NASIONAL

Malapetaka The New Normal Tata Negara

By Dr. Margarito Kamis Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara ialah semangat. Semangat para penyelenggara negara. Semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tidak ada artinya dalam praktik. (Profesor Soepomo, Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) Jakarta FNN – Rabu (27/05). Suatu malam di bulan ini mendadak terbelah oleh pernyataan Presiden mengenai mudik dan pulang kampung. Dua kata itu, tak sama menurut Presiden. Ramai dibincangkan orang. Dan belum benar-benar mengering, muncul lagi isu lain. Bangsa ini, begitu esensi pernyataan Presiden harus berdamai. Hidup berdampingan dengan corona. Belum benar-benar menghilang isu ini, datang lagi isu baru, “pelonggaran PSBB”. Ramai juga dibincankan dalam cengkeraman kebingungan dan tak percaya. Terencana atau tidak, terkordinasi atau tidak. Menjelang penghujung Ramdahan Al-Mubarakh, rakyat tercekoki lagi ke isu baru. Namanya “The New Normal.” Ditengah gelombang mencekam itu, konser amal berbaju lelang, kalau tak salah di malam Nudzulul Qur’an. Konser yang akhirnya memalukan. Hadir dengan nuansa keangkuhan yang absolut. Bung Karno dan Soepomo Suka-suka, itulah yang terlihat menjadi pola pemerintahan mengelola negara ini. Memang demokrasi memungkinkannya. Demokrasi malah akan semakin mengandalkannya, bila tampilan pemerintahan teridentifikasi rusak. Rute kongkritnya, kebijakan formil dibiarkan berada di kejauhan. Bibungkus manis dan ketat dengan simptomnya. Ketika simptomnya diyakini telah membelit rakyat, barulah kebijakan resmi yang berada di kejauhan diresmikan. Ya diberi bentuk hukum. Ini standarnya. Ini agak absolut, karena demokrasi menjadikan legitimasi sebagai jimat ampuhnya. Setelah legitimasi samar-samar terlihat mulai memasyarakat dengan meyakinkan, demokrasi segera pergi ke gudang tata negara. Dari gudang itulah, demokrasi mengambil darinya senjata mematikan. Namanya keadaan genting. Lahirlah Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya panjang sekali itu. Perpu ini angkuh seangkuh demokrasi. Kebutuhan demokrasi bekerja lagi dengan memanggil tata negara membereskan misi Perpu. Lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang sama dengan judul Perpu, judul PP ini juga sangat panjang. Di tengah itu, keangkuhan demokrasi membiarkan harga minyak tak kunjung turun. Semuanya terlihat new normal. Sifat new normal itu terlihat pada kedatangan Presiden ke mall Sumarecom di Bekasi. Sungguh new normal disambut dan direalisasikan Kementerian BUMN dan Kementerian Kesehatan. Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Edaran Nomor S-336/MBU/05/2020 Tentang Antisipasi Skenario The New Normal BUMN. Di sisi lain Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Nomor 01.07/Menkes/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Kelangsungan Usaha pada Situasi Pandemik. Begitulah sistem bernegara bekerja di tengah gempuran corona dengan segala efek melumpuhkannya. Begitulah bangsa ini mengelola dirinya sejauh ini. Begitulah cara bangsa ini mengidentifikasi dan menghidupkan pesan arif para pembentuk UUD 1945 dulu. Politik memang bersinggungan dengan keberuntungan. Sayangnya, bangsa besar ini tak beruntung sejauh ini. DPR, yang para pembentuk UUD 1945 andalkan untuk memastikan kekuasaan pemerintah tidak tak terbatas, sejauh ini dituntun demokrasi acak-kadul berbasis semangat persekutuan konyol mengambil jarak dari harapan pembuat UUD 1945. Sayang sekali. DPR, semoga bukan new normal. Nyatanya DPR mengambil jarak begitu jauh dari pandangan Bung Karno, Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Pandangan Bung Karno dikemukakan pada rapat besar Panitia Perancang UUD tanggal 15 Juli 1945. Katanya, tadi telah saya menyitir perkataan Jaures, yang menyatakan bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen jadi rapat raja-raja. Di dalam parlemen, lanjut Bung Karno, tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota berkuasa sebagai raja. Dia menggugurkan rancangan-rancangan yang dibuat oleh pemerintah. Dia bisa menggugurkan minister-minister dari pada singgasananya. Tetapi pada saat yang sama ia berkuasa sebagai raja. Dia, kata Bung Karno selanjutnya, adalah budak belian dari pada si majikan. Yang bisa melemparkan dia dari pekerjaan, sehingga ia menjadi orang miskin, yang tidak punya pekerjaan. Inilah konflik dalam kalbu liberalisme, yang telah menjelma dalam parlementaire democratie-nya bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. (lihat RM. A.B Kusuma, 2004). Profesor Soepomo, dalam tanggapannya kepada Muh. Yamin tentang menteri bertanggung jawab kepada DPR, menyodorkan pendapat menarik. Kata Profesor, akan tetapi kita harus mengingat juga bahwa dalam negara-negara ini, seperti Inggris, ada partai system. Kalau pemerintah “disokong partai terbesar di parlemen, sebetulnya pemerintah itu punya kekuasaan yang beasar sekali. Oleh karena itu, profesor Soepomo melanjutkan, orang seringkali mengatakan bahwa di Inggris itu ada dictatorial stelsel dari Menteri, terutama diktatur dari Perdana Menteri. Kita, kata Profesor, memakai sistem sendiri, sebagaimana dikatakan oleh tuan Sukiman. Sistem itu ialah kepala negara tak tunduk pada Badan Perwaklilan Rakyat (BPR). Tetapi bertanggung jawab sepenuhnya kepada MPR. Apa yang bisa dimaknai dari pandangan hebat-hebat ini? Itu hebat untuk old normal. New normal lain lagi. Hindarkanlah MPR hasil perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali 1999-2002, sudah lain dari yang lain. Sifat tertingginya telah tersapu cinta buta demokrasi. MPR dulu telah melayang, terbang entah kemana. MPR itu telah terkubur. MPR itu telah masuk kedalam kubangan tipu-tipu canggih demokrasi liberal. MPR sekarang tak lagi menjadi lembaga yang padanya pertanggung jawaban Presiden ditujukan. Hebatnya sistem presidensial hasilperubahan UUD 1945, persis Amerika. Presiden tak bertanggung jawab pada DPR, juga tak bertanggung jawab pada lembaga apapun. Sempurna liberalismenya. Presidensialisme Indonesia hasil perubahan UUD 1945 beroperasi dalam rimba raya partai politik. Presidensialisme hasil pemilu 2019, beroperasi dalam topangan buta mayoritas partai di DPR. Tetapi memang demokrasi selalu begitu. Demokrasi tak dapat memaksa parpol untuk tertib tunduk pada pesan-pesan arif pembuat UUD. Hasilnya? New normal. Mengerikan. Hak budget, yang merupakan mahkota DPR dimanapun di dunia ini, dilepas dengan senang hati. Mungkin juga sukacita. Presidenalisme bekerja superefektif, mendekati tak terbatas. Presidensialisme dibiarkan bekerja secara independen. New normal, tak memungkinkan DPR diminta. Misalnya, mengoreksi iuran BJPS, juga harga minyak. Ini new normal. Yang paling mungkin adalah memanggil doa. Berdoalah agar tampilan persekutuan angkuh ala demokrasi busuk ini berubah. Tidak semakin membuat suram tata negara ini. Tak usah dikuasi ketakutan. Tapi mari berdoa semoga “new normal” tidak terus-terusan membuat “kritik terhadap pemerintah disamakan dengan memfitnah, menghina, lalu dipenjara”. Berharaplah kepada Allah Subhanahu Azza wa Jalla agar DPR dan Presiden tahu bahwa impian bernegara secara modern, berutang banyak pada norma hukum alam tentang kemuliaan manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hukum alam menggariskan, manusia tidak bisa direndahkan untuk alasan dan kepentingan apapun. Ini memompa energi kemanusiaan Sir Edward Coke, yang kala itu menjabat sebagai Chief Justice of King Bens menantang raja James I. Coke lalu mengambil sudut oposisi tulen terhadap Raja James I. Raja ini telah terbakar ambisi dan keangkuhan, sehingga selalu ingin menaklukan parlemen. Ketika James I meminta kepada parlemen mengotorisasi dana sebesar E500.000, tenyata parlemen hanya menyetujui E160.000. Raja marah. Tidak cukup untuk membiayai perang dengan Spanyol. Lalu dengan hak prerogativenya, James memaksa parlemen memberi penjelasan, dan memperbesar jumlahnya. Celaka, parlemen menolak. Marah terhadap sikap parlemen, menurut Charles J. Reid dalam buku “The Sevententh-Century Revolution in the English Law, mengakibatkan James I membubarkan parlemen. Ini terjadi tahun 1621. Menariknya, hingga kekuasaannya berakhir tahun 1625, parlemen tetap tak memenuhi permintaannya. Penerusnya, Charles I yang berkuasa tahun 1626 segera merehabilitasi parlemen. Tetapi parlemen tak pernah mau tunduk prerogatifnya di bidang keuangan. Sepanjang 1626-1629, Charles mengadakan empat kali pertemuan dengan parlemen, dan setiap kali pertemuan selalu penuh badai. Indonesia Seperti Abad 17 Berakhirkah oposisi Sir Edward Coke terhadap kerajaan? Tidak. Menurut C. Perry Petterson dalam artikel The Evolution of Constitutionalism, dimuat pada Jurnal Minesotta Law Review Vol 32, Nomor 5, Coke membuat draft Petition of Rights 1628. Dalam doktrin Amerika, petition ini membatasi kekuasaan raja. Perkara yang membawa Coke berhadapan dengan James adalah kerajaan melarang Bonham, dokter lulusan Cambridge University berpraktek di London sebelum mendapat licency dari Royal Colege of Psysican. Bonhan menolak. Colege, yang menurut Act of Parliement 1610, diotorisasi bertindak atas nama kerajaan, memeriksa dan menghukum Bonham. Coke mengeritik kerajaan atas tindakan itu. Argumennya, undang-undang ini bertentangan dengan common law. Menurut Coke, UU ini harus dikesampingkan, direview karena bertentangan dengan common law. Ini terjadi 1614. (Lihat R.H. Helmolz, dalam Bonhan Case, Judicial Review and The Law of Nature, Jurnal of Legal Analisis Vol 1, Nomor 1, 2009). James I masih beraksi lagi. Atas nama prerogative, dia menghukum Edmund Peachem, anti royal. Dia dihukum mati dengan tuduhan high treason, kejahatan berat. Apa kejahatannya? Setelah mati, penyelidikan kerajaan menemukan catatan Peachem yang belum didistribusikan, apalagi dicetak. Isinya mengeritik kerajaan. Sebagaimana kritik, anda tidak menemukan kata-kata arif di dalamnya. Tetapi catatan itu membuat James I mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Kurang dari sembilan minggu setelah itu, mulai tersibak gairah parlemen menghentikan, “hak prerogatif” raja dalam bidang keuangan. Coke mengeras melawan kerajaan, karena menemukan kenyataan cara kerajaan menyelidiki, memeriksan Peachem dinilai bertentangan dengan hukum alam. Setidaknya common law. Coke berpendapat, sekalipun pengadilan berada dalam kekuasaan kerajaan, tetapi hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan secara mendalam. David Colclough, Cyntia Clegg dan sarjana lainnya menggambarkan kasus ini sebagai masalah sentral kebebasan berpendapat dan pencetakan pada abad ke-17 dalam kerangka kebebasan berpolitik. David Zert disisi lain menggambarkannya sebagai balada kebebasan berbicara pada era pertumbuhan demokrasi (Lihat Tod Butler, The Cognitive Politics of Writing in Jacobean England: Bacon, Coke, and the Case of Edmund Peachem, Pensilvania Univ. Press, 2016). Indonesia hari ini terlihat berada sangat dekat dengan praktik tipikal abad 17 itu. Mengeritik kebijakan, disamakan dengan mengeritik pribadi pejabat negara. Dengan semangat yang mirip, pemerintah menempuh cara, entah apa namanya, menangguhkan sementara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta. Demokrasi tak memberi tempat untuk bersedih. Tetapi mari ingatkan DPR untuk meresapi pesan Profesor Soepomo. Katanya pada rapat besar Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.” Semangat apa? Bukan semangat liberal, bukan pula semangat gotong royong tanpa arah. Semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat mengayomi rakyat, tanpa pandang asal-usul, kekuatan ekonomi dan sejenisnya. Itulah semangat yang didambakan Soepomo dan kawan-kawan. Sedetik saja semangat ini melayang, maka the new normal, dengan “the new norm-nya” menjadi malapetaka buat bangsa ini. Serpihan-serpihan new norma yang dihasilkan oleh new normal dibidang tata negara saat ini, untuk alasan kesehatan bangsa ini, harus dihindarkan. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.

New Normal Atau New Mortal

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (27/05). New normal tentu berbeda dengan old normal. Pak Jokowi melempar istilah ini untuk melewati eranya pandemi covid 19. Bermula tentu saja dari Kemenkes atau bahkan dunia. Namun sayngnya, pemaknaannya belum jelas. Masih kabur. Sepertinya Pak Jokowi asal "nyeletuk" saja. Sama seperti dahulu Pak Jokowi asal “nyelutuk” tentang penerapan darurat sipil. Juga pernah “nyelutuk” atau pernah juga manipulator agama. Ada up normal ada juga para normal atau abnormal. New normal itu mungkin saja kehidupan normal model baru. Mantan covid atau bersama dengan covid. Kecenderungannya "berdamai" bersama covid 19. Pak Jokowi mulai dating membuka-buka mall. Hanya Masjid saja yang masih dinggap "abnormal". Mesjid masih tutup. Dalam pilihan ini, namanya herd immunity. Suatu kebijakan yang terbilang kacau, karena Presiden lebih mendahulukan kehidupan bisnis dibanding ancaman kesehatan. “Indonesia terserah Presiden saja, “kata Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Margarito Kamis (fnn.co.id 27/05). Akhirnya, terserah mau-maunya Presiden saja lah. Mau PSBB ya silahkan. Perppu korupsi ya mangga. Darurat kesehatan juga monggo. Mau new normal lanjut. Pake para normal juga dipersilahkeun. Terserah Presiden saja. Negara dianggapnya punya Presiden ini. Rakyat mah ngga pada ngarti. Mereka cuma bisanya nrimo. Nggak menanam sayur ya oke. Terima impor sayur dari Cina, ya good saja. BPJS dinaikin, ya disuruh bahagia. Harga BBM tidak turun, juga ngga apa-apa. Yo wis, terserah bapak Presiden saja. Mau serius please. Mau planga-plongo juga ngga peduli. Sekarepe dewe wae. New normal itu diada-adakan saja. Covid 19 masih mengacak-acak perasaan manusia. Dokter dan tenaga medis masih sangat khawatir.Meraka yang ODP dan PDP belum stabil. Kalau sampai New normal gagal, Presiden harus ambil risiko. Siap dengan segala resiko ya. Jangan salahkan siapa-sipa. Jangan juga sampai Presiden salahkan rakyat atau tenaga medis. Tetapi pertanyaannya, apakah rakyat masih merasa punya Presiden ? Yang ada seleb yang dipaksakan muncul dan disubur-suburkan. New normal itu sama saja mendeklarasi sudah tidak ada lagi bencana nasional. New normal itu menyelesaikan PSBB. New normal adalah ilusi tentang situasi yang sudah kembali normal. Seperti di negeri khayalan. New nor mall adalah pastinya. Mall yang resmi dibuka dimana-mana. Kepentingan pengusaha yang didahulukan. Mahfud MD masih saja teriak-teriak agar Masjid tetap tutup. Mengaitkan dengan Iran yang ribuan jamaah masjid mati tertular. Tidak relevan sebab di Iran juga banyak pejabat yang mati juga. Lagi pula, kehidupan beragama kaum syi'ah Iran itu berbeda dengan kaum muslimin pada umumnya di dunia. Bedanya seperti langit dan bumi Sekarang Pak Mahfud MD cobalah teriak soal kebijakan new normal yang membuka mall, bandara, atau lainnya. Tegur dong Pak Presiden kalau berani. PSBB yang diinjak-injak demi bisnis yang harus hidup. Menkopolhukam harus berlaku adil bagi seluruh warga negara. Ketika Covid 19 belum tuntas teratasi, maka belum waktunya untuk kebijakan new normal. Pilihan masih berat. Jangan-jangan karena tergesa gesa melangkah dengan new normal, justru yang terjadi adalah new mortal. Kebrutalan baru. Kematian baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mengapa Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi? Tahukah Siapa Pemiliknya?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Maaf saya menyangsikan tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi dalam rangka persiapan "New Normal" pasca pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Baiklah, sebelum membahas itu, saya awali uraian ini dengan menjawab pertanyaan atas judul tulisan ini. Ya, mengapa Presiden Jokowi hari Selasa siang (26/5) tiba-tiba mendatangi Mall Summarecon Bekasi? Padahal di Bekasi paling tidak ada dua mall besar lainnnya yang terletak di lokasi strategis yakni Metropolitan Mall dan Grand Metropolitan. Tahukah Anda siapa pemilik Summarecon Mall Bekasi? Dia adalah pengusaha properti Sutjipto Nagaria (79). Sutjipto adalah pendiri sekaligus pemilik PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Selain di Bekasi, produk perusahaan properti yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini juga terdapat di Kelapa Gading Jakarta Utara, Serpong Tangerang, dan Bandung Jawa Barat. Keberadaan mall yang dibangun Summarecon merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari produk properti lainnya yakni kawasan perumahan dan apartemen yang dibangun secara terpadu dalam satu kawasan. Mari kita lihat kinerja keuangan perusahaan properti ini. Pada tahun 2019, pendapatan PT Summarecon Agung Tbk sebesar Rp 5,94 Trilyun sedangkan laba bersihnya Rp 514 Milyar. Sedangkan liabilitas (utang) perseroan sepanjang tahun 2019 naik 5,2 persen menjadi Rp14,99 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp14,23 triliun. Jajaran Orang Terkaya Meski utang perusahaan besar, tahun 2015, Sutjipto Nagaria pernah masuk dalam jajaran orang terkaya versi Forbes dengan total kekayaan 400 juta dollar AS atau Rp 6 Triliun dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS. Kembali pada kunjungan Presiden Jokowi. Sebenarnya ada wabah atau tidak ada pandemi Covid19, kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi telah memberi manfaat langsung dan keuntungan bagi perusahaan. Jika melihat perdagangan di BEI hari Selasa (26/5), harga saham PT Summarecon Agung Tbk naik 4,31 persen menjadi Rp 436 per saham. Berdasarkan pengalaman saya sebagai wartawan ekonomi selama 20 tahun khususnya liputan di bidang properti, naik turunnya harga saham selain ditentukan faktor teknikal juga dipengaruhi faktor psikologis. Dalam situasi pasar keuangan global yang sedang lesu seperti saat ini, kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi telah memberikan sentimen positif terhadap kenaikan saham Summarecon Agung. Dari sisi teknikal, nyaris tidak ada faktor positif yang bisa mendorong kenaikan harga saham PT Summarecon Agung. Mengapa ? Karena secara umum industri properti saat ini juga sedang lesu. Kini penjualan berbagai produk properti pada umumnya menurun. Penjualan rumah, apartemen, kondominium serta produk properti komersial lainnya, sekarang sedang menukik tajam. Dalam situasi wabah Covid19 ini, masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan sandang ketimbang keperluan papan (perumahan). Keadaan tersebut diperparah dengan pemberlakuan PSBB. Sebab dengan adanya PSBB, hampir semua pusat perbelanjaan modern juga harus tutup kecuali untuk tenant yang menjual kebutuhan pangan. Oleh karena itu sekali lagi saya agak meragukan tujuan kunjungan Presiden ke Summarecon Mall Bekasi dalam rangka persiapan pemberlakuan "New Normal" pasca PSBB. Apalagi Menko Polhukam Mahfud MD sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara menyatakan kebijakan “New Normal” di tengah pandemi virus corona (Covid-19) baru sebatas wacana dan belum ada keputusan resmi dari pemerintah. "Sekarang ini pemerintah, saya katakan sebagai Menko Polhukam, ada wacana, belum keputusan wacana bagaimana tentang new normal ini," kata Mahfud dalam sambutannya di acara Halal bi Halal IKA UNS yang disiarkan di kanal Youtube Universitas Negeri Sebelas Maret, Selasa (26/5). Kalau kebijakan “New Normal” masih wacana, lalu tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi untuk apa? Apalagi perpanjangan pemberlakuan PSBB di Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota Depok dan Kota serta Kabupaten Bogor baru akan berakhir tanggal 29 Mei 2020. Memang seharusnya PSBB di lima wilayah kota dan kabupaten Bodebek itu berakhir Selasa (26/5/2020). Namun, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melalui Keputusan Gubernur yang ia teken pada 19 Mei 2020 meminta agar PSBB wilayah Bodebek menyelaraskan diri dengan periode PSBB Jawa Barat. "PSBB Tingkat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam rangka Percepatan Penanggulangan Covid-19 dilanjutkan dengan skala proporsional sampai dengan tanggal 29 Mei 2020," tulis Ridwan Kamil sebagaimana diberitakan portal berita Kompas. Dari kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi, terkesan penguasa bersikeras untuk sesegera mungkin memberlakukan “New Normal” (baca membuka mall). Padahal, kurva belum melandai? Padahal kebijakan yang sekarang saja amburadul? Menurut Ustadz Yudha Pedyanto, sejatinya “New Normal” adalah tuntutan para kapitalis dan pemilik modal. Mereka tidak mau terus merugi. Para pemilik mall, para pemilik jaringan hotel besar, para pemilik maskapai penerbangan, para pemilik raksasa migas, mereka yang selama ini "sakratul maut" akibat pandemi berusaha untuk bangkit kembali. Tentu saja mereka tinggal menekan para penguasa beserta kroni mereka. Toh mereka dulu jadi penguasa lewat pemilu yang kemarin di-support penuh oleh para kapitalis tersebut. Wallohualam bhisawab. Penulis Wartawan Senior.

RUU HIP Membuat Negara Terancam Bubar

By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Selasa (26/05). Tulisan ini adalah ringkasan surat berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP), yang saya layangkan 12 Mei 2020 kepada para Ketua Fraksi di DPR RI. Bila disahkan menjadi UU, hemat saya, akan sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan luhur kita akan buyar dan Indonesia terancam bubar. Masyarakat wajib hukumnya untuk mengetahui RUU yang sangat membahayakan bangsa dan negara Indonesia ini. Tidak boleh tidak tahu. RUU ini saya sebut saja “RUU HIP”. Sedikitnya ada lima alasan utama dan mendasar kenapa RUU HIP mutlak harus ditolak. Pertama, alasan untuk membentuk UU HIP terasa sangat mengada-ada. Dalam konsideran RUU HIP disebutkan, “UU HIP perlu dibentuk sebab belum ada UU dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila sebagai landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945”. Sangat aneh. Apakah selama 74 tahun Indonesia merdeka, penyelenggara negara melaksanakan tugasnya dengan tanpa landasan hukum Ideologi Pancasila? Lalu, apa artinya “Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara”? Atau, apakah hukum dan perundang-undangan yang berlaku selama ini tidak sesuai dengan Pancasila ? Bukankah semua pejabat negara disumpah untuk setia dan melaksanakan Pancasila ? Bukankah HTI “dibubarkan”, dan FPI tidak diperpanjang tanda terdaftarnya karena persoalan ideology Pancasila ? Alasan ini sungguh-sungguh membingungkan dan menyesatkan. Pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, adalah UUD 1945 itu sendiri. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar bagi tata kelola sekaligus penunjuk arah atau haluan pembangunan Negara Indonesia. UUD 1945 dilahirkan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Batang tubuh UUD 1945 seluruhnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nila jiwa dan semangat Pancasila, dalam bentuk UU sebagai landasan hukum bagi mencapai tujuan bernegara. Oleh sebab itu, UUD 1945 adalah merupakan “Haluan Ideologi Pancasila. Dus, tidak perlu dan tidak butuh adanya UU HIP. Kedua, kehadiran UU HIP dapat menimbulkan kekacauan tata hukum nasional. Secara hirarki, UU HIP seharusnya ada di bawah UUD 1945. Konsideran untuk membentuk UU HIP adalah berupa Ketetapan-ketetapan MPR, sehingga UU HIP boleh diartikan sebagai derivasi dari Ketetapan-Ketetapan MPR itu . Dilihat dari objek hukumnya, yaitu Pancasila yang diundangkan sebagai haluan ideologi, UU HIP dapat dipandang sebagai “Makna Pancasila”. Dalam penerapan, kedudukannya bisa setara dengan UUD 1945. Bahkan dapat berada di atas UUD 1945, karena UU HIP dapat dimaknai sebagai Pancasila itu sendiri. Dengan demikian UU HIP dapat menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Bahkan UUD 1945 pun harus tunduk pada UU HIP, karena berada di bawahnya. Bagaimana realitasnya nanti, akan sangat tergantung pada penafsiran yang dibuat oleh penguasa. Ini sangat berbahaya. Pandangan saya ini tergambar jelas pada BAB II pasal 4 RUU HIP tentang fungsi Haluan Ideologi Pancasila, yang sesungguhnya adalah merupakan fungsi dari UUD 1945. Inilah bunyi Pasal 4 tersebut, Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi sebagai : Pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mewujudkan mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan; Ketiga, RUU HIP ini sungguh-sungguh sangat aneh. Di dalam konsideran tidak disebutkan legalitas Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Yang demikian ini mengakibatkan ketidakjelasan tentang Pancasila yang menjadi objek yang akan diundangkan. Bicara Pancasila, tentu saja kaitannya dengan dasar falsafah negara. Dengan demikian, harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Hal ini dipertegas kembali dalam Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998, khususnya pada Pasal 1. Dasar hukum Berlakunya Pancasila dan UUD 1945 saat ini, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh karena itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wajib masuk dalam konsideran. Yang demikian itu, agar jelas dan teranglah Pancasila yang mana yang dimaksud oleh RUU HIP itu. Perdebatan-perdebatan akademik dan demokratis di dalam Majelis Konstituante menjelang lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, juga akan memberi keterangan yang lebih jelas tentang Pancasila yang dapat diterima semua golongan bangsa ini. Maka, mengabaikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam melahirkan UU apa pun soal Pancasila adalah cacat hukum. Tidak sah dan akan berujung pada kekacauan. Konsideran penting yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, sehingga diterima semua kalangan adalah : “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Apa makna konsideran tersebut ? Perdana Mentri Djuanda, Kepala Pemerintahan saat itu menjelaskan bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (lihat Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakiem : Biografi Mohammad Natsir, 2019). Keempat, pada Pasal 6 ayat (1) RUU HIP disebut bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pada Pasal 7 ayat (2), Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pada ayat (3),Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Pasal ini membuat keanehan yang sangat serius. Pancasila apa yang dimaksud oleh RUU HIP, yang memiliki sendi pokok keadilan sosial dan ciri pokoknya adalah dapat diperas menjadi Trisila dan selanjutnya Ekasila, yaitu gotong-royong? Jika yang dimaksud adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 145, yang berlakuannya atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka sendi utamanya (kalau mau pakai istilah ini) adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah satu prinsip dari lima prinsip (Pancasila), yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan. Ia adalah mimpi bangsa Indonesia merdeka yang belum dimiliki. Simaklah baik-baik akhir aline ke 4 Pembukaan UUD 145 itu: “...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Frasa “dengan mewujudkan” memberi arti bahwa keadilaan itu adalah sesuatu (mimpi yang belum terwujud) yang masih harus digapai. Bagaimana menjadikan sesuatu yang masih ada dalam mimpi sebagai sendi? Perdebatan di BPUPKI pada persidangan 29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan di Majelis Konstituante hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sesungguhnya bertumpu pada “posisi Tuhan dalam negara”. Pada waktu Sidang BPUPKI, golongan nasionalis sekuler menghendaki negara ini berdasarkan sekuler, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi masing-masing. Tidak dibawa ke dalam urusan bernegara. Ketika itu golongan Nasionalis Islamis menghendaki berdasakan Islam, dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama). Perdebatan ini terjadi karena masyarakat pada masa sebelum merdeka pun, telah memiliki Tuhan dan menjadikan-Nya sebagai tempat bergantung satu-satunya. Tinggal lagi, dimana Tuhan Yang Maha Segala itu ditempatkan dalam berbangsa dan bernegara? Itulah soalnya. Kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara itu ialah rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 yang terjadi pada 18 Agustus 45, yakni rumusan Piagam Jakarta minus tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negara bukan berdasarkan Islam, tapi juga bukan berdasar sekuler. Tuhan di tempatkan sebagai Causa Prima. Istilah ini datang dari Bung Karno. Tuhan menjadi jiwa seluruh sila dari Pancasila, termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah kesepakatan luhur yang diterima semua komponen bangsa dengan suka cita ketika itu. Jadi, negara ini lahir atas dasar kesepakatan. Landasan falsafah negara merupakan kesepakatan bersama. Menjadi titik temu, common platform bagi semua aliran politik yang ada. Sendi pokok landasan falsafah negaranya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan Trisila. Bukan pula Ekasila dan Gotong-royong. Maknya DPR jangan ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng. Negara ini akan tetap teguh dan eksis bila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ditempatkan sebagai Causa Prima. Sebagai yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila. Akan bubar, bila posisi Ketuhanan Yang Maha Esa digeser atau dikerdilkan. Itulah arti sendi Utama. Berbeda dengan keadilan sosial, sebagai cita-cita bangsa, bila belum tercapai. Tetapi bukan karena kedzaliman penguasa, negara tidak akan bubar. Selanjutnya, ciri pokok (kalau juga mau menggunakan istilah ini) rumusan final Pancasila sebagai termaktub dalam Pembukaan UUD 145, adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila. Merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dan tidak boleh diperas-peras menjadi Trisila. Apalagi Ekasila. Pemerasan Pancasila menjadi berapa sila pun akan menghancurkan Pancasila itu sendiri. Juga menghancurkan kesepakatan luhur kita dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila , yakni Gotongroyong adalah gagasan Bung Karno pribadi, yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Itu bukan kesepakatan. Melainkan baru berupa usulan dari Bung Karno seorang diri. Sama dengan usulan-usalan lain yang disampaikan oleh para tokoh lainnya. Jadi, RUU HIP menggunakan objek Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Pancasila yang masih berupa usulan. Pancasilan yang masih gagasan di awan-awan. Bila disahkan menjadi UU, maka UUD HIP akan kehilangan konteks hukum di negara Indonesia. Itulah yang saya sebut tidak sah. Para anggota DPR RI yang terhormat sedang menyeret bangsa ini ke masa-masa sebelum merdeka. Masa-masa perdebatan tajam soal dasar falsafah negara. Tepatnya masa-masa persidangan di BPUPKI. Para anggota DPR RI sedang mengurai benang yang telah ditenun menjadi kain oleh the founding fathers menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali. Maka dalam hal ini, para angggota DPR RI telah dengan sengaja melanggar konstitusi. Menghianati kesepakatan luhur bangsa tentang Pancasila. memanipulasi isi dan ruh Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dengan isi Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Artinya, casing tetap Pancasila tapi isinya telah diganti oleh para anggota dewan. Ini kejahatan yang membahayakan nyata kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik Ideologi akan membara dan NKRI bisa bubar. Setidaknya, Indonesia akan tumbuh menjadi negara lain yang berbeda. Yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya . Casingnya tetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain. Sama juga artinya Indonesia sudah bubar. Kelima, Tuhan dalam RUU HIP telah dikrangkeng, lalu menghilang. Tuhan adalah sub ordinat dari kebudayaan. Ini benar-benar gelo, ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng. Coba lihatlah Pasal 7 ayat (2), “Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Pertanyaannya, Tuhan siapa yang berkebudayaan itu wahai anggota DPR yang ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng? Apakah kita akan mengukur sifat ketuhanan dengan kebudayaan ? Tuhan dikerangkeng dalam Trisila. Selanjutnya menghilang di Ekasila. Tidak salah bila banyak pihak mencurigai RUU HIP ini berbau komunis. Kalau begini rakyat harus siaga satu. Terlalu banyak alasan untuk menolak RUU HIP ini. Tetapi lima poin di atas kiranya cukup bagi anggota dewan untuk tidak mensahkannya menjadi UU. Saya mengajak para tokoh masyarakat kaum intlektual dan pimpinan Ormas yang setia pada Pancasila untuk bersama-sama menolak RUU HIP ini. Penulis adalah Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI

Indonesia Terserah Presiden Saja

By Dr. Margarito Kamis Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Ilham. Allahu Akbar Kabira, Walhamdulillahi Katsira, Wasubhanallahi Bukratau Wa’asila. Lailaha Illallah Wala Na’budu Illa Iyahu. Muhlisina Lahuddina, Walaokarihal Kafirun, Walau Karihal Munafikun, Walau Kahiral Musrikun. Lailaha Ilaha Illallahu Wahdah, Shadaqa Wahda, Wanasra Abdah, Wa A’zzazundah, Wahdamal Ahda Bawahdah. Lailaha Illallah Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Hamdu. Jakarta FNN – Senin (25/05). Pembaca FNN yang berbahagia. Selamat menggapai fitri dihari hebat ini. Sistem presidensial yang bekerja di tengah demokrasi, harus diakui memiliki keunikan. Perpaduan ketat dua sistem ini, sedari awal bukan menghasilkan, tetapi membuat presiden menjadi satu-satunya figur tak tertandingi. Ia tak tertandingi pada hampir semua aspek bernegara, suka atau tidak. Presiden-presiden hebat di negara demokrasi menggunakan semua atribut yang disediakan sistem, baik politik maupun hukum. Berbasis sistem, presiden, selalu bisa dan begitu kenyataannya, mengabaikan pendapat kritis yang menghendaki pemerintah harus begini dan begitu. Sejarah perpaduan dua sistem ini menunjukan presiden bisa menggunakan pendapat dari kelompoknya saja. Dan disisi lain, presiden bisa dan secara sadar mengabaikan pendapat dari kelompok lain, tentu bila memiliki bakat itu. Landscap sejarah itu sebegitu kayanya dibelahan dunia lain yang lebih dahulu mempraktikan dua sistem ini. Asumsi Pembuat UUD 1945 Presiden diasumskan oleh pembuat UUD 1945 sebelum diubah, merupakan pancaran kearifan, pengintegrasi, dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia. Asumsi ini khas Indonesia, integratif. Presiden berada dipusat seluruh soal bernegara. Semua soal berbangsa dan bernegara menjadi tanggung jawabnya, suka atau tidak. Sekedar mengelola? Tidak. Sebagai orang arif, pengintegrasi dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia, pekerjaan presiden harus mencerminkan parpaduan unsur otak dan hati. Presiden harus menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia diatas kepentingan apapun, termasuk investasi. Dalam UUD 1945 sebelum diubah, asumsi itu menghasilkan skema struktur kekuasaan dengan Presiden berada dipuncak kekuasan dibawah MPR. Asumsi ini bekerja dengan cara memberikan kekuasaan membuat UU kepada Presiden. Tidak itu saja, urusan penggajian, infrastruktur pengadilan juga diletakan dalam lingkungan kekuasaan Presiden. Sangat arif. kendati bekerja dengan asumsi presiden orang arif, para pembuat UUD 1945 tak berhenti di situ. Mereka, pembuat UUD 1945 menyediakan cara hebat mengendalikan dan mengontrol presiden. Apa cara itu? Sala satunya adalah menyediakan garis besar haluan daripada negara, GBHN. GBHN dirumuskan dan dibuat oleh MPR, lalu dimandatkan kepada Presiden untuk dilaksanakan. Presiden dengan demikian dipandu, dituntun oleh MPR, yang merupakan representasi seluruh bangsa Indonesia. Hebat betul kreasi para pembuat UUD 1945. Para pembuat UUD 1945 tidak menyediakan impeachment, sebagai cara yang bersifat represif, dengan menyediakan kemungkinan presiden diberhentikan dalam mengontrol presiden. Tidak. Para pembuat UUD 1945 menyediakan cara lai. Cara politik, yang menurut Profesor Ismail Suny, salah satu guru saya, memiliki sanksi. Cara itu adalah meminta pertanggung jawaban presiden atas kondisi bangsa. Dalam hal keterangan-keterangan presiden yang diberikan kepada MPR, tentu dalam sidang istimewa- apabila tidak diterima MPR, maka MPR dapat menjatuhkan sanksi. Sanksinya bisa berupa menarik mandatnya MPR. Lalu memberhentikan Presiden. Mengagumkan cara berpikir para pembuat UUD 1945. Presiden, menurut skema konstitusional ini, diberi atribut sebagai orang tertinggi di antara organ-orang yang sejajar di negara, tetapi tidak boleh aneh-aneh. Presiden harus, bersifat absolut. Dari waktu ke waktu beri kepastikan MPR bahwa ia selalu berada dalam track GBHN. Tidak bisa di luar itu. Presiden harus, dari waktu ke waktu, menampilkan eksistensi pemerintahannya sebaik-baiknya. Harus benar-benar menampilkan dirinya sebagai orang arif, pengintegrasi, bapak bangsa yang besar ini. Sayang, sejarah perjalanan bangsa hebat ini merekam sangat jelas patahan mematikan atas asumsi mengagumkan itu. MPR sepanjang tahun 1960 hingga tahun 1966 bekerja dibawah kendali Presiden. Kala itu Presidennya Bung Karno, pria pintar yang terkenal kokoh dengan pendirinnya ini. Apalagi sepanjang tahun-tahun itu, Bung Karno tidak lagi memiliki mitra tanding pikiran kritis yang produktif. Masyumi, partai Islam paling cemerlang urusan akuntabilitas dan responsibilitas, serta paling cerdas dan gigih melintas di atas Rule of Law, telah dipukul telak oleh Bung Karno. Masyumi telah dibubarkan Bung Karno awal tahun 1960. Tahun 1967 Bung Karno resmi kehilangan kekuasaanya. MPR melalui Sidang Istimewa memberhentikan dirinya dari Presiden. Berubahkah keadaan penyelengaraan negara? Paradoks hebat segera menandai perkembangan sesudahnya. Bangsa terlihat nyata tak mampu menjadikan sejarah sebagai guru terbaik. Betul bermunculan begitu banyak gagasan yang berinduk pada rule of law dan demokrasi kala itu. UUD 1945 dan Pancasila dimurnikan. Tata hubungan antar Lembaga Negara dibereskan. Gagasan hak asasi manusia segera naik ke permukaan. Seminar dimana-mana, dan draf TAP MPR tentang HAM berhasil disiapkan BP MPR. Hasilnya? Daniel Lev, Indonesianis dari Seatle University Amerika Serikat, sedari awal telah memperkirakannya. Indonesia, dalam identifikasinya tidak akan cukup dekat pada demokrasi. Mengapa? Masyumi, yang dalam identifikasi keilmuannya sebagai satu-satunya partai yang paling jelas berpegang dan mengamalkan gagasan rule of law, tidak diberi tempat untuk hidup kembali. Itu soal terbesarnya. Persis seperti Bung Karno, presiden baru juga tidak akan mendapat mitra tanding kritis. Terlepas dari soal itu, tanda-tanda awal negara ini hanya akan melanjutkan praktik mirip Bung Karno. Presiden tetap akan berada di puncak semua kekuataan politik dan organ negara. Ini terlihat sedari awal babak baru ini. Pada sidang MPR penetapan Pak Harto menjadi pejabat Presiden misalnya, Pak Harto tidak bersedia mengucapkan sumpah dihadapan Sidang MPR yang dimpimpin Pak Nasution. Sejak saat itu, sebenarnya masa-masa panjang sesuahnya telah ditentukan dan ditetapkan. Suka atau tidak, cukup jelas Indonesia sesudah itu. Indonesia memang bukan Pak Harto, tetapi Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh Presiden. MPR, dalam kenyataannya tidak lebih hanya sekadar tukang cap terlatih atas gagasan Presiden. Hingga sepuh kalipun, MPR masih tidak menemukan kreasi gemilang dengan paduan kearifan besar bangsa ini untuk mengakhiri kekuasaan Pak Harto. Aneh? Tidak. Itulah politik. Jalan GBHN Tumpukan sejarah itu, seperti terekam dalam perdebatan anggota Panitia Ad Hoc I dan III Badan Pekerja MPR. Yang benar-benar menginspirasi MPR hasil pemilu 1999. Apalagi gema demokrasi dan rule of law di jalanan begitu mengharu biru. Ini menjadi energy terbesar yang berhasil meyakinkan MPR. MPR pun bergerak cepat. Penuh gairah, entah terasa grasa-gurus atau tidak, memasuki UUD 1945, yang telah teridentiikasi sejumlah pemikir liberal sebagai UUD otoritarian. Tidak bisa diandalkan membawa Indonesia ke kamajuan. Hars diubah. Identifikasi falsifikasi ini ditelan bangsa Indonesia. UUD 1945 akhirnya memasuki fase harus diubah. Presidensialisme mau dimurnikan. Begitu gema awal pemikiran MPR tentang sistem Presidensial. Awalnya untuk hanya membatasi masa jabatan presiden, ternyata tak cukup untuk berhenti disitu. MPR bergerak jauh sekali, dan mengubah banyak hal. Terpukau tanpa bekal yang cukup atas gagasan presidensialisme dan praktiknya yang berabad-abad di Amerika, negeri penemu sistem ini. MPR merancang sistem Presidensial. Kekuasaan membentuk UU yang pada UUD 1945 sebelum diubah diletakan pada Presiden, diubah. Kekuasaan itu dialihkan ke DPR. Hebat? Tidak juga. Sama sekali tidak hebat. Mengapa? Presiden, menurut UUD 1945 yang baru diubah ini, diberi hak ikut bersama DPR membahas UU. Konsekuensinya, bila Presiden tidak mau ikut bahas UU, maka dengan siapa DPR membahas UU? MPR yang semula jadi lembaga tertinggi, dipreteli habis. Hanya disetarakan dengan Presiden. Tersipu dengan gagasan presidensialisme konyol khas Amerika. Tersipu pula dengan demokrasi tipu-tipu juga khas Amerika. MPR lalu meneksplorasi gagasan penyetaraan organ kekuasaan. Berhasil. MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan lainnya, semuanya, disetara. Atas nama kesetaraan, GBHN juga dihilangkan. Begitulah cara MPR memastikan negara ini bergerak maju di garis demokrasi dunia. Padahal demokrasi, dalam tampilan praktisnya di Amerika, justru membuat Presiden menjadi satu-satunya entitas kekuasaan, yang tak tertandingi dalam semua spektrumnya. Boleh saja presiden, dalam lalu lintas keilmuan klasik khas John Locke dan Montesqueu, dinyatakan sekadar pelaksana UU. Tetapi dalam praktinya di Amerika sekalipun, justru berbeda. Presiden, dengan semua atribut konstitusi, yang sebagian besar tak jelas, atau diambil di luar UUD, justru tampil sebagai pemberi defenisi, pengarah, perancang, penentu utama jalannya negara, siapapun presiden itu. Kenyataan ini yang menjadi katrakter kepresidenan Indonesia dalam tahun ke-20 pelaksanaan UUD 1945 yang liberal ini. Presiden, telah muncul menjadi pengarah utama, dan pendefenisi utama jalannya negara ini. Hampir semua aspek bernegara, terserah presiden. Apa katanya, itulah Indonesia. Kebijakan iuran BPJS yang dinilai ngawur. Perpu Corona yang ngaco. Rencana perpindahan ibu kota yang terus eksis. Konsistennya kebijakan TKA asal China. Penanganan corong yang cukup membingungkan. Semuanya sedang terjadi saat ini. Suka atau tidak, merupakan pantulan resmi sistem ini. Pembaca FNN yang budiman, dimana urusan rakyat dan dimana urusan korporasi dalam sistem ini? Sejarah mencatat korporasi selalu menjadi prioritas utama kebijakan negara. Karena mereka punya fulus yang tak terbatas. Dewa demokrasi itu korporasi dan uang, fulus, hepeng, pipi dalam bahasa Ternate. Demokrasi kaya dengan gerak tipu-tipu. Franklin Delano Rosevelt yang dihormati begitu banyak ilmuan tata negara dan politik sebagai Presiden, dalam kampanyenya memukau rakyat Amerika dengan gagasan anti bank. Padahal dia, dalam identifikasi terpercaya Anthony Saton pada buku “Wall Street and FDR” adalah orangnya Wall Street. Du Ponts dan Rockefeller adalah dua kontributor dana terbesar dalam rallynya FDR menuju kursi presiden 1933. Begitu Herbert Hover, yang semasa pemerintahannya depresi ekonomi besar 1929-1933 berawal, tahu Du Ponts dan Rockeffeler mengalihkan dukungan ke Franklin D. Rockeffeler, dia pun segera tahu bahwa dia akan kalah. Mengapa mereka mengalihkan dukungan? Herbert Hover, yang didukunhg pada kampanye presiden tahun 1928, ternyata keras kepala. Dia tidak mau melaksanakan Swope Plan. Plan ini dibuat oleh George Swope, presiden General Electric. Disisi lain, FDR malah bersedia melaksanakan plan ini. Benar, FDR merealisasikan plan pada pemerintahnnya dengan membuat National Industrial Recovery Act (NIRA). Pembaca FNN yang dimuliakan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bagaimana bangsa ini harus menemukan jalan besar untuk bisa bermartabat dimasa datang? Hidupkan lagi GBHN. Ubah lagi UUD 1945, yang saat ini sangat liberal ini. Tata ulang relasi fungsi antara Presiden dan MPR. Pastikan bahwa Indonesia tidak terserah pada presiden. Dalam tata ulang relasi MPR-Presiden, bangsa ini harus tahu cara kerja Wall Street. Tetapi bangsa ini harus faham sindrom Walter Rathenau, perencana ulung dari Jerman, dan Bernard Baruch, perencana ulung Amerika pada masa Wodrow Wilson Presiden. Perencanaan tertata, bila tak dikawal dengan baik, Menjadi sah bila korporasi ikut menanamkan kepentinganya mereka. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Rakyat Marah Karena Pemerintah Dianggap Plin-Plan

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (25/05). Plin-plan. Itulah kesan rakyat terhadap pemerintah terkait pelaksanaan PSBB. Berawal pada bulan januari lalu, pemerintahan Jokowi tidak percaya kalau covid-19 bakalan hijrah ke Indonesia. Coloteh sejumlah menteri bikin gemes. Salah prediksi membuat rapuh pertahanan. Saat covid-19 masuk dan menginveksi. Pemerintah pimpinan Jokowi lalu gagap. Sama sekali nggak siap. Lalu bingung dan panic menjadi pemandangan yang gampang disaksikan. Sementara nyawa terus berjatuhan. Satu-persatu mati, hingga puluhan, ratusan, bahkan ribuan sekarang. Setelah didesak untuk terapkan lockdown, bahasa yuridisnya karantina, akhirnya muncul yang namanya PSBB. Meski telat dan sangat alot. PSBB merupakan yang terobosan cerdas. Walaupun akan lebih efektif jika pemerintah pusat yang mengoperasikannya sendiri. Tak menyerahkan secara teknis kepada kebijakan pemerintah daerah. Ada kesan cuci tangan. Juga ingin aman. Lepas ada kekurangan sana sini, namun PSBB cukup berhasil kendalikan penyebaran covid-19. Beberapa daerah, termasuk Jakarta, tingkat penyebaran turun. Di Jakarta, penurunan sampai pada level 0,9 - 1,2 persen. Ini bukti PSBB terukur dampaknya. Tapi sayangnya, sejak Menteri Perhubungan membuka kembali "public transportation", covid-19 jadi mengamuk lagi. Angka penyebaran naik kembali. Ratusan per hari untuk Jakarta. Secara nasional, hampir menembus angka 1.000 per hari. Tampak di pasar, mall dan bandara, kerumunan manusia padat lagi. Berjubel manusia saling menularkan virus. Dua minggu terakhir, jalanan di Jakarta pun padat kembali. Hampir tak ada lagi bedanya dengan waktu sebelum adanya covid-19. Relaksasi PSBB yang diwacanakan Mahfud MD, Menkopolhukam ini, nampaknya berhasil. Rakyat merasa bebas dan merdeka kembali. Puncaknya, ketika pemerintah pusat membuat konser covid-19. Pakai hadiah Motor Gesit lagi. Hadiah atau lelang? Menurut M. Nuh, itu hadiah. Sayangnya, motor bertanda tangan presiden tak bisa dia miliki. Keburu ditangkap polisi. Prank! Sementara di sisi lain, shalat jum’atan, shalat taraweh berjama'ah dan shalat IDUL FITRI dilarang. Selama ini, umat Islam terlihat menerima saja. Taat aturan saja. Walaupun tetap satu dua kasus ada yang nggak juga disiplin. Namun masih dalam taraf wajar. Secara umum, umat Islam patuh saja. Aturan pemerintah dimengerti, dan dinilai dengan baik. Ini demi untuk menjaga kesehatan rakyat, dan upaya mengendalikan penyebaran covid-19. Semua ingin pandemi ini cepat bisa berakhir. Namun, ketika pasar, mall dan bandara berjubel manusia. Tidak ada protab tentang kesehatan, maka umat Islam mulai marah. "Apa-apaan ini. Kami disuruh tutup masjid, dan sholat berjamaah di rumah. Sementara pasar, mall, jalan raya dan bandara bebas manusia berinteraksi." "Ini bentuk nyata dari penghianatan". Begitulah kira-kira menurut Prof. Dr. Din Syamsudin dan Aa Gym. Merepresentasikan betapa geramnya Umat Islam. Tidak hanya Umat Islam, tetapi seluruh umat beragama merasa dikhianati. Kecewa, tentu saja. Dan kekecewaan tersebut, sebagian diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Seorang kakek terlihat membongkar blokade jalan raya. Sejumlah polisi hanya diam menyaksikan ulah si kakek itu. "Hari Raya Idul Fitri adalah Hari Kebebasan, Hari Kesenangan. Ora carane kaya ngene. Iki jenenge kelakuan iblis, kelakuan setan", kata si kakek itu dalam video yang viral di medsos. Kabarnya, ada kepala desa yang digebukin warga karena melarang shalat IDUL FITRI. Kasus Habib Umar Sagaf Bangil Pasuruan Jawa Timur sempat jadi heboh. Sang Habib ini ribut sama petugas ketika ditegur karena tak mengikuti protab dalam berkendara mobil. Hingga adu fisik dengan Satpol PP. Lagi dengan di Jogja. Hampir semua ulama di Jogja sepakat untuk mengadakan shalat IDUL FITRI. Meskipun presiden melarangnya. Mereka tidak peduli. Bahkan beberapa hari sebelumnya, sebagian masyarakat Riau juga protes terhadap PSBB. Kenapa ini semua terjadi? Karena rakyat kecewa kepada pemerintah yang dianggap plin-plan dan tak konsisten dengan aturan PSBB yang dibuatnya sendiri. Apalagi, munculnya Perppu No 1 Tahun 2020 telah lebih dulu membuat curiga rakyat. Perppu corona yang telah diketuk DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020 ini dianggap oleh banyak pihak berpeluang memanfaatkan pandemi untuk korupsi. Ngeri! Sejumlah kasus kemarahan rakyat di sejumlah tempat boleh jadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan mereka kepada pemerintah yang nggak konsisten. Kemarahan ini kemudian dilampiaskan kepada obyek yang mereka temui. Kepala desa, aparat kepolisian, pengurus masjid, dan apa saja yang mereka anggap menghalangi. Dalam ilmu psikologi, ini namanya "jumping out" . Melampiaskan kemarahan kepada pihak yang tidak semestinya. Dengan sejumlah kasus yang muncul di masyarakat, pemerintah mestinya mau melakukan introspeksi. Soal yang satu ini pemerintah sering abai. Egois dan nggak mau peduli. Merasa punya kekuasaan. Pejamkan mata dan tutup telinga. Apapun sikap yang akan diambil pemerintah, semua akan ada konsekuensi politiknya. Jika situasi tak mujur, ini berpotensi jadi trigger dan bisa sangat berbahaya buat penguasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Kembali ke Fitrahnya Konstitusi Negara

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (25/05). Setelah "diacak-acak" oleh semangat demokratisasi, maka ternyata Konstitusi dikotori oleh perlilaku politik yang menunggangi. Mencuri kedaulatan rakyat untuk memperkuat pemerintahan. Sayangnya, profil Presiden yang terlihat lemah, sehingga Konstitusi yang dibuat dan dilahirkan dengan susah-payah oleh para pendisi bangsa, hanya barang menjadi mainan. Tafsir terhadap kebenaran berdasarkan konstitusi dibuat seenaknya saja oleh Presiden. Tujuanya, untuk membingkai pelanggaran dengan kepalsuan kekuasaan. Tragisnya, kesalahan yang dibuat oleh tersebut, mendapatkan pembenaran dari DPR. Contoh paling nyata, DPR membiarkan hilagnya hak budgeting terhadap APBN yang daimbil oleh pemerintah selama tiga tahun ke depan. Pemerintahan Jokowi tercatat paling parah dalam penghormatan terhadap Konstitusi. Dimulai dari kelicikan pelaksanaan Pemilu, pelanggaran HAM, hingga penyalahgunaan Perppu Corona. DPR mampu dikendalikan dengan sangat mudah. Mozaik dan konstelasinya bisa digeser geser. Kewenangan diubah menjadi kesewenang-wenangan. Kini saatnya kembali kepada fitrah Konstitusi, yakni “UUD 1945 yang asli”. UUD 1945 yang diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 yang belum tercemari oleh banyaknya kepentingan jangka pendek. New normal adalah ekuilibrium. UUD 1945 yang mengembalikan kedaulatan pada rakyat. Kedaulatan yang menempatkan wakil-wakilnya pada tempat yang terhormat. UUD 1945 yang menempatkan MPR sebagai memegang kekuasaan tertinggi negara. Presiden pun harus berada di bawah rakyat melalui MPR. Tujuannya, agar presiden tidak arogan, masa bodoh, atau hanya memperbesar kekuasaan dan kekayaan diri saja. Lima urgensi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Pertama, kembali pada filosofi berbagsa dan bernegara yang digariskan oleh "the founding fathers", baik mengenai konsepsi kedaulatan, negara hukum, fondasi perekonomian, dan sebagainya. Kedua, MPR kembali berwibawa dan menjadi lembaga yang disegani oleh Presiden. Sebab MPR yang dapat menentukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dampaknya, siapapun yang memerintah harus tunduk dan mengikuti arah yang digariskan oleh rakyat melalui MPR. Ketiga, melakukan penghematan biaya secara signifikan untuk pemilu Presiden/Wapres. Juga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya gesekan sosial di masyarakat akibat kompetisi terbuka yang bersifat transaksional. Selain itu, dapat menghindari jatuhnya korban yang besar dari Penyelenggara Pemilu, yang mendekati ribuan anak bangsa. Keempat, pengaturan tentang kebijakan strategis dapat kembali dituangkan dalam berbagai Ketetapan MPR. Tidak seperti sekarang, dimana soal "haluan ideology negara" dipaksakan menjadi konten RUU. Sangat mungkin terjadi salah kaprah, dan bisa menjadi sebab dari pembelokkan makna. Juga untuk menghindari penyeludupan edeologi komunis dan PKI. Kelima, sebagaimana Dekrit 5 Juli, yang menempelkan "Piagam Jakarta" menjadi kompromi ideologis. Maka akibatnya, kita tidak perlu lagi mundur-maju hnya untuk diskursus Pancasila dan UUD 1945. Implementasi sudah merupakan tuntutan yang prioritas, logis, dan konkrit. Kembali ke UUD 1945 adalah dasar bagi solusi memecahkan persoalan bangsa. Kembali ke UUD 1945 yang asli adalah kembali ke fitrah Konstitusi. Kembali untuk melururuskan arah dan kiblat perjuangan bangsa Indonesia. Sekaligus kembali menghormati kerja keras dari para pendiri bangsa. Kembali ke UUD 1945 adalah pilihan strategis untuk new normal politics setelah kondisi kini yang luar biasa carut-marut. Diombang-ambingkan oleh permainan kekuasaan yang sangat kasar dan bodoh. Menari-nari di tengah ketidakberdayaan dan penderitaan rakyat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Skandal M Nuh Beli Gesits: Para Konglomerat Mempermalukan Jokowi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Bukan salah siapa-siapa. Bukan salah M Nuh. Bukan salah penyelenggara konser virtual Berbagi Kasih. Dan bukan juga salah panitia lelang. Yang salah dalam skandal M Nuh gagal membayar harga lelang sepedamotor Gesits dengan tanda tangan Presiden Jokowi itu adalah para konglomerat dan para pengusaha besar yang selama ini mengaku mendukung Jokowi. Ternyata, mereka semua hanya pura-pura mendukung Jokowi. Kalau mereka betul-betul setia pada Jokowi, sepedamotor Gesits yang ditawar M Nuh seharga 2.55 miliar itu bisa dengan mudah menjadi 255 (dua ratus lima piluh lima) miliar. Kalau para konglomerat itu ikut berpartisipasi, uang segitu untuk membayar sepedamotor legendaris milik Jokowi itu menjadi tak seberapa. Toh uang itu akan disumbangkan untuk upaya penanganan Covid-19. Tetapi, mereka itu tidak ada yang peduli dengan konser amal Berbagi Kasih yang diselenggarakan pada 17 Mei 2020 itu. Mereka memilih untuk mempermalukan Jokowi. Juga sangat mempermalukan konsorsium penyelenggara konser yang terdiri dari BPIP, MPR, dan BNPB itu. Sungguh tragis. Lelang sepedamotor legendaris yang ditandatangani Jokowi itu menjadi berantakan di tangan M Nuh yang mengaku sebagai pengusaha tambang. Ke mana saja orang-orang yang punya ‘duit tak berseri’ itu? Kenapa mereka biarkan M Nuh dengan tawaran hanya 2.55 miliar? Apa yang membuat mereka berat membayar 25 miliar atau 255 miliar? Apakah mereka tidak menganggap tanda tangan Jokowi sebagai barang yang berharga? Tidakkah mereka menganggap Jokowi sebagai presiden yang paling historis sejak Indonesia merdeka? Keterlaluan sekali mereka. Dari pengalaman buruk ini, Presiden Jokowi perlu memberikan ‘pelajaran’ kepada para konglomerat yang tega membiarkan lelang Gesits dipermalukan sampai kandas. Jokowi harus meninjau ulang ‘hubungan baik’-nya dengan para konglomerat itu. Pak Jokowi wajar mengeluarkan teguran keras kepada para konglomerat itu. Sebab, ada indikasi bahwa mereka selama ini berbohong mendukung Jokowi. Mereka semua menipu Jokowi.[] 22 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)

Tragedi Lelang Motor di Konser Yang Memalukan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (22/05). Kita semua tentu prihatin di ajang kegiatan konser amal Covid 19 Minggu malam (17/05). Terjadi peristiwa diluar dugaan. Pemenang lelang M. Nuh yang menjadi peserta dengan penawar tertinggi Rp. 2,55 miliar, ternyata hanya seorang pekerja buruh. Menurut pengakuan M. Nuh, dirinya tidak memiliki uang sebesar itu. Rupanya perbuatannya hanya iseng atau salah persepsi. Disangka tebak tebakan berhadiah. Sekarang, M. Nuh sang "pengusaha" terpaksa berurusan dengan Kepolisian Daerah Jambi. Memang konser amal "Berbagi Kasih Bersama Bimbo" ini sejak awal kontroversial. Pertama, dilaksanakan di penghujung bulan Ramadhan. Pada saat umat Islam sedang berburu "Lailatul Qadar". Kedua, kurang relevan dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Terlalu jauh kalau lembaga negara sekelas BPIP dan MPR ikut-ikutan sebagai penyelenggara atau sponsor kegiatan. Ketiga, diragukan konsistensi peserta konser dalam menerapkan protokol kesehatan penanganan Covid 19. Baik itu yang berkaitan dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), maupun soal menjaga jarak diantara yang hadir. Nuh yang dalam KTP-nya berprofesi sebagai Buruh Harian Lepas, telah sukses dan berhasil mengalahkan Gabriele Mowengkang yang menawar Rp. 2,5 miliar, Maruarar Sirait Rp. 2,2 miliar dan Warren Tanoe Soedibyo Rp. 1,550 miliar. "Jadi, pemenang lelang adalah pengusaha dari Jambi bernama M.Nuh" ujar pembawa acara Choky Sitohang. Ditambah dengan uang yang dari M. Nuh, maka pendapatan konser amal Covid 19 ini menjadi sebesar Rp. 4 miliar. Yang tentu saja masih tekor, sebab bila dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan konser, yang konon sebesar Rp. 6 milyar lebih. Tekornya Rp. 2 miliar . Bimbo dan para artis lain yang ikut di acara kon ser tersebut tidak mampu menarik donatur yang memadai. Padahal Presiden, Wapres, Ketua MPR, dan para pejabat tinggi negara juga ikut "menghadiri" acara tersebut. Kemana para taipan dan konglomerat ya? Tragi sekali. Konser amal "kenegaraan" hanya mendapat dana donasi Rp 4 miliar. Itupun yang Rp 2,55 miliar dari hasil "tipu tipu". Konser serupa pernah diadakan oleh Didi Kempot sebelum meninggal dunia. Didi Kempot ketika itu berhasil mengumpulkan sumbangan dari masyarakat sebesar Rp. 5,3 miliar. Padahal tanpa keterlibatan para petinggi negara seperti Presiden atau Ketua MPR. Sebenarnya untuk mengumpulakn dana seperti ini mudah saja. Tanpa dilakukan konser pun Presiden tinggal mengumpulkan para pengusaha besar. Termasuk "naga-naga sembilan". Presiden lalu menyampaikan maksud dan keperluan untuk mengumpulkan para taipan dan konglomerat tersebut. Sangat diyakini bakal dapat dana lebih dari Rp. 4 miliar. Tanpa perlu lelang motor listrik si "gesits" itu. Mestinya memang "gesit" tapi karena "gesits", ya motornya menjadi super gesit. Jadinya blusukan ke mana-mana itu "gesit". Hingga sampai ke Sungai Asam, Pasar Jambi, untuk menemui "pengusaha" M.Nuh. Tiga pelajaran penting yang jadi bahan renungan. Pertama, apapun argumennya melaksanakan konser "kenegaraan" di akhir-akhir malam Ramadhan telah menyinggung umat Islam. Orang lagi bertadarus Qur'a. Prasiden dan Ketua MPR malah bernyanyi nyanyi. Kedua, Pemerintah Jokowi mengevaluasi diri setelah menyiapkan "tipu-tipu" dengan Perppu Corona, kini kena "tipu-tipu" oleh M.Nuh. Ketiga, lembaga BPIP dan MPR harus mulai menata ulang akan fungsinya secara nyata yang benar-benar. Lagi ditunggu dan dibutuhkan rakyat. Bukan konser. Semoga bangsa ini tidak terlalu banyak mendapat sorotan dunia, karena pekerjaan yang dilakukan Presiden, MPR dan BPIP tidak relevan, dan tidak serius. Ada meme kritis dialog dua tokoh dunia. "tahu ngga apa yang dilakukan pejabat-pejabat Indonesia untuk mengatasi Corona ???"-- "Mereka ngapain mbak ?"--"Nyanyi bareng !"--"wkwkwk ambyar". Kasus M. Nuh cukup memalukan. Terjadi di konser yang terbilang "besar". Dibilang besar, karena dengan perhatian dan kepedulian yang besar dari para pembesar negara. Jika M. Nuh memang benar-benar polos. Mungkin saja dia sedang berprasangka baik kepada Pak Jokowi. Biasanya Pak Jokowi sering membagi hadiah sepeda. Karena ini di bulan Ramadhan, mungkin Pak Jokowi mau bersedekah dengan nilai yang lebih besar. Bukan lagi dengan sepeda, tetapi dengan motor listrik "gesits". M. Nuh lalu menebak harganya, dengan Rp 2,55 miliar tersebut. Eh, ternyata dia menang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Momentum Kebangkitan Nasional, Pastikan Posisi Anda Dimana?

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (20/05). Hari ini 20 Mei adalah saat mengingat berdirinya Boedi Oetomo, yang didirikan Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirphusodo dan mahasiwa STOVIA. Awal bergeraknya hanya di bidang pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Setelah hadir Dr. Douwes Dekker, Boedi Oetomo diberi stempel politik dan perjuangan "tanah air". Makanya 20 Mei adalah hari Kebangkitan Nasional. Jika saat ini masyarakat dan rakyat Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional untuk melawan penjajahan, maka tentu saja sangat relevan. Akan sangat aneh jika Pemerintah yang memperingati Kebangkitan Nasional. Menjadi tidak relevan. Sebab masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan rakyat Indonesia hari ini adalah berhadap-hadapan dengan Pemerintah, yang kebijakan nasionalnya justru tidak berpihak pada kaum "priboemi". Investasi asing yang lebih digalakkan. Cina dari khususnya. Buat apa ada BPIP dengan Dewan Pengarah terdiri dari para tokoh bergaji besar.Tak seimbang dengan kerja mereka. Apalagi kerjanya bikin konser amal. BPIP ko berubah menjadi organisiasi yang cuma mengorganisir kenser amal untuk mengumpulkan dana? Kecil dan rendah sekali lembaga sekelas BPIP, yang nama lengkapnya “Badan Pembinaan Ideologi Pancasila” itu BPIP harus mulai mengadakan penataran-penataran untuk membangun kembali jiwa dan rasa nasionalisme. Juga membangun keyakinan ideologi Pancasila. Seperta yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan BP7 di zaman Orde Baru dulu. BPIP bukan kerjanya mempopulerkan salam Pancasila, atau bikin konser amal segala. Yang harus ditatar pertama tentang Pancasila adalah Presiden dengan para Menteri. Jajaran ini yang sekarang mengalami krisis nasionalisme dan ideologi Pancasila. Jangan melebar kemana-mana dulu. Fokus saja tentang Pancasila di Istana dan lingkaran satunya dulu. Setelah itu, BPIP harus meluruskan anggota DPR. Mulai banyak yang di senayan yang menyimpang dari pemahaman soal Pancasila. Malah menjadi terbuka dan permisif pada ideologi komunis dan PKI. DPR yang punya simpati kepada ideology komunis dan PKI tidak sembunyi-sembunyi. Sudah sangat vulgar dan terbuka. Pancasila sekarang mulai terancam oleh cara berfikir yang mundur ke masanya Soekarno. Seperti kata Soekarno, “subur subur suburlah PKI”. Gotong Royong bukan semata-mata kerja sama, tetapi ideologi yang melawan Pancasila. Biasanya disebut “Ekasila”. Luar biasa fenomena politik kini bangsa hari ini. Delapan Fraksi DPR RI tidak anti PKI dan komunisme. Kebangkitan Nasional harus dibangun kembali. Tanggal 20 Mei tahun ini harus dijadikan momentum membangkitkan kembali nasionalisme berdasarkan Pancasila 18 Agustus 1945. Bukan “Trisila dan Ekasila”. Sebab saudaranya “Trisila dan Ekasila” adalah Nasakom. Ada komunis di dalamnya. Kaum terdidik harus menjadi penyambung lidah rakyat. Jangan biarkan penjajahan datang kembali menjajah negeri ini. Belanda memang sudah tidak ada. Tetapi "Belanda berkulit sawo matang dari ras Melayu" mewarisi cara memerintah yang berwatak kolonial. Ciri penjajah berkulit sawo matang dari ras melayu itu, bangga klau bisa memeras dan menyulitkan rakyat. Senang melihat rakyat menderita. Tidak senang melihat rakyat bahagia. Karena dalam perjuangan, selalu ada saja yang jadi pahlawan dan ada penghianat. Dimanakah posisi anda? Pastikan posisi anda. Itu penting. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan