NASIONAL
Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaan
Strategi Presiden Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaanjelas berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah menanggung biaya finansial yang sangat besar dalam menghadapi pandemi dan akibat ekonominya. Secara implisit, ketidakmampuan itu disampaikan Presiden ketika menjelaskan mengapa pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan melakukan karantina wilayah atau lockdown. By Rachland Nashidik Jakarta FNN – Kamis (23/04). Presiden, dalam dialog dengan Najwa Shihab tentang strategi mitigasi pandemi, mengatakan "mudik" dan "pulang kampung" adalah dua hal berbeda. "Mudik", kata Presiden, adalah mobilitas penduduk Ibu Kota ke daerah dalam rangka merayakan hari raya di kampung. Bisa pada hari raya Idul Fitri. Bisa juga pada raya Idul Adha. Jadi "mudik" ini merujuk pada kelas menengah yang sudah bermigrasi ke Jakarta. Kalau "Pulang kampung"? Ya sebaliknya. Menunjuk pada penduduk pendatang. Mereka itu penduduk miskin kota, yang pulang ke daerah asal karena di Jakarta kehilangan pekerjaan. Sebab apa Presiden Membedakan Mudik dari Pulang Kampung? Dalam mitigasi pandemic Covid-19, dua jenis mobilitas mamsyarakat yang dimaksud Presiden tersebut, sebenarnya sama-sama beresiko memperluas penyebaran dan penularan virus. Lagi pula secara leksikal, dua hal tersebut sebenarnya menunjuk pada mobilitas orang yang sama, yakni berpindahnya penduduk dalam suatu waktu dari Ibu Kota ke daerah-daerah. Itu sebabnya, penjelasan Presiden lalu jadi terasa kosong dan menggelikan. Namun Presiden dengan ungkapan itu sebenarnya menjelaskan sesuatu yang terlalu penting untuk sekadar kita tertawakan. Hanya jadi lelucon. Tampak kalau Presiden sesungguhnya sedang menjalankan strategi politik keamanan yang menghalalkan segala cara. Bagi Presiden, "mudik" harus dilarang. Lantaran “mudik” mencegah kemungkinan penularan virus mengikuti mobilitas pemudik dari Jakarta ke daerah, dan dari daerah ke Jakarta. Kalau "pulang kampung" justru harus diijinkan, bahkan malah didorong. Tujuannya, untuk mengurangi konsentrasi rakyat miskin kota di Jakarta. Dengan cara itu, masalah dikeluarkan dari Jakarta. Masalah jadi berpindah ke daerah yang tiba-tiba harus menampung mereka. Ikut menanggung potensi masalah sosial berikut resiko penyebaran virusnya. Presiden mungkin diberitahu, kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini bisa memicu letupan sosial politik yang akan menantang kekuasaannya. Makanya Presiden bergerak cepat mengantisipasi upaya-upaya untuk menentang kekuasaannya. Presiden bukan saja berusaha mengisolasi Jakarta dari resiko lebih lanjut penyebaran virus. Serentak dengan begitu, berusaha melindungi Istananya dari kemungkinan letupan sosial akibat rakyat kehilangan pekerjaan dan tak bisa makan. Srategi Presiden jelas berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah menanggung biaya finansial yang sangat besar dalam menghadapi pandemi dan akibat ekonominya. Secara implisit, ketidakmampuan itu disampaikan Presiden ketika menjelaskan mengapa pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan melakukan karantina wilayah atau lockdown. Demikianlah mengapa Presiden membedakan "mudik" dari "pulang kampung". Dan dari situ kita bisa melihat cara berpikirnya. Masalahnya adalah kesehatan. Pendekatannya keamanan. Dasarnya ekonomi. Tujuannya melindungi kekuasaan. Penulis adalah Politisi Partai Demokrat
Pandemi Corona Dan Penyelamatan Investasi Masa Depan
Oleh: Syamsul Qomar Jakarta, FNN - “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tapi seorang pemuda mampu mengubah dunia!” (Soekarno) DAMPAK kesehatan serius COVID-19 tampaknya dirasakan oleh orang tua berusia lebih dari enam puluh tahun. Namun, karena coronavirus telah menjadi pandemi, menyebar melalui masyarakat dan melumpuhkan beberapa sektor ekonomi, kaum muda, yang jumlahnya kira-kira seperempat dari populasi Indonesia, secara tidak proporsional menghadapi risiko ekonomi. Statistik Pemuda Indonesia 2019 (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa saat ini terdapat sekitar 64,19 juta pemuda yang tersebar di wilayah NKRI dan mengisi hampir seperempat jumlah penduduk Indonesia (24,01 persen), dan sejatinya pemuda memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam perekonomian nasional, mengingat mereka merupakan aktor dalam akselerasi pembangunan. Namun demikian, Pemuda adalah elemen masyarakat yang sangat rentan terdampak krisis Corona dalam aspek ekonomi hingga tiga kali lebih mungkin menjadi pengangguran daripada orang dewasa. Sebagai respon atas penyebaran masif coronavirus ke hampir seluruh daerah, banyak perusahaan swasta, organisasi dan institusi pemerintah membatalkan kegiatan, menyetop produksi sementara, menerapkan “work from home” bagi karyawan. Banyak Kota dan kabupaten bahkan mengambil langkah-langkah penting untuk mencoba dan mengurangi tingkat penyebarannya, termasuk melarang pertemuan atau acara besar, menutup sekolah, membatasi masuk, dan bahkan mendirikan zona pembatasan masyarakat melalu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB). Lebih jauh, ancaman virus corona mempengaruhi perilaku sosial, termasuk karantina diri dan jarak fisik antar individu masyarakat, membatasi publik dan kontak antarpribadi. Dampak negatif terhadap ekonomi sangat jelas terasa, pada pekerja muda dan usaha kecil menengah yang cenderung signifikan. Menurut International Labor Organization, pengangguran kaum muda secara global mengalami kenaikan saat terjadi krisis. Kaum muda cenderung bekerja dalam pekerjaan musiman, temporer, informal, dan lebih cenderung untuk pekerjaan freelance atau paruh waktu tanpa diberikan tunjangan kesehatan atau cuti berbayar. Kondisi ini membuat kaum muda lebih rentan terhadap pemotongan pekerjaan atau kontrak, pemberhentian hubungan kerja secara sepihak, dan selanjutnya mengalami pengangguran jangka panjang. Terlebih lagi, pekerja muda banyak mengisi sektor pekerjaan dengan keterampilan rendah di ritel dan sektor jasa pelayanan (termasuk perhotelan, bisnis makanan dan cafe) - yang sangat rentan terdampak Corona. Secara lebih spesifik kondisi riil di Indonesia menyebutkan bahwa lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja pemuda adalah sektor jasa-jasa (55,20 persen). Sedangkan menurut jenis pekerjaan utama yang dibagi dalam 8 kategori, sebagian besar pemuda bekerja sebagai tenaga produksi dan angkutan. Lebih dari separuh pemuda yang bekerja berstatus sebagai buruh/karyawan (58,81 persen), diikuti pekerja keluarga atau tidak dibayar (14,29 persen). (BPS, dalam Statistik Pemuda Indonesia 2019) Pada tahun 2019, lebih dari separuh pemuda Indonesia bekerja (53,89 persen), sisanya aktif sekolah, mengurus rumah tangga, serta sibuk mencari dan mempersiapkan pekerjaan. Persentase pemuda laki-laki yang bekerja lebih besar daripada perempuan, dan lebih dari separuh pemuda bekerja berada pada kelompok umur 19-24 tahun dan 25-30 tahun. Selain itu, masih terdapat sekitar 18,51 persen pemuda usia 16-18 tahun yang bekerja, padahal usia tersebut masih termasuk usia sekolah. Pemuda yang terlibat dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi, hal ini dinyatakan dengan nilai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pemuda sebesar 61,96 persen. Artinya, sekitar tiga dari lima pemuda sedang bekerja, mempersiapkan pekerjaan, atau mencari pekerjaan. Sebelum Pandemi Corona, Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda Indonesia tahun 2019 sebesar 13,03 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari setiap 100 angkatan kerja pemuda, terdapat sekitar 13 pemuda tidak bekerja dan sedang mempersiapkan usaha atau mencari pekerjaan. TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pemuda di perdesaan. Nilai TPT pemuda yang paling tinggi adalah mereka yang berpendidikan SMA/sederajat, diikuti PT dan SMP/sederajat. Isu Pengangguran kaum muda ini menjadi satu konsen dan fokus pemerintah melalui serangkaian kebijakan dan program untuk mendukung kaum muda mengatasi goncangan jangka pendek dari coronavirus. Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) pada kurun waktu 2030-2040. Pemerintah, swasta dan masyarakat harus bergerak seirama menyelamatkan pemuda agar visi bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030-2040 bisa tercapai untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Apapun kondisi akibat Pandemi Corona, program dan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pemuda harus tetap berjalan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Alokasi Anggaran Negara harus memprioritaskan pembangunan pemuda (salah satu agenda strategis nasional RPJMN Republik Indonesia) sebagai aset masa depan republik ini. Bersama dengan sektor swasta, BUMN, pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat, program pengembangan dan pemberdayaan kaum muda diarahkan untuk membuka akses pemuda menjangkau sumber daya secara digital untuk dengan cepat mendapatkan keterampilan baru dan mendapatkan penghasilan ekonomi secara mandiri. Kemenpora, sebagai core lembaga pemerintah dalam pembangunan kepemudaan (dan olahraga) nasional Indonesia, berfokus pada penanganan pandemi Corona pasca krisis, yakni memastikan program pengembangan dan pemberdayaan pemuda tetap berjalan maksimal. Krisis pandemi Corona memang akan meninggalkan dampak, tapi tidak sampai menghambat, justru melahirkan inovasi dan kreasi baru dalam menstimulasi program dan kebijakan pemerintah di bidang kepemudaan dengan satu atau ribuan cara lain. Pendidikan, pengembangan potensi kewirausahaan dan pemberdayaan pemuda diarahkan untuk dapat membantu generasi muda bisa tetap berkarya dan survive menghadapi kesulitan, stres, ketakutan dan kehilangan pekerjaan selama dan setelah krisis. Pengembangan potensi pemuda salah satunya adalah dengan memberikan keterampilan dan pelatihan bisnis secara digital melalui Program Digital Enterprenur Millenials Kemenpora yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Program ini sesuai dengan objektifitas lapangan dimana aktifiitas ekonomi dan perdangan elektronik (e-commerce) cenderung paling bisa bertahan dibandingkan sektor ekonomi konvensional yang terhenti dan lumpuh akibat pemberlakuan PSSB. Hal ini juga linear dengan Data BPS 2019 yang melihat fakta bahwa Pemuda Indonesia mayoritas sudah melek teknologi: Terdapat 88,66 persen pemuda yang memiliki HP dan 93,78 persen pemuda menggunakan HP selama tiga bulan terakhir. Selain itu, terdapat pula sekitar 26,27 persen pemuda yang menggunakan komputer dan 81,22 persen pemuda menggunakan internet selama tiga bulan terakhir. Penting untuk merancang metode khusus penyampaian program kepemudaan melalui pengajaran dan pembelajaran baru dengan penggunaan teknologi modern akan memainkan peran penting dalam mengembangkan dan memberdayakan kaum muda Indonesia yang terkena dampak pandemi Corona. Kemenpora sebagai Kementerian Investasi Masa Depan, ditargetkan pada inovasi dan kreasi pengembangan kualitas generasi muda. Terakhir, mengutip Daisaku Ikeda, seorang Tokoh Nasional Negara Jepang, “History has always been shaped by the power of youth.”, bahwa sejarah besarnya Negara Republik Indonesia di masa depan, ditentukan oleh pemudanya saat ini. Penulis adalah Tenaga Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
Perppu No. 1/2020 Hanya Copy Paste Dari Perppu No. 4/2008
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (22/04). Menjelang akhir tahun 2007, krisis finansial global pecah. Krisis ini membawa ekonomi dunia masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia 2008 negatif 1,85 persen. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 15 Oktober 2008. Perppu adalah undang-undang (UU) yang diterbitkan secara sepihak oleh Presiden. Perpu bisa saja diterbitakan oleh Presiden tanpa melibatkan dan persetujuan DPR. Sedangkan pembentukan UU garus disetujui kedua belah pihak. Pemerintah dan DPR. Penerbitan Perppu adalah hak subyektif Presiden ketika Presiden merasa adanya ancaman yang membahayakan. Istilah di UU, kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan krisis finansial global, Presiden ketika itu merasa ada kegentingan yang memaksa sehingga menerbitkan tiga Perppu sekaligus. Pertama, Perppu No 2 tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008. Kedua, Perppu No 3 tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober. Dan Perppu No 4 tahun 2008 (Perppu No 4/2008) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Perppu diterbitkan karena negara butuh UU yang harus diberlakukan seketika. Ada kegentingan yang memaksa secara mendadak. Sedangkan UU untuk itu belum ada, atau ada tetapi tidak cukup memadai. Karena itu Perppu diterbitkan secra sepihak oleh Presiden. Namun Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. DPR bisa menerima atau menolak Perppu tersebut. Sehubungan dengan terbiatnya Perppu No 4/2008, DPR menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU. Penolakan umumnya terkait Pasal 29 yang memberi kekebalan hukum kepada para pejabat serta semua pihak pelaksana Perppu. Mereka para pejabatnya tidak boleh dihukum secara pidana maupun perdata. Rancangan Perppu No.4/2008 itu yang mau diulangi lagi sekarang di Perppu No.1/2020. Pasal 29 Perppu No.4/2008 itu berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu No 4/2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia. Pemerintah belum lama menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Cakupan Perppu No 1/2020 ini jauh lebih luas dan lebih “radikal” dari Perppu No 4/2008. Perppu No 1/2020 selain mengatur Stabilitas (atau Jaring Pengaman) Sistem Keuangan juga mengatur kebijakan Keuangan Negara dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Perppu No 1/2020 dianggap lebih “radikal” karena pemerintah dapat menentukan APBN secara sepihak tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Defisit anggaran yang awalnya maksimal 3% dari PDB menjadi tidak terbatas, dan berlaku selama tiga tahun. Selain itu, semua pasal yang menjadi alasan DPR menolak Perppu No 4/2008 masih ada di dalam Perppu Pandemi Covid-19 ini. Pasal tentang kekebalan hukum yang banyak mendapat sorotan publik di Perppu No.4/2008, kini nongol lagi di Perppu No.1/2008. Ada tambahan wewenang absolut pemerintah di bidang anggaran yang tidak memerlukan persetujuan DPR. Waktunya bukan saja untuk tahun 2020, tetapi selama tiga tahun. Selain itu, tentang wewenang dan kekuasaan Bank Indonesia dan pemerintah yang sangat besar dalam menentukan dan memberikan pinjaman likuiditas maupun penyertaan modal kepada semua bank yang dianggap kesulitan likuiditas. Begitu juga dengan bantuan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Semua itu dapat dilakukan tanpa persetujuan DPR. Sangat hebat kan Perppu No.1/2020 ini? Secara logika, seharusnya fraksi DPR yang dulu menolak Perppu No 4/2008 diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai fraksi-fraksi ini sebagai petualang politik yang hanya membela kepentingan sesaat. Karena alasan untuk penolakan di Perppu No 4/2008 masih sangat valid dan berlaku untuk Perppu No 1/2020 ini. Sedangkan fraksi yang dulu menerima Perppu No 4/2008 untuk disahkan jadi UU, yaitu fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Alasannya sederhana, yaitu taat hukum dan konsisten dengan keputusan yang lalu. Dengan perhitungan seperti ini, Perppu Pandemi covid-19 menghadapi tantangan untuk ditolak oleh semua fraksi. Dalam bidang hukum ,dikenal yang namanya “yuris prudensi”. Yaitu keputusan hukum pada periode lalu dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama pada periode sekarang. Apakah dalam politik juga akan ada semacam “politik prudensi”? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
APBN Ringkih Dimasa Krisis Pandemi
Surat Terbuka Kepada Pemerintah, DPR dan BPK By Andi Rahmat Jakarta FNN- Rabu (22/04). Saya membaca keterangan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan soal materi yang diatur oleh Perpres No 20/2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Terus terang, saya mengernyitkan dahi. Terutama karena judulnya cukup menimbulkan tanya. Sebagai mantan anggota Badan Anggaran DPR RI dan Mantan Pimpinan Komisi XI DPR RI, istilah postur dan rincian APBN sudah barang tentu menjadi menu sehari- hari saya selama kurang lebih 10 tahun mengabdi di Senayan. Postur dan Rincian APBN adalah APBN itu sendiri. Dalam hal rincian, selain “satuan tiga” (ini istilah untuk alokasi anggaran yang memuat kegiatan/ jenis belanja pemerintah), semuanya adalah bagian yang melekat dalam pembahasan RUU APBN setiap tahun. Soal “satuan tiga” ini sudah dinyatakan bukan kewenangan DPR dalam pembahasan RUU APBN oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 35/PUU-XI/2013. Selain itu, semua hal yang berkaitan APBN tetap merupakan kewenangan DPR sebagai pemegang Hak Budget menurut UUD 1945. Postur adalah bangunan esensial APBN yang mencerminkan besaran Pendapatan/ Penerimaan Negara. Juga Belanja Negara dan Sumber Pembiayaan Negara. Postur adalah hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam pembahasan RUU APBN. Postur itulah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk pasal demi pasal di dalam UU APBN hasil pembahasan DPR dan Pemerintah. Ringkasnya, Postur yang telah diuraikan dalam bentuk pasal demi pasal itulah yang kita sebut sebagai UU APBN. Begitu aturanya mainnya. Tidak lebih. Karena itu pula, dan dalam rangka memenuhi hak konstitusionalnya, maka DPR membentuk Alat Kelengkapan yang bersifat permanen dalam membahas RUU APBN menjadi UU APBN setiap tahun. Alat kelengkapan ini berna ma “Badan Anggaran DPR”. Demikian juga dengan rincian anggaran. Rincian anggaran adalah penjabaran lanjut dari Postur APBN. Populernya sering disebut sebagai “Nomenklatura”. Yang intinya menjelaskan mengenai besaran porsi alokasi anggaran dari masing-masing institusi pengguna anggaran. Sekali lagi, mengenai jenis kegiatan/ belanja yang lazim disebut sebagai “satuan tiga” tidak termasuk dalam bagian yang dibahas di DPR. Memahami kegentingan yang dihadapi bangsa dan negara kita akibat pandemi Covid-19 ini adalah hal yang penting. Suatu tindakan berskala dan berimplikasi besar memang sepatutnya diambil Pemerintah. Dampak kesehatan dan ekonomi yang tengah kita hadapi ini belum pernah terjadi, bahkan setelah tahun 1965 sekalipun. Krisis 1998 bahkan tidak sebanding dengan apa yang kita hadapi saat ini. Dari kacamata perekonomian, skala persoalan yang dihadapi sekarang ini berpotensi memutus hubungan supply dan demand dalam perekonomian. Masalah yang paling mendasar dalam praktek perekonomian. Diperlukan konsentrasi kebijakan yang extraordinary untuk mempertahankan perekonomian dari kerusakan yang sulit dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini berjudul “ APBN Ringkih di Tengah Krisis”. Sebab fundamen dasar dari semua tindakan yang diambil otoritas sudah seharusnya memiliki landasan yang kuat dan tidak mengundang polemik baru. Sumber keringkihannya adalah dasar dari semua tindakan Budgetary otoritas. Bisakah semua tindakan Budgetary pemerintah itu tidak bersumber dari UU APBN? Apakah bisa suatu peraturan dibawah UU seperti Perpres bisa menjadi dasar tindakan Budgetary pemerintah? Sejak kapan pelaksanaan Budgetary Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Perpu? Sejak kapan Postur dan Rincian Anggaran selain “satuan tiga” bukan merupakan esensi UU APBN? Semua pertanyaan itu adalah sumber keringkihan penanganan krisis. Membiarkan pemerintah dalam “perangkap kebijakan” bukankah merupakan suatu kekeliruan yang fatal? Sejak awal saya mendorong agar Pemerintah mengajukan suatu RUU APBN Perubahan dengan menggunakan Perpu 1/ 2020 sebagai dasar pembahasannya dengan DPR. Yang terjadi adalah, perubahan postur dan rincian anggaran melalui perpres. Perpu itu sendiri diperlakukan sebagai UU APBN. Bukankah ini suatu hal yang sangat ringkih? Kehidupan bernegara yang sehat adalah kehidupan berkonstitusi. Kita memiliki konstitusi yang kuat dan bisa berfungsi secara normal. Bahkan dalam keadaan paling krisis sekalipun. Konstitusi adalah kekuatan ketahanan kita sebagai bangsa dan negara. Saya meyakini, dengan kepala dingin, problematika krisis yang kita hadapi ini bisa kita lewati di atas dasar konstitusi kita. Belum terlambat untuk merevisi apa yang kurang kuat dan ringkih. Krisis tidak akan menenggelamkan jiwa yang optimis dan sadar pada warisan bersejarah pendiri bangsa. Segera ajukanlah APBN saja Perubahan. Dengan modal dukungan kuat di DPR dan mandat kuat yang dimiliki pemerintah, Pembahasan APBN Perubahan tidak akan berlarut-larut. Bisa cepat selesai. Saya pernah di Senayan. Saya tahu, kalau perangkat pengalaman pemerintah dan pimpinan, serta anggota DPR bisa membahas APBN Perubahan ini dalam waktu yang singkat. Jangan biarkan tindakan extraordinary dan bersejarah bangsa kita ini, berpijak pada landasan yang ringkih. Kepada Allah SWT semuanya berpulang. Semoga bangsa kita segera bisa segera keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam Bishawab. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Kepresidenan Pak Jokowi Terlihat Buruk?
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Ahad (19/04). Presiden itu pemerintah, dan pemerintah itu presiden. Tidak lebih, apapun argumennya. Itulah konsekuensi konstitusional dari pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), suka atau tidak. Penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan berpusat di kantor presiden (kepresidenan). Dalam kerangka itu, Presiden dibantu dua figur tata negara. Kedua figur itu adalah Wakil Presiden dan menteri-menteri. Wakil Presiden, dengan demikian, menjadi figur pertama dalam terminologi membantu presiden. Ini diatur pada pasal 4 ayat (2) UUD 1945. Figur kedua, menteri-menteri. Ini diatur pada pasal 17 UUD 1945. Walau sama-sama berfungsi membantu Presiden, namun Wakil Presiden diberi kapasitas hukum berbeda dengan menteri oleh konstitusi. Menariknya, walau Wakil Presiden diberi kapasitas lebih tinggi dari menteri-menteri, tetapi UUD 1945 tidak mendefenisikan secara spesifik fungsi wapres. Presiden, suka atau tidak, eksis disepanjang penalaran konstitusional sebagai chief of government. Bahkan dapat dikatakan chief of the chief. Presiden adalah bosnya Wapres, juga bosnya menteri. Suka atau tidak. Tertib kehidupan berkonstitusi mengharuskan siapapun menerima konsekuensi itu. Soal Penghinaan Kepresidenan telah sangat eksis. Itu jelas. Serangkaian kebijakan menangani Corona telah dikeluarkan sejauh ini. Kebijakan-kebijakan itu, satu dan lainnya mengundang tanggapan sangat kritis. Tetapi entah bagaimana saja isi kritik sebagian orang, cara pandang kekuasaan segera menjatuhkan lebel sebagai penghinaan terhadap presiden. Terlihat dari energi besar keluarnya kebijakan penegakan hukum kepada siapapun yang “menghina presiden.” Apakah kebijakan ini keluar atas perintah, setidaknya brifing Presiden atau prakarsa mandiri Kepolisian? Tidak jelas. Tetapi apapun itu, kebijakan ini menarik dilihat dari sudut tata negara. Dalam pandangan tata negara kebijakan itu mesti dipertalikan dengan pasal 207 KUHP. Menariknya, pasal 27 UU ITE, entah bagaimana penalarannya, juga disangkut-pautkan. Padahal dua pasal ini memiliki perbedaan sangat fundamental dalam rute tata negara. Pasal 207 KUHP menggunakan terminologi “penguasa atau badan umum”. Maknanya pasal ini menjadikan “status tata negara” pada subyek yang dihina sebagai keadaan yang menentukan. Keadaan penentu ini tidak dimiliki oleh pasal 27 UU ITE. Pasal ini menunjuk subyek hukum umum, siapa saja, natural person. Pasal ini tidak menjadikan status tata negara sebagai keadaan penentu. Oleh karena pasal 207 KUHP itu menjadikan “penguasa atau badan hukum umum” sebagai keadaan penentu, maka siapa saja yang memegang kekuasaan umum, termasuk kepala desa dan kantor desa menjadi subyek pasal ini. Mengapa? Secara hukum kepala desa menyandang status hukum sebagai penguasa umum pada level desa. Kantor desa menyandang status hukum sebagai badan hukum umum. Bagaimana dengan konsekuensi yang ditimbulkan dari pasal 27 UU ITE disisi lain? Dilihat dari sudut tata negara, pasal ini mengaburkan “status presiden” sebagai manusia artifisial. Karena terminologi presiden menunjuk pada nama jabatan. Nama ini, bukan dan tidak pernah dalam ilmu hukum manapun di dunia ini, disandang manusia dalam makna natural. Nama itu “presiden” bukan bawaan alamiah. Status artifisial inilah, sekali lagi, dikaburkan oleh pasal 27 UU ITE itu. Apa konsekuensinya? Pasal ini mengakibatkan presiden memiliki dua status pada saat yang bersamaan. Presiden berstatus sebagai manusia alamiah, natural person, sekaligus sebagai legal person. Konsep ini khas hukum anglo saxon yang dipraktikan Inggris sebelum akhir abad ke-17. Dalam hukum ini Raja memiliki double status. Padanya melekat dua kapasitas hukum. Kapasitas sebagai manusia natural, dan sebagai manusia artificial. Status artifisial itu menunjuk raja sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam kerajaan. Dalam konteks sebagai penyelenggaraan pemerintahan, menurut hukum anglo saxon, raja atau ratu berstatus sebagai the body of politics. King as a body of politics. Hukum anglo saxon, menggariskan raja as a political body, menjadi subyek hukum publik. Tindakan-tindakannya dibatasi oleh hukum. Raja dapat dimintai pertanggung jawaban. Ini diterangkan oleh John Cowel, dalam kajiannya “interpreter”, yang dikutip Eric Enlow, dalam article “The Corporate Conception of The State and the Origin of Limited Constitutional Government”. Apa konsekuensi teknis dari penggabungan pasal 207 KUHP dan pasal 27 UU ITE itu? Secara hukum tindakan-tindakan presiden tidak dapat dibedakan. Dapat diklasifikasikan sebagai tindakan pribadi dan tindakan jabatan. Akibatnya, kritik padanya sebagai presiden bernilai sebagai kritik terhadap dirinya sebagai pribadi. Natural person. Ini sangat buruk. Pada konteks inilah saran kritis Pak SBY beberapa waktu lalu memiliki makna yang bagus, berkelas dan bermutu tinggi. Mainannya Wall Street Pasal 27 dan 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang panjang judulnya itu, dapat dimengerti dalam konteks di atas. Mengapa? Dua pasal ini mengaburkan konsep natural person dan legal person. Kekaburan itu tercermin dari penegasan pejabat-pejabat itu tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum pidana, perdata dan tata usaha negara. Juga proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan dikeluarkan dari kontrol DPR. Negara dikelola, setidaknya dalam isu ini, dengan nalar beraroma abad kegelapan. Nalar ini telah terserap dalam liberalisme dan kapitalisme global. Caranya, yang satu dan lainnya tidak mudah dikenali. Mengapa begitu? Liberalisme dan kapitalisme global menyembunyikan watak leviathan itu dalam rule of law, efisiensi, pasar global, transparansi dan akuntabilitas. Tabiat leviathan mengambil bentuk berupa negara besar, tetap besar dalam semua aspeknya. Yang kecil ya tetap kecil dalam semua aspeknya. Yang besar yang menentukan rule of the game. Yang kecil bermain di dalam rules mereka. Itulah kredo demokrasi leviathan, demokrasi liberal. Dalam tampilan praktisnya, demokrasi membenarkan terjadinya penindasan, sembari mengaburkannya dengan sorak-sorai olimpian khas Walter Lippman. Sisi-sisi itu juga terlihat pada kebijakan Kartu Pra-Kerja. Kartu “tak sakti ini” ternyata tak membuat pemegangnya mendapatkan pekerjaan. Pemegang kartu ini hanya diberi pelatihan secara “online”. Berapa biaya pelatihan Online? Triyunan rupiah bung. Siapa yang menjadi pelatihnya? Siapa yang bertindak sebagai pengelola pelatihan? Korporasi besar yang culas dan tamak? Atau jin dan iblis? Yang pasti bukan jin, bukan pula iblis. Lalu siapa mereka? Wallau a’alam bishawab. Gelap segelap-gelapnya. Sial betul, pemerintah mengistimewakan usaha online ini. Usaha motor yang terkait dengan online, dibenarkan membawa penumpang ditengah PSBB. Hebat, mereka juga diberi discount beli minyak dari Pertamina. Ojek dan angkot biasa? Tidak. Begitulah nalar praktis kebijakan yang terlihat bernafaskan liberal dan berjiwa leviathan tersebut. Aroma leviathan itu juga bekerja dalam kebijakan surat berharga global,atau “global bond”. Ini mahluk berasal-usul dari dunia Wall Street di Amerika sana. Mahluk ini berjiwa hutang demi hutang, dengan nama dan bentuk yang berbeda. Bond ini, entah berapa ratus trilyun nilainya. Tetapi tenornya kalau tak salah 70 tahun. Tragis sekalai. Duit itu kelak dipakai membiayai sejumlah hal yang lumayan hebat. Bansos, kartu pra-kerja, relaksasi kredit, plus bunga kredit dari korporasi, restitusi pajak dan juga UMKM. Semua itu butuh uang. Kenyataannya kas negara tak cukup menyediakan uang sebesar itu. Jadi? Jual saja apa yang bisa dijual dan berhutang saja kepada rentenir global yang bisa kasih hutang. Simpel saja. Itulah respon atas keadaan. Bukan hanya keuangan, tetapi juga ekonomi yang dalam pandangan sejumlah ekonom, memang telah babak belur saat ini. Tetapi responnya harus tepat. Bila tidak tepat, maka setiap kebijakan akan mempercepat bangsa ini bergerak ke lautan bangsa kuli, sebagaimana rancangan Belanda dulu. Ketepatan respon dalam mengelola ekonomi, tampak menjadi argument, entah utama atau sampingan, dibalik kebijakan membiarkan kereta api beroperasi hingga saat ini. Sama-samar, tetapi argumen sejenis terlihat bekerja dibalik kebijakan tak jelas atas mudik. Boleh jadi, argumen itu pula berada dibalik tenaga kerja asal China yang dibiarkan terus masuk ke Indonesia di tengah gunung pengangguran saat ini. Bangsa ini memang harus terus memutar akalnya agar bisa berlari mengejar impian menjadi negara hebat. Kualifikasi Trump terhadap negara ini sebagai kaya, tak bisa sepenuhnya ditelan. Trump, yang dikenal cerdik, hanya membuat bangsa ini terlena. Sebutan itu hanya akan membuat bangsa ini mati akal, sehingga terus berada dipersimpangan jalan maju dengan ladang hutang. Setelah itu mundur juga dengan hutang. Pelajaran Pak Harto Semua kebijakan di atas sejauh ini, lahir dari kreasi menteri. Sejauh Presiden tidak menilai, terbuka atau tertutup, bertentangan dengan isi fikiranya, kebijakan itu harus dilihat sebagai tindakan kepresidenan. Suka atau tidak. Konsekuensinya Presiden memikul tanggung jawab konstitusional atas kebijakan itu. Kepresidenan Pak Harto, presiden yang cukup sering dituduh otoriter. Menampilkan otoriter secara aktual dalam seluruh spektrum pemerintahannya. Pak Harto membiarkan pembantunya membuat kebijakan, apapun itu. Tetapi semuanya masuk dalam radar Pak Harto. Tidak ada menteri, siapapun mereka, sehebat apapun orang itu dilihat masyarakat, yang tak berada dalam kontrol khas Pak Harto. Serangkaian fakat itu dirangkai secara bernas oleh Profesor Salim Said, Jurnalis Senior yang jadi ilmuan politik kawakan ini. Itu dituangkan dalam buku berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian.” Benny Moerdani, sosok yang tampil sebagai penjaga Pak Harto paling tangguh ini, dalam kenyataannya tidak berdaya, ketika Pak Harto tak lagi berkenaan dengan sepak terjangnya. Benny Moerdani, sosok yang juga menakutkan Profesor Salim itu, akhirnya diberhentikan dari jabatannya. Benny Moerdani tak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya Benny, Ali Moertopo, dengan CSIS sebagai lembaga pemikirnya, dan dikenal sebagai sosok lain yang tangguh membantu Pak Harto, diberhentikan juga oleh Pak Harto. Begitulah kepresidenan Pak Harto. Apakah tindakan-tindakan Pak Harto itu dimungkinkan, karena Pak Harto sendiri merupakan figur utama bangsa ini. Bahkan ia diserupai dalam kenyataan dengan negara? Apa karena sistem kala itu otoritarian? Kenyataan dibumi demokrasi mutakhir, Amerika misalnya, layak dijadikan bandingan. Kenyataan itu mengharuskan siapapun melupakan dimensi otoritarian Pak Harto sebagai faktor pembenar kecanggihannya mengelola pembantu-pembantunya. Sama dengan Pak Harto, Trump berhentikan siapa saja yang dinilai tak sejalan dengan aris kebijakannya. Dia tidak peduli siapa mereka. John Kerry yang Menlu, Direktur FBI James Commey, Rex Tillarson, Menlu lagi, dan Joseph Mequire, pejabat Deputi Administrasi FBI, semuanya sama, diberhentikan. Benar-benar sama dengan Pak Harto, Presiden Trump menempatkan diri sebagai bos of the bos menurut konstitusi mereka. Selain orang-orang di atas, John Bolton, penasihatnya untuk urusan keamanan nasional, juga sama nasibnya, diberhentikan. Bahkan cukup heboh, Steve Banon, mantan Ketua Tim Kampanyenya, yang memasuki gedung putih sebagai staf senior Trump, juga diberhentikan. Apakah Presiden Jokowi tidak diberi privilege dan kapasitas konstitusional yang sama dengan Pak Harto? Pasal 4 UUD 1945 tidak berubah sama sekali. Pasal 17 UUD memang berubah, tetapi tidak dalam substansinya. Itu sebabnya kewenangan Pak Jokowi sama dengan Pak Harto dalam konteks konstitusi. Begitulah sistem prsidensial bekerja menempatkan Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Penilaian terhadap sebuah pemerintahan dalam bersistem presidensial mengharuskan siapapun menilai kebijakan menteri merupakan gambaran aktual kebijakan Presiden. Dalam konteks itu, buruknya pemerintahan bermakna buruknya kepresidenan. Suka atau tidak. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Memahami Pak Luhut Lewat Status Facebooknya
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Meskipun sudah agak lama, cukup menarik membaca status di akun FB Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) edisi 9 April 2020. Status blak-blakan ini mendapat sambutan beragam. Reaksi khalayak medsos ‘meledak’. Ada 3,600-an share dengan 9,400-an komentar yang pro dan kontra. Mau disebut curhatan Pak Luhut, bisa juga. Banyak yang menilai begitu. Tapi, ‘core business’ postingan ini adalah keinginan “Menteri Segala Urusan” itu untuk menunjukkan bahwa dia (a)seorang pria keras tapi punya hati; (b)ingin berbuat yang terbaik untuk Indonesia; (c)ingin memberikan semacam ‘lead’ (bimbingan) kepada rakyat; dan (d)ingin melihat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terdidik. Inilah daftar pemahaman saya tentang postingan itu. Pemahaman Anda tentu bisa lain. Di alinea (paragraf) 1, 2, 3, dan 4, LBP memperkenalkan diri sebagai orang yang keras dan tegas. Tak takut mati sewaktu menjadi tentara. Tapi juga punya hati. Dia merasa bersalah besar karena harus berpisah dari keluarga ketika menjalankan tugas sebagai tentara. Namun, rata-rata tentara tampaknya mengalami liku hidup yang sama seperti pengalaman Pak Luhut. Bahkan, banyak kisah yang lebih memilukan. Yang sangat menarik ada di alinea ke-5. Di sini, LBP menulis: “Sapta Marga mengajarkan saya untuk terus membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Nah, ini dia. Anda jangan ceroboh dalam memindai pernyataan ini. Jangan sampai Anda mencibirinya. Jangan dulu katakan begini: “di mana Pak Luhut membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan?” Sebaiknya, pernyataan ini dipandang sebagai statement yang normatif. Maksudnya begini. Sapta Marga mengajarkan nilai-nilai yang disebut Pak Luhut itu. Prinsip-prinsip yang sangat ideal. Cuma, memang ada perbedaan antara ‘mengajarkan’ dan ‘mengamalkan’. Ini bisa terjadi pada diri setiap manusia. Input ‘pelajaran’ belum tentu sesuai dengan output-nya. Ini bisa kita saksikan setiap hari di jajaran birokrasi. Semua orang di sana mengucapkan sumpah jabatan untuk bekerja dengan baik, tidak menyalahgunakan jabatan dan wenang. Juga tidak menyelewengkan uang negara. Inilah inti sumpah mereka. Namun, situasi masing-masing orang membuat sumpah menjadi terlupakan. Begitu juga halnya dengan Sapta Marga. Anda katakan bahwa Anda tak akan melupakan ikrar keprajuritan ini sampai kapan pun. Tetapi, sering sekali orang tidak hanya melupakannya melainkan melecehkannya. Alinea 6 dan 7 juga cukup menarik. Pak Luhut menyebutkan tentang ujaran kebencian dan fitnah yang tetap eksis di tengah pandemi Covid-19, Pandemi yang mengancam semua orang. Begitu juga suasana sektarianisme yang tetap hidup. Luhut merindukan sosok Gus Dur yang ia sebut sangat inspiratif. Di sini, ada hal-hal yang perlu dijelaskan panjang-lebar. Harus komprehensif. Tidak valid kalau dilihat sepotong-sepotong. Sebab, ujaran kebencian, fitnah dan juga sektarianisme adalah produk dari polarisasi. Polarisasi itu terbentuk dari proses diskriminasi terhadap satu golongan. Bisa polarisasi ekonomi, sosial, atau politik. Polarisasi itu juga terbentuk dari proses ketimpangan dalam penegakan hukum dan keadilan. Mari kita ‘to the point’ saja. Cara Jokowi menjalankan pemerintahan sejak periode pertama cenderung menjadi sumber sektarianisme. Mungkin dia tidak merasa ada masalah. Tetapi, rakyat melihat itu. Setidaknya, saya pribadi membaca itu. Dan, menurut hemat saya, bibit sektarianisme yang ditabur Jokowi lewat cara dia menjalankan pemerintahan, hampir pasti akan menjadi tumbuh besar dan mencapai waktu panennya suatu saat. Bisa juga disebut ‘time bom in the making’. Bom waktu yang sedang berproses. Jadi, agak mengherankan sekali kalau Pak Luhut tidak menyadari itu. Padahal, distribusi kekuasaan yang sangat besar kepada beliau termasuk salah satu dari sekian banyak pohon sektarianisme yang menonjol di ‘kebun polarisasi’ Jokowi. Panen buah sektarinisme di masa depan, bisa jadi ‘inevitable’. Tak terelakkan. Anda bisa mengatakan bahwa distribusi kekuasaan adalah hak prerogatif Presiden. Memang iya. Tidak ada yang membantah. Tetapi, seorang presiden di negara yang peta komposisi demografisnya sangat jelas, seharusnya menggunakan hak prerogatif itu dengan sensitivitas yang tinggi. Ketika memberikan kekuasaan yang luar biasa besar kepada Pak Luhut, Presiden Jokowi perlu memahami kepekaan ‘grassroot’. Sebab, publik bukanlah penonton pasif. Rakyat bukan gerombolon robot. Publik melihat pengistimewaan Luhut sangat berlebihan. Di luar kepantasan. Ini yang kemudian memunculkan gelombang resistensi yang sangat keras belakangan ini. Presiden Jokowi dan Pak Luhut sendiri menjadi sasaran kritik, cemoohan, bahkan ejekan. Pak Menko memperlihatkan kejengkelannya terhadap resistensi publik. Dia sampai mengancaman pengkritik dengan langkah hukum. Tapi, publik semakin ‘kencang’ melawan. Nah, Pak Luhut melihat pelawanan publik itu berbumbu sektarianisme. LBP menjadi prihatin. Seolah sektarianisme itu tumbuh tanpa sebab. Padahal, sebab-akibat adalah hukum alam yang tertua. Suasana sektarianisme yang berkembang di masyarakat pastilah berbahaya. Celakanya, para penguasa hari ini tidak merasa bersaham menyuburkan itu. Ini lebih berbahaya lagi. Dalam arti, para penguasa tidak bisa mendeteksi bahwa mereka sedang duduk di atas bara sektarianisme itu. Kalau tadi Pak Luhut kagum kepada Gus Dur yang dianggapnya inspiratif, tidak mengherankan. Sebab, Gus Dur senang dengan cara-cara yang tidak konvensional. Dia lebih suka melawan arus. Gus Dur selalu siap pasang badan untuk membela golongan tertentu agar bisa menjadi kuat. Cara-cara mantan presiden yang ke-4 itu disambut tepuk gemuruh. Gus Dur memberikan kesempatan dan legitimasi kepada kelompok tertentu untuk ‘membalikkan skor’. Pak Luhut termasuk yang sukses membalikkan skor itu. Top scorer. Dia kemudian pindah ke squad baru di bawah Kapten Jokowi. LBP semakin berkibar. Praktis, squad yang dipimpin Jokowi sepenuhnya berada di bawah kenadali Luhut. Di periode kedua, Luhut malah memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk ‘tidak banyak berpikir’. Kita akhiri tinjauan ini dengan alinea ke-8 status Facebook LBP. Mantan jenderal cerdas ini ingin melihat orang Indonesia menjadi bangsa yang terdidik. Bangsa yang bertanggung jawab atas ucapan dan perbuatan. Gagasan besar Pak Luhut ini tentu sangat ideal. Namun, khalayak menjadi bingung. Mereka bertanya-tanya sambil menaha senyum. Terdidik seperti apa? Pendidikan yang bagaimana? Siapa yang mendidik? Apakah terdidik seperti Pak Luhut saat ini? Menjadi orang yang serba bisa dan selalu ‘bertanggung jawab’? Apakah terdidik untuk mengeruk isi perut Indonesia? Apakah terdidik dalam konteks penumpukan kekayaan pribadi sebanyak-banyaknya? Apakah terdidik untuk merusak lingkungan hidup negara ini? Apakah terdidik dalam arti bertindak sesuka hati ketika berkuasa? Apakah terdidik dalam arti menjual Indonesia dan kedulatannya kepada orang asing, khususnya China? Kemudian, siapakah yang layak mendidik bangsa ini? Para konglomerat seperti Eka Tjipta Wijaya? Anthoni Salim? Sri Prakash Lohia? James Riady? Tahir? Tommy Winata? Sjamsul Nursalim? Siapa yang hendak kita jadikan guru-guru yang mulia? Pak Luhut dengan belasan perusahaan? Wiranto dengan 60-an kapling properti plus uang ratusan miliar? Setya Novanto? Romi Romahumuziy? Surya Paloh? Harun Masikhu? Mantan bupati Kotim, Supian Hadi, dengan megakorupsi 5.8 triliun? Ataukah para pejabat yang berlomba-lomba menumpuk harta? Siapa yang mau kita jadikan panutan? Zulkifli Hasan? Akil Mochtar? Bambang Soesatyo dengan koleksi mobil mewahnya? Mungkin Pak Luhut bisa menjelaskan cara mengajari orang Indonesia agar bisa menjadi bangsa terdidik sesuai impian beliau. Agar kita semua bisa seperti Pak Luhut yang terus membela kejujuran (?), kebenaran (?), dan keadilan (?) sesuai Sapta Marga yang beliau pegang teguh. Dan agar kita menjadi orang yang selalu bertanggung jawab seperti Pak Luhut.[] 19 April 2020 Penulis sedang mencari guru. (Penulis sedang mencari guru)
Obligasi Khusus Untuk Informal dan UMKM Tidak Bisa Ditunda
Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas keuangan di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar U$ 2.3 trillion dolar. Sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara di dunia, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. By Andi Rahmat Jakarta FNN- Minggu (19/04). Selain kebijakan yang berhubungan dengan aspek penanganan kesehatan. Ada dua pokok kebijakan bidang ekonomi yang menonjol dari kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan pemerintah terkait dengan pandemi Covid 19. Yang pertama, peningkatan dan penggunaan kebijakan pelebaran defisit. Dan yang kedua, perluasan kewenangan Bank Indonesia dalam skema open ended policy, terutama dan termasuk dalam pemberian kewenangan kepada BI untuk masuk ke pasar primer obligasi. Tulisan saya sebelumnya sudah membicarakan mengenai perlunya mengarus-utamakan ekonomi informal dalam kebijakan ekonomi. Juga perlunya menegaskan skala “keberpihakan” kepada UMKM dalam penanganan krisis ekonomi sebagai dampak paralel dari Pandemi Covid 19. Dalam tulisan ini, saya mengajukan proposal tentang perlunya “Obligasi Sektor Informal dan UMKM”. Ini sebagai wujud keberpihakan dan pengaruh mengutamakan kebijakan ekonomi. Pelebaran defisit dan skema Open Ended Policy BI adalah modal utama untuk menjalankan kebijakan ini. Apalagi, Kementerian Keuangan telah mendeklarasikan keinginannya untuk menerbitkan Pandemic Bond dalam upaya memitigasi resiko industri yang terpapar dampak Pandemi Covid 19. Andreas Kluth dalam artikelnya yang berjudul “ This Pandemic Will Lead to Social Revolution” (Bloomberg 11/04/2020) menuliskan “as the coronavirus sweeps the world, it’s hits the poorer much harder than the better off. One Consequence will be social unrest. Even Revolution”. Peringatan artikel Andreas Kluth ini seharusnya menyadarkan kita semua betapa dalamnya resiko krisis yang tengah kita hadapi ini. Bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi yang bisa berujung pada kegelisahan sosial. Bahkan bisa memicu revolusi. Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar USD 2.3 trillion, yang sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. Terus terang, tulisan saya ini membawa kekhawatiran yang mendalam terhadap tradisi dan pola penangan krisis ekonomi yang selama ini telah dipraktekkan oleh otoritas ekonomi kita. Baik itu di sisi kebijakan Fiskal, maupun kebijakan Moneter. Sensitifitas terhadap problem ekonomi yang dialami sektor informal dan UMKM dalam catatan ingatan kita, selalu berwujud dalam bentuk kebijakan “charity” negara terhadap sektor ini. Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah memberikan penghormatan mutlak terhadap peran dan daya ungkit sektor ini dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Lantas apa yang menjadi konsepsi dasar dari Obligasi Sektor Informal dan UMKM ini? Didalam paket kebijakan Stimulus senilai Rp 405 T, pemerintah memgalokasikan tidak kurang dari Rp 70,1 Triliun untuk Kredit Usaha Rakyat ( KUR). Secara jumlah, fasilitas KUR ini adalah fasilitas terbesar yang pernah dikeluarkan pemerintah sejak krisis 1998. Sebagai permulaan, alokasi ini setidaknya menunjukkan iktikad sehat dari pemerintah menangani dampak ekonomi yang diderita sektor UMKM. Namun ke dalaman persoalan yang membelit sektor UMKM dan ekonomi informal, sudah tentu membutuhkan alokasi kebijakan yang lebih besar lagi. Sebab sumbangsih sektor UMKM terhadap PDB Nasional sejak tahun 2018 telah mencapai lebih dari 60%. Diperkirakan sebanyak 127 tuta tenaga kerja hidup dari sektor ini. Tentu ini perkiraan angka yang menggembirakan kita semua. Khusus ekonomi informal, kendati tidak ada data resmi dalam sumbangsihnya terhadap pembentukan PDB Nasional, namun kontribusinya dalam menyediakan lapangan kerja dimasa krisis sudah tidak diragukan lagi. Sangat membantu dan menolong. Karena sumbangsihnya yang vital dalam struktur PDB Nasional, maka upaya mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19, secara gradual, sektor UMKM perlu memperoleh porsi yang setara. Alokasi anggaran pemulihan ekonomi sepatutnya mencerminkan porsi sumbangsih tersebut. Tidak sebaliknya. Disinilah terletak arti penting dan perlunya menerbitkan obligasi yang dikhususkan untuk memperkuat sektor UMKM ini. Obligasi ini diterbitkan pemerintah, dan dibeli oleh Bank Indonesia. Pembelian oleh Bank Indonesia, menyebabkan skema alokasinya akan berbiaya murah dan tidak membebani UMKM dengan bunga pinjaman yang mahal. Keuntungan berikutnya adalah keleluasaan pemerintah dalam mengelola dan menghitung resiko Non Performingnya. Dengan ketersediaan dana yang besar dan sasaran penyaluran yang pasti, juga akan berdampak pada tingkat kestabilan sistem keuangan. Dalam penyalurannya, tentu pemerintah akan menggandeng institusi keuangan sebagai perantaranya. Dikarenakan kepastian sasarannya, maka institusi keuangan yang dijadikan mitra tidak akan menjadikan ini sebagai “bancakan” (cash hoarding) dalam neracanya. Bagaimana dengan kemungkinan moral hazardnya? Pengalaman mikro selama ini dalam skema penyaluran KUR dapat dijadikan sebagai contoh dalam soal ini. Tentu saja dengan sejumlah modifikasi yang sesuai. Akuntabilitasnya sendiri memerlukan suatu pengaturan lebih lanjut yang memuat kriteria mitra penyalur dan sasaran UMKM yang spesifik. Pemerintah sendiri perlu untuk mendeklarasikan ini sedini mungkin. Agar langkah-langkah pemulihan ekonomi yang akan ditempuh pemerintah menjadi jelas bagi pelaku usaha UMKM. Pelaku usaha UMKM memerlukan “ruang segar” dalam horison pemulihan ekonomi. Kepastian semacam ini akan menciptakan insentif yang kuat bagi UMKM dan sektor informal dalam membalik keadaan ekonomi mereka. Dalam situasi kritis, horison kebijakan yang memberi “ruang segar” selalu merupakan kunci bagi upaya pemulihan itu sendiri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Saatnya Rakyat Menuntut Pertanggungjawaban Pemimpin Negara
By Iwan Sumule Jakarta FNN – Sabtu (18/04). Sejarah konsepsi politik, mengajarkan kepada kita, bahwa negara merupakan suatu titik di mana orang-orang meletakkan harapan dan cita-cita bersama. Pada titik inilah, orang-orang bersepakat untuk mengatur dan menata kehidupan dalam upaya mencapai kesejahteraan hidup bersama. Negara sebagai perwujudan kontrak sosial, adalah buah dari pengalaman panjang manusia mengarungi peradaban di mana di dalamnya terjadi benturan dan chaos. Berangkat dari pengalaman tersebut, maka kehadiran negara sepatutnya menjadi solusi sistematis bagi problem yang di hadapi oleh masyarakat penghuni negara, yang kemudian disebut rakyat. Demikian pula dengan pemerintah. Selaku penyelenggara negara, amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya adalah memastikan bahwa negara sebagai sebuah solusi sistematis dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hadir memenuhi harapan dan cita-cita rakyatnya. Pemerintah, berkewajiban mencarikan jalan untuk mewujudkan tujuan bernegara yang bermuara pada kesejahteraan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kesejahteraan segelintir orang yang merupakan bagian dari jejaring oligarki. Kartel yang hanya bermain-main dengan kekuasaan. Seperti juga halnya dengan kebijakan pemerintah belakangan ini. Sangat jauh dari pro kepada rakyat. Sangat-sangat menjengkelkan rakyat, bahkan melukai hati rakyat. Sebab kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang jauh dari harapan dan kepatutan. Sementara itu, dikala kebijakan yang dibuat tidak lagi berpihak pada rakyat. Bahkan malah mengkhianati rakyat. Merugikan dan membikin susah hidup rakyat. Namun pemerintah sebagai pembuat kebijakan itu mengaku-ngaku sebagai pemerintah yang pro rakyat, dengan sederet pencitraan yang dibangun di atas pondasi seolah-olah memihak kepada rakyat. Pada saat yang sama, janji-janji tidak kunjung dipenuhi. Pada saat ini pula, patut rasanya rakyat tidak sabar menahan kata yang harusnya tak perlu keluar jika penguasanya layak. Kekesalan rakyat yang memuncak dapat mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan, pembangkangan, dan perlawanan rakyat yang maha dasyat nantinya. Pemerintah sudah semestinya bertanggungjawab atas nasib rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin akan dipertanyakan atas kepemimpinannya. Apakah dalam kekuasaannya, negara membawa maslahat atau malah sebaliknya menjadi mudarat bagi rakyatnya? Sebagaimana syari'ah, negara juga memiliki maqasid. Memiliki tujuan. Dan tujuan dari sebuah negara adalah untuk mencapai maslahat. Membuat masyarakatnya adil dan makmur. Demikian pula yang diamanahkan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia. Pemimpin juga harus bisa memberikan kebaikan bagi rakyat yang dipimpin. Ketika seorang penguasa yang dengan kekuasaannya memerintah negara, namun kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka pemerintahan semacam itu bukanlah pemerintahan yang membawa negara kepada maslahat atau kebaikan kepada rakyat sebagai sebuah maqasid atau tujuan bernegara. Menyikapi keadaan ini, maka wajib bagi kita untuk mengingatkan penguasa. Tujuannya, agar penguasa menyadari bahwa apa yang dilakukan dengan pemerintahannya saat ini adalah keliru. Bahwa bahtera bernama Indonesia ini harus kembali diarahkan ke tujuan berbangsa dan bernegara. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai perintah konstitusi negara. Dalam sholat berjamaah, ketika imam lupa atau salah, maka makmum harus mengingatkan dengan kode subhanallah. Hari ini, pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan yang ada. Atas nama perubahan, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang wajib kita pertanyakan. Kepada siapa pemerintah ini berpihak? Rakyat sebagai makmum, wajib hukumnya mengingatkan kesalahan penguasa dengan kode kritik. Perubahan yang dimaksud perubahan ke arah mana? Perubahan untuk siapa? Apakah ia perubahan yang membawa perbaikan atau pengrusakan? Apakah akan membawa maslahat atau mudarat? Suatu perubahan atau islah, yang membawa kita ke arah maslahat, ke arah perbaikan. Jika ada perubahan yang pada kenyataannya membawa kepada mudarat, yang membawa kerusakan, maka itu bukanlah perubahan, melainkan pengrusakan. Mudarat yang mengatasnamakan perubahan. Seorang penguasa, atau sebuah pemerintahan seharusnya berlaku adil. Sebab perilaku adil mendekatkan penguasa kepada taqwa. Adil itu, seharusnya sudah dimulai sejak dari pikiran. Sejak dari kata-kata. Sebab dusta pemimpin terhadap rakyatnya adalah penghianatan yang sangat menyakitkan. Sesungguhnya setiap penguasa itu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Itu pasti terjadi. Kenyataan yang kita hadapi saat ini, seharusnya menjadi bahan pertimbangan, untuk menentukan arah perjalanan politik. Arah tujuan bernegara kita di tahun mendatang. Bahwa jika kita menginginkan perubahan yang benar-benar perubahan dalam arti islah. Untuk mencapai maslahat dan perbaikan. Untuk itu, kita sebagai rakyat, harus berani meminta pertanggung jawaban dari seorang pemimpin negara atas kepemimpinannya. Tujuanya, agar perubahan memberi itu dapat memberikan maslahat. Kebaikan kepada seluruh rakyat. Ayo,,, sekarang saatnya untuk kembali meluruskan kiblat dan tujuan berbangsa dan bernegara kita. Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Penulis adalah Ketua Majelis Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM)
Nggak Perlu Siapin Kuburan Massal
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (18/04). Hari minggu lalu, saya ke Surabaya. Via Bandara Soetta-Juanda. Pagi berangkat, malam balik ke Jakarta. Tentu untuk kebutuhan urgent. Lihat sejumlah penumpang pakai baju plastik. Baju khusus covid-19. Kacamata besar layaknya para penyelam di dasar lautan. Plus masker. Duduk persis di depan saya. Suasana di pesawat terasa horor. Menegangkan. Jangan-jangan, kursi tempat saya duduk dihuni covid-19. Boleh jadi tangan halus pramugari yang ulurkan roti dan aqua juga ada virusnya. Ikutan paranoid. Kapok saya. Besok kalau ke Surabaya lagi, mau jalan darat saja. Setir sendiri. Supaya covid-19 nggak masuk ke mobil. Di mobil selalu disiapin antiseptik. Dua botol lagi. Kartu tol habis pakai, harus disemprot lagi. Sebagai ikhtiar dan jaga-jaga saja. Waspada, itu penting. Ikuti aturan pemerintah dan protabnya Satgas. Pakai masker, lakukan social and physical distancing, serta jaga kesehatan. Ini sudah SOP untuk semua. Jakarta sudah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Begitu juga dengan daerah-daerah di Bodetabek. Meski masih ada kerumunan dan sejumlah pelanggaran terjadi, tapi sudah sangat jauh berkurang. Kendati KRL masih tetap beroperasi. Gubernur DKI, Anies Baswedan sedang merayu Pak Luhut. Menteri di atas menteri itu. Anies minta KRL berhenti operasi. Anies juga mengancam akan mencabut ijin perusahaan yang tak patuh aturan. Sampai disini, kita perlu apresiasi dan support pemerintah, baik pusat maupun daerah di Jabodetabek. Juga aparat kepolisian yang bertindak sigap dan tegas. Aparat kepolisian keren. Dengan berlakunya PSBB, apakah jumlah terinveksi dan meninggal akibat covid-19 berkurang? Belum. Trendnya masih naik. Dan akan terus naik untuk beberapa pekan kedepan. Tapi yakinlah, kalau pemerintah disiplin dan masyarakat makin tinggi kesadarannya, covid-19 akan segera berlalu. Perkiraan ini berlaku untuk Jabodetabek. Bagaimana dengan wilayah lain? Nah, disini ada masalah. Di Surabaya, seperti tak ada apa-apa. Pasar, jalanan dan rumah makan, masih tetap ramai seperti tak ada masalah dengan covid-19. Satu dua orang pakai masker. Tapi, belum nampak serius. Mungkin ini juga terjadi di wilayah lain. Slow. Padahal, OTG (orang tanpa gejala) jumlahnya lebih banyak. Tak ketahuan siapa mereka. Nggak demam, nggak sesak napas, nggak batuk, dan nggak lemas. Diantara OTG mungkin itu adalah teman, kolega atau sahabat anda. Mungkin orang yang sedang bertransaksi dengan anda. Atau mungkin penyaji makanan di rumah makan, dimana anda sering makan. Tahu-tahu, rumah sakit penuh. Nggak mampu lagi menampung pasien covid-19. Lalu para sopir ambulan ngeluh, karena setiap hari harus mengantar puluhan janazah. Istri dan anaknya menangis, ketakutan jika suaminya ikut terpapar. Bisa-bisa nggak bawa ambulan lagi, tapi malah dibawa. Sebelum semua itu terjadi, kenapa tidak semua wilayah menerapkan PSBB? Ini penting sebagai tindakan pencegahan. Jangan nunggu ribuan positif baru menerapkan PSBB. Sudah telat pak. Kasus Jakarta harus jadi pelajaran. Ketidaksiapan regulasi Pemerintah Pusat membuat Jakarta jadi episenter covid-19. Wilayah lain mau nyusul? Beberapa daerah sudah ajukan pemohonan ke Kemenkes untuk memberlakukan PSBB. Diantaranya adalah Kabupaten Bolang Mongondow. Sang Bupati, Yasti Soepredjo sudah kirim surat ke Kemenkes. Tapi, ditolak. Kenapa? Silahkan tanya ke Menkes. Saya bukan juru bicaranya. Publik jadi bertanya-tanya, PSPB merupakan program reaksi, atau antisipasi? Kalau program reaksi, berarti harus menunggu daerah bernasib seperti Jabodetabek dulu. Puluhan orang meninggal dulu setiap hari, baru diterapkan PSBB. Apakah seperti itu? Kalau begitu, butuh berapa puluh atau ratus ribu orang yang dikorbankan untuk mati duluan, baru ada PSBB di daerah itu? Kesigapan walikota Tegal, Bupati Bolang Mongondow, Gubernur Papua dan sejumlah daerah lain terhadap penyebaran covid-19 perlu jadi pertimbangan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah Menkes dan Pak Luhut, sebagai pemegang otoritas laut, udara dan darat. Jangan nunggu ribuan terinveksi dan ratusan yang mati, baru berlakukan PSBB. Lagi-lagi terlambat Pak Menteri. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. Bukankah ini jargon rumah sakit? Bukankah tagar ini yang selalu dan selalu digaung-gaungkan oleh Kemenkes? Kenapa tidak berlaku untuk program PSBB? Apakah faktor ekonomi yang lagi-lagi menjadi alas an dan petimbangan? Diberlakukan PSBB sekarang atau tidak, pada akhirnya akan sampai juga pada situasi itu. Hanya soal waktu saja. Pilihannya mau cepat atau terlambat? Mau antisipasi, atau reaksi? Itu saja. Tidak ada plihan yang lain. Sekaranglah saatnya. Semua wilayah mesti terapkan PSBB. Jika mau dibedakan, buatlah klasternya. Klaster A, B dan C misalnya. Masing-masing klaster berbeda dalam menerapkan PSBB. Klaster A untuk wilayah Jabodetabek. Klaster B untuk wilayah kota provinsi. Klaster C untuk wilayah Kabupaten-Kota. Apapun itu, segera menyiapkan langkah-langkah pencegahan, jauh lebih baik dan baik, dari pada menyiapkan hektaran tanah untuk kuburan massal. Jangan sampai itu terjadi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Koalisi Masyarakat Resmi Gugat Perpu No.1/2020 ke MK
By Marwan Batubara Jakarta FNN – Jum’at (17/04). Selasa, 14 April 2020, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK) telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan pengujian ke MK terhadap ketentuan sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Permohonan itu telah resmi diterima petugas yang bekerja di kantor MK pada Rabu, 15 April 2020. Puluhan pemohon Judicial Review (JR) atas Perppu No.1/2020 berasal dari berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Mereka antara lain Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Prof. Dr. M. Amien Rais, Dr. Marwan Batubara, Drs. M.Hatta Taliwang , KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr. MS Ka’ban, Dr. Ahmad Redi, Dr. Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Rosalina Berlian, dan sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Adapun para Advokat dan Konsultan Hukum yang berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 13 April 2020 akan bertindak untuk dan atas nama para pemohon. Antara lain Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH., Dr. Dewi Anggraini, dan lain-lain. Para advokat telah bekerja dengan sangat intens, sehingga dokumen JR atas Perppu No.1 Tahun 2020 telah disampaikan kepada MK dalam waktu yang tidak lama. Dokumen gugatan telah diterima secara resmi oleh Panitra MK pada Selasa tanggal 14 April 2020. Sebagai salah satu pemohon, Prof. Din Syamsuddin mengatakan lahirnya Perppu No.1/2020 di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, dimana justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil. Ada hal substansial dalam Perppu No.1/2020 yang melanggar amanat kosntitusi, sehingga sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu Prof. Sri-Edi Swasoso menyampaikan dalam lima tahun terakhir, pemerintah sebenarnya gagal mengelola ekonomi nasional dan mencapai target-target yang dijanjikan. Sebeleum datangnya pandemi corona, bukan saja nilai tukar dollar terhadap rupiah turun jauh di bawah target Rp 10.000 yang dijanjikan, namun malah menjadi sekitar Rp 15.000. Selain itu, jumlah utang meningkat tajam, sebesar Rp 2.600 triliun atau 40%. Target pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7% pun tidak pernah tercapai. Lantas, melalui Perppu No.1/2020 ini, pemerintahan Jokowi bukan saja ingin menutupi kegagalan tersebut, tetapi bermaksud menjalankan agenda kekuasaan dan rekayasa ekonomi tanpa kendali dengan melebarkan defisit di atas 3%. Menurut Prof. M. Amien Rais, pemerintah mengakui prilaku moral hazard akan menjadi perhatian dalam menjalankan Perppu No.1/2020. Tetapi yang tertulis dalam Pasal 27 justru hal sebaliknya. Dimana disebutkan uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara. Kebijakan keuangan yang dikeluarkan, juga bukan merupakan objek gugatan di PTUN. Amien Rais mengingatkan, sesuai Pasal 1 UUD 1945, NKRI adalah negara hokum. Kedudukan Perppu itu kedudukan urutan hukumnya berada di bawah konstitusi. Perppu No.1/2020 tidak bisa menihilkan UUD 19145. Moral hazard akan dapat dicegah jika prinsip moral dalam Pancasila dan amanat penegakan hukum dalam UUD 1945 konsisten dijalankan. Dr Ahmad Redi mengatakan Perppu No.1/2020 harusnya hanya fokus pada upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari ancaman pendemi Covid-19. Tidak ada kegentingan memaksa selain kepentingan pencegahan dan penanganan Covid-19 dalam perppu. Ikhwal ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam Perppu ini merupakan penumpang gelap yang tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa sesuai perintah Pasal 22 UUD 1945. Menjadi modus post pactum yang sangat potensial menjadi komodifikasi abuse of power oleh penguasa. Sedangkan Prof. Syaiful Bahri sebagai kuasa hukum para pemohon menjelaskan, keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Di luar penanganan Covid-19 secara prosesdur. Ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, sama sekali tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa. Perppu tersebut menjadikan eksekutif dalam arti sempit akan berjalan tanpa kontrol atau melampaui kewenangan yang diamanatkan konstitusi dan UU. Perppu No.1/2020 memangkas tiga kewenangan dari tiga lembaga negara sekaligus. Ia memaparkan Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting DPR. Dr Ibnu Sina Chandranegara menambahkan, permohonan pengujian ini dimaksudkan untuk menguji konstitusionalitas produk hukum dalam merespon keadaan darurat yang ternyata memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari UU yang ada, seperti Pasal 28 Perppu No.1/2020. Selain itu, menguji norma-norma yang dikesampingkan dalam 12 undang-undang menjadi penting mengingat konsistensi penerapan konstitusionalisme Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945. Menurut Dr. Ahmad Yani, seluruh norma yang diatur dalam Perppu No.1/2020 terlihat mengada-ada. Dapat dijadikan jalan untuk membenarkan segala tindakan dan kebijakan yang melawan hokum. Juga sekaligus melucuti kewenangan lembaga-lembaga negara seperti DPR, BPK dan Peradilan. DPR, BPK dan Peradilan itu mendapat mandat langsung dari konstitusi UUD 1945. Dengan alas an darurat Covid-19, mau merusak dan mengacak-acak sistem ketatanegaraan yang ada. Sudah baku 75 tahun. Norma yang diatur dalam Perppu tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi dan menabrak banyak ketentuan yang khusus dalam undang-undang yang lain. Sebagai salah satu koordinator pemohon, Marwan Batubara meminta agar MK dapat mengadili perkara JR Perppu No.1/2020 dengan jujur, independen, sportif, amanah, bertanggungjawab, terhormat, punya rasa malu, mandiri dan bermartabat. Diharapkan menghasilkan keputusan yang objektif dan adil bagi negara dan seruluh rakyat Indonesia. Sedangkan Hatta Taliwang meyakini, dengan terselenggaranya sidang-sidang di MK untuk mengadili perkara JR ini kelak, rakyat memperoleh pengetahuan dan pencerdasan tentang berbagai hal dan motif busuk dan persekongkolan korporasi besar dengan penguasa dibalik terbitnya Perppu No.1/2020. Penulis adalah Koordinator Pemohon JR ke MK Atas Perppu No. 1 Tahun 2020