NASIONAL

Perbankan Nasional Sangat Tidak Ramah Kepada UMKM

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (03/05). Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Gubernur BI menyampaikan pelaksanaan Quantitative Easing (QE) senilai Rp. 503,8 trilliun. Jumlah ini adalah akumulasi kebijakan moneter BI hingga bulan Mei 2020. Selama periode Januari hingga Mei tahun ini, BI telah menambah pasokan likuiditas ke dalam perekonomian melalui serangkaian kebijakan pelonggaran kuantitas (QE). Sepanjang periode Januari-April 2020, nilainya sebesar Rp. 386 triliun. Instrumennya berupa Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp. 166,2 trilliun, Term Repo sebesar Rp. 137,1 triliun, Swap Foreign Exchange (FX Swap) Rp. 29,7 triliun dan Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 53 triliun. Sementara untuk periode Mei akan ditambahkan lagi sebesar Rp 117,8 triliun. Dalam bentuk penurunan GWM periode Mei sebesar Rp. 102 triliun, dan selebihnya berasal dari pengurangan kewajiban tambahan Giro sebesar Rp. 15,8 triliun. Karena periode tambahan itu dimulai dari Januari 2020, maka tambahan sebesar Rp. 503,8 triliun itu tidak seluruhnya dapat dikatakan sebagai bentuk QE di masa pandemi Covid 19. Yang dapat dikatakan adalah, dalam periode ini BI telah melakukan kebijakan dua tahap. Tahap pertama, sepanjang periode Januari –F ebruari, berupa relaksasi kebijakan moneter normal. Tahap kedua, berupa kebijakan Pelonggaran Kuantitas dalam rangka merespon krisis yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid 19. Saya membaginya seperti itu untuk menunjukkan bahwa tren kebijakan moneter BI dalam merespon perkembangan makro perekonomian pada dasarnya adalah tren relaksasi. Namun kemudian, karena perkembangan tidak terduga dari krisis pandemi, kebijakan relaksasi itu berubah menjadi agresif dan membutuhkan kebijakan lebih dari sekedar relaksasi yang berbentuk pelonggaran kuantitas (QE), atau populernya “pencetakan uang” besar-besaran kedalam perekonomian. Untuk kepentingan tulisan ini, istilah “‘pencetakan uang” ini saya samakan dengan penciptaan uang (money creation). Sebab nampaknya, tren ini akan berkembang terus seiring dengan perkembangan perekonomian nasional. Terhadap suatu tambahan likuiditas sebesar ini, tentu menarik untuk kita ajukan pertanyaan, untuk apa dan kepada siapa likuiditas itu sesungguhnya ditujukan? Bersumber dari data BI, eksposure kredit UMKM di dalam sistem perbankan nasional sampai September 2018 berjumlah Rp. 1.037,6 trlin, dari Rp. 5.284,6 trliun, atau sekitar 19,6% dari total baki kredit perbankan. Selebihnya, 80,4% baki kredit dikuasi oleh sektor non UMKM, atau sekitar Rp. 4.247 triliun yang diperuntukkan untuk korporasi. Baki kredit untuk UMKM ini dialokasikan kepada 16.394.106 nasabah UMKM. Padahal di Indonesia, hingga tahun 2019 terdapat 59 juta UMKM. Dari jumlah baki kredit UMKM itu, Bank-bank BUMN, BPD dan BPR/BPRS menyalurkan sekitar Rp. 665,23 trliun atau 64% dari total baki kredit UMKM. Selebihnya, 36% disalurkan oleh perbankan swasta dan JV Bank. Dari data ini, kita memperoleh dua kesimpulan umum. Pertama, bahwa penetrasi sistem perbankan nasional kepada sektor UMKM sangat tidak proporsional. Itupun kalau tidak mau dikatakan “tidak-adil”. Tidak proporsionalannya bukan saja dari segi rendahnya alokasi kredit terhadap sektor ini, tetapi juga proporsi masih mayoritasnya sektor UMKM yang tidak memperoleh akses dan perhatian dari perbankan. Ini juga menunjukkan bahwa perbankan nasional sesungguhnya sangat tidak ramah terhadap UMKM. Dan cenderung eksklusif terhadap korporasi. Apapun alasannya, struktur ini mencerminkan ketidak-sehatan sistem keuangan nasional kita. Yang pada akhirnya, dimasa-masa krisis seperti ini menyebabkan UMKM kita menjadi rentan. Pada tingkat pengambilan kebijakan, menyulitkan otoritas melakukan penyesuain kebijakan (adjustment policy). Kedua, adalah rendahnya partisipasi perbankan swasta di sektor UMKM ini. Memang ada alasan yang mengatakan bahwa partisipasi rendah ini dikarenakan selama ini, pemerintah banyak menggunakan perbankan non swasta dalam menjalankan kebijakan pro UMKMnya. Argumen yang lebih sinis mengatakan bahwa semua ini dikarenakan perbankan swasta lebih memilih korporasi karena selain lebih mudah, volume kreditnya juga besar. Jumlah nasabah juga yang tidak besar, sehingga dapat menekan biaya pengelolaannya, alias lebih menguntungkan. Lantas, apakah kita bisa mengatakan bahwa membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dengan struktur yang tidak ramah terhadap UMKM, bisa memberi manfaat besar bagi UMKM kita, yang sedang sekarat ini?. Padahal dimasa krisis ini, UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar dalam perekonomian kita sedang mengalami masa-masa sulit. Sudah jamak diketahui bahwa diantara efek QE dimasa sulit seperti ini adalah munculnya fenomena Cash Hoarding di perbankan. Suatu fenomena dimana perbankan memilih mengkonsolidasikan ekses likuiditasnya dalam memperkuat neracanya, Mereka lebih cenderung memilih untuk “bernegosiasi” dengan debitur korporasinya. Ditatar lebih lanjut, fenomena diatas menjadi sumber kritik banyak pihak terhadap permodelan QE yang tidak merumuskan kebijakan keberpihakannya secara tegas kepada UMKM. Kritiknya adalah, QE lebih memberi kesempatan kepada korporasi dan “orang-orang kaya” untuk berkonsolidasi di masa krisis. Karenanya semakin mempelebar jurang antara yang “kaya-miskin” dalam perekonomian. Sekali lagi, ini fenomena jamak yang bisa ditemukan dalam banyak sekali literatur dari ekonom-ekonom terkemuka yang mengkritik dampak QE saat memperluas “ineqaulity” dalam perekonomian. Tanggung jawab soal ini tentu bukan saja dibebankan kepada BI. Tetapi yang utama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kerana OJK sebagai otoritas independen yang menaungi perbankan. Ini adalah tugas mulia dan suci buat OJK dalam melakukan penyesuian struktural terhadap sistem keuangan nasional kita yang tidak ramah UMKM. OJK jangan sia-siakan momentum ini. OJK mestinya berdiri di garis yang paling depan dalam soal permodalan UMKM ini. Penulis menekankan ini, sebagai wujud tanggung jawab moral. Karena penulis juga merupakan mantan Pimpinan Pansus Pembentukan UU OJK yang menjadi dasar berdirinya OJK sekarang. Tanpa suatu keberpihakan yang tegas dari otoritas, upaya membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dan keuangan nasional kita melalui QE hanya akan meninggalkan UMKM dalam limbo ketidak berdayaan. Alih-alih, malah akan memperparah kesenjangan didalam perekonomian nasional kita. Kesuksesan kebijakan QE dalam mem”bail-out” sektor UMKM terletak pada perubahan proporsi baki kredit untuk UMKM dan bertambahnya jumlah UMKM secara signifikan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan QE. Untuk itu, OJK sudah selayaknya menerbitkan kebijakan yang “memaksa” perbankan untuk menyalurkan likuiditasnya kepada UMKM dalam proporsi yang lebih besar. Diantaranya dengan memberi bobot khusus dalam proporsi Loan to Deposit Ratio (LDR) kepada UMKM dalam neraca perbankan. Bentuknya dapat berupa pengaturan yang bersifat “mandatory loan” kepada UMKM oleh perbankan dalam proporsi baki kreditnya. Khusus untuk BI, perlu juga mempersyaratkan suatu mekanisme “‘mandatory” kepada perbankan dalam penggunaan fasilitas BI. Itu terutama pada perjanjian yang berhubungan dengan Repo SBN perbankan. Insya Allah, dalam kesempatan lain, kita bisa mendiskusikan (tulisan khusus) soal ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon pertolongan dan berserah diri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Bank Indonesia, Mirip Dengan Negara Berdaulat

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (02/05). Demokrasi telah datang sekali lagi untuk Indonesia tercinta ini, setelah gelombang reformasi memukul banyak hal. Gembira ria orang menyambut dan merayakan datangnya alam demokrasi itu. Apalagi kedatangannya disokong kuat oleh negara-negara yang selama ini telah menjadikan demokrasi sebagai jimatnya. Ide-ide demokrasi pun segera diinstitusionalisasi. Lahirlah sejumlah lembaga baru. Bank Indonesia, yang semula sama dengan Amerika, tidak diatur dalam konstitusi, telah disokong secara unik oleh reformasi. Hasilnya, institusi ini dibawa masuk ke dalam konstitusi. Jadilah institusi ini sebagai organ konstitusi. Mahkotanya pun ditulis dalam konstitusi. Mahkota itu bernama “independensi”. Cara menulisnya, sebenarnya tidak unik untuk siapapun yang terlatih mengenal secara kritis penormaan sesuatu yang tidak selalu disukai oleh banyak orang, tetapi dibutuhkan. Tentu untuk kepentingan tertentu, entah apa dan siapa, dijadikan huruf-huruf hukum. Negara Sendiri Persis pola “politik pintu terbuka” yang menjadi tabiat teknis korporasi-korporasi minyak dan gas kelas dunia memasuki satu area baru. Setelah masuk, mereka lalu mengunci diri di dalamnya, sehingga pesaing lain tidak bisa lagi memasuki areal tersebut. Pasal 23D UUD 1945 tidak menyatakan secara rigid dalam satu kalimat terstruktur dengan rumusan begini “Bank Indonesia Bersifat Independen.” Itu tidak ada. Rumusan persis pasal 23D UUD 1945 adalah “Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan “independensinya” (tanda petik dari saya) diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal 23D UUD 1945 itu sangat simple. Sederhana sekali. Tetapi jangan lupa ini merupakan taktik standar mengunci argumen lawan atau orang yang tidak berkenaan dengan hal itu. Tesisnya begini, bangun dulu legalitas atau fundasinya dalam UUD 1945. Perkara perluasan. Itu urusan nanti. Apa konsekuensi hukum rumusan pasal 23D UUD 1945 itu? Rumusan pasal ini dapat dianalogikan sebagai memberikan cek kosong. Isinya terserah saja. Berapapun angkanya yang mau ditulis dalam cek itu, terserah pada sipenerima cek. Sifat ini digunakan juga dalam UU Nomor 3 Tahun 2004. Itu terlihat pada rumusan pasal 3. Selengkapnya rumusan pasal ini berbunyi begini “BI adalah badan hukum menurut UU ini.” Simpel saja. Itulah nalar logis memahami rumusan tugas, wewenang serta independensi Bank Indonesia yang diatur, terutama dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999, dan UU Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Rumusan pembukanya pendek. Tetapi yang penting itu pintu terbuka dulu, karena segera setelah itu pintu akan mengayun, dan terkunci rapat untuk siapapun. Terkuncinya pintu itu terlihat pada rumusan, misalnya pasal 54 yang esensinya “pemerintah wajib meminta pendapat BI ketika pemerintah membahas kebijakan ekonomi dalam rapat kabninet.” Sama dalam esensinya pada dengan ketentuan di atas. Terdapat ketentuan lain, misalnya yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi terlebih dahulu dengan BI. Bahkan menyertakan BI dalam rapat kabinet yang membicarakan masalah-masalah ekonomi dan keuangan. Termasuk pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI ketika pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Berseberangan dengan ketentuan itu, dan dititik ini terlihat samar-samar BI memiliki kemiripan dengan sebuah negara berdaulat. Mengapa? Orang pemerintah yang hadir, karena diundang BI dalam rapat dewan gubernurnya, hanya untuk memiliki hak bicara. Tidak lebih dari hanya bicara. Orang pemerintah yang hadir dalam rapat itu, tidak diberi hak suara. Semua eksklusifitas BI itu, untuk penalaran hukum konstitusi positif, memang harus diterima sebagai hal tak terhindarkan. Penalaran hukum konstitusi positif tentang “independensi” memang begitu adanya. Begitulah “independensi” bekerja dalam lintasan kerangka hubungan hukum antar lembaga atau cabang-cabang kekuasaan. Sedemikian manisnya ekslusifitas itu disematkan kepada BI, sehingga terasa agak konyol. Dimana letak kekonyolan itu? Presiden tidak bisa ikut campur dalam urusan BI, untuk alasan apapun, tetapi dapat menerima bantuan kerjamama dengan lembaga lain. Memang pintu itu tidak diatur secara tegas di UU, melainkan dalam penjelasannya. Tetapi telah cukup meratakan, merobohkan tembok “independensi.” Kerjasama, boleh jadi metode memasukan pikiran, untuk tak menyebut interfensi lembaga-lembaga keuangan asing ke dalam BI. Mengawalinya dengan gagasan dan ide, lalu berakhir dengan kebijakan. Toh kebijakan BI cukup diatur dengan Peraturan BI. IMF dan World Bank, yang terlihat sebagai rentenir kelas dunia, yang mematikan itu, memiliki kesempatan memasuki BI melalui pintu kerjasama itu. Punya Dua Bos Presiden, siapapun figurnya, suka atau tidak, menurut konstitusi adalah satu-satunya pemegang kekuasaan pemerintahan di negera ini. Dalam kedudukan konstitusional itu, presiden memimpin seluruh penyeleggaraan urusan pemerintahan di negara ini. Masalahnya sekarang, mengapa Presiden diisolasi dari urusan dengan keuangan? Apakah ada urusan perekonomian nasional yang tak terjalin dengan uang, mata uang, stabilitas keuangan, dan sejenisnya? Urusan uang itu mahluk apa? Mengapa Presiden diisolasi secara ekstrim, dengan hanya melalui UU, sehingga tak bisa terlibat merumuskan kebijakan terkait dengan kewajiban konstitusionalnya? Dua bos, itulah yang patut dikatakan dalam menggambarkan pemisahan ekstrim dua urusan ini. Presiden hanya mengurus ekonomi di luar keuangan. BI disisi terdekatnya memonopli urusan keuangam, dan dalam level yang cukup menentukan, juga ekonomi. Karakter ini terus dipertahankan. Juga terus diperlebar dari waktu ke waktu. Mengapa? Semua UU di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, BI, persis seperti The Federal Reserve di Amerika. Terus diberi tambahan kewenangan. Persis Amerika, tambahan kewenangan BI juga dilakukan melalui UU. Pemerintah menerbitkan surat berharga dan dibeli oleh Bank Indonesia. Inilah soalnya, dilihat dari sudut cara kita bernegara. Apa soalnya? Bank ini memiliki terpisah dari pemerintah. Organ ini adalah organ tersendiri. Tetapi besar kemungkinan orang akan melihat keadaan itu sebagai konsekuensi logis dari sifat “independen” yang disematkan secara konstitusional padanya. Dalam konteks itu negara bisa saja tak punya uang atau kekurangan uang, tetapi Bank Indonesia punya. Masuk akalkah ini? Apa saja usaha bank ini menghasilkan uang sebanyak apapun, yang dibutuhkan pemerintah? Main SUN? jelas tidak. Iuran Bank? Lalu apa usahanya? Nalar yang disediakan pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 1999, mungkin menjadi jawaban finalnya. Nalar pasal 20 itu adalah BI ini memiliki kewenangan “mencetak uang.” Bagaimana merealisasikannya? Cara manisnya berupa tarik saja uang yang telah kumal, lalu cetak uang melebihi jumlah uang yang ditarik. Inflasi dan hiperinflasi? Ah pengendalian inflasi dan hiperinflasi kan keterampilan terhebat Bank Sentral di dunia ini. Justru untuk mengelola inflasi itulah, salah satu di antara beberapa golden argument, sekaligus golden goal pembentukan bank sentral di dunia ini. Di dunia mana sekarang ini cetak uang menggunakan standar emas? Lyndon Johnson telah menyempurnakan pola ini semasa memerintah sebagai presiden menggantikan John F. Kennedy, presiden pintar yang sayangnya mati terbunuh, tanpa sebab jelas hingga hari ini. Tidak ada. Inflasi telah menjadi tabiat dasar sistem keuangan mutakhir. Tetapi mari mengenali kenyataan kecil yang disodorkan oleh Ralp Epperson. Menurut Epperson Abraham Lincoln, Presiden hebat, pencipta semboyan “government from people, by the peole dan for the people”, yang berhasil mempertahankan keutuhan Amerika serikat, terlilit utang dalam membiayai perang. Lalu dia dipaksa oleh bankir swasta internasional (Perancis dan Inggris) yang berkolarborasi dengan bankir dalam negeri meminjam dari Bank. Lincoln menolak. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang terlihat bekrja dalam kendali tak terlihat dengan bankir swasta, yang kelak namanya diabadikan pada Chase Manhatan Bank milik Rockefeller, mengancam bankir untuk menerima obligasi pemerintah. Bila mereka tidak menermia, maka pemerintah, katanya, akan membanjiri negara dengan uang kertas. Lincoln akhirnya memutuskan tidak meminjam uang dari bank, juga tak akan menciptakan uang berbunga, dengan mendirikan bank nasional. Bank ini akan meminjami pemerintah uang yang dibutuhkan, untuk mencetak banyak sekali uang kertas. Lalu segera mengeluarkan kertas pada Februari 1862. Uang ini tidak hanya tidak didukung oleh emas, tetapi juga bebas hutang. Sayangnya Lincol terjepit dalam permainan rumit para bankir swasta. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang kelak menjadi hakim agung, dalam kenyataannya meloloskan bill of National Bank ke Kongres. Pada tahun 1863 Kongres setuju menjadi UU. Apa respon Lincoln atas UU ini? Dia memperingatkan rakyatnya dengan peringatan berikut. Lincoln, seperti ditulis Epperson, mengatakan “kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki, lebih biadab dibandingkan dibandingkan otokrasi, lebih egois dibandingkan birokrasi. Saya melihat sebuah krisis akan terjadi dalam waktu dekat yang membuat saya gelisah, dan membuat saya berjuang demi keselamatan negara saya”. Perusahaan, katanya lebih jauh, telah berkuasa, dan zaman korupsi akan terjadi. Kekuatan uang negara akan berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan memanfaatkan prasangka rakyat, sampai pada kekayaan hanya dimiliki oleh beberapa orang, dan republik hancur. Mau abaikan, dan tempatkan penilaian tajam Lincoln ini di bak sampah, ketika siapapun hendak membaca ketentuan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Perpu ini memberi kewenangan kepada BI memberi fasilitas darurat kepada korporasi? Mau ditempatkan di bak sampah juga perspektif hebat Lincoln di atas dalam membaca SUN pemerintah, yang akan dibeli BI? Apakah Presiden, juga DPR dapat mengontrol kebijakan fasilitas istimewa BI kepada Korporasi yang keuangannya, menurut defenisi Perpu Nomor 1 Tahun 2020, terpukul oleh corona? Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi kekuasaan pemerintahan itu tak termasuk bidang moneter. Logiskah? Presiden, siapapun figurnya, diserahi kewajiban konsitusional mengurus, mensejahterakan rakyat, tetapi Presiden diisolasi dalam urusan moneter. Presiden harus bergantung pada BI dalam kebijakan moneter. Pada titik ini Presiden dan BI terlihat sebagai dua Bos yang berbeda buat bangsa dan negara ini.* Penulis adalah Pangajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Ternyata Perpu No. 1 Tahun 2020 Tidak Lagi Diperlukan

“Di APBN 2020, ada pos anggaran untuk subsidi BBM, lirik dan Gas LPG. Jika ditambah dengan subsidi untuk solar dan minyak tanah, totalnya antara Rp. 140-160 triliun. Seratus persen pos anggaran subsidi energi tersebut bisa saja dialihkan untuk menggulangi pandemi Corona. Pemerintah tinggal meminta persetujuan ke DPR saja, agar dirubah di APBN Perubahan. Dengan demikian, tidak lagi memerlukan Perppu No. 1/2020 yang cacat formil dan materil tersebut ”. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis (30/04). Tidak semua sektor ekonomi terdampak korona. Ada juga sektor ekonomi nasional yang memperoleh dampak positif dari wabah yang melanda dunia ini. Dampak positif bagi Indonesia tersebut datang dari sektor energy, yakni migas dan listrik. Menurunnya harga minyak mentah, BBM, LPG dan harga energi primer batubara di pasaran dunia juga mendatangkan berkah. Telah membawa keuntungan besar bagi upaya-upaya penghematan. Bahkan bisa dijadikan kebijakan untuk menghilangkan alokasi anggaran untuk subsidi energi dalam APBN. Selama ini defisit migas sangat besar karena harga minyak tinggi. Subsidi APBN untuk BBM, Gas LPG dan lisrik sangat besar. Namun sekarang defist itu bisa berkurang sangat significant karena harga minyak sudah menurun lebih rendah 70 % lebih dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga impor bahan baku LPG juga sudah menurun lebih dari 50%. Dengan demikian, subsidi APBN untuk BBM dan LPG sekarang menjadi tidak ada lagi atau 0 (nol). Sebaliknya, sektor energi dalam negeri bisa nabung atau menumpuk stok BBM dan LPG impor dalam jumlah besar. Juga dapat menikmati keuntungan besar dari selisih harga impor dengan harga jual dalam negeri sebagaimana yang dilakukan Pertamina saat ini. Demikian juga dengan subsidi listrik, juga bisa 0 (nol). Ini disebabkan harga energi primer yang sangat murah sekarang, terutama harga batubara yang merupakan komponen biaya listrik terbesar. Harga batubara juga sudah menurun lebih rendah lebih dari 50 persen dibandingkan harga batubara Domestik Market Obligation (DMO) atau pun Harga Batubara Acuan (HBA) yang selalu dijadikan patokan harga listrik dan subsidi listrik di APBN. Dengan demikian, menjadi tidak benar langkah pemerintah menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2020 dengan nama yang sangat di dunia itu, hanya karena alasan darurat ekonomi dan keuangan akibat wabah korona. Karena sektor paling vital yang selama ini selalu dipandang selalu membebani APBN yakni subsidi BBM, Gas LPG dan listrik, sekarang justru sangat diuntungkan. Pada wabah korona sekarang ini, perusahaan BUMN migas dan listrik dapat menikmati BBM, LPG impor dengan sangat murah. Harga batubara murah juga sangat murah. Dengan kondisi ini pemerintah dapat menghemat APBN dalam jumlah sangat sangat besar pula. Anggaran yang selama ini dialokasikan untuk subsidi BBM, LPG dan listrik dapat digunakan untuk melawan pandemi Corona. Jika mengacu kepada APBN 2019, maka realisasi subsidi secara keseluruhan mencapai angka Rp. 216,8 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk energi BBM solar sebesar Rp. 31,04 triliun. Subsidi untuk LPG sebesar Rp. 69,4 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp 59,3 triliun. Total subsidi untuk solar, LPG dan listrik Rp. 160 triliun. Jumlah itu belom ditambah dengan subsidi untuk minyak tanah dan premium yang datanya tidak ada dalam APBN 2019. Realisasi alokasi anggaran subsidi energi dalam pada APBN 2020 bisa hilang sama sekali. Sebagaimana diketahui, dalam APBN 2020 Pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran untuk subsidi dalam APBN 2020 senilai Rp. 199,72 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk sektor energi masing masing untuk subsidi solar senilai Rp. 21 triliun, subsidi LPG sebesar Rp. 54,4 triliun, dan subsidi listrik Rp. 62,2 trliun. Jika ditambah dengan subsidi untuk premium, dan minyak tanah kalau masih ada, maka seluruh subsidi energi tersebut sekarang ini sebesar Rp 140 triliun, sudah tidak lagi diperlukan. Penyebabnya, karena harga minyak mentah, BBM impor dan LPG impor yang ada sekarang sudah sangat murah. Malah sebaliknya, perusahaan BUMN migas seperti Pertamina bisa mencetak untung besar. Jadi, untuk mengatasi korona, pemerintah tidak lagi memerlukan Perpu darurat. Sebab angaran untuk mengatasi korona bisa diambil dari pengalihan satu pos anggaran subsidi saja. Jumlahnya juga sangat pantastis dan besar. Mencapai sekitar Rp 140-150 triliun. Pemerintah sukup hanya dengan meminta persetujuan DPR di APBN Perubahan, untuk mengalihkan anggaran untuk subsidi lisrik atau subsidi LPG atau subsidi solar + premium+ minyak tanah, yang memang tidak lagi diperlukan untuk tahun anggaran 2020. Singkatnya, dengan kebijakan itu, maka seluruh kompnen subsidi pada komoditi energi tidak lagi diperlukan. Semunya bisa dialihkan ke upaya-upaya perang melawan pandemi Corona. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana untuk menghadapi wabah korona melalui Perpu No 1 Tahun 2020 senilai Rp. 70 triliun. Dasarnya, pemerintah berasumsi bahwa korona menciptakan krisis keuangan, sehingga akan menggelontorkan dana Rp. 402 triliun untuk penyelamatan sitem ekonomi nasional. Padahal kebijakan ini hanya bohong-bohongan saja. Selain itu, dengan alasan wabah korona berdampak pada ekonomi, pemerintah akan menambah utang baru senilai Rp. 1.006 triliun sesuai dengan Perpres No. 54 Tahun 2020, yang merupakan pelaksanaan dari Perpu No. 1 Tahun 2020. Padahal pemerintah bisa menggunakan mekanisme sebagaimana yang diatur UUD 1945 dan UU Keuangan Negara sebagaimana biasanya dalam menghadapi wabah corona. Tidak memerlukan Perpu darurat yang nyata-nyata cacat formil dan materil itu. Penulis adalah Peniliti Pada Asosiasi Ekonmi dan Politik Indonesia (AEPI)

DPR Lagi Siapkan Mahkota Untuk Perusahaan Minerba?

By Margarito Kamis Jakarta FNN – Kamis (30/04). Presiden, telah mengambil sikap atas isu ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Sikapnya jelas. Klaster tenaga kerja ditangguhkan pembahasannya. Bagus? Boleh jadi iya. Bagaimana realisasinya? Apakah Presiden telah mengirim surat resmi ke DPR memberitahukan sikapnya itu? Wallahu a’alam. Hanya Presiden, DPR dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu. Pada saat yang sama, DPR juga sedang membahas RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Entah mengapa harus diubah? Tetapi dapat diperkirakan perubahan ini dimaksudkan untuk diselaraskan dengan konsep-konsep baru. Entah bagaimana konsepnya? Apakah ada di dalam RUU Cipta Kerja? Ubah Konsep Dua RUU telah teridentifikasi memberikan karpet mereh untuk korporasi. Terlihat di sini, hidupnya tabiat lama. Negara selalu kedodoran berhadapan dengan korporasi. Kalau negara terlihat tangguh, itu dicapai dengan susah payah. Entah kedodoran atau tangguh, tetapi perubahan konsep penguasaan PT. Freeport di Papua dan Newmon di NTB, menarik. Tetapi artikel ini tidak diorientasikan untuk berbicara tentang divestasi dan persentase saham dari kedua korporasi itu. Point artikel ini adalah adanya kenyataan “divestasi” kedua korporasi, yang menghasilkan pemerintah dan pemerintah daerah “dapat memiliki saham” pada kedua korporasi itu. Itu point besarnya. Apakah konsep ini dapat dikonsolidasi secara lebih exprecif verbis dalam kerangka konstitusi, dan diatur dalam kedua RUU itu? Saya berpendapat harus dikonsolidasi. Kerangka dasarnya pasal 33 UUD 1945. Pasal ini harus diberi makna kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi seperti “nikel, batubara, biji besi, emas, dan uranium” sudah dengan sendirinya atau demi hukum bernilai dan bersifat sebagai modal, saham. Mengapa harus diberi nilai dan sifat sebagai modal? Nickel, batu bara, biji besi, uranium dan emas, itulah duit yang sebenarnya. Nilainya meningkat berkali lipat setelah diolah, diekplorasi dan diproduksi, dalam arti diubah dengan sentuhan teknologi. Nalarnya, penanaman modal korporasi untuk menambang semua itu, tidak lebih dari sekedar melipatgandakan nilai modal itu. Politisi senayan harus ingat, bahwa nickel, batubara, biji besi, uranium, tembaga dan emas itu meskipun masih tependam di dalam tanah. Belum disentuh oleh tekonoligi. Namun telah dihitung oleh korporasi sebagai kekayaan dari perusahaan. Otomatis nilai kekyaan perusahaan sudah naik berlipat-lipat kali. Ratusan kali, bahkan ada yang sampai ribuan kali naiknya. Setelah mengantongi izin dari negara, korporasi segara melakukan rekayasa pembukuan untuk menjual sebagain sahamnya. Biasanya antara 15% - 35% ke pasar saham di berbagai belahan dunia. Tambangnya belom diproduksi, namun korporasi sudah mendapatkan duit besar. Bisa sampai triliunan rupiah dari pasar saham. Konsekuensinya, pemerintah dan pemerintahn daerah tidak perlu mengeluarkan uang untuk dijadikan saham pada korporasi yang berinventasi di tambang. Sebab nickel, batu bara, biji besi, emas, tembaga dan uranium itu, harus dinilai secara pars pro toto sebagai modal atau saham. Modal ini yang menjadi dasar negara untuk ikut dalam menejemen korporasi. Jumlah saham dan bidang menejemen dapat dinegosiasikan. Ini bukan perkara yang susah. Membelakangi dunia atau apapun yang sama. Ini perkara sederhana. Tinggal mau atau tidak mau saja. Ini soal kepercayaan diri. Agar kepercayaan diri muncul dan meningkat dalam memahami landscap politik investasi. Politisi senayan hanya perlu sedikit lelah memupuk kemauan mendalami pengetahuan sejarah perebutan sumberdaya alam. Khususnya minyak di berbagai belahan dunia. Tidak lebih. Memang lebih mudah memanjat gunung berbatu rijang dan terjal daripada meminta politisi menyelami sejarah. Tetapi sesulit itu sekalipun, politisi senayan disarankan bersedia mengambil langkah berisiko. Di puncak gunung itu tersedia panorama sikap investor yang mati-matian membela konsep “royalty”. Konsep itu berinduk pada “keserakahan.” Bukan efisiensi, dan bukan pula efektifitas. Sama sekali bukan. Tabiat Corporasi Bagaimana menemukan “keserakahan” sebagai fundasi konsep royalti itu? Orang-orang yang di senayan harus tahu mengapa Inggris dan Perancis membagi-bagi kekuasaan Turki Utsmania? Dan setelah dibagi-bagi, semua negara baru pecahan Turki itu berada dibawah Kendali mereka. Orang-orang yang di senayan harus tahu mengapa ada “Kesepakatan San Marino” pada tahun 1919”? Kesepakatan yang mengatur Turkis Petrolium harus mendapat 20% ditiadakan, setelah Mesoptamia berubah menajdi Irak. Tipikal yang seperti itulah yang menandai sejarah Grup Standard Oil, milik Rockeffeller. Satu kalimat pendek dan menarik Rockeffeler yang dikutip Anthony Sampson pada saat menghadapi protes terbuka masyarakat terhadap konsep “trust” yan diprakarsainya. Rockeffeler berkata “semakin kami maju sambil terus meraih keberhasilan dan terus membisu, semakin kami dikecam”. Saya, kata Rockeffeler selanjutnya, “tidak akan pernah berhenti menyesali sewaktu mengenag kembali serangan besar pertama terhadap perusahaan milik saya tahun 1872”. Hebat, Rockeffeler yang diserang, justru memprakasai gerakan anti-trust. Taktik ini tercium oleh Pemerintah Federal. Akibatnya, pemerintah meningkatkan serangan. Ini tonggak penting yang bersejarah sebagai serangan beralasan besar pertama oleh Pemerintah Federal terhadap monopoli korporat. Kenyataannya korporasi kelompok Standar Oil terlanjur besar. Kekuataan mereka hampir melampaui kekuasaan pemerintah negara berdaulat. Inilah yang dilukiskan oleh Charles Francis Adam bahwa pada tahun 1871 korporasi-korporasi menyatakan perang, mengisolasi perdamaian, mengerdilkan pengadilan, badan legislatif dan negara berdaulat. Semuanya patuh pada keinginan mereka. Lalu tibalah Amerika tahun 1890. Pada tahun ini melalui prakasa Senator John Sherman dibentuklah UU Anti-Trust. Disambut dan ditandangani oleh Presiden Horison. Tetapi materi sengaj dibuat samar. Melarang “setiap kontrak, penggabungan atau konspirasi untuk menghalangi perdagangan. Kenyataannya, kata Antony Sampson UU ini dirancang lebih untuk menenangkan publik daripada untuk mengambil tindakan efektif. Dan penetapannya diikuti periode panjang tanpa tindakan federal. Anti-trus, kata Sampson lebih jauh, sedari awal memiliki gonggongan yang lebih buruk daripada gigitannya. Kelompok Standard Oil, terus merajelela. Mereka ada di hampir seluruh dunia. Caranya macam-macam. Tetapi kartel muncul sebagai bentuk intinya. Mereka tidak segan menekan pesaing. Itulah makna kesediaan Inggris memberi jalan kepada Standar Oil memperoleh kesempatan memasuki Arab Saudi. Mengapa mereka harus membentuk kartel? Persoalan kartel ini akan memberi informasi berharga dalam memahami kapitalisme praktis. Tahun 1949 Federal Trade Commission menyelidiki kesepakatan-kesepakatan Internasional yang dibuat perusahaan-perusahaan minyak. Investigasi berlangsung selama satu tahun, 1951-1952. Temuannya jelas. Tetapi menariknya laporan itu tidak diumumkan oleh Federal Trade Commission, melainkan Senator John Sparkman. Laporan itu, seperti diungkapkan oleh Sampson menyediakan tuturan lengkap pertama tentang kesepakatan-kesepakatan kartel yang dibuat tujuh saudari, sejak kesepakatan Achnacarry 1928. Laporan itu juga memaparkan detail garis merah dan analisis terperinci pengaturan pembagian harga yang pelik di seluruh dunia. Intinya ketujuh perusahaan itu menguasai semua daerah penghasil minyak utama di luar Amerika. Semua kilang di luar negeri, paten dan teknologi penyulingan. Mereka juga membagi-bagi pasar dunia diantara mereka. Juga berbagi jalur pipa dan tanker di seluruh dunia. Laporan ini akhirnya akan ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung James McGranery. Tetapi menariknya, muncul perdebatan sengit mengenai rencana itu. Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri berada dibalik perdebatan, dalam arti mendukung operasi ketujuh perusahaan yang diivestigasi Jaksa Agung itu. Inti argumentasi mereka adalah satu, tuntutan pidana kepada ketujuh perusahaan itu akan jauh lebih merusak. Menurut mereka, hal itu dapat mendorong negara-negara lain, untuk percaya bahwa “kapitalisme bersinonim dengan eksploitasi yang buas.” Argumentasi ini jelas berseberangan dengan argumentasi Jaksa Agung. Sebab menurut Jaksa Agung ketujuh perusahaan itu jauh dari kepentingan keamanan nasional. Mereka, kata Jaksa Agung selanjutnya, sangat merusak keamanan nasional. Namun kasus ini berakhir manis bagi ketujuh perusahaan, seiring naiknya Eishenhower sebagai Presiden, dan John Foster Dulles sebagai Menlu. Naiknya mereka mengubah haluan politik Amerika. Amerika mengalihkan politik luar negerinya ke persoalan komunisme Internasional. Korporasi mengatur dunia, bahkan perang sebagaimana dijelaskan oleh Charles di atas, beralasan. Mengapa? Pernyataan yang mirip muncul disisi lain secara signifikan oleh Charlote Dennet. Charlote Dennet, Jurnalis investigative dan Pengacara, putri Daniel C. Dennet (aparat OSS dan Center of Inteligent Group) yang ditugaskan di Timur Tengah, mengidentifikasi bahwa menurut Depertemen Pertahanan Amerika, perang dunia kedua pada dasarnya adalah perang dengan dan untuk minyak. Menurut opini mereka minyak adalah salah satu senjata terpenting dalam konflik militer modern. Lebih jauh Denet menulis, dengan gaya yang lebih menyentak di hadapan para anggota kongres, Presiden American Petroleum Institute menyatakan pada November 1943 “Minyak adalah amunisi”. Dialah rahasia di belakang senjata-senjata rahasia dalam perang ini. Kita, katanya, tidak akan terbang menuju kemenangan dalam perang ini. Kita secara harfiah berperang dalam setiap jengkal dengan minyak. Begitulah sekelumit sepak terjang korporasi mengelabui banyak pihak. Sayangnya, kenyataan ini terlalu sering dikesampingkan banyak ilmuan, sehingga mereka ikut menari mengikuti irama tipu-tipu korporasi. Itulah pulalah salah satu penyebab kegagalan mengenali mozaik kecil yang tertera dalam perjanjian “San Morino” yang mengatur Turkish Oil Petrolium semasa Turki Usmania memperoleh jatah 20% saham. Perburuan Tambang Nickel Minyak adalah satu hal. Sedangkan nikel, batubara, uranium, biji besi, tembaga dan emas adalah hal lain. Tetapi soalnya mengapa korporasi di berbagai belahan berlomba tancap gas memperoleh konsesi untuk isi bumi non minyak itu? Mengapa ratu Victoria harus mengirim 400.000 pasukannya, terbanyak pada waktunya menyukeskan perang Boer di Afrika Selatan? Sekadar untuk kolonisasi? John Coleman memberi uraian tentang kenyataan jauh sesudah Ratu Victoria. Orang yang dari gerakan jarinya melahirkan hak hukum Royal Virginia Company dan East India Comopany, saudara kembarnya Vereenigde Oostindische Compagnie. Dalam kasus Afrika Selatan, dia menunjuk Ernes Oppenheimer dan De Beers. Ernest Oppenhenimer pada tahun 1919 telah membentuk Consolidated Diamon Mines (CDM) Afrika Barat Daya, degan mula-mula membentuk Anglo-American Corporation of South Africa di London. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, Oppenheimer telah menjadi kekuatan besar monopoli intan. Oppehenimer lalu memasukan De Beers ke dalam Anglo American Company, setelah dia menyetor sejumlah persen saham. Tahun 1937, De Beers sudah menimbun sekitar 40 juta karat. Pasokan untuk waktu 20 tahun. Karena terancam pailit, dia memutuskan menciptakan pasar tersendiri. Dia mengutus anaknya ke Amerika dan memulai kampanye empat C (Cut, Color, Clarity and Carat). Sukses. Dan muncullah sebuah kebiasaan baru, cincin pertunangan dari intan, dengan slogan “sebutir intan bertahan selamanya”. Mengapa batubara dan nickel terus ramai ditambang di Indonesia? Tidakkah semuanya penting untuk berbagai keperluan strategis? Kalaupun mobil listrik belum menggila di jalanan, apakah nickel-nickel itu tidak bermanfaat untuk, misalnya baterei alat komunikasi dan sejenisnya? Tidakkah itu, bermakna bahwa nickel, kini dan akan datang, menjadi komoditas strategis untuk berbagai industri? Bila ya, siapa yang memiliki keberanian untuk memastikan bahwa “sekarang korporasi telah menyepelekan isi perut bumi itu?” Bila tak berfaedah, mengapa korporasi-korporasi bergairah menambang? Korporasi-korporasi itu adalah PT. Indonesia Morowali Industrial Park di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Thingsan dari Tiongkok muncul sebagai salah satu investornya. Nama Thingsan juga muncul pada PT. Indonesia Weda Industrial Park di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pola ini juga muncul pada PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP). Tetapi nama Thingsan sebagai investor tidak muncul pada PT. Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP) di Konawe Sulawesi Tenggara. Politisi di DPR yang sedang mengurusi RUU Cipta Kerja dan RUU Perubahan UU Minerba, memang bukan bangsawan khas Inggris abad ke-17. Mereka tidak bisa dicurigai memiliki tabiat seperti Nelson Aldrich, senator yang menjadi kaki tangan kelompok Wall Street yang menggolkan The Federal Reserve Act. Juga tak punya tabiat seperti John Sherman yang merancang Anti-Trus Act, yang tak bergigi itu. Para politisi senayan dapat dititipi rindu dari bumi peertiwi ini untuk agar tidak usah mengubah konsep IUP yang telah ada. Tetapi pada saat yang bersamaan, diatur agar bangsa Indonesia memiliki saham pada setiap korporasi yang diberi IUP tersebut. Itu saja sudah lebih dari cukup. Negara taidk usah menyetorkan uang untuk tujuan mendapatkan saham di perusahaan tambang. Cukup dengan nickel, tembaga, emas, biji besi, uranium dan batubara yang ada di dalam perut bumi negeri ini yang dikonversi menjadi saham. Tanpa konsep ini, dua RUU itu akan menjadi “mahkota kejayaan untuk korporasi”. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Quantitative Easing (QE) Ala Indonesia Bukti Pembegalan Konstitusi

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (29/04). Belum lama ini beredar banyak pendapat yang mendesak Indonesia perlu “mencetak uang”. Tujuannya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19. Mekanisme “mencetak uang” ini mereka namakan, atau samakan, dengan Quantitative Easing (QE). Quantitave Easing ini adalah kebijakan moneter yang dimotori bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau the FED. Tujuanya, untuk mengatasi krisis sektor keuangan akibat pecahnya gelembung kredit sektor perumahan pada tahun 2007-2008. Kebijakan moneter QE ini juga diikuti oleh berbagai negara maju lainnya seperti Inggris, Uni Eropa, Jepang dan banyak lainnya. Akibat pandemi Covid-19 yang merebak awal 2020 lalu, membuat beberapa bank sentral di negara-negara maju memutuskan untuk menjalankan kebijakan QE lagi. Dengan harapan, dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok terlalu dalam. Sehubungan dengan ini, banyak pihak yang mengusulkan agar Indonesia melakukan QE juga. Bahkan ada mantan menteri yang turut mengusulkan. Jumlahnya tidak kecil. “Indonesia harus cetak uang”, katanya, setidak-tidaknya Rp 1.600 triliun sebagai paket stimulus ekonomi. Mekanisme QE usulan mereka (sebut saja QE ala Indonesia) dilakukan dengan cara Bank Indonesia (BI) membeli surat utang negara di pasar primer. Artinya, pemerintah dan BI melakukan transaksi secara langsung. Pemerintah menerbitkan surat utang (baru) senilai Rp 1.600 triliun untuk kemudian dibeli secara langsung oleh Bank Indonesia. QE model Indonesia ini benar-benar sangat ngawur. Ternyata mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan QE tersebut? QE adalah kebijakan moneter “luar biasa” yang harus diambil ketika kebijakan moneter biasa sudah tidak efektif lagi. Dalam keadaan krisis, langkah pertama kali yang dilakukan bank sentral pada umumnya menurunkan suku bunga. Ketika ekonomi masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik, suku bunga bisa diturunkan terus hingga mendekati 0 persen. Tujuannya, dari penurunan suku bunga ini agar biaya pinjaman menjadi lebih murah. Bisa meringankan beban bunga perusahaan, dan juga diharapkan menggairahkan investasi dan konsumsi. Ini merupakan stimulus ekonomi dari kebijakan moneter. Dalam situasi suku bunga yang sudah mendekati 0 persen, namun ekonomi masih belum juga membaik, maka bank sentral bisa mengambil kebijakan moneter menerapkan QE. Targetnya, agar bisa lebih efektif untuk lebih menggairahkan ekonomi negara. Cara kerja QE sebagai berikut. Bank sentral mengumumkan akan membeli surat utang negara untuk jangka menengah, atau surat utang korporasi di pasar sekunder (open market operations) untuk sejumlah tertentu. Diumumkan secara terbuka kepada publik. Sehubungan dengan krisis pandemi Covid-19, The FED sudah menurunkan suku bunga secara agresif, yaitu 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan 1 persen pada 15 Maret 2020, sehingga suku bunga The FED sudaH mendekati 0 persen. Pada pertengahan Maret 2020, The FED kemudian mengumumkan pembelian surat utang negara senilai U$ 75 miliar dolar per hari untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Jumlah ini kemudian dikurangi menjadi U$ 50 miliar dolar per hari pada akhir Maret lalu. Kebiijakan QE oleh The FED ini tidak ada urusannya dengan pemerintah Amerika Serikat. Apabila ekonomi membaik sesuai target bank sentral, bukan target pemerintah (eksekutif), QE bisa dihentikan kapan saja. Apabila kemudian ada ancaman inflasi, bank sentral bisa menjual kembali surat berharga yang dibeli melalui QE open market operations tersebut. Tujuannya, agar suku bunga kembali naik untuk meredam inflasi. Gambaran di atas merupakan proses umum kebijakan moneter QE diberlakukan. Pertama, tingkat suku bunga sudah mendekati 0 persen. Sedangkan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih “sangat tinggi”, yaitu 4,5 persen. Maka, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat jauh dari syarat diberlakukan QE. Dalam situasi ini, BI masih mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk menurunkan suku bunga. Kenapa BI tidak menurunkan suku bunga? Maknya sangat tidak masuk akal. Ketika suku bunga masih sanmgat tinggi, tapi mau melakukan QE. Kedua, QE adalah kondisi di mana bank sentral membeli surat utang negara (dan korporasi) di pasar sekunder melalui open market operations. Tujuan utama QE adalah untuk menurunkan suku bunga jangka pendek dan jangka menengah. Itu dulu target utamanya. Oleh karena itu, usulan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer berlawanan dengan mekanisme QE seperti digambarkan di atas. Berlawanan dengan persyaratan umum QE yang berlaku di seluruh dunia. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder melalui open market operations itu menunjukkan bahwa bank sentral independen. Paket stimulus Amerika Serikat yang mencapai U$ 2,3 triliun dolar, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bank sentral, The FED. Paket stimulus ini diajukan pemerintah kepada DPR AS untuk dimintakan persetujuannya. Bagaimana cara mendanai stimulus tersebut bukan urusan The FED. Oleh karena itu, QE ala Indonesia, yang mengusulkan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer tidak mempunyai basis sama sekali. Itu usulan yang ngawur dan ngaco. Itu mau menjerumusin negara, termasuk pembegalan terhadap konstitusi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Pak Joko, Lockdown Itu Memang Tidak Langsung Melenyapkan Corona, Tetapi...

By Asyari Usman Jakarta, FNN - "Coba tunjukkan negara mana yang berhasil melakukan lockdown dan bisa menghentikan masalah? Nggak ada menurut saya," kata Jokowi dalam wawancara dengan Mata Najwa edisi 22 April 2020. Begini Pak. Lockdown (sebutlah itu ‘karantina wilayah’) memang pasti tidak akan serta-merta melenyapkan virus Covid-19 begitu masa lockdown selesai. Tak mungkinlah. Sudah benar yang panjenengan katakan itu. Tidak mungkin langsung hilang. Tetapi, melalui tindakan lockdown itu ruang gerak penyebaran virus menjadi sempit. Itu tujuannya, Pak. Besok langsung lenyap, sangat tak mungkin Tuan. Nah, begitu ruang gerak virus semakin sempit karena lockdown, maka penyebaran yang merajalela bisa ditahan lajunya. Menahan kecepatannya, Pak. Misalnya begini, Pak. Ada satu keluarga 6 orang. Salah seorang di antara mereka membawa virus Corona. Kalau mereka dikunci di rumah mereka, maka secara teoritis paling banyak 5 orang berikutnya yang tertular. Yaitu, anggota keluarga itu saja. Bagaimana kira-kira kalau keenam orang itu bebas berada di luar? Bebas ke café. Bebas ke restoran. Bebas berjumpa dengan teman dan kerabat, dll. Karena tidak ada lockdown. Kira-kira kemungkinan penularan massalnya besar atau tidak? Pasti besar kemungkinannya. Iya ‘kan, Pak? Kalau setiap orang dari 6 orang itu kita sepakati berpeluang besar menulari dua orang (inilah angka rata-rata yang disebutkan oleh para ahli penyakit menular), maka mereka akan menulari 12 orang lainya jika mereka bebas berkeliaran. Kemudian, yang 12 orang ‘new comer’ ini juga bebas berkeliaran. Maka, secara aritmatik, kita akan mendapatkan penambahan 24 orang ‘new comer’ berikutnya. Begitulah seterusnya, Pak. Jadi, ketika jumlah tertular (positif) mencapai ribuan atau belasan ribu tanpa lockdown, kira-kira apa yang akan terjadi, Pak? Kalau tak salah, jawabannya adalah pengalaman pahit Amerika Serikat (AS) sekarang ini. Mereka punya lebih satu juta positif Covid-19. Kebetulan pula, Pak Donald Trump sejak awal meremahkan virus ini. Terlambat melakukan tes massal. Terlambat juga melakukan lockdown. Mereka santai saja, ‘business as usual’ (seperti tak ada kejadian). Nah, apakah lockdown terlambat di AS itu akan sia-sia? Tidak berguna? Tidak bisa mengatasi masalah? Kalau Pak Joko ingin melihat hasil yang sim-salabim, dalam arti bulan depan semua klar, memanglah lockdown itu tak berguna. Tak bisa mengatasi masalah. Tak bisa menjawab pertanyaan Bapak di awal tulisan ini. Tapi, kalau Pak Joko setuju bahwa sasaran lockdown itu adalah penyelesaian jangka panjang (bisa jadi 3-4 bulan), insya Allah berguna Pak. Seperti diteorikan oleh para pakar epidemiologi. Bagaimana degan Singapura? Mereka buat lockdown total tapi kasus positifnya bertambah terus? Begitu juga Arab Saudi, kasus positif makin banyak. Apa gunanya lockdown? Kalau di Singapura, ini yang terjadi Pak. Saya kompilasi beberapa berita di media internasional. Pada 7 April 2020, pemerintah memberlakukan pembatasan keras. Mirip lockdown. Seharusnya lockdown ini berakhir pada 4 Mei nanti. Tapi diperpanjang sampai 1 Juni. Penularan di kalangan warga negara bisa dikendalikan sejak lockdown. Tapi, belakangan ini jumlah positif itu melonjak drastis. Bukan di kalangan warga negara Singapura. Melainkan di kalangan para pekerja dari luar termasuk Bangladesh, India, Myanmar, dll. Ada 200,000 pekerja migran di situ. Mereka tinggal di asrama-asrama yang padat penghuni dengan fasilitas kamar mandi/toilet dan dapur bersama (sharing). Penularan berlangsung cepat. Menurut catatan penguasa, 60% kasus positif di Singapura terjadi di kalangan warga asing yang bermukim di negara kota tsb. Hingga hari ini, jumlah yang tertular mencapai 14,423. Lockdown untuk warga negara yang memiliki hunian sendiri, cukup manjur menangkal penyebaran virus Corona. Di Indonesia, lockdown dalam bentuk PSBB pun cukup menolong. Gugus Tugas Covid-19 mengatakan, grafik kasus baru di DKI Jakarta mulai mendatar. Artinya, PSBB yang ‘banyak bolong-bolong’ itu pun masih saja efektif. Apalagi kalau lockdown versi asli. Pastilah lebih mujarab. Cuma, biayanya memang besar. Begitu dulu, Pak Jokowi. Semoga jelas soal manfaat lockdown. Selamat berbuka puasa.[] Penulis Wartawan Senior.

Akhirnya, Semua Terima dan Puji Anies Bawesdan

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (28/04). Bagi sebagian orang, Anies dianggap musuh. Pertama, mereka yang merasa kalah di pilgub DKI. Sebagian sportif, dan mengaku kalah. Lalu melupakannya. Sebagian kecil lainnya belum bisa "move on". Kedua, mereka yang terganggu kepentingan politik dan projectnya. Siapapun yang merasa terganggu, akan melawan. Anda kalau kepentingannya terganggu, pasti juga akan melawan. Baru berhenti melawan kalau sudah terakomodir kepentingannya. Atau sudah merasa kalah. Atau mulai sadar dan waras. Ketiga, buzzer yang melihat peluang. Ada kesempatan kerja. Cukup poduksi bullyan dan ajak 30-50 orang untuk demo di balaikota. Ini cara efektif mendatangkan uang recehan. Memang gak akan kaya, tapi cukup untuk ganjal perut dalam posisi nganggur. Tiga kelompok ini akan selalu hadir di sepanjang sejarah jika ketemu seorang pemimpin macam Anies. Pemimpin non kompromis terhadap oligarki. Penghentian reklamasi, penutupan Alexis, pencabutan kelola apartemen oleh pengembang, adalah beberapa contoh kebijakan non kompromi itu. Orang bilang “Anies terlalu nekat. Berani ambil risiko”. Anies hanya salah satu contoh nyata yang bisa kita saksikan hari ini tentang tipologi pemimpin yang non kompromis. Sejarah model ini telah ada dan berulang di masa lalu. Dan akan terus berulang di masa yang akan datang. Secara ilmiah, inilah hukum sejarah Orang yang paham sejarah mengerti betul soal ini. Gak perlu kaget jika orang seperti Anies banyak musuh. Tapi, angin politik nampaknya sudah mulai berubah. Satu persatu mulai memberi apresiasi terhadap Anies. "Lakon iku menange mburi", kata orang Jawa. Artinya? Cari saja di kamus. Sekalian nyari arti "mudik" dan "pulang kampung" . Kalau sudah ketemu, gak usah diperpanjang diskusinya. Ora mutu! Saat ini, PSI mulai dukung Anies. Gak usah kaget ketika dengat Raja Juli Antoni mengajak semua anggota DPRD untuk kerjasama Anies soal memberi tempat tinggal bagi tunawisma. Covid-19 membuat sejumlah orang gak bisa bayar kontrakan. Karena itu, mesti difasilitasi. Dalam hal ini, PSI apresiasi Anies. Tidak saja PSI, Tito Karnavian, mendagri juga berulangkali memuji kinerja Anies. Tito menganggap langkah Anies terbaik dan sangat cepat dalam menangani covid-19. Tito obyektif! Apa yang diungkap Tito sejalan dengan hasil survei Median, binaan Rico Marbun. Anies berada di posisi teratas sebagai kepala daerah dalam menangani penyebaran covid-19. Mulai dari perencanaan, kecepatan dan ketepatan. Biarlah itu pekerjaan surveyer. Gak terlalu penting untuk dibahas. Yang lebih penting bagaimana sinergi pemerintah pusat dan daerah efektif mencegah penyebaran covid-19. Ini inti dan hal yang paling mendasar. Terkait dengan Anies, muncul pertanyaan, mengapa banyak pihak akhir-akhir ini mulai menerima dan mengapresiasi Anies ya? Pertama, Anies seperti benteng yang kokoh. Dihajar dan diserbu tanpa henti, tetap stabil. Sabar dan terus bekerja. Ini soal karakter dan mental. Gak mudah! Umumnya pemimpin itu reaktif saat dikritik. Dikit-dikit lapor. Lapor kon dikit? Kedua, Anies punya pola merangkul, tidak memukul. Siapapun penghina Anies, dimaafkan. "Dicaci gak tumbang, dipuji gak terbang". Kalimat ini jadi populer. Inilah prinsip yang nampaknya selalu dipegang oleh Anies. Anies sadar, risiko pemimpin harus siap dicaci, bahkan difitnah. "Nabi Yang sempurna saja difitnah, apalagi Anies. Anies itu siapa sih..." katanya. Ini ungkapan kesadaran bahwa seorang pemimpin harus siap dicaci dan difitnah. Ketiga, narasi Anies mudah dipahami dan membuat rakyat merasa nyaman. Santun dan menghargai. Jauh dari caci maki dan bahasa menyalahkan. Ngayomi! Keempat, kebijakan dan kerjanya terukur. Meski ada pihak-pihak yang hampir selalu melihatnya secara apatis. Tapi, pada akhirnya bisa dirasakan hasilnya. Anies konsisten dengan gagasan yang diyakininya. "ide, narasi, baru kerja", katanya. Pola inilah yang membuat segalanya jadi terukur. Soal penanganan covid-19, Anies bilang: "Biarlah saya dibully di medsos, asal tidak disalahkan oleh sejarah. Kita akan lihat buktinya" . Dan apa yang dilakukan Anies terkait dengan covid-19 sepertinya sudah mengungkap buktinya. Angka penyebaran covid-19 di Jakarta berangsur turun. Tgl 16/4, ada tambahan 223 orang positif Covid-19. Sepuluh hari kemudian, yaitu tanggal 26/4 penambahan turun jadi 65. Tentu, saham dan peran semua pihak tidak boleh diabaikan. Kelima, Anies tidak korupsi. Meski berulangkali dituduh korupsi. Tuduhan itu dipastikan bukan dari ICW, BPK, Kepolisian, KPK dan lembaga-lembaga anti korupsi yang lain. Lalu dari mana tuduhan itu? Tak perlu menyebut nama atau kelompok. Yang pasti, tuduhan itu lebih bersifat politis. Ini bisa ditemukan indikator politiknya. Lima fakta di atas sepertinya logis untuk mengurai kesuksesan Anies meraih apresiasi dari berbagai pihak. Termasuk dari mereka yang "semula dianggap berseberangan" secara politik. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Menakar Kebijakan Pelonggaran Moneter (Quantitative Easing) Masa Krisis

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Selasa (28/04). Akhir-akhir ini ramai dibicarakan dikalangan pengambil kebijakan perekonomian nasional mengenai suatu kebijakan pelonggaran moneter/Quantitative Easing (QE ) dalam menghadapi pemburukan perekonomian akibat pandemi Covid 19. Kebijakan mencetak uang (QE ) dianggap sebagai alternatif solusi bagi upaya mempertahankan momentum perekonomian Nasional. Cerita sukses kebijakan ini dalam mengatasi krisis keuangan global tahun 2008, serta-merta menjadi semacam “panacea” bagi krisis ekonomi yang terjadi sekarang. Kesuksesan kebijakan ini di tahun 2008 bukan saja karena berhasil menahan keruntuhan sistem keuangan global di masa itu. Tapi juga mengembalikan momentum pertumbuhan ekonomi global kearah yang lebih baik. Dan yang makin membuatnya menjadi model sukses adalah karena juga terbukti tidak berakibat pada inflasi tinggi, terutama di negara-negara yang besar-besaran melakukan kebijakan ini. Seperti Inggris dan Amerika Serikat. Mencetak uang, dimana-mana memang merupakan tugas utama bank sentral. Yang membedakan QE dengan pencetakan uang dalam keadaan normal adalah karena jumlahnya yang sangat besar, di luar “kebiasaan normal”. Mencetak uang dalam keadaan normal biasanya disebut sebagai ekspansi moneter. Kebijakan ini secara siklikal dilakukan bank sentral dalam mengendalikan perkembangan perekonomian. Di luar soal jumlah, pembedanya juga adalah penggunaan instrumen penyalur (transmisi) kebijakan moneter, dimana QE menggunakan instrumen kebijakan yang tidak lazim dalam keadaan normal. Lantas bagaimana melihat kelaikan kebijakan QE di Indonesia? Secara berkala Bank Indonesia mengeluarkan laporan pelaksanaan tugas moneternya. Secara berkala pula, laporan ini disampaikan ke DPR RI, khususnya kepada Alat Kelengkapan DPR RI yang membidangi kebijakan moneter. Yang perlu dicatat, jumlah uang beredar yang dilaporkan oleh BI itu adalah Uang dalam pengertian luas/ Uang Beredar Luas atau M2 dan Uang Beredar Sempit Atau M1. M2 adalah akumulasi uang dalam bentuk kartal (tunai), uang giral dan uang kuasi. Uang Kartal atau Mo hanya dapat dan boleh dicetak oleh Bank Sentral, tetapi uang giral dan uang kuasi dicetak oleh perbankan, dan dibeberapa negara juga dicetak oleh lembaga keuangan non bank (terutama uang kuasi). Itu sebabnya Bank Umum dapat disebut juga sebagai Lembaga Pencetak Uang Giral (LPUG). Sejak tahun 2013 hingga 2019, pertumbuhan uang beredar (M2) di indonesia mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Pada bulan Oktober 2013, Uang Beredar Luas (M2) di Indonesia berjumlah Rp. 3.576,3 rilliun. Pada Bulan Oktober 2019, Jumlahnya sdh mencapai Rp. 6.026,9 trilliun. sepanjang kurun itu terdapat penambahan Uang Beredar Luas (M2) sebesar Rp. 2.450,6 trilliun. Selama kurun itu pula, antara 2103-2019, pertumbuhan PDB rerata di kisaran 5-5,2%. Pertumbuhan inflasi pun demikian. Tercatat, setelah tahun 2013, dimana inflasi (YoY) tumbuh tinggi 8,36%, memasuki tahun 2015 hingga 2019, inflasi masing-masing 3,35% (2015), 3,02% (2016), 3,61% (2017) 3,13% (2018) 2,72% (2019). Dapat dikatakan, sepanjang tahun 2013-2019, pertumbuhan jumlah Uang Beredar Luas menunjukkan korelasi positif dengan tugas pokok BI dalam mengendalikan inflasi tanpa menimbulkan kontraksi berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesemua itu terjadi dalam situasi yang relatif normal. Tanpa suatu krisis berskala besar baik secara global maupun domestik. Patut pula dicatat, pertambahan jumlah uang beredar sebesar Rp. 2.450,6 trilliun itu merupakan gambaran kumulatif dalam kurun waktu tahun 2013 hingga tahun 2019. Yang sudah tentu didalam perkembangan bulanannya mengalami dinamika naik-turun. Secara teori, suatu kebijakan QE bisa saja dilakukan manakala terjadi deflasi persisten dalam perekonomian. Seperti yang dilakukan oleh Bank Of Japan (BOJ) sepanjang kurun waktu 1990-an hingga 2000-an. BOJ adalah pelopor kebijakan QE di era paska 1970-an. Uniknya, kebijakan yang ditujukan untuk merangsang perekonomian dengan mendorong inflasi ini ternyata tidak terlalu signifikan dalam menciptakan efek inflatoir bagi perekonomian Jepang. Alih-alih perekonomian Jepang terjebak dalam stagflasi (keadaan inflasi yang datar) berkepanjangan. Juga apabila terjadi kontraksi pada ukuran money velocity. Yaitu manakala daya ungkit (multiplier) uang mengalami pelambatan dalam perekonomian. Kecepatan pertukaran uang dalam perekonomian melambat. Yang bisa saja timbul oleh turunnya penawaran atau turunnya permintaan. Apabila dalam kuartal kedua tahun ini yang terjadi adalah penurunan bersamaan penawaran dan permintaan (supply and demand), yang saya duga kemungkinan besar akan terjadi karena efek ekonomi yang ditimbulkan oleh pendemi Covid 19 ini, maka kebijakan Quantitative Easing patut dipertimbangkan secara matang oleh BI. Kita tidak boleh mengulangi kekeliruan Rill Bill Doctrine yang menghalangi Bank Sentral AS untuk melakukan ekspansi moneter besar-besaran di tahun 1929, yang berujung pada krisis berkepanjangan yang kemudian kita kenal sebagai The Great Depression. Pada krisis keuangan global tahun 2008, QE dilakukan untuk mengatasi pembekuan likuiditas (Liquidity Freezing) didalam sistem keuangan. Pada waktu itu, pasar keuangan mengalami kegagalan berantai yang bersumber pada macetnya pasar uang antar bank. Kemacetan ini sendiri merupakan dampak dari keruntuhan instrumen pasar hutang beragunan aset (Collaterized Debt) yang merambat keberbagai instrumen keuangan lainnya. Jadi QE ditahun 2008 pada dasarnya adalah QE yang dilakukan dalam rangka mengatasi kekeringan likuiditas didalam sistem keuangan yang mengancam kestabilan perekonomian secara keseluruhan. Yang perlu dicatat adalah kebijakan QE ini bertujuan untuk menstimulasi perekonomian. Tidak lebih. Titik krusialnya terletak pada pengamatan yang dalam terhadap keadaan kinerja penawaran dan permintaan. Jadi bukan karena suatu pertimbangan di luar tujuannya. Terlebih-lebih oleh pertimbangan politik. Atau dengan kata lain, suatu pengamatan independen oleh BI berdasarkan analisis berbasis pengetahuan yang cermat (knowledge base policy) yang seyogyanya menjadi landasan kebijakan QE. Untuk itu, ada empat parameter yang mesti diperhatikan betul dalam hal ini. Pertama, jaminan korelatif antara pertumbuhan ekonomi yang diharapkan baik dalam masa menahan pemerosotan perekonomian, maupun pada masa recovery perekonomian, dengan besaran kebijakan QE yang dilakukan. Mencetak uang dalam jumlah sangat besar dalam suatu kurun waktu yang terbatas tentu mengandung resiko tidak ringan bagi perekonomian. Apalagi dalam suatu negara dengan ukuran PDB seperti Indonesia. Ekonomi kita memang sudah masuk dalam kategori “Trillion Dollar Economy”. Tapi tetap saja, dengan berbagai alasan yang tidak saya sebutkan dalam tulisan ini, kita tidak dapat membandingkannya begitu saja dengan perekonomian Jepang, Inggris atau bahkan Amerika Serikat. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya mengutip aksi moneter negara-negara tersebut bukan untuk membandingkannya secara langsung. Tapi lebih pada penekanan mengenai pentingnya peranan yang lebih luas dan bagi BI dalam penanganan krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19. Dimana fungsi BI yang dimaksudkan berakar pada pemahaman terhadap karakteristik fundamental perekonomian Indonesia. Kedua, kedalaman pasar keuangan di Indonesia. Di negara- negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar Uni Eropa (diluar negara- negara Eropa Tengah) pasar keuangan mereka sudah sangat dalam. Hingga dalam pencatatan moneter mereka, secara faktual berdasarkan aktivitas pasar keuangan, pendefinisian money supplynya hingga M4 dan M5. Menurut hemat saya, pasar keuangan kita belum seperti negara-negara tersebut. Seperti yang selalu dikemukakan oleh BI dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih dalam situasi mode dangkal (shallow mode) dalam hal pasar keuangan. Kalau parameter pertama berhubungan dengan kuantitas, maka parameter kedua ini akan berhubungan dengan saluran transmisi dan variasi program dan alat (tools) yang dipergunakan. QE dalam keadaan pasar keuangan yang dangkal, tentu akan riskan. Dan karenanya, tidak memiliki ragam alternatif saluran sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara yang pasar keuangannya sudah dalam. Sebagai akibat dari parameter pertama dan kedua, maka suatu jaminan terhadap efek hyperinflatoir dalam masa QE menjadi parameter ketiga. Kisah klasik Weimar hyperinflation menjelaskan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa mencetak uang tanpa suatu jaminan sumber daya ekonomi yang menopangnya akan sangat berbahaya. Kebijakan untuk mencetak uang yang menyebabkan devaluasi mata uang terhadap Dollar misalnya, pada batas optimalnya akan menjadi spiral terhadap inflasi. Apalagi jika suatu perekonomian begitu bergantung kepada pembiayaan hutang. Parameter yang keempat adalah ketentuan yang diatur didalam UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia. Terutama yang menyangkut dengan Neraca Modal Bank Indonesia yang dimuat dalam pasal (6 ) Undang-undang ini. Ketentuan dalam undang-undang ini membatasi neraca modal Bank Indonesia terhadap kewajiban moneternya. Neraca modal Bank Indonesia dibatasi maksimum 10% dari seluruh kewajiban moneter BI. Sebagai catatan akhir. Konsep mengenai Money Supply tidak memiliki keseragaman dalam pendefinisiannya di berbagai Bank Sentral. The Federal Reserve dalam mendifinisikan Uang Beredar Luas (M2) berbeda dengan Pendefinisian ECB (European Central Bank). Perbedaan ini terletak pada persepsi mengenai uang yang beredar dan uang yang potensial beredar di dalam perekonomian. Catatan ini bertujuan untuk memastikan agar apabila kebijakan QE pada akhirnya menjadi pilihan massif yang dilakukan Bank Indonesia. Kita tidak akan salah pengertian dalam memaknai Uang Beredar Luas (M2, M3, M4 dan M5) dalam prakteknya. Yang dapat dijadikan dasar adalah kesepakatan di kalangan Bank Sentral dalam hal penggunaan Uang Beredar Luas (M2) sebagai alat utama pengukur inflasi moneter. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon petunjuk dan pertolongan. Wallahu Alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Bedanya Ego Nasionalis dan Waras Nasionalis

Mereka yang berani meributkan pernyataan Rizal Ramli itu, sebagai pertanda bahwa mereka masih merasa sebagai Warga Negara Cina. Bukan Warga Negara Indonesia. Sehingga lebih baik disuruh pulang kampung saja ke negaranya. Jangan lagi hanya mudik (yang artinya kembali lagi ke Indonesia). Terbukti sekarang orang Cina yang seakan-akan menjadi warga negara itu, tidak tahu berterima-kasih di sini. By Hans Suta Widhya Jakarta FNN – Senin (27/04). Baru saja dituding SARA. Rizal Ramli yang begitu lugas mengkritik Cina (sesuai bahasa Indonesia, bukan China) seperti di ILC TVOne, sehari kemudian ia menetralisir tuduhan yang gencar disampaikan oleh netizen. Menurut pengamat Ekonomi yang sempat beberapa kali jadi menteri ini, bahwa yang dikritik itu Negara China, bukan Etnis Tionghoa. Lah? Inilah bedanya Ego Nasionalis yang dimiliki oleh seorang Rizal Ramli. Beda sekali dengan Waras Nasionalis yang melekat pada diri Ki Gendeng Pamungkas (KGP). KGP sejak tahun 1972, sudah kobarkan semangat Waras Nasionalisme. Waras Nasionalis yang menurut KGP, sama-sekali tidak mempunyai kepentingan kekuasaan atau ambisi murahan lainnya. Mengapa Rizal Ramli mundur atau kendur dengan ucapan awalnya sebagai Waras Nasionalisme itu? Padahal itu adalah sikap kesadaran sebagai Tuan Rumah di Bumi Nusantara ini? Jujur, saya jadi mempertanyakan sikap Rizal Ramli yang ambigu itu. Seharusnya dengan pernyataan itu, Rizal Ramli tidak perlu menguatiri banyak Warga Negara Keturunan (WNI) keturunan yang merasa tersinggung dan menganggap bahwa pernyataan RR tersebut adalah rasis. Sebab sejatinya tidak ada yang rasis dari pernyataan tersebut. Menurut saya, puncak nasionalis itu ya Rasis. Sehingga menjadi aneh, bila ada seorang pribumi yang mengritik Cina, tetapi kok ada warga keturunan di sini, yang sudah nyata-nyata menjadi warga negara kita, menjadi panas hatinya setiap kita bilang Cina atau RRC. Lucunya, mereka yang protes, saya duga sebagai pihak yang suka dan getol bicara tentang Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan sebagainya. Mereka yang berani meributkan pernyataan Rizal Ramli itu, sebagai pertanda bahwa mereka masih merasa sebagai Warga Negara Cina. Bukan Warga Negara Indonesia. Sehingga lebih baik disuruh pulang kampung saja ke negaranya. Jangan lagi hanya mudik (yang artinya kembali lagi ke Indonesia). Terbukti sekarang orang Cina yang seakan-akan menjadi warga negara itu, tidak tahu berterima-kasih di sini. Ada pepatah Minang mengatakan "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung". Ternyata pepatah ini tidak berlaku bagi orang Cina sekarang tinggal dan menjadi warga negara di Indonesia. Mentang-mentang sudah 200 tahun tinggal di sini, merasa ini negaranya juga. Pada tahun 1908 dan 1928 saja perwakilan mereka tidak ada yang ikut dalam merintis kemerdekaan bangsa nagara ini. Pantas saja Sukanto Tanoto pernah menyatakan bahwa “Indonesia hanya Ayah angkat atau ayah tiri. Sedangkan Republik Rakyat Cina sebagai ayah kandungnya”. KGP dengan Gerakan Front Pribumi yang dipimpinnya, menghimbau kepada seluruh pribumi agar pahami karakter orang-orang cina yang ada di tanah air ini. Mereka meski sudah jadi Bangsa Indonesia, tapi ternyata jiwanya tidak ikut mengakui. Mereka cuma hanya sekedar di bibir saja. Juga numpang hidup disini untuk mencari kekayaan semata. “Bila saja saya yang dipercaya menjadi Presiden bangsa Indonesia, maka keberadaan para cina-cina di sini akan diberlakukan status Warga Tamu (WT) di ujung kanan atas KTP mereka. Itu maknanya mereka Warga Tamu. Bukan pribumi asli, "ujar Ki Gendeng Pamungkas. Bila ucapan Rizal Ramli dituduh rasis dan tidak benar, maka orang cina yang ada saat ini dianggap tidak tahu berterima-kasih kepada pejuang, pendiri dan pemilik negeri ini. Andai kita suruh mereka pulang ke negara asalnya, mereka pasti merengek tidak mau pulang kampung. Karena mereka sudah keenakan mengeksplorasi kekayaan alam di sini. Mereka dibantu oleh pribumi-pribumi sampah yang bangga menjadi babu untuk cina. Penulis, Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Tranparansi Informasi Publik (KUTIP)

FAO Warning Krisis Pangan di Tengah Kegagalan Jokowi Dalam Tata Kelola Pangan!

Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - WHO dan FAO telah memperingatkan dunia bahwa Pandemi Corona akan menyebabkan krisis pangan. Soal pangan adalah sektor esensial, sektor yang mengatur kebutuhan dasar, hisup matinya manusia. Ketika tahun 2014 Jokowi berkomitmen untuk membuka lahan pertanian 1 juta hektar di luar Jawa. Namun pada tahun 2019 dimasa kepemimpinannya pembukaan lahan 1 juta hektar hanya sebuah dongeng dan cita rasa utopia. Akibatnya tingkat keberlanjutan pangan jauh lebih rendah dari Vietnam, tingkat ketahanan pangan juga Indonesian berapa di urutan ke 17 di tahun 2019. Ancaman krisis pangan bukan hanya karena Pandemi Corona tetapi sebelum adanya ancaman virus ini kita telah mengabaikan ancaman krisis pangan. Lahan panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha dari 15 juta Ha atau hampir separuh dari lahan panen padi nasional. Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan panen padi pada 2017 meningkat 4,17% menjadi 15,79 juta hektare (ha). Jumlah tersebut terdiri dari luas lahan padi sawah seluas 14,63 juta ha dan padi ladang 1,16 juta ha. Jawa Timur merupakan provinsi dengan luas lahan panen padi terbesar, yaitu 2,29 juta ha atau sekitar 15% dari total luas lahan. Menurut angka ramalan II, Jawa Timur dapat memproduksi hingga 13,13 juta ton. Provinsi dengan luas lahan panen terbesar kedua adalah Jawa Barat yaitu seluas 2,12 juta ha (13,44%), diikuti oleh Jawa Tengah dengan luas 2,01 juta ha (12,74%). Berdasarkan data tersebut, lahan panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha atau hampir separuh dari lahan panen padi Nasional. Menteri Agraria Sofyan Jalil mengatakan keberadaan lahan sawah di Indonesia menyusut tajam, sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu hektar lahan sawah berubah menjadi lahan nonsawah atau alih fungsi dari sawah kepentingan lain, jadi kawasan industri, rumah dan lain-lain. Sofyan Jalil pada Selasa (3/4/2018) seperti dikutip dari financedetik. Menurut Soyan Jalil penyusutan lahan meningkat tajam jika dibandingkan 6 tahun lalu. Sangat ironi karena 6 tahun lalu laju konversi lahan sawah menjadi lahan nonsawah sekitar 100 ribu hektar per tahun. Artinya, lajunya meningkat hingga 100 persen. Semalam di ruang perpustakaan di rumah, saya mencari buku-buku lama sewaktu kuliah di Jurusan Pemerintahan Desa di Yogyakarta. Menarik karena kembali menghidupkan memori medio 90-an di tempat kuliah yang dijuluki "kampus desa" di mana bidang studi sosiatri pembangunan masyarakat desa menjadi andalannya. Dalam berbagai hasil studi dan laporan statistik pangan menyatakan pulau Jawa adalah lumbung pangan nasional yang mensuplai 50 persen pangan nasional dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil beras tertinggi di Indonesia . Pada tanggal 22 November 2016, baru saja mendarat dibandara menangani kasus Freeport di Papua, aktivis Agraria meminta saya mendatangi Kertajatii di Majalengka dan juga Indramayu karena masyarakat dipukul, dianiaya dan disiksa oleh aparat gabungan atas perintah pemerintah pusat demi perluasan landas pacu lapangan terbang yang memasuki wilayah hunian penduduk, harta warisan budaya dan tempat-tempat keramat serta luas sawah ribuan hektar. Pada saat itu juga saya mendatangi masyarakat di Kertajati, Majalengka. Keesokan harinya saya pimpin rapat di gedung sate kantor gubernur Jawa Barat dengan menghadirkan stakeholder. Pemerintah pusat bersih keras, gubernur Jawa Barat menolak tetapi karena proyek strategis nasional, maka pembangunan, penggusuran dan penghancuran tempat hunian masyarakat Kertajati tetap di lanjutkan. Di hadapan ribuan orang di Kertajati dan juga di kantor gubernur saya mewakili Komnas HAM menegaskan bahwa Kertajati tidak bisa dilanjutkan karena Majalengka dan Indramayu Lumbung Beras yang memberi makan jutaan rakyat Indonesia. Itulah sekelumit sedikit kisah perjuangan kami karena sedari awal telah tertanam di memori bahwa Majalengka dan Indramayu pusat produksi beras sebanyak 1 juta Ton dari 30 juta ton kebutuhan nasional. Tidak dapat disangkal bahwa hari ini pemerintah berpolemik soal tata kelola pangan nasional khususnya beras. Rakyat dipertontonkan dengan sandiwara antar anggota kabinet tentang perlu tidaknya impor beras 1 juta ton, polemik tentang kepastian data/jumlah stock beras, BPS tidak mampu menghitung secara pasti angka postulat berdasarkan statistik meskipun menggunakan data berbasis geografis (geografical information system), Bulog berkeras kepala untuk tidak mau Impor beras, kementerian pertanian tidak mampu mendorong produksi pangan dan mengendalikan petani gabah dan beras, demikian pula kementerian perdagangan masih mau memaksakan Impor beras. Itulah sandiwara yang dipertontonkan oleh pemerintah Jokowi-Jk 2014-2019 Karena katidakmampuan menuntun tata kelola pangan nasional. Persoalan pangan dan soal beras adalah soal mati hidupnya rakyat Indonesia namun pemerintah kewalahan, bahkan berantam diantara mereka. Bayangkan saja untuk menghidupi 263 juta penduduk Indonesia maka kita butuh 30 juta ton berat/ tahun. Dengan kebutuhan 114 kg/kapita/tahun. Berdasaran perhitungan akhir tahun 2017, suplai beras gabah petani diperkirakan 81 juta ton atau 46 juta ton beras. Artinya kita masih memiliki surplus beras sebanyak 16 juta ton kalau itu sesuai target. Sedangkan kebutuhan beras nasional Perbulan rata-rata 2,2 juta ton. Sementara cadangan beras pemerintah hanya 1,182 juta ton. Persoalan beras tetap menjadi perhatian nasional dan akan terus menjadi polemik tahunan yang tidak akan bisa berhenti sepanjang hayat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah tidak main-main, tidak bekerja musiman tetapi perlu proyeksi suplai dan demand dalam jangka waktu yang panjang. Kecenderungan pemerintah saat inj justru soal pangan dan beras dianggap tidak menjadi penting, pemerintah lebih mementingkan soal politik dan citra diri menghadapi tahun politik. Hasilnya kita menyaksikan sendiri indeks keberlanjutan pangan Indonesia nomor tiga terburuk di dunia. memalukan! Kembali ke Majalengka dan Indramayu, bahwa pembangun bandar udara internasioanl Kertajati memang penting bagi mobilitas orang, barang dan jasa, khususnya bagi Masyarakat Jawa Barat, tetapi justru secara langsung akan mempengaruhi sumber beras nasional. Adanya pembangunan kawasan industri, pembangunan real estate, perkantoran dan dinamika mobilitas orang, barang dan jasa secara otomatis mengantarkan penduduk dari masyarakat agraris ke industri dan jasa. Demikian pula penyusutan lahan pertanian dan perkebunan menyebabkan tidak mungkin lagi menyumbang beras 1 juta ton dari 30 juta kebutuhan beras nasional. Tidak hanya Majalengka dan Indramayu juga Kerawang, seluruh pulau Jawa terancam sebagai Lumbung pangan karena Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44 persen berada di Pulau Jawa memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar, dari total persawahan di Indonesia mencapai 7,74 hektar. Meski perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya telah diterbitkan pada 2012 lalu, tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah menabrak aturan demi proyek ambisius pemerintah. Belum lagi orientasi pembangunan industri masih berbasis di pulau Jawa, ditunjang oleh pembangunan kawasan hunian, pengembangan perkotaan. pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyertai tuntutan kebutuhan ekonomi akan meningkat sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Maltus. Faktor-faktor sebagaimana diatas memberi Konstribusi bukan tidak mungkin telah mengalami penyusutan lahan pertanian yang mana 51 persen sumber pangan nasional disuplai dari pulau Jawa yang meskipun luas pulaunya hanya 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia. Kabupaten Bojonegoro dan Sragen juga mulai terancam sebagai sumber beras nasional. Bojonegoro tiap tahun juga menyumbang 1 juta ton, sementara Sragen 600-800 ratus ribu ton. Pada saat ini Sragen dalam ancaman penyusutan lahan karena konsekuensi dari pembangunan jalan Toll Semarang-Boyolali-Surakarta. Mobilitas barang, jasa dan orang yang semula melalui pantai utara mulai kecenderungan beralih melalui lintas tengah Salatiga, Sragen, apalagi pembangunan akses jalan toll Madiun-Ngawi. Kerusakan Ekosistem kart sebagaimana terjadi di pegunungan Kendeng akibat pembangunan pabrik semen di Jepara dibawah kepemiminan Ganjar Pranowo ikut memberi Konstribusi signifikan terhadap hambatan suplai air untuk kebutuhan ekonomi khususnya petani padi termasuk juga Bojonegoro meskipun berada di daerah aliran sungai bengawan Solo. Itulah beberapa ancaman dimana Jawa tidak akan bisa diharapkan menjadi daerah suplai pangan nasional khususnya beras. Salah satu dampak besar yang perlu diantisipasi adalah adanya ancaman urbanisasi akibat tingginya angkatan kerja, pengangguran dan kemiskinan yang meningkat diperdesaan tentu menyebabkan orang desa yang agraris menjadi masyarakat urban. Penduduk pedesaan yang memiliki lahan pertanian makin berkurang karena menua, akibatnya terjadi substitusi lahan dari pertanian ke jasa dan industri karena petani menjual areal pertanian mereka konglomerasi-konglomerasi yang menguasai lahan dipedesaan. Dampak besar ancaman penyempitan lahan pertanian juga terlihat dari pembangunan pembangkit tenaga listrik hampir tiap wilayah di pulau Jawa. Kabupaten Cilacap saja telah memiliki kurang lebih tiga pusat pembangkit listrik swasta dan pemerintah. Artinya kebutuhan Energi makin hari kian meningkat, tuntutan kebutuhan energi di pulau Jawa bisa saja termasuk paling tinggi termasuk di dunia. Dalam hal ini disatu sisi sangat membanggakan, namun juga membahayakan ekosistem dan sumber-sumber ekonomi berbasis pertanian perkebunan. Inilah korban dari rancang bangun pemerintah tersandera dokrin keynesian yang menyatakan bahwa pasar dan pemerintah sebagai simbiose mutualism. Pemerintah terlalu baik pada pasar tetapi pasar selalu egois mengejar keuntungan menyebabkan pemerintah selalu kalah dan ketinggalan untuk berbuat baik bagi rakyat. Konsep pembangunan kemitraan antara swasta dan pemerintah (publik private partnership/PPP) kurang lebih 10 tahun terakhir ternyata belum bisa memberi Konstribusi signifikan. Justru sebaliknya pemerintah dijadikan sapi perah swasta melalui proyek infrastruktur dengan investasi besar. Termasuk Pembangunan Bandar-Bandar Udara di Indonesia. Padahal kalau kita melihat secara jelih ternyata pembangunan bandar udara baru selalu merusak ekologi dan sumber ekonomi khususnya areal pertanian dan perkebunan. Bandar Udara Internasional Kuala Namu di Sumatera Utara merusak areal perkebunan, sumber potensial bagi pendapatan Sumatera utara juga nasional, Bandar Udara Sukarno Hatta, Badara Udara Sultan Hasanudin, Hang Nadim, Palembang, termasuk juga bandar udara internaional Kulon Progo Yogya dan lain sebagainya. Hampir semua pembangunan bandar udara selalu memakan korban. Jika tidak menggusur penduduk maka areal produksi pertanian dan perkebunan dirusak. Pulau Jawa memiliki 7 juta lahan pertanian, namun mengalami penyusutan sebanyak 200 ribu Ha per tahun maka hanya membutuhkan waktu 25 tahun lahan pertanian di Jawa akan hilang. Bagaimanapun pembangunan lapangan internsional, pembangunan insfrastruktur, pembangunan industri, real estate dan lainnya khususnya di pulau Jawa telah menghancurkan sumber potensial penghasil pangan. maka selanjutnya komitmen pemerintah untuk membuka areal pertanian 3 juta hektar sawah harus wujudkan sebagai konsekuensi janji presiden Jokowi sebelum 2019. Kalau tidak bisa diwujudkan maka pemerintah gagal memenuhi janji. Membaca disituasi ini pemerintah tentu mempunyai Master Plan pembangunan nasional dalam berbagai sektor termasuk sektor pertanian. Salah satu yang paling penting adalah perencanaan pembangunan dan pengembangan industri tentu memperhatikan ketersediaan lahan yang makin menyempit di pulau Jawa.