NASIONAL
Kepresidenan Pak Jokowi Terlihat Buruk?
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Ahad (19/04). Presiden itu pemerintah, dan pemerintah itu presiden. Tidak lebih, apapun argumennya. Itulah konsekuensi konstitusional dari pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), suka atau tidak. Penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan berpusat di kantor presiden (kepresidenan). Dalam kerangka itu, Presiden dibantu dua figur tata negara. Kedua figur itu adalah Wakil Presiden dan menteri-menteri. Wakil Presiden, dengan demikian, menjadi figur pertama dalam terminologi membantu presiden. Ini diatur pada pasal 4 ayat (2) UUD 1945. Figur kedua, menteri-menteri. Ini diatur pada pasal 17 UUD 1945. Walau sama-sama berfungsi membantu Presiden, namun Wakil Presiden diberi kapasitas hukum berbeda dengan menteri oleh konstitusi. Menariknya, walau Wakil Presiden diberi kapasitas lebih tinggi dari menteri-menteri, tetapi UUD 1945 tidak mendefenisikan secara spesifik fungsi wapres. Presiden, suka atau tidak, eksis disepanjang penalaran konstitusional sebagai chief of government. Bahkan dapat dikatakan chief of the chief. Presiden adalah bosnya Wapres, juga bosnya menteri. Suka atau tidak. Tertib kehidupan berkonstitusi mengharuskan siapapun menerima konsekuensi itu. Soal Penghinaan Kepresidenan telah sangat eksis. Itu jelas. Serangkaian kebijakan menangani Corona telah dikeluarkan sejauh ini. Kebijakan-kebijakan itu, satu dan lainnya mengundang tanggapan sangat kritis. Tetapi entah bagaimana saja isi kritik sebagian orang, cara pandang kekuasaan segera menjatuhkan lebel sebagai penghinaan terhadap presiden. Terlihat dari energi besar keluarnya kebijakan penegakan hukum kepada siapapun yang “menghina presiden.” Apakah kebijakan ini keluar atas perintah, setidaknya brifing Presiden atau prakarsa mandiri Kepolisian? Tidak jelas. Tetapi apapun itu, kebijakan ini menarik dilihat dari sudut tata negara. Dalam pandangan tata negara kebijakan itu mesti dipertalikan dengan pasal 207 KUHP. Menariknya, pasal 27 UU ITE, entah bagaimana penalarannya, juga disangkut-pautkan. Padahal dua pasal ini memiliki perbedaan sangat fundamental dalam rute tata negara. Pasal 207 KUHP menggunakan terminologi “penguasa atau badan umum”. Maknanya pasal ini menjadikan “status tata negara” pada subyek yang dihina sebagai keadaan yang menentukan. Keadaan penentu ini tidak dimiliki oleh pasal 27 UU ITE. Pasal ini menunjuk subyek hukum umum, siapa saja, natural person. Pasal ini tidak menjadikan status tata negara sebagai keadaan penentu. Oleh karena pasal 207 KUHP itu menjadikan “penguasa atau badan hukum umum” sebagai keadaan penentu, maka siapa saja yang memegang kekuasaan umum, termasuk kepala desa dan kantor desa menjadi subyek pasal ini. Mengapa? Secara hukum kepala desa menyandang status hukum sebagai penguasa umum pada level desa. Kantor desa menyandang status hukum sebagai badan hukum umum. Bagaimana dengan konsekuensi yang ditimbulkan dari pasal 27 UU ITE disisi lain? Dilihat dari sudut tata negara, pasal ini mengaburkan “status presiden” sebagai manusia artifisial. Karena terminologi presiden menunjuk pada nama jabatan. Nama ini, bukan dan tidak pernah dalam ilmu hukum manapun di dunia ini, disandang manusia dalam makna natural. Nama itu “presiden” bukan bawaan alamiah. Status artifisial inilah, sekali lagi, dikaburkan oleh pasal 27 UU ITE itu. Apa konsekuensinya? Pasal ini mengakibatkan presiden memiliki dua status pada saat yang bersamaan. Presiden berstatus sebagai manusia alamiah, natural person, sekaligus sebagai legal person. Konsep ini khas hukum anglo saxon yang dipraktikan Inggris sebelum akhir abad ke-17. Dalam hukum ini Raja memiliki double status. Padanya melekat dua kapasitas hukum. Kapasitas sebagai manusia natural, dan sebagai manusia artificial. Status artifisial itu menunjuk raja sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam kerajaan. Dalam konteks sebagai penyelenggaraan pemerintahan, menurut hukum anglo saxon, raja atau ratu berstatus sebagai the body of politics. King as a body of politics. Hukum anglo saxon, menggariskan raja as a political body, menjadi subyek hukum publik. Tindakan-tindakannya dibatasi oleh hukum. Raja dapat dimintai pertanggung jawaban. Ini diterangkan oleh John Cowel, dalam kajiannya “interpreter”, yang dikutip Eric Enlow, dalam article “The Corporate Conception of The State and the Origin of Limited Constitutional Government”. Apa konsekuensi teknis dari penggabungan pasal 207 KUHP dan pasal 27 UU ITE itu? Secara hukum tindakan-tindakan presiden tidak dapat dibedakan. Dapat diklasifikasikan sebagai tindakan pribadi dan tindakan jabatan. Akibatnya, kritik padanya sebagai presiden bernilai sebagai kritik terhadap dirinya sebagai pribadi. Natural person. Ini sangat buruk. Pada konteks inilah saran kritis Pak SBY beberapa waktu lalu memiliki makna yang bagus, berkelas dan bermutu tinggi. Mainannya Wall Street Pasal 27 dan 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang panjang judulnya itu, dapat dimengerti dalam konteks di atas. Mengapa? Dua pasal ini mengaburkan konsep natural person dan legal person. Kekaburan itu tercermin dari penegasan pejabat-pejabat itu tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum pidana, perdata dan tata usaha negara. Juga proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan dikeluarkan dari kontrol DPR. Negara dikelola, setidaknya dalam isu ini, dengan nalar beraroma abad kegelapan. Nalar ini telah terserap dalam liberalisme dan kapitalisme global. Caranya, yang satu dan lainnya tidak mudah dikenali. Mengapa begitu? Liberalisme dan kapitalisme global menyembunyikan watak leviathan itu dalam rule of law, efisiensi, pasar global, transparansi dan akuntabilitas. Tabiat leviathan mengambil bentuk berupa negara besar, tetap besar dalam semua aspeknya. Yang kecil ya tetap kecil dalam semua aspeknya. Yang besar yang menentukan rule of the game. Yang kecil bermain di dalam rules mereka. Itulah kredo demokrasi leviathan, demokrasi liberal. Dalam tampilan praktisnya, demokrasi membenarkan terjadinya penindasan, sembari mengaburkannya dengan sorak-sorai olimpian khas Walter Lippman. Sisi-sisi itu juga terlihat pada kebijakan Kartu Pra-Kerja. Kartu “tak sakti ini” ternyata tak membuat pemegangnya mendapatkan pekerjaan. Pemegang kartu ini hanya diberi pelatihan secara “online”. Berapa biaya pelatihan Online? Triyunan rupiah bung. Siapa yang menjadi pelatihnya? Siapa yang bertindak sebagai pengelola pelatihan? Korporasi besar yang culas dan tamak? Atau jin dan iblis? Yang pasti bukan jin, bukan pula iblis. Lalu siapa mereka? Wallau a’alam bishawab. Gelap segelap-gelapnya. Sial betul, pemerintah mengistimewakan usaha online ini. Usaha motor yang terkait dengan online, dibenarkan membawa penumpang ditengah PSBB. Hebat, mereka juga diberi discount beli minyak dari Pertamina. Ojek dan angkot biasa? Tidak. Begitulah nalar praktis kebijakan yang terlihat bernafaskan liberal dan berjiwa leviathan tersebut. Aroma leviathan itu juga bekerja dalam kebijakan surat berharga global,atau “global bond”. Ini mahluk berasal-usul dari dunia Wall Street di Amerika sana. Mahluk ini berjiwa hutang demi hutang, dengan nama dan bentuk yang berbeda. Bond ini, entah berapa ratus trilyun nilainya. Tetapi tenornya kalau tak salah 70 tahun. Tragis sekalai. Duit itu kelak dipakai membiayai sejumlah hal yang lumayan hebat. Bansos, kartu pra-kerja, relaksasi kredit, plus bunga kredit dari korporasi, restitusi pajak dan juga UMKM. Semua itu butuh uang. Kenyataannya kas negara tak cukup menyediakan uang sebesar itu. Jadi? Jual saja apa yang bisa dijual dan berhutang saja kepada rentenir global yang bisa kasih hutang. Simpel saja. Itulah respon atas keadaan. Bukan hanya keuangan, tetapi juga ekonomi yang dalam pandangan sejumlah ekonom, memang telah babak belur saat ini. Tetapi responnya harus tepat. Bila tidak tepat, maka setiap kebijakan akan mempercepat bangsa ini bergerak ke lautan bangsa kuli, sebagaimana rancangan Belanda dulu. Ketepatan respon dalam mengelola ekonomi, tampak menjadi argument, entah utama atau sampingan, dibalik kebijakan membiarkan kereta api beroperasi hingga saat ini. Sama-samar, tetapi argumen sejenis terlihat bekerja dibalik kebijakan tak jelas atas mudik. Boleh jadi, argumen itu pula berada dibalik tenaga kerja asal China yang dibiarkan terus masuk ke Indonesia di tengah gunung pengangguran saat ini. Bangsa ini memang harus terus memutar akalnya agar bisa berlari mengejar impian menjadi negara hebat. Kualifikasi Trump terhadap negara ini sebagai kaya, tak bisa sepenuhnya ditelan. Trump, yang dikenal cerdik, hanya membuat bangsa ini terlena. Sebutan itu hanya akan membuat bangsa ini mati akal, sehingga terus berada dipersimpangan jalan maju dengan ladang hutang. Setelah itu mundur juga dengan hutang. Pelajaran Pak Harto Semua kebijakan di atas sejauh ini, lahir dari kreasi menteri. Sejauh Presiden tidak menilai, terbuka atau tertutup, bertentangan dengan isi fikiranya, kebijakan itu harus dilihat sebagai tindakan kepresidenan. Suka atau tidak. Konsekuensinya Presiden memikul tanggung jawab konstitusional atas kebijakan itu. Kepresidenan Pak Harto, presiden yang cukup sering dituduh otoriter. Menampilkan otoriter secara aktual dalam seluruh spektrum pemerintahannya. Pak Harto membiarkan pembantunya membuat kebijakan, apapun itu. Tetapi semuanya masuk dalam radar Pak Harto. Tidak ada menteri, siapapun mereka, sehebat apapun orang itu dilihat masyarakat, yang tak berada dalam kontrol khas Pak Harto. Serangkaian fakat itu dirangkai secara bernas oleh Profesor Salim Said, Jurnalis Senior yang jadi ilmuan politik kawakan ini. Itu dituangkan dalam buku berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian.” Benny Moerdani, sosok yang tampil sebagai penjaga Pak Harto paling tangguh ini, dalam kenyataannya tidak berdaya, ketika Pak Harto tak lagi berkenaan dengan sepak terjangnya. Benny Moerdani, sosok yang juga menakutkan Profesor Salim itu, akhirnya diberhentikan dari jabatannya. Benny Moerdani tak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya Benny, Ali Moertopo, dengan CSIS sebagai lembaga pemikirnya, dan dikenal sebagai sosok lain yang tangguh membantu Pak Harto, diberhentikan juga oleh Pak Harto. Begitulah kepresidenan Pak Harto. Apakah tindakan-tindakan Pak Harto itu dimungkinkan, karena Pak Harto sendiri merupakan figur utama bangsa ini. Bahkan ia diserupai dalam kenyataan dengan negara? Apa karena sistem kala itu otoritarian? Kenyataan dibumi demokrasi mutakhir, Amerika misalnya, layak dijadikan bandingan. Kenyataan itu mengharuskan siapapun melupakan dimensi otoritarian Pak Harto sebagai faktor pembenar kecanggihannya mengelola pembantu-pembantunya. Sama dengan Pak Harto, Trump berhentikan siapa saja yang dinilai tak sejalan dengan aris kebijakannya. Dia tidak peduli siapa mereka. John Kerry yang Menlu, Direktur FBI James Commey, Rex Tillarson, Menlu lagi, dan Joseph Mequire, pejabat Deputi Administrasi FBI, semuanya sama, diberhentikan. Benar-benar sama dengan Pak Harto, Presiden Trump menempatkan diri sebagai bos of the bos menurut konstitusi mereka. Selain orang-orang di atas, John Bolton, penasihatnya untuk urusan keamanan nasional, juga sama nasibnya, diberhentikan. Bahkan cukup heboh, Steve Banon, mantan Ketua Tim Kampanyenya, yang memasuki gedung putih sebagai staf senior Trump, juga diberhentikan. Apakah Presiden Jokowi tidak diberi privilege dan kapasitas konstitusional yang sama dengan Pak Harto? Pasal 4 UUD 1945 tidak berubah sama sekali. Pasal 17 UUD memang berubah, tetapi tidak dalam substansinya. Itu sebabnya kewenangan Pak Jokowi sama dengan Pak Harto dalam konteks konstitusi. Begitulah sistem prsidensial bekerja menempatkan Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Penilaian terhadap sebuah pemerintahan dalam bersistem presidensial mengharuskan siapapun menilai kebijakan menteri merupakan gambaran aktual kebijakan Presiden. Dalam konteks itu, buruknya pemerintahan bermakna buruknya kepresidenan. Suka atau tidak. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Memahami Pak Luhut Lewat Status Facebooknya
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Meskipun sudah agak lama, cukup menarik membaca status di akun FB Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) edisi 9 April 2020. Status blak-blakan ini mendapat sambutan beragam. Reaksi khalayak medsos ‘meledak’. Ada 3,600-an share dengan 9,400-an komentar yang pro dan kontra. Mau disebut curhatan Pak Luhut, bisa juga. Banyak yang menilai begitu. Tapi, ‘core business’ postingan ini adalah keinginan “Menteri Segala Urusan” itu untuk menunjukkan bahwa dia (a)seorang pria keras tapi punya hati; (b)ingin berbuat yang terbaik untuk Indonesia; (c)ingin memberikan semacam ‘lead’ (bimbingan) kepada rakyat; dan (d)ingin melihat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terdidik. Inilah daftar pemahaman saya tentang postingan itu. Pemahaman Anda tentu bisa lain. Di alinea (paragraf) 1, 2, 3, dan 4, LBP memperkenalkan diri sebagai orang yang keras dan tegas. Tak takut mati sewaktu menjadi tentara. Tapi juga punya hati. Dia merasa bersalah besar karena harus berpisah dari keluarga ketika menjalankan tugas sebagai tentara. Namun, rata-rata tentara tampaknya mengalami liku hidup yang sama seperti pengalaman Pak Luhut. Bahkan, banyak kisah yang lebih memilukan. Yang sangat menarik ada di alinea ke-5. Di sini, LBP menulis: “Sapta Marga mengajarkan saya untuk terus membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Nah, ini dia. Anda jangan ceroboh dalam memindai pernyataan ini. Jangan sampai Anda mencibirinya. Jangan dulu katakan begini: “di mana Pak Luhut membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan?” Sebaiknya, pernyataan ini dipandang sebagai statement yang normatif. Maksudnya begini. Sapta Marga mengajarkan nilai-nilai yang disebut Pak Luhut itu. Prinsip-prinsip yang sangat ideal. Cuma, memang ada perbedaan antara ‘mengajarkan’ dan ‘mengamalkan’. Ini bisa terjadi pada diri setiap manusia. Input ‘pelajaran’ belum tentu sesuai dengan output-nya. Ini bisa kita saksikan setiap hari di jajaran birokrasi. Semua orang di sana mengucapkan sumpah jabatan untuk bekerja dengan baik, tidak menyalahgunakan jabatan dan wenang. Juga tidak menyelewengkan uang negara. Inilah inti sumpah mereka. Namun, situasi masing-masing orang membuat sumpah menjadi terlupakan. Begitu juga halnya dengan Sapta Marga. Anda katakan bahwa Anda tak akan melupakan ikrar keprajuritan ini sampai kapan pun. Tetapi, sering sekali orang tidak hanya melupakannya melainkan melecehkannya. Alinea 6 dan 7 juga cukup menarik. Pak Luhut menyebutkan tentang ujaran kebencian dan fitnah yang tetap eksis di tengah pandemi Covid-19, Pandemi yang mengancam semua orang. Begitu juga suasana sektarianisme yang tetap hidup. Luhut merindukan sosok Gus Dur yang ia sebut sangat inspiratif. Di sini, ada hal-hal yang perlu dijelaskan panjang-lebar. Harus komprehensif. Tidak valid kalau dilihat sepotong-sepotong. Sebab, ujaran kebencian, fitnah dan juga sektarianisme adalah produk dari polarisasi. Polarisasi itu terbentuk dari proses diskriminasi terhadap satu golongan. Bisa polarisasi ekonomi, sosial, atau politik. Polarisasi itu juga terbentuk dari proses ketimpangan dalam penegakan hukum dan keadilan. Mari kita ‘to the point’ saja. Cara Jokowi menjalankan pemerintahan sejak periode pertama cenderung menjadi sumber sektarianisme. Mungkin dia tidak merasa ada masalah. Tetapi, rakyat melihat itu. Setidaknya, saya pribadi membaca itu. Dan, menurut hemat saya, bibit sektarianisme yang ditabur Jokowi lewat cara dia menjalankan pemerintahan, hampir pasti akan menjadi tumbuh besar dan mencapai waktu panennya suatu saat. Bisa juga disebut ‘time bom in the making’. Bom waktu yang sedang berproses. Jadi, agak mengherankan sekali kalau Pak Luhut tidak menyadari itu. Padahal, distribusi kekuasaan yang sangat besar kepada beliau termasuk salah satu dari sekian banyak pohon sektarianisme yang menonjol di ‘kebun polarisasi’ Jokowi. Panen buah sektarinisme di masa depan, bisa jadi ‘inevitable’. Tak terelakkan. Anda bisa mengatakan bahwa distribusi kekuasaan adalah hak prerogatif Presiden. Memang iya. Tidak ada yang membantah. Tetapi, seorang presiden di negara yang peta komposisi demografisnya sangat jelas, seharusnya menggunakan hak prerogatif itu dengan sensitivitas yang tinggi. Ketika memberikan kekuasaan yang luar biasa besar kepada Pak Luhut, Presiden Jokowi perlu memahami kepekaan ‘grassroot’. Sebab, publik bukanlah penonton pasif. Rakyat bukan gerombolon robot. Publik melihat pengistimewaan Luhut sangat berlebihan. Di luar kepantasan. Ini yang kemudian memunculkan gelombang resistensi yang sangat keras belakangan ini. Presiden Jokowi dan Pak Luhut sendiri menjadi sasaran kritik, cemoohan, bahkan ejekan. Pak Menko memperlihatkan kejengkelannya terhadap resistensi publik. Dia sampai mengancaman pengkritik dengan langkah hukum. Tapi, publik semakin ‘kencang’ melawan. Nah, Pak Luhut melihat pelawanan publik itu berbumbu sektarianisme. LBP menjadi prihatin. Seolah sektarianisme itu tumbuh tanpa sebab. Padahal, sebab-akibat adalah hukum alam yang tertua. Suasana sektarianisme yang berkembang di masyarakat pastilah berbahaya. Celakanya, para penguasa hari ini tidak merasa bersaham menyuburkan itu. Ini lebih berbahaya lagi. Dalam arti, para penguasa tidak bisa mendeteksi bahwa mereka sedang duduk di atas bara sektarianisme itu. Kalau tadi Pak Luhut kagum kepada Gus Dur yang dianggapnya inspiratif, tidak mengherankan. Sebab, Gus Dur senang dengan cara-cara yang tidak konvensional. Dia lebih suka melawan arus. Gus Dur selalu siap pasang badan untuk membela golongan tertentu agar bisa menjadi kuat. Cara-cara mantan presiden yang ke-4 itu disambut tepuk gemuruh. Gus Dur memberikan kesempatan dan legitimasi kepada kelompok tertentu untuk ‘membalikkan skor’. Pak Luhut termasuk yang sukses membalikkan skor itu. Top scorer. Dia kemudian pindah ke squad baru di bawah Kapten Jokowi. LBP semakin berkibar. Praktis, squad yang dipimpin Jokowi sepenuhnya berada di bawah kenadali Luhut. Di periode kedua, Luhut malah memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk ‘tidak banyak berpikir’. Kita akhiri tinjauan ini dengan alinea ke-8 status Facebook LBP. Mantan jenderal cerdas ini ingin melihat orang Indonesia menjadi bangsa yang terdidik. Bangsa yang bertanggung jawab atas ucapan dan perbuatan. Gagasan besar Pak Luhut ini tentu sangat ideal. Namun, khalayak menjadi bingung. Mereka bertanya-tanya sambil menaha senyum. Terdidik seperti apa? Pendidikan yang bagaimana? Siapa yang mendidik? Apakah terdidik seperti Pak Luhut saat ini? Menjadi orang yang serba bisa dan selalu ‘bertanggung jawab’? Apakah terdidik untuk mengeruk isi perut Indonesia? Apakah terdidik dalam konteks penumpukan kekayaan pribadi sebanyak-banyaknya? Apakah terdidik untuk merusak lingkungan hidup negara ini? Apakah terdidik dalam arti bertindak sesuka hati ketika berkuasa? Apakah terdidik dalam arti menjual Indonesia dan kedulatannya kepada orang asing, khususnya China? Kemudian, siapakah yang layak mendidik bangsa ini? Para konglomerat seperti Eka Tjipta Wijaya? Anthoni Salim? Sri Prakash Lohia? James Riady? Tahir? Tommy Winata? Sjamsul Nursalim? Siapa yang hendak kita jadikan guru-guru yang mulia? Pak Luhut dengan belasan perusahaan? Wiranto dengan 60-an kapling properti plus uang ratusan miliar? Setya Novanto? Romi Romahumuziy? Surya Paloh? Harun Masikhu? Mantan bupati Kotim, Supian Hadi, dengan megakorupsi 5.8 triliun? Ataukah para pejabat yang berlomba-lomba menumpuk harta? Siapa yang mau kita jadikan panutan? Zulkifli Hasan? Akil Mochtar? Bambang Soesatyo dengan koleksi mobil mewahnya? Mungkin Pak Luhut bisa menjelaskan cara mengajari orang Indonesia agar bisa menjadi bangsa terdidik sesuai impian beliau. Agar kita semua bisa seperti Pak Luhut yang terus membela kejujuran (?), kebenaran (?), dan keadilan (?) sesuai Sapta Marga yang beliau pegang teguh. Dan agar kita menjadi orang yang selalu bertanggung jawab seperti Pak Luhut.[] 19 April 2020 Penulis sedang mencari guru. (Penulis sedang mencari guru)
Obligasi Khusus Untuk Informal dan UMKM Tidak Bisa Ditunda
Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas keuangan di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar U$ 2.3 trillion dolar. Sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara di dunia, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. By Andi Rahmat Jakarta FNN- Minggu (19/04). Selain kebijakan yang berhubungan dengan aspek penanganan kesehatan. Ada dua pokok kebijakan bidang ekonomi yang menonjol dari kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan pemerintah terkait dengan pandemi Covid 19. Yang pertama, peningkatan dan penggunaan kebijakan pelebaran defisit. Dan yang kedua, perluasan kewenangan Bank Indonesia dalam skema open ended policy, terutama dan termasuk dalam pemberian kewenangan kepada BI untuk masuk ke pasar primer obligasi. Tulisan saya sebelumnya sudah membicarakan mengenai perlunya mengarus-utamakan ekonomi informal dalam kebijakan ekonomi. Juga perlunya menegaskan skala “keberpihakan” kepada UMKM dalam penanganan krisis ekonomi sebagai dampak paralel dari Pandemi Covid 19. Dalam tulisan ini, saya mengajukan proposal tentang perlunya “Obligasi Sektor Informal dan UMKM”. Ini sebagai wujud keberpihakan dan pengaruh mengutamakan kebijakan ekonomi. Pelebaran defisit dan skema Open Ended Policy BI adalah modal utama untuk menjalankan kebijakan ini. Apalagi, Kementerian Keuangan telah mendeklarasikan keinginannya untuk menerbitkan Pandemic Bond dalam upaya memitigasi resiko industri yang terpapar dampak Pandemi Covid 19. Andreas Kluth dalam artikelnya yang berjudul “ This Pandemic Will Lead to Social Revolution” (Bloomberg 11/04/2020) menuliskan “as the coronavirus sweeps the world, it’s hits the poorer much harder than the better off. One Consequence will be social unrest. Even Revolution”. Peringatan artikel Andreas Kluth ini seharusnya menyadarkan kita semua betapa dalamnya resiko krisis yang tengah kita hadapi ini. Bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi yang bisa berujung pada kegelisahan sosial. Bahkan bisa memicu revolusi. Kesadaran atmosferik ini tidak lagi tertutup. Tapi direspon terbuka dan cepat oleh banyak otoritas di berbagai belahan dunia. The Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, merespon situasi ini dengan menggelontorkan paket kebijakan moneter sebesar USD 2.3 trillion, yang sebagian besarnya digunakan untuk memitigasi sektor informal dan UMKM mereka. Padahal, dibanding banyak negara, infrasturktur politik dan keamanan Amerika jauh lebih memadai. Terus terang, tulisan saya ini membawa kekhawatiran yang mendalam terhadap tradisi dan pola penangan krisis ekonomi yang selama ini telah dipraktekkan oleh otoritas ekonomi kita. Baik itu di sisi kebijakan Fiskal, maupun kebijakan Moneter. Sensitifitas terhadap problem ekonomi yang dialami sektor informal dan UMKM dalam catatan ingatan kita, selalu berwujud dalam bentuk kebijakan “charity” negara terhadap sektor ini. Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah memberikan penghormatan mutlak terhadap peran dan daya ungkit sektor ini dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Lantas apa yang menjadi konsepsi dasar dari Obligasi Sektor Informal dan UMKM ini? Didalam paket kebijakan Stimulus senilai Rp 405 T, pemerintah memgalokasikan tidak kurang dari Rp 70,1 Triliun untuk Kredit Usaha Rakyat ( KUR). Secara jumlah, fasilitas KUR ini adalah fasilitas terbesar yang pernah dikeluarkan pemerintah sejak krisis 1998. Sebagai permulaan, alokasi ini setidaknya menunjukkan iktikad sehat dari pemerintah menangani dampak ekonomi yang diderita sektor UMKM. Namun ke dalaman persoalan yang membelit sektor UMKM dan ekonomi informal, sudah tentu membutuhkan alokasi kebijakan yang lebih besar lagi. Sebab sumbangsih sektor UMKM terhadap PDB Nasional sejak tahun 2018 telah mencapai lebih dari 60%. Diperkirakan sebanyak 127 tuta tenaga kerja hidup dari sektor ini. Tentu ini perkiraan angka yang menggembirakan kita semua. Khusus ekonomi informal, kendati tidak ada data resmi dalam sumbangsihnya terhadap pembentukan PDB Nasional, namun kontribusinya dalam menyediakan lapangan kerja dimasa krisis sudah tidak diragukan lagi. Sangat membantu dan menolong. Karena sumbangsihnya yang vital dalam struktur PDB Nasional, maka upaya mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19, secara gradual, sektor UMKM perlu memperoleh porsi yang setara. Alokasi anggaran pemulihan ekonomi sepatutnya mencerminkan porsi sumbangsih tersebut. Tidak sebaliknya. Disinilah terletak arti penting dan perlunya menerbitkan obligasi yang dikhususkan untuk memperkuat sektor UMKM ini. Obligasi ini diterbitkan pemerintah, dan dibeli oleh Bank Indonesia. Pembelian oleh Bank Indonesia, menyebabkan skema alokasinya akan berbiaya murah dan tidak membebani UMKM dengan bunga pinjaman yang mahal. Keuntungan berikutnya adalah keleluasaan pemerintah dalam mengelola dan menghitung resiko Non Performingnya. Dengan ketersediaan dana yang besar dan sasaran penyaluran yang pasti, juga akan berdampak pada tingkat kestabilan sistem keuangan. Dalam penyalurannya, tentu pemerintah akan menggandeng institusi keuangan sebagai perantaranya. Dikarenakan kepastian sasarannya, maka institusi keuangan yang dijadikan mitra tidak akan menjadikan ini sebagai “bancakan” (cash hoarding) dalam neracanya. Bagaimana dengan kemungkinan moral hazardnya? Pengalaman mikro selama ini dalam skema penyaluran KUR dapat dijadikan sebagai contoh dalam soal ini. Tentu saja dengan sejumlah modifikasi yang sesuai. Akuntabilitasnya sendiri memerlukan suatu pengaturan lebih lanjut yang memuat kriteria mitra penyalur dan sasaran UMKM yang spesifik. Pemerintah sendiri perlu untuk mendeklarasikan ini sedini mungkin. Agar langkah-langkah pemulihan ekonomi yang akan ditempuh pemerintah menjadi jelas bagi pelaku usaha UMKM. Pelaku usaha UMKM memerlukan “ruang segar” dalam horison pemulihan ekonomi. Kepastian semacam ini akan menciptakan insentif yang kuat bagi UMKM dan sektor informal dalam membalik keadaan ekonomi mereka. Dalam situasi kritis, horison kebijakan yang memberi “ruang segar” selalu merupakan kunci bagi upaya pemulihan itu sendiri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Saatnya Rakyat Menuntut Pertanggungjawaban Pemimpin Negara
By Iwan Sumule Jakarta FNN – Sabtu (18/04). Sejarah konsepsi politik, mengajarkan kepada kita, bahwa negara merupakan suatu titik di mana orang-orang meletakkan harapan dan cita-cita bersama. Pada titik inilah, orang-orang bersepakat untuk mengatur dan menata kehidupan dalam upaya mencapai kesejahteraan hidup bersama. Negara sebagai perwujudan kontrak sosial, adalah buah dari pengalaman panjang manusia mengarungi peradaban di mana di dalamnya terjadi benturan dan chaos. Berangkat dari pengalaman tersebut, maka kehadiran negara sepatutnya menjadi solusi sistematis bagi problem yang di hadapi oleh masyarakat penghuni negara, yang kemudian disebut rakyat. Demikian pula dengan pemerintah. Selaku penyelenggara negara, amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya adalah memastikan bahwa negara sebagai sebuah solusi sistematis dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hadir memenuhi harapan dan cita-cita rakyatnya. Pemerintah, berkewajiban mencarikan jalan untuk mewujudkan tujuan bernegara yang bermuara pada kesejahteraan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kesejahteraan segelintir orang yang merupakan bagian dari jejaring oligarki. Kartel yang hanya bermain-main dengan kekuasaan. Seperti juga halnya dengan kebijakan pemerintah belakangan ini. Sangat jauh dari pro kepada rakyat. Sangat-sangat menjengkelkan rakyat, bahkan melukai hati rakyat. Sebab kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang jauh dari harapan dan kepatutan. Sementara itu, dikala kebijakan yang dibuat tidak lagi berpihak pada rakyat. Bahkan malah mengkhianati rakyat. Merugikan dan membikin susah hidup rakyat. Namun pemerintah sebagai pembuat kebijakan itu mengaku-ngaku sebagai pemerintah yang pro rakyat, dengan sederet pencitraan yang dibangun di atas pondasi seolah-olah memihak kepada rakyat. Pada saat yang sama, janji-janji tidak kunjung dipenuhi. Pada saat ini pula, patut rasanya rakyat tidak sabar menahan kata yang harusnya tak perlu keluar jika penguasanya layak. Kekesalan rakyat yang memuncak dapat mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan, pembangkangan, dan perlawanan rakyat yang maha dasyat nantinya. Pemerintah sudah semestinya bertanggungjawab atas nasib rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin akan dipertanyakan atas kepemimpinannya. Apakah dalam kekuasaannya, negara membawa maslahat atau malah sebaliknya menjadi mudarat bagi rakyatnya? Sebagaimana syari'ah, negara juga memiliki maqasid. Memiliki tujuan. Dan tujuan dari sebuah negara adalah untuk mencapai maslahat. Membuat masyarakatnya adil dan makmur. Demikian pula yang diamanahkan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia. Pemimpin juga harus bisa memberikan kebaikan bagi rakyat yang dipimpin. Ketika seorang penguasa yang dengan kekuasaannya memerintah negara, namun kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka pemerintahan semacam itu bukanlah pemerintahan yang membawa negara kepada maslahat atau kebaikan kepada rakyat sebagai sebuah maqasid atau tujuan bernegara. Menyikapi keadaan ini, maka wajib bagi kita untuk mengingatkan penguasa. Tujuannya, agar penguasa menyadari bahwa apa yang dilakukan dengan pemerintahannya saat ini adalah keliru. Bahwa bahtera bernama Indonesia ini harus kembali diarahkan ke tujuan berbangsa dan bernegara. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai perintah konstitusi negara. Dalam sholat berjamaah, ketika imam lupa atau salah, maka makmum harus mengingatkan dengan kode subhanallah. Hari ini, pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan yang ada. Atas nama perubahan, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang wajib kita pertanyakan. Kepada siapa pemerintah ini berpihak? Rakyat sebagai makmum, wajib hukumnya mengingatkan kesalahan penguasa dengan kode kritik. Perubahan yang dimaksud perubahan ke arah mana? Perubahan untuk siapa? Apakah ia perubahan yang membawa perbaikan atau pengrusakan? Apakah akan membawa maslahat atau mudarat? Suatu perubahan atau islah, yang membawa kita ke arah maslahat, ke arah perbaikan. Jika ada perubahan yang pada kenyataannya membawa kepada mudarat, yang membawa kerusakan, maka itu bukanlah perubahan, melainkan pengrusakan. Mudarat yang mengatasnamakan perubahan. Seorang penguasa, atau sebuah pemerintahan seharusnya berlaku adil. Sebab perilaku adil mendekatkan penguasa kepada taqwa. Adil itu, seharusnya sudah dimulai sejak dari pikiran. Sejak dari kata-kata. Sebab dusta pemimpin terhadap rakyatnya adalah penghianatan yang sangat menyakitkan. Sesungguhnya setiap penguasa itu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Itu pasti terjadi. Kenyataan yang kita hadapi saat ini, seharusnya menjadi bahan pertimbangan, untuk menentukan arah perjalanan politik. Arah tujuan bernegara kita di tahun mendatang. Bahwa jika kita menginginkan perubahan yang benar-benar perubahan dalam arti islah. Untuk mencapai maslahat dan perbaikan. Untuk itu, kita sebagai rakyat, harus berani meminta pertanggung jawaban dari seorang pemimpin negara atas kepemimpinannya. Tujuanya, agar perubahan memberi itu dapat memberikan maslahat. Kebaikan kepada seluruh rakyat. Ayo,,, sekarang saatnya untuk kembali meluruskan kiblat dan tujuan berbangsa dan bernegara kita. Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Penulis adalah Ketua Majelis Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM)
Nggak Perlu Siapin Kuburan Massal
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (18/04). Hari minggu lalu, saya ke Surabaya. Via Bandara Soetta-Juanda. Pagi berangkat, malam balik ke Jakarta. Tentu untuk kebutuhan urgent. Lihat sejumlah penumpang pakai baju plastik. Baju khusus covid-19. Kacamata besar layaknya para penyelam di dasar lautan. Plus masker. Duduk persis di depan saya. Suasana di pesawat terasa horor. Menegangkan. Jangan-jangan, kursi tempat saya duduk dihuni covid-19. Boleh jadi tangan halus pramugari yang ulurkan roti dan aqua juga ada virusnya. Ikutan paranoid. Kapok saya. Besok kalau ke Surabaya lagi, mau jalan darat saja. Setir sendiri. Supaya covid-19 nggak masuk ke mobil. Di mobil selalu disiapin antiseptik. Dua botol lagi. Kartu tol habis pakai, harus disemprot lagi. Sebagai ikhtiar dan jaga-jaga saja. Waspada, itu penting. Ikuti aturan pemerintah dan protabnya Satgas. Pakai masker, lakukan social and physical distancing, serta jaga kesehatan. Ini sudah SOP untuk semua. Jakarta sudah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Begitu juga dengan daerah-daerah di Bodetabek. Meski masih ada kerumunan dan sejumlah pelanggaran terjadi, tapi sudah sangat jauh berkurang. Kendati KRL masih tetap beroperasi. Gubernur DKI, Anies Baswedan sedang merayu Pak Luhut. Menteri di atas menteri itu. Anies minta KRL berhenti operasi. Anies juga mengancam akan mencabut ijin perusahaan yang tak patuh aturan. Sampai disini, kita perlu apresiasi dan support pemerintah, baik pusat maupun daerah di Jabodetabek. Juga aparat kepolisian yang bertindak sigap dan tegas. Aparat kepolisian keren. Dengan berlakunya PSBB, apakah jumlah terinveksi dan meninggal akibat covid-19 berkurang? Belum. Trendnya masih naik. Dan akan terus naik untuk beberapa pekan kedepan. Tapi yakinlah, kalau pemerintah disiplin dan masyarakat makin tinggi kesadarannya, covid-19 akan segera berlalu. Perkiraan ini berlaku untuk Jabodetabek. Bagaimana dengan wilayah lain? Nah, disini ada masalah. Di Surabaya, seperti tak ada apa-apa. Pasar, jalanan dan rumah makan, masih tetap ramai seperti tak ada masalah dengan covid-19. Satu dua orang pakai masker. Tapi, belum nampak serius. Mungkin ini juga terjadi di wilayah lain. Slow. Padahal, OTG (orang tanpa gejala) jumlahnya lebih banyak. Tak ketahuan siapa mereka. Nggak demam, nggak sesak napas, nggak batuk, dan nggak lemas. Diantara OTG mungkin itu adalah teman, kolega atau sahabat anda. Mungkin orang yang sedang bertransaksi dengan anda. Atau mungkin penyaji makanan di rumah makan, dimana anda sering makan. Tahu-tahu, rumah sakit penuh. Nggak mampu lagi menampung pasien covid-19. Lalu para sopir ambulan ngeluh, karena setiap hari harus mengantar puluhan janazah. Istri dan anaknya menangis, ketakutan jika suaminya ikut terpapar. Bisa-bisa nggak bawa ambulan lagi, tapi malah dibawa. Sebelum semua itu terjadi, kenapa tidak semua wilayah menerapkan PSBB? Ini penting sebagai tindakan pencegahan. Jangan nunggu ribuan positif baru menerapkan PSBB. Sudah telat pak. Kasus Jakarta harus jadi pelajaran. Ketidaksiapan regulasi Pemerintah Pusat membuat Jakarta jadi episenter covid-19. Wilayah lain mau nyusul? Beberapa daerah sudah ajukan pemohonan ke Kemenkes untuk memberlakukan PSBB. Diantaranya adalah Kabupaten Bolang Mongondow. Sang Bupati, Yasti Soepredjo sudah kirim surat ke Kemenkes. Tapi, ditolak. Kenapa? Silahkan tanya ke Menkes. Saya bukan juru bicaranya. Publik jadi bertanya-tanya, PSPB merupakan program reaksi, atau antisipasi? Kalau program reaksi, berarti harus menunggu daerah bernasib seperti Jabodetabek dulu. Puluhan orang meninggal dulu setiap hari, baru diterapkan PSBB. Apakah seperti itu? Kalau begitu, butuh berapa puluh atau ratus ribu orang yang dikorbankan untuk mati duluan, baru ada PSBB di daerah itu? Kesigapan walikota Tegal, Bupati Bolang Mongondow, Gubernur Papua dan sejumlah daerah lain terhadap penyebaran covid-19 perlu jadi pertimbangan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah Menkes dan Pak Luhut, sebagai pemegang otoritas laut, udara dan darat. Jangan nunggu ribuan terinveksi dan ratusan yang mati, baru berlakukan PSBB. Lagi-lagi terlambat Pak Menteri. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. Bukankah ini jargon rumah sakit? Bukankah tagar ini yang selalu dan selalu digaung-gaungkan oleh Kemenkes? Kenapa tidak berlaku untuk program PSBB? Apakah faktor ekonomi yang lagi-lagi menjadi alas an dan petimbangan? Diberlakukan PSBB sekarang atau tidak, pada akhirnya akan sampai juga pada situasi itu. Hanya soal waktu saja. Pilihannya mau cepat atau terlambat? Mau antisipasi, atau reaksi? Itu saja. Tidak ada plihan yang lain. Sekaranglah saatnya. Semua wilayah mesti terapkan PSBB. Jika mau dibedakan, buatlah klasternya. Klaster A, B dan C misalnya. Masing-masing klaster berbeda dalam menerapkan PSBB. Klaster A untuk wilayah Jabodetabek. Klaster B untuk wilayah kota provinsi. Klaster C untuk wilayah Kabupaten-Kota. Apapun itu, segera menyiapkan langkah-langkah pencegahan, jauh lebih baik dan baik, dari pada menyiapkan hektaran tanah untuk kuburan massal. Jangan sampai itu terjadi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Koalisi Masyarakat Resmi Gugat Perpu No.1/2020 ke MK
By Marwan Batubara Jakarta FNN – Jum’at (17/04). Selasa, 14 April 2020, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK) telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan pengujian ke MK terhadap ketentuan sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Permohonan itu telah resmi diterima petugas yang bekerja di kantor MK pada Rabu, 15 April 2020. Puluhan pemohon Judicial Review (JR) atas Perppu No.1/2020 berasal dari berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Mereka antara lain Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Prof. Dr. M. Amien Rais, Dr. Marwan Batubara, Drs. M.Hatta Taliwang , KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr. MS Ka’ban, Dr. Ahmad Redi, Dr. Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Rosalina Berlian, dan sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Adapun para Advokat dan Konsultan Hukum yang berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 13 April 2020 akan bertindak untuk dan atas nama para pemohon. Antara lain Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH., Dr. Dewi Anggraini, dan lain-lain. Para advokat telah bekerja dengan sangat intens, sehingga dokumen JR atas Perppu No.1 Tahun 2020 telah disampaikan kepada MK dalam waktu yang tidak lama. Dokumen gugatan telah diterima secara resmi oleh Panitra MK pada Selasa tanggal 14 April 2020. Sebagai salah satu pemohon, Prof. Din Syamsuddin mengatakan lahirnya Perppu No.1/2020 di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, dimana justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil. Ada hal substansial dalam Perppu No.1/2020 yang melanggar amanat kosntitusi, sehingga sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu Prof. Sri-Edi Swasoso menyampaikan dalam lima tahun terakhir, pemerintah sebenarnya gagal mengelola ekonomi nasional dan mencapai target-target yang dijanjikan. Sebeleum datangnya pandemi corona, bukan saja nilai tukar dollar terhadap rupiah turun jauh di bawah target Rp 10.000 yang dijanjikan, namun malah menjadi sekitar Rp 15.000. Selain itu, jumlah utang meningkat tajam, sebesar Rp 2.600 triliun atau 40%. Target pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7% pun tidak pernah tercapai. Lantas, melalui Perppu No.1/2020 ini, pemerintahan Jokowi bukan saja ingin menutupi kegagalan tersebut, tetapi bermaksud menjalankan agenda kekuasaan dan rekayasa ekonomi tanpa kendali dengan melebarkan defisit di atas 3%. Menurut Prof. M. Amien Rais, pemerintah mengakui prilaku moral hazard akan menjadi perhatian dalam menjalankan Perppu No.1/2020. Tetapi yang tertulis dalam Pasal 27 justru hal sebaliknya. Dimana disebutkan uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara. Kebijakan keuangan yang dikeluarkan, juga bukan merupakan objek gugatan di PTUN. Amien Rais mengingatkan, sesuai Pasal 1 UUD 1945, NKRI adalah negara hokum. Kedudukan Perppu itu kedudukan urutan hukumnya berada di bawah konstitusi. Perppu No.1/2020 tidak bisa menihilkan UUD 19145. Moral hazard akan dapat dicegah jika prinsip moral dalam Pancasila dan amanat penegakan hukum dalam UUD 1945 konsisten dijalankan. Dr Ahmad Redi mengatakan Perppu No.1/2020 harusnya hanya fokus pada upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari ancaman pendemi Covid-19. Tidak ada kegentingan memaksa selain kepentingan pencegahan dan penanganan Covid-19 dalam perppu. Ikhwal ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam Perppu ini merupakan penumpang gelap yang tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa sesuai perintah Pasal 22 UUD 1945. Menjadi modus post pactum yang sangat potensial menjadi komodifikasi abuse of power oleh penguasa. Sedangkan Prof. Syaiful Bahri sebagai kuasa hukum para pemohon menjelaskan, keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Di luar penanganan Covid-19 secara prosesdur. Ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, sama sekali tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa. Perppu tersebut menjadikan eksekutif dalam arti sempit akan berjalan tanpa kontrol atau melampaui kewenangan yang diamanatkan konstitusi dan UU. Perppu No.1/2020 memangkas tiga kewenangan dari tiga lembaga negara sekaligus. Ia memaparkan Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting DPR. Dr Ibnu Sina Chandranegara menambahkan, permohonan pengujian ini dimaksudkan untuk menguji konstitusionalitas produk hukum dalam merespon keadaan darurat yang ternyata memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari UU yang ada, seperti Pasal 28 Perppu No.1/2020. Selain itu, menguji norma-norma yang dikesampingkan dalam 12 undang-undang menjadi penting mengingat konsistensi penerapan konstitusionalisme Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945. Menurut Dr. Ahmad Yani, seluruh norma yang diatur dalam Perppu No.1/2020 terlihat mengada-ada. Dapat dijadikan jalan untuk membenarkan segala tindakan dan kebijakan yang melawan hokum. Juga sekaligus melucuti kewenangan lembaga-lembaga negara seperti DPR, BPK dan Peradilan. DPR, BPK dan Peradilan itu mendapat mandat langsung dari konstitusi UUD 1945. Dengan alas an darurat Covid-19, mau merusak dan mengacak-acak sistem ketatanegaraan yang ada. Sudah baku 75 tahun. Norma yang diatur dalam Perppu tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi dan menabrak banyak ketentuan yang khusus dalam undang-undang yang lain. Sebagai salah satu koordinator pemohon, Marwan Batubara meminta agar MK dapat mengadili perkara JR Perppu No.1/2020 dengan jujur, independen, sportif, amanah, bertanggungjawab, terhormat, punya rasa malu, mandiri dan bermartabat. Diharapkan menghasilkan keputusan yang objektif dan adil bagi negara dan seruluh rakyat Indonesia. Sedangkan Hatta Taliwang meyakini, dengan terselenggaranya sidang-sidang di MK untuk mengadili perkara JR ini kelak, rakyat memperoleh pengetahuan dan pencerdasan tentang berbagai hal dan motif busuk dan persekongkolan korporasi besar dengan penguasa dibalik terbitnya Perppu No.1/2020. Penulis adalah Koordinator Pemohon JR ke MK Atas Perppu No. 1 Tahun 2020
Mengukur Kemampuan Pemimpin Di Tengah Covid-19
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (17/04). Thomas Carlyle membuat teori herois. Dia bilang, “di tangan pemimpin perubahan bangsa itu terjadi. Betapa besar pengaruh seorang pemimpin sehingga takdir bangsa ada di genggaman tangannya”. Pesan moral dari teori Thomas Carlyle adalah, “jangan salah memilih pemimpin. Jika salah, maka perubahan itu akan menuju ke arah yang salah. Pilihlah pemimpin yang benar, agar sebuah bangsa menuju ke arah yang benar”. Bicara soal ini ada tiga kelompok manusia. Pertama, ordinary people. Masyarakat biasa. Orang awam. Kelas rakyat. Di semua negara, kelompok ini paling banyak jumlahnya. "sak karepmu dewe urus negoro, sing penting kerjoku lancar, anak bojoku isih iso mangan sego". Nah, inilah ordinary people. Kedua, eksepsional person. Manusia istimewa. Beda dari yang lain. Kompetensi dan literasinya membuat ia layak menempati posisi sebagai pemimpin. Ia memengaruhi, bukan dipengaruhi. Ia leader, bukan boneka. Dari kata "lead" yang artinya memimpin. Berada di depan. Jadi imam. Ketiga, holder of eksepsional position. Manusia biasa. Tapi karena faktor "x" ia terpilih jadi pemimpin. Mewarisi atau mengambil secara "tidak etis" dari posisi orang-orang yang lebih layak dan memenuhi persyaratan sebagai pemimpin. Anak raja dalam sistem monarki, misalnya. Atau ia pandai bersolek di era demokrasi. "petruk dadi ratu", begitu kata dunia pewayangan. Saat pandemi covid-19 melanda duniasekarang, saecara alami para pemimpin akan terseleksi. Dari yang pemimpin kecil, sampai pemimpin dengan wilayah dan otoritas yang luas. Termasuk pemimpin bangsa dan pemimpin daerah. Dalam situasi normal, seorang pemimpin biasanya baru akan terkoreksi setelah berhenti berkuasa. Saat berkuasa, durasi waktu yang panjang (5-10 tahun), para pemimpin masih bisa menggunakan fasilitas dan kekuasaannya untuk menutup-nutupi karakter dan kapasitas asli dirinya. Mereka bisa saja menekan dan mengancam orang yang kritis, yang ingin membongkar kebobrokan dirinya. Mereka juga bisa sewa buzzer untuk membuat opini yang "selalu baik" tentangnya. Setelah pemimpin itu turun, dan tak berkuasa lagi, fasilitas otomatis berhenti. Semua akan terlihat "apa adanya". Termasuk hasil kerjanya terkoreksi secara terbuka. Akan terlihat ia pahlawan, atau pecundang. Ia pemimpin, atau maling. Para buzzer juga pensiun, karena tak ada lagi yang bisa dipoles. Masa pandemi covid-19, durasi waktunya pendek. Mendadak dan tiba-tiba. Semua orang gagap dan panik. Di sinilah seorang pemimpin akan diuji. Sejauh mana ia punya kompetensi dan narasi dalam menghadapi situasi seperti ini. "Ini dadaku, mana dadamu”? Begitu kata Soekarno. Yang seperti ini namanya pemimpin asli. Bukan pemimpin rakitan. Paling tidak "berjiwa pemimpin". Dengan segala kekurangannya, Soekarno adalah seorang pemimpin yang berkarakter. Selain karakter, pemimpin juga harus berkompeten. Karakter dan kompetensi adalah dua hal yang saling memengaruhi. Saling menopang dan melengkapi. Karakter seorang pemimpin dipengaruhi oleh kempetensinya. Anehnya, nggak kompeten kok jadi pemimpin, berarti nggak berkarakter. Kalau lu punya pemimpin yang "sudah tak berkarakter, tak ada kemampuan lagi", maka kelar hidup lu. Karakter dan kompetensi seorang pemimpin akan terlihat secara terang-benderang ketika ia dihadapkan pada masalah. Covid-19 adalah masalah yang sangat serius. Penyebarannya luar biasa cepat. Tingkat kematiannya tinggi. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan sangat terbatas. Masalah lainnya, keuangan negara jugas terancam. APBN-APBD megap-megap. Padahal dampak sosial-ekonominya sangat dahsyat. Kondisi ini akan dapat mengukur karakter dan kompetensi seorang pemimpin. Bagaimana cara mengukurnya? Lihat saja cara ia menghadapi dan menanganinya. Lihat juga keputusan dan kebijakan yang dibuat. Pagi tempe, sore dele nggak? Waktunya teramat singkat. Tak sempat lagi pemimpin bersolek. Buzzer terbatas ruang geraknya. Isu covid-19 begitu cepat dan masif. Second to second. Tak akan tertandingi oleh isu lain. Semua akan fokus melihat isu ini. Juga melihat bagaimana pemimpin mereka menyelesaikannya. Dari kasus covid-19, akan terlihat dengan nyata dan jelas. Mana pemimpin yang berkompeten, dan mana yang tak berkompeten? Ia eksepsional person, atau holder of eksepsional position? Ia pemimpin asli, atau hanya bonek?. Kompetensi pemimpin seperti ini berlaku di semua negara. Dari mana melihatnya? Pertama, sejauhmana seorang pemimpin memahami masalah. Ini hal yang paling mendasar dan prinsip. Kalau nggak tahu masalah, bagaimana mungkin ia bisa menyelesaikan? Salah satunya bisa dilihat dari informasi dan narasinya. Sesuai fakta, atau bertentangan? Kedua, bagaimana perencanaan dan langkah antisipasi yang disiapkan pemimpin tersebut? Cenderung cepat atau lambat? Serius, atau sekedarnya saja? Ini soal komitmen. Rakyat pasti membacanya. Ketiga, terukur tidak program dan tindakan yang dilakukan pemimpin tersebut. Baik pada saat proses maupun hasilnya. Berapa perhari bisa menekan angka terinveksi? menambah angka orang yang sembuh dan memperkecil tingkat kematian. Semua mesti terkalkulasi. Dengan upaya mitigasi, kapan pandemi ini akan berakhir. Ini juga mesti terprediksi. Sehingga ada kepastian terhadap masa depan. Keempat, bagaimana kemampuan pemimpin menggerakkan dan mengkonsolidasikan semua kekuatan dan potensi di bawah otoritasnya. Sinergi bawahan ada di tangan pemimpin. Kalau bawahan jalan sendiri-sendiri, bahkan malah bertabrakan, ini indikator bahwa kepemimpinannya nggak jalan. Kelima, bagaimana seorang pemimpin itu bisa ikut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Ada empati yang bisa dirasakan oleh mereka yang kehilangan keluarganya nggak? Ada emosi yang menyentuh perasaan para dokter yang koleganya berguguran nggak? Lima hal ini akan menjadi seleksi alam. Apakah para pemimpin itu eksepsional person, sungguh-sungguh seorang pemimpin, atau holder of eksepsional position, para pemimpin pajangan semata? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Presiden Disandra Korporasi Besar?
Kita banyak sekali berhutang budi pada hari-hari awal itu kepada keberanian dan inspirasi Winston Churcill. Yang tanpa rasa gentar menghadapi kesulitan dan kerugian, memberikan contoh yang menular kepada rekan-rekannya, yang tidak seperti dia banyak memikirkan, kalau memang memikirkan masalah perang (Maurice Hankee, Sekertaris Kabinet Churchill). By Margarito Kamis Jakarta FNN – Rabu (15/04). Presiden beberapa hari lalu, mengirim orang-orangnya. Yang dikirim menteri, untuk bersama-sama DPR membahas Rancangan-Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja. Kecuali Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra. Partai-partai yang lain terlihat lebih dari jelas, menari dalam gairah yang sama dengan Presiden. RUU ini, tidak jatuh dari langit. RUU ini datang dari Presiden. Sangat hebat RUU ini. Aransemennya asyik bangat. Itu mengakibatkan RUU ini menyuguhkan efek musikalitas reage yang mengasyikan. Yang memungkinkan DPR menari sepanjang waktu. Lirik dan nadanya (pasal-pasal) begitu tepat dilantunkan dalam suasana sekarang. Tidakkah sekarang sedang krisis corona yang memerlukan penanganan? Bisa apa rakyat terhadap korporasi? Mau apa bangsa besar ini terhadap politik? Kedaulatan rakyat? Pemilu telah megalihkan sebagian besar kekuasaan itu kepada Presiden dan DPR. Rakyat tak lagi mempunyai kekuasaan apapun setelah pemilu usai. Presiden dan DPR yang paling berkuasa. Mereka yang paling benar mendefenisikan hitam-putih bangsa ini. Politik tak selalu tahu tentang hal jorok, jijik dan sejenisnya. Tidak. Jorok, jijik dan sejenisnya itu, terlalu rumit untuk dibincangkan dalam politik. Itu hanya indah dan manis, semanis madu dalam filsafat. Politik harian hanya berputar di sekitar siapa dapat apa? Kini atau esok? Di sini atau di sana? Omnibus Law Dibahas Selalu begitu dalam politik liberal kapitalistik. Politik ini teranyam rumit dalam urusan siapa dapat apa? Bagaimana dan seterusnya? Agar semua yang diperoleh mengandung elemen legitim, maka harus diberi bentuk hukum. Diatur dalam produk bernama undang-undang (UU). Begitu politik bekerja melahirkan hukum-hukum baru, untuk kepentingan-kepentingan praktis, yang satu dan lainnya saling terkait. Postur kerja politik yang menghasilkan UU. Apapun sifat dan substansinya, kelak dikenal dengan politik hukum. Ilmu ini bukan hukum. Ilmu ini bekerja dengan lensa diskriptif. Dengan lensa ini, hukum tidak akan terlihat sebagai cara terbaik. Namun tercanggih menyembunyikan pernak-pernik kepentingan partisan. Lensa diskriptif dapat keluar dengan segala macam gambar. Itulah kehebatan lensa diskriptif ini. Begitulah bawaan alamiah politik dan hukum liberal kapitalistik. Kritikan beralasan berbagai kalangan atas pasal-pasal RUU paling binasa ini, namun akan dilihat hanya sebagai salah satu gambar. Gambar yang lainnya bisa lebih indah, sesuai ritme musikalitasnya. Politik tidak menyediakan politisi yang dapat dengan cepat mengenal kesahalan. Cukup hanya dengan politisi yang sedang-sedang saja. Yang sering terperangkap dalam banyak urusan, baik maupun buruk. Bagi politisi sedang-sedang saja, dunia terlalu luas untuk cepat mengenal kelemahan, apalagi kesalahan. Apa yang dilihat salah pada hari ini, kata mereka, bisa jadi akan menjadi hal benar pada saat lain. Politisi sedang-sedang saja selalu merupakan gudang terbesar dari sikap yang mencla-mencle. Tapi pesan saya jangan pernah bilang Pak Presiden, Pak Jokowi, dalam sejumlah aspek politik RUU ini sebagai yang mencla-mencle itu. Sejauh ini tidak terlihat pernyataan darinya yang satu dan lainnya saling menyangkal. Yang terlihat malah konsisten dan konsisten. Kalau tak salah, Pak Presiden bahkan menghendaki agar RUU ini bisa cepat selesai pembahasannya di DPR. Konsistensi Pak Presiden itu kini sedang bekerja. Saat ini, di tengah gempuran Corona, RUU yang dalam analisis berbagai kalangan lebih mewakili, bahkan menguntungkan korporasi itu, sedang dibahas. Boleh jadi pembahasannya akan sangat produktif. Bisa cepat selesai dalam wektu dekat. Bisa segera menjadi UU. Menjadi hukum positif yang berlaku bagi semua warga untuk patuh dan tunduk kepadanya. Bagaimana dengan Demokrat, Gerindra dan PKS yang pada hari-hari ini terlihat mengambil jalan berbeda? Yang terlihat jinak atas pembahasan RUU ini? Sejinak apapun sikap mereka saat ini, Demokrat, PKS dan Gerindra telah muncul menjadi bukan hanya penyeimbang. Namun hanya menyuguhkan “sisi manis” dalam kehidupan bernegara kita. Mereka, paling tidak telah “mengintrupsi” potensi besar DPR telah beralih fungsi menjadi, (meminjam diskripsi Kisman Latumakulita, jurnalis senior asal Ambon Manise itu) “Kantor Cabang Presiden”. Dalam perspektif saya, sikap tiga partai ini sama dengan “menginterupsi” menginjak pedal rem untuk memperlambat pontensi laju Presiden muncul menjadi “center of legislative policy”. Sikap ini bagus. Juga sehat. Soalnya, apakah tiga partai ini memiliki kemampuan untuk nyaman dengan sikapnya itu? Konsisten selalu menjadi perkara yang paling sulit diminta kepada partai politik. Itu persoalan paling besarnya. Tetapi harus diakui juga, dimana-mana politik selalu menyediaan kemungkinan untuk berpindah dari satu sikap ke sikap lain, yang bisa saja berbeda. Mungkin bisa konsisten pada satu hal. Namun bisa berubah sikap pada hal lain. Sikap seperti ini telah menjadi panorama kehidupan politik yang menarik dan wajar. Winston Churcill menunjukan dengan sangat jelas sebagai politisi yang paling cepat berubah di tengah konsistensinya. Churcill hanya konsisten pada tujuan. Bila terjadi perubahan fakta, dan perubahan itu teridentifikasi mengacaukan tujuannya, maka Churclill akan mengubah keputusannya. Berubah untuk mendekatkan dirinya pada tujuan awal. RUU Cipta Kerja, yang terlalu sulit dimengerti dengan akal sehat itu, sedari awal tidak dikreasikan sebagai bagian dari skenario penanganan corona. Benar-benar tidak. Skenarionya adalah “menggairahkan iklim investasi.” Ini skenario untuk keadaan yang normal. Investasi adalah pekerjaan para investor dan korporasi. Stimulus Terbesar Untuk Korporasi Impian itu terlihat tak mau dibiarkan jadi kenangan yang disesali, hanya karena corona menggempur Indonesia. Malah terlihat corona justru menjadi amunisi baru untuk mempercepat RUU ini. Hipotesisnya begini, ekonomi ambruk, dan harus diperbaiki. Dalam rangka memperbaikinya, diperlukan berbagai kebijakan. Kelak RUU yang cilaka ini bakal tersaji sebagai salah satu insentif terhebat. Terkesan sepertinya diperlukan mengobati dampak corona buruk itu. Kebijakan itu boleh sangat diperlukan krisis berakhir. Entah kapan? Seperti krisis hebat di Amerika tahun 1933. Saat ini pemerintah telah membuat Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Judulnya panjang sekali. Perpu ini menjadi fundasi terkuat atas kebijakan penambahan anggaran untuk stimulus sebesar Rp. 405,1 trilyun. Dari jumlah itu, sekitar Rp. 110 triliun dialokasikan untuk yang disebut Social Safety Net. Dalam sejarahnya kebijakan dengan nama yang sama, dipraktikan pertama kali di Amerika pada tahun 1933 oleh Franklin Delano Rosevelt. Presiden Rosevelt mengambi sikap ini diambil atas nasihat John Meynard Keynes. Sekitar Rp. 75 triliun lagi dialokasikan untuk belanja alat-alat kesehatan. Bagaimana dengan sisa yang Rp 220 triliun lagi itu? Kalau tak salah, dialokasikan untuk membiayai relaksasi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terus yang lain lagi? Digunakan sebagai untuk biaya berbagai bunga dari kredit berbagai entitas usaha. Termasuk UMKM? Siapa tukang kredit ini? Tepatkah kebijakan itu? Dalam sejarahnya, krisis akan semakin buruk bila tidak tepat menanganinya. Sejarah menunjukan dengan jelas bahwa krisis selalu menyediakan momentum percepatan melipagndakan kekayaan dari korporasi besar dalam sejumlah aspek. Berapa sih jumlah mereka korporasi besar itu dibadingkan yang UMKM? Pasti mereka korporasi besar hanya segelintir saja. Masih yang itu-itu juga. Penanganan krisis tahun 1998 dapat dijadikan sebagai ilustrasi kecil dan pembelajaran. Bahwa usai krisis itu, Indonesia menemukan kenyataan korporasi besar yang dinilai terpukul, sekaligus menjadi bagian dari sebab utama krisis 1998 itu, ternyata tetap saja besar. Semantara yang kecil tetap saja kecil. Cara penanganan ini, khas Amerika. Dipraktikan pertama kali pada krisis keuangan tahun 1907. Krisis ini mengonsolidasi korporasi besar di satu sisi, dan tetap besar. Sementara di sisi lain, yang kecil tetap saja kecil. Cara ini digunakan lagi, dengan sedikit modifikasi pada krisis tahun 1933. Kali ini master mind pemecahannya adalah John Meynard Keynes. Cara yang sama digunakan lagi di Indonesia pada krisis keuangan tahun 2008. Instrumen politik dan hukum bekerja dengan nada yang sama. Politik bekerja melipatgandakan propaganda efek negatif dari krisis, dan keperluan untuk memecahkannya. Supaya legitim dan aman dari segala bencana hukum kelak, maka dibuatlah berbagai UU. Pola ini telah mendunia di berbagai negara. Rantai pengikatnya adalah World Bank dan IMF. Itu sebabnya, sulit untuk tak menandai ilmu tata negara dan administrasi negara, yang diandalkan mengatasi krisis, sebagai fotocopyan ilmu tata negara dan administrasi negara Amerika. Ini ilmu tradisional. Paling tidak konvensional. Ini bukan ilmu canggih. Ilmu ini biasa-biasa saja. Skandal TKA China & Staf Khusus Terlepas dari itu semua, menarik melihat sikap diam Presiden atas sejumlah soal belakangan ini dalam penanganan efek ekonomi corona. Presiden diam terhadap masuknya tenaga kerja China yang heboh beberapa waktu lalu. Apakah tanpa tenaga kerja China ini, korporasi-korporasi yang sedang menambang di Weda Halmahera Tengah dan Obi, Halmahera Selatan di Maluku Utara bangkrut? Entahlah. Belangan muncul kebijkakan lain. Kebijakan realisasi kartu prakerja. Tetapi penerima harus mengikuti pelatihan online. Itu menarik. Sama menariknya dengan diskount Pertamina kepada Ojek Online. Kebijakan ini menarik pertanyaan kritis Pak Dipo Alam, Sekertaris Kabinet pada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, periode kedua. Mengapa ojek non online? Mengapa juga angkot-angkot, tak masuk skema itu? Begitu kurang lebih pertanyaan Pak Dipo Alam? Apakah ojek biasa dan angkot tidak terkena dampak buruk ekonomi corona? Apakah mereka sedang berkibar dengan keuntungan melimpah di tengah merebaknya virus corona? Apa hanya karena mereka tidak terikat dengan satu korporasi besar? Sehingga mereka tidak dilibatkan? Belum terlihat sikap Pak Presiden megenai soal itu. Pak Presiden juga tampak diam dalam kasus Surat Staf Khususnya yang ditujukan kepada para Camat di seluruh Indonesia. Dalam esensinya, surat itu meminta Camat menyertakan relawan-relawan sebuah perusahaan. Entah punya siapa perusahaan itu, diminta Staf Khusus Presiden untuk ikut dalam menangani corona. Akankah sikap Presiden itu, yang pada setiap aspeknya mengundang tanya. Mengeras menjadi sikap pemerintahannya dalam menangani keadaan ekonomi corona lebih lanjut? Krisis, kapan dan dimanapun selalu menyediakan momentum menginjeksi ide-ide segar. Beralasankah bangsa Indonesia menunggu kemungkinan muncul ide segar dari Presiden menangani krisis ini? Dikenang Sebagai Bapak UMKM Korporasi besarkah, yang sering ditandai membiayai sebagian operasinya, produksinya atau apapun namanya dengan hutang, kredit bank, yang akan muncul menjadi center of presidential mind and policy? Beranikah Presiden mengubah paradigma klasik itu, dan menggantikannya dengan, kalau bukan paradigma baru, ya setidaknya ide baru? Cukup bernyalikah Presiden menempatkan, menjadikan dan melambungkan UMKM sebagai master ekonomi baru menggantikan korporasi besar? Toh korporasi-korporasi besar itu, tidak sepenuhnya hebat karena kecanggihan inovasi semata. Mereka hebat dan besar, setelah berkah kebijakan-kebijakan pemerintah yang bekerja untuk mereka. Kebijakan melambungkan UMKM tidak dapat dinilai diskriminatif, dalam semua skala pemikiran konstitusi. Mengapa? Bukankah mengutamakan korporasi besar di satu sisi, dan membantu UMKM apa adanya atau sekadarnya saja di sisi lain, dalam sifat dan bentuknya adalah diskriminatif? Mengutamakan atau mengistimewakan korporasi besar, yang telah menjadi trade mark kebijakan pemerintah dimanapun, terutama Amerika, ternyata hanya mempertahankan, malah memperparah ketimpangan struktural usaha. Praktis kebijakan khas Wall Street itu tidak lebih dari metode “pendalaman ketimpangan” struktur usaha. Akankah Presiden bisa diharapkan memunculkan kebijakan berbeda dalam menangani kelompok-kelompok usaha terdampak corona ini? Akankah keberanian tertanam dalam benaknya, sehingga Presiden berpihak secara istimewa pada UMKM? Ini bukan soal pilihan paradigma. Ini soal keberanian yang dibalut kecerdasan berkadar tinggi. Sehingga akan dikenang sebagai “Bapak UMKM”? Hentikan proyek ibu kota baru, bisa menjadi awal yang menjanjikan. Sikap ini pasti dikeroyok oleh korporasi besar. Mereka tak tinggal diam menghadapi sikap itu. Tetapi sejarah akan lahir dengan catatan atas sikap itu selamanya sebagai sikap hebat, bermartabat dan berkelas, sehingga yang pantas dikenang sebagai kenangan terindah.* Penulis adalaha Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Dunia dalam Rekayasa Kehidupan
Oleh Tony Hasyim Jakarta, FNN - Sengaja judul tulisan ini saya sadur dari sebuah buku berjudul “Indonesia Dalam Rekayasa Kehidupan” tulisan Komisaris Jenderal Polisi Drs. Dharma Pongrekun , M.M., M.H., yang terbit pada Oktober tahun lalu. Setelah mengamati perkembangan wabah Covid-19 sebulan terakhir, apa yang digambarkan dalam buku tersebut ternyata persis dengan keadaan dunia termasuk Indonesia hari ini yang dipenuhi rasa ketakutan. Kemarin, seorang kawan di sebuah BUMN mengirim link berita online berjudul “Petinggi WHO: Virus Corona 10 Kali Lebih Berbahaya dari Flu Babi.” Lalu si kawan memberi komentar di bawahnya, “Orang ini diberi tugas nakut-nakutin seluruh manusia di dunia”. Lalu saya jawab, “Ini namanya fear engineering, bro !!!”. Berita tersebut berisi penyataan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom bahwa Covid-19 sepuluh kali lebih mematikan dibanding flu babi (H1N1) yang mewabah tahun 2009. Korban yang meninggal karena flu babi mencapai 18.500 orang, sedangkan virus Corona diperkirakan hampir 115.000 orang. "Langkah-langkah pengendalian harus mulai dilakukan dan dikontrol. Pada akhirnya, kita memerlukan vaksin yang aman dan efektif agar bisa menghentikan transmisi ini sepenuhnya," katanya. Siapa yang tidak takut membaca penyataan dari organisasi yang menangani kesehatan dunia tersebut? Saya juga merinding. Tapi setelah baca keterangannya di ujungnya bahwa dunia butuh “vaksin yang aman dan efektif” untuk mengatasi virus tersebut, saya langsung menebak, pernyataan dia pasti pesanan dari elite industri farmasi dunia. Lain ceritanya kalau dia menghimbau masyarakat dunia supaya berjemur matahari atau mengasup rempah-rempah atau obat-obatan alami yang banyak tumbuh di berbagai belahan bumi. Dia jelas-jelas menyebut vaksin. Artinya, wabah ini hanya bisa diatasi dengan obat yang dibuat oleh industrialis obat-obatan kimia. Padahal, sudah banyak ahli kesehatan independen menyatakan virus Corona ini tidak terlalu berbahaya seperti yang digambar-gemborkan WHO. Asal manusia punya imunitas tubuh uang kuat, mereka akan terproteksi dengan sendirinya. Tapi lewat pemberitaan dan informasi lewat internet (medsos dan sejenisnya) yang sudah mewabah sejak satu dekade terakhir imunitas manusia dilemahkan secara sistematis dengan propaganda-propaganda ketakutan melalui media massa dan media sosial. Anehnya WHO juga tidak menyebut fakta yang sebenarnya bahwa wabah penyebaran virus ini terjadi massive di negara-negara yang bersuhu dingin. Coba lihat peta negara-negara yang mengalami serangan terparah virus ini, Eropa, Asia belahan utara, Amerika belahan utara, semuanya berada berada di atas sub tropis yang suhunya sejak desember hingga sekarang masih dingin. Mereka itulah yang berada di ‘’Covid-19 Belt”. Indonesia harusnya relatif aman karena rata-rata temperature di atas 30 celsius. Sementara banyak ahli independen mengatakan virus tersebut akan mati dengan sendirinya pada suhu di atas 23 celsius. Bahwa argumen ini belakangan dibantah oleh WHO, seharusnya tugas pemerintah Indonesia mendiagnosis pola penyebaran virus ini secara mandiri dan mencari tahu cara penangkalnya. Virus ini kalau berdasarkan angka-angka yang tiap hari di rilis oleh pemerintah memang penyebarannya nampak cepat sekali di Indonesia. Tetapi apakah kita juga mau membantah virus ini dapat ditangkal dengan imunitas tubuh yang kuat? Benar sudah banyak korban yang berjatuhan di Indonesia, termasuk para dokter dan perawat yang menanganinya. Tapi apakah sudah ada hasil penelitian independen yang dilakukan pemerintah kita? Karena yang saya lihat mereka yang terpapar Covid-19 malah diisolasi diruang ber-AC. Bukankah tempat dingin seperti ini malah membuat virus tersebut berkembang biak dan menyerang siapa pun yang ada di dalamnya? Covid-19 menurut versi WHO mulai mewabah di negeri Tiongkok pada akhir 2019, kemudian menyebar ke seluruh dunia dan di Indonesia sendiri baru heboh sejak awal Maret ketika Presiden Jokowi sendiri mengumumkan adanya dua warga negara Indonesia yang sudah positif terpapar (Alhamdulillah ternyata kedua orang yang dimaksud bisa sembuh). Dua pekan sebelumnya Menteri Kesehatan Letjen TNI Terawan Agus Putranto sudah meminta rakyat Indonesia tidak panik menghadapi virus ini dan menghimbau agar rakyat Indonesia terus berdoa agar diberi perlindungan, sambil tetap bekerja secara normal. Terawan menggunakan istilah ora et labora (bekerja sambil berdoa). Tapi Terawan justru dibully oleh pengamat-pengamat yang kemudian di-follow oleh netizer. Pernyataan Terawan dianggap tidak sinkron dengan rilis WHO yang terus mendengungkan betapa bahayanya virus ini. Saya dengar Terawan diminta tidak bicara lagi ke publik soal virus ini. Sejak itu peran Kemenkes yang seharusnya menjadi leading sector dalam penanganan wabah penyakit diserahkan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bahkan dalam perkembangan terakhir “Kementerian Desa” diserahi tugas memberikan edukasi kepada warga pedesaan tentan tahapan, gejala, cara penularan dan pencegahan Covid-19 sesuai protokol kesehatan dan standar WHO. Catat, semua harus pakai standar WHO. Penggunaan ruang isolasi ber-AC dan perlengkapan pelindung diri para tenaga medis yang menurut saya sangat menyesakkan tubuh itu, sepertinya sesuai protokol WHO. Apa tidak ada metode lain? Padahal dua orang yang disebut sebagai korban pertama oleh Jokowi sudah membuat video viral bahwa mereka sudah sembuh dan berterimakasih kepada Jokowi karena dikirimi jamu temulawak. Artinya tim Indonesia sudah bisa dong menyembuhkan pasien Covid-19 secara mandiri jauh sebelum WHO mengintervensi melalui protokol-protokolnya. Serangan Virus dan Cengkraman Hutang “Fear Engineering” adalah dua kata yang dipakai Dharma dalam bukunya untuk memformulasikan metode yang dipakai sebuah “sistem global” untuk mengontrol seluruh umat manusia. Caranya manusia dibikin takut melalui terror attack, cyber attack, fear engineering (rekayasa ketakutan). Manusia yang mengalami ketakutan akan mencari pertolongan. Lalu datanglah dewa penolong, menawari bantuan, dalam bentuk apa saja, termasuk pinjaman uang, hibah dan sebagainya. Selanjutanya si manusia ini akan dikuasai seumur hidup oleh di dewa penolong tadi, sampai utang budinya lunas. Tidak usah jauh-jauh. Pemerintah Indonesia yang ketakutan “setengah mati” dalam menghadapi virus ini baru saja menerbitkan obligasi global atau surat utang global dengan nilai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,8 triliun. Surat utang ini merupakan surat utang denominasi dolar AS terbesar sepanjang sejarah yang diterbitkan pemerintah Indonesia. "Ini penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan US dolar bond oleh pemerintah Republik Indonesia," katanya Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam teleconference, Selasa (7/4/2020). Berdasarkan per Februari 2020, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai 4.817,5 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan surat utang global senilai 68,8 triliun rupiah baru-baru ini, maka total utang pemerintah Indonesia saat ini lebih kurang 4.886,3 triliun rupiah. Lalu saya bandingkan dengan total asset negara Indonesia yang diumumkan Kementerian Keuangan pada Desember 2019, yang hanya 6000 triliun. Selisih utang pemerintah dengan asset negara tinggal 1.114 triliun rupiah saja. Belum lagi bila dikurangi dengan total utang luar negeri sektor swasta yang jumlahnya lebih kurang sama dengan utang pemerintah. Dalam hati saya berpikir, kalau begini jadinya bagaimana kita bisa merdeka dari cengkraman pengutang. Siapa itu? Rezim Global!!! Siapa itu rezim global? Jawabanya ada di buku Dharma yang saat membacanya membuat saya mulai paham semua permainan misterius yang terjadi selama ini. Menurut Dharma, rezim global adalah mereka yang menggerakan globalisasi menuju satu tatanan baru dunia. Globalisasi, katanya, bukan fenomema dunia yang bebas nilai, melainkan sebuah program yang dijalankan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Laju globalisasi menjadi sangat dahsyat setelah teknologi informasi dan komunikasi dipertemukan oleh internet tahun 1991, maka sejak itu lahirlah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sarana pendukung globalisasi untuk menguasai dunia. TIK tak lain adalah mesin Artificial Intelligence (AI) yang diprogram untuk berpikir dan bertingkah layak manusia. Tapi dibalik itu tujuannya adalah untuk mengendalikan mindset (pola pikir) manusia maupun memata-matai aktivitas hidup manusia sehari-hari. Apa yang kita googling, kita baca dan kita tulis di smartphone (perangkat TIK sudah dipakai oleh lebih kurang 60% pupulasi dunia) dipantau dan dianaliasi oleh elite global yang disebut “shadow”. Mereka ini sesungguhnya sudah me-melockdown populasi dunia agar tidak keluar dari aturan main mereka. Globalisasi menurut Dharma adalah sebuah sistem yang ingin mengusasi dunia dengan tiga program, yaitu Money, Power, dan Control Population (MPC). Sekarang Money dan Power sudah dikuasai oleh sistem globalisasi, melalui lembaga bernama IMF, World Bank dan kaki tangan mereka di semua pemerintahan di dunia. Tinggal program control population yang belum tuntas, tapi sekarang semakin mendekat paripurna dengan terus di dorongnya penggunaan TIK. Sekarang, jangkauan internet melewati satelit dan fiber optic bawah laut sudah menyebar ke 95% permukaan bumi. Maka tidak mengherankan ketakutan akan Covid-19 ini sudah menyebar di semua negara, kecuali negara yang memproteksi warganya dari “wabah internet”. Korea Utara, misalnya, kemarin mereka menyatakan negerinya adalah “Covid-19 Free”. Hari ini, setiap 15 April, rakyat Korea Utara dilaporkan melakukan perayaan besar-besaran dan menjadi hari libur nasional apa yang mereka namakan The Day of The Sun (Hari Matahari), yaitu hari kelahiran pendiri negara mereka Kim Il-sung. Rakyat di negeri tersebut memang tidak takut dengan Covid-19 karena internet memang disensor total bagi mereka. Kita belum tahu apa sebenarnya yang terjadi di Korea Utara. Yang jelas mereka tidak meminta pertolongan apa pun dan dari siapa pun di tengah ketakutan dunia akan virus ini. Manusia Digiring Menjadi ATHEIS Kembali ke buku Dharma, melalui sarana TIK itulah, sistem globalisasi melakukan rekayasa-rekayasa kehidupan (Life Engineering) untuk merubah pola kehidupan manusia. Rekayasa-rekaysasa tersebut berupa propaganda-propaganda melalui TIK yang menyebarkan rasa ketakutan kepada manusia. Manusia yang dipenuhi rasa takut - takut miskin, takut susah, takut tidak eksis - akan mencari perlindungan kepada manusia. Begitu juga negara yang diliputi rasa ketakutan karena terus mengalamiu krisis di dalam negerinya akan mencari perlindungan kepada IMF atau World Bank, dua lembaga motor penggerak globalisasi. Pada bagian ini, saya langsung membayangkan WHO, sebuah cabang United Nation (PBB) yang sekarang menakut-nakuti dunia dengan virus yang mereka namai Covid-19. Tiap hari WHO merilis angka-angka korban Covid-19 di seluruh dunia. Per hari ini WHO mengumumkan sudah 1,8 juta orang terpapar, dengan tingkat kematian mencapai 113 ribu orang dan penyebaran virus ini sudah mencapai 213 negara (termasuk wilayah dan teritorial). Padahal seingat saya tahun 2019 jumlah negara, area dan territorials yang terdaftar di PBB baru 196. Mengapa WHO sekarang menyebut jumlah 213. Nanti saya akan menelusurinya. Tapi yang pasti WHO cuma mau ngomong virus ini gawat sekali. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang aman penyakit mematikan ini. Itulah tujuannya. Menakuti-nakuti manusia. Tapi ujungnya, nanti belilah antivaksin yang kami rekomensasikan. Kita lihat Indonesia pasti ikut membeli. Duitnya dari mana? Ya dari penerbitan surat utang itu tadi. Pada bagian akhir bukunya Dharma menyimpulkan globalisasi hanyalah sebuah sebuah sistem dari supra sistem yang merekayasa kehidupan manusia agar menjauh dari rasa keimanan kepada Kemahakuasaan Tuhan. Supra sistem ini mendoronhg manusia menjadi ATHEIS. Proses ini sudah terjadi sejak Allah menciptakan dunia, persisnya sejak Iblis berhasil menggoga Hawa untuk membujuk Adam memetik buah terlarang di Surga. Proses penyesatan tersebut terjadi sampai sekarang. Dharma mengingatkan kepada kita, bahwa iblis adalah oknum yang nyata dan terus mempengaruhi manusia agar menjauh dari Tuhan dan akhirnya manusia menemani iblis di neraka. Buku ini sangat menarik dibaca. Saya sendiri membaca lagi kemarin, sambil terkejut-kejut, karena apa yang dipaparkan Dharma cocok sekali dengan keadaan dunia dan Indonesia sekarang. Banyak manusia sekarang terlihat seolah-olah ber-Tuhan tapi perilakunya sehari-hari dikuasasi oleh hawa nafsu duniawi, yaitu kemewahan, kekerasan dan pornografi (semuanya bisa kita lihat di internet). Banyak orang mengaku bertuhan, tapi begitu WHO mengumumkan virus covid-19 ini sangat mematikan, semuanya ketakutan. Kemarin kemarin mereka bilang hidup dan mati ada di tangan Tuhan, tapi sekarang tiarap di mana mereka? Bahkan rumah ibadah pun ditutup agar tidak menjadi tempat penyebaran virus. Saya sendiri sudah empat kali tidak sholat Jumat akibat masjid-masjid tidak menyelenggarakan sholat jumat. Padahal menurut keyakinan agama saya, seorang pria cukup umur yang tidak sholat tiga kali berturut-turut dihitung sebagai munafik atau kafir. Mau pakai dalil pengecualian apa pun tapi itulah keyakinan yang ditanamkan oleh orang orang tua saya. Seorang pria muslim harus disiplin menegakan sholat berjamaah. Toh selama ini jika hujan badai, kita bela-belain sholat jumat. Dalam keadaan perang sehebat apapun kaum muslimin tetap menyelenggarakan sholat Jumat. Sekarang sholat Jumat dilarang oleh MUI dan Pemerintah karena dikhawatikan menjadi tempat penularan virus. Rumah ibadah yang suci malah ditakuti. Saudara-saudara saya sebangsa pemeluk Kristen juga dilarang Kebaktian Minggu. Belum pernah rasanya umat manusia didunia didikte oleh ketakutan sehebat ini. Padahal, secara hakiki tidak mungkin manusia memiliki rasa keberanian dan ketakutan pada saat yang bersamaan ketika ia memiliki Tuhan yang ia yakini akan membawa keselamatan bagi kehidupannya di dunia dan akhirat. Sekarang saya dipaksa menjadi penakut karena virus yang tidak terlihat. Lalu di mana Tuhan saya yang juga tidak terlihat? Itulah dilema yang berkecamuk di benak saya. Buku tulisan Dharma tersebut ini bisa dijadikan pisau analisa yang sangat tajam bagi kita terutama bangsa Indonesia yang selama ini dirundung oleh krisis demi krisis. Kemarin kita dihajar krisis ekonomi, kemudian muncul krisis teroris, lalu muncul krisis politik, sekarang muncul krisis virus. Pemerintahnya ketakutan, cari pinjaman uang untuk merasa “safe”. Tapi akhirnya negara kita semakin dijerat oleh hutang. Begitulah keadaan negari kita yang sekarang sudah terjebak lingkaran setan. Namanya lingkaran setan, yang harus dipatahkan lingkarannya, supaya kehidupan anak cucu kita tidak terus menerus terjebak dalam ketakutan yang membawa kita pada kebinasaan. Dharma dalam buku itu memberi solusi, dengan mengajak seluruh masyarakat Indonesia kembali untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai Pancasila. Secara khusus Dharma mengajak kita semua “mendeklarasikan” diri kita sebagai manusia Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan begitu secara otomatis, lingkaran setan (baca, lingkaran ketakutan) tersebut akan terputus, sehingga kita kembali menjadi manusia yang Pancasilais yag dapat mewujudkan cita-cita proklamasi 1945 secara BERDIKARI seperti yang selalu didengungkan BUNG KARNO. Banyak pemikiran Dharma dalam buku ini yang melawan wacana atau opini mainstream tentang globalisasi. Apa yang direnungkan Dharma melalui buku itu sebenarnya banyak dipikirkan oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Mengapa negeri kita yang besar, indah dan kaya raya keadaannya jadi begini. Kita terus berhutang dan dikontrol sebuah rezim global berwujud bayangan. [TH] Penulis Pemimpin Redaksi FNN
Pandemi Korona dan Ancaman Pengangguran
By MH. Said Abdullah Jakarta FNN – Selasa (14/04). Awal Maret 2020 lalu, untuk pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien covid 19 di Indonesia. Secara perlahan, grafik penderita covid 19 beranjak naik. Kini telah lebih sebulan, sudah mencapai 4.500 orang lebih penderita covid 19 di seluruh Indonesia. Kita tidak mengetahui akan sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Pada skala global, angkanya menunjukkan tren kenaikan dengan cepat. Indonesia, oleh banyak ahli juga diyakini belum mencapai puncak grafik tertinggi jumlah penderita covid 19. Ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi korona ini berkonsekuensi terhadap banyak hal pada kehidupan sosial ekonomi kita. Satu dari sekian deret masalah yang terprediksikan bakal menjadi urusan kita, terutama pemerintah adalah bertambahnya pengangguran dan kemiskinan. Itu pasti terjadi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik secara jumlah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 7 juta orang. Namun turun secara persentase dari sebesar 5,34%. Besar kemungkinan pada 2020 jumlah pengangguran naik akibat slowing downnya ekonomi kita. Data Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang telah dirilis per 7 April 2020 menunjukkan, sektor formal dari 74.430 perusahaan dengan total pekerja 1.200.031 telah terdampak pandemi ini. Rianciannya, sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan pekerja formal dirumahkan. Selian itu, sebanyak 137.489 buruh dari 22.753 perusahaan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara di sektor informal, sebanyak 189.452 pekerja dari 34.453 perusahaan terkena dampak corona. Artinya, sebanyak 263.882 usaha telah terdampak pandemi korona. Dari data BPS, piramida usaha tahun 2019 menunjukkan, kelompok usaha besar sebanyak 5.460 unit. Sedangkan kelompok usaha menengah 58.627 unit. Kelompok usaha kecil 757.090 unit, dan kelompok usaha mikro sebanyak 62,1 juta unit. Dengan demikian, jumlah total usaha di Indonesia sebanyak 62,92 juta unit usaha. Jika mengacu data Kemenaker per 7 April 2020 di atas, maka diperkirakan sebanyak 0,4% unit usaha dengan berbagai skala telah terkena dampak dari pandemi korona. Perhitungan ini kemungkinan besar tak merangkum sektor sektor informal yang skala rumahan sebagai unit usaha. Selain itu, jasa mikro yang tidak terdata di kementrian maupun pemerintah daerah, seperti pedagang keliling dan tukang ojek. Juga buruh srabutan seiring dengan makin banyaknya daerah yang ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan program social distancing di seluruh Indonesia. Jika secara eksponensial penderita covid 19 terus bertambah. Grafiknya juga tidak menujukkan turun secara konstan, maka implikasi terhadap kelompok usaha dengan berbagai skala juga akan makin banyak terkena dampaknya. Mulai merumahkan karyawan hingga PHK. Dua-duanya secara ekonomi makin costly. Apalagi secara kemanusiaan. Membendung Pengangguran Di luar program penanganan langsung penderita covid 19, pemerintah telah menggulirkan berbagai program jaring pengaman social. Misalnya, stimulus ekonomi sebagai upaya maksimal untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi pandemi covid 19. Setidaknya ada tujuh program yang digulirkan pemerintah untuk menambal dampak sosial akibat covid 19. Tujuh program pemerintajh itu diantaranya, Program Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Subsidi Listrik Untuk Golongan Tertentu, dan Bantuan Sosial Khusus Wilayah Jabodetabek. Anggaran yang dialokasi pada APBN 2020 terhadap ketujuh program tersebut sebesar Rp. 110 triliun. Untuk kebijakan stimulus ekonomi, pemerintah telah menggulirkan bauran kebijakan fiskal, dan moneter. Mulai dari penurunan suku bunga BI Rate, menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dan valuta asing di bank umum. Selain itu, memperluas underlying transaksi bagi investor asing untuk lindung nilai bagi kepemilikan rupiah mereka. Pada sisi fiskal, pemerintah telah memberikan pembebasan pajak restoran dan hotel di 10 destinasi wisata andalan. Pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja. penundaan PPh pasal 22 untuk impor, pengurangan PPh pasal 25 untuk badan menjadi 22% pada tahun 2020 dan 2021 dan 20% pada tahun 2022. Juga restitusi PPN selama 6 bulan, dan stimulus kredit untuk plafon maksimal Rp. 10 miliar. Untuk menjalankan kebijakan dan program stimulus ekonomi di atas, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp. 70,1 triliun untuk kredit usaha rakyat, dan 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Apakah program ini akan efektif membendung pengangguran dan memulihkan ekonomi nasional? Saya berkeyakinan program ini akan menjadi obat bagi masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat pandemi korona. Namun ada syarat untuk menjadikan program ini efektif. Pertama, dilandaskan pada data sosial yang akurat, tata kelola yang baik, dan monev yang memadai. Kedua, program ini ada daluarsanya. Estimasi saya, program ini akan efektif maksimal hanya 6 bulan. Itupun dengan asumsi grafik penderita covid 19 tidak makin menjulang tinggi. Bila syarat-syarat di atas obyektifnya tidak terpenuhi, maka program sosial dan stimulus ekonomi menjadi tidak optimal. Sebab itu, tiap bulan pemerintah harus memiliki hasil monitoring dan evaluasi (monev) atas pelaksanaan program program tersebut. Kita tidak sedang berfikir rutinitas. Dibutuhkan ekstra effort untuk menjalankan program tersebut. Oleh sebab itu, semua pihak yang gterlibat jangan main-main. Kita tidak punya banyak “amunuisi” anggaran. Apalagi bantalannya hanya bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN). Saya berharap, setidaknya awal Mei 2020 kita sudah memiliki hasil monev atas pelaksanaan program jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi. Bila kenyataanya tidak menjawab atas postur masalah yang ada, maka martabat pemerintah tidak akan turun. Malah akan dapat apresiasi publik bila bertindak cepat merevisi kebijakan tersebut. Saya yakinkan, Badan Anggaran DPR sepenuhnya akan memberi dukungan dalam upaya pemerintah memberikan yang terbaik untuk rakyat. Terakhir, bila memang pandemi ini berskala waktu lama. Artinya, kita semua, terutama pemerintah harus siap “main panjang”. Karenanya, pemerintah harus punya worst scenario soal ini dengan mempertimbangkan jumlah penderita covid 19 per periode waktu tertentu, dan strategi yang akurat untuk mengatasi dampak sosial-ekonominya. Jika menilik kebijakan ekonomi terutama pajak, dan postur APBN, sebenarnya pemerintah sudah mengarah pada pelambatan ekonomi hingga 2022. Tetapi saya tidak melihat desain program jaring pengaman sosialnya siap “main panjang”. Setidaknya jika dihadapkan potensi eskalasi kasusnya. Karenanya, libatkan banyak pihak yang kompeten untuk mendesain program program tersebut. Kita butuh strategi kreatif, partisipatif, breakthrough yang cepat serta antisipatif. Sebab bila kasus ini makin eskalatif, saya yakinkan, pemerintah sendirian saja tidak akan sanggup. Kita butuh melewati fase ini dengan kebersamaan yang total. Saling mempercayai dan gotong royong. Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI