NASIONAL

Terima Kasih Bapak Presiden SBY

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Di Amerika Serikat (AS) ada tradisi menarik, bagaimana publik memperlakukan mantan presiden. Seorang presiden, tetap dipanggil sebagai Mr President kendati sudah pensiun. Semacam bentuk penghormatan atas pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Sebagai sesama negara demokrasi, tradisi baik itu tak ada salahnya kita tiru. Apalagi bila setelah pensiun, ternyata dia tetap memikirkan dan melakukan hal-hal positif untuk kebaikan bangsa. Jadi judul di atas tidak lah keliru. Dalam situasi bangsa tengah menghadapi pandemi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan kelasnya sebagai seorang negarawan. Statemanship. Melalui tulisan yang dimuat dalam akun facebooknya, SBY mengingatkan dan menyesalkan adanya telegram Kapolri. Dalam telegram tersebut Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan kepada jajaran Polri untuk melakukan penindakan hukum bagi penghina presiden dan pejabat negara lainnya. Korbannya sudah ada. Beberapa orang ditangkap karena dinilai menghina Presiden Jokowi. Di Jakarta Utara, polisi menangkap seorang pengemudi ojek online. Menghina Presiden Jokowi dan anggota Wantimpres Habib Luthfi Bin Yahya. Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau seorang buruh ditangkap karena kedapatan menghina Presiden Jokowi di media sosial. "Saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi,” tulis SBY. “Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk "mempolisikan" warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara," tambah SBY. Mumpung ketegangan ini belum meningkat, tambah SBY, “dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak.” Dalam penilaian SBY, Langkah Kapolri menunjukkan pemerintah tidak fokus menangani wabah Covid-19. "Saya melihat masih ada elemen di negeri ini yang belum benar-benar fokus dan tidak bekerja sesuai prioritasnya. Ingat, first thing first. Waktu dan sumber daya kita terbatas, sehingga harus diarahkan kepada kepentingan dan sasaran utama kita saat ini," katanya. SBY mengingatkan kembali prioritas saat ini adalah menyelamatkan warga yang sudah terinfeksi. Membatasi serta menghentikan penyebaran virus corona. Bukan malah menebar ancaman kepada warga yang kritis kepada pemerintah. Kritik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan, dan tidak harus dihadapi dengan sikap keras, apalagi represif. "Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan," ujarnya Situasi seperti inilah, ujar SBY yang bisa memunculkan 'benturan' antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidakcocokan dan ketidaksukaan. SBY juga mengingatkan agar masyarakat tidak apriori terhadap pemerintah. Dengan segala keterbatasannya pemerintah telah berupaya mengatasi wabah Corona. Inilah waktunya kita bersatu. Tidak asal bicara SBY tidak asal bicara. Dia telah menunjukkan satu kata dengan perbuatan. Pada saat masih menjabat sebagai Presiden, SBY pernah mendatangi Polda Metro Jaya. Sebagai pribadi, SBY melaporkan mantan Wakil Ketua DPR Zainal Ma’arif yang dinilainya melakukan pencemaran nama baik. SBY tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden. Memerintahkan polisi, menangkap orang yang menghinanya. Kasus berakhir happy ending karena Zainal Ma’arif minta maaf, dan SBY memaafkannya. SBY taat azas dan taat hukum. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022-PUU-IV/2006 pasal penghinaan kepada presiden telah dibatalkan. Pasal-pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus-kasus penghinaan presiden terdapat pada pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 ayat (1). Karena itu lah mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengingatkan kepolisian agar tidak menafsirkan sendiri arti 'penghinaan presiden' dalam melakukan penindakan. Dalam Rancangan KUHP yang akan segera disahkan. Pasal-pasal tersebut juga berubah menjadi delik aduan. "Jadi, orang yang merasa terhina itu yang mengadu. Jangan petugas yang menafsirkan sendiri si A, si B, terhina. Itu nanti merusak demokrasi," kata Jimly kepada media. Telegram Kapolri itu memang ditentang secara luas oleh para penggiat hukum dan demokrasi. Mereka meminta Kapolri segera membatalkan. Tindakan polisi menangkap mereka yang dinilai menghina Presiden, menjadi sebuah ironi. Pemerintah baru saja membebaskan sejumlah narapidana karena adanya wabah Corona. Bersamaan dengan itu polisi kembali menangkapi warga. Jadilah penjara akan kembali penuh, dan polisi akan disibukkan dengan hal-hal yang tidak perlu. Wabah Corona membawa dampak serius berupa krisis ekonomi. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa makan. Hampir dapat dipastikan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) akan sangat rawan. Tugas polisi akan sangat berat. Jangan ditambah-tambahi lagi. Perut kosong dan keluarga yang tidak makan, bisa mendorong rakyat berbuat nekad. Rakyat, ujar SBY, saat ini sedang dalam situasi _stressful._ Tegang, gamang, takut, emosional, dan gampang marah. Polisi harusnya fokus pada antisipasi dan rencana darurat (emergency plan) krisis Kamtibmas sebagai dampak Corona. Tugas mengayomi dan melindungi warga. Bukan malah sebaliknya terpaksa disibukkan melindungi presiden atau para pejabat yang merasa harga dirinya terhina. Harusnya para pejabat, termasuk Presiden bersikap sebaliknya. Harga dirinya akan sangat-sangat tersinggung, malu, kalau sampai terjadi banyak rakyat yang mati kelaparan. Jangan dibalik-balik. Terima kasih Presiden SBY sudah ikut mengingatkan. Tabiikkkkkkk……End. Penulis Wartawan Senior

Apa Dibalik Horor Perpu Nomor 1 Tahun 2020?

By Dr. Ahmad Yani SH. MH. (Bagian Pertama) Jakarta FNN – Kamis (09/04). Saya merasa tersentak ketika membaca secara keseluruhan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Memghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabiltas Sistem Keuangan. Dari Judul Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang begitu panjang dan menimbulkan banyak pertanyaan yg mendasar. Pertama, apakah Perppu ini mau Melindungi dan Menyelamatkan nyawa rakyat, termasuk di dalamnya tenaga medis dari ancaman Covid-19 ? Atau hanya mau melindungi dan menyelamatkan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan pemerintah? Atau mau melindungi dan menyelamatkan pemerintah yang keliru dan tidak profesional dalam tata kelola kebijakan ekonomi dan keuangan negara? Perppu Nomor 1 Tahun 2019 dapat disebut sebagai Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Adapun Istilah Pendemi Corana Virus Desease 2019 (Covid-19) hanya sebaga alasan pembenaran untuk mengeluarkan Perppu ini. Ditinjau mulai dari konsideran menimbang (fakta), batang tubuh( pasal-pasal) dan penjelasan Perppu yang menjadi tujuan utama bukan untuk menyelamatkan nyawa warga negara. Berdasarkan data resmi tanggal 8 April 2020, sudah 2.956 Positif Covid-19, meninggal dunia 240 orang dant enaga medis yang meninggal sudah 25 orang. Indonesia terbanyak diseluruh dunia tenaga medis yang meninggal. Misi yang lebih mencolok dari keluarnya Perppu ini adalah untuk mengamankan ekonomi yang sudah mengalami devisit anggaran sejak beberapa tahun terakhir, sebelum Covid-19 masuk ke Indonesia. Kenyataan ini akibat kegagalan pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang tidak benar, dan sangat berpotensi mengancam stabilitas keuangan. Kondisi ini sudah seringkali diingatkan oleh pakar ekonomi, khususnya Bang Rizal Ramli, dalam berbagai tulisan atau pandangan yang dikemukakannya dalam berbagai forum. Namun pemerintah menutup kuping dan mata. Ibarat pepatah “biarlah anjing mengonggong kafilah tetap berlalu”. Jadi bukan karena Covid-19 perekonomian dan keuangan negara ambruk. Justru sebaliknya, perekonomian dan keuangan negara sudah dalam keadaan buruk. Kondisi ini menyebabkan pemerintah gagap menghadapi Covid-19. Tanpa Covid-19, Indonesia tetap menghadapi krisis ekonomi dan ancaman resesi. Menurut saya, eknomi kita yang amburadul dan pengelolaan keuangan negara yang tidak tepat membuat kita tidak mampu menghadapi wabah ini. Persoalan utamanya adalah masalah ekonomi. Meskipun dalam Perppu tersebut, Covid-19 menjdi alasannya, namun dalam norma Perppu maupun konsiderannya tergambar jelas untuk mengatas darurat ekonomi. Oleh karenanya, Perppu ini tidak relevan dengan kondisi darurat kesehatan nasional yang sedang dialami oleh Indonesia. Dari postur Anggaran yang digelontorkan sebesar Rp 405,1 triliun, untuk bidang kesehatan sebagai pront terdepan menghadapi serangan Covid-19 hanya Rp 75 triliun. Sebanyak Rp 110 triliun untuk jaring pengamanan social. Sisanya Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pembiayaan dalam bidang kesehatan sangat kecil. Hanya 75 triliun. Sementara alasan bagi keluarnya Perppu adalah untuk menghadapi ancaman Pendemi Covid-19. Kedua, apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Telah Memenuhi Syarat-syarat Negara dalam keadaan bahaya, sehingga menimbulkan kegentingan memaksa? Dalam Pasal 22 (1) UUD 1945 disebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU yaitu: Syarat Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Syarat Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Syarat Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Apakah negara dalam keadaan bahaya dan ancaman sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 UUD? Tentu saja tidak. Karena sampai saat ini Presiden belum mengeluarkan pernyataan Negara dalam Bahaya. Dan dalam Perppu tersebut tidak menjadikan pasal 12 UUD sebagai dasar hukum (mengingat). Kertiga, apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dikeluarkan dan diterbitkan karna terjadi kekosongan hukum dalam menghadapi Ancaman dan bahaya Covid-19, serta DPR dalam masa Reses? Syarat bagi keluarnya Perppu adalah karena terjadi kekosongan hukum. Dalam menghadapi Covid-19, pemerintah telah memiliki payung hukum yang jelas. Ada undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Dimulai dengan karantina rumah, karantina pintu masuk, pembatasan sosial berskala besar dan pemungkasnya karantina wilayah. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses. Bahkan sampai hari ini DPR masih membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dan RUU Pemindahan Ibukota Negara. Artinya, Pemegang Kekuasaan pembentuk Undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya. Dari tiga hal sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK, tidak dapat dijadikan alas an. Sebab kekosongan hukum dan keadaan mendesak tidak terpenuhi. Yang lebih mencengangkan, apa yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang tentang APBN tidak boleh direvisi oleh Perppu. Bukan hanya tidak boleh, tetapi haram hukumnya. Hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan (APBN-P).Dengan Perppu No.1 Tahun 2020 kekuasaan dan fungsi Anggaran DPR sebagaimana diatur Pasal 20 A dan Pasal 23 UUD dan Pasal 28, Pasal 177 huruf C angka 2, Pasal 180 ayat 6 dan Pasal 182 UU MD3 menjadi hilang. Keempat, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bersifat Adhoc (sementara) atau Permanen? Perppu memang bersifat Adhock, tetapi dalam Pasal 22 ayat (2) dikatakan “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya”. Artinya, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011,Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan. Jadi, pembahasan Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perpu itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR. Tergantung dari DPR. Apabila Perpu itu tidak disetujui oleh DPR, maka Perppu ini akan dicabut atau dibatalkan. Yang menimbulkan persoalan hukum adalah apabila DPR menyetujui. Maka Perppu menjadi UU yang bersifat permanen. Sedangkan tujuan dan maksud Perppu diterbitkan untuk jangka waktu sementara (adhoc). Persetujuan DPR ini sangat penting. Karena DPR lah yang memiliki kekuasaan pembentukan undang-undang (legislatif), dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Kelima, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dapat mencabut kekuasaan Lembaga-lembaga Negara, seperti Lembaga Peradilan, BPK dan DPR? Padahal lembaga-lembaga negara tersebut mendapat mandatory langsung dari konstitusi UUD 1945. Dalam Ketentuan Penutup Pasal 27 dan 28 Perpu No. 1 Tahun 2020 memberikan kekebalan hukum dan membatalkan fungsi dan kewenangan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD. Lembaga Negara Inti seperti DPR, BPK dan badan Kekuasaan Kehakiman tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan Perppu ini. Saya menyebut Perpu ini begitu “sangat berkuasa”, sehingga Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, tidak dapat berbuat apa-apa dengan terbitnya Perppu ini. Padahal dalam teori cabang kekuasaan, kita mengenal Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Masing-masing bertindak menurut ketentuan hukum yang berlaku. Namun dengan Perppu ini tidak memberikan kesempatan chek and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut. Artinya, Presiden memiliki kekuasaan yang besar, yaitu kekuasaan Legislatif, Yudikatif , Eksekutif dan Kekuasaan BPK, sehingga mendapat pelindungan hukum dengan hak Imunitas dari tuntutan pidana, perdata dan TUN. Kewenangan Badan Pemeriksa Kekuangan(BPK) yang diberi amanat oleh Pasal 23E UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, tidak boleh melakukan tugasnya menurut Perppu ini. Sementara pemerintah atau perjabat seperti Menteri, KSSK, OJK dan lain-lain yang disebutkan dalam Perpu itu, berhak dengan kekuasannya menetapkan secara sepihak defisit maupun realokasi anggaran, tanpa ada persetujuan dari DPR. Luar biasa Perpu ini. Padahal UU No 17/2014 yang diubah dengan UU 13/2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) Pasal 177 huruf c. DPR dalam melaksanakan wewenangnya dapat melakukan kegiatan pembahasan laporan realisasi APBN semester pertama dan 6 (enam) bulan berikutnya, penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan. Apabila terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal, keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar-unit organisasi, dan/atau keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. Prosedur Perundang-undangan jelas. APBN itu sesuai Pasal 180 ayat (6) UU MD3 “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program”. Kebijakan APBN itu sudah terperinci tidak bisa dibuatkan peraturan seperti yang dijadikan alasan dalam Pasal 1 Perpu 1/2020 itu. Kalau terjadi perubahan asumsi ekonomi Pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan sendiri. Tetap harus melalui DPR. Ketentuan Pasal 182 UU MD3 jelas dan terang bahwa harus melalui APBN Perubahan. Bukan membuat peraturan yang setingkat UU dengan alasan menyelamatkan ekonomi. Padahal ada prosedur hukum yang jelas yang harus ditempuh. Keenam, apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dapat menambah kekuasaan dan kewenangan BI, OJK, Menteri dan khususnya Menteri keuangan, serta KSSK? Banyak celah moral hazard dalam implementasinya. Sebab banyak kewenangan tambahan dan kekebalan hukum (imunitas) bagi para pengambil kebijakan dalam melaksanakan kebijakan tersebut, seperti ketentuan bagi Bank Indonesia. Pemerintah boleh meminta BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Padahal, ini dilarang oleh UU BI. Namun, Perppu No.1 Tahun 2020 tersebut membolehkannya. Aturan yang membolehkan BI bisa membeli SBN di Pasar Primer sangat membahayakan. Selama ini BI hanya diperbolehkan membeli SBN di Pasar Sekunder. Perppu ini bisa disalahgunakan seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dahulu saat krisis moneter menjerat negeri ini tahun 1998. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun, dari yang dikucurkan Rp 144,536 triliun. Kredit itu diberikan kepada 48 bank, dengan rincian 10 bank beku operasi, 5 bank take over, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi. Ketika itu, uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush, tetapi dalam kenyataannya, cuma dijadikan modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar dalam rakngka menyelamatkan grup usahanya. Wallahualam bis shawab. (Bersambung) Penulis Anggota DPR 2009-2014, Advokat, Dosen FH dan Fisip UMJ, Inisiator Masyumi Reborn.

Pindah Ibukota, “Agenda Menggadaikan Kedaulatan Negara”

By Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (09/04). Di tengah semakin beratnya beban hidup rakyat akibat pandemi Covid-19 dan kondisi keuangan negara yang semakin terbebani utang menggunung. Akhir Maret 2020 lalu Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) menyatakan bahwa ambisi Jokowi untuk memindahkan Ibukota Negara akan tetap diteruskan (24/3/2020). Dikatakan Luhut, tim dari Kemenko Marves bersama Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan masih terus melakukan koordinasi. Koordinasi juga dilakukan dengan berbagai calon investor dan mitra untuk pengembangan Ibukota Negara. Sejalan dengan LBP, Presiden Jokowi pun ingin mewujudkan “ambisi” memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Target Jokowi terealisasi sebelum masa jabatan kedua berakhir di 2024. Mimpi ini akan direalisasikan karena telah didukung oleh DPR. Mayoritas partai politik dan sejumlah pakar dan akademisi mendukung dengan berbagai alasan yang sumir. Jokowi tak merasa perlu membuat kajian kelayakan komprehensif. Tidak peduli juga dengan mayoritas rakyat yang menolak. Ambisi pemindahan Ibukota Negara yang dipromosikan sebagai economic deriver untuk pertumbuhan ekonomi, merupakan program yang memberatkan keuangan negara. Tidak pro pemerataan, dan tidak prioritas. Tidak didukung dengan kajian dan pertimbangan objektif. Kebijakan ini akan menambah beban utang negara. Sangat berpotensi moral hazard. Apalagi jika melihat kondisi ekonomi rakyat dan keuangan negara yang semakin morat-marit akibat pandemi Covid-19. Karena itu, program pemindahan Ibukota Negara memang harus segera dibatalkan. Beban Utang Meningkat Tajam Sikap ambisius Jokowi memindahkan Ibukota Negara telah terefleksi dalam penetapan APBN 2020 pada 24 September 2019 lalu. Meskipun masih dalam tahap kajian, dan belum memiliki landasan hukum berbentuk undang-undang, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun untuk pemindahan Ibukota Negara. Anggaran Rp 2 triliun tersebut tersebar dalam anggaran di sejumlah kementrian. Sikap arogan dan menabrak aturan ini diambil pemerintah di tengah defisit APBN yang semakin besar. Sehingga beban utang negara dalam APBN akan semakin berat dari tahun ke tahun. Dalam bulan Februari 2020 pemerintah menambah utang sebesar Rp 130,63 triliun terhadap total utang yang sebelumnya telah mencapai Rp 4.817,55 triliun. Selama sekitar lima tahun berkuasa, Jokowi telah meningkatkan utang negara dari Rp 2.600 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 4.948,18 triliun akhir Februari 2020. Jokowi menambah utang baru sebesar Rp 2.348 triliun, meningkat sekitar 90%. Akibat pandemi Coivd-19, pemerintah menerbitkan Perppu No.1/2020. Isinya mengenai relaksasi batas defisit APBN, dari 3% menjadi 5%. Masa berlaku defisit ini untuk tiga tahun ke depan. Selain itu, Perppu ini juga menambah alokasi belanja Rp 405 triliun . Menurut Menkeu Sri Mulyani sebagian didanai dari Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana BLU, realokasi penyertaan modal negara, dan utang (1/4/2020). Menkeu tidak menyebut tentang adanya realokasi dan pengurangan atau penghapusan anggaran yang tidak prioritas, seperti anggaran untuk Ibukota Negara. Dengan demikian, sebagian besar anggaran untuk tambahan belanja Rp 405 triliun tersebut akan ditutup dengan utang baru. Artinya, proyek mercu suar Ibukota Negara akan dilanjutkan. Utang negara yang sudah sangat besar itu semakin meningkat akibat wabah korona, dan akan diperparah oleh ambisi Presiden Jokowi memindahkan Ibukota Negara. Kemiskinan dan Gini Ratio Tinggi Dalam laporan keuangan pemerintah, disebutkan realisasi pembayaran bunga utang pada 2019 mencapai Rp 275,5 triliun. Sedangkan untuk tahun 2020 ini, anggaran pembayaran bunga utang adalah 295 triliun. Jika ditambah dengan pembayaran pokok utang Rp351 trilliun, maka total pokok dan bunga utang yang harus dibayarkan dalam APBN 2020 adalah Rp 646 Trilliun. Alokasi anggaran untuk pembayaran bunga dan pokok utang itu, jauh di atas anggaran untuk Program Perlindungan Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, termasuk subsidi yang hanya Rp 372,5 triliun. Pembangunan Ibukota Negara sesuai konsep awal adalah menjadikan economic driver atau sebagai penggerak ekonomi melalui urban development. Yang menjadi pertimbangan utama adalah aspek ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, lingkungan, budaya, dan hankam secara seimbang. Faktanya, kajian komprehensif guna menganalisis berbagai aspek tersebut belum dilakukan pemerintah. Apalagi jika berharap akan adanya keterlibatan berbagai stake holders yang relevan. Ditinjau dari aspek sosial-politik, pengentasan kemiskinan dan pemerataan Indonesia bagian timur dengan barat, justru jauh lebih efisien dan efektif. Apalagi jika dilakukan melalui intensifikasi dan konsistensi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, industri (khusus) dan produksi yang tersebar di berbagai daerah. Kemiskinan yang merata di seluruh daerah akan dapat dientaskan melalui pembangunan sentra-sentra industri dan produksi yang relevan bagi tiap daerah. Pengentasan kemiskinan tidak akan efektif dan efisien dengan pemindahan Ibukota Negara yang titik beratnya hanya pada aspek ekonomi, dan sejak awal tidak dimaksudkan pula menjadi kota industri dan pusat produksi. Populasi masyarakat miskin di Indonesia masih tinggi. Ini terlihat pada tingkat kemiskinan sekitar 10%. Tingkat ketimpangan kaya-miskin nasional pun masih lebar dengan Gini Ratio sekitar 0,39. Dengan kondisi gagal panen akhir-akhir ini, ditambah pula dengan kehidupan ekonomi yang memburuk akibat wabah Covid-19, maka sangat jelas bahwa tingkat kemiskinan, dan gap kaya-miskin akan meningkat. Jokowi dan LBP masih tetap ngotot untuk membangun IKN baru tanpa peduli nasib rakyat miskin. Mayoritas Beban Ditanggung APBN Menurut pemerintah, pemindahan Ibukota Negara dimaksudkan untuk mewujudkan visi Indonesia sentris, melalui pembangunan yang merata. Adanya penciptaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Anggaran pemindahan Ibukota Negara sekitar Rp 466 triliun yang berasal APBN, swasta dan swasta/BUMN dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merinci anggaran pemindahan Ibukota Negara dengan skema pembiayaan sbb: Pertama, melalui APBN. Porsinya 19,2% atau Rp 89,472 triliun. Dana ini untuk membangun infrastruktur pelayanan dasar. Juga untuk pembangunan Istana negara dan bangunan strategis TNI/Polri, rumah dinas PNS,TNI dan Polri. Selain itu, untuk pengadaan lahan, ruang terbuka hijau dan Pangkalan Militer. Kedua, melalui swasta. Porsinya 26,2% atau Rp 122,092 triliun. Dana ini untuk membangun perumahan umum, Perguruan Tinggi, peningkatan bandara, pelabuhan, dan jalan tol. Juga untuk sarana kesehatan, mall, dan Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE). Ketiga, melalui KPBU. Porsinya 54,6% atau Rp 254,436 triliun. Ini untuk membangun gedung-gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Juga untuk membangun infrastruktur selain yang tercakup di APBN. Seklain itu, untuk sarana pendidikan dan kesehatan, museum dan lembaga permasyarakatan serta Sarana penunjang lainnya. Rencana pemindahan Ibukota Negara yang diklaim hanya menggunakan APBN sebesar Rp 89,472 triliun tersebut, hanya taktik supaya terlihat rendah. Namun mengandung unsur manipulasi. Pertama, menurut Pasal 5 Perpres No.38/2015 tentang KPBU, sarana yang boleh dikerjasamakan sesuai skema KPBU adalah sarana ekonomi dan sosial. Karena itu, sarana gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif jelas tidak termasuk sarana yang didanai swasta melalui skema KPBU, tetapi harus didanai negara melalui APBN. Kedua, meskipun sarana dan gedung-gedung tersebut dikerjasamakan dengan swasta melalui skema KPBU, pada akhirnya pemerintah perlu membayar biaya sewa dalam bentuk biaya operasi setiap kementrian dan lembaga yang memanfaatkan sarana tersebut. Akhirnya, tetap saja negara melalui APBN lah yang harus membayar biaya sewa/operasi sarana tersebut. Bahkan jumlahnya pun pasti lebih besar karena di dalam skema KBPU terkandung unsur keuntungan swasta yang harus dibayar, dibanding jika sarana dibangun pemerintah sendiri. Ketiga, biaya sebesar Rp 466 triliun itu hanya memperhitungkan pembangunan sarana. Padahal dengan pindah Ibukota Negara, sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah pusat yang saat ini berjumlah 1,4 juta orang juga harus pindah. Jokowi memastikan bahwa seluruh ASN di pemerintah pusat akan pindah ke ibu kota baru pada 2024 (27/1/2020). Seandainya pun ASN yang ikut pindah hanya sekitar 200.000 orang, maka akan dibutuhkan juga biaya sekitar Rp 5 hingga Rp 7 triliun lagi. Dominasi Swasta Atau Asing Secara keseluruhan, biaya yang akan ditanggung APBN karena pindahnya Ibukota Negara akan sangat besar, dan berlangsung bertahun-tahun. Namun terlepas dari beban APBN yang berat tersebut, pihak swasta akan sangat dominan untuk membangun Ibukota Negara baru ini. Penggunaan skema KPBU yang menggunakan dana swasta hingga Rp 254 triliun, ditambah swasta murni Rp 122 triliun, akan menjadikan kantor-kantor Ibukota Negara sebagai proyek bisnis yang sangat menguntungkan bagi swasta atau asing. Dalam hal ini, perburuan untung besar oleh oligarki penguasa-pengusaha lah yang tampak menjadi motif utama ambisa Jokowi memindahkan Ibukota Negara. Padahal, seluruh sarana terkait penyelenggaraan negara, terutama kantor-kantor eksekutif, legislatif dan yudikatif, berikut sarana penunjangnya, sesuai konstitusi haruslah dibangun pemerintah. Karena motif bisnis di satu sisi dan sikap defensif atas gugatan beban APBN yang besar di sisi lain, maka Jokowi tetap memaksakan diri. Karena motif bisnis pulalah maka proyek ini dengan sangat arogan dijalankan oleh oligarki penguasa-pengusaha melalui pendekatan konspiratif, sistemik dan otoriter. Negara akan membayar keuntungan bisnis swasta atau asing yang membangun berbagai sarana dalam jumlah sangat besar pada tahun-tahun mendatang. Lebih ironis, dengan peran swasta yang dominan, maka peran pemerintah menjamin kedaulatan negara dan martabat bangsa akan berkurang atau hilang. Peran swasta membangun Ibukota Negara pasti mengancam kedaulatan negara dan martabat bangsa. Sebab, infrastruktur politik strategis dan objek vital negara, seperti juga untuk persenjataan TNI, seharusnya dibangun dan dikuasai sepenuhnya oleh negara. Jika peran swasta dibiarkan leluasa, maka pemerintah tidak akan dapat berfungsi secara penuh dan independen menjalankan fungsi konstitusional negara. Pembentukan pemerintah guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan pada Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan berdasarkan Pancasila pasti tidak akan terpenuhi. Ambisi pembangunan Ibukota Negara baru jelas melanggar UUD 1945, Pancasila dan sejumlah UU. Karena ingin menunjukkan bahaa proyek ini tidak membebani keuangan negara atau APBN, dengan berlindung di balik dana swasta, maka pemerintah telah melakukan kesalahan lain secara bersamaan. Pemerintah telah, membisniskan sarana vital negara. Memberi peluang dan keuntungan bisnis oligarkis kepada swasta atau asing. membebani keuangan negara secara jangka panjang. Menggadaikan kedaulatan negara dan martabat bangsa. Ditambah dengan beban utang yang akan meroket, serta target pemerataan dan pengentasan kemiskinan yang tidak efektif dan efisien, maka pembangunan Ibukota Negara baru memang sudah saatnya dibatalkan. Penulis adalah Managing Director IRESS

Korporasi China Berjaya di Ujung Corona?

Ikhlas adalah bagaikan misk yang terjaga dibawah kulit hati. Dimana wanginya akan senantiasa mengingatkan pembawanya. Amal perbuatan ialah jasad, sedang ikhlas ialah ruhnya. Sesungguhnya teluk yang jernih lebih berharga dibandingkan lautan yang kotor, jika engkau tidak bisa ikhlas maka usahlah engkau belelah-lelah. (Ibnul Jauzi Rahimahullah). By Margarito Kamis Jakarta FNN – Rabu (08/04). Ikhlas akan membawa siapapun untuk terus menerus-menerus menjadikan pasrah sebagai karibnya. Pasrah yang menjadi karib ikhlas akan terus-menerus menyerukan pemilkinya menerima semua yang telah diikhtiarkan apa adanya. Tak mengeluh, merintih, apalagi mencaci begini dan begitu atas semua yang mendatanginya. Baik dan buruk, pada alam iklhas dan pasrah, memiliki ketentuan yang pasti dan pasti. Alhasil semua yang terjadi, yang menimpa dunia berlangsung sesuai ketentuan alam abadi. Kala ujian telah ditetapkan, ia pasti datang sesuai ketentuannya. Kala kepergiannya telah ditetapkan, ia pun pergi sesuai ketentuannya. Dimana ketentuan itu? Mungkin di alam azali. Entahlah. Wallahu A’lam Bissawab. Entah merupakan buah keihlasan atau kepasrahan, atau juga hal lain. Misalnya, dunia terus berputar dan peristiwa demi peristiwa silih berganti datang dan pergi. Orang, setidaknya sebagian, membiarkan semua yang pernah terjadi itu begitu saja. Tak ada pemeriksaan, apalagi detail dan cermat. Semua terlihat biasa, biasa dan biasa saja. Mungkin itulah yang tirai, terlepas dari ketebalan lapisan-lapisannya, yang mengakibatkan orang membiarkan sejumlah perstiwa masa lalu berceceran tanpa makna. Di atas meja akal, yang diambil dari peristiwa itu hanyalah yang kasar, yang terlihat. Misalnya, virus Spanyol 1918-1919, yang secara klinis disebut “Virus Flu” itu. Yang disajikan tidak lebih dari jumlah orang mati, cakupan sebaran dan usaha-usaha untuk menemukan antifirusnya. Padahal di tahun-tahun itu, Jerman tiba-tiba saja, tanpa sebab yang jelas, menyerah dari sekutu pada perang dunia pertama. Tentara Jerman di garis depan medan tempur pun kecewa. Mereka merasa telah dihianati, ditikam dari belakang oleh pemerintahnya sendiri. Apalagi pasal-pasal dalam “Perjanjian Versailes” yang diprakasai oleh Woodrow Wilson, Presiden Amerika itu, terlihat oleh rakyat benar-benar sangat mempermalukan mereka. Tentara Jerman menemukan kenyataan, terlepas dari derajat validitasnya, orang-orang yahudi di Jerman dianggap menghinati Jerman. Kenyataan ini melengkapi kekecewaan mereka, sekaligus menyulut kebencian Hitler kepada Yahudi Jerman kala itu. Jerman pun jatuh ke titik terendah dalam berbagai aspek sesudah akhir perang memalukan itu. Mereka dikontrol anggota sekutu, karena perjanjian Versailles. Mereka tak diperbolehkan memiliki persenjataan memadai, termasuk wajib mengurangi produksinya. Jerman juga terperangkap dalam krisis keuangan. Situasi keuangan Jerman tak jauh beda dengan situasi keuangan Amerika. Inflasi melilit ekonomi Amerika di ujung pemerintahan Wilson, 1919. Presiden Harding mengawali penanganannya. Tak tertolong malah terus membesar jadi depresi ekonomi besar tahun 1929-1933. Ia mengajukan Melon Tax Reduction Bill. Ini sebenarnya merupakan gagasan republikan. Gagasan ini berisi skema penyatuan pembuatan kebijakan keuangan pemerintah pusat, unifing federal budget, dan pemotongan upah pekerja. Tetapi keadaan tak tertolong. Takdirpun mengakhiri kekuasaannya lebih cepat dari yang seharusnya. Ia jatuh sakit dan harus berhenti dari jabatannya. Dilanjutkan oleh Calvin Collidge, wakilnya (1923-1929). Tetapi keadaan ekonomi tetap saja tak tertolong. Tahun 1929, ketika Herbert Hoover resmi memangku jabatan sebagai presiden, resesi ekonomi mencengkram Amerika. Hoover, presiden Republikan yang liberal konservatif memiliki visi jelas dalam memetakan persoalan. Presiden ini mengerti sejak 1880 sampai dengan tahun 1920 telah menjadi era baru ekonomi nasional Amerika. Ditandai dengan pemerintah Federal memainkan peran luas menangani kehidupan rakyat. Peran ini belum pernah ada presedennya. Apa bentuknya? Mendukung para pebisnis. Hoover tahu itu. Ia berenang dalam spektrum itu. Menjadi visinya dalam kampanye kepresidenan. Ia meletakan standardisasi industri, memperbaiki ekonomi nasional, memperbesar pasar luar negeri untuk industri-industri Amerika di panggung kampanyenya. Ia jual kepada rakyat di sepanjang perjalanan kampanyenya. Gagasannya dibeli rakyat. Jadilah ia Presiden. Tetapi seperti telah terancang dengan sempurna, begitu Hoover memasuki jabatan itu, terjadi apa yang disebut “stock market crash 1929”. Ini mengawali tenggelamnya Amerika ke dalam krisis ekonomi berat. Pada bulan Desember tahun itu juga, satu juta orang kehilangan pekerjaan. Jadi pengangguran. Hoover bergerak maju. Langkahnya terlihat khas republikan Hamiltonian (Alexander Hamilton). Seperti dicatat Robert Dalec, penulis biografinya, Hoover memperbesar pinjaman kepada The Fed’s. Juga memberikan stimulan ekonomi sekaligus memperbesar belanja pemerintah. Sembilan belas miliyar dollar Hoover belanjakan membangun jalan bebas hambatan, rumah sakit, waterway, dan military base. Alhasil infrastruktur. Hoover melangkah lagi. Kali ini Hoover memainkan kartu legislatifnya. Ia mengajukan “Reconstruction Finance Corporation Bill”. Sembari menanti Bill itu dibahas, Hoover mendekati kongres meminta persetujuan mereka memberi tambahan budget sebesar dua juta dollar untuk menginjeksi ekonomi. Semua langkah ini dicatat dengan teliti oleh Robert Dalec. Lalu dengan nada kritis, Dallec menyatakan “apa bedanya dengan New Deal-nya Franklin D. Rosevelt”? Politik ya politik. Berhenti di situ? Tidak juga. Ia maju lagi dengan mengajukan “Emergency Relief And Construction Bill”. Diterima Kongres dan disahkan menjadi “Emergency Relief and Construction Act 1932”. Maju lagi dengan “The Banking Bill”, yang akhirnya menjadi “The Bangkin Act 1933”. Berakhirkah langkahnya? Tidak. Ia menyodorkan Reconstruction Finance Corporation Bill ke Kongres, dan disetujui menjadi Reconstruction Finance Corporation Act 1933. Semua yang telah dilakukannya ternyata tidak menolong dirinya memenangkan pemilu 1932. Hoover kalah. Dalam pengakuannya kekalahan itu disebabkan Wall Street mengalihkan dukungan ke Franklin D. Rosevelt (FDR). Dan FDR, politisi berhaluan Social Democrat ini menang. Dilantik tanggal 4 Maret 1933, atau dua bulan setelah Hitler dilantik pada tanggal 30 Januari 1933. Hoover yang anti collectivist, dan lebih sebagai voluntarism, menurut Anggela Lanete Smith dari Weyne State University, tidak percaya Jerman dapat membayar kompensasi kepada sekutu sebesar U$ 132 miliar dollar. Jerman terlihat akan kolaps. Amerika menyiapkan program pemulihan. Dimulai program dari Calvin Colidge dengan Dawes Plan 1924. Dilanjutkan dengan Young Plan (1929) pada awal pemerintahan Hoover. Menariknya, menurut Smith program ini justru membesarkan Hitler. Lalu Hoover hendak menghentikan program itu. Hoover mau memoratorium pembayaran hutang dan pinjaman antarpemerintah Eropa, termasuk Jerman dengan Amerika pada tahun 1930. Padahal bank-bank terkemuka Amerika telah member pinjaman kepada pemerintahan lokal German berkisar 50 sampai 75%. Dalam sepuluh tahun setelah perang dunia pertama, Jerman meminjam dari Amerika tidak kurang dari tiga trilyun dollar. J.P Morgan menyediakan pinjaman sebesar antara 100 sampai 200 miliar dollar. Chase dan German Trust di sisi lain menginvestasi modalnya di bidang infrastruktur sebesar dua trilyun dollar. Dawes Plan (1924) dan Young Plan (1929) menurut Antony Sutton dalam The Wall Street and The Rise of Hitler adalah proyek Wall Street. Owen D. Young (Youn Plan) menurut Sutton adalah agen JP Morgan. Hjalmar Schach Presiden Bank Sentral Jerman 1924, di sisi lain menyatakan Owen Young (Young Plan) bertanggung jawab atas kemunculan Hitler. Sutton pada bagian lain menulis, Amerika membangun kartel Jerman. Kartel Jerman terdiri atas Allgemeine Electrizitas Gesellcchaft (A.E.G), German General Electric. Kartel ini terkoneksi dengan Wall Street Syndicate; National City Co ($35.000.000). Kartel Jerman lainnya Vereinigte Stalhwerke – United Steelworkers- terkoneksi dengan Dillon, Red and Co (Wall Street Syndicate) U$ 70.225,000. American I.I Chemichal (I.G. Farben) kartel Jerman terkoneksi dengan National City Co U$ 30.000.000. Charles E. Mitchel, Walter Teagle dan Paul Werburg (The The Fed’s), Edsel B. Ford dan Carl Bosch (Ford Motor Company), H.A Mets dan Paul M. Warburg (Bank of Manhattan), Walter Teagle (Standard Oil of New Jersey) semua koneksi dengan I.G Farben Jerman dan American I.G. Dan I.G Farben memproduksi hampir seluruh material dasar bom yang digunakan militrer Nazi Jerman dalam perang dunia kedua. Paul Warburg adalah saudara kandung Max Warburg, direktur I. G Farben. Sebelumnya bekerja sebagai Bankir di Hamburg. Praktis Paul menjadi Direktur American Farben dan Max menjadi direktur I.G Farben Jerman. I. G. Farben adalah penyedia dana dan pendukung utama Hitler. Terdapat transfer dari I. G. Farben ke Hitler sebesar 400.000 Mark, di luar transfer individual sebesar 200.000, Mark. Praktis 45% biaya kampanye Hitler berasal dari I.G. Farben. Seluruh tindak-tanduk korporasi Wall Street yang menaikan Hitler ke kursi kekuasaan, tak melibatkan Hoover. Bagaimana dengan FD Rosevelt? Setelah FD Rosevelt di kursi kepresidenan, dia mengirimkan Puzi, sohibnya sedari sekolah di Harvard, dan punya koneksi dengan Hitler segera menemuinya. Kepada Puzi Rosevelt berpesan segera memainkan piano, dan pelan-pelan mulai menaikan gas sampai membesar. Ketika membesar segera menghubungi kedutaan. Hoover, dengan seluruh fakta di atas tak mungkin menang pemilu. Dan di atas semua itu, Hitler meraih kekuasaan dan menggelorakan “New Economic Order”. Di sudut Amerika, Rosevelt bergelora dengan “New Deal”. Praktis ada dua “New”. New Jerman dan New Amerika. Dua-duanya “new order”. Lalu, apa relefansinya dengan serangan Corona yang saat ini telah menghancurkan ekonomi dan keuangan sebagian besar negara di dunia? Korporasi telah berteriak minta tolong. Hampir di semua negara, terutama Amerika. Produksi berkurang terus-menerus. Pekerja kehilangan pekerjaan dari hari ke kari. Melonjak tajam. Utang berceceran dimana-mana. Dan seperti biasanya, pemerintah sebagian negara berenang di tengahnya mencari hutang dan hutang. Indonesia, tak terkecuali. World Bank dan IMF, dua simbol new world order, telah menyiapkan skema utang. Namanya bantuan. Termasuk untuk reformasi sistim keuangan yang tak pernah tuntas, dan yang akan terus begitu. Bagaimana dengan utang pembiayaan proyek-proyek besar Indonesia? Darimana saja utang itu? Dari China atau Amerika? Kapan jatuh temponya? Kalau jatuh tempo di tengah kemelaratan, tidakkah tindakan mudah adalah mengubah status asset menjadi equity, untuk bayar utang? Itu namanya hukum leviatan ala Wall Street. Bagaimana dengan korporasi swasta Indonesia? Hebatkah mereka? Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang judulnya begitu panjang, dan isinya bermasalah itu, jelas dalam banyak aspek tipikal Wall Street. Defisit diperlebar, bantuan kepada korporasi disediakan, dan lainnya. Perpu ini bercitarasa Wall Street i. Bandingkan dengan Emergency Relief And Construction Act 1932 di Amerika. Bandingkan dengan Reconstruction Corprate Finance Act 1933 di Amerika. Lihat Bangkin Act 1933 di Amerika. Terakhir lihat juga Emeregency Economic Stabilization Act (EESA) 2008 di Amerika. Wuhan menjadi epicentrum Corona di China, bahkan dunia. Menariknya Beijing dan Shanghai tidak kena. Top atau aneh? London, New York, Washington DC, Madrid, Paris, Berlin, sekadar beberapa contoh, semuanya kena. Beijing dan Shanghai tidak. Hebat sekali. Sialnya rakyat mereka yang mau kembali dari Indonesia ke negaranya menggunakan pesawat Garuda, justru tak bisa. Pesawat Garuda yang hendak menerbangkan mereka ditolak masuk ke China. Akankah Jack Ma, dengan Alibabanya yang telah dan terus menjulang, terutama di Asia datang dan jadi penyelamat korporasi Indonesia? Mungkinkah kapitalis China lainnya yang muncul? Itu soal lain. Itu mudah. Hukum Leviatan ekonomi yang akan bicara. Dunia bakal berubah, total, setelah Corona. Negara miskin yang bodoh akan terus miskin, terus jadi sasaran rentenir dunia. Yang rentenir tetap di posisi itu,sebagai rentenir. Siapa mereka? Korporasi bersakala dunia. Termasuk korporasi yang mengambil rute di sepanjang Belt and Road Iniciative China? Layak dipertimbangkan. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Anies di Pusaran Fitnah

BY Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (08/04). Pujian dan cacian itu hal biasa. Terutama bagi seorang pemimpin. “Dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang, “kata Anies Baswedan. Terkadang hal baik dicaci, dan yang buruk diapresiasi. Apalagi kalau sudah melibatkan survei persepsi. Yang baik bisa dibuat buruk, dan yang buruk malah dipuja-puji. Suka-suka yang mensurvei ambil sample responden dan menyajikan hasilnya. Yang lebih tidak wajar, jika seorang pemimpin atau pejabat gemar lapor. Mending lapor ke bini, lapornya ke polisi. Dikit-dikit lapor. Serem. Kritik diawasi, hina dipenjara. Gawat. Ini menunjukkan pemimpin atau pejabat ini belum matang. Gak siap untuk jadi pejabat. Saat ini, pemimpin di Indonesia yang dianggap fenomenal dan paling dinamis dalam pemberitaan, selain Jokowi adalah Anies Rasyid Baswedan. Gubernur DKI ini, tidak saja banjir pujian, tetapi juga tak pernah sepi dari fitnah. Beda fitnah, beda kritik. Kritik itu sesuatu yang inheren dalam demokrasi. Tak ada kritik, tak ada demokrasi. Kalau kritik berbasis pada data dan fakta. Kalimatnya terukur. Tidak terkesan cari-cari kesalahan. Bahasanya mengikuti standar "EYD". Masih sopan, maksudnya. Sementara fitnah itu sebaliknya. Manipulasi data dan bertentangan dengan fakta. Seringkali menggunakan bahasa jalanan. Meski fitnah adalah tindakan tak bermoral, dan bukan bagian dari budaya bangsa yang menganut asas Pancasila, tetapi kehadirannya niscaya. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menghadapi dengan dewasa. Gak sedikit-sedikit lapor polisi. Prinsipnya, apa yang dilakukan pemimpin, tak semua orang suka. Yang nggak suka, ada yang pilih diam. Ada juga yang agresif menyerang. Bahkan fitnah jadi menu harian. Kelompok inilah yang orang sebut sebagai "haters". Haters Anies sebenarnya jumlahnya nggak banyak. Ini bisa dilihat ketika ada aksi demo di Balaikota. Paling 10-30 orang. Saat musim banjir, agak banyak dikit. Kurang lebih 100 orang. Hanya karena haters ini agresif dan dikelola secara "premium", maka cukup berhasil membuat gaduh di medsos. Walaupun begitu, atraksi mereka nampak kurang efektif. Nggak besar pengaruhnya. Meski kerja buzzernya masif. Kenapa? Karena suka menggunakan data palsu dan bertentangan dengan fakta. Ini mudah sekali dipatahkan. Sekali fakta dibuka, kelar. Selama ini, itulah yang terjadi. Terus, dan berulang-ulang polanya. Apalagi dinarasikan dalam bahasa yang tidak simpatik. Gak nyentuh psikologi rakyat. Contoh yang paling gress, ketika "haters Anies" mengungkap anggaran DKI untuk penanganan covid-19. Hanya Rp 130 miliar. Kalah dengan Jawa Barat dengan anggaran Rp 500 miliar, dan Jawa Tengah dengan anggaran Rp 1,4 triliun. Padahal, DKI punya APBD Rp 87,9 triliun. Pagi itu info grafis disebar oleh buzzer. Sorenya harinya Anies klarifikasi. Bahwa anggaran DKI untuk penanganan covid-19 adalah Rp. 3,1 tiliun. Kelar barang itu. Justru menambah poin buat Anies. Beberapa hari berikutnya, diulang lagi. Kali ini hotel bintang lima yang disorot. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi BEM Jakarta menuduh Anies berlebihan dalam melayani tenaga medis. Fasilitas hotel bintang lima bagi dokter dan tenaga medis dianggap nggak tepat. Hanya satu dua hari berselang, sejumlah perguruan tinggi mengaku nama universitasnya dicomot. Juga beredar foto yang oleh publik diduga mirip ketua Aliansi BEM itu bersama kakak pembina. Atraksi-atraksi semacam ini menurut saya tidak cerdas. Menyoal fasilitas tenaga medis dan membully para dokter di tengah para tenaga medis itu sedang merenggang nyawa, bahkan puluhan dokter meninggal saat bekerja, merupakan tindakan konyol. "Para haters" tanpa sadar sesungguhnya telah berhadapan dengan persepsi masyarakat. Bagi masyarakat, dokter-dokter dan para tenaga medis itu adalah pahlawan. Dihujani fitnah dan cacian, Anies tetap cool. Begitulah karakter bawaan Anies. No comment. Kecuali terus bekerja, terukur dan fokus menyelamatkan nyawa warga DKI. Meski harus menempuh langkah tak populer, lalu dibully dan dianggap cari panggung, Anies nampaknya nggak pedulikan itu. Fokus Anies, bagaimana nyawa dokter, tenaga medis, pasien dan rakyat itu terselamatkan. Blessing buat Anies. Karena bullyan kontra fakta justru berbalik dan malah menghadirkan banyak apresiasi publik kepadanya. Langkah-langkah Anies, khususnya dalam menghadapi covid-19, dianggap menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin yang seungguhnya. Langkah-langkah Anies sistemik, terukur dan komprehensif. Komunikasinya membumi dan bisa dipahami rakyat. Anies seolah menjadi energi baru bagi rakyat di tengah frustrasi dan kekecewaan terhadap ketidakjelasan arah bangsa ini ke depan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Apakah Presiden Bisa Pindahkan Ibukota Negara...?

Sebenarnya semua alasan ketidaklayakan pemindahan ibukota negara tersebut di atas bagus, dan sangat layak dijadikan pertimbangan oleh Presiden Jokowi. Namun masalah sesungguhnya bukan di situ. Karena argumen seperti itu semuanya bisa ditepis dan diterjang dengan alasan bahwa semua argumen tersebut bersifat relatif atau direlatifisir dengan “memaksa”. Bagi mereka, tantangan-tantangan dan rintangan itu bisa dihadapi dengan skenario lain. Inti pokoknya harus pindah saja. Soal alasan, itu belakangan. By Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Selasa (07/04). Banyak argumen dikemukakan untuk membatalkan proyek mercusuar pemindahan Ibukota negara. Ada yang melihat dari segi keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang oleh Menkeu Sri Mulyani sudah memberi isyarat kalau APBN 2020 tekor sebesar Rp 853 triliun. Kas negara tekor akibat dampak pandemi virus corona. Selain corona, beban utang negara yang besar telah menarik Indonesia ke tubir kehilangan kedaulatan. Karena utang berbanding lurus dengan pelemahan kedaulatan. Soal kondisi ekonomi Indonesia yang sedang merosot, sampai dengan ada juga alasan kerusakan alam di Kalimantan Timur sebagai akibat penambangan yang tidak bertanggungjawab. Nasib Ibukota baru yang digambarkan seperti “penumpang lusuh” pada lahan sekitar strategis dan fasilitas-fasilitasnya yang telah disiapkan dan dihegemoni investor asing. Tidak terbayangkan nasib kedaulatan Indonesia ke depan seperti apa bila Ibukotanya berada di sebuah lapangan bancaan. Lahan pengeroyokan oleh kekuatan yang asing pada cita cita Indonesia merdeka. Apalagi kini, Indonesia sedang menghadapi krisis besar karena bencana wabah virus corona yang sedang “menerkam masyarakat dunia”. Mana mungkin ada akal sehat mengizinkan adanya bicaraan soal pemindahan Ibukota negara dalam kondisi seperti ini? Kalau ada yang memaksakan juga, maka siapapun orangnya, dipastikan sangat tidak berperasaan dan tidak miliki sense of national humanitarian crisis. Apalagi orang tersebut masih saja mendorong-mendorong soal pemindahan Ibukota negara ini. Sebenarnya semua alasan ketidaklayakan pemindahan ibukota negara tersebut di atas bagus, dan sangat layak dijadikan pertimbangan oleh Presiden Jokowi. Namun masalah sesungguhnya bukan di situ. Karena argumen seperti itu semuanya bisa ditepis dan diterjang dengan alasan bahwa semua argumen tersebut bersifat relatif atau direlatifisir dengan “memaksa”. Bagi mereka, tantangan-tantangan dan rintangan itu bisa dihadapi dengan skenario lain. Inti pokoknya harus pindah saja. Soal alasan, itu belakangan. Namun ada satu alasan yang pasti, dan tidak ada alasan manapun untuk bisa membantahnya adalah bahwa pemindahan Ibukota negara itu tidak dibolehkan karena tidak memiliki alas hukum. Bila tetap dilaksanakan, maka itu tergolong perbuatan inkonstitusional. Sementara Presiden disumpah untuk menjalankan undang-undang. Apabila melanggar undang-undang, bisa diimpeach. Apakah masalah akan selesai bila undang-undangnya dibuat untuk mengatasi hambatan tersebut? Apalagi kalau nanti kalau ekonomi membaik. Sayangnya tidak. Karena selama Pak Jokowi menjadi Presiden, maka tidak boleh memindahkan Ibukota negara. Mengapa? Sederhana saja. Karena yang terhaormat Pak Jokowi tidak menyatakan dalam janjinya sebagai calon Presiden pada waktu Pilpres yang baru lalu. Sementara janji sebagai capres/cawapres dalam visi-misi adalah pengganti arahan pembangunan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang membatasi Presiden terpilih dalam programnya. Apabila yang terhormat Pak Jokowi melanggar janji tersebut, berarti dianggap Pak Jokowi telah menipu para pemilih dalam kampanye-kampanye Pilpres 2019 lalu. Ingat, bahwa kedudukan Visi-Misi Capres/Cawapres itu diatur oleh undang-undang, dan sifatnya mengikat. Intinya sederhana saja. Masih banyak kerja-kerja lain yang telah dijanjikan. Kerja-kerja itu yang perlu dilaksanakan, terutama menghadapi kondisi krisis sekarang ini. Sementara “Indonesia is not for sale”. Semoga sukses menjalankan tugasnya Pak Presiden. Hati hati dengan masukan yang tidak professional, yang cenderung menjerumuskan. Penulis adalah Politisi dan Pemerhati Bangsa

Ngebut Omnibus Law Saat Corona, Kepentingan Siapa?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Dalam buku yang berjudul "Conflict and The Web of Group Affiliations", George Simmel membuat teori bahwa keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkat laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok. Perintis mazhab interaksionisme simbolis ini ingin mengatakan bahwa sikap, perilaku, cara berpikir, kepentingan dan keberpihakan seseorang akan ditentukan oleh keanggotaan di dalam kelompok. Dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja, pengusaha tetap satu suara dalam kata "setuju" . Lalu berhadapan dengan buruh di sudut yang berbeda. Pengusaha dan buruh, atau dalam bahasa Marx, borjuis dan proletar selalu berada di dalam kutup kepentingan yang berbeda. Pengusaha ingin "untung besar" dengan mengurangi upah dan hak buruh. Sementara buruh ingin "upah layak" dengan mengurangi keuntungan pengusaha. Antara pengusaha dan buruh berebut hasil di tempat yang sama. Yaitu di dunia industri dimana kedua kelompok ini sama-sama berada di dalamnya untuk berebut hasil produksi. Dalam konteks ini, siapa pemenangnya? Di negara modern seperti Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan, negara hadir untuk melindungi kepentingan buruh. Regulasi dibuat agar buruh mendapatkan kelayakan upah. Upah yang tidak hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga cukup untuk biaya pendidikan, berlibur dan memenuhi kebutuhan pengembangan diri. Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, borjuis hampir selalu menang. Kehadiran negara justru seringkali berpihak dan melindungi kepentingan kapitalis. Alasannya selalu "demi menggenjok pertumbuhan ekonomi". Pertumbuhan ekonomi buat siapa? Buat si kapitalis? Tanya para buruh. Regulasi undang-undang yang mestinya dihadirkan untuk melindungi kepentingan kaum buruh yang selalu dalam posisi lemah, justru seringkali direkayasa untuk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha. Ini terjadi karena pengusaha seringkali hadir, ikut serta dan intervensi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan itu. Jadi, penindasan terhadap buruh selalu dimulai dari regulasi. Kok bisa para kapitalis itu intervensi? Setiap kapitalis ingin memanen hasil investasinya yang ditanam saat pemilu. Jadi, ada pihak-pihak yang harus bayar hutang? Tanyakan pada mereka! Musim pandemi covid-19 seperti sekarang ini adalah saat yang tepat untuk bayar hutang kepada korporasi, kata Margareto. Mumpung ada aturan "social and physical distancing". Buruh gak boleh demo, karena akan menciptakan kerumunan. Awas tertular virus! Akhir-akhir ini mulai bermunculan banyak cerita atas kehadiran para pengusaha di gedung parlemen saat penyusunan undang-undang. Salah satu cerita diungkap oleh Hamdan Zulfa, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan anggota DPR. Ia pernah menyaksikan sendiri cek yang dibawa pengusaha tercecer di lantai gedung parlemen. Beberapa waktu lalu, juga viral tulisan seorang profesor dalam obrolan dengan salah satu ketua partai terkait dengan operasi cek dan dolar di parlemen. Cerita klasik. Tapi, tetap menyedihkan. Kalau legislatif saja masuk angin, apalagi eksekutif? Jadi, dalam konteks Omnibus Law, ada dua kelompok yang tidak saja berbeda, tetapi bertabrakan kepentingan, yaitu pengusaha vs buruh. Jika ada pengusaha kok nggak setuju Omnibus Law, mengacu pada teorinya George Simmel, hampir dipastikan itu kepura-puraan. Dobol. Pengusaha adalah pengusaha. Mereka hidup dalam habitat atau kelompok yang sama dalam kepentingan. nggak mungkin menolak. Kata Karl Marx, monyet nggak mungkin memotong dahan dimana ia duduk. Maaf, itu kata Karl Marx. Buruh meradang atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Ada sembilan poin yang membuat mereka protes lalu kerahkan ribuan massa dan ancam akan mogok massal. Diantara poin yang membuat mereka meradang adalah soal hilangnya upah sektoral, pesangon dikurangi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dipermudah, Tenaga Kerja Asing (TKA) bebas bekerja di Indonesia, dan tidak ada saksi pidana untuk perusahaan. Ini mah kapitalis banget. Lalu bagaimana penyelesaiannya? Apakah dengan konflik ala Marxis? Tentu tidak. Indonesia negara Pancasila. Pancasila tak memberi ruang buat cara-cara Marxisme dan komunisme untuk digunakan. Era 1948 dan 1965 sudah berakhir. Komunisme akan selalu ditolak di negeri pancasila, meski data sejumlah Jenderal TNI AD, ada upaya membangkitkan kembali. Komunisme mestinya cukup jadi fosil sejarah di Indonesia. Komunis ditolak, apakah kapitalisme diterima? Cara yang paling damai adalah dialog dan kompromi. Dalam hal ini langkah yang harus ditempuh. Pertama, negara mesti berada di tengah. Negara adalah wasit, tidak boleh berpihak. Kedua, negara harus ajak bicara dan dengarkan suara buruh. Gak boleh budge. Ketiga, pengusaha gak boleh diberi ruang untuk intervensi dan menekan negara, meski oknum pengelola negara banyak yang berhutang budi dan dipelihara oleh pengusaha. Singkirkan oknum itu? Nggak mungkin. Terlanjur keluar duit banyak. Tapi, jangan beri ruang mereka untuk bertingkah semaunya. Negara harus kuat, tak boleh kalah dengan borjuis. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Perpu Terbit, Wewenang Dari DPR BPK dan Pengadilan Hilang

Wahai Manusia, sekarang aku memimpin urusan kalian. Padahal aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebenaran, dukunglah aku. Namun, jika aku berbuat kesalahan luruskanlah aku! Ingatlah, sesungguhnya aku adalah orang yang lemah di antara kalian, Dia kuat dalam pandanganku hingga aku berikan hak kepadanya. Dan sesungguhnya orang kuat di antara kalian, dia lemah dalam Pandanganku hingga aku mengambil hak darinya. Patuhilah aku, selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan janganlah kalian patuhi aku, jika aku mengingkari Allah dan Rasul-nya! (Sayidina Abubakar As Siddiq RA) By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (07/03). Ya Allah ya Rab Al Haq. Engkau cek kualitas iman kami pada-Mu, dengan mengutus mahluk-Mu yang bernama corona. Sungguh dia menyeramkan. Kami hampir tak berdaya. Corona, mahluk tak terlihat dengan indra kasar itu. Datang dengan cara yang satu dan lainnya belum dapat dijelaskan hingga kini. Subhanallah. Mahluk tak berbentuk dan tak terlihat itu, dengan kuasa alam-Mu, membuat manusia terlihat jauh lebih kecil darinya. Tak sedikit orang di seantero dunia ini terhenyak, terdekap takut tak berujung, tak berdaya dan harus sembunyi darinya. Sungguh ini ujian, yang terlalu sulit untuk dilupakan. Orang-orang berseru tinggal saja dirumah. Jangan begini dan jangan begitu. Seruan itu membahana, memekik telinga lalai dan hati yang abai, untuk sekadar saling mengingatkan. Kematian yang tak seorangpun dapat mendekatkannya, dan tak seorang juapun yang dapat menjauhkan dari setiap mahluk yang memiliki ruh, kini menyempitkan nafas setiap orang. Itu menjadi sebab banyak hal berantakan. Ekonomi, begitu para ahli di bidang ini menyebut, berantakan. Korporasi, dengan tabiat bawaannya yang cerdas menindas dalam keadaan normal. Jago dalam urusan lobi-melobi, atur sana atur sini dengan cara yang tak dapat dijangkau orang kecil, ternyata oleng juga. Orang-orang kehilangan kerja. Duit menjauh, sebegitu jauhnya sehingg tak lagi dapat dibayangkan datangnya. Tak bisa bayar ini dan bayar itu. Utang melekat dalam setiap denyut nadi. Ia menyatu dalam setiap hentakan nafas. Sesak. Berat jadinya. Korporasi yang ahli akal-akal laporan keuangan, terpojok juga. Uang berkurang. Rugi muncul menjadi nyanyian nelangsa disepanjang waktu teror corona. Seperti anak ayam diteror elang kecil, lari meminta proteksi ke induknya. Seperti bocah yang tak mampu menghalau gangguan dengan tangisannya, lari menuju bundanya meminta perlindungan. Rakyat pun menanti uluruan tangan ihlas dan tulus pemerintah. Begitulah panorama di sepanjang teror corona ini. Sedih, sungguh sedih. Marahkah engkau Ya Rab? Sungguh alam kecil para Wali terus menyeru betapa Rahim-Mu terlalu besar. Sebegitu besarnya sehingga tak terbayangkan dibandingkan dengan marah-Mu. SayangMu, begitu seruan para Wali dengan kejuhudannya, lebih besar dari dunia dan seisinya. Sedih Ya Allah, ujian kecil-Mu ini telah mengakibatkan akal sehat sebagian orang melayang. Entah kemana. Padahal kalam-Mu mengingatkan kelak disuatu hari nanti, semua raga akan bicara. Mulut terkunci. Tiada sepatah kata pun dapat terucap sekadar meluruskan keterangan raga lain. Sungguh sedih, di tengah peringatan tak tertimbang nilainya itu, keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya amat sangat panjang itu. Ya Allah Azza wa Jallah. Kau siapkan hari akhir, hari perhitungan, hari meminta penjelasan dari hamba-hamba-Mu. Itu hari yang berat, dan menakutkan. Tetapi duhai Allah Yang Maha Tahu, Perpu ini membenarkan, memberi hak kepada beberapa pejabat untuk tidak bisa diminta pertanggung jawaban, dan bebas dari harus memberi penjelasan. DPR, yang memang sudah begitu payah, sudah begitu sulit diharapkan, juga tak bisa minta penjelasan mereka para pejabat itu. Mereka, para pejabat yang nyaring menyanyikan syair lagu transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas di sepanjang nafasnya, menurut Perpu ini, tak bisa dituntut di pengadilan perdata dan pidana. Bahkan pengadilan tata usaha negara sekalipun. Duhai Allah Yang Maha Rahman, rahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang tak terbilang. Hindarkanlah kami ya Allah dari tipuan hukum dunia ini. Tolonglah duhai Allah Yang Maha Penolong. Jauhkan kami dari hukum yang terlalu sulit untuk kami mengerti ini. Ya Allah Yang Maha Pelindung. Lindungi kami semua dari akibat yang bisa membuat kami melalaikan-Mu. Duhai Engkau Yang Maha Bijak. Hidupkanlah akal fikiran kami dalam urusan ini dengan petunjuk-petunjuk-Mu. Jangan biarkan pejabat-pejabat kami tenggelam dalam kelalaian yang membinasakan kami. Entah hadis atau ucapan Sayidina Ali Bin Abu Thalib, Jalaluddin Rumi mengutip dan memenuliskan “Barang siapa yang akalnya bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia dari malaikat. Barangsiapa yang nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang. Subhanallah. Sinarilah para pejabat yang mengurus urusan ini dengan Nur Muhammad Rasulullah Sallahi Alaihi Wasallam, kekasih-Mu yang Agung itu. Ya Allah, beritahukanlah mereka tentang bagaimana mengetahui sesuatu itu buruk, kalau tak ditunjukan sesuatu yang lain. Buruk ada karena dilawankan dengan baik. Hitam ada karena dilawankan dengan putih.Warak ada karena dilawankan dengan tamak. Kalau uang negara yang dikeluarkan untuk urusan penanganan efek Corona terhadap ekonomi dan keungan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, tak usah dijelaskan. Lalu BPK mau diapakan? Mau periksa apa? Untuk apa? Cari kerjaan apa? Jangan mengada-ada. Kan yang diperiksa adalah level dan derajat akuntabilitas pengeloaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara. Subhanallah. Ini Perpu membikin DPR tak bisa minta penjelasan mengenai rencana penambahan belanja, sumbernya, dan ruang defisit yang diperlebar lebih dari 3%. Masa Allah, pengadilan juga tak bisa cek pengelolaan dan tanggung jawab pejabat yang menangani urusan besar ini. Uang negara untuk semua biaya kebijakan ini, tak bisa dikualifikasi kerugian negara. BPK mau periksa apa? Untuk apa? Cilaka betul Perpu ini. Bagaimana tidak? Selain soal-soal di atas, soal lainnya adalah menurut UUD 1945, Perpu ini harus diajukan ke DPR pada persidangan berikut untuk mendapatkan persetujuan. Apa nalarnya? Cek argument dibalik Perpu. Untuk apa? Untuk mengetahui apakah alasan yang digunakan masuk akal atau tidak. Apa maknanya? Akuntabilitas. Titik. Praktis DPR, Pengadilan dan BPK yang menajdi tiga organ yang kewenangannya diatur dalam konstitusi. Subhanallah, semuanya dipukul telak dengan Perpu ini. Perpu ini mencabut kewenangan utama lembaga-lembaga negara itu. Ini ilmu apa? Entahlah, mungkin ilmu konstitusi ala Wall Street dari negeri kapitalistik, Amerika. Ilmu tentang pelebaran defisit anggaran kan ilmunya Harry Hopkins, Marriene Eccless, Henry Wallace, orang-orang di lingkaran utama Franklin D. Rosevelt. Ilmu ini, dalam sejarah Amerika muncul di tengah Krisis Keuangan Hebat tahun 1929-1933. Tahun 1933 itu juga Franklin D. Rosevelt dilantik jadi presiden. Memang Henry Morgenthau Jr, menteri keuangan Rosevelt mengusulkan “balanced budget”. Tetapi usul ini dikesampingkan Rosevelt. Selain orang-orang di atas, Rosevelt juga mendapat nasihat dari John Meynard Keynes, Ekonom kenamaan itu. Ilmuan ini memiliki tesis “permanent budget deficit”. Dia, Keynes dipertemukan dengan Rosevelt oleh Felix Frankfurther, penasihatnya yang ahli hukum kenamaan dari Harvard Law School. Sebelum dibawa ke Rosevelt, Felix Frankfurther terlebih dahulu jumpa Keynes, Ekonom top yang dikenal berhaluan politik Socialis Democrat. Sama dengan Rosevelt. Setelah jumpa Frankfurther, Keynes menulis satu artikel di New York Times. Materinya seputar cara menangani krisis. Artikel ini dibawa Felix Frankfurther ke Rosevelt. Dan Rosevelt menyetujuinya, lalu mengikutinya. Berubahlah Tata Negara dan ekonomi Amerika mengikuti alur gagasan Keynes, dan untuk sebagian pemain-pemain utama di Wall Street. Perpu ini tidak spesifik bicara tentang Bank Sentral. Disitulah keanehannya. Apa anehnya? Terdapat ketentuan tentang kewenangan baru Bank Sentral. Sungguhpun tidak persis sama dengan perluasan organ The Fed tahun 1935, tetapi dalam sifatnya sama. Apa samanya? Krisis itu membawa Amerika menambah kewenangan dewan Gubernur The Fed. Itu diatur dalam The Banking Act 1935. Bank sentral kita juga dapat kewenangan baru. Mirip. Kewenangan siginifikan yang dimunculkan The Banking Act 1935 adalah Dewan Gubenur The Fed diberi wewenang mengontrol kebijakan moneter nasional. Di Perpu ini, Bank Indonesia yang tidak lain merupakan Bank Sentral itu, diberi kewenangan memberi bantuan likuiditas tanpa syarat tertentu sebagaimana UU Bank Indonesia sebelumnya. Karena semuanya telah dinyatakan tidak bisa dicegah, maka tidak ada faedahnya bicara prinsip-prinsip hukum administrasi. Presumption of legalitiy, presumption of authenticity, dan presumption of veracity, dan administrative due process. Semuanya tak perlu. Tak ada gunanya. Itu sampah. Tidak berlaku di sini. Sampai kapan keadaan itu? Setidak-tidaknya sampai tahun 2022. Mengapa? Pasal 2 huruf a angka 1 mengatur durasi bahaya dan atau ancaman bahaya corona sampai tahun 2022. Itulah hukum dari ketentuan yang menyatakan defisit APBN sebesar di 3 % (tiga persen) berlaku sampai tahun 2022. Praktis sampai dengan tahun itu, semua tindakan administrasi dalam kerangka menangani bahaya dan ancaman bahaya corona tidak bisa dicek. Titik. Top Markotop. Masa Allah. Lalu bagaimana? Pemerintah sudah sedemikian kuat. DPR saudah sedemikian tak berdaya, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menghaturkan kata bjiak Ibnu As-Sammak kepada Harun Ar-Rasyid, Amirulmukinin ini. Amirulmukinin berkata kepada As-Sammak apa yang bisa engkau berikan kepadaku? Sammak menjawab “saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka”. Mendengar kata-katanya begitu tajam, seorang pelayan Harun menyela. Tapi As-Sammak tak gentar. Dengan tatapan matanya yang tajam kepada Harun, As-Samak melanjutkan “anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.” Masih ada waktu, begitu judul lagu Ebit G. Ade, lagu lama yang dilantunkan kembali bersama Andrea, anaknya. Dan baru saja dirilis. “Mumpum masih ada kesempatan buat kita kumpulkan bekal untuk perjalanan abadi.” Itulah sebait syairnya yang terlalu berat untuk diabaikan. Burung terbang dengan kedua sayapnya, seorang mukmin terbang dengan tekdanya, kata Jalaludin Rumi. Wallau A’alam Bissawab. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Rilis Pernyataan Sikap, Ikatan Alumni BEM PT Muhammadiyah Se-Indonesia Menolak Darurat Sipil

Oleh Ahmad Lohy Jakarta, FNN – Rencana pemerintah menetapkan status darurat sipil sebagai upaya penanggulangan Wabah Covid-19, muncul reaksi dari beberapa kalangan, diantaranya dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi (PT) Muhammadiyah Se-Indonesia. Presiden mengumumkan untuk manjalankan UU/Perppu No. 23 Tahun 1959 Tentang Darurat Sipil melalui bebarapa tahapan itu dinilai kurang tepat. Sehingga perlu dikoreksi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Demikian bunyi rilis lengkap pernyataan sikap : Pernyataan Sikap Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia Menyikapi situasi sosial, politik dan ekonomi nasional saat ini, ditengah ancaman Pandemi Covid-19 dengan ini kami dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia : Menolak Pemberlakuan Darurat Sipil yang berdasar kepada Perpu No 23 Tahun 1959 dan mendukung Pemberlakuan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, guna memastikan pemenuhan hak-hak warganegara ditengah situasi Pandemi. Berdasarkan poin pertama, kami menuntut Pemerintah pusat untuk segera menganulir rencana penetapan Darurat Sipil sebagai solusi menghadapi Pandemi Covid-19. Menuntut Presiden Joko Widodo untuk tampil terdepan memberikan informasi-informasi yang menenangkan situasi sebagai bentuk Public Address ditengah ketidakpastian informasi saat ini. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera moncopot Menteri Kesehatan akibat kelalaiannya dalam menilai situasi Pandemi yang berdampak pada kondisi saat ini. Mendesak Pemerintah untuk segera memastikan ketersediaan APD untuk Pekerja Medis di Seluruh Indonesia. Demikian pernyataan ini kami sampaikan mohon ditindaklanjuti Terima Kasih Ikatan Alumi BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia. Jakarta, 03 April 2020 Ttd. Muhammad Wildan (Mantan Wakil Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Jakarta. Rofsanjani Ali. (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia periode 2011/2012). Izra Jinga Saeni,.SH,MH (Mantan Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Kendari) Danang Prasetya (Presiden Mahasiswa Univ. Muh. Surakarta periode 2010/2011) Iskandar La Ngali (Wapres BEM UM.Mataram 2009-2010) Selpi Setiadi ( Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sukabumi 2010-2012) Andri Susanto Bethan (Mantan Presdium Nasional BEM PTM Se-Indonesia Zona 2 Kalimantan, BEM Universitas Muhammadiyah Kaltim) Riza Aulia (Mantan Presma BEM Univ. Muhammadiyah Banda Aceh) Alfajri A. Rahman (Mantan BEM Univ. Muhammadiyah Maluku Utara). Abdul Jabbar Al Bugizy (Mantan Presidium Nasional BEM PTM Zona 7 Wilayah Indonesia Timur, UMS Rappang). M Fadly Sangadji (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM Se-Indonesia/UMJ periode 2010/2011) Ibnu Misbakhul Hayat (Mantan Presma ITB Ahmad Dahlan Jakarta) Zul Agung Sulaiman (Mantan Menlu BEM UMT Periode 2014-2015) Rubianto (Mantan Presma UMY periode 2009 - 2011) Firdaus Abdullah (Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia zona 5 / Presiden Mahasiswa Unmuh Malang 2012-2013)

Skenario Makro Ekonomi Indonesia Setelah Keluar Perpu

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (02/04). Ada yang unik dan terbilang langka dari paparan lengkap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid 19. Paparan yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam konferensi persnya tanggal 1 April 2020. Garis besar kebijakan itu sendiri sebelumnya sudah disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Yang unik dan langka itu adalah keterbukaan pemerintah dalam memaparkan resiko makro ekonomi yang mungkin akan kita alami. Dalam model persandingan skenario, pemerintah memaparkan tiga skenario berbeda. Yaitu, skenario normal yang sama dengan asumsi yang dianut didalam APBN 2020. Skenario Berat. Terakhir, skenario sangat berat. Saya ingin mengapresiasi keterbukaan ini. Setidaknya keterbukaan itu membantu kita membaca alam pikiran pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Sekaligus juga membuka jendela prediktif bagi pelaku ekonomi dan para ekonom dalam melihat arah perkembangan ekonomi Indonesia. Skenario “normal” tentu sudah tidak relevan lagi. Sisa skenario “ Berat dan Sangat Berat “. Pada dua skenario ini, kunci yang membedakan secara signifikan itu adalah ekonomi rumah tangga (household economy) dan ekonomi pemerintah. Dalam istilah komponen pembentuk PDB, kedua skenario itu bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Tapi signifikansinya lebih berat ke arah konsumsi pemerintah. Murni keynesian. Yang bermakna, inti dari pergeseran skenario ekonomi itu adalah pada kapasitas dan kapabilitas intervensi pemerintah. Dalam skenario “Normal”, pemerintah fungsinya sebagai pendorong, alias Tut Wuri Handayani. Dalam skenario “Berat dan Sangat Berat” pemerintah adalah lokomotif utama, alias Ing Ngarso Sung Tulodo. Lantas dimana fungsi sektor swasta? . Skenario ini menunjukkan ketidak berdayaan sektor swasta dalam menghadapi situasi krisis ini. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto ( PMTB ) yang mengindikasikan dinamika sektor swasta dalam dua skenario tersebut mengalami pemerosotan tajam. Proyeksinya, dari 6,0% dalam situasi “ Normal”, merosot jatuh hingga 1,12% dalam situasi “ Berat” dan menjadai -4,22% dalam situasi “Sangat Berat”. Centang perenang. Terpapar signifikan sebagi korban utama dalam krisis ini secara ekonomi. Demikian juga dengan ekonomi rumah tangga. Dalam dua skenario tersebut, kurvanya memang tidak securam PMTB, tetapi penurunannya pun juga sangat drastis. Dari 5,0% kontribusi terhadap PDB menjadi masing-masing 3,22% dan 1,60%. Keadaan ini bukan lagi menggambarkan keadaan kontraksi. Tapi keadaan ekonomi yang mengalami krisis. Di dalam skenario ekonomi makro, “kekacauan” itu tercermin pada proyeksi pertumbuhan PDB yang bergerak pada 2,3 % pada skenario “Berat” dan -0’4% pada skenario “ Sangat Berat”. Perekonomian Nasional akan kehilangan lebih dari separuh kapasitas normalnya, atau malah kehilangan keseluruhan kapasitasnya. Demikian juga pada pergerakan nilai tukar yang cepat dan drastis. Setting kesadaran skenik pemerintah ini, sangat signifikan dalam menakar kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam membuat dan menjalankan kebijakannya. Pada skenario “Berat”. Terdapat keyakinan bahwa sumber kapasitas pemerintah masih bisa diandalkan. Pada skenario “ Normal”, konsumsi pemerintah dipatok diangka 4,3%. Pada skenario “ Berat”, angka itu bergerak ke atas, 6,83%. Ada upaya yang “extraordinary” dari pemerintah dalam bentuk tambahan 2,5% konsumsinya. Atau dengan kata lain, untuk tahun 2020 ini saja, pemerintah harus mengupayakan produktifitas kapasitasnya tidak kurang dari 130% kapasitas normalnya. Mungkinkah itu? Kuncinya ada pada efisiensi dan pembiayaan. Konsistensi dalam menerapkan prinsip efisiensi sepanjang proses ini tak bisa ditawar-tawar. Ekspansi fiskal diarahkan pada program yang betul- betul bisa menahan laju pemerosotan ekonomi. Sekaligus juga memberi ruang bagi pemulihan ekonomi. Demikian pula dengan pembiayaan. Saya sendiri was-was pada isu “keberadaan” sumber. Pasar hutang dunia sungguh akan sesak. Saat ini saja, sudah ada tidak kurang dari U$ 7 Trilliun yang masuk ke dalam pasar dari berbagai upaya “counter measure“ banyak negara dalam menghadapi krisis ini. Yang potensial dan relatif murah itu adalah kapasitas Bank Indonesia. Tanpa mengabaikan potensi lain di dalam negeri. BI adalah “game changer” dalam urusan ini. Senjata kewenangan yang diberikan oleh Perpu yang baru saja dikeluarkan pemerintah memberi ruang “open ended policy” bagi BI. Catatannya, BI mesti kalkulatif sekaligus juga “ ikhlas” dalam menggunakan cadangan devisanya. Asal tidak mengulangi kekeliruan di era BLBI. IMF memang memiliki standar dalam menilai kekuatan ekonomi suatu negara dari segi cadangan devisanya. Cadangan yang ada sekarang. Setahu saya masih 20% diatas batas yang dianggap aman oleh IMF. Tetapi batasan ini tidak relevan dalam soal ini. Kita sesungguhnya sudah ditubir krisis ekonomi. Sampailah kita pada skenario “ Sangat Berat”. Menjadi sangat berat karena pemerintah juga tergerus kapasitasnya. Pemerintah hanya sanggup menyediakan 3,73% konsumsinya. Hanya 87% dari kapasitas normalnya. Demikian juga nilai tukar yang menyentuh Rp 20.000/ USD. Kapan itu terjadi? Jika krisis pandemi covid 19 berlarut-larut tanpa kepastian hingga bulan September tahun ini ( catatan : NHS/ Kementerian Kesehatan Inggris mendeklarasikan kemungkinan seperti ini), dan pemerintah kewalahan dalam menyediakan Sumber Pembiayaan Mengembalikan kehidupan menjadi normal dengan dampak covid 19 yang sudah bisa terkontrol, dan menjaga sisi pembiayaan negara (karena otoritas fiskal, moneter dan jasa keuangan semua ada di dalamnya) adalah tameng yang membatasi perpindahan skenario-skenario itu. Pada tahap awal, kebijakan Rp 405,1 triliun dan Perpu yang melandasi serangkaian langkah yang diambil dan akan diambil pemerintah merupakan “ bantalan” yang melegakan. Paket ini cukup memberikan ruang bernafas bagi perekonomian rakyat dan UMKM. Sektor riil, khususnya UMKM harus menjadi “champion” dalam paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan, maupun yang akan diluncurkan. Paket ini dianggap bisa membuat perekonomian mendarat darurat (crash landing ) tapi selamat. Konsumsi rumah tangga dijaga hingga pada batas minimal. Model transfer payment seperti ini memang jadi tren global. Tujuannya, mempertahankan momentum konsumsi Rumah Tangga. Sebagai suatu langkah kebijakan darurat, efeknya tentu terbatas pada penyediaan “bantalan” perekonomian. Kita masih menanti paket lanjutan pemerintah. Tentunya pada pembahasan RAPBN 2021 pada bulan Agustus nanti. Yang tahapnya akan dimulai pada pembicaraan pendahuluan dibulan Mei atau Juni nanti. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Semoga Allah SWT membimbing kita semua keluar dari krisis ini. Amin. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI