NASIONAL

Anies di Pusaran Fitnah

BY Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (08/04). Pujian dan cacian itu hal biasa. Terutama bagi seorang pemimpin. “Dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang, “kata Anies Baswedan. Terkadang hal baik dicaci, dan yang buruk diapresiasi. Apalagi kalau sudah melibatkan survei persepsi. Yang baik bisa dibuat buruk, dan yang buruk malah dipuja-puji. Suka-suka yang mensurvei ambil sample responden dan menyajikan hasilnya. Yang lebih tidak wajar, jika seorang pemimpin atau pejabat gemar lapor. Mending lapor ke bini, lapornya ke polisi. Dikit-dikit lapor. Serem. Kritik diawasi, hina dipenjara. Gawat. Ini menunjukkan pemimpin atau pejabat ini belum matang. Gak siap untuk jadi pejabat. Saat ini, pemimpin di Indonesia yang dianggap fenomenal dan paling dinamis dalam pemberitaan, selain Jokowi adalah Anies Rasyid Baswedan. Gubernur DKI ini, tidak saja banjir pujian, tetapi juga tak pernah sepi dari fitnah. Beda fitnah, beda kritik. Kritik itu sesuatu yang inheren dalam demokrasi. Tak ada kritik, tak ada demokrasi. Kalau kritik berbasis pada data dan fakta. Kalimatnya terukur. Tidak terkesan cari-cari kesalahan. Bahasanya mengikuti standar "EYD". Masih sopan, maksudnya. Sementara fitnah itu sebaliknya. Manipulasi data dan bertentangan dengan fakta. Seringkali menggunakan bahasa jalanan. Meski fitnah adalah tindakan tak bermoral, dan bukan bagian dari budaya bangsa yang menganut asas Pancasila, tetapi kehadirannya niscaya. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menghadapi dengan dewasa. Gak sedikit-sedikit lapor polisi. Prinsipnya, apa yang dilakukan pemimpin, tak semua orang suka. Yang nggak suka, ada yang pilih diam. Ada juga yang agresif menyerang. Bahkan fitnah jadi menu harian. Kelompok inilah yang orang sebut sebagai "haters". Haters Anies sebenarnya jumlahnya nggak banyak. Ini bisa dilihat ketika ada aksi demo di Balaikota. Paling 10-30 orang. Saat musim banjir, agak banyak dikit. Kurang lebih 100 orang. Hanya karena haters ini agresif dan dikelola secara "premium", maka cukup berhasil membuat gaduh di medsos. Walaupun begitu, atraksi mereka nampak kurang efektif. Nggak besar pengaruhnya. Meski kerja buzzernya masif. Kenapa? Karena suka menggunakan data palsu dan bertentangan dengan fakta. Ini mudah sekali dipatahkan. Sekali fakta dibuka, kelar. Selama ini, itulah yang terjadi. Terus, dan berulang-ulang polanya. Apalagi dinarasikan dalam bahasa yang tidak simpatik. Gak nyentuh psikologi rakyat. Contoh yang paling gress, ketika "haters Anies" mengungkap anggaran DKI untuk penanganan covid-19. Hanya Rp 130 miliar. Kalah dengan Jawa Barat dengan anggaran Rp 500 miliar, dan Jawa Tengah dengan anggaran Rp 1,4 triliun. Padahal, DKI punya APBD Rp 87,9 triliun. Pagi itu info grafis disebar oleh buzzer. Sorenya harinya Anies klarifikasi. Bahwa anggaran DKI untuk penanganan covid-19 adalah Rp. 3,1 tiliun. Kelar barang itu. Justru menambah poin buat Anies. Beberapa hari berikutnya, diulang lagi. Kali ini hotel bintang lima yang disorot. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi BEM Jakarta menuduh Anies berlebihan dalam melayani tenaga medis. Fasilitas hotel bintang lima bagi dokter dan tenaga medis dianggap nggak tepat. Hanya satu dua hari berselang, sejumlah perguruan tinggi mengaku nama universitasnya dicomot. Juga beredar foto yang oleh publik diduga mirip ketua Aliansi BEM itu bersama kakak pembina. Atraksi-atraksi semacam ini menurut saya tidak cerdas. Menyoal fasilitas tenaga medis dan membully para dokter di tengah para tenaga medis itu sedang merenggang nyawa, bahkan puluhan dokter meninggal saat bekerja, merupakan tindakan konyol. "Para haters" tanpa sadar sesungguhnya telah berhadapan dengan persepsi masyarakat. Bagi masyarakat, dokter-dokter dan para tenaga medis itu adalah pahlawan. Dihujani fitnah dan cacian, Anies tetap cool. Begitulah karakter bawaan Anies. No comment. Kecuali terus bekerja, terukur dan fokus menyelamatkan nyawa warga DKI. Meski harus menempuh langkah tak populer, lalu dibully dan dianggap cari panggung, Anies nampaknya nggak pedulikan itu. Fokus Anies, bagaimana nyawa dokter, tenaga medis, pasien dan rakyat itu terselamatkan. Blessing buat Anies. Karena bullyan kontra fakta justru berbalik dan malah menghadirkan banyak apresiasi publik kepadanya. Langkah-langkah Anies, khususnya dalam menghadapi covid-19, dianggap menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin yang seungguhnya. Langkah-langkah Anies sistemik, terukur dan komprehensif. Komunikasinya membumi dan bisa dipahami rakyat. Anies seolah menjadi energi baru bagi rakyat di tengah frustrasi dan kekecewaan terhadap ketidakjelasan arah bangsa ini ke depan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Apakah Presiden Bisa Pindahkan Ibukota Negara...?

Sebenarnya semua alasan ketidaklayakan pemindahan ibukota negara tersebut di atas bagus, dan sangat layak dijadikan pertimbangan oleh Presiden Jokowi. Namun masalah sesungguhnya bukan di situ. Karena argumen seperti itu semuanya bisa ditepis dan diterjang dengan alasan bahwa semua argumen tersebut bersifat relatif atau direlatifisir dengan “memaksa”. Bagi mereka, tantangan-tantangan dan rintangan itu bisa dihadapi dengan skenario lain. Inti pokoknya harus pindah saja. Soal alasan, itu belakangan. By Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Selasa (07/04). Banyak argumen dikemukakan untuk membatalkan proyek mercusuar pemindahan Ibukota negara. Ada yang melihat dari segi keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang oleh Menkeu Sri Mulyani sudah memberi isyarat kalau APBN 2020 tekor sebesar Rp 853 triliun. Kas negara tekor akibat dampak pandemi virus corona. Selain corona, beban utang negara yang besar telah menarik Indonesia ke tubir kehilangan kedaulatan. Karena utang berbanding lurus dengan pelemahan kedaulatan. Soal kondisi ekonomi Indonesia yang sedang merosot, sampai dengan ada juga alasan kerusakan alam di Kalimantan Timur sebagai akibat penambangan yang tidak bertanggungjawab. Nasib Ibukota baru yang digambarkan seperti “penumpang lusuh” pada lahan sekitar strategis dan fasilitas-fasilitasnya yang telah disiapkan dan dihegemoni investor asing. Tidak terbayangkan nasib kedaulatan Indonesia ke depan seperti apa bila Ibukotanya berada di sebuah lapangan bancaan. Lahan pengeroyokan oleh kekuatan yang asing pada cita cita Indonesia merdeka. Apalagi kini, Indonesia sedang menghadapi krisis besar karena bencana wabah virus corona yang sedang “menerkam masyarakat dunia”. Mana mungkin ada akal sehat mengizinkan adanya bicaraan soal pemindahan Ibukota negara dalam kondisi seperti ini? Kalau ada yang memaksakan juga, maka siapapun orangnya, dipastikan sangat tidak berperasaan dan tidak miliki sense of national humanitarian crisis. Apalagi orang tersebut masih saja mendorong-mendorong soal pemindahan Ibukota negara ini. Sebenarnya semua alasan ketidaklayakan pemindahan ibukota negara tersebut di atas bagus, dan sangat layak dijadikan pertimbangan oleh Presiden Jokowi. Namun masalah sesungguhnya bukan di situ. Karena argumen seperti itu semuanya bisa ditepis dan diterjang dengan alasan bahwa semua argumen tersebut bersifat relatif atau direlatifisir dengan “memaksa”. Bagi mereka, tantangan-tantangan dan rintangan itu bisa dihadapi dengan skenario lain. Inti pokoknya harus pindah saja. Soal alasan, itu belakangan. Namun ada satu alasan yang pasti, dan tidak ada alasan manapun untuk bisa membantahnya adalah bahwa pemindahan Ibukota negara itu tidak dibolehkan karena tidak memiliki alas hukum. Bila tetap dilaksanakan, maka itu tergolong perbuatan inkonstitusional. Sementara Presiden disumpah untuk menjalankan undang-undang. Apabila melanggar undang-undang, bisa diimpeach. Apakah masalah akan selesai bila undang-undangnya dibuat untuk mengatasi hambatan tersebut? Apalagi kalau nanti kalau ekonomi membaik. Sayangnya tidak. Karena selama Pak Jokowi menjadi Presiden, maka tidak boleh memindahkan Ibukota negara. Mengapa? Sederhana saja. Karena yang terhaormat Pak Jokowi tidak menyatakan dalam janjinya sebagai calon Presiden pada waktu Pilpres yang baru lalu. Sementara janji sebagai capres/cawapres dalam visi-misi adalah pengganti arahan pembangunan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang membatasi Presiden terpilih dalam programnya. Apabila yang terhormat Pak Jokowi melanggar janji tersebut, berarti dianggap Pak Jokowi telah menipu para pemilih dalam kampanye-kampanye Pilpres 2019 lalu. Ingat, bahwa kedudukan Visi-Misi Capres/Cawapres itu diatur oleh undang-undang, dan sifatnya mengikat. Intinya sederhana saja. Masih banyak kerja-kerja lain yang telah dijanjikan. Kerja-kerja itu yang perlu dilaksanakan, terutama menghadapi kondisi krisis sekarang ini. Sementara “Indonesia is not for sale”. Semoga sukses menjalankan tugasnya Pak Presiden. Hati hati dengan masukan yang tidak professional, yang cenderung menjerumuskan. Penulis adalah Politisi dan Pemerhati Bangsa

Ngebut Omnibus Law Saat Corona, Kepentingan Siapa?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Dalam buku yang berjudul "Conflict and The Web of Group Affiliations", George Simmel membuat teori bahwa keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkat laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok. Perintis mazhab interaksionisme simbolis ini ingin mengatakan bahwa sikap, perilaku, cara berpikir, kepentingan dan keberpihakan seseorang akan ditentukan oleh keanggotaan di dalam kelompok. Dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja, pengusaha tetap satu suara dalam kata "setuju" . Lalu berhadapan dengan buruh di sudut yang berbeda. Pengusaha dan buruh, atau dalam bahasa Marx, borjuis dan proletar selalu berada di dalam kutup kepentingan yang berbeda. Pengusaha ingin "untung besar" dengan mengurangi upah dan hak buruh. Sementara buruh ingin "upah layak" dengan mengurangi keuntungan pengusaha. Antara pengusaha dan buruh berebut hasil di tempat yang sama. Yaitu di dunia industri dimana kedua kelompok ini sama-sama berada di dalamnya untuk berebut hasil produksi. Dalam konteks ini, siapa pemenangnya? Di negara modern seperti Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan, negara hadir untuk melindungi kepentingan buruh. Regulasi dibuat agar buruh mendapatkan kelayakan upah. Upah yang tidak hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga cukup untuk biaya pendidikan, berlibur dan memenuhi kebutuhan pengembangan diri. Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, borjuis hampir selalu menang. Kehadiran negara justru seringkali berpihak dan melindungi kepentingan kapitalis. Alasannya selalu "demi menggenjok pertumbuhan ekonomi". Pertumbuhan ekonomi buat siapa? Buat si kapitalis? Tanya para buruh. Regulasi undang-undang yang mestinya dihadirkan untuk melindungi kepentingan kaum buruh yang selalu dalam posisi lemah, justru seringkali direkayasa untuk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha. Ini terjadi karena pengusaha seringkali hadir, ikut serta dan intervensi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan itu. Jadi, penindasan terhadap buruh selalu dimulai dari regulasi. Kok bisa para kapitalis itu intervensi? Setiap kapitalis ingin memanen hasil investasinya yang ditanam saat pemilu. Jadi, ada pihak-pihak yang harus bayar hutang? Tanyakan pada mereka! Musim pandemi covid-19 seperti sekarang ini adalah saat yang tepat untuk bayar hutang kepada korporasi, kata Margareto. Mumpung ada aturan "social and physical distancing". Buruh gak boleh demo, karena akan menciptakan kerumunan. Awas tertular virus! Akhir-akhir ini mulai bermunculan banyak cerita atas kehadiran para pengusaha di gedung parlemen saat penyusunan undang-undang. Salah satu cerita diungkap oleh Hamdan Zulfa, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan anggota DPR. Ia pernah menyaksikan sendiri cek yang dibawa pengusaha tercecer di lantai gedung parlemen. Beberapa waktu lalu, juga viral tulisan seorang profesor dalam obrolan dengan salah satu ketua partai terkait dengan operasi cek dan dolar di parlemen. Cerita klasik. Tapi, tetap menyedihkan. Kalau legislatif saja masuk angin, apalagi eksekutif? Jadi, dalam konteks Omnibus Law, ada dua kelompok yang tidak saja berbeda, tetapi bertabrakan kepentingan, yaitu pengusaha vs buruh. Jika ada pengusaha kok nggak setuju Omnibus Law, mengacu pada teorinya George Simmel, hampir dipastikan itu kepura-puraan. Dobol. Pengusaha adalah pengusaha. Mereka hidup dalam habitat atau kelompok yang sama dalam kepentingan. nggak mungkin menolak. Kata Karl Marx, monyet nggak mungkin memotong dahan dimana ia duduk. Maaf, itu kata Karl Marx. Buruh meradang atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Ada sembilan poin yang membuat mereka protes lalu kerahkan ribuan massa dan ancam akan mogok massal. Diantara poin yang membuat mereka meradang adalah soal hilangnya upah sektoral, pesangon dikurangi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dipermudah, Tenaga Kerja Asing (TKA) bebas bekerja di Indonesia, dan tidak ada saksi pidana untuk perusahaan. Ini mah kapitalis banget. Lalu bagaimana penyelesaiannya? Apakah dengan konflik ala Marxis? Tentu tidak. Indonesia negara Pancasila. Pancasila tak memberi ruang buat cara-cara Marxisme dan komunisme untuk digunakan. Era 1948 dan 1965 sudah berakhir. Komunisme akan selalu ditolak di negeri pancasila, meski data sejumlah Jenderal TNI AD, ada upaya membangkitkan kembali. Komunisme mestinya cukup jadi fosil sejarah di Indonesia. Komunis ditolak, apakah kapitalisme diterima? Cara yang paling damai adalah dialog dan kompromi. Dalam hal ini langkah yang harus ditempuh. Pertama, negara mesti berada di tengah. Negara adalah wasit, tidak boleh berpihak. Kedua, negara harus ajak bicara dan dengarkan suara buruh. Gak boleh budge. Ketiga, pengusaha gak boleh diberi ruang untuk intervensi dan menekan negara, meski oknum pengelola negara banyak yang berhutang budi dan dipelihara oleh pengusaha. Singkirkan oknum itu? Nggak mungkin. Terlanjur keluar duit banyak. Tapi, jangan beri ruang mereka untuk bertingkah semaunya. Negara harus kuat, tak boleh kalah dengan borjuis. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Perpu Terbit, Wewenang Dari DPR BPK dan Pengadilan Hilang

Wahai Manusia, sekarang aku memimpin urusan kalian. Padahal aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebenaran, dukunglah aku. Namun, jika aku berbuat kesalahan luruskanlah aku! Ingatlah, sesungguhnya aku adalah orang yang lemah di antara kalian, Dia kuat dalam pandanganku hingga aku berikan hak kepadanya. Dan sesungguhnya orang kuat di antara kalian, dia lemah dalam Pandanganku hingga aku mengambil hak darinya. Patuhilah aku, selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan janganlah kalian patuhi aku, jika aku mengingkari Allah dan Rasul-nya! (Sayidina Abubakar As Siddiq RA) By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (07/03). Ya Allah ya Rab Al Haq. Engkau cek kualitas iman kami pada-Mu, dengan mengutus mahluk-Mu yang bernama corona. Sungguh dia menyeramkan. Kami hampir tak berdaya. Corona, mahluk tak terlihat dengan indra kasar itu. Datang dengan cara yang satu dan lainnya belum dapat dijelaskan hingga kini. Subhanallah. Mahluk tak berbentuk dan tak terlihat itu, dengan kuasa alam-Mu, membuat manusia terlihat jauh lebih kecil darinya. Tak sedikit orang di seantero dunia ini terhenyak, terdekap takut tak berujung, tak berdaya dan harus sembunyi darinya. Sungguh ini ujian, yang terlalu sulit untuk dilupakan. Orang-orang berseru tinggal saja dirumah. Jangan begini dan jangan begitu. Seruan itu membahana, memekik telinga lalai dan hati yang abai, untuk sekadar saling mengingatkan. Kematian yang tak seorangpun dapat mendekatkannya, dan tak seorang juapun yang dapat menjauhkan dari setiap mahluk yang memiliki ruh, kini menyempitkan nafas setiap orang. Itu menjadi sebab banyak hal berantakan. Ekonomi, begitu para ahli di bidang ini menyebut, berantakan. Korporasi, dengan tabiat bawaannya yang cerdas menindas dalam keadaan normal. Jago dalam urusan lobi-melobi, atur sana atur sini dengan cara yang tak dapat dijangkau orang kecil, ternyata oleng juga. Orang-orang kehilangan kerja. Duit menjauh, sebegitu jauhnya sehingg tak lagi dapat dibayangkan datangnya. Tak bisa bayar ini dan bayar itu. Utang melekat dalam setiap denyut nadi. Ia menyatu dalam setiap hentakan nafas. Sesak. Berat jadinya. Korporasi yang ahli akal-akal laporan keuangan, terpojok juga. Uang berkurang. Rugi muncul menjadi nyanyian nelangsa disepanjang waktu teror corona. Seperti anak ayam diteror elang kecil, lari meminta proteksi ke induknya. Seperti bocah yang tak mampu menghalau gangguan dengan tangisannya, lari menuju bundanya meminta perlindungan. Rakyat pun menanti uluruan tangan ihlas dan tulus pemerintah. Begitulah panorama di sepanjang teror corona ini. Sedih, sungguh sedih. Marahkah engkau Ya Rab? Sungguh alam kecil para Wali terus menyeru betapa Rahim-Mu terlalu besar. Sebegitu besarnya sehingga tak terbayangkan dibandingkan dengan marah-Mu. SayangMu, begitu seruan para Wali dengan kejuhudannya, lebih besar dari dunia dan seisinya. Sedih Ya Allah, ujian kecil-Mu ini telah mengakibatkan akal sehat sebagian orang melayang. Entah kemana. Padahal kalam-Mu mengingatkan kelak disuatu hari nanti, semua raga akan bicara. Mulut terkunci. Tiada sepatah kata pun dapat terucap sekadar meluruskan keterangan raga lain. Sungguh sedih, di tengah peringatan tak tertimbang nilainya itu, keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya amat sangat panjang itu. Ya Allah Azza wa Jallah. Kau siapkan hari akhir, hari perhitungan, hari meminta penjelasan dari hamba-hamba-Mu. Itu hari yang berat, dan menakutkan. Tetapi duhai Allah Yang Maha Tahu, Perpu ini membenarkan, memberi hak kepada beberapa pejabat untuk tidak bisa diminta pertanggung jawaban, dan bebas dari harus memberi penjelasan. DPR, yang memang sudah begitu payah, sudah begitu sulit diharapkan, juga tak bisa minta penjelasan mereka para pejabat itu. Mereka, para pejabat yang nyaring menyanyikan syair lagu transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas di sepanjang nafasnya, menurut Perpu ini, tak bisa dituntut di pengadilan perdata dan pidana. Bahkan pengadilan tata usaha negara sekalipun. Duhai Allah Yang Maha Rahman, rahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang tak terbilang. Hindarkanlah kami ya Allah dari tipuan hukum dunia ini. Tolonglah duhai Allah Yang Maha Penolong. Jauhkan kami dari hukum yang terlalu sulit untuk kami mengerti ini. Ya Allah Yang Maha Pelindung. Lindungi kami semua dari akibat yang bisa membuat kami melalaikan-Mu. Duhai Engkau Yang Maha Bijak. Hidupkanlah akal fikiran kami dalam urusan ini dengan petunjuk-petunjuk-Mu. Jangan biarkan pejabat-pejabat kami tenggelam dalam kelalaian yang membinasakan kami. Entah hadis atau ucapan Sayidina Ali Bin Abu Thalib, Jalaluddin Rumi mengutip dan memenuliskan “Barang siapa yang akalnya bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia dari malaikat. Barangsiapa yang nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang. Subhanallah. Sinarilah para pejabat yang mengurus urusan ini dengan Nur Muhammad Rasulullah Sallahi Alaihi Wasallam, kekasih-Mu yang Agung itu. Ya Allah, beritahukanlah mereka tentang bagaimana mengetahui sesuatu itu buruk, kalau tak ditunjukan sesuatu yang lain. Buruk ada karena dilawankan dengan baik. Hitam ada karena dilawankan dengan putih.Warak ada karena dilawankan dengan tamak. Kalau uang negara yang dikeluarkan untuk urusan penanganan efek Corona terhadap ekonomi dan keungan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, tak usah dijelaskan. Lalu BPK mau diapakan? Mau periksa apa? Untuk apa? Cari kerjaan apa? Jangan mengada-ada. Kan yang diperiksa adalah level dan derajat akuntabilitas pengeloaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara. Subhanallah. Ini Perpu membikin DPR tak bisa minta penjelasan mengenai rencana penambahan belanja, sumbernya, dan ruang defisit yang diperlebar lebih dari 3%. Masa Allah, pengadilan juga tak bisa cek pengelolaan dan tanggung jawab pejabat yang menangani urusan besar ini. Uang negara untuk semua biaya kebijakan ini, tak bisa dikualifikasi kerugian negara. BPK mau periksa apa? Untuk apa? Cilaka betul Perpu ini. Bagaimana tidak? Selain soal-soal di atas, soal lainnya adalah menurut UUD 1945, Perpu ini harus diajukan ke DPR pada persidangan berikut untuk mendapatkan persetujuan. Apa nalarnya? Cek argument dibalik Perpu. Untuk apa? Untuk mengetahui apakah alasan yang digunakan masuk akal atau tidak. Apa maknanya? Akuntabilitas. Titik. Praktis DPR, Pengadilan dan BPK yang menajdi tiga organ yang kewenangannya diatur dalam konstitusi. Subhanallah, semuanya dipukul telak dengan Perpu ini. Perpu ini mencabut kewenangan utama lembaga-lembaga negara itu. Ini ilmu apa? Entahlah, mungkin ilmu konstitusi ala Wall Street dari negeri kapitalistik, Amerika. Ilmu tentang pelebaran defisit anggaran kan ilmunya Harry Hopkins, Marriene Eccless, Henry Wallace, orang-orang di lingkaran utama Franklin D. Rosevelt. Ilmu ini, dalam sejarah Amerika muncul di tengah Krisis Keuangan Hebat tahun 1929-1933. Tahun 1933 itu juga Franklin D. Rosevelt dilantik jadi presiden. Memang Henry Morgenthau Jr, menteri keuangan Rosevelt mengusulkan “balanced budget”. Tetapi usul ini dikesampingkan Rosevelt. Selain orang-orang di atas, Rosevelt juga mendapat nasihat dari John Meynard Keynes, Ekonom kenamaan itu. Ilmuan ini memiliki tesis “permanent budget deficit”. Dia, Keynes dipertemukan dengan Rosevelt oleh Felix Frankfurther, penasihatnya yang ahli hukum kenamaan dari Harvard Law School. Sebelum dibawa ke Rosevelt, Felix Frankfurther terlebih dahulu jumpa Keynes, Ekonom top yang dikenal berhaluan politik Socialis Democrat. Sama dengan Rosevelt. Setelah jumpa Frankfurther, Keynes menulis satu artikel di New York Times. Materinya seputar cara menangani krisis. Artikel ini dibawa Felix Frankfurther ke Rosevelt. Dan Rosevelt menyetujuinya, lalu mengikutinya. Berubahlah Tata Negara dan ekonomi Amerika mengikuti alur gagasan Keynes, dan untuk sebagian pemain-pemain utama di Wall Street. Perpu ini tidak spesifik bicara tentang Bank Sentral. Disitulah keanehannya. Apa anehnya? Terdapat ketentuan tentang kewenangan baru Bank Sentral. Sungguhpun tidak persis sama dengan perluasan organ The Fed tahun 1935, tetapi dalam sifatnya sama. Apa samanya? Krisis itu membawa Amerika menambah kewenangan dewan Gubernur The Fed. Itu diatur dalam The Banking Act 1935. Bank sentral kita juga dapat kewenangan baru. Mirip. Kewenangan siginifikan yang dimunculkan The Banking Act 1935 adalah Dewan Gubenur The Fed diberi wewenang mengontrol kebijakan moneter nasional. Di Perpu ini, Bank Indonesia yang tidak lain merupakan Bank Sentral itu, diberi kewenangan memberi bantuan likuiditas tanpa syarat tertentu sebagaimana UU Bank Indonesia sebelumnya. Karena semuanya telah dinyatakan tidak bisa dicegah, maka tidak ada faedahnya bicara prinsip-prinsip hukum administrasi. Presumption of legalitiy, presumption of authenticity, dan presumption of veracity, dan administrative due process. Semuanya tak perlu. Tak ada gunanya. Itu sampah. Tidak berlaku di sini. Sampai kapan keadaan itu? Setidak-tidaknya sampai tahun 2022. Mengapa? Pasal 2 huruf a angka 1 mengatur durasi bahaya dan atau ancaman bahaya corona sampai tahun 2022. Itulah hukum dari ketentuan yang menyatakan defisit APBN sebesar di 3 % (tiga persen) berlaku sampai tahun 2022. Praktis sampai dengan tahun itu, semua tindakan administrasi dalam kerangka menangani bahaya dan ancaman bahaya corona tidak bisa dicek. Titik. Top Markotop. Masa Allah. Lalu bagaimana? Pemerintah sudah sedemikian kuat. DPR saudah sedemikian tak berdaya, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menghaturkan kata bjiak Ibnu As-Sammak kepada Harun Ar-Rasyid, Amirulmukinin ini. Amirulmukinin berkata kepada As-Sammak apa yang bisa engkau berikan kepadaku? Sammak menjawab “saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka”. Mendengar kata-katanya begitu tajam, seorang pelayan Harun menyela. Tapi As-Sammak tak gentar. Dengan tatapan matanya yang tajam kepada Harun, As-Samak melanjutkan “anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.” Masih ada waktu, begitu judul lagu Ebit G. Ade, lagu lama yang dilantunkan kembali bersama Andrea, anaknya. Dan baru saja dirilis. “Mumpum masih ada kesempatan buat kita kumpulkan bekal untuk perjalanan abadi.” Itulah sebait syairnya yang terlalu berat untuk diabaikan. Burung terbang dengan kedua sayapnya, seorang mukmin terbang dengan tekdanya, kata Jalaludin Rumi. Wallau A’alam Bissawab. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Rilis Pernyataan Sikap, Ikatan Alumni BEM PT Muhammadiyah Se-Indonesia Menolak Darurat Sipil

Oleh Ahmad Lohy Jakarta, FNN – Rencana pemerintah menetapkan status darurat sipil sebagai upaya penanggulangan Wabah Covid-19, muncul reaksi dari beberapa kalangan, diantaranya dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi (PT) Muhammadiyah Se-Indonesia. Presiden mengumumkan untuk manjalankan UU/Perppu No. 23 Tahun 1959 Tentang Darurat Sipil melalui bebarapa tahapan itu dinilai kurang tepat. Sehingga perlu dikoreksi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Demikian bunyi rilis lengkap pernyataan sikap : Pernyataan Sikap Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia Menyikapi situasi sosial, politik dan ekonomi nasional saat ini, ditengah ancaman Pandemi Covid-19 dengan ini kami dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia : Menolak Pemberlakuan Darurat Sipil yang berdasar kepada Perpu No 23 Tahun 1959 dan mendukung Pemberlakuan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, guna memastikan pemenuhan hak-hak warganegara ditengah situasi Pandemi. Berdasarkan poin pertama, kami menuntut Pemerintah pusat untuk segera menganulir rencana penetapan Darurat Sipil sebagai solusi menghadapi Pandemi Covid-19. Menuntut Presiden Joko Widodo untuk tampil terdepan memberikan informasi-informasi yang menenangkan situasi sebagai bentuk Public Address ditengah ketidakpastian informasi saat ini. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera moncopot Menteri Kesehatan akibat kelalaiannya dalam menilai situasi Pandemi yang berdampak pada kondisi saat ini. Mendesak Pemerintah untuk segera memastikan ketersediaan APD untuk Pekerja Medis di Seluruh Indonesia. Demikian pernyataan ini kami sampaikan mohon ditindaklanjuti Terima Kasih Ikatan Alumi BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia. Jakarta, 03 April 2020 Ttd. Muhammad Wildan (Mantan Wakil Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Jakarta. Rofsanjani Ali. (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia periode 2011/2012). Izra Jinga Saeni,.SH,MH (Mantan Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Kendari) Danang Prasetya (Presiden Mahasiswa Univ. Muh. Surakarta periode 2010/2011) Iskandar La Ngali (Wapres BEM UM.Mataram 2009-2010) Selpi Setiadi ( Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sukabumi 2010-2012) Andri Susanto Bethan (Mantan Presdium Nasional BEM PTM Se-Indonesia Zona 2 Kalimantan, BEM Universitas Muhammadiyah Kaltim) Riza Aulia (Mantan Presma BEM Univ. Muhammadiyah Banda Aceh) Alfajri A. Rahman (Mantan BEM Univ. Muhammadiyah Maluku Utara). Abdul Jabbar Al Bugizy (Mantan Presidium Nasional BEM PTM Zona 7 Wilayah Indonesia Timur, UMS Rappang). M Fadly Sangadji (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM Se-Indonesia/UMJ periode 2010/2011) Ibnu Misbakhul Hayat (Mantan Presma ITB Ahmad Dahlan Jakarta) Zul Agung Sulaiman (Mantan Menlu BEM UMT Periode 2014-2015) Rubianto (Mantan Presma UMY periode 2009 - 2011) Firdaus Abdullah (Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia zona 5 / Presiden Mahasiswa Unmuh Malang 2012-2013)

Skenario Makro Ekonomi Indonesia Setelah Keluar Perpu

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (02/04). Ada yang unik dan terbilang langka dari paparan lengkap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid 19. Paparan yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam konferensi persnya tanggal 1 April 2020. Garis besar kebijakan itu sendiri sebelumnya sudah disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Yang unik dan langka itu adalah keterbukaan pemerintah dalam memaparkan resiko makro ekonomi yang mungkin akan kita alami. Dalam model persandingan skenario, pemerintah memaparkan tiga skenario berbeda. Yaitu, skenario normal yang sama dengan asumsi yang dianut didalam APBN 2020. Skenario Berat. Terakhir, skenario sangat berat. Saya ingin mengapresiasi keterbukaan ini. Setidaknya keterbukaan itu membantu kita membaca alam pikiran pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Sekaligus juga membuka jendela prediktif bagi pelaku ekonomi dan para ekonom dalam melihat arah perkembangan ekonomi Indonesia. Skenario “normal” tentu sudah tidak relevan lagi. Sisa skenario “ Berat dan Sangat Berat “. Pada dua skenario ini, kunci yang membedakan secara signifikan itu adalah ekonomi rumah tangga (household economy) dan ekonomi pemerintah. Dalam istilah komponen pembentuk PDB, kedua skenario itu bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Tapi signifikansinya lebih berat ke arah konsumsi pemerintah. Murni keynesian. Yang bermakna, inti dari pergeseran skenario ekonomi itu adalah pada kapasitas dan kapabilitas intervensi pemerintah. Dalam skenario “Normal”, pemerintah fungsinya sebagai pendorong, alias Tut Wuri Handayani. Dalam skenario “Berat dan Sangat Berat” pemerintah adalah lokomotif utama, alias Ing Ngarso Sung Tulodo. Lantas dimana fungsi sektor swasta? . Skenario ini menunjukkan ketidak berdayaan sektor swasta dalam menghadapi situasi krisis ini. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto ( PMTB ) yang mengindikasikan dinamika sektor swasta dalam dua skenario tersebut mengalami pemerosotan tajam. Proyeksinya, dari 6,0% dalam situasi “ Normal”, merosot jatuh hingga 1,12% dalam situasi “ Berat” dan menjadai -4,22% dalam situasi “Sangat Berat”. Centang perenang. Terpapar signifikan sebagi korban utama dalam krisis ini secara ekonomi. Demikian juga dengan ekonomi rumah tangga. Dalam dua skenario tersebut, kurvanya memang tidak securam PMTB, tetapi penurunannya pun juga sangat drastis. Dari 5,0% kontribusi terhadap PDB menjadi masing-masing 3,22% dan 1,60%. Keadaan ini bukan lagi menggambarkan keadaan kontraksi. Tapi keadaan ekonomi yang mengalami krisis. Di dalam skenario ekonomi makro, “kekacauan” itu tercermin pada proyeksi pertumbuhan PDB yang bergerak pada 2,3 % pada skenario “Berat” dan -0’4% pada skenario “ Sangat Berat”. Perekonomian Nasional akan kehilangan lebih dari separuh kapasitas normalnya, atau malah kehilangan keseluruhan kapasitasnya. Demikian juga pada pergerakan nilai tukar yang cepat dan drastis. Setting kesadaran skenik pemerintah ini, sangat signifikan dalam menakar kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam membuat dan menjalankan kebijakannya. Pada skenario “Berat”. Terdapat keyakinan bahwa sumber kapasitas pemerintah masih bisa diandalkan. Pada skenario “ Normal”, konsumsi pemerintah dipatok diangka 4,3%. Pada skenario “ Berat”, angka itu bergerak ke atas, 6,83%. Ada upaya yang “extraordinary” dari pemerintah dalam bentuk tambahan 2,5% konsumsinya. Atau dengan kata lain, untuk tahun 2020 ini saja, pemerintah harus mengupayakan produktifitas kapasitasnya tidak kurang dari 130% kapasitas normalnya. Mungkinkah itu? Kuncinya ada pada efisiensi dan pembiayaan. Konsistensi dalam menerapkan prinsip efisiensi sepanjang proses ini tak bisa ditawar-tawar. Ekspansi fiskal diarahkan pada program yang betul- betul bisa menahan laju pemerosotan ekonomi. Sekaligus juga memberi ruang bagi pemulihan ekonomi. Demikian pula dengan pembiayaan. Saya sendiri was-was pada isu “keberadaan” sumber. Pasar hutang dunia sungguh akan sesak. Saat ini saja, sudah ada tidak kurang dari U$ 7 Trilliun yang masuk ke dalam pasar dari berbagai upaya “counter measure“ banyak negara dalam menghadapi krisis ini. Yang potensial dan relatif murah itu adalah kapasitas Bank Indonesia. Tanpa mengabaikan potensi lain di dalam negeri. BI adalah “game changer” dalam urusan ini. Senjata kewenangan yang diberikan oleh Perpu yang baru saja dikeluarkan pemerintah memberi ruang “open ended policy” bagi BI. Catatannya, BI mesti kalkulatif sekaligus juga “ ikhlas” dalam menggunakan cadangan devisanya. Asal tidak mengulangi kekeliruan di era BLBI. IMF memang memiliki standar dalam menilai kekuatan ekonomi suatu negara dari segi cadangan devisanya. Cadangan yang ada sekarang. Setahu saya masih 20% diatas batas yang dianggap aman oleh IMF. Tetapi batasan ini tidak relevan dalam soal ini. Kita sesungguhnya sudah ditubir krisis ekonomi. Sampailah kita pada skenario “ Sangat Berat”. Menjadi sangat berat karena pemerintah juga tergerus kapasitasnya. Pemerintah hanya sanggup menyediakan 3,73% konsumsinya. Hanya 87% dari kapasitas normalnya. Demikian juga nilai tukar yang menyentuh Rp 20.000/ USD. Kapan itu terjadi? Jika krisis pandemi covid 19 berlarut-larut tanpa kepastian hingga bulan September tahun ini ( catatan : NHS/ Kementerian Kesehatan Inggris mendeklarasikan kemungkinan seperti ini), dan pemerintah kewalahan dalam menyediakan Sumber Pembiayaan Mengembalikan kehidupan menjadi normal dengan dampak covid 19 yang sudah bisa terkontrol, dan menjaga sisi pembiayaan negara (karena otoritas fiskal, moneter dan jasa keuangan semua ada di dalamnya) adalah tameng yang membatasi perpindahan skenario-skenario itu. Pada tahap awal, kebijakan Rp 405,1 triliun dan Perpu yang melandasi serangkaian langkah yang diambil dan akan diambil pemerintah merupakan “ bantalan” yang melegakan. Paket ini cukup memberikan ruang bernafas bagi perekonomian rakyat dan UMKM. Sektor riil, khususnya UMKM harus menjadi “champion” dalam paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan, maupun yang akan diluncurkan. Paket ini dianggap bisa membuat perekonomian mendarat darurat (crash landing ) tapi selamat. Konsumsi rumah tangga dijaga hingga pada batas minimal. Model transfer payment seperti ini memang jadi tren global. Tujuannya, mempertahankan momentum konsumsi Rumah Tangga. Sebagai suatu langkah kebijakan darurat, efeknya tentu terbatas pada penyediaan “bantalan” perekonomian. Kita masih menanti paket lanjutan pemerintah. Tentunya pada pembahasan RAPBN 2021 pada bulan Agustus nanti. Yang tahapnya akan dimulai pada pembicaraan pendahuluan dibulan Mei atau Juni nanti. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Semoga Allah SWT membimbing kita semua keluar dari krisis ini. Amin. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Jangan Paranoid, Hanya Testing The Water

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (02/04). Darurat Sipil. Ini "testing the water". Tes gelombang. Lempar, dan menunggu reaksi publik. Riak kecil, lanjut. Ada gelombang besar, batalkan. Ini teori umum. Sering dilakukan banyak orang, terutama di arena politik. Hanya saja, untuk era pemerintahan sekarang, "testing the water" sepertinya sudah jadi pola. Terlalu sering, sehingga mudah dibaca. Sebelumnya, pemerintah pernah melempar gagasan RUU KPK. Riaknya kecil. Protes hanya di kalangan mahasiswa. Maka, jalan terus. UU KPK pun disahkan. Apalagi dapat full dukungan dari DPR. Hal yang sama terjadi ketika pemerintah memunculkan nama Ahok untuk jabatan Komisaris Utama (Komut) PT. Pertamina. Riaknya kecil, lanjut. Dicoba lagi wacanakan ibukota baru dan Ahok yang menjadi Kepala Otorita-nya. Khusus untuk soal terakhir ini, pemerintah masih dalam proses membaca riak atau gelombang yang akan dihadapi. Begitu juga dengan RUU Omnibus Law. Kali ini yang dihadapi adalah kaum buruh. Sejauhmana kekuatan buruh melakukan konsolidasi. Ini akan menjadi kalkulasi maju-mundurnya pemerintah terkait RUU Omnibus Law tersebut. Jadi, wacana darurat sipil sebagai upaya menghadapi covid-19 nampaknya juga menggunakan pola "testing the water". Lempar dulu ke publik. Ternyata, reaksi rakyat sangat besar. Hampir semua elemen bangsa menolak. Gelombangnya terlalu dahsyat. Gak mungkin dilawan. Maka, pemerintah pun menarik kembali gagasan itu. Meski "dibatalkan", gagasan darurat sipil masih menyisakan pertanyaan di benak rakyat. Apa yang memicu gagasan ini muncul? Mungkin pemerintah terlalu paranoid. Mirip seperti anda juga. Paranoid. Banyak orang saat ini jadi paranoid ketika hadapi covid-19. Imbauan social and physical distancing, membuat banyak orang saling curiga. Jangan-jangan ODP. Atau malah positif corona. Sedang duduk di kursi, berpikir kursi diduduki corona. Pegang plastik, berpikir corona ada di plastik. Makan di warung, takut corona ikut makan. Begitulah situasi sekarang. Serba paranoid! Pemerintah nampaknya mengalami hal yang sama. Kali ini bukan karena covid-19, tetapi karena takut jatuh. Apalagi jika dengar Syahganda Nainggolan bicara. “Pemerintah akan jatuh sendiri. Bukan dijatuhkan. Hanya menunggu waktu”. Ngeri kali bicaranya bang. Emang ada pemerintahan yang jatuh tanpa dijatuhkan? Saya kasih tahu, pemerintah sekarang dalam posisi masih sangat kuat. Gak ada pihak yang punya nyali, keberanian, apalagi kemampuan untuk menjatuhkan pemerintah. Dukungan masih solid. TNI, Polri, parlemen dan buzzer masih terlihat kompak. Aman-aman saja. Gak perlu takut pemerintah. Kecuali dua hal terjadi. Pertama, jika ekonomi ambruk. Covid-19 berlanjut sampai kuartal III dan IV. Ini juga akan tergantung kepada ketahanan ekonomi kita. Kalau bener-bener ambruk, siapapun presidennya akan berat untuk bertahan. Tidak hanya di Indonesia, tapi di semua negara. Kedua, PDIP menarik diri dari koalisi. Mungkinkah itu terjadi? Dalam politik, tak ada yang mustahil. Apalagi hubungan Jokowi-Mega terus berjarak. Bahkan makin renggang. Kalau dua hal ini tak terjadi, maka pemerintah masih aman. Soal ekonomi, Indonesia masih cukup kuat untuk bertahan. Diantara negara G20 yang dihajar covid-19, Indonesia termasuk salah satu negara yang secara ekonomi masih cukup mampu bertahan. Pertumbuhan ekonomi masih ada, meski 1 persen. Selain China 1 persen, dan India 2,1 persen. Jadi, jangan bersikap berlebihan. Darurat sipil itu berlebihan. Terlalu politis. Akhirnya, paranoid sendiri. Cadangan fiskal masih aman untuk tahun ini. Itu katanya. Ah, sok tahu soal ekonomi. Lagi belajar. Jadi, 405,1 triliun yang disiapkan pemerintah pusat untuk hadapi covid-19 dengan semua dampak sosial-ekonominya menjadi bukti Indonesia punya uang. Dari mana? Entar pemerintah yang jelasin. Kita berharap, 405,1 triliun itu bener adanya, dan bener pula diimplementasi. Jangan sampai ada korupsi di tengah pandemic virus corona. So, jangan semuanya dilihat dari perspektif politik. Ini yang membuat semua langkah pemerintah terkesan jadi sangat politis. Darurat sipil itu politis. Akibatnya, pemerintah kehilangan arah. Gak fokus. Penuh curiga. Terlihat bimbang, yang membuat kinerja nggak terukur. Gamang ketika mau ambil keputusan. Terkesan lelet dan lambat. Habis energi. Menguras biaya yang hanya dinikmati para buzzer. Nah, kalau anda bertanya kenapa pemerintah "seperti" punya kekhawatiran dijatuhkan? Pertama, mungkin dibayang-bayangi oleh persoalan politik masa lalu yang sepenuhnya belum tuntas. Pemerintah belum berhasil mengajak rakyat untuk move on. Ini menyangkut soal kinerja dan komunikasi politik pemerintah yang belum mampu merubah persepsi politik dan sikap rakyat. Kedua, akibat gagalnya pemerintah ajak rakyat untuk move on, gelombang oposisi rakyat masih sangat terasa dan terus bergema. Dinamika di medsos dan hasil sejumlah survei memotret ini semua. Ketiga, diduga ada sejumlah oknum di lingkaran dalam dan luar istana yang secara konsisten melakukan provokasi dan menakut-nakuti pemerintah. Mereka membuat pemerintah seolah-olah terancam. Dari sini, wacana darurat sipil muncul. Dengan darurat sipil, para oknum ini berharap akan dapat peran dan bisa eksis kembali. Bersyukur, pemerintah gak jadi memutuskan darurat sipil. Ini keputusan yang tepat dan logis. Semoga gak lagi paranoid. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Memanusiakan Rakyat, Pilihan Jalan Kosntitusional Anies

By Dr. Ahmad Yani, MH Jakarta FNN – Kamis 902/04). Pandemi corona atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19. Virus ini bermula dari Kota Wuhan, China, kini menjadi wabah yang menakutkan bagi masyarakat dunia. Tidak saja negara maju, negara berkembang, maupun negara terbelakang juga berupaya menyelamatkan warganya agar tidak terpapar dan kasus meluas. Berdasarkan klaim Pemerintah Pusat, Covid-19 kali pertama masuk Indonesia pada 2 Maret 2020. Sebelum terdeteksi, para pemangku kebijakan negara menunjukkan optimismenya, bahkan dengan kalimat-kalimat yang seakan mendahului kehendak Tuhan. Kalimat yang semestinya tidak pantas dan layak terlontar dari mulut pejebat Pemerintah Pusat. Optimisme berbalik fakta dalam realitasnya. Pemerintah tidak mampu mengelak. Covid-19 masuk juga ke tanah air. Pencegahan yang lamban dan penanganan yang tersendat, memperlihatkan bahwa negara tidak berdayaan mengatasi wabah yang begitu cepat menjalar. Kritik dan masukan terlontar. Malah keterlibatan masyarakat dalam menangani Covid-19 lebih cepat ketimbang negara. Kemajemukan dengan gugusan geografis kepulauan, memperlihatkan kesigapan masyarakat dan mengesampingkan persoalan-persoalan politik. Masyarakat Indonesia bergotong royong melakukan langkah-langkah yang fokus pada pencegahan dan pemulihan akibat terdampak. Targertnya agar Covid-19 tidak merambah lebih luas lagi. Lalu dimana negara? Dimana Pemerintah? Konstitusi kita, dalam paragraf keempat secara gamblang menegaskan, "dibentuknya pemerintahan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” Kemudian, berkewajiban "menyejahterakan, mencerdaskan, memberi kedamaian dan keadilan sosial". Pada konteks inilah Indonesia adalah negara yang memanusiakan manusia. Jalur Konstitusional Anies Kembali kita melihat kualitas sosok Anies Baswedan sebagai kepala Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Pendekatan memanusiakan manusia bagi warganya. Sebab kini secara persentase, warga DKI Jakarta sangat besar dibandingkan provinsi lain yang terpapar Covid-19. Pemahaman dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta atas kehendak warganya. Sejalan dengan alur perintah pembukaan UUD 1945. Mendahulukan kesehatan dan keselamatan warganya dalam koridor konstitusi. Tecermin dari nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan melalui berbagai kebijakannya menangani pandemic Covid-19. Sehinga, hak warga atas pelayanan, kesejahteraan, dan kesehatan tetap diberikan. Sayangnya, keinginan Anies mencegah penyebaran wabah yang begitu masif tidak selalu berjalan baik. Beberapa kebijakan ditolak oleh Pemerintah Pusat. Seperti pembatasan transportasi publik, karantina wilayah (lockdown), dan menyetop operasional bus dari dan ke Jakarta. Permasalahannya bukan terletak di Anies, melainkan pihak-pihak yang lebih berpikir dari dudut-pandang politik kekuasaan dengan dalih peraturan perundang-undangan. Sebagai orang hukum, saya tidak sepenuhnya memahami tentang kesehatan. Sependek sepengetahuan saya, lockdown merupakan tindakan membatasi aktivitas penduduk sebagai respons atas menyebarnya wabah untuk melindungi segenap rakyat. Lockdown atau istilah apa pun, merupakan langkah konstitusional Anies dalam melokalisasi keberadaan virus. Bukan saja bagi yang tertular, tetapi dapat mengidentifikasi di lokasi mana saja wabah virus berkembang. Dengan begitu, pemetaan keberadaan virus akan lebih mudah. Juga untuk memutus mata rantai penyebarannya. Untuk Keselamatan Secara konstitusional, kehendak Anies itu tidak dalam zona pelanggaran konstitusi. Justru sebaliknya, konstitusi menjadi kabur, ketika pusat membawa persoalan kemanusiaan ini ke ranah ekonomi politik. Akibatnya, akan banyak warga Jakarta yang terdampak wabah. Melalui penerapan lockdown, Anies sebenarnya juga mendorong peran negara dalam melindungi masyarakat Jakarta. Ketika lockdown diberlakukan, Pemerintah Pusat wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar warga dan pakan ternaknya. Ini diamanatkan secara eksplisit dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Masyarakat, khususnya pekerja informal yang beraktivitas di luar ruang dan risiko terpapar Covid-19 besar kemungkinan akan senang. Sebab, mereka tidak perlu lagi pergi keluar rumah dan bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Kebutuhan makan dan minum ditanggung oleh negara. Sayangnya, Pemerintah Pusat berkehendak lain. Presiden Jokowi justru memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Opsi PSBB tersebut, ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020. Kebijakan tersebut tentu langkah mundur dan mengecilkan peran negara. Karena tidak ada lagi ketentuan yang mengikat bagi Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar rakyat dan pakan ternaknya. Baik dalam UU Kekarantinaan Kesehatan maupun PP PSBB. Dalam Pasal 4 ayat (3) PP PSBB, pemerintah memang diminta penerapan pembatasan sosial dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Namun, tujuannya agar langkahnya tidak mengganggu distribusi dan akses masyarakat. Bukan lagi kewajiban pemenuhannya atau penyediaannya. Keputusan ini justru berbahaya dan tidak memanusiakan manusia. Pekerja informal, seperti pedagang kaki lima (PKL), yang mengandalkan pendapatan harian dari usaha di tempat umum akan terancam. Kelompok masyarakat ini bakal susah makan dan minum. Mereka berisiko tidak bisa berjualan, karena pemerintah berhak menghentikan segala aktivitas di fasilitas publik. Padahal, para pedagang kecil juga terpaksa tetap berjualan di tengah besarnya ancaman "musuh kasat mata ini”, demi memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Apalagi, negara tidak lagi menanggungnya, sebagaimana skenario lockdown. Apa akhirnya? Keputusan PP PSBB berpotensi menyebabkan terjadinya gejolak sosial. Apabila pelarangan terhadap aktivitas pekerja informal di tempat umum dilakukan secara masif. Niat menyelamatkan nyawa dari ancaman Covid-19 berujung pada kemungkinan konflik horizontal antara pemerintah dengan rakyatnya sendiri. Penulis adalah Anggota DPR/MPR 2009-2014, Advokat dan Dosen FHdan FISIP UMJ. #Masyumireborn

Perpu Corona Aneh, "Korupsi Dana Stimulus Tidak Boleh Dipidana"

Pasal 27 ayat (1) Perpu 01 tahun 2020 ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Kamis (02/04). Setelah terkesan main-main dalam menangani wabah Covid-19 selama sebulan, pemerintah akhirnya memberi stimulus Rp 405,1 triliun untuk memerangi wabah dan krisis ekonomi. Stimulus terdiri dari empta kelompok. Pertama, bidang kesehatan dapat Rp 75 triliun. Kedua, bidang kemanusiaan alias jaring pengaman sosial dapat Rp 110 triliun. Ketiga, insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat) dianggarkan Rp 70,1 triliun. Keempat, pemulihan ekonomi nasional diberikan Rp 150 triliun. Krisis ekonomi dan pemberian stimulus di Indonesia mempunyai catatan hitam. Selalu digunakan kesempatan untuk korupsi. Pertama, ketika krisis moneter dan ekonomi tahun 1998. Pemerintah, ketika itu diwakilkan Bank Indonesia (BI), memberi dana bantuan likuiditas (BLBI) Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Tetapi, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tepat sasaran hanya Rp 6,5 triliun. Sisanya, sekitar Rp 138 triliun menguap, diselewengkan dan dikorupsi. Banyak pelakunya yang sudah dihukum, tetapi banyak juga yang masih lolos dari hukuman. Karena dalam proses hukum, sering kali yang salah bisa jadi benar, sehingga lolos mereka. Kedua, krisis keuangan global tahun 2008. Bank Century pada awal Oktober 2008 mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah turun tangan memberi pinjaman dan suntikan likuiditas hingga Rp 6,7 triliun, yang kemudian ternyata bermasalah. Proses hukum berjalan hanya untuk beberapa orang saja. Yang lain sepertinya kebal hukum. Sampai sekarang, kasus ini tidak tuntas. Sisanya menguap. Melihat pengalaman di atas, masyarakat patut curiga krisis sekarang juga rentan untuk disalahgunakan. Apalagi Perpu No. 1 tahun 2020 tersebut seolah-olah sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana. Perlindungan ini tercantum di Pasal 27. Pasal 27 ayat (1) Perpu ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. Pasal 27 ini tidak pantas dan tidak layak ada di negara yang mengedepankan supremasi hukum. Negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum. Oleh karena itu, seharusnya ditolak. Karena, tidak mungkin semua biaya pengeluaran dari stimulus ini harus dianggap sah. Ini namanya aji mumpung. Pasal 27 ini jelas membuka peluang untuk pejabat negara melakukan perampokan keuangan negara. Perampokan itu melalui stimulus secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut. Seperti terbukti di dua krisis ekonmi sebelumnya tahun 1998 dan 2008. Misalnya, pengadaaan peraalatan kesehatan seperti masker, Alat Perlindungan Diri (APD), ventilator dan lainnya. Apakah biaya sebesar apapun harus diterima dan dianggap sah? Apakah proses pengadaannya boleh menyimpang dari proses normal? Kalau ternyata biayanya jauh lebih tingga dari harga normal, apakah juga dianggap sah? Kalau belinya hanya dari satu atau dua pemasok saja, apakah juga harus dianggap sah? Apakah tidak boleh diselidiki lebih lanjut tentang keungkinan ada kolusi dalam proses pengadaannya? Nilai “proyek” bidang kesehatan ini Rp 75 triliun, sangat besar, dan akan dilaksanakan secara cepat. Seluruh komponen bangsa seharusnya bersama-sama mengawasi agar stimulus yang besar ini benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia yang sedang tertimpa musibah Covid-19. BPK, DPR, Kepolisian, KPK serta semua komponen masyarakat seharusnya wajib turut mengawasi. Agar terjadi transparansi, hasil pengadaan barang harus diumumkan ke masyarakat. Berapa jumlah pembelian masker, APD, ventilator dan seterusnya? Beli dari siapa, dengan harga berapa? Dengan demikian, diharapkan tidak ada monopoli atau kartel yang bisa mengakibatkan terjadi kerugian negara. Semoga tidak ada penguasaan impor oleh sekelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dan juga, izin impor dan izin produksi barang-barang tersebut harus dibuat seterang-terangnya. Jangan usaha kecil disusahkan dan pengusaha besar dipermudah. Begitu juga dengan bantuan kepada masyarakat, baik pangan, non pangan, dan bantuan tunai. Semua harus dibuat transparan dan diumumkan secara rinci. Jumlah penerima bantuan per Provinsi, Kabupaten atau Kota dan desa. Setiap bantuan tersebut harus diketahui oleh perangkat desa sampai Provinsi. Bukan hanya oleh Kementerian terkait di pusat. Terakhir, stimulus untuk pemulihan ekonomi nasional. Anggarannya Rp 150 triliun. Belum jelas bagaimana pelaksanaannya. Sekilas, bantuan ini terkait dengan rencana penerbitan surat utang negara yang dinamakan recovery bond. Sedang diupayakan, bond ini bisa dibeli langsung oleh BI, yang menurut UU tentang BI saat ini, BI tidak boleh membeli bond secara langsung dari pemerintah. Oleh karena itu, untuk membuat BI membeli bond dari pemerintah ini mungkin atau legal, maka pemerintah harus mengeluarkan Perpu lagi, yang menghapus larangan tersebut. Hasil uang dari penerbitan surat utang recovery bond ini akan diberikan secara langsung kepada perusahaan, sebagai pinjaman dari pemerintah. Cara ini bisa bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya, pemerintah tidak boleh memberi pinjaman langsung kepada perusahaan swasta. Bantuan tersebut seharusnya melalui sektor keuangan. Kalau tidak, masyarakat bisa saja curiga bahwa bantuan stimulus hanya disalurkan kepada perusahaan dan pengusaha tertentu yang dekat dengan penguasa. Sekali lagi, demi transparansi, setiap bantuan kepada perusahaan harus diumumkan kepada public. Termasuk jumlah bantuan yang akan diberikan. Transparansi di atas sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Kemungkinan juga penyalahgunaan dana stimulus. Pasal 27 Perpu No 1 Tahun 2020 seyogyanya dihapus. Meskipun dihapus, diharapkan tidak ada yang terpidana korupsi karena transparansi di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

"Kembali Kepada Peradaban Yang Fitrah"

By Komjen Pol. Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN- Kamis (02/04). Fenomena yang saat ini terjadi merupakan rangkaian proses dari upaya manusia-manusia yang tidak takut Tuhan untuk membangun sebuah "Peradaban yang tidak fitrah". Apa itu? Peradaban yang tak fitrah adalah peradaban yang dibentuk menurut rancangan manusia dunia. Yang menjauhkan umat dari rancangan Sang Pencipta. Tuhan tidak menghendaki manusia membangun peradaban duniawi yang tidak fitrah. Sejak semula manusia dirancang untuk hidup seturut kehendak-Nya, bukan sebaliknya. Hidup menurut kehendak dunia sudah pasti akan menghancurkan manusia itu sendiri. Peradaban duniawi yang dibangun hanya berdasarkan pemikiran yang dipengaruhi hawa nafsu. Sifatnya fana dan pada akhirnya akan jadi peradaban yang dipenuhi oleh hati yang jahat. Hasilnya, manusia penuh dengan keserakahan. Manusia-manusia yang dikuasai penuh oleh hawa nafsu ini sedang berupaya untuk membangun sebuah sistem peradaban baru: “SATU SISTEM PERADABAN GLOBAL”. Ini adalah suatu sistem peradaban yang dirancang menurut hukum-hukum dan gagasannya sendiri, dengan tujuan memperkokoh eksistensinya secara berkelanjutan. Kemudian dunia akan digiring untuk meniadakan batas antar negara, melalui kebijakan-kebijakan yang sifatnya “dipaksakan”. Untuk apa? Jelas. Demi terwujudnya “SATU SISTEM PERADABAN GLOBAL” paling efektif di seluruh dunia. Tidak hanya sampai di sini. Bersiaplah. Sebuah pemaksakan “SATU AGAMA GLOBAL” pun sedang dalam perjalanan. “SATU AGAMA GLOBAL” ini akan membawahi seluruh agama yang ada. Agama global ini dihadirkan untuk mengatur kebijakan dan doktrin-doktrin yang harus ditaati oleh semua agama yang ada, demi terwujudnya agenda milik “SATU PERADABAN GLOBAL”. Otomatis, kita akan dipaksa tunduk pada kehendak dunia. bukan lagi pada kehendak Tuhan. Ada tiga program besar dari Peradaban Global, yaitu : Money (Penguasaan sistem moneter dunia), Power (Pengelolaan sistem pemerintahan dunia dengan memberi sejumlah dana dalam berbentuk hutang), dan Control Population (Pengendalian jumlah penduduk dunia). Program terakhir dari Peradaban Global adalah Pengendalian Populasi (Control Population). Pertambahan jumlah penduduk saat ini dianggap tidak akan mampu diimbangi oleh produksi pangan, dan ketersediaan lahan yang terus mengalami kerusakan akibat eksploitasi berlebihan. Ini “dihembuskan” agar mereka dapat mewujudkan Peradaban Global yang sudah mereka cita-citakan. Mereka menganggap pengendalian populasi adalah kunci paling penting dalam mewujudkan agendanya yang selalu hanya mereka dasarkan pada nilai material (metode penilaian kuantitatif). Agenda Pengendalian Populasi ini bersifat pragmatis tanpa memperdulikan nilai-nilai moral (penilaian kualitatif). Saat ini, di seluruh dunia, generasi muda, apapun agama dan ideologinya, sedang mengalami "cuci otak”. Serempak diajak mengikuti seluruh agenda global demi mewujudkan Peradaban Global. Jika saja kita bijak membaca tanda-tanda zaman, jelas semua yang baru saja kita baca ini melawan kehendak Tuhan. Dan resikonya jelas. Bagi mereka yang setia kepada Tuhan akan terus ditekan dan disingkirkan. Sedangkan yang bersedia kompromi dengan keinginan dunia, akan diberi tempat dan didukung HABIS-HABISAN. Bersiaplah. Jika tidak dicegah, peradaban global akan segera berdiri di muka bumi ini. Tidak lama lagi. Apa yang sedang terjadi sekarang diizinkan Tuhan untuk memisahkan manusia dari dunia palsu yang sedang dibangun. Atas seizin-Nya, dengan situasi saat ini, manusia hendaknya mulai berpikir tentang keselamatan. Sadar bahwa kematian bukan tentang kematian tubuh yang sementara, tetapi kematian jiwa yang sifatnya kekal. Ini bukan main-main. “Heaven is real and so is hell. Jangan sudi dijadikan tumbal”. Ini seharusnya kita maknai sebagai peringatan yang sangat keras dari Tuhan. “Segera berpaling dari hidup yang bergelimang dosa”. Saat ini, dunia butuh seseorang yang berani memperkatakan bahwa dunia harus segera bertobat. Dan sebagai bagian dari dunia, demikian pula dengan Indonesia, kita dukung pemimpin kita agar dengan keteladananannya mampu membuat sebuah kegerakan “mengajak rakyat bertobat”. Hanya ini kunci utama (master key) yang akan menyingkirkan wabah yang sedang terjadi, yang melumpuhkan kita semua di beberapa waktu terakhir ini. Momen inilah kesempatan yang Tuhan berikan bagi kita semua untuk segera berpaling kepada-Nya. Menempatkan Tuhan sebagai Pemimpin yang tidak diganggu kedaulatan-Nya. Ia menunggu, Ia sudah sangat rindu kita berbalik, memberi respons yang tepat. Dan yang bijaksana hendaklah ia mendengarkan dan mengubah cara hidupnya. Nuswantara Nu: Makhluk Swa: Mandiri Anta: Menuju Ra: Tuhan Kembali fitrah, menempatkan Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber utama dari segala sumber kehidupan kita semua. Nuswantara, inilah peradaban yang fitrah. “Bangkit. Indonesia bangkit. Bangsa pemenang, bahkan lebih dari pemenang”. Viva Republik Indonesia #gerakanindonesiajemurpagi