NASIONAL

“Marathon” Menghadapi Krisis Covid-19, Perspektif Kebijakan Ekonomi

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Minggu (29/03). Saya menuliskan ini setelah membaca pernyataan IMF yang mendeklarasikan bahwa ekonomi dunia sedang memasuki masa krisis, yang bahkan lebih besar skalanya dibanding krisis keuangan 2008. Pernyataan IMF ini sejalan dengan pernyataan Sekertaris Jenderal OECD Angel Guria yang menyatakan bahwa crisis pandemi Covid-19 ini merupakan “ greatest economic, financial and social shock of the 21st century “ (ABC News 23/03/2020 ). Yang membedakan diantara kedua lembaga ini adalah pada prediksi waktu yang diperlukan bagi ekonomi dunia untuk kembali pulih dan keluar dari krisis. IMF lebih optimistis dengan beranggapan bahwa ekonomi dunia akan kembali pulih ditahun 2021. Sedang OECD beranggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak akan pulih dengan mudah . OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan jatuh ke kisaran 1.5 %, atau setengah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang sebelumnya diperkirakan oleh OECD. Dengan kata lain, kapasitas perekonomian dunia akan terpangkas separuhnya dari proyeksi sebelum pandemi Covid-19. Yang terpenting adalah pemahaman konsensual dari ekonom dan lembaga- lembaga dunia bahwa perekonomian dunia mengalami pukulan keras. Pukulan yang mengarah ke krisis sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Itu sebabnya, saya memberi penekanan pada istilah “Maraton” sebagai terma kunci dalam mindset kebijakan ekonomi yang akan ditempuh. Penekanan istilah kunci ini perlu kita sarankan kepada pemegang otoritas. Implikasi dari istilah ini adalah, bauran kebijakan ekonomi yang diambil bertumpu pada titik horison penyelesaian persoalan ekonomi. Yang dimulai dengan penanganan sumber disrupsi ekonomi yaitu pandemi Covid-19. Kemudian dirangkaikan dengan langkah-langkah mitigatif terhadap pemerosotan lebih jauh perekonomian. Yang berujung pada kebijakan pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial. Perlu dicatat bahwa pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial itu mesti diletakkan dalam satu keranjang penyelesaian. Sebab kedua-duanya merupakan “primus interpares “ dalam problem ekonomi kita. Argumennya seperti yang telah diimplisitkan oleh ekonom Thomas Picketty, pemenang utama dalam krisis ekonomi modern adalah kelompok berpunya (the have). Dikarenakan kapasitas penguasaan aset mereka yang menyebabkan kelompok ini memiliki advantages terhadap sumber-sumber pemulihan; secara ekonomi dan politik. Dalam bayangan saya. Kombinasi antara pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial mengandaikan lahirnya kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat infrastruktur perekonomian rakyat kebanyakan (mainstreet economy ). Suatu kebijakan ekonomi yang sepenuhnya berpihak pada kelompok ekonomi masyarakat luas. Istilah populernya itu “UMKM” tanpa tedeng aling-aling. Ukurannya adalah menurunnya angka Gini Ratio secara signifikan pasca krisis. Dan bukannya makin meningkatnya angka Gini Ratio pasca krisis, seperti yang selama ini kita lihat. Tidak hanya didalam negeri, tetapi juga merupakan fenomena global, dan baru saja terjadi lagi pasca krisis keuangan dunia tahun 2008 kemarin. Dalam kerangka “Maraton“ ini ada lima hal yang perlu untuk diwaspadai. Pertama, peningkatan angka pengangguran yang besar. Kedua, pemerosotan sumber penerimaan negara. Ketiga, krisis permodalan yang dialami oleh UMKM. Keempat, penurunan volume arus barang dan jasa. Kelima, daya tahan dari institusi-institusi keuangan nasional. Pengangguran kali ini bersifat massal. Terutama sektor informal, tanpa mengabaikan sektor formal yang terdampak. Karena itu, dalam jangka pendek kebijakan transfer langsung massal diperlukan. Ada 76 juta (data BPS 2017) penduduk indonesia dalam kategori near poor dan poor yang masuk di dalamnya. Tidak boleh kurang dari itu. Biarkan rakyat kita tidak menderita dalam bertahan hidup. Dikarenakan pemerosotan output ekonomi, sumber penerimaan negara dalam bentuk perpajakan juga akan merosot. Ini akan terasa hingga pada anggaran 2021. Pembacaan ini akan sangat berpengaruh pada kalkulasi upaya counter cyclical otoritas. Manejemen pengelolaan pembiayaan yang defisit akan menjadi kunci dalam hal ini. Sektor UMKM, sekali lagi, adalah prioritas emas. Kualitas modal mereka sangat terbatas. Dalam situasi krisis yang tidak normal ini, modal mereka akan tergerus habis. Perlu suatu kerangka kebijakan yang dirancang untuk memudahkan mereka untuk kembali memulai bisnis, sangat diperlukan. Disini peran pentingnya ada pada OJK, dan juga Bank Indonesia. Kapasitas regulatif OJK di sektor keuangan dan perbankan, serta ruang lingkup kewenangan BI harus dipergunakan secara optimal dalam hal ini. Dan jika diperlukan, perluasan kewenangan BI agar bisa membail out sektor riil ( UMKM ) seyogyanya diperluas. Arus barang dan jasa juga adalah sisi yang paling keras mengalami pukulan. Ini adalah penjamin lancarnya hubungan supply and demand dalam perekonomian. Pada tahap awal, perlu dipikirkan kemungkinan penggunaan kapasitas moda transportasi umum yang sekarang ini “idle”. Pendarahan di sektor ini akan berdampak pada upaya pemulihan lanjut perekonomian. Dan yang terakhir, daya tahan institusi keuangan. Tentu kita tidak berharap institusi keuangan ini akan diperlakukan lagi seperti d itahun 1998 dan 2008. Tetapi menginsulasi sektor ini dari resiko sudah tentu tidak bisa dihindari. Saya pribadi mengapresiasi langkah-langkah otoritas keuangan dalam hal ini. Karena keterbatasan perundang-undangan, kerangka MOU antara otoritas fiskal, Bank Indonesia, OJK dan LPS mestinya diperkuat lagi. Untuk mengatasi krisis keuangan, kita sudah memiliki UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Tetapi dalam menghadapi krisis yang tidak normal ini, terdapat banyak kendala yang membatasi integrasi kebijakan antara pemerintah dan otoritas independen seperti BI, OJK dan LPS. Karena itu diperlukan suatu landasan yang kuat. Landasan yang menjamin integrasi kebijakan diantara lembaga-tersebut agar dapat bersifat eksekutorial. Dengan catatan, harus tetap berpegangan pada karakteristik independen dari masing-masing lembaga itu dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri. Semoga Allah SWT menolong bangsa dan negara kita agar dapat keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Para Boneka?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Minggu (29/03). Istilah "boneka" seringkali diasosiasikan untuk seseorang yang peran dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, seorang aktor atau artis dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Berarti mereka adalah boneka. Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosial. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda dengan panggung belakang. Bedanya bisa 180 derajat. Di depan para penonton seorang pelawak bisa ketawa. Padahal di hatinya ia sedang menangis karena konflik keluarga. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi. Teori dramaturgi ini menarik ketika dibawa ke panggung politik. Para pelaku politik (politisi) punya dua panggung. Panggung ketika mereka berhadapan dengan publik, dan panggung ketika mereka berada di lingkungan temen-temen politiknya. Di hadapan publik, para politisi akan bicara moral. Istilah nasionalisme dan NKRI menjadi khutbah hariannya yang berbusa-busa. Fungsi-fungsi pelayanan publik akan selalu dijadikan narasi indahnya. Apakah idealisme ini juga jadi narasi mereka saat berada di panggung belakang? Panggung belakang itu masuk wilayah otoritas Ketua Umum Partai. Anggota-anggota partai adalah serdadu yang bekerja untuk menerjemahkan dan menyampaikan keputusan partai. Terutama agenda dari Ketua Umumnya. Di depan media, mereka dalam posisi sebagai juru bicara partai, dengan gaya dan kemampuan inovatif masing-masing. Ini konteksnya anggota partai. Kalau staf istana, mereka akan bicara sesuai draf dari istana. Biasanya, juru bicara istana lebih hati-hati dan lebih teratur, agar tak terjadi kesalahan. Kalau salah, bisa fatal. Karena merepresentasikan nama istana. Sedikit lebih sakral. Berbeda jauh dengan juru bicara dari partai. Tampak lebih bebas, atraktif dan meledak-ledak. Seolah ia satu-satunya orang yang punya otoritas dan pemegang tongkat kebenaran. Semakin lantang dan keras ia bicara, akan dianggap sebagai orang yang kritis dan berani. Padahal, boneka juga. Di panggung belakang, Ketua Umum Partai sedang melakukan negosiasi. Tidak hanya anggota partai dan juru bicara istana. Bahkan para ketua umum partai dan para penghuni istana boleh jadi juga boneka. Itu jika mereka menduduki posisi tersebut, dengan bantuan dan peran kelewat besar dari orang atau kelompok di luar. Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka. Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri, dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis juga semakin terbuka lebar untuknya. Era demokrasi seperti saat ini, seringkali lahir dan memproduksi para pemimpin boneka. Kepala daerah hingga presiden. Bahkan juga anggota DPR, juga paling banyak yang menjadi boneka. Sangat sulit untuk menghindari kebutuhan terhadap mekanisme ini. Untuk nyalon presiden, anda harus mau didandani. Tidak boleh "mau anda" sendiri. Seperti apa anda akan dicitrakan, mesti berbasis pada hasil survei. Survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitas anda saja, tapi terutama untuk mengidentifikasi "apa mau" masyarakat pemilih terhadap anda. Masyarakat suka capres itu pakai baju putih lengan panjang, berpakaian sederhana, dan suka blusukan, misalnya. Maka anda harus berpenampilan seperti itu. Mekanisme pencitraan seperti ini berlaku juga untuk calon kepala daerah dan caleg. Citra apa yang diinginkan dan disukai masyarakat harus dipenuhi oleh sang calon yang boneka itu. Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang. Bahkan untuk pencitraan itu sendiri perlu biaya besar. Ketika anda nyalon presiden, nyalon jadi kepala daerah, atau nyaleg, anda butuh dana (logistik). Dana yang dibutuhkan juga nggak sedikit. Kalau dana dari kantong sindiri nggak cukup. Biasanya memang nggak cukup. Jalan alternatifnya harus cari bantuan. Dan anda tahu, bantuan itu nggak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda. Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah menjadi boneka seseorang atau kelompok itu. Demokrasi yang awalnya dibuat dengan fungsi utamanya untuk memberi ruang partisipasi rakyat secara penuh dan meluas. Tujuanya, agar lahir para pemimpin yang ideal, independen dan berani tampil membela dan menyuarakan kepentingan rakyat. Namun pada akhirnya yang jadi justru para boneka. Menurut Robert Merton, demokrasi yang melahirkan boneka ini disfunction. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tetapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka. Kenapa ini terjadi? Karena demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Pertama, para calon dimanipulasi sikap dan perilakunya agar sesuai dengan persepsi masyarakat pemilih. Tentu, berbasis pada hasil survei. Kedua, sikap dan perilaku seperti ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial di masyarakat. Milsanya para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan dari para calon boneka. Ketiga, legitimasi ini disosialisasikan secara masif oleh tim buzzer yang dibayar secara profesional untuk menjalankan tugas ini. Keempat, suara para pemilih tidak lagi murni. Dibeli dan diberikan kompensasi. Kelima, terjadi pengendalian terhadap panitia pemilu dengan menjadikannya sebagai tempat bertransaksi. Dipecatnya dua komisionir KPU Pusat adalah bagian dari pembuktian tersebut. Keenam, hukum dan aturan tidak jalan. Bahkan cenderung dikendalikan untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok. Terinspirasi dari teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya demokrasi dan hukum berfungsi untuk siapa? Faktanya bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang berhasil secara sistematis menjadikan kebanyakan dari para elit politik itu sebagai boneka. Kalau begitu, apa yang bisa diharapkan dari boneka-boneka tersebut? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Solusi Darurat Corona Indonesia: Tirulah Korsel, Pakai Mikroba!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Pageblug – begitu orang Jawa menyebut wabah penyakit yang menyebar secara massif yang banyak menelan korban meninggal – akan dimulai tiga hari dari sekarang (26 Maret 2020). Sekarang ini, yang harus disiapkan adalah Rumah Isolasi. Begitu pesan dr. Tifauzia Tyassuma, Kamis (26 Maret pukul 10.20). Gubernur, Walikota, Bupati harus sewakan Apartemen, Hotel, Asrama, Penginapan, Perumahan Kosong, apapun tempat yang bisa dijadikan Rumah Isolasi. Dokter, Peneliti, dan Penulis AHLINA Institute itu mengungkapkan, dalam tiga hari jumlah kasus terlaporkan akan mencapai angka 1000. Artinya, ada sejumlah 20.000 PDP bertebaran di seluruh Indonesia tanpa terdeteksi. Dalam 20-40 hari dari sekarang (26/3/2020), jumlah kasus akan mencapai titik puncaknya, yaitu 1.200.000 kasus,artinya, ada 22.800.000 PDP di seluruh Indonesia. Jelas akan banyak mayat di mana-mana. Terutama mayat orang tak punya rumah, yang tidak diurus siapapun. “Pageblug: pagi sakit, sore mati. Untuk mengantisipasi hal tersebut supaya tidak makin menghebat, maka mulai dari sekarang, adakan Rumah Isolasi sebanyak mungkin!” pesan Dokter Tifa. Kapan covid 19 mencapai puncak? “Setelah kasus terlaporkan mencapai 1.200.000 kasus positif. Atau 60.000.000 kasus riil di lapangan. Sekitar 22% dari 271.000.000 orang. Kasus kematian sebanyak 99.800 orang yang dilaporkan,” ungkap Dokter Tifa. Kasus kematian riil di lapangan 4.980.000 orang. Jadi, penduduk Indonesia berkurang 2%. Setelah itu Covid-19 mencapai puncak ledakannya, dan kemudian turun dengan perlahan sampai 12 bulan. Kapan itu? “Perkiraan saya 50-70 hari setelah tanggal 2 Maret 2020. Sekitar 19 April sd 19 Mei 2020,” lanjut Dokter Tifa. Setelah itu yang terjadi, grafik akan turun perlahan, melandai sampai dengan Agustus, lalu menipis dan stop pada Januari 2021. Kenapa bisa turun? Apa virusnya mati sendiri? Bukan begitu. Dengan kasus sebanyak itu, Indonesia menjadi “kolam merah”. Terbentuklah Natural Herd Immunity atau Kekebalan kolektif bersama-sama. Mirip seperti Vaksinasi massal serentak. Dokter Tifa menyeru, “Ayo rakyat, kita berbuat mulai sekarang juga! Lockdown diri kalian masing-masing. Anggap saja kita beruang di gua selama musim dingin. Siapkan logistik. Banyak berdoa dan berpuasa. Bismillah.” “Allah bersama kita. Berdoa bersama agar Allah turunkan pasukan langit, membasmi virus ini dengan cepat. Agar prediksi scientific di atas tak perlu terjadi. Doa mampu mengubah takdir. Ayo berdoa!” pinta Dokter Tifa. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto mengungkapkan, penularan virus Corona terus terjadi. Terbukti dengan bertambahnya 109 kasus positif corona sehingga menjadi 1.155 kasus positif. Pasien sudah sembuh bertambah 13 orang. Sehingga total pasien sembuh menjadi 59 orang. Kasus kematian bertambah 15 orang. Sehingga menjadi 102 orang yang meninggal akibat kasus ini. Demikian penjelasan Achmad Yurianto, Sabtu (28/3/2020). Kompas.id pada 27 Maret 2020 menulis berita “Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran”. Jika terjadi sangat menakutkan. Kedubes Asing saja tidak percaya. Saat kita masih mengundang asing masuk di negeri yang indah ini, mereka malah enyerukan kepada warganya agar meninggalkan Indonesia. Artinya, kita diasingkan oleh negara tetangga. Kita di-lockdown oleh dunia. Mereka ragu dengan kemampuan dan fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Indonesia. Faskes yang dipunyai Indonesia, jauh di bawah standar internasional. Jumlah dokter, perawat, rumah sakit khusus, ruang isolasi, dan jumlah tempat tidur rumah sakit, jauh dari memadai. Begitu pula dengan test kit dan APD (Alat Pelindung Diri) juga sangat tidak memadai. Enam dokter yang meninggal akibat tertular dan terinfeksi virus corona adalah buktinya. Melihat kenyataan ini sampai IDI “mengancam” menarik diri dari penanganan virus corona ini. Menurut salah satu studi oleh institusi berbasis di London, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia hanya sekitar 2 persen dari yang diperkirakan seharusnya. Jumlah terinfeksi corona ini realitanya bisa lebih dari 34 ribu orang, mungkin sekarang sudah melonjak lagi. Sembuh Corona Di tengah wabah Virus Corona, ternyata ada banyak masyarakat yang sudah tergabung dalam Grup Probiotik Siklus (GPS), melakukan pengobatan mandiri. Mereka yang tergabung dalam puluhan GPS ini lebih siap dalam menghadapi serangan virus corona tersebut. Mereka melakukan pengobatan secara mandiri. Kalau pun ada yang sudah dinyatakan positif virus corona oleh rumah sakit tempat dirawat, mereka berhasil sembuh dengan menggunakan varian produk Probiotik Siklus (PS). Berikut beberapa testimoninya: “Sy mau berbagi info bahagia. Setidaknya usaha sy ada hasilnya. Bbrpa hari yll sy sempat sampaikan di sini, teman sy yg suami istri dokter. Suaminya sempat demam 5hr plus batuk2, 3 hr nya sempat tangani covid. Sy sarankan pakai g10+bio imun plus biosel utk anak2nya dan pengharum ruangan.” “Alhamdulillah hari berikutnya kondisinya membaik. Target sy adl bagaimana agar mereka berdua (krn keduanya dokter praktek di RS di Jkta) bs menjadi wasilah u penyebaran PS ini utk menyelamatkan byk nyawa.” “Alhamdulillah masya Allah, atas pertolongan Allah, kmd atas doa dr teman2 semua, stlh melalui diskusi yg ckp panjang, berbalas WA, dgn sedikit pemahaman yg sy miliki, alhamdulillah mereka paham dan bs menerima teori ini.” “Dan skrg keduanya ingin mempromosikan produk ini ke rekan2 sejawatnya (untuk bs mengatasi kondisi saat ini). Mohon doanya terus agar usaha ini membuahkan hasil. Sangat berharap sekali kondisi saat ini tidak semakin memburuk dan bisa berangsur membaik.” “[26/3 22:47] Formulator: Alhamdulillah, dengan ketelatenan kita semua, secara perlahan teori ini akan bisa diterima dan terbukti kebenarannya. PS itu kebenarannya alamiah, obyektif ....dan bahkan ada bilang absolut, karena sesuai sunnah Nya.....” “Alhamdulillah..., Ihtiar PS 2 Hari Pasien Positif Covid Membaik.” “[21/3 20:55] Formulator: Catatan: Ada anggota GPS yg positif covid, dan saya arahkan dg PS, dlm 2 hari perkembangan nya LUAR BIASA. Sudah cukup sehat.” “[21/3 20:56] +62 813-1490-XXX: Hanya 2 hari prof?” “[21/3 20:56] +62 857-7782-XXX: Ps variant apa saja prof ? Dan apa diperlukan juga antibiotik? Karna ini serupa dengan pneumonia ya prof?” “[21/3 20:58] Formulator: Variannya, terutama: G8 atau 10 atau 12 atau 17. Diberikan 2 sdm, setiap 1 jam sekali. Bioimune: 3-4x1 sdm. Biozime super: 10 tts setiap 1 jam sekali.” “[21/3 21:00] Formulator: Benar, hanya 2 hari. Sudah ada 2 orang yg terselamatkan dg bantuan PS. Antibiotiknya, saya sarankan : obat yang isinya LEVOFLOXACIN yang paten.” Mengapa G8? G8 adalah bakteri komunitas dengan jumlah ribuan strains bakteri tanah (hingga 7.500 strains) dan didominasi oleh “sekumpulan bakteri negatif” yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada saat virus – termasuk diantaranya corona – dihadirkan G8, maka virus ini berasumsi yang dihadirkan di G8 adalah kawan-kawan mereka. Sehingga “virus tidak lagi merasa diserang, tidak lagi merasa disakiti, tidak lagi merasa terancam keberadaannya”. Yang terjadi kemudian, bersama-sama dengan sekumpulan bakteri lengkap pada G8, mereka akan hidup normal, berkembang dan regeneratif sesuai fitrahnya. Keseimbangan Mikrobiota. Itulah kemudian yang terjadi. Nah, pada saat semua seimbang, selesai sudah masalah karena tidak lagi ada yang terlalu dominan, tidak lagi ada ketimpangan. Lain cerita saat “virus – termasuk corona – “dihadirkan” desinfektan (Alkohol). Alkohol, jika di bawah 75%, hanya “mendormen” (menidurkan) bakteri/virus. Maka, akan ada saat virus bangun dari tidurnya. Alkohol di atas 75% baru bisa mengeluarkan bakteri. Ingat hanya mengeluarkan dan tidak mematikan. Virus corona itu didesain kuat! Bahkan, alkohol bisa dimakan sebagai nutrisi penguat dan berpeluang bermutasi menjadi yang lain yang jauh lebih ganas. Jika dihadirkan desinfektan, yang ada, virus akan berkembang massive, karena dia merasa diserang, merasa disakiti, dan merasa terancam keberadaannya. Itulah mengapa Korea Selatan sangat cepat dan tepat dalam atasi wabah virus corona. Korsel cepat mengatasi ini karena mereka semprot pakai EM (4 strain bakteri). Kalau dalam PS ada ribuan strain bakteri, maka tidak bakal meluas dan meluas lagi penyebarannya. “Kalau pakai desinfektan bakteri malah semakin banyak dan semakin kuat,” ungkap seorang anggota GPS-2, sambil memberikan terjemahan berita yang tayang dalam m.nocutnews.co.kr itu. Beritanya bahasa Korea, diterjemahkan dengan fasilitas translate di chrome. Pusat Teknologi Koperasi Pertanian Busan Gijang-gun mengumumkan pada tanggal 7 bahwa mereka melakukan “kegiatan perlindungan lingkungan” menggunakan EM (mikroorganisme yang berguna) untuk mencegah infeksi korona19. EM yang diproduksi dan didistribusikan oleh Gijang-gun Nonghyup Technology Center terutama bersifat asam, dengan bakteri asam laktat sebagian besar mencapai pH 3,5. Pusat ini mengencerkan asam sitrat dalam EM ini untuk pencegahan virus karena virus ini rentan terhadap kondisi asam. Selain itu, EM, yang secara teratur disuplai setiap hari Rabu di kultur mikroba yang berguna, didistribusikan setiap hari sampai virus tenang. Dispenser tak berawak dipasang di dua pusat kesejahteraan administratif di Gijang-eup dan pusat kesehatan masyarakat di Jeonggwan-eup sehingga penduduk dapat dengan mudah menerima EM. Seorang pejabat Pusat Teknologi Koperasi Pertanian Gijang-gun mengatakan, “Kami akan mencegah korona19 dengan memperluas kegiatan karantina yang ramah lingkungan. Kami juga akan memperluas pasokan mikroorganisme yang berguna sehingga semua orang dapat menggunakannya dengan nyaman.” Seperti halnya Korea, Jepang dan Jerman kabarnya juga menggunakan bakteri serupa untuk mengatasi virus corona. Penulis wartawan senior

Beruntang di Tengah Krisis Ekonomi, “Belajar Dari Bank Century dan BLBI”

Yang cukup aneh, yang mengatakan bahwa kesulitan Bank Century berdampak sistemik adalah menteri keuangan. Ketika itu dijabat oleh Sri Mulyani. Bukankah sektor perbankan ketika itu seharusnya sudah berada di bawah pengawasan Bank Indonesia? Sehingga status sistemik atau tidak, seharusnya juga ditetapkan oleh Bank Indonesia? By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Minggu (29/03). Krisis moneter 1998 yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik masih membekas. Krisis yang berawal dari kejatuhan kurs rupiah membuat sektor keuangan dan perbankan lumpuh. Berujung pada penutupan 16 bank nasional. Jatuhnya sektor perbankan membuat Bank Indonesia (BI) harus turun tangan. Sebagai the lender of last resort, Bank Indonesia tampil sebagai penyelamat sektor perbankan yang kesulitan likuiditas. Dengan cara memberi dana talangan. Atau juga yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sampai Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI senilai Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Kata “orang bijak”, dalam setiap kesulitan pasti ada kesempatan. Dalam setiap masalah, pasti ada peluang. Sepertinya moto ini juga berlaku bagi penerima dan pemberi BLBI. Awalnya adalah kesulitan likuiditas. Namun akhirnya menjadi pengeruk kekayaan. Tentu saja dengan cara tidak sah. Audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencatat terjadi penyelewengan BLBI yang merugikan negara hingga Rp 138 triliun. Artinya, hanya sekitar Rp 6,5 triliun saja yang tepat sasaran. Sebagian dari pelaku sudah dihukum. Sebagian lagi, ada yang masih buron. Bahkan ada yang meninggal di tanah buronan. Setelah itu, status BI direstrukturisasi. Sebelumnya BI adalah bagian dari pemerintah. Kemudian diubah menjadi independen. Perubahan ini mengikuti praktek Bank Sentral di kebanyakan negara maju. Agar kebijakan moneter Bank Indonesia tidak didikte oleh pemerintah. Sehingga fungsi moneter dapat dipisahkan dengan fungsi fiskal. Perubahan status Bank Indonesia ini tertuang di Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Belajar dari pengalaman krisis 1998, penyaluran bantuan, atau tepatnya pinjaman dari BI dibuat ketat. BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang mempunyai kesulitan pendanaan hanya apabila ada agunan yang berkualitas tinggi, dan mudah dicairkan. Nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterima oleh bank tersebut. Tahun 2007-2008 terjadi krisis finansial global yang cukup serius. Awalnya, perbankan Indonesia baik-baik saja. Bahkan pemerintah mengatakan perbankan Indonesia sangat kuat, dan tidak akan terpengaruh krisis global. Tetapi, sekitar awal Oktober 2008, Bank Century dikabarkan mengalami kesulitan likuiditas yang serius. Pemerintah cepat tanggap. Pemerintah menyatakan kasus Bank Century berdampak sistemik. Artinya, bisa menjalar ke bank-bank lainnya, dan bisa memicu krisis perbankan lagi. Sehingga, Bank Century harus di-bailout. Harus diselamatkan. Syarat bailout adalah harus berdampak sistemik. Oleh karena itu, masalah likuiditas Bank Century ditetapkan berdampak sistemik. Tetapi, masih ada ganjalan untuk bailout Bank Century. Pasal 11 UU No. 23 Tahun 1999 dan perubahannya (UU No 3 Tahun 2004) mengatakan BI hanya bisa memberi pinjaman atau bailout kalau ada agunan dengan kualitas tinggi, dan mudah dicairkan. Nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Tentu saja Bank Century sulit memenuhi syarat itu. Akhirnya, UU No. 3 Tahun 2004 tersebut diubah melalui Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 2 Tahun 2008, tertanggal 13 Oktober 2008. Sangat cepat sekali prosesnya. Awal Oktober baru saja terjadi kesulitan pendanaan pada Bank Century. Namun 13 Oktober Perppu sudah ditetapkan. Perppu 13 Oktober itu menghilangkan kata “mudah dicairkan”. Akhirnya, Bank Century diambil alih, dan diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Total dana yang dikeluarkan pemerintah dalam bailout Century mencapai Rp 6,7 triliun. Yang sangat disayangkan, kesulitan likuiditas ini. Dan anggap saja benar terjadi kesulitan likuiditas. Namun sekali lagi, kondisi ini digunakan untuk mengambil keuntungan sekelompok pribadi orang. Mantan direktur utama Bank Century akhirnya divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah sebesar Rp 1,6 triliun. Yang cukup aneh, yang mengatakan bahwa kesulitan Bank Century berdampak sistemik adalah menteri keuangan. Ketika itu dijabat oleh Sri Mulyani. Bukankah sektor perbankan ketika itu seharusnya sudah berada di bawah pengawasan Bank Indonesia? Sehingga status sistemik atau tidak, seharusnya juga ditetapkan oleh Bank Indonesia? Sudahlah, kasus Bank Century itu sudah berlalu. Kasus Rp 6,7 triliun ini menguap begitu saja. Publik negeri ini semua sudah lupa. Direksi Bank Century juga sudah keluar dari penjara. Bahkan anggota pansus (Panitia Khusus) Hak Angket DPR untuk Bank Century, yang dibentuk 1 Desember 2009 sepertinya sekarang sudah mengalami amnesia semua. Kasus Bank Century bisa menjadi preseden buruk. Karena celah bailout ini dilakukan, atau difasilitasi, melalui perubahan UU. Bahkan melalui Perppu pula. Akhirnya kasus Bank Century ini berujung pada penyelewengan dan korupsi triliunan rupiah. Jangan sampai krisis selanjutnya dijadikan ajang mengail di air keruh lagi. Jangan sampai ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Jangan sampai krisis Corona kali ini digunakanlagi untuk mengambil keuntungan pribadi atau segelintir orang saja. Jangan sampai corona dijadikan sarana untuk merampok lagi. Apalagi dengan menggunakan modus yang sama. Merubah UU melalui Perppu. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Uang Pemerintah Nganggur Rp 270 triliun, Tidak Dipakai Lawan Covid-19?

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Sabtu (28/03). Wabah virus corona semakin mengkhawatirkan. Jumlah orang terinfeksi naik tajam. Jumlah orang terinfeksi per 27 Maret 2020 mencapai 893 orang. Kemudian pada 27 Maret 2020 bertambah menjadi 1.046 orang. Artinya, bertambah sebanyak 153 orang dalam satu hari. Jumlahnya terus meningkat. Menandakan penyebaran penyakit sangat tidak terkendali. Yang lebih mengkhawatirkan, jumlah pasien meninggal jauh lebih besar dari yang sembuh. Jumlah pasien meninggal 87 orang, dan pasien sembuh hanya 46 orang, per 27 Maret 2020. Jumlah persentase meninggal, dan perbandingan dengan yang sembuh, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Melihat data statistik seperti ini, banyak pihak asing mempertanyakan, atau tepatnya meragukan, kemampuan dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi wabah virus ini. Beberapa kedutaan asing mengimbau warganya untuk segera meninggalkan Indonesia. Himbauan Kedutaan Asing sangat ironi. Ketika kita masih mau menerima asing di negeri yang indah ini, malah perwakilan negara asing menyerukan kepada warganya agar meninggalkan Indonesia. Artinya, kita diasingkan oleh negara tetangga. Kita di lockdown oleh dunia. Karena mereka ragu dengan kemampuan dan fasilitas kesehatan yang dimiliki Indonesia. Fasilitas kesehatan yang dipunyai Indonesia, katanya jauh di bawah standar internasional. Jumlah dokter, jumlah perawat, jumlah rumah sakit khusus, jumlah ruang isolasi, jumlah tempat tidur rumah sakit, jauh dari memadai. Jauh di bawah kemampuan negara-negara tetanga. Begitu pula dengan test kit dan APD (Alat Pelindung Diri) juga sangat tidak memadai. Buktinya sudah ada enam dokter meninggal akibat tertular dan terinfeksi virus corona. Bahkan menurut salah satu studi oleh institusi berbasis di London, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia hanya sekitar 2 persen dari yang diperkirakan seharusnya. Menurut studi tersebut, jumlah terinfeksis ini realitanya bisa lebih dari 34 ribu orang, mungkin sekarang sudah melonjak lagi. Kompas.id pada 27 Maret 2020 menulis berita “Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran”. Ini sangat menakutkan. https://kompas.id/baca/humaniora/2020/03/27/tanpa-tindakan-drastis-separuh-penduduk-indonesia-berpotensi-terinfeksi-covid-19-sebelum-lebaran Di lain pihak, kita belum melihat pemerintah bergerak cepat dan terarah. Bahkan bisa dikatakan sangat lambat sekali. Di tengah pandemi seperti ini diperlukan tindakan yang cepat. Bukan wacana saja. Bukan membuat kebijakan yang bisa membuat masalah baru. Misalnya pengumuman tentang pembebasan pembayaran bunga dan cicilan untuk waktu tertentu sudah menuai kegaduhan. Penyebabnya pengumuman tersebut belum dikoordinasikan dengan siapa yang akan menanggung likuiditas tersebut. Apakah artinya penundaan tersebut ditalangi dulu oleh pemerintah? Oleh karena itu, sangat penting setiap kebijakan harus disiapkan langkah teknisnya, agar tidak menimbulkan kegaduhan. Saat ini, yang terpenting dari segalanya, pemerintah harus segera meningkatkan kemampuan fasilitas kesehatan untuk menyelamatkan korban terinfeksi. Untuk memberantas wabah Covid-19, dan memutus mata rantai penyebaran dan penularan. Rasio sembuh harus ditingkatkan secara signifikan. Rasio yang meninggal juga harus diturunkan secara drastis hingga titik nol. Ini target yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan ini hanya bisa terjadi kalau pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, meningkatkan fasilitas kesehatannya secara drastic, dan bersama-sama. Untuk itu, pemerintah perlu uang. Dan uangnya itu ternyata ada. Pemerintah per akhir Februari 2020 masih ada uang di kas lebih dari Rp 270 triliun. Terdiri dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2018 sebesar Rp 175,24 triliun, SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) 2019 sebesar Rp 46,5 triliun, dan SiLPA 2020 (akhir Februari) sebesar Rp 50,13 triliun. Uang sebesar Rp 270 yang ada di kas pemerintah ini idle. Ini uang nganggur. Bisa dipakai kapan saja. Kenapa pemerintah tidak menggunakan uang ini untuk memerangi wabah Covid-19 sejak awal pandemi? Malah pemerintah berwacana untuk meminjam uang dari institusi internasional. Ada apa ini? Wajau kalau masyarakat patut bertanya-tanya. Keterlambatan memerangi wabah Covid-19 yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan karena faktor kesengajaan dapat dituduh sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Dan tidak menggunakan uang yang nganggur tersebut dapat saja dianggap sebagai faktor kesengajaan. Jangan sampai ini terjadi. Pemerintah bukannya menggunakan uang yang berlimpah tersebut secara optimal. Ini malah sibuk dan mencoba untuk menggali utang luar negeri baru, melalui institusi internasional seperti IMF. Padahal IMF mempunyai catatan hitam terhadap perekonomian Indonesia pada krisis 1998. Modusnya seolah-olah IMF menawarkan bantuan, yang tentu saja maksudnya utang. Selain itu, pemerintah malah mencoba menggalang dana sumbangan dari pengusaha, dan masyarakat. Sedangkan pengusaha dan masyarakat sendiri lagi susah dan perlu dibantu. Kok bisa pemerintah minta sumbangan dari mereka? Yang menjadi kontroversial, pemerintah malah mau menerbitkan recovery bond untuk memberi dana pinjaman kepada para pengusaha. Lagi-lagi, semua ini membuat masyarakat curiga dengan langkah-langkah pemerintah. Selain bidang kesehetan, pemerintah memang wajib membantu masyarakat dan perusahaan yang terdampak pendemi Covid-19 melalui paket stimulus. Masyarakat harus diberi bantuan sesegera mungkin. Khususnya mereka yang berpenghasilan harian dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mereka ini sekarang sudah sulit keuangan, dan sulit makan. Jangan sampai terjadi kerusuhan karena perut lapar. Perusahaan wajib dibantu untuk dapat bertahan hidup dan mengurangi PHK lebih jauh. Dan jangan lupa, institusi keuangan jangan sampai kekurangan likuiditas karena di satu sisi pembayaran debitur banyak yang macet. Di sisi yang lain,nasabah banyak yang menarik tabungannya. Di sinilah OJK dan BI harus segera hadir. Semua kebutuhan pendanaan di atas harus diupayakan dari sumber dalam negeri. Dan itu layak dan bisa dilakukan. Uang pemerintah masih banyak. Bank Indonesia juga siap intervensi. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Presiden Lempar Handuk?

Hari demi hari, gelombang protes terhadap sikap Presiden yang "kekeh" tidak mau lockdown semakin membesar. Selain Walikota Tegal dan Gubernur Papua, protes juga datang diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa Kepala Daerah. By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabru (28/03). Lockdown itu otoritas Pemerintah Pusat, titik. Begitulah keputusan presiden. Keputusan nggak bisa diganggu gugat. Rencana Anies, Gubernur DKI untuk lockdown Jakarta batal setelah kedatangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ke balai kota membawa pesan istana. Intinya, lockdown bukan wewenang Gubernur. Dan Anies tak akan melockdown Jakarta tanpa seijin presiden. Bagi Anies, ini prinsip. Tak ada negara dalam negara. Sebagai Gubernur, Anies tak akan langgar aturan dan berseberangan dengan Presiden. Meski Jakarta belum jadi lockdown, Anies harus kerja ekstra menghadapi penyebaran Covid-19 yang semakin masif. Pasalnya, Jakarta jadi epicentrum penyebaran virus mematikan ini. Berbagai langkah dilakukan Anies, termasuk test massal, menjemput pasien covid-19 di rumah, melakukan penyemprotan disinfectan, menutup semua bisnis pariwisata dan meliburkan ganjil-genap agar masyarakat tidak berjubel di public transportation. Anies menyiapkan empat hotel dengan seluruh fasilitasnya untuk tenaga medis, menambah insentif Rp 250.000 setiap harinya. Ini adalah bagian dari support Gubernur Anies sebagai komandan perang melawan covid-19 di wilayah DKI. Kepada seluruh warga DKI Anies minta mereka kerja dan belajar dari rumah selama 14 hari ke depan. Konsekuensinya, pemprov DKI menyiapkan anggran Rp 1,1 juta untuk keluarga tidak mampu. Persoalan logistik, Jakarta masih aman. Semua langkah ini sesungguhnya adalah soft lockdown. Lockdown ringan-ringan saja. Tak melanggar aturan, juga tak bertabrakan dengan kebijakan pusat. Dan langkah Anies ini didukung oleh banyak pihak. Termasuk Kepala Satgas Covid-19 Pusat. Langkah Anies belakangan diikuti oleh sejumlah Kepala Daerah. Malah Walikota Tegal, Dedy Yon Supri Yono, lebih nekad lagi. Dedy berencana akan melakukan lockdown lokal setelah satu orang positif Covid-19 dan satu orang meninggal karena covid-19. Lockdown dimulai tanggal 30 Maret nanti. Sebelumnya, gubernur Papua, Lukas Enembe, juga melakukan lockdown. Langkah ini diambil Lukas Enembe untuk menyelamatkan warga Papua sebelum covid-19 masuk ke wilayah itu. Ini bukan saja langkah pro aktif, tetapi juga tindakan sangat berani, karena berlawanan dengan keputusan Presiden. Langkah Walikota Tegal dan Gubernur Papua, memberi isyarat bahwa peringatan Presiden sepertinya tak didengar. Bagi mereka, nyawa rakyat mereka lebih penting. Akankah langkah dua kepala daerah ini diikuti oleh kepala daerah yang lain? Bagaimanapun keputusan gubernur Papua dan Walikota Tegal pasti berpengaruh terhadap daerah yang lain. Hari demi hari, gelombang protes terhadap sikap Presiden yang "kekeh" tidak mau lockdown semakin membesar. Selain Walikota Tegal dan Gubernur Papua, protes juga datang diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa Kepala Daerah. Sementara penyebaran covid-19 makin hari semakin tinggi angkanya. Sudah tembus di angka ribuan. Sampai dengan Jum’at 27 Maret kemarin yang positif Covis-19 sudah mencapai 1046 orang. Dari jumlah tersebut, 87 orang diantaranya meninggal dunia. Masifnya gelombang protes dan makin tingginya angka yang positif Covid-19 membuat Presiden mulai bimbang dengan keputusannya sebelumnya. Kali ini, Mahfuz MD sepertinya mendapat tugas khusus menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai dasar untuk melakukan lockdown lokal. Apakah ini artinya pemerintah pusat sudah give up? Lalu menyerahkan tanggung jawab ini ke masing-masing Pemerintahan Daerah? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Corona Mengkonfirmasi Jokowi Gagal Sebagai Leader

Tampak bahwa lambannya penanganan corona ini adalah persoalan kepemimpinan. Pemimpin harus punya leadership yang kuat. Juga harus mampu membaca arah masalah akan ke mana? Seperti apa nantinya? Dari persoalan meluasnya wabah Covis -19 ini, terkonfirmasi bahwa Jokowi gagal untuk tampil sebagai seorang leader yang baik untuk bangsa dan rakyatnya sebagaimana yang diperintahkan oleh konstitusi. By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (28/03). Awal Februari 2020, ketika wabah virus Corona belum berstatus pandemi, tetapi sudah mulai menyebar ke banyak negara, persiapan apa yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi? Alih-alih menyiapkan langkah-langkah penting untuk menahan virus Corona, Jokowi malah sibuk dengan mengebut pembahasan Omnibus Law dan proyek Ibukota baru. Ketika negara-negara lain mulai melakukan pembatasan masuk-keluar negara terhadap warga negara asing, Jokowi justru antusias memberikan insentif pariwisata. Ketika dunia internasional melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah untuk prediksi kekuatan wabah di berbagai negara, para pendukung can orang-orang inner circle Jokowi malah membuat pernyataan nyeleneh yang tidak ilmiah. Seharusnya Jokowi mengajak rakyat, dan mengkoordinasikan daerah-daerah untuk bersiap diri hadapi datangnya wabah Corona. Sayangnya PP yang mengatur teknis pelaksanaan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan belum juga disiapkan Jokowi. Padahal undang-undang tersebut sudah dua tahun lalu. Sebenarnya Jokowi bisa siapkan BUMN farmasi/kesehatan untuk uji test-kit dan produksi massal masker. Begitu juga dengan hand sanitizer dan Alat Pelindung Diri (APD) untuk dokter dan perawat. Seharusnya jauh-jauh sudah disiapkan hari agar rakyat tidak terbebani dengan harganya yang sekarang meroket saat ini. Juga tidak perlu impor. Seperti yang dilakukan India, yang sudah produksi tes kit dalam negeri. Kekurangan APD ini saat menjadi beban bagi mereka yang merawat pasien positif Covis-19. Minimnya APD ini begitu memberatkan. Sekarang terbukti, mengakibatkan banyak dokter dan perawat meninggal setelah tertular dari pasien yang positif Civis-19. Kesimpulannya, sejak awal kabar tentang wabah Corona Jokowi menganggap enteng. Meski Jokowi dan pemerintahnya sudah dingatkan banyak oleh pihak. Buktinya, Jokowi kini sangat jelas kegagapannya menghadapi kasus yang terus bertambah dari hari-ke hari. Sekarang, suka dan tidak suka Jokowi sudah terjebak dalam dilema ntara lockdown atau tidak. Semakin terlambat dalam mengambil keputusan, yang sehat bisa semakin banyak yang sakit. Dan yang sakit juga semakin banyak yang meningeal dunia. Tampak bahwa lambannya penangan corona ini adalah persoalan kepemimpinan. Pemimpin harus punya leadership yang kuat. Juga harus mampu membaca arah masalah akan ke mana? Seperti apa nantinya? Dari persoalan meluasnya wabah Covis -19 ini, terkonfirmasi bahwa Jokowi gagal untuk tampil sebagai seorang leader yang baik untuk bangsa dan rakyatnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh konstitusi. Kini rakyat harus berjuang masing-masing dalam melawan Corona. Rakyat banyak yang kehilangan pendapatan harian. Namun negara tidak yang mengasih uang ketika hilang pendapatan harian hilang. Karena mereka tidak lagi bisa berjualan atau narik ojek online harian. Tapi rakyat tetap harus kuat jika tidak mau negeri ini rusak parah. Jika pemimpin lalai, maka rakyatlah yang akan selamatkan negara. Sekarang kita tidak bisa apa-apa lagi. Rakyat harus jaga diri masing-masing ,dan banyak-banyak berdoa. Jangan terlalu berharap kepada negara. Kalau bisa bantulah orang yang masih perlu makan. Siapkan diri lahir bathin untuk situasi terburuk. Saya menyarankan agar ingatlah selalu 5T dan 2S, yaitu tinggal di rumah, tubuh selalu sehat, tangan sering dicuci, tes gejala corona, telusur pernah kontak. Ayo, stop penyebaran Corona untuk selamatkan hidup kita. Penulis adalah Managing Dierctor Indonesioa Future Studies (INFUS)

Kebijakan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Jum’at (27/03). Untuk mempertahankan perekonomian nasional, agar tidak jatuh dalam resesi berkepanjangan, kita memang perlu melakukan kebijakan counter cyclical yang kuat. Kuat dalam artian tidak tanggung-tanggung. Tidak tanggung-tanggung, karena memang yang dihadapi adalah peristiwa perekonomian yang luar biasa. Luar biasa disebabkan asal-muasal persoalannya bukan bersumber dari suatu krisis ekonomi. Tetapi bersumber dari peristiwa pandemic virus corona, Covid-19. Secara tiba-tiba, roda perekonomian terhenti, didalam maupun di luar negeri. Perekonomian secara tiba-tiba mengalami crash landing, dan mesti masuk kedalam ruang ICCU. Sampai- sampai kongres Amerika Serikat meloloskan paket ekonomi senilai US $ 2,2 trilliun. Terbesar pasca perang Dunia ke-2 hanya dalam waktu dua minggu. Demikian juga dengan Bank Sentralnya. The Federal Reserve, mengeluarkan kebijakan di luar pakem kebanksentralan melalui kebijakan Asset Purchase Program yang non limit, dan juga menyasar sektor riil. Saya pribadi mendengar ada pembicaraan di kalangan pengambil kebijakan yang mendiskusikan besaran paket kebijakan yang rentang nilainya berkisar Rp 200-400 Trilliun. Sejauh ini, Bank Indonesia sudah mengeluarkan tidak kurang Rp 300 trilliun dari cadangan devisa untuk mengatasi gejolak ekonomi. Seingat saya, sejak tahun 2004, ini adalah intervensi terbesar otoritas moneter yang dilakukan dalam satu kurun waktu yang sangat singkat. Yang dilakukan oleh BI itu adalah kebijakan jumbo untuk ukuran Indonesia. Apalagi jika betul-betul nantinya pemerintah dan DPR juga bersepakat mengeluarkan paket kebijakan yang nilainya setara dengan pengeluaran BI, yaitu Rp 300 Trilliun. Dengan mengasumsikan bahwa BI akan menggunakan secara optimal kekuatannya, maka dalam beberapa bulan ke depan, kita akan melihat suatu aksi kebijakan ekonomi bernilai Rp 500-600 trilliun. Jumlah yang sangat besar. Mari kita pikirkan soal ini dengan tenang dan kepala dingin. Dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana. Misalnya, untuk apa kebijakan itu? Kepada siapa saja kebijakan itu ditujukan? Dan sampai kapan lamanya? Pertanyaan pertama berhubungan dengan argumentasi yang mendasari kebijakan tersebut. Pertanyaan kedua menyoal “ keberpihakan kebijakan “. Dan pertanyaan ketiga enduransi kebijakan. Karena kebijakan yang akan diambil itu merupakan kebijakan defisit, dan karenanya akan berhubungan dengan hutang baru. Ini sudah tentu akan mengundang polemik. Maka argumen dasarnya haruslah solid dan transparan. Diketahui oleh publik. Solidnya argumentasi itu, terletak pada keyakinan bahwa, itulah cara terbaik dan satu-satunya jalan yang mesti diambil. Tujuannya untuk mencegah pemburukan ekonomi yang dalam. Suatu keadaan perekonomian yang sulit dan akan lebih mahal untuk recovery. Jadi, argumentasi ini haruslah merupakan jawaban untuk menghentikan pendarahan lebih lanjut perekonomian nasional. Selian itu, memberi kesempatan kepada fungsi-fungsi perekonomian untuk kembali dapat berfungsi secepat mungkin. Tidak boleh ada argumentasi lain. Dengan demikian, besaran anggaran yang diperlukan juga merupakan cerminan dari keyakinan argumentatif tersebut. Atau dengan kata lain, besaran biaya yang dikeluarkan haruslah sebanding atau lebih besar dari resiko yang akan dihadapi. Kepada siapa kebijakan itu ditujukan. Dalam hal ini, otoritas mesti jernih betul dalam soal keberpihakan. Tentu saja publik sangat tidak menghendaki kebijakan yang berbau krisis 1998. Yang menjadi korban utama dalam krisis ini adalah perekonomian sektor riil. Lebih terangnya adalah perekonomian rakyat sehari-hari. Dalam kategorisasi sektor, yang terpukul keras itu adalah sektor UMKM. Memang ada pukulan kuat juga pada sektor pariwisata, perhotelan, transportasi dan sektor makanan, khususnya restoran dan warung-warung rakyat. Tetapi jangan dilupakan bahwa sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kebanyakan menderita sangat berat. Ke titik-titik inilah seharusnya yang menjadi titik berat keberpihakan kebijakn ekonomi. Saya malahan beranggapan, inilah saat yang tepat untuk mereposisi struktur perekonomian nasional. Mendorong keseimbangan baru, dimana peran perekonomian UMKM menjadi lebih kuat. Sektor-sektor produktif ekonomi rakyat kebanyakan itu yang harus diperkuat habis-habisan. Now or Never. Dalam bahasa yang lebih terang. Tidak usah khawatir dengan korporasi besar. They have plenty of money and plenty of chances. Infrastruktur penguasaan aset-aset mereka solid dan sanggup merestrukturisasi dirinya dengan banyak pilihan strategik. Yang tidak kalah pentingnya adalah soal enduransi kebijakan. Sistem fiskal kita bersifat tahunan. Karena itu, menjadi kritikal untuk juga menyertakan perspektif daya ungkit kebijakan ekonomi yang akan diambil nantinya. Kebijakan ekonomi berskala besar yang akan diambil untuk mengatasi ketiba-tibaan krisis yang dihadapi, menyebabkan kebijakan itu dituntut untuk sekaligus juga merupakan exit strategy bagi langkah-langkah pemulihan lanjutan di tahun fiskal berikutnya. Memfokuskan diri pada strategi “bantalan” ( cushion ) akan berdampak pada kemungkinan biaya mahal yang tidak efektif. Kuncinya, kebijakan bauran yang meliputi penanganan jangka pendek terhadap shock perekonomian, khususnya ekonomi rumah tangga dan UMKM. Dengan alokasi maksimum untuk menangani sumber persoalannya, yaitu pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, menyiapkan landasan kebijakan untuk tahun fiskal berikutnya, yang mencerminkan upaya untuk memulihkan fungsi-fungsi perekonomian. Dalam hal ini, pelebaran defisit dilakukan secara bijak dengan tidak menumpuknya hanya di tahun ini. Namun juga disebar ketahun depan. Ringkasnya, kapasitas pembiayaan defisit tidak dihabiskan dalam tahun fiskal ini saja tapi juga dipersiapkan untuk tahun berikutnya. Dengan begitu, struktur hutang tetap dalam batas yang bisa dikendalikan. Enduransi ini diperlukan di tengah ketidak pastian ekonomi global. Pemulihan ekonomi global sangat bergantung pada kemampuan adaptif manusia dan para pengambil kebijakan, dalam mengatasi pandemi corona ini. Sifat mobilitas dan interaksi manusia, yang menjadi dasar bagi perekonomian global adalah korban utama dari pandemi Covid-19. Tentunya, Selain nyawa manusia. Semoga Allah SWT menolong bangsa dan negara kita keluar dari situasi krisis ini. Wallahu ‘alam bissawab. Penulis adalah Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Sikap dan Himbauan Guru Besar FKUI Kepada Jokowi

Jakarta, 26 Maret 2020 Kepada Yth. Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. H. Joko Widodo Di tempat Himbauan Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Bagi Pemerintah Indonesia Terkait Penanganan Infeksi COVID-19 Situasi COVID-19 di Indonesia. Per- tanggal 24 Maret 2020, terdapat 790 kasus positif infeksi COVID-19 di Indonesia dengan proporsi terbanyak ditemukan di ibukota negara kita, Jakarta (463 kasus). Angka kematian/mortalitas di Indonesia sendiri saat ini mencapai 58 kasus, dengan jumlah pasien yang sembuh adalah 30. Dengan demikian, Indonesia berada pada ranking-5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi ke-5 di dunia.1 Berkaca dari negara-negara lain, dengan adanya perkembangan uji diagnostik, maka jumlah kasus positif di Indonesia akan terus bertambah secara eksponensial. Mengatasi pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia, maka seluruh pemerintah, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga terkait, tenaga kesehatan di seluruh lapisan fasilitas kesehatan, beserta masyarakat harus dapat bekerja sama, secara terintegrasi dan multi-disiplin dalam memerangi virus COVID-19 ini. Indonesia bisa mengambil pelajaran dari negara Korea Selatan yang membuat kebijakan agar semua orang yang pernah terpapar atau kontak dengan pasien positif COVID-19 untuk diperiksa dengan cara mendirikan drive-hru tempat pengecekan COVID-19 secara massal, sehingga semua orang dapat di-swab dan hasilnya akan diberitahu 2-3 hari kedepan. Hasilnya secara transparan akan diberi tahu kepada pasien dan juga data tersebut diambil oleh negara. Lebih lanjut, apabila pasien tersebut positif, maka distrik/ daerah tersebut akan diberi notifikasi oleh negara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi COVID-19. Secara nasional, pemerintah Korea Selatan melarang semua aktivitas dengan jumlah massa yang banyak, perkumpulan-perkumpulan, menggalakan work from home, menggunakan alat telekomunikasi dan internet secara maskimal, memberi edukasi etika bersin, etika batuk, serta cuci tangan sesering mungkin. Di Korea Selatan pun terjadi lonjakan jumlah masyarakat terinfeksi COVID-19, namun jumlah kematian tidak seperti negara-negara lain (0.69%). Di Korea Selatan, apabila pasien tersebut stabil dan tidak ada keluhan, maka mereka menjalankan self-isolation dan social distancing pada diri mereka sendiri, termasuk menjauhi keluarga mereka yang tidak terinfeksi COVID-19. Apabila mereka memiliki gejala berat, mereka dapat dirawat di Rumah Sakit besar khusus infeksi COVID-19, sehingga tidak dicampur dengan pasien non-infeksi COVID-19. Ada pula rumah sakit lokal dimana mereka dapat merawat pasien infeksi COVID-19 dengan gejala ringan. Selain pembatasan perjalanan ke dalam dan luar negeri, produksi masker di Korea Selatan pun ditingkatkan, sehingga baik tenaga kesehatan maupun masyarakat tidak kekurangan alat pelindung diri (APD), tentunya dengan harga normal. Ketersediaan alat-alat di rumah sakit juga memiliki peran penting, terutama pada pasien infeksi COVID-19 berat.2-3 Pada umumnya, herd immunity bisa tercapai bila populasi terinfeksi sekitar 70%. Artinya 270 juta x 70% = sekitar 189 juta orang. Kalau rerata CFR di dunia adalah 3%, maka harus ada sekitar 5-6 juta jiwa. Sementara saat ini CFR Indonesia adalah 8-10% ditambah lagi dengan Indonesia adalah negara yang luas dan banyak kepulauan, tentu akan sulit pemantauan dan prediksinya. Skenario ini adalah apabila populasi terinfeksi sekitar 70%, bagaimana kalau 90% populasi terinfeksi dengan CFR 8%? Berapa juta orang akan jatuh sakit dan meninggal karena infeksi ini? Kalau pakai asumsi di atas, dan kita pakai CFR dunia sebagai CFR Indonesia, maka dengan jumlah kematian sekarang 55, artinya jumlah kasus sebenarnya (55x100)/4,3=1279 kasus. Sehingga, kemungkinan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia saat ini adalah sekitar 1300 KASUS. Fasilitas kesehatan kita tidak siap dan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani jumlah pasien COVID-19. Dengan episentrium infeksi saat ini di Jabodetabek dan Surabaya saja fasilitas kesehatan kita masih memiliki kesulitan untuk mendapatkan APD. Selain itu, ketersediaan alat bantu pernapasan hanya terbatas di beberapa RS saja, menghasilkan CFR yang tinggi. Sulit dibayangkan apabila daerah Papua dengan fasilitas kesehatan yang minim terinfeksi COVID-19. Saat ini, studi menyatakan hanya tersedia 2 bed ICU (Intensive Care Unit) setiap 100.000 populasi di Indonesia.4 Hal ini merupakan proporsi terendah di Asia. Bayangkan apabila infeksi ini meluas di Indonesia! Bukan hanya masyarakat yang akan menjadi korban, tetapi tenaga kesehatan garis depan pun satu per satu akan berguguran. Sungguh tragis. Apakah lockdown dapat Menjadi salah satu alternatif bagi Indonesia? Melihat dari negara-negara lain, partial atau local lockdown mungkin dapat menjadi pilihan bagi Indonesia. Apa itu local lockdown? Local lockdown merupakan sebuah langkah menutup sebuah wilayah/ provinsi yang sudah terjangkit infeksi COVID-19, dengan demikian diharapkan dapat memutuskan rangkai penularan infeksi baik di dalam maupun diluar wilayah. Local lockdown disarankan dilakukan selama minimal 14 hari. Local lockdown pun akan memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di RS (SDM, APD, fasilitas RS). Pelaksanaan lockdown dan aturan pembatasan aktivitas sosial yang ketat di Provinsi Hubei, Cina telah terbukti efektif menurunkan kasus sebesar 37% lebih rendah dibandingkan kota lain yang tidak menerapkan sistem ini. Sebelum pemberlakuan lockdown, para peneliti memperkirakan SARS-CoV2 akan menginfeksi 40% populasi Cina atau sekitar 50 juta penduduk, atau 1 pasien terinfeksi akan menularkan virus ke 2 orang atau lebih. Namun pada minggu pertama lockdown, angka ini turun menjadi 1.05. Hingga pada tanggal 16 Maret 2020, WHO mencatat 81.000 kasus di Cina. Simulasi model oleh Lai Shengjie dan Andrew Tatem dari University of Southampton, UK menunjukkan, jika sistem deteksi dini dan isolasi ini diberlakukan 1 minggu lebih awal, dapat mencegah 67% kasus, dan jika diimplentasikan 3 minggu lebih awal, dapat memotong 95% dari jumlah total yang terinfeksi. Studi Wells et al menunjukkan pada 3,5 minggu pertama penutupan wilayah dapat mengurangi 81,3% kasus infeksi ekspor. Penurunan ini sangat berguna untuk daerah yang masih belum atau minimal terjangkit untuk melakukan koordinasi sistem kesehatan.5,6,7 Opsi lockdown lokal/ parsial perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia, melihat upaya social distancing belum konsisten diterapkan di masyarakat, masih terjadi kepadatan di beberapa transportasi publik, sebagian tempat wisata tetap dikunjungi, sebagian perkantoran, tempat makan, taman terbuka, dan pusat perbelanjaan tetap beraktivitas. Situasi ini dapat menjadi lebih buruk dan tidak terhindarkan dengan adanya arus mudik pada bulan Ramadhan. Melandaikan kurva dan memperlambat proses penularan Covid-19 merupakan hal yang paling krusial karena sistem kesehatan kita saat ini belum mampu menerima beban kasus infeksi Covid-19 yang masif.8 Namun, perlu diperhatikan bagaimana dengan pekerja yang mendapatkan upah dengan kerja harian. Negara perlu menjamin hajat hidup minimal warga miskin selama minimal 2 minggu karena kegiatan perekonomian akan lumpuh total! Mari kita hitung apabila Jakarta melakukan local lockdown dengan total penduduk 9,6 juta: Makan 3x sehari dengan asumsi: o Makan pagi: Rp 5.000,00 o Makan siang: Rp 10.000,00 o Makan malam: Rp 10.000,00 ▪ Total untuk makan adalah Rp 25.000,00 (untuk membeli beras, tahu, telor, per orang) o Untuk 1 hari, di Jakarta: 9,6 juta x Rp 25.000,00 = Rp 240.000.000.000,00 o Untuk 14 hari di Jakarta: Rp 3.360.000.000.000,00 = 3.3 Trilyun Kebutuhan listik/orang/hari kira-kira Rp 4.543,00 o Untuk 1 hari, di Jakarta: 9,6 juta x Rp 4.543,00 = Rp 43.000.000.000,00 o Untuk 14 hari di Jakarta: Rp 610.000.000.000,00 = 610 Milyar Kebutuhan air/orang/hari kira-kira Rp 735,00 o Untuk 1 hari, di Jakarta: 9,6 juta x Rp 735,00 = Rp 7.000.000.000,00 o Untuk 14 hari di Jakarta: Rp 98.000.000.000,00 = 98 Milyar Total Dana 14 hari di Jakarta: Rp 4 Trilyun Total Penerimaan Pajak Indonesia Per-November 2019: Rp 1.312,4 Trilyun Dengan penghitungan demikian, maka rasanya mungkin apabila melakukan local lockdown demi mencegah penularan COVID-19 lebih lanjut. Pengembalian sebagian uang pajak dari rakyat untuk rakyat dengan adanya kejadian pandemi seperti ini merupakan tindakan yang wajar. Semoga hal ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan sedikit keringanan biaya hidup dasar 14 hari bagi masyarakat Indonesia. Penyediaan alat pelindung diri (APD) yang cukup untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan, terutama RS pemerintah. Ketersediaan APD yang cukup sangat penting dalam kondisi pandemi COVID-19 untuk para tenaga medis. Bila APD tidak tersedia cukup ditakutkan akan berdampak buruk bagi tenaga kesahatan maupun pelayanan kesehatan yang diberikan di Indonesia. Seperti dilansir dari KOMPAS, 24 Maret 2020, presiden RI menyatakan bahwa pemerintah pusat memang telah mendistribusikan 105.000 APD melalui pemerintah daerah (pemda).9 Namun, perlu diingat bahwa suplai dan kebutuhan APD selama pandemi COVID-19 adalah hal yang dinamis. Penanganan kasus kekurangan APD oleh pemerintah RI dapat mencontoh tindakan negara lain. Kelangkaan APD di Inggris membuat tenaga kesehatan, termasuk dokter di negara tersebut mengancam untuk tidak melanjutkan tugas mulianya.10 Kekurangan suplai APD di Inggris langsung direspon oleh National Health Service United Kingdom (NHS UK). Pihaknya menyediakan nomor telepon hotline yang aktif 24 jam sehari untuk pelaporan langkanya APD. Pelaporan dapat dilayangkan juga melalui email.11 Dalam surat pernyataannya, NHS UK menyediakan layanan antar dan dukungan penyediaan APD 24 jam sehari selama 7 hari seminggu. Hal ini dilakukan NHS UK untuk memastikan staf medis dalam kondisi aman. Dalam satu hari, NHS UK mengirimkan 2,6 juta masker medis dan 10.000 hand sanitizer ke fasilitas pelayanan kesehatan di London saja. Penyediaan APD tersebut juga dilakukan untuk praktik klinik mandiri, dokter gigi, apotek, panti asuhan, dan panti jompo.11 ​Indonesia dapat belajar dari kejadian yang ada di negara lain. Hal ini penting demi tersedianya APD yang cukup untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan, terutama RS pemerintah. RS swasta perlu juga diberikan akses untuk membeli APD dengan harga yang pantas. Aturan yang sangat tegas untuk diam di rumah. Isolasi mandiri dengan cara diam di rumah sudah dibahas di berbagai studi. Dengan tingkat kepatuhan tinggi (> 70%) berdasarkan 16 penelitian, karantina di rumah efektif dalam memperlambat penyebaran penyakit. Terdapat beberapa laporan kasus penyebaran virus SARS-CoV-2 dari individu asimtomatik (tanpa gejala) maupun presimtomatik (dengan gejala yang belum muncul).12 Banyak individu di Indonesia yang kemungkinan besar sudah terpapar kasus positif COVID-19 di tempat umum maupun di rumah. Dengan karantina 50% individu terpapar saja, dapat berdampak pada penurunan jumlah kasus selama epidemic peak sebanyak 25%, serta penundaan epidemic peak tersebut sekitar 1 minggu.13 Namun, lebih dari 500 akademisi di dunia menyatakan bahwa pembatasan sosial (social distancing) tidak cukup untuk mengontrol penyebaran infeksi SARS-CoV-2, sehingga yang dibutuhkan ialah tindakan pembatasan yang lebih lanjut.13 Aturan tegas perlu diberlakukan untuk membuat rakyat tetap diam di rumah selama periode pembatasan sosial ini. Denda spesifik diberikan untuk setiap individu maupun perusahaan yang melanggar. Kerjasama dan koordinasi Pemerintah seluruh elemen masyarakat (seperti TNI, POLRI, pemimpin daerah, pemuka agama, tokoh adat) sangat dibutuhkan sehingga menjadi gerakan sosial. Pelajaran akibat keterlambatan dan ketidakdisiplinan dalam penerapan social distancing dari negara Italia dan Iran, menyebabkan jumlah kesakitan dan kematian yang meningkat drastis dalam hitungan hari. Di Australia, individu didenda AU$ 1.000 dan perusahaan juga didenda AU$ 5.000 jika melanggar peraturan isolasi mandiri yang dikeluarkan pihak negara bagian New South Wales. Pelanggar peraturan juga dapat diberikan sanksi penjara maksimal 6 bulan. Untuk menegakkan peraturan tersebut, 70.000 polisi dikerahkan untuk patroli dan pemeriksaan acak di beberapa lokasi di masyarakat. Dalam kegiatan patrolinya, pihak berwenang juga dilengkapi dengan masker dan alat pelindung diri (APD).14 Saat ini kementerian kesehatan RI (Kemenkes RI) telah mengeluarkan protokol isolasi mandiri yang berpotensi menjadi acuan peraturan yang tegas. Jika diterapkan di Indonesia sesegera mungkin, hal ini dapat membuat efek jera terhadap pelanggar peraturan dan juga menurunkan jumlah kasus saat epidemic peak COVID-19 di Indonesia. ​Rencana mitigasi dan rencana strategis penanganan pasien suspek dan terkonfirmasi COVID-19 di fasilitas kesehatan primer dan rumah sakit di Indonesia. ​Jumlah kasus COVID-19 yang diperkirakan semakin meningkat secara eksponensial di berbagai daerah di Indonesia, dengan perkiraan 30% kasus masih belum terdiagnosis (underdiagnosed) di tengah masyarakat dan sekitar 8% kasus berat yang membutuhkan perawatan intensif, akan menjadi beban masif rumah sakit baik rujukan maupun non rujukan. Daya tampung, fasilitas, dan sumber daya rumah sakit di Indonesia saat ini tidak sanggup menerima ledakan kasus ini. Rumah sakit memiliki keterbatasan obat –obatan , APD, ruang isolasi, ruang perawatan intensif, dan mesin ventilator tidak memadai, Saat ini, studi menyatakan hanya tersedia 2 bed ICU (Intensive Care Unit) setiap 100.000 populasi di Indonesia. Sumber daya tenaga kesehatan dan tenaga penunjang sangat terbatas, ditambah lagi dengan tingginya jumlah tenaga medis yang terinfeksi bahkan meninggal akibat virus korona ini. Data di Jakarta sendiri menunjukkan sekitar 42 orang (11,8%) dari 355 positif Covid-19 adalah tenaga kesehatan. Hal ini menjadi ironis karena tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam penanganan infeksi Covid-19. Solusi untuk masalah ini adalah rencana strategis mitigasi pasien suspek dan positif corona dengan membagi perawatan pasien menjadi sebagai berikut : - Pasien ODP dilakukan perawatan di rumah dengan pemantauan ketat dari Puskesmas domisili tempat tinggal melalui sistem telekomunikasi tidak langsung telpon, whatsapp, video call maupun pengawasan secara langsung dengan protokol yang ketat dan terstruktur, di bawah koordinasi/ pengawasan Dinas Kesehatan setempat, pemeriksaan diagnostik dan pengobatan dilakukan melalui kunjungan rumah oleh tim lapangan - Pasien PDP ringan hingga sedang dilakukan perawatan di RS darurat COVID-19 seperti Wisma Atlit atau RS darurat lain yang ditunjuk Pemerintah. - Pasien PDP berat yang memerlukan perawatan intensif atau pengawasan ketat dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19 yang sudah ditunjuk dan dilengkapi dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai Usulan rencana penguatan sistem pelayanan kesehatan : - Selain memperkuat RS rujukan Pemerintah, perlu diperhatikan pula kesiapan dan ketersediaan sarana dan fasilitas serta SDM di RS swasta karena pasien juga sudah mulai berdatangan ke rumah sakit-rumah sakit swasta. Kebutuhan akan tenaga yang kompeten dan sarana fasilitas serta APD perlu dilengkapi - Sistem penyangga (perimeter) untuk mendukung tenaga medis covid-19 juga perlu diperhatikan seperti petugas ambulans, pemulasaraan jenazah dan pemakaman, petugas telpon, call center, pengelola website dan networking, petugas IT, listrik dan air sehingga diperlukan kerjasama lintas sektor. - Perlu diadakan asuransi khusus untuk tenaga kesehatan dan penunjangnya, misalnya dari BPJS Tenaga Kerja sebagai jaminan risiko adanya penyakit akibat kerja. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan jaringan RS di Indonesia untuk membangun sistem networking hospital dan ICU network khusus Covid-19 yang bisa diakses secara online dan saluran hotline 24 jam supaya tenaga kesehatan dapat melakukan alokasi atau rujukan pasien dapat berjalan dengan lancar dan beban rumah sakit dapat merata. Koordinasi yang baik antar kementerian dan lembaga-lembaga terkait sangat diperlukan agar pelaksanaan di lapangan menjadi lebih terarah dan terlaksana dengan baik Dalam pengambilan keputusan seyogyanya berbasis bukti (Evidence based) dan melibatkan para pakar di bidangnya, termasuk ahli komunikasi masyarakat Sumber Referensi: CEBM. Global Covid-19 Case Fatality Rates. 2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from: https://www.cebm.net/global-Covid-19-case-fatality-rates/ Commitment, transparency pay off as South Korea limits COVID-19 spread. 2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from: https://www.euractiv.com/section/coronavirus/news/commitment-transparency-pay-off-as-south-korea-limits-Covid-19-spread/ South Korea, a model in the fight against Covid-19 thanks to its people. 2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from: http://www.asianews.it/news-en/South-Korea,-a-model-in-the-fight-against-Covid-19-thanks-to-its-people-49605.html. Reuters. Indonesia's health system on the brink as coronavirus surge looms. 2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from: https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-indonesia-response-idUSKBN21C0J6 Cyarsnoski D. What China’s coronavirus response can teach the rest of the world.Scientifi Reports Nature Research. 17 March 2020. Available at : https://www.nature.com/articles/d41586-020-00741-x#ref-CR2 6.Wells C, Sah P, Moghadas SM, Pandey A, Shoukat A, et al. Impact of international travel and border control measures on the global spread of the novel 2019 coronavirus outbreak.PNAS.2020. Available at : https://www.pnas.org/content/early/2020/03/12/2002616117 Tian H, iu Y, Li Y, Wu CH, Chen B, Kraemer M, Li B, et al. The impact of transmission control measures during the first 50 days of the COVID-19 epidemic in china.Medrxiv. 2020.Available at: https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.01.30.20019844v2?versioned=true Parmet WE, Sinha MS. Perspective : Covid-19-the law and limits of quarantine. N Engl J Med.2020. KOMPAS. Jokowi Minta Pemda Segera Distribusikan APD ke Rumah Sakit [Internet]; Jakarta, ID: KOMPAS; 2020 [updated 2020 Mar 24; cited 2020 Mar 25]. Available from: https://nasional.kompas.com/read/2020/03/24/18235971/jokowi-minta-pemda-segera-distribusikan-apd-ke-rumah-sakit. The Guardian. Doctors threaten to quit NHS over shortage of protective kit | World news | The Guardian [Internet]; United Kingdom: The Guardian; 2020 [updated 2020 Mar 24; cited 2020 Mar 25]. Available from: https://www.theguardian.com/world/2020/mar/24/doctors-threaten-to-quit-over-protective-equipment-shortage. National Health Service UK. Guidance on supply and use of Personal Protective Equipment (PPE). United Kingdom: National Health Service UK; 2020 Yuen KS, Ye ZW, Fung SY, Chan CP, Jin DY. SARS-CoV-2 and COVID-19: The most important research questions. Cell Biosci. 2020; 10: 40. doi: 10.1186/s13578-020-00404-4 Mahtani KR, Heneghan C, Aronson JK. What is the evidence for social distancing during global pandemics? A rapid summary of current knowledge. Oxford COVID-19 Evidence Service[serial on the internet]. 2020 [cited 2020 Mar 25]; [about 9 p.]. Available from: https://www.cebm.net/what-is-the-evidence-for-social-distancing-during-global-pandemics-a-rapid-summary-of-current-knowledge/. Thomas S, Nguyen K. Coronavirus social distancing breaches could lead to fines and jail time, NSW Police announces [Internet]; Australia: ABC News; 2020 [updated 2020 Mar 25; cited 2020 Mar 25]. Available from: https://www.abc.net.au/news/2020-03-25/nsw-police-will-fine-breaches-for-coronavirus-social-distancing/12089732. Hormat kami, Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Republik Indonesia, Prof. DR.dr Siti Setiati, SpPD, K-Ger, MEpid, FINASIM Tembusan : Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19

Jangan Ada Kematian Massal di Negeri +62 Ini

Teringat sebuah tulisan dari keluarga Deny, seorang pejabat eselon satu yang meninggal karena covid-19: "Please don't get sick, they do not know how to handle us. This is scary”. "Mohon jangan sakit. Mereka (tenaga medis) tidak tahu bagaimana menangani kita”. Ini sangat mengerikan. By Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (27/03). Pagi ini, yang positif Covid-19 di Indonesia di angka 893 orang. Yang meninggal sudah 78 orang. Dan yang sembuh 35 orang. Dari data ini, tiga hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, trend angkanya terus naik secara signifikan. Kedua, angka kematian di atas 8 persen. Ketiga, jumlah yang mati lebih besar dari yang sembuh. Dua kali lipat lebih. Bandingkan dengan kasus covid-19 di tingkat global. Ada 528.960 kasus. Yang meninggal 23.963 orang. Sekitar 4 persen. Dan yang sembuh sebanyak 123.366 orang. Lima kali lipat dari angka kematian. Apakah Indonesia harus lockdown? Rasa-rasanya tak mungkin. Meski banyak pihak telah mendesak. Namun lockdown itu kewenangan Pemerintah Pusat. Presiden berulangkali menegaskan: “tak akan ada lockdown”. Bahkan keputusan ini diucapkan di hadapan para kepala daerah. Jadi, clear. Presiden tegas bahwa tak akan ada lockdown. Kendati ada perangkat undang-undangnya, yaitu UU No. 6 Tahun 2018 tentang karantina. Lockdown nampaknya bukan pilihan. Masalahnya bukan karena tak tersedianya aturan, tapi lebih karena petimbangan faktor ekonomi. Pemerintah gak siap. Lalu? Presiden sedang buka donasi. Menteri Keuangan lagi menyiapkan rekening. Berharap rakyat mau nyumbang. Terutama orang-orang kaya yang sedang lari ke Singapore. Gak apa-apa di Singapore, yang penting duitnya tetap di Indonesia, dan syukur-syukur mau donasi. Semoga orang-orang melarat nantinya ikut kebagian dan merasakan uang hasil donasi itu. Untuk sementara, pemerintah menghimbau rakyat stay at home. Diam di rumah. Apakah himbauan ini efektif? Untuk mereka yang punya tabungan cukup, diam di rumah bukan masalah. Tetapi bagi kaum miskin? Ini sangat serius. Mati di jalanan karena terinfeksi covid-19 lebih terhormat karena nyari nafkah buat keluarga, daripada mati kelaparan di rumah. Lihat berbagai video soal keberanian orang-orang miskin itu yang viral di medsos. Sama sekali gak nampak rasa takut dalam diri mereka. Orang miskin gak takut mati. Yang takut mati itu orang kaya. Kira-kira seperti itulah ungkapan mereka. Walaupun sesungguhnya mereka takut mati juga. Hanya saja, kelaparan yang membuat mereka abai terhadap rasa takut itu. Bagi mereka, yang setiap harinya makan dari penghasilan harian, imbauan stay di rumah nggak akan efektif. Baru efektif kalau pemerintah hadir dan memberi makan untuk mereka. DKI sudah siapkan 1,1 juta per keluarga. Pusat berapa? Nah, disinilah letak persoalannya. Kalau pemerintah pusat punya kemampuan ngasih makan rakyat, beberapa pekan lalu mungkin sudah diputuskan lockdown. Bangun kereta cepat Jakarta-Bandung, jalan tol, bandara dan pelabuhan mampu kok, mosok ngasih makan rakyat nggak mampu? Bangun ibukota baru aja ada anggarannya, mosok untuk subsidi rakyat nggak ada anggarannya? Tentu, pemerintah punya kalkulasi sendiri. Soal rakyat nggak paham, itu persoalan yang nomor 13. Jika instruksi stay at home dari Pemerintah Pusat tak efektif untuk rakyat miskin, bagaimana nasib mereka ke depan terkait penyebaran covid-19 yang semakin mengganas? Teori "organisme biologis" atau "Herd Imunity" berlaku disini. Bagi yang imunnya kuat, mereka akan bertahan hidup. Bagi yang lemah imunnya? Anda akan memberi nasehat: bawa ke rumah sakit. Emang rumah sakit terima? Emang rumah sakit masih muat ruang isolasinya? Sabar! Wisma Atlet sedang disulap jadi ruang isolasi. Teringat sebuah tulisan dari keluarga Deny, seorang pejabat eselon satu yang meninggal karena covid-19: "Please don't get sick, they do not know how to handle us. This is scary”. "Mohon jangan sakit. Mereka (tenaga medis) tidak tahu bagaimana menangani kita”. Ini sangat mengerikan. Kalimat ini ditulis atas keprihatinan keluarga atas penanganan rumah sakit terhadap almarhum Deny. Lempar sana lempar sini dengan masa tunggu cukup lama. Hingga akhirnya, pek... Deny pun meninggal. Kenapa ini terjadi? Karena keterbatasan tenaga, alat dan ruang. Ini pejabat loh. Kebayang jika kuli panggul yang sakit. Pek... Mati di emperan toko, seperti yang terjadi di Petogogan. Semoga rakyat Indonesia, terutama kaum miskin, punya daya tahan tubuh yang lebih kuat, sehingga tak ada kematian massal di negeri +62 ini. Karena pada akhirnya, nyawa anda itu urusan anda sendiri. Bukan urusan Pemerintah Pusat. Bukan pula urusan para anggota DPR yang saat pemilu tahun lalu berhasil membujuk anda untuk memilih mereka. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa