NASIONAL

Jangan Panik Hadapi Corona. Ayo Berjemur Jam 10 Pagi

By Tony Hasyim Jakarta FNN – Kamis (26/03). Serangan global virus mematikan yang dimulai dari Wuhan Cina, membuat seluruh populasi dunia panik. Belum pernah dalam sejarah dunia terjadi kepanikan massal yang melibatkan hampir seluruh manusia dan diupdate terus-menerus oleh seluruh media seperti sekarang ini. Yang gelisah, setiap hari korban tewas terus berjatuhan di segala penjuru bumi. Tetapi World Health Organization (WHO) sampai saat ini belum bisa memastikan obat apa yang paling mujarab untuk menetralisir virus pembunuh tersebut. Kepanikan ini, ditambah lagi dengan bantahan-bantahan antara para ahli dan pengamat di media sosial maupun media mainstream. Saling membantah itu terkait tips-tips yang ditawarkan ahli dan pengamat tentang kiat pencegahan dan penyembuhan dari serangan virus ini. Sejauh ini pemerintah Indonesia juga belum bisa memastikan obat apa yang ampuh bagi para penderita. Padahal mereka sewaktu-waktu, atau kapan saja bisa tertular oleh virus ini. Sementara, beberapa tenaga medis di berbagai rumah sakit yang menangani pasien terpapar virus ini sudah berguguran. Mereka yang masih sehat bahkan sudah memberi warning agar masyarakat jangan ke luar rumah. Seorang dokter memberi pesan viral agar warga melakukan apa saja untuk melindungi diri dari virus ini. Situsasi sudah tidak terkendali. Pemerintah, ahli medis dan rakyat nampaknya sudah blank. Nah ditengah kepanikan tersebut, situs berita online Detikom pada Rabu 25 Maret 2020, pukul 07:36 WIB menurunkan artikel berjudul “Viral Jam 10 Disebut Waktu Terbaik Untuk Berjemur, Ini Faktanya” Artikel ini bersumber dari sebuah pesan viral yang menyebut bahwa waktu terbaik untuk berjemur adalah pada jam 10.00-11.00 pagi. Dengan berjemur 15-30 menit di waktu tersebut, tubuh mendapat asupan vitamin D paling optimal. "Pada jam tersebut tubuh kita paling aktif membuat D3 dari matahari. Dengan hanya berjemur sekitar 15- 30 menit, tubuh kita sudah dapat membuat sekitar 10.000-20.000 IU vit D3, gratis," demikian kutipan pesan tersebut. Masih menurut Detikom, anjuran ini didukung oleh dr Tan Shot Yen, seorang ahli gizi komunitas. Dalam sebuah wawancara, ia menegaskan jam 10 pagi adalah waktu terbaik untuk berjemur. "Yang kita butuhkan sebetulnya adalah ultraviolet B. Ultraviolet B ini gelombangnya lebih pendek. Itu sebabnya, kita harus tunggu sedikit mataharinya naik. Jadi, untungnya kita di khatulistiwa, jam 10 sudah ada. Itu adalah alasan kita jemurnya jam 10.00," kata dr Tan. Namun perlu diingat, sinar matahari juga mengandung sinar ultraviolet A. Menurut dr Tan, sinar ultraviolet inilah yang harus dihindari karena bisa memicu kanker dan kulit keriput. "Jadi jangan jemur sampai gosong. Bagi orang yang kulit putih, 15 menit aja cukup dan yang gelap 20 menit cukup," jelasnya. Profesor Geriatri dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof dr Siti Setiati, SpPD, KGER, MEpid, dalam penelitiannya juga menyebut sinar matahari memberikan manfaat paling optimal pada siang hari. "Iya, di atas jam 9. Hasil penelitian saya tahun 2003. Mungkin perlu diteliti lagi karena sudah lama," kata Prof Siti saat dikonfirmasi Detikom. Sedangkan untuk menangkal paparan sinar ultraviolet A yang 'jahat' bagi kulit, aesthetiv consultant dari Ekle's Clinic, dr Eklendro Senduk D, AAAM, MKes, mengatakan berjemur di waktu-waktu tersebut sebaiknya tidak lebih dari 15. "Selain itu juga tetap disarankan untuk memakai sunblock sebelum berjemur," katanya kepada Detikom. Anjuran untuk berjemur memang sudah banyak disampaikan beberapa dokter terkait pandemi virus mematikan sekarang ini. Paparan sinar matahari disebut mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Tapi memang tidak ada yang menyebut harus jam 10 pagi. Kebanyakan malah melarang orang berjemur di atas jam 10 pagi karena bisa menyebabkan kanker kulit. Nah, penulis sendiri sudah menerima pesan berantai seperti yang dimaksud Detikom melalui aplikasi Whatsapp pada Senin 23 Maret 2020, pukul 21.58 WIB. Pesan tersebut isinya sebagai berikut : Salam damai sejahtera .... Selamat malam semuanya.... Saya ingin bagikan tips agar Imun Tubuh tetap terjaga, adalah dengan berjemur punggung selama 10 menit pada jam 10 tiap hari. Untuk menjaga Kekebalan tubuh. Karena Ultraviolet D2 itu keluar ya pada jam 10.00 pagi. Jadi, biar kolesterol kita bisa dirubah menjadi vitamin D3 ( utk kekebalan tubuh) dan utk kekuatan tulang juga. Dan jangan lupa bawa air mineral dan diminum setiap 15 menit, jangan biarkan tenggorokan kita kering. Tentunya supaya terjaga hati kita tidak dikuasai oleh kecemasan dan ketakutan. Inilah kuncinya agar kita kebal terhadap segala Virus!!! “DP” Kemudian disusul lagi sebuah meme viral melalui Whatsaap yang materinya sama, tetapi di bawahnya dibubuhi nama Komjen Pol Drs. Dharma Pongrekun MM. MH., yang sekarang menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Dari situ, penulis memastikan inisial “DP” yang menulis viral himbauan berjemur pada jam 10 pagi itu, tak lain adalah adalah Dharma Pongrekun. Setelah dikonfirmasi langsung via telepon kepada yang bersangkutan, ternyata benar memang dia yang membikin himbauan dalam format teks WA . Himbauan itu lalu dikirim kepada beberapa temannya. Dengan maksud agar mereka tidak terlalu fokus kepada hal yang mencekam saat ini. Setiap orang harus berinisiatif membangun imunitas tubuh sendiri agar bermamfaat dalam melakukan aktivitas ke depan. “Saya sebenarnyanya sangat paham tentang segala situasi ini. Makanya saya menggerakan teman-teman saya agar jangan terkukung oleh situasi yang mencekam saat ini,” katanya. Menurut DP, sebelumnya ia bersama kawannya seorang dokter ahli kinesiologi (ilmu gerakan fisik) sudah melakukan pengujian kepada beberapa orang di sekitarnya pada pagi hari Senin 23 Maret 2020. Dari hasil pengujian secara kinesiology, Dharma menemukan ada dua orang ajudannya yang tubuhnya lemah. Selanjutnya mereka semua diminta berjemur bersama Dharma selama 10-20 menit. Ternyata setelah dijemur dan dilakukan pengujian lagi secara kinesiologi, imunitas tubuh kedua ajudannya tersebut menguat kembali dan dokter tadi menyatakan yang bersangkutan dalam keadaan sehat. Menurut Dharma tubuh yang lemah adalah pintu masuk segala macam virus dan penyakit ke dalam tubuh manusia. Ini disebabkan terganggunya sirkulasi meridien (saluran-saluran energi) di dalam tubuh manusia. Tetapi setelah tubuh dijemur matahari pada pukul 10 pagi, saluran-saluran meridien tersebut akan pulih seperti sediakala. “Imunitas tubuh kita langsung bangkit setelah berjemur persis jam 10 pagi selama 10-20- menit saja,” katanya. Sebab itulah, sore harinya dia langsung ketak-ketik di tombol handphone-nya tentang tips membangkitkan imunitas tubuh untuk menangkal segala macam virus. Setelah diketik, DP kirimkan kebeberapa kawan-kawannya, yang kemudian memforward ke kawan-kawannya lagi, sehingga menjadi viral bahkan ada yang membuat dalam format meme. Menurut Dharma, matahari adalah anugrah dari Tuhan yang harus kita nikmati setiap hari dengan penuh rasa bersyukur. Matahari bukan sekedar diciptakan Tuhan untuk menerangi bumi seperti yang dipahami kebanyakan orang selama ini. ‘’Ini obat gratis yang difasilitasi Tuhan untuk menjaga kesehatan manusia. Jadi jangan tunggu-tunggu lagi, berjemur segera besok pagi,” kata Dharma kepada penulis. Apa boleh buat. Dari pada menunggu pengumuman resmi pemerintah tentang obat paten anti virus yang sedang mewabah sekarang ini, yang entah kapan ditemukan. Namun setelah mendapat tips tersebut, keesokan paginya penulis langsung berjemur matahari persis jam 10 pagi. Memang terbukti badan kita langsung enak dan segar. Dari pemantauan penulis, sejak kemarin memang sudah banyak netizer yang pamer di medsos sedang berjemur mulai jam 10 pagi. Jadi, tidak perlu diperdebatkan lagi tentang bagaimana cara mengobati dan mencegah penularan virus mematikan ini. Yang harus segera kita lakukan adalah membangkitkan kekebalan tubuh kita masing-masing dari segala serangan virus penyakit dengan berjemur matahari pada jam 10 pagi. Dalam situasi mencekam seperti sekarang ini, kita memang harus melakukan segala ikhtiar untuk menyembuhkan dan melindungi diri kita dari serangan segala virus. Tapi ingatlah, Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan matahari untuk menjaga kesehatan tubuh kita. Semoga kita selamat dari serangan virus jahannam ini. Penulis addalah Wartawan Senior

Tidak Mau “Lock Down”, Presiden Bisa Terapkan Probiotik Siklus

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kamis (26/03). Presiden Joko Widodo berkali-kali menegaskan, Pemerintah tak akan melakukan Lock Down terkait penyebaran Virus Corona atau Covid-19 yang semakin massif. Pemerintah hanya bisa menerapkan Social Distancing (penjara sosial). Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah menegaskan penerapan social distancing agar dapat dijalankan dengan maksimal. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah alternatif jika pemerintah tak ingin menerapkan lockdown. “Pertama, ini masalah serius jadi harus bekerja cepat sekali enggak boleh sebaliknya,” kata Ketua Satgas Covid-19 IDI Profesor Zubairi Djoerban di Jakarta, seperti dilansir Hajinews.id, Senin (23/3/2020). Dia juga menyarankan untuk menerjemahkan sosial distancing ke dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti publik. Misalnya batalkan piknik, batalkan rapat, batalkan arisan, dan jangan ada pertemuan-pertemuan apa pun dengan tetap tinggal di rumah. Dia mengatakan, penerimaan informasi masyarakat juga harus terus diperbarui karena kerja sama dengan mereka amat diperlukan. Dia meminta pemerintah dan mengimbau media untuk tidak hanya melontarkan informasi terkait corona, tapi ubah perilaku publik. “Perilaku ini penting karena kalau mereka ini tidak mengikuti anjuran pemerintah, maka bisa gagal,” katanya. Dia meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak ngawur dan terbukti secara ilmiah untuk kemudian disebarluaskan. Dia juga mengimbau agar pemerintah melakukan tes seluas dan sebanyak mungkin secara cuma-cuma dan mengisolasi warga yang terinfeksi. Menurutnya, jika hal itu dilakukan dengan tegas maka sebenarnya sama dengan membatasi akses masyarakat. Namun, dia mengatakan, pengetatan pergerakan itu menjadi istilah lain dari lock down. “Sebetulnya kan itu sama saja, tapi itu istilah lain saja, lock down kecil’ lah. Jadi kalau lockdown bagus, tapi kalau tidak lockdown asal isunya sama aja ya enggak apa-apalah,” katanya. Data terbaru dan penanganannya, per Kamis 26 Maret 2020, ada 893 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Itu disampaikan Jubir Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, dalam konferensi pers yang disiarkan BNPB di YouTube, pada Kamis, 26 Maret 2020. Yuri mengatakan total ada 78 orang positif corona yang meninggal dunia yang tersebar di 11 provinsi. Hingga hari ini, tercatat kasus positif corona bertambah menjadi 893. “Total kasus positif 893, ini angka kumulasi,” ujar Yuri. Data ini dihimpun hingga pukul 12.00 WIB hari ini. Dengan jumlah kasus itu, berarti ada penambahan 105 kasus positif corona dari data sebelumnya. Sebanyak 78 pasien corona meninggal, 35 pasien sembuh. Mengapa Presiden Jokowi tak akan lock down dan cukup social distancing? Konsekuensi lock down itu, sesuai pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Berikut petikannya: Pasal 55: (1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. (2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait. Bisa jadi, Pemerintah Pusat tidak siap dengan konsekuensi lock down itu. Maka, Pemerintah Pusat maupun Daerah hanya menerapkan social distancing saja. Atau bisa juga disebut semi lock down. Kalau Presiden Jokowi tidak mau lock down, Pemerintah bisa menerapkan proses Probiotik Siklus. Sehingga, masyarakat masih bisa beraktivitas secara normal. Dengan Probiotik ini, masyarakat yang terinveksi corona bisa berobat mandiri. Tidak perlu bantuan medis. Tidak perlu ke rumah sakit. Sehingga, Pemerintah tak perlu juga repot-repot menyediakan makanan makhluk hidup sesuai pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2018 tersebut. Paramedis hanya memantau perkembangan pengobatannya saja. Mengapa Probiotik? Probiotik berasal dari etimologi Latin dan Yunani, yakni “pro” (preposisi bahasa Latin) yang berarti “untuk” dan kata sifat dari bahasa Yunani βιωτικός (biōtikos) yang berarti “hidup atau cocok untuk hidup”. Kata yang terakhir itu berasal dari kata benda bahasa Yunani βίος (bios), yang berarti “hidup”. Jadi Probiotik bermakna sesuatu yang pro, yang mendukung, yang cocok, bermanfaat untuk kehidupan. Secara istilah, menurut WHO/FAO, Probiotik merupakan organisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup, mampu memberikan efek yang menguntungkan kesehatan host (inang)nya. Probiotik yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria: 1. Memberikan efek menguntungkan pada host; 2. Tidak patogenik (bersifat menimbulkan penyakit) dan tidak toksik (bersifat racun); 3. Mengandung sejumlah besar sel hidup; 4. Mampu bertahan dan melakukan kegiatan metabolisme dalam usus; 5. Tetap hidup selama dalam penyimpanan dan waktu digunakan; 6. Mempunyai sifat sensori yang baik; 7. Diisolasi dari host. Probiotik akan berkompetisi dengan bakteri patogen pada tempat menempelnya bakteri di mukosa usus dan memodulasi sistem imun. Terdapat beberapa spesies yang telah diteliti dan digunakan sebagai probiotik di pasaran. Yakni LactobacillusA cidophilus, Lactobacillus Casei, Lactobacillus Gg, Bifidobacterium Bifidum, Bifidobacterium Longum, Streptococcus Thermophilus, Enterococcus Faecium, dan Saccharomyces Boulardi. Yang umum digunakan adalah kelompok Lactobacillus dan Bifidobacteria. Efek kesehatan yang menguntungkan dari probiotik adalah: 1. Memperbaiki keluhan malabsorsi laktosa; 2. Meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus; 3. Supresi kanker; 4. Mengurangi kadar kolesterol darah; 5. Memperbaiki pencernaan; 6. Stimulasi imunitas gastrointestinal (hal yang berhubungan dengan pencernaan, terutama lambung dan usus) Manfaat Probiotik di antaranya: 1. Anti alergi; 2. Anti inflamasi/peradangan; 3. Anti kanker; 4. Anti konstipasi/sembelit; 5. Anti diabetes; 6. Anti obesitas/kegemukan; 7. Anti infeksi dalam dan luar tubuh; 8. Detoksifikasi/membuang racun; 9. Memperbaiki pencernaan; 10. Memperbaiki pencernaan gizi; 11. Melancarkan aliran darah; 12. Memaksimalkan fungsi obat; 13. Memperbaiki fungsi organ dalam (misal: ginjal, hati, jantung, limfa); 14. Mengatasi problem darah (hipertensi, anemia, leukemia); 15. Mengontrol kadar kolesterol darah; 16. Meningkatkan imunitas tubuh dan manfaat-manfaat lainnya yang masih terus diteliti para ilmuwan. Mengingat sifat probiotik yang bisa mengkoloni virus yang merugikan, sehingga aman bagi yang memakai probiotik, maka pemakaian probiotik untuk melawan corona sangat ditunggu. Karena, corona akan dikoloni dan dikeluarkan dari tubuh pasien secara alami. Dengan teknologi probiotik dimaksudkan untuk mengembalikan alur kehidupan sesuai pada fitrahnya. Tidak membuat rekayasa yang mengarah kepada menentang ketentuan yang Maha Kuasa. Merusak alam dengan dalil/argumentasi untuk pembangunan dan kemaslahatan. Menurut Ustadz Ali Athwa, salah seorang tim penyusun buku Probiotik Bakteri, manusia itu kalau sudah menuhankan akalnya, Tuhan dinomorsekiankan. “Bahkan dianggap tidak ada,” ungkapnya. Itulah sebabnya orang-orang yang berada di puncak pengetahuan rekayasa (termasuk ahli bakteri mesti atheis alias tidak bertuhan). Bahwa alam dengan susunan, dan kandungannya, sudah didesain sedemikian rupa sempurna untuk ummat manusia. Dalam probiotik itu terkandung bakteri siklus/lengkap. Ada miliaran bakteri di dalam produk probiotik dengan pola kerja yang sangat indah. Ada bakteri positif 60%, bakteri negatif 30%, dan bakteri netral\oportunis sebanyak 10%. Di sana juga terdapat bakteri thermophilic (tahan suhu tinggi) dan an thermophilic, bakteri aerobik dan an aerob, tahan asam dan tidak tahan asam dll. Mereka berpasang-pasangan. Layaknya manusia dan makhluk/ciptaan Allah yang lain. Lantas, apa hubungannya dengan Corona? Corona itu juga bakteri. Dalam ilmu probiotik ini tidak dibedakan antara: bakteri jamur maupun virus, karena mereka bakteri juga pada tempat dan kondisi yang berbeda. “Semuanya masing-masing ada perannya di alam ini. Semuanya itu ada manfaatnya, sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Ketika tangan manusia telah membuat sesuatu untuk ambisi dan keserakahannya, maka muncullah 'malapetaka' seperti yang kita sedang rasakan saat ini. Bencana Corona! Bagaimana kerja probiotik terhadap corona? Menurut Ustadz Ali Athwa, dalam 1 detik per 1 ekor bakteri probiotik yang disemprotkan ke udara, mereka akan beranak pinak setidaknya 6.000 ekor. Berapa ratus juta sekali semprot ke udara, anak-anak bakteri probiotik ini akan berkembang memenuhi ruang, kamar rumah, lingkungan, gedung-gedung dan seterusnya, alam di sekitar kita. “Termasuk yang akan membentengi tubuh kita secara aktif mengelola sistem imunitas tubuh kita. Insya’ Allah virus/bakteri corona yang liar dan keluar dari tabiatnya akan bertemu di sana dan akan diajak kembali ke habitat fitrahnya,” lanjutnya. Dengan Probiotik ini, masyarakat yang terinveksi corona bisa berobat mandiri. Tidak perlu bantuan medis. Tetapi tetap perlu konsultasi. Kalau berat,juga tetap harus opname. Tetapi dengan probiotik ini, harapan kesembuhannya menjadi lebih besar dan lebih cepat. Dengan probiotik ini, juga tidak menafikan peran obat kimia. Jadi jangan sok anti medis, anti rumah sakit, dan serterusnya. Masih belum yakin dengan manfaat Probiotik? Silakan bertanya kepada 100 dokter, apoteker, perawat dan ibu bidan, yang sudah tergabung dalam 6 group Probiotik Siklus! Penulis adalah Wartawan Senior.

Pak Presiden, Sampai Kapan Jakarta Tak Dilockdown?

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Rabu 25/03). Betul sekali, Presiden telah memiliki sikap soal lockdown. Sikap Presiden itu telah disampaikan ke Pak Jendral Doni Monardo, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan virus Corona. Pak Doni juga telah mengumumkannya. Jelas sudah. Tak ada lockdown dari Presiden. Pertimbangan sosial budaya, nampak mendominasi sikap Pak Presiden. Pertimbangan sosial budaya tersebut, menurut UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, hanya salah satu pertimbangan. Bukan satu-satunya. UU ini mempertalikan pertimbangan sosial budaya dalam satu nafas dengan pertimbangan lainnya. Pasal 11 ayat (1) mengatur Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh “Pemerintah Pusat” (tanda petik dari saya) secara cepat, dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumberdaya, dan teknik operasional dengan mempertimbangan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi sosial, dan budaya. Mungkin saja Pak Presiden tidak tega melihat tetangga atau sanak famili tak bisa saling jumpa pada acara tertentu. Watak guyub yang menjadi ciri bangsa Pancasila ini, mungkin akan terganggu bila lockdown. Tetapi masuk akalkah nalar itu ditengah keadaan sebahaya sekarang ini? Itu soal lain. Sudahlah jangan dipikirkan dulu. Presiden, memang satu-satunya pejabat di negara ini yang memegang kewenangan menyatakan lockdown. Pejabat lain, siapapun dia, tidak punya kewenangan itu. Apalagi pemerintah daerah. Lebih tidak bisa lagi mereka. Ini masalahnya. Sayangnya, rakyat itu adanya di daerah, yang dipimping langsung oleh Kepala Daerah. Rakyat di daerah-daerah itu kini terus terkena virus corona ini. Di daerah jumlah orang yang diawasi, orang yang benar-benar terinfeksi, dan yang mati terus bertambah dari hari ke hari. Mereka yang terinfeksi dan mati, memang belum sampai ribuan. Yang terinfeksi baru 686 orang. Yang mati baru 55 orang (Republika.co.id, 25/3/2020). Jakarta sebagai episentrum penyebaran virus ini telah terdapat 307 kasus. Sebanyak 29 orang telah meninggal dunia. Jawa Barat 59 kasus, dengan 9 orang meninggal dunia. Banten 47 kasus, dengan 3 orang meningal. Jawa Timur 41 kasus, dengan 1 orang meninggal dunia (Tirto, 24/3/2020). Jumlah yang mati karena Corona, memang belum sebanyak petugas PPS yang mati dalam pemilu kemarin. Apa pemerintah menuggu ribuan orang mati dulu baru kesampingkan pertimbangan sosial budaya untuk lockdown? Simpan dulu soal itu. Presiden punya nalar juga. Mungkin Presiden kesampingkan lockdown. Termasuk untuk Jakarta agar demokrasi bisa terus hidup di tengah corona. Mungkin ini cara Presiden hormati hak setiap orang. Mungkin ini juga cara Presiden menumbuhkan tanggung jawab individu rakyat negeri ini. Untuk itu, ya terimalah semua kebijakan ini sebagai konsekuensi presidensial. Bagaimana nalar Presiden itu? Anehkah? Jangan fokus disitu. Biarkan saja nalar Presiden itu bekerja secara alamiah. Sekali lagi, begitulah sistem presidensial bekerja. Yang harus rakyat lakukan adalah tidak ikut memperparah keadaan kesehatan masyarakat saat ini. Keadaan kesehatan masyarakat nyata-nyata, faktual di negeri ini benar-benar sangat membahayakan. Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur betul-betul tak bisa disepelekan, apapun alasannya. Itu sebabnya Presiden harus punya sikap jelas dan tegas. Orang harus dipaksa secara official oleh negara. Dipaksa dengan keras untuk terus berada di rumah. Tidak ada orang di dunia ini yang mau berada di rumah saja sepanjang hari. Sepanjang hari dalam seminggu, apalagi dalam sebulan. Tetapi keadaan menuntut adanya kenyataan itu. Lalu mau apa? Hak asasi? Nanti dulu. Itu urusan nomor sekian. Lambat dan tidak fokus sejak dari awal, mengakibatkan Italia, Perancis dan Iran babak belur. Australia, Yordania, dan Amerika lain. Negara yang disebut terakhir sangat responsif. Mereka disiplinkan rakyatnya dengan cara yang keras. Yordania berlakukan jam malam. Amerika malah kerahkan National Guard. Sengawur-ngawurnya orang kita, terlihat cukup disiplin. Mereka nyata-nyata sami’na wata’na pada imbauan pemerintah dan pemerintah daerah serta dokter. Imbauan tangguhkan sementara Sholat Jumat, tunda acara keagamaan lain, Nyepi tak dirayakan, dan Isra Mi’raj juga. Semuanya dipatuhi ko. Masih juga dibilang tak disiplin? Ini hidup bernegara, hidup dengan aturan. Suku terasing yang hidup dihutan-hutan saja punya aturan. Apalagi bernegara. Dalam bernegara, pemerintah memikul kewajiban dan tanggung jawab urusi rakyat. Mengapa begitu? Supaya orang-orang yang yang kepala batu, yang cuek-bebek, yang serius, yang memiliki sensitifitas sosial tinggi, yang berkecukupan dan yang pas-pasan bisa hidup berdampingan secara bermartabat. Itu satu di antara beberapa alasan negara ini diciptakan. Itu alasan pemerintah dijadikan satu-satunya organ mengurus rakyat. Hakikat mengurus rakyat itu menyejahterakan, menghadirkan rasa lega, rasa aman dalam semua aspek. Bukan membiarkan rakyat tercekam ketakutan tidak makan, terjangkit firus apa tidak, bagaimana menghadapi virus dan sejenisnya. Rakyat tak punya hak dan kewajiban menyelenggaran tindakan pemerintah. Kalau rakyat lakukan itu, maka dipastikan ada masalah besar dalam negara itu. Mengapa? Berlaku hukum rimba. Yang besar, yang berkecukupan, yang kuat akan menelan dan menindas yang lemah, yang pas-pasan. Sesinting apapun orang, tidak ada yang mau cara itu terjadi. Bagus, walau terlambat, setelah orang terinfeksi bergelimpangan, dan mati, kini pemerintah bergerak. Entah cepat atau gagap, pemerintah beli obat. Juga beli Alat Perlindungan Diri (APD). Sebagian telah disistribusikan ke daerah. Masker, entah apa jenisnya, juga bakal disediakan dalam jumlah jutaan. Mudah-mudahan cukup, dan cepat sampai ke semua daerah, sehingga bapak-bapak dan Ibu-ibu dokter, serta bapak-bapak dan ibu-ibu petugas kesehatan, termasuk bapak dan ibu-ibu cleaning service tidak menjadi sasaran terjangan virus yang tak kenal ampun ini. Mereka semua yang difrontline. Harus dipastikan tak terlilit kecemasan akibat kekurangan APBD. Harus begitu. Keluhan dari Kepala Dinas Kesehatan Lampung bahwa mereka cuma dapat 20 APD (Republika, co.id. 24/2020), semoga tidak bisa terjadi lagipada daerah lain. Semoga, amin dan amin. Sebab jumlah 20 APD mau dipakai untuk berapa hari? Memangnya APD itu dipakai sepanjang hari, berminggu-minggu? Wajar kalau Pak Jendral Doni heran masih ada RS yang belum terima APD. Padahal APD sudah didistribusikan, (JPNN, 24/3/2020). Ini soal memang, dan harus dapat diatasi secepat mungkin. Bagaimana Pemda bersikap dan bertindak lebih jauh? Pakai saja anggaran daerah yang tersedia di APBD, khususnya anggaran di Pos Tak Terduga. Pakai saja itu. Kalau tak cukup, segera bicara dengan DPRD lalu ambil keputusan. Pembicaraan dengan DPRD harus dituangkan ke dalam satu berita acara. Taati arahan dari Mendagri. Beli dan siapkan semua yang perlu untuk mengurusi rakyat. Lakukanlah itu wahai para Pemda. Lakukanlah tindakan disinfeksi, dekontaminasi secara klinis. Bagi yang belum lakukan rapid test. Segera lakukan secepatnya. Yang belum lakukan infektan. Juga segera lakukan. Lakukan sesuai prosedur yang tersedia. Jangan tunggu arahan dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat lagi banyak urusan. Masalahnya beli dimana? Apa pemerintah Pusat bisa bantu beli? Apakah barang-barang itu, entah apa namanya, baju dan celana, kacamata atau apalah namanya itu, diproduksi di dalam negeri? Kalau tidak, bagaimana protokol kerjasama Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah untuk masalah ini? Entahlah. Sejauh ini tak ada berita itu di media. Pemerintah Pusat lagi urus realisasi relaksasi kredit-kredit miliyaran, ratuan juta, sampai yang kecil-kecil. Mereka sedang pastikan realisasi relaksasi kredit Ojol. Mereka juga sedang atur skemma menambah uang untuk kelompok orang miskin. Alakadarnya. Bagaiman skema transfe dan sampai ke tangan orang miskin? Itu soal lain. Itu perkara rumit tersendiri. Jangan tanya itu dulu. Kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dalam kenyataannya semakin hari semakin melemah. Ini masalah juga. Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Tetapi urusan-urusan itu, jelas tak bisa disepelekan. Untuk sejumlah alasan historis, penurunan nilai tukar selalu memaatikan kalau pemerintah-pemerintah yang tak punya kapsitas. Yang tidak bisa Pemda lakukan adalah Lockdown. Ini kewenangan Presiden. Tidak didelegasikan. Jangan ngaco, jangan ngawur. Rencana Gubernur Enembe utk lockdown Papua itu sangat Bagus. Tetapi apa pertimbangan teknis kesehatannya? Maaf Pak Gubernur Enembe, anda tak punya kewenangan itu. Ini kewenangan mutlak Pak Presiden. Sudahlah lupakan dulu soal-soal itu. Sekarang mari pikirkan sampai kapan Jakarta tak lockdown? Toh lockdown tidak harus dilakukan di seluruh Indonesia. Lockdown juga tak harus sewilayah provinsi, kabupaten atau kota. Secara hukum lockdown bisa dilakukan secara parsial. Bisa seprovinsi, sekota, dan sekabupaten. Bahkan bisa satu kecamatan saja atau satu kelurahan atau beberapa kampung saja. Apa Jakarta yang menjadi episentrum virus laknat ini masih bisa dianggap tak membahayakan kesehatan masyarakat? Tak memenhi persyaratan teknis menurut UU Nomor 6 Tahun 2018 untuk Lockdown? Apa iya? Jangan entengkan situasi ini. Jangan salah hitung dan timbang. Jangan telat mikir, apalagi takabbur dan sombong. Apa pemerintah punya peta sebaran, dan derajat bahayanya? Tidak cukupkah kenyataan sejauh ini dipertimbangkan untuk mengakhiri kebijakan sekarang. Menggantikannya dengan Lockdown Jakarta saja dulu? Kepastian keamanan kesehatan masyarakat macam apa yang hendak dikirimkan Pemerintah Pusat? Bukan Pemda ke masyarakat Jakarta, semuanya, ditengah corona yang terus mengganas ini? Anies telah habis-habisan sejauh ini. Anies tidak punya kuasa untuk lockdown. Ini kewenangan Presiden. Akhirnya sembari berada ditengah ketidakpastian ini, mari tetap tinggal dirumah. Jangan keluyuran, jangan bandel, jangan keras kepala, jangan pakai otak alakadarnya. Ini virus bukan main berbahaya. Bayangkan saja, perlakuan terhadap jenazah akibat terjangkit virus ini beda. Masa Allaah. Subhanallah. Mengerikan sekali. Disiplin, disiplin, disiplin dan disiplin tinggal dirumah dan jaga jarak fisik antar sesama. Ikhtiar tanpa reserve. Rajin cuci tangan, sampai pemerintah dapat beri kepastian tentang cara jitu menangani corona laknat ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Murahnya Nyawa di Negeri +62 Ini

By Tony Rosyid Jakarta FNN- Rabu (25/03). Tahun lalu, 700 lebih petugas pemilu mati. Belum sempat hilang dai ingatan kita, sejumlah pendemo juga mati. Dan kini, 56 orang mati. Kali ini karena covid-19. Day to day angkanya terus naik. Bukan satu, tapi bisa sampai puluhan per hati. Kepada siapa rakyat berharap pertolongan? Kepada Tuhan, kata para agamawan. Itu pasti! Itu juga pasrah namanya. Apakah kalau sudah pasrah persoalan jadi selesai? Tidak juga. Karena tak ada yang tahu pasti bagaimana mekanisme takdir itu berjalan. Yang pasti, justru jumlah positif Covid-19 terus bertambah. Kemarin (24/3) ada 686 yang positif. Dan akan terus bertambah setiap harinya. Begitu juga dengan yang mati. Mungkin diantara mereka ada yang anda kenal. Banyak pihak mempertanyakan akurasi angka positif Covid-19 di Indonesia. Minimnya peralatan dan lambatnya penanganan membuat asumsi bahwa jumlah orang yang terinfeksi jauh lebih besar dari data yang diumumkan. Kecurigaan ini muncul dari jumlah kematian di atas delapan persen. Padahal, rate-mortality global hanya sekitar empat persen. Kalau saja kematian akibat covid-19 di Indonesia dibuat rata-rata empat persen, maka berarti jumlah orang yang positif Covid-19 sudah di atas 20.000 orang. Mereka tak terdeteksi, karena mungkin tak ada gejala yang nampak. Hanya 15% saja yang terdeteksi. Sisanya 85% lagi berkeliaran dan melakukan kontak sosial di luar sana. Sebagian besar rakyat sekarang panik. Itu pasti. Dalam situasi seperti ini, mereka penuh harap kepada pemerintah. Sebab di tangan pemerintah ada kebijakan dan fasilitas yang bisa digunakan untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Harapan seperti ini wajar dan wajar. Anda yang pilih orang-orang itu untuk menduduki posisi di pemerintahan. Anda juga telah menititipan pajak anda kepada mereka. Tugas mereka melayani anda? Termasuk membantu anda selamat dari covid-19? Pemerintah sudah bergerak. Tapi sayang, sangat lambat dan sangat lambat. Terengah-engah. Gagap, dan kelihatan sangat nggak siap. Diantara faktornya, karena pemerintah mengawali dengan asumsi dan sikap yang salah. Menganggap covid-19 nggak akan masuk ke Indonesia. Covid-19 nggak bisa masuk karena nggak ada ijinnya. Covid-19 sirna oleh doa qunut. Nasi kucing dan empon-empon membuat orang Indonesia kebal dari Covid-19. Enjoy aja, dan lain-lain. Ini sikap nggak ilmiah dan terlalu gegabah. Gak pantas keluar dari otak para pejabat publik. Sekarang kena batunya. Sebagai akibatnya, jumlah korban dan kematian makin kencang angkanya. Jauh meninggalkan langkah pemerintahan kita. Pek.. Pek.. Pek... Pek... Pek... Korban berjatuhan. Dan pemerintah terlihat masih sibuk ngardusin APD (Alat Pelindung Diri) di tengah kematian puluhan anak bangsa ini. Katanya impor, kok ada yang tertulis di kardus Made In Indonesia? Yang ini jangan disoal lagi! Diem aje luh! Yang penting barangnya sudah ada. Itu bagian dari langkah serius. Mesti kita support dan apresiasi. Saatnya bangsa ini kompak menghadapi ujian bersama. Rakyat berharap-harap cemas. Ingin pemerintah pusat melakukan langkah-langkah yang lebih cepat lagi. Lebih tepat lagi dan lebih terukur. Apa itu misalnya? Pertama, ijinkan daerah, khususnya epicentrum covid-19 melakukan lockdown lokal. Lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali. Ini situasi darurat! Jakarta misalnya, jumlah positif Covid-19 yang terparah. Angka yang meninggal terus naik signifikan. Gubernur minta warga DKI diam di rumah. Konsekuensi ekonominya, Gubernur siapkan bantuan Rp 1,1 juta untuk warga miskin Jakarta. Nganggur di rumah, digaji. Pemerintah Pusat mesti ikut bantu. Dana dari mana? Ambil dari anggaran kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya. Pakai dulu dana yang akan digunakan untuk promosikan Ahok di Ibu Kota Baru. Bila perlu, para taipan paksa untuk bantu. Tiru Tommy Winata (TW) yang sudah memberi contoh bantuan. Yang lain, jangan malah lari ke Singapore. Kalau langkah ini dilakukan, masyarakat akan stay di rumah. Nggak keluyuran ke mana-mana. Tugas aparat keamanan adalah menertibkan warga yang masih jalan-jalan keluar rumah, dan beraktifitas di tempat keramaian. Kecuali untuk keperluan-keperluan urgent sesuai kriteria yang ada di peraturan. Hentikan transportasi publik. Stop KRL, MRT, LRT dan tutup Stasiun Busway. Jika lockdown lokal di Jakarta diputuskan, dan Pemerintah Pusat ikut menyiapkan bantuan logistik, maka program social distancing berjalan. Yang keluyuran keluar, tangkap. Tidak lagi imbauan, tetapi tegakkan aturan dengan tegas. Kedua, lakukan test massal kepada mereka yang dinyatakan ODP dan PDP. Semuanya, tanpa terkecuali. Pastikan mereka positif atau negatif. Jangan biarkan mereka berkeliaran dan melakukan interaksi dengan orang lain tanpa kejelasan status. Australia telah melakukan test massal sebanyak 80 ribu orang. Korea Selatan melakukannya terhadap 250 ribu orang. Jakarta? Atas bantuan alat test dari Yayasan Buddha Tzu Chi akan melakukan test massal sebanyak 100 ribu orang. Sebanyak 250 orang sudah dimulai di Jakarta Selatan. Daerah lain? Mestinya pemerintah pusat menyiapkan alat test, tenaga medis dan biaya yang cukup untuk melakukan test massal ini. Karena tidak semua daerah berkemampuan seperti Jakarta. Ketiga, siapkan ruang isolasi yang cukup, beserta tenaga medis yang memiliki kelengkapan peralatan sesuai standar kesehatan. Sehingga, tak ada satupun calon pasien yang ditolak di rumah sakit dan meninggal di jalanan. Pastikan mereka terlayani dengan cepat dan tepat. Isolasi ODP dan PDP. Jauhkan mereka dari interaksi dengan orang lain. Langkah-langkah ini menjadi pilihan yang tidak bisa dikesampingkan. Harus diambil secepatnya. Nggak ada kata terlambat. Jika tidak, kedepan kita akan semakin sering menyaksikan orang-orang jatuh di jalan, pek...pek... pek... langsung mati. Disitulah kita baru sadar, betapa gelombang badai Covid-19 telah membuat nyawa di negeri +62 ini begitu murah. Itu kemungkinan terjadi setelah banyak kolega kita mati karena lambatnya penanganan dari negara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Fenomena Program Pikiran, "Jangan Biarkan Ketakutan Kuasai Diri Kita"

By Komjen Pol. Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN – Rabu 25/03). Salam damai sejahtera untuk kita semua. Sebagai anak bangsa, saya merasa terbebani dengan situasi yang melanda bangsa kita saat ini. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Saya yakin jika lebih banyak yang memahami, maka kita sepakat bahwa tidak seharusnya kita menjadi bagian yang turut memuluskan program “mereka” terhadap bangsa yang kita cintai ini. Yang sedang terjadi adalah penularan “Bad Vibration Tsunami “ melalui “pikiran”. Kita dibuat kewalahan dan merasa tidak berdaya. “Bad Vibration Tsunami” disebarkan berulang-ulang dan terus menerus melalui perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang melekat pada diri kita masing-masing. Perangkat terkonolgi itu dipaparkan secara masif dalam bentuk visual. Manajemen isu digunakan hampir di semua media massa, baik cetak dan elektronik. Termasuk juga media sosial. Semuanya hanya berfokus pada “satu kata”, yang akhirnya dengan pasrah kita terima. Seolah-olah persoalan hidup hanyalah yang satu itu, yaitu "satu kata". Sebenarnya pikiran kita sedang diprogram secara berulang-ulang melalui alam bawah sadar (subsconscius mind program). Mengapa? Agar secara otomatis 95% dari kehidupan kita akan menjadi kenyataan. Apa yang kita lihat, dan kita dengar akan dimainkan berulang-ulang setelah lebih dulu direkam. Alam bawah sadar kita persis seperti “kaset” yang merekam sebuah pengalaman, dan akan memutarnya kembali. Memainkannya berulang-ulang. Demikian pula dengan fenomena yang sedang terjadi saat ini. Pakar Fisika Quantum Dr. Bruce Lipton dan Dr. Bob Proctor mengajak kita memahami rahasia alam semesta. Bahwa sesungguhnya tubuh manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh atom. Manusia diciptakan Tuhan dengan kelengkapan fungsi-fungsi. Sebagai transmitter, receiver, amplifier, dan repeater dalam tubuhnya. Kita akan selalu terhubung dengan medan energi. Kita sendiri adalah medan energi yang memancarkan vibrasi kemana pun kita pergi. Tubuh manusia dikendalikan oleh dua unsur utama. Pertama, otak yang menyumbang 5%. Kedua, sel yang menyumbang 95%. Karena persepsi adalah pengendali sel biologi, maka kita harus membangun "Belief System" dalam hidup, agar berdaya untuk "mendisiplinkan" persepsi kita. Sekali lagi, sel kita dikuasai oleh persepsi yang diprogram oleh alam bawah sadar kita masing-masing. Persepsi yang terbangun akan menentukan kuat lemahnya tubuh kita. Jika vibrasi positif merangsang sel memproduksi hormon positif (endorfin, oksitosin, dopamin dan interferon) yang membuat imun tubuh kita bekerja baik. Memberikan kekebalan terhadap segala penyakit atau masalah apapun, maka vibrasi negatif melakukan kebalikannya. Vibrasi negatif yang sering terjadi, dan dibiarkan berulang-ulang akan menjadikan posisinya semakin kuat. Vibrasi negatif yang semakin kuat akan sangat mempengaruhi hidup kita. Pada akhirnya, akan menguasai kita sepenuhnya. Unsur vibrasi negatif yang paling jamak menguasai manusia, lalu yang membunuhnya adalah “ketakutan”. Secara alami, sel-sel tubuh kita akan menyerap apapun vibrasi yang ada. Bergetarnya vibrasi negatif pada pikiran kita akan merangsang sel segera memproduksi hormon beracun (cortisol) yang akan menghancurkan imun tubuh. Seseorang yang sering merasa takut, sebenarnya secara otomatis mengaktifkan persepsi vibrasi negatif dari dalam dirinya sendiri. Itu bisa terjadi secara rutin, tanpa ia sadari. Parahnya lagi, vibrasi itu pula yang akan terpancarkan ke lingkungan sekitarnya. Jelas ini akan sangat berdampak juga pada sekeliling. Juga berdampak secara negatif. Jangan biarkan vibrasi ketakutan menguasai hidup kita. Kenali diri. Dimana kita saat ini, dan akan kemana setelah ini? Segala realita, termasuk persepsi, adalah urusan pribadi. Tidak boleh ada intervensi pihak lain. Haters will always hate, do self control. Mari kita pancarkan vibrasi kehidupan. Vibrasi yang memberi harmoni. Vibrasi yang menghidupkan sang hidup itu sendiri, dan menjadikannya indah di bawah kendali Tuhan Yang Maha Kuasa. Indonesia bangsa pemenang. Bahkan lebih dari pemenang. Maka inilah saat yang “tepat” untuk membangun hubungan yang intim dengan Tuhan. Situasi inilah yang sejatinya menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk jauh "lebih serius" memuji dan menyembah Tuhan”. Perkatakan “Tuhan, Engkau dahsyat. Engkau yang sanggup melakukan segala kemustahilan. Yang jahat itu pikiran. Lepaskanlah kami dari yang jahat. Engkau berdaulat sepenuhnya”. God Bless Indonesia Forever.

Jika Jawa Babakbelur, Sumatera Perlu Lockdown

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (25/03). Media online hari ini sudah memberitakan Lukas Enembe, Gubernur Papua akan melakukan lockdown di wilayah Provinsi Papua. Bravo Papua. Langkah itu dilakukan untuk menutup pintu masuk orang-orang tidak masuk ke Papua. Dari berita yang dapat dilihat, keputusan Enembe ini sudah disetujui Panglima Militer di sana. Namun, keputusan pastinya akan diumumkan Rabu depan. Karena Enembe harus bernegosiasi dengan Jokowi. Melakukan lockdown sudah ditentang Jokowi sejak awal. Pikiran tidak melakukan lockdown mempunyai dua dasar. Pertama, lockdown akan menghancurkan perekonomian. Kedua, lockdown tidak lebih baik dari "herd immunity and social distancing". Namun, dalam geograpi Indonesia yang luas dan beragam, seharusnya karakteristik daerah dapat diteliti lebih spesifik, sehingga masing-masing daerah dapat mengukur kepentingannya sendiri. Tanpa melakukan lockdown, namun sebaliknya berharap pada kesadaran masyarakat melakukan "social distancing", sampai sejauh ini harapan itu tidak menjadi nyata. Masyarakat masih berkeliaran tanpa "social distancing". Kontrol terhadap penderita kurang, dan terakhir "front liner" dokter dan perawat serta pekerja medis lainnya mulai kewalahan. Kepadatan penduduk Pulau Jawa dengan rata-rata 13.000 jiwa per kilometer persegi. Rata-rata sekitar 15.000 jiwa di bagian baratnya (Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten) membuat salah satu faktor “social distancing” sulit terjadi. Ditambah lagi rendahnya kesadaran masyarakat, dan elit-elit nasional sebagai contohnya, masih terkesan menyepelekan situasi ini. Akhirnya, apa yang dikhawatirkan pada berbagai prediksi, seperti the economist intelligence unit (unit media the Economist) lebih dari 50% masyarakat dunia akan terpapar virus corona ini. Apalagi, di Indonesia yang padat, tidak disiplin, dan kurang punya kemampuan dalam mengelola manajemen kesehatan publik. Kemungkinan untuk terkontaminasi jauh lebih besar. Langkah Enembe perlu diapresiasi. Karena langkah untuk mengisolasi Papua adalah menjaga Papua untuk tetap mengontrol arah zero infection. Papua harus bisa bebas Corona virus. Sekarang atau dalam waktu dekat. Jika Papua bebas Corona, maka itu akan menjadi asset berharga bangsa kita ke depan paska pandemik Corona virus. Bagaimana Dengan Sumatera? Sumatera dengan penduduk 58 juta jiwa dan kepadatan penduduk di bawah 100 jiwa per kilometer persegi merupakan pulau harapan utama setelah Jawa. Sumatera bakal mengalami kelumpuhan nantinya. Pulau Sumatera mempunyai universitas-universitas yang cukup baik untuk menjadi tulang punggung pengembangan sumberdaya manusia kita paska pandemik. Dalam posisi pandemik di Jawa, jika Sumatera bisa diselamatkan, maka daerah Indonesia untuk bangkit bisa dimulai dari sana. Pandemik di Jawa cepat atau lambat akan menjadikan masyarakat di Jawa menjadi gelisah, stress tinggi, cemas, saling curiga. Bahkan bisa mengarah kepada saling membantai. Kemungkinan yang terakhir ini bisa terjadi jika ekonomi memburuk. Kepemimpinan nasional lemah. Daya beli hilang, serta barang kebutuhan pokok sehari-hari hilang dari pasar. Cara menyelamatkan Pulau Sumatera adalah seperti pikiran Lukas Enembe di Papua. Sumatera harus menolak kunjungan manusia luar Sumatera ke sana. Dengan tidak adanya kunjungan, maka upaya "herd immunity dan social distancing" dapat dilakukan. Kenapa? Karena penduduk Sumatera masih mempunyai ruang untuk mencari tempat-tempat memencilkan diri. Caranya dengan berkebun atau melaut. Social distancing atau menjaga jarak dan udara panas akan membuat virus corona tidak mampu menginfeksi banyak orang. Secara ekonomi, penduduk Sumatera masih bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan. Sektor ini bukan "labor intensive" yang mengumpulkan banyak orang di dalam pabrik. Pertanian dan perkebunan tetap bisa berjalan, dimana pekerja tani berada di ruang terbuka. Lockdown Sampai Kapan? Lockdown di Sumatera dibutuhkan jika kurva pandemik menunjukkan jumlah immunitas orang-orang di Jawa, termasuk orang perantauan, dan khususnya kelompok "traveller" menjadi kelompok dominan. Itu bisa tahun depan atau dua tahun ke depan. Situasinya sesuai dengan kemampuan pemerintah dan masyarakat di Pulau Jawa mengendalikan pandemik. Selain itu, pentingnya memelihara pulau-pulau agar tetap sehat, dan siap berproduksi paksa pandemik. Ini penting untuk kepentingan bangsa kita ke depan. Tentu juga karena kita mengetahui kelemahan pada tata kelola sektor kesehatan kita. Selama ini perbandingan jumlah dokter dan perawat di Jawa dan luar jawa sangat timpang. Kenyataan ini sangat memprihantinkan. Kalau wabah Covid-19 tidak dapat dikendalikan total, maka rumah sakit di Sumatera juga akan kewalahan nantinya. Penutup Tulisan ini adalah untuk menyambut baik pikiran Lukas Enembe yang ingin menyelamatkan Papua dengan Lockdown. Sebagai kepala daerah, respon Lukas perlu diapresiasi. Meskipun pada akhirnya pikiran Lukas bisa bertentangan dengan Jokowi. Namun semuanya tergantung kepentingan rakyat di Papua sana dalam jangka pendek, dan rakyat Indonesia dalam jangka panjang. IDI (Ikatan Kedokteran Indonesia) sudah terang-terangan meminta kepada pemerintah melakukan Lockdown. Karena mereka lebih mengerti dan paham tentang situasi sektor kesehatan negara kita saat ini. Namun, jika Jokowi tidak ingin Lockdown, maka Jokowi harus mempertimbangkan Lockdown di beberapa Pulau. Termasuk pulau Sumatera. Jika Corona virus ini menyebabkan kemungkinan hancurnya Jawa paska pandemik, dan lalu berupaya rekonsiliasi jiwa jiwa yang luka, maka butuh daerah luar Jawa yang siap untuk membangun kembali negeri ini. Setidaknya Papua dan Sumatera harus diselamatkan dari pandemik. Situasi sekarang terus memburuk. Amerika sudah mencadangkan dana dua triliun dollar untuk perang lawan virus Corona ini. Cina sudah mengepung dan mengisolasi Wuhan beberapa saat lalu ketika pandemik. Malaysia dan Singapura sudah Lockdown. Semua paham bahwa ada disruption besar, ada discontinuity of History. Ada kehancuran peradaban dunia saat ini. Apapun itu, Indonesia harus tetap berkibar dengan strategi jitu sejak sekarang. Bagaimana nasib pulau pulau lainnya? tentu perlu dikaji terus. Setidaknya pikiran Lukas Enembe yang mau menyelamatkan Pulau Papua perlu diapresiasi sebagai pikiran yang brilian, maju dan berkelas. Lukas berpikir satu-dua langkah di depan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Bagaimana Kalau Jokowi Minggir Saja Dulu Untuk Sementara?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Selasa (24/03). Pada saat ini, Indonesia sangat memerlukan ‘leadership’ –kepemimpinan. Seharusnya, itu ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dialah yang semestinya berada di ‘frontline’ (garis depan). Untuk memimpin negara pada saat-saat yang kritis seperti sekarang ini. Tetapi, Presiden Jokowi tampak kewalahan. Indonesia bagaikan tak punya presiden. Terkesan bahwa Jokowi tak mampu menghadapi situasi dan kondisi saat ini. Ada pandemi virus Corona. Ada ancaman kehancuran ekonomi yang disebabkan pandemi itu sendiri, dan juga disebabkan situasi ekonomi global yang sudah ada sebelum Corona muncul. Ada pula krisis utang. Krisis korupsi yang semakin tak terkendali. Dan krisis finansial dialami banyak BUMN. Mereka BUMN itu diambang kebangkrutan. Jokowi bagaikan tak tahu mau melakukan apa. Padahal, di tangan dialah terletak semua kekuasaan besar dalam pengelolaan negara. Sekarang, Indonesia mirip seperti negara yang sedang vakum pemerintahan. Supaya situasi tidak semakin runyam, bagaimana kalau Pak Jokowi diberi kesempatan untuk beristirahat dari jabatan presiden. Minggir saja dulu untuk sementara waktu. Katakanlah 4 bulan, 6 bulan atau setahun. Hanya untuk masa-masa krisis ini saja. Setelah semua kembali normal, Jokowi balik lagi menjadi presiden. Semoga Pak Jokowi legowo. Langkah ini perlu cepat diambil. Sebab, secara klinis, kita akan menghadapi masa-masa sangat genting. Mutlak harus ada seseorang di depan, dengan kemampuan memimpin negara yang sedang diancam berbagai krisis. UUD 45 memang tidak mengenal pergantian sementara. Tetapi, demi mencegah agar negara tidak terjerumus ke dalam krisis besar, terutama amukan virus Corona yang bisa saja lebih dahsyat dari pengalaman Italia atau China, kelihatannya pergantian sementara merupakan jalan keluar terbaik untuk bangsa kita saat ini. Untuk itu, para wakil rakyat di DPR, MPR, DPD plus semua gubernur dan tokoh-tokoh bangsa sebaiknya bersidang darurat untuk membahas kemungkinan ke arah itu. Tidak usah terlalu kaku dengan mekanisme konstitusional. Ini semata-mata tindakan darurat. Langkah darurat ini diambil supaya rakyat tidak terlalu menderita akibat krisis multi-dimensional yang tampaknya akan segera muncul. Dibagaimanakan pun, rakyat pastilah akan mengalami penderitaan. Tetapi, penderitaan itu akan semakin berat kalau manajemen negara ini dipegang oleh orang yang tidak punya kapabilitas dan kapasitas. Jadi, ini bukan kudeta atau pelengseran paksa. Bukan juga tindakan makar. Cuma, ibarat kapal besar, kita lakukan ganti nakhoda sebentar saja. Nanti Jokowi akan dipulihkan lagi sebagai presiden. Setelah kriris mereda. Anggap saja berhalangan sementara. Kalau berhalangan tetap, sudah ada aturannya di UUD. Tentang siapa yang layak sebagai pengganti sementara, tentu bisa dipilih oleh para wakil rakyat yang disebutkan di atas. Mau dipilih Anies Baswedan, boleh juga dicoba. Beliau telah menunjukkan kepemimpinan di DKI. Dia punya gagasan yang ‘brilliant’. Dia mampu berpikir. Dan sejauh ini, jalan pikirannya selalu bagus. Kalau Pak Jokowi tak suka Anies, bisa dicoba Arief Budiman --ketua KPU. Beliau ini telah menunjukkan kinerja yang luar biasa bagus. Dia bisa menang dalam situasi krisis. Arief telah menunjukkan kehebatannya ketika terjadi krisis salah input penghitungan suara pilpres. Lihat saja, angka final KPU disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Arief menang telak. Jadi, kalau Arief duduk sebagai presiden sementara, dia bisa cepat membatasi penyebaran Corona. Arief sangat paham bagaimana cara meng-input data Corona agar rakyat tenang. Yasonna Laoly juga layak. Dia berhasil melewati krisis gawat gara-gara Harun Masiku. Sekarang, Yasonna selamat dan Harun juga aman. Artinya, Yasonna sudah teruji menghadapi krisis. Kalau mau orang yang bisa semuanya, ada Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Dia mungkin bisa meredakan amuk Corona. LBP bisa mendatangkan puluhan ribu orang China dari Wuhan untuk menjinakkan virus ganas itu. Soalnya, Corona sudah akrab dengan orang Wuhan. Lagi pula, selama ini segala bentuk krisis tak berani menghampiri Pak Luhut. Orang lain boleh krisis, tapi tidak untuk beliau ini. Yang paling top, pilih saja Ahok sebagai pengganti sementara Jokowi. Virus Corona pasti takut melihat dia. Sekali dibentak dan dimaki-maki Ahok, kabur semua itu Virus Corona. Mungkin sebagian anda heran, mengapa saya seperti bercanda-satire dalam empat alinea (paragraf) terakhir. Penjelasan saya: memangnya bisa presiden diistirahatkan sementara waktu? Penulis adalah Wartawan Senior.

Catat Ya! Presiden Jokowi Tegaskan "Tidak Akan Lockdown"

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Selasa (24/03). Sikap Presiden Jokowi soal penanganan penyebaran virus corona sudah jelas. Tolong catat! Pemerintah pusat tidak akan melakukan lockdown. Tidak akan pembatasan total terhadap pergerakan manusia dan barang seperti dilakukan negara-negara lain. Sikap tegas Jokowi disampaikan oleh Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo. "Sekali lagi saya tegaskan, Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden Jokowi yang juga telah memberikan instruksi kepada Kepala Gugus Tugas, tidak akan ada lockdown," kata Doni lewat video yang beredar sejak Sabtu (21/3) lalu. Ketika menyampaian sikap tegas Jokowi itu wajah Doni terlihat letih. Bisa dipahami dengan penyebaran virus yang sangat mengkhawatirkan. Dengan kebijakan yang juga membingungkan. Doni mengalami keletihan, baik secara fisik maupun psikis. Coba perhatikan kalimat yang disampaikan Doni. “Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi.” Kalimat itu menyiratkan bahwa kebijakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab Jokowi. Sebagai Kepala Gugus Tugas, Doni hanya sebagai pelaksana. Jika terjadi apa-apa, Doni tidak bisa dipersalahkan. Doni hanya prajurit yang menjalankan perintah komandan. Tanggung jawab sepenuhnya di tangan komandan! Isu untuk melakukan lockdown atau tidak, menjadi perdebatan sengit di masyarakat. Kalangan masyarakat sipil, bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang semula tampaknya coba menahan diri, akhirnya juga mendesak pemerintah melakukan lockdown. Setidaknya untuk Jakarta yang menjadi episentrum bencana. Sikap pemerintah sejak semula sudah terlihat memilih opsi tidak lockdown. Dalam kalkulasi mereka ongkos ekonomi, sosial, dan politiknya jauh lebih mahal. Kekhawatiran itu setidaknya bisa kita baca dari wacana yang dikembangkan oleh buzzer- buzzer yang selama ini dimanfaatkan oleh pemerintah. Mereka menuding kubu oposisi sengaja mendorong-dorong lockdown. Itu jebakan Betmen untuk pemerintah. Ada agenda tersembunyi menumbangkan pemerintah dengan menumpang momentum bencana virus corona. Sikap itu juga tercermin dari cuitan jubir istana Fadjroel Rahman. "Para pecundang politik mencoba mengail keuntungan di tengah kesulitan masyarakat melawan Covid-19," kata Fadjroel dalam akun twitternya, @fadjroeL. "Kita catat perilaku mereka, selain melawan Covid-19, kita bersama melawan para pecundang politik. Insya Allah kita menjadi pemenang! Ber-sama2 dalam #GotongRoyongKemanusiaan ~ FR," lanjut Fadjroel. Skenario yang dibayangkan pemerintah bila lockdown, maka UMKM babak belur. Sektor informal hancur, muncul public distrust. Bisa terjadi gejolak sosial, dan pada ujungnya pemerintahan dijatuhkan. Peluang Tatuh Lebih Besar Mereka barangkali lupa. Tanpa lockdown, peluang pemerintah jatuh malah jauh lebih besar. Tanpa lockdown, atau apapun namanya berupa pembatasan yang ketat, sektor ekonomi juga sudah hancur-hancuran. Melihat penanganan pemerintah yang sangat lambat dan cenderung menganggap enteng, sudah terjadi public distrust yang sangat luas. Bukan hanya dari kalangan domestik, tetapi juga dari komunitas internasional. Rupiah terjun bebas. IHSG (Index Harga Saham Gabungan) runtuh. Dana-dana investor luar negeri terbang semakin menjauh. Masyarakat yang punya duit kabur ke Singapura. Banyak juga yang memilih negara-negara yang relatif aman, seperti Rusia. Sebagian masyarakat sudah mengambil inisiatif mengurung diri di rumah. Kegiatan ekonomi, di luar kebutuhan rumah tangga sudah mandek. Tinggal para pekerja harian yang terpaksa nekad, mempertaruhkan nyawa. Jangan kaget kalau kita masih melihat banyak yang berdesak-desakan di kereta komuter, kendaraan umum dan lain-lain. Mereka tidak makan bila tidak bekerja. Keluarga mati kelaparan. Andai saja. Sekali lagi andai saja, pemerintah berani menjamin kehidupan mereka yang isolasi diri di rumah. Mereka akan dengan senang hati untuk berdiam diri di rumah. Mereka pasti senag bercengkerama dengan keluarga, tanpa memikirkan hari ini akan makan apa? Pemerintah Pusat bisa meniru langkah Pemprov DKI. Disiapkan tunjangan untuk 1,1 juta orang pekerja informal, agar kelangsungan hidup mereka terjamin. Syaratnya, pemerintah berani dan mau menunda proyek-proyek mercusuar. Termasuk rencana membangun ibukota baru. Pangkas anggaran-anggaran lain, alihkan untuk menjamin kehidupan rakyat. Langkah tersebut jelas akan membebani angaran pemerintah. Tetapi signal yang ditangkap publik akan sangat positif. Membangun kepercayaan publik yang sangat besar. Pejabat pemerintah juga harus menunjukkan, mereka bersedia hidup prihatin. Menderita bersama rakyat. Rakyat akan bersama dan mendukung pemerintah. Sebab mereka selalu hadir ketika dibutuhkan. Tanpa lockdown, pembatasan yang ketat, risiko penularan akan meningkat dengan sangat cepat. Sudah dipastikan fasilitas rumah sakit dan tenaga medis kita akan kewalahan. Virus akan kian merajela. Korban terus berjatuhan. Di media sosial beredar gambar dan pesan, banyak rumah sakit terpaksa memanfaatkan kantong sampah plastik untuk Alat Pelindung Diri (APD) tenaga medis. Termasuk rumah sakit yang menjadi rujukan nasional. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Harga nyawa mereka sama dengan sampah? Gambar dan pesan itu benar belum terkonfirmasi. Humas RSCM memang tidak membantah, tetapi menolak menjawab. Yang sudah pasti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkonfirmasi banyaknya tenaga medis yang tertular virus dan meninggal dunia karena kekurangan APD. Setiap hari kita membaca pesan dan berita meninggalnya petugas medis. Beberapa di antaranya dokter spesialis dan guru besar. Betapa menyedihkan. Hati kita seperti disayat sembilu. Air mata mengalir deras tak bisa dibendung. Bangsa ini kehilangan putra-putri terbaiknya. Berjuang di medan tempur terdepan, namun tidak dilengkapi dengan APD yang layak untuk mereka. Agak susah kita menghindari menggunakan kosa kota mereka “mati konyol” karena kelalaian pemerintah. Kita hanya bisa mendoakan mereka mati syahid, mendapat imbalan surga yang indah. Sampai kapan hal ini dibiarkan terus berlanjut. Apakah rakyat masih boleh berharap dengan kebijakan pemerintah seperti itu. Mengutip pernyataan Ketua Satgas Penangan Covis-19 IDI Prof dr Zoebairi Djoerban “Kalau tidak mau lockdown, pemerintah jangan bikin kebijakan yang ngawur.” End Penulis adalah Wartawan Senior.

Hadapi Covid-19, Kuncinya Butuh Kebijakan Yang Tepat dan Tegas

By Raihan Ariatama Jakarta FNN – Senin (23/03). Hari demi hari hari rupiah kian melemah. Tercatat rupiah melemah mencapai titik terendah sejak reformasi. Jika kondisi ini terus berlanjut, besar kemungkinan rupiah akan mencapai titik terlemah sepanjang sejarah. Di level Asia, rupiah sempat menunjukkan keperkasaannya, akan tetapi hari ini rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Kondisi melemahnya nilai tukar rupiah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya lockdown di beberapa negara, yang berakibat terhadap pembatasan perdagangan barang dan jasa antar negara. Kedua, kepanikan investor akibat meningkatnya jumlah korban meninggal akibat serangan Covid-19. Kepanikan investor tersebut, disinyalir muncul disebabkan kurang cakapnya pemerintah dalam menghadapai situasi pandemik Covid-19. Total korban yang terjangkit Covid-19 adalah 579 orang. Dari jumlah itu, 49 orang meninggal dunia dan 30 orang sudah sembuh. Faktor selanjutnya adalah, terjadi penguatan terhadap dollar Amerika. Dalam kondisi terjadi guncangan ekonomi global, dollar menjadi tempat pelarian investasi. Sebab dianggap investor, paling rendah resikonya (safe haven). Secara cepat The FED mengeluarkan kebijakan moneter menurunkan tingkat suku bunga agar menambah jumlah uang beredar di masyarakat. Pada sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan suntikan dana kepada seluruh rumah tangga di Amerika. Tujuannya, untuk mengurangi tekanan keuangan dalam menghadapi situasi pandemik Covid-19. Tentu saja hal tersebut menunjukkkan keseriusan pemerintah Amerika dalam menangani situasi pandemic Covid-19. Kenyataan ini dapat mempengaruhi pandangan publik dan meningkatkan kepercayaan investor. Dengan menguatnya dollar Amerika ini mengakibatkan rupiah semakin tertekan. Hari ini rupiah terjun bebas. Rupiah sekarang sudah diperdagangkan dengan Rp 16.550 per dollar (detikfinance 23/03/2020), Muncul pertanyaan sederhana, apakah yang akan terjadi jika terjadi pelemahan rupiah secara terus-menerus? Pertama, yang perlu dipahami bersama adalah dari total impor non-migas Indonesia. Sebab barang modal memiliki porsi yang relatif signifikan. Melemahnya Rupiah akan berimplikasi pada volume barang modal impor. Melemahnya rupiah juga meningkatkan defisit neraca perdagangan, dikarenakan Indonesia membayar lebih mahal untuk transaksi berikutnya. Kedua, pada awal tahun 2020 ini, telah terjadi peningkatan yang signifikan pada impor barang konsumsi. Ini sebagai akibat dari tingginya permintaan domestik. Resikonya, pelemahan rupiah akan memberikan dampak yang sama berupa perlambatan ekonomi secara gradual. Kebijakan Bank Indonesia membeli SBN sebesar Rp 195 triliun. Tujuannya, untuk menjaga stabilitas rupiah. Sebelumnya Bank Indonesia juga telah melakukan upaya mendorong stabilitas index harga saham (IHSG). Namun dua kebijakan Bank Indonesia ini tidaklah cukup membuahkan hasil. Sebab preferensi pasar yang justru membuat rupiah kian melemah. Kebijakan moneter menurunkan suku bunga juga bisa menjadi pilihan jangka panjang oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan ini dapat menambah uang beredar di masyarakat dan meningkatkan daya beli. Namun, kebijakan ini sebaiknya memperhatikan kinerja perdagangan negara yang positif atau surplus. Bulan februari 2020, Indonesia mengalami surplus perdagangan, sehingga current account menjadi balance. Namun dalam kondisi negara yang sedang menghadapi pandemik Covid-19, apakah current account akan tetap balance? Itulah persoalannya. Beberapa pihak memprediksi bahwa pada bulan Maret dan April ini Indonesia akan mengalami defisit perdagangan, sehingga current account menjadi tidak seimbang. Jika current account, tidak seimbang, maka kebijakan untuk menurunkan suku bunga perlu dikaji ulang. Pilihan kebijakan moneter yang bisa diterapkan dalam waktu jangka pendek adalah, meningkatkan tingkat suku bunga. Kebijakan ini memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah, meningkatkan potensi capital inflow yang akan menguatkan nilai rupiah. Namun dampak negatif dari kebijakan meningkatkan suku bunga adalah, tinggnya biaya kredit investasi dan kredit modal kerja (cost of debt) akan mengganggu produktifitas domestik. Untuk itu timing dari kebijakan tentang suku bunga sangat penting. Dapat saja dilakukan secara paralel saat pemerintah akhirnya memutuskan lockdown. Kebijakan moneter saja tidaklah cukup untuk menangani persoalan ini. Dibutuhkan kebijakan lain yang tepat dan tegas, agar publik memiliki pandangan yang positif . Investor juga diharapkan kembali memiliki kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia. Diperlukan kebijakan fiskal sebagai prioritas yang dapat menjaga kinerja perekonomian. Alokasi fiskal sebaiknya lebih terfokus pada kesehatan. Penanganan pandemi Covid-19 dan bantuan langsung tunai maupun non-tunai, termasuk pangan kepada masyarakat menengah ke bawah. Dengan cara seperti ini, berarti pemerintah sedang menjaga keberlangsungan sumberdaya manusia yang merupakan faktor kunci dalam stabilitas ekonomi negara. Penanganan Covid-19 secara serius dan meyakinkan adalah hal utama untuk merebut perhatian publik dan investor. Kebijakan social distancing telah dilakukan, namun belum maksimal. Dibutuhkan kebijakan yang lebih serius seperti lockdown daerah-daerah yang parah terserang covid-19. Perlu juga dilakukan intensifikasi pengecekan massal, karena kedua hal tersebut bukan pilihan di tengah krisis yang terjadi saat ini. Indonesia harus segera pulih, agar masyarakat dapat kembali beraktivitas dengan normal. Perekonomian nasional juga bursa saham kembali stabil. Mudah-mudahan. Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik Institute for Democracy and Welfarism (IDW)

Tidak Lockdown, Negara Tak Punya Uang Biayai Makan-Minum Rakyat?

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Senin (23/03). Innalillahi Wainnailaihi Roajiun. Saya sampaikan ke orang-orang, siapapun mereka, yang meninggal dunia, mati sebagai akibat terjangkit virus corona yang mematikan itu. Saya juga sampaikan belasungkawa, dan ucapan Innalillahi Wainnailaihi Roajiun ke Bapak-bapak Dokter yang meninggal dunia, setelah habis-habisan di tengah keterbatasan peralatan teknis, mengurus orang-orang yang terkena Corona laknat ini. Mari, dari rumah. Kita do’akan selalu ibu-ibu dokter, bapak-bapak dokter serta ibu dan bapak-bapak perawat, paramedis senantiasa berada dalam lindungan Allah Subhanahu Wata’ala. Kita doa’kan mereka. Sebab tereka terdepan menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita. Mereka pasti tak minta dihormati. Mereka pasti tak minta dido’ain. Tetapi marilah kita do’ain mereka. Hormati mereka. Jangan sombong, jangan takabbur. Ini virus tak jelas bentuknya. Tetapi daya serangnya mematikan. Datangnya tak diundang, dan perginya hanya setelah diurusi dokter, atau ikhtiar diri sendiri. Jangan aneh-aneh, karena telah jelas belum tersedia obat andal melawan virus mematikan ini. Mari patuh terhadap imbauan demi imbauan, terutama dari dokter, pemerintah dan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Apalagi imbauan ini telah menyandang sifat sebagai perintah official. Polisi sudah patroli di dijalan-jalan, dimana-mana. Jadi jangan bertingkah. Sampai dengan tanggal 22/3/2020 saja orang yang terjangkit virus berbahaya ini telah berjumlah 514 orang. Jumlah yang mati juga bertambah 10 orang. Total yang meninggal dunai sudah diangka 48 orang. Sangat Mengerikan. Di DKI, orang yang terjangkit bertambah jadi 40 orang. Jawa Barat 4 orang. Jawa Timur 5 orang. Kalimantan 1 orang. Maluku 1 orang. Papua 2 orang (Republika.co.id 22/3/2020). Ikhtiar, ikhitiar dan ikhtiar. Prioritaskan itu. Ikhtiar itu sama dengan ikut membantu mencegah penyebaran virus berbahaya ini. Ingat, tidak semua orang sama kemampuan keuangannya. Ada banyak yang pas-pasan. Uang juga susah saat ini. Lalu terkena corona? Subhanallah, saya tak bisa membayangkan derita mereka. Kata para dokter yang bicara menurut ilmu mereka, rajin-rajinlah cuci tangan. Jaga jarak antar sesama. Patuhilah nasihat ini. Jangan membangkan, jangan sombong, jangan takabur. Menteri perhubungan saja kena. Anak Pak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara juga kena. Walikota Bogor juga kena. Jadi? Jangan sombong, jangan takabur, jangan bertingkah. Pemerintah telah beli obat, entah apa namanya, sehebat apa, dan entah darimana. Jutaan butir. Pemerintah juga sudah bereskan Wisma Atlit berkamar banyak di Kemayoran. Wisma ini akan dipakai mengurus orang-orang terjangkit virus ini. Jangan tanya bagaimana kondisinya. Jangan tanya berapa banyak dokter dan tenaga kesehatan yang disiapkan disana. Memadai apa tidak, peralatan untuk dokter tercukupi apa tidak? Jauhkan pikiran dari godaan menanyakan bagaimana cara sampai di sana, di Wisma itu? Bagaimana prosedur mendapatkan pertolongan pertama? Pokoknya soal-soal itu jangan dipikirkan. Tinggal saja dirumah. Jangan kemana-mana. Bagaimana bisa makan? Nah itu dia soalnya. Soal ini saya tak mampu mikir, apalagi punya jalan keluar. Ini masalah berat. Betul-betul berat. Ini Indonesia. Bukan Malaysia, Bukan Ferancis, bukan Australia, bukan Italia. Mereka itu, negara-negara yang tak punya Pancasila, tetapi lakukan lockdown. Kita? Jangan mikir itu. Itu urusan Presiden. Kata Pak Jendral Doni, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona, dirinya telah diinstruksikan Presiden untuk tak ada lockdown (republika.co.id 21/3/2020). Lho ko Presiden sampaikan instruksi itu Pak Doni? Aneh. Ini janggal, tak masuk akal. Inilah soalnya. Ada apa Pak Presiden? Terus terang, terasa berat mengatakan Presiden telah menyepelekan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tapi tak tersedia kata lain untuk itu. Bikin UU bersama-sama dengan DPR, ko begini jadinya. UU Nomor 6 Tahun 2018 kan jelas, lockdown “Pembatasan Sosial Berskala Besar” hanya bisa dilakukan oleh Presiden. Kewenangan ini tidak bisa didelegasi. Tetapi ko kasih instruksi ke Pak Jendral Doni tak ada Lockdown? Memangnya Pak Doni mau lockdown? Tak mungkin. Apa Pak Presiden curiga sama Pak Jendral Doni? Apa Pak Presiden tak mengenal Pak Jendral Doni? Yang sangat santun dan terlihat sangat tawaddu itu? Pak Presiden harus diberitahu bahwa Lockdown bisa dilakukan hanya oleh Presiden sendiri. Itu pun dilakukan setelah lebih dahulu Presiden deklarasi “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Darurat Kesehatan itu, bukan tanggap darurat menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lockdown itu juga bukan darurat sipil, bukan darurat militer, bukan darurat perang menurut UU Darurat Nomor 23 Tahun 1959. Beda Pak Presiden. Dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, militer tak bisa apa-apa. Kewenangan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Militer, dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat malah tak dilibatkan menurut UU ini. Panglima, KASAD, KASAL, KASAU, semuanya tak punya wewenang dalam kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Apa yang dipikirkan Pak Presiden? Apa negara ini benar-benar tak punya cukup uang? Apa uang yang ada memang diplot hanya untuk infrastruktur dan pembangunan Ibukota negara yang baru saja? Apa uang yang ada hanya untuk interfensi pasar modal dan rupiah? Apa kalau uang negara yang tersedia saat ini dipakai membeli makan dan minum rakyat, akan mengakibatkan negara ini bangkrut? Lockdown memang memiliki efek catastropicaly kemana-mana. Sangat explosive. Ekonomi bisa lumpuh, setidaknya sangat parah. Memang ini harus ditimbang betul. Tetapi terasa tak masuk akal bila penyelamatan kesehatan dan nyawa orang, harus diletakan pada level kedua setelah pertimbangan eksistensi ekonomi. Subhanallah. Presiden tak boleh tiba saat, tiba akal. Tak boleh parsial Pak Presiden. Sudah lockdown, tapi tak mau bilang lockdown. Imbauan tak boleh keluar rumah, patroli di jalan-jalan, bubarkan orang di jalan-jalan, pembatasan jam operasi trans jakarta, pembatasan masuknya orang asing. Itu semua merupakan tindakan karantina. Itulah karantina “Pembatasan Sosial Berskala Besar”. Nama populernya itu Lockdown Pak Presiden. Karantina itu telah memakan TKA asal China yang berjumlah 43 orang, setelah sebelumnya 49 TKA illegal asal Cihna di Kendari terbongkar dan dikarantina. Mereka yang 43 itu tak lolos tes kesehatan di Bandara Soeta. Ini namanya karantina di pintu masuk Pak Presiden. Pembatasan di perbatasan wilayah darat juga sama. Ini juga karantina di pintu masuk. Kerangkanya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ya lagi-lagi namanya Lockdown Pak Presiden. Praktis lockdown itu sebenarnya telah terjadi secara parsial, diam-diam, dan tanpa didahului deklarasi Presiden tentang “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Jadi? Untuk apa beri instruksi tidak ada lockdown Pak Presiden? Aneh memang. Tapi, ya beginilah negeri kita ini. Memang harus diakui, dengan karantina tanpa didahului “Deklarasi Kedaruratan Kesehatah Masyarakat” Lockdown, maka pemerintah tak harus tangung mengurus makan dan minum masyarakat. Beda dengan karantina yang didahului “Deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Dalam soal ini, pemerintah harus tanggungjawab atas makan dan minum rakyat. Ini negeri kita, baik ataupun buruk. Ini bukanlah Malaysia. Setelah Lockdown, Malaysia urus kehidupan rakyatnya. Bahkan mereka menyewa pesawat memulangkan rakyatnya yang ada di Iran dan India. Francis dan Utalia juga sama. Pemerintah mereka keluarkan uang untuk hidupi rakyatnya sehari-hari. Tentu saja ala kadarnya. Amerika, negeri yang dituduh China dan Iran sebagai sumber virus ini malah lebih maju lagi. Negeri imperial ini punya politik bipartisan. Demokrat dan republik punya idiologi berbeda dalam memandang negara dan pemerintah. Haluan idiologis itu diimplementasi dengan sangat jelas dalam kehidupan nasional mereka di semua lini, termasuk di Kongres. Sangat terbelah mereka. Tetapi mereka hebat dalam urusan menolong rakyatnya. Dalam soal ini, mereka jelas dalam semua aspeknya. Mereka bersatu, bahu-membahu menolong rakyat. Dalam urusan corona mematikan ini, Demokrat yang maju memprakarsai pembentukan UU yang akan dijadikan dasar pemerintah memberi insentif kepada rakyat. Terutama para pekerja. Bill yang diprakarsai Demokrat itu namanya “The Families First Coronavirus Responses Bill”. Kongres setuju. Bill ini diterima dengan komposisi suara 363 berbanding 40. Trumph? Teken. Jadilah The Families First Coronavirus Responses Act (Vox.com, 14/3/2020). Top mereka. Sudahlah, Amerika memang bukan tandingan kita dalam mengurus rakyatnya. Kita baru dilebel Amerika sebagai negara kaya. Tetapi itu cuma akal-akal mereka saja. Hebat, sejauh ini tak terdengar rakyat Indonesia meminta insentif pemerintah. Orang-orang miskin, dan pekerja serabutan di tengah musim tak boleh keluar rumah, di tengah corona ini pun patuh saja. Sami’na wata’na kepada pemerintah. Semoga tak Lockdown itu semata-mata karena negara ini kekurangan uang. Lockdown bakal menyulitkan pemerintah, bakal membuat ekonomi berantakan. Semoga itu saja pertimbangannya. Tidak lebih dari itu. Bukan karena Presiden berpikir rakyat masih bisa makan. Semoga Presdie tidak takabur. Subhanallah, terlalu berat bila sampai takabur. Mari saling menjaga, membantu dengan cara tidak kemana-mana. Berada di rumah saja, dan rajin cuci tangan. Jangan minta hand sanitazer, masker, infektan, chlorokuin, avigan dan lainnya. Jangan minta insentif pemerintah. Pemerinah lagi susah. Mari tawakkallah kepada Allah semata. Ikhlaskan semua ini pada-Nya. InsyaAllah rahmat-Nya selalu menyertai kita semua. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate