NASIONAL

Corona Membuat Jokowi Digugat Enggal ke Pengadilan

By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN – Rabu (01/04). Teror virus Corona di Indonesia memasuki babak baru. Seorang pemuda bernama Enggal Pamukty mewakili kelompok UMKM (pedagang eceran) mengajukan gugatan Class Action kepada Presiden Jokowi. Enggal menganggap orang nomor satu di Indonesia tersebut telah melakukan kelalaian fatal yang mengancam nyawa 260 juta rakyat Indonesia. Gugatan Enggal didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakpus pada hari Kamis 1 April 2020. Ditemui seusai pendaftaran gugatan di PN Jakpus, saudara Enggal mengkonfirmasi pernyataan tersebut. "Kabar itu betul. Bahwa saya menggugat Presiden Jokowi karena kelalaiannya yang fatal dalam penanganan teror virus Covid-19, “ujar Enggal. Enggal mengatakan, bahwa tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah pusat sejak awal dalam menghadapi ancaman virus corona merebak di Wuhan Cina “sangat melecehkan akal sehat”. Juga sangat membahayakan nyawa jutaan rakyat dengan kebijakan yang gila dan primitif. Misalnya, dengan program mendatangkan turis saat teror Covid-19 masih berlangsung. Begitu juga dengan kebijakan mendatangkan Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang ilegal itu. "Tiongkok sejak awal berani menutup Kota Wuhan dan sekaligus Provinsi Hubei yang berpenduduk 54 juta untuk memerangi teror virus Covid-19. Langkah penutupan itu tanpa memikirkan kerugian ekonomi. Bagi pemerintah Tiongkok nyawa rakyatnya jauh lebih daripada investasi. Ini yang tidak kita lihat pada kebijakan pemerintah Jokowi. Jokowi lebih mementingkan kepentingan investasi dan pariwisata di saat wabah dahsyat Covid-19. Langkah ini bukan hanya melecehkan akal sehat, tetapi juga mendatangkan malapetaka besar bagi bangsa Indonesia. Kita Indonesia jadi bahan olok-olokan dunia Internasional. Sebab pada saat yang sama, negara-negara lain di dunia justru menutup negaranya dari masuknya turis. Seperti diketahui, teror virus Covid-19 menjadi isu nomor wahid di seluruh dunia. Kedahsyatannya digadang-gadang sebagai wabah terbesar dalam sejarah modern umat manusia. Bermula dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, Tiongkok. Kini virus corona sudah menyebar ke hampir 200 negara di dunia. Jumlah korban yang terjangkit lebih dari setengah juta kasus, dengan memakan korban jiwa 20.000 orang yang meninggal, hanya dalam 3 bulan. Teror Covid-19 juga telah membuat ekonomi banyak negara terpuruk. Termasuk Amerika Serikat selaku negara adidaya nomor satu dunia. Ancaman resesi sudah semakin mendekat di depan. Sangat sulit untuk bisa dihindari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bakal mengalami tekanan yang keras. Sejak awal Tiongkok menyadari bahwa satu-satunya cara menghentikan teror Covid-19 adalah dengan mengisolasi penduduk secepat mungkin. Kecepatan bertindak, kedisplinan serta tidak menganggap enteng ancaman virus corona menjadi rumus paten sejak awal. Begitu seriusnya pemerintah Tiongkok menerapkan rumus tersebut, hingga tak segan-segan untuk mengkarantina satu Provinsi Hubei, yang berpenduduk 54 juta selama hampir dua bulan. Tentu dengan kerugian ekonomi luar biasa besar. Dengan rumus di atas, Pemerintah Tiongkok berhasil menghindarkan rakyatnya dari malapetaka dan ancaman nyawa yang besar. Grafik kasus juga menurun drastis. Bahkan pernah menyentuh angka 0 kasus selama 3 hari beruntun. Kini rumus penanganan teror Covid-19 di Tiongkok telah dibagikan ke seluruh dunia dan menjadi pedoman semua negara. Sebagai pekerja harian, saya sangat merasakan dampak dari lambannya penanganan Pemerintah Pusat terhadap ancaman corona ini. Kalau saja Pemerintah Pusat sejak awal serius menangani teror Covid-19 ini, tentu saya dan kawan-kawan pedagang eceran dan UMKM masih bisa mencari nafkah sehari-hari. Lambannya penanganan oleh Pemerintah Pusat ini jadi bikin kami kehilangan pendapatan. Sementara pemerintah belum juga kasih solusi bantuan seperti apa kepada kami. Saya kecewa melihat awal-awal teror Covid-19. Sebab di televisi saya melihat ada menteri yang bisa becanda-canda. Sekarang kalau sudah begini pendapatan kami menurun sangat drastis. Bagaimana nasib kami? Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan akan menarik gugatan karena intimidasi pihak-pihak yang tidak senang dengan gugatan tersebut, Enggal menegaskan tidak akan mundur. “Saya tidak akan pernah mundur karena didukung mulai dari para dokter, perawat, ojol, taksol, pedagang-pedagang kaki lima”. “Mereka semua mendukung saya menggugat Jokowi, karena mereka pun terancam periuk nasinya. Jadi sampai titik darah penghabisan kita akan tuntut pemerintah untuk bertanggungjawab atas kerugian kami semua,“ kata Enggal. Penulis adalah Wartawan Yunior

Darurat Sipil? Apa Yang Mau Dilindungi Pak Presiden?

By Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (31/03). Corona yang tak terlihat bentuknya itu, memulai serangan mematikannya dari Wuhan, China. Perlahan tapi pasti, hampir negara di dunia menjadi sasaran serangannya. Sangat mematikan. Telah puluhan ribu orang mati. Apa senjatanya, apa strategi, apa taktiknya, dan bagaimana propagandanya, dan seterusnya, semuanya tak terlihat. Mahir menemukan sasaran, cepat dalam penetrasi, dan cekatan dalam mengobrak-abrik benteng pertahanan setiap orang. Itulah pasukan corona. Hebatnya tidak jelas siapa panglimanya? Tidak jelas juga siapa komandan tempurnya? Bagaimana garis komandonya? Itu pulalah pasukan corona ini. Sekali lagi, sangat mengerikan. Ini perang tanpa bentuk. Perang jenis ini paling sulit dihadapi. Ini perang paling berbahaya. Secanggih apapun mesin perang sebuah negara, selalu sulit menghadapi perang jenis ini. Itu sebabnya semua negara-negara top, ambil misalnya Inggris dan Amerika pun kewalahan. Sempoyongan, sejauh ini. Inggris dan Amerika yang dikenal jagoan mengubah tatanan dunia melalui perang dan krisis keuangan itu, tak bisa bersiasat. Tak bisa memanggil senjata hebat dari Arsenalnya menghadapi kepungan virus laknat ini. Rakyat kedua negara ini juga mati, karena virus jahannam ini. Kecenderungannya terus meningkat dari hari ke hari. Itu sebabnya diperlukan strategi dan taktik jitu menghadapi dan melumpuhkannya. Indonesia, harus diakui, sebenarnya telah memiiki senjata canggih, lengkap dengan strategi dan taktik teknis dan politik menghadapi perang ini. Semuanya tersedia dalam Arsenal yang bernama UU No. 6 tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-undang ini disiapkan oleh Presiden Jokowi dua tahun lalu. Undang-undang ini sangat antisipatif. Sangat hebat. Strategi sederhananya adalah begitu virus, pasukan ini mulai menyerang, pada tahap awal sekali pemerintah sudah harus buat perkiraan terhadap ini sumber serangan, jenis senjata (virus), level bahayanya, dan kecepatan serangannya. Lalu buat proyeksi atas efeknya terhadap keamanan “kesehatan masyarakat.” Bila virusnya telah teridentifikasi, kecepatan serangannya, ruang serangannya, dan efeknya terhadap Kesehatan masyarakat, maka pemerintah siapkan tindakan melawannya. Tindakan pertama adalah “Deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Setelah deklarasi ini, barulah dipertimbangkan tindakan-tindakan berikutnya. Tindakan berikutnya adalah melakukan pembatasan. Menurut undang-udang ini, namanya “karantina.” Termasuk pengertian karantina itu adalah “Pembatasan Sosial Berskala Besar.” Begitulah bangsa ini menyiapkan diri menghadapi musuh tak terduga itu. Virus yang hari ini dinamai corona, laknat ini. Undang-undang ini memerintahkan pemerintah menyiapkan segala kebutuhan dasar rakyat untuk sekadar hidup. Di dalamnya termasuk kebutuhan makan hewan peliharaan, manakala pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar menurut undang-undang ini. Tetapi harus diakui, detail “tindakan-tindakan mitigasi” menurut ilmu kesehatan baru saja diatur. Dan saya percaya saja skema teknis kerjasama pemerintah dengan pemerintah daerah juga diatur dalam PP yang baru terbit ini. Keterlambatan inilah penyebab terbesar tak terkordinasinya tindakan Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Pemerintah Pusat. Walau hanya satu PP, tetapi menurut saya cukup masuk akal secara hukum. Mengapa? Undang-undang tidak mengharuskan jumlah PP. Memang Sedikitnya 3 (tiga) pasal dalam undang-undang ini yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP). Tetapi bagi saya satu PP saja sudah cukup. Hal terpenting adalah cakupan materi, dan muatannya harus komprehensif. Bila komprehensif, maka 11 (sebelas) pasal yang memerintahkan pemerintah membentuk Peraturan Menteri (Permen), dapat diminimalkan jumlahnya. Dilihat dari sudut materi, muatan dari pasal-pasal itu, dapat diproyeksikan sedikiitnya tiga menteri harus membuat Permen. Menteri Hukum dan Ham, Menteri Kesehatan dan Menteri Perhubungan. Menariknya, dalam rapat terbatas Senin (30/3) Presiden Jokowi bahkan mengatakan perlu didampingi oleh kebijakan darurat sipil. Tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan “darurat sipil” (tanda petik dari saya) (Tempo.co.id 30/3/2020). Pernyataan tentang “darurat sipil” ini sangat menarik dilihat dari sudut Tata Negara. Bagaimana argumentasi konstitusional ternalar antara serangan virus corona dengan eksistensi dari pemerintahan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Apakah pemerintah atau sebagian pemerintah daerah mulai tak berfungsi? Apakah NKRI Indonesia sedang terancam pecah, atau disintegrasi? Apakah disintegrasi sedang dipelupuk mata? Apakah sebagian rakyat Indonesia menjadi bagian dari pasukan virus corona itu ? Apakah wabah corona dapat diberi status sebagai manusia, yang pemberontak? Protokol penanganan pasukan virus berbeda secara fundamental dengan protokol penanganan pasukan (sekumpulan orang dengan agenda jelas, terorganisir, bersenjata dan bermotif politik) menyerang negara ini. Protokol virus bertolak dari UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Protokol penanganan Tertib Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. Alasan Tata Negara dibalik Perpu berbeda dengan alasan tata negara dibalik UU No. 6 Tahun 2018. Alasan fundamental Tata Negara pada Perpu adalah terganggunya tertib sipil itu sebagai akibat dari hal-hal sebagai berikut: Pertama, adanya serangan bersenjata, atau pengacau oleh orang-orang bersenjata. Kedua, serangan bersenjata itu bermaksud, nyata-nyata atau sembunyi-sembunyi, untuk menggantikan pemerintahan yang sah, atau setidak-tidaknya mengakibatkan pemerintah atau pemerintah daerah yang sah, sebagian atau seluruhnya lumpuh atau tidak dapat berfungsi sebagaimana fungsi pemerintah dalam keadaan tertib sipil. Ketiga, Serangan pasukan itu dimaksudkan untuk melepaskan sebagian wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, atau menciptakan negara baru terlepas dari wilayah NKRI. Keempat, membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau setidak-tidaknya menempatkan sebagian pemerintah daerah atau satu daerah di bawah kendali pasukan itu. Semua soal ini, untuk alasan secanggih atau sengawur apapun, tidak bakal ditemukan dalam serangan virus corona jahannam ini. Betul, keadaan tertib sipil saat ini sedang terganggu. Tetapi harus diingat betul bahwa penurunan level tertib sipil saat ini, sama sekali tidak disebabkan oleh gangguan pasukan atau sekelompok orang bersenjata dan bermotif politik. Penurunan derajat tertib sipil saat ini merupakan hasil, dan sekaligus cara sah mencegah virus corona. Penurunan derajat tertib sipil ini, untuk alasan apapun, sah. Mengapa? Penurunan itu merupakan cara pemerintah menghalau virus, yang diyakini sebagai cara ampuh menormalkan kembali tertib sipil itu. Apalagi konsekuensi Tata Negara yang menyertainya Darurat Sipil berbeda sangat mendasar dengan Darurat Kesehatan. Apa bedanya? Pertama, dalam darurat sipil, status Presiden mengalami perubahan. Kedua, harus dibentuk institusi tata negara tambahan. Presiden, dalam keadaan “Darurat Sipil” berstatus sebagai “Penguasa Darurat Sipil Pusat.” Bila darurat sipil diubah, ditingkatkan menjadi “Darurat Militer” maka Presiden berstatus sebagai “Penguasa Darurat Militer Pusat.” Andai keadaan tak menolong sehingga harus ditingkatkan menjadi “Darurat Perang” maka Presiden berstatus sebagai “Penguasa Darurat Perang” Baik Darurat Sipil, Darurat Militer dan maupun Darurat Perang, Presiden dalam melaksanakan fungsinya dibantu oleh satu Badan. Badan itu berisi Menteri Pertama, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Luar Negeri, Kepala Staf ASngkatan Darat, Kepala Staf Angkat Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Kepala Kepolisian Negara. Perlukah Badan ini pada Darurat Kesehatan. Tidak. Apa konsekuensi kehadiran Badan itu? Menejemen pembuatan kebijakan berubah. Perumusan kebijakan bernegara dalam mengelola Darurat Sipil, untuk sebagian besar berputar pada pejabat-pejabat ini. Betul, Presiden tetap menjadi center of constitutional authority, tetapi presiden harus mendapat nasihat dari pejabat-pejabat itu. Konsekuensi perubahan menejemn lainnya? Kepala Daerah yang daerahnya ditetapkan berada dalam darurat sipil, harus dibantu oleh Komandan Militer tertinggi di daerah itu, plus Kepala Kepolisian Daerah. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka disupervisi oleh Kepala Kejaksaan. Seperti Presiden, Kepala Daerah itu, mau atau tidak, suka atau tidak wajib mendengar nasihat pejabat-pejabat dimaksud. Konsekuensi ini tidak ada pada darurat Kesehatan. Pada Darurat kesehatan, keadaan Tata Negara tidak berubah sedikitpun. Tetapi pembatasan hak bergerak warga negara misalnya, sama untuk keduanya. Hak bicara dan berkorespondensi, tidak dibatasi dalam darurat kesehatan. Pada Dadrurat Sipil, justru dilakukan secara ad hoc, dan represif berdasarkan pertimbangan Penguasa Darurat Sipil Daerah. Selain kesamaan-kesamaan relatif itu, terdapat satu perbedaan. Perbedaan ini dapat disebut fundamental. Pada Darurat Sipil, pemerintah tidak dibebani kewajiban memberi makan dan minum rakyat. Rakyat cari makan sendiri, urus diri sendiri. Sebaliknya, pada Darurat Kesehatan yang diikuti “Pembatasan Sosial Berskala Besar”, pemerintah menanggung biaya makan dan minum rakyat. Tentu alakadarnya. Begitulah perbedaan fundamentalnya dari sudut pandang Tata Negara. Mungkinkah pemerintah menempatkan Darurat Sipil di meja pembuatan keputusan sebagai sekoci ketika pemerintah tak lagi mampu mengurus kebutuhan dasar rakyat? Faktanya pemerintah sudah membebaskan rakyat dari bayar listrik, dan atau bayar setengah saja. UMKM dikasih stimulus. Rakyat miskin mau dikasih uang. Lalu apa? Politik? Bagaimana nalarnya? Energizer disipiln masyarakat? Agak sulit disodorkan sebagai jawabannya. Rakyat pada cari akal dan cara sendiri menjaga diri dan lingkungannya. Mereka bisa terhindar dari kemungkinan menjadi sasaran virus. Sungguh saya tak mampu menjelaskannya. Apakah Darurat Sipil, andai benar bakal dilakukan, akankah dijadikan justifikasi bagi pemerintah melakukan represi terhadap orang-orang yang berbeda haluan politiknya dengan Presiden? Entahlah. Tak bisa berspekulasi. Memang sejarah Tata Negara dan politik bangsa ini dengan kebenaran tak terbantahkan menunjukan tindakan sejenis itu pernah terjadi. Pembubaran paksa pertemuan politik oleh orang-orang yang tergabung dalam “Liga Demokrasi” misalnya, di awal tahun 1960, adalah satu peristiwa kecil yang mematikan dari politik darurat seperti itu. Pak M. Sjahrir, Pak Yunan Nasution, Pak Sjafrudin Prawiranegara, yang ketika itu berbeda haluan politiknya dengan Presiden Seokarno, ditangkap. Mereka dipenjarakan begitu saja. Begitulah adanya pendekatan politik dulu. Itulah hasil politik darurat kala itu. Politik busuk ini tidak ditemukan, dalam perspektif perbandingan dengan misalnya masa Presiden Franklin D. Rosevelt, yang masuk ke kekuasaan di tengah krisis besar ekonomi Amerika. Orang dibiarkan mengeritik tindakannya. Kritik terhadap tindakannya yang menyita emas milik rakyat, tanpa ada ganti rugi yang memadai. Kritik dibiarkan saja begitu. Anehnya, tidak ada satupun tindakan represi kepada pengeritik-pengeritik Rosevelt itu. Mereka dibiarkan bernyanyi dengan nadanya sendiri sampai sempoyongan. Begitulah Rosevelt mengelola krisis. Canggih caranya dan berkelas. Kecanggihannya itulah yang memungkinkan Rosevelt berkuasa selama empat periode. Ini preseden satu-satunya dalam sejarah kepresidenan di Amerika hingga sekarang. Akhirnya, penyakit strok membawa Rosevelt ke akhir jabatan periode keempatnya ke awal yang lebih cepat. Rosevelt lalu digantikan oleh Harry Truman. Indonasia pun merdeka pada masa pemerintah Herry Truman. Begitulah politik bekerja. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.

Corona Berjangkit, Utang Bakal Kian Melangit?

Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo hari ini (Selasa, 31 Maret 2020) mengumumkan sejumlah kebijakan perlindungan sosial dan stimulus ekonomi guna menghadapi dampak Covid-19. Tentu saja, ini melegakan. Kabar gembiranya, pemerintah bakal mengalokasikan anggaran hingga Rp405 triliun untuk keperluan tersebut. Jumlah yang lumayan gede itu antara lain Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR). Sisanya yang Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Dalam program ini termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta dunia usaha. Semua itu dimaksudkan guna menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi. Para dokter dan tenaga medis yang selama ini menjadi pahlawan di garda terdepan melawan virus Corona boleh berlega hati. Pasalnya, anggaran yang disiapkan untuk dukungan bidang kesehatan yang Rp75 triliun itu, di antaranya digunakan perlindungan tenaga kesehatan, terutama pembelian APD. Dana tadi juga bagi pembelian alat-alat kesehatan yang dibutuhkan; seperti: test kit, reagen, ventilator, hand sanitizer, dan lainnya sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Masih di bidang kesehatan, ada dana untuk upgrade 132 rumah sakit rujukan bagi penanganan pasien Covid-19, termasuk Wisma Atlet. Juga ada insentif dokter (spesialis Rp15 juta/bulan), dokter umum (Rp10 juta), perawat Rp7,5 juta, dan tenaga kesehatan lainnya Rp5 juta. Jika, ini jika ya mudah-mudahan tidak terjadi, meninggal ada santunan kematian tenaga medis Rp300 juta. Kabar gembira lain berupa dianggarkannya dana untuk perlindungan sosial. Antara lain, dinaikkannya jumlah Kartu Sembako dari Rp150.000 menjadi Rp200.000 selama sembilan bulan. Jumlah penerimanya juga naik dari 15,2 juta menjadi 20 juta. Begitu juga dengan anggaran Kartu Prakerja, dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun. Jumlah ini bisa menjangkau sekitar 5,6 juta pekerja informal, pelaku usaha mikro dan kecil. Yang tidak kalah menggembirakan, ada pembebasan biaya listrik selama tiga bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450VA. Sedangkan untuk 7 juta pelanggan 900VA ada diskon 50%. Khusus dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok, pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp25 triliun. Ngutang Lagi Sampai di sini, semua kebijakan tersebut tentu saja amat menggembirakan. Namun senyum lebar tadi berubah jadi kekhawatiran baru. Betapa tidak, anggaran yang Rp405 triliun tadi, ternyata bukan bersumber dari realokasi anggaran. Lantas dari mana? Dari mana lagi kalau bukan (rencana) membuat utang baru. Tidak percaya? Simak baik-baik pernyataan Joko saat mengumumkannya siang tadi, yang di antaranya dia mengatakan, “ Terkait penanganan Covid19 dan dampak ekonomi keuangan, saya menginstruksikan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Cofid-19 adalah sebesar Rp405,1 Triliun.” Pada bagian lain, Presiden mengatakan, “ PERPPU juga mengantisipasi kemungkinan terjadinya defisit yang diperkirakan akan mencapai 5,07%. Karena itu perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3%. Namun relaksasi defisit hanya untuk tiga tahun, yaitu tahun 2020, 2021, dan 2022. Setelah itu kembali ke disiplin fiskal maksimal defisit 3 % mulai tahun 2023.” Uraian tersebut jelas sekali menunjukkan akan ada utang baru untuk membiayai anggaran perlindungan sosial dan stimulus ekonomi dalam menghadapi wabah Corona. Pertanyaannya, mengapa tidak menggunakan anggaran yang sudah ada? Bukankah bisa dilakukan realokasi anggaran yang dianggap tidak atau kurang penting? Memang, dalam penjelasannya Joko mengatakan pemerintah tetap berupaya menjaga pengelolaan fiskal yang hati-hati melalui refocusing dan realokasi belanja untuk penanganan Covid-19. Misalnya, dengan realokasi cadangan dan penghematan belanja kementerian dan belanja senilai Rp190 Triliun. Dari penjelasan ini, maka setidaknya akan ada tambahan utang baru di luar yang sudah direncanakan semula sebesar Rp405 triliun - Rp190 triliun = Rp215 triliun. Asal tahu saja, desifit APBN 2020 sebesar Rp302,1 triliun. Dari mana menutupi defisit ini? Jelas ngutang, lah. Artinya, guna mengatasi wabah Corona, total rencana utang kita bakal membengkak menjadi Rp517,1 triliun! Tidak Perlu Utang Baru Pertanyaannya, benarkah tambahan utang baru itu diperlukan? Jawabnya, tidak perlu. Tidak adakah cara lain? Jawabnya, tentu saja ada! Caranya, pemerintah merealokasikan anggaran pembayaran bunga utang yang Rp295 triliun plus cicilan pokok utang Rp359 triliun. Jika 50% saja total anggaran untuk membayar utang yang mencapai Rp654 triliun direalokasikan, maka ada dana Rp327 triliun yang bisa dipakai. Banyak, kan? Lalu, pemerintah juga bisa merealokasi 50% anggaran insfrastruktur yang mencapai Rp419 triliun, sehingga diperoleh angka Rp209,5 triliun. Masih ada lagi, yaitu penghematan 20% anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang mencapai Rp1.600 triliun. Dari sini, ada penghematan Rp320 triliun. Lalu, ada SAL dan SILPA yang angkanya lumayan gede, Rp240 triliun. Sekarang mari kita rekap hasil realokasi dan penghematan anggaran tersebut. Rp327 triliun + Rp209,5 triliun + Rp320 triliun + Rp240 triliun = Rp1.096,5 triliun. Wow, guede bangettt! Jumlah ini jauh di atas kebutuhan dana perlindungan sosial dan stimulus ekonomi yang Rp405 triliun tadi. Bahkan jika karena, misalnya, pemerintah tak punya cukup keberanian untuk merenegosiasi pembayaran utang kepada para kreditor, separuh dari Rp1.096 triliun tadi pun masih lebih besar ketimbang yang RP405 triliun. Doyan Berutang Tapi justru di sinilah masalahnya. Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, memang terkenal sangat doyan berutang. Parah! Lebih parah lagi, utang-utang yang dibuat Sri berbunga amat tinggi. Jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Bunga utang yang dibuat Sri bahkan lebih tinggi dibanding negara-negara yang peringkatnya lebih rendah daripada Indonesia, seperti Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Pelebaran defisit APN menjadi 5% juga dimaksudkan untuk menyelamatkan Presiden dari pelanggaran UU Keuangan Negara. Di sini disebutkan, batas maksimum defisit yang diizinkan adalah 3% dari PDB. Kalau angkanya tidak dilebarkan, bukan mustahil Joko akan dimakzulkan karena melanggar Undang Undang. Sungguh ironi yang memuakkan. Di tengah gempuran wabah Covid-19 yang mengerikan dan ancaman rakyat kelaparan, penguasa justru sibuk berusaha mempertahankan kekuasaan! Mas Joko, mau sampai kapan Indonesia terjebak dalam jeratan utang? Dan Sri, tidakkah kamu punya kemampuan lain selain berutang? Mosok doktor ekonomi jebolan Amerika seperti kamu ilmunya cetek banget. Mbok jangan malas. Cerdas dan kreatif, lah. Ingat utang kita sudah teramat besar. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) Maret 2020, mencatat sampai Januari 2020, utang luar negeri kita mencapai US$410,8 miliar. Dengan kurs tengah BI hari ini yang Rp16.367, maka utang itu setara dengan Rp6.724 triliun! Super super besaaarrr! Beban utang yang teramat besar itu telah membebani APBN. Lebih dari 30% anggaran dialokasikan untuk membayar utang. Akibatnya, APBN kita dari tahun ke tahun tidak mampu menjadi penghela perekonomian secara maksimal. Mas Joko, mbok kasihani rakyat... Penulis Wartawan Senior

Stimulus Covid-19 Lambat, Realokasi Anggaran Percepat Krisis Ekonomi

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Selasa (31/03), Penanganan ekonomi terkait wabah Covid-19 seharusnya bisa lebih baik. Paket stimulus ekonomi yang diumumkan sejauh ini sangat tidak memadai untuk melawan dampak negatif Covid-19. Terkesan pemerintah kurang mampu membaca dan mengantisipasi wabah ini. Kebijakan yang diambil terkotak-kotak, alias piecemeal. Ketika wabah virus Corona mulai merebak, pemerintah langsung reaktif memberi paket stimulus yang kemudian dinamakan jilid pertama. Paket stimulus ini memberi insentif sektor pariwisata berupa diskon tiket pesawat bagi wisatawan asing dan domestic. Ada juga pembebasan pajak hotel dan restoran. Pemerintah sampai menggunakan jasa influencer untuk promosi paket ini stimulus ini. Katanya, jumlah pakel stimulus ini Rp 10,3 triliun. Tentu saja, stimulus ini tidak efektif, karena akhirnya penerbangan antar negara dihentikan untuk mengurangi penyebaran wabah dari luar negeri. Realisasi stimulus ini pasti tidak banyak arti untuk meningkatkan ekonomi. Paket stimulus jilid kedua pada intinya memberi insentif pajak penghasilan (PPh) pribadi (pasal 21) untuk industri tertentu, PPh badan (pasal 25) dan PPh impor (pasal 22). Insentif ini akan diberikan selama 6 bulan terhitung April hingga September 2020. Melihat perkembangan Covid-19 hingga saat ini, sepertinya banyak perusahaan akan mengalami rugi. Dampaknya, bantuan PPh Badan tidak banyak berarti apa-apa. Stimulus “subsidi” pajak ini, katanya akan membebani APBN Rp 22,9 triliun. Selain insentif ini belum dimulai, sehingga tidak memberi dampak apapun terhadap ekonomi. Selian itu, angka insentif juga patut dipertanyakan. Paket stimulus jilid pertama dan kedua fokus menjaga pertumbuhan ekonomi, agar tidak anjlok. Meskipun ternyata tidak efektif. Bahkan stimulus jilid kedua belum dimulai. Padahal, perkembangan wabah Covid-19 semakin memburuk. Tingkat terinfeksi Covid-19 meningkat tajam. Jumlah meninggal sangat tinggi. Sedangkan jumlah sembuh sangat rendah. Salah satu sebab utamanya karena fasilitas kesehatan, terutama Alat Pelindung Diri (APD) sangat tidak memadai. Ruang isolasi dan jumlah kamar sangat minim. APD dalam arti luas, untuk melindungi dokter, perawat dan tenaga nonmedis lainnya sangat memprihatinkan. Penyebab utama minimnya APD, karena pemerintah tidak ada dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan terpaksa, pemerintah melakukan realokasi mata anggaran APBN, dari dana pembangunan menjadi dana penanggulangan Covid-19. Bahkan, pengadaan barang yang masih dalam proses pun harus dibatalkan dulu. Realokasi mata anggaran tidak masuk definisi stimulus. Karena hanya realokasi. Stimulus (fiskal) intinya meningkatkan belanja negara atau mengurangi penerimaan negara. Untuk meningkatkan permintaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus (fiskal) intinya memperlebar defisit APBN. Jadi, realokasi mata anggaran bukanlah stimulus. Sebaliknya, pemangkasan anggaran pembangunan (dan dana desa) akan membuat pertumbuhan ekonomi turun. Dampak negatifnya cukup besar. Bisa mempercepat krisis ekonomi. Perusahaan di sektor pembangunan akan mati karena anggarannya dihentikan. PHK dan pengangguran di daerah akan meningkat. Akhirnya, mereka harus di-support dan diberi bantuan juga oleh pemerintah. Dengan mengatakan seperti ini, bukan berarti peningkatan anggaran kesehatan tidak perlu. Sebaliknya, anggaran kesehatan harus dapat ditingkatkan sedemikian rupa besarnya, agar dapat menanggulangi wabah Covid-19 secara efektif. Dan, tambahan anggaran kesehatan ini bukan diambil dari anggaran lainnya (realokasi). Tambahan anggaran kesehatan ini harus bersumber dari tambahan defisit APBN. Besarannya juga harus siginifikan untuk memerangi Covid-19. Pemerintah harus berani mengatakan tambahan anggaran Covid-19 misalnya 1,5 persen dari PDB, atau sekitar Rp 250 triliun. Bahkan lebih kalau perlu. Whatever it takes. Dananya diambil dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang masih nganggur di dompet pemerintah. Jumlahnya mencapai lebih dari Rp 270 triliun per akhir Februari 2020. Bayangkan, kekuatan yang dimiliki Rp 250 triliun untuk memerangi Covid-19. Pasti jauh lebih efektif dari yang sekarang ini. Anggaran pembangunan tetap bisa jalan, sekaligus menjaga pendapatan perusahaan dan pekerja di sektor tersebut di daerah. Pemerintah juga tidak perlu menambah utang karena dananya sudah ada. Selanjutnya, stimulus harus menyasar untuk membantu kemanusiaan. Membantu mereka yang kehilangan penghasilan. Membantu semua masyarakat yang terdampak wabah Covid-19. Dan stimulus juga harus menyasar pelaku usaha, termasuk usaha mandiri dan usaha mikro. Pemerintah harus menjamin kecukupan likuiditas pelaku usaha. Tentu bukan memberi pinjaman langsung ke pelaku usaha. Tetapi melalui sektor keuangan, bank dan nonbank. Bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk pemenuhan likuiditasnya. Stimulus ini harus segera mungkin diumumkan dan dijalankan. Jangan terlalu lama-lama menghitungnya. Perhitungan stimulus harus dilakukan kebalikan dari penyusunan APBN, yang berdasarkan pada aktivitas dan program. Dalam kondisi darurat, tentu yang dimaksud bukan darurat sipil. Namun stimulus APBN dianggarkan secara global. Makanya negara lain bisa mengumumkan stimulus sangat cepat. Dalam waktu singkat, Amerika mengumumkan stimulus 2,2 triliun dolar AS (sekitar Rp 35.200 triliun). Begitu juga dengan Malaysia, yang memberi stimulus 250 miliar ringgit (sekitar Rp 937 triliun). Tetapi Indonesia sangat lambat karena harus menghitung secara rinci. Program A sekian, program B sekian, program C sekian. Ini kelamaan dan lemot cara kerjanya. Keburu wabah menyebar ke seluruh Indonesia, dan keburu rakyat kelaparan. Umumkan saja, Indonesia akan memberi stimulus Covid-19 tahap pertama sebesar 850 triliun, sekitar 5% dari APBN. Dengan begitu, rakyat akan merasa aman dan merasa terjamin. Pemerintah tinggal menyusun apa yang bisa diberikan kepada masyarakat dan dunia usaha dengan anggaran sebesar itu. Semoga pemerintah bisa bekerja dan memberikan kepastian secepatnya kepada masyarakat. Kasian. Masyarakat sedang menunggu. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Mudik, Arus Penyebaran Covid-19 Yang Paling Efektif

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (31/03). Beberapa hari lalu, ibu kandung di kampung telpon saya dan kasih kabar kalau adikku yang tinggal di Tangerang mudik. Gawat! Semua tahu, Tangerang masuk wilayah merah penyebaran covid-19. Kenapa mudik? Tanyaku dalam hati. Apakah adikku termasuk Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP)? Tidak juga. Apakah dia, suami dan anaknya positif Covid-19? Nggak tahu. Bisa iya, bisa tidak. Sebab, yang positif Covid-19 tidak selalu ada gejala. Apalagi untuk orang yang usia muda. Khawatir, itu pasti. Ibu saya di kampung sudah tua. Usia di atas 70 tahun. Ayah saya bahkan lebih tua lagi usianya. Ayah juga punya diabet. Sekali tertular, bahaya. Semoga saja tidak. Itu harapan dan doaku kepada kedua orang tuaku. Kupesan kepada dua adikku yang lain. Jaga ayah dan ibu. Jangan sampai tertular. Berikan vitamin C dan E setiap hari. Pantau ayah-ibu dalam interaksi sosialnya. Begitu aku dengan serius meminta kepada kedua adikku tersebut. Yang mudik ke kampung ternyata bukan hanya keluarga adikku. Ada 876 bus yang telah membawa lebih dari 14 ribu penumpang dari Jakarta. Khususnya ke wilayah Jawa. Belum lagi yang menggunakan kendaraan pribadi, naik pesawat, dan naik kereta. Atas kejadian ini, presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan sangat menyayangkan. Diantara para pemudik, ada yang terbukti positif Covid-19. Itu yang sempat masuk rumah sakit. Itu yang ketahuan. Nah, yang nggak ketahuan gejalanya, diprediksi lebih banyak jumlahnya. Mereka inilah yang sesungguhnya menjadi agen dan duta penyebaran covid-19 di daerah. Tanpa mereka sadari. Bukankah ada nasehat Rasulullaah SAW bahwa, "saat anda dengar ada wabah di suatu wilayah, maka jangan ke sana. Saat anda berada di wilayah yang sedang dilanda wabah, ya jangan keluar”. Inilah teori yang namanya "lockdown". Untuk menghambat penyebaran covid-19 agar tak semakin meluas, Anies selaku Gubernur DKI mengimbau kepada orang-orang yang tinggal di DKI agar nggak mudik. Ternyata, imbauan ini kurang efektif. Arus mudik tetap saja padat. Di Jakarta nganggur. Anak-anak pada sekolah di rumah. Suami libur kerja. Pedagang keliling, nggak ada yang beli. Hidup di Jabodetabek, mahal biayanya. Mending pulang, ketemu keluarga dan teman di kampung. Biaya hidup pun lebih murah. Begitu kira-kira jalan pikiran para pemudik tersebut. Secara psikologis, dan terutama ekonomi, hidup untuk sementara waktu di kampung tentu lebih nyaman dan pasti hemat. Tapi para pemudik ini lupa, apakah mereka bebas dari covid-19? Jika satu orang saja diantara mereka ada yang positif Covid-19 (meski tanpa gejala), maka akan menular ke keluarga dan tetangga di kampung. Bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Di kampung, ada anggota keluarga yang usianya gak muda lagi. Orang tua, paman, kakek-nenek dan tetangga. Sekali mereka tertular, risiko sangat besar. Alih-alih hemat pengeluaran, anggota keluarga atau tetangga malah jadi korban. Matek deh. Sementara, fasilitas medis di daerah tak selengkap di Jakarta. Belum lagi minimnya anggaran daerah dan jarak tempuh rumah sakit yang umumnya cukup jauh dari desa dan perkampungan. Inilah yang membuat sejumlah kepala daerah saat ini galau, panik dan akhirnya memutuskan untuk Lockdown. Provinsi Papua, Kota Tegal dan Kota Tasikmalaya sudah melakukannya. Sejumlah desa di Purbalingga dan Bali juga ada yang ikut lockdown. Melihat fakta penyebaran covid-19 yang semakin meluas di berbagi daerah, Anies berencana menutup bus Akap yang menjadi alat transportasi keluar masuk Jakarta. Tujuannya? Memotong jalur dan sirkulasi penyebaran covid-19. Dijadualkan jam 18.00 malam ini. Belum sempat dilaksanakan, lagi-lagi Anies dapat teguran. Kali ini dari Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Mungkin faktor ekonomi jadi alasan. Kalau menteri urusan laut sudah ke darat, berarti negara sedang dalam keadaan genting. Anies pun mengurungkan rencananya. Sebagai gubernur, Anies tidak ingin kebijakannya berbenturan dengan Pemerintah Pusat. Ora elok. Nggak boleh ada dua kebijakan yang berbeda dalam satu negara. Lalu, bagaimana dengan penyebaran covid-19 yang semakin meluas ke daerah-daerah? Bahkan sudah ke 31 provinsi. Bagaimana pula cara menahan angka kematian yang terus meningkat? Simple saja jawabnya. Tanyakan saja LBP. Pasti "menteri segala urusan" ini punya jawabannya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Tobat Nasional dari Kekuasaan Yang Buruk

By Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Senin (30/03). Manusia abad 21 sedang diuji. Demikian potongan catatan yang saya baca beberapa waktu lalu. Terlebih lagi umat Islam. Ka'bah tempat menunaikan ibadah haji telah ditutup. Masjid di Indonesia sudah mulai kosong. Ulama tanggap menghadapi penyebaran wabah ini. MUI menyatakan sebaiknya daerah yang terkena wabah meniadakan sholat Jum’at untuk sementara waktu sampai wabah ini berhenti. Tetapi akses publik untuk keluar masuk wilayah masih terbuka. Potensi penyebaran antara wilayah besar, karena pemerintah tidak setanggap ulama menghadapi wabah ini. Ruang publik bagi kelas menengah masih terbuka. Mall, kafe dan tempat-tempat rekreasi lainnya. Di semua daerah belum ada yang ditutup. Namun Jum’at sebagai media untuk ibadah umat sudah ditiadakan untuk sementara waktu. Kenapa masjid lebih mengerti sains dari negara? Sains dan Agama tidak pernah berbenturan. Karena itu ulama lebih luas berpikirnya daripada negara. Negara hanya berpikir bagaimana meloloskan utang ke IMF. Bagaimana memberikan karpet merah kepada investor, dan bagaimana memuluskan ambisinya. Ulama memikirkan nasib umat dan manusia. Sementara pemerintah hanya ingin menyelamatkan ekonomi dan ambisinya. Kini kepanikan itu sudah meliputi seluruh Wilayah NKRI. Dalam waktu yang singkat, wabah covid-19 menyebar ke seluruh Indonesia. Hampir setiap daerah panik. Beberapa daerah mengambil langkah Lockdown sendiri-sendiri, namun dianulir lagi oleh pusat. Memang karantina - lockdown menjadi kewenangan pemerintah pusat. Penyakit yang sumbernya dari Wuhan, ibukota provinsi Hubei, di Cina itu, benar-benar menjadi wabah yang membuat panik seluruh dunia. Ini bala abad 21. Kepanikan kian meningkat, setelah 720.117 terinfeksi, 33.925 meninggal, dan 149.082 pasien dinyatakan sembuh. Di Indonesia sendiri sudah 1.285 kasus yang meninggal 114 orang yang sembuh 64 orang. Data ini terlihat bahwa bencana ini sedang mengepung dunia. Indonesia kini menjadi menjadi sasaran selanjutnya setelah China, Iran dan Italia. Meski bersumber dari China, penyebarannya di seluruh Wilayah di China tidak terjadi seperti di Indonesia. Kenapa Indonesia sedemikian cepat menyebar? Pemerintah Indonesia menganggap virus ini tidak penting , dengan candaan yang tidak lucu. Yang penting bagi pemerintah adalah ekonomi. Tatkala negara negara lain melakukan lockdown. Bahkan Presiden Filipina mengambil tindak tegas memecat pejabat yg meloloskan orang dan tenaga kerja asal cina masuk Filipina. Indonesia justruk sebaliknya. Memberikan karper merah buat datangnya TKA asal cina. Dengan jumawahnya, menteri segala urusan LBP membalas dengan tetap akan membuka pintu lebar bagi TKA asal cina. Ini semua untuk ekonomi. Ironis memang. Seharus nya nyawa rakyat yang menjadi prioriatas utama. Seandainya terjadi karantina kesehatan, dengan melakukan Lockdown beberapa daerah yang sudah masuk zona "darurat" seperti Jakarta, maka penyebaran virus bisa diatasi. Tetapi tak terbayangkan. Di tengah kepanikan yang luar biasa, ada menteri berkata "persiapan ibukota jalan terus". Rakyat menjerit karena tidak bisa cari makan, akibat melakukan isolasi mandiri. Namun negara tak peduli. Kalau negara melakukan Lockdown wilayah, maka negara bertanggung jawab untuk ketersediaan kebutuhan dasar warga. Namun untuk menghindari itu, pemerintah enggan melakukan karantina kesehatan. Seakan-akan membiarkan rakyat mati sendiri dengan wabah ini. Orang miskin tentu yang paling menderita. Ini adalah puncak kejahatan negara terhadap rakyatnya. Siapa yang kuat akan bertahan. Negara hanya menjadi "monster". Kegagapan pemerintah pusat berbanding terbalik dengan ketanggapan pemerintah DKI Jakarta. Anies Baswedan melakukan banyak upaya, hingga opsi Lockdown mengemuka di Jakarta untuk menghentikan keluar masuknya virus. Sekali lagi buzzer istana dan Menteri membully dan mengecam. Nyawa warga negara terancam. Pemerintah Pusat awalnya tidak setuju atas ketanggapan Pemda DKI Jakarta dalam mengambil tindakan dan langkah terencana serta terukur dalam rangka memutus mata rantai pencebaran Virus Covid – 19. Langkah pemungkas adalah karantina wilayah “Lockdown” untuk menyelamatkan rakyatnya atau warganya. Keputusan cepat dan tepat yang diambil Anies, diikuti oleh Gebernur Papua dan beberapa Gubernur lainnya serta Bupati dan walikota. Akhirnya Pemerintah Pusat mempersilahkan masing-masing daerah untuk memutuskan untuk melakukan karantina wilayah Sumber penyakit ini berasal dari kelas menengah ke atas. Mereka yang melakukan interaksi antar negara dan wilayah di Indonesia. Penyebarannya bukan dari rakyat kecil. Artinya, penyakit ini dari orang berkecukupan. Namun menghantam dan membunuh orang-orang miskin. Sebab dampaknya bagi ekonomi masyarakat kecil sangat besar. Orang-orang mapan memang tidak terlalu pusing. Untuk menyelamatkan diri, mereka bisa apa saja. Termasuk mengorbankan rakyat kecil. Tetapi disinilah kita dapat melihat kekuasaan itu bekerja. Untuk siapakah kekuasaan itu bekerja? Ambisinya sendiri? Atau untuk oligarki ekonomi? Kewajiban negara untuk melindungi rakyat Indonesia. UUD 1945 dalam pembukaannya menyatakan "Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Bunyi pembukaan UUD ini sangat jelas bahwa pemerintahan itu dibentuk untuk melindungi segenap bangsa dan rakyat. Ttaapi kenapa ketika rakyat butuh perlindungan dari wabah ini negara tidak hadir? Inilah masalah kita hari ini. Pemerintahan yang buruk, pengelolaan negara dipercayakan pada orang yang tidak punya nurani untuk melindungi warga negaranya. Jangan heran kalau bala dan bencana akan menjadi konsumsi sehari-hari, kalau kekuasaan yang model seperti ini masih berkuasa. Pemerintah Yang Buruk Sumber Malapetaka Hukum dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan penting di negara dikendalikan oleh pemerintah, polisi, tentara dan seluruh kekuatan di bawah komando kekuasaan Presiden. Apabila semua itu dipegang oleh orang yang salah, maka akan menjadi malapetaka yang hebat. Sebab kekuasaan menjadi sumber kejahatan, dan sumber dari segala sumber kehancuran. Dalam sejarah, kekuasaan yang demikian itu hancur bersama dengan ambisinya. Namruz dan Fir’aun adalah sebagian kecil dari contoh penguasa zalim dan lalim itu. Penguasa dzolim yang diabadikan dalam Al-Quran. Kezaliman mereka membuat Allah Murka. Bermula dari merasa diri paling berkuasa. Berujung pada pengerahan tentara Allah berupa makhluk dan wabah untuk memberikan peringatan bagi mereka. Namruz menganggap dirinya Tuhan. Lalu menyuruh semua orang menganggap dia Tuhan. Namun Ibrahim Alaihi Salam menolak itu. Hukuman bagi Ibrahim diselenggarakan dengan keji. Namun Allah segera mendatangkan bala tentaranya untuk menghancurkan Namruz dan orang-orangnya. Hanya dengan seekor nyamuk kecil yang menyebar di kekuasaannya, Namruz dengan segala ambisi kekuasaannya dibuat hancur dan terhina oleh Tuhan. Firaun adalah bentuk kedua dari kekuasaan yang diktator itu. Ia merasa paling berkuasa. Fir’aun mendeklarasikan diri dengan "ana rabbukumul a'la". Kemudian menolak risalah yang disampaikan oleh Musa Alaihi Salam. Fir’aun terlalu nekat menyatakan diri paling berkuasa dengan menindas rakyatnya. Hingga Allah menurunkan wabah. Kekeringan dan kelaparan menghinggapi kehidupan rakyatnya. Namun Firaun tidak bertobat, dan masih tetap sombong. Fir’aun dan pengikutnya menganggap bahwa paceklik itu dibawa oleh Nabi Musa. Tuduhan yang serius itu membuat Fir’aun dengan pengikutnya, beserta segala kekuasaannya makin sombong. Allah SWT melanjutkan azab-Nya dengan banjir sehingga membuat lahan di Mesir terkikis. Hingga penyikut Fir’aun merasa tidak memiliki apa-apa. Akibatnya Fir’aun dan pengikutnya menyuruh Nabi Musa mendoakan mereka untuk menghilangkan azab itu, dengan janji mereka akan beriman. Nabi Musa pun mendoakan mereka. Allah SWT mengijabah doa Nabi Musa. Azab itu hilang seketika. Namun mereka ingkar janji lagi. Mereka tak beriman kepada Nabi Musa dan risalahnya. Akibatnya, azab kembali datang ke tengah mereka. Allah mengirimkan sekawanan belalang, yang kemudian memakan habis tanaman mereka. Lalu mereka kembali kepada Nabi Musa, dan memintanya untuk didoakan agar azab itu diangkat oleh Allah SWT. Musa kembali berdoa, dan Allah mengijabhnya. Namun mereka tetap ingkar janji. Mereka dikirim wabah penyakit kutu. Seluruh Mesir dilanda wabah kutu itu. Berulang-ulang mereka ditimpa wabah, berulang ulang mereka ingkar. Lalu Allah SWT menurunkan azab berupa katak. Mesir dipenuhi dengan katak. Sampai ke Sungai Nil, dan menjadi darah dan bau anyir yang menyengat. Namruz dan Fir’aun merupakan contoh kekuasaan dan pemerintahan yang buruk. Dengan dukungan kelompok atau pengikutnya yang menolak kenyataan kebenaran dari Allah SWT. Mereka mendapatkan kepedihan azab Allah, namun mereka tidak pernah bertobat. Dalam kondisi seperti itu, mereka mengharapkan ulama. Namun setelah ulama memberikan nasehat dan bimbingan, mereka meninggalkan ulama. Bahkan mengkriminalisasi ulama. Begitulah Allah selalu memutar sejarah sebagai peringatan untuk kita. Namun kesadaran bagi penguasa dzalim tidak akan pernah tiba. Karena mereka menolak kebenaran azab ini. Seandainya Namruz atau Fir’aun menerima kebenaran dan tobat pasti azab itu akan berlalu. Karena itu, di tengah wabah ini, kita perlu tobat bersama. Sebagi orang beriman, wabah ini patut kita pelajari sebagai azab. Ulama telah menangkap pesan tersebut, sehingga mengeluarkan fatwa untuk melindungi umat Islam. Sementara kekuasaan masih ingkar dan tidak mau melihat ini sebagai teguran, sebagai akibat dari kelalaiannya dalam mengurus rakyat. Perlu ada tobat Nasional. Pertama, meminta kekuasaan untuk berhati besar meletakkan kekuasaan dan memberikan kepada yang lebih pantas. Baik itu para menteri atau mereka yang punya kekuasaan. Bahkan hingga pucuk pimpinan, bila sudah tidak mampu lagi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Supaya bangsa ini keluar dari keterpurukan. Kedua, tobat nasional ini adalah mengajak pemerintah untuk bertindak konstitusional dalam rangka melindungi rakyat Indonesia. Perlindungan itu, baik dari pendemi Covid-19 maupun dari wabah kelaparan dan wabah ekonomi yang kian hari menekan rakyat Indonesia. Ketiga, tobat nasional adalah meminta ulama dan tokoh umat serta kita semua untuk mengajak rakyat Indonesia kembali kepada Allah dan Rasul-nya. Membumikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial, individu, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga kita bisa mencapai negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Hanya dengan tobat nasional inilah kita dapat mengatasi berbagai problem bangsa kita hari ini. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah anggota DPR-MPR 2009-2014, Advokat, Dosen FH dan Fisip UMJ serta Inisiator #Musyumireborn.

"Mengenali Udang Dibalik Batu"

By Komjen Pol. Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN – Senin (30/03). Saya ingin mengajak kita semua yang sebangsa dan setanah air untuk sama-sama sejenak berpikir. Mengenali “Udang Dibalik Batu” yang memaksa kita untuk menjalani apa yang kita jalani selama ini. Saya sungguh ingin mengajak kita semua untuk tidak lagi melangkah tanpa mengetahui kemana semua perjalanan peristiwa hidup ini berakhir. Bahwa apa yang kita lihat dan kita rasa dengan lima panca indra adalah “tidak seindah warna aslinya, tidak seperti tampilannya”. Bahwa sesungguhnya yang kita lihat dan kita rasa dengan hanya berpegang pada lima panca indra adalah yang sedang mengelabui kita. Bahwa semua hanyalah ilusi dari eksploitasi keserakahan yang sudah diprogram di alam bawah sadar kita, sejak kita masing-masing dilahirkan ke dunia ini dengan sistem yang semakin hari semakin diseragamkan. Bahwa selama ini kita hanya diajar untuk bisa melihat “batu”nya tanpa mampu mengenali “udang”nya. Sistem yang diseragamkan. Diseragamkan agar kita semua memiliki kesamaan pemahaman tentang segala sesuatu. Hanya pada apa yang mampu kita lihat dan rasa secara jasmani, yaitu “batu”nya tanpa sadar kalau ada “udang”nya. Kita sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya kita sedang digiring untuk menjadi “sesuai” dengan sipembuat sistem. Tahukah anda bahwa ia telah merencanakan ini semua sejak zaman dahulu kala. Melakukan “Rekayasa Hidup” (Life Engineering). Kita digiring menjadi manusia yang tidak fitrah. Kita dibentuk untuk mengejar hidup dengan ambisi dan keserakahan. Secara alami, perlahan tapi pasti, kita semakin jauh dari keadaan yang mengandalkan kemahakuasaan Tuhan, yang tidak hanya menciptakan kita, manusia, namun juga menciptakan langit dan bumi. Kita tak sadar bahwa kita diprogram untuk mengandalkan hal-hal yang sifatnya lebih materi ketimbang rohani. Tujuannya jelas. Untuk menguasai jiwa manusia, agar dengan mudah mengendalikan semua secara total (TOTAL CONTROL). Namun, tujuan antaranya adalah menguasai sistem ekonomi (juga) secara total dengan “menulis dan menerbangkan” berbagai skenario yang disuguhkan dramatis seakan-akan ini adalah peristiwa alami tanpa alasan dan tujuan. Salah satu cara adalah dengan menyatukan sistem antara TeKnologi Informasi dan Tehnologi Komunikasi (TIK) yang hanya dihubungkan dengan Internet of Things ( IoT). Lazimnya kita kenal dengan gadget (Smartphone) yang selalu menempel erat ditangan masing-masing. Kapan dan dimana pun kita berada kita merasa tidak ada lagi batasan antara ruang dan waktu. Sebenarnya itu hanya cara “mereka” memanipulasi mindset kita. Artinya MINDSET KITA SUDAH DI-“LOCKDOWN”. Gadget adalah Sistem yang memang dengan sengaja sudah direncanakan dari jauh-jauh hari (by design) oleh si “pembuat sistem” tersebut untuk digunakan sebagai “Inteligent Tool”(Proxy War) demi kepentingan memastikan keberhasilan tujuan dari program besar si “pembuat sistem”. Teknologi tersebut adalah “PION” paling efektif untuk menebarkan informasi secara terstruktur, sistematis dan “massive” (TSM) untuk menggiring seluruh situasi yang ada sesuai dengan “skenario” yang sudah disiapkan, bahkan sudah disimulasikan terlebih dahulu. LANGKAH JITU. Sekali lagi, ujung-ujungnya adalah motif ekonomi. Tujuan terpenting dan di atas segalanya yang harus tercapai adalah mengendalikan dunia secara TOTAL tanpa peduli jiwa manusianya. Ini bukan fantasi. Ini TELAH, SEDANG DAN AKAN terus berproses sampai dunia ini tiba pada kata akhir. Mereka sudah menguasai semua aspek kehidupan kita lewat apa yang kita kenal dengan "INDUSTRIALISASI" (bahwa segalanya harus jadi uang ) dan tak ada lagi yang tersisa. Jika sahabat-sahabatku memiliki keinginan untuk tahu lebih jauh, lebih banyak, mari kita berdiskusi. Mari duduk demi kebangkitan bangsa ini kembali fitrah menjadi bangsa yang merdeka lahir batin. Dalam menghadapi pandemi “satu kata” saat ini, yang adalah buatan “si pencuri”. Selayaknya semua elemen bangsa saling mengajak untuk tetap tinggal tenang. Tuhan selalu awas dan menjaga kita. Tak sehelai rambut pun jatuh tanpa seizin Tuhan. Selayaknya kita yakini kedahsyatan kuasa-Nya. Tidak semestinya kita sedikit pun tergoncang! Saya pun sangat berharap kepada semua yang sontak “menjelma” menjadi wartawan dadakan karena gadget, agar memutus rantai teror. Bijak dengan tidak menjadi bagian, berpartisipasi dalam menebarkan “vibrasi negatif “ berupa berita ataupun informasi yang justru menebar kecemasan, ketakutan dan kepanikan tak terkendali. Ingat-ingat lagi, apa saja yang kita terima lalu langsung kita bagi, seringkali tidak melalui proses “paham hingga ke dasar”. Tidak utuh, bahkan TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH DIBACA SAMPAI SELESAI. Sadarilah, pikiran kita sedang diprogram agar mempunyai pandangan yang seragam atas segala sesuatu yang terjadi. Kita sedang digiring untuk melakukan segala langkah-langkah yang hanya secara jasmani! Lalu kita berpikir dapat kita atasi, padahal faktanya tidaklah demikian. Yang hanya kita lihat dengan mata jasmani bukanlah penyelesaian yang sesungguhnya dari akar masalah yang ada. “Jangan Sampai Persepsi Kita Dikendalikan. Taklukan Teknologi dan Bukan Sebaliknya”. Mari bersatu dan bersepakat dalam hati yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk meraih ketenangan hati dan jiwa. Menenangkan hati seluruh masyarakat Indonesia yang kita cinta. Hentikan semua dramatisasi berita ini, hentikan menampilkan berita dan informasi penebar ketakutan yang merata. Sepakatlah, kita sedang melawan virus. Apa yang tak bisa dia tembus? Ya. Imun tubuh yang baik. Itu yang kita perlu dan saat ini sangat kita butuh. Namun apa yang sejak kemarin kita lakukan justru adalah segala tindakan yang membangun rasa takut dan kekuatiran yang malah menurunkan “imun tubuh. KUATKAN IMUNITAS MASING-MASING. Itu yang saat ini kita butuh. Jaga ketahanannya. Jaga dari pribadi masing-masing. Ketika kita melakukannya bersama, KITA SEBENARNYA SEDANG MEMBANGUN BENTENG PERTAHANAN NASIONAL DARI RUMAH KITA MASING-MASING. Virus “satu kata” yang sedang menjadi trending topik dunia ini adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh mata jasmani kita, maka “lawan”nya jelas : YANG TAK TERLIHAT. ITU BARU TEPAT. Apa senjata kita? Kekuatan Tuhan dengan DOA yang diimani sungguh-sungguh. Ingin hidup? Berdoa, beribadah, mendekatlah kepada Allah, Dia sumber hidup. “Janganlah takut kepada kekejutan yang tiba-tiba atau kepada kebinasaan, bila itu datang, karena Tuhan Yang Maha Esalah yang menjadi sandaran kita semua. Dia akan menghindarkan bangsa Indonesia, bangsa kita. Dalam situasi menakutkan, Tuhan selalu bersama bangsa ini, memegang kita dengan tangan kanan-Nya yang membawa kemenangan. Yakini. Ketakutan adalah bentuk intimidasi iblis yang ingin merebut kedamaian jiwa kita dari rasa keimanan kita kepada kemahakuasaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esalah sumber kekuatan yang kekal dan abadi untuk selama-lamanya. Amin. “Indonesia harus bangkit, bangsa pemenang, bahkan lebih dari Pemenang”. BANGKIT! INDONESIA, BANGKIT! Viva Republik Indonesia #gerakanindonesiajemurpagi

Waspada Dampak Penularan Covid-19 ke Sektor Keuangan

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Senin (30/03). Pandemi global Covid-19 membuat perekonomian dunia lumpuh. Pergerakan manusia antar wilayah dan antar daerah dibatasi. Tujuannya, untuk memotong mata rantai penyebaran virus. Hampir semua negara di dunia memilih isolasi atau karantina wilayah, alias lockdown. Membuat perdagangan dunia terkontraksi tajam. Perkerjaan kantor dibatasi. Banyak karyawan menjalankan pekerjaannya dari rumah. Work from home (wfh) menjadi tagar populer di media sosial. Banyak tempat belanja dan tempat hiburan seperti mal, restoran, cafe, bioskop ditutup. Semua orang diharap tinggal di rumah. Stay at Home. Pekerja berpenghasilan harian langsung merasakan dampaknya. Sangat memilukan. Sopir taksi, bajaj, angkot, ojek online, warung makan, warung rokok, penjual pinggir jalan, penjual keliling, buruh harian, dan semua sektor informal terkena dampaknya. Harga produk pertanian mendadak anjlok, akibat dari keterbatasan logistik. Sudah banyak yang sulit mencari nafkah untuk makan sehari-hari. Krisis ekonomi Covid-19 dipastikan akan meluas. Tidak hanya terbatas pada kelompok di atas. Tetapi juga akan memasuki semua sendi kehidupan ekonomi dan dunia usaha. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya tinggal tunggu waktu saja. Banyak perusahaan sekarang menghadapi kesulitan membayar THR yang akan jatuh tempo pada bulan April ini. Uangnya dari mana? Karena pendapatan mereka bukan turun lagi, tetapi terjun bebas. Krisis ekonomi akan berimbas ke sektor keuangan. Seberapa parah tergantung berapa lama krisis ini berlangsung. Kredit macet akan menggunung. Banyak pihak tidak sanggup bayar bunga. Apalagi cicilan. Bukan hanya leasing kendaraan dan kredit konsumsi yang akan macet. Perusahaan besar dan kecil juga akan mengalami kesulitan cashflow. Eksportir babak belur. Eksportir komoditas terjepit di antara anjloknya harga dan permintaan. Semua sektor industri berpotensi besar terjadi kontraksi. Sektor pariwisata, hotel dan restoran sudah lebih dulu terpuruk. Sektor makanan dan minuman pasti akan turun. Sektor properti macet besar. Konstruksi dan industri pendukungnya pasti terkontraksi. Terlebih pemerintah sudah realokasi dana pembangunan menjadi dana kesehatan untuk melawan Covid-19. Perdagangan besar dan perdagangan eceran anjlok. Logistik dan pengangkutan terhambat, akibat lockdown. Sektor otomotif turun tajam. Jadi, semua sektor industri akan mengalami kesulitan likuiditas. Kalau berkepanjangan, kredit macet tidak dapat dihindarkan, sehingga dapat memicu krisis keuangan. Di lain sisi, kewajiban sektor keuangan kepada pihak ketiga, baik itu nasabah maupun kreditor, harus dipenuhi. Khususnya dana pihak ketiga dari tabungan, alias nasabah. Kalau nasabah mencium gelagat akan ada masalah dengan banknya, maka mereka paling dulu akan menyelamatkan uangnya. Bisa memicu bank run dan bank panic. Bisa terjadi penarikan dana tabungan secara besar-besaran. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bisa memeriksa apakah sudah ada tanda awal di daerah, khususnya BPR (Bank Perkreditan rakyat). Bank Indonesia (BI) dan OJK harus segera antisipasi agar permasalahan ini tidak meluas dan dapat segera diatasi. Artinya, kalau sektor keuangan perlu untuk dibantu, dan di-bailout, maka bagaimana mekanismenya? Apakah akan seperti kasus Bank Century? Undang-undang No 23 Tahun 1999 (dan perubahannya), BI tidak lagi memberi dana talangan kepada bank komesial secara langsung. Artinya, pemerintah yang harus menanggungnya. Dibebankan ke APBN, seperti yang terjadi pada kasus Century. Sanggupkah pemerintah menanggung beban tersebut? Total pinjaman yang diberikan sektor perbankan per akhir 2019 mencapai Rp 5.680 triliun. Sedangkan perusahaan leasing sekitar Rp 450 triliun. Dengan kondisi Covid-19 belum mereda, bahkan semakin parah, dan aka nada karantina wilayah yang menjadi pilihan utama, kredit macet bisa mencapai Rp 1.500 triliun, atau 25 persen dari portfolio kredit. Kemungkinan jumlah kredit macet Rp 1.500 triliun tersebut cukup konservatif. Artinya, jumlah tersebut bisa bertambah. Kalau skenario ini terjadi, sektor keuangan akan kesulitan memenuhi kewajibannya. Kalau dana talangan harus diberikan sebesar itu, pemerintah akan sulit menanggung beban tersebut di APBN. Belum lagi beban-beban lainnya yang juga sangat penting untuk stimulus ekonomi, dan menanggung beban hidup masyarakat, serta dana penanggulangan Covid-19. Dampak lumpuhnya sektor keuangan akan berimbas juga ke pendanaan APBN. Sektor keuangan tidak bisa lagi membeli Surat Berharga Negara (SBN). Sebaliknya, APBN malah harus menanggung kewajiban mereka kalau harus terjadi bailout. Oleh karena itu, pemerintah, BI dan OJK harus segera mengantisipasi dan mencari solusinya. Tidak boleh gagal, karena harga yang harus dibayar sangat mahal sekali. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Siap-siap, Jakarta Akan Lockdown

By Tony Rosyid Jakarta FNN –Senin 30/03). Setelah lama, alot dan intens berkomunikasi, sepertinya pemerintah pusat mulai bisa memahami logika Anies mengapa Jakarta harus dilockdown. Bahasa undang-undangnya "karantina". Meski telat, tapi ini tetap lebih baik. Secara ekonomi, ini keputusan yang tidak populer, baik bagi Jokowi maupun Anies. Tapi, nyawa rakyat di atas segala-galanya. Harus diselamatkan. No choice! Kenapa Jakarta harus lockdown? Pertama, karena Jakarta adalah pusat covid-19. Penyebarannya extra masif. Day to day jumlah yang postif dan angka kematian meningkat secara signifikan. Dari 1.285 kasus yang positif covid-19, 675 ada di Jakarta. (data 29 Maret) Kedua, imbauan Pemerintah Pusat dan DKI untuk stay at home, social distancing dan menghindari kerumunan tidak sepenuhnya efektif bisa dijalankan. Sebagian warga kurang disiplin. Warga cenderung meremehkan dan tak peduli. Ketidakdisiplinan ini menjadi penyumbang terbesar penyebaran covid-19 di Jakarta, termasuk Jabodetabek. Ketiga, Jakarta adalah pusat interaksi dan titik pertemuan masyarakat dari seluruh pelosok negeri. Bahkan sebagian masyarakat dunia. Disinilah potensi kerumunan terjadi ,yang sangat berpotensi untuk terjadi penyebaran covid-19. Keempat, mandegnya pergerakan ekonomi, terutama di sektor non-formal, menyebabkan terjadinya arus mudik besar-besaran. Sebagian pemudik terbukti telah menjadi penyebar covid-19 ke daerahnya masing-masing. Akibatnya, di hampir semua provinsi telah terjadi penularan. Data menyebutkan, sumber utamanya mayoritas berasal dari Jakarta. Inilah yang menajdi alasan mengapa Jakarta harus lockdown. Warga Jakarta harus dikarantina. Arus keluar masuk Jakarta mesti ditutup sementara. Kecuali logistik, petugas dan kendaraan pribadi yang savety dari kemungkinan penyebaran orang. Apa indikasi Jakarta mau lockdown? Pertama, pemerintah pusat sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang akan dijadikan landasan untuk melakukan lockdown lokal. Kedua, Polda Metro Jaya sedang melakukan simulasi rakayasa dan penutupan jalan dalam formasi lockdown. Ini bentuk persiapan yang sangat serius. Ketiga, Direktur Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiadi, sudah membocorkan rencana lockdown di DKI Jakarta. Ini adalah hasil konsultasi dengan Menkomaritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Tentu, presiden dan gubernur DKI sudah mempersiapkan konsekuensi sosial dan ekonominya saat Jakarta lockdown. Termasuk tenaga dan fasilitas medis, serta bantuan sosial untuk warga DKI. Dalam menghadapi covid-19 saat ini, kekompakan semua elemen bangsa sangat dan sangat dibutuhkan. Pemerintah Pusat, pemerintah Daerah, tenaga kesehatan dan masyarakat harus bersinergi dan satu langkah. Hentikan semua bentuk perbedaan dalam menghadapi covid-19. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama-sama membuat satu kebijakan. Menyiapkan fasilitas medis dan memberikan bantuan sosial kepada rakyat yang terdampak secara ekonomi. Para tenaga medis bekerja full waktu, tenaga dan kemampuan untuk melayani pasien. Masyarakat harus disiplin pada aturan dan imbauan dari pemerintah. Ini yang harus diperhatikan. Jika tidak disiplin, harus didisiplinkan. Jika tidak taat aturan, harus dipaksa taat aturan. Ini konsekuensi lockdow. Karena ini berurusan dengan nyawa banyak orang. Perlindungan terbaik adalah mencegah penularan, kata Anies Baswedan. Dan perlindungan terbaik ini ada di masyarakat sebagai garda terdepan, lanjut Gubernur DKI yang sejak bulan Februari lalu sudah mengusulkan untuk lockdown. Dalam situasi sulit ekonomi akibat lockdown, masyarakat yang mampu secara ekonomi diharapkan bisa berpartisipasi untuk membantu mereka yang sedang kekurangan. Karena, tak semua dari mereka masuk dalam daftar bantuan pemerintah. Mesti dipahami, saat ini banyak OMM (Orang Miskin Mendadak). Akibat serbuan covid-19. Mereka kehilangan pekerjaan, dan jadi OMM. Soal bantuan sosial, masyarakat Indonesia sudah terlatih. Dua pekan ini, lembaga-lembaga sosial dan ormas seperti Baznas, Dompet Dhuafa', ACT, Wahdah Islamiyah, Yayasan Buddha Zu Chi, dan beberapa organisasi lain sudah bergerak untuk menyalurkan bantuan. Sementara berupa alat kesehatan. Selanjutnya, lembaga-lembaga sosial ini harus memikirkan rencana bantuan "sembako" kepada masyarakat yang terdampak, dan paling menderita-secara ekonomi. Terutama kepada OMM (Orang Miskin Mendadak) yang jumlahnya makin banyak. Tidak saja lembaga sosial dan ormas, tapi juga partai politik. PKS dan Gerindra kabarnya juga sudah turun lapangan dan men-support alat kesehatan ke sejumlah rumah sakit. Perlu juga mereka mengumpulkan dana untuk membantu masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Semoga langkah PKS dan Gerindra bisa diikuti oleh PDIP, PSI, Nasem, Golkar, PAN dan partai-partai lainnya. Kalau membeli jutaan baliho, spanduk dan kaos mampu, mosok nyumbang sembako gak bisa? Jika semua elemen bangsa ini kompak, bersinergi dan satu langkah, maka lockdown di DKI, juga di daerah-daerah lain, akan bisa dilakukan dan diatasi, terutama semua dampak ekonomi dan sosialnya. Sinergi inilah yang membuat orang lapar teratasi. Proses penularan covid-19 juga bisa dibatasi. Dengan begitu, jumlah orang yang positif Covid-19 dan angka kematian bisa ditekan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Peranan Militer Dalam Menghadapi Coronavirus

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN- Minggu (29/03). Pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas penanganan Covid-19 di bawah kendali Jenderal Doni Monardo, yang juga ketua BNPB (Badan Nasional Penangulangan Bencana). Pembentukan itu dilakukan melalui Kepres No. 7/2020 pada tanggal 13 Maret 2020. Lalu disempurnakan lagi dengan Kepres No.9/2020 beberapa hari berikutnya. Tujuan Gugus Tugas ini adalah membangun ketahanan kesehatan bangsa. Selain itu, mengendalikan pandemi coronavirus dan mensinergikan beberapa potensi lintas departmen dan wilayah untuk melawan pandemik itu. Sepanjang dua minggu ini Gugus Tugas dibentuk, kita masih melihat berbagai kejadian. Pertma, Kantor Menko Maritim dan Investasi melakukan konprensi perss tentang kedatangan bantuan RRC dengan wartawan tanpa "social distancing". Kedua, masyarakat melakukan gelombang mudik dari Jabotabek ke daerah-daerah, sehingga berpotensi menyebarkan virus corona ke daerah, khususnya di pulau Jawa. Ketiga, Dewan Guru Besar Kakultas Kedokteran Univesitas Indonesia (FKUI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah melakukan "lockdown". Namun pemerintah tidak mengindahkan. Keempat, Tenaga Kerja Asing (TKA) asal pandemik corona China datang ke Kendari yang mengakibatkan polemik dan saling serang antara petinggi negara, baik antara kementerian vs kementerian maupun kementerian vs Kepala daerah. Ketlima, pemerintah mengumumkan bahwa orang-orang miskin adalah sumber penularan penyakit. Keenam, pemerintah meminta rakyat menyumbang untuk mengatasi wabah ini. Ketujuh, Pemerintah Pusat memintah Pemerintah Daerah menanggung biaya sistem kesehatan nasional BPJS, padahal ini beban berada di Pemerintah Pusat. Kedelapan, belum ada kepastian kemampuan negara menanggung nasib ekonomi rakyat terkait dampak coronavirus. Kesembilan, Potensi kerawanan dan peningkatan kriminalitas paska kesulitan ekonomi belum bisa diantisipasi. Kesan lambatnya Gugus Tugas ini bekerja. Pertama, karena Gugus Tugas ini adalah institusi yang bersifat koordinatif. Sehingga unsur-unsur negara lainnya, seperti Pemerintah Daerah, dengan otoritas mereka yang dijamin UU, tetap melakukan langkah operasional yang merespon situasi di daerah. Respon ini terkadang terlihat belum terkoordinasi dengan Gugus Tugas Nasional. Contohnya, ketika Papua ingin melakukan "Lockdown". Surat yang dilayangkan Pemerintah Daerah Papua ditujukan kepada Jokowi dan atau Mendagri. Di sini peranan Gugus Tugas tidak signifikan. Kedua, konsolidasi Gugus Tugas terhambat karena konsolidasi logistik melalui realokasi anggaran membutuhkan waktu. Ketiga, pengerahan kekuatan pemaksa, antara lain aparatur militer dan polisi terkendala dengan sifat kordinasi ala sipil. Apakah Darurat Militer Perlu? Pernyataan saya dalam diskusi di stasiun TV nasional pada Jumat 27/3 malam kemarin, yang mendukung militer mengambil tugas operasi non militer adalah sebagai berikut. Pertama, situasi pandemik corona virus di Indonesia sangat kompleks dan komplikasi. Kompleks karena spektrum permasalahan terkait wabah dan dampak ekonomi yang sangat rumit karena pusat wabah ada di Jakarta. Lalu ke seluruh Jawa, di mana kepadatan penduduk mencapai 13.000-15.000 jiwa per kilometer persegi. Banyaknya perkampungan kumuh menyulitkan "physical distancing" dan "social distancing". Sehingga wabah akan sulit terkendali. Pada saat yang sama kekuatan sektor kesehatan kurang mendukung. Akselerasi wabah dibanding peningkatan kapasitas penanganan Covid-19 sangat berbanding terbalik. Beberapa dokter dan tim medis sudah kewalahan dan menjadi korban tertularnya Covid-19. Kedua, kemiskinan yang tinggi dan tidak gampang di atasi dalam situasi wabah. Membutuhkan strategi logistik yang cepat. Dimana orang-orang miskin harus mendapatkan haknya untuk makan. Apabila orang-orang miskin tidak dilindungi, maka ada legitimasi bagi orang-orang miskin menuntut hak-haknya untuk makan dengan jalan kekerasan. Ketiga, secara fisik TNI memiliki kekebalan tubuh relatif lebih baik dari non TNI. Fakta sudah menunjukkan beberapa kepala daerah, pejabat daerah, menteri, DPR, dan elit2-elit nasional non militer, terinfeksi coronavirus. Sebagiannya ada yang wafat. Dalam situasi wabah tentu saja garda terdepan dalam mengolala negara, baik berkaitan dengan wabah, maupun dampak sosial ekonominya, perlu dikelola orang-orang militer. Mereka secara fisik lebih memiliki imunitas yang tinggi dibandingkan non militer. Keempat. satuan TNI memilik Sapta Marga dan payung UU untuk bertanggung jawab dalam menyelamatkan segenap tumpah darah anak-anak bangsa ini. Tentu saja ada perdebatan kapan TNI melakukan respon memenuhi panggilan tugas-tugas itu? Disini berlaku ungkapan lebih cepat lebih baik. Tentara dan Demokrasi Soal tentara masuk dalam urusan wabah coronavirus ini, memang menjadi isu sensitif. Sebagian orang mendendam kehadiran militer dalam urusan sipil. Saya sendiri yang menjadi korban oposisi dalam rezim militer Orde Baru paling trauma kalau tentara mengambil alih situasi. Namun, kecerdasan memahami situasi adalah hal yang paling penting saat ini. Situasi saat ini merupakan situasi "unprecedented" bagi kita. Belum pernah bangsa ini diserang virus. Diserang virus tidak dapat dihadapi dengan model perang menghadapi manusia maupun robot. Menghadapi virus dalam situasi kompleksitas kita dan komplikasi masalah akan cepat atau lambat memusnahkan elit-elit bangsa. Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat kita. Dengan demikian cara pandang kita pada situasi seperti ini adalah membutuhkan kehadiran kekuatan yang bergerak dengan cepat dan tepat. Dan kekuatan tersebut hanya ada pada militer. Sehingga pikiran kita soal demokrasi untuk sementara dapat dikebelakangkan dahulu. Disinilah dibutuhkan trust. Sebuah kepercayaan untuk meminta kekuatan yang siap, sigap dan cepat daya geraknya. Juga kepercayaan bahwa TNI tentu tidak serta merta mengambil keuntungan nantinya paska wabah tersebut coronavirus ini berakhir. Penutup Peranan militer dalam mengambil alih penangan wabah coronavirus ini sudah sangat diperlukan. Mengingat wabah coronavirus di Indonesia berkembang sangat cepat. Beberapa wilayah bahkan sudah phobia virus menjalar dari Jakarta ke daerah-daerah. Apalagi nanti pada musim mudik Ramadhan dan lebaran. Dukungan saya ini tidak bermaksud mengurangi supremasi sipil dan demokrasi. Namun kompleksitas persoalannya dan komplikasi yang terjadi, cepat atau lambat akan menjadi ancaman besar. Bisa saja kita percaya pada Gugus Tugas yang dikomandoi Jendral Doni Monardo, namun kelemahan struktural karena bersifat kordinatif harus diukur terus. Jika dalam waktu dekat ini (saya garis bawahi jika dalam waktu dekat) akselerasi wabah ini semakin tidak terkendali, ada baiknya darurat militer diberlakukan. Sebagai pecinta demokrasi kita perlu memberikan kepercayaan pada militer mengatasi pandemik ini. Mudah-mudahan pikiran saya ini tidak ditanggapi emosional. Saya sendiri adalah oposisi terhadap rezim militer di masa Orde Baru. Namun, saat ini saya berpendapat sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang, saatnya bagi militer menolong rakyat sebagai ayah kandungnya . Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.