NASIONAL
Rilis Pernyataan Sikap, Ikatan Alumni BEM PT Muhammadiyah Se-Indonesia Menolak Darurat Sipil
Oleh Ahmad Lohy Jakarta, FNN – Rencana pemerintah menetapkan status darurat sipil sebagai upaya penanggulangan Wabah Covid-19, muncul reaksi dari beberapa kalangan, diantaranya dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi (PT) Muhammadiyah Se-Indonesia. Presiden mengumumkan untuk manjalankan UU/Perppu No. 23 Tahun 1959 Tentang Darurat Sipil melalui bebarapa tahapan itu dinilai kurang tepat. Sehingga perlu dikoreksi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Demikian bunyi rilis lengkap pernyataan sikap : Pernyataan Sikap Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia Menyikapi situasi sosial, politik dan ekonomi nasional saat ini, ditengah ancaman Pandemi Covid-19 dengan ini kami dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia : Menolak Pemberlakuan Darurat Sipil yang berdasar kepada Perpu No 23 Tahun 1959 dan mendukung Pemberlakuan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, guna memastikan pemenuhan hak-hak warganegara ditengah situasi Pandemi. Berdasarkan poin pertama, kami menuntut Pemerintah pusat untuk segera menganulir rencana penetapan Darurat Sipil sebagai solusi menghadapi Pandemi Covid-19. Menuntut Presiden Joko Widodo untuk tampil terdepan memberikan informasi-informasi yang menenangkan situasi sebagai bentuk Public Address ditengah ketidakpastian informasi saat ini. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera moncopot Menteri Kesehatan akibat kelalaiannya dalam menilai situasi Pandemi yang berdampak pada kondisi saat ini. Mendesak Pemerintah untuk segera memastikan ketersediaan APD untuk Pekerja Medis di Seluruh Indonesia. Demikian pernyataan ini kami sampaikan mohon ditindaklanjuti Terima Kasih Ikatan Alumi BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia. Jakarta, 03 April 2020 Ttd. Muhammad Wildan (Mantan Wakil Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Jakarta. Rofsanjani Ali. (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia periode 2011/2012). Izra Jinga Saeni,.SH,MH (Mantan Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Kendari) Danang Prasetya (Presiden Mahasiswa Univ. Muh. Surakarta periode 2010/2011) Iskandar La Ngali (Wapres BEM UM.Mataram 2009-2010) Selpi Setiadi ( Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sukabumi 2010-2012) Andri Susanto Bethan (Mantan Presdium Nasional BEM PTM Se-Indonesia Zona 2 Kalimantan, BEM Universitas Muhammadiyah Kaltim) Riza Aulia (Mantan Presma BEM Univ. Muhammadiyah Banda Aceh) Alfajri A. Rahman (Mantan BEM Univ. Muhammadiyah Maluku Utara). Abdul Jabbar Al Bugizy (Mantan Presidium Nasional BEM PTM Zona 7 Wilayah Indonesia Timur, UMS Rappang). M Fadly Sangadji (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM Se-Indonesia/UMJ periode 2010/2011) Ibnu Misbakhul Hayat (Mantan Presma ITB Ahmad Dahlan Jakarta) Zul Agung Sulaiman (Mantan Menlu BEM UMT Periode 2014-2015) Rubianto (Mantan Presma UMY periode 2009 - 2011) Firdaus Abdullah (Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia zona 5 / Presiden Mahasiswa Unmuh Malang 2012-2013)
Skenario Makro Ekonomi Indonesia Setelah Keluar Perpu
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (02/04). Ada yang unik dan terbilang langka dari paparan lengkap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid 19. Paparan yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam konferensi persnya tanggal 1 April 2020. Garis besar kebijakan itu sendiri sebelumnya sudah disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Yang unik dan langka itu adalah keterbukaan pemerintah dalam memaparkan resiko makro ekonomi yang mungkin akan kita alami. Dalam model persandingan skenario, pemerintah memaparkan tiga skenario berbeda. Yaitu, skenario normal yang sama dengan asumsi yang dianut didalam APBN 2020. Skenario Berat. Terakhir, skenario sangat berat. Saya ingin mengapresiasi keterbukaan ini. Setidaknya keterbukaan itu membantu kita membaca alam pikiran pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Sekaligus juga membuka jendela prediktif bagi pelaku ekonomi dan para ekonom dalam melihat arah perkembangan ekonomi Indonesia. Skenario “normal” tentu sudah tidak relevan lagi. Sisa skenario “ Berat dan Sangat Berat “. Pada dua skenario ini, kunci yang membedakan secara signifikan itu adalah ekonomi rumah tangga (household economy) dan ekonomi pemerintah. Dalam istilah komponen pembentuk PDB, kedua skenario itu bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Tapi signifikansinya lebih berat ke arah konsumsi pemerintah. Murni keynesian. Yang bermakna, inti dari pergeseran skenario ekonomi itu adalah pada kapasitas dan kapabilitas intervensi pemerintah. Dalam skenario “Normal”, pemerintah fungsinya sebagai pendorong, alias Tut Wuri Handayani. Dalam skenario “Berat dan Sangat Berat” pemerintah adalah lokomotif utama, alias Ing Ngarso Sung Tulodo. Lantas dimana fungsi sektor swasta? . Skenario ini menunjukkan ketidak berdayaan sektor swasta dalam menghadapi situasi krisis ini. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto ( PMTB ) yang mengindikasikan dinamika sektor swasta dalam dua skenario tersebut mengalami pemerosotan tajam. Proyeksinya, dari 6,0% dalam situasi “ Normal”, merosot jatuh hingga 1,12% dalam situasi “ Berat” dan menjadai -4,22% dalam situasi “Sangat Berat”. Centang perenang. Terpapar signifikan sebagi korban utama dalam krisis ini secara ekonomi. Demikian juga dengan ekonomi rumah tangga. Dalam dua skenario tersebut, kurvanya memang tidak securam PMTB, tetapi penurunannya pun juga sangat drastis. Dari 5,0% kontribusi terhadap PDB menjadi masing-masing 3,22% dan 1,60%. Keadaan ini bukan lagi menggambarkan keadaan kontraksi. Tapi keadaan ekonomi yang mengalami krisis. Di dalam skenario ekonomi makro, “kekacauan” itu tercermin pada proyeksi pertumbuhan PDB yang bergerak pada 2,3 % pada skenario “Berat” dan -0’4% pada skenario “ Sangat Berat”. Perekonomian Nasional akan kehilangan lebih dari separuh kapasitas normalnya, atau malah kehilangan keseluruhan kapasitasnya. Demikian juga pada pergerakan nilai tukar yang cepat dan drastis. Setting kesadaran skenik pemerintah ini, sangat signifikan dalam menakar kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam membuat dan menjalankan kebijakannya. Pada skenario “Berat”. Terdapat keyakinan bahwa sumber kapasitas pemerintah masih bisa diandalkan. Pada skenario “ Normal”, konsumsi pemerintah dipatok diangka 4,3%. Pada skenario “ Berat”, angka itu bergerak ke atas, 6,83%. Ada upaya yang “extraordinary” dari pemerintah dalam bentuk tambahan 2,5% konsumsinya. Atau dengan kata lain, untuk tahun 2020 ini saja, pemerintah harus mengupayakan produktifitas kapasitasnya tidak kurang dari 130% kapasitas normalnya. Mungkinkah itu? Kuncinya ada pada efisiensi dan pembiayaan. Konsistensi dalam menerapkan prinsip efisiensi sepanjang proses ini tak bisa ditawar-tawar. Ekspansi fiskal diarahkan pada program yang betul- betul bisa menahan laju pemerosotan ekonomi. Sekaligus juga memberi ruang bagi pemulihan ekonomi. Demikian pula dengan pembiayaan. Saya sendiri was-was pada isu “keberadaan” sumber. Pasar hutang dunia sungguh akan sesak. Saat ini saja, sudah ada tidak kurang dari U$ 7 Trilliun yang masuk ke dalam pasar dari berbagai upaya “counter measure“ banyak negara dalam menghadapi krisis ini. Yang potensial dan relatif murah itu adalah kapasitas Bank Indonesia. Tanpa mengabaikan potensi lain di dalam negeri. BI adalah “game changer” dalam urusan ini. Senjata kewenangan yang diberikan oleh Perpu yang baru saja dikeluarkan pemerintah memberi ruang “open ended policy” bagi BI. Catatannya, BI mesti kalkulatif sekaligus juga “ ikhlas” dalam menggunakan cadangan devisanya. Asal tidak mengulangi kekeliruan di era BLBI. IMF memang memiliki standar dalam menilai kekuatan ekonomi suatu negara dari segi cadangan devisanya. Cadangan yang ada sekarang. Setahu saya masih 20% diatas batas yang dianggap aman oleh IMF. Tetapi batasan ini tidak relevan dalam soal ini. Kita sesungguhnya sudah ditubir krisis ekonomi. Sampailah kita pada skenario “ Sangat Berat”. Menjadi sangat berat karena pemerintah juga tergerus kapasitasnya. Pemerintah hanya sanggup menyediakan 3,73% konsumsinya. Hanya 87% dari kapasitas normalnya. Demikian juga nilai tukar yang menyentuh Rp 20.000/ USD. Kapan itu terjadi? Jika krisis pandemi covid 19 berlarut-larut tanpa kepastian hingga bulan September tahun ini ( catatan : NHS/ Kementerian Kesehatan Inggris mendeklarasikan kemungkinan seperti ini), dan pemerintah kewalahan dalam menyediakan Sumber Pembiayaan Mengembalikan kehidupan menjadi normal dengan dampak covid 19 yang sudah bisa terkontrol, dan menjaga sisi pembiayaan negara (karena otoritas fiskal, moneter dan jasa keuangan semua ada di dalamnya) adalah tameng yang membatasi perpindahan skenario-skenario itu. Pada tahap awal, kebijakan Rp 405,1 triliun dan Perpu yang melandasi serangkaian langkah yang diambil dan akan diambil pemerintah merupakan “ bantalan” yang melegakan. Paket ini cukup memberikan ruang bernafas bagi perekonomian rakyat dan UMKM. Sektor riil, khususnya UMKM harus menjadi “champion” dalam paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan, maupun yang akan diluncurkan. Paket ini dianggap bisa membuat perekonomian mendarat darurat (crash landing ) tapi selamat. Konsumsi rumah tangga dijaga hingga pada batas minimal. Model transfer payment seperti ini memang jadi tren global. Tujuannya, mempertahankan momentum konsumsi Rumah Tangga. Sebagai suatu langkah kebijakan darurat, efeknya tentu terbatas pada penyediaan “bantalan” perekonomian. Kita masih menanti paket lanjutan pemerintah. Tentunya pada pembahasan RAPBN 2021 pada bulan Agustus nanti. Yang tahapnya akan dimulai pada pembicaraan pendahuluan dibulan Mei atau Juni nanti. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Semoga Allah SWT membimbing kita semua keluar dari krisis ini. Amin. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Jangan Paranoid, Hanya Testing The Water
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (02/04). Darurat Sipil. Ini "testing the water". Tes gelombang. Lempar, dan menunggu reaksi publik. Riak kecil, lanjut. Ada gelombang besar, batalkan. Ini teori umum. Sering dilakukan banyak orang, terutama di arena politik. Hanya saja, untuk era pemerintahan sekarang, "testing the water" sepertinya sudah jadi pola. Terlalu sering, sehingga mudah dibaca. Sebelumnya, pemerintah pernah melempar gagasan RUU KPK. Riaknya kecil. Protes hanya di kalangan mahasiswa. Maka, jalan terus. UU KPK pun disahkan. Apalagi dapat full dukungan dari DPR. Hal yang sama terjadi ketika pemerintah memunculkan nama Ahok untuk jabatan Komisaris Utama (Komut) PT. Pertamina. Riaknya kecil, lanjut. Dicoba lagi wacanakan ibukota baru dan Ahok yang menjadi Kepala Otorita-nya. Khusus untuk soal terakhir ini, pemerintah masih dalam proses membaca riak atau gelombang yang akan dihadapi. Begitu juga dengan RUU Omnibus Law. Kali ini yang dihadapi adalah kaum buruh. Sejauhmana kekuatan buruh melakukan konsolidasi. Ini akan menjadi kalkulasi maju-mundurnya pemerintah terkait RUU Omnibus Law tersebut. Jadi, wacana darurat sipil sebagai upaya menghadapi covid-19 nampaknya juga menggunakan pola "testing the water". Lempar dulu ke publik. Ternyata, reaksi rakyat sangat besar. Hampir semua elemen bangsa menolak. Gelombangnya terlalu dahsyat. Gak mungkin dilawan. Maka, pemerintah pun menarik kembali gagasan itu. Meski "dibatalkan", gagasan darurat sipil masih menyisakan pertanyaan di benak rakyat. Apa yang memicu gagasan ini muncul? Mungkin pemerintah terlalu paranoid. Mirip seperti anda juga. Paranoid. Banyak orang saat ini jadi paranoid ketika hadapi covid-19. Imbauan social and physical distancing, membuat banyak orang saling curiga. Jangan-jangan ODP. Atau malah positif corona. Sedang duduk di kursi, berpikir kursi diduduki corona. Pegang plastik, berpikir corona ada di plastik. Makan di warung, takut corona ikut makan. Begitulah situasi sekarang. Serba paranoid! Pemerintah nampaknya mengalami hal yang sama. Kali ini bukan karena covid-19, tetapi karena takut jatuh. Apalagi jika dengar Syahganda Nainggolan bicara. “Pemerintah akan jatuh sendiri. Bukan dijatuhkan. Hanya menunggu waktu”. Ngeri kali bicaranya bang. Emang ada pemerintahan yang jatuh tanpa dijatuhkan? Saya kasih tahu, pemerintah sekarang dalam posisi masih sangat kuat. Gak ada pihak yang punya nyali, keberanian, apalagi kemampuan untuk menjatuhkan pemerintah. Dukungan masih solid. TNI, Polri, parlemen dan buzzer masih terlihat kompak. Aman-aman saja. Gak perlu takut pemerintah. Kecuali dua hal terjadi. Pertama, jika ekonomi ambruk. Covid-19 berlanjut sampai kuartal III dan IV. Ini juga akan tergantung kepada ketahanan ekonomi kita. Kalau bener-bener ambruk, siapapun presidennya akan berat untuk bertahan. Tidak hanya di Indonesia, tapi di semua negara. Kedua, PDIP menarik diri dari koalisi. Mungkinkah itu terjadi? Dalam politik, tak ada yang mustahil. Apalagi hubungan Jokowi-Mega terus berjarak. Bahkan makin renggang. Kalau dua hal ini tak terjadi, maka pemerintah masih aman. Soal ekonomi, Indonesia masih cukup kuat untuk bertahan. Diantara negara G20 yang dihajar covid-19, Indonesia termasuk salah satu negara yang secara ekonomi masih cukup mampu bertahan. Pertumbuhan ekonomi masih ada, meski 1 persen. Selain China 1 persen, dan India 2,1 persen. Jadi, jangan bersikap berlebihan. Darurat sipil itu berlebihan. Terlalu politis. Akhirnya, paranoid sendiri. Cadangan fiskal masih aman untuk tahun ini. Itu katanya. Ah, sok tahu soal ekonomi. Lagi belajar. Jadi, 405,1 triliun yang disiapkan pemerintah pusat untuk hadapi covid-19 dengan semua dampak sosial-ekonominya menjadi bukti Indonesia punya uang. Dari mana? Entar pemerintah yang jelasin. Kita berharap, 405,1 triliun itu bener adanya, dan bener pula diimplementasi. Jangan sampai ada korupsi di tengah pandemic virus corona. So, jangan semuanya dilihat dari perspektif politik. Ini yang membuat semua langkah pemerintah terkesan jadi sangat politis. Darurat sipil itu politis. Akibatnya, pemerintah kehilangan arah. Gak fokus. Penuh curiga. Terlihat bimbang, yang membuat kinerja nggak terukur. Gamang ketika mau ambil keputusan. Terkesan lelet dan lambat. Habis energi. Menguras biaya yang hanya dinikmati para buzzer. Nah, kalau anda bertanya kenapa pemerintah "seperti" punya kekhawatiran dijatuhkan? Pertama, mungkin dibayang-bayangi oleh persoalan politik masa lalu yang sepenuhnya belum tuntas. Pemerintah belum berhasil mengajak rakyat untuk move on. Ini menyangkut soal kinerja dan komunikasi politik pemerintah yang belum mampu merubah persepsi politik dan sikap rakyat. Kedua, akibat gagalnya pemerintah ajak rakyat untuk move on, gelombang oposisi rakyat masih sangat terasa dan terus bergema. Dinamika di medsos dan hasil sejumlah survei memotret ini semua. Ketiga, diduga ada sejumlah oknum di lingkaran dalam dan luar istana yang secara konsisten melakukan provokasi dan menakut-nakuti pemerintah. Mereka membuat pemerintah seolah-olah terancam. Dari sini, wacana darurat sipil muncul. Dengan darurat sipil, para oknum ini berharap akan dapat peran dan bisa eksis kembali. Bersyukur, pemerintah gak jadi memutuskan darurat sipil. Ini keputusan yang tepat dan logis. Semoga gak lagi paranoid. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Memanusiakan Rakyat, Pilihan Jalan Kosntitusional Anies
By Dr. Ahmad Yani, MH Jakarta FNN – Kamis 902/04). Pandemi corona atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19. Virus ini bermula dari Kota Wuhan, China, kini menjadi wabah yang menakutkan bagi masyarakat dunia. Tidak saja negara maju, negara berkembang, maupun negara terbelakang juga berupaya menyelamatkan warganya agar tidak terpapar dan kasus meluas. Berdasarkan klaim Pemerintah Pusat, Covid-19 kali pertama masuk Indonesia pada 2 Maret 2020. Sebelum terdeteksi, para pemangku kebijakan negara menunjukkan optimismenya, bahkan dengan kalimat-kalimat yang seakan mendahului kehendak Tuhan. Kalimat yang semestinya tidak pantas dan layak terlontar dari mulut pejebat Pemerintah Pusat. Optimisme berbalik fakta dalam realitasnya. Pemerintah tidak mampu mengelak. Covid-19 masuk juga ke tanah air. Pencegahan yang lamban dan penanganan yang tersendat, memperlihatkan bahwa negara tidak berdayaan mengatasi wabah yang begitu cepat menjalar. Kritik dan masukan terlontar. Malah keterlibatan masyarakat dalam menangani Covid-19 lebih cepat ketimbang negara. Kemajemukan dengan gugusan geografis kepulauan, memperlihatkan kesigapan masyarakat dan mengesampingkan persoalan-persoalan politik. Masyarakat Indonesia bergotong royong melakukan langkah-langkah yang fokus pada pencegahan dan pemulihan akibat terdampak. Targertnya agar Covid-19 tidak merambah lebih luas lagi. Lalu dimana negara? Dimana Pemerintah? Konstitusi kita, dalam paragraf keempat secara gamblang menegaskan, "dibentuknya pemerintahan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” Kemudian, berkewajiban "menyejahterakan, mencerdaskan, memberi kedamaian dan keadilan sosial". Pada konteks inilah Indonesia adalah negara yang memanusiakan manusia. Jalur Konstitusional Anies Kembali kita melihat kualitas sosok Anies Baswedan sebagai kepala Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Pendekatan memanusiakan manusia bagi warganya. Sebab kini secara persentase, warga DKI Jakarta sangat besar dibandingkan provinsi lain yang terpapar Covid-19. Pemahaman dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta atas kehendak warganya. Sejalan dengan alur perintah pembukaan UUD 1945. Mendahulukan kesehatan dan keselamatan warganya dalam koridor konstitusi. Tecermin dari nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan melalui berbagai kebijakannya menangani pandemic Covid-19. Sehinga, hak warga atas pelayanan, kesejahteraan, dan kesehatan tetap diberikan. Sayangnya, keinginan Anies mencegah penyebaran wabah yang begitu masif tidak selalu berjalan baik. Beberapa kebijakan ditolak oleh Pemerintah Pusat. Seperti pembatasan transportasi publik, karantina wilayah (lockdown), dan menyetop operasional bus dari dan ke Jakarta. Permasalahannya bukan terletak di Anies, melainkan pihak-pihak yang lebih berpikir dari dudut-pandang politik kekuasaan dengan dalih peraturan perundang-undangan. Sebagai orang hukum, saya tidak sepenuhnya memahami tentang kesehatan. Sependek sepengetahuan saya, lockdown merupakan tindakan membatasi aktivitas penduduk sebagai respons atas menyebarnya wabah untuk melindungi segenap rakyat. Lockdown atau istilah apa pun, merupakan langkah konstitusional Anies dalam melokalisasi keberadaan virus. Bukan saja bagi yang tertular, tetapi dapat mengidentifikasi di lokasi mana saja wabah virus berkembang. Dengan begitu, pemetaan keberadaan virus akan lebih mudah. Juga untuk memutus mata rantai penyebarannya. Untuk Keselamatan Secara konstitusional, kehendak Anies itu tidak dalam zona pelanggaran konstitusi. Justru sebaliknya, konstitusi menjadi kabur, ketika pusat membawa persoalan kemanusiaan ini ke ranah ekonomi politik. Akibatnya, akan banyak warga Jakarta yang terdampak wabah. Melalui penerapan lockdown, Anies sebenarnya juga mendorong peran negara dalam melindungi masyarakat Jakarta. Ketika lockdown diberlakukan, Pemerintah Pusat wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar warga dan pakan ternaknya. Ini diamanatkan secara eksplisit dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Masyarakat, khususnya pekerja informal yang beraktivitas di luar ruang dan risiko terpapar Covid-19 besar kemungkinan akan senang. Sebab, mereka tidak perlu lagi pergi keluar rumah dan bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Kebutuhan makan dan minum ditanggung oleh negara. Sayangnya, Pemerintah Pusat berkehendak lain. Presiden Jokowi justru memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Opsi PSBB tersebut, ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020. Kebijakan tersebut tentu langkah mundur dan mengecilkan peran negara. Karena tidak ada lagi ketentuan yang mengikat bagi Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar rakyat dan pakan ternaknya. Baik dalam UU Kekarantinaan Kesehatan maupun PP PSBB. Dalam Pasal 4 ayat (3) PP PSBB, pemerintah memang diminta penerapan pembatasan sosial dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Namun, tujuannya agar langkahnya tidak mengganggu distribusi dan akses masyarakat. Bukan lagi kewajiban pemenuhannya atau penyediaannya. Keputusan ini justru berbahaya dan tidak memanusiakan manusia. Pekerja informal, seperti pedagang kaki lima (PKL), yang mengandalkan pendapatan harian dari usaha di tempat umum akan terancam. Kelompok masyarakat ini bakal susah makan dan minum. Mereka berisiko tidak bisa berjualan, karena pemerintah berhak menghentikan segala aktivitas di fasilitas publik. Padahal, para pedagang kecil juga terpaksa tetap berjualan di tengah besarnya ancaman "musuh kasat mata ini”, demi memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Apalagi, negara tidak lagi menanggungnya, sebagaimana skenario lockdown. Apa akhirnya? Keputusan PP PSBB berpotensi menyebabkan terjadinya gejolak sosial. Apabila pelarangan terhadap aktivitas pekerja informal di tempat umum dilakukan secara masif. Niat menyelamatkan nyawa dari ancaman Covid-19 berujung pada kemungkinan konflik horizontal antara pemerintah dengan rakyatnya sendiri. Penulis adalah Anggota DPR/MPR 2009-2014, Advokat dan Dosen FHdan FISIP UMJ. #Masyumireborn
Perpu Corona Aneh, "Korupsi Dana Stimulus Tidak Boleh Dipidana"
Pasal 27 ayat (1) Perpu 01 tahun 2020 ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Kamis (02/04). Setelah terkesan main-main dalam menangani wabah Covid-19 selama sebulan, pemerintah akhirnya memberi stimulus Rp 405,1 triliun untuk memerangi wabah dan krisis ekonomi. Stimulus terdiri dari empta kelompok. Pertama, bidang kesehatan dapat Rp 75 triliun. Kedua, bidang kemanusiaan alias jaring pengaman sosial dapat Rp 110 triliun. Ketiga, insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat) dianggarkan Rp 70,1 triliun. Keempat, pemulihan ekonomi nasional diberikan Rp 150 triliun. Krisis ekonomi dan pemberian stimulus di Indonesia mempunyai catatan hitam. Selalu digunakan kesempatan untuk korupsi. Pertama, ketika krisis moneter dan ekonomi tahun 1998. Pemerintah, ketika itu diwakilkan Bank Indonesia (BI), memberi dana bantuan likuiditas (BLBI) Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Tetapi, menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tepat sasaran hanya Rp 6,5 triliun. Sisanya, sekitar Rp 138 triliun menguap, diselewengkan dan dikorupsi. Banyak pelakunya yang sudah dihukum, tetapi banyak juga yang masih lolos dari hukuman. Karena dalam proses hukum, sering kali yang salah bisa jadi benar, sehingga lolos mereka. Kedua, krisis keuangan global tahun 2008. Bank Century pada awal Oktober 2008 mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah turun tangan memberi pinjaman dan suntikan likuiditas hingga Rp 6,7 triliun, yang kemudian ternyata bermasalah. Proses hukum berjalan hanya untuk beberapa orang saja. Yang lain sepertinya kebal hukum. Sampai sekarang, kasus ini tidak tuntas. Sisanya menguap. Melihat pengalaman di atas, masyarakat patut curiga krisis sekarang juga rentan untuk disalahgunakan. Apalagi Perpu No. 1 tahun 2020 tersebut seolah-olah sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana. Perlindungan ini tercantum di Pasal 27. Pasal 27 ayat (1) Perpu ini mengatakan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah …. merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”. Ayat (2) dan ayat (3) menegaskan semua pihak tidak bisa digugat dan dituntut. Luar biasa perlindungan itu. Enak sekali menjadi pejabat yang mengelola dana stimulus. Pasal 27 ini tidak pantas dan tidak layak ada di negara yang mengedepankan supremasi hukum. Negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum. Oleh karena itu, seharusnya ditolak. Karena, tidak mungkin semua biaya pengeluaran dari stimulus ini harus dianggap sah. Ini namanya aji mumpung. Pasal 27 ini jelas membuka peluang untuk pejabat negara melakukan perampokan keuangan negara. Perampokan itu melalui stimulus secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut. Seperti terbukti di dua krisis ekonmi sebelumnya tahun 1998 dan 2008. Misalnya, pengadaaan peraalatan kesehatan seperti masker, Alat Perlindungan Diri (APD), ventilator dan lainnya. Apakah biaya sebesar apapun harus diterima dan dianggap sah? Apakah proses pengadaannya boleh menyimpang dari proses normal? Kalau ternyata biayanya jauh lebih tingga dari harga normal, apakah juga dianggap sah? Kalau belinya hanya dari satu atau dua pemasok saja, apakah juga harus dianggap sah? Apakah tidak boleh diselidiki lebih lanjut tentang keungkinan ada kolusi dalam proses pengadaannya? Nilai “proyek” bidang kesehatan ini Rp 75 triliun, sangat besar, dan akan dilaksanakan secara cepat. Seluruh komponen bangsa seharusnya bersama-sama mengawasi agar stimulus yang besar ini benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia yang sedang tertimpa musibah Covid-19. BPK, DPR, Kepolisian, KPK serta semua komponen masyarakat seharusnya wajib turut mengawasi. Agar terjadi transparansi, hasil pengadaan barang harus diumumkan ke masyarakat. Berapa jumlah pembelian masker, APD, ventilator dan seterusnya? Beli dari siapa, dengan harga berapa? Dengan demikian, diharapkan tidak ada monopoli atau kartel yang bisa mengakibatkan terjadi kerugian negara. Semoga tidak ada penguasaan impor oleh sekelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dan juga, izin impor dan izin produksi barang-barang tersebut harus dibuat seterang-terangnya. Jangan usaha kecil disusahkan dan pengusaha besar dipermudah. Begitu juga dengan bantuan kepada masyarakat, baik pangan, non pangan, dan bantuan tunai. Semua harus dibuat transparan dan diumumkan secara rinci. Jumlah penerima bantuan per Provinsi, Kabupaten atau Kota dan desa. Setiap bantuan tersebut harus diketahui oleh perangkat desa sampai Provinsi. Bukan hanya oleh Kementerian terkait di pusat. Terakhir, stimulus untuk pemulihan ekonomi nasional. Anggarannya Rp 150 triliun. Belum jelas bagaimana pelaksanaannya. Sekilas, bantuan ini terkait dengan rencana penerbitan surat utang negara yang dinamakan recovery bond. Sedang diupayakan, bond ini bisa dibeli langsung oleh BI, yang menurut UU tentang BI saat ini, BI tidak boleh membeli bond secara langsung dari pemerintah. Oleh karena itu, untuk membuat BI membeli bond dari pemerintah ini mungkin atau legal, maka pemerintah harus mengeluarkan Perpu lagi, yang menghapus larangan tersebut. Hasil uang dari penerbitan surat utang recovery bond ini akan diberikan secara langsung kepada perusahaan, sebagai pinjaman dari pemerintah. Cara ini bisa bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya, pemerintah tidak boleh memberi pinjaman langsung kepada perusahaan swasta. Bantuan tersebut seharusnya melalui sektor keuangan. Kalau tidak, masyarakat bisa saja curiga bahwa bantuan stimulus hanya disalurkan kepada perusahaan dan pengusaha tertentu yang dekat dengan penguasa. Sekali lagi, demi transparansi, setiap bantuan kepada perusahaan harus diumumkan kepada public. Termasuk jumlah bantuan yang akan diberikan. Transparansi di atas sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Kemungkinan juga penyalahgunaan dana stimulus. Pasal 27 Perpu No 1 Tahun 2020 seyogyanya dihapus. Meskipun dihapus, diharapkan tidak ada yang terpidana korupsi karena transparansi di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
"Kembali Kepada Peradaban Yang Fitrah"
By Komjen Pol. Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN- Kamis (02/04). Fenomena yang saat ini terjadi merupakan rangkaian proses dari upaya manusia-manusia yang tidak takut Tuhan untuk membangun sebuah "Peradaban yang tidak fitrah". Apa itu? Peradaban yang tak fitrah adalah peradaban yang dibentuk menurut rancangan manusia dunia. Yang menjauhkan umat dari rancangan Sang Pencipta. Tuhan tidak menghendaki manusia membangun peradaban duniawi yang tidak fitrah. Sejak semula manusia dirancang untuk hidup seturut kehendak-Nya, bukan sebaliknya. Hidup menurut kehendak dunia sudah pasti akan menghancurkan manusia itu sendiri. Peradaban duniawi yang dibangun hanya berdasarkan pemikiran yang dipengaruhi hawa nafsu. Sifatnya fana dan pada akhirnya akan jadi peradaban yang dipenuhi oleh hati yang jahat. Hasilnya, manusia penuh dengan keserakahan. Manusia-manusia yang dikuasai penuh oleh hawa nafsu ini sedang berupaya untuk membangun sebuah sistem peradaban baru: “SATU SISTEM PERADABAN GLOBAL”. Ini adalah suatu sistem peradaban yang dirancang menurut hukum-hukum dan gagasannya sendiri, dengan tujuan memperkokoh eksistensinya secara berkelanjutan. Kemudian dunia akan digiring untuk meniadakan batas antar negara, melalui kebijakan-kebijakan yang sifatnya “dipaksakan”. Untuk apa? Jelas. Demi terwujudnya “SATU SISTEM PERADABAN GLOBAL” paling efektif di seluruh dunia. Tidak hanya sampai di sini. Bersiaplah. Sebuah pemaksakan “SATU AGAMA GLOBAL” pun sedang dalam perjalanan. “SATU AGAMA GLOBAL” ini akan membawahi seluruh agama yang ada. Agama global ini dihadirkan untuk mengatur kebijakan dan doktrin-doktrin yang harus ditaati oleh semua agama yang ada, demi terwujudnya agenda milik “SATU PERADABAN GLOBAL”. Otomatis, kita akan dipaksa tunduk pada kehendak dunia. bukan lagi pada kehendak Tuhan. Ada tiga program besar dari Peradaban Global, yaitu : Money (Penguasaan sistem moneter dunia), Power (Pengelolaan sistem pemerintahan dunia dengan memberi sejumlah dana dalam berbentuk hutang), dan Control Population (Pengendalian jumlah penduduk dunia). Program terakhir dari Peradaban Global adalah Pengendalian Populasi (Control Population). Pertambahan jumlah penduduk saat ini dianggap tidak akan mampu diimbangi oleh produksi pangan, dan ketersediaan lahan yang terus mengalami kerusakan akibat eksploitasi berlebihan. Ini “dihembuskan” agar mereka dapat mewujudkan Peradaban Global yang sudah mereka cita-citakan. Mereka menganggap pengendalian populasi adalah kunci paling penting dalam mewujudkan agendanya yang selalu hanya mereka dasarkan pada nilai material (metode penilaian kuantitatif). Agenda Pengendalian Populasi ini bersifat pragmatis tanpa memperdulikan nilai-nilai moral (penilaian kualitatif). Saat ini, di seluruh dunia, generasi muda, apapun agama dan ideologinya, sedang mengalami "cuci otak”. Serempak diajak mengikuti seluruh agenda global demi mewujudkan Peradaban Global. Jika saja kita bijak membaca tanda-tanda zaman, jelas semua yang baru saja kita baca ini melawan kehendak Tuhan. Dan resikonya jelas. Bagi mereka yang setia kepada Tuhan akan terus ditekan dan disingkirkan. Sedangkan yang bersedia kompromi dengan keinginan dunia, akan diberi tempat dan didukung HABIS-HABISAN. Bersiaplah. Jika tidak dicegah, peradaban global akan segera berdiri di muka bumi ini. Tidak lama lagi. Apa yang sedang terjadi sekarang diizinkan Tuhan untuk memisahkan manusia dari dunia palsu yang sedang dibangun. Atas seizin-Nya, dengan situasi saat ini, manusia hendaknya mulai berpikir tentang keselamatan. Sadar bahwa kematian bukan tentang kematian tubuh yang sementara, tetapi kematian jiwa yang sifatnya kekal. Ini bukan main-main. “Heaven is real and so is hell. Jangan sudi dijadikan tumbal”. Ini seharusnya kita maknai sebagai peringatan yang sangat keras dari Tuhan. “Segera berpaling dari hidup yang bergelimang dosa”. Saat ini, dunia butuh seseorang yang berani memperkatakan bahwa dunia harus segera bertobat. Dan sebagai bagian dari dunia, demikian pula dengan Indonesia, kita dukung pemimpin kita agar dengan keteladananannya mampu membuat sebuah kegerakan “mengajak rakyat bertobat”. Hanya ini kunci utama (master key) yang akan menyingkirkan wabah yang sedang terjadi, yang melumpuhkan kita semua di beberapa waktu terakhir ini. Momen inilah kesempatan yang Tuhan berikan bagi kita semua untuk segera berpaling kepada-Nya. Menempatkan Tuhan sebagai Pemimpin yang tidak diganggu kedaulatan-Nya. Ia menunggu, Ia sudah sangat rindu kita berbalik, memberi respons yang tepat. Dan yang bijaksana hendaklah ia mendengarkan dan mengubah cara hidupnya. Nuswantara Nu: Makhluk Swa: Mandiri Anta: Menuju Ra: Tuhan Kembali fitrah, menempatkan Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber utama dari segala sumber kehidupan kita semua. Nuswantara, inilah peradaban yang fitrah. “Bangkit. Indonesia bangkit. Bangsa pemenang, bahkan lebih dari pemenang”. Viva Republik Indonesia #gerakanindonesiajemurpagi
Corona Membuat Jokowi Digugat Enggal ke Pengadilan
By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN – Rabu (01/04). Teror virus Corona di Indonesia memasuki babak baru. Seorang pemuda bernama Enggal Pamukty mewakili kelompok UMKM (pedagang eceran) mengajukan gugatan Class Action kepada Presiden Jokowi. Enggal menganggap orang nomor satu di Indonesia tersebut telah melakukan kelalaian fatal yang mengancam nyawa 260 juta rakyat Indonesia. Gugatan Enggal didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakpus pada hari Kamis 1 April 2020. Ditemui seusai pendaftaran gugatan di PN Jakpus, saudara Enggal mengkonfirmasi pernyataan tersebut. "Kabar itu betul. Bahwa saya menggugat Presiden Jokowi karena kelalaiannya yang fatal dalam penanganan teror virus Covid-19, “ujar Enggal. Enggal mengatakan, bahwa tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah pusat sejak awal dalam menghadapi ancaman virus corona merebak di Wuhan Cina “sangat melecehkan akal sehat”. Juga sangat membahayakan nyawa jutaan rakyat dengan kebijakan yang gila dan primitif. Misalnya, dengan program mendatangkan turis saat teror Covid-19 masih berlangsung. Begitu juga dengan kebijakan mendatangkan Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang ilegal itu. "Tiongkok sejak awal berani menutup Kota Wuhan dan sekaligus Provinsi Hubei yang berpenduduk 54 juta untuk memerangi teror virus Covid-19. Langkah penutupan itu tanpa memikirkan kerugian ekonomi. Bagi pemerintah Tiongkok nyawa rakyatnya jauh lebih daripada investasi. Ini yang tidak kita lihat pada kebijakan pemerintah Jokowi. Jokowi lebih mementingkan kepentingan investasi dan pariwisata di saat wabah dahsyat Covid-19. Langkah ini bukan hanya melecehkan akal sehat, tetapi juga mendatangkan malapetaka besar bagi bangsa Indonesia. Kita Indonesia jadi bahan olok-olokan dunia Internasional. Sebab pada saat yang sama, negara-negara lain di dunia justru menutup negaranya dari masuknya turis. Seperti diketahui, teror virus Covid-19 menjadi isu nomor wahid di seluruh dunia. Kedahsyatannya digadang-gadang sebagai wabah terbesar dalam sejarah modern umat manusia. Bermula dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, Tiongkok. Kini virus corona sudah menyebar ke hampir 200 negara di dunia. Jumlah korban yang terjangkit lebih dari setengah juta kasus, dengan memakan korban jiwa 20.000 orang yang meninggal, hanya dalam 3 bulan. Teror Covid-19 juga telah membuat ekonomi banyak negara terpuruk. Termasuk Amerika Serikat selaku negara adidaya nomor satu dunia. Ancaman resesi sudah semakin mendekat di depan. Sangat sulit untuk bisa dihindari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bakal mengalami tekanan yang keras. Sejak awal Tiongkok menyadari bahwa satu-satunya cara menghentikan teror Covid-19 adalah dengan mengisolasi penduduk secepat mungkin. Kecepatan bertindak, kedisplinan serta tidak menganggap enteng ancaman virus corona menjadi rumus paten sejak awal. Begitu seriusnya pemerintah Tiongkok menerapkan rumus tersebut, hingga tak segan-segan untuk mengkarantina satu Provinsi Hubei, yang berpenduduk 54 juta selama hampir dua bulan. Tentu dengan kerugian ekonomi luar biasa besar. Dengan rumus di atas, Pemerintah Tiongkok berhasil menghindarkan rakyatnya dari malapetaka dan ancaman nyawa yang besar. Grafik kasus juga menurun drastis. Bahkan pernah menyentuh angka 0 kasus selama 3 hari beruntun. Kini rumus penanganan teror Covid-19 di Tiongkok telah dibagikan ke seluruh dunia dan menjadi pedoman semua negara. Sebagai pekerja harian, saya sangat merasakan dampak dari lambannya penanganan Pemerintah Pusat terhadap ancaman corona ini. Kalau saja Pemerintah Pusat sejak awal serius menangani teror Covid-19 ini, tentu saya dan kawan-kawan pedagang eceran dan UMKM masih bisa mencari nafkah sehari-hari. Lambannya penanganan oleh Pemerintah Pusat ini jadi bikin kami kehilangan pendapatan. Sementara pemerintah belum juga kasih solusi bantuan seperti apa kepada kami. Saya kecewa melihat awal-awal teror Covid-19. Sebab di televisi saya melihat ada menteri yang bisa becanda-canda. Sekarang kalau sudah begini pendapatan kami menurun sangat drastis. Bagaimana nasib kami? Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan akan menarik gugatan karena intimidasi pihak-pihak yang tidak senang dengan gugatan tersebut, Enggal menegaskan tidak akan mundur. “Saya tidak akan pernah mundur karena didukung mulai dari para dokter, perawat, ojol, taksol, pedagang-pedagang kaki lima”. “Mereka semua mendukung saya menggugat Jokowi, karena mereka pun terancam periuk nasinya. Jadi sampai titik darah penghabisan kita akan tuntut pemerintah untuk bertanggungjawab atas kerugian kami semua,“ kata Enggal. Penulis adalah Wartawan Yunior
Darurat Sipil? Apa Yang Mau Dilindungi Pak Presiden?
By Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (31/03). Corona yang tak terlihat bentuknya itu, memulai serangan mematikannya dari Wuhan, China. Perlahan tapi pasti, hampir negara di dunia menjadi sasaran serangannya. Sangat mematikan. Telah puluhan ribu orang mati. Apa senjatanya, apa strategi, apa taktiknya, dan bagaimana propagandanya, dan seterusnya, semuanya tak terlihat. Mahir menemukan sasaran, cepat dalam penetrasi, dan cekatan dalam mengobrak-abrik benteng pertahanan setiap orang. Itulah pasukan corona. Hebatnya tidak jelas siapa panglimanya? Tidak jelas juga siapa komandan tempurnya? Bagaimana garis komandonya? Itu pulalah pasukan corona ini. Sekali lagi, sangat mengerikan. Ini perang tanpa bentuk. Perang jenis ini paling sulit dihadapi. Ini perang paling berbahaya. Secanggih apapun mesin perang sebuah negara, selalu sulit menghadapi perang jenis ini. Itu sebabnya semua negara-negara top, ambil misalnya Inggris dan Amerika pun kewalahan. Sempoyongan, sejauh ini. Inggris dan Amerika yang dikenal jagoan mengubah tatanan dunia melalui perang dan krisis keuangan itu, tak bisa bersiasat. Tak bisa memanggil senjata hebat dari Arsenalnya menghadapi kepungan virus laknat ini. Rakyat kedua negara ini juga mati, karena virus jahannam ini. Kecenderungannya terus meningkat dari hari ke hari. Itu sebabnya diperlukan strategi dan taktik jitu menghadapi dan melumpuhkannya. Indonesia, harus diakui, sebenarnya telah memiiki senjata canggih, lengkap dengan strategi dan taktik teknis dan politik menghadapi perang ini. Semuanya tersedia dalam Arsenal yang bernama UU No. 6 tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-undang ini disiapkan oleh Presiden Jokowi dua tahun lalu. Undang-undang ini sangat antisipatif. Sangat hebat. Strategi sederhananya adalah begitu virus, pasukan ini mulai menyerang, pada tahap awal sekali pemerintah sudah harus buat perkiraan terhadap ini sumber serangan, jenis senjata (virus), level bahayanya, dan kecepatan serangannya. Lalu buat proyeksi atas efeknya terhadap keamanan “kesehatan masyarakat.” Bila virusnya telah teridentifikasi, kecepatan serangannya, ruang serangannya, dan efeknya terhadap Kesehatan masyarakat, maka pemerintah siapkan tindakan melawannya. Tindakan pertama adalah “Deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Setelah deklarasi ini, barulah dipertimbangkan tindakan-tindakan berikutnya. Tindakan berikutnya adalah melakukan pembatasan. Menurut undang-udang ini, namanya “karantina.” Termasuk pengertian karantina itu adalah “Pembatasan Sosial Berskala Besar.” Begitulah bangsa ini menyiapkan diri menghadapi musuh tak terduga itu. Virus yang hari ini dinamai corona, laknat ini. Undang-undang ini memerintahkan pemerintah menyiapkan segala kebutuhan dasar rakyat untuk sekadar hidup. Di dalamnya termasuk kebutuhan makan hewan peliharaan, manakala pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar menurut undang-undang ini. Tetapi harus diakui, detail “tindakan-tindakan mitigasi” menurut ilmu kesehatan baru saja diatur. Dan saya percaya saja skema teknis kerjasama pemerintah dengan pemerintah daerah juga diatur dalam PP yang baru terbit ini. Keterlambatan inilah penyebab terbesar tak terkordinasinya tindakan Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Pemerintah Pusat. Walau hanya satu PP, tetapi menurut saya cukup masuk akal secara hukum. Mengapa? Undang-undang tidak mengharuskan jumlah PP. Memang Sedikitnya 3 (tiga) pasal dalam undang-undang ini yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP). Tetapi bagi saya satu PP saja sudah cukup. Hal terpenting adalah cakupan materi, dan muatannya harus komprehensif. Bila komprehensif, maka 11 (sebelas) pasal yang memerintahkan pemerintah membentuk Peraturan Menteri (Permen), dapat diminimalkan jumlahnya. Dilihat dari sudut materi, muatan dari pasal-pasal itu, dapat diproyeksikan sedikiitnya tiga menteri harus membuat Permen. Menteri Hukum dan Ham, Menteri Kesehatan dan Menteri Perhubungan. Menariknya, dalam rapat terbatas Senin (30/3) Presiden Jokowi bahkan mengatakan perlu didampingi oleh kebijakan darurat sipil. Tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan “darurat sipil” (tanda petik dari saya) (Tempo.co.id 30/3/2020). Pernyataan tentang “darurat sipil” ini sangat menarik dilihat dari sudut Tata Negara. Bagaimana argumentasi konstitusional ternalar antara serangan virus corona dengan eksistensi dari pemerintahan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Apakah pemerintah atau sebagian pemerintah daerah mulai tak berfungsi? Apakah NKRI Indonesia sedang terancam pecah, atau disintegrasi? Apakah disintegrasi sedang dipelupuk mata? Apakah sebagian rakyat Indonesia menjadi bagian dari pasukan virus corona itu ? Apakah wabah corona dapat diberi status sebagai manusia, yang pemberontak? Protokol penanganan pasukan virus berbeda secara fundamental dengan protokol penanganan pasukan (sekumpulan orang dengan agenda jelas, terorganisir, bersenjata dan bermotif politik) menyerang negara ini. Protokol virus bertolak dari UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Protokol penanganan Tertib Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. Alasan Tata Negara dibalik Perpu berbeda dengan alasan tata negara dibalik UU No. 6 Tahun 2018. Alasan fundamental Tata Negara pada Perpu adalah terganggunya tertib sipil itu sebagai akibat dari hal-hal sebagai berikut: Pertama, adanya serangan bersenjata, atau pengacau oleh orang-orang bersenjata. Kedua, serangan bersenjata itu bermaksud, nyata-nyata atau sembunyi-sembunyi, untuk menggantikan pemerintahan yang sah, atau setidak-tidaknya mengakibatkan pemerintah atau pemerintah daerah yang sah, sebagian atau seluruhnya lumpuh atau tidak dapat berfungsi sebagaimana fungsi pemerintah dalam keadaan tertib sipil. Ketiga, Serangan pasukan itu dimaksudkan untuk melepaskan sebagian wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, atau menciptakan negara baru terlepas dari wilayah NKRI. Keempat, membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau setidak-tidaknya menempatkan sebagian pemerintah daerah atau satu daerah di bawah kendali pasukan itu. Semua soal ini, untuk alasan secanggih atau sengawur apapun, tidak bakal ditemukan dalam serangan virus corona jahannam ini. Betul, keadaan tertib sipil saat ini sedang terganggu. Tetapi harus diingat betul bahwa penurunan level tertib sipil saat ini, sama sekali tidak disebabkan oleh gangguan pasukan atau sekelompok orang bersenjata dan bermotif politik. Penurunan derajat tertib sipil saat ini merupakan hasil, dan sekaligus cara sah mencegah virus corona. Penurunan derajat tertib sipil ini, untuk alasan apapun, sah. Mengapa? Penurunan itu merupakan cara pemerintah menghalau virus, yang diyakini sebagai cara ampuh menormalkan kembali tertib sipil itu. Apalagi konsekuensi Tata Negara yang menyertainya Darurat Sipil berbeda sangat mendasar dengan Darurat Kesehatan. Apa bedanya? Pertama, dalam darurat sipil, status Presiden mengalami perubahan. Kedua, harus dibentuk institusi tata negara tambahan. Presiden, dalam keadaan “Darurat Sipil” berstatus sebagai “Penguasa Darurat Sipil Pusat.” Bila darurat sipil diubah, ditingkatkan menjadi “Darurat Militer” maka Presiden berstatus sebagai “Penguasa Darurat Militer Pusat.” Andai keadaan tak menolong sehingga harus ditingkatkan menjadi “Darurat Perang” maka Presiden berstatus sebagai “Penguasa Darurat Perang” Baik Darurat Sipil, Darurat Militer dan maupun Darurat Perang, Presiden dalam melaksanakan fungsinya dibantu oleh satu Badan. Badan itu berisi Menteri Pertama, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Luar Negeri, Kepala Staf ASngkatan Darat, Kepala Staf Angkat Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Kepala Kepolisian Negara. Perlukah Badan ini pada Darurat Kesehatan. Tidak. Apa konsekuensi kehadiran Badan itu? Menejemen pembuatan kebijakan berubah. Perumusan kebijakan bernegara dalam mengelola Darurat Sipil, untuk sebagian besar berputar pada pejabat-pejabat ini. Betul, Presiden tetap menjadi center of constitutional authority, tetapi presiden harus mendapat nasihat dari pejabat-pejabat itu. Konsekuensi perubahan menejemn lainnya? Kepala Daerah yang daerahnya ditetapkan berada dalam darurat sipil, harus dibantu oleh Komandan Militer tertinggi di daerah itu, plus Kepala Kepolisian Daerah. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka disupervisi oleh Kepala Kejaksaan. Seperti Presiden, Kepala Daerah itu, mau atau tidak, suka atau tidak wajib mendengar nasihat pejabat-pejabat dimaksud. Konsekuensi ini tidak ada pada darurat Kesehatan. Pada Darurat kesehatan, keadaan Tata Negara tidak berubah sedikitpun. Tetapi pembatasan hak bergerak warga negara misalnya, sama untuk keduanya. Hak bicara dan berkorespondensi, tidak dibatasi dalam darurat kesehatan. Pada Dadrurat Sipil, justru dilakukan secara ad hoc, dan represif berdasarkan pertimbangan Penguasa Darurat Sipil Daerah. Selain kesamaan-kesamaan relatif itu, terdapat satu perbedaan. Perbedaan ini dapat disebut fundamental. Pada Darurat Sipil, pemerintah tidak dibebani kewajiban memberi makan dan minum rakyat. Rakyat cari makan sendiri, urus diri sendiri. Sebaliknya, pada Darurat Kesehatan yang diikuti “Pembatasan Sosial Berskala Besar”, pemerintah menanggung biaya makan dan minum rakyat. Tentu alakadarnya. Begitulah perbedaan fundamentalnya dari sudut pandang Tata Negara. Mungkinkah pemerintah menempatkan Darurat Sipil di meja pembuatan keputusan sebagai sekoci ketika pemerintah tak lagi mampu mengurus kebutuhan dasar rakyat? Faktanya pemerintah sudah membebaskan rakyat dari bayar listrik, dan atau bayar setengah saja. UMKM dikasih stimulus. Rakyat miskin mau dikasih uang. Lalu apa? Politik? Bagaimana nalarnya? Energizer disipiln masyarakat? Agak sulit disodorkan sebagai jawabannya. Rakyat pada cari akal dan cara sendiri menjaga diri dan lingkungannya. Mereka bisa terhindar dari kemungkinan menjadi sasaran virus. Sungguh saya tak mampu menjelaskannya. Apakah Darurat Sipil, andai benar bakal dilakukan, akankah dijadikan justifikasi bagi pemerintah melakukan represi terhadap orang-orang yang berbeda haluan politiknya dengan Presiden? Entahlah. Tak bisa berspekulasi. Memang sejarah Tata Negara dan politik bangsa ini dengan kebenaran tak terbantahkan menunjukan tindakan sejenis itu pernah terjadi. Pembubaran paksa pertemuan politik oleh orang-orang yang tergabung dalam “Liga Demokrasi” misalnya, di awal tahun 1960, adalah satu peristiwa kecil yang mematikan dari politik darurat seperti itu. Pak M. Sjahrir, Pak Yunan Nasution, Pak Sjafrudin Prawiranegara, yang ketika itu berbeda haluan politiknya dengan Presiden Seokarno, ditangkap. Mereka dipenjarakan begitu saja. Begitulah adanya pendekatan politik dulu. Itulah hasil politik darurat kala itu. Politik busuk ini tidak ditemukan, dalam perspektif perbandingan dengan misalnya masa Presiden Franklin D. Rosevelt, yang masuk ke kekuasaan di tengah krisis besar ekonomi Amerika. Orang dibiarkan mengeritik tindakannya. Kritik terhadap tindakannya yang menyita emas milik rakyat, tanpa ada ganti rugi yang memadai. Kritik dibiarkan saja begitu. Anehnya, tidak ada satupun tindakan represi kepada pengeritik-pengeritik Rosevelt itu. Mereka dibiarkan bernyanyi dengan nadanya sendiri sampai sempoyongan. Begitulah Rosevelt mengelola krisis. Canggih caranya dan berkelas. Kecanggihannya itulah yang memungkinkan Rosevelt berkuasa selama empat periode. Ini preseden satu-satunya dalam sejarah kepresidenan di Amerika hingga sekarang. Akhirnya, penyakit strok membawa Rosevelt ke akhir jabatan periode keempatnya ke awal yang lebih cepat. Rosevelt lalu digantikan oleh Harry Truman. Indonasia pun merdeka pada masa pemerintah Herry Truman. Begitulah politik bekerja. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.
Corona Berjangkit, Utang Bakal Kian Melangit?
Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo hari ini (Selasa, 31 Maret 2020) mengumumkan sejumlah kebijakan perlindungan sosial dan stimulus ekonomi guna menghadapi dampak Covid-19. Tentu saja, ini melegakan. Kabar gembiranya, pemerintah bakal mengalokasikan anggaran hingga Rp405 triliun untuk keperluan tersebut. Jumlah yang lumayan gede itu antara lain Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR). Sisanya yang Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Dalam program ini termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta dunia usaha. Semua itu dimaksudkan guna menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi. Para dokter dan tenaga medis yang selama ini menjadi pahlawan di garda terdepan melawan virus Corona boleh berlega hati. Pasalnya, anggaran yang disiapkan untuk dukungan bidang kesehatan yang Rp75 triliun itu, di antaranya digunakan perlindungan tenaga kesehatan, terutama pembelian APD. Dana tadi juga bagi pembelian alat-alat kesehatan yang dibutuhkan; seperti: test kit, reagen, ventilator, hand sanitizer, dan lainnya sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Masih di bidang kesehatan, ada dana untuk upgrade 132 rumah sakit rujukan bagi penanganan pasien Covid-19, termasuk Wisma Atlet. Juga ada insentif dokter (spesialis Rp15 juta/bulan), dokter umum (Rp10 juta), perawat Rp7,5 juta, dan tenaga kesehatan lainnya Rp5 juta. Jika, ini jika ya mudah-mudahan tidak terjadi, meninggal ada santunan kematian tenaga medis Rp300 juta. Kabar gembira lain berupa dianggarkannya dana untuk perlindungan sosial. Antara lain, dinaikkannya jumlah Kartu Sembako dari Rp150.000 menjadi Rp200.000 selama sembilan bulan. Jumlah penerimanya juga naik dari 15,2 juta menjadi 20 juta. Begitu juga dengan anggaran Kartu Prakerja, dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun. Jumlah ini bisa menjangkau sekitar 5,6 juta pekerja informal, pelaku usaha mikro dan kecil. Yang tidak kalah menggembirakan, ada pembebasan biaya listrik selama tiga bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450VA. Sedangkan untuk 7 juta pelanggan 900VA ada diskon 50%. Khusus dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok, pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp25 triliun. Ngutang Lagi Sampai di sini, semua kebijakan tersebut tentu saja amat menggembirakan. Namun senyum lebar tadi berubah jadi kekhawatiran baru. Betapa tidak, anggaran yang Rp405 triliun tadi, ternyata bukan bersumber dari realokasi anggaran. Lantas dari mana? Dari mana lagi kalau bukan (rencana) membuat utang baru. Tidak percaya? Simak baik-baik pernyataan Joko saat mengumumkannya siang tadi, yang di antaranya dia mengatakan, “ Terkait penanganan Covid19 dan dampak ekonomi keuangan, saya menginstruksikan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Cofid-19 adalah sebesar Rp405,1 Triliun.” Pada bagian lain, Presiden mengatakan, “ PERPPU juga mengantisipasi kemungkinan terjadinya defisit yang diperkirakan akan mencapai 5,07%. Karena itu perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3%. Namun relaksasi defisit hanya untuk tiga tahun, yaitu tahun 2020, 2021, dan 2022. Setelah itu kembali ke disiplin fiskal maksimal defisit 3 % mulai tahun 2023.” Uraian tersebut jelas sekali menunjukkan akan ada utang baru untuk membiayai anggaran perlindungan sosial dan stimulus ekonomi dalam menghadapi wabah Corona. Pertanyaannya, mengapa tidak menggunakan anggaran yang sudah ada? Bukankah bisa dilakukan realokasi anggaran yang dianggap tidak atau kurang penting? Memang, dalam penjelasannya Joko mengatakan pemerintah tetap berupaya menjaga pengelolaan fiskal yang hati-hati melalui refocusing dan realokasi belanja untuk penanganan Covid-19. Misalnya, dengan realokasi cadangan dan penghematan belanja kementerian dan belanja senilai Rp190 Triliun. Dari penjelasan ini, maka setidaknya akan ada tambahan utang baru di luar yang sudah direncanakan semula sebesar Rp405 triliun - Rp190 triliun = Rp215 triliun. Asal tahu saja, desifit APBN 2020 sebesar Rp302,1 triliun. Dari mana menutupi defisit ini? Jelas ngutang, lah. Artinya, guna mengatasi wabah Corona, total rencana utang kita bakal membengkak menjadi Rp517,1 triliun! Tidak Perlu Utang Baru Pertanyaannya, benarkah tambahan utang baru itu diperlukan? Jawabnya, tidak perlu. Tidak adakah cara lain? Jawabnya, tentu saja ada! Caranya, pemerintah merealokasikan anggaran pembayaran bunga utang yang Rp295 triliun plus cicilan pokok utang Rp359 triliun. Jika 50% saja total anggaran untuk membayar utang yang mencapai Rp654 triliun direalokasikan, maka ada dana Rp327 triliun yang bisa dipakai. Banyak, kan? Lalu, pemerintah juga bisa merealokasi 50% anggaran insfrastruktur yang mencapai Rp419 triliun, sehingga diperoleh angka Rp209,5 triliun. Masih ada lagi, yaitu penghematan 20% anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang mencapai Rp1.600 triliun. Dari sini, ada penghematan Rp320 triliun. Lalu, ada SAL dan SILPA yang angkanya lumayan gede, Rp240 triliun. Sekarang mari kita rekap hasil realokasi dan penghematan anggaran tersebut. Rp327 triliun + Rp209,5 triliun + Rp320 triliun + Rp240 triliun = Rp1.096,5 triliun. Wow, guede bangettt! Jumlah ini jauh di atas kebutuhan dana perlindungan sosial dan stimulus ekonomi yang Rp405 triliun tadi. Bahkan jika karena, misalnya, pemerintah tak punya cukup keberanian untuk merenegosiasi pembayaran utang kepada para kreditor, separuh dari Rp1.096 triliun tadi pun masih lebih besar ketimbang yang RP405 triliun. Doyan Berutang Tapi justru di sinilah masalahnya. Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, memang terkenal sangat doyan berutang. Parah! Lebih parah lagi, utang-utang yang dibuat Sri berbunga amat tinggi. Jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Bunga utang yang dibuat Sri bahkan lebih tinggi dibanding negara-negara yang peringkatnya lebih rendah daripada Indonesia, seperti Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Pelebaran defisit APN menjadi 5% juga dimaksudkan untuk menyelamatkan Presiden dari pelanggaran UU Keuangan Negara. Di sini disebutkan, batas maksimum defisit yang diizinkan adalah 3% dari PDB. Kalau angkanya tidak dilebarkan, bukan mustahil Joko akan dimakzulkan karena melanggar Undang Undang. Sungguh ironi yang memuakkan. Di tengah gempuran wabah Covid-19 yang mengerikan dan ancaman rakyat kelaparan, penguasa justru sibuk berusaha mempertahankan kekuasaan! Mas Joko, mau sampai kapan Indonesia terjebak dalam jeratan utang? Dan Sri, tidakkah kamu punya kemampuan lain selain berutang? Mosok doktor ekonomi jebolan Amerika seperti kamu ilmunya cetek banget. Mbok jangan malas. Cerdas dan kreatif, lah. Ingat utang kita sudah teramat besar. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) Maret 2020, mencatat sampai Januari 2020, utang luar negeri kita mencapai US$410,8 miliar. Dengan kurs tengah BI hari ini yang Rp16.367, maka utang itu setara dengan Rp6.724 triliun! Super super besaaarrr! Beban utang yang teramat besar itu telah membebani APBN. Lebih dari 30% anggaran dialokasikan untuk membayar utang. Akibatnya, APBN kita dari tahun ke tahun tidak mampu menjadi penghela perekonomian secara maksimal. Mas Joko, mbok kasihani rakyat... Penulis Wartawan Senior
Stimulus Covid-19 Lambat, Realokasi Anggaran Percepat Krisis Ekonomi
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Selasa (31/03), Penanganan ekonomi terkait wabah Covid-19 seharusnya bisa lebih baik. Paket stimulus ekonomi yang diumumkan sejauh ini sangat tidak memadai untuk melawan dampak negatif Covid-19. Terkesan pemerintah kurang mampu membaca dan mengantisipasi wabah ini. Kebijakan yang diambil terkotak-kotak, alias piecemeal. Ketika wabah virus Corona mulai merebak, pemerintah langsung reaktif memberi paket stimulus yang kemudian dinamakan jilid pertama. Paket stimulus ini memberi insentif sektor pariwisata berupa diskon tiket pesawat bagi wisatawan asing dan domestic. Ada juga pembebasan pajak hotel dan restoran. Pemerintah sampai menggunakan jasa influencer untuk promosi paket ini stimulus ini. Katanya, jumlah pakel stimulus ini Rp 10,3 triliun. Tentu saja, stimulus ini tidak efektif, karena akhirnya penerbangan antar negara dihentikan untuk mengurangi penyebaran wabah dari luar negeri. Realisasi stimulus ini pasti tidak banyak arti untuk meningkatkan ekonomi. Paket stimulus jilid kedua pada intinya memberi insentif pajak penghasilan (PPh) pribadi (pasal 21) untuk industri tertentu, PPh badan (pasal 25) dan PPh impor (pasal 22). Insentif ini akan diberikan selama 6 bulan terhitung April hingga September 2020. Melihat perkembangan Covid-19 hingga saat ini, sepertinya banyak perusahaan akan mengalami rugi. Dampaknya, bantuan PPh Badan tidak banyak berarti apa-apa. Stimulus “subsidi” pajak ini, katanya akan membebani APBN Rp 22,9 triliun. Selain insentif ini belum dimulai, sehingga tidak memberi dampak apapun terhadap ekonomi. Selian itu, angka insentif juga patut dipertanyakan. Paket stimulus jilid pertama dan kedua fokus menjaga pertumbuhan ekonomi, agar tidak anjlok. Meskipun ternyata tidak efektif. Bahkan stimulus jilid kedua belum dimulai. Padahal, perkembangan wabah Covid-19 semakin memburuk. Tingkat terinfeksi Covid-19 meningkat tajam. Jumlah meninggal sangat tinggi. Sedangkan jumlah sembuh sangat rendah. Salah satu sebab utamanya karena fasilitas kesehatan, terutama Alat Pelindung Diri (APD) sangat tidak memadai. Ruang isolasi dan jumlah kamar sangat minim. APD dalam arti luas, untuk melindungi dokter, perawat dan tenaga nonmedis lainnya sangat memprihatinkan. Penyebab utama minimnya APD, karena pemerintah tidak ada dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan terpaksa, pemerintah melakukan realokasi mata anggaran APBN, dari dana pembangunan menjadi dana penanggulangan Covid-19. Bahkan, pengadaan barang yang masih dalam proses pun harus dibatalkan dulu. Realokasi mata anggaran tidak masuk definisi stimulus. Karena hanya realokasi. Stimulus (fiskal) intinya meningkatkan belanja negara atau mengurangi penerimaan negara. Untuk meningkatkan permintaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus (fiskal) intinya memperlebar defisit APBN. Jadi, realokasi mata anggaran bukanlah stimulus. Sebaliknya, pemangkasan anggaran pembangunan (dan dana desa) akan membuat pertumbuhan ekonomi turun. Dampak negatifnya cukup besar. Bisa mempercepat krisis ekonomi. Perusahaan di sektor pembangunan akan mati karena anggarannya dihentikan. PHK dan pengangguran di daerah akan meningkat. Akhirnya, mereka harus di-support dan diberi bantuan juga oleh pemerintah. Dengan mengatakan seperti ini, bukan berarti peningkatan anggaran kesehatan tidak perlu. Sebaliknya, anggaran kesehatan harus dapat ditingkatkan sedemikian rupa besarnya, agar dapat menanggulangi wabah Covid-19 secara efektif. Dan, tambahan anggaran kesehatan ini bukan diambil dari anggaran lainnya (realokasi). Tambahan anggaran kesehatan ini harus bersumber dari tambahan defisit APBN. Besarannya juga harus siginifikan untuk memerangi Covid-19. Pemerintah harus berani mengatakan tambahan anggaran Covid-19 misalnya 1,5 persen dari PDB, atau sekitar Rp 250 triliun. Bahkan lebih kalau perlu. Whatever it takes. Dananya diambil dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang masih nganggur di dompet pemerintah. Jumlahnya mencapai lebih dari Rp 270 triliun per akhir Februari 2020. Bayangkan, kekuatan yang dimiliki Rp 250 triliun untuk memerangi Covid-19. Pasti jauh lebih efektif dari yang sekarang ini. Anggaran pembangunan tetap bisa jalan, sekaligus menjaga pendapatan perusahaan dan pekerja di sektor tersebut di daerah. Pemerintah juga tidak perlu menambah utang karena dananya sudah ada. Selanjutnya, stimulus harus menyasar untuk membantu kemanusiaan. Membantu mereka yang kehilangan penghasilan. Membantu semua masyarakat yang terdampak wabah Covid-19. Dan stimulus juga harus menyasar pelaku usaha, termasuk usaha mandiri dan usaha mikro. Pemerintah harus menjamin kecukupan likuiditas pelaku usaha. Tentu bukan memberi pinjaman langsung ke pelaku usaha. Tetapi melalui sektor keuangan, bank dan nonbank. Bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk pemenuhan likuiditasnya. Stimulus ini harus segera mungkin diumumkan dan dijalankan. Jangan terlalu lama-lama menghitungnya. Perhitungan stimulus harus dilakukan kebalikan dari penyusunan APBN, yang berdasarkan pada aktivitas dan program. Dalam kondisi darurat, tentu yang dimaksud bukan darurat sipil. Namun stimulus APBN dianggarkan secara global. Makanya negara lain bisa mengumumkan stimulus sangat cepat. Dalam waktu singkat, Amerika mengumumkan stimulus 2,2 triliun dolar AS (sekitar Rp 35.200 triliun). Begitu juga dengan Malaysia, yang memberi stimulus 250 miliar ringgit (sekitar Rp 937 triliun). Tetapi Indonesia sangat lambat karena harus menghitung secara rinci. Program A sekian, program B sekian, program C sekian. Ini kelamaan dan lemot cara kerjanya. Keburu wabah menyebar ke seluruh Indonesia, dan keburu rakyat kelaparan. Umumkan saja, Indonesia akan memberi stimulus Covid-19 tahap pertama sebesar 850 triliun, sekitar 5% dari APBN. Dengan begitu, rakyat akan merasa aman dan merasa terjamin. Pemerintah tinggal menyusun apa yang bisa diberikan kepada masyarakat dan dunia usaha dengan anggaran sebesar itu. Semoga pemerintah bisa bekerja dan memberikan kepastian secepatnya kepada masyarakat. Kasian. Masyarakat sedang menunggu. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)