NASIONAL

Said Didu Penyambung Suara Bung Hatta dan Profesor Soepomo

By Dr. Margarito Kamis Umar Bin Khatab berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, beri aku pengecualian untuk Suhail ibn’Amr. Akan kucabut lidahnya biar tak bicara seenaknya dimana pun selamanya. Nabi menjawab “Kalau Aku menghukum dengan cara begitu, Allah pun menghukumku dengan cara yang sama, meskipun aku seorang Nabi. Siapa tahu suatu saat nanti ia menempati kedudukan yang tak dapat lagi kau mencela.” (Dikutip dari Buku Perang Muhammad, oleh Nizar Abazhah) Jakarta FNN – Kamis (07/05). Muhammad Said Didu, pria Bugis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, terkenal lugas, ceplas-ceplos dalam semua isu kebangsaan dan kenegaraan. Pria ini sekarang berurusan dengan Polisi. Beliau dilaporkan, entah langsung atau tidak oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kordinator Maritim dan Investasi atau anak buahnya, ke Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian telah bekerja. Muhammad Didu telah dipanggil untuk diperiksa. Tetapi corona membuat dia tak bisa memenuhi panggilan itu. Apakah Polisi akan memangginya sekali lagi? Kemungkinan itu harus diletakan di atas meja. Konsekuensinya, meja ujian atau perjuangan Muhammad Didu, suka atau tidak, tidak boleh hanya dihiasi dengan hukum-hukum pidana. Tidak. Itu senjata, yang kekuatannya hanya sekelas kerupuk. Pergilah ke gudang konstitusi bernegara. Juga ke UUD 1945. Temukanlah digudang itu semua hasrat para pendiri bangsa ini dalam merumuskan UUD Tahun 1945 dulu. Sajikan dan jadikanlah itu teman bincang-bincang. Teman pikir kala buka puasa dan sahur. Dan buatlah panorama buka puasa dan sahur untuk puasa esok hari seindah pelangi di ujung senja dengan balutan sholawat kepada Nabi Allah, Muahammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kekasih terhebat-Nya itu. Mengapa begitu? Nama subyek dalam suara Muhammad Said Didu itu mengharuskan penjelasan, Butuh pemetaan secara detail, dan bertanggung jawab dari sudut tata negara. Ini disebabkan subyek yang disebut dalam “suara” Muhammad Didu, yang saat ini dikualifikasi fitnah, dalam sifatnya terpadu sangat ketat dengan tata negara. Dimensi elementer tata negara memanggil setidaknya tiga hal untuk dibuat dengan jelas, sejelas-jelasnya sebelum pemeriksaan bekerja dengan tensinya sendiri. Untuk kepentingan kejelasan itu, maka ketiga soal itu disajikan secara singkat dibawah ini. Pertama, apakah yang dimaksud dengan konsep “menteri” itu? Apakah konsep “menteri” itu menunjuk “nama jabatan” atau menunjuk pada “nama orang”? Dalam pertalian yang ketat dengan konsep itu, soal yang muncul mengikutinya secara logis adalah apa “tanggung jawab” menteri? Apakah konsep “tanggung jawab menteri” menunjuk pada tangung jawab jabatan atau orang? Kedua, apakah konsep “tanggung jawab” seorang menteri? Apakah bentuk kongkrit tanggung jawab menteri hanya meliputi tanggung jawab hukum? Apakah bentuk tanggung jawab menteri hanya dipertalikan dengan pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara? Apakah melaksanakan program dan kegiatan kementerian, tidak menjadi unsur tanggung jawab menteri? Ketiga, bila tanggung jawab “menteri” sebatas atau dikerangkakan secara terbatas pada hukum (pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pelaksanaan program dan kegiatan kementerian), maka apa relefansi hak yang saat ini diberi kapasitas konstitusi sebagai hak asasi warga negara berupa “berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat? Mari tenggelam dalam buku Profesor Muh. Yamin dan RM. A. B Kusuma meminum air konsep menteri, yang tertera pada soal pertama di atas. Apa yang dimaksud oleh pembentuk UUD 1945 pada pembahasan masalah ini di tahun 1945? Tanggal 11 Juli 194, Panitia Kecil Perancang UUD 1945 telah selesai menyiapkan draf UUD 1945. Khusus kementerian diatur pada Bab III. Judulnya Kementeran Negara. Bab ini hanya berisi satu pasal, tepatnya pasal 16. Isi selengkapnya pasal 16 (rancangan) itu adalah (1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Rancangan UUD ini dibahas lebih jauh oleh PPKI pada tanggal 15 Juli 1945. Pada pembahasan yang dihadiri relatif lengkap oleh anggota PPKI inilah, muncul beberap argumen. Argumen-argumen menggambarkan dengan jelas kehendak pembentuk UUD 1945 tentang konsep menteri. Hormat saya untuk semua anggota PPKI, tetapi saya menonjolkan dua argumen. Kedua argumen itu sangat dominan. Kedua argumen itu adalah argumen Profesor Soepomo (Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) dan Moh. Hatta (anggota). Argumen-argumen itu muncul pada saat Profesor Soepomo menerangkan secara umum draf UUD 1945. Lalu Pak Hatta meminta kesempatan bicara dan permintaan Pak Hatta itu disetujui dan dipersilahkan oleh Pak Radjiman, Ketua sidang (semoga amal baik mereka diterima disisi Allah Subhanau Wata’ala). Bung Hatta lalu bebricara, dengan menyodorkan perspektif perbandingan sekadarnya tentang sistem pemerintahan. Amerika diambil sebagai salah contohnya. Setelah isu itu, Bung Hatta, dalam kata-katanya menyatakan “karena itu ada baiknya kalau disini diadakan kemungkinan bahwa Minister atau menteri bertanggung jawab. Sebab keduanya sama-sama menjalankan kekuasaan undang-undang.” Tambahan, kata bung Hatta selanjutnya “tanggung jawab itu ada penting dalam gerakan kita. Dalam susunan negara kita, supaya yang memegang departemen betul-betul adalah pemimpin rakyat. Janganlah nanti lambat-laun semangat pegawai saja, dengan tidak mempunyai tanggung jawab yang kuat menjalar dalam pemerintahan negara. Bung Hatta melengkapi argumennya dengan contoh menteri-menteri di Eropa, khususnya Nederland. Kata Bung Hatta, sesudah Grondwet tahun 1838 menetapkan tanggung jawab menteri, sekalipun itu tak ditulis dalam Grondwet, tetapi di dalam dasarnya masih 80 tahun berjalan. Pandangan ini direspon oleh Profesor Soepomo dengan argumen yang akan saya sajikan berikut ini. Profesor Soepomo mengatakan sistem yang sedang dirancang tidak mengikuti sistem parlementer. Jadi Menteri hanya pembantu daripada Kepala Negara. Tetapi dalam praktek nanti kita harus melihat bagaimana jalannya. Kata Soepomo selanjutnya, kita harus percaya kebijaksanaan Kepala Negara dan juga pembantu-pembantunya yang “bukan pembantu biasa, akan tetapi orang-orang yang sangat terkemuka, juga ahli negara yang bukan saja mengingat “publieke opinie” perasaan-perasaan umum dalam DPR. Akan tetapi mengerti juga “perasaan umum di dalam negara mereka umumnya” (semua tanda petik dari saya). Begitulah pandangan menembus zaman kedua bapak pendiri bangsa yang mempersiapkan UUD 1945 itu. Apa yang dapat diambil sebagai esensi dari pernyataan kedua negarawan besar itu tentang menteri dan kementerian atau departemen? Menteri, tidak dapat disebut lain, selain menunjuk pada jabatan tertinggi di Departemen. Itu pertama. Tidak lebih. Kedua, pemegang jabatan itu tidak pernah lain, selain adalah orang. Orang itulah pemangku jabatan yang namanya menteri. Orang (menteri) inilah yang dikehendaki oleh baik Bung Hatta maupun Profesor Soepomo harus menyerap, merespon, apa yang Profesor Soepomo sendiri katakan “publieke Opinie” atau “perasaan umum” di dalam negara. Masalahnya sekarang bagaimana “publieke Opinie” atau “perasaan umum” itu ada diketahui, dan diketahui oleh siapa? Oleh Menteri. Apa konsekuensinya? Menteri tidak memiliki kapasitas pribadi, atau tidak berkapasitas sebagai individu dalam makna natural - natural person - tetapi individu dalam makna “legal person” diciptakan oleh UUD 1945. Konsekuensi selanjutnya adalah selama orang tersebut, siapapun dia, berstatus menteri, maka orang kapasitas pribadi, natural person terserap ke dalam kapasitasnya sebagai menteri. Status atau kapasitas hukumnya sebagai pribadi atau natural person terabsorbsi sepenuhnya dalam status sebagai menteri. Menteri menjadi legal person. Bukan natural person. Apa akibatnya? Semua tindakannya bernilai dan dianggap sebagai tindakan jabatan. Karena sebagai tindakan jabatan, maka seluruh akibat dan hal hukum, apapun itu, tidak dapat, dengan semua alasan apa saja yang mungkin dikualifikasi dan ditujukan pada pribadi. Mengapa? Pribadi naturalnya telah terabsorbsi ke dalam status menteri. Kalau tidak ada orang yang bicara, karena dikekang, takut dipenjara, dituduh fitnah dan sejenisnya, bagaimana menteri bisa tahu tentang perasaan umum yang dipikirkan oleh Bung Hatta itu? Di titik inilah “pandangan Bung Hatta menjadi penyedia, sekaligus lentera untuk Menteri mengetahui tentang “publieke opinie” atau “perasaan umum” itu. Apa itu? Hak bersuara. Kata Bung Hatta “hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan.” Kita menghendaki negara pengurus. Kita membangun masyarakat baru yang berdasar pada gotong royong dan usaha bersama.Tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu, janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, kata Bung Hatta selanjutnya, ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebut jaga di sebelah hak yang sudah diberikan. Misalnya, tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia “supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya.” Pembaca FNN yang budiman, setelah Muh. Yamin juga bicara dalam nada yang sama, pendangan Hatta itu disetujui. Persetujuan itu dicapai pada tanggal 16 Juli 1945 dan dikristalkan menjadi rumusan pasal 28 UUD 1945 yang sedang dirancang itu. Isi selengkapnya “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undan-Undang”. Hebat betul Para perancang UUD 1945 ini. Mereka tidak licik, tidak picik dan tidak kerdil. Mereka tidak menyediakan teknis, tetapi sarana konstitusi dalam memastikan negara yang sedang dirancang dan pemerintah akan bekerja setelah negara terbentuk, tidak menjadi negara penindas, tiranis. Itulah cara mereka, para Bapak Bangsa ini mengontrol, membuat jaminan negara tidak berubaha menjadi negara kekuasaan. Caranya, sekali lagi, memberi kepada warga negara hak bersuara, bicara dan hak mengkritik penguasa. Dengan hak itu, orang tidak takut bicara, karena akan ditindas, dipenjara dengan segala macam tuduhan artificial khas negara kekuasaan. Bicara tentang apa? Bicara tentang kehidupan bernegara, bicara postur aktual, nyata pemerintah, Presiden dan menteri-menteri yang merupakan pembantu-pembantunya menyelenggarakan pemerintahan. Hak bersuara adalah cara mereka para negarawan itu memungkinkan perasaan umum itu terlihat oleh pemerintah, Presiden dan menteri-menteri. Sungguh logis. Hebat para pendiri bangsa. Apa yang terjadi bila seorang menteri, siapapun orang itu, dikementerian apapun orang itu berada, tidak sungguh-sungguh, tidak bergelora, tidak aktif melaksanakan program dan kegiatan kementerian yang merupakan kewajiban konstitusionalnya? Kesungguhan, keaktifan, gelora kerja menteri adalah hal baik. Itulah yang dihasrat, dikehendaki oleh oleh Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Itulah makna tanggung jawab non hukum. Publieke opinie atau perasaan umum, tidak dapat dimaknai lain, selain sebagai satu-satunya cara para pembuat UUD 1945 itu, mengharuskan menteri, bukan hanya bekerja secara sungguh-sungguh, aktif dalam semua situasi, tetapi lebih dari itu. Sungguh manis impian para negarawan ini. Menteri itu nama-nama jabatan, dan jabatan itu hanya bisa di dunia manapun, dipangku oleh orang. Menteri, siapapun dia, yang aktif melaksanakan tugas yang didefenisikan dalam Perpres pembentukan Kementerian itu, selalu baik, selalu bagus untuk alasan apapun. Mengkahiri kasus ini dengan cara mengenal, mengamalkan dan menghidupkan semua kehendak para pembentuk UUD 1945, akan membuat bangsa menemukan jalan terang menjemput hari eksok yang hebat. Demokrasi? Unsur-unsur ganasnya harus dikenali, lalu singkirkan. Mari bersandar penuh pada kehendak pembentuk UUD 1945, yang terang seterang hati terdidik. Semoga. * Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Mudik dan Pulang Kampung Boleh, PSBB Ambyaaarrrr

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN – Kalau ada lomba dan pemilihan pemerintah mana yang paling percaya diri (pede) menghadapi pandemi Covid-19? Indonesia bakal masuk nominasi sebagai jawara. Menolak melakukan lockdown. Memberi stigma penganjur dan pendukung lockdown sebagai agenda kelompok anti pemerintah. Kemudian memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun tiba-tiba saja mengumumkan relaksasi. Alasannya pertimbangan ekonomi. Terhitung Kamis (7/5) semua moda transportasi diperbolehkan kembali beroperasi. Mudik ataupun pulang kampung semua diperbolehkan. Dengan embel-embel “dengan kepentingan mendesak dan mematuhi protokol Covid-19” “Jangan dibuat dikotomi, “ kata Menhub Budi Karya Sumadi yang baru saja sembuh dari Covid-19. Wajar bila dua orang akademisi dari Australia Jonatan A Lassa dan Miranda Booth sebelumnya mensejajarkan gaya kepemimpinan Jokowi dengan Presiden AS Trump, PM Inggris Boris Johnson, dan Presiden Brazil Jair Bolsonoro. Keempat orang itu disebut sebagai populis leader. Pemimpin populis yang kebijakannya menghadapi pandemi mempunyai tiga ciri utama: Optimistic bias, Leadership ambiguity, Ignorance for science. Bias optimistik, kepemimpinan yang ambigu, dan abai, tak peduli dengan ilmu pengetahuan. Trump menolak lockdown, bahkan berseteru dengan beberapa gubernur negara bagian yang mengambil kebijakan lockdown. Johnson semula mencoba menerapkan strategi herd immunity (kelompok kebal) dan terlambat melakukan lockdown. Dia sendiri kemudian terkena Covid-19, sampai masuk ICU. Bolsonoro lebih edan lagi. Dia ikut turun ke jalan bersama para penentang lockdown, berpidato di depan publik tanpa mengenakan masker. Mendorong rakyatnya untuk kembali bekerja, dan tanpa takut bersalaman dengan para pendukungnya. Hasilnya seperti sama-sama kita ketahui, AS kini menjadi negara dengan jumlah terinfeksi dan meninggal tertinggi di dunia. Situs Worldometer mencatat per 6 Mei korban tewas sebanyak 72.271. Jumlah korban meninggal dunia di Inggris sudah menyalip Italia dan Spanyol. Angkanya tembus 29.427. Sementara Brazil menjadi negara dengan jumlah korban tewas tertinggi di Amerika Latin. Total 7. 958 orang. Bagaimana dengan Indonesia?Sejauh ini Alhadulillah jumlah korban yang terinfeksi, maupun meninggal dunia termasuk cukup rendah. Dari total 12,071 positif, tercatat 872 orang meninggal dunia. Sungguh ajaib! Sayangnya banyak yang meragukan akurasi data tersebut. Baik pengamat di dalam dan luar negeri tidak yakin-yakin amat dengan angka-angka yang dipaparkan oleh pemerintah. Jumlah korban sesungguhnya, baik yang terinfeksi maupun meninggal dunia, diduga jauh lebih besar. Hal itu disebabkan rendahnya mereka yang menjalani test, serta banyak korban meninggal dunia yang tidak terdiagnosa. Keraguan yang cukup masuk akal. Masih menggunakan data dari Worldometer, sampai saat ini Indonesia baru melakukan test sebanyak 121.547 orang. Dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia, hanya sekitar 444 orang dari setiap 1 juta orang. Mari kita bandingkan dengan negara lain, terutama negara tetangga. Singapura dengan penduduk hanya sekitar 5,6 juta orang, sudah melakukan test sebanyak 143.919. Rasionya 24.600/juta. Malaysia telah melakukan test terhadap 213.220 orang, atau 26.848/juta. Australia sebanyak 684.615/juta. Sementara Vietnam yang mencatat zero case, alias tidak ada kematian telah melakukan test sebanyak 261,004 orang atau 2.681/juta. Negara-negara tetangga ini jumlah penduduknya jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Namun mereka melakukan test jauh lebih banyak, baik secara jumlah maupun dengan rasio penduduknya. Fokus ekonomi Jika kita mencermati semua kebijakan pemerintahan Jokowi, langkah melonggarkan moda transportasi itu tak terlalu mengagetkan. Sejak awal pemerintah terkesan tidak menganggap serius ancaman Covid-19. Mengangap enteng, nantangin. Mereka lebih cenderung memikirkan dampak ekonomi ketimbang dampak bencana kesehatan. Mulai dari sikap pemerintah yang tetap melanjutkan pembangunan ibukota baru. Aliran masuk TKA Cina. Kontroversi mudik dan pulang kampung dari Presiden Jokowi. Keinginan dari Menko Luhut Panjaitan agar kawasan wisata Ancol, Jakarta dapat dibuka pada saat lebaran, sampai relaksasi mudik. Alasan Kemenhub, berdasarkan masukan dari Kemenko Perekonomian pelarangan mudik dikhawatirkan akan mempengaruhi roda perekonomian nasional. Pemerintah tampaknya cukup pede karena pada awal Mei data baru penderita Corona di Jakarta mulai turun. Pemerintah pusat tutup mata dan telinga atas masukan dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan medis, sampai para kepala daerah agar jangan sampai ada relaksasi. Jangan over pede dan terburu-buru melonggarkan PSBB. Turunnya jumlah yang terinfeksi, selain PSBB juga dikarenakan banyak warga yang mengambil langkah melakukan lockdown di rumah, sukarela tanpa jaminan dari pemerintah. Peringatan itu benar adanya. Selasa (5/5) jumlah penderita di DKI Jakarta kembali meningkat. Di beberapa daerah juga terjadi lonjakan. Di Bali ditemukan satu kampung yang positif Corona. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. 443 orang. Di Surabaya malah ditemukan sebuah kluster baru penyebaran Covid-19. Ratusan pekerja di pabrik rokok PT Sampoerna harus dikarantina. Dua orang meninggal dunia, dan puluhan lainnya positif Corona. Relaksasi mudik. Membebaskan seluruh moda transportasi darat, laut, dan udara, kendati dengan embel-embel “kepentingan mendesak dan memenuhi protokol Covid-19, ” dikhawatirkan akan membuat warga lengah. Merasa aman dan tidak lagi berhati-hati. Dampak dari pembebasan ini —apapun embel-embelnya— akan membuat kerja keras para kepala daerah yang telah menerapkan PSBB, menjadi sia-sia. Semuanya ambyaarrr karena Indonesia memiliki pemimpin yang bias optimistik, kepemipinannya ambigu (tak jelas, kabur, dan ragu-ragu), abai dan tidak peduli dengan ilmu pengetahuan. Ampuuunnnn deh. End Penulis Wartawan Senior.

Akankah Terjadi Gejolak Sosial Yang Besar?

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (06/05). Berarawal dari kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok, gejolak sosial itu lahir. Meski Ahok kalah di pilgub DKI dan divonis dua tahun penjara, gejolak sosial tak juga surut. Gelombangnya justru makin besar jelang dan pasca pilpres. Kelompok kontra Ahok merasa mendapat perlakuan tak adil. Pilpres jadi ajang perlawanan mereka. Sayangnya, tak sukses. Kecurangan jadi isu utama. Banyak kasus yang menurut mereka dianggap ganjil. Mulai dari keterlibatan aparat, hilangnya kotak suara, adanya intimidasi, situng KPU yang bermasalah, hingga kematian 894 petugas pemilu. (Kompas 22/1). Pasca pemilu, negeri ini diwarnai protes. Demonstrasi telah menelan sejumlah korban. Tidak saja luka, tapi beberapa meninggal. Kabarnya, ada ratusan orang dipenjara. Sebagian besar pemimpin dan tokoh sentralnya jadi tersangka. Gejolak sosial melandai setelah penguasa berhasil memotong garis komando. Dan nyaris hilang setelah Prabowo, calon pemimpin mereka bergabung dengan penguasa. Kelompok kontra Ahok makin terpinggir. Kekalahan ini juga menyisakan kekecewaan yang demikian mendalam. Medsos jadi ajang pengungkapan, sekaligus perlawanan mereka. Menarik jika kita mencermat apa yang menjadi faktor kekalahan itu. Pertama, salah pilih calon. Kedua, tak mampu mengukur strategi lawan. Curang... Curang... Curang.... Pertanyaannya, mana ada pemilu yang nggak curang? Dari dulu, incumbent ya curang. Ini terjadi di semua rezim. Ada yang silent, ada yang terang-terangan. Tahu itu, kenapa nggak siapin strategi. Kalau nggak siap hadapi kecurangan, ya jangan bertarung. Tapi, itu sudah berlalu. Di arena pertarungan, jika salah satu ada yang kalah, kompetisi berakhir. Otomatis juga, gejolak sosial pun melambat dan akhirnya berhenti juga. Sebagian tetap dengan idealismenya dan memilih jadi oposisi. Sebagian yang lain bergabung dengan penguasa. “Oportunis”, teriak mereka terhadap kawannya yang memilih untuk bergabung. Yang kasihan, sudah bergabung, bahkan mati-matian membela, nggak dapat posisi apa-apa. Ya, risiko sebuah pilihan. Nama baik rusak, jatah nggak dapat. Setelah terbebas dari perlawanan oposisi, penguasa dihadapkan pada masalah baru. Kasus di Jiwasraya dan Asabri terbongkar. Sejumlah BUMN bangkrut. Protes terjadi dimana-mana. Hanya karena protesnya tak terkonsolidasi, maka tak punya pengaruh secara politik. Secara teoritis, transformasi politik hanya akan terjadi jika rakyat kecewa, dan kekecewaan itu terkonsolidasi dalam protes dan perlawanan bersama. Selama ini, penguasa selalu berhasil memotong proses konsolidasi tersebut, sehingga tak sempat jadi perlawanan yang besar. Peristiwa yang tergolong agak rawan saat ini adalah Pandemi Covid-19. Bukan soal pernyataan yang nyeleneh dari para menteri. Bukan keterlambatan pemerintah dalam menangani covid-19. Bukan pula amburadulnya data penerima bantuan yang diprotes para kepala desa di Sukabumi. Bukan itu. Apalagi cuma kasus dugaan adanya korupsi di program pra kerja. Itu mah kecil. Nggak ngaruh. Belasan, bahkan puluihan triliun rupiah kasus di Jiwasraya dan Asabri saja lewat. Gejolak besar kemungkinan bisa terjadi justru di dampak ekonomi akibat pandemi covid-19. Nampak sekali pemerintah sangat hati-hati. Menolak lockdown, namun mendatangkan TKA dari China, membuka kembali jalur transportasi, darat maupun udara. Pemerintah sadar, jika ekonomi megap-megap, bisa kelar. Sebelum itu terjadi, lakukan pengendalian. Akibatnya, nyawa rakyat berpotensi jadi taruhan. Jakarta melandai, pindah ke Semarang, Surabaya dan Makassar. Dibukanya kembali transportasi saat ini bisa berakibat memperlama masa pandemi. Perlu ada relaksasi PSBB, kata Mahfud MD. Orang kalau di rumah terus imunnya bisa turun, kata Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Luhut mengusulkan tempat-tempat wisata untuk dibuka kembali. Sebenarnya, tempat wisata itu urusan Kementerian Pariwisata atau Menko Maritim ya? Ingat, itu ada hubungannya dengan investasi. Luhut juga menteri urusan investasi. Jadi, jangan salah praduga. Semua kementerian ada hubungannya dengan investasi. Semua presiden, siapapun dia, jika krisis ekonomi tak terkendali, tumbang juga. Sebab, semua rakyat merasakan lapar, dan saat itu tak lagi ada dikotomi pendukung atau bukan pendukung. Apalagi soal politik, istri lapar dan suami nggak bisa ngasih makan saja, pasti minta cerai. Kelaparan mengakibatkan gejolak sosial. Saat itulah hampir seluruh rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Jika ini terjadi, maka transformasi politik tak bisa dibendung lagi. Karena itu, pemerintah harus super hati-hati soal yang ini. Terus melakukan pengendalian ekonomi. Bagi pemerintah, nampaknya ini jadi prioritas utama. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Soal 500 TKA China, Mengapa Presiden Diam?

By Dr. Margarito Kamis Kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki. Lebih biadab dibandingkan otokrasi. Lebih egois dibandingkan birokrasi. (Abraham Lincoln, Presiden Amerika 1861-1868). Jakarta FNN – Selasa (05/05). Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China datang. Meraka akan datang lagi, dengan berbagai alasan. Heboh dan heboh lagi. Dan Presiden Jokowi, seperi biasa, diam. Presiden memang boleh punya kalkulasi sendiri, tetapi Presiden dilarang membuat dunia sendiri. Presiden boleh mati-matian menggelorakan investasi, sehingga uang, uang dan uang mengalir masuk, tetapi Presiden tidak boleh terasing dari UUD 1945. Itu penting untuk dipahami. Tetapi entah mengapa sejauh ini Presiden, terus-terusan membisu. Diam sediam-diamnya. Presiden selaksa menghilang dari isu TKA asal China. Dalam isu ini, Presiden seolah berada di dunia lain. Dunia ciptaannya sendiri. Apa yang ditakutkankan oleh Presdien? Apakah Presiden tidak berdaya menghadapi Presiden Xi Jingpin, atau Thungsian, investor smelter asal China itu? Presiden dapat diduga tak diganggu ketaktuan hebat. Sungkan atau apapun yang sejenisnya pada Presiden Xi Jingpin. Juga tidak takut dan sungkan pada Tshinghan Group (investor China) atau PT Victoria Dragon Nickel Industri Park (VDNIP). Juga kepada PT. Osidian Stenless Steel di Kendari. Karena tak diganggu oleh ketakutan itu, maka Presiden hanya perlu jujur “sedikit saja”. Menjelaskan apa kehebatan mereka. Presiden jujur “sedikit saja” akan terasa lebih dari cukup. Sesedikit apapun itu, membuka masalah sebenarnya kepada rakyat. Akan ditandai bahwa Presiden memenuhi kewajiban transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dunia telah begitu terbuka. Informasi yang terkubur hari ini, akan terbuka pada hari lain. Selalu begitu. Dititk itu, terasa membuka informasi seterang mungkin mengenai korporasi-korporasi, termasuk yang kemungkinan mereka berhasil menempatkan orang penting mereka. Bukan sebagai jongos, tetapi penghubung di dalam pemerintahan. Bicaralah Pak Presiden. Dimanapun di dunia ini, Presiden harus terus bicara menghenai masalah bangsa. Presiden bicara itu menjadi pekerjaan. Hal yang biasa, sebiasa kerbau bernafas dilakukan Presiden. Jadi, Pak Presiden bicaralah. Ruang yang ada saat ini, sepenuhnya bersifat kebangsaan. Ruang ini dipenuhi kembang dan panorama bernapaskan transparansi, dengan akuntabilitas sebagai partner intinya. Ingat, Presiden dimanapun didunia ini tidak memiliki ruang privat. Sedang di tempat peristirahatan sekalipun, Presiden tetap bestatus officialy. Presiden harus diberi itu, agar tidak mengambil tindakan yang ngaco. Misalnya, memperkarakan orang yang mengolok-olok pemerintahannya. Beda dengan ruang privat. Ruang ini ditempati oleh orang non state. Ruang ini adalah ruang orang-orang privat. Orang-orang yang tidak menyelenggarakan kekuasaan yang bersumber dari UUD 1945 dan UU. Karena itu, makhluk privat bisa berbuat sesuka mereka. Mereka bisa terlihat sangar, sombong, berkata sesukanya. John D. Archol, Bos Exon di tahun 1960-an adalah salah satu tipikalnya. Tapi saya ingin mengajukan Rockefeller, pencipta Standaar Oil sebelum akhirnya berubah menjadi Exon, sebagai tipikal yang menarik. Rockefeller bisa diam seribu bahasa menghadapi kritik setajam dan sehina apapun. Itulah Dia. Tapi jangan salah, dalam diamnya Rockefeller terus melangkah ke depan memupuk untung demi untung. Dia akan bergerak dari satu ladang minyak ke ladang minyak lainnya. Exon, nama baru untuk Standard Oil yang terpukul oleh ketajaman kritik Ida Tarbel, Jurnalis Muckraker andal, dalam kenyataannya bergerak dari satu konsesi ke konsesi lainnya di dunia. Menggurita dengan sangat canggih. Besar melampaui sebagian negara-negara berdaulat. Mereka terlalu canggih bermain dengan semua tekniknya. Kandungan licinnya selicin minyak. Memukul pesaing dengan semua cara. Mengandalkan kekuatan jaringan dalam menekuk negara calon pemberi konseksi. Tetapi ketika semua taktik terlihat bagai macan ompong di depan pemerintahan, dengan kadar nasional 24 karat, seperti Libia di bawah Khadafi muda, pemerintah mereka dipanggil menanganinya. Bicaralah Pak Presiden. Bicaralah seterang dan sejelas dalam skala kapasitas Presiden. Jelaskanlah, semoga penjelasan itu bisa membantu menyehatkan bangsa ini dari lilitan Corona. Tidakkah sebegitu menakutkan Corona ini, sehingga Bapak Presiden harus mengambil kebijakan menyakitkan. Melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar? Lalu sebagai konsekuensinya orang-orang dilarang keluar rumah? Semua orang, dalam kebijakan ini, diminta dalam nada yang menekan, harus tinggal dirumah. Bukan itu saja. Mudik, tradisi menahun republik pun ikut dilarang. Semua kebijakan menyakitkan harus diambil dan diterima rakyat. Sepenuhnya demi menghasilkan sebesar mungkin ruang-ruang sehat. Orang tahu hanya itu cara terampuh sejauh ini dalam mencegah menggilanya corona. Efek langsung corona, sejauh ini telah sangat jelas. Orang tak bisa kerja. Kalaupun kerja, mereka tak bisa leluasa. Sebagian korporasi, sejauh ini mulai terkepung efek ekonomi dan keuangan corona. Korporasi pas-pasan telah terjepit rapat. UMKM, kabarnya sebagian telah terjungkal. Lalu sekali lagi, orang-orang kehilangan kerja. Tak punya duit. Mereka itu jutaan jumlahnya. Mungkin tak perlu bilang tragis, konyol, dan arogan. Tapi membiarkan kebijakan masuknya TKA asing asal China, tanpa relaksasi di tengah rakyat sesulit sekarang, jelas sangat mencabik-cabik jantung bangsa ini. Perasaan kebangsaan kita terusik, dan wajib harus terusik. Jantung itu ditulis pada alinea keempat pembukaan UUD. Itu adalah tuntunan untuk Presiden, siapapun figurnya. Alinea keempat pembukaan UUD 1945 itulah jantung bangsa dan negara. Itulah esensi politik bangsa ini dibuat. Tidak lain, kecuali melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan siapa? Bukan kesejahteraan TKA asal China itu Pak Presiden. Tetapi kesejahteraan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Apapun agama, warna kulit dan sukunya. TKA asal China berjumlah 500 orang itu, yang kabarnya akan memasuki Kendari, Sulawesi Tenggara, jelas menjungkir-balian perasaan kebangsaan orang-orang yang tinggal dirumah. Tanggung jawab mensejahterakan rakyat itu, sampai kapanpun bukan menjadi tanggung jawab korporasi. Ini tanggung jawab Presiden, juga tanggung jawab pemerintah pada level dibawahnya. Tanggung jawab ini didasarkan pada perintah kontitusi negara Pak Presiden. Pada titik ini, sikap Wali Kota, salah satu anggota DPRD Kota Kendari dan Forkopinda, patut disyukuri. Bukan karena sikap itu mencerminkan mereka mengenal suasana batin rakyatnya. Tetapi lebih dari itu. Hebat, mereka mengerti adab, tata karma dan etika berperintahan. Mereka, kabarnya hendak menyurati Presiden agar kedatangan orang-orang China ini dihentikan. Beruntung Pak Wali, Anggota DPRD dan Forkopinda, masih memiliki kepekaan kebangsaan. Hebat, figur-figur ini tidak termakan. Meraka tidak tenggelam bersama dengan gagasan kelancaran investasi, yang lebih merupakan mantra klasik kapitalis itu. Hebat, mereka juga tak tergoda, tidak tersipu mantra klasik lainnya, yakni tenaga kerja full skill. Sejarah dengan kebenaran yang telah tersaji, cara yang satu dan lainnya berbeda. Menunjukan lebih dari biasa. Sebab investor-investor dan pencinta palsu investasi, selalu menyodorkan tenaga kerja full skill. Biasanya alasan full skil ini sebagai kartu kuncinya. Itu adalah mantra klasik investor untuk menaklukan dan menyingkirkan setiap gagasan bersebarangan. Apalagi gagasan itu bermuatan nasionalisme. Sungguh sejarah menunjukan dengan jelas, tenaga kerja terdidik, terampil itu bukan elemen tak tergantikan. Itu dibuat mewah dan mengerikan oleh investor. Sekedar sebagai cara memutar kembali uang mereka ke kempung halamannya. Pak Wali dan jajarannya seolah, kalau tidak membunyikan loceng peringatan. Setidaknya mengingatkan bangsa ini untuk, pada setiap kesempatan meletakan “alinea keempat UUD 1945” dalam membuat kebijakan investasi. Kebijaan investasi, harus sedekat mungkin berada di jantung perintah UUD 1945. Caranya, salah satunya, memprioritaskan warga negara Indonesia pada situasi ini. UUD 1945 mengharuskan Presiden menempatkan warga negara memperoleh pekerjaan pada jantung kebijakan bernegara. Itu satu. Pak presiden harus disegarkan pengetahuannya bahwa tugasnya adalah memakmurkan rakyat. Bukan perkara jumlah rakyat yang telah diserap dalam pekerjaan korporasi itu. UUD tidak mengenal angka-angka itu. Konstitusi mengharuskan rakyat harus makmur. Dalam kerangka itu rakyat tidak dapat direduksi ke dalam angka-angka kerja dalam perusahaan itu. Orientasi investasi asing, suka atau tidak, senang atau tidak, harus dikerangkakan pada perintah UUD 1945. UUD memerintahkan secara imperatif “sumberdaya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Presiden, pantas diingatkan untuk tak terintimidasi. Setidaknya tak terpukau dengan tesis Rockefeller ketika menantang Ida Tarbel, jurnalis yang gigih menantang Standar Oil. Rockefeller terkenal dengan tesis khasnya. Minyak, katanya memang disediakan alam, tetapi alam tidak akan membuka pembuluh-pembuluhnya jika para produsen tidak memaksanya berbuat begitu. Dapat dikatakan, Rockefeller mengatakan “minyak sampai ke tangan anda karena ada sentuhan korporasi.” Seperti biasa dalam semua usaha yang mirip, uang, teknologi, termasuk pengoperasiannya dianggap sebagai kunci. Itu sebabnya, investor-investor lintas negara mengontrol teknologi dan semua yang terkait. Lalu mereka segera menemukan kenyataan mereka “dewa penyelamat” bagi negara-negara bodoh dan miskin atau miskin sekali. Selalu begitu. Akankah cerita 500 TKA asal China, akan berakhir dengan mereka tetap masuk Kendari? Itu soal besar. Mengapa? Siapa yang dapat memberi informasi bahwa di atas meja Presdien tersaji beberapa pilihan kebijakan? Bagaimana bila pilihan kebijakannya adalah Presiden tetap diam? Biarkan saja semua hiruk-pikuk saat ini berkembang. Karena hiruk-pikuk itu juga akan menemui akhirnya sendiri. Presiden punya hak eksklusif membiarkan semua rasa sendu saat ini berjalan sebagai adanya. Presiden mungkin telah tahu korporasi tidak pernah menempatkan dalam pemikiran dan tindakannya, hal-hal yang orang waras sebut kearifan. Pak Presiden, semoga saja tidak sedang suka dengan risiko-risiko kecil yang dibesar-besarkan investor, dan kaki tangannya. Korporasi, kapitalis dan kaki tangannya, berwajah apapun selalu sama dalam satu hal. Menganggap orang seperti Ida Tarbel sebagai ketinggalan zaman. Ini orang-orang berisik. Tak mengerti kerumitan investasi. Selalu begitulah tabiat mereka. Presiden, saya yakin tahu bahwa kearifan, tidak pernah ada dalam daftar hitungan investor. Investor tahu kearifan itu urusan pemerintah. Itu sebabnya Pak Presiden perlu maju, berdiri di podium kepresidenan. Lalu bicara kepada bangsa ini, apa sikap mutakhir Presiden soal TKA asal China itu? Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitras Khairun Ternate

Perbankan Nasional Sangat Tidak Ramah Kepada UMKM

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (03/05). Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Gubernur BI menyampaikan pelaksanaan Quantitative Easing (QE) senilai Rp. 503,8 trilliun. Jumlah ini adalah akumulasi kebijakan moneter BI hingga bulan Mei 2020. Selama periode Januari hingga Mei tahun ini, BI telah menambah pasokan likuiditas ke dalam perekonomian melalui serangkaian kebijakan pelonggaran kuantitas (QE). Sepanjang periode Januari-April 2020, nilainya sebesar Rp. 386 triliun. Instrumennya berupa Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp. 166,2 trilliun, Term Repo sebesar Rp. 137,1 triliun, Swap Foreign Exchange (FX Swap) Rp. 29,7 triliun dan Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 53 triliun. Sementara untuk periode Mei akan ditambahkan lagi sebesar Rp 117,8 triliun. Dalam bentuk penurunan GWM periode Mei sebesar Rp. 102 triliun, dan selebihnya berasal dari pengurangan kewajiban tambahan Giro sebesar Rp. 15,8 triliun. Karena periode tambahan itu dimulai dari Januari 2020, maka tambahan sebesar Rp. 503,8 triliun itu tidak seluruhnya dapat dikatakan sebagai bentuk QE di masa pandemi Covid 19. Yang dapat dikatakan adalah, dalam periode ini BI telah melakukan kebijakan dua tahap. Tahap pertama, sepanjang periode Januari –F ebruari, berupa relaksasi kebijakan moneter normal. Tahap kedua, berupa kebijakan Pelonggaran Kuantitas dalam rangka merespon krisis yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid 19. Saya membaginya seperti itu untuk menunjukkan bahwa tren kebijakan moneter BI dalam merespon perkembangan makro perekonomian pada dasarnya adalah tren relaksasi. Namun kemudian, karena perkembangan tidak terduga dari krisis pandemi, kebijakan relaksasi itu berubah menjadi agresif dan membutuhkan kebijakan lebih dari sekedar relaksasi yang berbentuk pelonggaran kuantitas (QE), atau populernya “pencetakan uang” besar-besaran kedalam perekonomian. Untuk kepentingan tulisan ini, istilah “‘pencetakan uang” ini saya samakan dengan penciptaan uang (money creation). Sebab nampaknya, tren ini akan berkembang terus seiring dengan perkembangan perekonomian nasional. Terhadap suatu tambahan likuiditas sebesar ini, tentu menarik untuk kita ajukan pertanyaan, untuk apa dan kepada siapa likuiditas itu sesungguhnya ditujukan? Bersumber dari data BI, eksposure kredit UMKM di dalam sistem perbankan nasional sampai September 2018 berjumlah Rp. 1.037,6 trlin, dari Rp. 5.284,6 trliun, atau sekitar 19,6% dari total baki kredit perbankan. Selebihnya, 80,4% baki kredit dikuasi oleh sektor non UMKM, atau sekitar Rp. 4.247 triliun yang diperuntukkan untuk korporasi. Baki kredit untuk UMKM ini dialokasikan kepada 16.394.106 nasabah UMKM. Padahal di Indonesia, hingga tahun 2019 terdapat 59 juta UMKM. Dari jumlah baki kredit UMKM itu, Bank-bank BUMN, BPD dan BPR/BPRS menyalurkan sekitar Rp. 665,23 trliun atau 64% dari total baki kredit UMKM. Selebihnya, 36% disalurkan oleh perbankan swasta dan JV Bank. Dari data ini, kita memperoleh dua kesimpulan umum. Pertama, bahwa penetrasi sistem perbankan nasional kepada sektor UMKM sangat tidak proporsional. Itupun kalau tidak mau dikatakan “tidak-adil”. Tidak proporsionalannya bukan saja dari segi rendahnya alokasi kredit terhadap sektor ini, tetapi juga proporsi masih mayoritasnya sektor UMKM yang tidak memperoleh akses dan perhatian dari perbankan. Ini juga menunjukkan bahwa perbankan nasional sesungguhnya sangat tidak ramah terhadap UMKM. Dan cenderung eksklusif terhadap korporasi. Apapun alasannya, struktur ini mencerminkan ketidak-sehatan sistem keuangan nasional kita. Yang pada akhirnya, dimasa-masa krisis seperti ini menyebabkan UMKM kita menjadi rentan. Pada tingkat pengambilan kebijakan, menyulitkan otoritas melakukan penyesuain kebijakan (adjustment policy). Kedua, adalah rendahnya partisipasi perbankan swasta di sektor UMKM ini. Memang ada alasan yang mengatakan bahwa partisipasi rendah ini dikarenakan selama ini, pemerintah banyak menggunakan perbankan non swasta dalam menjalankan kebijakan pro UMKMnya. Argumen yang lebih sinis mengatakan bahwa semua ini dikarenakan perbankan swasta lebih memilih korporasi karena selain lebih mudah, volume kreditnya juga besar. Jumlah nasabah juga yang tidak besar, sehingga dapat menekan biaya pengelolaannya, alias lebih menguntungkan. Lantas, apakah kita bisa mengatakan bahwa membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dengan struktur yang tidak ramah terhadap UMKM, bisa memberi manfaat besar bagi UMKM kita, yang sedang sekarat ini?. Padahal dimasa krisis ini, UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar dalam perekonomian kita sedang mengalami masa-masa sulit. Sudah jamak diketahui bahwa diantara efek QE dimasa sulit seperti ini adalah munculnya fenomena Cash Hoarding di perbankan. Suatu fenomena dimana perbankan memilih mengkonsolidasikan ekses likuiditasnya dalam memperkuat neracanya, Mereka lebih cenderung memilih untuk “bernegosiasi” dengan debitur korporasinya. Ditatar lebih lanjut, fenomena diatas menjadi sumber kritik banyak pihak terhadap permodelan QE yang tidak merumuskan kebijakan keberpihakannya secara tegas kepada UMKM. Kritiknya adalah, QE lebih memberi kesempatan kepada korporasi dan “orang-orang kaya” untuk berkonsolidasi di masa krisis. Karenanya semakin mempelebar jurang antara yang “kaya-miskin” dalam perekonomian. Sekali lagi, ini fenomena jamak yang bisa ditemukan dalam banyak sekali literatur dari ekonom-ekonom terkemuka yang mengkritik dampak QE saat memperluas “ineqaulity” dalam perekonomian. Tanggung jawab soal ini tentu bukan saja dibebankan kepada BI. Tetapi yang utama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kerana OJK sebagai otoritas independen yang menaungi perbankan. Ini adalah tugas mulia dan suci buat OJK dalam melakukan penyesuian struktural terhadap sistem keuangan nasional kita yang tidak ramah UMKM. OJK jangan sia-siakan momentum ini. OJK mestinya berdiri di garis yang paling depan dalam soal permodalan UMKM ini. Penulis menekankan ini, sebagai wujud tanggung jawab moral. Karena penulis juga merupakan mantan Pimpinan Pansus Pembentukan UU OJK yang menjadi dasar berdirinya OJK sekarang. Tanpa suatu keberpihakan yang tegas dari otoritas, upaya membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dan keuangan nasional kita melalui QE hanya akan meninggalkan UMKM dalam limbo ketidak berdayaan. Alih-alih, malah akan memperparah kesenjangan didalam perekonomian nasional kita. Kesuksesan kebijakan QE dalam mem”bail-out” sektor UMKM terletak pada perubahan proporsi baki kredit untuk UMKM dan bertambahnya jumlah UMKM secara signifikan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan QE. Untuk itu, OJK sudah selayaknya menerbitkan kebijakan yang “memaksa” perbankan untuk menyalurkan likuiditasnya kepada UMKM dalam proporsi yang lebih besar. Diantaranya dengan memberi bobot khusus dalam proporsi Loan to Deposit Ratio (LDR) kepada UMKM dalam neraca perbankan. Bentuknya dapat berupa pengaturan yang bersifat “mandatory loan” kepada UMKM oleh perbankan dalam proporsi baki kreditnya. Khusus untuk BI, perlu juga mempersyaratkan suatu mekanisme “‘mandatory” kepada perbankan dalam penggunaan fasilitas BI. Itu terutama pada perjanjian yang berhubungan dengan Repo SBN perbankan. Insya Allah, dalam kesempatan lain, kita bisa mendiskusikan (tulisan khusus) soal ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon pertolongan dan berserah diri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Bank Indonesia, Mirip Dengan Negara Berdaulat

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (02/05). Demokrasi telah datang sekali lagi untuk Indonesia tercinta ini, setelah gelombang reformasi memukul banyak hal. Gembira ria orang menyambut dan merayakan datangnya alam demokrasi itu. Apalagi kedatangannya disokong kuat oleh negara-negara yang selama ini telah menjadikan demokrasi sebagai jimatnya. Ide-ide demokrasi pun segera diinstitusionalisasi. Lahirlah sejumlah lembaga baru. Bank Indonesia, yang semula sama dengan Amerika, tidak diatur dalam konstitusi, telah disokong secara unik oleh reformasi. Hasilnya, institusi ini dibawa masuk ke dalam konstitusi. Jadilah institusi ini sebagai organ konstitusi. Mahkotanya pun ditulis dalam konstitusi. Mahkota itu bernama “independensi”. Cara menulisnya, sebenarnya tidak unik untuk siapapun yang terlatih mengenal secara kritis penormaan sesuatu yang tidak selalu disukai oleh banyak orang, tetapi dibutuhkan. Tentu untuk kepentingan tertentu, entah apa dan siapa, dijadikan huruf-huruf hukum. Negara Sendiri Persis pola “politik pintu terbuka” yang menjadi tabiat teknis korporasi-korporasi minyak dan gas kelas dunia memasuki satu area baru. Setelah masuk, mereka lalu mengunci diri di dalamnya, sehingga pesaing lain tidak bisa lagi memasuki areal tersebut. Pasal 23D UUD 1945 tidak menyatakan secara rigid dalam satu kalimat terstruktur dengan rumusan begini “Bank Indonesia Bersifat Independen.” Itu tidak ada. Rumusan persis pasal 23D UUD 1945 adalah “Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan “independensinya” (tanda petik dari saya) diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal 23D UUD 1945 itu sangat simple. Sederhana sekali. Tetapi jangan lupa ini merupakan taktik standar mengunci argumen lawan atau orang yang tidak berkenaan dengan hal itu. Tesisnya begini, bangun dulu legalitas atau fundasinya dalam UUD 1945. Perkara perluasan. Itu urusan nanti. Apa konsekuensi hukum rumusan pasal 23D UUD 1945 itu? Rumusan pasal ini dapat dianalogikan sebagai memberikan cek kosong. Isinya terserah saja. Berapapun angkanya yang mau ditulis dalam cek itu, terserah pada sipenerima cek. Sifat ini digunakan juga dalam UU Nomor 3 Tahun 2004. Itu terlihat pada rumusan pasal 3. Selengkapnya rumusan pasal ini berbunyi begini “BI adalah badan hukum menurut UU ini.” Simpel saja. Itulah nalar logis memahami rumusan tugas, wewenang serta independensi Bank Indonesia yang diatur, terutama dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999, dan UU Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Rumusan pembukanya pendek. Tetapi yang penting itu pintu terbuka dulu, karena segera setelah itu pintu akan mengayun, dan terkunci rapat untuk siapapun. Terkuncinya pintu itu terlihat pada rumusan, misalnya pasal 54 yang esensinya “pemerintah wajib meminta pendapat BI ketika pemerintah membahas kebijakan ekonomi dalam rapat kabninet.” Sama dalam esensinya pada dengan ketentuan di atas. Terdapat ketentuan lain, misalnya yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi terlebih dahulu dengan BI. Bahkan menyertakan BI dalam rapat kabinet yang membicarakan masalah-masalah ekonomi dan keuangan. Termasuk pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI ketika pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Berseberangan dengan ketentuan itu, dan dititik ini terlihat samar-samar BI memiliki kemiripan dengan sebuah negara berdaulat. Mengapa? Orang pemerintah yang hadir, karena diundang BI dalam rapat dewan gubernurnya, hanya untuk memiliki hak bicara. Tidak lebih dari hanya bicara. Orang pemerintah yang hadir dalam rapat itu, tidak diberi hak suara. Semua eksklusifitas BI itu, untuk penalaran hukum konstitusi positif, memang harus diterima sebagai hal tak terhindarkan. Penalaran hukum konstitusi positif tentang “independensi” memang begitu adanya. Begitulah “independensi” bekerja dalam lintasan kerangka hubungan hukum antar lembaga atau cabang-cabang kekuasaan. Sedemikian manisnya ekslusifitas itu disematkan kepada BI, sehingga terasa agak konyol. Dimana letak kekonyolan itu? Presiden tidak bisa ikut campur dalam urusan BI, untuk alasan apapun, tetapi dapat menerima bantuan kerjamama dengan lembaga lain. Memang pintu itu tidak diatur secara tegas di UU, melainkan dalam penjelasannya. Tetapi telah cukup meratakan, merobohkan tembok “independensi.” Kerjasama, boleh jadi metode memasukan pikiran, untuk tak menyebut interfensi lembaga-lembaga keuangan asing ke dalam BI. Mengawalinya dengan gagasan dan ide, lalu berakhir dengan kebijakan. Toh kebijakan BI cukup diatur dengan Peraturan BI. IMF dan World Bank, yang terlihat sebagai rentenir kelas dunia, yang mematikan itu, memiliki kesempatan memasuki BI melalui pintu kerjasama itu. Punya Dua Bos Presiden, siapapun figurnya, suka atau tidak, menurut konstitusi adalah satu-satunya pemegang kekuasaan pemerintahan di negera ini. Dalam kedudukan konstitusional itu, presiden memimpin seluruh penyeleggaraan urusan pemerintahan di negara ini. Masalahnya sekarang, mengapa Presiden diisolasi dari urusan dengan keuangan? Apakah ada urusan perekonomian nasional yang tak terjalin dengan uang, mata uang, stabilitas keuangan, dan sejenisnya? Urusan uang itu mahluk apa? Mengapa Presiden diisolasi secara ekstrim, dengan hanya melalui UU, sehingga tak bisa terlibat merumuskan kebijakan terkait dengan kewajiban konstitusionalnya? Dua bos, itulah yang patut dikatakan dalam menggambarkan pemisahan ekstrim dua urusan ini. Presiden hanya mengurus ekonomi di luar keuangan. BI disisi terdekatnya memonopli urusan keuangam, dan dalam level yang cukup menentukan, juga ekonomi. Karakter ini terus dipertahankan. Juga terus diperlebar dari waktu ke waktu. Mengapa? Semua UU di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, BI, persis seperti The Federal Reserve di Amerika. Terus diberi tambahan kewenangan. Persis Amerika, tambahan kewenangan BI juga dilakukan melalui UU. Pemerintah menerbitkan surat berharga dan dibeli oleh Bank Indonesia. Inilah soalnya, dilihat dari sudut cara kita bernegara. Apa soalnya? Bank ini memiliki terpisah dari pemerintah. Organ ini adalah organ tersendiri. Tetapi besar kemungkinan orang akan melihat keadaan itu sebagai konsekuensi logis dari sifat “independen” yang disematkan secara konstitusional padanya. Dalam konteks itu negara bisa saja tak punya uang atau kekurangan uang, tetapi Bank Indonesia punya. Masuk akalkah ini? Apa saja usaha bank ini menghasilkan uang sebanyak apapun, yang dibutuhkan pemerintah? Main SUN? jelas tidak. Iuran Bank? Lalu apa usahanya? Nalar yang disediakan pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 1999, mungkin menjadi jawaban finalnya. Nalar pasal 20 itu adalah BI ini memiliki kewenangan “mencetak uang.” Bagaimana merealisasikannya? Cara manisnya berupa tarik saja uang yang telah kumal, lalu cetak uang melebihi jumlah uang yang ditarik. Inflasi dan hiperinflasi? Ah pengendalian inflasi dan hiperinflasi kan keterampilan terhebat Bank Sentral di dunia ini. Justru untuk mengelola inflasi itulah, salah satu di antara beberapa golden argument, sekaligus golden goal pembentukan bank sentral di dunia ini. Di dunia mana sekarang ini cetak uang menggunakan standar emas? Lyndon Johnson telah menyempurnakan pola ini semasa memerintah sebagai presiden menggantikan John F. Kennedy, presiden pintar yang sayangnya mati terbunuh, tanpa sebab jelas hingga hari ini. Tidak ada. Inflasi telah menjadi tabiat dasar sistem keuangan mutakhir. Tetapi mari mengenali kenyataan kecil yang disodorkan oleh Ralp Epperson. Menurut Epperson Abraham Lincoln, Presiden hebat, pencipta semboyan “government from people, by the peole dan for the people”, yang berhasil mempertahankan keutuhan Amerika serikat, terlilit utang dalam membiayai perang. Lalu dia dipaksa oleh bankir swasta internasional (Perancis dan Inggris) yang berkolarborasi dengan bankir dalam negeri meminjam dari Bank. Lincoln menolak. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang terlihat bekrja dalam kendali tak terlihat dengan bankir swasta, yang kelak namanya diabadikan pada Chase Manhatan Bank milik Rockefeller, mengancam bankir untuk menerima obligasi pemerintah. Bila mereka tidak menermia, maka pemerintah, katanya, akan membanjiri negara dengan uang kertas. Lincoln akhirnya memutuskan tidak meminjam uang dari bank, juga tak akan menciptakan uang berbunga, dengan mendirikan bank nasional. Bank ini akan meminjami pemerintah uang yang dibutuhkan, untuk mencetak banyak sekali uang kertas. Lalu segera mengeluarkan kertas pada Februari 1862. Uang ini tidak hanya tidak didukung oleh emas, tetapi juga bebas hutang. Sayangnya Lincol terjepit dalam permainan rumit para bankir swasta. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang kelak menjadi hakim agung, dalam kenyataannya meloloskan bill of National Bank ke Kongres. Pada tahun 1863 Kongres setuju menjadi UU. Apa respon Lincoln atas UU ini? Dia memperingatkan rakyatnya dengan peringatan berikut. Lincoln, seperti ditulis Epperson, mengatakan “kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki, lebih biadab dibandingkan dibandingkan otokrasi, lebih egois dibandingkan birokrasi. Saya melihat sebuah krisis akan terjadi dalam waktu dekat yang membuat saya gelisah, dan membuat saya berjuang demi keselamatan negara saya”. Perusahaan, katanya lebih jauh, telah berkuasa, dan zaman korupsi akan terjadi. Kekuatan uang negara akan berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan memanfaatkan prasangka rakyat, sampai pada kekayaan hanya dimiliki oleh beberapa orang, dan republik hancur. Mau abaikan, dan tempatkan penilaian tajam Lincoln ini di bak sampah, ketika siapapun hendak membaca ketentuan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Perpu ini memberi kewenangan kepada BI memberi fasilitas darurat kepada korporasi? Mau ditempatkan di bak sampah juga perspektif hebat Lincoln di atas dalam membaca SUN pemerintah, yang akan dibeli BI? Apakah Presiden, juga DPR dapat mengontrol kebijakan fasilitas istimewa BI kepada Korporasi yang keuangannya, menurut defenisi Perpu Nomor 1 Tahun 2020, terpukul oleh corona? Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi kekuasaan pemerintahan itu tak termasuk bidang moneter. Logiskah? Presiden, siapapun figurnya, diserahi kewajiban konsitusional mengurus, mensejahterakan rakyat, tetapi Presiden diisolasi dalam urusan moneter. Presiden harus bergantung pada BI dalam kebijakan moneter. Pada titik ini Presiden dan BI terlihat sebagai dua Bos yang berbeda buat bangsa dan negara ini.* Penulis adalah Pangajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Ternyata Perpu No. 1 Tahun 2020 Tidak Lagi Diperlukan

“Di APBN 2020, ada pos anggaran untuk subsidi BBM, lirik dan Gas LPG. Jika ditambah dengan subsidi untuk solar dan minyak tanah, totalnya antara Rp. 140-160 triliun. Seratus persen pos anggaran subsidi energi tersebut bisa saja dialihkan untuk menggulangi pandemi Corona. Pemerintah tinggal meminta persetujuan ke DPR saja, agar dirubah di APBN Perubahan. Dengan demikian, tidak lagi memerlukan Perppu No. 1/2020 yang cacat formil dan materil tersebut ”. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Kamis (30/04). Tidak semua sektor ekonomi terdampak korona. Ada juga sektor ekonomi nasional yang memperoleh dampak positif dari wabah yang melanda dunia ini. Dampak positif bagi Indonesia tersebut datang dari sektor energy, yakni migas dan listrik. Menurunnya harga minyak mentah, BBM, LPG dan harga energi primer batubara di pasaran dunia juga mendatangkan berkah. Telah membawa keuntungan besar bagi upaya-upaya penghematan. Bahkan bisa dijadikan kebijakan untuk menghilangkan alokasi anggaran untuk subsidi energi dalam APBN. Selama ini defisit migas sangat besar karena harga minyak tinggi. Subsidi APBN untuk BBM, Gas LPG dan lisrik sangat besar. Namun sekarang defist itu bisa berkurang sangat significant karena harga minyak sudah menurun lebih rendah 70 % lebih dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga impor bahan baku LPG juga sudah menurun lebih dari 50%. Dengan demikian, subsidi APBN untuk BBM dan LPG sekarang menjadi tidak ada lagi atau 0 (nol). Sebaliknya, sektor energi dalam negeri bisa nabung atau menumpuk stok BBM dan LPG impor dalam jumlah besar. Juga dapat menikmati keuntungan besar dari selisih harga impor dengan harga jual dalam negeri sebagaimana yang dilakukan Pertamina saat ini. Demikian juga dengan subsidi listrik, juga bisa 0 (nol). Ini disebabkan harga energi primer yang sangat murah sekarang, terutama harga batubara yang merupakan komponen biaya listrik terbesar. Harga batubara juga sudah menurun lebih rendah lebih dari 50 persen dibandingkan harga batubara Domestik Market Obligation (DMO) atau pun Harga Batubara Acuan (HBA) yang selalu dijadikan patokan harga listrik dan subsidi listrik di APBN. Dengan demikian, menjadi tidak benar langkah pemerintah menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2020 dengan nama yang sangat di dunia itu, hanya karena alasan darurat ekonomi dan keuangan akibat wabah korona. Karena sektor paling vital yang selama ini selalu dipandang selalu membebani APBN yakni subsidi BBM, Gas LPG dan listrik, sekarang justru sangat diuntungkan. Pada wabah korona sekarang ini, perusahaan BUMN migas dan listrik dapat menikmati BBM, LPG impor dengan sangat murah. Harga batubara murah juga sangat murah. Dengan kondisi ini pemerintah dapat menghemat APBN dalam jumlah sangat sangat besar pula. Anggaran yang selama ini dialokasikan untuk subsidi BBM, LPG dan listrik dapat digunakan untuk melawan pandemi Corona. Jika mengacu kepada APBN 2019, maka realisasi subsidi secara keseluruhan mencapai angka Rp. 216,8 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk energi BBM solar sebesar Rp. 31,04 triliun. Subsidi untuk LPG sebesar Rp. 69,4 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp 59,3 triliun. Total subsidi untuk solar, LPG dan listrik Rp. 160 triliun. Jumlah itu belom ditambah dengan subsidi untuk minyak tanah dan premium yang datanya tidak ada dalam APBN 2019. Realisasi alokasi anggaran subsidi energi dalam pada APBN 2020 bisa hilang sama sekali. Sebagaimana diketahui, dalam APBN 2020 Pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran untuk subsidi dalam APBN 2020 senilai Rp. 199,72 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk sektor energi masing masing untuk subsidi solar senilai Rp. 21 triliun, subsidi LPG sebesar Rp. 54,4 triliun, dan subsidi listrik Rp. 62,2 trliun. Jika ditambah dengan subsidi untuk premium, dan minyak tanah kalau masih ada, maka seluruh subsidi energi tersebut sekarang ini sebesar Rp 140 triliun, sudah tidak lagi diperlukan. Penyebabnya, karena harga minyak mentah, BBM impor dan LPG impor yang ada sekarang sudah sangat murah. Malah sebaliknya, perusahaan BUMN migas seperti Pertamina bisa mencetak untung besar. Jadi, untuk mengatasi korona, pemerintah tidak lagi memerlukan Perpu darurat. Sebab angaran untuk mengatasi korona bisa diambil dari pengalihan satu pos anggaran subsidi saja. Jumlahnya juga sangat pantastis dan besar. Mencapai sekitar Rp 140-150 triliun. Pemerintah sukup hanya dengan meminta persetujuan DPR di APBN Perubahan, untuk mengalihkan anggaran untuk subsidi lisrik atau subsidi LPG atau subsidi solar + premium+ minyak tanah, yang memang tidak lagi diperlukan untuk tahun anggaran 2020. Singkatnya, dengan kebijakan itu, maka seluruh kompnen subsidi pada komoditi energi tidak lagi diperlukan. Semunya bisa dialihkan ke upaya-upaya perang melawan pandemi Corona. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana untuk menghadapi wabah korona melalui Perpu No 1 Tahun 2020 senilai Rp. 70 triliun. Dasarnya, pemerintah berasumsi bahwa korona menciptakan krisis keuangan, sehingga akan menggelontorkan dana Rp. 402 triliun untuk penyelamatan sitem ekonomi nasional. Padahal kebijakan ini hanya bohong-bohongan saja. Selain itu, dengan alasan wabah korona berdampak pada ekonomi, pemerintah akan menambah utang baru senilai Rp. 1.006 triliun sesuai dengan Perpres No. 54 Tahun 2020, yang merupakan pelaksanaan dari Perpu No. 1 Tahun 2020. Padahal pemerintah bisa menggunakan mekanisme sebagaimana yang diatur UUD 1945 dan UU Keuangan Negara sebagaimana biasanya dalam menghadapi wabah corona. Tidak memerlukan Perpu darurat yang nyata-nyata cacat formil dan materil itu. Penulis adalah Peniliti Pada Asosiasi Ekonmi dan Politik Indonesia (AEPI)

DPR Lagi Siapkan Mahkota Untuk Perusahaan Minerba?

By Margarito Kamis Jakarta FNN – Kamis (30/04). Presiden, telah mengambil sikap atas isu ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Sikapnya jelas. Klaster tenaga kerja ditangguhkan pembahasannya. Bagus? Boleh jadi iya. Bagaimana realisasinya? Apakah Presiden telah mengirim surat resmi ke DPR memberitahukan sikapnya itu? Wallahu a’alam. Hanya Presiden, DPR dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu. Pada saat yang sama, DPR juga sedang membahas RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Entah mengapa harus diubah? Tetapi dapat diperkirakan perubahan ini dimaksudkan untuk diselaraskan dengan konsep-konsep baru. Entah bagaimana konsepnya? Apakah ada di dalam RUU Cipta Kerja? Ubah Konsep Dua RUU telah teridentifikasi memberikan karpet mereh untuk korporasi. Terlihat di sini, hidupnya tabiat lama. Negara selalu kedodoran berhadapan dengan korporasi. Kalau negara terlihat tangguh, itu dicapai dengan susah payah. Entah kedodoran atau tangguh, tetapi perubahan konsep penguasaan PT. Freeport di Papua dan Newmon di NTB, menarik. Tetapi artikel ini tidak diorientasikan untuk berbicara tentang divestasi dan persentase saham dari kedua korporasi itu. Point artikel ini adalah adanya kenyataan “divestasi” kedua korporasi, yang menghasilkan pemerintah dan pemerintah daerah “dapat memiliki saham” pada kedua korporasi itu. Itu point besarnya. Apakah konsep ini dapat dikonsolidasi secara lebih exprecif verbis dalam kerangka konstitusi, dan diatur dalam kedua RUU itu? Saya berpendapat harus dikonsolidasi. Kerangka dasarnya pasal 33 UUD 1945. Pasal ini harus diberi makna kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi seperti “nikel, batubara, biji besi, emas, dan uranium” sudah dengan sendirinya atau demi hukum bernilai dan bersifat sebagai modal, saham. Mengapa harus diberi nilai dan sifat sebagai modal? Nickel, batu bara, biji besi, uranium dan emas, itulah duit yang sebenarnya. Nilainya meningkat berkali lipat setelah diolah, diekplorasi dan diproduksi, dalam arti diubah dengan sentuhan teknologi. Nalarnya, penanaman modal korporasi untuk menambang semua itu, tidak lebih dari sekedar melipatgandakan nilai modal itu. Politisi senayan harus ingat, bahwa nickel, batubara, biji besi, uranium, tembaga dan emas itu meskipun masih tependam di dalam tanah. Belum disentuh oleh tekonoligi. Namun telah dihitung oleh korporasi sebagai kekayaan dari perusahaan. Otomatis nilai kekyaan perusahaan sudah naik berlipat-lipat kali. Ratusan kali, bahkan ada yang sampai ribuan kali naiknya. Setelah mengantongi izin dari negara, korporasi segara melakukan rekayasa pembukuan untuk menjual sebagain sahamnya. Biasanya antara 15% - 35% ke pasar saham di berbagai belahan dunia. Tambangnya belom diproduksi, namun korporasi sudah mendapatkan duit besar. Bisa sampai triliunan rupiah dari pasar saham. Konsekuensinya, pemerintah dan pemerintahn daerah tidak perlu mengeluarkan uang untuk dijadikan saham pada korporasi yang berinventasi di tambang. Sebab nickel, batu bara, biji besi, emas, tembaga dan uranium itu, harus dinilai secara pars pro toto sebagai modal atau saham. Modal ini yang menjadi dasar negara untuk ikut dalam menejemen korporasi. Jumlah saham dan bidang menejemen dapat dinegosiasikan. Ini bukan perkara yang susah. Membelakangi dunia atau apapun yang sama. Ini perkara sederhana. Tinggal mau atau tidak mau saja. Ini soal kepercayaan diri. Agar kepercayaan diri muncul dan meningkat dalam memahami landscap politik investasi. Politisi senayan hanya perlu sedikit lelah memupuk kemauan mendalami pengetahuan sejarah perebutan sumberdaya alam. Khususnya minyak di berbagai belahan dunia. Tidak lebih. Memang lebih mudah memanjat gunung berbatu rijang dan terjal daripada meminta politisi menyelami sejarah. Tetapi sesulit itu sekalipun, politisi senayan disarankan bersedia mengambil langkah berisiko. Di puncak gunung itu tersedia panorama sikap investor yang mati-matian membela konsep “royalty”. Konsep itu berinduk pada “keserakahan.” Bukan efisiensi, dan bukan pula efektifitas. Sama sekali bukan. Tabiat Corporasi Bagaimana menemukan “keserakahan” sebagai fundasi konsep royalti itu? Orang-orang yang di senayan harus tahu mengapa Inggris dan Perancis membagi-bagi kekuasaan Turki Utsmania? Dan setelah dibagi-bagi, semua negara baru pecahan Turki itu berada dibawah Kendali mereka. Orang-orang yang di senayan harus tahu mengapa ada “Kesepakatan San Marino” pada tahun 1919”? Kesepakatan yang mengatur Turkis Petrolium harus mendapat 20% ditiadakan, setelah Mesoptamia berubah menajdi Irak. Tipikal yang seperti itulah yang menandai sejarah Grup Standard Oil, milik Rockeffeller. Satu kalimat pendek dan menarik Rockeffeler yang dikutip Anthony Sampson pada saat menghadapi protes terbuka masyarakat terhadap konsep “trust” yan diprakarsainya. Rockeffeler berkata “semakin kami maju sambil terus meraih keberhasilan dan terus membisu, semakin kami dikecam”. Saya, kata Rockeffeler selanjutnya, “tidak akan pernah berhenti menyesali sewaktu mengenag kembali serangan besar pertama terhadap perusahaan milik saya tahun 1872”. Hebat, Rockeffeler yang diserang, justru memprakasai gerakan anti-trust. Taktik ini tercium oleh Pemerintah Federal. Akibatnya, pemerintah meningkatkan serangan. Ini tonggak penting yang bersejarah sebagai serangan beralasan besar pertama oleh Pemerintah Federal terhadap monopoli korporat. Kenyataannya korporasi kelompok Standar Oil terlanjur besar. Kekuataan mereka hampir melampaui kekuasaan pemerintah negara berdaulat. Inilah yang dilukiskan oleh Charles Francis Adam bahwa pada tahun 1871 korporasi-korporasi menyatakan perang, mengisolasi perdamaian, mengerdilkan pengadilan, badan legislatif dan negara berdaulat. Semuanya patuh pada keinginan mereka. Lalu tibalah Amerika tahun 1890. Pada tahun ini melalui prakasa Senator John Sherman dibentuklah UU Anti-Trust. Disambut dan ditandangani oleh Presiden Horison. Tetapi materi sengaj dibuat samar. Melarang “setiap kontrak, penggabungan atau konspirasi untuk menghalangi perdagangan. Kenyataannya, kata Antony Sampson UU ini dirancang lebih untuk menenangkan publik daripada untuk mengambil tindakan efektif. Dan penetapannya diikuti periode panjang tanpa tindakan federal. Anti-trus, kata Sampson lebih jauh, sedari awal memiliki gonggongan yang lebih buruk daripada gigitannya. Kelompok Standard Oil, terus merajelela. Mereka ada di hampir seluruh dunia. Caranya macam-macam. Tetapi kartel muncul sebagai bentuk intinya. Mereka tidak segan menekan pesaing. Itulah makna kesediaan Inggris memberi jalan kepada Standar Oil memperoleh kesempatan memasuki Arab Saudi. Mengapa mereka harus membentuk kartel? Persoalan kartel ini akan memberi informasi berharga dalam memahami kapitalisme praktis. Tahun 1949 Federal Trade Commission menyelidiki kesepakatan-kesepakatan Internasional yang dibuat perusahaan-perusahaan minyak. Investigasi berlangsung selama satu tahun, 1951-1952. Temuannya jelas. Tetapi menariknya laporan itu tidak diumumkan oleh Federal Trade Commission, melainkan Senator John Sparkman. Laporan itu, seperti diungkapkan oleh Sampson menyediakan tuturan lengkap pertama tentang kesepakatan-kesepakatan kartel yang dibuat tujuh saudari, sejak kesepakatan Achnacarry 1928. Laporan itu juga memaparkan detail garis merah dan analisis terperinci pengaturan pembagian harga yang pelik di seluruh dunia. Intinya ketujuh perusahaan itu menguasai semua daerah penghasil minyak utama di luar Amerika. Semua kilang di luar negeri, paten dan teknologi penyulingan. Mereka juga membagi-bagi pasar dunia diantara mereka. Juga berbagi jalur pipa dan tanker di seluruh dunia. Laporan ini akhirnya akan ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung James McGranery. Tetapi menariknya, muncul perdebatan sengit mengenai rencana itu. Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri berada dibalik perdebatan, dalam arti mendukung operasi ketujuh perusahaan yang diivestigasi Jaksa Agung itu. Inti argumentasi mereka adalah satu, tuntutan pidana kepada ketujuh perusahaan itu akan jauh lebih merusak. Menurut mereka, hal itu dapat mendorong negara-negara lain, untuk percaya bahwa “kapitalisme bersinonim dengan eksploitasi yang buas.” Argumentasi ini jelas berseberangan dengan argumentasi Jaksa Agung. Sebab menurut Jaksa Agung ketujuh perusahaan itu jauh dari kepentingan keamanan nasional. Mereka, kata Jaksa Agung selanjutnya, sangat merusak keamanan nasional. Namun kasus ini berakhir manis bagi ketujuh perusahaan, seiring naiknya Eishenhower sebagai Presiden, dan John Foster Dulles sebagai Menlu. Naiknya mereka mengubah haluan politik Amerika. Amerika mengalihkan politik luar negerinya ke persoalan komunisme Internasional. Korporasi mengatur dunia, bahkan perang sebagaimana dijelaskan oleh Charles di atas, beralasan. Mengapa? Pernyataan yang mirip muncul disisi lain secara signifikan oleh Charlote Dennet. Charlote Dennet, Jurnalis investigative dan Pengacara, putri Daniel C. Dennet (aparat OSS dan Center of Inteligent Group) yang ditugaskan di Timur Tengah, mengidentifikasi bahwa menurut Depertemen Pertahanan Amerika, perang dunia kedua pada dasarnya adalah perang dengan dan untuk minyak. Menurut opini mereka minyak adalah salah satu senjata terpenting dalam konflik militer modern. Lebih jauh Denet menulis, dengan gaya yang lebih menyentak di hadapan para anggota kongres, Presiden American Petroleum Institute menyatakan pada November 1943 “Minyak adalah amunisi”. Dialah rahasia di belakang senjata-senjata rahasia dalam perang ini. Kita, katanya, tidak akan terbang menuju kemenangan dalam perang ini. Kita secara harfiah berperang dalam setiap jengkal dengan minyak. Begitulah sekelumit sepak terjang korporasi mengelabui banyak pihak. Sayangnya, kenyataan ini terlalu sering dikesampingkan banyak ilmuan, sehingga mereka ikut menari mengikuti irama tipu-tipu korporasi. Itulah pulalah salah satu penyebab kegagalan mengenali mozaik kecil yang tertera dalam perjanjian “San Morino” yang mengatur Turkish Oil Petrolium semasa Turki Usmania memperoleh jatah 20% saham. Perburuan Tambang Nickel Minyak adalah satu hal. Sedangkan nikel, batubara, uranium, biji besi, tembaga dan emas adalah hal lain. Tetapi soalnya mengapa korporasi di berbagai belahan berlomba tancap gas memperoleh konsesi untuk isi bumi non minyak itu? Mengapa ratu Victoria harus mengirim 400.000 pasukannya, terbanyak pada waktunya menyukeskan perang Boer di Afrika Selatan? Sekadar untuk kolonisasi? John Coleman memberi uraian tentang kenyataan jauh sesudah Ratu Victoria. Orang yang dari gerakan jarinya melahirkan hak hukum Royal Virginia Company dan East India Comopany, saudara kembarnya Vereenigde Oostindische Compagnie. Dalam kasus Afrika Selatan, dia menunjuk Ernes Oppenheimer dan De Beers. Ernest Oppenhenimer pada tahun 1919 telah membentuk Consolidated Diamon Mines (CDM) Afrika Barat Daya, degan mula-mula membentuk Anglo-American Corporation of South Africa di London. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, Oppenheimer telah menjadi kekuatan besar monopoli intan. Oppehenimer lalu memasukan De Beers ke dalam Anglo American Company, setelah dia menyetor sejumlah persen saham. Tahun 1937, De Beers sudah menimbun sekitar 40 juta karat. Pasokan untuk waktu 20 tahun. Karena terancam pailit, dia memutuskan menciptakan pasar tersendiri. Dia mengutus anaknya ke Amerika dan memulai kampanye empat C (Cut, Color, Clarity and Carat). Sukses. Dan muncullah sebuah kebiasaan baru, cincin pertunangan dari intan, dengan slogan “sebutir intan bertahan selamanya”. Mengapa batubara dan nickel terus ramai ditambang di Indonesia? Tidakkah semuanya penting untuk berbagai keperluan strategis? Kalaupun mobil listrik belum menggila di jalanan, apakah nickel-nickel itu tidak bermanfaat untuk, misalnya baterei alat komunikasi dan sejenisnya? Tidakkah itu, bermakna bahwa nickel, kini dan akan datang, menjadi komoditas strategis untuk berbagai industri? Bila ya, siapa yang memiliki keberanian untuk memastikan bahwa “sekarang korporasi telah menyepelekan isi perut bumi itu?” Bila tak berfaedah, mengapa korporasi-korporasi bergairah menambang? Korporasi-korporasi itu adalah PT. Indonesia Morowali Industrial Park di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Thingsan dari Tiongkok muncul sebagai salah satu investornya. Nama Thingsan juga muncul pada PT. Indonesia Weda Industrial Park di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pola ini juga muncul pada PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP). Tetapi nama Thingsan sebagai investor tidak muncul pada PT. Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP) di Konawe Sulawesi Tenggara. Politisi di DPR yang sedang mengurusi RUU Cipta Kerja dan RUU Perubahan UU Minerba, memang bukan bangsawan khas Inggris abad ke-17. Mereka tidak bisa dicurigai memiliki tabiat seperti Nelson Aldrich, senator yang menjadi kaki tangan kelompok Wall Street yang menggolkan The Federal Reserve Act. Juga tak punya tabiat seperti John Sherman yang merancang Anti-Trus Act, yang tak bergigi itu. Para politisi senayan dapat dititipi rindu dari bumi peertiwi ini untuk agar tidak usah mengubah konsep IUP yang telah ada. Tetapi pada saat yang bersamaan, diatur agar bangsa Indonesia memiliki saham pada setiap korporasi yang diberi IUP tersebut. Itu saja sudah lebih dari cukup. Negara taidk usah menyetorkan uang untuk tujuan mendapatkan saham di perusahaan tambang. Cukup dengan nickel, tembaga, emas, biji besi, uranium dan batubara yang ada di dalam perut bumi negeri ini yang dikonversi menjadi saham. Tanpa konsep ini, dua RUU itu akan menjadi “mahkota kejayaan untuk korporasi”. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Quantitative Easing (QE) Ala Indonesia Bukti Pembegalan Konstitusi

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (29/04). Belum lama ini beredar banyak pendapat yang mendesak Indonesia perlu “mencetak uang”. Tujuannya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19. Mekanisme “mencetak uang” ini mereka namakan, atau samakan, dengan Quantitative Easing (QE). Quantitave Easing ini adalah kebijakan moneter yang dimotori bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau the FED. Tujuanya, untuk mengatasi krisis sektor keuangan akibat pecahnya gelembung kredit sektor perumahan pada tahun 2007-2008. Kebijakan moneter QE ini juga diikuti oleh berbagai negara maju lainnya seperti Inggris, Uni Eropa, Jepang dan banyak lainnya. Akibat pandemi Covid-19 yang merebak awal 2020 lalu, membuat beberapa bank sentral di negara-negara maju memutuskan untuk menjalankan kebijakan QE lagi. Dengan harapan, dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok terlalu dalam. Sehubungan dengan ini, banyak pihak yang mengusulkan agar Indonesia melakukan QE juga. Bahkan ada mantan menteri yang turut mengusulkan. Jumlahnya tidak kecil. “Indonesia harus cetak uang”, katanya, setidak-tidaknya Rp 1.600 triliun sebagai paket stimulus ekonomi. Mekanisme QE usulan mereka (sebut saja QE ala Indonesia) dilakukan dengan cara Bank Indonesia (BI) membeli surat utang negara di pasar primer. Artinya, pemerintah dan BI melakukan transaksi secara langsung. Pemerintah menerbitkan surat utang (baru) senilai Rp 1.600 triliun untuk kemudian dibeli secara langsung oleh Bank Indonesia. QE model Indonesia ini benar-benar sangat ngawur. Ternyata mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan QE tersebut? QE adalah kebijakan moneter “luar biasa” yang harus diambil ketika kebijakan moneter biasa sudah tidak efektif lagi. Dalam keadaan krisis, langkah pertama kali yang dilakukan bank sentral pada umumnya menurunkan suku bunga. Ketika ekonomi masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik, suku bunga bisa diturunkan terus hingga mendekati 0 persen. Tujuannya, dari penurunan suku bunga ini agar biaya pinjaman menjadi lebih murah. Bisa meringankan beban bunga perusahaan, dan juga diharapkan menggairahkan investasi dan konsumsi. Ini merupakan stimulus ekonomi dari kebijakan moneter. Dalam situasi suku bunga yang sudah mendekati 0 persen, namun ekonomi masih belum juga membaik, maka bank sentral bisa mengambil kebijakan moneter menerapkan QE. Targetnya, agar bisa lebih efektif untuk lebih menggairahkan ekonomi negara. Cara kerja QE sebagai berikut. Bank sentral mengumumkan akan membeli surat utang negara untuk jangka menengah, atau surat utang korporasi di pasar sekunder (open market operations) untuk sejumlah tertentu. Diumumkan secara terbuka kepada publik. Sehubungan dengan krisis pandemi Covid-19, The FED sudah menurunkan suku bunga secara agresif, yaitu 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan 1 persen pada 15 Maret 2020, sehingga suku bunga The FED sudaH mendekati 0 persen. Pada pertengahan Maret 2020, The FED kemudian mengumumkan pembelian surat utang negara senilai U$ 75 miliar dolar per hari untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Jumlah ini kemudian dikurangi menjadi U$ 50 miliar dolar per hari pada akhir Maret lalu. Kebiijakan QE oleh The FED ini tidak ada urusannya dengan pemerintah Amerika Serikat. Apabila ekonomi membaik sesuai target bank sentral, bukan target pemerintah (eksekutif), QE bisa dihentikan kapan saja. Apabila kemudian ada ancaman inflasi, bank sentral bisa menjual kembali surat berharga yang dibeli melalui QE open market operations tersebut. Tujuannya, agar suku bunga kembali naik untuk meredam inflasi. Gambaran di atas merupakan proses umum kebijakan moneter QE diberlakukan. Pertama, tingkat suku bunga sudah mendekati 0 persen. Sedangkan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih “sangat tinggi”, yaitu 4,5 persen. Maka, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat jauh dari syarat diberlakukan QE. Dalam situasi ini, BI masih mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk menurunkan suku bunga. Kenapa BI tidak menurunkan suku bunga? Maknya sangat tidak masuk akal. Ketika suku bunga masih sanmgat tinggi, tapi mau melakukan QE. Kedua, QE adalah kondisi di mana bank sentral membeli surat utang negara (dan korporasi) di pasar sekunder melalui open market operations. Tujuan utama QE adalah untuk menurunkan suku bunga jangka pendek dan jangka menengah. Itu dulu target utamanya. Oleh karena itu, usulan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer berlawanan dengan mekanisme QE seperti digambarkan di atas. Berlawanan dengan persyaratan umum QE yang berlaku di seluruh dunia. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder melalui open market operations itu menunjukkan bahwa bank sentral independen. Paket stimulus Amerika Serikat yang mencapai U$ 2,3 triliun dolar, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bank sentral, The FED. Paket stimulus ini diajukan pemerintah kepada DPR AS untuk dimintakan persetujuannya. Bagaimana cara mendanai stimulus tersebut bukan urusan The FED. Oleh karena itu, QE ala Indonesia, yang mengusulkan agar BI membeli surat utang negara di pasar primer tidak mempunyai basis sama sekali. Itu usulan yang ngawur dan ngaco. Itu mau menjerumusin negara, termasuk pembegalan terhadap konstitusi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Pak Joko, Lockdown Itu Memang Tidak Langsung Melenyapkan Corona, Tetapi...

By Asyari Usman Jakarta, FNN - "Coba tunjukkan negara mana yang berhasil melakukan lockdown dan bisa menghentikan masalah? Nggak ada menurut saya," kata Jokowi dalam wawancara dengan Mata Najwa edisi 22 April 2020. Begini Pak. Lockdown (sebutlah itu ‘karantina wilayah’) memang pasti tidak akan serta-merta melenyapkan virus Covid-19 begitu masa lockdown selesai. Tak mungkinlah. Sudah benar yang panjenengan katakan itu. Tidak mungkin langsung hilang. Tetapi, melalui tindakan lockdown itu ruang gerak penyebaran virus menjadi sempit. Itu tujuannya, Pak. Besok langsung lenyap, sangat tak mungkin Tuan. Nah, begitu ruang gerak virus semakin sempit karena lockdown, maka penyebaran yang merajalela bisa ditahan lajunya. Menahan kecepatannya, Pak. Misalnya begini, Pak. Ada satu keluarga 6 orang. Salah seorang di antara mereka membawa virus Corona. Kalau mereka dikunci di rumah mereka, maka secara teoritis paling banyak 5 orang berikutnya yang tertular. Yaitu, anggota keluarga itu saja. Bagaimana kira-kira kalau keenam orang itu bebas berada di luar? Bebas ke café. Bebas ke restoran. Bebas berjumpa dengan teman dan kerabat, dll. Karena tidak ada lockdown. Kira-kira kemungkinan penularan massalnya besar atau tidak? Pasti besar kemungkinannya. Iya ‘kan, Pak? Kalau setiap orang dari 6 orang itu kita sepakati berpeluang besar menulari dua orang (inilah angka rata-rata yang disebutkan oleh para ahli penyakit menular), maka mereka akan menulari 12 orang lainya jika mereka bebas berkeliaran. Kemudian, yang 12 orang ‘new comer’ ini juga bebas berkeliaran. Maka, secara aritmatik, kita akan mendapatkan penambahan 24 orang ‘new comer’ berikutnya. Begitulah seterusnya, Pak. Jadi, ketika jumlah tertular (positif) mencapai ribuan atau belasan ribu tanpa lockdown, kira-kira apa yang akan terjadi, Pak? Kalau tak salah, jawabannya adalah pengalaman pahit Amerika Serikat (AS) sekarang ini. Mereka punya lebih satu juta positif Covid-19. Kebetulan pula, Pak Donald Trump sejak awal meremahkan virus ini. Terlambat melakukan tes massal. Terlambat juga melakukan lockdown. Mereka santai saja, ‘business as usual’ (seperti tak ada kejadian). Nah, apakah lockdown terlambat di AS itu akan sia-sia? Tidak berguna? Tidak bisa mengatasi masalah? Kalau Pak Joko ingin melihat hasil yang sim-salabim, dalam arti bulan depan semua klar, memanglah lockdown itu tak berguna. Tak bisa mengatasi masalah. Tak bisa menjawab pertanyaan Bapak di awal tulisan ini. Tapi, kalau Pak Joko setuju bahwa sasaran lockdown itu adalah penyelesaian jangka panjang (bisa jadi 3-4 bulan), insya Allah berguna Pak. Seperti diteorikan oleh para pakar epidemiologi. Bagaimana degan Singapura? Mereka buat lockdown total tapi kasus positifnya bertambah terus? Begitu juga Arab Saudi, kasus positif makin banyak. Apa gunanya lockdown? Kalau di Singapura, ini yang terjadi Pak. Saya kompilasi beberapa berita di media internasional. Pada 7 April 2020, pemerintah memberlakukan pembatasan keras. Mirip lockdown. Seharusnya lockdown ini berakhir pada 4 Mei nanti. Tapi diperpanjang sampai 1 Juni. Penularan di kalangan warga negara bisa dikendalikan sejak lockdown. Tapi, belakangan ini jumlah positif itu melonjak drastis. Bukan di kalangan warga negara Singapura. Melainkan di kalangan para pekerja dari luar termasuk Bangladesh, India, Myanmar, dll. Ada 200,000 pekerja migran di situ. Mereka tinggal di asrama-asrama yang padat penghuni dengan fasilitas kamar mandi/toilet dan dapur bersama (sharing). Penularan berlangsung cepat. Menurut catatan penguasa, 60% kasus positif di Singapura terjadi di kalangan warga asing yang bermukim di negara kota tsb. Hingga hari ini, jumlah yang tertular mencapai 14,423. Lockdown untuk warga negara yang memiliki hunian sendiri, cukup manjur menangkal penyebaran virus Corona. Di Indonesia, lockdown dalam bentuk PSBB pun cukup menolong. Gugus Tugas Covid-19 mengatakan, grafik kasus baru di DKI Jakarta mulai mendatar. Artinya, PSBB yang ‘banyak bolong-bolong’ itu pun masih saja efektif. Apalagi kalau lockdown versi asli. Pastilah lebih mujarab. Cuma, biayanya memang besar. Begitu dulu, Pak Jokowi. Semoga jelas soal manfaat lockdown. Selamat berbuka puasa.[] Penulis Wartawan Senior.