NASIONAL

Rakyat Menaruh Harapan ke Sembilan Tokoh Oposisi

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (14/04). DPR sepakat terima Perppu Corona. Kompak dan Gotong-Royong. Seluruh fraksi menerima, kecuali PKS. PKS nampaknya masih konsisten menolak Perppu. Meski banyak pihak terus melakukan kritik dan penolakan terhadap Perppu corona yang dianggap sangat berbahaya ini, DPR nggak peduli. Fakta gugatan sejumlah tokoh terhadap Perppu corona ke Mahkamah Konstitusi, sama sekali tak menjadi pertimbangan DPR. Tetap mengambil keputusan "menerima" sepenuhnya. Tok. Sikap DPR ini seperti anti klimaks. Nggak mau dengar dan nggak peduli pada suara rakyat. Tidak hanya kali ini saja. Soal Jiwasraya, Asabri, Carut marut BUMN lain, Omnibus law, ibu kota baru, kereta cepat, dan terbaru soal BPJS, DPR dianggap nggak ada greget. Seperti beda kepentingan dengan rakyat. Wajar jika kemudian muncul banyak pertanyaan. DPR ini mewakili suara siapa ya? Jika begitu, lalu apa yang bisa diharapkan dari DPR sebagai lembaga kontrol terhadap pemerintah? Keadaan ini membuat rakyat semakin "marah" dan "frustrasi" . Sebenarnya, jangan juga salahkan DPR. Suara rakyat kan sudah "dibeli putus" saat pemilu lalu. Untuk di daerah pesisir dan pegunungan satu suara Rp. 50 ribu. Sementara di perkotaan, harganya Rp. 100 Ribu. Kenapa masih nuntut? Kan sudah jual putus? Yang boleh nuntut itu investor. Mereka investasi dana di bursa pemilu. Cukup besar angkanya. Selesai pemilu, tinggal panen. Sementara rakyat sudah terima pembayaran di awal. Kenapa menuntut lagi? Pemilu tak ubahnya seperti bursa saham. Berlaku hukum investasi. Rakyat curiga, banyak oknum di senayan yang telah bekerja untuk kepentingan para investor semata. Kalau begitu, apa bedanya dengan direksi perusahaan? Satu harapan yang tersisa dari rakyat yaitu peran civil society. Masyarakat mesti hadir dan melakukan kontrol sendiri terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, rakyat harus berperan sebagai oposisi. Ingat. Oposisi dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Agar pemerintah nggak semakin jauh tersesat. Ini bukan makar. Ketika lembaga yang punya otoritas dan diberi wewenang untuk melakukan peran kontrol ini tidak sepenuhnya berfungsi, maka rakyatlah yang turun tangan. Peran rakyat ini diperlukan agar kekuasaan tidak melampaui batas undang-undang dan sewenang-wenang. Memang, ada semacam "lingkaran setan" di dalam pengambilan keputusan di DPR. Pemerintah kasih jatah kabinet ke sejumlah partai. Partai-partai itu tunjuk orang-orang kepercayaannya di fraksi. Fraksi itu dikendalikan oleh ketum partai. Logikanya, mana mungkin fraksi melawan pemerintah yang kasih jatah kabinet untuk partainya? Ini PR buat bangsa ini. Dalam situasi seperti ini, munculnya para tokoh oposisi bukan saja kebutuhan, tapi keniscayaan politik. Rakyat butuh saluran kritik ketika Bapak-Ibu Yang Terhormat di parlemen dianggap tak lagi bisa mendengarkan hati dan harapan mereka. Memalukan, kata Rizal Ramli. Perppu, terutama terkait hak budget, kekebalan hukum dan cetak uang, kok bisa diterima oleh DPR. Padahal Gubernur BI dan Menteri Keuangan menolak. Gelo, kata Rizal Ramli dalam sebuah video yang viral di medsos. Tak bisa berharap ke DPR. Rakyat menyerahkan harapannya kepada sembilan tokoh oposisi yang dianggap selama ini mewakili suara rakyat. Mereka adalah Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Habib Rizieq, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Refly Harun, K.H Najih Maemoen, Rocky Gerung dan Muhammad Said Didu. Sembilan tokoh ini dianggap konsisten menyambung lidah rakyat. Menyuarakan hati dan harapan rakyat yang seringkali gagal dipahami oleh wakil mereka di gedung parlemen sono. Sembilan tokoh ini konsisten. Mereka nggak pernah kendor, tegas suaranya, dan punya kapasitas, baik intelektual maupun moral. Kritiknya terukur dan tidak ngawur. Yang pasti, mereka bukan tokoh partisan dan suaranya bukan hasil pesanan. Sangat layak jadi sparing partner ide, gagasan dan lawan argumentasi bagi kekuasaan. Kepada sembilan tokoh ini, rakyat masih punya harapan di tengah hilangnya kepercayaan terhadap para elit politik yang "ngakunya" mewakili mereka. Di luar para tokoh itu, banyak tokoh lain, ormas dan LSM yang juga tak kalah kritis dan nyaringnya dalam menyuarakan nurani rakyat. Satu dengan yang lain saling melengkapi dan menguatkan. Kehadiran para tokoh oposisi ini setidaknya dapat menjaga harapan rakyat agar masih ada rasa optimis untuk masa depan bangsa ini. Selama masih ada orang-orang yang berani menyuarakan nurani dan kepentingan rakyat, berarti Indonesia masih ada. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jenderal Djoko Santoso Tentang “Trisula TNI AD” Dulu dan Sekarang

By Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Pada era milenium ketiga, perang memang bertujuan untuk menghancurkan bangsa dan negara. Namun dengan menggunakan kekuatan senjata sebagai mesin perangnya, bukan lagi satu-satunya pilihan. Penghancuran moral dan budaya bangsa, sangat menarik dan menguntungkan bagi mereka yang menggunakan. Melumpuhkan moral dan budaya bangsa sebagai pilihan yang cerdas”. Jakarta FNN – Rabu (131/05). Wafatnya Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, 10/5/2020, membuat penulis merasakan kehilangan. Tidak saja sebagai sahabat seangkatan, lulusan Akabri Darat tahun 1975. Tetapi juga sebagai atasan, komandan dan guru. Ketika penulis menjadi Kepala Staf Pribadi (Kaspri) Pangdam Jaya, almarhum menjabat Assospol Kodam Jaya. Ketika beliau menjabat Waas Sospol di Mabes ABRI, penulis adalah Koordinator Staf Pribadi Menhankam /Panglima ABRI. Tampak almarhum memiliki karakter dan kapasistas sebagai prajurot yang unggul. Pangkat Kolonelnya di pundaknya, mendahului temen-teman seangkatannya. Pernah menjadi anggota anggota DPR RI, sebelum menjadi Assospol Kodam Jaya. Sosok Prajurit Yang Konsisten Keterdekatan penulis dengan almarhum tidak saja dalam dua jabatan di atas. Tetapi ketika almarhum sebagai Pangdam Jaya dan Kepala Staf TNI AD, penulis sebagai Kepala Staf Garnisun I Jakarta, Kasdam Jaya, dan Aster Kasad. Bahkan, ketika penulis Aster Kasad, perintah sebagai Cawagub mendampingi Cagub Dr. Ing. Fauzi Bowo dalam Pilkada DKI 2007, juga atas perintah almarhum selaku Kasad. Cerita jabatan di atas, bertujuan untuk menguatkan, jika penulis memberikan kesan terhadap almarhum, karena cukup lama bersama-sama. Almarhum sosok prajurit yang konsisten terhadap apa yang pernah disampaikan. Baik itu sewaktu dinas aktif maupun setelah pensiun. Ini terbukti ketika penulis bicara per telepon pada 1 Mei 2020, pukul 11.03 WIB. Satu hari sebelum almarhum sakit mendadak pada 2 Mei 2020, saat berbuka puasa dan berkelanjutan.Waktu penulis menelepon, almarhum sedang ditemani Ajudan dan Sekretaris Pribadi di kediaman Bambu Apus. Bicara dan ketawanya lewat telepon sangat jelas, tidak ada tanda-tanda sakit. Ada tiga hal yang disampaikan oleh almarhum. Pertama, almarhum bercerita memiliki data tentang wabah Covid 19, baik di Indonesia maupun Luar Negeri. Kedua, bercerita tentang perkembangan penanganan Covid 19 di Indonesia. Baik yang menyangkut kebijakan, keuangan, ketersediaan pangan dan kondisi rakyat. Ketiga, berpesan agar Sekretariat Bersama Alpajuli (Alumni Perwira Akabri Tujuh Lima) Angkatan Darat, sifatnya kekeluargaan dan koordinatif. Sehingga Sekber Alpajuli Darat yang di daerah, dapat dengan bebas menyelenggarakan kegiatan secara independen dan mandiri. Apa yang disampaikan di atas, menguatkan kesan penulis terhadap almarhum sebagai sosok prajurit yang konsisten terhadap apa yang disampaikan. Bahwasanya, di berbagai acara (walau sudah pensiun) beliau sering mengulang-ulang pesannya. Pesan alharhum adalah “bahwa pengabdian seorang prajurit itu, walau sudah pensiun, harus sampai akhir hayatnya”. Sikap militansi, rela berkorban, tidak kenal menyerah dan berpikir untuk rakyat, harus selalu melekat pada setiap prajurit. Terbukti, almarhum selalu konsisten dengan pesan-pesannya. Sehari sebelum jatuh sakit yang berkelanjutan, beliau masih berpikir dan bicara untuk bangsa dan negaranya secara jelas. Juga masih berpikir untuk organisasi temen-temen seangkatannya. Trisula AD Kekuatan Bermata Tiga Pernyataan di awal artikel ini, bahwa penghancuran moral dan budaya bangsa sebagai satu pilihan yang cerdas dan menguntungkan, penulis kutip dari beliau sewaktu almarhum menjabat KASAD tahun 2007. Karena itu, beliau menekankan, untuk menghadapi ancaman tersebut, TNI AD harus memiliki “kekuatan bermata tiga, yaitu TNI AD sebagai Kekuatan Moral, Kekuatan Kultural dan Kekuatan Pertahanan”. Ketiga kekuatan ini dinamakan almarhum sebagai “Trisula TNI AD”. TNI AD sebagai Kekuatan Moral. Artinya, sebagai kekuatan yang selalu mengedepankan nilai-nilai moral. Selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Serta berpikir, berbuat dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. TNI AD sebagai Kekuatan Kultural. Artinya, sebagai kekuatan yang selalu mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Memiliki wawasan tentang kemajemukan, sebagai modal kekuatan bangsa. Memandang kemajemukan bangsa, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam bingkai NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. TNI AD sebagai Kekuatan Pertahanan. Artinya, sebagai kekuatan yang siap menghadapi segala bentuk ancaman militer secara terorganisir, yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa Indonesia. Dalam konteks konsepsi Trisula TNI AD itu, setelah pensiun dari Panglima TNI, lagi-lagi almarhum tetap menunjukkan sikapnya yang konsisten untuk membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai kekuatan moral bangsa. Ajakan almarhum bersama kawan-kawan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli, pada hakikatnya agar pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar tetap dijiwai dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga aturan turunannya dapat membentuk kekuatan moral bangsa. Ajakan almarhum bersama kawan-kawan untuk bangkit, bersatu, bergerak dan berubah. Tujuannya agar tidak punah, yang didasarkan pada nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Ajakan tersebut, pada hakikatnya untuk membangun kekuatan kultural bangsa. Dalam upaya membangun kekuatan moral dan kultural bangsa itulah, almarhum melakukannya bersama para tokoh masyarakat, pakar intelektual, aktivis pejuang dan masyarakat. Wadahnya adalah Gerakan Selamatkan NKRI (GSNKRI), Rumah Amanah Rakyat (RAR) dan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI). Apel Persada Kawan-kawan pergerakan mencatat isi hati, pikiran dan cita-cita almarhum yang masih belum tercapai. Misalnya, perbaikan nasib Boemipoetra, Kembali ke UUD 1945 yang asli. Almarhum juga berharap, kelak akan lahir Pemimpin Bangsa yang Pancasilais. Namun takdir telah menentukan lain. Almarhum harus menghadap Tuhan Yang Maha Esa mendahului kita. Walau ada yang tidak tahu atau tahu, tetapi lidah kelu atas kepergiannya, tidak menjadi masalah. Wafatnya almarhum sudah dengan jelas disampaikan oleh Panglima TNI selaku Inspektur Upacara saat pemakaman hari Minggu lalu. Panglima TNI menyatakan, “atas nama Bangsa, Negara dan Tentara Nasional Indoesia, dengan ini mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi jiwa raga dan jasa-jasa almarhum Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn), mantan Panglima TNI, Kesatuan Mabes TNI. Putra almarhum bapak H. Djoko Soedjono, yang telah meninggal dunia demi kepentingan serta keluhuran Negara dan Bangsa, pada hari Minggu tanggal 10 Mei 2020 pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto karena sakit. Semoga jalan Dharma Bhakti yang ditempuhnya dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua, dan arwahnya dapat tempat yang semestinya di alam baka”. Selamat jalan Jenderal Djoko Santoso saahabatku, atasanku, komandanku dan guruku. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan tempat yang paling mulia untuk Jenderal. Amin. Penulis adalah Aster KASAD Tahun 2006-2007

Menghancurkan Indonesia Secara Konstitusional

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Banyak orang yang bersepakat bahwa revisi UU KPK adalah langkah yang menghancurkan lembaga antikorupsi itu. Tetapi, apakah penghancuran KPK itu konstitusional atau tidak? Pastilah konstitusional. Legal, 100 persen. Penghancuran KPK itu sah. Presiden tidak melanggar UU dengan revisi itu. Kemudian, banyak pula orang yang menilai pemilihan pimpinan KPK berlangsung dengan cara akal-akalan. Nah, konstitusional atau tidak? Sangat konstitusional. Siapa bilang tidak? Semua prosedur penyeleksian calon pimpinan mengikuti aturan yang berlaku. Tidak ada yang dilanggar. Tetapi, hebatnya, bisa terbukti prediksi banyak orang bahwa Firli Bahuri pasti terpilih sebagai ketua KPK. Meskipun banyak pihak yang berkeberatan terhadap rekam jejak beliau ini. Pokoknya, semua dibuat konstitusional. Semua dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum. Sekarang, apa akibatnya? Anda semua pahamlah. Lembaga antikorupsi ini menjadi mandul. Tidak ada lagi OTT. Korps para koruptor dan veteran korupsi bisa tidur nyenyak. Tidak ada lagi yang mereka takuti. Seterusnya, penerbitan Perppu 1/2020 (Perppu Corona). Konstitusional atau tidak? Jawabannya, mana ada orang yang mengatakan tidak? Semua fraksi di DPR menerima Perppu itu, kecuali fraksi PKS. Jadi, seribu persen konstitusional. Tapi, apa yang digariskan oleh Perppu Corona itu? Perppu ini menetapkan bahwa semua pemegang otoritas yang terkait dengan penggunaan dana sebesar 405 triliun yang disediakan untuk mengatasi dampak Covid-19, tidak dapat dituntut pidana atau perdata jika mereka melakukan kesalahan. Begitulah bunyi Pasal 27 Perppu Corona. Mantap apa tidak tidak? Tentu sangat menyenangkan. Khususnya bagi orang-orang yang telah menyiapkan ‘road map’ penilapan dana besar itu. Mereka akan menyiapkan langkah-langkah pencolengan yang tak terasa sebagai pencurian. Semuanya ‘masuk akal’. Kalau pun nanti ada yang berbau koruptif, kembali saja ke pasal 27 Perppu Corona. Pasal inilah yang membuat para koruptor menjadi ‘orang keramat’. Tak bisa disentuh hukum. Kita lanjutkan lagi. Memberikan kekuasaan besar dan luas kepada Menko Luhut Pandjaitan, konstitusional atau tidak? Jawaban singkatnya, murni konstitusional. Tidak ada yang ditabrak. Dan ini hak prerogatif presiden. Tidak ada yang bisa mempersoalkannya. Karena itu, apa saja yang dicampuri oleh Luhut, tidak menyalahi aturan. Nah, mengapa begitu banyak orang yang terganggu oleh kekuasaan superior itu? Karena cara ini tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance). Tetapi, semua ini konstitusional. Anda merasa terganggu, itu urusan Anda. Lalu, Presiden Jokowi mengangkat staf khusus (stafsus) milenial. Konstitusional atau tidak? Tentu saja tidak ada pasal UU atau UUD yang dilanggar. Tetapi, bagaimana dengan segala macam kontroversi yang melibatkan para stafsus milenial itu? Bahkan ada yang mundur karena konflik kepentingan? Tidak ada masalah. Begitu mereka mundur, semua selesai. Semua konstitusional. Bagaimana dengan proyek Kartu Prakerja 5.6 triliun yang melibatkan salah seorang stafsus yang mundur? Juga tidak ada persoalan. Sudah sesuai konstitusi, kok. Mau apa lagi? Terus lagi, Presiden Jokowi memberikan keistimewaan kepada China untuk banyak hal. Apakah langkah ini bertentangan dengan konstitusi? Tentu tidak. Mau seratus persen perdagangan dan investasi asing itu dikuasai China, tidak ada masalah. Semuanya sesuai dengan aturan. Cuma, dengan nalar yang sehat, pastilah Anda merasa heran. Anda khawatir pengistimewaan terhadap China bisa membahayakan Indonesia karena bisa saja negara komunis itu membawa masuk komunisme. Baik secara terang-terangan maupun secara halus. Anda mencemaskan hegemoni China. Hegemoni ekonomi, ideologi dan kebudayaan. Bagi para penguasa, silakan saja Anda merasa waswas atau cemas. Tetapi, semua yang mereka lakukan dalam kaitan dengan kehadiran China di Indonesia tidak melanggar konstitusi. Semua konstitusional. Sekarang, kita ringkaskan. Revisi UU KPK menyakitkan hati tetapi konstitusional. Penerbitan Perppu Corona penuh dengan kontroversi tetapi konstitusional. Pemberian kekuasaan masif kepada Luhut tak sesuai dengan prinsip ‘good governance’ tetapi konstitusional. Pengangkatan stafsus, konstitusional. Pengistimewaan China yang sangat mencemaskan tetapi juga konstitusional. Kalau begini hancurlah bangsa dan negara Indonesia? Sebentar! Memangnya Indonesia tidak bisa dihancurkan secara konstitusional? Bukankah ini yang sedang Anda saksikan? Agak sok-sok filosofis sedikit, dalam hidup ini ada bab tentang baik dan buruk. Gembira dan sedih. Membangun dan menghancurkan. Nah, saat ini kita sedang berpangku tangan melihat orang-orang yang menghancurkan Indonesia secara konstitusional.[] 12 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

PKS Top, Tak Gotong-Royong Terima Perpu Corona

By Dr. Margarito Kamis Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu “perkataan “gotong-royong”. Negara Indoneaia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong (Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945) Jakarta FNN – Minggu (10/05). Bung Karno melanjutkan, gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntus-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong (Lihat RM, AB Kusuma, 2004). Apakah mozaik pidato ini, kalau tidak memompa energy. Setidaknya menjadi lentera penerang dan pemandu sikap Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah? Ketua Banggar dari PDIP ini menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Untuk mudahnya Perpu, yang saya nilai “membinasakan bangsa” ini saya sebut Perpu Corona. Politik Indonesia memaksa siapapun untuk mengidentifikasi sikap Pak Said Abdullah sebagai pantulan asli sikap PDIP. Sikap itu jelas merupakan sikap resmi PDIP. Jabatan dan forum yang penyampaian sikap itu jelas bagi siapapun, bahwa itu sikap resmi PDIP. Siapapun boleh mengidentifikasi Perpu ini sangat pro kepada korporasi. Tetapi kata Said Abdullah Perpu akan segera dikirimkan ke Ketua DPR. Ibu Puan Maharani, juga orang PDIP. Lalu setelah diterima akan segera diparipurnakan pada tanggal 12 Mei mendatang (Lihat Kontan.Id. 8/5/2020). Tinggalkan Pidato Bung Karno Apakah PDIP terilhami, terpukau dan mengadaptasikan semangat gotong-royong dalam pidato Bung Karno, kakeknya Ibu Puan Maharani? Wallau a’alam. Tetapi Ibu Puan tercatat pernah bicara tentang gotong-royong. Nampaknya gotong-royong menajdi kunci, begitu esensi diskripsinya, memenangkan pertempuran melawan Covid. Tetapi bergotong-royong menerima Perpu, terlihat membawa gotong-royong itu ke padang tandus yang setandus-tandusnya. Juga terlihat konyol yang sekonyol-koyolnya. Mungkin itu energi terbesar PKS, sehingga tak ikut bergotong-royong dengan PDI dan partai lain menerima Perpu ini. Seperti mata elang, punya penciuman khas harimau, serta lincah selincah kera di ujung dahan. PKS berhasil mengidentiikasi tabiat dimensi busuk Perpu ini. Terlihat betul PKS mengenal Perpu tidak didekasikan untuk rakyat kecil. Terlihat samar-samar ini Perpu korporasi, yang membinasakan. Padahal, dan ini yang menarik, kata “kerakyatan” itu bukanlah sebagai merek politik dari PKS. Kata “kerakyatan” telah teridentifikasi dalam politik Indonesia sebagai pilihan pilitik khas PDIP. Tetapi sudahlah, mari mengenal lebih jau sikap PKS. Sikap PKS disampaikan Junaidi Auli. Katanya, terdapat pasal yang tidak sesuai semangat penanggulangan Covid-19. Program penanggulangan ekonomi, kata Junaidi lebih jauh, hanya akan berhasil bila “rakyat diselamatkan.” Persentase insentif pemulihan ekonomi, dalam identifikasinya, lebih tinggi dibandingkan kesehatan dan jaminan sosial (Lihat RMol.Id, 6/5/2020). Tak pernah mengaum dengan suara bela rakyat, bela orang kecil dan seterusnya. Tetapi dalam kesendirianya itu, PKS menolak kebijakan yang tidak selaras dengan semangat gotong royong. Semangat untuk menghidupkan rakyat kecil. Ini sikap hebat, berklas dan bermartabat untuk rakyat kecil. Gotong-royong untuk maju bersama, sejahtera bersama, dalam semua keadaan yang diperlukan, jelas sangat indah. Tetapi gotong-royong untuk pekerjaan, yang di dalamnya menyimpan, bahkan nyata-nyata mengandung sisi-sisi membesarkan secara diskriminatif kelompok pengusaha tertentu. Pengusaha yang tak semestinya, untuk apapun alasan yang mungkin, jelas terlihat konyol. Ini bukan gotong-royong. Disparitas insentif dalam Perpu antara urusan kehehatan dengan ekonomi, dan bantuan sosial, mustahil dapat dikompromikan dengan gotong-royong yang dibayangkan oleh Bung Karno. Tidak ada korporasi, satupun yang menjadi fundasi bangsa ini dibangun. Hanya rakyat lah fundasinya. Sisi hebat ini, hemat saya disadari atau tidak dikenali oleh PKS. Suka atau tidak, penilaian PKS memiliki basis historis konstitusi yang sangat valid. Mengapa? Pada tanggal 16 Juli 1945 itu, Rancangan UUD 1945 yang telah tersedia dibahas kembali. Terlihat gagasan tentang di mana, dan bagaimana pemerintah harus berfungsi? Pada pembahasan soal perekonomian Indonesia yang merdeka, muncul gagasan bahwa “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong, dan usaha bersama”. Tentang korporasi, terlihat dalam gagasan berikutnya. Dinyatakan “pada dasarnya perusahaan yang besar-besar, yang menguasai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya mestilah dibawah pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan social, apabila buruk-baiknya perusahaan itu, serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang pertikulir saja. Pemerintah, dalam gagasan ini harus menjadi pengawas dan pengatur. Diawasi dan juga disertai dengan kapital dari pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan yang besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak orang menggantungkan dasar hidup kesana. Semakin besar mestinya kepemilikan Pemerintah (Lihat RM. AB Kusuma, 2004). UMKM Tetap Saja Memble Pembaca FNN yang budiman. Gagasan ini, entah dibaca atau tidak oleh PKS. Tetapi sikap faktual dari PKS terhadap Perpu Corona ini, terjalin dengan histori hasrat untuk membela rakyat. Semangatnya, mirip seperti saat pembahasan UUD pada 16 Juli Tahun 1945 dulu. Tidak mesti mengatakan PKS mengerti dan memahami histori konstitusional tentang bagaimana perekonomian harus dibangun, dan di mana serta bagaimana pemerintah harus mengambil posisi. Tetapi PKS berada pada garis itu. PDIP dan kawan-kawannya mungkin memiliki konsep “kesamaan derajat” semua pelaku ekonomi, yang khas. Konsep itulah membawa mereka bergotong-royong menerima Perpu ini. Mungkin konsep “kesamaan derajat” itu bekerja secara kongrit “besar dan kecil” harus gotong-royong. Titik. Itu adil. Garis yang ditempuh PDIP dan kawan-kawan, jauh dari kehendak para pembentuk UUD 1945, yaitu “menjaga rakyat Indonesia”. Itu sebabnya ketimpangan, boleh jadi dianggap sebagai susuatu yang alamiah saja. Bisa dibenarkan dengan konsep keadilan alamiah. Padahal hasrat “keadilan” dari para pembentuk UUD 1945 untuk urusan perekonomian, tidak begitu. Keadilan adalah cara idiologis menghaluskan gap struktur usaha. Andai konsep “keadilan” untuk semua badan usaha dimengerti dan dimaknai oleh PDIP dan kawan-kawan koalisi. Misalnya, “yang besar diberi insentif besar” dan “yang kecil diberi insentif kecil”, maka konsep ini pasti menghasilkan “yang besar tetap besar” dan “yang kecil tetap kecil”. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tetap saja memble sepanjang sejarah Indonesia. Jika struktur usaha bakal selamanya seperti itu, maka mama nilainya dengan konsolidasi ketimpangan struktur usaha. Padahal, tak sedikit ekonom yang mengidentifikasi serapan tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh sektor UMKM. Diskripsi itu bermakna, yang kecil-kecil inilah memenuhi ekspektasi dan maunya konstitusi bangsa Indonesia. Selama ketimpangan struktural ini tak berubah, bagiamana mungkin bangsa ini bicara satu lompatan kecil ke depan? Faktanya struktur usaha sangat didominasi korporasi besar. Sama maknanya dengan uang terus terkonsentrasi pada mereka. Hasil akhirnya adalah ketimpangan yang berkelanjutan. Jurang besar ini, sejauh diperlihatkan oleh sejarah, tak pernah dapat ditutup dengan kebijakan jaring pengaman sosial. Apalagi jaminan sosial yang saat ini mirip asuransi sosial. Metode ini, untuk pertama kali diterapkan saat depresi ekonomi 1933. Dalam kenyataannya tidak mengubah ketimpangan. BI Menghindari Pidana Ketimpangan besar dalam Perpu Corona terlihat nyata. Tak usah memutar otak untuk mengenalnya. Kebijakan memberi kewenangan kepada BI dan OJK mengurus korporasi, jelas lucu. Ini hanya berputar pada urusan tambah, dan kasih uang. Ini khas liberal. Jauh dari semangat UUD 1945. Relasi fungsional antara BI dan OJK mengurus korporasi, sulit dibingkai dengan konstitusi. Ini relasi taktis. Relasi yang boleh jadi akan melahirkan kerangka kerja kongrit yang aneh-aneh. BI sepertinya terlihat boleh jadi mengambil posisi menyediakan uang saja. Uang ini akan diletakan di bank tertentu, entah apa sebutannya. Lalu penggunaannya menunggu otorisasi OJK. Kerangka kerja model ini, andai berjalan, mungkin tak menginjak-injak Perpu itu sendiri. Mengapa? Kedua organ ini bisa membuat aturan kerja, protokolnya. Tetapi karena sikap politik Banggar DPR yang telah jelas, sehingga saya kesampingkan isu ini. Yang mau saya uraikan adalah BI terlihat bergerak memutar. Tidak mau mengambil metode BLBI tahun 1999. Sikap ini dapat dimengerti. Bila BI mengambil metode 1999, maka BI akan terus seperti dulu. Berada begitu dekat dengan masalah hukum pidana. BI tentu tak mau jatuh di lubang yang sama. BI harus tahu, lebih dari siapapun, bahwa politik tidak selalu berada dalam kendali Presiden dan DPR. Juga parpol dan ketua umumnya. Selalu ada ruang gelap, dengan kekuatan khasnya, yang dalam sekejab dapat mengubah peta permainan. Permainan yang baru selalu tak dapat ditebak. Tak selamanya setelah musim berganti. Bagaimana bila PDIP berubah sikap dari menerima menjadi menolak? Sudahlah itu soal lain. Partai-partai terlihat selalu tak pernah bisa mengadaptasi ide-ide perekonomian yang bersemangat keadilan yang dikehendaki oleh pembentuk UUD 1945. Diseberang sisi itu, korporasi tahu begitu mereka terpukul krisis keuangan, pemerintah dan DPR segera datang sebagai “dewa penyelamat” paling produktif dan sangat cekatan. Asset korporasi mau trubel atau likuid, tidak lagi penting. Begitu krisis menerpa mereka, parpol akan bergotong-royong menggeluti tesis klasik. Selamatkan korporasi adalah cara terbaik menyelamatkan perekonomian nasional. Korporasi selamat, bangsa dan negara selamat. Kestabilan ketimpangan usaha yang terjadi sejauh ini, sialnya tak terpetakan sebagai buah kebijakan yang mirip di masa lalu, tahun 1998 dan 2008. Kerumitan-kerumitan pasti saat ini, sekali lagi, terlihat tak pernah dapat diprediksi sebagai bahaya pasti diujung kebijakan. Menyebalkan, begitu krisis datang politisi segera berada di sisi terdalam kebijakan klasik itu. Perpu ini, suka atau tidak berada dalam perspektif itu. Terus tertatih-tatihnya UMKM sejauh ini, untuk sebagian besar alas an, merupakan hasil kebijakan yang berinduk pada tesis klasik itu. Bangsa ini, tampaknya masih harus menyimpan optimisme dan keinginan untuk melihat perekonomian berjalan di garis hasrat para pendiri bangsa. Suka atau tidak, demokrasi telah bekerja dengan cara yang amat rumit. Menghasilkan kapitalisme terlihat indah dan manis disepanjang pembangunan nasional. Pesona demokrasi “liberal” itu, dalam semua spektrumnya selalu memanjakan secara tidak proporsional terhadap korporasi. Perspektif itu merasuk ke sumsum, dan telah menjadi nadi bangsa sejauh ini. Suka atau tidak, itu mengakibatkan hasrat negarawan-negarawan pembuat UUD 1945, dengan segala pemikiran tulus yang menyertainya, terlihat usang. Rakyat boleh dan akan terus menjadi fundasi kedaulatan bangsa ini. Tetapi fakta menunjuk, itu hanya sejauh di atas. Korporasilah yang dalam semua aspeknya, secara nyata-nyata muncul sebagai pemegang sejati kedaulatan rakyat. Gotong-royong, kerjasama, itu dikenali Belanda sebagai kekuataan terbesar. Berhasil diidentifikasi dan dieksekusi secara nyata oleh korporasi-korporasi modern. Didahului oleh korporasi, dieksekusi dalam bentuk “kartel minyak dunia.” Semoga pola itu tak menjadi model gotong-royong di Indonesia. Mengenal perintah konstitusi untuk membangun perekonomian nasional, menjadi hal mustahil untuk diminta kepada politisi. PKS, memang tak bakal mampu mengubah peta jalan itu. Tetapi sejauh yang bisa, PKS telah menempatkan bola konstitusi di tempat dan keadaan yang diperlukan. PKS top. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Ditagih Rp 5,1 Trliun Ngga Bayar, Malah Cari Salahnya Anies

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (09/05). Bermula dari surat cinta Anies ke Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Isinya hanya soal nagih utang ke Pemerintah Pusat. Ada uang milik rakyat Jakarta sebesar Rp. 5,1 triliun, berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) penerimaan pajak Pememerintah Provinsi (Pemprov) DKI di Kementerian Keuangan yang belom dibayar. Nggak cair-cair juga, padahal sudah ditagih berkali-kali. Dalam kesempatan teleconference dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Anies menyinggung soal dana ini. Minta bantuan Wapres untuk dorong Menkeu agar uang haknya rakyat DKI tersebut segera bisa dicairkan. Pemprov DKI butuh dana tersebut untuk menanggulangi Covid-19 dan dampak ekonominya. Tolong karena sangat urgent. Esoknya, teleconference Anies dan wapres Viral. Kok bisa? Tak biasanya Anies buka perbincangan pribadi ke publik. Apalagi menyinggung soal dana, dimana Menkeu ikut disebut-sebut. Ini pembicaraan internal antar pemerintahan saja. Selama ini, Anies tak suka kegaduhan. Apalagi buka front di publik. Sama sekali, sejatinya ini bukan watak Anies. Dia tipe pemimpin yang lebih suka kerja silent. Senyap, tapi hasil kerja bisa dirasakan oleh rakyat. Itulah Anies yang selama ini dikenal publik. Cek sana-sini, akhirnya dapat informasi juga. Pertama, inisiatif teleconference itu berasal dari Wapres Ma’ruf Amin. Bukan dari Anies. Kedua, pihak yang mempublish video teleconference tersebut ke public adalah tim dari kantornya Wapres. Langkah yang dilakukan Wapres sudah sangat benar. Ini menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19 ini, Wapres terus saja bekerja. Melakukan koordinasi dengan sejumlah kepala daerah adalah bagian dari bukti kerja tersebut. Publik juga berhak tahu apa yang telah dikerjakan Wapres. Selain hak untuk dapat info terkait perkembangan penanganan Covid-19. Beberapa pekan kemudian Menke kebakaran alis mata. Sri Mulyani tampil bersuara ke publik. Mba Sri menyoal bansos di DKI. Katanya, Pemprov DKI nggak punya dana. Nggak sanggup berikan bantuan untuk 1,1 juta warga DKI terdampak Covid-19. Eh, Sri Mulyani ternyata tak sendirian. Menteri Sosial Juliari P Batubara ikut bicara. Begitu juga dengan Menteri Kordinator Pemberdayaan Masyarakat (PMK) Muhadjir Effendy, ikut-ikutan menyerang Anies. Obyeknya masih sama, soal penyaluran bansos. Kepada pihak lain Mensos bilang, “saya kira nggak usah ribut-ribut soal data, semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, secara gotong royong (Kompas 2/5). Tapi kepada Anies, Mensos justru mempersoalkan data itu. Kok beda antara penyataan dan perbuatan ya? Kenapa yang disoal hanya Anies? Nggak kepala daerah lainnya? Emang kepala daerah yang lain beres soal anggaran, data dan pembagian bansosnya? "Rasanya kental politis", kata Zita Anjani, Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi PAN. “Justru Pak Anies minta dicover dari pusat, karena ingin warganya sejahtera. Pakai saja uang rakyat Jakarta yang Rp. 5,1 triliun itu, “tegas anggota Fraksi PAN ini lagi. Ditagih ko nggak bayar. Malah balik cari-cari kesalahan. Kira-kira seperti itu logika yang ada di kepala rakyat, khususnya DKI Jakarta. Kalau nggak bisa lunasin hutang, ya minta maaf saja dong... Bukan malah cari-cari kesalahan. Rupanya, rakyat punya cara berpikirnya sendiri. Beda dengan cara berpikir para menteri itu. Dana DBH Pemprov DKI 2019 sebesar Rp. 5,1 triliun. Ditambah kuartal II tahun ini sebesar Rp. 2,4 triliun. Totalnya Rp. 7,5, triliun. Baru dicairkan oleh Kemenkeu Rp. 2,56 triliun. Sri Mulyani seharusnya tak sekedar mengkritik Pemprov DKI, tetapi segera membayar DBH penerimaan pajak yang merupakan bagian dari Pemprov DKI, kata Mujiyono, anggota DPRD DKI dari Fraksi Demokrat. Sri Mulyani sakiti hati kepada warga Ibu Kota. Begitu kata M.Taupik. “Sengak. "pernyataan Sri Mulyani tersebut 100 persen tidak sesuai fakta, alias hoaks", tegas M. Taupik. Wakil Ketua DPRD dari Gerindra ini menyayangkan pernyataan Menteri Keuangan ngawur tersebut. Tidak hanya M.Taupik. Arbi Sanit dan sejumlah tokoh juga menyesalkan sikap para menteri Jokowi itu. Dianggap tak punya anggaran, Pemprov DKI malah siapkan dana Rp. 5 triliun untuk menangani Covid-19 dan dampak ekonominya. Diantaranya, berupa bantuan yang "sudah dibagi" ke warga DKI sebelum PSBB diberlakukan. Jadi, sebelum ada PSBB, dan sebelum pemerintah pusat bergerak ngasih bansos, warga Jakarta sudah mendapat bantuan dari Pemprov DKI. Ada yang double penerimaan. Warga terima dari pemerintah daerah, terima juga dari pemerintah pusat. Harusnya tidak double, kata pihak Kementerian Sosial. Apa masalahnya kalau warga terima double? Tanya M.Taupik, wakil DPRD DKI. Toh tidak dalam waktu dan pekan yang sama, protesnya. Jadi, tidak hanya hotel bintang lima untuk tenaga medis saja yang disoal. Masyarakat Jakarta terima bantuan double juga ada pihak yang menyoal. Lepas siapa yang benar dan siapa yang salah? Mestinya urusan macam ini bisa dikomunikasikan dan didiskusikan secara internal. Kenapa tidak teleconference saja via zoom berempat. Tiga menterinya Jokowi ajak Anies diskusi. Tapi, kenapa justru dijadikan konsumsi publik? Wajar jika banyak pihak kemudian mengartikan, ini sebagai bentuk penjegalan terhadap Anies untuk menjadi Calon Presiden 2024. Rakyat kelaparan kok diseret-seret ke urusan politik 2024. Nggak elok, nggak dewasa dan nggak bermutu seru M. Taupik. “Jangan sampai perseteruan politik mengganggu perut rakyat rakyat Jakarta, “himbau M. Taupik. Rasionalitas ini otomatis muncul di benak rakyat, mengingat sering terjadinya serangan yang dianggap mendiskreditkan posisi Anies. Ini berlangsung sejak pidato pertama Anies pasca pelantikan 2017. Tak berhenti hingga sekarang. Sudah tiga tahun berjalan. Apalagi publik Jakarta membaca bahwa serangan kepada Anies ini sudah bersifat terstruktur, sistematis dan masif. Keadaan inilah yang justru membuat gelombang empati publik kepada Anies membesar. Celaknya lagi, empati itu terus membesar. Ketika semua bentuk serangan itu tak pernah direspon secara reaktif, Anies berhasil mengambil hati rakyat. Serangan akhirnya menjadi kredit poin buat Anies. Anies lebih memilih fokus kerja di tengah banjirnya serangan tersebut. Ini langkah yang sangat tepat. Meski tak perlu harus mendengungkan kata “kerja... kerja... dan kerja....” Selama hasil kerja bisa dirasakan oleh rakyat, maka akan jadi investasi sosial dan politik yang efektif buat Anies. Akhirnya, siapapun yang mencoba menyerang Anies akan berhadapan secara otomatis dengan para pendukung dan simpatisannya. Fakta ini bisa dilihat di media dan medsos. Anies punya relawan dan buzzer lepas yang berlimpah di setiap sudut kota di Indonesia. Mereka tak saling mengenal satu dengan yang lain. Sebab, mereka tak dibayar. Tiak ada kordinatornya. Tidak juga ada kaka pembina seperti buzzer yang di sebelah sono. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Duo Doni Melawan Menhub Budi

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ada sebuah frasa menarik dalam bahasa Inggris yang berbunyi: Too many chiefs, not enough Indians. Jangan diartikan secara harfiah. “Terlalu banyak kepala (suku), tak ada yang mau jadi orang Indian biasa.” Frasa itu muncul pasca Perang Dunia II di Amerika Serikat (AS). Menggambarkan sebuah organisasi yang kebanyakan bos, tapi tidak memiliki jumlah staf yang memadai. Asal-usul frasa bermula setelah PD II, pasukan AS didemobilisasi. Struktur komandonya njomplang. Kebanyakan Kolonel, dengan jumlah prajurit yang terbatas. “You can’t have all chiefs and no Indians,” kata Wakil Komandan Angakatan Udara AS Letjen Ira Clarence Eaker. Belakangan frasa itu juga digunakan untuk menggambarkan situasi sebuah organisasi, perusahaan “terlalu banyak yang jadi bos, akibatnya staf, anak buah jadi bingung.” Frasa itu kelihatannya kok sangat tepat ya, menggambarkan situasi Indonesia hari-hari ini. Tapi kalau dipikir-pikir, frasa itu bisa juga kita ubah menjadi : No Chief, too many Indians. Tidak ada pemimpin, akibatnya para anak buah jadi pada ribut sendiri. Masing-masing mengambil keputusan dan kemudian saling menegasi dan membatalkan. Akibatnya para staf, apalagi rakyat kelas bawah jadi bingung. Siapa yang harus didengar dan omongannya dituruti? Ya soal mudik —-psstttt jangan dicampur aduk dengan pulang kampung ya—Anda bingung tidak omongan pejabat mana yang harus kita pegang dan turuti? Yang satu ngomong boleh mudik, dengan catatan “mempunyai keperluan mendesak. ”Sementara pejabat lainnya menyatakan “mudik tetap dilarang. Titik!” Saling membatalkan Agar dapat tergambar bagaimana proses pengambilan keputusan pemerintah sangat acakadut, mari kita cermati kronologinya. Saat Luhut B Panjaitan menjadi Menhub ad interim, terbit aturan larangan mudik di tengah pandemi. Peraturan Menhub No 25 Tahun 2020 itu diteken Luhut Kamis (23/4). Dalam Permenhub tersebut diatur kendaraan transportasi tak diperkenankan keluar-masuk zona merah penyebaran virus Corona. Peraturan berlaku mulai 4 April sampai 30 Mei 2020. “Adapun ruang lingkup dari peraturan ini adalah larangan sementara penggunaan sarana transportasi umum, baik untuk transportasi darat, laut, udara, dan kereta api, serta kendaraan pribadi dan sepeda motor," ujar Jubir Kemenhub Adita Irawati. Hanya sepekan berjalan Kamis (30/4) Adita mengatakan Kemenhub tengah membahas masukan berkaitan aturan larangan mudik di tengah pandemi. Masukan itu berasal dari Kemenko Perekonomian. Mereka khawatir larangan mudik mempengaruhi roda perekonomian nasional yang bisa menimpa berbagai sektor. Bagi yang paham, pengumuman itu tidak terlalu mengejutkan. Sangat mengkhawatirkan dampak ekonomi dibanding kesehatan, sejauh ini telah menjadi madzhab resmi yang dianut pemerintah. Dalam wawancara dengan RRI Sabtu (2/5) Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan menyatakan tengah mengkaji untuk membuka kembali kawasan wisata Ancol. Pertimbangnya melihat trend perlambatan penyebaran Covid-19. "Kita berdoa mestinya (kasus penyebaran corona) selesai pertengahan Juni. Atau bahkan dekat-dekat Lebaran, sudah ada sebagian (fasilitas publik) yang terbuka. Misalnya Ancol," ujarnya Ahad (3/5) Menko Polhukam Mahfud MD melalui akun twitternya mencuit, akan ada relaksasi PSBB, agar ekonomi masyarakat tetap berjalan. “Ada daerah yang menerapkan PSBB dengan ketat, sampai masyarakat pun sulit bergerak hingga sulit mencari uang sulit. Namun, di tempat lain ada pula masyarakat yang melanggar aturan PSBB itu dengan mudahnya,” ujar Mahfud. Senin (4/5) melalui akun youtube milik Sekretariat Presiden menyatakan akan melakukan evaluasi PSBB. “Ini perlu dievaluasi. Mana yang penerapannya terlalu over, terlalu kebablasan dan mana yang masih terlalu kendur," ujar Jokowi dalam kabinet terbatas. Dari berbagai statemen itu pesan yang ditangkap publik akan ada relaksasi PSBB, termasuk aturan mudik. Selasa (5/5) Adita kembali mengumumkan “"Aturan turunan dari peraturan menteri perhubungan nomor 25 saat ini sedang dalam finalisasi.” Wartawan kemudian menuliskan judul: “Warga Boleh Bepergian Dalam Situasi Mendesak, Aturannya Keluar Sore Ini.” Lama menghilang dari publik karena terjangkit Corona, Menhub Budi Karya Sumadi Rabu (6/5) tiba-tiba muncul membuat pengumuman penting. Terhitung tanggal 7 Mei pemerintah akan melonggarkan moda transportasi publik. "Rencananya Gugus Tugas Covid-19 yang akan mengumumkan. Intinya adalah penjabaran bukan relaksasi. Dimungkinkan semua moda angkutan udara, kereta api, laut dan bus kembali beroperasi dengan catatan harus pakai protokol kesehatan," ujar Budi. Alasan pelonggaran itu agar perekonomian tetap berjalan. Penjelasan Budi agak membingungkan. Di satu sisi dia menyatakan pemerintah melonggarkan seluruh moda transportasi. Artinya publik bebas lagi menggunakannya, walaupun diembel-embeli dengan “untuk kepentingan mendesak dan mematuhi protokol Covid-19. Media dan publik mengartikan hal itu merupakan pencabutan larangan mudik. Untuk apa semua moda transportasi dibebaskan? Apa iya seperti dikatakannya, hanya agar anggota DPR dapat kembali ke daerah, bertemu konstituen di daerah pemilihan. Bukan untuk mudik. Tak lama setelah pengumuan Budi, Kepala BNPB sekaligus Kepala Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo menegaskan mudik tetap dilarang. “Tidak ada perubahan peraturan tentang mudik, artinya mudik dilarang, titik. Saya tegaskan sekali lagi, mudik dilarang, titik," kata Doni dalam konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta, Rabu (6/5). Tak cukup hanya Doni Monardo, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) merasa perlu harus menjelaskan juga. "Prinsipnya tetap adalah pelarangan mudik dan pembatasan dan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat, pernyataan Menhub itu sebenarnya memuat pengecualian memuat disclaimer yaitu mereka yang boleh melakukan perjalanan itu,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian. Penjelasan Donny Gahral menjadi perhatian publik. Apalagi detik.com bahkan membuat judul : Istana Luruskan Pernyataan Menhub Soal Izinkan Lagi Transportasi Beroperasi. Judul itu kemudian diubah menjadi: Penjelasan Istana soal Pernyataan Menhub Izinkan Lagi Transportasi Beroperasi. Sampai disini masalahnya jadi menarik. Mengapa KSP harus turun tangan. Apalagi kalau benar “meluruskan.” Apalagi yang melakukan itu hanya seorang staf sekelas Donny? Apa tidak cukup penjelasan Doni Monardo? Dia Kepala Gugus Tugas yang mendapat mandat untuk penanganan Covid. Lebih otoritatif. Sebagai Kepala BNPB posisinya juga sekelas menteri. Bila yang menjelaskan dan meluruskan itu Jubir Istana Fadjroel Rachman masih bisa dipahami. Dia bicara dalam kapasitas Jubir Jokowi. Atas nama Jokowi yang secara hirarki adalah atasan Menhub. Kalau toh tidak langsung istana, harusnya yang menyampaikan adalah seorang Menko. Kebetulan Menko Luhut sebelumnya sempat menjabat sebagai Menhub ad interim. Lha kok ini malah staf Kaespeh…….. Hmmmmm…… No Chief too many Indians. Penulis Wartawan Senior.

Said Didu Penyambung Suara Bung Hatta dan Profesor Soepomo

By Dr. Margarito Kamis Umar Bin Khatab berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, beri aku pengecualian untuk Suhail ibn’Amr. Akan kucabut lidahnya biar tak bicara seenaknya dimana pun selamanya. Nabi menjawab “Kalau Aku menghukum dengan cara begitu, Allah pun menghukumku dengan cara yang sama, meskipun aku seorang Nabi. Siapa tahu suatu saat nanti ia menempati kedudukan yang tak dapat lagi kau mencela.” (Dikutip dari Buku Perang Muhammad, oleh Nizar Abazhah) Jakarta FNN – Kamis (07/05). Muhammad Said Didu, pria Bugis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, terkenal lugas, ceplas-ceplos dalam semua isu kebangsaan dan kenegaraan. Pria ini sekarang berurusan dengan Polisi. Beliau dilaporkan, entah langsung atau tidak oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kordinator Maritim dan Investasi atau anak buahnya, ke Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian telah bekerja. Muhammad Didu telah dipanggil untuk diperiksa. Tetapi corona membuat dia tak bisa memenuhi panggilan itu. Apakah Polisi akan memangginya sekali lagi? Kemungkinan itu harus diletakan di atas meja. Konsekuensinya, meja ujian atau perjuangan Muhammad Didu, suka atau tidak, tidak boleh hanya dihiasi dengan hukum-hukum pidana. Tidak. Itu senjata, yang kekuatannya hanya sekelas kerupuk. Pergilah ke gudang konstitusi bernegara. Juga ke UUD 1945. Temukanlah digudang itu semua hasrat para pendiri bangsa ini dalam merumuskan UUD Tahun 1945 dulu. Sajikan dan jadikanlah itu teman bincang-bincang. Teman pikir kala buka puasa dan sahur. Dan buatlah panorama buka puasa dan sahur untuk puasa esok hari seindah pelangi di ujung senja dengan balutan sholawat kepada Nabi Allah, Muahammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kekasih terhebat-Nya itu. Mengapa begitu? Nama subyek dalam suara Muhammad Said Didu itu mengharuskan penjelasan, Butuh pemetaan secara detail, dan bertanggung jawab dari sudut tata negara. Ini disebabkan subyek yang disebut dalam “suara” Muhammad Didu, yang saat ini dikualifikasi fitnah, dalam sifatnya terpadu sangat ketat dengan tata negara. Dimensi elementer tata negara memanggil setidaknya tiga hal untuk dibuat dengan jelas, sejelas-jelasnya sebelum pemeriksaan bekerja dengan tensinya sendiri. Untuk kepentingan kejelasan itu, maka ketiga soal itu disajikan secara singkat dibawah ini. Pertama, apakah yang dimaksud dengan konsep “menteri” itu? Apakah konsep “menteri” itu menunjuk “nama jabatan” atau menunjuk pada “nama orang”? Dalam pertalian yang ketat dengan konsep itu, soal yang muncul mengikutinya secara logis adalah apa “tanggung jawab” menteri? Apakah konsep “tanggung jawab menteri” menunjuk pada tangung jawab jabatan atau orang? Kedua, apakah konsep “tanggung jawab” seorang menteri? Apakah bentuk kongkrit tanggung jawab menteri hanya meliputi tanggung jawab hukum? Apakah bentuk tanggung jawab menteri hanya dipertalikan dengan pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara? Apakah melaksanakan program dan kegiatan kementerian, tidak menjadi unsur tanggung jawab menteri? Ketiga, bila tanggung jawab “menteri” sebatas atau dikerangkakan secara terbatas pada hukum (pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pelaksanaan program dan kegiatan kementerian), maka apa relefansi hak yang saat ini diberi kapasitas konstitusi sebagai hak asasi warga negara berupa “berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat? Mari tenggelam dalam buku Profesor Muh. Yamin dan RM. A. B Kusuma meminum air konsep menteri, yang tertera pada soal pertama di atas. Apa yang dimaksud oleh pembentuk UUD 1945 pada pembahasan masalah ini di tahun 1945? Tanggal 11 Juli 194, Panitia Kecil Perancang UUD 1945 telah selesai menyiapkan draf UUD 1945. Khusus kementerian diatur pada Bab III. Judulnya Kementeran Negara. Bab ini hanya berisi satu pasal, tepatnya pasal 16. Isi selengkapnya pasal 16 (rancangan) itu adalah (1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Rancangan UUD ini dibahas lebih jauh oleh PPKI pada tanggal 15 Juli 1945. Pada pembahasan yang dihadiri relatif lengkap oleh anggota PPKI inilah, muncul beberap argumen. Argumen-argumen menggambarkan dengan jelas kehendak pembentuk UUD 1945 tentang konsep menteri. Hormat saya untuk semua anggota PPKI, tetapi saya menonjolkan dua argumen. Kedua argumen itu sangat dominan. Kedua argumen itu adalah argumen Profesor Soepomo (Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) dan Moh. Hatta (anggota). Argumen-argumen itu muncul pada saat Profesor Soepomo menerangkan secara umum draf UUD 1945. Lalu Pak Hatta meminta kesempatan bicara dan permintaan Pak Hatta itu disetujui dan dipersilahkan oleh Pak Radjiman, Ketua sidang (semoga amal baik mereka diterima disisi Allah Subhanau Wata’ala). Bung Hatta lalu bebricara, dengan menyodorkan perspektif perbandingan sekadarnya tentang sistem pemerintahan. Amerika diambil sebagai salah contohnya. Setelah isu itu, Bung Hatta, dalam kata-katanya menyatakan “karena itu ada baiknya kalau disini diadakan kemungkinan bahwa Minister atau menteri bertanggung jawab. Sebab keduanya sama-sama menjalankan kekuasaan undang-undang.” Tambahan, kata bung Hatta selanjutnya “tanggung jawab itu ada penting dalam gerakan kita. Dalam susunan negara kita, supaya yang memegang departemen betul-betul adalah pemimpin rakyat. Janganlah nanti lambat-laun semangat pegawai saja, dengan tidak mempunyai tanggung jawab yang kuat menjalar dalam pemerintahan negara. Bung Hatta melengkapi argumennya dengan contoh menteri-menteri di Eropa, khususnya Nederland. Kata Bung Hatta, sesudah Grondwet tahun 1838 menetapkan tanggung jawab menteri, sekalipun itu tak ditulis dalam Grondwet, tetapi di dalam dasarnya masih 80 tahun berjalan. Pandangan ini direspon oleh Profesor Soepomo dengan argumen yang akan saya sajikan berikut ini. Profesor Soepomo mengatakan sistem yang sedang dirancang tidak mengikuti sistem parlementer. Jadi Menteri hanya pembantu daripada Kepala Negara. Tetapi dalam praktek nanti kita harus melihat bagaimana jalannya. Kata Soepomo selanjutnya, kita harus percaya kebijaksanaan Kepala Negara dan juga pembantu-pembantunya yang “bukan pembantu biasa, akan tetapi orang-orang yang sangat terkemuka, juga ahli negara yang bukan saja mengingat “publieke opinie” perasaan-perasaan umum dalam DPR. Akan tetapi mengerti juga “perasaan umum di dalam negara mereka umumnya” (semua tanda petik dari saya). Begitulah pandangan menembus zaman kedua bapak pendiri bangsa yang mempersiapkan UUD 1945 itu. Apa yang dapat diambil sebagai esensi dari pernyataan kedua negarawan besar itu tentang menteri dan kementerian atau departemen? Menteri, tidak dapat disebut lain, selain menunjuk pada jabatan tertinggi di Departemen. Itu pertama. Tidak lebih. Kedua, pemegang jabatan itu tidak pernah lain, selain adalah orang. Orang itulah pemangku jabatan yang namanya menteri. Orang (menteri) inilah yang dikehendaki oleh baik Bung Hatta maupun Profesor Soepomo harus menyerap, merespon, apa yang Profesor Soepomo sendiri katakan “publieke Opinie” atau “perasaan umum” di dalam negara. Masalahnya sekarang bagaimana “publieke Opinie” atau “perasaan umum” itu ada diketahui, dan diketahui oleh siapa? Oleh Menteri. Apa konsekuensinya? Menteri tidak memiliki kapasitas pribadi, atau tidak berkapasitas sebagai individu dalam makna natural - natural person - tetapi individu dalam makna “legal person” diciptakan oleh UUD 1945. Konsekuensi selanjutnya adalah selama orang tersebut, siapapun dia, berstatus menteri, maka orang kapasitas pribadi, natural person terserap ke dalam kapasitasnya sebagai menteri. Status atau kapasitas hukumnya sebagai pribadi atau natural person terabsorbsi sepenuhnya dalam status sebagai menteri. Menteri menjadi legal person. Bukan natural person. Apa akibatnya? Semua tindakannya bernilai dan dianggap sebagai tindakan jabatan. Karena sebagai tindakan jabatan, maka seluruh akibat dan hal hukum, apapun itu, tidak dapat, dengan semua alasan apa saja yang mungkin dikualifikasi dan ditujukan pada pribadi. Mengapa? Pribadi naturalnya telah terabsorbsi ke dalam status menteri. Kalau tidak ada orang yang bicara, karena dikekang, takut dipenjara, dituduh fitnah dan sejenisnya, bagaimana menteri bisa tahu tentang perasaan umum yang dipikirkan oleh Bung Hatta itu? Di titik inilah “pandangan Bung Hatta menjadi penyedia, sekaligus lentera untuk Menteri mengetahui tentang “publieke opinie” atau “perasaan umum” itu. Apa itu? Hak bersuara. Kata Bung Hatta “hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan.” Kita menghendaki negara pengurus. Kita membangun masyarakat baru yang berdasar pada gotong royong dan usaha bersama.Tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu, janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, kata Bung Hatta selanjutnya, ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebut jaga di sebelah hak yang sudah diberikan. Misalnya, tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia “supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya.” Pembaca FNN yang budiman, setelah Muh. Yamin juga bicara dalam nada yang sama, pendangan Hatta itu disetujui. Persetujuan itu dicapai pada tanggal 16 Juli 1945 dan dikristalkan menjadi rumusan pasal 28 UUD 1945 yang sedang dirancang itu. Isi selengkapnya “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undan-Undang”. Hebat betul Para perancang UUD 1945 ini. Mereka tidak licik, tidak picik dan tidak kerdil. Mereka tidak menyediakan teknis, tetapi sarana konstitusi dalam memastikan negara yang sedang dirancang dan pemerintah akan bekerja setelah negara terbentuk, tidak menjadi negara penindas, tiranis. Itulah cara mereka, para Bapak Bangsa ini mengontrol, membuat jaminan negara tidak berubaha menjadi negara kekuasaan. Caranya, sekali lagi, memberi kepada warga negara hak bersuara, bicara dan hak mengkritik penguasa. Dengan hak itu, orang tidak takut bicara, karena akan ditindas, dipenjara dengan segala macam tuduhan artificial khas negara kekuasaan. Bicara tentang apa? Bicara tentang kehidupan bernegara, bicara postur aktual, nyata pemerintah, Presiden dan menteri-menteri yang merupakan pembantu-pembantunya menyelenggarakan pemerintahan. Hak bersuara adalah cara mereka para negarawan itu memungkinkan perasaan umum itu terlihat oleh pemerintah, Presiden dan menteri-menteri. Sungguh logis. Hebat para pendiri bangsa. Apa yang terjadi bila seorang menteri, siapapun orang itu, dikementerian apapun orang itu berada, tidak sungguh-sungguh, tidak bergelora, tidak aktif melaksanakan program dan kegiatan kementerian yang merupakan kewajiban konstitusionalnya? Kesungguhan, keaktifan, gelora kerja menteri adalah hal baik. Itulah yang dihasrat, dikehendaki oleh oleh Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Itulah makna tanggung jawab non hukum. Publieke opinie atau perasaan umum, tidak dapat dimaknai lain, selain sebagai satu-satunya cara para pembuat UUD 1945 itu, mengharuskan menteri, bukan hanya bekerja secara sungguh-sungguh, aktif dalam semua situasi, tetapi lebih dari itu. Sungguh manis impian para negarawan ini. Menteri itu nama-nama jabatan, dan jabatan itu hanya bisa di dunia manapun, dipangku oleh orang. Menteri, siapapun dia, yang aktif melaksanakan tugas yang didefenisikan dalam Perpres pembentukan Kementerian itu, selalu baik, selalu bagus untuk alasan apapun. Mengkahiri kasus ini dengan cara mengenal, mengamalkan dan menghidupkan semua kehendak para pembentuk UUD 1945, akan membuat bangsa menemukan jalan terang menjemput hari eksok yang hebat. Demokrasi? Unsur-unsur ganasnya harus dikenali, lalu singkirkan. Mari bersandar penuh pada kehendak pembentuk UUD 1945, yang terang seterang hati terdidik. Semoga. * Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Mudik dan Pulang Kampung Boleh, PSBB Ambyaaarrrr

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN – Kalau ada lomba dan pemilihan pemerintah mana yang paling percaya diri (pede) menghadapi pandemi Covid-19? Indonesia bakal masuk nominasi sebagai jawara. Menolak melakukan lockdown. Memberi stigma penganjur dan pendukung lockdown sebagai agenda kelompok anti pemerintah. Kemudian memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun tiba-tiba saja mengumumkan relaksasi. Alasannya pertimbangan ekonomi. Terhitung Kamis (7/5) semua moda transportasi diperbolehkan kembali beroperasi. Mudik ataupun pulang kampung semua diperbolehkan. Dengan embel-embel “dengan kepentingan mendesak dan mematuhi protokol Covid-19” “Jangan dibuat dikotomi, “ kata Menhub Budi Karya Sumadi yang baru saja sembuh dari Covid-19. Wajar bila dua orang akademisi dari Australia Jonatan A Lassa dan Miranda Booth sebelumnya mensejajarkan gaya kepemimpinan Jokowi dengan Presiden AS Trump, PM Inggris Boris Johnson, dan Presiden Brazil Jair Bolsonoro. Keempat orang itu disebut sebagai populis leader. Pemimpin populis yang kebijakannya menghadapi pandemi mempunyai tiga ciri utama: Optimistic bias, Leadership ambiguity, Ignorance for science. Bias optimistik, kepemimpinan yang ambigu, dan abai, tak peduli dengan ilmu pengetahuan. Trump menolak lockdown, bahkan berseteru dengan beberapa gubernur negara bagian yang mengambil kebijakan lockdown. Johnson semula mencoba menerapkan strategi herd immunity (kelompok kebal) dan terlambat melakukan lockdown. Dia sendiri kemudian terkena Covid-19, sampai masuk ICU. Bolsonoro lebih edan lagi. Dia ikut turun ke jalan bersama para penentang lockdown, berpidato di depan publik tanpa mengenakan masker. Mendorong rakyatnya untuk kembali bekerja, dan tanpa takut bersalaman dengan para pendukungnya. Hasilnya seperti sama-sama kita ketahui, AS kini menjadi negara dengan jumlah terinfeksi dan meninggal tertinggi di dunia. Situs Worldometer mencatat per 6 Mei korban tewas sebanyak 72.271. Jumlah korban meninggal dunia di Inggris sudah menyalip Italia dan Spanyol. Angkanya tembus 29.427. Sementara Brazil menjadi negara dengan jumlah korban tewas tertinggi di Amerika Latin. Total 7. 958 orang. Bagaimana dengan Indonesia?Sejauh ini Alhadulillah jumlah korban yang terinfeksi, maupun meninggal dunia termasuk cukup rendah. Dari total 12,071 positif, tercatat 872 orang meninggal dunia. Sungguh ajaib! Sayangnya banyak yang meragukan akurasi data tersebut. Baik pengamat di dalam dan luar negeri tidak yakin-yakin amat dengan angka-angka yang dipaparkan oleh pemerintah. Jumlah korban sesungguhnya, baik yang terinfeksi maupun meninggal dunia, diduga jauh lebih besar. Hal itu disebabkan rendahnya mereka yang menjalani test, serta banyak korban meninggal dunia yang tidak terdiagnosa. Keraguan yang cukup masuk akal. Masih menggunakan data dari Worldometer, sampai saat ini Indonesia baru melakukan test sebanyak 121.547 orang. Dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia, hanya sekitar 444 orang dari setiap 1 juta orang. Mari kita bandingkan dengan negara lain, terutama negara tetangga. Singapura dengan penduduk hanya sekitar 5,6 juta orang, sudah melakukan test sebanyak 143.919. Rasionya 24.600/juta. Malaysia telah melakukan test terhadap 213.220 orang, atau 26.848/juta. Australia sebanyak 684.615/juta. Sementara Vietnam yang mencatat zero case, alias tidak ada kematian telah melakukan test sebanyak 261,004 orang atau 2.681/juta. Negara-negara tetangga ini jumlah penduduknya jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Namun mereka melakukan test jauh lebih banyak, baik secara jumlah maupun dengan rasio penduduknya. Fokus ekonomi Jika kita mencermati semua kebijakan pemerintahan Jokowi, langkah melonggarkan moda transportasi itu tak terlalu mengagetkan. Sejak awal pemerintah terkesan tidak menganggap serius ancaman Covid-19. Mengangap enteng, nantangin. Mereka lebih cenderung memikirkan dampak ekonomi ketimbang dampak bencana kesehatan. Mulai dari sikap pemerintah yang tetap melanjutkan pembangunan ibukota baru. Aliran masuk TKA Cina. Kontroversi mudik dan pulang kampung dari Presiden Jokowi. Keinginan dari Menko Luhut Panjaitan agar kawasan wisata Ancol, Jakarta dapat dibuka pada saat lebaran, sampai relaksasi mudik. Alasan Kemenhub, berdasarkan masukan dari Kemenko Perekonomian pelarangan mudik dikhawatirkan akan mempengaruhi roda perekonomian nasional. Pemerintah tampaknya cukup pede karena pada awal Mei data baru penderita Corona di Jakarta mulai turun. Pemerintah pusat tutup mata dan telinga atas masukan dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan medis, sampai para kepala daerah agar jangan sampai ada relaksasi. Jangan over pede dan terburu-buru melonggarkan PSBB. Turunnya jumlah yang terinfeksi, selain PSBB juga dikarenakan banyak warga yang mengambil langkah melakukan lockdown di rumah, sukarela tanpa jaminan dari pemerintah. Peringatan itu benar adanya. Selasa (5/5) jumlah penderita di DKI Jakarta kembali meningkat. Di beberapa daerah juga terjadi lonjakan. Di Bali ditemukan satu kampung yang positif Corona. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. 443 orang. Di Surabaya malah ditemukan sebuah kluster baru penyebaran Covid-19. Ratusan pekerja di pabrik rokok PT Sampoerna harus dikarantina. Dua orang meninggal dunia, dan puluhan lainnya positif Corona. Relaksasi mudik. Membebaskan seluruh moda transportasi darat, laut, dan udara, kendati dengan embel-embel “kepentingan mendesak dan memenuhi protokol Covid-19, ” dikhawatirkan akan membuat warga lengah. Merasa aman dan tidak lagi berhati-hati. Dampak dari pembebasan ini —apapun embel-embelnya— akan membuat kerja keras para kepala daerah yang telah menerapkan PSBB, menjadi sia-sia. Semuanya ambyaarrr karena Indonesia memiliki pemimpin yang bias optimistik, kepemipinannya ambigu (tak jelas, kabur, dan ragu-ragu), abai dan tidak peduli dengan ilmu pengetahuan. Ampuuunnnn deh. End Penulis Wartawan Senior.

Akankah Terjadi Gejolak Sosial Yang Besar?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (06/05). Berarawal dari kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok, gejolak sosial itu lahir. Meski Ahok kalah di pilgub DKI dan divonis dua tahun penjara, gejolak sosial tak juga surut. Gelombangnya justru makin besar jelang dan pasca pilpres. Kelompok kontra Ahok merasa mendapat perlakuan tak adil. Pilpres jadi ajang perlawanan mereka. Sayangnya, tak sukses. Kecurangan jadi isu utama. Banyak kasus yang menurut mereka dianggap ganjil. Mulai dari keterlibatan aparat, hilangnya kotak suara, adanya intimidasi, situng KPU yang bermasalah, hingga kematian 894 petugas pemilu. (Kompas 22/1). Pasca pemilu, negeri ini diwarnai protes. Demonstrasi telah menelan sejumlah korban. Tidak saja luka, tapi beberapa meninggal. Kabarnya, ada ratusan orang dipenjara. Sebagian besar pemimpin dan tokoh sentralnya jadi tersangka. Gejolak sosial melandai setelah penguasa berhasil memotong garis komando. Dan nyaris hilang setelah Prabowo, calon pemimpin mereka bergabung dengan penguasa. Kelompok kontra Ahok makin terpinggir. Kekalahan ini juga menyisakan kekecewaan yang demikian mendalam. Medsos jadi ajang pengungkapan, sekaligus perlawanan mereka. Menarik jika kita mencermat apa yang menjadi faktor kekalahan itu. Pertama, salah pilih calon. Kedua, tak mampu mengukur strategi lawan. Curang... Curang... Curang.... Pertanyaannya, mana ada pemilu yang nggak curang? Dari dulu, incumbent ya curang. Ini terjadi di semua rezim. Ada yang silent, ada yang terang-terangan. Tahu itu, kenapa nggak siapin strategi. Kalau nggak siap hadapi kecurangan, ya jangan bertarung. Tapi, itu sudah berlalu. Di arena pertarungan, jika salah satu ada yang kalah, kompetisi berakhir. Otomatis juga, gejolak sosial pun melambat dan akhirnya berhenti juga. Sebagian tetap dengan idealismenya dan memilih jadi oposisi. Sebagian yang lain bergabung dengan penguasa. “Oportunis”, teriak mereka terhadap kawannya yang memilih untuk bergabung. Yang kasihan, sudah bergabung, bahkan mati-matian membela, nggak dapat posisi apa-apa. Ya, risiko sebuah pilihan. Nama baik rusak, jatah nggak dapat. Setelah terbebas dari perlawanan oposisi, penguasa dihadapkan pada masalah baru. Kasus di Jiwasraya dan Asabri terbongkar. Sejumlah BUMN bangkrut. Protes terjadi dimana-mana. Hanya karena protesnya tak terkonsolidasi, maka tak punya pengaruh secara politik. Secara teoritis, transformasi politik hanya akan terjadi jika rakyat kecewa, dan kekecewaan itu terkonsolidasi dalam protes dan perlawanan bersama. Selama ini, penguasa selalu berhasil memotong proses konsolidasi tersebut, sehingga tak sempat jadi perlawanan yang besar. Peristiwa yang tergolong agak rawan saat ini adalah Pandemi Covid-19. Bukan soal pernyataan yang nyeleneh dari para menteri. Bukan keterlambatan pemerintah dalam menangani covid-19. Bukan pula amburadulnya data penerima bantuan yang diprotes para kepala desa di Sukabumi. Bukan itu. Apalagi cuma kasus dugaan adanya korupsi di program pra kerja. Itu mah kecil. Nggak ngaruh. Belasan, bahkan puluihan triliun rupiah kasus di Jiwasraya dan Asabri saja lewat. Gejolak besar kemungkinan bisa terjadi justru di dampak ekonomi akibat pandemi covid-19. Nampak sekali pemerintah sangat hati-hati. Menolak lockdown, namun mendatangkan TKA dari China, membuka kembali jalur transportasi, darat maupun udara. Pemerintah sadar, jika ekonomi megap-megap, bisa kelar. Sebelum itu terjadi, lakukan pengendalian. Akibatnya, nyawa rakyat berpotensi jadi taruhan. Jakarta melandai, pindah ke Semarang, Surabaya dan Makassar. Dibukanya kembali transportasi saat ini bisa berakibat memperlama masa pandemi. Perlu ada relaksasi PSBB, kata Mahfud MD. Orang kalau di rumah terus imunnya bisa turun, kata Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Luhut mengusulkan tempat-tempat wisata untuk dibuka kembali. Sebenarnya, tempat wisata itu urusan Kementerian Pariwisata atau Menko Maritim ya? Ingat, itu ada hubungannya dengan investasi. Luhut juga menteri urusan investasi. Jadi, jangan salah praduga. Semua kementerian ada hubungannya dengan investasi. Semua presiden, siapapun dia, jika krisis ekonomi tak terkendali, tumbang juga. Sebab, semua rakyat merasakan lapar, dan saat itu tak lagi ada dikotomi pendukung atau bukan pendukung. Apalagi soal politik, istri lapar dan suami nggak bisa ngasih makan saja, pasti minta cerai. Kelaparan mengakibatkan gejolak sosial. Saat itulah hampir seluruh rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Jika ini terjadi, maka transformasi politik tak bisa dibendung lagi. Karena itu, pemerintah harus super hati-hati soal yang ini. Terus melakukan pengendalian ekonomi. Bagi pemerintah, nampaknya ini jadi prioritas utama. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Soal 500 TKA China, Mengapa Presiden Diam?

By Dr. Margarito Kamis Kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki. Lebih biadab dibandingkan otokrasi. Lebih egois dibandingkan birokrasi. (Abraham Lincoln, Presiden Amerika 1861-1868). Jakarta FNN – Selasa (05/05). Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China datang. Meraka akan datang lagi, dengan berbagai alasan. Heboh dan heboh lagi. Dan Presiden Jokowi, seperi biasa, diam. Presiden memang boleh punya kalkulasi sendiri, tetapi Presiden dilarang membuat dunia sendiri. Presiden boleh mati-matian menggelorakan investasi, sehingga uang, uang dan uang mengalir masuk, tetapi Presiden tidak boleh terasing dari UUD 1945. Itu penting untuk dipahami. Tetapi entah mengapa sejauh ini Presiden, terus-terusan membisu. Diam sediam-diamnya. Presiden selaksa menghilang dari isu TKA asal China. Dalam isu ini, Presiden seolah berada di dunia lain. Dunia ciptaannya sendiri. Apa yang ditakutkankan oleh Presdien? Apakah Presiden tidak berdaya menghadapi Presiden Xi Jingpin, atau Thungsian, investor smelter asal China itu? Presiden dapat diduga tak diganggu ketaktuan hebat. Sungkan atau apapun yang sejenisnya pada Presiden Xi Jingpin. Juga tidak takut dan sungkan pada Tshinghan Group (investor China) atau PT Victoria Dragon Nickel Industri Park (VDNIP). Juga kepada PT. Osidian Stenless Steel di Kendari. Karena tak diganggu oleh ketakutan itu, maka Presiden hanya perlu jujur “sedikit saja”. Menjelaskan apa kehebatan mereka. Presiden jujur “sedikit saja” akan terasa lebih dari cukup. Sesedikit apapun itu, membuka masalah sebenarnya kepada rakyat. Akan ditandai bahwa Presiden memenuhi kewajiban transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dunia telah begitu terbuka. Informasi yang terkubur hari ini, akan terbuka pada hari lain. Selalu begitu. Dititk itu, terasa membuka informasi seterang mungkin mengenai korporasi-korporasi, termasuk yang kemungkinan mereka berhasil menempatkan orang penting mereka. Bukan sebagai jongos, tetapi penghubung di dalam pemerintahan. Bicaralah Pak Presiden. Dimanapun di dunia ini, Presiden harus terus bicara menghenai masalah bangsa. Presiden bicara itu menjadi pekerjaan. Hal yang biasa, sebiasa kerbau bernafas dilakukan Presiden. Jadi, Pak Presiden bicaralah. Ruang yang ada saat ini, sepenuhnya bersifat kebangsaan. Ruang ini dipenuhi kembang dan panorama bernapaskan transparansi, dengan akuntabilitas sebagai partner intinya. Ingat, Presiden dimanapun didunia ini tidak memiliki ruang privat. Sedang di tempat peristirahatan sekalipun, Presiden tetap bestatus officialy. Presiden harus diberi itu, agar tidak mengambil tindakan yang ngaco. Misalnya, memperkarakan orang yang mengolok-olok pemerintahannya. Beda dengan ruang privat. Ruang ini ditempati oleh orang non state. Ruang ini adalah ruang orang-orang privat. Orang-orang yang tidak menyelenggarakan kekuasaan yang bersumber dari UUD 1945 dan UU. Karena itu, makhluk privat bisa berbuat sesuka mereka. Mereka bisa terlihat sangar, sombong, berkata sesukanya. John D. Archol, Bos Exon di tahun 1960-an adalah salah satu tipikalnya. Tapi saya ingin mengajukan Rockefeller, pencipta Standaar Oil sebelum akhirnya berubah menjadi Exon, sebagai tipikal yang menarik. Rockefeller bisa diam seribu bahasa menghadapi kritik setajam dan sehina apapun. Itulah Dia. Tapi jangan salah, dalam diamnya Rockefeller terus melangkah ke depan memupuk untung demi untung. Dia akan bergerak dari satu ladang minyak ke ladang minyak lainnya. Exon, nama baru untuk Standard Oil yang terpukul oleh ketajaman kritik Ida Tarbel, Jurnalis Muckraker andal, dalam kenyataannya bergerak dari satu konsesi ke konsesi lainnya di dunia. Menggurita dengan sangat canggih. Besar melampaui sebagian negara-negara berdaulat. Mereka terlalu canggih bermain dengan semua tekniknya. Kandungan licinnya selicin minyak. Memukul pesaing dengan semua cara. Mengandalkan kekuatan jaringan dalam menekuk negara calon pemberi konseksi. Tetapi ketika semua taktik terlihat bagai macan ompong di depan pemerintahan, dengan kadar nasional 24 karat, seperti Libia di bawah Khadafi muda, pemerintah mereka dipanggil menanganinya. Bicaralah Pak Presiden. Bicaralah seterang dan sejelas dalam skala kapasitas Presiden. Jelaskanlah, semoga penjelasan itu bisa membantu menyehatkan bangsa ini dari lilitan Corona. Tidakkah sebegitu menakutkan Corona ini, sehingga Bapak Presiden harus mengambil kebijakan menyakitkan. Melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar? Lalu sebagai konsekuensinya orang-orang dilarang keluar rumah? Semua orang, dalam kebijakan ini, diminta dalam nada yang menekan, harus tinggal dirumah. Bukan itu saja. Mudik, tradisi menahun republik pun ikut dilarang. Semua kebijakan menyakitkan harus diambil dan diterima rakyat. Sepenuhnya demi menghasilkan sebesar mungkin ruang-ruang sehat. Orang tahu hanya itu cara terampuh sejauh ini dalam mencegah menggilanya corona. Efek langsung corona, sejauh ini telah sangat jelas. Orang tak bisa kerja. Kalaupun kerja, mereka tak bisa leluasa. Sebagian korporasi, sejauh ini mulai terkepung efek ekonomi dan keuangan corona. Korporasi pas-pasan telah terjepit rapat. UMKM, kabarnya sebagian telah terjungkal. Lalu sekali lagi, orang-orang kehilangan kerja. Tak punya duit. Mereka itu jutaan jumlahnya. Mungkin tak perlu bilang tragis, konyol, dan arogan. Tapi membiarkan kebijakan masuknya TKA asing asal China, tanpa relaksasi di tengah rakyat sesulit sekarang, jelas sangat mencabik-cabik jantung bangsa ini. Perasaan kebangsaan kita terusik, dan wajib harus terusik. Jantung itu ditulis pada alinea keempat pembukaan UUD. Itu adalah tuntunan untuk Presiden, siapapun figurnya. Alinea keempat pembukaan UUD 1945 itulah jantung bangsa dan negara. Itulah esensi politik bangsa ini dibuat. Tidak lain, kecuali melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan siapa? Bukan kesejahteraan TKA asal China itu Pak Presiden. Tetapi kesejahteraan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Apapun agama, warna kulit dan sukunya. TKA asal China berjumlah 500 orang itu, yang kabarnya akan memasuki Kendari, Sulawesi Tenggara, jelas menjungkir-balian perasaan kebangsaan orang-orang yang tinggal dirumah. Tanggung jawab mensejahterakan rakyat itu, sampai kapanpun bukan menjadi tanggung jawab korporasi. Ini tanggung jawab Presiden, juga tanggung jawab pemerintah pada level dibawahnya. Tanggung jawab ini didasarkan pada perintah kontitusi negara Pak Presiden. Pada titik ini, sikap Wali Kota, salah satu anggota DPRD Kota Kendari dan Forkopinda, patut disyukuri. Bukan karena sikap itu mencerminkan mereka mengenal suasana batin rakyatnya. Tetapi lebih dari itu. Hebat, mereka mengerti adab, tata karma dan etika berperintahan. Mereka, kabarnya hendak menyurati Presiden agar kedatangan orang-orang China ini dihentikan. Beruntung Pak Wali, Anggota DPRD dan Forkopinda, masih memiliki kepekaan kebangsaan. Hebat, figur-figur ini tidak termakan. Meraka tidak tenggelam bersama dengan gagasan kelancaran investasi, yang lebih merupakan mantra klasik kapitalis itu. Hebat, mereka juga tak tergoda, tidak tersipu mantra klasik lainnya, yakni tenaga kerja full skill. Sejarah dengan kebenaran yang telah tersaji, cara yang satu dan lainnya berbeda. Menunjukan lebih dari biasa. Sebab investor-investor dan pencinta palsu investasi, selalu menyodorkan tenaga kerja full skill. Biasanya alasan full skil ini sebagai kartu kuncinya. Itu adalah mantra klasik investor untuk menaklukan dan menyingkirkan setiap gagasan bersebarangan. Apalagi gagasan itu bermuatan nasionalisme. Sungguh sejarah menunjukan dengan jelas, tenaga kerja terdidik, terampil itu bukan elemen tak tergantikan. Itu dibuat mewah dan mengerikan oleh investor. Sekedar sebagai cara memutar kembali uang mereka ke kempung halamannya. Pak Wali dan jajarannya seolah, kalau tidak membunyikan loceng peringatan. Setidaknya mengingatkan bangsa ini untuk, pada setiap kesempatan meletakan “alinea keempat UUD 1945” dalam membuat kebijakan investasi. Kebijaan investasi, harus sedekat mungkin berada di jantung perintah UUD 1945. Caranya, salah satunya, memprioritaskan warga negara Indonesia pada situasi ini. UUD 1945 mengharuskan Presiden menempatkan warga negara memperoleh pekerjaan pada jantung kebijakan bernegara. Itu satu. Pak presiden harus disegarkan pengetahuannya bahwa tugasnya adalah memakmurkan rakyat. Bukan perkara jumlah rakyat yang telah diserap dalam pekerjaan korporasi itu. UUD tidak mengenal angka-angka itu. Konstitusi mengharuskan rakyat harus makmur. Dalam kerangka itu rakyat tidak dapat direduksi ke dalam angka-angka kerja dalam perusahaan itu. Orientasi investasi asing, suka atau tidak, senang atau tidak, harus dikerangkakan pada perintah UUD 1945. UUD memerintahkan secara imperatif “sumberdaya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Presiden, pantas diingatkan untuk tak terintimidasi. Setidaknya tak terpukau dengan tesis Rockefeller ketika menantang Ida Tarbel, jurnalis yang gigih menantang Standar Oil. Rockefeller terkenal dengan tesis khasnya. Minyak, katanya memang disediakan alam, tetapi alam tidak akan membuka pembuluh-pembuluhnya jika para produsen tidak memaksanya berbuat begitu. Dapat dikatakan, Rockefeller mengatakan “minyak sampai ke tangan anda karena ada sentuhan korporasi.” Seperti biasa dalam semua usaha yang mirip, uang, teknologi, termasuk pengoperasiannya dianggap sebagai kunci. Itu sebabnya, investor-investor lintas negara mengontrol teknologi dan semua yang terkait. Lalu mereka segera menemukan kenyataan mereka “dewa penyelamat” bagi negara-negara bodoh dan miskin atau miskin sekali. Selalu begitu. Akankah cerita 500 TKA asal China, akan berakhir dengan mereka tetap masuk Kendari? Itu soal besar. Mengapa? Siapa yang dapat memberi informasi bahwa di atas meja Presdien tersaji beberapa pilihan kebijakan? Bagaimana bila pilihan kebijakannya adalah Presiden tetap diam? Biarkan saja semua hiruk-pikuk saat ini berkembang. Karena hiruk-pikuk itu juga akan menemui akhirnya sendiri. Presiden punya hak eksklusif membiarkan semua rasa sendu saat ini berjalan sebagai adanya. Presiden mungkin telah tahu korporasi tidak pernah menempatkan dalam pemikiran dan tindakannya, hal-hal yang orang waras sebut kearifan. Pak Presiden, semoga saja tidak sedang suka dengan risiko-risiko kecil yang dibesar-besarkan investor, dan kaki tangannya. Korporasi, kapitalis dan kaki tangannya, berwajah apapun selalu sama dalam satu hal. Menganggap orang seperti Ida Tarbel sebagai ketinggalan zaman. Ini orang-orang berisik. Tak mengerti kerumitan investasi. Selalu begitulah tabiat mereka. Presiden, saya yakin tahu bahwa kearifan, tidak pernah ada dalam daftar hitungan investor. Investor tahu kearifan itu urusan pemerintah. Itu sebabnya Pak Presiden perlu maju, berdiri di podium kepresidenan. Lalu bicara kepada bangsa ini, apa sikap mutakhir Presiden soal TKA asal China itu? Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitras Khairun Ternate