NASIONAL

Mengisolasi Diri Dua Minggu Itu Cost Paling Murah

Kalau anda ternyata malah sekalian positif Covid-19. Hidupmu tambah runyam. Iya kalau sembuh. Kalau tidak sembuh, lalu malah wassalam. Siapa yang paling menderita ? Keluargamu. Kalau anda kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, berarti terputus nafkah untuk mereka. Keluargamu akan pontang-panting mencari nafkah setelah anda nggak ada. Anda juga nggak bisa lagi mendampingi anak-anak tumbuh besar. Rugi banget, banget dan banget. By Lily Bertha Kartika Jakarta FNN - Sulit sekali menjadi kompak dan bersatu dalam mengatasi situasi krisis, selama orang masih berkeras untuk ada dalam zona nyamannya. Diminta mengisolasi diri sendiri selama dua minggu di rumah saja, malah keluyuran. Diminta meliburkan karyawannya dan bekerja di rumah, kecuali pelaku bisnis tertentu, masih hitung-hitungan juga untung rugi. Ketika dilakukan pembatasan transportasi untuk tujuan mengurangi penumpukan orang yang bisa memperbesar risiko penularan, malah mau baku hantam dalam antrian. Lalu para kompor, yang bahkan ada jurnalis senior, dosen, dan kaum cendikiawan ikut meramaikan suasana dengan bilang "coba aja si pembuat kebijakan berdesakan di bus dan rasakan gimana sengsaranya. "Juga komentar, nggak pakai otak. Emang dia pikir semua bisnis bisa dikerjakan di rumah?". Padahal sebelum mengambil keputusan itu, Gubernur Anies sudah berkonsultasi dengan banyak pihak dari asosiasi profesi. mulai dari ahli kesehatan sampai pelaku bisnis. Simulasi juga sudah dilakukan. Datanya juga lengkap, sehingga dampaknya bisa diukur. Bicara soal dampak dalam satu kasus, tentu yang harus diantisipasi adalah dampak yang paling berbahaya diantara sekian banyak dampak yang timbul. Penumpukan orang bukannya tidak dipikirkan sebagai risiko. Tetapi dalam kasus Covid-19 seperti sekarang, yang lebih penting diantisipasi adalah penularan virus yang sedemikian cepatnya itu. Isolasi memang bukan keputusan untuk menyenangkan semua pihak, tetapi untuk menyelamatkan semua pihak. Kalau dihitung jangka pendek, kerugian pasti banyak, terutama waktu dan uang. Tiba-tiba semua kebiasaan berubah. Hidup menjadi tidak nyaman. Takut dan banyak ketidakpastian. Tetapi dalam jangka panjang, isolasi justru cost paling murah dibanding jika korban terus bertambah. Coba anda pikirkan. Kalau harus dirawat berminggu-minggu di rumah sakit. Berapa waktu produktivitas kerja yang terbuang? Berapa waktu yang habis untuk ngantri dan melewati semua pemeriksaan ini dan itu? Berapa biaya yang habis dan lain-lain? Anda bahkan beneran nggak bisa pergi kemanapun. Tidak bisa berinteraksi dengan keluarga. Nggak bisa meeting dengan siapapun. Bandingkan besarnya ketidaknyamanan yang hilang jika dibanding kita patuh untuk bekerja di rumah dan mengisolasi diri sementara waktu. Toh, selama isolasi sementara di rumah, kita masih bisa meeting online. Masih bisa bercengkerama dengan keluarga. Jadi, sebenarnya ini soal ego saja. Sejauh mana kita mau repot mengatur ulang bisnis. Mengatur rutinitas dan segala kenyamanan yang selama ini sudah melekat, yang kemudian dipaksa menyesuaikan dengan situasi krisis ini. Sangat ribet, bikin kesal dan tidak nyaman itu sudah pasti. Kalau memilih menyesuaikan diri dan bersabar, kondisi ini akan pulih lebih cepat. Kenyamanan kita juga berangsur akan kembali. Sementara kalau terus rewel dan manja, tidak akan banyak kondisi yang berubah, dan akan makan waktu lebih lama untuk kondisi ini pulih seperti sedia kala. Belum lagi kalau anda ternyata malah sekalian positif Covid-19. Hidupmu tambah runyam. Iya kalau sembuh. Kalau tidak sembuh, lalu malah wassalam. Siapa yang paling menderita ? Keluargamu. Kalau anda kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, berarti terputus nafkah untuk mereka. Keluargamu akan pontang-panting mencari nafkah setelah anda nggak ada. Anda juga nggak bisa lagi mendampingi anak-anak tumbuh besar. Rugi banget, banget dan banget. Percayalah, ketika anda rewel dan menolak bekerjasama dalam situasi krisis seperti sekarang, harga yang kelak harus dibayar akan sangat mahal. Kalau saya, mendingan tinggal kalem di rumah selama dua minggu. Simpel, tetapi menyelamatkan diri sendiri dan orang banyak. Sudahlah, berhenti bermanja-manja. Gunakan saja otak untuk mikir dengan jernih. Sadari saja dengan sederhana bahwa anda sedang diselamatkan. Penulis adalah Wartawan Senior

Telat Lockdown, Apakah Indonesia Akan Seperti Itali?

By Tony Rosyid Jakarta FNN - Tidak hanya China, Itali juga parah. Sejak diumumkan tanggal 20 Pebruari, warga Itali yang positif Covid-19 terus bertambah. Ketika angka kematian akibat covid-19 tembus 230 dari 6.000 orang yang dinyatakan positif, pada tanggal 8 Maret Itali umumkan lockdown. Hanya selang 18 hari. Gimana dengan nasib ekonominya? Pasti cukup berat. Negara yang berpenduduk 16 juta orang ini semakin parah situasinya. Dalam sehari pernah ada 368 orang yang mati karena Covid-19. Per hari kemarin (16/3) sudah 1.809 orang yang meninggal dari 24.747 orang yang positif Covid-19. Setiap hari terus bertambah angkanya. Tidak saja jumlah warga yang postif Covid-19, tetapi tingkat kematiannya juga terus naik. Saat ini, karena berbagai keterbatasan rumah sakit, para dokter dipaksa untuk memilih siapa yang harus dirawat dan diprioritaskan untuk hidup, dan siapa yang dibiarkan akan mati. Menurut data, 58% pasien yang mati itu berusia di atas 80 tahun. Dan 31% di usia 70-an tahun. Maka, para dokter terpaksa memprioritaskan pasien yang muda. Apa kesalahan Itali sehingga mengalami situasi separah itu? Pertama, Itali telat lockdown. Bandingkan dengan Selandia Baru. Empat pasien ditemukan positif Covid-19, negara itu langsung mengisolasi ribuan orang. Dan Selandia Baru saat ini relatif aman dari Corona. Kedua, warga yang tak disiplin. informasi lockdown bocor sehari sebelum diumumkan. Sebagian warga di Itali Utara, tempat Covid-19 mewabah, lari dan meninggalkan wilayah. Diantara mereka yang lari ada yang positif Covid-19. Akibatnya, menular ke wilayah lain. Bagaimana dengan Indonesia? Banyak pihak menuntut agar pemerintah pusat segera ambil keputusan untuk lockdown. Langkah ini adalah cara paling konfensional. Tetapi dianggap paling efektif untuk menghadapi penyebaran Covid-19. Kenapa harus lockdown? Karena langkah penanganan yang dilakukan selama ini belum terlihat bisa menghambat dan mengurangi penyebaran Covid-19. Ini karena Pertama, tidak ada informasi yang transparan, memadai, lengkap dan terukur terkait dengan Covid-19. Pola penyebarannya dan data yang dapat memberi pertimbangan masyarakat untuk melakukan aktifitas dan mewaspadainya. Seperti apa karakter Covid-19? Bagaimana pola penyebarannya, lewat apa saja, dalam jangka waktu berapa lama, dan seterusnya? Tidak tersosialisasikan dengan baik. Yang muncul justru informasi tak resmi (bukan dari pemerintah) yang berseliweran di berbagai media social, yang akurasinya diragukan. Kedua, tidak ada panduan yang terukur dan konsisten dari pemerintah pusat terkait apa yang harus diwaspadai dan dilakukan oleh rakyat. Bahkan cenderung diserahkan kepada masing-masing daerah (Kepala Daerah). Emang virus corona itu jenis dan karakternya berbeda di setiap daerah? Ketiga, keterbatasan perlengkapan alat kesehatan yang dibutuhkan dan ruang isolasi untuk ODP dan PDP. Sampai hari ini, untuk melakukan tes Covid-19, hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Sementara jumlah rumah sakit yang ditunjuk Pemerintah Pusat masih sangat terbatas. Ini jauh dari cukup untuk bisa menangani melonjaknya pasien yang datang ke rumah sakit rujukan. DKI Jakarta sudah mengajukan surat resmi untuk diijinkan melakukan tes Covid-19. Langkah DKI Jakarta besar kemungkinan akan diikuti oleh daerah-daerah lain ketika Covid-19 semakin membesar jumlah penularannya di daerah-daerah tersebut. Keempat, tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia tak lebih baik dari masyarakat Itali. Cenderung meremehkan dan menganggap enteng. Sikap mental seperti ini sudah direpresentasikan oleh sejumlah menteri, termasuk menteri kesehatan dan menteri perhubungan. Tentu, ini akan menjadi peluang potensial bagi Covid-19 untuk leluasa menyebar. Inilah diantara alasan kenapa keputusan lockdown menjadi sangat urgent. Jangan karena terlambat, Indonesia mengalami seperti yang dialami oleh Itali. Silahkan Pemerintah Pusat berhitung dan mempertimbangkan secara cermat. Apa saja yang terbaik untuk dilakukan bangsa ini dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Tuntutan sejumlah tokoh untuk lockdown ini sangatlah obyektif. Jangan malah dituduh sebagai skenario untuk menggulingkan presiden Jokowi. Ini lucu dan amat menggelikan sekali. Banyak nyawa melayang, ada pihak-pihak yang masih terus berpikir politis. Lu saraf kali ya? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Respons Pertama Terhadap Corona “Sangat Ngawur”

Indonesia saat ini bukan negara kaya. Sehingga jangan lakukan “macro pumping”. Jangan ada “buyback” terhadap saham-saham BUMN dan lain-lain. Amerika saja, yang negara kaya, melakukan “pumping macro” ratusan milyar dollar lewat FED. Namun ternyata hasilnya tidak effektif. Hanya kurang dua jam, index naik. Setelah dua jam, index anjlok lagi. By DR. Rizal Ramli Jakarta FNN - Pada awal Corona, respons Indonesia sangat lambat dan terlambat. Padahal di Wuhan telah terjadi pada akhir tahun 2019. Kelambatan tersebut, terutama karena “sungkan”. Takut menyinggung pihak Tiongkok. Kedua, pejabat-pejabat Indonesia mengambil sikap “self-denial” (menolak kenyataan). Akibatnya, kita kehilangan waktu selama 2,5 bulan. Kita kehilangan waktu yang sangat berharga selama 2,5 bulan. Waktu untuk scanning, monitoring dan testing potensi penularan corona. Itulah yang menyebabkan negara-negara lain seperti Australia, Singapore, termasuk World Health Organization (WHO) tidak percaya dengan statistik kasus corona di Indonesia. Respons kebijakan pertama terhadap corona sangat ngawur. Yaitu dengan rencana untuk membiayai para influencers senilai Rp72 milyar. Begitu pula dengan subsidi kepada airline untuk meningkatkan turisme. Ini bener-benar ngawur. Karena seluruh dunia mau kurangi turis asing. Indonesia malah mau tingkatkan. Kwalitas orang-orang di sekitar Jokowi payah. Barikiutnya, masih saja mengizinkan pekerja-pekerja dari Tiongkok untuk masuk Indonesia. Kebijakan ini hanya karena kepentingan bisnis pejabat-cum-penguasa. Sing eling eui. Ingat, ini kepentingan nasional. “Nora amat sih”. Sebagai bangsa, memang kita terbiasa dan sangat asyik klo membahas apa yang terjadi hari ini. Tetapi kita tidak terlatih untuk melihat dan melakukan antisipasi terhadap masa depan. Sehingga sering kali terlambat, jika menghadapi shocks global seperti corona. Pertumbuhan Ekonomi -2% Jika tidak ada corona, ekonomi Indonesia memang terus anjlok. Penyebabnya karena salah kelola. Mabok utang dan pengetatan makro ekonomi. Padahal ekonomi hanya akan tumbuh 4% tahun 2020. Kalau tindakan terhadap corona effektif dan benar, maka ekonomi hanya akan anjlok lagi -1%. Tetapi jika tidak effektif penangannya, maka ekonomi akan anjlok -2% lagi. Untuk mengurangi dampak corona terhadap ekonomi, ini waktunya utk menggeser secara radikal dengan cara melakukan realokasi APBN tahun 2020. Stop (moratorium) proyek-proyek infrastruktur besar untuk 2020. Harus berani. Jangan gengsi-gensian. Alokasikan APBN 2020 hanya untuk sektor kesehatan, makanan dan peningkatan daya beli rakyat miskin. Indonesia saat ini bukan negara kaya. Sehingga jangan lakukan “macro pumping”. Jangan ada “buyback” terhadap saham-saham BUMN dan lain-lain. Amerika saja, yang negara kaya, melakukan “pumping macro” ratusan milyar dollar lewat FED. Namun ternyata hasilnya tidak effektif. Hanya kurang dua jam, index naik. Setelah itu index anjlok lagi. Perlu belajar dari Korea Selatan. Negara ini termasuk yang paling effektif dalam menangani pandemik corona, karena mereka belajar dari kasus SARS. Mereka evaluasi apa-apa yang dianggap effektif, dan menyiapkan SOP (Standard Procedures). Ketika serangan Corona datang, sudah ada SOP yang siap-pakai. Tanpa perlu banyak rapat dan koordinasi lagi. Gunakan momentum pandemic corona ini untuk menggenjot produksi dalam negeri. Seperti pertanian, buah-buahan dan sayur-sayuran. Bantu kredit untuk bibit dan pupuk, sehingga bisa panen setiap tiga bulan. Ajak Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk bantu peta kecocokan tanah. Jangan bisanya hanya impor, import dan impor doang. Payah amat sih. Rupiah dan IHSG Anjlok Nilai tukar rupiah makin anjlok. Sudah mencapai Rp 15.200 per dollar. Bergitu pula dengan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah anjlok, dari 6000-an ke 4500an. Penurunan ini IHGS hampir mencapai 25%. Jangan biarkan mata uang rupiah dan index terombang-ambing dengan shocks dan volatilitas yang sangat besar. Ubah flexible exchange yang selama berlaku, menjadi fixed exchange. Tetapkan di angka Rp 15.500/dollar untuk jangka waktu satu tahun. Jangan biarkan external dan internal shock dengan volatilitas yg sangat besar. Sebab bisa merusak ekonomi dan korporasi nasional. Segera bekukan dulu perdagangan saham sampai waktu yang belum ditentukan. Toh, kalau dibuka terus, akan semakin anjlok, dan akan semakin panik. Ini adalah momentum untuk tukar (swap) utang-utang Indonesia yang yield-nya sangat tinggi sekarang (7%-8%), karya “Menkeu Terbalik” yang sangat merugikan bangsa kita. Kerugian karena bond kemahalan itu anatara Rp 110-120 triliun. Padahal yield bond di Jepang danEropah negatif. Segera negosiasi swap bond. Sebab basa menghemat sekitar Rp 110 triliun. Soal penjelasan dan tindakan preventif dan kuratif dalam menghadapi corona, pujian perlu diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bravo Anies. Kerjanya jelas, terukur dan persuasif, dibandingkan pejabat-pejabat pemerintah pusat. Penulis Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Presiden Gus Dur

Gagalnya Kerja Intelijen Membungkam Informasi Tentang Covid-19

Intelijen juga gagal membuat propaganda melalui tangan-tangan pemandu sorak mereka . Padahal mereka berkeliaran di media sosial dan figur sosial. Kegagalan tersebut semakin menjadi kepanikan besar, ketika salah seorang Menteri Jokowi positive terjangkit wabah Covid-19. Masyarakat juga terlihat semakin panik. Karena tiba tiba saja terkejut dengan fakta bahwa di lingkaran utama Presiden, yang keamanannya dijaga dengan sangat ketat, namun bisa terkena wabah Covid-19. By Liem Han Chow Jakarta FNN - Sejak ramainya kasus Covid-19, pemerintah kita sepertinya berusaha menutupi informasi. Kenyataan ini terlihat dari simpang siur,dan tumpang tindihnya informasi yg disampaikan oleh pejabat publik kepada media massa mainstream. Kondisi inilah yang membuat masyarakat semakin khawatir. Masyarakat merasa penasaran dengan kejadian yang sesungguhnya. Bukan sembarangan upaya. Usaha pemerintah menutupi jejak kasus Covid-19 tersebut adalah upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik nasional. Dubes China sempat protes karena Pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Covid-19 bersumber dari China. Dubes China pantas saja memprotes. Mengingat informasih mengenai sumber Covid-19 bisa berdampak terhadap ekonomi China. Penjualan produk China dan proyek-proyek strategis China yang sedang dan masif di Indonesia sekarang. Jika tidak diprotes, bisa menjadi sumber penolakan masyarakat Indonesia. Inilah pokok persolannya. Selain persoalan ekonomi dan politik, masalah rasisme juga dikhawatirkan meningkat. Kebencian dan kecurigaan terhadap kelompok tententu juga bisa meningkat sangat cepat dan drastis. Karena itu, isu ini bisa berkembang lebih cepat dari api yang melalap atau membakar kertas. Diperkirakan, hantu gesekan sosial yang membayangi sikap pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19 ini. Dampak gesekan ini tentunya sangat terkait erat dengan persoalan ekonomi dan stabilitas politik di dalam negeri. Demikian juga dengan peta dampak politik luar negeri. Posisi Indonesia yang sedang mesra-mesranya dengan China bisa ambyar dan berantakan. Jejak dan keterlibatan Badan Intelijen (BIN) dalam usaha pemerintah menangani wabah Covid-19 ini terlihat sangat jelas, kentara dan nyata. Apalagi, ketika Kepala BIN Budi Gunawan mendampingi Jokowi dalam sebuah acara konferensi pers soal Covid-19. Jejak itu juga terlihat pada beberapa kali ralat berita oleh pihak berwajib yang mengumumkan kasus Covid-19. Pengumuman pertama diralat dengan sebuah statement yang seragam. Begitulah cara kerja intelijen dalam membungkam sebuah informasi. Padahal dalam sebuah negara demokrasi, keterbukaan informasi, diseminasi informasi adalah hal yang tak bisa dibendung. Crowdsource Information tersedia dalam berbagai bentuk dan pola. Baik itu yang tersedia di media social, maupun percakapan di media online. Informasinya begitu cepat menyebar. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya fakta-fakta lapangan yang terjadi. Intelijen pemerintah, akhirnya terlihat gagal dalam menutupi kasus Covid-19 yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Intelijen juga gagal membuat propaganda melalui tangan-tangan pemandu sorak mereka . Padahal mereka berkeliaran di media sosial dan figur sosial. Kegagalan tersebut semakin menjadi kepanikan besar, ketika salah seorang Menteri Jokowi positive terjangkit wabah Covid-19. Masyarakat juga terlihat semakin panic. karena tiba tiba saja terkejut dengan fakta bahwa lingkaran utama Presiden yang keamanannya dijaga ketat bisa terkena wabah Covid-19. Kepanikan juga terjadi bursa saham selama dua hari berturut turut. Dampaknya, tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun demikian, bagi sebagian orang yang berada pada kelas elit, dampaknya sangat terasa. Ketakutan mereka menjadi efek domino terhadap kelas menengah ke bawah. Jika para pekerja mengetahui bahwa bosnya kabur, mereka bisa saja panik massal. Ekspatriat yang berada di Indonesia mulai eksodus. Kepanikan ekonomi juga ditandai dengan langkanya bahan bahan tertentu. Begitu pula naiknya harga-harga sembako. Kepanikan masyarakat ini seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi, agar masyarakat bisa tetap percaya kepada pemerintah. Apalagi setelah pemerintah gagal berbohong soal penyebaran Covid-19. Pada titik ini, sepatutnya intelijen segera mempensiunkan para pemandu sorak mereka, yang saat ini makin tidak kompak dan terlihat konyol. Jika langkah-langkah startegis itu tak segera diambil, ditakutkan akan terjadi kepanikan sosial. Saling curiga antar penduduk wilayah. Saling curiga antar komplek perumahan. Kebencian pada etnis China yang dituduh sebagai pembawa bencana akan semakin meningkat. Kepanikan sosial seperti ini sangat mungkin memicu terjadinya chaos. Fakta-fakta ini ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang terus memburuk. Semakin tingginya kredit macet perbankan dari hari ke hari. Semakin susah mencari uang, karena banyak orang yang libur. Mereka mengurung diri di rumah selama beberapa hari ke depan. Kebutuhan akan sembako dan obat-obatan seperti masker dan hand sanitizer atau pencuci tangan dengan sabun yang beralkohol juga semakin langka. Kalaupun masih ada di pasar dan Apotek, maka harganya sangat mahal. Harganya dua sampai tiga kali lipat. Masyarakat terpaksa harus membelinya, karena kondisi yang mendesak. Untuk sementara waktu, masyarakat harus mengesampingkan kebutuhan makan dan minum dulu. Semua itu bisa menjadi bom waktu. Jika tidak ditangani dengan baik, akan meledak dalam waktu dekat. Semoga kita semua mampu bersabar mengadapi wabah Covid-19 ini. Penulis adalah Analis Intelejen Don Adam Sharing Academy

Tidak Siap LockDown Nasional, Berikan Saja Kewenangan Itu Kepada Daerah

By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Mengapa Jokowi belum mengambil pilihan untuk LockDown secara nasional. Jokowi lebih memilih menjalankan Social Distancing? Padahal Social Distancing akan efektif jika kultur masyarakat dalam mematuhi aturan-aturan cukup tinggi, sehingga people-distancing pun diterapkan oleh tiap orang di tempat-tempat berkumpul. Warga masyarakat masih dibolehkan keluar rumah untuk kerja dan beraktivitas. Selain itu, ketersediaan test kit untuk melakukan tes massal gratis kepeda seluruh warga. Bukan sebaliknya, menunggu warga datang untuk dites. Ketersedian masker dan hand sanitizer yang dibagikan gratis kapada masyarakat sebagai upaya warga lakukan self-defence dalam kegiatan sehari-hari, karena warga masih diperbolehlan untuk melalukan moving in-out. Begitu juga dengan etersediaan tenaga medis di daerah-daerah dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap. Tujuannya, untuk melakukan layanan test and recovery pasien. Namun petugas juga jangan sampai tertular. Ketersediaan Rumah Sakit dan pusat-pusat isolasi pasien positif dengan fasilitas yang lengkap. Jumlahnya juga harus memadai di seluruh daerah. LockDown tidak diperlukan, bila jumlah penduduk yang relatif tidak terlalu banyak. Begitu juga dengan letak geografis yang tidak terlalu luas. Selain itu, episentrum penyebaran virus yang tidak banyak. Dipastikan juga akan terjalin kordinasi yang baik antara pusat dan daerah, terutama ketika bekerja di medan yang luas dan menghadapi jumlah manusia yang banyak. Diperlukan juga kemampuan yang tinggi untuk melakukan tracing close contact yang melibatkan banyak instansi. Langkah ini harus didukung dengan teknologi dan data sources yang akurat. Beberapa negara yang menjalankan Social Distancing seperti Singapura dan Korea Selatan telah memenuhi prasyarat itu. Jika persyaratan-persyaratan tersebut tidak ada, maka LockDown mejadi pilihan terbaik. Meski untuk itu harus mengorbankan kegiatan ekonomi. Sebab, jika penyebaran sudah masif di banyak daerah, maka Social Distancing akan memberikan hasil penurunan penyebaran virus lebih lambat karena sangat bergantung pada kedisiplinan manusia dan ketersediaan sarana dan prasarana. Harus pula dapat diukur kecepatan penyebaran virus dengan kecepatan pemeriksaan atau tes dari warga masyarakat secara sukarela. Meskipun tdk menimbulkan panic buying, bukan berarti kegiatan ekonomi tidak terganggu sama sekali. Pasti akan ada dampak ekonomi. LockDown, sangat mungkin menimbulkan panic buying. Secara drastis akan menghentikan kegiatan ekonomi. Tetapi LockDown memberikan hasil terhadap perlambatan penyebaran virus yang mungkin bergerak lebih cepat, karena mengurangi resiko penularan antar daerah. Keputusan untuk LockDown akan mengurangi variable-variabel yang menjadi sebab-musabab virus menyebar cepat. LockDown juga perlu dilengkapi dengan aturan-aturan ketat dalam pelaksanaan. Harys diawasi aparat di lapangan. Diberlakukan sanksi bagi yang melanggar. Dengan jumlah test kit dan tenaga medis yang terbatas. Begitu juga dengan anggaran yang terbatas, maka pilihan LockDawn lebih cocok dan tepat. Warga yang sehat tidak perlu diperiksa. Warga yg positif pun akan sembuh sendiri. Yang tidak menunjukkan symptom, juga karena tingkat kesembuhan Covid-19 yang tinggi, sekitar 97%. Ini bisa terjadi selama yang positif terjangkir Covid-19 tidak menularkan, karena semua berada dalam pembatasan dan ruang mobilisasi. Tidak moving. China memilih melakukan LockDown karena jumlah manusia yang banyak dan padat. Membuat virus bisa menyebar dengan cepat ke provinsi lain. Akan lebih sulit ditangani ketika episentrum sudah meluas ke propinsi lain. Fhilipina melakukan LockDown karena kurangnya test kit dan tenaga medis sehingga Social Distancing dianggap tidak efektif. Pemerintah Fhilipina dan juga Malaysia menyadari bahwa sulit untuk mengharapkan sikap kedisiplinan dari warganya untuk self-defense selama Social Distancing. Untuk itu, LockDown dinilai menjadi pilihan yang lebih efektif, karena ada aturan-aturan yang bisa memaksa masyarakatnya. Kunci efektivitas LockDown di Indonesia adalah perlu strong leadership Jokowi. Penegakan aturan-aturan LockDwon oleh aparat adalah juga ketersediaan logistic. Artinya, distribusi logistik antar daerah dipastikan tetap berjalan dengan baik. Dikawal betul oleh aparat kepolisian dan tentara. Ketika pabrik-pabrik dan pasar tutup, maka distribusi logistik yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat menjadi terganggu. Selama LockDown distribusi logistik pangan harus dapat dijalankan oleh pemerintah. Misalnya melalui Bulog. Dengan kata lain, jalur distribusi logistik harus disiapkan sebelum jalankan LockDown diberlakukan. Jadi, sekarang yang perlu dipertimbangkan adalah “lebih banyak mana, kerugian yg akan ditimbulkan dari Social Distancing dan LockDown? Tetapi apapun itu kerugiannya, pemerintah tidak boleh mengorbankan kesehatan masyarakat. Jangan lagi memikirkan ekonomi. Apalagi kekuasaan. LockDown memang akan menimbulkan panic buying pada awalnya. Tetapi jika aparat dan Bulog punya kesiapan yang tinggi, akan meredam kepanikan ini. Jangan jadikan panic buying sebagi penghalang keputusan LockDown. Sebab LockDown secara rasional sebagai pilihat tepat saat ini. Untuk itu, siapkan strategi bagaimana menghadapi panic buying, sehingga dapat diminimalisir. Jika melihat berbagai prasyarat memilih Social Distancing atau LockDown, nampaknya Jokowi tidak siap. Bukan tidak mau. Untuk memutuskan LockDown, meskipun LockDown lebih tepat dalam situasi penyebaran virus yg terus naik. Ketidaksiapan ini adalah pada jaminan supply logistik oleh Bulog yang menggantikan peran swasta. Selian itu, Jokowi juga tidak memiliki strong leadership yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan LockDown efektif sampai ke daerah-daerah. Contohnya, LockDown kota Malang yang diputuskan oleh Walikota Senin siang. Tetapi sore hari disangkal lagi oleh Walikota setelah Jokowi marah, karena LockDown menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa daerah dalam status yang sangat urgensi, telah menjalankan LockDown. Bagaimanapun daerah lebih tahu kondisi daerahnya sehari-hari saat ini. Daerah juga lebih tahu resiko yg akan dihadapi daerah ketika LockDown terlambat dijalankan. Karena itu, jika belum siap jalankan LockDown secara nasional, maka daerah perlu diberikan kewenangan untuk lalukan LockDown secara parsial sepanjang daerah siap dengan segala resikonya. Penulis adalah Managing Director Indonesia Future Studies (INFUS)

Nasib APBN 2020 "Mendekati Ambyar”

“Urusan corona memang berat. Namun yang lebih berat lagi adalah urusan tidak punya uang. Karena berdampak kepada tiga persoalan sekaligus. Yaitu, tidak punya uang buat beli makanan, tidak punya uang buat memeriksa kesehatan, dan kalau tertular berarti tidak punya uang buat berobat. Demikian beratnya kalau tidak punya uang itu”. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN - Sekarang, masalah terberat yang dihadapi pemerintah Jokowi Makruf adalah pemerintah tidak punya uang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Ambyar, kata anak milenial. Seluruh target penerimaan dalam APBN 2020 akan merosot tajam. Bahkan bisa dibilang terjun bebas. Sementara seluruh kewajiban akan menggunung. Kondisi ini jika tidak mendapat penanganan secara baik,maka bisa membuat Pemerintahan Jokowi- Makruf Ambyar juga. Masalah pzaling berat yang dipikul APBN 2020 tersebut datang dari merosotnya harga komoditas, terutama minyak, gas dan batubara. Ketiga komoditas tersebut selama ini merupakan penopang utama penerimaan dalam APBN setiap tahun. Harga minyak telah menurun ke posisi paling rendah dalam lima tahun terakhir. Harga sekarang U$ 28 dollar per barel minyak. Batubara juga menurun tajam menuju harga terendah dalam lima tahun terakhir. Harga baturabara sekarang U$ 34 dollar per ton. Sementara harga gas alam juga turun drastic. Berada pada posisi U$ 1,8 dollar per MMBTU. Sedangkan posisi harga komoditas yang menjadi penopang utama APBN juga memburuk. Penyebabnya, sangat kompleks, sehingga tidak mudah mencari jalan keluarnya. Masalah penurunan harga minyak, gas dan batubara adalah masalah kunci dalam penerimaan APBN Indonesia. Mengingat komoditas ini adalah penyumbang paling besar terhadap pendapatan negara dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Jika harga komoditas seperti minyak, gas dan batubara tinggi, maka investasi yang masuk ke sekrtor ini juga akan meningkat. Produksi dengan sendirinya meningkat, ekspor juga meningkat, bagi hasil meningkat, dan royalti memingkat. Hasilnya, pendapatan negara dari pajak dan PNBP meningkat. Sementara kondisi yang terjadi hari ini adalah sebaliknya. Bukan Masalah Baru Banyak yang mengatakan bahwa penurunan harga komoditas memang buka masalah baru bagi APBN Indonesia. Masalah ini selau berulang-ulang. Itulah yang mendasari keyakinan bahwa APBN Indonesia akan aman aman saja. Tidak akan terjadi masalah dalam kelangsungan pemerintahan Jokowi-Makruf. Pernyataan itu memang sepintas benar. Fluktuasi harga komoditas memang telah terjadi selama lebih dari satu dekade terakhir. Terhitung sejak krisis melanda Amerika Serikat dan Eropa tahun 2008 lalu. Komoditas seperti minyak, gas, dan batubara mengalami naik turun secara ekstrim. Selama ini kondisi harga komoditas yang demikian tidak membawa pemgaruh significant terhadap APBN, terlebih lagi terhadap kelangsungan politik dan pemerintahan. Lalu mengapa sekarang berbeda? Masalah penurunan harga komoditas merupkan akumulasi dari berbagai masalah lainnya. Pelemahan pertumbuhan ekonomi global, khususnya ekonomi Tiongkok. Sekarang ditambah maslaah pelemahan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat karena hantaman wabah corona adalah yang tidak pernah terjadi di masa lalu. Dari dalam negeri, muncul masalah pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenyataan ini merupakan akumulasi dari krisis sektor industri dalam dua dekade terakhir. Sektor property melemah sejak tahun 2014. Akibatnya, terjadi pelamahan daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir. Sekarang krisis harga komoditas yang mengalami kejatuhan terparah dalam sejarah. Tidak Punya Uang Sumber sumber utama pemerintah untuk mendapatkan uang tampaknya sudah semakin kering. Sektor komoditas tidak lagi dapat diharapkansebagai penopang uatama penerimaan pemerintah. Sementara sektor konsumsi, terutam property dan otomotif, telah lama mengalami pelemahan daya beli. Sektor pariwisata sebagian besar oleh diisi turis dari Tiongkok. Faktanya, sekarang Tiongkok dilockdown, maka yang tersisa cuma kemampuan masyakat dalam membeli bahan pangan dan makanan, yang makin pas-pasan saja. Sumbangan pajaknya pun tidak lagi significant. Sebetulnya kondisi ini tampak semakin memburuk dalam empat tahun terakhir. Namun pemerintah menyiasatinya dengan meminjam dana publik melalui instrumen Suat Utang Negara (SUN). Tragisnya, cara yang digunakan pemerintah untuk menjual SUN juga salah. Menjual obligasi negara dengan bunga lebih besar dari bunga yang berlaku pada deposito perbankkan. Disitulah letak salahnya. Maka mengalirlah dana dari berbagai penjuru negeri ke dalam SUN. Ada dana bank, dana perusahaan asuransi, dana pensiun, dana haji, semua mengalir mengisi kas negara yang sudah mongering atau kosong. Untuk sementara waktu, APBN pun selamat. Sekarang pemerintah harus membayar kewajiban-kewajiban yang menggunung. Membayar dana publik yang dipinjam pemerintah dengan menerbitksan SUN. Pada saat yang sama, juga membayar kewajiban utang luar negeri pemerintah dengan nilai yang makin besar. Bukan saja karena utang luar negeri pemerintah yang meningkat dari tahun ke tahun untuk menutupi defisit, namu juga karena jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang melemah sangat besar. Jika pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut, maka ini akan menjadi pukulan besar bagi beban utang APBN 2020. Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pelemahan rupiah menguntungkan APBN 2020, karena memperbesar nilai penerimaan utang baru dan peberimaan bagi hasil penjualan komoditas. Namun pukulan terhadap kewajiban pemerintah juga sangat telak. Persis ke ulu hati. Jika pelemahan harga komoditas berlangsung lama, ditambah wabah corona belum jelas kapan akan berakhir, maka sebagian besar sumber keuangan pemerintah akan kering-kerontang. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah sita aset para koruptor. Sita aset koruptor yang waktu lalu minta ampun dan tidak mau minta ampun lewat tax amnesty. Sangat sulit untuk membayangkan pemerintah tak punya uang. Sementara pada waktu yang bersamaan, sedang kena serangan corona. Bagaimana caranya kita membeli makanan dan membeli obat? Wallaahu Alam Bisshawab Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Pelitik Indonesia (AEPI)

Coronavirus, Pertumbuhan Ekonomi vs Penyelamatan Nyawa Rakyat

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN - Menteri Infrastruktur Belanda, Cora Van Nieuwenhuizen, seperti diberitakan rtlnews.nl, langsung menyampaikan ke publik mengurung diri di rumah setelah mengetahui Menhub Budi Karya positif Coronavirus, kemarin, 14 Maret 2020. Rtlnews memberitakan antara lain. "Minister Cora van Nieuwenhuizen (Infrastructuur en Waterstaat) moet in ieder geval tot 24 maart thuis werken. Woensdag had ze een ontmoeting met een Indonesische collega die het virus blijkt te hebben. Eerder vandaag werd gezegd dat ze geen klachten heeft en zich goed voelt." Meski terlihat baik-baik saja. Namun dia akan di rumahnya mengurung diri sampai tanggal 24/3. Tanggal ini tepat dua minggu setelah dia ketemu Menhub Budi Karya di Jakarta, sebagai bagian kerjasama Kerajaan Belanda dengan Indonesia. Pilihan mengisolasi diri ini adalah untuk nenghindari kontak dengan semua manusia. Sebab, masa inkubasi dua minggu coronavirus tidak bisa disimpulkan dengan test secanggih apapun, seperti yang dipertontonkan presiden dan kabinet pemerintahan Jokowi merespon situasi yang sama. Di Indonesia, Menhub Budi Karya, yang dinyatakan positif terinfeksi kemarin. Seharusnya membuat semua Menteri, Dirjen, pejabat lainnya dan juga presiden kita mengambil tindakan yang menjadi standar internasional. Sebagaimana yang dilakukan oleh Menteri Infrastruktur Belanda tersebut. Jika siapa saja melakukan kontak dalam jarak di bawah dua meter, harus dianggap potensi tertular virus. Namun, kita melihat hal itu tidak terjadi di kita. Menteri-menteri dan Jokowi masih berinteraksi dengan berbagai manusia lain dalam aktifitasnya. Situasi penanganan pandemik covid-19 ini, terutama sejak WHO dan masyarakat dunia melakukan langkah-langkah ekstrim. Indonesia masih memperlihatkan ketidak jelasan kordinasi. Jakarta Post beberapa hari lalu sudah memvonis Jokowi amatiran. Sedangkan hari ini cnnindonesianews menuliskan berita bahwa Jokowi harus meminta maaf kepada bangsa ini. Faktanya, hari demi hari semua kepala daerah melakukan konprensi pers sendiri-sendiri. Kepala Daerah juga membuat gugus tugas sendiri-sendiri. Bergerak mengumpulkan stok masker sendiri-sendiri, dan sejenisnya. Semua dilakukan demi keselamatan masyarakat di daerahnya. Ketidakjelasan situasi sampai saat ini terlihat dengan keputusan terkahir Jokowi yang menyerahkan urusan "lack down" atau tidak, hanya melalui pertimbangan kepala daerah. Sedangkan, disisi lain, sebelumnya, kemarin Jokowi membentuk Gugus Tugas. Kerjanya memperkuat kordinasi dan sinergi nasional mengatasi penyebaran virus ini. Seharusnya kedua hal itu bernuansa kontradiktif. Dalam penjelasan di istana Bogor tadi (15/03), sebagaimana dikutip berbagai media, Jokowi meminta Pemda menjalin kerjasama intens dengan BNPB dan menggunakan anggaran yang efisien. Penjelasan ini tidak menunjukkan ketegasan apakah Doni Monardo, sebagai Kepala BNPB atau Kepala Gugus Tugas, dapat melakukan kordinasi lintas daerah atau hanya sinergi (kerjasama) saja. Sebab, jika misalnya satu daerah melakukan "lockdown", pertanyaan berikutnya adalah apakah BNPB dapat menutup Kota atau Daerah itu? Ataukah Gugus Tugas yang baru dibentuk itu yang melakukannya? Kondisi ini menunjukkan adanya kebingungan dari Jokowi dalam merespon situasi. Berbagai negara di dunia sudah melakukan lockdown, sebagian lockdown ataupun menyatakan darurat negara. Darurat negara adalah beda dengan darurat bencana. Darurat negara bersifat nasional. Sedang darurat bencana, bisa bersifat lokal. Nah, Jokowi lebih memilih urusan mengenai virus corona ini diselesiakan di tingkat lokal demi lokal saja. Dari penjelasan Jokowi tadi di Istana Bogor, dimana Jokowi menekankan tentang pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi. Ada kesan faktor perekonomian kita dipertaruhkan dengan nyawa manusia yang mulai ketakutan dengan coronavirus ini. Padahal, sesungguhnya, ketakutan rakyat kita atas coronavirus sudah dirilis oleh survei YouGov pertengahan Maret lalu, rakyat kita yang paling cemas dibanding negara-negara lain di asia. Kita dihadapkan pada pilihan sulit. Mau menyelamatkan ekonomi atau mau menyalamatkan manusia, terkait pandemik coronavirus ini. Memang kita tidak menafikkan pentingnya ekonomi terus tumbuh dan berkembang. Namun, manusia juga butuh keselamatan hidup. Fakta selama ini, kita bisa lihat pada kepala-kepala daerah yang panik sendiri-sendiri mengatasi situasi pandemik coronavirus. Rakyat juga ikut panik karena kepastian informasi sulit untuk dipercaya. Coba bayangkan dua hal ini. Pertama, mantan karyawan telkom yang wafat di Cianjur, 3/3/2020. Awalnya dinyatakan negatif covid-19. Hari ini, setelah 12 hari meninggal, dinyatakan positif coronavirus. Butuh waktu untuk menganulir hasil test awal. Artinya lama dan test tidak begitu canggih. Akibatnya, apa? Istri dan anak karyawan itu dinyatakan positif coronavirus. Lalu bagaimama dengan orang-orang yang berhubungan dengan almarhum? Padahal dia sudah berobat ke mana-mana sebelum ke Rumah Sakit yang di Cianjur. Kedua, bagaimana mungkin seorang menteri (Menhub) terkena infeksi coronavirus? Bukankah seharusnya elit-elit negara lebih siap menangkal dirinya terhindar dari virus itu? Tentu saja setinggi pangkat apapun bisa tertular virus corona ini. Bagaimana membayangkan seorang Menteri Perhubungan yang berkali-kali ke istana negara. Tentunya telah disensor thermal scanner. Ko bisa membawa virus itu ke istana? Bahkan, bagaimana dia membawa virus itu ke acara Indonesia dan Kerajaan Belanda. Melihat kasus Menhub Budi Karya dan kasus eks karyawan telkom di Cianjur itu, kita perlu refleksi bahwa fokus kita pada penanganan wabah coronavirus ini belum optimal. Jika pemaksimalan ikhtiar baru dilakukan dengan fokus, maka pilihan penyelamatan ekonomi vs. penyelamatan nyawa manusia harus dilihat bersifat "trade-off". Kita tidak bisa memilih keduanya. Mungkin ekonomi akan turun dua persen dari target pertumbuhan. Namun kita bisa optomalkan penyelamatan nyawa manusia sebagai kewajiban utama negara. Penutup Menyebarkan virus corona ke Kerajaan Belanda, bisa saja sebuah ketidaksengajaan. Namun, ikhtiar memperbaiki diri bisa menunjukkan rasa penyesalan kepada negara sahabat. Memperbaiki diri yang dibutuhkan adalah melakukan semua standar internasional pada batas maksimal. Bukan batas minimal. Misalnya, pemerintahan Jokowi harus menyatakan "Kabinet Lockdown", sebagaimana ditulis oleh RMOL.co kemarin (14/03). Artinya, selama dua minggu sejak Menhub Budi Karya dinyatakan positif coronavirus, semua menteri mengkarantina diri atau mengisolasi diri. Jika jumlah orang-orang yang berhubungan dengan Budi Karya pada hubungan langsung dan tidak langsung sangat banyak, maka mereka dapat diberikan pinjaman sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Misalnya di Pulau Galang, Batam, sebagaimana sudah diputuskan Jokowi tempo hari. Tulisan cnnindonesianews tentang Jokowi perlu meminta maaf kepada Bangsa Indonesia harus di respon positif. Juga tulisan JakartaPost beberapa hari lalu agar Jokowi jangan amatiran harus direspon sebagi perubahan ke arah yang lebih professional. Semua ini perlu cepat. Pembentukan Gugus Tugas dan alokasi APBN 1 Triliun sudah sebuah kemajuan. Namun, mengingat ledakan eksponensial jumlah terjangkit virus akan segera datang, maka kita harus mengantisipasi pengendalian stok makanan dan minuman. Begitu juga dengan stock obat-obatan dan masker, agar tidak hilang di pasaran. Pemerintah juga harus memastikan anak-anak sekolah belajar di rumah. Memastikan jumlah pusat karantina cukup dan tersebar di seluruh Indonesia. Memastikan perawat dan dokter cukup. Tentara, misalnya, harus diberi wewenang menembak mati spekulan-spekulan barang, terutama mereka yang selalu mencari keuntungan dalam kesempitan. Gugus Tugas diberikan kewenangan pasti untuk melakukan kordinasi lintas sektoral dan daerah. Bukan seperti sekarang masing-masing kota melakukan gugus tugas sendirian. Untuk itu, Jokowi harus menunjukkan ketegasan maksimum dalam menangani pandemik ini. Tidak perlu ragu memilih, perekonomian lambat vs nyawa rakyat yang harus diselamatkan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Anies dan Nyawa Warga DKI

Yang pasti, langkah Anies memancing sejumlah reaksi. Diantaranya dari Menkes. Langkah Anies dianggap kurang tepat. Sementara Mahfud MD mengimbau agar kepala daerah tidak menjadikan kasus Covid-19 sebagai panggung politik. Sejumlah orang yang teridentifikasi dalam kelompok yang "mendapat tugas khusus mencari kesalahan Anies", merasa mendapat kesempatan. Macam-macam tuduhan dan hujatan dilontarkan. By Tony Rosyid Jakarta FNN - Kata Anies, "Posisi DKI siap mem-back up pemerintah pusat dalam penanganan Corona. Kalau tidak ada langkah yang pasti, DKI akan ambil tanggung jawab". Dari narasi Anies ini dapat disimpulkan, tampak bahwa : Pertama, tetap loyal dan bersinergi dengan pemerintah pusat dalam mengatasi virus corona. Kedua, ambil tanggung jawab jika tidak ada pihak yang menghadapi penyebaran virus corona ini. Tentu saja ini bukan soal siapa jagoan dan siapa ingin menjadi pahlawan. Ini menyangkut nyawa manusia, terutama warga DKI, dimana Anies sebagai pemimpin disitu. Pemimpin harus tanggung jawab terhadap warganya, termasuk menyelamatkan nyawa warganya. Soal ada orang Bandung sibuk caci maki, itu lain soal. Anies ambil langkah cepat. 22 Januari Anies ijinkan Dinas Kesehatan DKI konferensi pers. Ingatkan warga akan perlunya kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19. Tanggal 29 Januari Anies pimpin langsung rapat Pemprov DKI untuk menyiapkan langkah-langkah menghadapi Covid-19. Hari itu juga Dinas Kesehatan mengeluarkan surat edaran perlunya kewaspadaan terhadap imported virus ini. Melihat dan memantau perkembangan, tanggal 25 Pebruari Anies mengeluarkan Instruksi Gubernur No 16 Tahun 2020. Isinya tentang langkah-langkah yang diperlukan oleh jajaran pemprov DKI untuk penanganan Covid-19 yang penyebarannya mulai mengganas. Tidak hanya surat edaran dan Ingub, Gubernur DKI ini juga membuat situs khusus mengenai segala hal yang terkait virus corona. Alamat situs itu di https//corona.jakarta.go.id. Di situs itu ada informasi, tanya jawab, aduan dan segala macam terkait virus corona. Masyarakat antusias mengunjungi situs itu. Tidak hanya warga DKI, tapi banyak juga dari warga non DKI. Sejumlah pihak meradang. Anies dianggap terlalu maju. Malah ada yang menuduh Anies itu monster. Menakut-nakuti dan bikin gaduh masyarakat. Gak ada Suspect. Indonesia zero Corona, kenapa Anies keluarkan Ingub? Anies pun dibully. Hujatan mulai muncul di berbagai media sosial. Para haters Anies bergeliat. Terbuka ruang bagi mereka untuk down grade Anies. Harusnya gubernur itu menenangkan, bukan bikin panik, kata mereka. Dasar "......" kalimat dititik-titik ini gak saya tulis. Karena tak pantas. Apapun alasannya, makian bukan bagian dari budaya kita. Apalagi jika keluar dari orang terpelajar, sangat memalukan. Maaf kawan, gak saya kutip. Sebab, masih banyak pilihan kata yang lebih bagus dan lebih sopan. Tapi, tak sedikit juga yang mendukung langkah Gubernur Anies. Sebagai langkah antisipasi, Ingub sangat diperlukan. Dan ini adalah bagian dari tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Keselamatan warga adalah nomor satu. Ini sangat prioritas, dan di atas segala-galanya. Tak menutup kemungkinan, Anies sudah tahu ada pasien yang diduga suspect Corona. Enam rumah sakit Jakarta milik Pemprov DKI bisa jadi sumber informasi akurat terkait dengan kemungkinan adanya dugaan suspect. Anies tak mau mengumumkan informasi yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ini soal etika. Anies lebih memilih untuk ambil langkah, meski harus dibully dan dicaci maki. Risiko pemimpin, harus siap dibully. Tak semua orang bisa memahami kebijakan dan langkahnya. Ada yang suka, ada pula yang tidak suka. Yang tak suka akan selalu tak setuju, apapun langkah dan kebijakan yang dibuat gubernur. Pasti saja ada salah, dan tidak ada benarnya. Yang pasti, langkah Anies memancing sejumlah reaksi. Diantaranya dari Menkes. Langkah Anies dianggap kurang tepat. Sementara Mahfud MD mengimbau agar kepala daerah tidak menjadikan kasus Covid-19 sebagai panggung politik. Sejumlah orang yang teridentifikasi dalam kelompok yang "mendapat tugas khusus mencari kesalahan Anies", merasa mendapat kesempatan. Macam-macam tuduhan dan hujatan dilontarkan. Dua hari pasca Ingub Anies keluar, dan setelah Anies babak belur dengan semua tuduhan dan caci maki, presiden secara resmi mengumumkan bahwa ada dua warga asal Depok positif terinveksi Corona. Sejak itu, bullyan terhadap Anies mulai agak reda. Kini, giliran situs DKI yang disoal oleh menkominfo. Katanya gak sinkron dengan situs punya kemenkes. Anies diminta menyesuaikan narasi. Tak lama kemudian, situs pemprov DKI dihajar hacker. Sempat, situs https/corona.jakarta.go.id tak bisa dibuka. Gak tahu, bagaimana kondisinya sekarang? Silahkan dicek. Dari sisi tampilan, situs DKI lebih simpel. Sub portalnya sederhana. Isinya lebih detail dan lengkap dibanding situsnya Kemenkes. Tapi, kenapa dihack? Siapa yang nge-hack? Padahal, ini soal nyawa manusia. Kalau ini menyangkut politik, mestinya nggak harus bermain di wilayah yang berbahaya buat keselamatan nyawa manusia. Langkah proaktif Anies mulai mendapat pembenaran setelah terbukti banyak orang di Indonesia yang terinveksi virus corona. Semula dua orang. Lalu 19 orang. Nambah delapan, jadi 27 orang, naik lagi menadi 34 dan 96. Sekarang sudah menjadi 117 orang (Liputan6.com 15/03/2020). Sudah ada empat orang yang meninggal. Nampaknya akan terus bertambah seiring dengan penyebaran yang tidak semuanya terdeteksi. Apakah Indonesia akan lock down seperti Itali, Denmark dan Manila? Apakah semua pabrik dan toko akan tutup? Apakah sekolah-sekolah akan diliburkan? Apakah alat transportasi akan dihentikan? Tak menutup kemungkinan. Apalagi, cara penanganan virus corona di Indonesia telah banyak mendapat kritik oleh sejumlah negara. Artinya, jika tak lebih serius dan ketat lagi dalam penanganan covid-19 ini, Indonesia terancam lock down. Sejumlah event baik nasional maupun internasional sudah diumumkan penundaannya. Formula E ditunda. Berbagai Munas ormas juga ditunda. Bahkan acara seminar, diskusi dan pengajian juga sudah banyak yang ditunda. Ada sebagian sekolah yang sudah meliburkan diri. Pelan tapi pasti, aktifitas sosial mulai berkurang. Mall-mall mulai agak sepi. Suatu saat nanti tak menutup kemungkinan akan ditutup. Soal Corona, Jakarta lebih serius dan lebih maju langkahnya dari daerah lain. Bahkan lebih maju dari pemerintah pusat. Wajar! Jakarta adalah ibu kota. Tempat interaksi sosial antar warga negara sangat masif. Perlu kewaspadaan tingkat dewa. "Semua dilakukan dengan tenang agar tak terjadi kegaduhan", kata Anies. Itulah barangkali karakter sosok yang besar di Jawa-Jogja ini. Cucu Abdurrahman Baswedan, tokoh BPUPKI ini paling risih dan sensi ketika melihat ada orang yang dipermalukan. Dan ini bisa dilihat reaksi Anies ketika ada anak buahnya dimarahi di depan umum saat terjadi banjir. Anies bilang "jangan marahi dia, marahi saya aja." Kasus Corona ini menyangkut nyawa warga. Anies memilih untuk melangkah, meski dengan segala risiko menghadapi banyak tuduhan dan bullyan. Bagi Anies, nyawa warga DKI lebih utama untuk diselamatkan dari pada sekedar menghadapi tuduhan dan bullyan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Mandat Kuat Masyumi Reborn

Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN - Kelahiran kembali Masyumi adalah kebutuhan kekinian. Kalau PKI sekarang sudah kembali unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi. Inilah mandat paling kuat dari umat. Sabtu, 7 Maret 2020, Aula Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), di Jalan Kramat Raya No. 45 penuh sesak. Banyak yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Yang dating melimpah sampai pelataran gedung . Pada barisan dan kursi-kursi depan, tampak sejumlah tokoh nasional dan tokoh-tokoh sepuh. Di panggung depan, terpampang layar lebar yang menayangkan biorama perjuangan Partai Islam Masyumi, sejak lahir hingga bubarnya. Sementara di kiri-kanan layar itu, serta sebahagian besar dinding ruangan, menempel wall banner dari tokoh tokoh Masyumi seperti KH. Hasyim Ashari, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Natsir, Wahid Hayim, H. Agus Salim, Buya Hamka, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap, KH. Isya Ansyori dan lain-lain. Menariknya lagi, setiap wall banner dari tokoh itu disertakan pula kutipan pesan perjuangannya. Suasana itu membawa setiap hadirin yang berusia sikitar 70 tahun pada kenangan masa kecil ketika Partai Islam Masyumi masih ada. Suasana ini juga menumbuhkan kerinduan akan hadirnya masa lalu itu. Bagi genarasi di bawahnya, atau malah genarasi melenial, suasana tersebut tentu saj membangkitkan rasa ingin tahu tentang apa itu Partai Masyumi dan sepak terjangnya dalam perpolitikan nasional. Juga sekaligus menumbuhkan semangat untuk mengikuti jejak perjuangan Masyumi. “Umur kami mungkin tidak lama lagi. Tetapi kami tidak rela dipanggil Allah SWT ketika kami dan teman teman seangkatan kami yang pernah dididik oleh para tokoh Masyumi belum mewariskan ruh perjuangan Masyumi melalui jalur Politik formal. Kami membayangkan andaikan dulu Partai Masyumi tidak membubarkan diri karena dipaksa bubar, mungkin NKRI sudah menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghaffur. Semoga adik-adik yang menggagas Masyumi Reborn bisa meneruskan risalah ini dengan mengajak seluruh keluarga besar, anak cucu dan pecinta ideologi Masyumi secara ikhlas tanpa pamrih jabatan. Tidak terburu-buru, sistematis dan istiqomah. Semoga Allah SWT merestui ijtihad ini demi NKRI yang tercinta”. Itulah sebuah flyer berisi foto KH. A. Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’I, Abdullah Hehamahua danTaufiq Ismail yang ditayangkan di layar lebar. Rangkaian kalimat yang menumpahkan kegelisahan hati para pejuang sepuh yang sadar tinggal menghitung hari untuk kembali menghadap Sang Khaliq. Hidmad dan sangat hidmat. Pandangan para hadirin tampak terpaku pada untaian kalimat di flyer tereebut. Tidak sedikit diantara mereka mengusap matanya karena haru berlinang air mata. Ini memang acara “Silaturrahmi Keluarga, Anak Cucu dan Pecinta Masyumi”. Themanya, “Masyumi Reborn, Masyumi lahir kembali”. Tidak hanya dari propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa yang hadir. Tetapi juga banyak dari luar Jawa. Tercatat misalnya, datang dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggro Aceh Darusalam, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Menariknya, acara silaturrahmi ini diikuti dari berbagai lintas usia, dari usia senja 80-an tahun hingga yang disebut dengan melenial. Tidak kurang 20 orang tokoh dari kalangan ulama, politisi, akademisi, budayawan dan kalangan pergerakan ditampilkan di atas panggung. Mereka berbicara beberapa menit tentang Masyumi dan pandangannya terhadap Masyumi Reborn. Diantara tokoh-tokoh yang berbicara itu KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Taufik Ismail, Dr. Abdullah Hehamahua, Prof Dr Fuad Amsyari, Ridwan Saidi, Dr. MS Ka’ban, Dr. La Ode Kamaluddin, Dr. Musni Umar, Drs. Lukman Hakim, Bachtiar Chamsah, Ustadz Khotot, Nurdiati Akma ,Egy Sujana, Joko Edy, Sri Bintang Pamungkas dan Chairul Anas “si robot pendeteksi kecurangan” yang mewakili kelompok melenial. Ada juga tokoh yang tidak bisa hadir karena berhalangan lalu menitipkan pesan tertulisnya untuk dibacakan. Diantara mereka adalah Dr. AM Saefuddin, Letjen (Purn) Syarwan Hamid dan Mohammad Siddik Ketua Dewan Dakwah. Ada juga yang hadir tapi tidak sempat memberi pandangan, namun memberikan dukungan penuh, karena harus segera menghadiri acara lain seperti Ustadz Zaitun Rasmin. Menjawab tantangan Dr. Masri Sitanggang, Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II), semua pembicara yang tampil sepakat “perlu segera melahirkan kembali Partai Masyumi”. Dalam sambutannya Masri Sitanggang melaporkan bahwa selama empat bulan perjalanan P-4II, diperoleh kenyataan bahwa umat Islam mengelu-elukan lahirnya kembali Masyumi. Hampir Semua provinsi dan sebagian besar kabupaten kota telah memberikan dukungan. Masing-masing telah siap untuk membentuk membentuk komunitas di daerahnya. Tetapi P-4II tidak merasa puas sebelum menyelenggarakan pertemuan Silaturrahmi Akbar antara Anak Cucu dan Pencinta Masyumi untuk mendengarkan pendapat mereka. Kini terpulang kepada para ulama para tokoh, apakah tugas ini dilanjutkan untuk melahikan kembali Masyumi atau dihentikan. Kalau para ulama dan tokoh umat memerintahkan berhenti, kami siap berhenti. Tetapi bila para ulama dan tokoh umat memerintahkan lanjut, kami juga siap melanjutkan. Kami patuh kepada perintah para ulama dan tokoh umat. Namun bila kami boleh berpesan kepada para ulama dan tokoh umat, maka pesan kami adalah “Kalau PKI sekarang sudah unjuk gigi, mengapa tidak dengan Masyumi?”. Begitu pekik Masri Sitanggang yang disambut pekik takbir dari para hadirin. Pertemuan silaturrahmi di Aula Dewan Dakwah itu memiliki banyak arti penting. Pertama, ini merupakan mandat dari keluarga, anak cucu dan pecinta Masyumi kepada P-4II untuk melahirkan kembali Masyumi. Dengan demikian legalitas dan kinerja P-4II diakui oleh umat Islam secara luas. Setidaknya oleh keluarga dan pecinta Masyumi. Dengan demikian pula, tidak ada lagi partai selain yang dilahirkan oleh P-4II. Hanya P-411 yang dapat mengklaim dirinya sebagai (penerus) “ Partai Masymi”. Apalagi ternyata pertemuan silaturrahmi ini disenggarakan di Dewan Dakwah, sebuah lembaga yang ketahui sebagai “Pewaris Masyumi”. Kedua, undangan yang disampikan secara terbuka di berabagai media. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ini juga terbuka bagi siapa saja yang merasa anak cucu dan pecinta Masyumi untuk menyampaikan pokok pirannya seputar Masyumi Reborn. Dengan demikian, bila kelak di belakang hari ada pandangan miring terhadap, atau bahklan mempertanyakan kelahiran Masyumi, maka itu tidak lagi pada tempatnya. Gugur dengan sendirinya. Ketiga, tampilnya sejumlah besar pembicara dari berbagai latar belakang disiplin menunjukkan bahwa upaya melahirkan kembali Masyumi bukanlah kemauan orang per orang. Bukan pula alasan kepentingan kelompok. Tetapi adalah hasil proses pengamatan dan pengkajian memadai dari kalangan yang memiliki spectrum yang luas. Pertemuan ini juga sekaligus menepis anggapan bahwa kelahiran kembali Masyumi adalah akibat perpecahan di kalangan elit partai tertentu. Sebaliknya, kelahiran kembali Masyumi dinilai sebagai kebutuhan mendesak di tengah situasi politik yang tidak menentu dan cenderung tidak menguntungkan umat Islam. Masyumi diharapkan dapat menjadi wadah pemersatu gerakan politik sekaligus gerakan dakwah umat Islam ke depan. Keempat, nama besar Masyumi ternyata masih melekat di hati umat dan masih dirindukan kehadirannya. Membludaknya peserta silatutrrahmi dan antusiasme umat dengan membentuk komunitas di berbagai daerah serta pokok-pokok pikiran yang terlontar dalam pertemuan yang dipandu oleh Dr. Ahmad Yani, membuktikan lekatnya Masyumi di hati ummat dan kerinduan akan kehadirannya kembali. Masyumi masih punya daya tarik yang sangat kuat. Bola salju telah bergulir. Para tokoh gerakan, ulama, politisi dan akademisi serta anak cucu dan pecinta Masyumi telah memberi mandat. Ketua Badan Penyelidik Usaha Pendirian Partai Islam Ideologis, KH Cholil Ridwan, telah memberi petuah bahwa cuma ada dua partai dalam perspektif Islam, yaitu “Hisbullah dan Hizbussyaithan”. Panitia pun telah pula bekerja keras menyiapkan segala perangkat. Kini tinggal menungu waktu yang tepat untuk memberi maklumat “wahai para politisi musafir, pulanglah, Masyumi telah lahir”. #MasyumiReborn. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P-4II).

Babak Baru Amandemen UUD 1945 Sofyan Effendi Disomasi

Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - SEDIKITNYA 26 orang mantan Panitia Ad Hoc (PAH) I dan III Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999-2004 gusar. Mereka yang tergabung dalam Forum Konstitusi (FK) tidak menerima pernyataan mantan Rektor Universitas Gajahmada (UGM) Yogjakarta, Prof. Sofyan Effendi yang menuding 11 fraksi MPR saat itu menerima uang berkarung-karung dari pihak asing dalam proses amandemen UUD 1945. Kegusaran mereka itu dilakukan dalam bentuk somasi kepada Sofyan Efdendi. Sofyan harus meminta maaf secara terbuka dan mempertanggungjawabkan tudingannya itu berdasarkan fakta yang benar. Kegusaran mereka yang tergabung dalam Forum Konstitusi disampaikan dalam pertemuan pers, di kantor pengacara Zoelva & Parthner, di kawasan Gandaria City, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Maret 2020. "Secara resmi kami akan menyampaikan somasi kepada Prof Sofian untuk meminta maaf secara terbuka mengklarifikasi dan mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Jika tidak, maka kami akan melakukan langkah-langkah hukum melaporkan secara pidana dan perdata," kata Pengawas Forum Konstitusi, Hamdan Zoelva. Hadir dalam konferensi pers itu di antaranya mantan Ketua PAH I BP MPR Jakob Tobing, mantan anggota PAH I Pataniari Siahaan, mantan anggota PAH I Lukman Hakim Saifuddin (mantan Menteri Agama), mantan anggota PAH I Zain Badjeber, mantan anggota PAH I Baharudin Aritonang, mantan anggota PAH I Seto Haryanto, mantan anggota PAH I Irjen (Purn) Ketut Astawa, mantan anggota PAH I, Theo Sambuaga. Pernyataan Sofian itu disampaikan dalam acara peluncuran buku di sebuah kampus di Jakarta Selatan pada Rabu, 11 Marer 2020 dan dimuat di media daring. Dalam pernyataannya, Sofian menyebut uang berkarung-karung dibawa untuk menyogok 11 Fraksi MPR guna memasukkan pasal sesuai dengan pesanan. Pernyataan Sofyan yang tidak mereka terima itu adalah : ... "dalam rapat-rapat panitia ad hoc di MPR juga dihadiri oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia. Dan LSM National Democratic Institute (NDI), kata Prof Sofyan, membawa uang berkarung-karung ke dalam gedung MPR dan membagi-bagi uang itu kepada semua 11 fraksi." "Kami ingin menjelaskan kepada masyarakat itu bohong! Tidak benar! Dan selanjutnya kami akan ambil tindakan-tindakan hukum pidana dan perdata," kata Jacob Tobing. Forum Konstitusi memberi waktu kepada Sofian dalam waktu maksimal 3 x 24 jam untuk meminta maaf dan mengklarifikasi secara terbuka. Bila tidak, Forum Konstitusi akan melaporkan tindakan hukum. Jika Sofyan meminta maaf, mereka masih terus melihat perkembangannya dalam bentuk pertanggungjawaban yang bersangkutan. Kemungkinan lanjut ke ranah hukum bisa terjadi sebagai bentuk pembelajaran agar tidak asal bicara. Apalagi yang melemparkan tudingan itu seorang profesor. "Ini terkait kepentingan bangsa. Bukan saja urusan pribadi. Karena ini mendemoralisasi UUD 1945, mendemoralisasi hasil keputusan oleh 700 anggota MPR," kata Hamdan yang juga mantan Ketua MK. Menurut Zoelva, permintaan maaf dan pertanggunjawaban itu sangat penting. "Ini dalam rangka pelurusan sejarah bangsa di masa yang akan datang. Jika tidak diluruskan, dikhawatirkan generasi mendatang menganggap UUD 1945 diubah karena uang," kata Hamdan Zoelva. Sedangkan Baharudin Aritonang dan Theo Sambuaga menyebutkan, pernyataan Sofyan itu tidak benar dan merupakan fitnah kepada mereka yang bekerja habis-habisan mengamandemen UUD 1945. Masuk angin "Tudingan Sofyan yang menyebutkan National Democratic Institute membawa uang, apalagi berkarung-karung untuk dibagikan kepada 11 Fraksi MPR tidak benar dan fitnah," kata Theo Sambuaga. Sedangkan Baharuddin Aritonang mengatakan, " Kami sudah capek difitnah terus. Ini (fitnahan) tidak bisa dibiarkan terus." Apa yang dikatakan Aritonang itu ada benarnya. Sebab, sejak proses amandemen UUD 1945 dilakukan, isu tak sedap mengenai uang bertebaran sudah mengemuka. Aroma yang dihembuskan waktu itu adalah istilah "masuk angin." Sebagai wartawan yang aktif meliput kegiatan MPR/DPR waktu itu, desas-desus dihembuskan beberapa pihak karena sebagian amandemen UUD 1945 itu dianggap merupakan pesanan asing. Namun, namanya kabar burung, isu adanya uang dalam menggolkan amandemen tersebut hilang begitu saja. Belakangan, isu uang itu muncul kembali, terutama jika Amien Rais melakukan manuver politik. Saat amandemen UUD 1945, Amien Rais adalah Ketua MPR RI. Akan tetapi, Yakob Tobing menepis kaitan fitnah itu ditujukan untuk menjatuhkan kredibilitas Amien Rais. Sebab, selama proses amandemen, Amien Rais lebih banyak menerima hasil dan laporan dari PAH BP MPR. ** Penulis wartawan senior. Penulis, Wartawan Senior