NASIONAL
Terorisme di Kampus UGM
By M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (01/06). Kasus teror dengam ancaman pembunuhan kepada mahasiswa selaku Panitia Penyelenggara Diskusi Online di Kampus Universitas Gajah Mada (UGM). Teror dengan tujuan fisik ditujukan kepada Narasumber Prof DR Ni'matul Huda, SH M.Hum. Teror model ini tentu saja tidak bisa dianggap enteng atau biasa-biasa saja. Tragisnya lagi, peneror mencatut nama Muhammadiyah Klaten. Pihak Muhammadiyah sendiri sudah mengklarifikasi. Muhammadiyah menuntut Polisi untuk mengusut pencatutan yang berbau adu domba tersebut. Mirip-mirip dengan gayanya komunis dulu. Provokator peneror sudah diketahui. Dia adalah Dosen FakultasTeknik yang gagal menjadi Rektor UGM. Namanya KPH Bagas Pujilaksono Widyakanigara. Ia semestinya sudah terkena delik hukum penyebaran informasi hoax, karena menuduh ada gerakan makar lewat diskusi. Dasarnya adalah UU ITE yang sudah biasa dipakai polisi untuk menyeret dan menindak penyebar informasi hoax yang lain. Akibat teror tersebut, terjadi kerugian. Baik berupa batalnya acara diskusi, maupun menimbulkan aksi teror. Yang bersangkutan seharusnya sudah dapat mulai disidik. Langkah berikut adalah mengejar para teroris. Jika Kepolisian setempat mengalami kesulitan, maka dapat melibatkan Densus 88 Anti Teror. Perbuatan kriminal baik kepada Panitia maupun Narasumber adalah perbuatan luar biasa, apalagi memfitnah Ormas Muhammadiyah. Perbuatan ini, ada muatan politik yang terencana. Disain yang membahayakan dunia akademik maupun masyarakat dan Ormas Muhammadiyah. Apalagi di tengah pembahasan RUU HIP yang ditengarai kental berbau komunisme dan Orde Lama. Undang-Undang No. 5 tahun 2018 yang berkaitan dengan pemberanfasan tindak pidana terorisme menegaskan, elemen terorisme antara lain adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut, dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Nah, patut diduga masifnya, dan dampak teror dari gagalnya diskusi online UGM tersebut cukup besar. Ada tiga institusi terdampak aksi terror tersebut, yaitu UGM, Uiversitas Islam Indonesia (UII), dan Ormas Muhammadiyah. Teror terhadap kebebasan berpendapat dan kelangsungan demokrasi ini lebih berat. Bahkan sangat serius. Penyidikan dapat mulai dari Bagas Pujilaksono. Untuk menguji jaringan atau keterkaitan dengan teror ancaman pembunuhan kepada mahasiswa, teror gangguan fisik kepada Guru Besar UII dan memfitnah Ormas Muhammadiyah Klaten. Jelas benang merahnya. Ada motif ideologi, politik, atau gangguan keamaman. Polisi Cyber dapat dengan mudah membongkar penggunaan media elektronik dari pelaku teror. Hingga segera dapat ditemukan terorisnya. Masalah ini serius dikaitkan dengan tema diskusi soal persoalan pemecatan Presiden dalam sistem ketatanegaraan. Masalah akademik yang ditarik-tarik ke ruang politik oleh provokator atau teroris yang berfikiran jahat. Polisi dengan profesionalismenya dibantu dengan informasi masyarakat, khususnya civitas academica UII dan UGM diyakini mampu membongkar dugaan kasus terorisme ini. Bila tidak berlanjut atau menjadi kasus "X Files", maka bukan mustahil modus yang sama dapat dilakukan berulang-ulang. Kita respons dorongan Menkopolhukam yang juga alumni UII agar Kepolisian dapat mengusut tuntas kasus "terorisme" yang membahayakan kebebasan kalangan akademik, yang dijamin kebebasannya oleh Undang Undang dan Konstitusi negara tersebut. UGM, UII, dan Muhammadiyah tidak boleh dibiarkan menjadi obyek kejahatan terorisme. Baik itu yang terselubung maupun yang tak terlacak. Kerjasama dan keseriusan untuk membongkar akan mampu membuktikan bahwa kejahatan tak akan bisa mengalahkan kebenaran dan keadilan. "malum non nos vincere poteris veritate et iustitia". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Diskusi Tentang Memecat Presiden Itu Bukan Makar
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (31/05). Agenda seminar atau diskusi online bertema "Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" yang diselenggarakan mahasiswa UGM menjadi gonjang-ganjing. Reaksi mulai dari pendapat yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut makar hingga teror yang terjadi pada Panitia maupun Narasumber Prof. DR. Ni'matul Huda, SH M. Hum dari Universitas Islam Indonesia (UII). Kutukan, kecaman dan marah terhadap teror tersebut datang dari mana-mana. Pernyataan sikap Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Asosiasi FilsafatHukum Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia telah menyatakan "Mengutuk Keras Tindakan Teror Terhadap Insan Akademik & Penyelenggaraan Diskusi Di Jogyakarta". Kajian akademik soal pemecatan Presiden bukan hal yang tabu. Apalagi terlarang termasuk di masa pandemik. Sepanjang aturan Konstitusi mengatur persoalan pemecatan Presiden, maka kajian tersebut menjadi sah sah saja. Karena hal itu merupakan bagian dari "enlightenment" dalam dunia akademik. Jangankan di lingkungan akademik, di masyarakat pun hal yang wajar. Adanya diskursus soal pemecatan Presiden bukan barang haram. Toh itu adalah bagian dari sistem ketatanegaraan kita. Sejarahpun pernah mencatat soal terjadinya pemecatan terhadap Presiden. Yang tidak boleh adalah menghentikan memberhentikan Presiden dengan paksa oleh kelompok masyarakat. Jika disalurkan melalui DPR misalnya, lalu DPR membuat keputusan tentang pemecatan Presiden. Setelah diuji di Mahkamah Konstitusi, maka desakan agar Presiden dipecat itu sah sah saja. Konstitusi kita melindungi rakyat untuk berbicara tentang soal itu. Pasal 7A UUD 1945 dengan tegas mengatur baik syarat maupun prosedur pemecatan Presiden. Karenanya sangat konstitusional. Mereka yang melakukan simplifikasi dengan menggunkan bahasa makar, apalagi melakukan terror, jelas nyata-nyata merupakan perilaku menyimpang. Prilaku itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Aparat penegak hukum harus mengejar dan menangkap pelaku teror tersebut. Mereka harus diproses secara hukum untuk pertanggungjawabkan perbuatan terornya. Apalagi mencatut nama-nama ormas Islam segala. Pelaku kriminal bergaya adu domba PKI harus dihukum berat. Sungguh sangat wajar pembelaan masyarakat akademik atas terjadinya teror dan kebodohan ilmiah ini. Jangankan sekedar diskusi, pemecatan sebenarnya Presiden juga adalah sah. Sepanjang dilakukan oleh DPR diproses MK dan ditetapkan MPR. Jadi tidak ada yang harus dimasalahkan atau dikasuskan. Bila memang Presiden nyata-nyata melakukan penghianatan kepada ideologi negara. Juga melakukan kejahatan berat, serta perbuatan tercela, UUD 1945, maka Presiden bisa untuk dipecat. Gerakan moral kampus memang ditunggu publik. Rakyat butuh "guidance" dalam menghadapi iklim politik yang dirasakan semakin membahayakan stabilitas nergara. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, rong-rongan terhadap ideologi negara, hingga penunggangan pandemi Covid 19 tidak boleh dibiarkan. Selain itu, ada masalah lain. Masuk TKA China, naiknya iuran BPJS sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan tidak turunnya harga jual BBM di tengah kesulitan rakyat akibat pandemi Covid 19. Mereka para pemanfaat dan penikmat kekuasan mesti diingatkan dan diluruskan. Rakyat tidak boleh sampai dipinggirkan dan ditindas, apalagi diperbudak. Gerakan kemerdekaan di masa penjajahan dulu dimotori oleh kaum intelektual. Perubahan sosial dan politik diawali oleh keresahan lapisan strategis ini. Kini pernyataan soal makar atau tindakan teror ke lingkungan akademik harus dilawan dan diprotes keras. Kampus memiliki kebebasan akademik yang dilindungi oleh Undang Undang dan Konstitusi. Sepanjang sesuai dengan koridor aturan hukum ketatanegaraan, maka diskusi terbuka mapun tertutup tentang memecat Presiden itu bukanlah makar. Sangat sangat dan sangat konstitusional ! Penulis adalah Alumnus Fak. Hukum UNPAD Jurusan Hukum Tata Negara.
Proses Seleksi Cacat Hukum, Menghasilkan Dirut TVRI Otak Mesum
By Tjahja Gunawan Jakarta FNN – Ahad (31/05). Begitu Iman Brotoseno diumumkan sebagai Direktur Utama Pengganti Antar Waktu TVRI periode 2020-2022, seketika itu pula jejak digital mantan kontributor Majalah Playboy ini dibongkar netizen. Sehingga hastag #BoikotTVRI menjadi trending topic di linimasa Twitter. Beberapa pengguna akun Twitter mempersoalkan kicauan Iman Brotoseno melalui akun tweeternya @imanbr, soal topik 'bokep' yang ditulis beberapa tahun silam. Pada saat ditetapkan sebagai Dirut TVRI tanggal 27 Mei 2020, Iman Brotoseno langsung merespons warganet yang mempersoalkan rekam jejak digitalnya. Iman mengaku tak pernah menutupi identitasnya. Iman juga mengakui rekam jejaknya di majalah dewasa Playboy Indonesia. Dia juga mengakui beberapa cuitan bernada pornografi yang diperdebatkan pengguna Twitter. Tidak hanya itu, tahun 2012, Iman Brotoseno melalui blogspotnya juga pernah menulis artikel yang menyudutkan Umat Islam dengan menyebut "Islam Sontoloyo". Tulisan beliau bisa dicek di tautan ini: http://blog.imanbrotoseno.com/lagi-islam-sontoloyo/. Hilmi Firdausi, salah satu netizen, melalui akun tweeternya @Hilmi28 menulis: Bangsa ini sedang krisis akhlak. Kita butuh pejabat-pejabat publik yang menjadi teladan untuk rakyat. Tidak adakah orang lain yang lebih pantas? Di bawah Helmi Yajya, TVRI naik daun. Jangan sampai sekarang malah ditinggal pemirsa. Apalagi sedang ramai Tahar #BoikotTVRI. Mohon para wakil rakyat bersuara. Dari sisi moral dan akhlak, perilaku Dirut TVRI yang baru ini memang bermasalah. TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP), sangat berbahaya jika diurus oleh orang yang mempunyai cacat moral karena dikhawatirkan akan mempengaruhi konten dan program-program TVRI. Apalagi TVRI dan Kemendikbud belum lama ini telah menjalin kerjasama program "Belajar dari Rumah". Kerjasama ini dilakukan untuk membantu siswa yang memiliki keterbatasan akses internet karena soal ekonomi atau letak geografis. "Program Belajar dari Rumah merupakan bentuk upaya Kemendikbud membantu terselenggaranya pendidikan bagi semua kalangan masyarakat di masa darurat Covid-19," ujar Mendikbud Nadiem Makarim, pada telekonferensi Peluncuran Program Belajar dari Rumah di Jakarta, Kamis 9 April 2020. Pernyataaan tersebut, saya kutip dari Kompascom. Kekhawatiran acara TVRI akan mempengaruhi anak-anak sekolah juga diungkapkan seorang ibu rumah tangga yang juga founder dan CEO Halal Corner, Ny Aisha Maharani. Melalui akun Facebooknya dia menulis: "Kadang ada tugas sekolah anak-anak nonton TVRI bagian pendidikan. Tapi kalau dirutnya yang baru begitu, khawatir juga". Harus dibatalkan Ternyata Dirut TVRI yang baru ini bukan hanya bermasalah secara moral, tetapi juga bermasalah secara legal. Proses seleksi Dirut TVRI ini cacat hukum. Berdasarkan pengamatan di berbagai pemberitaan media, saya harus katakan bahwa proses seleksi Dirut PAW TVRI cacat hukum. Oleh karena itu penetapan dan pelantikan Iman Brotoseno sebagai Dirut PAW TVRI periode 2020-2022, harus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan. Mengapa ini bisa terjadi ? Bagaimana sih sebenarnya duduk perkaranya ? Pertama, proses seleksi yang dilakukan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Proses seleksi Dirut PAW TVRI telah menabrak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Tidak hanya itu, Dewas TVRI juga dinilai telah melanggar etika komunikasi dengan DPR RI selaku mitra kerjanya. Bahkan, tanggal 13 Mei 2020 lalu, Komisi I DPR-RI sebenarnya telah mengeluarkan rekomendasi pemberhentian terhadap Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin sambil mengevaluasi kinerja anggota dewas TVRI lainnya. Sebelum ada surat rekomendasi pencopotan Ketua Dewas TVRI dari Komisi I DPR, rupanya Ketua Dewas sudah memberhentikan tiga Direktur TVRI. Yakni Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra, Direktur Keuangan TVRI Isnan Rahmanto dan Direktur Umum Tumpak Pasaribu. Seperti diberitakan portal berita Kontan, Charles Honoris, anggota Komisi I DPR dari F-PDI Perjuangan, mengatakan dengan diterbitkannya pemecatan definitif terhadap tiga direksi TVRI non-aktif, maka Dewas kembali melanggar kesimpulan rapat dengan Komisi I DPR. Dalam hal ini, kata Charles Honoris, Dewas TVRI telah melanggar UU temtang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan melecehkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hal senada disampaikan Ketua Komite Penyelemat TVRI, Agil Samal. "Sikap (Dewas TVRI) ini dapat diartikan telah melecehkan lembaga legislasi yang selama ini menaungi dan memilih dewan pengawas," kata Agil dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/5). Kontroversi seleksi Dirut PAW TVRI ini mengundang rasa penasaran saya untuk mencari tahu lebih jauh kepada bekas rekan kerja saya di Harian Kompas, yakni Buyung Wijaya Kusuma atau biasa dipanggil Boy, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Tawaf TV. Dia lolos sampai delapan besar. "Sebenarnya proses seleksi calon Dirut TVRI tidak melibatkan DPR," kata Boy. Proses seleksi di delapan besar, juga melibatkan Lembaga Psikologi Terapan (LPT) Universitas Indonesia di Jl. Salemba No 5, Kenari, Jakarta Pusat. LPT UI ini yang menyelenggarakan assessment test terhadap para calon Dirut TVRI. Untuk menangani TVRI, lanjut Boy, harus dilakukan oleh orang-orang yang pernah bekerja di televisi. "Bagaimana mungkin bisa memilih orang (Dirut TVRI) tapi dia tidak pernah bekerja di tv," katanya seraya menambahkan proses seleksi tiga besar calon Dirut TVRI langsung dilakukan oleh Dewas TVRI. Tomy Mundur Sementara itu bekas rekan kerja saya sekaligus mantan Pemred Harian Kompas, Suryopratomo yang biasa dipanggil Tomy, mengundurkan diri dari pencalonan seleksi Dirut TVRI karena diterpa isu politik. Hal itu terkait dengan posisinya sekarang sebagai Direktur Utama Metro TV. Begitu lolos 16 besar, Tommy mengundurkan diri karena takut menganggu kinerja TVRI dengan isu yang beredar di masyarakat terkait dengan jabatannya saat ini sebagai pemimpin di saluran TV besutan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. "Maka saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pemilihan calon Direktur Utama LPP TVRI pengganti antar waktu periode 2020-2022," ujar Tommy dalam suratnya sebagaimana dikutip Kompascom. Namun tidak berapa lama kemudian, Tomy justru diajukan oleh Presiden Jokowi sebagai calon Dubes RI untuk Singapura. Kalau nanti DPR menyetujui, tentu saja posisi Dubes lebih tinggi dari Dirut TVRI. Menurut saya, posisi Dirut TVRI maupun jabatan sebagai Dubes merupakan jabatan politis. Hanya saja, proses seleksi dan pengangkatan Iman Brotoseno sebagai Dirut PAW TVRI mengandung banyak kontroversi dan memiliki cacat moral maupun yuridis. Menurut Boy, proses seleksi Dirut PAW TVRI sempat dihentikan Komisi 1 DPR. "Setelah Tomy mengundurkan diri, katanya akan ada pendaftaran baru, tapi ternyata tidak pernah ada," ujar Boy. Yang menjadi pertanyaan kemudian, Dewas TVRI terkesan seperti kumpulan dari orang-orang yang "kebal hukum" sehingga aturan yang ada bisa dilabrak. Sementara hubungan kemitraan dengan Komisi I DPR juga tidak diindahkan Dewas TVRI. Apakah ada becking "orang kuat" dibalik lembaga Dewas TVRI ini ? Mari kita telusuri sosok Ketua Dewas TVRI yang bernama Arief Hidayat Thamrin yang sebelumnya telah memecat Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI. Berdasarkan informasi yang didapat dari profil LinkedIn pribadinya, Arief telah menjadi Ketua Dewas TVRI sejak Juli 2017 hingga sekarang ini. Jauh sebelum berkarier di TVRI, pria lulusan UI itu meniti karier sebagai General Manager (GM) Marketing di Metro TV selama 13 tahun, tepatnya pada Juli 2001 hingga Juni 2013. Arief juga pernah menjadi Business Development Director di Berita Satu Media Holdings selama dua tahun, Juli 2013-Januari 2015. Lalu, masih di posisi jabatan yang sama, ia berkarier di iNewsTV selama dua tahun, Februari 2015 hingga Mei 2017 dan terakhir berlabuh di TVRI. Pertikaian Helmy Yahya dengan Arief Hidayat ini sebelumnya telah mendapat perhatian dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G. Plate. Sebagaimana diberitakan Warta Ekonomi tanggal 9 Desember 2019, Menkominfo Johny Plate mengatakan, permasalahan antara Helmy denga Arief Hidayat sudah berlangsung lama. Namun, waktu itu Plate menolak untuk menyebutkan secara rinci. Namun di luar itu, suatu waktu Arief Hidayat Thamrin juga pernah mengunggah foto dirinya sedang membawa maf berlogo TVRI bersama Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di IG pribadinya, arief.thamrin. Kemudian sahabat saya, Muhammad Ali Syawie yang pernah bekerja bersama Arief Hidayat di Berita Satu, berkomentar setengah berseloroh: "Wah, Mas @arief.thamrin TVRI sekarang dibawah Menteri Segala Urusan yah ?". Ah, sungguh komentar dan pertanyaan yang nakal nih. Tapi apakah karena itu lalu Dewas TVRI menjadi "kebal hukum" dan bisa memecat Dirut TVRI Helmy Yahya seenaknya? Kemudian menyelenggarakan proses seleksi Dirut PAW TVRI yang penuh kontroversi ? Wallohualam Bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior
Mayat Akibat Corona Tidak Diotopsi, Dan Tata Negara Yang Berlumpur
By Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Ketika suatu kerajaan, hasil pajaknya menjadi berkurang karena hal-hal sebagaimana telah kami kemukakan, yaitu kemewahan, banyaknya tradisi, belanja-belanja, penghasilan tidak mencukupi dengan berbagai kebutuhan belanja dan perlu adanya tambahan harta dan pajak, maka kadangkala ditetapkanlah berbagai macam pajak atas transaksi-transaksi jual beli dan pasar-pasar rakyat sebagaimana kami kemukakan pada pasal sebelumnya. (Ibnu Khaldun 1332-1406). Jakarta FNN – Sabtu (30/05). Dunia belum benar-benar aman, bebas dari gempuran Corona. Jerman, China, Perancis, Spanyol memang telah melonggarkan pengetatan sosial. Tetapi dunia masih saja belum benar-benar keluar dari gempuran mahluk ini. Risikonya sejauh ini terlihat masih mengerikan. Indonesia juga belum aman. Namun perlahan-lahan terlihat Indonesia sedang bergerak memasuki pelonggaran pembatasan sosial secara substansial. Kebijakan ini sama sekali tidak berbicara Indonesia telah benar-benar berada di jalur aman. Pertempuran melelahkan ini terlihat masih akan terus menemani Indonesia. Menurut keterangan Pak Ahmad Yurianto, sampai hari ini (Jum’at, 29/5/2020) orang yang positif terjangkit corona sebanyak 678 orang. Total yang terjangkit berjumlah 25.216 orang. Pasien sembuh bertambah sebanyak 252 orang, sehingga total yang sembuh sebanyak 6.492. Yang meninggal 24 orang, sehingga total yang meninggal dunia sebanyak 1.520. Kesembrautan Terencana Semua negara sejauh ini terlihat sama dalam beberapa aspek. Pasien yang dirawat, anehnya diberi nomor. Mereka yang “maaf, sekali lagi maaf, meninggal dunia, tak bisa dilihat keluarga. Maaf almarhum atau almarhumah, diurusi dirumah sakit, dan dibawa langsung ke pemakaman. Keluarga tak bisa, untuk mengatakan. Juga tak diizinkan melihat, apalagi menyentuhnya. Begitukah seharusnya secara klinis? Para dokter dan para ahli virus, harus diakui adalah orang-orang paling kompeten bicara soal ini. Suka atau tidak, mahluk ini bukan mahluk tata negara. Juga bukan mahluk politik. Orang-orang politik dan tata negara jelas harus tutup mulut pada aspek ini. Serpihan-serpihan klinikal corona ini menggambarkan “ada pasien yang memiliki riwayat sakit lain, bawaan. Mohon maaf, sekali lagi mohon maaf, bila pasien, entah nomor berapa itu, berakhir dengan meninggal dunia, apakah pasien itu dinyatakan meninggal karena corona? atau karena penyakit bawaannya? Tak ada penjelasan otoritatif dan kongklusif sejauh ini. Tetapi satu hal pasein sembuh juga meningkat dari waktu ke waktu. Virus mematikan, tetapi masih ada yang sembuh? Aneh? Apa obatnya? Bagaimana cara menangani mereka? Tidak mungkinkah cara dan obat yang digunakan menyembuhkan mereka diekspos? Adakah yang melarang? Untuk apa, bila ada? Ditengah kesembrawutan itu China dan Amerika sedang memacu usaha menemukan vaksin antivirusnya. Pak Mohamad Toha, jurnalis senior FNN, dalam satu artikelnya menyajikan fakta satu dokter China melalukan otopsi pasien yang telah meninggal. Dia menemukan kenyataan klinis yang sama dengan temuan seorang dokter Indonesia (Lihat FNN, 21/5/2020). Pada artikel terakhir, Pak Toha juga menyajikan fakta penuh tanda tanya yang sedang menggunung di Amerika. Bill Gate, yang mengusahakan antivirusnya, dihentikan Trumph. Disisi lain Trump, entah secara official atau privat juga berada di track ini. Trump mengembangkan antivirusnya, (FNN, 28/5/2020). Pertarungan bisniskah? Bill Gate kalah loby? Trumph bekerja untuk Amerika atau dirinya? Dimana World Healt Organization (WHO) dalam trackt ini? Tidak jelas. Padahal WHO yang mendeklarasikan virus ini pandemic. Dalam kerangka itu, WHO memandu dunia tentang apa yang harus dilakukan menghadapi virus ini. Perkara bertali-temali ini, harus diakui sangat menantang dan eksplosif. Sejauh ini Amerika Serikat, dengan Trumph yang sangat independen untuk semua urusan pemerintahannya. Trump bahkan menantang, menghentikan donasinya ke WHO. Disisi lain Trumph lugas menempatkan China sebagai asal virus ini. Menariknya, Central Inteleligent Agency (CIA) justru memberikan pernyataan bernada koreksi atas Trump. Tampilan member kredit besar kepada China? Itu soal lain, yang rumit. Tetapi China menunjukan mereka bukan China tahun 1913. Mereka telah sangat lain dalam banyak hal. Mereka terlihat telah berada, hampir selangkah di depan Amerika. Dalam kasus tuduhan Trumph soal corona, China membuang keengganannya, untuk tak mengirimkan pesan menantang kepada Amerika. China jelas mulai merealisasikan ucapan Mao di hadapan konvensi konstitusional China di Beijing 1949. Kata Mao kala itu, seperti ditulis Ben Chu, Jurnalis Harian Independen London, bangsa China selalu jadi bangsa yang hebat, berani dan giat. Sekarang, bangsa kita, kata Mao tidak akan lagi jadi bangsa yang dijadikan bahan ejekan dan hinaan. Kita telah bangkit. Tahun 1996 sekelompok ilmuan China yang menyusun buku “China Can Say No”, dan pada tahun 2008 kelompok ilmuan yang sama menyusun buku “Unhappy China”. Para ilmuan ini terang mendorong China mengklaim posisinya di panggung dunia. Kata mereka, dengan kekuatan nasional China yang berkembang pada tingkat yang belum pernah terjadi, China harus berhenti menghina dirinya sendiri. China tulis para ilmuan ini harus menyadari fakta bahwa ia sekarang mempunyai kekuatan memimpin dunia. Dalam upaya menantang upaya asing, mereka menambahkan “Anda bisa memulai peperangan, bila anda memiliki keberanian”. Jika tidak “tutup mulut anda.” (Lihat Ben Chu, 2013). Diluar efek klinis, tumpukan kenyataan menunjukan pemerintahan-pemerintahan nasional terjerembab dalam kenyataan memilukan. Industri-industri besar dan kecil, terkapar. Orang-orang, untuk sebagian besar tersandra, terpenjara di rumah. Pekerjaan untuk menghidupkan diri dan keluarga lepas. Ummat beragama, apapun agama itu, terasingkan dari rumah ibadahnya. Masjid-Masjid dan rumah ibadah agama lain pun dilarang dikunjungi ummatnya. Dahsyat betul efek non klinisnya. Apa sesudahnya? Modus Ciptakan Keuntungan Dramanya luar biasa. Detik demi detik dunia tenggelam dalam kenyataan orang mati tiba-tiba atau beberap hari setelah di Rumah Sakit. Panik, panic dan panik. Teriakan Lockdown dan social distancing pun menggema dimana-mana. Pemerintah dunia merespon dengan cara yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi apapun itu, gema lockdown dan social distancing akhirnya bekerja, terlepas dari efektifitasnya. Hal barukah fenomena ini? Tidak, sama sekali tidak. Ini fenomena tipikal setiap kali terjadi krisis. Cukup cerdas, atas nama transparansi dan informasi publik, detik demi detik dunia dicekoki derita corona. Panik terus berlangsaung dengan gelombang yang tak berubah. WHO terus muncul digaris depan memberikan informasi ke dunia, penuh semangat, entah transparansi atau melambungkan kepanikan, yang hebat. Ini mirip, dalam level yang bisa dikenali, tampilan IMF dan World Bank dalam krisis keuangan. Nampaknya WHO, seperti juga IMF dan World Bank, tertakdir secara licin menjadi bos besar pemerintah-pemerintah berdaulat di dunia ini. WHO, IMF dan World Bank jadinya seperti pemerintah satu dunia, one world goverment. Negara-negara berdaulat di dunia, suka atau tidak. Sebagai rakyat dari pemerintah satu dunia itu. Dunia dirancang untuk pada saatnya harus tunduk pada WHO. Pada saat lain harus tunduk pada IMF dan World Bank. Corona menempatkan WHO sebagai leader penanganan. Itu serkarang. Suka atau tidak diujung jalan ini, dunia ditunggu dan akan menyembah pada IMF dan World Bank. Tidakkah negara-negara didunia segera setelah ini berurusan dengan utang dan utang? Tidakkah negara-negara di dunia saat ini telah terlilit pelambatan ekonomi kronis. Kas negara-negara itu sedang keropos abis? Pembaca FNN yang budiman, luangkanlah sedikit waktu untuk melintasi masa lalu. Masa-masa krisis yang pernah terjadi. Disepanjang lintasan itu, ditemukan satu kenyataan. Inti dan muara krisis adalah ekonomi. Krisis muncul sebagai cara hitam, licik, tamak dan culas untuk mengubah secara radikal tata kelola ekonomi dan tata negara. Tidak lain dari itu. Perang Dunia Pertama tahun 1914, dan krisis ekonomi hebat tahun 1929 misalnya, jelas dan terang semua sebab serta hasil akhirnya. Krisis adalah satu-satunya cara paling andal industrialis, korporat merealisasikan ide-ide ekonominya. Penyebab dan modusnya saja yang berbeda. Tetapi hasil akhirnya tetap saja sama. Keuntungan ekonomi yang berlipat-lipat. Tidak lebih. Krisis besar selalu begitu. Mengancurkan tatanan yang sudah ada, terutama ekonomi. Kerusakan ini, tentu harus dipulihkan. Karena bobot dan skala kerusakannya, pemerintah harus bekerja secara tidak biasa. Pemerintah harus luar biasa dan progresif. Progresif dalam konteks ini, tidak pernah lain dari maksud dan esensinya, selain bekerja melampaui batas demarkasi dan konstitusi yang sudah baku. Ketentuan konstitusi, kalau tak dikesampingkan, harus diberi tafsir, bobot yang baru. Bekerja melampaui demarkasi konstitusi inilah yang ditolak oleh Herbert Hovert, Presiden Amerika yang pada pemerintahannya krisis ekonomi hebat tahun 1929 berawal. Menurut Anthony Sutton dalam buku FDR and The Wall Street, dan Hitler and Wall Street juga Ralph Epperson dalam “Invisible Hand” menemukan kenyataan, krisis ekonomi hebat itu terencana dan direncanakan. Du Pond dan Rockeffeler Group bekerja untuk Franklin Delano Rosevelt (FDR) memimpin Amwerika. Hovert harus tersingkir. Itu sebabnya Sutton terang-terangan menunjuk industrialis Wall Street berada dibalik krisis itu. Dan segera setelah FDR menjadi Presiden bergemalah cara kerja progresifnya. Konsep yang menurut Herbert Hovert bersifat fasis itu. Progresif, untuk sebagian merupakan terminologi tipuan. Kreasi menutupi isi otoritarian di dalamnya. Konsep ini melahirkan konsekuensi pemerintah mengendalikan semua aspek kehidupan rakyat. Depresi dan kegagalan pasar yang unregulated, mengakibatkan pemerintah harus melakukan intervensi. Presiden memegang control utama penyelenggaraan pemerintahan (Lihat Brian D. Feinstein, Congres in the Administrative State, Dalam Coase-Sandor Institute Law and Economic, 2017). Praktis krisis ekonomi hebat tahun 1933 meruntuhkan tesis klasik Adam Smith tentang laissez-faire. Ini disebabkan recovery ekonomi membutuhkan tindakan kordinatif dan planning pemerintah (lihat Cass R, Sustein, dalam Constitutionalism After The New Deal, dalam Harvard Law Review Vol.101, 1987). Demokrasi dalam kasus ini, sama sekali bukan tentang pemerintah partisipatif. Sekali lagi bukan itu. Mengapa? Kordinasi dan planing tak selalu sama dengan mengadaptasikan kehendak rakyat. Planing dan kordinasi tetap saja berwatak administrative, untuk tak mengatakan teknokratik. Toh presiden dapat langsung merealisasikan kebijakannya melalui Executive Order. Tiga Executive Order, didentifikasi Ralph Epperson digunakan FDR mewujudkan kebijakannya. Pertama, rakyat harus menjual emasnya sesegera mungkin ke Bank. Setelah rakyat melakukannya, lalu FDR mengeluarkan Executive Order lagi. Kali ini FDR menurunkan nilai dollar. Apa akibatnya? Uang yang telah ada ditangan yang menjual emas berkurang nilainya. Mereka rugi. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Setelah itu, keluar lagi Executive Order ketiga, yang isinya meliburkan bank. Ini dikenal dengan Bank Holiday. Begitu Bank dibuka, emas yang di bank telah melayang Bank of England. Selalu selangkah lebih di depan mendahului ilmuan tata negara konvensional. Perencana new deal telah menyediakan lebel baru untuk pemerintah jenis itu. Apa namanya? Brian D. Feinstein dalam Congress in the Administrative State, dimuat pada Coase-Sandor Institute for Law and Economic, 2007, menyebut administrative state, bukan authoritarian state. Hebat. Apa tipikal organiknya? Selain presiden berada di orbitnya, dibentuk badan yang didisebut executive agency, sebagai executive branch. War Industries Board, misalnya (catatan dibentuk pada masa Woodrow Wilson dan dipimpin oleh Bernard Baruch). Pada masa krisis, badan ini disuport habis oleh corporate executive. Pada masa FDR dibentuk, beberapa diantaranya Federal Emergency Administration of Public Workers, National Labour Relation Board, Labor Advisory Board dan Consumer’s Advisory Board. Tampilan tata negara macam inikah yang akan muncul setelah Corona, terutama di Indonesi? Tidak. Tetapi siapa di dunia ini yang akan keluar sebagai pemenang ekonomi dalam krisis ini? Pembaca FNN yang hebat, silahkan baca disertasi Anggela Lanette Smith. Judulnya Economic Revolution From Withim: Herbert Hovert, FDR and The Emergency of National Industrial Recovery Act. Disertasi ini dipertahankan di hadapan sidang senat Wayne State University tahun 2015. Cukup jelas Enggela menunjukan dalam nada yang datar, korporasi besar keluar sebagai kelompok yang berkibar. Baik pada saat itu maupun setelah krisis terjadi. Lupakan dulu otopsi. Perlu tidaknya dilakukan otopsi terhadap mayat-mayat yang dikubur dengan menggunakan standar protokol corona vorsi WHO. Namun pertimbangkanlah siapa itu korporasi berskala dunia yang akan berkibar dengan vaksin anti corona. Korporasi mana di Indonesdia yang akan bergembira menikmati kebijakan pemulihan dampak ekonomi virus ini? Satu hal, yang pasti negara-negara kecil, yang ekonominya keropos, termasuk Indonesia akan mempertahankan reputasinya sebagai tukang utang paling gemilang. Dan rentenir Internasional terus berkibar sebagai rentenir yang selalu untung. Suka atau tidak, itu nyata terjadi. Penulis adalah Pengajara Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternater
Corona Menjadi Istri Pak Mahfud
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (29/05). Banyak pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang aneh-aneh. Mulai dari soal Indonesia tak ada corona. Korban kecelakaan yang lebih banyak daripada korban corona. Mudik dan jamaah tarawih yang bisa dipidana. Tidak cukup hanya itu pernyataan aneh. Menko Mahfud MD juga bicara tentang Masjid yang ditutup. Alasan Mahfud, karena jama'ah masjid banyak korban seperti di Iran, hingga pidato sambutan di UNS soal meme kiriman Luhut yang bercanda membandingkan corona virus sama dengan seorang istri. "corona is like your wife, is easily you try to control it then you realize that you can't, then you learn to live whith it". Begitu bunyi meme yang dikutip Mahfud. Tentu saja netizen banyak yang marah atas joke berlebihan tersebut. Menyamakan corona virus dengan seorang istri yang tidak mudah ditaklukan. Sikap dan perbuatan ini dinilai sebagai penistaan terhadap status seorang istri. Pertama, menghadapi wabah corona yang merupakan "desease" apapun upayanya adalah mengatasi. Baik itu mencegah maupun menyembuhlan. "Wife" tentu saja bukan "desease" yang dianggap bisa bersahabat. Faktanya corona bisa membunuh. Kedua, keliru berat jika niat untuk menikah adalah dalam rangka menaklukan istri. Sehingga konsep bangunan awal adalah peperangan untuk mengalahkan. Saat tak mampu menaklukan, maka jadinya berdamai "learn to live with it". Itu keterpaksaan. Ketiga, terlalu jauh membanding-bandingkan pernikahan dengan penyakit. Itu terlalu mengada-ada. Terkesan kehabisan bahan untuk bicara ke masyarakat. Masa sepanjang hidup harus sesak nafas, dan panas badan tinggi. Suami-istri itu seharusnya bersimbiose mutualistic. Bermakna dan berdaya guna. Sedangkan wabah corona justru bersimbiosis parasitis. Merusak tubuh. Joke Menteri "intelek" seperti Mahfud dan Luhut menjadi gambaran, betapa tidak seriusnya mereka sebagai petinggi negara mengatasi wabah corona. Nyawa yang telah menjadi korban, baik masyarakat maupun tenaga medis ternyata dimain-mainkan sebagai joke oleh menteri. Seolah-olah kematian mereka itu sesuatu yang tidak berharga. Apalagi meme lucu-lucuan tersebut dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan "new normal". Yang mau dimodelkan untuk berdamai dengan "desease". Di tengah grafik pandemi virus corona yang belum begitu menggembirakan. Kepentingan rakyat menjadi yang dinomorduakan. Sementara kepentingan para pengusaha yang didahulukan. New normal jadinya adalah new marital menuju new mortal. Herd immunity yang berisiko tinggi. Kebijakan pola penjudi dan coba coba. Masyarakat yang dijadikan sebagai "kelinci percobaan" untuk menciptakan klaster-klaster baru penularan. Rakyat semestinya menyatakan "terserah" saja jika Pak Mahfud dan Pak Luhut mau memperistri virus corona. Kita hanya bisa mengucapkan "selamat menempuh hidup baru". Semoga bahagia selalu. New abnormal life. Kita mah semua tidak mau punya istri atau berumah tangga dengan virus corona. Secantik apapun corona itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gara-gara Berita, Wartawan Detik Diancam Dibunuh. Ada Pihak yang Tersinggung?
Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Apapun alasannya mengancam membunuh orang lain adalah tindak kejahatan melawan hukum. Lalu mengapa wartawan Detik yang menulis kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi diancam mau dibunuh? Apa salahnya wartawan detik ini? Tapi siapa sih sebenarnya yang mengancam membunuh itu? Apakah dia (oknum) pendukung Pak Jokowi atau ada pihak lain yang memang sengaja ingin membuat suasana keruh? Atau itu cuma trik pihak-pihak tertentu saja, untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan besar bangsa ini. Lagian sewot amat sih, sampai mengancam mau membunuh wartawan? Apakah ada pihak-pihak yang dirugikan dengan pemberitaan Detikcom? Memang agak susah untuk membuktikan siapa orang yang mengancam akan membunuh, kecuali kalau kepolisian mau melakukan penyelidikan dan penyidikan secara serius dan profesional. Tapi mari kita uraikan dulu duduk perkara dan kronologi masalah ini. Pada awalnya, Detikcom menurunkan berita pada hari Selasa 26 Mei jam 9.10, dengan judul: "Jokowi Pimpin Pembukaan Sejumlah Mal di Bekasi Siang Ini di Tengah Pandemi". Kemudian di hari dan jam yang sama, Detikcom menurunkan berita dengan judul: "Pemkot: Jokowi Siang Ini ke Bekasi Dalam Rangka Pembukaan Mal". Isi berita ini persis sama dengan judul berita sebelumnya. Berita tersebut berasal dari informasi yang disampaikan Kepala Sub Bagian Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi. Namun setelah berita tersebut menyebar dan viral, tidak berapa lama kemudian pernyataan Kasubbag Humas tersebut diluruskan oleh atasannya yakni Kepala Bagian Humas Pemkot Bekasi. Detikcom pun menurunkan berita klarifikasinya dengan judul: "Pemkot Bekasi Luruskan soal Kunjungan Jokowi Cek Persiapan New Normal". Berita ini dipublikasikan hari Selasa itu juga pada jam 10.42 WIB. Jokowi berencana mengecek persiapan new normal di Bekasi. "Meninjau Kota Bekasi dalam rangka persiapan penerapan prosedur new normal setelah PSBB, di sarana publik," ujar Kabag Humas Pemkot Bekasi Sayekti Rubiah, ketika dihubungi detikcom, Selasa (26/5/2020). Sayekti menyanggah kunjungan Jokowi terkait pembukaan mal-mal di Bekasi. Mal di Bekasi akan dibuka usai hasil evaluasi PSBB. "Kemungkinan, mal itu bisa dibuka hasil dari pemantau evaluasi dari PSBB tersebut," imbuhnya sebagaimana diberitakan Detik. Bukan berita hoax Sepanjang yang saya telusuri di google, sampai hari Kamis (28/5), ketiga judul berita Detikcom diatas tidak berubah.Artinya, kesemua isi berita tersebut secara jurnalistik dapat dipertanggungjawabkan alias bukan berita hoax. Kalau sebuah berita dibantah atau diklarifikasi oleh nara sumber dalam hal ini Pemkot Bekasi, bukan berarti berita sebelumnya salah. Berdasarkan penelusuran saya via internet, penulis berita soal kunjungan Jokowi adalah Tim Detik. Sebelumnya nama wartawan yang menulis berita tersebut kemungkinan dicantumkan. Tapi setelah ada ancaman pembunuhan, nama.penulis beritanya diganti dengan Tim Detik. Sebab menurut keterangan pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, nama penulis yang tercantum di dalam berita Detik menyebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Nah dari medsos itulah, kekerasan terhadap penulis berita tersebut dimulai. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. "Selain itu, Situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers," kata Asnil Bambani, Ketua AJI Jakarta, dalam siaran persnya, Rabu (28/5). Selain doxing, kata Asnil Bambang, jurnalis itu juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal, kenyataannya tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp. AJI Jakarta menilai di tengah upaya Jokowi menggencarkan persiapan New Normal, pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah tampaknya menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 4 ayat 1-3 menjelaskan, salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. AJI Jakarta mengingatkan para pihak yang bersengketa terkait pemberitaan di media agar menyerahkan kasusnya kepada Dewan Pers untuk menilai dan mengupayakan penyelesaiannya. Melapor polisi Terkait ancaman pembunuhan ini, pihak Detikcom sudah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri. Vivanews memberitakan bahwa pihak Detikcom telah meminta pengamanan dari Polri terhadap jurnalisnya itu. AJI Jakarta juga meminta agar kepolisian mengusut hingga tuntas ancaman pembunuhan terhadap wartawan Detik serta meminta agar Dewan Pers turun tangan. Sementara di Medsos juga beredar Meme yang diberi judul: "Detik Gini Amat". Meme tersebut selain berisi foto Jokowi juga terdapat screenshot tiga judul berita Detikcom seperti yang dibahas di atas. Lalu Meme itu dengan kalimat tambahan yang berbunyi: "Bikin Hoax Dulu, Pelintir Dulu. Ralat Kemudian. Lalu Apa Tanggungjawab Media Terhadap Hoax yang Terlanjur Tersebar?" Meme yang beredar di Medsos tersebut adalah suara netizen yang seolah-olah merasa paling benar. Dengan menuduh berita Detikcom itu sebagai hoax. Seperti layaknya sebuah Meme, narasi kalimat yang tertuang didalamnya pun bersifat provokatif. Misalnya kalimat provikatifnya seperti ini: "Detikcom sengaja merusak apa saja yang dikerjakan Pak Jokowi. Waspadalah !!!! Detikcom sudah berpolitik untuk mencapai sebuah tujuan. Jangan biarkan Pak Jokowi sendirian hadapi media-media jahat. Media penghasut harus dilawan". Seperti biasanya kalimat provokatif seperti itu tanpa didukung data dan fakta yang valid. Meski demikian, ujaran tersebut tetap beredar di Medsos. Padahal, sebenarnya kelompok yang merasa dirugikan oleh pemberitaan Detikcom tersebut, bisa mengajukan hak jawab atau mengadukan ke Dewan Pers. Loh kok tidak bisa langsung mengadukan ke polisi? Lah kan ini termasuk sengketa pers sehingga jalurnya berdasarkan UU Pers, harus melalui Dewan Pers. Netizen yang cerdas dan memiliki kekuatan dalam literasi, seharusnya berpikir ulang sebelum menyebarkan Meme provokatif tersebut. Alangkah baiknya para Netizen yang menjari pendukung Jokowi, memahami dulu tentang mekanisme kerja wartawan dan kaidah jurnalistik. Nah, kalau sudah melek baru membuat Meme yang cerdas dan mencerahkan masyarakat di dunia Maya. Terlepas dari itu semua, meskipun liputan Detikcom soal Kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi hari Selasa lalu, tidak ada yang menyalahi kaidah jurnalistik. Namun, menurut saya, liputan Detikcom soal kegiatan Presiden tersebut kurang komprehensif. Sebagai sebuah portal berita, seharusnya Detikcom bisa menyajikan berita dari berbagai sisi (cover all side). Ketika terjadi silang pendapat dan informasi antara apakah Presiden hendak melakukan persiapan New Normal atau pembukaan mall di Bekasi, Detikcom seharusnya bisa menyajikan informasi resmi dari nara sumber di Biro Pers Istana Kepresidenan atau pejabat di Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Selain itu Detikcom bisa juga menggali informasi dari pihak manajemen Summarecon Mall Bekasi. Pertanyaannya mendasar saja: Apakah kegiatan yang akan dilakukan Presiden di mal ini? Justru bagian ini yang dilakukan oleh portal berita Tempo, yang sengaja mewawancarai pengelola mal sebelum kedatangan Presiden Jokowi ke Bekasi. Sepanjang pengalaman saya menjadi wartawan, mutu suatu berita kerap ditentukan oleh nara sumbernya. Katakanlah misalnya isi suatu berita benar, tapi apakah nara sumber yang diwawancarai itu cukup representatif/otoritatif atau tidak. Kadang orang yang berbicara atau narsum yang menyampaikan informasi kepada publik, ikut menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap media tersebut. Di dunia birokrasi termasuk di lingkungan Pemda, informasi kepada wartawan biasanya disampaikan langsung oleh kepala daerah atau diwakili melalui Humas. Nah, dalam kasus berita Detikcom, informasi awal yang dijadikan sebagai nara sumber adalah Kepala Sub Bagian Publikasi Eksternal Humas Pemkot Bekasi. Menurut saya, kapasitas nara sumber ini kurang kuat. Katakanlah, Kasubbag Humas ini mempunyai kewenangan untuk berbicara dan menyampaikan informasi kepada media, wartawan Detikcom seharusnya bisa melengkapi sekaligus cross check kepada atasannya yakni Kepala Bagian Humas. Dulu, ketika saya bertugas di lapangan meliput kegiatan Pemda, biasanya yang memiliki kewengan berbicara kepada wartawan adalah Kepala Bagian Humas. Sedangkan staf bagian humas di Pemda, biasanya membantu menyediakan data-data kuantitatif yang dibutuhkan wartawan. Ooh ya hampir lupa. Jadi siapa sebenarnya orang yang mengancam akan membunuh wartawan Detik? Saya cari-cari di google, kok engga ada ya. Saya mau nanya ke Pejaten, tapi tidak punya jalurnya kesana. Wallahu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior.
Diktator Itu Pemeras Rakyat
By Furqan Jurdi Jakarta FNN – Kamis (28/05). Bentuk wajah yang merakyat, dan penampilan yang sederhana tidak menjamin seseorang itu menjadi baik. Betapa banyak orang yang tertipu dengan penampilan? Kita di Indonesia, kebanyakan mau untuk ditipu dari bentuk luar saja. Kata Plato, para diktator itu tidak muncul dengan muka yang bengis. Diktator juga tidak dengan wajah yang menyeramkan. Untuk pertama kali diktator itu, berpura-pura bertindak sebagai pelindung. Selalu tersenyum kepada siapapun yang dijumpainya. Bitulah cara diktator menipu pendukungnya. Untuk Indonesia, dapat kita lihat, ada yang masuk gorong-gorong untuk mencari simpati. Berpura-pura sederhana untuk memunculkan rasa kasihan, supaya penipuan tersebut bisa berjalan dengan sempurna. Digunakanlah media dan buzzer untuk menyampaikan kepura-puraan itu kepada masyarakat. Prilaku yang seperti ini sudah kita alami bersama. Tahap selanjutnya, sang diktator itu membuat rakyatnya melarat dengan menarik pajak sana-sini. Iuran BPJS yang tadinya telah diputus oleh pengadilan untuk tidak dinaikkan, justru dinaikkan lagi. Dia mulai melakukan pembangkangan terhadap hokum. Merasa paling berkuasa, sehingga bertindak otoriter. Diktator lalu memaksa rakyat mengabdi kepada kemauan dirinya setiap hari. Kalau ada rakyat yang membangkang, dianggap sebagai pelaku makar. Dituduh melakukan ujaran kebencian, dan dipenjara menanti. Rakyat dibuat takut bila punya keinginan untuk mengkritiknya. Munculnya, suara-suara kritis dianggap sebagai musuh. Tidak jarang suara-suara kritis itu berujung pada proses hukum. Bahkan berakhir di penjara. Lihat saja Said Didu yang terus terang mengatakan sikap culas seorang menteri, malah dilaporkan ke polisi. Proteksi terhadap kritik diperhebat dengan kerja penegak hukum yang bebal. Tidak ada kebebasan. Demokrasi terancam di ujung tanduk. Kekuasaan bertindak semaunya, dan menetapkan kebijakan yang mencekik rakyatnya. Padahal rakyat lagi getir menghadapi situasi sulit. Antara pandemi virus Covid 19 dan krisis ekonomi, rakyat hanya bisa diam membisu. Kalau sampai rakyat berbicara, maka orang-orang bebal akan segera memanggil atau menjemputnya atas nama hukum. Seperti inilah wajah dan keadaan kita sekarang. Otoritarianisme kini jelas Nampak. Kezaliman berdiri menghantam kehidupan rakyat. Ada Perppu Corona yang sudah hah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Corona, setelah disepakati oleh lembaga perwakilan rakyat. Katanya mereka adalah representasi rakyat, tetapi mereka justru menghantam rakyat. Bebal juga mereka anggota DPR itu. UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona itu sudah menetapkan kekebalan hukum bagi mafia-mafia yang ingin melipat-gandakan perampokan uang rakyat. Menggunakan kekuasaan dan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri. Para pemain-pemain tender telah selamat dari ancaman hukuman, baik Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara. Pengawasan sudah tidak berlaku lagi. Fungsi legislasi Lembaga Perwakilan Rakyat sudah tidak ada lagi. Penguasa bisa menetapkan sepihak defisit anggaran negara seenaknya. Dan menetapkan penggunaan dana APBN juga semaunya saja. Celakanya lagi, Lembaga Perwakilan Rakyat gotong-royong mengamini semua itu. Bahkan mengamini dirinya untuk tidak lagi berfungsi. Wartawan senior Hersubeno Arief menyebutnya dengan “Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI” (FNN.co.id 14/05). Lalu untuk apa ada lembaga perwakilan lagi? Hanya menghabiskan uang rakyat? Bukankah ia disebut lembaga perwakilan rakya karena memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Sementara fungsi itu sudah tidak berlaku lagi dalam UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona. Ironisnya lagi, beberapa pasal dalam dua belas undang-undang lainya ditiadakan. Hanya untuk memuluskan rencana penguasa menggunakan anggaran itu semaunya. Tanpa perlu pengawasan. Lembaga Perwakilan Rakyat menerima itu dengan lapang dada. Tragis. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tadinya memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap penggunaan anggaran berdasarkan UUD 1945, ditiadakan oleh UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona . Akhirnya kekuasaan hanya ada pada satu tangan. Kedudukan undang-undang tampaknya lebih tinggi dari konstitusi negara UUD 1945. Kekuasaan pengadilan sebagai satu cabang kekuasaan yang mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan apapun tidak berfungsi dengan UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona ini. Bayangkan setiap kebijakan dan berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah, meskipun itu melanggar hukum, seperti korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya, pengadilan tidak berhak untuk mengadilinya. Luar biasa. Sungguh ironis. Perlu diingat, dalam kekuasaan yang bermental otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme biasanya terjadi secara masif. Demokrasi tidak selalu menjamin kebebasan dan keterbukaan. Kalau lembaga perwakilan sudah tidak berfungsi sebagai pengontrol dan pengawas, penegak hukum sudah menghamba pada kekuasaan. sekarang sudah kita rasakan seperti apa itu DPR, dan penegak hukum. Sederet ketidakadilan terjadi sedemikian rupa. Telanjang di depan mata. Namun kita tidak lagi lagi punya tempat untuk menyampaikan itu secara institusional. Kita hanya berjuang atas nama rakyat, dan berangkat bersama kekuatan rakyat. Lembaga negara sudah tidak bisa diharapkan lagi. Skandal Demi Skandal Ketika otoritarianisme tiba, semua kasus akan bermunculan. Kita belum selesai dengan skandal-skandal besar, justru yang keluar UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk memuluskan jalan para mafia anggaran dan uang negara. Sungguh mencengangkan kita semua. Padahal awal tahun 2020 muncul kasus korupsi besar. Ada kasus Jiwasraya skandal besar yang mengerikan. Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya yang dinilai merupakan skandal terbesar kedua setelah kasus BLBI di rezim sebelumnya. BUMN asuransi jiwa ini mengalami gagal bayar sebesar Rp 13 triliun, dan meminta talangan negara Rp 30 triliun lebih untuk menyehatkan diri. Hebat kan. Kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) kini dirundung kerugian yang diduga mencapai Rp 10 triliun. Akibat dari pengelolaan investasi berupa saham yang mengalami penurunan nilai. Bahkan Mahfud MD sebagai menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan menilai, dua PT Asurasi itu mengalami kerugian karena korupsi. Tidak hanya terpaan korupsi, BUMN pun sedang mengalami masalah serius. Tahun 2016 utang BUMN mencapai Rp 2.263 triliun, lalu pada 2017 melonjak menjadi Rp 4.830 triliun. Sementara pada 2018 meningkat tipis menjadi sebesar Rp 5.271 triliun. Meski sudah mendapatkan suntikan modal dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), BUMN tetap saja mengalami kerugian. Setidaknya yang tercatat 7 BUMN yang masih terus merugi sampai sekarang. Kementerian Keuangan mengalokasikan PMN pada sejumlah perusahaan BUMN di antaranya Rp 65,6 triliun di tahun 2015, dan pada 2016 sebesar Rp 51,9 triliun. Pada 2017 turun drastis menjadi hanya Rp 9,2 triliun serta pada 2018 sebesar Rp 3,6 trilun. Sementara pada 2019 PMN oleh Kemenkeu naik lagi menjadi Rp 20,3 triliun. Untuk tahun 2020, uang pajak yang dialokasikan untuk tambahan modal BUMN turun tipis menjadi sebesar Rp 18,73 triliun. (Data Kompas.com) Meski suntikan modal dari APBN dalam beberapa tahun ini terus dilakukan, rupanya tak menjamin kinerja keuangan perusahaan membaik. Tentu ini ada masalah yang paling fundamental dalam masalah keuangan BUMN. Sangat mungkin kerugian yang dialami oleh BUMN karena korupsi. Peras Rakyat Akibat kondisi keuangan negara yang amburadul, korupsi menjamur. Rakyatlah korbannya. Iuran BPJS yang tadinya dibatalkan naik oleh Mahkamah Agung, kini dinaikkan lagi oleh pemerintah. Kenaikan ini berlaku untuk seluruh peserta. Kenaikannya mencapai dua kali lipat. Begitupun dengan harga sejumlah barang dan jasa direncanakan naik di tahun 2020 ini. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Dengan alasan untuk melarang mudik, tarif sejumlah ruas tol naik pada 2020 ini. Bahkan sebelum Corona, sejumlah ruas jalan tol sudah diputuskan untuk dinaikkan. Rakyat dipalak, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Kebutuhan makanan sehari-hari semakin susah. Di tengah rintihan kesusahan, mulai dari krisis ekonomi hingga memuncak di masa pendemi corona, justru negara mengatur rencananya sendiri untuk menghabiskan uang rakyat. Bahwa penguasa tidak lagi melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Penguasa hanya mau melindungi kepentingan para mafia ekonomi dan makelar politik. Targetnya menguasai Indonesia, sehingga negara ini masuk dalam perangkap negara asing. Pada akhirnya kedaulatan teritorial, kedaulatan hukum, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik tidak lagi dimiliki bangsa Indonesia. Semua kedaulatan dikendalikan oleh mafia, aseng dan Asing. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Ketua Umum Pemuda Madani.
Siapa yang “Ngeprank” Presiden Jokowi?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo berhasil di-prank seorang buruh bernama M. Nuh di Jambi. Lho, koq bisa seorang presiden sampai di-prank rakyatnya sendiri? Niatnya acara konser Berbagi Kasih Bersama Bimbo pada Minggu malam, 17 Mei 2020, itu lelang motor listrik Gesits. Dan, penawar tertinggi dengan nilai Rp 2,55 miliar itu adalah seorang "pengusaha" bernama M. Nuh. Menariknya, label pengusaha itu disematkan oleh pembawa acara artis Wanda Hamidah yang juga seorang politisi. Dan, ternyata Nuh itu seorang buruh harian. Jagad medsos pun ramai ngrumpi lelang motor listrik milik Presiden Joko Widodo yang kena prank seorang buruh harian di Jambi itu. Konser “Berbagi Kasih Bersama Bimbo” itu sendiri diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam akun twiter atas nama Mas Piyu ORI@mas_piyu menulis: Netizen: MOBIL ESEMKA Kalau Dilelang Pasti Laku Rp 11 Triliun, Barang Sangat Langka dan Dicari… Dalam twiter itu disertai foto Jokowi saat menjadi Walikota Solo duduk di atas kap mobil ESEMKA. Akun twiter atas nama Aline Yoana Tan @TanYoa… menuliskannya, Pelajaran Buat Raja Prank: Cemen, Baru Kena Prank 2,55 Milyar Aja Udah Lapor Polisi, Rakyat Kena Prank 11 Ribu Triliun Biasa-Biasa Aja. Taukan Boss Bagaimana Rasanya DiPrank. Beberapa hari terakhir, publik sedang ramai membicarakan soal lelang motor listrik bertanda tangan Presiden Jokowi. Acara lelang motor listrik tersebut diselenggarakan bersama MPR, Minggu (17/5/2020). Ketua MPR Bambang Soesatyo hadir dalam acara itu. Semua bermula dari seorang buruh bangunan bernama M. Nuh yang memenangkan “lelang” tersebut. Setelah memenangkan lelang, Nuh tidak bisa menebus motor listriknya. Walhasil, dia sempat berurusan dengan pihak berwajib. Kini, motor tersebut jatuh ke tangan putra Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo, yakni Warren Tanoesoedibjo. Warren berhasil menjadi pemenang lelang sepeda motor listrik Gesits bertanda tangan Presiden Jokowi dengan penawaran Rp 2,55 miliar. Pada Jumat (22/5/2020), Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama pihak penyelenggara yang dihadiri Olivia Zalianty dan Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslani kembali mengumumkan pemenang lelang motor listrik Gesits itu di Graha BNPB, Jakarta. Kepada Presiden Jokowi, Bamsoet meminta maaf atas permasalahan yang terjadi dalam acara lelang motor listrik tersebut. Ia mengatakan, dirinyalah yang patut disalahkan terkait masalah tersebut. “Saya atas nama seluruh panitia menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada Pak Presiden, kepada Setneg, kalau ada pihak yang harus disalahkan saya orangnya,” ujarnya seperti dilansir Tribunnews.com, Sabtu (23 Mei 2020 11:19) “Saya Bambang Soesatyo yang patut disalahkan. Bukan yang lain, karena saya penanggung jawab acara ini,” tegas. Ia merasa tidak enak hati kepada Presiden Jokowi yang tidak ikut campur apa pun dalam acara itu dan hanya ingin membantu masyarakat di tengah pandemi. “Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan jujur saja saya sampai tidak enak hati ke Pak Presiden, dengan Setneg, karena sebenarnya beliau tidak tahu apa-apa, beliau hanya ingin membantu gagasan para seniman dan para pekerja seni,” ujarnya. Bamsoet mengatakan, pihak penyelenggara penggalangan dana tidak merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan M. Nuh. “Kami kena prank seorang buruh di Jambi yang mengaku pengusaha tambang bernama M. Nuh yang kemudian diamankan Polda Jambi,” ujarnya. Ia juga menyoroti isu miring yang diterpa acara konser secara virtual bertajuk “Berbagi Kasih Bersama Bimbo” tersebut. Menurut Bamsoet, ada seorang wanita di Kalimantan Tengah yang menyebarkan hoaks tentang acara penggalangan dana itu dan sudah diperiksa kepolisian. “Ada penyebar hoaks Konser Virtual Berbagi Kasih Bersama Bimbo oleh emak-emak yang ditangkap Polda Kalteng dengan tujuan menghasut,” tuturnya. Ia meminta kepolisian tidak menahan perempuan tersebut maupun M Nuh yang gagal menebus harga lelang motor listrik. Kapolda Jambi Irjen Firman Santyabudi sebelumnya mengatakan, M. Nuh tidak mengetahui acara yang diikuti merupakan acara lelang. “Yang bersangkutan tidak paham acara yang diikuti adalah lelang,” katanya. “Yang bersangkutan malah mengira bakal dapat hadiah,” kata Irjen Firman melalui pesan singkatnya, Kamis (21/5/2020). Firman juga membantah, kepolisian menangkap M. Nuh. Buruh bangunan itu, kata dia, justru diberikan perlindungan pihak kepolisian. “Karena ketakutan ditagih, dia justru minta perlindungan,” ungkap Irjen Firman. Yang menarik, mengapa sejak acara konser digelar hingga pelaksanaan lelang susulan pada hari Jumat lalu itu, Bamsoet terlihat orang yang paling sibuk. Padahal, pelaksana kegiatan konser ini adalah BPIP, lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Lalu dalam acara tersebut Bamsoet kapasitasnya sebagai apa? Sebagai Ketua MPR-RI? Atau sebagai pengusaha karena dalam acara konser itu Bamsoet juga menggandeng Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani. Justru unsur pimpinan MPR-RI periode 2019-2024, tidak ada satu pun yang turut hadir dalam acara tersebut. Kecuali diantaranya hadir secara virtual. Apalagi, saat acara press conference sekaligus klarifikasinya, Bamsoet menyebut dirinya sebagai penanggungjawabnya. Tjahja Gunawan, wartawan senior, dalam tulisannya menyatakan, jika menyimak narasi dan diksi yang disampaikan Bamsoet ketika mengawali pernyataan klarifikasnya pada wartawan, jelas dia bukan dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI. Sebab dalam praktek ketatanegaraan, posisi Ketua MPR-RI sesungguhnya lebih tinggi dari Presiden. Sehingga, dalam berbagai acara kenegaraan, Ketua MPR-RI lazimnya menyebut dengan kata “saudara” kepada Presiden.Kalau bukan sebagai Ketua MPR, masyarakat bisa saja menduga Bamsoet sedang menjadi Event Organizer (EO) atau penyelenggara kegiatan konser yang diadakan oleh BPIP. Tapi, masyarakat pun bisa bertanya lagi: Pantaskah seorang Bamsoet yang nota bene sebagai Ketua MPR merangkap sebagai EO? Bagaimanapun jabatan dan pangkat itu tetap melekat pada diri seseorang. Nama Bamsoet tidak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai Ketua MPR-RI. Kok bisa sih dia menjadi EO? Bukankah Bamsoet sudah tajir melintir, di mana berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2018, harta kekayaan Ketua MPR-RI dari Fraksi Golkar ini sebesar Rp 98.019.420.429 (Rp 98 miliar lebih). Sebagian besar harta kekayaan Bamsoet berupa tanah dan bangunan yang bernilai Rp 71.217.095.000. Sementara itu, untuk harta berupa alat transportasi dan mesin berjumlah Rp 18.560.000.000. Tercatat, ada 13 kendaraan yang ia miliki, seperti motor Harley Davidson, mobil Rollsroyce Phantom Sedan, dan lain-lain. Jadi, kalau Bamsoet mau membantu masyarakat yang terdampak atau menjadi korban wabah Covid-19, maka dia pribadi sebenarnya bisa memberikan sumbangan langsung kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Menurut Tjahja Gunawan, cara lainnya, bisa saja Bamsoet menggelar lelang sendiri dengan misalnya, melelang sebagian kendaraan mewahnya untuk disumbangkan bagi kepentingan penanganan wabah Covid-19. Atau katakanlah dalam acara konser BPIP itu dia ingin berpartisipasi lebih, maka Bamsoet bisa saja ikut menawar motor listrik yang dilelang itu. Ini kok seperti sengaja dibuat drama yang akhirnya berujung pada tragedi. Karena kemudian menjadi bahan cemoohan masyarakat setelah lelang motor listrik tersebut berhasil di-prank oleh M. Nuh, seorang buruh yang tinggal di Jambi. Celakanya, Bamsoet menuding komentar dari para netizen sebagai gorengan. Padahal, yang terjadi justru acara konser tersebut seperti sebuah dagelan politik yang tidak lucu. Tragedi konser BPIP justru menunjukkan kepada dunia, para pemimpin di Indonesia ini tidak kompak dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Kebijakan yang telah dibuat dalam menghadapi pencegahan penyebaran Covid-19 kemudian diubah sendiri oleh pemerintah. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang sangat buruk. Manajemen pemerintah yang menyedihkan ini kemudian ditambah dengan persoalan “Konser Prank” BPIP yang amburadul. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan para pemimpin di negeri ini. Dalam Konser BPIP tersebut bukan hanya telah terjadi acara lelang kaleng-kaleng alias tipu-tipu, tapi dalam acara itu juga telah memberikan contoh buruk kepada masyarakat di tengah wabah Covid-19. Pada akhir acara konser itu, Bamsoet bersama para seniman dan artis yang hadir foto bersama di atas panggung tanpa mengindahkan aturan soal Physical Distancing. Penulis Wartawan Senior.
Malapetaka The New Normal Tata Negara
By Dr. Margarito Kamis Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara ialah semangat. Semangat para penyelenggara negara. Semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tidak ada artinya dalam praktik. (Profesor Soepomo, Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) Jakarta FNN – Rabu (27/05). Suatu malam di bulan ini mendadak terbelah oleh pernyataan Presiden mengenai mudik dan pulang kampung. Dua kata itu, tak sama menurut Presiden. Ramai dibincangkan orang. Dan belum benar-benar mengering, muncul lagi isu lain. Bangsa ini, begitu esensi pernyataan Presiden harus berdamai. Hidup berdampingan dengan corona. Belum benar-benar menghilang isu ini, datang lagi isu baru, “pelonggaran PSBB”. Ramai juga dibincankan dalam cengkeraman kebingungan dan tak percaya. Terencana atau tidak, terkordinasi atau tidak. Menjelang penghujung Ramdahan Al-Mubarakh, rakyat tercekoki lagi ke isu baru. Namanya “The New Normal.” Ditengah gelombang mencekam itu, konser amal berbaju lelang, kalau tak salah di malam Nudzulul Qur’an. Konser yang akhirnya memalukan. Hadir dengan nuansa keangkuhan yang absolut. Bung Karno dan Soepomo Suka-suka, itulah yang terlihat menjadi pola pemerintahan mengelola negara ini. Memang demokrasi memungkinkannya. Demokrasi malah akan semakin mengandalkannya, bila tampilan pemerintahan teridentifikasi rusak. Rute kongkritnya, kebijakan formil dibiarkan berada di kejauhan. Bibungkus manis dan ketat dengan simptomnya. Ketika simptomnya diyakini telah membelit rakyat, barulah kebijakan resmi yang berada di kejauhan diresmikan. Ya diberi bentuk hukum. Ini standarnya. Ini agak absolut, karena demokrasi menjadikan legitimasi sebagai jimat ampuhnya. Setelah legitimasi samar-samar terlihat mulai memasyarakat dengan meyakinkan, demokrasi segera pergi ke gudang tata negara. Dari gudang itulah, demokrasi mengambil darinya senjata mematikan. Namanya keadaan genting. Lahirlah Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya panjang sekali itu. Perpu ini angkuh seangkuh demokrasi. Kebutuhan demokrasi bekerja lagi dengan memanggil tata negara membereskan misi Perpu. Lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang sama dengan judul Perpu, judul PP ini juga sangat panjang. Di tengah itu, keangkuhan demokrasi membiarkan harga minyak tak kunjung turun. Semuanya terlihat new normal. Sifat new normal itu terlihat pada kedatangan Presiden ke mall Sumarecom di Bekasi. Sungguh new normal disambut dan direalisasikan Kementerian BUMN dan Kementerian Kesehatan. Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Edaran Nomor S-336/MBU/05/2020 Tentang Antisipasi Skenario The New Normal BUMN. Di sisi lain Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Nomor 01.07/Menkes/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Kelangsungan Usaha pada Situasi Pandemik. Begitulah sistem bernegara bekerja di tengah gempuran corona dengan segala efek melumpuhkannya. Begitulah bangsa ini mengelola dirinya sejauh ini. Begitulah cara bangsa ini mengidentifikasi dan menghidupkan pesan arif para pembentuk UUD 1945 dulu. Politik memang bersinggungan dengan keberuntungan. Sayangnya, bangsa besar ini tak beruntung sejauh ini. DPR, yang para pembentuk UUD 1945 andalkan untuk memastikan kekuasaan pemerintah tidak tak terbatas, sejauh ini dituntun demokrasi acak-kadul berbasis semangat persekutuan konyol mengambil jarak dari harapan pembuat UUD 1945. Sayang sekali. DPR, semoga bukan new normal. Nyatanya DPR mengambil jarak begitu jauh dari pandangan Bung Karno, Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Pandangan Bung Karno dikemukakan pada rapat besar Panitia Perancang UUD tanggal 15 Juli 1945. Katanya, tadi telah saya menyitir perkataan Jaures, yang menyatakan bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen jadi rapat raja-raja. Di dalam parlemen, lanjut Bung Karno, tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota berkuasa sebagai raja. Dia menggugurkan rancangan-rancangan yang dibuat oleh pemerintah. Dia bisa menggugurkan minister-minister dari pada singgasananya. Tetapi pada saat yang sama ia berkuasa sebagai raja. Dia, kata Bung Karno selanjutnya, adalah budak belian dari pada si majikan. Yang bisa melemparkan dia dari pekerjaan, sehingga ia menjadi orang miskin, yang tidak punya pekerjaan. Inilah konflik dalam kalbu liberalisme, yang telah menjelma dalam parlementaire democratie-nya bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. (lihat RM. A.B Kusuma, 2004). Profesor Soepomo, dalam tanggapannya kepada Muh. Yamin tentang menteri bertanggung jawab kepada DPR, menyodorkan pendapat menarik. Kata Profesor, akan tetapi kita harus mengingat juga bahwa dalam negara-negara ini, seperti Inggris, ada partai system. Kalau pemerintah “disokong partai terbesar di parlemen, sebetulnya pemerintah itu punya kekuasaan yang beasar sekali. Oleh karena itu, profesor Soepomo melanjutkan, orang seringkali mengatakan bahwa di Inggris itu ada dictatorial stelsel dari Menteri, terutama diktatur dari Perdana Menteri. Kita, kata Profesor, memakai sistem sendiri, sebagaimana dikatakan oleh tuan Sukiman. Sistem itu ialah kepala negara tak tunduk pada Badan Perwaklilan Rakyat (BPR). Tetapi bertanggung jawab sepenuhnya kepada MPR. Apa yang bisa dimaknai dari pandangan hebat-hebat ini? Itu hebat untuk old normal. New normal lain lagi. Hindarkanlah MPR hasil perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali 1999-2002, sudah lain dari yang lain. Sifat tertingginya telah tersapu cinta buta demokrasi. MPR dulu telah melayang, terbang entah kemana. MPR itu telah terkubur. MPR itu telah masuk kedalam kubangan tipu-tipu canggih demokrasi liberal. MPR sekarang tak lagi menjadi lembaga yang padanya pertanggung jawaban Presiden ditujukan. Hebatnya sistem presidensial hasilperubahan UUD 1945, persis Amerika. Presiden tak bertanggung jawab pada DPR, juga tak bertanggung jawab pada lembaga apapun. Sempurna liberalismenya. Presidensialisme Indonesia hasil perubahan UUD 1945 beroperasi dalam rimba raya partai politik. Presidensialisme hasil pemilu 2019, beroperasi dalam topangan buta mayoritas partai di DPR. Tetapi memang demokrasi selalu begitu. Demokrasi tak dapat memaksa parpol untuk tertib tunduk pada pesan-pesan arif pembuat UUD. Hasilnya? New normal. Mengerikan. Hak budget, yang merupakan mahkota DPR dimanapun di dunia ini, dilepas dengan senang hati. Mungkin juga sukacita. Presidenalisme bekerja superefektif, mendekati tak terbatas. Presidensialisme dibiarkan bekerja secara independen. New normal, tak memungkinkan DPR diminta. Misalnya, mengoreksi iuran BJPS, juga harga minyak. Ini new normal. Yang paling mungkin adalah memanggil doa. Berdoalah agar tampilan persekutuan angkuh ala demokrasi busuk ini berubah. Tidak semakin membuat suram tata negara ini. Tak usah dikuasi ketakutan. Tapi mari berdoa semoga “new normal” tidak terus-terusan membuat “kritik terhadap pemerintah disamakan dengan memfitnah, menghina, lalu dipenjara”. Berharaplah kepada Allah Subhanahu Azza wa Jalla agar DPR dan Presiden tahu bahwa impian bernegara secara modern, berutang banyak pada norma hukum alam tentang kemuliaan manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hukum alam menggariskan, manusia tidak bisa direndahkan untuk alasan dan kepentingan apapun. Ini memompa energi kemanusiaan Sir Edward Coke, yang kala itu menjabat sebagai Chief Justice of King Bens menantang raja James I. Coke lalu mengambil sudut oposisi tulen terhadap Raja James I. Raja ini telah terbakar ambisi dan keangkuhan, sehingga selalu ingin menaklukan parlemen. Ketika James I meminta kepada parlemen mengotorisasi dana sebesar E500.000, tenyata parlemen hanya menyetujui E160.000. Raja marah. Tidak cukup untuk membiayai perang dengan Spanyol. Lalu dengan hak prerogativenya, James memaksa parlemen memberi penjelasan, dan memperbesar jumlahnya. Celaka, parlemen menolak. Marah terhadap sikap parlemen, menurut Charles J. Reid dalam buku “The Sevententh-Century Revolution in the English Law, mengakibatkan James I membubarkan parlemen. Ini terjadi tahun 1621. Menariknya, hingga kekuasaannya berakhir tahun 1625, parlemen tetap tak memenuhi permintaannya. Penerusnya, Charles I yang berkuasa tahun 1626 segera merehabilitasi parlemen. Tetapi parlemen tak pernah mau tunduk prerogatifnya di bidang keuangan. Sepanjang 1626-1629, Charles mengadakan empat kali pertemuan dengan parlemen, dan setiap kali pertemuan selalu penuh badai. Indonesia Seperti Abad 17 Berakhirkah oposisi Sir Edward Coke terhadap kerajaan? Tidak. Menurut C. Perry Petterson dalam artikel The Evolution of Constitutionalism, dimuat pada Jurnal Minesotta Law Review Vol 32, Nomor 5, Coke membuat draft Petition of Rights 1628. Dalam doktrin Amerika, petition ini membatasi kekuasaan raja. Perkara yang membawa Coke berhadapan dengan James adalah kerajaan melarang Bonham, dokter lulusan Cambridge University berpraktek di London sebelum mendapat licency dari Royal Colege of Psysican. Bonhan menolak. Colege, yang menurut Act of Parliement 1610, diotorisasi bertindak atas nama kerajaan, memeriksa dan menghukum Bonham. Coke mengeritik kerajaan atas tindakan itu. Argumennya, undang-undang ini bertentangan dengan common law. Menurut Coke, UU ini harus dikesampingkan, direview karena bertentangan dengan common law. Ini terjadi 1614. (Lihat R.H. Helmolz, dalam Bonhan Case, Judicial Review and The Law of Nature, Jurnal of Legal Analisis Vol 1, Nomor 1, 2009). James I masih beraksi lagi. Atas nama prerogative, dia menghukum Edmund Peachem, anti royal. Dia dihukum mati dengan tuduhan high treason, kejahatan berat. Apa kejahatannya? Setelah mati, penyelidikan kerajaan menemukan catatan Peachem yang belum didistribusikan, apalagi dicetak. Isinya mengeritik kerajaan. Sebagaimana kritik, anda tidak menemukan kata-kata arif di dalamnya. Tetapi catatan itu membuat James I mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Kurang dari sembilan minggu setelah itu, mulai tersibak gairah parlemen menghentikan, “hak prerogatif” raja dalam bidang keuangan. Coke mengeras melawan kerajaan, karena menemukan kenyataan cara kerajaan menyelidiki, memeriksan Peachem dinilai bertentangan dengan hukum alam. Setidaknya common law. Coke berpendapat, sekalipun pengadilan berada dalam kekuasaan kerajaan, tetapi hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan secara mendalam. David Colclough, Cyntia Clegg dan sarjana lainnya menggambarkan kasus ini sebagai masalah sentral kebebasan berpendapat dan pencetakan pada abad ke-17 dalam kerangka kebebasan berpolitik. David Zert disisi lain menggambarkannya sebagai balada kebebasan berbicara pada era pertumbuhan demokrasi (Lihat Tod Butler, The Cognitive Politics of Writing in Jacobean England: Bacon, Coke, and the Case of Edmund Peachem, Pensilvania Univ. Press, 2016). Indonesia hari ini terlihat berada sangat dekat dengan praktik tipikal abad 17 itu. Mengeritik kebijakan, disamakan dengan mengeritik pribadi pejabat negara. Dengan semangat yang mirip, pemerintah menempuh cara, entah apa namanya, menangguhkan sementara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta. Demokrasi tak memberi tempat untuk bersedih. Tetapi mari ingatkan DPR untuk meresapi pesan Profesor Soepomo. Katanya pada rapat besar Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.” Semangat apa? Bukan semangat liberal, bukan pula semangat gotong royong tanpa arah. Semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat mengayomi rakyat, tanpa pandang asal-usul, kekuatan ekonomi dan sejenisnya. Itulah semangat yang didambakan Soepomo dan kawan-kawan. Sedetik saja semangat ini melayang, maka the new normal, dengan “the new norm-nya” menjadi malapetaka buat bangsa ini. Serpihan-serpihan new norma yang dihasilkan oleh new normal dibidang tata negara saat ini, untuk alasan kesehatan bangsa ini, harus dihindarkan. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.
New Normal Atau New Mortal
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (27/05). New normal tentu berbeda dengan old normal. Pak Jokowi melempar istilah ini untuk melewati eranya pandemi covid 19. Bermula tentu saja dari Kemenkes atau bahkan dunia. Namun sayngnya, pemaknaannya belum jelas. Masih kabur. Sepertinya Pak Jokowi asal "nyeletuk" saja. Sama seperti dahulu Pak Jokowi asal “nyelutuk” tentang penerapan darurat sipil. Juga pernah “nyelutuk” atau pernah juga manipulator agama. Ada up normal ada juga para normal atau abnormal. New normal itu mungkin saja kehidupan normal model baru. Mantan covid atau bersama dengan covid. Kecenderungannya "berdamai" bersama covid 19. Pak Jokowi mulai dating membuka-buka mall. Hanya Masjid saja yang masih dinggap "abnormal". Mesjid masih tutup. Dalam pilihan ini, namanya herd immunity. Suatu kebijakan yang terbilang kacau, karena Presiden lebih mendahulukan kehidupan bisnis dibanding ancaman kesehatan. “Indonesia terserah Presiden saja, “kata Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Margarito Kamis (fnn.co.id 27/05). Akhirnya, terserah mau-maunya Presiden saja lah. Mau PSBB ya silahkan. Perppu korupsi ya mangga. Darurat kesehatan juga monggo. Mau new normal lanjut. Pake para normal juga dipersilahkeun. Terserah Presiden saja. Negara dianggapnya punya Presiden ini. Rakyat mah ngga pada ngarti. Mereka cuma bisanya nrimo. Nggak menanam sayur ya oke. Terima impor sayur dari Cina, ya good saja. BPJS dinaikin, ya disuruh bahagia. Harga BBM tidak turun, juga ngga apa-apa. Yo wis, terserah bapak Presiden saja. Mau serius please. Mau planga-plongo juga ngga peduli. Sekarepe dewe wae. New normal itu diada-adakan saja. Covid 19 masih mengacak-acak perasaan manusia. Dokter dan tenaga medis masih sangat khawatir.Meraka yang ODP dan PDP belum stabil. Kalau sampai New normal gagal, Presiden harus ambil risiko. Siap dengan segala resiko ya. Jangan salahkan siapa-sipa. Jangan juga sampai Presiden salahkan rakyat atau tenaga medis. Tetapi pertanyaannya, apakah rakyat masih merasa punya Presiden ? Yang ada seleb yang dipaksakan muncul dan disubur-suburkan. New normal itu sama saja mendeklarasi sudah tidak ada lagi bencana nasional. New normal itu menyelesaikan PSBB. New normal adalah ilusi tentang situasi yang sudah kembali normal. Seperti di negeri khayalan. New nor mall adalah pastinya. Mall yang resmi dibuka dimana-mana. Kepentingan pengusaha yang didahulukan. Mahfud MD masih saja teriak-teriak agar Masjid tetap tutup. Mengaitkan dengan Iran yang ribuan jamaah masjid mati tertular. Tidak relevan sebab di Iran juga banyak pejabat yang mati juga. Lagi pula, kehidupan beragama kaum syi'ah Iran itu berbeda dengan kaum muslimin pada umumnya di dunia. Bedanya seperti langit dan bumi Sekarang Pak Mahfud MD cobalah teriak soal kebijakan new normal yang membuka mall, bandara, atau lainnya. Tegur dong Pak Presiden kalau berani. PSBB yang diinjak-injak demi bisnis yang harus hidup. Menkopolhukam harus berlaku adil bagi seluruh warga negara. Ketika Covid 19 belum tuntas teratasi, maka belum waktunya untuk kebijakan new normal. Pilihan masih berat. Jangan-jangan karena tergesa gesa melangkah dengan new normal, justru yang terjadi adalah new mortal. Kebrutalan baru. Kematian baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.