NASIONAL

RUU Omnibus Cipta “Fasilitas Kerja Untuk Korporasi”

By Dr. Margarito Kamis (Bagian Kedua) Jakarta FNN - Apakah RUU Omnibus Cipta Kerja mengatur pemberian hak eksklusif pada korporasi? Tidak. Jelas itu. Tetapi bukan itu pointnya. Pembatalan peraturan perundangan yang dinilai bertentangan dengan kebijakan investasi, pengaturan jam kerja, dan pengaturan skema upah pekerja, sanksi administrasi bagi perorangan penebang pohon di hutan, semuanya menguntungkan korporasi. Benar tidak ada teks yang secara eksplisit berisi pengaturan yang memberi hak eksklusif kepada korporasi dalam RUU ini. Jelas itu. Jelas pula, karena tidak mungkin muncul norma seperti itu. Tetapi serangkain norma, misalnya pengaturan jam kerja dan upah kerja dalam RUU ini, memiliki konsekuensi tak terlihat yang menguntungkan korporasi. Apa konsekuensi tak terlihat itu? Tidak logis mewajibkan pekerja yang bekerja jam-jaman atau bekerja kurang dari setahun untuk diberi pesangon. Nalarnya adalah tidak memberi pesangon atau fasilitas lainnya kepada pekerja, untuk alasan apapun, menurut RUU ini merupakan tindakan hukum yang sah dipakai oleh korporasi menghadapi pekerja. Pekerja tidak memiliki argumen, misalnya bersandar pada UU lain, UU Tenaga Kerja misalnya, menolak keputusan Korporasi. Mengapa? Bila kelak RUU ini menjadi UU, maka berlakukah prinsip hukum UU terbaru mengesampingkan UU yang terlebih dahulu. Toh dilihat dari sudut sifatnya, rezim dan materinya sama. Pekerja sengsara, dan Korporasi senang. Bagaimana dengan pekerja asing? Proyeksi tentative mereka turut senang. Mengapa? Toh mereka dapat bekerja sesuai skema kerja dalam RUU ini. Kerja untuk tertentu, setahun atau dua tahun, bahkan kurang dari itu, yang menjadi tipikal pekerja asing, jelas sejalan dengan tabiat korporasi. Mengapa? Pola kerja itu membebaskan korporasi dari serangkaian kewajiban. Spirit, skema dan sifat norma dalam RUU ini, sekali lagi, tipikal korporasi. Ini hebat. Hebat, karena korporasi tak perlu bersusah payah memperolehnya. Toh telah tersedia dalam RUU ini. Kelak setelah jadi UU, korporasi menjadikannya pijakan hukum pembuatan keputusan pekerja. Padahal korporasi besar Amerika harus bersusah payah melobi presiden untuk mendapatkan fasilitas itu. John Perkins melukiskan dengan sagat baik bagaimana Ronald Reagen menerima para korporat. Sedemikian seringnya Reagen menerima mereka, Perkins menyebut Reagen menjadi pelayan terbaik mereka. Strategi dan taktik, seringkali licik dan menjijikan, bukan hal yang tidak ditempuh korporasi bila cara itu yang paling menjanjikan, memungkinkan membawa mereka menguasai sumberdaya ekonomi. Kasus Ekuador dan Panama, menunjukan bagaimana korporasi menempuh strategi dan taktik jijik memperoleh akses ke sumberdaya alam, minyak khususnya. Tahun 1981, tulis Perkins Jamie Roldos, Presiden Ekuador berhasil merancang UU Hidrokarbon dan diajukan ke kongres untuk dibahas. RUU itu, andai berhasil dijadikan UU akan mengubah hubungan Negara itu dengan perusahaan-perusahaan minyak. UU ini diyakini berpengaruh melampaui Ekuador. Perusahan-perusahaan minyak, seperti biasanya, bereaksi, sesuai ramalan menghalalkan segala cara. Pejabat hubungan masyarakat mereka mulai mengeritik Jamie Raldos. Para pelobi mereka mulai membanjiri Quito dan Washingotn dengan tas-tas penuh dengan ancaman dan uang suap. Tetapi Raldos tidak mau tunduk pada mereka. Ia tanggapi dengan mengeritik konspirasi antara politik dengan minyak dan agama. Walau tak memberi bukti, terang-terangan ia mengeritik Summer Institutte of Lingustics (SIL) berkolusi dengan perusahaan minyak, lalu dengan satu langkah yang sangat berani ia mengusir SIL. Setelah itu, ketika berpidato di Stadium Olimpiade Atahualpha di Quito, Roldos mengumbar peringatannya kepada perusahaan minyak untuk menginggalkan Ekuador bila tidak tunduk pada UU yang akan disahkan. Roldos dengan geloranya yang hebat itu, yang telah diperingatkan oleh penasihatnya bahwa dirinya akan dibunuh. Nasihatnya itu membuat ia cukup berhati-hati dalam bertindak. Dalam penerbangan menuju satu komunitas di desa kecil di Selatan Ekuador pada tangal 24 Mei 1981 itu, Roldos diperingatkan agar tidak menggunakan pesawat biasa. Nasihat itu membuat dirinya menggunakan pesawat tipuan. Ternyata pesawat tipuan itulah yang jatuh, dan Jamie Roldos, Presiden hebat ini mati dalam kecelakaan itu (Perkins: 2016: 186). Korporasi, bukan warga yang, kalau bukan tertangguh, jelas paling sulit dihadapi oleh pemerintahan manapun di dunia, tidak terkecuali Amerika. Kepentingan mereka, selalu dalam sejumlah semua kasus, mustahil dikesampingkan. Selalu sama dalam semua kasus, tujuannya mereka hanya satu; mencetak keuntungan. Karena keuntungan yang memandu mereka, dengan hukum sebagai andalannya, maka kelompok ini tidak alergi terhadap campur tangan pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang bersifat campur tangan dapat diterima sejauh untuk memastikan keuntungan mereka. Begitu sebaliknya. Ini yang F.A Hayek ahli hukum konstitusi, yang menaruh perhatian pada bidang ekonomi sebut “wealth creating game” the game of catallaxy. Permainan ini, dalam diskripsi selanjutnya digambarkan sebagai permainan yang tidak dapat dimainkan hanya oleh satu kelompok, orang. Pemrintyah dalam konteks sebagai regulator, tetapi pada saat yang sama harus dapat melihat potensi keuntungan spesifik bagi partisipan pasar. The game of catallaxy, bukan game tanpa rules, tanpa panduan, dan tanpa arah. Dalam konteks itu keterlibatan pemerintah dikerangkakan pada konsep regulating by rules, dan dipandang sebagai hal yang tidak benar-benar buruk. Interfensi jenis ini sama baiknya sejauh, keterlibatan itu menjanjikan keuntungan, daripada intervensi berbentuk perintah diskresioner itu ditolak, setidaknya disangkal oleh pemerintah (Victor J. Venberg, 2001:19-20). Apakah RUU yan sedang diperbincangkan ini memungkinkan keterlibatan pemerintah jenis itu? Jawabannya ya. Kelak setelah menjadi UU, maka tersedialah fundasi kebijakan diskresioner bagi pemerinah, Presiden, menciptakan pasar investasi, yang akrab dengan investor. Karakter norma yang sangat elastis, misalnya norma tentang jam kerja, pengalihan wewenang MUI menerbitkan sertifikasi halal, pembatasan kewenangan Pemda membuat perda, jelas dalam semua aspek. Semuanya memungkinkan pembuatan kebijakan diskresioner dari Presiden. Pada titik ini tatanan factual dan tekstual konstitusi serta tatanan faktual pasar, setidaknya tatanan investasi yang dikerangkakan pada diskresi benar-benar bertolak belakang. Tak sejalan. Selain disebabkan konstitusi tidak membolehkan pemihakan tak berdasar konstitusi untuk diberikan pada satu kelompok usaha, korporasi, juga disebabkan norma-norma dalam RUU ini tidak memenuhi kriteria konstitusional tentang kepastian hukum. Konstitusi, silahkan diperika secara cermat sama sekali tidak berbicara mengenai korporasi. Ini memang standar. Yang dibicarakan dalam konstitusi adalah warga negara memiliki hak bekerja. Dengan mengatur hak warga negara, maka konsekuensinya adalah pemerintah dibebani konstitusional menciptakan lapangan kerja. Konsekuensinya pertama dan utama dari keharusan konstitusi itu adalah pekerja, bukan korporasi, sepenting apapun pemerintah memerlukan mereka, yang harus diproteksi. Tetapi apapun itu, masih tersedia kesempatan bagi pemerintah untuk menata ulang RUU ini. Tata ulang itu, dapat dilakukan baik melalui pembahasan dengan DPR atau cara lain yang sah, misalnya menarik RUU ini. Satu hal, dalam tata ulang itu harus dipastikan pekerjalah yang diproteksi, bukan sebaliknya korporasi, dengan cara memberi fasilitas inkonstitusional kepada mereka. (habis) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Seluruh Dunia Takut Virus Corona, Percayakah Indonesia Masih Steril?

Bisakah dipercaya Indonesia tanpa virus Corona? Inilah yang menjadi perdebatan dan perbincangan hangat. Banyak yang tak percaya. Tapi ada juga yang percaya, khusunya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan jajarannya. Hanya saja, gurubesar epidemiologi di Universitas Harvard, AS, Prof Marc Lipsitch mengatakan secara statistik, Indonesia tak mungkin bebas dari virus Corona. By Asyari Usman Seluruh dunia mencemaskan penyebaran virus Corona (nama resminya Covid-19). Swiss memberlakukan larangan berkumpul di atas 1,000 orang. Event-event besar dibatalkan. Jepang menutup semua sekolah SD, SMP dan SMA sampai April. Rusia mendeportasi orang-orang yang melanggar wajib karantina. Belarus memberlakukan wajib test untuk orang-orang yang tiba dari Korea Selatan, Iran dan Italia. Tiga negara ini mencatat jumlah terbanyak kasus virus Corona di luar China. Serawak (Malaysia timur) melarang masuk orang-orang yang pernah pergi ke Korea Selatan (Korsel). Presiden Duterte membebastugaskan sejumlah pegawai imigrasi karena meloloskan orang China masuk ke Filipina di tengah wabah Corona saat ini. Diduga, para petugas imigrasi itu menerima uang pelicin. Banyak negara mengambil tindakan keras. Mereka sangat khawatir terhadap invasi Covid-19. Arab Saudi melarang masuk jemaah umrah dari Indonesia. Di Abu Dhabi, penguasa setempat menutup total dua hotel mewah yang di dalamnya ada dua warga Italia yang tertular Corona. Berbagai laga sepakbola, rugby dan baseball ditunda di segenap penjuru dunia. Sebagian tetap dilaksanakan tetapi di stadion kosong tanpa penonton. Termasuk sejumlah pertadingan Serie A (liga utama Italia). Sejauh ini, sudah 60 negara yang tertular Covid-19. Tidak ada satu pun benua yang steril dari virus baru ini. Sekarang ini Korea Selatan, Iran dan Itali muncul menjadi basis penyebaran baru. Korea Selatan mencatat 2,931 kasus dengan 18 kematian. Jumlah kasus baru di Korsel cukp cepat. Di Italia, jumlah tertular tercatat 889 orang; 21 meninggal dunia. Sedangan di Iran, jumlah penderita 388 orang (terbesar ketiga di luar China) dengan korban meninggal 34 orang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menaikkan tingkat kewaspadaan Covid-19 ke level tertinggi. Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, semua negara harus agresif bertindak agar penyebaran virus ini bisa diperlambat. Di seluruh dunia, jumlah yang meninggal akibat Covid-19 tercatat 2,924 orang per Sabtu sore (WIB), 29/2/2020. Jumlah penyandang virus ini mencapai 85,222 orang. Bagaimana dengan Indonesia? Para diplomat Barat, termasuk Amerika Serikat, menyatakan kekhawatiran mereka terhadap cara pemerintah Indonesia menangani ancaman Covid-19. Sejauh ini, pemerintah mengatakan tidak ada penderita virus baru itu. Memang ada pengamatan dan tes laboratorium yang dilakukan atas 136 terduga Corona, namun semuanya dinyatakan negatif. Informasi ini terbaca di lembaran laporan grafis yang kelihatannya dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) berdasarkan kesimpulan Laboratorium Rujukan Nasional Penyakit Infeksi per 27 Februari 2020. Lembaran “confidential” (rahasia) ini menyebutkan kasus dalam pengawasan tersebar di 44 rumahsakit di 22 provinsi. Ke-136 terduga itu semuanya negatif Corona. Sedikit mengherankan mengapa dokumen yang berlabel rahasia ini bisa beredar di media sosial. Bisakah dipercaya Indonesia tanpa virus Corona? Inilah yang menjadi perdebatan dan perbincangan hangat. Banyak yang tak percaya. Tapi ada juga yang percaya, khusunya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan jajarannya. Hanya saja, gurubesar epidemiologi di Universitas Harvard, AS, Prof Marc Lipsitch mengatakan secara statistik, Indonesia tak mungkin bebas dari virus Corona. Nah, apakah ada yang disembunyikan oleh para penguasa? Kalau jawabannya iya, tentu akan sangat riskan bagi Presiden Jokowi. Posisi politik presiden yang sering diguyonkan para netizen itu bisa terancam jika ada yang ditutup-tutupi terkait penyebaran Covid-19 di Indonesia. Tapi, Menkopolhukam Mahfud MD menegaskan di Yogyakarta, Sabtu (29/2/2020) bahwa tidak benar tuduhan pemerintah menutup-nutupi fakta Corona di Indonesia. Mahfud menekankan Indonesia masih bebas Corona. Seharusnyalah rakyat percaya kepada pemerintah. Tetapi, ketika orang di sekeliling kita kalang kabut akibat ketularan Corona, bisakah dipercaya Indonesia masih steril? Penulis adalah Wartawan Senior

Mendagri Tito Baperan Soal Nganggur, Keras & Galak di Medsos

By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta FNN – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prof. Dr. M. Tito Karnavian mengatakan, pengangguran di Indonesia sekarang mencapai tujuh juta orang. Pengangguran ini menjadi poin utama kenapa investasi harus digenjot. Tujuannya, agar tercipta lapangan kerja (detik.com Kamis 20 Februari 2020). “Kita melihat hoax terjadi. Salah satu faktor hoax karena nganggur. Ngga ada pekerjaan lain. Seseorang yang menganggur, ada kecenderungan untuk berulah di media sosial (medsos). Misalnya, mencari sensasi atau demi eksistensi,” ujar Tito pada Rakornas Investasi di Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta. “Saya punya saudara yang termasuk agak keras di sana. Padahal saya tahu dia ngga radikal. Dalam pemahaman idelogi dia ngga radikal. Tapi kok terlihat radikal sekali kalau di medsos. Setelah saya pelajari, nganggur ternyata. Biar ada sensasi, eksistensi segala macam”. Penyataan Mendagri Tito mengenai pengangguran yang mencapai tujuh juta orang adalah gambaran keresahan seorang pejabat negara. Keresahan yang layak dan patut untuk diapresiasi. Keresahan yang sangat mulia, sangat terhormat dan sangat bermartabat. Tentu saja, keresahan dari seorang pejabat yang ingin mencari jalan keluar untuk mengatasi pengangguran yang terbilang tinggi. Namun persoalannya menjadi lain, kalau Pak Mendagri Tito berpendapat bahwa radikal, galak atau kritis kepada pemerintah di medsos karena nganggur. Tidak punya pekerjaan. Sebab tampak kalau Pak Tito tidak dewasa, bahkan cenderung kekanak-kanakan. Pak Tito seperti tidak siap menghadapi perbedaan pendapat dari masyarakat sipil. Masyarakat sipil yang kritis terhadap tata kelola bangsa dan negara, yang nyata-nyata memang terlihat amburadul. Kata Dr. Syahganda Nainggolan ada di virus di mana misalnya, virus Harun Masiku, virus Jiwasraya, virus Asabri, virus Bumiputra dan terakhir dugaan virus corona. Kalau masyarakat sipil kritis kepada pemerintah, baik di medsos, maupun ruang diskusi dan seminar, itu karena mereka punya keresahan. Mereka juga punya kepedulian dengan nasib bangsanya. Keinginan untuk mencintai bangsa dan negara ini bukan hanya monopoli Pak Mendagri dan pemerintah. Walaupun sebagai Mendagri, Pak Tito bebas berbicara, namun sebaiknya lebih arif dan bijak. Kebiasaan dan hobby Pak Tito yang untuk membuat pernyataan di luar tupoksi ketika masih menjabat Kapolri, sebaiknya tidak lagi dilanjutkan saat menjabat menteri. Pak Tito sekarang sudah menjadi Mendagri lho. Jangan merasa masih menjadi Kapolri. Sehingga pilihan diksinya harus lebih sejuk dan bijak. Pak Tito sekarang adalah pimpinannya para pamong. Pernyataan Pak Tito sebaiknya bersifat mengajak dan mengayomi, layaknya seorang pamong. Bukan sebaliknya, membenturkan dan menciptakan perbedaan baru di masyarakat. Itu kurang bijak sebagai seorang Pamong. Perbedaan dalam diskursus politik itu hal biasa dan wajar di negara demokrasi. Pemerintah harus punya lawan tanding tanggung dari masyarakat sipil yang kritis dan tangguh. Tujuannya, agar pemerintah lebih hati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan. Tidak asal-asalan dan amatiran dalam bekerja. Prinsip-prinsip Good Corporate Govermance harus benar-benar terlaksana dengan baik. Gubernur & Bupati 414 Tersangka Pada semua negara di dunia yang menganut sistem demokrasi, perbedaan pendapat dengan pemerintah sekeras apapun tetap saja dimaknai sebagai kekayaan bangsa yang paling berharga. Sebab bukan hanya Pak Tito dan pemerintah yang paling peduli dengan persoalan bangsa dan negara ini. Kita semua juga peduli dengan bangsa ini kok Pak Tito. Sekadar mengingatkan Pak Tito saja, bahwa sejak reformasi 1998 sampai akhir Desembes 2019, tercatat 414 orang Kepala Daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Kejaksaan dan Polri. Dari Jumlah tersebut 22 adalah para Gubernur. Sisanya 392 lagi adalah para Bupati dan Walikota. Mereka tidak nganggur. Jumlah mereka yang terjerat korupsi itu tidak sedikit. Hampir mencapai 75% dari total 548 Kepala Daerah seluruh Indonesia, terdiri dari 34 Gubernur dan 514 Bupati dan Walikota. Mereka semua berakhir tragis. Mereka menjadi penghuni Hotel Prodeo di Sukamiskin Bandung. Hampir dipastikan mereka bukanlah orang-orang sembarangan . Mereka juga itu tidak sedang nganggur lho Pak Tito. Mereka semua punya pekerjaan tetap kan? Punya jabatan paling terhormat di daerahnya masing-masing. Karena mereka menjabat sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota. Dari jumlah 414 orang itu, belum termasuk Sekretaris Daerah (Sekda) dan para Kepala Dinas yang sering disebut Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Lagi-lagi, dipastikan para Sekda dan para Kepala Dinas tersebut, tidak ada satu pun yang ganggur lho. Ya tentu mereka semua punya pekerjaan tetap sebagai Sekda dan Kepala Dinas di Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya. Entah berapa angka korupsi yang melibatkan para Gubernur, Bupati dan Walikota, Sekda dan Kepala Dinas tersebut. Agak susah dihitung nilai korupsinya itu dengan kalkulator Pak Tito. Namun yang pasti mereka semua bukan orang-orang yang galak dan radikal di medsos. Bisa jadi mereka tidak yang suka berkomentar di medsos, baik itu yang mendukung atau yang mengkritik pemerintah. Korupsi Asuransi Ratusan Triliun Tidak cukup Pak Gubernur, Pak Bupati dan Pak Walikota yang terlibat korupsi. Publik negeri ini sedang dihebokan dengan skandal korupsi paling besar sepanjang sejarah negeri ini. Skandal korupsi di perusahaan asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri dan PT Bumiputra. Nilainya tidak kecil Pak Tito. Hampir mencapai ratusan triliun rupiah. Para pejabat negara maupun swasta yang terlibat skandal korupsi asuransi Jiwasrara, Asabri dan Bumiputra ini bukan orang-orang yang pengangguran juga Pak Tito. Mereka tentu saja tidak keras dan redikal di medsos. Mereka semua mempunyai jabatan dengan punya gaji. Mereka pelaku koruptor asuransi juga mendapatkan tunjangan jabatan dan pasilitas dari perusahaan yang terbilang pantastis. Ada yang punya pendapatan ratusan juta rupiah setiap bulan. Bahkan mungkin saja ada yang mencapai miliaran rupiah setiap bulan. Lagi-lagi mereka para koruptor itu tidak galak dan radikal di media sosial Pak Tito. Apalagi sebagai Direksi, Komisaris dan Manejer BUMN Asuransi, dipastikan mereka paling sopan dan santun kepada pemerintah. Bisa jadi mereka sering memuji-muji pemerintah setinggi langit di medsos. Mungkin juga mereka sering memuji-muji pemerintah di restoran dan rumah kopi papan atas, tempat mereka sering nongkrong membicarakan perampokan atas asset-asset negara. Biasanya mereka suka ketemu atau kumpul di Longue hotel bintang empat atau bintang lima. Tragisnya, terbukti ada diantara mereka yang pernah berkantor di Istana Negara. Kantor dengan simbol paling terhormat, dan paling bergensi untuk ukuran sebuah negara. Harry Prasetyo, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya pernah menjabat Tenaga Ahli Deputi III, Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Ekonomi dan Startegis Kantor Staf Kepresidenan sejak 2018. Saran saya, sebagai pejabat negara sekelas menteri, sebaiknya Pak Tito lebih arif dan bijak dalam membuat pernyataan terkait dengan pengangguran, galak dan radikal ini. Jangan meresa masih menjadi Kapolri. Bahasa kerennya agar lebih “wise lah”. “Apalagi Pak Tito ini salah satu kandidat Calon Presiden atau Wakil Presiden 2024 paling potensial, “kata Menko Polhukam Mafudz MD. Hampir pasti, tidak ada anak negeri ini yang galak dan radikal di medsos tersebut, mau menjadi pengangguran. Mereka perlu menghidupi anak dan isteri mereka. Mereka juga perlu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Mereka memerlukan duit untuk membeli buku, pakaian seragam, dan uang jajan dan transportasi harian anak-anak mereka ke sekolah. Kalau Pak Tito bisa membantu mereka, toh tidak perlulah juga Pak Tito mencemooh mereka sebagai yang nganggur. Biarkan perbedaan dan sikap kritis itu tetap dipelihara sebagai bentuk kepedulian mereka kepada bangsa dan negara. Yang lebih mengenaskan lagi, sejak reformasi 1998 sampai sekarang, sudah sembilan orang menteri yang duduk di kursi tersangka dan terdakwa. Pasti mereka juga bukanlah pengangguran. Tanpa perlu menyebut para menteri tersebut satu persatu (ada jejak digitalnya), mereka pejabat paling terhormat di negeri ini. Dua diantaranya menjabat sebagai Menteri Agama. Dua lagi menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga. Dua orang menjabat Menteri Sosial. Sisanya tiga orang lagi adalah Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri. Selain para menteri, mereka yang juga menjadi tersangka adalah para pejabat tinggi Negara. Bukan sembarang pejabat untuk ukuran Indonesia Pak Tito. Misalnya Ketua Dawan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Ada lagi empat Ketua Umum Partai Politik yang punya perwakilan di DPR sudah menjadi terhukum. Dua orang Sekretaris Jendral Partai Politik juga juga sudah dihukum. Selain itu , 255 orang anggota DPR dan DPRD yang sudah dihukum karena terlibat korupsi. Mereka semua itu tidak nganggur lho Pak Tito. Ayo, pilih yang mana Pak Tito? Mereka yang tidak ngganggur, tidak galak, dan tidak radikal kepada penguasa, tetapi faktanya merugikan negara atau terlibat korupsi? Atau mereka yang nganggur, yang galak dan yang radikal, dengan tujuan untuk mengawasi pemerintahan, agar dikelola berdasarkan prinsip-prinsip Good Corporate Govermant? Pengangguran Pelaku Sejarah Selamat untuk Pak Tito, yang sekarang menjabat sebagai Mendagri. Namun sekadar mengingatkan saja bahwa jabatan yang Pak Tito tempati sekarang adalah buah dari penjuangan panjang dan berdarah-darah sebagain besar teman-teman yang nganggur, namun galak, keras dan radikal kepada rezim Orde Baru. Mereka telah galak dan radikal sejak pertengahan tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an. Ketika mereka yang nganggur itu mulai galak, keras dan radikal kepada kekuasaan Soeharto di akhir tahun 1980-an dan awal 1990, Pak Tito mungkin masih letnan dua atau letnan satu polisi. Sebagai perwira muda, tentu saja Pak Tito lagi bangga-bangganya melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Namun mereka yang nganggur itu sudah berhadap-hadapan dengan tentara dan polisi Soeharto. Resikonya, di antara mereka ada yang masuk penjara. Namun ada juga yang meninggal dunia. Bahkan ada yang hilang sampai sekarang. Jasadnya pun entah dibuang kemana. Namun begitulah resiko perjuangan dari mereka yang ganggur, yang galak dan yang radikal di ruang-ruang publik. Perjuangan mereka yang nganggur, yang galak, yang keras dan yang radikal kepada kekuasaan Seoharto itu, tidak sia-sia. Hasilnya, Pak Tito bisa menjadi Kapolri, dengan jenderal bintang empat di pundak. Sekarang Pak Tito lebih terhormat lagi. Menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Selamat ya Pak Tito. Sebagai penutup, saya mengutip firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Thalaq, ayat 2-3, yang artinya “barang siapa yang bertaqwa kepada Allaah, niscaya Allaah akan mengadakan baginya jalan keluar. Allaah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan barang siapa yang bertwakal kepada Allaah, niscaya Allaah akan mencukupkan segala keperluannya”. Pada surat yang lain, Allaah SWT juga berfirman “tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini, melaikan Allaah telah mengatur rezikinya”. (Surat Huud ayat 6). Semoga Pak Tito tidak lagi alergi dan baperan terhadap kritik, baik yang galak, yang keras maupun yang radikal kepada pemerintah. Alergi dan baperan terhadap kritik itu hanya mengingatkan kita kembali pada cara-cara Orde Baru yang sudah kuno, usang dan primitif untuk membungkam para aktivis yang keras, yang galak dan yang radikal. Apalagi sebagai seorang Guru Besar yang bergelar profesor dan pehade. Penulis adalah Wartawan Yunior

My President Is An Idiot?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Di media sosial dalam beberapa hari belakangan beredar meme dan desain kaos “My President Is An Idiot.” Usut punya usut meme dan desain kaos itu merupakan balasan atas aksi Abu Janda Dkk yang mengenakan kaos bertulisan “My Governor Is An Idiot.” Diduga Abu Janda alias Permadi Arya yang dikenal sebagai buzzer pendukung pemerintah ini, ingin mengolok-olok Gubernur DKI Anies Baswedan. Aksi ini merupakan salah satu paket bullyan yang memanfaatkan momentum banjir besar di Jakarta. Berdasarkan pengakuannya beberapa waktu lalu Permadi warga Bandung, Jawa Barat. Jadi olok-olok ini yang terkena bukan Anies. Sejumlah netizen menilai Permadi sedang mengolok-olok Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK). Logika yang masuk akal. Gubernur Permadi adalah RK bukan Anies. Dengan menggunakan logika semacam itu memang tidak ada alasan bagi Anies untuk berang, marah, apalagi membawa kasusnya ke ranah hukum. Netizen malah mendorong RK yang seharusnya membawa kasus ini ke ranah hukum. Apalagi banjir besar juga melanda wilayah Jabar. Bekasi yang bertetangga langsung dengan Jakarta, banjir parah. RK dipersalahkan karena dia tak nampak hadir dan memberikan bantuan kepada para korban. Beda dengan Anies yang langsung terjun ke lapangan. Dia memantau detik demi detik pergerakan banjir dan memastikan korban mendapat bantuan. Melalui medsos, RK diketahui malah tengah asyik goyang Tik Tok dengan artis Cinta Laura nun jauh di Australia sana. Sebuah pemandangan yang kontras dan ironis. Mendapat hujatan di medsos, RK buru-buru pulang ke Bandung. Dia mengaku tengah mempromosikan kopi Jabar di Australia. Cukup alasan sesungguhnya bagi RK menyeret Permadi ke ranah hukum. Ada dasar hukum yang kuat dan bahkan sudah ada yurisprudensinya. Tinggal copy paste. Beressss! Musisi tenar Ahmad Dhani pernah dijatuhi hukuman 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya karena membuat vlog yang berisi umpatan “idiot.” Jaksa menjerat Ahmad Dhani dengan pasal 45 ayat 3 juncto pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ucapannya diduga mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik saat acara deklarasi Ganti Presiden yang batal dilaksanakan di Surabaya, 26 Agustus 2018. Jadi seharusnya kalau RK mau, pasti polisi, jaksa, dan hakim sangat mudah menjerat Permadi Arya. Tidak ada kesulitan apapun. Kasusnya Permadi seharusnya juga jauh lebih berat dibanding Dhani. Dia melakukan aksi itu dengan terencana. Alias niat banget! Mulai dari membuat desain kaos, aksi foto bersama, dan penyebarannya di media sosial. Bisa dikenakan tambahan hukum karena tindak pidana berencana. Sementara Dhani cuma asal nyeplos saja. Permadi juga secara jelas menarget siapa korbannya, yakni Gubernur. Seorang pejabat negara. Kena pasal penghinaan. Sementara Dhani tidak menyebut secara spesifik siapa yang dituju. Memicu anarki dan radikalisme Dampak lain dari aksi Permadi yang tak kalah merusak adalah munculnya aksi anarki dan radikalisme. Menyatakan My President Is An Idiot bisa digolongkan subversi karena menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Permadi bisa dikenakan pasal sebagai aktor intelektual di balik aksi anarki dan radikalisme. Karena aksinya lah kemudian mendorong muncul olok-olok bahwa “Presiden saya seorang Idiot.” Terlalu! Sebagai gubernur yang pada pilpres lalu mendukung Jokowi-Ma’ruf, sudah sewajarnya RK bertindak. Bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga calon presiden pilihannya yang sekarang menjadi presiden diolok-olok oleh Permadi Dkk. Momentum ini juga sekaligus bisa digunakan untuk membuktikan bahwa pemerintah, petugas hukum negeri ini tidak tebang pilih. Tak peduli buzzer pendukung pemerintah, maupun penentang pemerintah, bila melanggar UU, akan dihukum. Dilibas. Permadi Arya Dkk bukanlah pengecualian. Jangan biarkan mereka seenaknya sendiri mengolok-olok hukum. Menciptakan perasaan diperlakukan tidak adil (percieve unjustice) pada masyarakat. Bila RK mau mengambil langkah ini, dipastikan dia akan mendapat dukungan luas dari masyarakat. Langkah itu sekaligus membantu pemerintah membuktikan bahwa tudingan publik selama ini salah. Bukankah ketidakadilan merupakan sumber anarki dan radikalisme sesungguhnya? Penulis wartawan senior.

Ada Parpol (PSI) yang Bermisi Menghadang Anies Baswedan

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Luar biasa! Ada partai politik (parpol) punya misi untuk menghadang seorang tokoh yang berpotensi menjadi pemimpin yang baik dan diperlukan oleh bangsa dan negara ini. Tak habis pikir kenapa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara blak-blakan mendeklarasikan dirinya akan menghadang Anies Baswedan maju ke Pilpres 2024. Dan mereka mengajak parpol-parpol lain untuk membentuk barisan nasional yang khusus bekerja untuk menjegal Anies. Sangat disayangkan sekali. Parpol yang diisi oleh para milenial yang seharusnya bebas dari pikiran kotor, akhirnya terkontaminasi oleh “satanic ideology” yang berintikan hasad dan dengki. Tidak pantas PSI terperosok ke situ. Sebab, mereka punya Grace Natalie yang hebat. Ada Guntur Romli yang berwawasan luas dan cerdas. Ada Raja Juli Antoni yang berkapasitas. Belum lagi Tsamara Amany yang pintar dan artikulat. Di luar dugaan, koridor pemikiran para milenial PSI menjadi sempit. Tak masuk akal para politisi muda itu ikut panik melihat popularitas Anies yang melaju secara natural. Tumbuh di atas kapabilitas, kapasitas, dan prestasi beliau. PSI seharusnya menjadi wadah intelektual yang lebih banyak menggunakan akal sehat ketimbang emosi partisan. Publik tertanya-tanya, apa gerangan yang membuat para politisi PSI menjadi Pasukan Sirik dan Iri? Apa alasan sesungguhnya untuk menjegal Anies? Apakah ada agenda pesanan para cukong yang takut mati langkah kalau Anies duduk di kursi presiden? Kalau jawaban untuk pertanyaan nomor tiga di atas adalah “iya”, maka PSI tak layak melanjutkan kiprahnya. PSI seharusnya memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang calon-calon pemimpin yang memiliki kompetensi. Yang berkemampuan. Yang berkapasitas. Yang memiliki integritas. Yang pro-keadilan. Bukan sebaliknya. Bukan malah menghasut masyarakat dan parpol-parpol lain agar mencegah seseorang yang muncul ke permukaan karena kemampuan yang ia miliki. PSI jangan sampai menjadi kendaraan para preman bisnis alias para cukong yang hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok. Adalah Sekjen PSI Raja Juli Antoni yang mengeluarkan pernyataan bahwa Anies harus dijegal karena “Gubernur Indonesia” itu, kata dia, sangat primordial. Memainkan sentimen keagamaan. Dia katakan pula bahwa kinerja Anies hanya sebatas retorika. Apa iya? Di mana Anies bisa disebut primordial? Kapan dia menggunakan sentimen keagamaan? Apakah karena Anies bergaul lebih akrab dengan para ulama dan tokoh-tokoh umat serta ormas, kemudian disebut memanfaatkan sentimen keagamaan? Terus dikatakan primordial? Atau bahkan disebut sektarian? Kemudian, Anies hanya sebatas retorika tapi tak bisa kerja. Nah, atas dasar apa orang-orang PSI menyebut Anies cuma ‘omong doang’, tidak ada prestasi? Salah total. Apakah Anies harus sowan ke pimpinan PSI dan melaporkan begitu banyak penghargaan nasional dan internasional yang diterimanya? Apakah PSI tidak punya pulsa untuk meng-Google kata kunci “penghargaan untuk Anies”? Anies primordial, memainkan sentimen keagamaan dan hanya banyak bicara saja, adalah kesimpulan yang tidak akurat. Tak objektif. Ini tentu penilaian yang “reckless” dan “narrow minded”. Sangat berbahaya ucapan Raja Juli yang menganggap interaksi Anies dengan para ulama sebagai pertanda primordial dan memainkan sentimen keagamaan. Tak heran kalau orang mengatakan bahwa para politisi PSI itu aslinya tidak suka Islam dan umat Islam. Karena itu, mereka juga tidak rela seorang muslim yang baik menjadi presiden Indonesia. Tak rela tanpa alasan. Sangat jelas indikasinya. Mereka tidak suka figur yang jujur dan berintegritas menjadi pemimpin negara ini. Mereka tak rela bahwa orang itu adalah Anies Baswedan.[] 27 Februari 2020 Penulis wartawan senior.

Anies Baswedan Tidak Boleh dan Jangan Sampai Jadi Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Apapun dan bagaimanapun caranya, berapapun biayanya, Anies Baswedan tidak boleh dan jangan sampai jadi Presiden. Alasannya cukup banyak. Mulai dari idiologis, politis dan tentu saja yang paling penting dari aspek bisnis. Agenda terselubung itu sebenarnya sudah banyak yang tahu. Ada juga yang sekedar menduga-duga. Namun dugaan-dugaan itu mendapat pembenaran setelah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) buka kartu. Mereka mengajak parpol dan masyarakat untuk menjegal —begitu media menyebutnya— Anies Baswedan. Jangan sampai pada Tahun 2024 jadi presiden! Anies gagal menjadi Presiden Indonesia adalah harga mati. Tak ada tawar menawar. "Saya ingin mengajak teman-teman partai, maupun masyarakat yang masih pro dengan nasionalisme kita, saya kira harus ada barisan nasional yang secara serius mengadang figur yang terfokus isu populisme ini," kata Sekjen PSI Raja Juli Antoni dalam jumpa pers Indo Barometer di Hotel Atlet Century, Jakarta, Minggu (23/2). Clear sudah, terang benderang mengapa selama ini beberapa parpol, khususnya PSI, PDIP dan buzzer pendukung pemerintah habis-habisan mem-bully Anies. Ini urusannya berkaitan dengan Pilpres 2024. Tidak ada urusannya dengan kinerja, prestasi dan berbagai penghargaan internasional yang sudah diraih Anies. Mau Anies kerja benar seperti apapun. Mau Anies mendapat penghargaan dari dunia, termasuk penghargaan dari akhirat sekalipun, tidak ada urusannya. Mereka akan terus mem-bully. Hajar habissss…….. Mau ada skandal Jiwasraya, penggelapan dana Asabri triliunan rupiah, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, utang BUMN dan utang negara membengkak, mereka akan tutup mata. Abaikan. Alihkan isunya. Fokus cari kesalahan Anies! Kecilkan keberhasilan Anies memimpin Jakarta. Hilangkan beritanya dari media agar masyarakat tidak mengetahuinya. Kalau ada kesalahan Anies, besar-besarkan kesalahannya. Ramaikan di media sosial dan media konvensional. Kerahkan buzzer habis-habisan. Pastikan infonya menyebar di masyarakat. Bila tidak bisa ditemukan kesalahannya, cari terus sampai ketemu. Kalau tidak juga ketemu, bikin kesalahannya. “Tugas utama” semacam itu lah yang menjelaskan mengapa tiada hari tanpa bully atas Anies. Mereka mendapat momentum dengan datangnya musim hujan tahun ini. Kebetulan pula curah hujannya sangat ekstrem. Pasukan pem-bully ini tutup mata bahwa berdasarkan data BMKG curah hujan tahun ini paling ekstrem dalam 150 tahun terakhir. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan ekstrem dengan intensitas lebih dari 150 mm/hari dengan durasi panjang dari Selasa (31/12/2019) sore hingga Rabu (1/1/2020) yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta menyebabkan banjir besar. Curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma yaitu 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari, Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari. Data-data itu buat mereka tidak penting. Fokus pada fakta bahwa Jakarta terendam banjir. Abaikan data dan fakta lainnya. Abaikan juga fakta bahwa daerah lain di Jawa, termasuk di Bekasi yang notabene berada di Provinsi Jawa Barat juga banjir gila-gilaan. Tugas utama mereka adalah mengabarkan kepada publik sak-Indonesia bahwa Jakarta kebanjiran terus selama Anies jadi gubernur. Anggota Fraksi PSI dan PDIP di DPRD DKI beramai-ramai menyanyikan koor “Anies tidak becus memimpin Jakarta.” Tak perlu kaget bila di sejumlah media muncul judul berita “Jakarta Dikepung Banjir.” Foto-foto lama banjir Jakarta juga bermunculan kembali. Buat survei yang menyebutkan elektabilitas Anies tiba-tiba melorot karena gagal menangani banjir! Tak punya calon Mengapa mereka begitu khawatir Anies akan menjadi presiden? Padahal perhelatan Pilpres 2024 masih cukup lama. Alasannya cukup jelas. Sampai sejauh ini mereka belum punya calon yang cukup kuat untuk menandingi popularitas dan elektabilitas Anies. Tak perlu kaget kalau sekarang Prabowo didorong-dorong menjadi lawan Anies. Muncul survei bahwa keduanya merupakan kandidat paling kuat dan akan bersaing pada Pilpres 2024. Mereka coba diadu domba. Jadi ngeh kan sekarang mengapa beberapa waktu lalu muncul wacana agar Jokowi bisa menjabat sampai tiga periode. Anies adalah ancaman yang membahayakan estabilisme penguasa dan para pendukungnya. Apalagi sebagai Gubernur DKI Anies sangat berprestasi. Gagasannya memperbaiki kota Jakarta sangat inovatif. Sesuai dengan motto kampanyenya bersama Sandiaga Uno : Maju Kotanya, Bahagia Warganya! Dalam waktu dua tahun terakhir DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies telah meraih 40 penghargaan, termasuk beberapa penghargaan internasional dan dunia. Sebagai Gubernur pada tahun 2019 Anies terpilih sebagai gubernur terbaik versi Majalah Warta Ekonomi dan Rakyat Merdeka. Andai saja Anies tidak berprestasi, atau setidaknya prestasinya biasa-biasa saja, dijamin dia tidak akan ada yang mengusik. Toh tidak akan ada orang yang akan meliriknya. Aman. Setidaknya ada tiga alasan besar mengapa mereka bekerja keras memastikan Anies jangan sampai jadi presiden. Pertama, alasan idiologis. Alasan ini merupakan residu dari Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Anies diposisikan sebagai figur yang dekat dengan kalangan Islam. Kelompok Islam lah yang menjadi biang gagalnya Ahok menjadi Gubernur DKI. Kelompok Islam perkotaan lah yang menjadi lawan berat Jokowi pada pilpres lalu. Karenanya Islam dalam beberapa tahun terakhir sangat terkesan dimusuhi dan muncul berbagai stigma radikal. Kegaduhan yang diciptakan oleh ucapan Menag, dan pernyataan-pernyataan kepala BPIP menjadi indikator yang sangat jelas. “Pemerintah saat ini mengalami Islamophobia,” kata Putri Proklamator Rachmawati Soekarnoputri. Kedua, alasan politis. Anies saat ini diposisikan berada dalam kubu berseberangan dengan pemerintah. Posisinya pada Pilpres 2019 lalu mempertegas hal itu. Bagi PSI selain musuh idiologis, Anies juga musuh politis. Sementara bagi PDIP kehadiran Anies bisa memupuskan ambisi mereka untuk terus menguasai Indonesia, pasca Jokowi. Ketiga, alasan ekonomis. Anies adalah musuh berbahaya bagi kelompok oligarki yang dikendalikan oleh kelompok bisnis, khususnya taipan. Dia adalah musuh bebuyutan —meminjam istilah Ketua MPR Bambang Soesatyo—para cukong politik. Tindakannya menghentikan proses reklamasi di Pantai Utara Jakarta sangat merugikan para taipan. Ribuan triliun keuntungan di depan mata, untuk sementara terpaksa mengendap di dasar lautan. Perbedaan dalam soal reklamasi inilah menurut pengakuan Ahok kepada Tempo menjadi salah satu penyebab pecahnya kongsi dengan PSI. Padahal PSI semula didirikan untuk menjadi kendaraan politik Ahok. Baru menjadi Gubernur DKI saja sudah sangat merugikan para taipan. Apalagi kalau sampai terpilih menjadi Gubernur Indonesia! Sampai di sini paham khan? Penulis wartawan senior.

RUU Omibus Ciptakan “Fasilitas Kerja Untuk Korporasi”

By Dr. Margarito Kamis (Bagian Pertama) Jakarta FNN - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus (artinya semua – multi aspek, multi faset, ragam materi) Cipta Kerja, yang telah diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama Presiden, sejauh ini disebut-sebut bertujuan mengakselerasi investasi. Tetapi tujuan ini, nampaknya bukan tujuan tunggal. Ini disebabkan Airlangga Hartarto, Menteri kordinator Ekonomi, menyatakan RUU ini menghindarkan Presiden dari kemungkinan pemakzulan. Pemakzulan akibat dari kesalahan menterinya, (RMol, 20/2/2020). Andai benar inilah tujuan utamanya, maka masalahnya apakah cara ini tepat, dan perlu? Tidakkah cara ini memilki potensi jebakan? Presiden, tentu lebih mengerti. Presiden Pusat Kontrol Tetapi terlepas dari logis atau tidaknya pernyataan Airlangga. Baik juga untuk menerimanya. Entah tujuan atau apapun namanya, otoritatif RUU ini. Ini menarik. Dimana letak menariknya? Hal-hal menarik itu akan ditunjukan sejauh yang bisa pada uraian selanjutnya. Tetapi simpan sebentar analisis teknis atas norma. Mari mengenal nalar. Tentu saja yang terlihat dibalik gagasan menjadikan presiden sebagai pusat kontrol pemerintahan dibidang investasi. Pointnya adalah presiden muncul sebagai pusat kontrol. Inilah point strategisnya. Sebagai pusat kontrol, presiden dari waktu ke waktu di sepanjang hari dalam menyelengarakan pemerintahan harus memperoleh laporan terbaru tentang hal-ihwal investasi. Presiden, dengan demikian, dari hari ke hari juga harus mengeluarkan seluruh energi politik dan teknisnya memastikan kelangsungan investasi. Menteri-menteri, suka atau tidak, dari hari ke hari harus memberi kepastian informasi pasti dan terbaru kepada Presiden bahwa tindakan-tindakan administrasi mereka tidak teridentifikasi menjadi barir investasi. Ini logis. Mengapa? Presiden, menurut pasal 166 dan 170 RUU ini diberi kewenangan khusus, eksklusif mengubah semua peraturan perundangan yang dinilai bertentangan dengan UU ini. Selain menteri, para investor dapat, tentu saja dengan cara dan argumen mereka, memberi informasi terbaru. Strategis atau tidak, apapun yang mereka hadapi atau alami, informasih itu perlu sampai kepada Presiden. Ini logis. Mengapa? Toh kewenangan memutus, bahkan mengatur telah diletakan pada Presiden. Logis para investor memberi informasi langsung ke Presiden. Sampai dititik itu, pola pemberian kewenangan kepada Presiden terlihat rasional menurut sudut pandang konsititusi. Polanya eksplisit. Diatur dan dinyatakan dalam undang-undang. Bukan implisit, yakni ditarik dari fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan. Sebagaimana terbiasa digunakan oleh Presiden Soeharto di masa lalu dan presiden-presiden Amerika sejak era Abrahan Lincoln. Mereka menggunakan executive order. Kebijakan dalam RUU ini dengan tegas menguatkan Presiden. Bukan Wakil Presiden. Presiden menjadi satu-satunya figur tata negara dan adinistrasi negara yang menentukan arah kebijakan investasi. Wapres Pak Kiyai Ma’ruf Amin mungkin saja bisa ikut memikirkan, tetapi tidak bisa mengambil tindakan bersifat decisive. Wapres Pak Ma’ruf tidak bisa berperan layaknya Pak JK dimasa lalu. Pada saat menjadi Wakil Presidennya Pak Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), Pak Jusuf Kalla (JK) pernah menangani Excon Mobil yang beroperasi di Natuna. Tahu mengapa Pak JK berkeras harus mengubah konrak itu? Karena formula bagi hasinya tidak adil menurut Pak JK. Tahu bagaimana komposisi bagi hasilnya? 80 untuk Exon dan 20 untuk Indonesia. Timpang sekali menurut Pak JK. Niat Pak JK itu disampaikan ke eksekutif Exon ketika Pak JK berada di Amerika. Eksekutif Exon bereaksi, dalam nada yang menolak. Tetapi Pak JK, pria Bugis yang cerdas nan lincah ini bertahan pada sikapnya. Apa yang terjadi? Eksekutif Exon menempuh cara khasnya, melobi Pak JK. Tetapi Pak JK tidak mau dilobi. Pak JK memberi alasan mau ke Arab menunaikan ibadah umrah. Eksekutif Exon, tidak patah arang. Eksekutif ini mau menyertai Pak JK ke Arab. Pak JK menolak. Pak JK mengatakan ini urusan pribadi. Tetapi Eksekutif Exon tetap kukuh. Si eksekutif bilang kalau begitu di Jakarta saja. Hebat, Pak JK tidak mau. Pak JK bilang dia mau langsung ke Makassar. Pada satu kesempatan, yang menurut saya ini menarik. Pak JK mengatakan kalau saja dirinya suka uang, pastilah “imannya” goyang dengan lobi Exon itu. Tetapi karena konsisten dengan apa yang dilakukannya, semata untuk negara dan bangsa, JK sepelekan lobi Exon tersebut. Hebat Pak JK. Pada kasus lain, khususnya penjualan gas di Lapangan Tangguh ke Cina, yang menurt identiikasi Pak JK sangat murah itu sasngat mengusik Pak Jk. Karena itu, Pak JK berencana mengubah kontraknya. JK menyampaikan niatnya itu ke Wapres Cina pada satu pertemuan. Sang Wapres Cina terkaget-kaget. Tetapi Pak JK segera menenangkan sang Wapres. Pak JK memberi kepastian dukungan suplai tidak dikurangi. Mendapat jaminan itu, Wapres Cina pun sepakat untuk mencari cara mengubah kontrak tersebut. Hanya saja Wapres Cina menyatakan, dalam arti memberi syarat harus dilakukan melalui perundingan antara pemerintah atau G to G (Lihat JK Ensiklopedia, 2012:305-307). Kecuali diotorisasi secara khusus oleh Presiden, cara tipikal Pak JK dalam pemerintahan Pak SBY ini jelas tidak bisa dilakukan oleh Pak Wapres Ma’ruf. Ini, sekali lagi merupakan akibat logis dari wewenang eksklusif di bidang ini telah diletakan, dikonsentrasikan hanya kepada Presiden. Berurusan dengan pemegang otoritas eksklusif jauh lebih masuk akal, dibanding berurusan dengan pejabat lain, apapun fungsi mereka. Toh pejabat lain tidak bisa memberi keputusan. Karena wewenang untuk memutuskan telah dikonsentrasikan secara eksklusif pada Presiden. RUU Omnibus ini, sejauh pasal-pasal yang telah dikenali secara terbuka, cukup jelas dalam satu hal. Hal itu adalah menciptakan iklim yang lebih bersahabat dengan investasi. Untuk alasan apapun, RUU in jelas disukai oleh korporasi. Mereka, dengan tabiat ekspansifnya, terus menemukan ladang usaha baru, apapun itu. Dengan nalar logis, tidak mungkin mengeritik RUU ini. Kasus Exon yang diceritakan Pak JK hanya satu di antara sejumlah kasus tentang korporasi. Prilaku koporasi yang meraup untung dari kebijakan investasi, yang didahului pembentukan UU. Freeport juga muncul diujung lain dalam spektrum itu. Hak eksklusif mereka dalam menambang dibenarkan oleh UU Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan Tahun 1967. Di luar kebijakan-kebijakan investasi yang diatur melalui UU, Indonesia dalam rute liberalisasi ekonomi tahun 1980-an, mengandalkan hukum-hukum administrasi untuk tjuan itu. Singkatnya, keputusan-keputusan Presiden dindalkan dalam rute ini. Dalam konteks ini, maka spirit RUU Omnibus sama dalam esensinya dengan spirit kebijakan-kebijakan liberalisasi Orde Baru. Rezim Orde Baru menempatkan Presiden sebagai pusat kontrol kebijakan itu. Tetapi yang diandalkan adalah Kepres. Bukan Perpres. Masalahnya adalah, seberapa potensial kebijakan-kebijakan investasi di tangan presiden dirancang dan dimanifestasikan menurut kaidah dan spirit transparansi? Jangan lupa, soal ini gagal dimanifestasikan oleh orde baru. Dan disitulah masalahnya. David Bouchier dalam artikel “Magic Memos, Collusion and Judges With Attitude, dalam buku Law Capitalism and Power in Asia dengan Kaniskya Jayasuriya (ed) di masa orde baru, koneksi politik muncul menjadi faktor penting dan determinan menentukan keberhasilan usaha. Anna Erliyana disisi lain, dalam studi doktoralnya di Fakultas Hukum UI tahun 2004 menyuguhkan satu kasus menarik. Gugatan dari Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara yang dioreguister dengan Nomor Register 091/G.TUN/1998/PTUN-JKT tanggal 30 September 1998. Di antara 15 (lima belas) Kepres yang dijadikan objek gugatan, satu di antaranya adalah Kepres Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura Tentang Pengembangan Sumber-Sumber Air di Provinsi Riau dan Pemasokan Air dari Indonesi ke Singapura. Dalam pelaksanaannya, tulis Anna, Keputusan Presiden itu memberikan hak khusus kepada perusahaan patungan yang dimiliki kelompok Salim. Grup Salim diberikan diberikan mandat eksklusif untuk mengusahakan pengembangan dan pemasokan air baru dari setiap sumber di Riau (Anna Arliyana, 2004: 128). Pada isu lain, khusus impor berbagai jenis di bawah kategori baja dan besi, menunjukan adanya kebijakan pemberian hak yang eksklusif itu. Rizal Malarangeng mencatat PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam semula diberi hak eksklusif untuk mengimpor. Setelah tahun 1985, Rizal menulis semua perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama disingkirkan, kecuali PT Krakatau Steel dan PT Giwang Selogam. Dengan nada tanya yang kritis, Rizal menulis siapa yang menguasai perusahaan yang disebut terakhir? Ternyata Lim Sio Liong, Sudwikatmono dan rekan-rekan bisnis mereka (Rizal Malarangeng, 2002: 162). Inilah bahaya nyata dari konsentrasi kewenangan untuk banyak urusan teknis pada Presiden. (bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate

Presiden Jokowi dan Petruk Dadi Ratu

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Presiden Jokowi baru saja membeli sebuah lukisan menarik. Penuh simbol dan makna. Lukisan karya mantan tahanan politik Joko Pekik itu berjudul “Petruk Dadi Ratu. Semar Kusirnya.” Rencananya lukisan besar berukuran 5 X 2 meter itu akan di pasang di istana negara yang baru di Kalimantan Timur. Dalam artikel di majalah Tempo Edisi 22 Februari 2020 dengan judul “Lukisan Petruk Untuk Istana Baru” Joko Pekik mengaku lukisan itu dibeli dengan harga sangat mahal. Miliaran rupiah. Tapi tak dijelaskan berapa harga pastinya. Dalam lukisan mantan seniman Lekra (organisasi seniman onderbouw PKI) yang pernah lama mendekam di penjara itu, Petruk sedang menyalami kerumunan rakyat jelata yang mengelu-elukannya. Ada petani dan ibu-ibu yang menggendong anaknya. Di seberang mereka, dibatasi jalan yang membelah kerumunan, berdiri orang-orang berdasi dan berjas, juga deretan gedung yang menjulang. Di belakang Petruk, Semar terlihat mengemudikan kereta kencana. Kisah Petruk Dadi Ratu adalah salah satu episode yang sangat terkenal dalam dunia pewayangan. Ceritanya berupa pasemon, sindiran sekaligus nasehat tentang mengelola sebuah negara. Petruk adalah seorang raja yang memperoleh kekuasaannya secara tidak sah. Tidak diridhoi dan diberkahi para dewa. Akibatnya negara yang dipimpinnya kacau balau. Dia adalah seorang punakawan, abdi dalem anak Semar dengan kemampuan intelektual yang terbatas. Namun dia pandai melucu. Menghibur para tuannya. Bersama dua saudaranya Gareng dan Bagong, mereka bertugas mengocok perut para penonton yang sudah mulai mengantuk. Mereka biasanya muncul lewat tengah malam dalam babak Goro-goro. Para punakawan ini bercanda, sindir kiri kanan, kritik sana-sini. Semar akan tampil sebagai orang bijak. Dia memberi petuah tentang kehidupan, maupun berbangsa dan bernegara. Petruk digambarkan bertubuh tinggi kurus, dengan tampilan sangat bersahaja. Ciri khas lainnya, hidungnya sangat panjang. Tapi ini hidung asli. Beneran. Beda dengan Pinokio yang hanya memanjang kala dia berdusta. Alkisah, dalam episode Petruk Dadi Ratu disebutkan dia menggelapkan jimat Kalimasada yang dititipkan oleh seorang kesatria Bambang Priyambada kepadanya. Dia khianat dan menguasai jimat Kalimasada, dan menggunakannya untuk meraih kekuasaan. Dia menjadi raja dengan gelar Prabu Kantong Bolong Belgeduwelbeh Tongtongsot. Karena tidak punya kapasitas yang memadai dan memperoleh kekuasaan secara tidak sah, Petruk memerintah seenak udelnya. Dia mengangkat petinggi negara dari kalangan inner circle-nya tanpa memperdulikan kapasitas dan kemampuannya. Gareng dan Bagong diangkat menjadi petinggi istana. Tatanan dalam dunia pewayangan dia jungkir balikkan. Situasi negara kacau balau. Negara Amarta dan Astina yang secara tradisonal bermusuhan, bersatu padu. Mencoba mengalahkan Prabu Kantong Bolong. Semuanya kalah. Petruk punya kekuatan tak tertandingi, yakni jimat Kalimasada. Ada yang menafsirkan jimat itu adalah dua kalimat sahadat dalam lafal Jawa. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan strategi dakwah para Wali yang menggunakan medium pewayangan. Akhirnya Prabu Belgeduwelbeh dapat dikalahkan oleh Semar yang menyamar menjadi salah satu petingginya. Rahasianya terbongkar. Dia kembali menjadi rakyat jelata, punakawan yang kerjanya tukang melucu. Tatanan dunia pewayangan kembali tata tentrem setelah jimat dan singgasana kerajaan dikembalikan kepada yang berhak. Tafsir yang berbeda Dalam tafsir Joko Pekik seperti dilansir Tempo, ceritanya agak berbeda. Menurut Pekik, karyanya menggambarkan Dewa Semar yang memegang kendali bangsa Indonesia pasca-reformasi. Sedangkan Petruk didapuk sebagai pelaksana pemerintahan. “Sekarang Dewa Semar mengendalikan kereta kencana karena Petruk jadi ratu,” ujar. Kisah Petruk Dadi Ratu memang bukan cerita pewayangan biasa. Banyak menjadi kajian sejumlah peneliti kebudayaan Jawa. Sejumlah Indonesianis seperti Ben Anderson, bahkan Denys Lombard pernah mengkaji dan menuliskannya. Cerita ini juga sering digunakan untuk menyindir penguasa yang diaggap lalim. Sebagai presiden yang tengah berkuasa, pasti Jokowi tidak punya niat untuk menyindir atau mengkritik diri sendiri . Lukisan ini tampaknya dimaksudkan Jokowi sebagai pengenget (pengingat) bagi dirinya dan tentu saja bagi para presiden penggantinya kelak. Itu juga kalau benar lukisan jadi di pasang di istana negara yang baru. Dengan catatan istananya ada, dan ibukota barunya jadi dibangun. End Penulis wartawan senior. Foto: Sketsa Umar Khayam

Mahfud MD Ngawur Soal Hapus Penyidikan di Polsek

By Kisman Latumakulita Jakarta FNN- Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengusulkan agar Kepolisian Sektor (Polsek) tidak lagi diberi wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polsek cukup ditugaskan mengemban dan meningkatkan fungsi pengayoman kepada masyarakat. Sedangkan fungsi penyelidikan dan penyidikan dipusatkan di Polres. Polsek bisa lebih difungsikan untuk meningkatkan penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Konsepnya, melalui keadilan restoratif yang melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan. Alasannya, polisi harus meningkatkan restorative justice. “Jangan sedikit-sedikit KUHP dan KUHP, “ujar Mahfud usai ketemu Presiden Jokowi, Rabu minggu lalu (iNews.id 19/02/2020). Mahfud beralasan, dia mendapat informasi bahwa Polsek-Polsek sering dibebani target penanganan perkara pidana. Akibatnya, Polsek sering menggunakan pasal-pasal pidana, dibandingkan dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif. Padahal dengan hanya fokus pada fungsi pengayoman masyarakat, Polsek-Polsek tidak lagi perlu mencari-cari perkara. Negara Kepulauan Mungkin saja Mahfud MD lupa, atau tidak mengerti bahwa Indonesia ini negara kepulauan. Bukan negara daratan seperti Kanada atau Eropa. Jumlah pulaunya juga tidak sedikit. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Pusat Survei dan Pemetaan (Pussurta) ABRI tahun 1987, tercatat Indonesia memiliki 17.503 pulau besar dan kecil. Tahun 2002, kajian citra satelit mengoreksi angka 17.503 pulau yang dipunyai Indonesia. Angka terbaru yang dirilis Pussurta ABRI adalah 18.306 pulau. Dari jumlah tersebut, sekitar 6.000 pulau lebih yang dihuni oleh masyarakat. Sisanya sekitar 11.000 pulau lebih belum berpenghuni. Dengan posisi kita sebagai negara kepualuan, masyarakat yang menghuni pulau-pulau tersebut terbilang tidak sedikit. Untuk itu, gagasan Mahdud MD untuk menghapus fungsi penyelidikan dan penyidikan di Polsek, terkesan ngawur dan asal ngomong. Terlihat Menkopolhukam tidak mengerti persoalan. Mahfud juga tidak memhami posisi kita sebagai negara kepulauan. Dengan posisi kita sebagai negara kepulauan, justru Polseklah yang seharusnya lebih diberdayakan. Fungsi penyelidikan dan penyidikan agar diperbanyak di Polsek. Bukan malah di Polres. Tujuannya, agar tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan dapat belangsung secara cepat, efektif, efisien dan murah. Alasan pembenarannya, karena mudah dan murah untuk dijangkau oleh masyarakat. Mahfud jangan samakan Indonesia dengan daratan di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Polsek di Jawa dan Sumatera itu umumnya bisa dijangkau melalui jalan darat atau menggunakan kereta api. Namun untuk Maluku, Maluku Utara, Sulewesi Utara, Kepaluan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Bangka Belitung, sebagian besar melalui laut. Daerah-daerah tersebut mempunyai pulau ratusan, bahkan ada yang ribuan pulau. Sangat susah untuk dijangkau melalui jalan darat. Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat di pedalaman di Papua dan Papua Barat. Daerahnya bergunung-gunung. Untuk bisa sampai ke Kota Kabupaten, karena Polresnya berada di Kota Kabupaten, dibutuhkan pejalanan darat 3-5 hari. Tidak ada sarana transportasi melalui darat, baik dengan menggunakan angkutan umum mobil maupun kereta api. Pesawat hanya dari Kota Kabupaten ke Kota Kabupaten yang lain, atau ke Kota Provinsi. Begitu juga dengan Maluku. Pulaunya ada lebih dari seribu. Makanya Maluku terkenal dengan sebutan “Daerah Seribu Pulau”. Sama dengan Maluku Utara, yang jumlah pulaunya hampir sama dengan Maluku. Dengan kondisi ombak yang tingginya 2-3 meter, dan jarak tempuh perjalan melalui laut antara 3-6 jam. Apa tidak menyiksa dan menyusahkan masayarakat tuh Pak Menkopolhukam? Kalau di pulau tersebut masih ada Polsek, untuk apa penyelidikan dan penyidikan harus dipindahkan Polres yang berada di Kota Kabupaten atau Kotamadya? Berapa biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk memenuhi panggilan penyidik Polres. Apa Pak Mahfud mau mengganti biaya perjalanan, dan waktu yang terbuang percuma akibat tidak bisa pergi ke kebun atau melaut? Kalaupun mereka itu masyarakat pantai, yang sudah terbiasa dengan ombak besar, apa tidak sebaiknya waktu mereka digunakan untuk mencari nafkah dengan meluat? Tampaknya sangat dangkal gagasan yang disampaikan Pak Mahfud kepada Presiden Jokowi untuk meniadakan penyelidikan dan penyidikan di Polsek-Polsek. Selian itu tampak juga Pak Mahfud tidak tidak mengerti persoalan. Meskipun Menkopolhukam secara ex officio adalah Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun sebaiknya jangan ngomonglah. Dibuat dulu kajian secara menyeluruh dari berbagai aspek dan sudut pandang, barulah disampaikan kepada presiden. Bukan jaminan Pak Mahfud sudah memahami semua persoalan bidang tugas yang berada di bawah kordinasi Menkopolhukam. Polsek Yang Diperkuat Sampai sekarang, pemerintah pusat sudah mengucurkan hampir Rp 300 trliun untuk Dana Desa. Dengan anggaran di desa sebesar itu, maka yang perlu diperkuat adalah Polsek. Bukan Polres yang diperkuat. Sebagian besar anggaran penyidikan harus dialokasikan ke Polsek. Penyidik polisi yang hebat-hebat di Polda dan Polres diarahkan untuk memperkuat Polsek. Mereka agar dipindahkan ke Polsek. Konsekwensinya, polisi yang bertugas di Polsek, terutama Polsek yang jauh dari Kota Provinsi dan Kota Kabupaten harus diberikan penghargaan, dibandingkan yang bertugas di Polda dan Polres. Misalnya, diutamakan dalam setiap promosi jabatan. Selian itu, didahulukan untuk mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Inpektur Polisi (SIP). Bukan malah mendahulukan anggota polisi yang bertugas di Polda dan Polres. Tujuannya, untuk mendorong setiap anggota polisi untuk mau bertugas di Polsek. Setiap 50 orang lulusan terbaik dari setiap tingkatan pendidikan yang di bawah PTIK, perlu disebarkan ke Polsek-Polsek. Selain itu, untuk jangka panjang, perlu dipikirkan agar urusan yang berkaitan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM), perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) cukup hanya dikeluarkan oleh Polsek. Masyarakat tidak perlu jauh-jauh datang ke Kota Provinsi dan Kota Kabupaten hanya untuk mengurus SIM, parpanjangan STNK dan urus SKCK. Penulis adalah Wartawan Senior

Jokowi Korbankan Buruh Menanggung Beban Investasi Asing

Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi yang terkesan indah dan hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Banyak kendala yang dibuat oleh pejabat terkait perizinan.Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Sehubungan Pemerintahan Jokowi telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kepada DPR untuk dibahas, menurut saya ada 3 poin penting yang harus dicermati pemerintah, DPR dan publik. Pertama, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didasari pada situasi di mana relokasi investasi di China ke Asia Tenggara kecuali Indonesia. Artinya tujuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Pemerintah akan memberikan segala kemudahan dan kepastian dalam berinvestasi. Oleh karena itu pemerintah dan DPR sepatutnya fokus pada efisiensi perijinan dan incentive berinvestasi. Bukan menciptakan aturan-aturan yang mengorbankan kesejahteraan buruh. Bukan pula menaruh nasib buruh pada level yang lebih rendah dalam Omnibus Law. Jika demikian halnya, maka sama saja demi kepentingan investasi asing, Jokowi mengorbankan buruh. Jadinya buruh ikut menanggung beban investasi asing. Pemerintah dapat mengkreasikan aturan-aturan atau biaya investasi yang kompetitif dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia. Pemerintah tidak perlu mengurangi apa yang telah didapat buruh selama ini. Yang sudah didapat oleh buruh, biarkan saja apa adanya. Pemerintah seharusnya mendorong investor dengan memberikan incentive progresif kepada investasi yang menggunakan tenaga kerja Indonesia di atas 80%. Atau incentive progresif untuk investasi yang export oriented, atau penggunaan bahan baku lokal di atas 80%. Kedua, perlu jaminan implementasi Omnibus Law ini. Bagaimana aturan teknisnya nanti benar-benar ciptakan efisiensi. Selama ini selain aturan yang tumpang tindih, biaya perijinan investasi tidak efisien, karena mental koruptif birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Jadi, efektifitas Omnibus Law ini dalam menarik investasi akan sangat ditentukan oleh praktek birokrasi. Apa yang terkesan bagus dalam narasi, akan gagal jika birokrasinya masih koruptif. Selain itu, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus didukung penuh oleh para buruh dan pemerintah daerah. Jika akhirnya masih sering terjadi aksi pemogokan buruh, akibat dari Omnibus Law yang dipaksakan pemerintah pun tidak akan berhasil menarik investasi asing masuk. Kita harus belajar dari paket-paket ekonomi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi terkesan indah hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. Ketiga, jiwa RUU Omnibus Law ini jangan sampai menghidupkan kembali sentralisme pada pemerintah pusat. Sekarang kita sudah melangkah jauh dengan desentralisme otonomi daerah. Pemerintah daerah harus diajak terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Tujuannya, agar Pemerintah Daerah dapat memahami betul isi dan tujuannya, sehingga implementasinya di daerah juga efektif dan seragam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)