NASIONAL

Krisis, Itu Cara Korporasi Culas Perluas Kewenangan Presiden

Jika seorang hakim tidak melaksanakan tugas-tugas dengan jujur dan tulus terhadap anak yatim, bagaimana dia bisa diharapkan melaksanakan keadilan secara baik terhadap orang lain? Lain halnya hakim-hakim yang jujur dan saleh. Yang dengan keputusan-keputusan mereka yang baik, menghibur orang-orang yang telah patah hati dan memberikan naungan kepada orang-orang miskin dan tertindas yang dicampakkan oleh ketidakadilan dan kejahatan pegawai-pegawai negara. (Isi Surat kedua Al-Gazali kepada Nizamudin Fakhrul Mulk). By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (14/04). Alhamdulillah naungan Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Rahman dan Maha Bijaksana masih tercurahkan kepada segelintir orang di tengah hidup bernegara. Yang semakin hari makin susah dimengerti ini. Alhamdulillah di tengah kekalutan Corona yang tak tahu kapan berakhir ini, yang telah menyebar hingga ke pelosok negeri, masih Engkau cerahkan akal dan hati mereka. Teguhkanlah Ya Allah akal dan pikiran mereka untuk bisa bekerja secara sungguh-sungguh. Sungguh kalam-Mu membebaskan hamba-hamba-Mu mengurus dan mengatur urusan mereka di dunia ini sesuai kadarnya. Dan Engkau, pemilik pengetahun yang tak terbanding. Lebih mengetahui semua alasan yang tidak diketahui hamba-hamba-Mu. Engkau lebih mengetahui semua alasan, sekecil biji zarrah sekalipun dibalik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, yang panjang judulnya ini. Pelebaran celah defisit, uang negara yang dipakai telah dinyatakan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, orang-orang yang melaksanakannya tak bisa dituntut di pengadilan perdata, pidana dan tata usaha negara. Semuanya diatur dengan sangat sempurna dalam Perpu ini. Asumsi “mens rea” entah bagaimana rumusnya perlahan-lahan muncul dan menunjukan eksistensinya sebagai benteng untuk semua itu. Begitulah alasan-alasan kecil yang sayup-sayup terdengar menyertai Perpu ini. Perpu ini, dengan demikian memandang orang-orang yang melaksanakannya, dilandasi dengan niat baik. Ini sungguh ilmu baru. Dengan ilmu ini, penyimpangan, andai terjadi, didorong atau disebabkan oleh apapun, tak bisa dibilang sebagai kejahatan. “Actus reus” tak lebih dari sekadar debu. Mungkin lebih kecil dari itu, bahkan mungkin lebih kecil dari Corona, yang tak terlihat oleh mata kasar itu. Itulah hasil dari akal hukum dalam politik baru berbaju darurat ini. Krisis adalah satu hal. Cara menangani, memecahkannya adalah hal lain. Menetapkan derajat krisis, juga adalah satu hal. Ketepatan dalam mendefenisikan derajat krisis itu adalah hal lain, yang menjadi alasan menemukan cara menangani krisis itu. Gegabah, tergesa-gesa, untuk alasan apapun, itu buruk. Darurat adalah sebab. Menjadi alasan lahirnya keabsahan atas hal-hal terlarang, “haram”. Alam mengaturnya begitu. Dikala sebab (alasan) itu hilang, tiada karena munculnya sebab lain yang menghilangkannya, maka darurat itupun hilang dengan sendirinya. Karena sebab yang memunculkan darurat itu telah hilang, maka hilang pulalah darurat itu. Kala darurat itu hilang, maka semua kembali kekeadaan bisa. Normal dengan semua hukum-hukumnya. Itulah yang disebut “Ratio est legis anima, mutate legis rasionale mutates et lex” dalam hukum tata negara dan administrasi negara, sejak dari zaman kuda gigi besi hingga sekarang. Apakah sebab sama dengan akibat? Jika sebab hilang, hilang pulakah akibat? Tidak selalu simetris seperti itu. Ini harus diperiksa secara jujur, berbudi luhur dan tulus. Hanya itu cara yang memungkinkan orang menemukan rinciannya. Sebab politik, tak pernah merupakan sebab alam, tetapi sebab alam selalu memiliki potensi berubah menjadi dan memiliki bobot politik. Dan politik, sedari dahulu kala selalu berasal-usul dari akal jahat manusia. Hanya mereka yang akal dan budi pekerti benar-benar bagus, yang tak mampu mengubah, bukan manipulasi, sebab alam itu menjadi sebab politik. Apakah Corona merupakan sebab alam? Sejauh ini para ahli masih menyelidiki. Ada yang mengaitkannya dengan niat negara tertentu menguasai dunia dengan senjata biologi. Ada pula yang menyangkalnya. Seperti biasa dalam dunia tipu-menipu global. Mereka menyatakan tesis itu terlalu konspiratif. Faktanya Corona ada. Ada ribuan orang diseluruh dunia mati. Perusahaan diseluruh dunia juga sempoyongan. Arsenal, klub sepak bola di Inggris, favorit saya itu pun kelimpungan. Setelah Coach Arteta, anak muda pintar ini disambar Corona, yang Alhamdulillah kini telah sembuh, menejemen sedang mencari cara tepat untuk mengurangi gaji pemainnya. Corona, mahluk kecil tak berbentuk yang Engkau, Ya Allah Ya Karim. Kiriman itu sesungguhnya ujian besar buat kami, hamba-hamba-Mu. Engkau Ya Allah Yang Maha Tahu, dengan semua pengetahuan yang tak satu mahluk-Mu mampu menjangkaunya. Tidak tahu awal dan akhirnya. Kau tahu berat-ringannya ujian ini buat hamba-hambu. Ya Allah Ya Karim, hanya kepada-Mu, kami berserah memohon keringanan-Mu. Ringankanlah pula Ya Allah ya Rahman, hamba-hamba-Mu ini dari ujian Perpu ini. Engkau lebih mengetahui tabiat pemerintahan kami daripada kami. Tebarkanlah ya Allah ya Rahman, Nur Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam ke negeri kami, agar kami dapat menemukan jalan keluar yang tidak membahayakan negeri ini. Bukalah akal dan fikiran Umara-Umara kami. Ya Allah gerakan hati mereka, dan bawalah mereka ke tahun-tahun yang sudah-sudah, untuk dapat dipetik hikmahnya. Godalah mereka dengan tindakan hebat Almarhum Pak Sjafrudin Prawiranegara. Almarhum melepaskan jabatan Presiden, yang dikuasakan Bung Karno kepadanya, sekalipun keadaan politik pada waktu itu masih jauh dari stabil. Momentum Marampok Uang Besar Ampunilah kami dengan ampunan-Mu yang tak terlukiskan itu, sehingga kami, hamba-hamba-Mu ini, yang umara dan ulama, tidak memperdebatkan Perpu ini berdasarkan ilmu Leviatannya Tohams Hobes. Singkapkanlah ya Allah ya Maha Bijak, krisis keuangan tahun 1907 di Amerika. Ya Allah Yang Maha Mengetahi. Bukalah kenyataan itu selebar-lebarnya. Semua peristiwa sebelumnya, yang satu dan lainnya teranyam sedemikian rapinya untuk satu tujuan. Beritahukanlah bahwa krisis keuangan tahun 1907 itu adalah mainan korporasi-korporasi keuangan. Hanya mainan korporasi yang diparaksai oleh J.P. Morgan, Frank Fanderliph, Rockeffeler dan lainnya. Tunjukanlah bahwa krisis itu tidak lebih dari sedekar siasat mereka. Siasat orang-orang rakus dan tamak itu untuk mewujudkan UU Bank Sentral mereka, The Fed’s tahun 1913. Bukalah bahwa ini bukan yang pertama. Bukan pula yang terakhir. Yang pertama sudah dialami oleh Andrew Jackson, Presiden mereka. Manusia ini, Alhamdulillah, Kau beri hikmah sehingga tahu bahwa anak kandung bank tidak pernah lain selain inflasi dan deflasi. Dengan itu dia tolak The Three American Bank, sebagai kelanjutan dari The Second American Bank. Semacam bank sentral kala itu. Engkau yang Pada-Mu semua jiwa hamba ini bergantung. Sudilah dengan kearifan-Mu bukan kenyataan tahun 1933-1945. Ya Allah Yang Maha Mulia, yang Kemuliaan-Mu tak terjangkau satu mahlukpun. Tunjukanlah bahwa krisis keuangan, bahkan ekonomi besar yang diawali dengan The Bank Crash tahun 1929 itu, tidak lebih dari siasat kelompok-kelompok di atas untuk meraup uang. Beritahukanlah Ya Allah Yang Maha Tahu, bahwa krisis itu juga siasat kapitalis culas dan tamak untuk memperbesar kekuasaan presiden. Lalu mereka benarkan dengan segala macam pendapat. Diantaranya argumen political progressive, implied power, inheren power, inherent or aggregate authorithy. Padahal konsep tersebut, tidak lebih dari sekadar siasat kelompok-kelompok kapitalis culas mendorong presiden bertindak di luar batas konstitusi. Presiden dapat bertindak tanpa batas. Tanpa ada halangan daro legislatif. Hanya untuk mewujudkan keuntungan mereka semata. Semangatnya adalah semangat kapitalis keparat. Mereka menggunakan presiden untuk kepentingan mereka. Dengan konsep itu pula, maka kekuasaan non konstitusi diberi kepada presiden. Presiden, dengan argument itu berhak bertindak di luar batas konstitusi. Praktis krisis keuangan telah menjadi modus vivendi kapitalis meraup uang. Itu juga yang terjadi pada negara kami tahun 2008 dulu. Dalam konteks yang lain, ini cara untuk memperluas kekuasaan yang mirip dan pernah terjadi di Indonesia di ujung tahun 1959. Negara dinyatakan dalam keadaan darurat, lalu lahirlah extra power presiden. Terpukullah DPR hasil pemilu 1955. Organisasinya ditata, juga formasi keanggotaannya. Presiden mengendalikan sebagian besar kehidupan bernegara, termasuk kehidupan legislatif. Pola ini seperti mempraktikan fikiran Woodroow Wilson, presiden Amerika pada awal perang dunia pertama itu. Fikirannya itu terkenal dalam ilmu administrasi negara Amerika dengan organic state theory. Keseimbangan adalah fitrah alam. Siapapun yang mengubah keseimbangan itu, ia akan terpukul oleh arus baliknya yang tak seimbang. Ada yang lolos dari putaran mematikan arus itu, ada yang tidak. Tetapi yang lolos dan yang tidak lolos sama-sama ditunggu diakhirat nanti. Kau sendiri di sana, di hadapan-Nya. Tidak ada satupun staf dan anak buah yang membantumu di akhirat nanti. Perpu Corona ke MK Alam akhirat menanti siapa saja. Yang kecil maupun besar. Yang berpangkat maupun tidak. Yang kaya maupun yang miskin. Yang rajin menjilat maupun rajin mengeritik. Semuanya ditunggu alam akhirat. Itu pasti. Tidak ada rahasia di sana. Namun sebelum ke alam itu, orang-orang ini akan memasuki alam Mahkamah Konstitusi. Macam apa alam ini? Wallahu a’lam. Karena tak bisa diraba, maka doa saja yang bisa sertakan kepada para pakar yang telah memilih meniti jalan terjal memasuki alam ini. Hanya dengan doa saja yang dihaturkan ke Allah Azza wa Jallah, pemilik ilmu pengetahuan ini semoga Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan setara kekuatan “hakim yang bernama Syuraih”. Syuraih tidak gentar Ummar Bin Khattab, yang bergelar Amirul Mukminin-nya. Gelar tidak Umar ia bikin sendiri, melainkan disematkan oleh rakyatnya. Syuraih adalah satu di antara tiga hakim yang diangkat oleh Amirulmukminin. Ditempatkan di Kuffah, Irak. Suatu hari Sayidina Umar punya kasus. Kasusnya adalah Umar membeli seekor kuda. Begitu kuda itu dinaiki Sayaidina Umar, kudanya kehabisan tenaga. Tak bisa jalan. Umar mau mengambalikan. Pemilik yang telah menjual kuda itu tidak mau terima. Tak seperti penguasa-penguasa lalim. Sayidina Umar tak menggunakan kekuasaannya mengakhiri kasus itu. Ia malah berkata “kalau begitu harus ada orang yang menengahi antara kita berdua”. Top solusi yang ditawarkan oleh Amirul Mukminin. Dan sipenjual kuda berkata, Syuraih orang Irak itu. Umar oke menyanggupi. Apa putusan Syuraih? Sesudah mendengarkan keterangan keduanya (ini prinsip audi et alteram partem – fair hearing), Syuraih berkata “Amirul Mukiminin ambillah yang sudah anda beli, atau kembalikan seperti waktu anda ambil”. Kata Umar seperti ditulis oleh Muhammad Husen Haikal, keputusannya hanya begini? Umar yang Amirul Mukminin menerimanya dengan ikhlas dan penuh keimanan. Seagung-agungnya Mahkamah. Tentu tidak lebih agung dari putusan hakim yang adil. Seadil-adilnya hakim adalah hakim yang tak tunduk dan berlutut, dengan semua argumentasinya pada penguasa. Sehebat-hebatnya penguasa tidak lebih hebat dari penguasa yang membiarkan. Bukan meminta dengan cara tak terlihat agar hakim berpihak padanya. Ya Allah Yang Maha Tahu, Engkau mengetahui jalan hukum dunia tidak pernah jauh dari yang terjal. Terangilah jiwa para pemutus ini, agar mereka tahu bahwa jalan menuju puncak hakikat, selalu terjal disepanjang mata hati memandang. Sungguh, Ya Rabb Al-Haq, engkau tahu di puncak jalan itu, pendaki yang konsisten akan menemukan saripati kehidupan. Kala saripati itu tersingkap dan memeluk pendaki, penguasa dunia serasa kecil, sekecil virus Corona. Pada-Mu Ya Allah urusan ini akan menemukan jalannya. Indah atau buram, itulah ketentuan-Mu. Inya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Anies Pakai "Social Distancing", Jokowi Pakai "Political Distancing"

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Sebetulnya, tidak perlu mempersoalkan pelanggaran ketentuan jaga jarak (social distancing) ketika Presiden Jokowi membagi-bagikan sembako di masa pandemi Covid-19 saat ini. Kenapa? Karena selain terminologi "social distancing" (jaga jarak sosial), ada pula "political distancing". Yang kedua ini lebih-kurang bermakna "jaga jarak politik". Sebelum dilanjutkan, apa itu "political distancing"? Saya memaknainya sebagai tindakan yang bertujuan untuk menjaga kedekatan politik dengan publik. Orang yang suka ceplas-ceplos menyebutnya "pencitraan". Itulah "political distancing". Berdasarkan ketentuan umum di masa pandemi ini, bagi-bagi sembako Pak Jokowi mau tak mau harus disebut "political distancing". Itulah yang mendorong beliau menebar sembako di Jakarta (9 April 2020) dan di Bogor pada Jumat malam (10 April 2020). Atas dasar apa kesimpulan bahwa bagi-bagi sembako Pak Jokowi adalah "political distancing"? Sederhana saja. bahwa proses bagi-bagi sembako yang mengundang kerumunan warga, bertentangan dengan definisi "social distancing". Bertolak belakang dengan anjuran "jaga jarak sosial". Nah, jika tidak bisa disebut "social distancing", apalagi kalau bukan "politcal distancing"? Terus, apakah ada komparasi penerapan kedua istilah itu? Ada. Cuma, balik lagi, kita terpaksa meyebut-nyebut nama Anies Baswedan. Suka tak suka. Begini. Gubernur DKI, dalam menjabarkan ketentuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sejauh ini tidak terlihat ingin memanfaatkan kekuasaan dan kedudukannya untuk "jaga jarak politik" (baca: bertemu muka atau berjumpa langsung) dengan warga yang berhak menerima bantuan Pemprov. Anies konsisten dengan "jaga jarak sosial" yang sering dia ucapkan. Anies tidak berusaha mencari-cari momen untuk bisa langsung menyerahkan bantuan apa pun kepada 1.25 juta rumah tangga di DKI. Kalau dia mau, tentu bisa dengan mudah dia lakukan tanpa risiko Covid-19. Tetapi, dia tidak lakukan itu. Anies mengerti bahaya medis dan juga bahaya politis yang bisa terpicu kalau dia ikut-ikutan membagikan sembako langsung kepada warga. Pak Gubernur malah menerapkan istilah yang ketiga, yakni "economic distancing". Dia ciptakan situasi agar para pengemudi ojek online (Ojol) bisa "jaga jarak ekonomi" di tengah kesulitan berat saat ini. Artinya, agar mereka tidak berjarak terlau jauh dari segi ekonomi rumah tangga. Anies mempekerjakan para pengemudi Ojol itu untuk mengantarkan keperluan warga DKI yang harus diam di rumah (stay at home). Sehingga, mereka tetap bisa mendapatkan penghasilan. Begitulah Anies. Dia memakai "social distancing" di Jakarta. Sambil berikhtiar supaya ada "economic distancing" juga. Sedangkan Pak Jokowi memakai "political distancing". Sah-sah saja, tentunya. Meskipun ‘moral value’ (nilai moral) keduanya jauh berbeda. Bagai siang dan malam. Penulis Wartawan Senior

Dendam Buya Hamka, Nelson Mandela dan Anies Baswedan

Saat AE Priyono sakit, Lukman Hakiem WA dan telepon Anies. Lukman minta kepada Anies untuk membantu AE Priyono. Mulai dari mencarikan rumah sakit, tes Swab dan pelayanan tim medis. Anies merespon dengan sangat cepat. Anies mengerahkan tim medis untuk segera urus AE Priyono. Alhamdulillaah, AE Priyono akhirnya mendapatkan pelayanan medis dengan patut dan semestinya. By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (13/04). Rakyat Indonesia tahu Buya Hamka pernah dipenjara. Soekarno, presiden Indonesia pertama yang memenjarakannya. Bukan kasus kriminal, tetapi ini soal politik. Penyebabnya Cuma karena Ketua MUI Pusat asal Sumatera Barat ini terlalu kritis terhadap Presiden Soekarno. Buya Hamka juga bersyukur. Dari dalam penjara, sebuah buku tafsir Al-Quran 30 juz rampung ditulis. “Nggak mungkin dikerjakan jika tak di penjara, “kata Buya Hamka. Inilah hikmahnya. Menjelang akhir hayat, Soekarno pesan kepada keluarganya, “nanti kalau meninggal, Soekarno ingin Buya Hamka yang jadi imam sholat jenazah”. Ketika Buya Hamka dikasih kabar bahwa Soekarno meninggal, dan diminta untuk jadi imam sholat, Buya Hamka merespon. Dengan senang hati. Buya Hamka pun mengimami shalat janazah Soekarno ketika itu. Selesai sholat, Buya Hamka melantunkan doa-doa terbaik untuk Soekarno. Harapannya semoga Soekarno husnul khotimah. semoga Allaah SWT mengampunya segala kesalahan Soekarno, dan menerima semua amal kebaikannya. Menempatkan Soekarno di syurganya Allaah bersama dengan para penghuni syurga yang lain. Padahal Soekarmo adalah Presiden yang pernah memenjarakan Buya Hamka selama 2,4 tahun. Sebelumnya Buya Hamka dijemput dengan paksa di rumahnya pada bulan suci Ramadhan. Selain Buya Hamka, ada Nelson Mandela. Tokoh politik dan presiden Afrika Selatan ini pernah dipenjara 27 tahun lamanya. Saat situasi politik berubah, ia keluar dari penjara, dan akhirnya terpilih jadi presiden. Saat itu, seorang wartawan bertanya kepada Nelson, anda sekarang sudah jadi penguasa. Kenapa orang-orang yang dulu berbuat dzalim dan memenjarakan tidak anda penjarakan? Apa jawab Nelson? "Selama 27 tahun saya dipenjara. Saya tak mau lagi terpenjara oleh dendam". Begitulah mestinya seorang pemimpin bersikap. Itulah pemimpin yang berkarakter, dan memiliki kelapangan jiwa yang tinggi. Pemimpin yang bermatabat dan berkelas. Mengukir kisah hidupnya untuk mewariskan sebuah keteladanan kepada generasi penerusnya. Dari Buya Hamka dan Nelson Mandela inilah, mungkin Anies Baswedan, gubernur DKI ini belajar membangun karakter dan jiwa kepemimpinannya. Anies belajar untuk sabar, teguh dan kuat dalam menjaga prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan. Anies Perlakukan AE Priyono Sebuah kesaksian yang baru-baru ini ditulis oleh wartawan senior bernama Muhammad Subarkah viral. Subarkah menceritakan kisah Lukman Hakiem, mantan anggota DPR dari PPP, yang juga penasehat Wapres Hamzah Haz dan staf Perdana Menteri Muhammad Nasir. Saat AE Priyono sakit, Lukman Hakiem WA dan telp Anies. Lukman minta kepada Anies untuk membantu AE Priyono. Mulai dari mencarikan rumah sakit, tes Swab dan pelayanan tim medis. Anies merespon dengan sangat cepat. Anies mengerahkan tim medis untuk segera urus AE Priyono. Alhamdulillaah, AE Priyono akhirnya mendapatkan pelayanan medis dengan patut dan semestinya. Beberapa hari kemudian, Lukman Hakiem telepon Anies lagi. Apa yang bisa saya bantu? What can I help you? Itu kalimat yang sering kita dengar dari film-film Barat. Standar etika komunikasi dalam peradaban Barat. AE Priyono meninggal dunia, kata Lukman Hakiem. Mohon dibantu pemakamannya, lanjut Lukman. Anies menjawab Siap. Anies pun bergegas instruksikan kepada tim Satgas Covid-19 DKI Jakarta untuk mengurus pemakaman AE Priyono. AE Priyono adalah wartawan senior dan aktifis Jogja saat kuliah. Ia dikenal sebagai Ahokers tulun dan akut. Kritiknya kepada Anies, jangan lagi dibilang dan dijelaskan. Bisa dilihat pada jejak-jejak digitalnya. Layaknya Ahoker-Ahoker yang lain. Anda pasti bisa membayangkan bagaimana sikap Anies. Apakah Anies akan dendam? Subhanallaah, ternyata tidak. Anies justru memberikan AE Priyono pelayanan yang terbaik. Pada konteks ini, terlihat kalau Anies terus berupaya keras untuk mengakhiri keterbelahan politik di negeri ini. Mengakhiri identifikasi sosial-politik yang bernama Jokowers, Ahokers dan Aniesers. Nggak sehat dan kontra produktif terhadap peradaban dan masa depan bangsa. Caranya? Gampang saja. Pertama, semua warga DKI adalah rakyatnya Anies. Mau pendukung atau non pendukung. Ini hal yang prinsip. Kedua, mereka mendapatkan hak untuk diperlakukan secara sama dan dilayani secara adil. Tidak boleh ada pembedaan diantara Jokowers, Ahokers dan Aniessers. Ketiga, Anies merangkul dan mengayomi semua pihak layaknya "Bapak Ibu kota." Keempat, melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk para "haters" dalam pembangunan masa depan DKI. Kelima, tidak melayani, merespon, apalagi menuntut mereka yang membully, fitnah dan mencaci-maki Anies. Apalagi yang dilakukan oleh oknum-oknus "haters". Sabar dan selalu memaafkan mereka. Menjauh dari sifat-sifat sebagai pendendam. Tampaknya sikap inilah yang sedang diteladani Anies dari Buya Hamka dan Nelson Mandela. Dua tokoh besar lintas negara. Kisah AE Priyono hanyalah satu dari sekian kisah yang tak terekspos dan terbaca oleh publik. Begitulah seharusnya seorang pemimpin bersikap. Harus ada karakter yang bisa dijadikan rujukan dan panutan buat rakyatnya. Tidak saja rakyat hari ini, tetapi juga rakyat 100-1000 tahun yang akan datang. Kisah dan sikap seorang pemimpin akan ditulis dalam sejarah. Akan selalu diingat sepanjang sejarah ke depan. Generasi mendatang anak-anak bangsa ini akan membacanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Ekonomi Indonesia Ambruk Bukan Karena Adanya Covid-19

Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia yang sudah buruk sejak awal. Sebelum datangnya virus Covid-19 awal Januari 2020 lalu. Segera benahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan kepada anak-anak bangsa yang lain untuk melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat mudah, dan gampang sekali. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (11/04). Banyak sekali sektor ekonomi yang diuntungkan akibat pelemahan ekonomi global sebagai implikasi dari wabah Covid-19 ini. Tidak seperti yang tergambar selama ini seolah-olah seluruh sektor ekonomi akan ambruk karena Covid-19. Padahal bukan itu penyebabnya. Bayangkan, saja akibat Covid-19 telah menimbulkan implikasi melemahnya harga barang-barang yang selama ini diimpor oleh Indonesia. Terutama sekali migas, bahan baku industri dan barang-barang konsumsi. Pelemahan ekonomi global telah berdampak pada penurunan harga-harga bahan mentah dan bahan baku secara drastis. Apalagi sekitar 70 % impor Indonesia adalah bahan baku. Sektor migas dan BUMN migas adalah sektor yang panen paling besar dalam keadaan Covid-19 sekarang ini. Bayangkan, harga minyak mentah telah jatuh lebih dari 50% dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga minyak sekarang rata -rata U$ 20-25 dollar per barel. Jatuh paling bawah bila jauh dibandingkan dengan asumsi APBN U$ 62 dollar per barel. Dengan kondisi ini, biaya produksi perusahan migas seperti Pertamina akan turun sangat besar. Karena minyak mentah merupakan komponen biaya terbesar dalam struktur produksi migas. Sementara harga jual migas masih berada pada posisi yang menguntungkan. Belum ada perubahan harga sampai saat ini. Perusahan BUMN seperti Pertamina bisa menekan harga impor BBM yang sangat besar. Bayangkan saja, Ron 92 bisa dibeli dalam kontrak di Singapura dengan harga 22 dolar per barel, atau Rp 3.300 per liter. Sementara harga jual BBM dalam negeri berhasil dipertahankan atau tidak ada perubahan harga. Menurut salah satu sumber, di Malaysia harga BBM Ron 95 adalah Rp. 4500 per liter. Begitu juga harga beli bahan baku LPG di Saudi Aramco telah turun lebih dari 25% . Sementara harga jual gas LPG di dalam negeri sebelum penurunan harga bahan baku LPG sudah menguntungkan BUMN. Apalagi sekarang. Pihak lain yang sangat diuntungkan oleh pelemahan harga energi primer ini adalah PLN. Pelemahan ekonomi dunia telah berimplikasi pada pelemahan batubara, gas dan minyak. Dua jenis energi ini merupakan komponen energi primer yang selama ini menjadi pos terbesar dalam biaya produksi PLN. Harga batubara jauh sekali berada di bawah harga yang dipatok oleh pemerintah, yakni U$ 70 dollar per ton (harga batubara domestik market obligation/DMO). Sementara harga batubara di pasar tinggal U$ 30-35 dollar per ton. Demikian juga harga gas dan harga bahan bakar lainnya. Kesempatan ini merupakan momentum penting dan berharga bagi PLN dalam menekan harga energi primer. Segera melakukan renegosiasi harga dengan pembangkit independent power producer (IPP). Pada tingkat harga jual listrik sekarang ini akan menghasilkan keuntungan berkali kali lipat bagi BUMN jika tidak ada perubahan harga jual dalam negeri. Bagaimana dengan perusahaan swasta? Banyak yang diuntungkan oleh pelemahan harga minyak global. Perusahan swasta di Indonesia dapat melalukan impor solar dengan harga yang sangat murah untuk menunjang kegiatan produksi mereka. Mereka dapat memproduksi listrik untuk kebutuhan sendiri dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan sebelumnya. Demikian juga dengan harga bahan baku bagi industri lainnya, seperti bahan baku industri dasar besi, baja, plastik dan lain sebagainya, yang harganya juga jatuh. Terus bagaimana dengan nasib perbankkan dan sektor keuangan? Ini juga menjadi oportunity tersendiri yang baik. Sebab di saat masyarakat dalam keadaan kesulitan uang, maka bank bisa panen besar. Permintaan kredit konsumsi akan meningkat tajam dalam jangka pendek. Semua ini bisa terjadi, karena masyarakat kesulitan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian juga dengan lembaga keuangan seperti asuransi yang juga akan makin rame peminat di tengah keresahan sosial yang luas akibat krisis dan wabah belakangan ini. Tata Kelola Pemerintah Buruk Jadi, tidak seperti asumsi dan prediksi pemerintah bahwa akibat pandemic wabah Covid-19 ini, akan terjadi krisis keuangan dan perbankan, sehingga perlu dikeluarkan Perpu No 1 Tahun 2020, yang berkaitan dengan darurat sektor keuangan dan perbankan. Perlu disiapkan skema dana talangan untuk bank dan sektor swasta yang akan kolaps nanti. Logika semacam itu sangat tidak berlandaskan pada fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Sampai hari belum ada Stress Test tentang bank. Belum juga ada bank yang menyatakan keadaan keuangannya memburuk akibat dari pandemic Covid-19, sehingga membutuhkan dana talangan. Keadaan sektor keuangan yang memburuk memang bukan karena pandemic Covid-19. Sama dengan kondisi APBN yang juga memburuk, bukan akibat Covid-19. Resesi sektor keuangan dan bangkrutnya APBN 2020 belakangan ini dikarena tata kelola yang sangat buruk dari pemerintah. Sebagai gambaran, beban utang yang ditumpuk sangat besar oleh APBN dan sektor keuangan. Begitu pula dengan penggunaan dana publik yang besar oleh pemerintah dalam mega proyek infrastruktur. Ada juga masalah lain seperti pengelolaan yang tidak akuntable, dan maraknya korupsi. Sehingga momentum wabah Covid-19, justru menjadi kesempatan emas bagi penyelenggara negara dan BUMN untuk introspeksi dan melakukan banyak pembenahan. Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia. Segera membenahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan untuk anak-anak bangsa lain melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat udah, dan gampang sekali. Tinggal mau atau tidak saja. Cara yang paling mudah dan gampang adalah dengan mengurangi ketergantungan pada impor. Segera bangkitkan dan hidupkan kemampuan industri nasional. Juga mengurangi ketergantungan pada utang. Sehingga momentum ini menjadi kesempatan emas untuk bangsa ini berdikari di bidang ekonomi. Kebetulan sekali pekan ini merupakan musim panen padi. Tugas pemerintah adalah bagaimana memastikan rakyat bisa berbelanja. Kalau lapangan kerja masih kurang, maka pemerintah bisa kasih uang ke rakyat agar bisa berbelanja. Bisa langsung, bisa juga tidak langsung. Karena 57-60 persen GDP Indonesia sumbangan atau kontribusi dari konsumsi. Pelemahan konsumsi masyarakat inilah yang sangat terasa dan makin memburuk dalam lima tahun terakhir. Jadi, ekonomi Indonesia memburuk bukan karena dampak dari pandemic virus Covid-19. Namun karena salah kelola dari pemerintah yang membuat ekonomi Indonesia sudah memburuk sejak awal. Buruk sebelum datangnya Covid-19 awal Januari 2020 lalu. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Anda Terinfeksi Covid-19?

