NASIONAL
"Mengenali Udang Dibalik Batu"
By Komjen Pol. Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN – Senin (30/03). Saya ingin mengajak kita semua yang sebangsa dan setanah air untuk sama-sama sejenak berpikir. Mengenali “Udang Dibalik Batu” yang memaksa kita untuk menjalani apa yang kita jalani selama ini. Saya sungguh ingin mengajak kita semua untuk tidak lagi melangkah tanpa mengetahui kemana semua perjalanan peristiwa hidup ini berakhir. Bahwa apa yang kita lihat dan kita rasa dengan lima panca indra adalah “tidak seindah warna aslinya, tidak seperti tampilannya”. Bahwa sesungguhnya yang kita lihat dan kita rasa dengan hanya berpegang pada lima panca indra adalah yang sedang mengelabui kita. Bahwa semua hanyalah ilusi dari eksploitasi keserakahan yang sudah diprogram di alam bawah sadar kita, sejak kita masing-masing dilahirkan ke dunia ini dengan sistem yang semakin hari semakin diseragamkan. Bahwa selama ini kita hanya diajar untuk bisa melihat “batu”nya tanpa mampu mengenali “udang”nya. Sistem yang diseragamkan. Diseragamkan agar kita semua memiliki kesamaan pemahaman tentang segala sesuatu. Hanya pada apa yang mampu kita lihat dan rasa secara jasmani, yaitu “batu”nya tanpa sadar kalau ada “udang”nya. Kita sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya kita sedang digiring untuk menjadi “sesuai” dengan sipembuat sistem. Tahukah anda bahwa ia telah merencanakan ini semua sejak zaman dahulu kala. Melakukan “Rekayasa Hidup” (Life Engineering). Kita digiring menjadi manusia yang tidak fitrah. Kita dibentuk untuk mengejar hidup dengan ambisi dan keserakahan. Secara alami, perlahan tapi pasti, kita semakin jauh dari keadaan yang mengandalkan kemahakuasaan Tuhan, yang tidak hanya menciptakan kita, manusia, namun juga menciptakan langit dan bumi. Kita tak sadar bahwa kita diprogram untuk mengandalkan hal-hal yang sifatnya lebih materi ketimbang rohani. Tujuannya jelas. Untuk menguasai jiwa manusia, agar dengan mudah mengendalikan semua secara total (TOTAL CONTROL). Namun, tujuan antaranya adalah menguasai sistem ekonomi (juga) secara total dengan “menulis dan menerbangkan” berbagai skenario yang disuguhkan dramatis seakan-akan ini adalah peristiwa alami tanpa alasan dan tujuan. Salah satu cara adalah dengan menyatukan sistem antara TeKnologi Informasi dan Tehnologi Komunikasi (TIK) yang hanya dihubungkan dengan Internet of Things ( IoT). Lazimnya kita kenal dengan gadget (Smartphone) yang selalu menempel erat ditangan masing-masing. Kapan dan dimana pun kita berada kita merasa tidak ada lagi batasan antara ruang dan waktu. Sebenarnya itu hanya cara “mereka” memanipulasi mindset kita. Artinya MINDSET KITA SUDAH DI-“LOCKDOWN”. Gadget adalah Sistem yang memang dengan sengaja sudah direncanakan dari jauh-jauh hari (by design) oleh si “pembuat sistem” tersebut untuk digunakan sebagai “Inteligent Tool”(Proxy War) demi kepentingan memastikan keberhasilan tujuan dari program besar si “pembuat sistem”. Teknologi tersebut adalah “PION” paling efektif untuk menebarkan informasi secara terstruktur, sistematis dan “massive” (TSM) untuk menggiring seluruh situasi yang ada sesuai dengan “skenario” yang sudah disiapkan, bahkan sudah disimulasikan terlebih dahulu. LANGKAH JITU. Sekali lagi, ujung-ujungnya adalah motif ekonomi. Tujuan terpenting dan di atas segalanya yang harus tercapai adalah mengendalikan dunia secara TOTAL tanpa peduli jiwa manusianya. Ini bukan fantasi. Ini TELAH, SEDANG DAN AKAN terus berproses sampai dunia ini tiba pada kata akhir. Mereka sudah menguasai semua aspek kehidupan kita lewat apa yang kita kenal dengan "INDUSTRIALISASI" (bahwa segalanya harus jadi uang ) dan tak ada lagi yang tersisa. Jika sahabat-sahabatku memiliki keinginan untuk tahu lebih jauh, lebih banyak, mari kita berdiskusi. Mari duduk demi kebangkitan bangsa ini kembali fitrah menjadi bangsa yang merdeka lahir batin. Dalam menghadapi pandemi “satu kata” saat ini, yang adalah buatan “si pencuri”. Selayaknya semua elemen bangsa saling mengajak untuk tetap tinggal tenang. Tuhan selalu awas dan menjaga kita. Tak sehelai rambut pun jatuh tanpa seizin Tuhan. Selayaknya kita yakini kedahsyatan kuasa-Nya. Tidak semestinya kita sedikit pun tergoncang! Saya pun sangat berharap kepada semua yang sontak “menjelma” menjadi wartawan dadakan karena gadget, agar memutus rantai teror. Bijak dengan tidak menjadi bagian, berpartisipasi dalam menebarkan “vibrasi negatif “ berupa berita ataupun informasi yang justru menebar kecemasan, ketakutan dan kepanikan tak terkendali. Ingat-ingat lagi, apa saja yang kita terima lalu langsung kita bagi, seringkali tidak melalui proses “paham hingga ke dasar”. Tidak utuh, bahkan TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH DIBACA SAMPAI SELESAI. Sadarilah, pikiran kita sedang diprogram agar mempunyai pandangan yang seragam atas segala sesuatu yang terjadi. Kita sedang digiring untuk melakukan segala langkah-langkah yang hanya secara jasmani! Lalu kita berpikir dapat kita atasi, padahal faktanya tidaklah demikian. Yang hanya kita lihat dengan mata jasmani bukanlah penyelesaian yang sesungguhnya dari akar masalah yang ada. “Jangan Sampai Persepsi Kita Dikendalikan. Taklukan Teknologi dan Bukan Sebaliknya”. Mari bersatu dan bersepakat dalam hati yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk meraih ketenangan hati dan jiwa. Menenangkan hati seluruh masyarakat Indonesia yang kita cinta. Hentikan semua dramatisasi berita ini, hentikan menampilkan berita dan informasi penebar ketakutan yang merata. Sepakatlah, kita sedang melawan virus. Apa yang tak bisa dia tembus? Ya. Imun tubuh yang baik. Itu yang kita perlu dan saat ini sangat kita butuh. Namun apa yang sejak kemarin kita lakukan justru adalah segala tindakan yang membangun rasa takut dan kekuatiran yang malah menurunkan “imun tubuh. KUATKAN IMUNITAS MASING-MASING. Itu yang saat ini kita butuh. Jaga ketahanannya. Jaga dari pribadi masing-masing. Ketika kita melakukannya bersama, KITA SEBENARNYA SEDANG MEMBANGUN BENTENG PERTAHANAN NASIONAL DARI RUMAH KITA MASING-MASING. Virus “satu kata” yang sedang menjadi trending topik dunia ini adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh mata jasmani kita, maka “lawan”nya jelas : YANG TAK TERLIHAT. ITU BARU TEPAT. Apa senjata kita? Kekuatan Tuhan dengan DOA yang diimani sungguh-sungguh. Ingin hidup? Berdoa, beribadah, mendekatlah kepada Allah, Dia sumber hidup. “Janganlah takut kepada kekejutan yang tiba-tiba atau kepada kebinasaan, bila itu datang, karena Tuhan Yang Maha Esalah yang menjadi sandaran kita semua. Dia akan menghindarkan bangsa Indonesia, bangsa kita. Dalam situasi menakutkan, Tuhan selalu bersama bangsa ini, memegang kita dengan tangan kanan-Nya yang membawa kemenangan. Yakini. Ketakutan adalah bentuk intimidasi iblis yang ingin merebut kedamaian jiwa kita dari rasa keimanan kita kepada kemahakuasaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esalah sumber kekuatan yang kekal dan abadi untuk selama-lamanya. Amin. “Indonesia harus bangkit, bangsa pemenang, bahkan lebih dari Pemenang”. BANGKIT! INDONESIA, BANGKIT! Viva Republik Indonesia #gerakanindonesiajemurpagi
Waspada Dampak Penularan Covid-19 ke Sektor Keuangan
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Senin (30/03). Pandemi global Covid-19 membuat perekonomian dunia lumpuh. Pergerakan manusia antar wilayah dan antar daerah dibatasi. Tujuannya, untuk memotong mata rantai penyebaran virus. Hampir semua negara di dunia memilih isolasi atau karantina wilayah, alias lockdown. Membuat perdagangan dunia terkontraksi tajam. Perkerjaan kantor dibatasi. Banyak karyawan menjalankan pekerjaannya dari rumah. Work from home (wfh) menjadi tagar populer di media sosial. Banyak tempat belanja dan tempat hiburan seperti mal, restoran, cafe, bioskop ditutup. Semua orang diharap tinggal di rumah. Stay at Home. Pekerja berpenghasilan harian langsung merasakan dampaknya. Sangat memilukan. Sopir taksi, bajaj, angkot, ojek online, warung makan, warung rokok, penjual pinggir jalan, penjual keliling, buruh harian, dan semua sektor informal terkena dampaknya. Harga produk pertanian mendadak anjlok, akibat dari keterbatasan logistik. Sudah banyak yang sulit mencari nafkah untuk makan sehari-hari. Krisis ekonomi Covid-19 dipastikan akan meluas. Tidak hanya terbatas pada kelompok di atas. Tetapi juga akan memasuki semua sendi kehidupan ekonomi dan dunia usaha. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya tinggal tunggu waktu saja. Banyak perusahaan sekarang menghadapi kesulitan membayar THR yang akan jatuh tempo pada bulan April ini. Uangnya dari mana? Karena pendapatan mereka bukan turun lagi, tetapi terjun bebas. Krisis ekonomi akan berimbas ke sektor keuangan. Seberapa parah tergantung berapa lama krisis ini berlangsung. Kredit macet akan menggunung. Banyak pihak tidak sanggup bayar bunga. Apalagi cicilan. Bukan hanya leasing kendaraan dan kredit konsumsi yang akan macet. Perusahaan besar dan kecil juga akan mengalami kesulitan cashflow. Eksportir babak belur. Eksportir komoditas terjepit di antara anjloknya harga dan permintaan. Semua sektor industri berpotensi besar terjadi kontraksi. Sektor pariwisata, hotel dan restoran sudah lebih dulu terpuruk. Sektor makanan dan minuman pasti akan turun. Sektor properti macet besar. Konstruksi dan industri pendukungnya pasti terkontraksi. Terlebih pemerintah sudah realokasi dana pembangunan menjadi dana kesehatan untuk melawan Covid-19. Perdagangan besar dan perdagangan eceran anjlok. Logistik dan pengangkutan terhambat, akibat lockdown. Sektor otomotif turun tajam. Jadi, semua sektor industri akan mengalami kesulitan likuiditas. Kalau berkepanjangan, kredit macet tidak dapat dihindarkan, sehingga dapat memicu krisis keuangan. Di lain sisi, kewajiban sektor keuangan kepada pihak ketiga, baik itu nasabah maupun kreditor, harus dipenuhi. Khususnya dana pihak ketiga dari tabungan, alias nasabah. Kalau nasabah mencium gelagat akan ada masalah dengan banknya, maka mereka paling dulu akan menyelamatkan uangnya. Bisa memicu bank run dan bank panic. Bisa terjadi penarikan dana tabungan secara besar-besaran. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bisa memeriksa apakah sudah ada tanda awal di daerah, khususnya BPR (Bank Perkreditan rakyat). Bank Indonesia (BI) dan OJK harus segera antisipasi agar permasalahan ini tidak meluas dan dapat segera diatasi. Artinya, kalau sektor keuangan perlu untuk dibantu, dan di-bailout, maka bagaimana mekanismenya? Apakah akan seperti kasus Bank Century? Undang-undang No 23 Tahun 1999 (dan perubahannya), BI tidak lagi memberi dana talangan kepada bank komesial secara langsung. Artinya, pemerintah yang harus menanggungnya. Dibebankan ke APBN, seperti yang terjadi pada kasus Century. Sanggupkah pemerintah menanggung beban tersebut? Total pinjaman yang diberikan sektor perbankan per akhir 2019 mencapai Rp 5.680 triliun. Sedangkan perusahaan leasing sekitar Rp 450 triliun. Dengan kondisi Covid-19 belum mereda, bahkan semakin parah, dan aka nada karantina wilayah yang menjadi pilihan utama, kredit macet bisa mencapai Rp 1.500 triliun, atau 25 persen dari portfolio kredit. Kemungkinan jumlah kredit macet Rp 1.500 triliun tersebut cukup konservatif. Artinya, jumlah tersebut bisa bertambah. Kalau skenario ini terjadi, sektor keuangan akan kesulitan memenuhi kewajibannya. Kalau dana talangan harus diberikan sebesar itu, pemerintah akan sulit menanggung beban tersebut di APBN. Belum lagi beban-beban lainnya yang juga sangat penting untuk stimulus ekonomi, dan menanggung beban hidup masyarakat, serta dana penanggulangan Covid-19. Dampak lumpuhnya sektor keuangan akan berimbas juga ke pendanaan APBN. Sektor keuangan tidak bisa lagi membeli Surat Berharga Negara (SBN). Sebaliknya, APBN malah harus menanggung kewajiban mereka kalau harus terjadi bailout. Oleh karena itu, pemerintah, BI dan OJK harus segera mengantisipasi dan mencari solusinya. Tidak boleh gagal, karena harga yang harus dibayar sangat mahal sekali. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Siap-siap, Jakarta Akan Lockdown
By Tony Rosyid Jakarta FNN –Senin 30/03). Setelah lama, alot dan intens berkomunikasi, sepertinya pemerintah pusat mulai bisa memahami logika Anies mengapa Jakarta harus dilockdown. Bahasa undang-undangnya "karantina". Meski telat, tapi ini tetap lebih baik. Secara ekonomi, ini keputusan yang tidak populer, baik bagi Jokowi maupun Anies. Tapi, nyawa rakyat di atas segala-galanya. Harus diselamatkan. No choice! Kenapa Jakarta harus lockdown? Pertama, karena Jakarta adalah pusat covid-19. Penyebarannya extra masif. Day to day jumlah yang postif dan angka kematian meningkat secara signifikan. Dari 1.285 kasus yang positif covid-19, 675 ada di Jakarta. (data 29 Maret) Kedua, imbauan Pemerintah Pusat dan DKI untuk stay at home, social distancing dan menghindari kerumunan tidak sepenuhnya efektif bisa dijalankan. Sebagian warga kurang disiplin. Warga cenderung meremehkan dan tak peduli. Ketidakdisiplinan ini menjadi penyumbang terbesar penyebaran covid-19 di Jakarta, termasuk Jabodetabek. Ketiga, Jakarta adalah pusat interaksi dan titik pertemuan masyarakat dari seluruh pelosok negeri. Bahkan sebagian masyarakat dunia. Disinilah potensi kerumunan terjadi ,yang sangat berpotensi untuk terjadi penyebaran covid-19. Keempat, mandegnya pergerakan ekonomi, terutama di sektor non-formal, menyebabkan terjadinya arus mudik besar-besaran. Sebagian pemudik terbukti telah menjadi penyebar covid-19 ke daerahnya masing-masing. Akibatnya, di hampir semua provinsi telah terjadi penularan. Data menyebutkan, sumber utamanya mayoritas berasal dari Jakarta. Inilah yang menajdi alasan mengapa Jakarta harus lockdown. Warga Jakarta harus dikarantina. Arus keluar masuk Jakarta mesti ditutup sementara. Kecuali logistik, petugas dan kendaraan pribadi yang savety dari kemungkinan penyebaran orang. Apa indikasi Jakarta mau lockdown? Pertama, pemerintah pusat sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang akan dijadikan landasan untuk melakukan lockdown lokal. Kedua, Polda Metro Jaya sedang melakukan simulasi rakayasa dan penutupan jalan dalam formasi lockdown. Ini bentuk persiapan yang sangat serius. Ketiga, Direktur Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiadi, sudah membocorkan rencana lockdown di DKI Jakarta. Ini adalah hasil konsultasi dengan Menkomaritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Tentu, presiden dan gubernur DKI sudah mempersiapkan konsekuensi sosial dan ekonominya saat Jakarta lockdown. Termasuk tenaga dan fasilitas medis, serta bantuan sosial untuk warga DKI. Dalam menghadapi covid-19 saat ini, kekompakan semua elemen bangsa sangat dan sangat dibutuhkan. Pemerintah Pusat, pemerintah Daerah, tenaga kesehatan dan masyarakat harus bersinergi dan satu langkah. Hentikan semua bentuk perbedaan dalam menghadapi covid-19. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama-sama membuat satu kebijakan. Menyiapkan fasilitas medis dan memberikan bantuan sosial kepada rakyat yang terdampak secara ekonomi. Para tenaga medis bekerja full waktu, tenaga dan kemampuan untuk melayani pasien. Masyarakat harus disiplin pada aturan dan imbauan dari pemerintah. Ini yang harus diperhatikan. Jika tidak disiplin, harus didisiplinkan. Jika tidak taat aturan, harus dipaksa taat aturan. Ini konsekuensi lockdow. Karena ini berurusan dengan nyawa banyak orang. Perlindungan terbaik adalah mencegah penularan, kata Anies Baswedan. Dan perlindungan terbaik ini ada di masyarakat sebagai garda terdepan, lanjut Gubernur DKI yang sejak bulan Februari lalu sudah mengusulkan untuk lockdown. Dalam situasi sulit ekonomi akibat lockdown, masyarakat yang mampu secara ekonomi diharapkan bisa berpartisipasi untuk membantu mereka yang sedang kekurangan. Karena, tak semua dari mereka masuk dalam daftar bantuan pemerintah. Mesti dipahami, saat ini banyak OMM (Orang Miskin Mendadak). Akibat serbuan covid-19. Mereka kehilangan pekerjaan, dan jadi OMM. Soal bantuan sosial, masyarakat Indonesia sudah terlatih. Dua pekan ini, lembaga-lembaga sosial dan ormas seperti Baznas, Dompet Dhuafa', ACT, Wahdah Islamiyah, Yayasan Buddha Zu Chi, dan beberapa organisasi lain sudah bergerak untuk menyalurkan bantuan. Sementara berupa alat kesehatan. Selanjutnya, lembaga-lembaga sosial ini harus memikirkan rencana bantuan "sembako" kepada masyarakat yang terdampak, dan paling menderita-secara ekonomi. Terutama kepada OMM (Orang Miskin Mendadak) yang jumlahnya makin banyak. Tidak saja lembaga sosial dan ormas, tapi juga partai politik. PKS dan Gerindra kabarnya juga sudah turun lapangan dan men-support alat kesehatan ke sejumlah rumah sakit. Perlu juga mereka mengumpulkan dana untuk membantu masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Semoga langkah PKS dan Gerindra bisa diikuti oleh PDIP, PSI, Nasem, Golkar, PAN dan partai-partai lainnya. Kalau membeli jutaan baliho, spanduk dan kaos mampu, mosok nyumbang sembako gak bisa? Jika semua elemen bangsa ini kompak, bersinergi dan satu langkah, maka lockdown di DKI, juga di daerah-daerah lain, akan bisa dilakukan dan diatasi, terutama semua dampak ekonomi dan sosialnya. Sinergi inilah yang membuat orang lapar teratasi. Proses penularan covid-19 juga bisa dibatasi. Dengan begitu, jumlah orang yang positif Covid-19 dan angka kematian bisa ditekan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Peranan Militer Dalam Menghadapi Coronavirus
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN- Minggu (29/03). Pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas penanganan Covid-19 di bawah kendali Jenderal Doni Monardo, yang juga ketua BNPB (Badan Nasional Penangulangan Bencana). Pembentukan itu dilakukan melalui Kepres No. 7/2020 pada tanggal 13 Maret 2020. Lalu disempurnakan lagi dengan Kepres No.9/2020 beberapa hari berikutnya. Tujuan Gugus Tugas ini adalah membangun ketahanan kesehatan bangsa. Selain itu, mengendalikan pandemi coronavirus dan mensinergikan beberapa potensi lintas departmen dan wilayah untuk melawan pandemik itu. Sepanjang dua minggu ini Gugus Tugas dibentuk, kita masih melihat berbagai kejadian. Pertma, Kantor Menko Maritim dan Investasi melakukan konprensi perss tentang kedatangan bantuan RRC dengan wartawan tanpa "social distancing". Kedua, masyarakat melakukan gelombang mudik dari Jabotabek ke daerah-daerah, sehingga berpotensi menyebarkan virus corona ke daerah, khususnya di pulau Jawa. Ketiga, Dewan Guru Besar Kakultas Kedokteran Univesitas Indonesia (FKUI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah melakukan "lockdown". Namun pemerintah tidak mengindahkan. Keempat, Tenaga Kerja Asing (TKA) asal pandemik corona China datang ke Kendari yang mengakibatkan polemik dan saling serang antara petinggi negara, baik antara kementerian vs kementerian maupun kementerian vs Kepala daerah. Ketlima, pemerintah mengumumkan bahwa orang-orang miskin adalah sumber penularan penyakit. Keenam, pemerintah meminta rakyat menyumbang untuk mengatasi wabah ini. Ketujuh, Pemerintah Pusat memintah Pemerintah Daerah menanggung biaya sistem kesehatan nasional BPJS, padahal ini beban berada di Pemerintah Pusat. Kedelapan, belum ada kepastian kemampuan negara menanggung nasib ekonomi rakyat terkait dampak coronavirus. Kesembilan, Potensi kerawanan dan peningkatan kriminalitas paska kesulitan ekonomi belum bisa diantisipasi. Kesan lambatnya Gugus Tugas ini bekerja. Pertama, karena Gugus Tugas ini adalah institusi yang bersifat koordinatif. Sehingga unsur-unsur negara lainnya, seperti Pemerintah Daerah, dengan otoritas mereka yang dijamin UU, tetap melakukan langkah operasional yang merespon situasi di daerah. Respon ini terkadang terlihat belum terkoordinasi dengan Gugus Tugas Nasional. Contohnya, ketika Papua ingin melakukan "Lockdown". Surat yang dilayangkan Pemerintah Daerah Papua ditujukan kepada Jokowi dan atau Mendagri. Di sini peranan Gugus Tugas tidak signifikan. Kedua, konsolidasi Gugus Tugas terhambat karena konsolidasi logistik melalui realokasi anggaran membutuhkan waktu. Ketiga, pengerahan kekuatan pemaksa, antara lain aparatur militer dan polisi terkendala dengan sifat kordinasi ala sipil. Apakah Darurat Militer Perlu? Pernyataan saya dalam diskusi di stasiun TV nasional pada Jumat 27/3 malam kemarin, yang mendukung militer mengambil tugas operasi non militer adalah sebagai berikut. Pertama, situasi pandemik corona virus di Indonesia sangat kompleks dan komplikasi. Kompleks karena spektrum permasalahan terkait wabah dan dampak ekonomi yang sangat rumit karena pusat wabah ada di Jakarta. Lalu ke seluruh Jawa, di mana kepadatan penduduk mencapai 13.000-15.000 jiwa per kilometer persegi. Banyaknya perkampungan kumuh menyulitkan "physical distancing" dan "social distancing". Sehingga wabah akan sulit terkendali. Pada saat yang sama kekuatan sektor kesehatan kurang mendukung. Akselerasi wabah dibanding peningkatan kapasitas penanganan Covid-19 sangat berbanding terbalik. Beberapa dokter dan tim medis sudah kewalahan dan menjadi korban tertularnya Covid-19. Kedua, kemiskinan yang tinggi dan tidak gampang di atasi dalam situasi wabah. Membutuhkan strategi logistik yang cepat. Dimana orang-orang miskin harus mendapatkan haknya untuk makan. Apabila orang-orang miskin tidak dilindungi, maka ada legitimasi bagi orang-orang miskin menuntut hak-haknya untuk makan dengan jalan kekerasan. Ketiga, secara fisik TNI memiliki kekebalan tubuh relatif lebih baik dari non TNI. Fakta sudah menunjukkan beberapa kepala daerah, pejabat daerah, menteri, DPR, dan elit2-elit nasional non militer, terinfeksi coronavirus. Sebagiannya ada yang wafat. Dalam situasi wabah tentu saja garda terdepan dalam mengolala negara, baik berkaitan dengan wabah, maupun dampak sosial ekonominya, perlu dikelola orang-orang militer. Mereka secara fisik lebih memiliki imunitas yang tinggi dibandingkan non militer. Keempat. satuan TNI memilik Sapta Marga dan payung UU untuk bertanggung jawab dalam menyelamatkan segenap tumpah darah anak-anak bangsa ini. Tentu saja ada perdebatan kapan TNI melakukan respon memenuhi panggilan tugas-tugas itu? Disini berlaku ungkapan lebih cepat lebih baik. Tentara dan Demokrasi Soal tentara masuk dalam urusan wabah coronavirus ini, memang menjadi isu sensitif. Sebagian orang mendendam kehadiran militer dalam urusan sipil. Saya sendiri yang menjadi korban oposisi dalam rezim militer Orde Baru paling trauma kalau tentara mengambil alih situasi. Namun, kecerdasan memahami situasi adalah hal yang paling penting saat ini. Situasi saat ini merupakan situasi "unprecedented" bagi kita. Belum pernah bangsa ini diserang virus. Diserang virus tidak dapat dihadapi dengan model perang menghadapi manusia maupun robot. Menghadapi virus dalam situasi kompleksitas kita dan komplikasi masalah akan cepat atau lambat memusnahkan elit-elit bangsa. Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat kita. Dengan demikian cara pandang kita pada situasi seperti ini adalah membutuhkan kehadiran kekuatan yang bergerak dengan cepat dan tepat. Dan kekuatan tersebut hanya ada pada militer. Sehingga pikiran kita soal demokrasi untuk sementara dapat dikebelakangkan dahulu. Disinilah dibutuhkan trust. Sebuah kepercayaan untuk meminta kekuatan yang siap, sigap dan cepat daya geraknya. Juga kepercayaan bahwa TNI tentu tidak serta merta mengambil keuntungan nantinya paska wabah tersebut coronavirus ini berakhir. Penutup Peranan militer dalam mengambil alih penangan wabah coronavirus ini sudah sangat diperlukan. Mengingat wabah coronavirus di Indonesia berkembang sangat cepat. Beberapa wilayah bahkan sudah phobia virus menjalar dari Jakarta ke daerah-daerah. Apalagi nanti pada musim mudik Ramadhan dan lebaran. Dukungan saya ini tidak bermaksud mengurangi supremasi sipil dan demokrasi. Namun kompleksitas persoalannya dan komplikasi yang terjadi, cepat atau lambat akan menjadi ancaman besar. Bisa saja kita percaya pada Gugus Tugas yang dikomandoi Jendral Doni Monardo, namun kelemahan struktural karena bersifat kordinatif harus diukur terus. Jika dalam waktu dekat ini (saya garis bawahi jika dalam waktu dekat) akselerasi wabah ini semakin tidak terkendali, ada baiknya darurat militer diberlakukan. Sebagai pecinta demokrasi kita perlu memberikan kepercayaan pada militer mengatasi pandemik ini. Mudah-mudahan pikiran saya ini tidak ditanggapi emosional. Saya sendiri adalah oposisi terhadap rezim militer di masa Orde Baru. Namun, saat ini saya berpendapat sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang, saatnya bagi militer menolong rakyat sebagai ayah kandungnya . Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
“Marathon” Menghadapi Krisis Covid-19, Perspektif Kebijakan Ekonomi
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Minggu (29/03). Saya menuliskan ini setelah membaca pernyataan IMF yang mendeklarasikan bahwa ekonomi dunia sedang memasuki masa krisis, yang bahkan lebih besar skalanya dibanding krisis keuangan 2008. Pernyataan IMF ini sejalan dengan pernyataan Sekertaris Jenderal OECD Angel Guria yang menyatakan bahwa crisis pandemi Covid-19 ini merupakan “ greatest economic, financial and social shock of the 21st century “ (ABC News 23/03/2020 ). Yang membedakan diantara kedua lembaga ini adalah pada prediksi waktu yang diperlukan bagi ekonomi dunia untuk kembali pulih dan keluar dari krisis. IMF lebih optimistis dengan beranggapan bahwa ekonomi dunia akan kembali pulih ditahun 2021. Sedang OECD beranggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak akan pulih dengan mudah . OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan jatuh ke kisaran 1.5 %, atau setengah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang sebelumnya diperkirakan oleh OECD. Dengan kata lain, kapasitas perekonomian dunia akan terpangkas separuhnya dari proyeksi sebelum pandemi Covid-19. Yang terpenting adalah pemahaman konsensual dari ekonom dan lembaga- lembaga dunia bahwa perekonomian dunia mengalami pukulan keras. Pukulan yang mengarah ke krisis sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Itu sebabnya, saya memberi penekanan pada istilah “Maraton” sebagai terma kunci dalam mindset kebijakan ekonomi yang akan ditempuh. Penekanan istilah kunci ini perlu kita sarankan kepada pemegang otoritas. Implikasi dari istilah ini adalah, bauran kebijakan ekonomi yang diambil bertumpu pada titik horison penyelesaian persoalan ekonomi. Yang dimulai dengan penanganan sumber disrupsi ekonomi yaitu pandemi Covid-19. Kemudian dirangkaikan dengan langkah-langkah mitigatif terhadap pemerosotan lebih jauh perekonomian. Yang berujung pada kebijakan pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial. Perlu dicatat bahwa pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial itu mesti diletakkan dalam satu keranjang penyelesaian. Sebab kedua-duanya merupakan “primus interpares “ dalam problem ekonomi kita. Argumennya seperti yang telah diimplisitkan oleh ekonom Thomas Picketty, pemenang utama dalam krisis ekonomi modern adalah kelompok berpunya (the have). Dikarenakan kapasitas penguasaan aset mereka yang menyebabkan kelompok ini memiliki advantages terhadap sumber-sumber pemulihan; secara ekonomi dan politik. Dalam bayangan saya. Kombinasi antara pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial mengandaikan lahirnya kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat infrastruktur perekonomian rakyat kebanyakan (mainstreet economy ). Suatu kebijakan ekonomi yang sepenuhnya berpihak pada kelompok ekonomi masyarakat luas. Istilah populernya itu “UMKM” tanpa tedeng aling-aling. Ukurannya adalah menurunnya angka Gini Ratio secara signifikan pasca krisis. Dan bukannya makin meningkatnya angka Gini Ratio pasca krisis, seperti yang selama ini kita lihat. Tidak hanya didalam negeri, tetapi juga merupakan fenomena global, dan baru saja terjadi lagi pasca krisis keuangan dunia tahun 2008 kemarin. Dalam kerangka “Maraton“ ini ada lima hal yang perlu untuk diwaspadai. Pertama, peningkatan angka pengangguran yang besar. Kedua, pemerosotan sumber penerimaan negara. Ketiga, krisis permodalan yang dialami oleh UMKM. Keempat, penurunan volume arus barang dan jasa. Kelima, daya tahan dari institusi-institusi keuangan nasional. Pengangguran kali ini bersifat massal. Terutama sektor informal, tanpa mengabaikan sektor formal yang terdampak. Karena itu, dalam jangka pendek kebijakan transfer langsung massal diperlukan. Ada 76 juta (data BPS 2017) penduduk indonesia dalam kategori near poor dan poor yang masuk di dalamnya. Tidak boleh kurang dari itu. Biarkan rakyat kita tidak menderita dalam bertahan hidup. Dikarenakan pemerosotan output ekonomi, sumber penerimaan negara dalam bentuk perpajakan juga akan merosot. Ini akan terasa hingga pada anggaran 2021. Pembacaan ini akan sangat berpengaruh pada kalkulasi upaya counter cyclical otoritas. Manejemen pengelolaan pembiayaan yang defisit akan menjadi kunci dalam hal ini. Sektor UMKM, sekali lagi, adalah prioritas emas. Kualitas modal mereka sangat terbatas. Dalam situasi krisis yang tidak normal ini, modal mereka akan tergerus habis. Perlu suatu kerangka kebijakan yang dirancang untuk memudahkan mereka untuk kembali memulai bisnis, sangat diperlukan. Disini peran pentingnya ada pada OJK, dan juga Bank Indonesia. Kapasitas regulatif OJK di sektor keuangan dan perbankan, serta ruang lingkup kewenangan BI harus dipergunakan secara optimal dalam hal ini. Dan jika diperlukan, perluasan kewenangan BI agar bisa membail out sektor riil ( UMKM ) seyogyanya diperluas. Arus barang dan jasa juga adalah sisi yang paling keras mengalami pukulan. Ini adalah penjamin lancarnya hubungan supply and demand dalam perekonomian. Pada tahap awal, perlu dipikirkan kemungkinan penggunaan kapasitas moda transportasi umum yang sekarang ini “idle”. Pendarahan di sektor ini akan berdampak pada upaya pemulihan lanjut perekonomian. Dan yang terakhir, daya tahan institusi keuangan. Tentu kita tidak berharap institusi keuangan ini akan diperlakukan lagi seperti d itahun 1998 dan 2008. Tetapi menginsulasi sektor ini dari resiko sudah tentu tidak bisa dihindari. Saya pribadi mengapresiasi langkah-langkah otoritas keuangan dalam hal ini. Karena keterbatasan perundang-undangan, kerangka MOU antara otoritas fiskal, Bank Indonesia, OJK dan LPS mestinya diperkuat lagi. Untuk mengatasi krisis keuangan, kita sudah memiliki UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Tetapi dalam menghadapi krisis yang tidak normal ini, terdapat banyak kendala yang membatasi integrasi kebijakan antara pemerintah dan otoritas independen seperti BI, OJK dan LPS. Karena itu diperlukan suatu landasan yang kuat. Landasan yang menjamin integrasi kebijakan diantara lembaga-tersebut agar dapat bersifat eksekutorial. Dengan catatan, harus tetap berpegangan pada karakteristik independen dari masing-masing lembaga itu dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri. Semoga Allah SWT menolong bangsa dan negara kita agar dapat keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Para Boneka?
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Minggu (29/03). Istilah "boneka" seringkali diasosiasikan untuk seseorang yang peran dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, seorang aktor atau artis dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Berarti mereka adalah boneka. Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosial. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda dengan panggung belakang. Bedanya bisa 180 derajat. Di depan para penonton seorang pelawak bisa ketawa. Padahal di hatinya ia sedang menangis karena konflik keluarga. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi. Teori dramaturgi ini menarik ketika dibawa ke panggung politik. Para pelaku politik (politisi) punya dua panggung. Panggung ketika mereka berhadapan dengan publik, dan panggung ketika mereka berada di lingkungan temen-temen politiknya. Di hadapan publik, para politisi akan bicara moral. Istilah nasionalisme dan NKRI menjadi khutbah hariannya yang berbusa-busa. Fungsi-fungsi pelayanan publik akan selalu dijadikan narasi indahnya. Apakah idealisme ini juga jadi narasi mereka saat berada di panggung belakang? Panggung belakang itu masuk wilayah otoritas Ketua Umum Partai. Anggota-anggota partai adalah serdadu yang bekerja untuk menerjemahkan dan menyampaikan keputusan partai. Terutama agenda dari Ketua Umumnya. Di depan media, mereka dalam posisi sebagai juru bicara partai, dengan gaya dan kemampuan inovatif masing-masing. Ini konteksnya anggota partai. Kalau staf istana, mereka akan bicara sesuai draf dari istana. Biasanya, juru bicara istana lebih hati-hati dan lebih teratur, agar tak terjadi kesalahan. Kalau salah, bisa fatal. Karena merepresentasikan nama istana. Sedikit lebih sakral. Berbeda jauh dengan juru bicara dari partai. Tampak lebih bebas, atraktif dan meledak-ledak. Seolah ia satu-satunya orang yang punya otoritas dan pemegang tongkat kebenaran. Semakin lantang dan keras ia bicara, akan dianggap sebagai orang yang kritis dan berani. Padahal, boneka juga. Di panggung belakang, Ketua Umum Partai sedang melakukan negosiasi. Tidak hanya anggota partai dan juru bicara istana. Bahkan para ketua umum partai dan para penghuni istana boleh jadi juga boneka. Itu jika mereka menduduki posisi tersebut, dengan bantuan dan peran kelewat besar dari orang atau kelompok di luar. Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka. Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri, dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis juga semakin terbuka lebar untuknya. Era demokrasi seperti saat ini, seringkali lahir dan memproduksi para pemimpin boneka. Kepala daerah hingga presiden. Bahkan juga anggota DPR, juga paling banyak yang menjadi boneka. Sangat sulit untuk menghindari kebutuhan terhadap mekanisme ini. Untuk nyalon presiden, anda harus mau didandani. Tidak boleh "mau anda" sendiri. Seperti apa anda akan dicitrakan, mesti berbasis pada hasil survei. Survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitas anda saja, tapi terutama untuk mengidentifikasi "apa mau" masyarakat pemilih terhadap anda. Masyarakat suka capres itu pakai baju putih lengan panjang, berpakaian sederhana, dan suka blusukan, misalnya. Maka anda harus berpenampilan seperti itu. Mekanisme pencitraan seperti ini berlaku juga untuk calon kepala daerah dan caleg. Citra apa yang diinginkan dan disukai masyarakat harus dipenuhi oleh sang calon yang boneka itu. Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang. Bahkan untuk pencitraan itu sendiri perlu biaya besar. Ketika anda nyalon presiden, nyalon jadi kepala daerah, atau nyaleg, anda butuh dana (logistik). Dana yang dibutuhkan juga nggak sedikit. Kalau dana dari kantong sindiri nggak cukup. Biasanya memang nggak cukup. Jalan alternatifnya harus cari bantuan. Dan anda tahu, bantuan itu nggak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda. Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka semakin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda. Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah menjadi boneka seseorang atau kelompok itu. Demokrasi yang awalnya dibuat dengan fungsi utamanya untuk memberi ruang partisipasi rakyat secara penuh dan meluas. Tujuanya, agar lahir para pemimpin yang ideal, independen dan berani tampil membela dan menyuarakan kepentingan rakyat. Namun pada akhirnya yang jadi justru para boneka. Menurut Robert Merton, demokrasi yang melahirkan boneka ini disfunction. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tetapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka. Kenapa ini terjadi? Karena demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif. Pertama, para calon dimanipulasi sikap dan perilakunya agar sesuai dengan persepsi masyarakat pemilih. Tentu, berbasis pada hasil survei. Kedua, sikap dan perilaku seperti ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial di masyarakat. Milsanya para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan dari para calon boneka. Ketiga, legitimasi ini disosialisasikan secara masif oleh tim buzzer yang dibayar secara profesional untuk menjalankan tugas ini. Keempat, suara para pemilih tidak lagi murni. Dibeli dan diberikan kompensasi. Kelima, terjadi pengendalian terhadap panitia pemilu dengan menjadikannya sebagai tempat bertransaksi. Dipecatnya dua komisionir KPU Pusat adalah bagian dari pembuktian tersebut. Keenam, hukum dan aturan tidak jalan. Bahkan cenderung dikendalikan untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok. Terinspirasi dari teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya demokrasi dan hukum berfungsi untuk siapa? Faktanya bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang berhasil secara sistematis menjadikan kebanyakan dari para elit politik itu sebagai boneka. Kalau begitu, apa yang bisa diharapkan dari boneka-boneka tersebut? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Solusi Darurat Corona Indonesia: Tirulah Korsel, Pakai Mikroba!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Pageblug – begitu orang Jawa menyebut wabah penyakit yang menyebar secara massif yang banyak menelan korban meninggal – akan dimulai tiga hari dari sekarang (26 Maret 2020). Sekarang ini, yang harus disiapkan adalah Rumah Isolasi. Begitu pesan dr. Tifauzia Tyassuma, Kamis (26 Maret pukul 10.20). Gubernur, Walikota, Bupati harus sewakan Apartemen, Hotel, Asrama, Penginapan, Perumahan Kosong, apapun tempat yang bisa dijadikan Rumah Isolasi. Dokter, Peneliti, dan Penulis AHLINA Institute itu mengungkapkan, dalam tiga hari jumlah kasus terlaporkan akan mencapai angka 1000. Artinya, ada sejumlah 20.000 PDP bertebaran di seluruh Indonesia tanpa terdeteksi. Dalam 20-40 hari dari sekarang (26/3/2020), jumlah kasus akan mencapai titik puncaknya, yaitu 1.200.000 kasus,artinya, ada 22.800.000 PDP di seluruh Indonesia. Jelas akan banyak mayat di mana-mana. Terutama mayat orang tak punya rumah, yang tidak diurus siapapun. “Pageblug: pagi sakit, sore mati. Untuk mengantisipasi hal tersebut supaya tidak makin menghebat, maka mulai dari sekarang, adakan Rumah Isolasi sebanyak mungkin!” pesan Dokter Tifa. Kapan covid 19 mencapai puncak? “Setelah kasus terlaporkan mencapai 1.200.000 kasus positif. Atau 60.000.000 kasus riil di lapangan. Sekitar 22% dari 271.000.000 orang. Kasus kematian sebanyak 99.800 orang yang dilaporkan,” ungkap Dokter Tifa. Kasus kematian riil di lapangan 4.980.000 orang. Jadi, penduduk Indonesia berkurang 2%. Setelah itu Covid-19 mencapai puncak ledakannya, dan kemudian turun dengan perlahan sampai 12 bulan. Kapan itu? “Perkiraan saya 50-70 hari setelah tanggal 2 Maret 2020. Sekitar 19 April sd 19 Mei 2020,” lanjut Dokter Tifa. Setelah itu yang terjadi, grafik akan turun perlahan, melandai sampai dengan Agustus, lalu menipis dan stop pada Januari 2021. Kenapa bisa turun? Apa virusnya mati sendiri? Bukan begitu. Dengan kasus sebanyak itu, Indonesia menjadi “kolam merah”. Terbentuklah Natural Herd Immunity atau Kekebalan kolektif bersama-sama. Mirip seperti Vaksinasi massal serentak. Dokter Tifa menyeru, “Ayo rakyat, kita berbuat mulai sekarang juga! Lockdown diri kalian masing-masing. Anggap saja kita beruang di gua selama musim dingin. Siapkan logistik. Banyak berdoa dan berpuasa. Bismillah.” “Allah bersama kita. Berdoa bersama agar Allah turunkan pasukan langit, membasmi virus ini dengan cepat. Agar prediksi scientific di atas tak perlu terjadi. Doa mampu mengubah takdir. Ayo berdoa!” pinta Dokter Tifa. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto mengungkapkan, penularan virus Corona terus terjadi. Terbukti dengan bertambahnya 109 kasus positif corona sehingga menjadi 1.155 kasus positif. Pasien sudah sembuh bertambah 13 orang. Sehingga total pasien sembuh menjadi 59 orang. Kasus kematian bertambah 15 orang. Sehingga menjadi 102 orang yang meninggal akibat kasus ini. Demikian penjelasan Achmad Yurianto, Sabtu (28/3/2020). Kompas.id pada 27 Maret 2020 menulis berita “Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran”. Jika terjadi sangat menakutkan. Kedubes Asing saja tidak percaya. Saat kita masih mengundang asing masuk di negeri yang indah ini, mereka malah enyerukan kepada warganya agar meninggalkan Indonesia. Artinya, kita diasingkan oleh negara tetangga. Kita di-lockdown oleh dunia. Mereka ragu dengan kemampuan dan fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Indonesia. Faskes yang dipunyai Indonesia, jauh di bawah standar internasional. Jumlah dokter, perawat, rumah sakit khusus, ruang isolasi, dan jumlah tempat tidur rumah sakit, jauh dari memadai. Begitu pula dengan test kit dan APD (Alat Pelindung Diri) juga sangat tidak memadai. Enam dokter yang meninggal akibat tertular dan terinfeksi virus corona adalah buktinya. Melihat kenyataan ini sampai IDI “mengancam” menarik diri dari penanganan virus corona ini. Menurut salah satu studi oleh institusi berbasis di London, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia hanya sekitar 2 persen dari yang diperkirakan seharusnya. Jumlah terinfeksi corona ini realitanya bisa lebih dari 34 ribu orang, mungkin sekarang sudah melonjak lagi. Sembuh Corona Di tengah wabah Virus Corona, ternyata ada banyak masyarakat yang sudah tergabung dalam Grup Probiotik Siklus (GPS), melakukan pengobatan mandiri. Mereka yang tergabung dalam puluhan GPS ini lebih siap dalam menghadapi serangan virus corona tersebut. Mereka melakukan pengobatan secara mandiri. Kalau pun ada yang sudah dinyatakan positif virus corona oleh rumah sakit tempat dirawat, mereka berhasil sembuh dengan menggunakan varian produk Probiotik Siklus (PS). Berikut beberapa testimoninya: “Sy mau berbagi info bahagia. Setidaknya usaha sy ada hasilnya. Bbrpa hari yll sy sempat sampaikan di sini, teman sy yg suami istri dokter. Suaminya sempat demam 5hr plus batuk2, 3 hr nya sempat tangani covid. Sy sarankan pakai g10+bio imun plus biosel utk anak2nya dan pengharum ruangan.” “Alhamdulillah hari berikutnya kondisinya membaik. Target sy adl bagaimana agar mereka berdua (krn keduanya dokter praktek di RS di Jkta) bs menjadi wasilah u penyebaran PS ini utk menyelamatkan byk nyawa.” “Alhamdulillah masya Allah, atas pertolongan Allah, kmd atas doa dr teman2 semua, stlh melalui diskusi yg ckp panjang, berbalas WA, dgn sedikit pemahaman yg sy miliki, alhamdulillah mereka paham dan bs menerima teori ini.” “Dan skrg keduanya ingin mempromosikan produk ini ke rekan2 sejawatnya (untuk bs mengatasi kondisi saat ini). Mohon doanya terus agar usaha ini membuahkan hasil. Sangat berharap sekali kondisi saat ini tidak semakin memburuk dan bisa berangsur membaik.” “[26/3 22:47] Formulator: Alhamdulillah, dengan ketelatenan kita semua, secara perlahan teori ini akan bisa diterima dan terbukti kebenarannya. PS itu kebenarannya alamiah, obyektif ....dan bahkan ada bilang absolut, karena sesuai sunnah Nya.....” “Alhamdulillah..., Ihtiar PS 2 Hari Pasien Positif Covid Membaik.” “[21/3 20:55] Formulator: Catatan: Ada anggota GPS yg positif covid, dan saya arahkan dg PS, dlm 2 hari perkembangan nya LUAR BIASA. Sudah cukup sehat.” “[21/3 20:56] +62 813-1490-XXX: Hanya 2 hari prof?” “[21/3 20:56] +62 857-7782-XXX: Ps variant apa saja prof ? Dan apa diperlukan juga antibiotik? Karna ini serupa dengan pneumonia ya prof?” “[21/3 20:58] Formulator: Variannya, terutama: G8 atau 10 atau 12 atau 17. Diberikan 2 sdm, setiap 1 jam sekali. Bioimune: 3-4x1 sdm. Biozime super: 10 tts setiap 1 jam sekali.” “[21/3 21:00] Formulator: Benar, hanya 2 hari. Sudah ada 2 orang yg terselamatkan dg bantuan PS. Antibiotiknya, saya sarankan : obat yang isinya LEVOFLOXACIN yang paten.” Mengapa G8? G8 adalah bakteri komunitas dengan jumlah ribuan strains bakteri tanah (hingga 7.500 strains) dan didominasi oleh “sekumpulan bakteri negatif” yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada saat virus – termasuk diantaranya corona – dihadirkan G8, maka virus ini berasumsi yang dihadirkan di G8 adalah kawan-kawan mereka. Sehingga “virus tidak lagi merasa diserang, tidak lagi merasa disakiti, tidak lagi merasa terancam keberadaannya”. Yang terjadi kemudian, bersama-sama dengan sekumpulan bakteri lengkap pada G8, mereka akan hidup normal, berkembang dan regeneratif sesuai fitrahnya. Keseimbangan Mikrobiota. Itulah kemudian yang terjadi. Nah, pada saat semua seimbang, selesai sudah masalah karena tidak lagi ada yang terlalu dominan, tidak lagi ada ketimpangan. Lain cerita saat “virus – termasuk corona – “dihadirkan” desinfektan (Alkohol). Alkohol, jika di bawah 75%, hanya “mendormen” (menidurkan) bakteri/virus. Maka, akan ada saat virus bangun dari tidurnya. Alkohol di atas 75% baru bisa mengeluarkan bakteri. Ingat hanya mengeluarkan dan tidak mematikan. Virus corona itu didesain kuat! Bahkan, alkohol bisa dimakan sebagai nutrisi penguat dan berpeluang bermutasi menjadi yang lain yang jauh lebih ganas. Jika dihadirkan desinfektan, yang ada, virus akan berkembang massive, karena dia merasa diserang, merasa disakiti, dan merasa terancam keberadaannya. Itulah mengapa Korea Selatan sangat cepat dan tepat dalam atasi wabah virus corona. Korsel cepat mengatasi ini karena mereka semprot pakai EM (4 strain bakteri). Kalau dalam PS ada ribuan strain bakteri, maka tidak bakal meluas dan meluas lagi penyebarannya. “Kalau pakai desinfektan bakteri malah semakin banyak dan semakin kuat,” ungkap seorang anggota GPS-2, sambil memberikan terjemahan berita yang tayang dalam m.nocutnews.co.kr itu. Beritanya bahasa Korea, diterjemahkan dengan fasilitas translate di chrome. Pusat Teknologi Koperasi Pertanian Busan Gijang-gun mengumumkan pada tanggal 7 bahwa mereka melakukan “kegiatan perlindungan lingkungan” menggunakan EM (mikroorganisme yang berguna) untuk mencegah infeksi korona19. EM yang diproduksi dan didistribusikan oleh Gijang-gun Nonghyup Technology Center terutama bersifat asam, dengan bakteri asam laktat sebagian besar mencapai pH 3,5. Pusat ini mengencerkan asam sitrat dalam EM ini untuk pencegahan virus karena virus ini rentan terhadap kondisi asam. Selain itu, EM, yang secara teratur disuplai setiap hari Rabu di kultur mikroba yang berguna, didistribusikan setiap hari sampai virus tenang. Dispenser tak berawak dipasang di dua pusat kesejahteraan administratif di Gijang-eup dan pusat kesehatan masyarakat di Jeonggwan-eup sehingga penduduk dapat dengan mudah menerima EM. Seorang pejabat Pusat Teknologi Koperasi Pertanian Gijang-gun mengatakan, “Kami akan mencegah korona19 dengan memperluas kegiatan karantina yang ramah lingkungan. Kami juga akan memperluas pasokan mikroorganisme yang berguna sehingga semua orang dapat menggunakannya dengan nyaman.” Seperti halnya Korea, Jepang dan Jerman kabarnya juga menggunakan bakteri serupa untuk mengatasi virus corona. Penulis wartawan senior
Beruntang di Tengah Krisis Ekonomi, “Belajar Dari Bank Century dan BLBI”
Yang cukup aneh, yang mengatakan bahwa kesulitan Bank Century berdampak sistemik adalah menteri keuangan. Ketika itu dijabat oleh Sri Mulyani. Bukankah sektor perbankan ketika itu seharusnya sudah berada di bawah pengawasan Bank Indonesia? Sehingga status sistemik atau tidak, seharusnya juga ditetapkan oleh Bank Indonesia? By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Minggu (29/03). Krisis moneter 1998 yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik masih membekas. Krisis yang berawal dari kejatuhan kurs rupiah membuat sektor keuangan dan perbankan lumpuh. Berujung pada penutupan 16 bank nasional. Jatuhnya sektor perbankan membuat Bank Indonesia (BI) harus turun tangan. Sebagai the lender of last resort, Bank Indonesia tampil sebagai penyelamat sektor perbankan yang kesulitan likuiditas. Dengan cara memberi dana talangan. Atau juga yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sampai Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI senilai Rp 144,5 triliun kepada 48 bank. Kata “orang bijak”, dalam setiap kesulitan pasti ada kesempatan. Dalam setiap masalah, pasti ada peluang. Sepertinya moto ini juga berlaku bagi penerima dan pemberi BLBI. Awalnya adalah kesulitan likuiditas. Namun akhirnya menjadi pengeruk kekayaan. Tentu saja dengan cara tidak sah. Audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencatat terjadi penyelewengan BLBI yang merugikan negara hingga Rp 138 triliun. Artinya, hanya sekitar Rp 6,5 triliun saja yang tepat sasaran. Sebagian dari pelaku sudah dihukum. Sebagian lagi, ada yang masih buron. Bahkan ada yang meninggal di tanah buronan. Setelah itu, status BI direstrukturisasi. Sebelumnya BI adalah bagian dari pemerintah. Kemudian diubah menjadi independen. Perubahan ini mengikuti praktek Bank Sentral di kebanyakan negara maju. Agar kebijakan moneter Bank Indonesia tidak didikte oleh pemerintah. Sehingga fungsi moneter dapat dipisahkan dengan fungsi fiskal. Perubahan status Bank Indonesia ini tertuang di Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Belajar dari pengalaman krisis 1998, penyaluran bantuan, atau tepatnya pinjaman dari BI dibuat ketat. BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang mempunyai kesulitan pendanaan hanya apabila ada agunan yang berkualitas tinggi, dan mudah dicairkan. Nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterima oleh bank tersebut. Tahun 2007-2008 terjadi krisis finansial global yang cukup serius. Awalnya, perbankan Indonesia baik-baik saja. Bahkan pemerintah mengatakan perbankan Indonesia sangat kuat, dan tidak akan terpengaruh krisis global. Tetapi, sekitar awal Oktober 2008, Bank Century dikabarkan mengalami kesulitan likuiditas yang serius. Pemerintah cepat tanggap. Pemerintah menyatakan kasus Bank Century berdampak sistemik. Artinya, bisa menjalar ke bank-bank lainnya, dan bisa memicu krisis perbankan lagi. Sehingga, Bank Century harus di-bailout. Harus diselamatkan. Syarat bailout adalah harus berdampak sistemik. Oleh karena itu, masalah likuiditas Bank Century ditetapkan berdampak sistemik. Tetapi, masih ada ganjalan untuk bailout Bank Century. Pasal 11 UU No. 23 Tahun 1999 dan perubahannya (UU No 3 Tahun 2004) mengatakan BI hanya bisa memberi pinjaman atau bailout kalau ada agunan dengan kualitas tinggi, dan mudah dicairkan. Nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Tentu saja Bank Century sulit memenuhi syarat itu. Akhirnya, UU No. 3 Tahun 2004 tersebut diubah melalui Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 2 Tahun 2008, tertanggal 13 Oktober 2008. Sangat cepat sekali prosesnya. Awal Oktober baru saja terjadi kesulitan pendanaan pada Bank Century. Namun 13 Oktober Perppu sudah ditetapkan. Perppu 13 Oktober itu menghilangkan kata “mudah dicairkan”. Akhirnya, Bank Century diambil alih, dan diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Total dana yang dikeluarkan pemerintah dalam bailout Century mencapai Rp 6,7 triliun. Yang sangat disayangkan, kesulitan likuiditas ini. Dan anggap saja benar terjadi kesulitan likuiditas. Namun sekali lagi, kondisi ini digunakan untuk mengambil keuntungan sekelompok pribadi orang. Mantan direktur utama Bank Century akhirnya divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah sebesar Rp 1,6 triliun. Yang cukup aneh, yang mengatakan bahwa kesulitan Bank Century berdampak sistemik adalah menteri keuangan. Ketika itu dijabat oleh Sri Mulyani. Bukankah sektor perbankan ketika itu seharusnya sudah berada di bawah pengawasan Bank Indonesia? Sehingga status sistemik atau tidak, seharusnya juga ditetapkan oleh Bank Indonesia? Sudahlah, kasus Bank Century itu sudah berlalu. Kasus Rp 6,7 triliun ini menguap begitu saja. Publik negeri ini semua sudah lupa. Direksi Bank Century juga sudah keluar dari penjara. Bahkan anggota pansus (Panitia Khusus) Hak Angket DPR untuk Bank Century, yang dibentuk 1 Desember 2009 sepertinya sekarang sudah mengalami amnesia semua. Kasus Bank Century bisa menjadi preseden buruk. Karena celah bailout ini dilakukan, atau difasilitasi, melalui perubahan UU. Bahkan melalui Perppu pula. Akhirnya kasus Bank Century ini berujung pada penyelewengan dan korupsi triliunan rupiah. Jangan sampai krisis selanjutnya dijadikan ajang mengail di air keruh lagi. Jangan sampai ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Jangan sampai krisis Corona kali ini digunakanlagi untuk mengambil keuntungan pribadi atau segelintir orang saja. Jangan sampai corona dijadikan sarana untuk merampok lagi. Apalagi dengan menggunakan modus yang sama. Merubah UU melalui Perppu. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Uang Pemerintah Nganggur Rp 270 triliun, Tidak Dipakai Lawan Covid-19?
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Sabtu (28/03). Wabah virus corona semakin mengkhawatirkan. Jumlah orang terinfeksi naik tajam. Jumlah orang terinfeksi per 27 Maret 2020 mencapai 893 orang. Kemudian pada 27 Maret 2020 bertambah menjadi 1.046 orang. Artinya, bertambah sebanyak 153 orang dalam satu hari. Jumlahnya terus meningkat. Menandakan penyebaran penyakit sangat tidak terkendali. Yang lebih mengkhawatirkan, jumlah pasien meninggal jauh lebih besar dari yang sembuh. Jumlah pasien meninggal 87 orang, dan pasien sembuh hanya 46 orang, per 27 Maret 2020. Jumlah persentase meninggal, dan perbandingan dengan yang sembuh, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Melihat data statistik seperti ini, banyak pihak asing mempertanyakan, atau tepatnya meragukan, kemampuan dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi wabah virus ini. Beberapa kedutaan asing mengimbau warganya untuk segera meninggalkan Indonesia. Himbauan Kedutaan Asing sangat ironi. Ketika kita masih mau menerima asing di negeri yang indah ini, malah perwakilan negara asing menyerukan kepada warganya agar meninggalkan Indonesia. Artinya, kita diasingkan oleh negara tetangga. Kita di lockdown oleh dunia. Karena mereka ragu dengan kemampuan dan fasilitas kesehatan yang dimiliki Indonesia. Fasilitas kesehatan yang dipunyai Indonesia, katanya jauh di bawah standar internasional. Jumlah dokter, jumlah perawat, jumlah rumah sakit khusus, jumlah ruang isolasi, jumlah tempat tidur rumah sakit, jauh dari memadai. Jauh di bawah kemampuan negara-negara tetanga. Begitu pula dengan test kit dan APD (Alat Pelindung Diri) juga sangat tidak memadai. Buktinya sudah ada enam dokter meninggal akibat tertular dan terinfeksi virus corona. Bahkan menurut salah satu studi oleh institusi berbasis di London, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia hanya sekitar 2 persen dari yang diperkirakan seharusnya. Menurut studi tersebut, jumlah terinfeksis ini realitanya bisa lebih dari 34 ribu orang, mungkin sekarang sudah melonjak lagi. Kompas.id pada 27 Maret 2020 menulis berita “Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran”. Ini sangat menakutkan. https://kompas.id/baca/humaniora/2020/03/27/tanpa-tindakan-drastis-separuh-penduduk-indonesia-berpotensi-terinfeksi-covid-19-sebelum-lebaran Di lain pihak, kita belum melihat pemerintah bergerak cepat dan terarah. Bahkan bisa dikatakan sangat lambat sekali. Di tengah pandemi seperti ini diperlukan tindakan yang cepat. Bukan wacana saja. Bukan membuat kebijakan yang bisa membuat masalah baru. Misalnya pengumuman tentang pembebasan pembayaran bunga dan cicilan untuk waktu tertentu sudah menuai kegaduhan. Penyebabnya pengumuman tersebut belum dikoordinasikan dengan siapa yang akan menanggung likuiditas tersebut. Apakah artinya penundaan tersebut ditalangi dulu oleh pemerintah? Oleh karena itu, sangat penting setiap kebijakan harus disiapkan langkah teknisnya, agar tidak menimbulkan kegaduhan. Saat ini, yang terpenting dari segalanya, pemerintah harus segera meningkatkan kemampuan fasilitas kesehatan untuk menyelamatkan korban terinfeksi. Untuk memberantas wabah Covid-19, dan memutus mata rantai penyebaran dan penularan. Rasio sembuh harus ditingkatkan secara signifikan. Rasio yang meninggal juga harus diturunkan secara drastis hingga titik nol. Ini target yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan ini hanya bisa terjadi kalau pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, meningkatkan fasilitas kesehatannya secara drastic, dan bersama-sama. Untuk itu, pemerintah perlu uang. Dan uangnya itu ternyata ada. Pemerintah per akhir Februari 2020 masih ada uang di kas lebih dari Rp 270 triliun. Terdiri dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2018 sebesar Rp 175,24 triliun, SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) 2019 sebesar Rp 46,5 triliun, dan SiLPA 2020 (akhir Februari) sebesar Rp 50,13 triliun. Uang sebesar Rp 270 yang ada di kas pemerintah ini idle. Ini uang nganggur. Bisa dipakai kapan saja. Kenapa pemerintah tidak menggunakan uang ini untuk memerangi wabah Covid-19 sejak awal pandemi? Malah pemerintah berwacana untuk meminjam uang dari institusi internasional. Ada apa ini? Wajau kalau masyarakat patut bertanya-tanya. Keterlambatan memerangi wabah Covid-19 yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan karena faktor kesengajaan dapat dituduh sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Dan tidak menggunakan uang yang nganggur tersebut dapat saja dianggap sebagai faktor kesengajaan. Jangan sampai ini terjadi. Pemerintah bukannya menggunakan uang yang berlimpah tersebut secara optimal. Ini malah sibuk dan mencoba untuk menggali utang luar negeri baru, melalui institusi internasional seperti IMF. Padahal IMF mempunyai catatan hitam terhadap perekonomian Indonesia pada krisis 1998. Modusnya seolah-olah IMF menawarkan bantuan, yang tentu saja maksudnya utang. Selain itu, pemerintah malah mencoba menggalang dana sumbangan dari pengusaha, dan masyarakat. Sedangkan pengusaha dan masyarakat sendiri lagi susah dan perlu dibantu. Kok bisa pemerintah minta sumbangan dari mereka? Yang menjadi kontroversial, pemerintah malah mau menerbitkan recovery bond untuk memberi dana pinjaman kepada para pengusaha. Lagi-lagi, semua ini membuat masyarakat curiga dengan langkah-langkah pemerintah. Selain bidang kesehetan, pemerintah memang wajib membantu masyarakat dan perusahaan yang terdampak pendemi Covid-19 melalui paket stimulus. Masyarakat harus diberi bantuan sesegera mungkin. Khususnya mereka yang berpenghasilan harian dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mereka ini sekarang sudah sulit keuangan, dan sulit makan. Jangan sampai terjadi kerusuhan karena perut lapar. Perusahaan wajib dibantu untuk dapat bertahan hidup dan mengurangi PHK lebih jauh. Dan jangan lupa, institusi keuangan jangan sampai kekurangan likuiditas karena di satu sisi pembayaran debitur banyak yang macet. Di sisi yang lain,nasabah banyak yang menarik tabungannya. Di sinilah OJK dan BI harus segera hadir. Semua kebutuhan pendanaan di atas harus diupayakan dari sumber dalam negeri. Dan itu layak dan bisa dilakukan. Uang pemerintah masih banyak. Bank Indonesia juga siap intervensi. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Presiden Lempar Handuk?
Hari demi hari, gelombang protes terhadap sikap Presiden yang "kekeh" tidak mau lockdown semakin membesar. Selain Walikota Tegal dan Gubernur Papua, protes juga datang diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa Kepala Daerah. By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabru (28/03). Lockdown itu otoritas Pemerintah Pusat, titik. Begitulah keputusan presiden. Keputusan nggak bisa diganggu gugat. Rencana Anies, Gubernur DKI untuk lockdown Jakarta batal setelah kedatangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ke balai kota membawa pesan istana. Intinya, lockdown bukan wewenang Gubernur. Dan Anies tak akan melockdown Jakarta tanpa seijin presiden. Bagi Anies, ini prinsip. Tak ada negara dalam negara. Sebagai Gubernur, Anies tak akan langgar aturan dan berseberangan dengan Presiden. Meski Jakarta belum jadi lockdown, Anies harus kerja ekstra menghadapi penyebaran Covid-19 yang semakin masif. Pasalnya, Jakarta jadi epicentrum penyebaran virus mematikan ini. Berbagai langkah dilakukan Anies, termasuk test massal, menjemput pasien covid-19 di rumah, melakukan penyemprotan disinfectan, menutup semua bisnis pariwisata dan meliburkan ganjil-genap agar masyarakat tidak berjubel di public transportation. Anies menyiapkan empat hotel dengan seluruh fasilitasnya untuk tenaga medis, menambah insentif Rp 250.000 setiap harinya. Ini adalah bagian dari support Gubernur Anies sebagai komandan perang melawan covid-19 di wilayah DKI. Kepada seluruh warga DKI Anies minta mereka kerja dan belajar dari rumah selama 14 hari ke depan. Konsekuensinya, pemprov DKI menyiapkan anggran Rp 1,1 juta untuk keluarga tidak mampu. Persoalan logistik, Jakarta masih aman. Semua langkah ini sesungguhnya adalah soft lockdown. Lockdown ringan-ringan saja. Tak melanggar aturan, juga tak bertabrakan dengan kebijakan pusat. Dan langkah Anies ini didukung oleh banyak pihak. Termasuk Kepala Satgas Covid-19 Pusat. Langkah Anies belakangan diikuti oleh sejumlah Kepala Daerah. Malah Walikota Tegal, Dedy Yon Supri Yono, lebih nekad lagi. Dedy berencana akan melakukan lockdown lokal setelah satu orang positif Covid-19 dan satu orang meninggal karena covid-19. Lockdown dimulai tanggal 30 Maret nanti. Sebelumnya, gubernur Papua, Lukas Enembe, juga melakukan lockdown. Langkah ini diambil Lukas Enembe untuk menyelamatkan warga Papua sebelum covid-19 masuk ke wilayah itu. Ini bukan saja langkah pro aktif, tetapi juga tindakan sangat berani, karena berlawanan dengan keputusan Presiden. Langkah Walikota Tegal dan Gubernur Papua, memberi isyarat bahwa peringatan Presiden sepertinya tak didengar. Bagi mereka, nyawa rakyat mereka lebih penting. Akankah langkah dua kepala daerah ini diikuti oleh kepala daerah yang lain? Bagaimanapun keputusan gubernur Papua dan Walikota Tegal pasti berpengaruh terhadap daerah yang lain. Hari demi hari, gelombang protes terhadap sikap Presiden yang "kekeh" tidak mau lockdown semakin membesar. Selain Walikota Tegal dan Gubernur Papua, protes juga datang diantaranya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ketua MPR, sejumlah fraksi di DPR, para pengamat dalam dan luar negeri, bahkan beberapa Kepala Daerah. Sementara penyebaran covid-19 makin hari semakin tinggi angkanya. Sudah tembus di angka ribuan. Sampai dengan Jum’at 27 Maret kemarin yang positif Covis-19 sudah mencapai 1046 orang. Dari jumlah tersebut, 87 orang diantaranya meninggal dunia. Masifnya gelombang protes dan makin tingginya angka yang positif Covid-19 membuat Presiden mulai bimbang dengan keputusannya sebelumnya. Kali ini, Mahfuz MD sepertinya mendapat tugas khusus menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai dasar untuk melakukan lockdown lokal. Apakah ini artinya pemerintah pusat sudah give up? Lalu menyerahkan tanggung jawab ini ke masing-masing Pemerintahan Daerah? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa