Dhaha itu. Belakangan pernyataan Pram diralat. Dia menyatakan konteks pembicaraannya dalam nada bercanda dan disalahpahami media. "Kita tahu Presiden kita ini tidak takut ke mana-mana. Mau ke mana saja, ke Afghanistan saya juga mendampingi, apalagi hanya ke Kediri. Saya melihat berita sudah melenceng jauh dari substansi awal," ujar Pramono. "Sampai hari ini Pak Jokowi tidak pernah diundang ke Kediri. Tergantung undangannya saja," tambahnya. Okay lah. Sementara ini permasalahannya kita anggap clear. Presiden tidak pernah takut kemanapun. Apalagi cuma kota Kediri. Kita tinggal tunggu kapan Jokowi berkunjung ke kota yang identik dengan rokok PT Gudang Garam itu. Ada baiknya untuk uji nyali, sekaligus uji sahih ucapan Pram, pemerintah setempat, atau warga kota Kediri segera mengundang Presiden Jokowi. Kita buktikan Jokowi hadir atau tidak. Lagi pula Kediri selama ini selalu dikuasai oleh PDIP, partai yang menjadi basis utama pendukungnya. Harusnya menjadi prioritas Jokowi. Apa gedung PBB sangat angker? Urusan kota Kediri untuk sementara boleh dilupakan. Sekarang kita balik lagi ke kota New York. Apa iya kota New York, khususnya markas PBB yang sangat wingit, angker, keramat, bisa membuat Jokowi dilengserkan kalau sampai berani mengunjunginya? Kalau tidak super wingit lantas apa penjelasannya, kok sampai lima kali berturut-turut tidak hadir? Pada SMU PBB ke-74 tahun 2019 Wapres Jusuf Kalla kembali mewakili Jokowi. Itu menjadi kali terakhir Kalla bisa mewakili. Dia berharap, pada sidang ke-75 tahun 2020 Jokowi bisa hadir. “Semua pemimpin negara lain bertanya-tanya. Mana Pak Jokowi,” ujar Kalla. Kehadiran seorang kepala negara dalam forum internasional semacam itu sangat penting. Para kepala negara bisa menyampaikan agenda dan gagasan di pentas dunia. Forum semacam itu biasanya dimanfaatkan untuk saling bertemu dan menjalin kerjasama. Sebuah kesempatan yang mahal, langka, dan sangat penting. Pada 30 September 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang sangat terkenal di depan Majelis Umum PBB. Pidatonya diberi judul "To Build the World A New". Bung Karno menguraikan soal Pancasila, perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, posisi Indonesia dalam masalah kolonialisme, dan usaha perbaikan organisasi PBB. Presiden Soeharto dalam Sidang Majelis Umum Ke-47 PBB pada 24 September 1992 menyampaikan "Pesan Jakarta.” Pesan tersebut dirumuskan dalam KTT ke 10 Gerakan Non Blok (GNB) yang dilaksanakan di Jakarta antara tanggal 1-6 September 1992. Soeharto bukan hanya mewakili 180 juta penduduk Indonesia namun juga mewakili 108 negara anggota GNB. Dua per tiga dari keseluruhan keanggotaan PBB. Presiden Gus Dur juga pernah hadir dalam sidang di Markas PBB pada tahun 2000. Bahkan pada bulan Desember 2003 setelah tidak menjadi presiden dia mendapat penghargaan “Global Tolerance Award” dari PBB. Sementara Megawati yang menggantikan Gus Dur pernah hadir dalam SMU PBB tahun 2001. Megawati juga tercatat sebagai presiden pertama dari negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang mengunjungi AS setelah tragedi 11 September 2001. Begitu pula halnya dengan Presiden SBY yang sangat aktif dalam forum-forum internasional, khususnya di PBB. Pada sidang PBB ke-67 tahun 2012 SBY menyampaikan sikap Indonesia terhadap maraknya penistaan agama di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2020 ini kita akan kembali menyaksikan apakah markas PBB di kota New York masih menjadi tempat yang angker dan wingit bagi Jokowi? Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah menyatakan, kesibukan di dalam negeri menjadi alasan mengapa Jokowi tidak pernah hadir di SMU PBB. Lagi pula menurutnya Wapres Jusuf Kalla juga merupakan representasi negara. “Jadi tak perlu dipersoalkan,” tegasnya. Masalahnya kata Kalla, PBB punya aturan protokol yang ketat. Kelas seorang wapres tidak bisa disamakan dengan presiden. "Jadi ukurannya bukan negara besar atau tidak, tapi Anda pangkatnya apa, itu protokolernya berlaku. Seperti tadi yang berbicara pertama dari Mauritius, itu negara penduduknya hanya 20 ribu sampai 30 ribu. Jadi kalau Pak Jokowi, mungkin hari pertama atau hari kedua berbicara,” ujar Kalla. Pada sidang ke-74 Kalla baru mendapat giliran pidato pada hari ketiga setelah semua kepala negara berpidato. Dia harus bersabar dan mengalah menunggu giliran, setelah pidato kepala negara sekelas Nauru, Fiji, atau negara-negara lain yang namanya tidak pernah kita dengar. SMU PBB biasanya digelar pada bulan September. Masih beberapa bulan lagi. Apakah kali ini Jokowi akan kembali absen, atau memutus “tradisi” selama lima tahun terakhir. Kalau Jokowi kembali absen, kira-kira apa alasannya? Kalau kendala bahasa, hal itu tak seharusnya menjadi penghalang. Secara undang-undang sesungguhnya seorang presiden harus menggunakan bahasa Indonesia di forum-forum resmi. Apalagi di forum internaaional. Pak Harto paling taat dan selalu menggunakan bahasa Indonesia. Kalau absen lagi, siapa kira-kira yang akan diutus? Wapres Ma’ruf Amin atau pejabat yang lain? Sambil menunggu bulan September tiba, bila Anda termasuk orang yang ingin menjadi presiden Indonesia dan terpilih sampai dua kali, tidak ada salahnya mulai riset kemungkinan tempat-tempat wingit di kota New York. Jembatan Broklyn, Patung Liberty, Fifth Avenue, Park Avenue, Central Park, Ground Zero, atau Gedung Markas PBB? Jangan-jangan disitu lah kunci rahasianya. End. Penulis wartawan senior.
Langgar Hukum, Dana Hibah KONI Dibuat Kontrak Pemain!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Berdasar jejak digital yang ditulis Kompas.com (11/02/2016, 20:07 WIB), terungkap adanya praktek “kontrak atlet” antar provinsi dalam gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, September 2016. Atlet renang nasional, Indra Gunawan mengaku masih menunggu dana yang akan digunakan untuk latihan dan persiapan menjelang membela kontingan Jawa Timur di arena PON 2016, September 2016. Indra Gunawan, 31 tahun, yang saat itu bermukim dan berlatih di Bali mengaku mengalami kendala dana untuk berlatih secara maksimal. “Dana untuk suplemen, try out, training camp, dan juga peralatan tak pernah turun hingga saat ini,” kata Indra yang dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto. Ia menyebut, bahkan untuk melakukan tes fisik di Surabaya pun, Januari 2016, Indra tak bisa datang karena terkendala dana. “Pemberitahuan terlalu mepet, sehari sebelumnya. Belum lagi ada kendala dana,” ungkap Indra. Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas untuk nomor 50 meter gaya dada. Indra yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara mengaku tidak bermasalah dengan gaji bulanan dari KONI Jawa Timur. “Meski waktunya tidak teratur, namun gaji bulanan selalu saya terima,” kata ayah dua anak ini. Berita yang ditulis Kompas.com itu merupakan salah satu petunjuk adanya praktek Kontrak Atlet antar provinsi. Yang banyak Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Untuk mengambil atlet angkat besi, Eko Yuli Wirawan misalnya, Jatim mesti membayar Kaltim dengan mahar Rp 300 juta. Nominal berkisar Rp 200 juta hingga Rp 500 juta juga dikeluarkan untuk 15 atlet lain yang pindah ke Jatim. Melansir Tirto.id (23 September 2016), diantara mereka ada lima atlet boling dari Jabar, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper. Jatim juga telah berhasil membajak perenang pelatnas, Ressa Kania Dewi dan Glen Victor Susanto. Kabarnya mahar dua atlet ini di atas Rp 600 juta. Untuk melobi perenang andalan Jabar lain, Triady Fauzi Sidiq, Jatim bahkan sempat menego Rp 780 juta. Namun, tawaran itu ditolak oleh KONI Jabar. Semakin besar prestasi dan potensi si atlet mendapat medali maka semakin juga mahal “uang pembinaannya”. Kegilaan tawaran mutasi atlet memang sudah kelewat batas. Pecatur andalan Jabar, Irene Kharisma Sukandar bahkan sempat “dibeli” Jatim Rp 1 miliar pada 2013. Surat kontrak antara Irene dan KONI Jatim sudah dibuat. Tapi, transaksi ini gagal karena Jabar menang saat proses gugatan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI). Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain. Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkedok permainan kontrak pemain. Kabarnya, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar fee transfer dan kontrak pemain. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet! Langgar Hukum! Coba kita simak Pasal 9 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahgaraan Nasional, Bagian Kedua mengenai Alokasi Pendanaan. Pasal 9 (1)Dana yang diperoleh dari sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat dialokasikan untuk penyelenggaraan keolahragaan yang meliputi: a.olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi; b.pembinaan dan pengembangan olahraga; c.pengelolaan keolahragaan; d.pekan dan kejuaraan olahraga; e.pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga; f.peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; g.pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; h.pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan; i.pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan; j.pembinaan dan pengembangan industri olahraga; k.standardisasi, akreditasi dan sertifikasi; l.pencegahan dan pengawasan doping; m.pemberian penghargaan; n.pelaksanaan pengawasan; dan o.pengembangan, pengawasan, serta pengelolaan olahraga profesional. (2)Tata cara penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya kita simak juga PP Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan, Bab XII mengenai Pendanaan Keolahragaan. Pasal 69 (1)Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2)Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 70 (1)Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan. (2)Sumber pendanaan keolahragaan dapat diperoleh dari: a.masyarakat melalui berbagai kegiatan berdasarkan ketentuan yang berlaku; b.kerja sama yang saling menguntungkan; c.bantuan luar negeri yang tidak mengikat; d.hasil usaha industri olahraga; dan/atau e.sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 71 (1)Pengelolaan dana keolahragaan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2)Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 71 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov untuk KONI Provinsi. Kabarnya, ini terjadi di ketiga provinsi yang disebut di atas tadi. Dari jejak digital pula diketahui, Pemprov Jatim mengucurkan anggaran Rp 208 miliar untuk KONI Jatim pada 2015. Jumlah itu meningkat tajam jika dibandingkan pada 2014 yang hanya Rp 120 miliar. Seperti dilansir Bhirawa.com, Senin (2/2/2015), menurut Ketua Umum KONI Jatim Erlangga Satriagung, anggaran dari Pemprov Jatim meningkat karena KONI Jatim memiliki sejumlah angenda yang membutuhkan uang cukup besar. Yakni, penyelenggaraan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) V di Banyuwangi, try out cabang olahraga (Cabor) untuk persiapan PON Jabar 2016 dan penambahan cabor di Pemusatan Latihan Daerah (Puslatda). “Banyak program yang membutuhkan anggaran cukup besar. Tahun 2015 ini ada Porprov dan cabor-cabor mulai banyak try out sebagai persiapan PON 2016,” kata Erlangga, Senin (2/2/2015). Seberapa besar dana hibah yang diduga diselewengkan oleh tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016, tentu pihak berwenang yang lebih tahu. Sebab, semua bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum! Penuturan Indra Gunawan tentang “kontrak atlet" yang para atlet alami di Indonesia tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menegakkan aturan tentang pengelolaan dana hibah. Jangan hanya demi ambisi dan prestasi semata, daerah menghalalkan segala cara. Alhasil, prestasi olahraga Indonesia pada tataran internasional juga ikut berdampak akibat minimnya regenerasi. Sudah saatnya para penegak hukum berlaku adil dengan mengusut tuntas kesalahan pengelolaan dana hibah untuk masalah transfer atlet ini. Dan, di sisi lain, daerah harus serius menggunakan dana hibah ini untuk proses regenerasi atlet! *** Penulis wartawan senior.
Misteri Hukum Politik Dibalik Omnibus Law
Oleh Raditya Mubdi Jakarta, FNN – Metode Omnibus Law sebagai pilihan pemerintah untuk menyederhanakan puluhan undang-undang dan ribuan pasal menuai pro dan kontra di masyarakat. Selain materi Rancangan Undang-Undang (RUU), prosedur omnibus law ini dianggap tidak lazim di Indonesia yang memiliki latar belakang hukum civil law atau disebut eropa continental. Omnibus Law merupakan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyederhanakan beberapa undang-undang sekaligus menjadi satu undang-undang. Sehingga ada yang menggunakan istilah beleid sapu jagat. Metode omnibus law ini sering digunakan di negara-negara yang sistem hukumnya common law. Sementara indonesia sebagai negara penganut sistem hukum civil law memiliki cara dan teknis berbeda dalam perubahan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi pertanyaan publik. Sebab tidak biasa terjadi. Sekalipun ada beberapa ahli hukum yang membangun argumentasi terkait penerapan omnibus law sebagai sistem hukum common low secara teknis untuk mendukung pemerintah dalam penerapan omnibus law di indonesia, tetap saja terlihat tidak normal dalam sistem hukum di indonesia. Ibarat duren berbuah mangga. Hal ini bukan suatu terobosan normal. Melainkan rekayasa dengan metode hibridisasi dua komponen sistem hukum yang berbeda. Artinya terdapat latar belakang yang sangat fundamental dari kebijakan pemerintah tersebut. Tidak dapat dipungkiri, di alam demokrasi seperti Indonesia. Politik sangat berperan penting untuk memperkuat kekuasaan. Itulah hukum politik di indonesia. Jika penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang dilakukan pemerintah melalui revisi, maka memakan waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan anggaran yang dikeluarkan sangat besar, karena berkaitan dengan revisi puluhan undang-undang tersebut. Jika pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), sebenarnya sangat mudah dan sederhana. Namun sangat berisiko secara politik dikemudian hari. Sehingga bisa jadi omnibus law sebagai jalan pintas untuk meredam semua risiko yang akan dihadapi. Inilah ranah teka-teki hukum politik yang dihadapi. Jika kita tilik lebih dalam, apa sesungguhnya yang paling urgent dari kebijakan pemerintah ini? Sehingga harus membutuhkan omnibus law sebagai alat konsolidasi politik yang strategis? Sekalipun memiliki kewenangan hukum, namun pemerintah tidak berani mengambil resiko secara sepihak. Butuh dukungan politik untuk legitimasi kebijakan yang dikeluarkan melalui omnibus law ini. Istilahnya, menabrak sistem hukum saat ini tak mengapa. Jika dibandingkan dengan di kemudian hari menjadi bumerang yang berakibat gejolak politik yang sangat fatal. Hari ini dapat dilihat reaksi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat terhadap RUU omnibus law. Bukan saja dari kalangan para buruh, beberapa elite pun turun gelanggang berkomentar terkait kebijakan pemerintah mengajukan RUU omnibus law ini. Mereka beranggapan kebijakan pemerintah melalui RUU omnibus law sangat merugikan beberapa komponen masyarakat dan menguntungkan investor dan pengusaha. Selain itu, kebijakan ini dianggap menabrak aturan yang ada. Penulis adalah Fungsionaris PB HMI
Parpol: Di Bawah Lindungan Para Taipan
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ketua MPR Bambang Soesatyo buka rahasia sangat besar! Tapi sebenarnya kalau mau jujur, sudah bukan rahasia. Kita sudah sama-sama tahu. Untuk menguasai partai politik, kata Bamsoet, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 Triliun! Artinya dengan jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9, maka untuk menguasai parlemen secara penuh hanya butuh modal Rp 9 Triliun. Jumlahnya jauh lebih sedikit, karena untuk menguasai parlemen tak perlu semua partai harus dibeli. Cukup dua pertiga suara saja. Pilih 3-4 parpol dengan suara tertinggi. Jadi modalnya kira-kira hanya Rp 5-6 Triliun mereka sudah bisa menguasai Indonesia. Murah bukan? Dengan menguasai parpol, menguasai parlemen, maka para pemodal bisa menentukan siapa yang menjadi Presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota dan berbagai jabatan publik lainnya. Tentu saja termasuk pimpinan MPR, DPR dan DPD. Ongkos tambahan diperlukan ketika berlangsung pilkada, pemilihan jabatan publik melalui DPR, dan puncaknya yang paling besar ketika berlangsung pilpres. Sejumlah pengamat pernah menyebut untuk maju pilpres, seorang kandidat setidaknya membutuhkan dana Rp 7 Triliun. Tapi melihat praktik Pilpres 2019 lalu, jumlah yang dibutuhkan jauh lebih besar dari itu. Bagi pemilik modal, angka tersebut tetap saja murah, mengingat yang akan dia kuasai adalah Indonesia. “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita,” ujarnya. Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet ingin mengatakan parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar proxy, boneka dari para pemilik modal. Mereka adalah orang-orang yang dimodali untuk menjalankan agenda kepentingan para pemilik modal. Urusannya tidak jauh-jauh penguasaan sumber daya alam dan ekonomi melalui politik kekuasaan. Bamsoet menjamin apa yang dikatakannya sahih. Berdasarkan pengalaman sekian puluh tahun terjun di dunia politik. Dia juga pernah mencoba maju menjadi ketua umum Golkar. Namun melalui lobi-lobi, tarik ulur dan tekanan politik dia harus mengalah ke Airlangga Hartarto. Tidak gratis. Kompensasinya dia mendapat posisi sebagai Ketua MPR dan Wakil Ketua Umum Golkar. Sebelumnya Bamsoet jug pernah menjadi Ketua DPR. Sebuah posisi yang hanya bisa diraih melalui proses lobi-lobi politik yang tidak gratis juga. Jadi sekali lagi apa yang dikatakan Bamsoet dapat dipastikkan, dijamin sahih. Bukan hoax, apalagi fitnah. Siapa para pemilik modal itu? Kalau melihat angkanya dalam jumlah triliunan, maka sebenarnya tidak banyak orang Indonesia yang memilikinya. Mereka adalah sekelompok kecil orang kaya Indonesia. Mereka punya kepentingan politik agar bisnisnya tetap terjaga dan bisa lebih menggurita. Siapa para orang kaya itu. Datanya terbuka. Setiap tahun majalah Forbes melansir daftar 100 orang terkaya di Indonesia. Dipastikan pemainnya tidak jauh-jauh dari mereka. Di posisi 10 besar urutan pertama ditempati mantan pemilik pabrik rokok Djarum R Budi dan Michael Hartono. Jumlah kekayaan: US$37,3 miliar (Rp526,11 triliun). Berikutnya pemilik PT Sinar Mas Group Widjaja Family (2). Jumlah kekayaan: US$9,6 miliar (Rp135,4 triliun). Pengusaha hutan dan Petrokimia Prajogo Pangestu (3) Jumlah kekayaan: US$7,6 miliar (Rp107,2 triliun). Pemilik pabrik rokok PT Gudang Garam Susilo Wonowidjojo (4). Kekayaan: US$6,6 miliar (Rp93,1 triliun). Pengusaha Petrokimia Sri Prakash Lohia (5) Kekayaan: US$5,6 miliar (Rp78,9 triliun). Berikutnya pengusaha Anthoni Salim (6) kekayaan: US$5,5 miliar (Rp77,5 triliun). Pemilik Mayapada Group Tahir (7).Kekayaan: US$4,8 miliar (Rp67,7 triliun). Pengusaha farmasi Boenjamin Setiawan (8) kekayaan: US$4,35 miliar (Rp61,3 triliun). Pengusaha media Chairul Tanjung (9) Kekayaan: US$3,6 miliar (Rp50,7 triliun). Pemilik PT Mayora Jogi Hendra Atmadja (10).Jumlah kekayaan: US$3 miliar (Rp42,3 triliun). Coba perhatikan jumlah kekayaan mereka. Angka Rp 1 Triliun adalah jumlah kecil. Cuma seupil! Kalau bench mark-nya adalah orang terkaya di Indonesia, keluarga Hartono. Maka jumlahnya hanya 0.0019 persen dari total kekayaannya. Itu hanya tusuk gigi bagi mereka! Dari 10 orang terkaya itu, hanya dua orang yang bukan taipan dari etnis Cina. Sri Prakash Lohia dan Chairul Tanjung. Jika kita teruskan daftarnya sampai 100 orang terkaya, maka komposisinya juga akan sama. Mereka semua adalah taipan yang menguasai perekonomian Indonesia. Tidak semua taipan bermain-main dengan politik kekuasaan. Tapi kebanyakan yang bermain adalah mereka. Karena mereka lah yang punya modal dan kekuatan dana. Kalau yang bermain adalah negara asing, maka kita dengan mudah menyebut Cina lah saat ini yang paling berkepentingan. Cina banyak menggelontorkan dana untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Dan semua itu pasti tidak gratis. Apa yang disampaikan Bamsoet seharusnya membuka mata kita. Negara ini tengah dalam bahaya. Sistem politik liberal yang sangat mengandalkan kekuatan uang, membuat sekelompok orang, sekelompok pemodal, kepentingan asing, dengan mudah dan murah, membajak negeri ini melalui proses demokrasi. Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi. Siapa yang menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan semua jabatan publik lainnya sudah mereka ditentukan. Mereka lah para oligarki yang menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini. Para politisi, pejabat negara mulai pusat sampai daerah, sesungguhnya hanya proxy yang dibayar murah! Penulis wartawan senior.
Tiba-tiba Saja Ketua MPR Bambang Soesatyo Terbangun
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tak ada angin, tak ada hujan. Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan dua hari lalu (17/2/2020) bahwa para pemodal menguasai parpol-parpol. Bahkan cukup dengan uang satu triliun saja. Setelah itu, mereka bisa mendikte kebijakan parpol yang dibayar. Untuk selanjutnya, mereka mendikte parlemen (DPR). Kata Bamsoet, para cukong menyusup ke parpol-parpol untuk merebut posisi ketua umum. Mereka datang ketika sedang berlangsung Munas, muktamar, kongres, dan sejenisnya. Setelah duit digelontorkan, bereslah semua. “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya,” ujar Bamsoet lagi. Rakyat boleh juga bersyukur atas kesiuman Bamsoet dari pingsannya. Anggap saja dia pingsan. Cukup lama. Padahal, anak-anak SMP saja sudah paham bahwa para cukong sejak dulu menguasai parpol-parpol. Kecuali satu parpol saja. Bamsoet terbangun dari tidurnya. Terlambat, tapi tetap disyukuri. Ketimbang tak pernah lagi siuman. Yang menjadi pertanyaan di benak penonton, mengapa Bamsoet baru sudi mengatakan itu dua hari lalu? Apakah karena dia sudah bosan bermukim di kolam terus? Mimpi apa kira-kira? Mungkinkah Bamsoet kecewa? Kecewa karena dia sendiri menjadi korban penyingkiran dari posisi ketua umum Golkar? Rakyat yang dibodohi oleh para politisi, termasuk Bamsoet, ‘kan sudah paham sejak dulu. Paham bahwa parpol, dan kemudian parlemen, selalu berada di bawah telunjuk pemodal. Itulah sebabnya dari pemilu ke pemilu orang semakin tidak berminat datang ke TPS. Karena mereka merasa pemilu adalah panggung penipuan. Nah, sekarang KPK dilemahkan sampai bonyok oleh DPR bersama Presiden Jokowi. Saking lemahnya, KPK mulai mengerjakan OTT 15-jutaan. Tak berdaya lagi menangkap koruptor-koruptor berkelas. Kalau pemandulan KPK ini dirujuk ke penyataan Pak Bamsoet yang terhormat, menjadi klop bahwa para cukonglah yang sesungguhnya berkuasa di negeri ini. Terima kasih banyak Pak Bamsoet. Semoga koleksi mobil mewah penjenengan terus bertambah. Hehe! [] 19 Februari 2020 Penulis wartawan senior.
Transformasi FPI dan Revolusi Sosial
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FFN – Jumat lusa, 21/2 Front Pembela Islam(FPI) akan menggelar demo besar-besaran untuk melawan wabah korupsi yang merajalela di Indonesia. Wabah korupsi itu semakin menjadi sejak kepemimpinan Jokowi. Pembobolan institusi keuangan, misalnya, di jaman Habibie berjumlah sebesar Ro. 400 milar, kasus "cessie" Bank Bali. Pembobolan jaman SBY naik tajam sebesar Rp. 6,7 triliun pada Kasus Bank Century. Nah, di jaman Jokowi ini naik menjadi 17 Triliun, kasus Jiwasraya. Ditambah Asabri akan menjadi Rp. 25 Triliun. Semua ini berujunga pada sebuah skandal politik. Pembobolan perusahaan asuransi milik negara. Umumnya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu terkait dengan kekuasaan. Bahkan, Soesilo Bambang Yudhoyono menantang rezim Jokowi dan DPR untuk membongkar keterkaitan pembobolan Jiwasraya dengan pendanaan pilpres 2019. Ini adalah gerakan FPI pertama kali dalam tema strategis. FPI bergerak di luar urusan keagamaan an sich. Atau dengan kata lain, perjuangan Islam memang dikatakan strategis kalau perjuangan itu sudah masuk kepada tema-tema struktural. Menyangkut dengan nasib rakyat yang dihancurkan melalui agenda-agenda korupsi kekuasaan. Transformasi Besar FPI Beberapa bulan lalu ketika saya di panel dengan Rocky Gerung (RG), di acara talk show Rahma Sarita, saya kaget dengan statement RG. Katanya, dia dulu paling benci lihat FPI dan Munarman. Dulu, di mata RG, FPI hanyalah preman berjubah putih. Namun, RG mengatakan bahwa FPI saat ini sungguh luar biasa. Larena FPI, dimata Rocky, telah mengambil peran yang sangat positif, sebagai pembela rakyat. Beberapa hari lalu, hal senada kita lihat dalam berita yang menyajikan pandangan Rizal Ramli. Rizal sangat kagum ketika menjadi pembicara pada acara yang diadakan FPI (bersama GNPF dan Alumni 212) tentang BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial). Rizal tidak membayangkan FPI dan kelompok-kelompok Islam militan ini konsern pada isu strategis seperti kenaikan iuran BPJS yang menyakitkan rakyat banyak. Bagi Rizal Ramli dan Rocky Gerung, tokoh sekuler yang di masa lalu alergi dengan FPI, memberi apresiasi terhadap FPI, bisa dimaknai dengan terjadinya transformasi FPI. Menjadi organisasi yang lebih dewasa dan bertanggung jawab. Namun, sebenarnya di sisi lain kita bisa juga melihat bahwa baik Rizal Ramli maupun RG, mungkin juga bertransformasi ke arah pemahaman yang utuh tentang pergerakan Islam. Kedua hal di atas, apapun faktanya, perlu diteliti dan di apresiasi. Pergerakan Islam maupun pergerakan ideologis lainnya memang ditahap awal membutuhkan doktrin tunggal kepada pengikutnya. Hal ini penting untuk menjaga pertumbuhan awal organisasi agar tidak disusupi pemikiran lain yang merusak maupun pembelokan arah gerakan. Dengan begitu, kita melihat sejak berdirinya FPI tahun 1998 sampai tahun 2014, tema-tema perjuangan FPI masih fokus pada isu "sektarianisme". Misalnya, anti maksiat, anti Syiah, anti Ahmadiyah, anti Komunis serta fokus melindungi diri dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah (versi Habaib). Pada tahun 2015, khususnya sejak aksi Parade Tauhid, bulan Juni, FPI masuk pada agenda kekuasaan (power). Pada tahun yang sama, bulan Desember, pada aksi 4/11 dan 2/12, gerakan FPI total berkembang pada isu kekuasaan. FPI akan selalu di garda paling depan mengahadapi kekuasan yang korup, zalim, dan semena-mena. Isu kekuasaan maksudnya adalah FPI secara terbuka menentang kekuasaan yang sedang eksis, yakni kekuasaan Jokowi. Bahkan, pada tahun 2017, FPI berhasil mendongkel Ahok dari kekuasaannya di Jakarta. Padahal Ahok di dukung penuh oleh semua kekuasaan rezim Jokowi. Setelah masuk pada isu kekuasaan, FPI berkembang seiring dengan munculnya “mazhab Rizieqisme". Mazhab yang menggambarkan pergolakan pikiran dan ajaran Habib Rizieq tentang Ideologi Negara, Pancasila. Pembelaan atas orang-orang miskin, konsep negara syariah. Dalam tulisan saya sebelumnya, “mazhab Rizieqisme” yang saya maksud itu mencakup ajaran HRS. Pertama, perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. Kedua, perjuangan harus diakar rumput. Ketiga, Islam sebagai alat persatuan. Keempat, radikal atau tidak mengenal kompromi. Kelima, tanggung jawab sosial alias solidaritas. Informasi Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Guru Besar ekonomi UI, yang juga menantu Proklamator Bung Hatta, ternyata HRS menguasai Pancasila jauh di atas rata-rata elit nasional. Hal ini dikatakannya setelah Sayidiman, jenderal tertua yang masih hidup, bersama dia, berdiskusi soal Pancasila dengan HRS. Banyak hal yang luar biasa tentang konsep Pancasila dari HRS. Pemehaman HRS melebihi pemahaman Jenderal Sayidiman dan Prof Dr. Sri Edi tersebut. Kembali pada perubahan sikap Rocky pada FPI, memang kita melihat bahwa tranformasi telah terjadi pada FPI secara keseluruhan. Dengan agenda-agenda besar negara, seperti menolak merajalelanya korupsi di kubu rezim Jokowi, transformasi FPI telah menjadikan organisasi itu sebagai kekuatan "civil society" terdepan untuk mengawal penyelenggara negara. Revolusi Sosial Sebuah perjuangan pada akar rumput selalu berarah pada revolusi sosial. Jean Jacques Rousseau, pemikir besar revolusi Prancis beberapa abad lalu, sebagaimana dikutip Wikipedia, berpikir bahwa "Rousseau posits that the original, deeply flawed Social Contract (i.e., that of Hobbes), which led to the modern state, was made at the suggestion of the rich and powerful, who tricked the general population into surrendering their liberties to them and instituted inequality as a fundamental feature of human society." Jean Jacques pada intinya mengatakan, segelitir orang-orang kaya dan penguasa yang curang telah memanipulasi masyarakat. Targetnya, meraka terus bisa memperkaya diri dan agar percaya ketimpangan sosial merupakan kewajaran. Pembebasan manusia dari cengkraman "kontrak sosial palsu”, yang menghancurkan peradaban, menurut Jean Jacques adalah keharusan. Manusia adalah makhluk mulia yang dipasung sistem kekuasaan masyarakat jahat. Ajaran Jean Jacques tentang kontrak sosial baru yang berisi kebebasan dan persamaan derajat semua manusia, telah mengantarkan revolusi di Francis pada abad ke 18 dulu. Rizieq ddan FPI i Indonesia dan telah bertransformasi dari ajaran perjuangan ahlak dan baik buruk. FPI telah berkembang pesat menjadi ajaran revolusioner saat ini. Mereka telah mendorong adanya sebuah konsep sosial baru di mana keadilan harus diletakkan pada rakyat mayoritas. Bukan pada segelintir taipan sebagai pengendali negeri alias sembilan naga. Pikiran dan ajaran FPI ini bukan lagi dengan membenturkan antara Pancasila vs Islam. Namun ini adalah pertentangan historic, antara yang disebut Jacques Rousseau tadi, yaitun "Kontrak Sosial Palsu" melawan "Kontrak Sosial Sempurna". Keuntungan kelompok FPI dalam perjuangannya adalah pikiran mereka sejalan dengan cita-cita pendiri negara (founding fathers). Bahwa negera dalam kontrak sosial adalah melindungi segenap tumpah darah dan menciptakan keadilan sosial secara total. Tidak dan selain itu. Penutup Perubahan sikap yang dalam dari tokoh-tokoh sekuler seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli terhadap eksistensi FPI terjadi belakangan ini. Mereka tidak lagi menganggap FPI sebagai preman bersorban putih. Mereka meyakini telah terjadi transformasi, dimana FPI saat ini adalah organisasi perjuangan rakyat yang utama. Organisasi yang selalu tampil membela rakyat. Memang, tanpa disadari, selama lima tahun terkahir, FPI masuk pada perjuangan strategis dengan isu-isu keadilan sosial. FPI yang anti korupsi dan berharap pemerintah yang membela rakyat. Basis argumentasi FPI dan khususnya Habib Rizieq, semakin lama semakin kuat dan komprehensip. Perjuangan yang dahulu terkenal sektarian, kini menjadi terbuka pada front nasional yang lebih luas. Dalam agenda terbaru, FPI masuk pada kritik kenaikan iuran BPJS yang memberatkan rakyat. Sedangkan pada Jumat, 21/2, nanti FPI masuk pada agenda aksi anti korupsi (Jiwasraya, Asabri, dan Bumiputra). Sebuah agenda besar rakyat untuk menghancurkan kezaliman struktural. Situasi ke depan Indonesia akan masuk pada tahun-tahun sulit. Akibat dari kemunduran pembangunan ekonomi. Keploporan FPI dalam perjuangan rakyat mungkin akan disambut diseluruh pelosok negeri. Tinggal rakyat berharap sejauh apa perubahan sosial yang mampu tercipta. Semoga ada kontrak sosial baru tentunya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
"Pemotongan” Dana Pensiun Aparatur Negara, Dalih Tutupi Miss-management Proyek Infrastruktur?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kebijakan Presiden Joko Widodo mengalihkan uang pensiun dari Taspen dan Asabri ke BPJS Tenaga Kerja (TK) menuai kontroversi. Para pensiunan diyakini bakal terkena potongan rata-rata sebesar Rp 300 ribu. Karena ada pemotongan ini, perwakilan pensiunan PNS, TNI, dan Polri menggugat Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial, kebijakan ini akan diterapkan paling lambat pada 2029, seiring berkurangnya jumlah pensiunan. Sebuah pertanyaan mengemuka: ada apa dengan pengelolaan jaminan sosial dan asuransi di Indonesia? Dan, mengapa Jokowi terkesan buru-buru mengalihkan dana pensiun ke BPJS TK, ketika manajemen BPJS sedang menjadi sorotan masyarakat? Kebijakan baru tentang uang pensiunan dikeluarkan Presiden Jokowi. Namun, kebijakan ini membuat was-was pensiunan dan pegawai yang akan pensiun. Sebab, hal ini akan merugikan mereka. Rencananya, pemerintah meleburkan pengelolaan dana pensiun pegawai negeri sipil (PNS) dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS TK atau Ketenagakerjaan. Hal ini dinilai bakal merugikan, karena pemotongan dana pensiun itu dan manfaat lain yang sangat tinggi sehingga pensiunan PNS yang sudah bekerja dan mengabdi kepada negara tak memperoleh manfaatnya. Akhirnya sejumlah pensiunan yang tak terima atas kebijakan Presiden Jokowi itu menggugat melalui MK. Menurut Andi Muhamad Asrun, kuasa hukum dari 18 orang (terdiri dari 7 orang pensiunan dan sisanya principal), hal ini berdampak pada kerugian konkret dan tidak konkret. Andi menjelaskan, pensiunan dengan pelapor seorang PNS dengan gaji pokok paling rendah Rp 1.560.800, ketika jaminannya dialihkan ke BPJS TK, maka nominal uang pensiun yang diperoleh menyusut cukup ekstrem, bahkan sampai Rp 300.000. Hal ini juga terjadi pada PNS dengan gaji tertinggi Rp 4.425.900. “Kemudian (PNS/pelapor) gaji yang tertinggi Rp 4.425.900 akan berubah menjadi Rp 3,6 juta. Jadi, ada penurunan yang signifikan dan ini tidak dijawab sampai sidang kemarin,” tegasnya. Pensiunan berharap masalah tersebut teratasi dan tidak menimbulkan ketidakpastian akan perolehan pensiun bekas abdi negara. “Peraturan pemerintah ini tidak sinkron dan mau diputuskan paling lambat tahun 2029. Kalau paling lambat, artinya kan bisa saja besok bisa kapan-kapan tergantung pemerintah,” katanya. Merunut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Asabri dan Taspen harus melebur ke BPJS-TK paling lambat pada tahun 2029. “Para pemohon merasa saat ini mendapat keuntungan dari Taspen dan sudah real. Kenapa sesuatu yang sudah real dicoba dikonversi ke sesuatu yang tidak real. Mereka ini berhak mendapat kepastian, tapi dilanggar, makanya diuji. Harapannya dikabulkan ya,” jelasnya. Adapun beberapa pasal yang digugat adalah pasal 57 huruf f, pasal 65 ayat 2 dan pasal 66. Ini dinilai bertentangan dengan pasal 28 h ayat 3 dan pasal 34 ayat 2 UUD 45. Dalam pasal 28 h ayat 3 UUD 45 menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat. Sementara pasal 34 ayat 2 UUD 45, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu. Putusan pada 1998 memperkuat kehadiran PT Taspen, tertuang dalam 98/PU/15XV/2017 dan putusan MA Nomor 32P/HUM/2016. “Jelas menyatakan, PT Taspen itu memiliki dasar hukum yang kuat, kalau itu dihilangkan maka kerugian operasional akan hilang,” jelasnya. PT Taspen itu masuk sebagai perusahaan jasa keuangan BUMN dalam pengawasan Panja Industri Jasa Keuangan yang dibentuk Komisi XI DPR RI belum lama ini. Dirut PT Taspen ANS Kosasih menyebut, jika pihaknya dipanggil, itu tidak akan menjadi masalah. Hal ini mengingat dana pensiun anggota DPR akan dibayarkan oleh Taspen. “Lha, kalau Taspen kita dipanggil ya datang, kita hargai itu. Wajar saja kok karena pensiunan DPR yang bayar Taspen,” lanjut ANS Kosasih, mengutip TribunJatim.com, Kamis (13 Februari 2020 08:55). “Kita juga punya kesempatan untuk menyampaikan kepada Bapak Ibu di DPR, dananya aman kok, pasti prudent,” kata Kosasih di Menara Taspen, Senin (27/1/2020). Menurut Kosasih, DPR memang berkepentingan dalam mengetahui kinerja PT Taspen. Namun, saat ditanya peleburan PT Asabri dan PT Taspen ke BPJS TK, Kosasih menyebut itu adalah wewenang Kementerian BUMN. “Yang itu gini, kan itu masih dibicarakan di tingkat atas. Kami sih ikut pemegang saham,” ungkap Kosasih. “Kan Taspen bukan punya kita. Taspen kan punya RI jadi tanya ke stakeholder (Kementerian BUMN),” jelasnya. Kosasih menyebutkan, sebagai pengelola PT Taspen, pihaknya juga tidak berwenang menjawab hal itu. Tapi, ia mengaku tanggung jawabnya hanya sebatas mengelola dan memperoleh imbal hasil yang baik. “Kita enggak berwenang jawab itu ya. Kita cuma kelola dan alhamdulillah dapat imbal hasil yang baik,” ungkapnya. Sebelumnya, DPR Komisi XI membentuk Panja yang menyoroti kinerja beberapa perusahaan jasa keuangan. Antara lain, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), AJB Bumiputera 1912, PT Asabri (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Reaksi keras datang dari Adhie Massardi lewat akun Twitter-nya @AdhieMassardi. Jubir era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menilai, kebijakan Presiden Jokowi memotong uang pensiun merupakan bentuk perampokan. “Kalau dipotong seenaknya, namanya perampokan,” kata Adhie Massardi di akun Twitter-nya @AdhieMassardi. Kata Adhie, uang pensiun bukan hibah dari pemerintah atau pemberi kerja.Tapi uang pegawai/pekerja yang dipotong tiap bulan. “Uang pensiun ada UU-nya. Wajib disisihkan dan ditempatkan perusahaan asuransi pensiun,” papar Adhie, seperti dilansir SuaraNasional.com, Jum’at (14/2/2020). Biayai Proyek Menurut Koordinator Komunitas Relawan Sadar (Korsa) Amirullah Hidayat, Pemerintah berlaku zalim dengan menggunakan dana BPJS Ketenagakerjaan (atau dikenal BPJS TK) untuk pembangunan infrastruktur. “Itu suatu tindakan yang tidak manusiawi dan penghinaan yang dilakukan terhadap buruh,” kata Amirullah Hidayat. Seperti diberitakan, BPJS Ketenagakerjaan telah menginvestasikan Rp 73 triliun pada proyek infrastruktur per Januari 2018. Melansir RMOL.com, Senin (26/3/2018), investasi tersebut adalah investasi tidak langsung yaitu dalam bentuk surat utang (obligasi) yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seperti diketahui, BPJS Ketenagakerjaan diperuntukkan untuk pekerja atau buruh sebagai Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP). “Bukan untuk dijadikan pembangunan infrastruktur. Bila ini terlaksana maka buruh harus melakukan perlawanan atas kebijakan ini, jika perlu buruh melaporkan kebijakan ini ke pengadilan internasional sebab ini jelas-jelas pelanggaran HAM yang nyata,” ujar Amirullah. Menurutnya, tidak ada alasan yang masuk logika menggunakan duit buruh untuk membangun infrastruktur, sebab pembangunan infrastruktur itu tanggung jawab pemerintah. Jika memang pemerintah tidak sanggup membangun infrastruktur, “jangan dipaksakan!” “Janganlah buruh yang dikorbankan untuk nafsu pemerintahan Jokowi ini,” lanjut Amirullah. Ia mengatakan, buruh mengeluarkan keringat siang malam hanya untuk mencari uang guna membayarkan BPJS setiap bulan. “Tapi uangnya dimanfaatkan untuk yang tidak ada kaitan dengan kepentingan dengan buruh, ini sama saja pemerintah Jokowi mengeksploitasi para buruh, ini adalah suatu tindakan yang menyedihkan,” tambah Amirullah. Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah bagaimana memberi penghargaan terhadap buruh, seperti dengan menyetop buruh kasar Asing (TKA) masuk ke dalam negeri. Bukan memanfaatkan uang buruh. Tampaknya, untuk menutupi dana Rp 73 triliun yang sudah dipakai untuk membiayai proyek infrastruktur itu, sehingga Presiden Jokowi perlu membuat “kebijakan” potong uang pensiun PNS, TNI, dan Polri ini. Jangan-jangan rencana pemerintah meleburkan pengelolaan dana pensiun dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS TK itu hanya dalih guna menutupi Rp 73 triliun tersebut? Penulis wartawan senior