Riset gabungan dari sejumlah universitas dalam dan luar negeri mengungkapkan bahwa data yang dimiliki Satgas itu hanya 2,3% dari jumlah kasus yang sesungguhnya. Jakarta misalnya, diprediksi ada 32.000 warga yang sudah terinfeksi virus Covid-19. Mungkin diantaranya termasuk anda. Ini bukan untuk menakut-nakuti. Hanya untuk menyadarkan anda saja. By ony Rosyid Jakartra FNN – Minggu (11/04). Pek... Pek... Pek... Jatuh dan mati. Sebagian dari yang mati itu, ada di jalanan. Puluhan kasus kematian ala covid-19 yang sempat divideokan warga masyarakat, persis seperti yang saya prediksi dalam lima tulisan di awal. Lima tulisan yang semuanya dimuat di Portal Berita FNN.co.id tersebut, Judulnya: "Telat Lock Down, Apakah Indonesia Akan Seperti Itali?" (17/3), "Satu Persatu Mati Di Jakarta, Siapa Yang Salah?" (20/3), Stop! Jangan Jadi Agen Covid-19" (22/3), "Siapa Yang Tahan, Dialah Yang Hidup" (23/3), "Murahnya Nyawa Di Negeri Ini" (25/3). Semoga saja anda tidak termasuk. Tapi, apakah ada jaminan bahwa anda tidak terinveksi Covid-19? Belum tentu juga. Mereka yang meninggal di jalanan, tidak tahu kalau mereka terinveksi. Ada juga yang baru sampai di depan meja pendaftaran rumah sakit, pek... mati. Ada yang baru masuk ruangan, mati juga. Sebagian lagi ada yang sudah ditest Swab, mati sebelum hasil testnya keluar. Sebagian belum ditest sudah keburu meninggal duluan. Lebih dari 400 warga Jakarta meninggal dikubur ala covid-19. Mereka dikubur tanpa diantar oleh keluarga dan tetangga. Sementara data yang terpublis oleh Satgas Nasional hanya sebanyak 155 dari total kasus 1.719 orang di DKI Jakarta. Dari fakta-fakta ini menyimpulkan bahwa data yang dipunyai Satgas "belum akurat” . Dan itu telah diakui oleh Satgas sendiri. Sedang dalam proses upaya mendekatkan data itu ke angka yang sesuai dengan fakta sebenarnya. Apakah Satgas dan Pemerintah Pusat sengaja memanipulasi data? Jangan buru-buru menuduh dulu. Keterlambatan mengantisipasi penyebaran covid-19 dan keterbatasan alat test menjadi faktor utamanya. Mari kita Support Satgas dan pemerintah untuk bekerja lebih optimal lagi. Jadi jelas, antara fakta dan laporan data tidak singkron. Artinya, warga yang positif Covid-19 diprediksi angkanya bisa berlipat, dan jauh lebih besar dari data yang diumumkan pemerintah. Riset gabungan dari sejumlah universitas dalam dan luar negeri mengungkapkan bahwa data yang dimiliki Satgas itu hanya 2,3% dari jumlah kasus yang sesungguhnya. Jakarta misalnya, diprediksi ada 32.000 warga yang sudah terinfeksi Covid-19. Mungkin diantaranya termasuk anda. Ini bukan untuk menakut-nakuti. Hanya untuk menyadarkan anda saja. Semoga saja tidak. Pasti itu menjadi do’a anda. Do’a saya juga. Do’a semua orang tentunya. Namun jangan lupa do’akan orang tua anda. Juga orang-orang terdekat anda. Sebut juga nama negara dan bangsa yang sedang berduka ini. Faktanya, kita juga nggak tahu, apakah terinfeksi atau tidak? Kenapa? Karena seseorang yang terinfeksi Covid-19 mayoritas tidak bergejala. Panas, batuk dan sesak napas nggak ngalami. Hidung masih tetap normal. Masih bisa mencium bau rending dan bau yang lain. Mungkin sesekali ada masalah, tapi nggak dirasa. Sebab, imun anda masih bagus. Mengingat kita nggak tahu bagaimana keadaan kita, terinfeksi atau tidak, maka sebaiknya ikut saja SOP-Covid-19 yang berlaku. Ada tiga langkah untuk menghadapi situasi sekarang. Ini sesuai dengan anjuran pemerintah dan saran dokter. Patuhi aja dulu. Jangan melawan. Pertama, jaga kesehatan. Tingkatkan imun dengan istirahat yang cukup, mau dan rajin beolahraga, minum vitamin dan makan makanan yang bergizi. Bergizi itu tidak harus yang mahal. Telur, kacang dan bayem itu sudah bergizi. Begitulah kata dokter. Kedua, isolasi diri di dalam rumah. Jangan kemana-mana. Bahasa kerennya stay at home. Kumpul dengan keluarga, baca buku, dengerin you tube untuk nambah pengetahuan. Sesekali tonton hiburan. Jika merasa nyaman kumpul dengan keluarga dan menikmati aktifitas produktif di rumah, daya tahan tubuh akan meningkat. Sebab, ia bahagia. Kalau punya bini dua, tiga atau empat yang tinggal di tempat yang berbeda? Ah itu no comment. Karena saya belum berpengalaman. Ketiga, social distancing. Jaga jarak ketika anda harus sesekali keluar rumah. Belanja kebutuhan, urus bisnis sembako, atau hal sangat urgent lainnya. Ini memang tidak bisa dihindari. Karena, tak semuanya bisa dibeli secara online. Jangan lupa juga pakai masker kalau keluar rumah untuk keperluan yang mendesak dan sangat penting. Gubernur Jakarta mengharuskan warganya pakai masker ketika berada di luar rumah. Sebab, saat bicara, seseorang bisa saja menerbangkan virus hingga 1,5 meter. Bukan hanya saat bersin dan batuk. Ini memang ada penelitiannya. Tiga langkah ini perlu dilakukan. Harus disiplin yang sangat ketat. Sayang nyawa, sayang anak dan sayang pasangan hidup. Ikhtiar sudah kita lakukan, setelah itu, do’a dan serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Dialah Allaah SWT yang menggenggam takdir kehidupan kita. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Perpu Corona Untuk Selamatkan Lembaga Keuangan Busuk

Menghadapi pandemic Covid-19, pemerintah maIahirkan Perpu No.1 tahun 2020. Isinya hanya tentang “uang, utang dan penyelamatan oligarki keuangan yang telah membusuk. Tragisnya, di dalam Perpu ini tidak ada kata-kata rumah sakit, obat, dan dokter" yang hampir mencapai 30 orang meninggal dunia, dan mencapai rekor tertinggi di dunia. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis 909/04). Secepat kilat pemerintah menetapkan keadaan Indonesia darurat. Dalam kondisi kegentingan memaksa, sehingga kuat alasan bagi pemerintah mengeluarkan Perpu yang mengomnibus law sejumlah undang-undang. Diantaranya, UU APBN, UU keuangan Negara, UU OJK, UU BI, UU LPS, dan berbagai UU Perpajakan serta UU Keuangan lainya. Apa isi Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Wrus Desease 2019 (Covtd- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Semua tentang uang, uang dan uang. Meskipun judul Perpu ini panjang lebar, namun sama sekali tidak membicarakan tentang bagimana menyelamatkan nyawa dan ekonomi bangsa dari corona. Namun bangaimana momentum corona menjadi legitimasi untuk menyelamatkan lembaga keuangan terutama perbankkan. Padahal korban korona terus berjatuhan dan penderita meningkat secara cepat. Perpu No 1 tahun 2020 hanya bicara uang dan kekuasaan para pemegang jabatan keuangan dan fiskal. Bayangkan dalam Perpu ini, ada 51 kata pajak dengan muatan stimulus dan keringanan pajak. Juga ada 13 kata menteri keuangan berkait dengan kekuasaan dan keweanganya dalam keadaan darurat. Ada juga 24 kata KSSK yang juga diketuai oleh Menteri Keuangan. Ada 17 kata sistemik yang merujuk pada kegagalan sistemik sentor keuangan khususnya perbankkan. Ada 14 kata utang dengan muatan rencana pemrintah mengambil utang. Patut diingat, hanya ada satu kata gugat. Itu pun ke Tata Usaha Negara. Artinya, kebijakan apapun tidak dapat digugat pidana, perdata dan Tata Usaha Negara. Lalu apa yang tidak ada dalam Perpu No. 1 ini? Tidak ada kata pangan, yang akan menjadi masalah besar selama wabah ini berlangsung. Tidak ada kata Bahan Bakar Minyak dan Gas LPG yang akan makin berat dibeli oleh masyarakat pada saat bencana ini berlangsung. Padahal harga gas seharusnya turun. Tidak juga ada kata listrik yang akan makin sulit dibayar oleh rakyat selama wabah berlangsung. Jadi kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat sama sekali tidak dianggap sebagai masalah prioritas akibat Covid-19. Bahkan di dalam Perpu ini tidak ada kata rumah sakit, tidak ada kata obat, dan tidak ada dokter yang hampir mencapai puluhan orang meninggal dunia. Angka ini mencapai rekor tertinggi di dunia. Lalu apa logika Perpu No 1 Tahun 2020 ? Sangat bahaya. Lalu apa isi Perpu No 1 Tahun 2020 ? Berikut ulasannya : Bikin Utang Tanpa Batas Pemerintah seperti ketiban durian runtuh? Wabah korona menjadi alasan untuk berutang besar besaran. Batas utang yang diatur dalam UU Keuangan negara sebesar maksimal 3% GDP dihapuskan. Pemerintah dapat mengambil utang tanpa batas selama tiga tahun ke depan. Utang tanpa batas ini termaktub dalam Pasal 2 ayat (1). Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut. Point 1, defisit APBN melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Point 2, sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Point 3, penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada point 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka point 2, dilakukan secara bertahap. Luar biasa ya ? mau menabrak UU keuangan negara yang selama reformasi menjadi acuan pemerintahan sebelumnya. Rekayasa Surat Utang Negara? Selanjutnya tiga ketentuan lebih lanjut mengenai skema dan mekanisme pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara di pasar perdana pada ayat (1) diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi pasar Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara, pengaruh terhadap inflasi, dan jenis Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara. Jadi pemerintah mau menjual obligasi, dengan meminta BI untuk membelinya, namun dengan harga yang diatur menurut maunya keduanya. Misalnya, bunga diantur menurut maunya keduanya saja. Padahal kenyataan di lapangan membuktikan lain . Kenyataan di lapangan, bukankah obligasi pemerintah Indonesia sedang ambruk, tidak laku, tidak diminati? Karena depresiasi mata uang rupiah yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, daya beli masyarakat yang merosot, serta penerimaan pajak yang amblas. Jadi, mana ada harganya surat utang pemerintah Indonesia sekarang di mata dunia? Itulah mengapa ditetapkan polanya saling baku atur dengan BI semacam ini. APBN Untuk Subsidi Bank Begitu pemerintah dapat utang, maka segeralah mereka mengambil ancang ancang untuk mensubsidi bank. Inilah modus dari Perpu ini. Ini berbhaya. Bukankah lembaga lembaga keuangan dan bank berada dalam kondisi buruk dalam lima tahun terakhir? Alasannya , masih seperti dulu, bank itu berdampak sistemik. Dulu yang begini selalu berakhir dengan korupsi berjamaah. Bagaimana mensubsidi bank? Sebagaimana Pasal 18. Pertama, dalam hal bank sistemik yang telah mendapatkan pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) masih mengalami kesulitan likuiditas, maka bank sistemik dapat mengajukan permohonan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) kepada Bank Indonesia. Kedua, terhadap permohonan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan meminta penyelenggaraan rapat KSSK. Ketiga, dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KSSK membahas dan memutuskan pemberian Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) dengan mempertimbangkan penilaian oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang berisi paling kurang informasi kondisi keuangan terkini bank sistemik yang bersangkutan. Selain itu, pemnberiam PLK juga atas rekomendasi Bank Indonesia dengan memperhatikan hasil penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai skema dan mekanisme pemberian Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Uang LPS Sudah Raib? Mana Uang Lembaga Penjamin Simpanan Selama ini? Apakah dananya sudah habis? Kecurigaan ini sangat beralasan. Faktanya banyak dana-dana publik yang dikeruk masuk ke dalam Surat Utang Negara , seperti dana Haji, Taspen, Askes, dan Asabri. Mengapa LPS harus diberi uang oleh pemerintah? Sebagaimana disebutkan dalam Perpu mengenai kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 20 ayat (1) untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan. LPS diberikan kewenangan untukmelakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank. LPS boleh melakukan tindakanpenjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia. Menerbitakan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, atau pinjaman kepada pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Jadi sungguh dahsyat Perpu 1 tahun 2020 ini. Memanfaatkan momentum kepanikan global dan kesusahan bangsa Indonesia untuk mendanai sektor keuangan, bank dan mungkin asuransi, yang selama ini justru bersama oligarki menjadi biang kerok kerusakan ekonomi nasional. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Terima Kasih Bapak Presiden SBY

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Di Amerika Serikat (AS) ada tradisi menarik, bagaimana publik memperlakukan mantan presiden. Seorang presiden, tetap dipanggil sebagai Mr President kendati sudah pensiun. Semacam bentuk penghormatan atas pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Sebagai sesama negara demokrasi, tradisi baik itu tak ada salahnya kita tiru. Apalagi bila setelah pensiun, ternyata dia tetap memikirkan dan melakukan hal-hal positif untuk kebaikan bangsa. Jadi judul di atas tidak lah keliru. Dalam situasi bangsa tengah menghadapi pandemi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan kelasnya sebagai seorang negarawan. Statemanship. Melalui tulisan yang dimuat dalam akun facebooknya, SBY mengingatkan dan menyesalkan adanya telegram Kapolri. Dalam telegram tersebut Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan kepada jajaran Polri untuk melakukan penindakan hukum bagi penghina presiden dan pejabat negara lainnya. Korbannya sudah ada. Beberapa orang ditangkap karena dinilai menghina Presiden Jokowi. Di Jakarta Utara, polisi menangkap seorang pengemudi ojek online. Menghina Presiden Jokowi dan anggota Wantimpres Habib Luthfi Bin Yahya. Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau seorang buruh ditangkap karena kedapatan menghina Presiden Jokowi di media sosial. "Saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi,” tulis SBY. “Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk "mempolisikan" warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara," tambah SBY. Mumpung ketegangan ini belum meningkat, tambah SBY, “dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak.” Dalam penilaian SBY, Langkah Kapolri menunjukkan pemerintah tidak fokus menangani wabah Covid-19. "Saya melihat masih ada elemen di negeri ini yang belum benar-benar fokus dan tidak bekerja sesuai prioritasnya. Ingat, first thing first. Waktu dan sumber daya kita terbatas, sehingga harus diarahkan kepada kepentingan dan sasaran utama kita saat ini," katanya. SBY mengingatkan kembali prioritas saat ini adalah menyelamatkan warga yang sudah terinfeksi. Membatasi serta menghentikan penyebaran virus corona. Bukan malah menebar ancaman kepada warga yang kritis kepada pemerintah. Kritik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan, dan tidak harus dihadapi dengan sikap keras, apalagi represif. "Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan," ujarnya Situasi seperti inilah, ujar SBY yang bisa memunculkan 'benturan' antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidakcocokan dan ketidaksukaan. SBY juga mengingatkan agar masyarakat tidak apriori terhadap pemerintah. Dengan segala keterbatasannya pemerintah telah berupaya mengatasi wabah Corona. Inilah waktunya kita bersatu. Tidak asal bicara SBY tidak asal bicara. Dia telah menunjukkan satu kata dengan perbuatan. Pada saat masih menjabat sebagai Presiden, SBY pernah mendatangi Polda Metro Jaya. Sebagai pribadi, SBY melaporkan mantan Wakil Ketua DPR Zainal Ma’arif yang dinilainya melakukan pencemaran nama baik. SBY tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden. Memerintahkan polisi, menangkap orang yang menghinanya. Kasus berakhir happy ending karena Zainal Ma’arif minta maaf, dan SBY memaafkannya. SBY taat azas dan taat hukum. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022-PUU-IV/2006 pasal penghinaan kepada presiden telah dibatalkan. Pasal-pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus-kasus penghinaan presiden terdapat pada pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 ayat (1). Karena itu lah mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengingatkan kepolisian agar tidak menafsirkan sendiri arti 'penghinaan presiden' dalam melakukan penindakan. Dalam Rancangan KUHP yang akan segera disahkan. Pasal-pasal tersebut juga berubah menjadi delik aduan. "Jadi, orang yang merasa terhina itu yang mengadu. Jangan petugas yang menafsirkan sendiri si A, si B, terhina. Itu nanti merusak demokrasi," kata Jimly kepada media. Telegram Kapolri itu memang ditentang secara luas oleh para penggiat hukum dan demokrasi. Mereka meminta Kapolri segera membatalkan. Tindakan polisi menangkap mereka yang dinilai menghina Presiden, menjadi sebuah ironi. Pemerintah baru saja membebaskan sejumlah narapidana karena adanya wabah Corona. Bersamaan dengan itu polisi kembali menangkapi warga. Jadilah penjara akan kembali penuh, dan polisi akan disibukkan dengan hal-hal yang tidak perlu. Wabah Corona membawa dampak serius berupa krisis ekonomi. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa makan. Hampir dapat dipastikan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) akan sangat rawan. Tugas polisi akan sangat berat. Jangan ditambah-tambahi lagi. Perut kosong dan keluarga yang tidak makan, bisa mendorong rakyat berbuat nekad. Rakyat, ujar SBY, saat ini sedang dalam situasi _stressful._ Tegang, gamang, takut, emosional, dan gampang marah. Polisi harusnya fokus pada antisipasi dan rencana darurat (emergency plan) krisis Kamtibmas sebagai dampak Corona. Tugas mengayomi dan melindungi warga. Bukan malah sebaliknya terpaksa disibukkan melindungi presiden atau para pejabat yang merasa harga dirinya terhina. Harusnya para pejabat, termasuk Presiden bersikap sebaliknya. Harga dirinya akan sangat-sangat tersinggung, malu, kalau sampai terjadi banyak rakyat yang mati kelaparan. Jangan dibalik-balik. Terima kasih Presiden SBY sudah ikut mengingatkan. Tabiikkkkkkk……End. Penulis Wartawan Senior

Apa Dibalik Horor Perpu Nomor 1 Tahun 2020?

By Dr. Ahmad Yani SH. MH. (Bagian Pertama) Jakarta FNN – Kamis (09/04). Saya merasa tersentak ketika membaca secara keseluruhan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Memghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabiltas Sistem Keuangan. Dari Judul Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang begitu panjang dan menimbulkan banyak pertanyaan yg mendasar. Pertama, apakah Perppu ini mau Melindungi dan Menyelamatkan nyawa rakyat, termasuk di dalamnya tenaga medis dari ancaman Covid-19 ? Atau hanya mau melindungi dan menyelamatkan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan pemerintah? Atau mau melindungi dan menyelamatkan pemerintah yang keliru dan tidak profesional dalam tata kelola kebijakan ekonomi dan keuangan negara? Perppu Nomor 1 Tahun 2019 dapat disebut sebagai Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Adapun Istilah Pendemi Corana Virus Desease 2019 (Covid-19) hanya sebaga alasan pembenaran untuk mengeluarkan Perppu ini. Ditinjau mulai dari konsideran menimbang (fakta), batang tubuh( pasal-pasal) dan penjelasan Perppu yang menjadi tujuan utama bukan untuk menyelamatkan nyawa warga negara. Berdasarkan data resmi tanggal 8 April 2020, sudah 2.956 Positif Covid-19, meninggal dunia 240 orang dant enaga medis yang meninggal sudah 25 orang. Indonesia terbanyak diseluruh dunia tenaga medis yang meninggal. Misi yang lebih mencolok dari keluarnya Perppu ini adalah untuk mengamankan ekonomi yang sudah mengalami devisit anggaran sejak beberapa tahun terakhir, sebelum Covid-19 masuk ke Indonesia. Kenyataan ini akibat kegagalan pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang tidak benar, dan sangat berpotensi mengancam stabilitas keuangan. Kondisi ini sudah seringkali diingatkan oleh pakar ekonomi, khususnya Bang Rizal Ramli, dalam berbagai tulisan atau pandangan yang dikemukakannya dalam berbagai forum. Namun pemerintah menutup kuping dan mata. Ibarat pepatah “biarlah anjing mengonggong kafilah tetap berlalu”. Jadi bukan karena Covid-19 perekonomian dan keuangan negara ambruk. Justru sebaliknya, perekonomian dan keuangan negara sudah dalam keadaan buruk. Kondisi ini menyebabkan pemerintah gagap menghadapi Covid-19. Tanpa Covid-19, Indonesia tetap menghadapi krisis ekonomi dan ancaman resesi. Menurut saya, eknomi kita yang amburadul dan pengelolaan keuangan negara yang tidak tepat membuat kita tidak mampu menghadapi wabah ini. Persoalan utamanya adalah masalah ekonomi. Meskipun dalam Perppu tersebut, Covid-19 menjdi alasannya, namun dalam norma Perppu maupun konsiderannya tergambar jelas untuk mengatas darurat ekonomi. Oleh karenanya, Perppu ini tidak relevan dengan kondisi darurat kesehatan nasional yang sedang dialami oleh Indonesia. Dari postur Anggaran yang digelontorkan sebesar Rp 405,1 triliun, untuk bidang kesehatan sebagai pront terdepan menghadapi serangan Covid-19 hanya Rp 75 triliun. Sebanyak Rp 110 triliun untuk jaring pengamanan social. Sisanya Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pembiayaan dalam bidang kesehatan sangat kecil. Hanya 75 triliun. Sementara alasan bagi keluarnya Perppu adalah untuk menghadapi ancaman Pendemi Covid-19. Kedua, apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Telah Memenuhi Syarat-syarat Negara dalam keadaan bahaya, sehingga menimbulkan kegentingan memaksa? Dalam Pasal 22 (1) UUD 1945 disebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU yaitu: Syarat Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Syarat Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Syarat Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Apakah negara dalam keadaan bahaya dan ancaman sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 UUD? Tentu saja tidak. Karena sampai saat ini Presiden belum mengeluarkan pernyataan Negara dalam Bahaya. Dan dalam Perppu tersebut tidak menjadikan pasal 12 UUD sebagai dasar hukum (mengingat). Kertiga, apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dikeluarkan dan diterbitkan karna terjadi kekosongan hukum dalam menghadapi Ancaman dan bahaya Covid-19, serta DPR dalam masa Reses? Syarat bagi keluarnya Perppu adalah karena terjadi kekosongan hukum. Dalam menghadapi Covid-19, pemerintah telah memiliki payung hukum yang jelas. Ada undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Dimulai dengan karantina rumah, karantina pintu masuk, pembatasan sosial berskala besar dan pemungkasnya karantina wilayah. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses. Bahkan sampai hari ini DPR masih membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dan RUU Pemindahan Ibukota Negara. Artinya, Pemegang Kekuasaan pembentuk Undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya. Dari tiga hal sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK, tidak dapat dijadikan alas an. Sebab kekosongan hukum dan keadaan mendesak tidak terpenuhi. Yang lebih mencengangkan, apa yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang tentang APBN tidak boleh direvisi oleh Perppu. Bukan hanya tidak boleh, tetapi haram hukumnya. Hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan (APBN-P).Dengan Perppu No.1 Tahun 2020 kekuasaan dan fungsi Anggaran DPR sebagaimana diatur Pasal 20 A dan Pasal 23 UUD dan Pasal 28, Pasal 177 huruf C angka 2, Pasal 180 ayat 6 dan Pasal 182 UU MD3 menjadi hilang. Keempat, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bersifat Adhoc (sementara) atau Permanen? Perppu memang bersifat Adhock, tetapi dalam Pasal 22 ayat (2) dikatakan “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya”. Artinya, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011,Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan. Jadi, pembahasan Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perpu itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR. Tergantung dari DPR. Apabila Perpu itu tidak disetujui oleh DPR, maka Perppu ini akan dicabut atau dibatalkan. Yang menimbulkan persoalan hukum adalah apabila DPR menyetujui. Maka Perppu menjadi UU yang bersifat permanen. Sedangkan tujuan dan maksud Perppu diterbitkan untuk jangka waktu sementara (adhoc). Persetujuan DPR ini sangat penting. Karena DPR lah yang memiliki kekuasaan pembentukan undang-undang (legislatif), dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Kelima, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dapat mencabut kekuasaan Lembaga-lembaga Negara, seperti Lembaga Peradilan, BPK dan DPR? Padahal lembaga-lembaga negara tersebut mendapat mandatory langsung dari konstitusi UUD 1945. Dalam Ketentuan Penutup Pasal 27 dan 28 Perpu No. 1 Tahun 2020 memberikan kekebalan hukum dan membatalkan fungsi dan kewenangan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD. Lembaga Negara Inti seperti DPR, BPK dan badan Kekuasaan Kehakiman tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan Perppu ini. Saya menyebut Perpu ini begitu “sangat berkuasa”, sehingga Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, tidak dapat berbuat apa-apa dengan terbitnya Perppu ini. Padahal dalam teori cabang kekuasaan, kita mengenal Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Masing-masing bertindak menurut ketentuan hukum yang berlaku. Namun dengan Perppu ini tidak memberikan kesempatan chek and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut. Artinya, Presiden memiliki kekuasaan yang besar, yaitu kekuasaan Legislatif, Yudikatif , Eksekutif dan Kekuasaan BPK, sehingga mendapat pelindungan hukum dengan hak Imunitas dari tuntutan pidana, perdata dan TUN. Kewenangan Badan Pemeriksa Kekuangan(BPK) yang diberi amanat oleh Pasal 23E UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, tidak boleh melakukan tugasnya menurut Perppu ini. Sementara pemerintah atau perjabat seperti Menteri, KSSK, OJK dan lain-lain yang disebutkan dalam Perpu itu, berhak dengan kekuasannya menetapkan secara sepihak defisit maupun realokasi anggaran, tanpa ada persetujuan dari DPR. Luar biasa Perpu ini. Padahal UU No 17/2014 yang diubah dengan UU 13/2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) Pasal 177 huruf c. DPR dalam melaksanakan wewenangnya dapat melakukan kegiatan pembahasan laporan realisasi APBN semester pertama dan 6 (enam) bulan berikutnya, penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan. Apabila terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal, keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar-unit organisasi, dan/atau keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. Prosedur Perundang-undangan jelas. APBN itu sesuai Pasal 180 ayat (6) UU MD3 “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program”. Kebijakan APBN itu sudah terperinci tidak bisa dibuatkan peraturan seperti yang dijadikan alasan dalam Pasal 1 Perpu 1/2020 itu. Kalau terjadi perubahan asumsi ekonomi Pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan sendiri. Tetap harus melalui DPR. Ketentuan Pasal 182 UU MD3 jelas dan terang bahwa harus melalui APBN Perubahan. Bukan membuat peraturan yang setingkat UU dengan alasan menyelamatkan ekonomi. Padahal ada prosedur hukum yang jelas yang harus ditempuh. Keenam, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dapat menambah kekuasaan dan kewenangan BI, OJK, Menteri dan khususnya Menteri keuangan, serta KSSK? Banyak celah moral hazard dalam implementasinya. Sebab banyak kewenangan tambahan dan kekebalan hukum (imunitas) bagi para pengambil kebijakan dalam melaksanakan kebijakan tersebut, seperti ketentuan bagi Bank Indonesia. Pemerintah boleh meminta BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Padahal, ini dilarang oleh UU BI. Namun, Perppu No.1 Tahun 2020 tersebut membolehkannya. Aturan yang membolehkan BI bisa membeli SBN di Pasar Primer sangat membahayakan. Selama ini BI hanya diperbolehkan membeli SBN di Pasar Sekunder. Perppu ini bisa disalahgunakan seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dahulu saat krisis moneter menjerat negeri ini tahun 1998. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun, dari yang dikucurkan Rp 144,536 triliun. Kredit itu diberikan kepada 48 bank, dengan rincian 10 bank beku operasi, 5 bank take over, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi. Ketika itu, uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush, tetapi dalam kenyataannya, cuma dijadikan modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar dalam rakngka menyelamatkan grup usahanya. Wallahualam bis shawab. (Bersambung) Penulis Anggota DPR 2009-2014, Advokat, Dosen FH dan Fisip UMJ, Inisiator Masyumi Reborn.

Pindah Ibukota, “Agenda Menggadaikan Kedaulatan Negara”

By Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (09/04). Di tengah semakin beratnya beban hidup rakyat akibat pandemi Covid-19 dan kondisi keuangan negara yang semakin terbebani utang menggunung. Akhir Maret 2020 lalu Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) menyatakan bahwa ambisi Jokowi untuk memindahkan Ibukota Negara akan tetap diteruskan (24/3/2020). Dikatakan Luhut, tim dari Kemenko Marves bersama Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan masih terus melakukan koordinasi. Koordinasi juga dilakukan dengan berbagai calon investor dan mitra untuk pengembangan Ibukota Negara. Sejalan dengan LBP, Presiden Jokowi pun ingin mewujudkan “ambisi” memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Target Jokowi terealisasi sebelum masa jabatan kedua berakhir di 2024. Mimpi ini akan direalisasikan karena telah didukung oleh DPR. Mayoritas partai politik dan sejumlah pakar dan akademisi mendukung dengan berbagai alasan yang sumir. Jokowi tak merasa perlu membuat kajian kelayakan komprehensif. Tidak peduli juga dengan mayoritas rakyat yang menolak. Ambisi pemindahan Ibukota Negara yang dipromosikan sebagai economic deriver untuk pertumbuhan ekonomi, merupakan program yang memberatkan keuangan negara. Tidak pro pemerataan, dan tidak prioritas. Tidak didukung dengan kajian dan pertimbangan objektif. Kebijakan ini akan menambah beban utang negara. Sangat berpotensi moral hazard. Apalagi jika melihat kondisi ekonomi rakyat dan keuangan negara yang semakin morat-marit akibat pandemi Covid-19. Karena itu, program pemindahan Ibukota Negara memang harus segera dibatalkan. Beban Utang Meningkat Tajam Sikap ambisius Jokowi memindahkan Ibukota Negara telah terefleksi dalam penetapan APBN 2020 pada 24 September 2019 lalu. Meskipun masih dalam tahap kajian, dan belum memiliki landasan hukum berbentuk undang-undang, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun untuk pemindahan Ibukota Negara. Anggaran Rp 2 triliun tersebut tersebar dalam anggaran di sejumlah kementrian. Sikap arogan dan menabrak aturan ini diambil pemerintah di tengah defisit APBN yang semakin besar. Sehingga beban utang negara dalam APBN akan semakin berat dari tahun ke tahun. Dalam bulan Februari 2020 pemerintah menambah utang sebesar Rp 130,63 triliun terhadap total utang yang sebelumnya telah mencapai Rp 4.817,55 triliun. Selama sekitar lima tahun berkuasa, Jokowi telah meningkatkan utang negara dari Rp 2.600 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 4.948,18 triliun akhir Februari 2020. Jokowi menambah utang baru sebesar Rp 2.348 triliun, meningkat sekitar 90%. Akibat pandemi Coivd-19, pemerintah menerbitkan Perppu No.1/2020. Isinya mengenai relaksasi batas defisit APBN, dari 3% menjadi 5%. Masa berlaku defisit ini untuk tiga tahun ke depan. Selain itu, Perppu ini juga menambah alokasi belanja Rp 405 triliun . Menurut Menkeu Sri Mulyani sebagian didanai dari Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana BLU, realokasi penyertaan modal negara, dan utang (1/4/2020). Menkeu tidak menyebut tentang adanya realokasi dan pengurangan atau penghapusan anggaran yang tidak prioritas, seperti anggaran untuk Ibukota Negara. Dengan demikian, sebagian besar anggaran untuk tambahan belanja Rp 405 triliun tersebut akan ditutup dengan utang baru. Artinya, proyek mercu suar Ibukota Negara akan dilanjutkan. Utang negara yang sudah sangat besar itu semakin meningkat akibat wabah korona, dan akan diperparah oleh ambisi Presiden Jokowi memindahkan Ibukota Negara. Kemiskinan dan Gini Ratio Tinggi Dalam laporan keuangan pemerintah, disebutkan realisasi pembayaran bunga utang pada 2019 mencapai Rp 275,5 triliun. Sedangkan untuk tahun 2020 ini, anggaran pembayaran bunga utang adalah 295 triliun. Jika ditambah dengan pembayaran pokok utang Rp351 trilliun, maka total pokok dan bunga utang yang harus dibayarkan dalam APBN 2020 adalah Rp 646 Trilliun. Alokasi anggaran untuk pembayaran bunga dan pokok utang itu, jauh di atas anggaran untuk Program Perlindungan Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, termasuk subsidi yang hanya Rp 372,5 triliun. Pembangunan Ibukota Negara sesuai konsep awal adalah menjadikan economic driver atau sebagai penggerak ekonomi melalui urban development. Yang menjadi pertimbangan utama adalah aspek ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, lingkungan, budaya, dan hankam secara seimbang. Faktanya, kajian komprehensif guna menganalisis berbagai aspek tersebut belum dilakukan pemerintah. Apalagi jika berharap akan adanya keterlibatan berbagai stake holders yang relevan. Ditinjau dari aspek sosial-politik, pengentasan kemiskinan dan pemerataan Indonesia bagian timur dengan barat, justru jauh lebih efisien dan efektif. Apalagi jika dilakukan melalui intensifikasi dan konsistensi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, industri (khusus) dan produksi yang tersebar di berbagai daerah. Kemiskinan yang merata di seluruh daerah akan dapat dientaskan melalui pembangunan sentra-sentra industri dan produksi yang relevan bagi tiap daerah. Pengentasan kemiskinan tidak akan efektif dan efisien dengan pemindahan Ibukota Negara yang titik beratnya hanya pada aspek ekonomi, dan sejak awal tidak dimaksudkan pula menjadi kota industri dan pusat produksi. Populasi masyarakat miskin di Indonesia masih tinggi. Ini terlihat pada tingkat kemiskinan sekitar 10%. Tingkat ketimpangan kaya-miskin nasional pun masih lebar dengan Gini Ratio sekitar 0,39. Dengan kondisi gagal panen akhir-akhir ini, ditambah pula dengan kehidupan ekonomi yang memburuk akibat wabah Covid-19, maka sangat jelas bahwa tingkat kemiskinan, dan gap kaya-miskin akan meningkat. Jokowi dan LBP masih tetap ngotot untuk membangun IKN baru tanpa peduli nasib rakyat miskin. Mayoritas Beban Ditanggung APBN Menurut pemerintah, pemindahan Ibukota Negara dimaksudkan untuk mewujudkan visi Indonesia sentris, melalui pembangunan yang merata. Adanya penciptaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Anggaran pemindahan Ibukota Negara sekitar Rp 466 triliun yang berasal APBN, swasta dan swasta/BUMN dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merinci anggaran pemindahan Ibukota Negara dengan skema pembiayaan sbb: Pertama, melalui APBN. Porsinya 19,2% atau Rp 89,472 triliun. Dana ini untuk membangun infrastruktur pelayanan dasar. Juga untuk pembangunan Istana negara dan bangunan strategis TNI/Polri, rumah dinas PNS,TNI dan Polri. Selain itu, untuk pengadaan lahan, ruang terbuka hijau dan Pangkalan Militer. Kedua, melalui swasta. Porsinya 26,2% atau Rp 122,092 triliun. Dana ini untuk membangun perumahan umum, Perguruan Tinggi, peningkatan bandara, pelabuhan, dan jalan tol. Juga untuk sarana kesehatan, mall, dan Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE). Ketiga, melalui KPBU. Porsinya 54,6% atau Rp 254,436 triliun. Ini untuk membangun gedung-gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Juga untuk membangun infrastruktur selain yang tercakup di APBN. Seklain itu, untuk sarana pendidikan dan kesehatan, museum dan lembaga permasyarakatan serta Sarana penunjang lainnya. Rencana pemindahan Ibukota Negara yang diklaim hanya menggunakan APBN sebesar Rp 89,472 triliun tersebut, hanya taktik supaya terlihat rendah. Namun mengandung unsur manipulasi. Pertama, menurut Pasal 5 Perpres No.38/2015 tentang KPBU, sarana yang boleh dikerjasamakan sesuai skema KPBU adalah sarana ekonomi dan sosial. Karena itu, sarana gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif jelas tidak termasuk sarana yang didanai swasta melalui skema KPBU, tetapi harus didanai negara melalui APBN. Kedua, meskipun sarana dan gedung-gedung tersebut dikerjasamakan dengan swasta melalui skema KPBU, pada akhirnya pemerintah perlu membayar biaya sewa dalam bentuk biaya operasi setiap kementrian dan lembaga yang memanfaatkan sarana tersebut. Akhirnya, tetap saja negara melalui APBN lah yang harus membayar biaya sewa/operasi sarana tersebut. Bahkan jumlahnya pun pasti lebih besar karena di dalam skema KBPU terkandung unsur keuntungan swasta yang harus dibayar, dibanding jika sarana dibangun pemerintah sendiri. Ketiga, biaya sebesar Rp 466 triliun itu hanya memperhitungkan pembangunan sarana. Padahal dengan pindah Ibukota Negara, sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah pusat yang saat ini berjumlah 1,4 juta orang juga harus pindah. Jokowi memastikan bahwa seluruh ASN di pemerintah pusat akan pindah ke ibu kota baru pada 2024 (27/1/2020). Seandainya pun ASN yang ikut pindah hanya sekitar 200.000 orang, maka akan dibutuhkan juga biaya sekitar Rp 5 hingga Rp 7 triliun lagi. Dominasi Swasta Atau Asing Secara keseluruhan, biaya yang akan ditanggung APBN karena pindahnya Ibukota Negara akan sangat besar, dan berlangsung bertahun-tahun. Namun terlepas dari beban APBN yang berat tersebut, pihak swasta akan sangat dominan untuk membangun Ibukota Negara baru ini. Penggunaan skema KPBU yang menggunakan dana swasta hingga Rp 254 triliun, ditambah swasta murni Rp 122 triliun, akan menjadikan kantor-kantor Ibukota Negara sebagai proyek bisnis yang sangat menguntungkan bagi swasta atau asing. Dalam hal ini, perburuan untung besar oleh oligarki penguasa-pengusaha lah yang tampak menjadi motif utama ambisa Jokowi memindahkan Ibukota Negara. Padahal, seluruh sarana terkait penyelenggaraan negara, terutama kantor-kantor eksekutif, legislatif dan yudikatif, berikut sarana penunjangnya, sesuai konstitusi haruslah dibangun pemerintah. Karena motif bisnis di satu sisi dan sikap defensif atas gugatan beban APBN yang besar di sisi lain, maka Jokowi tetap memaksakan diri. Karena motif bisnis pulalah maka proyek ini dengan sangat arogan dijalankan oleh oligarki penguasa-pengusaha melalui pendekatan konspiratif, sistemik dan otoriter. Negara akan membayar keuntungan bisnis swasta atau asing yang membangun berbagai sarana dalam jumlah sangat besar pada tahun-tahun mendatang. Lebih ironis, dengan peran swasta yang dominan, maka peran pemerintah menjamin kedaulatan negara dan martabat bangsa akan berkurang atau hilang. Peran swasta membangun Ibukota Negara pasti mengancam kedaulatan negara dan martabat bangsa. Sebab, infrastruktur politik strategis dan objek vital negara, seperti juga untuk persenjataan TNI, seharusnya dibangun dan dikuasai sepenuhnya oleh negara. Jika peran swasta dibiarkan leluasa, maka pemerintah tidak akan dapat berfungsi secara penuh dan independen menjalankan fungsi konstitusional negara. Pembentukan pemerintah guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan pada Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan berdasarkan Pancasila pasti tidak akan terpenuhi. Ambisi pembangunan Ibukota Negara baru jelas melanggar UUD 1945, Pancasila dan sejumlah UU. Karena ingin menunjukkan bahaa proyek ini tidak membebani keuangan negara atau APBN, dengan berlindung di balik dana swasta, maka pemerintah telah melakukan kesalahan lain secara bersamaan. Pemerintah telah, membisniskan sarana vital negara. Memberi peluang dan keuntungan bisnis oligarkis kepada swasta atau asing. membebani keuangan negara secara jangka panjang. Menggadaikan kedaulatan negara dan martabat bangsa. Ditambah dengan beban utang yang akan meroket, serta target pemerataan dan pengentasan kemiskinan yang tidak efektif dan efisien, maka pembangunan Ibukota Negara baru memang sudah saatnya dibatalkan. Penulis adalah Managing Director IRESS

Korporasi China Berjaya di Ujung Corona?

Ikhlas adalah bagaikan misk yang terjaga dibawah kulit hati. Dimana wanginya akan senantiasa mengingatkan pembawanya. Amal perbuatan ialah jasad, sedang ikhlas ialah ruhnya. Sesungguhnya teluk yang jernih lebih berharga dibandingkan lautan yang kotor, jika engkau tidak bisa ikhlas maka usahlah engkau belelah-lelah. (Ibnul Jauzi Rahimahullah). By Margarito Kamis Jakarta FNN – Rabu (08/04). Ikhlas akan membawa siapapun untuk terus menerus-menerus menjadikan pasrah sebagai karibnya. Pasrah yang menjadi karib ikhlas akan terus-menerus menyerukan pemilkinya menerima semua yang telah diikhtiarkan apa adanya. Tak mengeluh, merintih, apalagi mencaci begini dan begitu atas semua yang mendatanginya. Baik dan buruk, pada alam iklhas dan pasrah, memiliki ketentuan yang pasti dan pasti. Alhasil semua yang terjadi, yang menimpa dunia berlangsung sesuai ketentuan alam abadi. Kala ujian telah ditetapkan, ia pasti datang sesuai ketentuannya. Kala kepergiannya telah ditetapkan, ia pun pergi sesuai ketentuannya. Dimana ketentuan itu? Mungkin di alam azali. Entahlah. Wallahu A’lam Bissawab. Entah merupakan buah keihlasan atau kepasrahan, atau juga hal lain. Misalnya, dunia terus berputar dan peristiwa demi peristiwa silih berganti datang dan pergi. Orang, setidaknya sebagian, membiarkan semua yang pernah terjadi itu begitu saja. Tak ada pemeriksaan, apalagi detail dan cermat. Semua terlihat biasa, biasa dan biasa saja. Mungkin itulah yang tirai, terlepas dari ketebalan lapisan-lapisannya, yang mengakibatkan orang membiarkan sejumlah perstiwa masa lalu berceceran tanpa makna. Di atas meja akal, yang diambil dari peristiwa itu hanyalah yang kasar, yang terlihat. Misalnya, virus Spanyol 1918-1919, yang secara klinis disebut “Virus Flu” itu. Yang disajikan tidak lebih dari jumlah orang mati, cakupan sebaran dan usaha-usaha untuk menemukan antifirusnya. Padahal di tahun-tahun itu, Jerman tiba-tiba saja, tanpa sebab yang jelas, menyerah dari sekutu pada perang dunia pertama. Tentara Jerman di garis depan medan tempur pun kecewa. Mereka merasa telah dihianati, ditikam dari belakang oleh pemerintahnya sendiri. Apalagi pasal-pasal dalam “Perjanjian Versailes” yang diprakasai oleh Woodrow Wilson, Presiden Amerika itu, terlihat oleh rakyat benar-benar sangat mempermalukan mereka. Tentara Jerman menemukan kenyataan, terlepas dari derajat validitasnya, orang-orang yahudi di Jerman dianggap menghinati Jerman. Kenyataan ini melengkapi kekecewaan mereka, sekaligus menyulut kebencian Hitler kepada Yahudi Jerman kala itu. Jerman pun jatuh ke titik terendah dalam berbagai aspek sesudah akhir perang memalukan itu. Mereka dikontrol anggota sekutu, karena perjanjian Versailles. Mereka tak diperbolehkan memiliki persenjataan memadai, termasuk wajib mengurangi produksinya. Jerman juga terperangkap dalam krisis keuangan. Situasi keuangan Jerman tak jauh beda dengan situasi keuangan Amerika. Inflasi melilit ekonomi Amerika di ujung pemerintahan Wilson, 1919. Presiden Harding mengawali penanganannya. Tak tertolong malah terus membesar jadi depresi ekonomi besar tahun 1929-1933. Ia mengajukan Melon Tax Reduction Bill. Ini sebenarnya merupakan gagasan republikan. Gagasan ini berisi skema penyatuan pembuatan kebijakan keuangan pemerintah pusat, unifing federal budget, dan pemotongan upah pekerja. Tetapi keadaan tak tertolong. Takdirpun mengakhiri kekuasaannya lebih cepat dari yang seharusnya. Ia jatuh sakit dan harus berhenti dari jabatannya. Dilanjutkan oleh Calvin Collidge, wakilnya (1923-1929). Tetapi keadaan ekonomi tetap saja tak tertolong. Tahun 1929, ketika Herbert Hoover resmi memangku jabatan sebagai presiden, resesi ekonomi mencengkram Amerika. Hoover, presiden Republikan yang liberal konservatif memiliki visi jelas dalam memetakan persoalan. Presiden ini mengerti sejak 1880 sampai dengan tahun 1920 telah menjadi era baru ekonomi nasional Amerika. Ditandai dengan pemerintah Federal memainkan peran luas menangani kehidupan rakyat. Peran ini belum pernah ada presedennya. Apa bentuknya? Mendukung para pebisnis. Hoover tahu itu. Ia berenang dalam spektrum itu. Menjadi visinya dalam kampanye kepresidenan. Ia meletakan standardisasi industri, memperbaiki ekonomi nasional, memperbesar pasar luar negeri untuk industri-industri Amerika di panggung kampanyenya. Ia jual kepada rakyat di sepanjang perjalanan kampanyenya. Gagasannya dibeli rakyat. Jadilah ia Presiden. Tetapi seperti telah terancang dengan sempurna, begitu Hoover memasuki jabatan itu, terjadi apa yang disebut “stock market crash 1929”. Ini mengawali tenggelamnya Amerika ke dalam krisis ekonomi berat. Pada bulan Desember tahun itu juga, satu juta orang kehilangan pekerjaan. Jadi pengangguran. Hoover bergerak maju. Langkahnya terlihat khas republikan Hamiltonian (Alexander Hamilton). Seperti dicatat Robert Dalec, penulis biografinya, Hoover memperbesar pinjaman kepada The Fed’s. Juga memberikan stimulan ekonomi sekaligus memperbesar belanja pemerintah. Sembilan belas miliyar dollar Hoover belanjakan membangun jalan bebas hambatan, rumah sakit, waterway, dan military base. Alhasil infrastruktur. Hoover melangkah lagi. Kali ini Hoover memainkan kartu legislatifnya. Ia mengajukan “Reconstruction Finance Corporation Bill”. Sembari menanti Bill itu dibahas, Hoover mendekati kongres meminta persetujuan mereka memberi tambahan budget sebesar dua juta dollar untuk menginjeksi ekonomi. Semua langkah ini dicatat dengan teliti oleh Robert Dalec. Lalu dengan nada kritis, Dallec menyatakan “apa bedanya dengan New Deal-nya Franklin D. Rosevelt”? Politik ya politik. Berhenti di situ? Tidak juga. Ia maju lagi dengan mengajukan “Emergency Relief And Construction Bill”. Diterima Kongres dan disahkan menjadi “Emergency Relief and Construction Act 1932”. Maju lagi dengan “The Banking Bill”, yang akhirnya menjadi “The Bangkin Act 1933”. Berakhirkah langkahnya? Tidak. Ia menyodorkan Reconstruction Finance Corporation Bill ke Kongres, dan disetujui menjadi Reconstruction Finance Corporation Act 1933. Semua yang telah dilakukannya ternyata tidak menolong dirinya memenangkan pemilu 1932. Hoover kalah. Dalam pengakuannya kekalahan itu disebabkan Wall Street mengalihkan dukungan ke Franklin D. Rosevelt (FDR). Dan FDR, politisi berhaluan Social Democrat ini menang. Dilantik tanggal 4 Maret 1933, atau dua bulan setelah Hitler dilantik pada tanggal 30 Januari 1933. Hoover yang anti collectivist, dan lebih sebagai voluntarism, menurut Anggela Lanete Smith dari Weyne State University, tidak percaya Jerman dapat membayar kompensasi kepada sekutu sebesar U$ 132 miliar dollar. Jerman terlihat akan kolaps. Amerika menyiapkan program pemulihan. Dimulai program dari Calvin Colidge dengan Dawes Plan 1924. Dilanjutkan dengan Young Plan (1929) pada awal pemerintahan Hoover. Menariknya, menurut Smith program ini justru membesarkan Hitler. Lalu Hoover hendak menghentikan program itu. Hoover mau memoratorium pembayaran hutang dan pinjaman antarpemerintah Eropa, termasuk Jerman dengan Amerika pada tahun 1930. Padahal bank-bank terkemuka Amerika telah member pinjaman kepada pemerintahan lokal German berkisar 50 sampai 75%. Dalam sepuluh tahun setelah perang dunia pertama, Jerman meminjam dari Amerika tidak kurang dari tiga trilyun dollar. J.P Morgan menyediakan pinjaman sebesar antara 100 sampai 200 miliar dollar. Chase dan German Trust di sisi lain menginvestasi modalnya di bidang infrastruktur sebesar dua trilyun dollar. Dawes Plan (1924) dan Young Plan (1929) menurut Antony Sutton dalam The Wall Street and The Rise of Hitler adalah proyek Wall Street. Owen D. Young (Youn Plan) menurut Sutton adalah agen JP Morgan. Hjalmar Schach Presiden Bank Sentral Jerman 1924, di sisi lain menyatakan Owen Young (Young Plan) bertanggung jawab atas kemunculan Hitler. Sutton pada bagian lain menulis, Amerika membangun kartel Jerman. Kartel Jerman terdiri atas Allgemeine Electrizitas Gesellcchaft (A.E.G), German General Electric. Kartel ini terkoneksi dengan Wall Street Syndicate; National City Co ($35.000.000). Kartel Jerman lainnya Vereinigte Stalhwerke – United Steelworkers- terkoneksi dengan Dillon, Red and Co (Wall Street Syndicate) U$ 70.225,000. American I.I Chemichal (I.G. Farben) kartel Jerman terkoneksi dengan National City Co U$ 30.000.000. Charles E. Mitchel, Walter Teagle dan Paul Werburg (The The Fed’s), Edsel B. Ford dan Carl Bosch (Ford Motor Company), H.A Mets dan Paul M. Warburg (Bank of Manhattan), Walter Teagle (Standard Oil of New Jersey) semua koneksi dengan I.G Farben Jerman dan American I.G. Dan I.G Farben memproduksi hampir seluruh material dasar bom yang digunakan militrer Nazi Jerman dalam perang dunia kedua. Paul Warburg adalah saudara kandung Max Warburg, direktur I. G Farben. Sebelumnya bekerja sebagai Bankir di Hamburg. Praktis Paul menjadi Direktur American Farben dan Max menjadi direktur I.G Farben Jerman. I. G. Farben adalah penyedia dana dan pendukung utama Hitler. Terdapat transfer dari I. G. Farben ke Hitler sebesar 400.000 Mark, di luar transfer individual sebesar 200.000, Mark. Praktis 45% biaya kampanye Hitler berasal dari I.G. Farben. Seluruh tindak-tanduk korporasi Wall Street yang menaikan Hitler ke kursi kekuasaan, tak melibatkan Hoover. Bagaimana dengan FD Rosevelt? Setelah FD Rosevelt di kursi kepresidenan, dia mengirimkan Puzi, sohibnya sedari sekolah di Harvard, dan punya koneksi dengan Hitler segera menemuinya. Kepada Puzi Rosevelt berpesan segera memainkan piano, dan pelan-pelan mulai menaikan gas sampai membesar. Ketika membesar segera menghubungi kedutaan. Hoover, dengan seluruh fakta di atas tak mungkin menang pemilu. Dan di atas semua itu, Hitler meraih kekuasaan dan menggelorakan “New Economic Order”. Di sudut Amerika, Rosevelt bergelora dengan “New Deal”. Praktis ada dua “New”. New Jerman dan New Amerika. Dua-duanya “new order”. Lalu, apa relefansinya dengan serangan Corona yang saat ini telah menghancurkan ekonomi dan keuangan sebagian besar negara di dunia? Korporasi telah berteriak minta tolong. Hampir di semua negara, terutama Amerika. Produksi berkurang terus-menerus. Pekerja kehilangan pekerjaan dari hari ke kari. Melonjak tajam. Utang berceceran dimana-mana. Dan seperti biasanya, pemerintah sebagian negara berenang di tengahnya mencari hutang dan hutang. Indonesia, tak terkecuali. World Bank dan IMF, dua simbol new world order, telah menyiapkan skema utang. Namanya bantuan. Termasuk untuk reformasi sistim keuangan yang tak pernah tuntas, dan yang akan terus begitu. Bagaimana dengan utang pembiayaan proyek-proyek besar Indonesia? Darimana saja utang itu? Dari China atau Amerika? Kapan jatuh temponya? Kalau jatuh tempo di tengah kemelaratan, tidakkah tindakan mudah adalah mengubah status asset menjadi equity, untuk bayar utang? Itu namanya hukum leviatan ala Wall Street. Bagaimana dengan korporasi swasta Indonesia? Hebatkah mereka? Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang judulnya begitu panjang, dan isinya bermasalah itu, jelas dalam banyak aspek tipikal Wall Street. Defisit diperlebar, bantuan kepada korporasi disediakan, dan lainnya. Perpu ini bercitarasa Wall Street i. Bandingkan dengan Emergency Relief And Construction Act 1932 di Amerika. Bandingkan dengan Reconstruction Corprate Finance Act 1933 di Amerika. Lihat Bangkin Act 1933 di Amerika. Terakhir lihat juga Emeregency Economic Stabilization Act (EESA) 2008 di Amerika. Wuhan menjadi epicentrum Corona di China, bahkan dunia. Menariknya Beijing dan Shanghai tidak kena. Top atau aneh? London, New York, Washington DC, Madrid, Paris, Berlin, sekadar beberapa contoh, semuanya kena. Beijing dan Shanghai tidak. Hebat sekali. Sialnya rakyat mereka yang mau kembali dari Indonesia ke negaranya menggunakan pesawat Garuda, justru tak bisa. Pesawat Garuda yang hendak menerbangkan mereka ditolak masuk ke China. Akankah Jack Ma, dengan Alibabanya yang telah dan terus menjulang, terutama di Asia datang dan jadi penyelamat korporasi Indonesia? Mungkinkah kapitalis China lainnya yang muncul? Itu soal lain. Itu mudah. Hukum Leviatan ekonomi yang akan bicara. Dunia bakal berubah, total, setelah Corona. Negara miskin yang bodoh akan terus miskin, terus jadi sasaran rentenir dunia. Yang rentenir tetap di posisi itu,sebagai rentenir. Siapa mereka? Korporasi bersakala dunia. Termasuk korporasi yang mengambil rute di sepanjang Belt and Road Iniciative China? Layak dipertimbangkan. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate