NASIONAL
Akhirnya, Semua Terima dan Puji Anies Bawesdan
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (28/04). Bagi sebagian orang, Anies dianggap musuh. Pertama, mereka yang merasa kalah di pilgub DKI. Sebagian sportif, dan mengaku kalah. Lalu melupakannya. Sebagian kecil lainnya belum bisa "move on". Kedua, mereka yang terganggu kepentingan politik dan projectnya. Siapapun yang merasa terganggu, akan melawan. Anda kalau kepentingannya terganggu, pasti juga akan melawan. Baru berhenti melawan kalau sudah terakomodir kepentingannya. Atau sudah merasa kalah. Atau mulai sadar dan waras. Ketiga, buzzer yang melihat peluang. Ada kesempatan kerja. Cukup poduksi bullyan dan ajak 30-50 orang untuk demo di balaikota. Ini cara efektif mendatangkan uang recehan. Memang gak akan kaya, tapi cukup untuk ganjal perut dalam posisi nganggur. Tiga kelompok ini akan selalu hadir di sepanjang sejarah jika ketemu seorang pemimpin macam Anies. Pemimpin non kompromis terhadap oligarki. Penghentian reklamasi, penutupan Alexis, pencabutan kelola apartemen oleh pengembang, adalah beberapa contoh kebijakan non kompromi itu. Orang bilang “Anies terlalu nekat. Berani ambil risiko”. Anies hanya salah satu contoh nyata yang bisa kita saksikan hari ini tentang tipologi pemimpin yang non kompromis. Sejarah model ini telah ada dan berulang di masa lalu. Dan akan terus berulang di masa yang akan datang. Secara ilmiah, inilah hukum sejarah Orang yang paham sejarah mengerti betul soal ini. Gak perlu kaget jika orang seperti Anies banyak musuh. Tapi, angin politik nampaknya sudah mulai berubah. Satu persatu mulai memberi apresiasi terhadap Anies. "Lakon iku menange mburi", kata orang Jawa. Artinya? Cari saja di kamus. Sekalian nyari arti "mudik" dan "pulang kampung" . Kalau sudah ketemu, gak usah diperpanjang diskusinya. Ora mutu! Saat ini, PSI mulai dukung Anies. Gak usah kaget ketika dengat Raja Juli Antoni mengajak semua anggota DPRD untuk kerjasama Anies soal memberi tempat tinggal bagi tunawisma. Covid-19 membuat sejumlah orang gak bisa bayar kontrakan. Karena itu, mesti difasilitasi. Dalam hal ini, PSI apresiasi Anies. Tidak saja PSI, Tito Karnavian, mendagri juga berulangkali memuji kinerja Anies. Tito menganggap langkah Anies terbaik dan sangat cepat dalam menangani covid-19. Tito obyektif! Apa yang diungkap Tito sejalan dengan hasil survei Median, binaan Rico Marbun. Anies berada di posisi teratas sebagai kepala daerah dalam menangani penyebaran covid-19. Mulai dari perencanaan, kecepatan dan ketepatan. Biarlah itu pekerjaan surveyer. Gak terlalu penting untuk dibahas. Yang lebih penting bagaimana sinergi pemerintah pusat dan daerah efektif mencegah penyebaran covid-19. Ini inti dan hal yang paling mendasar. Terkait dengan Anies, muncul pertanyaan, mengapa banyak pihak akhir-akhir ini mulai menerima dan mengapresiasi Anies ya? Pertama, Anies seperti benteng yang kokoh. Dihajar dan diserbu tanpa henti, tetap stabil. Sabar dan terus bekerja. Ini soal karakter dan mental. Gak mudah! Umumnya pemimpin itu reaktif saat dikritik. Dikit-dikit lapor. Lapor kon dikit? Kedua, Anies punya pola merangkul, tidak memukul. Siapapun penghina Anies, dimaafkan. "Dicaci gak tumbang, dipuji gak terbang". Kalimat ini jadi populer. Inilah prinsip yang nampaknya selalu dipegang oleh Anies. Anies sadar, risiko pemimpin harus siap dicaci, bahkan difitnah. "Nabi Yang sempurna saja difitnah, apalagi Anies. Anies itu siapa sih..." katanya. Ini ungkapan kesadaran bahwa seorang pemimpin harus siap dicaci dan difitnah. Ketiga, narasi Anies mudah dipahami dan membuat rakyat merasa nyaman. Santun dan menghargai. Jauh dari caci maki dan bahasa menyalahkan. Ngayomi! Keempat, kebijakan dan kerjanya terukur. Meski ada pihak-pihak yang hampir selalu melihatnya secara apatis. Tapi, pada akhirnya bisa dirasakan hasilnya. Anies konsisten dengan gagasan yang diyakininya. "ide, narasi, baru kerja", katanya. Pola inilah yang membuat segalanya jadi terukur. Soal penanganan covid-19, Anies bilang: "Biarlah saya dibully di medsos, asal tidak disalahkan oleh sejarah. Kita akan lihat buktinya" . Dan apa yang dilakukan Anies terkait dengan covid-19 sepertinya sudah mengungkap buktinya. Angka penyebaran covid-19 di Jakarta berangsur turun. Tgl 16/4, ada tambahan 223 orang positif Covid-19. Sepuluh hari kemudian, yaitu tanggal 26/4 penambahan turun jadi 65. Tentu, saham dan peran semua pihak tidak boleh diabaikan. Kelima, Anies tidak korupsi. Meski berulangkali dituduh korupsi. Tuduhan itu dipastikan bukan dari ICW, BPK, Kepolisian, KPK dan lembaga-lembaga anti korupsi yang lain. Lalu dari mana tuduhan itu? Tak perlu menyebut nama atau kelompok. Yang pasti, tuduhan itu lebih bersifat politis. Ini bisa ditemukan indikator politiknya. Lima fakta di atas sepertinya logis untuk mengurai kesuksesan Anies meraih apresiasi dari berbagai pihak. Termasuk dari mereka yang "semula dianggap berseberangan" secara politik. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Menakar Kebijakan Pelonggaran Moneter (Quantitative Easing) Masa Krisis
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Selasa (28/04). Akhir-akhir ini ramai dibicarakan dikalangan pengambil kebijakan perekonomian nasional mengenai suatu kebijakan pelonggaran moneter/Quantitative Easing (QE ) dalam menghadapi pemburukan perekonomian akibat pandemi Covid 19. Kebijakan mencetak uang (QE ) dianggap sebagai alternatif solusi bagi upaya mempertahankan momentum perekonomian Nasional. Cerita sukses kebijakan ini dalam mengatasi krisis keuangan global tahun 2008, serta-merta menjadi semacam “panacea” bagi krisis ekonomi yang terjadi sekarang. Kesuksesan kebijakan ini di tahun 2008 bukan saja karena berhasil menahan keruntuhan sistem keuangan global di masa itu. Tapi juga mengembalikan momentum pertumbuhan ekonomi global kearah yang lebih baik. Dan yang makin membuatnya menjadi model sukses adalah karena juga terbukti tidak berakibat pada inflasi tinggi, terutama di negara-negara yang besar-besaran melakukan kebijakan ini. Seperti Inggris dan Amerika Serikat. Mencetak uang, dimana-mana memang merupakan tugas utama bank sentral. Yang membedakan QE dengan pencetakan uang dalam keadaan normal adalah karena jumlahnya yang sangat besar, di luar “kebiasaan normal”. Mencetak uang dalam keadaan normal biasanya disebut sebagai ekspansi moneter. Kebijakan ini secara siklikal dilakukan bank sentral dalam mengendalikan perkembangan perekonomian. Di luar soal jumlah, pembedanya juga adalah penggunaan instrumen penyalur (transmisi) kebijakan moneter, dimana QE menggunakan instrumen kebijakan yang tidak lazim dalam keadaan normal. Lantas bagaimana melihat kelaikan kebijakan QE di Indonesia? Secara berkala Bank Indonesia mengeluarkan laporan pelaksanaan tugas moneternya. Secara berkala pula, laporan ini disampaikan ke DPR RI, khususnya kepada Alat Kelengkapan DPR RI yang membidangi kebijakan moneter. Yang perlu dicatat, jumlah uang beredar yang dilaporkan oleh BI itu adalah Uang dalam pengertian luas/ Uang Beredar Luas atau M2 dan Uang Beredar Sempit Atau M1. M2 adalah akumulasi uang dalam bentuk kartal (tunai), uang giral dan uang kuasi. Uang Kartal atau Mo hanya dapat dan boleh dicetak oleh Bank Sentral, tetapi uang giral dan uang kuasi dicetak oleh perbankan, dan dibeberapa negara juga dicetak oleh lembaga keuangan non bank (terutama uang kuasi). Itu sebabnya Bank Umum dapat disebut juga sebagai Lembaga Pencetak Uang Giral (LPUG). Sejak tahun 2013 hingga 2019, pertumbuhan uang beredar (M2) di indonesia mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Pada bulan Oktober 2013, Uang Beredar Luas (M2) di Indonesia berjumlah Rp. 3.576,3 rilliun. Pada Bulan Oktober 2019, Jumlahnya sdh mencapai Rp. 6.026,9 trilliun. sepanjang kurun itu terdapat penambahan Uang Beredar Luas (M2) sebesar Rp. 2.450,6 trilliun. Selama kurun itu pula, antara 2103-2019, pertumbuhan PDB rerata di kisaran 5-5,2%. Pertumbuhan inflasi pun demikian. Tercatat, setelah tahun 2013, dimana inflasi (YoY) tumbuh tinggi 8,36%, memasuki tahun 2015 hingga 2019, inflasi masing-masing 3,35% (2015), 3,02% (2016), 3,61% (2017) 3,13% (2018) 2,72% (2019). Dapat dikatakan, sepanjang tahun 2013-2019, pertumbuhan jumlah Uang Beredar Luas menunjukkan korelasi positif dengan tugas pokok BI dalam mengendalikan inflasi tanpa menimbulkan kontraksi berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesemua itu terjadi dalam situasi yang relatif normal. Tanpa suatu krisis berskala besar baik secara global maupun domestik. Patut pula dicatat, pertambahan jumlah uang beredar sebesar Rp. 2.450,6 trilliun itu merupakan gambaran kumulatif dalam kurun waktu tahun 2013 hingga tahun 2019. Yang sudah tentu didalam perkembangan bulanannya mengalami dinamika naik-turun. Secara teori, suatu kebijakan QE bisa saja dilakukan manakala terjadi deflasi persisten dalam perekonomian. Seperti yang dilakukan oleh Bank Of Japan (BOJ) sepanjang kurun waktu 1990-an hingga 2000-an. BOJ adalah pelopor kebijakan QE di era paska 1970-an. Uniknya, kebijakan yang ditujukan untuk merangsang perekonomian dengan mendorong inflasi ini ternyata tidak terlalu signifikan dalam menciptakan efek inflatoir bagi perekonomian Jepang. Alih-alih perekonomian Jepang terjebak dalam stagflasi (keadaan inflasi yang datar) berkepanjangan. Juga apabila terjadi kontraksi pada ukuran money velocity. Yaitu manakala daya ungkit (multiplier) uang mengalami pelambatan dalam perekonomian. Kecepatan pertukaran uang dalam perekonomian melambat. Yang bisa saja timbul oleh turunnya penawaran atau turunnya permintaan. Apabila dalam kuartal kedua tahun ini yang terjadi adalah penurunan bersamaan penawaran dan permintaan (supply and demand), yang saya duga kemungkinan besar akan terjadi karena efek ekonomi yang ditimbulkan oleh pendemi Covid 19 ini, maka kebijakan Quantitative Easing patut dipertimbangkan secara matang oleh BI. Kita tidak boleh mengulangi kekeliruan Rill Bill Doctrine yang menghalangi Bank Sentral AS untuk melakukan ekspansi moneter besar-besaran di tahun 1929, yang berujung pada krisis berkepanjangan yang kemudian kita kenal sebagai The Great Depression. Pada krisis keuangan global tahun 2008, QE dilakukan untuk mengatasi pembekuan likuiditas (Liquidity Freezing) didalam sistem keuangan. Pada waktu itu, pasar keuangan mengalami kegagalan berantai yang bersumber pada macetnya pasar uang antar bank. Kemacetan ini sendiri merupakan dampak dari keruntuhan instrumen pasar hutang beragunan aset (Collaterized Debt) yang merambat keberbagai instrumen keuangan lainnya. Jadi QE ditahun 2008 pada dasarnya adalah QE yang dilakukan dalam rangka mengatasi kekeringan likuiditas didalam sistem keuangan yang mengancam kestabilan perekonomian secara keseluruhan. Yang perlu dicatat adalah kebijakan QE ini bertujuan untuk menstimulasi perekonomian. Tidak lebih. Titik krusialnya terletak pada pengamatan yang dalam terhadap keadaan kinerja penawaran dan permintaan. Jadi bukan karena suatu pertimbangan di luar tujuannya. Terlebih-lebih oleh pertimbangan politik. Atau dengan kata lain, suatu pengamatan independen oleh BI berdasarkan analisis berbasis pengetahuan yang cermat (knowledge base policy) yang seyogyanya menjadi landasan kebijakan QE. Untuk itu, ada empat parameter yang mesti diperhatikan betul dalam hal ini. Pertama, jaminan korelatif antara pertumbuhan ekonomi yang diharapkan baik dalam masa menahan pemerosotan perekonomian, maupun pada masa recovery perekonomian, dengan besaran kebijakan QE yang dilakukan. Mencetak uang dalam jumlah sangat besar dalam suatu kurun waktu yang terbatas tentu mengandung resiko tidak ringan bagi perekonomian. Apalagi dalam suatu negara dengan ukuran PDB seperti Indonesia. Ekonomi kita memang sudah masuk dalam kategori “Trillion Dollar Economy”. Tapi tetap saja, dengan berbagai alasan yang tidak saya sebutkan dalam tulisan ini, kita tidak dapat membandingkannya begitu saja dengan perekonomian Jepang, Inggris atau bahkan Amerika Serikat. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya mengutip aksi moneter negara-negara tersebut bukan untuk membandingkannya secara langsung. Tapi lebih pada penekanan mengenai pentingnya peranan yang lebih luas dan bagi BI dalam penanganan krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19. Dimana fungsi BI yang dimaksudkan berakar pada pemahaman terhadap karakteristik fundamental perekonomian Indonesia. Kedua, kedalaman pasar keuangan di Indonesia. Di negara- negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar Uni Eropa (diluar negara- negara Eropa Tengah) pasar keuangan mereka sudah sangat dalam. Hingga dalam pencatatan moneter mereka, secara faktual berdasarkan aktivitas pasar keuangan, pendefinisian money supplynya hingga M4 dan M5. Menurut hemat saya, pasar keuangan kita belum seperti negara-negara tersebut. Seperti yang selalu dikemukakan oleh BI dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih dalam situasi mode dangkal (shallow mode) dalam hal pasar keuangan. Kalau parameter pertama berhubungan dengan kuantitas, maka parameter kedua ini akan berhubungan dengan saluran transmisi dan variasi program dan alat (tools) yang dipergunakan. QE dalam keadaan pasar keuangan yang dangkal, tentu akan riskan. Dan karenanya, tidak memiliki ragam alternatif saluran sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara yang pasar keuangannya sudah dalam. Sebagai akibat dari parameter pertama dan kedua, maka suatu jaminan terhadap efek hyperinflatoir dalam masa QE menjadi parameter ketiga. Kisah klasik Weimar hyperinflation menjelaskan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa mencetak uang tanpa suatu jaminan sumber daya ekonomi yang menopangnya akan sangat berbahaya. Kebijakan untuk mencetak uang yang menyebabkan devaluasi mata uang terhadap Dollar misalnya, pada batas optimalnya akan menjadi spiral terhadap inflasi. Apalagi jika suatu perekonomian begitu bergantung kepada pembiayaan hutang. Parameter yang keempat adalah ketentuan yang diatur didalam UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia. Terutama yang menyangkut dengan Neraca Modal Bank Indonesia yang dimuat dalam pasal (6 ) Undang-undang ini. Ketentuan dalam undang-undang ini membatasi neraca modal Bank Indonesia terhadap kewajiban moneternya. Neraca modal Bank Indonesia dibatasi maksimum 10% dari seluruh kewajiban moneter BI. Sebagai catatan akhir. Konsep mengenai Money Supply tidak memiliki keseragaman dalam pendefinisiannya di berbagai Bank Sentral. The Federal Reserve dalam mendifinisikan Uang Beredar Luas (M2) berbeda dengan Pendefinisian ECB (European Central Bank). Perbedaan ini terletak pada persepsi mengenai uang yang beredar dan uang yang potensial beredar di dalam perekonomian. Catatan ini bertujuan untuk memastikan agar apabila kebijakan QE pada akhirnya menjadi pilihan massif yang dilakukan Bank Indonesia. Kita tidak akan salah pengertian dalam memaknai Uang Beredar Luas (M2, M3, M4 dan M5) dalam prakteknya. Yang dapat dijadikan dasar adalah kesepakatan di kalangan Bank Sentral dalam hal penggunaan Uang Beredar Luas (M2) sebagai alat utama pengukur inflasi moneter. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon petunjuk dan pertolongan. Wallahu Alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Bedanya Ego Nasionalis dan Waras Nasionalis
Mereka yang berani meributkan pernyataan Rizal Ramli itu, sebagai pertanda bahwa mereka masih merasa sebagai Warga Negara Cina. Bukan Warga Negara Indonesia. Sehingga lebih baik disuruh pulang kampung saja ke negaranya. Jangan lagi hanya mudik (yang artinya kembali lagi ke Indonesia). Terbukti sekarang orang Cina yang seakan-akan menjadi warga negara itu, tidak tahu berterima-kasih di sini. By Hans Suta Widhya Jakarta FNN – Senin (27/04). Baru saja dituding SARA. Rizal Ramli yang begitu lugas mengkritik Cina (sesuai bahasa Indonesia, bukan China) seperti di ILC TVOne, sehari kemudian ia menetralisir tuduhan yang gencar disampaikan oleh netizen. Menurut pengamat Ekonomi yang sempat beberapa kali jadi menteri ini, bahwa yang dikritik itu Negara China, bukan Etnis Tionghoa. Lah? Inilah bedanya Ego Nasionalis yang dimiliki oleh seorang Rizal Ramli. Beda sekali dengan Waras Nasionalis yang melekat pada diri Ki Gendeng Pamungkas (KGP). KGP sejak tahun 1972, sudah kobarkan semangat Waras Nasionalisme. Waras Nasionalis yang menurut KGP, sama-sekali tidak mempunyai kepentingan kekuasaan atau ambisi murahan lainnya. Mengapa Rizal Ramli mundur atau kendur dengan ucapan awalnya sebagai Waras Nasionalisme itu? Padahal itu adalah sikap kesadaran sebagai Tuan Rumah di Bumi Nusantara ini? Jujur, saya jadi mempertanyakan sikap Rizal Ramli yang ambigu itu. Seharusnya dengan pernyataan itu, Rizal Ramli tidak perlu menguatiri banyak Warga Negara Keturunan (WNI) keturunan yang merasa tersinggung dan menganggap bahwa pernyataan RR tersebut adalah rasis. Sebab sejatinya tidak ada yang rasis dari pernyataan tersebut. Menurut saya, puncak nasionalis itu ya Rasis. Sehingga menjadi aneh, bila ada seorang pribumi yang mengritik Cina, tetapi kok ada warga keturunan di sini, yang sudah nyata-nyata menjadi warga negara kita, menjadi panas hatinya setiap kita bilang Cina atau RRC. Lucunya, mereka yang protes, saya duga sebagai pihak yang suka dan getol bicara tentang Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan sebagainya. Mereka yang berani meributkan pernyataan Rizal Ramli itu, sebagai pertanda bahwa mereka masih merasa sebagai Warga Negara Cina. Bukan Warga Negara Indonesia. Sehingga lebih baik disuruh pulang kampung saja ke negaranya. Jangan lagi hanya mudik (yang artinya kembali lagi ke Indonesia). Terbukti sekarang orang Cina yang seakan-akan menjadi warga negara itu, tidak tahu berterima-kasih di sini. Ada pepatah Minang mengatakan "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung". Ternyata pepatah ini tidak berlaku bagi orang Cina sekarang tinggal dan menjadi warga negara di Indonesia. Mentang-mentang sudah 200 tahun tinggal di sini, merasa ini negaranya juga. Pada tahun 1908 dan 1928 saja perwakilan mereka tidak ada yang ikut dalam merintis kemerdekaan bangsa nagara ini. Pantas saja Sukanto Tanoto pernah menyatakan bahwa “Indonesia hanya Ayah angkat atau ayah tiri. Sedangkan Republik Rakyat Cina sebagai ayah kandungnya”. KGP dengan Gerakan Front Pribumi yang dipimpinnya, menghimbau kepada seluruh pribumi agar pahami karakter orang-orang cina yang ada di tanah air ini. Mereka meski sudah jadi Bangsa Indonesia, tapi ternyata jiwanya tidak ikut mengakui. Mereka cuma hanya sekedar di bibir saja. Juga numpang hidup disini untuk mencari kekayaan semata. “Bila saja saya yang dipercaya menjadi Presiden bangsa Indonesia, maka keberadaan para cina-cina di sini akan diberlakukan status Warga Tamu (WT) di ujung kanan atas KTP mereka. Itu maknanya mereka Warga Tamu. Bukan pribumi asli, "ujar Ki Gendeng Pamungkas. Bila ucapan Rizal Ramli dituduh rasis dan tidak benar, maka orang cina yang ada saat ini dianggap tidak tahu berterima-kasih kepada pejuang, pendiri dan pemilik negeri ini. Andai kita suruh mereka pulang ke negara asalnya, mereka pasti merengek tidak mau pulang kampung. Karena mereka sudah keenakan mengeksplorasi kekayaan alam di sini. Mereka dibantu oleh pribumi-pribumi sampah yang bangga menjadi babu untuk cina. Penulis, Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Tranparansi Informasi Publik (KUTIP)
FAO Warning Krisis Pangan di Tengah Kegagalan Jokowi Dalam Tata Kelola Pangan!
Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - WHO dan FAO telah memperingatkan dunia bahwa Pandemi Corona akan menyebabkan krisis pangan. Soal pangan adalah sektor esensial, sektor yang mengatur kebutuhan dasar, hisup matinya manusia. Ketika tahun 2014 Jokowi berkomitmen untuk membuka lahan pertanian 1 juta hektar di luar Jawa. Namun pada tahun 2019 dimasa kepemimpinannya pembukaan lahan 1 juta hektar hanya sebuah dongeng dan cita rasa utopia. Akibatnya tingkat keberlanjutan pangan jauh lebih rendah dari Vietnam, tingkat ketahanan pangan juga Indonesian berapa di urutan ke 17 di tahun 2019. Ancaman krisis pangan bukan hanya karena Pandemi Corona tetapi sebelum adanya ancaman virus ini kita telah mengabaikan ancaman krisis pangan. Lahan panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha dari 15 juta Ha atau hampir separuh dari lahan panen padi nasional. Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan panen padi pada 2017 meningkat 4,17% menjadi 15,79 juta hektare (ha). Jumlah tersebut terdiri dari luas lahan padi sawah seluas 14,63 juta ha dan padi ladang 1,16 juta ha. Jawa Timur merupakan provinsi dengan luas lahan panen padi terbesar, yaitu 2,29 juta ha atau sekitar 15% dari total luas lahan. Menurut angka ramalan II, Jawa Timur dapat memproduksi hingga 13,13 juta ton. Provinsi dengan luas lahan panen terbesar kedua adalah Jawa Barat yaitu seluas 2,12 juta ha (13,44%), diikuti oleh Jawa Tengah dengan luas 2,01 juta ha (12,74%). Berdasarkan data tersebut, lahan panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha atau hampir separuh dari lahan panen padi Nasional. Menteri Agraria Sofyan Jalil mengatakan keberadaan lahan sawah di Indonesia menyusut tajam, sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu hektar lahan sawah berubah menjadi lahan nonsawah atau alih fungsi dari sawah kepentingan lain, jadi kawasan industri, rumah dan lain-lain. Sofyan Jalil pada Selasa (3/4/2018) seperti dikutip dari financedetik. Menurut Soyan Jalil penyusutan lahan meningkat tajam jika dibandingkan 6 tahun lalu. Sangat ironi karena 6 tahun lalu laju konversi lahan sawah menjadi lahan nonsawah sekitar 100 ribu hektar per tahun. Artinya, lajunya meningkat hingga 100 persen. Semalam di ruang perpustakaan di rumah, saya mencari buku-buku lama sewaktu kuliah di Jurusan Pemerintahan Desa di Yogyakarta. Menarik karena kembali menghidupkan memori medio 90-an di tempat kuliah yang dijuluki "kampus desa" di mana bidang studi sosiatri pembangunan masyarakat desa menjadi andalannya. Dalam berbagai hasil studi dan laporan statistik pangan menyatakan pulau Jawa adalah lumbung pangan nasional yang mensuplai 50 persen pangan nasional dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil beras tertinggi di Indonesia . Pada tanggal 22 November 2016, baru saja mendarat dibandara menangani kasus Freeport di Papua, aktivis Agraria meminta saya mendatangi Kertajatii di Majalengka dan juga Indramayu karena masyarakat dipukul, dianiaya dan disiksa oleh aparat gabungan atas perintah pemerintah pusat demi perluasan landas pacu lapangan terbang yang memasuki wilayah hunian penduduk, harta warisan budaya dan tempat-tempat keramat serta luas sawah ribuan hektar. Pada saat itu juga saya mendatangi masyarakat di Kertajati, Majalengka. Keesokan harinya saya pimpin rapat di gedung sate kantor gubernur Jawa Barat dengan menghadirkan stakeholder. Pemerintah pusat bersih keras, gubernur Jawa Barat menolak tetapi karena proyek strategis nasional, maka pembangunan, penggusuran dan penghancuran tempat hunian masyarakat Kertajati tetap di lanjutkan. Di hadapan ribuan orang di Kertajati dan juga di kantor gubernur saya mewakili Komnas HAM menegaskan bahwa Kertajati tidak bisa dilanjutkan karena Majalengka dan Indramayu Lumbung Beras yang memberi makan jutaan rakyat Indonesia. Itulah sekelumit sedikit kisah perjuangan kami karena sedari awal telah tertanam di memori bahwa Majalengka dan Indramayu pusat produksi beras sebanyak 1 juta Ton dari 30 juta ton kebutuhan nasional. Tidak dapat disangkal bahwa hari ini pemerintah berpolemik soal tata kelola pangan nasional khususnya beras. Rakyat dipertontonkan dengan sandiwara antar anggota kabinet tentang perlu tidaknya impor beras 1 juta ton, polemik tentang kepastian data/jumlah stock beras, BPS tidak mampu menghitung secara pasti angka postulat berdasarkan statistik meskipun menggunakan data berbasis geografis (geografical information system), Bulog berkeras kepala untuk tidak mau Impor beras, kementerian pertanian tidak mampu mendorong produksi pangan dan mengendalikan petani gabah dan beras, demikian pula kementerian perdagangan masih mau memaksakan Impor beras. Itulah sandiwara yang dipertontonkan oleh pemerintah Jokowi-Jk 2014-2019 Karena katidakmampuan menuntun tata kelola pangan nasional. Persoalan pangan dan soal beras adalah soal mati hidupnya rakyat Indonesia namun pemerintah kewalahan, bahkan berantam diantara mereka. Bayangkan saja untuk menghidupi 263 juta penduduk Indonesia maka kita butuh 30 juta ton berat/ tahun. Dengan kebutuhan 114 kg/kapita/tahun. Berdasaran perhitungan akhir tahun 2017, suplai beras gabah petani diperkirakan 81 juta ton atau 46 juta ton beras. Artinya kita masih memiliki surplus beras sebanyak 16 juta ton kalau itu sesuai target. Sedangkan kebutuhan beras nasional Perbulan rata-rata 2,2 juta ton. Sementara cadangan beras pemerintah hanya 1,182 juta ton. Persoalan beras tetap menjadi perhatian nasional dan akan terus menjadi polemik tahunan yang tidak akan bisa berhenti sepanjang hayat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah tidak main-main, tidak bekerja musiman tetapi perlu proyeksi suplai dan demand dalam jangka waktu yang panjang. Kecenderungan pemerintah saat inj justru soal pangan dan beras dianggap tidak menjadi penting, pemerintah lebih mementingkan soal politik dan citra diri menghadapi tahun politik. Hasilnya kita menyaksikan sendiri indeks keberlanjutan pangan Indonesia nomor tiga terburuk di dunia. memalukan! Kembali ke Majalengka dan Indramayu, bahwa pembangun bandar udara internasioanl Kertajati memang penting bagi mobilitas orang, barang dan jasa, khususnya bagi Masyarakat Jawa Barat, tetapi justru secara langsung akan mempengaruhi sumber beras nasional. Adanya pembangunan kawasan industri, pembangunan real estate, perkantoran dan dinamika mobilitas orang, barang dan jasa secara otomatis mengantarkan penduduk dari masyarakat agraris ke industri dan jasa. Demikian pula penyusutan lahan pertanian dan perkebunan menyebabkan tidak mungkin lagi menyumbang beras 1 juta ton dari 30 juta kebutuhan beras nasional. Tidak hanya Majalengka dan Indramayu juga Kerawang, seluruh pulau Jawa terancam sebagai Lumbung pangan karena Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44 persen berada di Pulau Jawa memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar, dari total persawahan di Indonesia mencapai 7,74 hektar. Meski perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya telah diterbitkan pada 2012 lalu, tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah menabrak aturan demi proyek ambisius pemerintah. Belum lagi orientasi pembangunan industri masih berbasis di pulau Jawa, ditunjang oleh pembangunan kawasan hunian, pengembangan perkotaan. pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyertai tuntutan kebutuhan ekonomi akan meningkat sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Maltus. Faktor-faktor sebagaimana diatas memberi Konstribusi bukan tidak mungkin telah mengalami penyusutan lahan pertanian yang mana 51 persen sumber pangan nasional disuplai dari pulau Jawa yang meskipun luas pulaunya hanya 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia. Kabupaten Bojonegoro dan Sragen juga mulai terancam sebagai sumber beras nasional. Bojonegoro tiap tahun juga menyumbang 1 juta ton, sementara Sragen 600-800 ratus ribu ton. Pada saat ini Sragen dalam ancaman penyusutan lahan karena konsekuensi dari pembangunan jalan Toll Semarang-Boyolali-Surakarta. Mobilitas barang, jasa dan orang yang semula melalui pantai utara mulai kecenderungan beralih melalui lintas tengah Salatiga, Sragen, apalagi pembangunan akses jalan toll Madiun-Ngawi. Kerusakan Ekosistem kart sebagaimana terjadi di pegunungan Kendeng akibat pembangunan pabrik semen di Jepara dibawah kepemiminan Ganjar Pranowo ikut memberi Konstribusi signifikan terhadap hambatan suplai air untuk kebutuhan ekonomi khususnya petani padi termasuk juga Bojonegoro meskipun berada di daerah aliran sungai bengawan Solo. Itulah beberapa ancaman dimana Jawa tidak akan bisa diharapkan menjadi daerah suplai pangan nasional khususnya beras. Salah satu dampak besar yang perlu diantisipasi adalah adanya ancaman urbanisasi akibat tingginya angkatan kerja, pengangguran dan kemiskinan yang meningkat diperdesaan tentu menyebabkan orang desa yang agraris menjadi masyarakat urban. Penduduk pedesaan yang memiliki lahan pertanian makin berkurang karena menua, akibatnya terjadi substitusi lahan dari pertanian ke jasa dan industri karena petani menjual areal pertanian mereka konglomerasi-konglomerasi yang menguasai lahan dipedesaan. Dampak besar ancaman penyempitan lahan pertanian juga terlihat dari pembangunan pembangkit tenaga listrik hampir tiap wilayah di pulau Jawa. Kabupaten Cilacap saja telah memiliki kurang lebih tiga pusat pembangkit listrik swasta dan pemerintah. Artinya kebutuhan Energi makin hari kian meningkat, tuntutan kebutuhan energi di pulau Jawa bisa saja termasuk paling tinggi termasuk di dunia. Dalam hal ini disatu sisi sangat membanggakan, namun juga membahayakan ekosistem dan sumber-sumber ekonomi berbasis pertanian perkebunan. Inilah korban dari rancang bangun pemerintah tersandera dokrin keynesian yang menyatakan bahwa pasar dan pemerintah sebagai simbiose mutualism. Pemerintah terlalu baik pada pasar tetapi pasar selalu egois mengejar keuntungan menyebabkan pemerintah selalu kalah dan ketinggalan untuk berbuat baik bagi rakyat. Konsep pembangunan kemitraan antara swasta dan pemerintah (publik private partnership/PPP) kurang lebih 10 tahun terakhir ternyata belum bisa memberi Konstribusi signifikan. Justru sebaliknya pemerintah dijadikan sapi perah swasta melalui proyek infrastruktur dengan investasi besar. Termasuk Pembangunan Bandar-Bandar Udara di Indonesia. Padahal kalau kita melihat secara jelih ternyata pembangunan bandar udara baru selalu merusak ekologi dan sumber ekonomi khususnya areal pertanian dan perkebunan. Bandar Udara Internasional Kuala Namu di Sumatera Utara merusak areal perkebunan, sumber potensial bagi pendapatan Sumatera utara juga nasional, Bandar Udara Sukarno Hatta, Badara Udara Sultan Hasanudin, Hang Nadim, Palembang, termasuk juga bandar udara internaional Kulon Progo Yogya dan lain sebagainya. Hampir semua pembangunan bandar udara selalu memakan korban. Jika tidak menggusur penduduk maka areal produksi pertanian dan perkebunan dirusak. Pulau Jawa memiliki 7 juta lahan pertanian, namun mengalami penyusutan sebanyak 200 ribu Ha per tahun maka hanya membutuhkan waktu 25 tahun lahan pertanian di Jawa akan hilang. Bagaimanapun pembangunan lapangan internsional, pembangunan insfrastruktur, pembangunan industri, real estate dan lainnya khususnya di pulau Jawa telah menghancurkan sumber potensial penghasil pangan. maka selanjutnya komitmen pemerintah untuk membuka areal pertanian 3 juta hektar sawah harus wujudkan sebagai konsekuensi janji presiden Jokowi sebelum 2019. Kalau tidak bisa diwujudkan maka pemerintah gagal memenuhi janji. Membaca disituasi ini pemerintah tentu mempunyai Master Plan pembangunan nasional dalam berbagai sektor termasuk sektor pertanian. Salah satu yang paling penting adalah perencanaan pembangunan dan pengembangan industri tentu memperhatikan ketersediaan lahan yang makin menyempit di pulau Jawa.
Tahukah Hakim MK, Cara Kerja Wall Street di Perpu Corona?
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (25/04). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keungan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Masa Allah. Dalam sejarah, ini judul Perppu terpanjang di dunia untuk sebuah UU. Karena terlampau panjang, maka saya akan menyebut Perpu ini dengan “Perpu Corona.” Perpu yang “ngaco” ini telah dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa kelompok masyarakat. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dengan Bonyamin Saiman sebagai bosnya berada di satu sisi sebagai kelompok pemohon ke MK. Dan Pak Amien Rais, Pak Din Syamsudin, Pak Srie Edi Swasono, dan kawan-kawan berada di sisi lain juga sebagai kelompok masyarakat yang memohonkannya. Argumentasi spesifik mereka, sejauh ini belum diketahui. Tetapi dapat diduga argumentasi primer mereka pasti tidak jauh dari penilaian Perpu ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Seluruhnyakah atau sebagian yang nyata-nyata atau potensial bertentangan? Dugaan saya pasti diuraikan dalam permohonan mereka. Pasal 27 dan 28 Perpu ini memang membuat nalar orang sehat pening sepening-peningnya. Tetapi saya ingin mengenal satu hal yang, dalam penilaian saya cukup menarik. Hal yang menarik itu adalah Bank Indonesia diberi kewenangan lain dalam Perpu ini. Bagi saya ini menarik, karena sejumlah alasan. Apakah ada sistem keuangan di dunia, yang bertuan pada tuan “takur - Amerika” dengan “Wall Streetnya” yang tidak pernah stabil? Adakah sistem keuangan di dunia ini yang tidak terjalin dengan standar mata uang? Uang kertas yang beredar? Tingkat suku bunga kredit? Jual beli bank note? Kegagalan bayar kredit karena berbagai faktor dan sejenisnya? Bila jawabannya tidak ada, maka soalnya adalah adakah sistem keuangan di dunia yang, sekali lagi, stabil? Bila ada, mengapa gold dan silver ditolak sebagai standar mata uang? Dipukul telak dengan taktik licik oleh jagoan-jagoan Wall Street, yang dimotori oleh JP. Morgan, Rockeffeller, Jacob Schift dan Paul Moris Warburg? Tidakkah sistem keuangan khas jagoan-jagoan ini dalam “esensinya” memang elastis dan dinamis? Tidakkah sistem keuangan khas jagoan-jagoan ini dimaksudkan untuk terus-menerus memproduksi inflasi dan deflasi? Bahkan juga memproduksi krisis? Lalu setelah krisis,menerpa keuangan negara, bank sentral muncul menjadi bukan lending of last resort, tetapi juga mengatur kebijakan ekonomi nasional? Perspektif membantu siapapun memahami judul Perpu ini. Sekali lagi, tidak ada sistem keuangan yang dibuat stabil, tetapi mau distabilkan. Karena begitulah sifat bawaan sistem keuangan, maka unintended expected di Perpu ini tidak jauh dari “mengonsolidasi ketidakstabilan” sistem keuangan itu. Mengapa begitu? Karena pemerintah, bukan “corporasi” yang dibebani tanggung jawab mengurus rakyat. Kerja perusahaan ya cari untung, untung dan untung. Begitulah cara berpikir J.P Morgan, Rockeffeller, Jacob Schif dan Paul Morizt Warburg. Orang-orang yang merancang terciptanya The Federal Reserve, The Fed’s. Krisis datang, maka korporasi meminta uluran tangan pemerinah. Begitu seterusnya cara mereka melipat gandakan perampokan uang negara. Cara pandang ini memang tidak dibayangkan oleh Alexander Hamilton, Menteri keuangan pertama di Amerika Serikat. Alexander Hamilton, dapat disebut sebagai bapak pencipta Bank Sentral Amerika. Pada mulanya Bank Of England. Bukan Reicsbank Swedia dan Jerman, yang ditunjuk Hamilton dalam merancang Firts American Bank. Bank ini, dalam rancangan Hamilton, hanya dimaksudkan untuk menampung perolehan pajak, serta memudahkan pembiayaan perang. Dalamm pandangan Hamilton, itulah fungsi awal Bank of England. Itulah yang Hamilton kehendaki dari Bank yang mati-matian ia perjuankan pembentukannya, yang kelak dikenal dengan sebutan Bank Sentral. Hamilton memang mendapat tantang sangat keras oleh Thomas Jefferson dan James Madison. Tetapi Presiden Amerika ini kalah. Lahirlah “First American Bank” yang diberi waktu operasi selama 20 tahun. Tidak lebih. Masa operasinya berakhir pada tahun 1816. Supaya operasi “First American Bank” dapat dilanjutkan, maka diciptakanlah perang tahun 1812 itu. Perang ini menjadi alasan utama agar bank itu dilanjutkan lagi operasinya. Maka lahirlah “The Second American Bank”. Masa operasinya berakhir pada tahun 1836. Mau diperpanjang lagi, tetapi Presiden mereka Andrew Jackson menolak. Jackson memveto UU baru yang akan yang memperpanjang operasinya bank ini. Veto Jackson itu mengakibatkan untuk waktu 78 tahun lamanya, Amerika tak punya Bank Sentral. Tetapi kelak tiba waktunya Amerika berjaya dengan Bank Sentral. Kejayaan itu datang setelah empat tokoh di atas menyingsingkan lengan baju masuki panggung politik. Apakah mereka menjadi Presiden? Tidak. Menjadi legislator? Juga Tidak. Mereka menggunakan politisi –capres- dan legislator serta ilmuan dari universitas-universitas ternama untuk menggolkan gagasan Bank Sentral. Itu yang mengakibatkan Oliver Mithcell Sprague, yang menulis History of Crises under The National Bank dan kelak memimpin pembentukan Harvard Graduate Schooll of Bussiness ini, tak berdaya menghadapi mereka. Sprague bersandar pada pandangan Bagehot, pencipta Bank of England sebagai Bank Sentral yang berkedudukan di Lombar Street, semacam Wall Streetnya Inggris. Bagehot menyatakan Bank of England juga menghasilkan krisis keuangan. Itu sebabnya Bagehot menghendaki agar Bank of England sebagai Bank Sentral yang berfungsi sebagai lending of last resort harus dibebani tanggung jawab sosial. Sayangnya, gagasan ini ditolak kawan-kawannya di Bank of England. Sembari bersandar pada pandangan Bagehot, Sprague dengan meyakinkan pengalaman Bank Sentral, baik Inggris maupun Amerika. Menurutnya, pengalaman kedua negra ini menunjukan bank akan memperluas stabilitas dengan cara mengawetkan asset bank besar. Menurut Sprague, ini menjadi sebab mereka gagal bergerak cepat mencegah terjadinya kepanikan keuangan. Pandangan Sprague itu, pada level tertentu disetujui Joseph French Jonhson dan Horace White. Pandangan keduanya terlihat pada saat keduanya mendiskusikan makalah Paul Warburg, pria yang menciptakan The Fed’s. Keduanya mengakui bank sentral model Eropa, memang berusaha mengindari krisis keuangan, tetapi tidak untuk krisis perdagangan. Bagi keduanya, ini disebabkan Bank Sentral lebih suka memompa liquiditas mereka ke pasar uang. Keduanya lalu mengetengahkan jalan keluarnya. Bagi mereka, bank-bank lokal harus diberi kesempatan terlibat dalam operasional Bank Sentral, sehingga mereka dapat menjaga kepentingan mereka. Masih terdapat serangkaian maneuver cukup hebat, yang berakhir dengan lahirnya satu bill tentang The Federal Reserve. Bill ini disiapkan oleh tim khusus kelompok ini di Jackyl Island. Nelson Aldrich, senator republican yang telah terkoneksi dengan Rockeffeler ada di dalamnya. Tetapi bukan Nelson Aldrich yang mengajukan bill itu ke Senat, melainkan Theoddore Burton, senator republik. Ketika diajukan ke senat, bill ini dikenal dengan “Aldrich Plan”. Dalam kenyataanya plan ini memperoleh tantangan sangat keras dari William Jennings Bryan, Senator Demokrat. Menariknya, muncul satu keadaan yang menguntungkan para reformis. Apa keadaan itu? Parker Wills diangkat menjadi asisten Carter Glass, Ketua the House of Banking and Currency Committee. Glass adalah seorang Demokrat dari Virginia. Disebut beruntung bagi para reformis perbankan, karena H. Parker Wills, selain menjadi dosen bagi dua anak Glass di Washington and Lee University, juga merupakan satu anggota Nation Leage. Nation Leage adalah sebuah tim non bankir, yang bekerja di bawah kendali Morgan dan kawan-kawan. Tugas mereka mempropagandakan gagasan Sentral Banking. Paul Warburg, disisi lain juga bekerja sama kerasnya. Figur yang menyukai model Bank Sentral Jerman inilah yang memberi nama The Fed’s. Kerja keras mereka sukses. Lahirlah The Federal Reserve pada tahun 1913. Di tengah krisis ekonomi, tepatnya pada tahun 1935, Kongres menyetujui The Banking Act. Melalui UU ini kewenangan The Fed’s diperluas, dengan dibuatnya The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Perluasan yang sangat signifikan adalah kontrol terhadap kebijakan keuangan nasional diletakan pada Dewan Gubernur The Fed’s. Enam belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1951, atas permintaan kementeran keuangan, The Fed’s secara sukarela menerima kebijakan suku bunga rendah atas government bond. Sebenarnya kebijakan ini merestorasi independensi The Fed’s dalam memonetisasi utang pemeritahan dengan bunga tetap. Tetapi pada saat yang sama kewenangan The Fed’s membuat kebijakan keuanggan nasional diperluas. Tak lama setelah itu, tepatnya tahun 1956 Kongres Amerika membuat The Bank Holding Company Act. Dalam UU ini The Fed’s diberi kewenangan baru berupa bank yang telah berbentuk holding harus mendaftar pada The Fed’s. Dewan Gubernur The Fed’s diberi kewenangan mengatur cara pendaftaran dan pengawasan atas mereka. Berhenti di titik itukah perluasan atas kewenangan The Fed’s? Tidak. Tahun 1978 terbit lagi dua UU. Pertama, The Intetrnational Banking Act 1978. Kedua, The Full Employment and Balanced Growt Act 1978. Pada The International Banking Act, The Fed’s diberi kewenangan mempromosikan kompetisi antara bank domestik dan internasional. Dan Dewan Gubernur bertanggung jawab mengatur dan mensupervisi aktifitas bank yang berbentuk holding. Pada UU yang kedua, The Fed’s diberi kewenangan untuk secara langsung mempengaruhi perekonomian nasional. Tiga tahun kemudian Kongres kembali membentuk Depository Institution Deregulation and Monetary Control Act 1980. Undang-Undang ini memperluas akses The Fed’s memeriksa semua institusi keuangan. Esensi UU ini adalah semua institusi keuangan harus mematuhi aturan The Fed’s. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 1991, Kongres membentuk lagi satu UU. Namanya The Federal Deposit Insurance Corporation Improvement Act of 1991. UU ini memperkuat kewenangan The Fed’s mensupervisi bank asing yang memasuki sistem perbankan Amerika. UU ini menguatkan pengaruh The Fed’s tidak hanya pada sistem perbankan, tetapi juga ekonomi Amerika secara keseluruhan. Delapan tahun kemudian, Kongrers membuat lagi apa yang disebut dengan Gramm-Leach-Bley Act 1999. UU ini mengatur banyak aspek dalam industri perbankan. Dari mergers hingga proteksi terhadap informasi pribadi konsumen. UU memberi kewenangan kepada The Fed’s mengatur bank dan anak perusahaan. Dalam UU ini juga diberi kewenangan hak veto kepada The Fed’s, dan Kemeterian Keuangan untuk saling memveto satu sama lainnya. Ketika Amerika dilanda krisis kuangan pada tahun 2008, Kongres membuat Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008. Dalam UU ini The Fed’s diberi kewenangan membayar kepada bank dengan tingkat suku bunga tinggi atas deposito. Pembayaran disifatkan sebagai cadangan, yang dawali pada 1 Oktober 2008 – hingga 2011 sesuai ketentuan UU. Praktis UU ini menempatkan The Fed’s sebagai bagian integral dari penyelamatan ekonomi Amerika Serikat yang sedang berlangsung, dan instabilitas di masa yang akan datang. Spektrum dan pola-pola kerja seperti The Fed’s itu terlihat cukup jelas pada materi “Perpu Corona No.1/2020”. Perpu ini memberikan kewenangan istimewa kepada Bank Sentral dan pemerintah untuk mengurus masalah ekonomi hingga tahun 2022. Ketentuan itu sangat mirip ketentuan yang terdapat dalam Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008 punya Amerika. Akankah Mahkamah Konstitusi menyingsingkan jubah kehormatannya untuk mengenal spektrum Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008 itu pada saat memeriksa “Perpu Corona No. 1/2020 ini? Mungkinkah Mahkamah Konstitusi mengabaikan kenyataan itu? Apakah Mahkamah Konstitusi hanya berkutat pada persoalan klasik Perpu, yakni kegentingan yang memaksa? Apakah Mahkamah Konstitusi hanya mengutak-atik seperlunya teori kuno John Locke tentang State Emergency? Semoga saja berkah dari Ramadhan Al-Mubarrakh bisa menyertai mereka para Hakim Yang Mulia. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.
Pemerintah dan DPR Jangan Budeg!
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Juma’at (24/04). Pemerintah nggak boleh budek. Begitu juga DPR, jangan sampai budeg. Dengerkan suara rakyat. Dengarkan apa maunya, dan apa permintaan rakyat. Apalagi bangsa sedang berduka seperti sekarang. Rakyat sedang tertekan. Rakyat juga lagi menderita. Mungkin karena gaji anda besar. Project dari negara juga berlimpah. Uang anda masih terus mengalir. Anda nggak merasakan susah dan penderitaan. Akibatnya, ngomong sembarangan saja di tengah rakyat yang lagi kelaparan. Tolong kendalikan you punya mulut itu. Jangan menebar sampah di media. Kondisi seperti sekarang, pejabat maupun elit politik tidak boleh ngaco omongannya. Bicaranya mesti terukur, baik secara etis maupun manfaatnya. Jangan boros dalam berkata-kata. Lebih baik tunjukkan empati, dan fokus membuktikan kerja anda saja. Tidak usah macam-macam. Saat ini, tidak tepat anda bicara Ibu Kota. Apalagi sampai mau melakukan tender segala. Kenapa? Pertama, rakyat tidak melihat ada urgensinya. Jauh dari prioritas, di tengah bangsa yang sedang megap-megap ekonominya. Sebaiknya jangan dipaksakan. Kedua, banyak pihak yang curiga bahwa project Ibu Kota Baru syarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya untuk kepentingan kelompok kecil yang ingin mendapatkan keutungan besar. Apakah ada hubungannya dengan investasi politik 2019? Atau malah pesanan investor swasta dan asing? Bisa iya, bisa juga tidak. Waktu yang akan membuktikan. Kecurigaan banyak pihak ini agak logis jika dikaitkan dengan siapa penguasa tanah di daerah yang akan menjadi calon Ibu Kota Baru itu. Ada sejumlah nama konglomerat yang memiliki lahan "super luas" di lokasi bakal Ibu Kota Baru tersebut. Apakah itu faktor kebetulan, atau sengaja? Saat hutan disulap menjadi Ibu Kota, berapa ribu persen kenaikan harga tanah permeter? Belum lagi kalau dibangun gedung perkantoran untuk disewakan. Project apartemen dan perumahan akan menjadi pundi-pundi kekayaan yang luar biasa besar. Belum project infrastrukturnya. Pasti aduhai dan sangat menjanjikan. Nggak kebayang banyak dan besarnya nilai bisnis di Ibu Kota Baru nanti. Munculnya nama Ahok sebagai calon Kepala Otoritas Ibu Kota Baru seolah mengkonfirmasi kecurigaan-kecurigaan di masyarakat itu. Skenarionya semakin terbaca. Tak sedikit yang bertanya, apakah pembangunan Ibu Kota Baru adalah bagian dari project balas budi itu? Atau ada mega skenario di baliknya? Isu ini akan terus muncul setiap nama Ibu Kota Baru terdengar telinga. Rencana pemindahan Ibu Kota belum dibicarakan khusus dengan DPR. Tidak hanya dengan DPR, anggaran Ibu Kota Baru juga dalam pengakuannya, belum dibicarakan dengan menteri keuangan. Tapi, gaungnya sedemikian kencang. Dibahas belum, disetujui belum, sudah promosi besar-besaran. Malah mau tender segala. Termasuk promosi Ahok. Ahok lagi, Ahok lagi. Begitu kata publik. Ahok memang punya hak di negara ini, itu iya. Itu clear. Juga sepakat. Ahok sebagai warga negara punya hak yang sama dengan yang lain. Jangan dikurangi, tetapi jangan juga diprioritas-prioritaskan. Jangan berlebihan mempromosikan Ahok. Bagaimanapun, sosok Ahok telah dianggap "cacat sejarah" . Karena telah divonis pengadilan bersalah dan dipenjara dua tahun. Standarnya adalah putusan pengadilan. Bukan wacana, asumsi dan persepsi. Bukan juga suka atau tidak suka. Bangsa ini punya rasa. Juga punya logika dan etika. "Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono". Tak perlu merawat dan memproduksi kegaduhan terus-menerus. Masih banyak sosok lain yang jauh lebih berkapasitas dan berintegritas untuk dipromosikan dalam posisi-posisi strategis. Profesor Doktor Rafly Harun itu lebih cerdas, pinter dan berintegritas. Tapi malah dicopot. Saya tidak ada urusan dengan Ahok. Sebagai mantan gubernur, Ahok perlu dihargai jasanya. Apapun itu, Ahok ada prestasi yang harus diapresiasi. Ini fair. Rakyat tidak boleh menutup mata mengenai jasa Ahok itu. Namun ada yang bisa dipungkuri dari kebiasaan buruk Ahok. Track record Ahok yang terkait dengan karakter, menjadi persoalan sendiri. Sejumlah peristiwa, catatan hukum dan psikologi rakyat, khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas, jangan sampai dianggap enteng-enteng saja . Harus menjadi pertimbangan serius jika ingin melihat bangsa ini kondusif lagi ke depan. Ada waktunya nanti saya beberkan analisis berbasis teori-teori sosial dalam kasus ini. Saol Ibu Kota yang sekarang yang digaungkan kembali di atas tumpukan mayat rakyat yang diserbu oleh Covid-19, sungguh membuat dada rakyat semakin sesak. Nyesek banget. Orang bilang itu seperti ngigau saja. Rakyat tidak saja marah, tetapi makin gigih untuk menolak Ibu Kota Baru. Sudahlah, sesekali bicara pakai hati nurani rakyat. Itu standar kita dalam berbangsa dan bernegara. Nurani ini adalah ukuran integritas dan etika dalam mengelola negara ini. Lalu rakyat yang mana? Ini pertanyaan konyol yang sering diulang-ulang oleh elit politik busuk yang menjadi antek korporasi. Siapapun pejabat, mestinya setiap berwacana dan bicara sebaiknya pakai hati nurani rakyat. Bukan hati nurani investor. Terutama pemodal politik. Apalagi hati nurani ABS (Asal Bos Senang). Mereka itu juga kelompok korporasi busuk dan tamak. Soal Ibu Kota Baru, kuburlah rencana itu. Hanya akan menambah deretan panjang kekecewaan rakyat. Pemilu mengecewakan. UU KPK juga mengecewakan. Omnibus law semakin mengecewakan lagi. Pengelolaan hampir semua BUMN sangat dan sangat mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi nyata-nyata mengecewakan. Sekarang, mau ditambah lagi rencana Ibu Kota. Mekso banget sih? Seorang pemimpin dan elit politik akan dicatat oleh sejarah bangsa ini. Apakah pemimpin pusat, atau pemimpin daerah. Pemimpin eksekutif, maupun pemimpin legislatif. Termasuk para pejabatnya. Saat mereka turun, semuanya akan dibuka satu persatu. Tidak ada yang terlewatkan. Masa lalu mereka saat menjabat tak bisa lagi bisa dipoles dan ditutupi. Saat itulah pemimpin dan pejabat negara akan dinilai sebagai manusia terhormat atau terlaknat. Tinta sejarah akan menuliskannya. Ditulis dengan tinta emas atau tinta busuk yang berbau. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaan
Strategi Presiden Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaanjelas berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah menanggung biaya finansial yang sangat besar dalam menghadapi pandemi dan akibat ekonominya. Secara implisit, ketidakmampuan itu disampaikan Presiden ketika menjelaskan mengapa pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan melakukan karantina wilayah atau lockdown. By Rachland Nashidik Jakarta FNN – Kamis (23/04). Presiden, dalam dialog dengan Najwa Shihab tentang strategi mitigasi pandemi, mengatakan "mudik" dan "pulang kampung" adalah dua hal berbeda. "Mudik", kata Presiden, adalah mobilitas penduduk Ibu Kota ke daerah dalam rangka merayakan hari raya di kampung. Bisa pada hari raya Idul Fitri. Bisa juga pada raya Idul Adha. Jadi "mudik" ini merujuk pada kelas menengah yang sudah bermigrasi ke Jakarta. Kalau "Pulang kampung"? Ya sebaliknya. Menunjuk pada penduduk pendatang. Mereka itu penduduk miskin kota, yang pulang ke daerah asal karena di Jakarta kehilangan pekerjaan. Sebab apa Presiden Membedakan Mudik dari Pulang Kampung? Dalam mitigasi pandemic Covid-19, dua jenis mobilitas mamsyarakat yang dimaksud Presiden tersebut, sebenarnya sama-sama beresiko memperluas penyebaran dan penularan virus. Lagi pula secara leksikal, dua hal tersebut sebenarnya menunjuk pada mobilitas orang yang sama, yakni berpindahnya penduduk dalam suatu waktu dari Ibu Kota ke daerah-daerah. Itu sebabnya, penjelasan Presiden lalu jadi terasa kosong dan menggelikan. Namun Presiden dengan ungkapan itu sebenarnya menjelaskan sesuatu yang terlalu penting untuk sekadar kita tertawakan. Hanya jadi lelucon. Tampak kalau Presiden sesungguhnya sedang menjalankan strategi politik keamanan yang menghalalkan segala cara. Bagi Presiden, "mudik" harus dilarang. Lantaran “mudik” mencegah kemungkinan penularan virus mengikuti mobilitas pemudik dari Jakarta ke daerah, dan dari daerah ke Jakarta. Kalau "pulang kampung" justru harus diijinkan, bahkan malah didorong. Tujuannya, untuk mengurangi konsentrasi rakyat miskin kota di Jakarta. Dengan cara itu, masalah dikeluarkan dari Jakarta. Masalah jadi berpindah ke daerah yang tiba-tiba harus menampung mereka. Ikut menanggung potensi masalah sosial berikut resiko penyebaran virusnya. Presiden mungkin diberitahu, kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini bisa memicu letupan sosial politik yang akan menantang kekuasaannya. Makanya Presiden bergerak cepat mengantisipasi upaya-upaya untuk menentang kekuasaannya. Presiden bukan saja berusaha mengisolasi Jakarta dari resiko lebih lanjut penyebaran virus. Serentak dengan begitu, berusaha melindungi Istananya dari kemungkinan letupan sosial akibat rakyat kehilangan pekerjaan dan tak bisa makan. Srategi Presiden jelas berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah menanggung biaya finansial yang sangat besar dalam menghadapi pandemi dan akibat ekonominya. Secara implisit, ketidakmampuan itu disampaikan Presiden ketika menjelaskan mengapa pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan melakukan karantina wilayah atau lockdown. Demikianlah mengapa Presiden membedakan "mudik" dari "pulang kampung". Dan dari situ kita bisa melihat cara berpikirnya. Masalahnya adalah kesehatan. Pendekatannya keamanan. Dasarnya ekonomi. Tujuannya melindungi kekuasaan. Penulis adalah Politisi Partai Demokrat
Pandemi Corona Dan Penyelamatan Investasi Masa Depan
Oleh: Syamsul Qomar Jakarta, FNN - “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tapi seorang pemuda mampu mengubah dunia!” (Soekarno) DAMPAK kesehatan serius COVID-19 tampaknya dirasakan oleh orang tua berusia lebih dari enam puluh tahun. Namun, karena coronavirus telah menjadi pandemi, menyebar melalui masyarakat dan melumpuhkan beberapa sektor ekonomi, kaum muda, yang jumlahnya kira-kira seperempat dari populasi Indonesia, secara tidak proporsional menghadapi risiko ekonomi. Statistik Pemuda Indonesia 2019 (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa saat ini terdapat sekitar 64,19 juta pemuda yang tersebar di wilayah NKRI dan mengisi hampir seperempat jumlah penduduk Indonesia (24,01 persen), dan sejatinya pemuda memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam perekonomian nasional, mengingat mereka merupakan aktor dalam akselerasi pembangunan. Namun demikian, Pemuda adalah elemen masyarakat yang sangat rentan terdampak krisis Corona dalam aspek ekonomi hingga tiga kali lebih mungkin menjadi pengangguran daripada orang dewasa. Sebagai respon atas penyebaran masif coronavirus ke hampir seluruh daerah, banyak perusahaan swasta, organisasi dan institusi pemerintah membatalkan kegiatan, menyetop produksi sementara, menerapkan “work from home” bagi karyawan. Banyak Kota dan kabupaten bahkan mengambil langkah-langkah penting untuk mencoba dan mengurangi tingkat penyebarannya, termasuk melarang pertemuan atau acara besar, menutup sekolah, membatasi masuk, dan bahkan mendirikan zona pembatasan masyarakat melalu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB). Lebih jauh, ancaman virus corona mempengaruhi perilaku sosial, termasuk karantina diri dan jarak fisik antar individu masyarakat, membatasi publik dan kontak antarpribadi. Dampak negatif terhadap ekonomi sangat jelas terasa, pada pekerja muda dan usaha kecil menengah yang cenderung signifikan. Menurut International Labor Organization, pengangguran kaum muda secara global mengalami kenaikan saat terjadi krisis. Kaum muda cenderung bekerja dalam pekerjaan musiman, temporer, informal, dan lebih cenderung untuk pekerjaan freelance atau paruh waktu tanpa diberikan tunjangan kesehatan atau cuti berbayar. Kondisi ini membuat kaum muda lebih rentan terhadap pemotongan pekerjaan atau kontrak, pemberhentian hubungan kerja secara sepihak, dan selanjutnya mengalami pengangguran jangka panjang. Terlebih lagi, pekerja muda banyak mengisi sektor pekerjaan dengan keterampilan rendah di ritel dan sektor jasa pelayanan (termasuk perhotelan, bisnis makanan dan cafe) - yang sangat rentan terdampak Corona. Secara lebih spesifik kondisi riil di Indonesia menyebutkan bahwa lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja pemuda adalah sektor jasa-jasa (55,20 persen). Sedangkan menurut jenis pekerjaan utama yang dibagi dalam 8 kategori, sebagian besar pemuda bekerja sebagai tenaga produksi dan angkutan. Lebih dari separuh pemuda yang bekerja berstatus sebagai buruh/karyawan (58,81 persen), diikuti pekerja keluarga atau tidak dibayar (14,29 persen). (BPS, dalam Statistik Pemuda Indonesia 2019) Pada tahun 2019, lebih dari separuh pemuda Indonesia bekerja (53,89 persen), sisanya aktif sekolah, mengurus rumah tangga, serta sibuk mencari dan mempersiapkan pekerjaan. Persentase pemuda laki-laki yang bekerja lebih besar daripada perempuan, dan lebih dari separuh pemuda bekerja berada pada kelompok umur 19-24 tahun dan 25-30 tahun. Selain itu, masih terdapat sekitar 18,51 persen pemuda usia 16-18 tahun yang bekerja, padahal usia tersebut masih termasuk usia sekolah. Pemuda yang terlibat dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi, hal ini dinyatakan dengan nilai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pemuda sebesar 61,96 persen. Artinya, sekitar tiga dari lima pemuda sedang bekerja, mempersiapkan pekerjaan, atau mencari pekerjaan. Sebelum Pandemi Corona, Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda Indonesia tahun 2019 sebesar 13,03 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari setiap 100 angkatan kerja pemuda, terdapat sekitar 13 pemuda tidak bekerja dan sedang mempersiapkan usaha atau mencari pekerjaan. TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pemuda di perdesaan. Nilai TPT pemuda yang paling tinggi adalah mereka yang berpendidikan SMA/sederajat, diikuti PT dan SMP/sederajat. Isu Pengangguran kaum muda ini menjadi satu konsen dan fokus pemerintah melalui serangkaian kebijakan dan program untuk mendukung kaum muda mengatasi goncangan jangka pendek dari coronavirus. Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) pada kurun waktu 2030-2040. Pemerintah, swasta dan masyarakat harus bergerak seirama menyelamatkan pemuda agar visi bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030-2040 bisa tercapai untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Apapun kondisi akibat Pandemi Corona, program dan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pemuda harus tetap berjalan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Alokasi Anggaran Negara harus memprioritaskan pembangunan pemuda (salah satu agenda strategis nasional RPJMN Republik Indonesia) sebagai aset masa depan republik ini. Bersama dengan sektor swasta, BUMN, pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat, program pengembangan dan pemberdayaan kaum muda diarahkan untuk membuka akses pemuda menjangkau sumber daya secara digital untuk dengan cepat mendapatkan keterampilan baru dan mendapatkan penghasilan ekonomi secara mandiri. Kemenpora, sebagai core lembaga pemerintah dalam pembangunan kepemudaan (dan olahraga) nasional Indonesia, berfokus pada penanganan pandemi Corona pasca krisis, yakni memastikan program pengembangan dan pemberdayaan pemuda tetap berjalan maksimal. Krisis pandemi Corona memang akan meninggalkan dampak, tapi tidak sampai menghambat, justru melahirkan inovasi dan kreasi baru dalam menstimulasi program dan kebijakan pemerintah di bidang kepemudaan dengan satu atau ribuan cara lain. Pendidikan, pengembangan potensi kewirausahaan dan pemberdayaan pemuda diarahkan untuk dapat membantu generasi muda bisa tetap berkarya dan survive menghadapi kesulitan, stres, ketakutan dan kehilangan pekerjaan selama dan setelah krisis. Pengembangan potensi pemuda salah satunya adalah dengan memberikan keterampilan dan pelatihan bisnis secara digital melalui Program Digital Enterprenur Millenials Kemenpora yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Program ini sesuai dengan objektifitas lapangan dimana aktifiitas ekonomi dan perdangan elektronik (e-commerce) cenderung paling bisa bertahan dibandingkan sektor ekonomi konvensional yang terhenti dan lumpuh akibat pemberlakuan PSSB. Hal ini juga linear dengan Data BPS 2019 yang melihat fakta bahwa Pemuda Indonesia mayoritas sudah melek teknologi: Terdapat 88,66 persen pemuda yang memiliki HP dan 93,78 persen pemuda menggunakan HP selama tiga bulan terakhir. Selain itu, terdapat pula sekitar 26,27 persen pemuda yang menggunakan komputer dan 81,22 persen pemuda menggunakan internet selama tiga bulan terakhir. Penting untuk merancang metode khusus penyampaian program kepemudaan melalui pengajaran dan pembelajaran baru dengan penggunaan teknologi modern akan memainkan peran penting dalam mengembangkan dan memberdayakan kaum muda Indonesia yang terkena dampak pandemi Corona. Kemenpora sebagai Kementerian Investasi Masa Depan, ditargetkan pada inovasi dan kreasi pengembangan kualitas generasi muda. Terakhir, mengutip Daisaku Ikeda, seorang Tokoh Nasional Negara Jepang, “History has always been shaped by the power of youth.”, bahwa sejarah besarnya Negara Republik Indonesia di masa depan, ditentukan oleh pemudanya saat ini. Penulis adalah Tenaga Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
Perppu No. 1/2020 Hanya Copy Paste Dari Perppu No. 4/2008
By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (22/04). Menjelang akhir tahun 2007, krisis finansial global pecah. Krisis ini membawa ekonomi dunia masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia 2008 negatif 1,85 persen. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 15 Oktober 2008. Perppu adalah undang-undang (UU) yang diterbitkan secara sepihak oleh Presiden. Perpu bisa saja diterbitakan oleh Presiden tanpa melibatkan dan persetujuan DPR. Sedangkan pembentukan UU garus disetujui kedua belah pihak. Pemerintah dan DPR. Penerbitan Perppu adalah hak subyektif Presiden ketika Presiden merasa adanya ancaman yang membahayakan. Istilah di UU, kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan krisis finansial global, Presiden ketika itu merasa ada kegentingan yang memaksa sehingga menerbitkan tiga Perppu sekaligus. Pertama, Perppu No 2 tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008. Kedua, Perppu No 3 tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober. Dan Perppu No 4 tahun 2008 (Perppu No 4/2008) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Perppu diterbitkan karena negara butuh UU yang harus diberlakukan seketika. Ada kegentingan yang memaksa secara mendadak. Sedangkan UU untuk itu belum ada, atau ada tetapi tidak cukup memadai. Karena itu Perppu diterbitkan secra sepihak oleh Presiden. Namun Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. DPR bisa menerima atau menolak Perppu tersebut. Sehubungan dengan terbiatnya Perppu No 4/2008, DPR menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU. Penolakan umumnya terkait Pasal 29 yang memberi kekebalan hukum kepada para pejabat serta semua pihak pelaksana Perppu. Mereka para pejabatnya tidak boleh dihukum secara pidana maupun perdata. Rancangan Perppu No.4/2008 itu yang mau diulangi lagi sekarang di Perppu No.1/2020. Pasal 29 Perppu No.4/2008 itu berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu No 4/2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia. Pemerintah belum lama menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Cakupan Perppu No 1/2020 ini jauh lebih luas dan lebih “radikal” dari Perppu No 4/2008. Perppu No 1/2020 selain mengatur Stabilitas (atau Jaring Pengaman) Sistem Keuangan juga mengatur kebijakan Keuangan Negara dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Perppu No 1/2020 dianggap lebih “radikal” karena pemerintah dapat menentukan APBN secara sepihak tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Defisit anggaran yang awalnya maksimal 3% dari PDB menjadi tidak terbatas, dan berlaku selama tiga tahun. Selain itu, semua pasal yang menjadi alasan DPR menolak Perppu No 4/2008 masih ada di dalam Perppu Pandemi Covid-19 ini. Pasal tentang kekebalan hukum yang banyak mendapat sorotan publik di Perppu No.4/2008, kini nongol lagi di Perppu No.1/2008. Ada tambahan wewenang absolut pemerintah di bidang anggaran yang tidak memerlukan persetujuan DPR. Waktunya bukan saja untuk tahun 2020, tetapi selama tiga tahun. Selain itu, tentang wewenang dan kekuasaan Bank Indonesia dan pemerintah yang sangat besar dalam menentukan dan memberikan pinjaman likuiditas maupun penyertaan modal kepada semua bank yang dianggap kesulitan likuiditas. Begitu juga dengan bantuan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Semua itu dapat dilakukan tanpa persetujuan DPR. Sangat hebat kan Perppu No.1/2020 ini? Secara logika, seharusnya fraksi DPR yang dulu menolak Perppu No 4/2008 diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai fraksi-fraksi ini sebagai petualang politik yang hanya membela kepentingan sesaat. Karena alasan untuk penolakan di Perppu No 4/2008 masih sangat valid dan berlaku untuk Perppu No 1/2020 ini. Sedangkan fraksi yang dulu menerima Perppu No 4/2008 untuk disahkan jadi UU, yaitu fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Alasannya sederhana, yaitu taat hukum dan konsisten dengan keputusan yang lalu. Dengan perhitungan seperti ini, Perppu Pandemi covid-19 menghadapi tantangan untuk ditolak oleh semua fraksi. Dalam bidang hukum ,dikenal yang namanya “yuris prudensi”. Yaitu keputusan hukum pada periode lalu dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama pada periode sekarang. Apakah dalam politik juga akan ada semacam “politik prudensi”? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
APBN Ringkih Dimasa Krisis Pandemi
Surat Terbuka Kepada Pemerintah, DPR dan BPK By Andi Rahmat Jakarta FNN- Rabu (22/04). Saya membaca keterangan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan soal materi yang diatur oleh Perpres No 20/2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Terus terang, saya mengernyitkan dahi. Terutama karena judulnya cukup menimbulkan tanya. Sebagai mantan anggota Badan Anggaran DPR RI dan Mantan Pimpinan Komisi XI DPR RI, istilah postur dan rincian APBN sudah barang tentu menjadi menu sehari- hari saya selama kurang lebih 10 tahun mengabdi di Senayan. Postur dan Rincian APBN adalah APBN itu sendiri. Dalam hal rincian, selain “satuan tiga” (ini istilah untuk alokasi anggaran yang memuat kegiatan/ jenis belanja pemerintah), semuanya adalah bagian yang melekat dalam pembahasan RUU APBN setiap tahun. Soal “satuan tiga” ini sudah dinyatakan bukan kewenangan DPR dalam pembahasan RUU APBN oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 35/PUU-XI/2013. Selain itu, semua hal yang berkaitan APBN tetap merupakan kewenangan DPR sebagai pemegang Hak Budget menurut UUD 1945. Postur adalah bangunan esensial APBN yang mencerminkan besaran Pendapatan/ Penerimaan Negara. Juga Belanja Negara dan Sumber Pembiayaan Negara. Postur adalah hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam pembahasan RUU APBN. Postur itulah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk pasal demi pasal di dalam UU APBN hasil pembahasan DPR dan Pemerintah. Ringkasnya, Postur yang telah diuraikan dalam bentuk pasal demi pasal itulah yang kita sebut sebagai UU APBN. Begitu aturanya mainnya. Tidak lebih. Karena itu pula, dan dalam rangka memenuhi hak konstitusionalnya, maka DPR membentuk Alat Kelengkapan yang bersifat permanen dalam membahas RUU APBN menjadi UU APBN setiap tahun. Alat kelengkapan ini berna ma “Badan Anggaran DPR”. Demikian juga dengan rincian anggaran. Rincian anggaran adalah penjabaran lanjut dari Postur APBN. Populernya sering disebut sebagai “Nomenklatura”. Yang intinya menjelaskan mengenai besaran porsi alokasi anggaran dari masing-masing institusi pengguna anggaran. Sekali lagi, mengenai jenis kegiatan/ belanja yang lazim disebut sebagai “satuan tiga” tidak termasuk dalam bagian yang dibahas di DPR. Memahami kegentingan yang dihadapi bangsa dan negara kita akibat pandemi Covid-19 ini adalah hal yang penting. Suatu tindakan berskala dan berimplikasi besar memang sepatutnya diambil Pemerintah. Dampak kesehatan dan ekonomi yang tengah kita hadapi ini belum pernah terjadi, bahkan setelah tahun 1965 sekalipun. Krisis 1998 bahkan tidak sebanding dengan apa yang kita hadapi saat ini. Dari kacamata perekonomian, skala persoalan yang dihadapi sekarang ini berpotensi memutus hubungan supply dan demand dalam perekonomian. Masalah yang paling mendasar dalam praktek perekonomian. Diperlukan konsentrasi kebijakan yang extraordinary untuk mempertahankan perekonomian dari kerusakan yang sulit dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini berjudul “ APBN Ringkih di Tengah Krisis”. Sebab fundamen dasar dari semua tindakan yang diambil otoritas sudah seharusnya memiliki landasan yang kuat dan tidak mengundang polemik baru. Sumber keringkihannya adalah dasar dari semua tindakan Budgetary otoritas. Bisakah semua tindakan Budgetary pemerintah itu tidak bersumber dari UU APBN? Apakah bisa suatu peraturan dibawah UU seperti Perpres bisa menjadi dasar tindakan Budgetary pemerintah? Sejak kapan pelaksanaan Budgetary Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Perpu? Sejak kapan Postur dan Rincian Anggaran selain “satuan tiga” bukan merupakan esensi UU APBN? Semua pertanyaan itu adalah sumber keringkihan penanganan krisis. Membiarkan pemerintah dalam “perangkap kebijakan” bukankah merupakan suatu kekeliruan yang fatal? Sejak awal saya mendorong agar Pemerintah mengajukan suatu RUU APBN Perubahan dengan menggunakan Perpu 1/ 2020 sebagai dasar pembahasannya dengan DPR. Yang terjadi adalah, perubahan postur dan rincian anggaran melalui perpres. Perpu itu sendiri diperlakukan sebagai UU APBN. Bukankah ini suatu hal yang sangat ringkih? Kehidupan bernegara yang sehat adalah kehidupan berkonstitusi. Kita memiliki konstitusi yang kuat dan bisa berfungsi secara normal. Bahkan dalam keadaan paling krisis sekalipun. Konstitusi adalah kekuatan ketahanan kita sebagai bangsa dan negara. Saya meyakini, dengan kepala dingin, problematika krisis yang kita hadapi ini bisa kita lewati di atas dasar konstitusi kita. Belum terlambat untuk merevisi apa yang kurang kuat dan ringkih. Krisis tidak akan menenggelamkan jiwa yang optimis dan sadar pada warisan bersejarah pendiri bangsa. Segera ajukanlah APBN saja Perubahan. Dengan modal dukungan kuat di DPR dan mandat kuat yang dimiliki pemerintah, Pembahasan APBN Perubahan tidak akan berlarut-larut. Bisa cepat selesai. Saya pernah di Senayan. Saya tahu, kalau perangkat pengalaman pemerintah dan pimpinan, serta anggota DPR bisa membahas APBN Perubahan ini dalam waktu yang singkat. Jangan biarkan tindakan extraordinary dan bersejarah bangsa kita ini, berpijak pada landasan yang ringkih. Kepada Allah SWT semuanya berpulang. Semoga bangsa kita segera bisa segera keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam Bishawab. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI