NASIONAL

Tujuh Keajaiban dan Kejutan Dari RUU HIP

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Endog sak petarangan netese bedo-bedo (bahasa Jawa) atau telur sesarang dierami induknya, menetasnya beda-beda” (Peribahasa). Jakarta FNN – Senin (29/06). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menggeser isu aktual Covid 19 dan anggarannya. Juga menggeser PLN dan listrik swastanya. Pertamina dengan privatisasi sub holding migasnya. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dramatis, beban sepuluh tahun ke depan, dan lain-lain. Selain itu, menggeser pula isu actual. Memproduksi dan melahirkan banyak keajaiban dan kejutan. Tetapi disini hanya diambil tujuh. Mengapa tujuh? Penulis suka angka tujuh. Jagat raya dibentuk dalam tujuh masa. Langit dan bumi masing-masing tujuh lapis. Thawaf tujuh kali keliling Ka’bah. Sa’i juga tujuh kali Shafa-Marwah. Surat Al Fatihah tujuh ayat, warna dasar tujuh macam, dan seminggu tujuh hari. Bersifat pribadi, istri juga suka angka tujuh. Anak-cucu tanggal kelahiran ada unsur tujuhnya. Penulis dilantik sebagai Wagub DKI Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2007. Bersama kawan-kawan seperjuangan mendeklarasikan Gerakan Kebangkitan Indonesia pada 7 Januari 2018. Lalu apa saja keajaiban dan kejutan yang dimaksud ? Pertama, pemahaman Pancasila. Selama ini ada yang sinis terhadap Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (BP7). Dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di masa lalu. Namun, tiba-tiba muncul RUU HIP. Semua pada teriak Pancasila Dasar Negara, Ideologi Negara, Sumber Segala Sumber Hukum Negara, dan bla-bla Pancasila. Bahkan, pengusul RUU HIP pun teriakannya sama. Yang Lebih mengejutkan lagi, banyak yang fasih sejarah. Sejak mencari Dasar Negara hingga keputusan bagaimana narasi dan hierarkinya, (18/8/1945). Artinya, rakyat Indonesia yang Pancasilais lebih banyak dari pada yang brengsek. Suka tidak suka, itulah hasil indoktrinasi atas ‘Doktrin Pancasila’ melalui ceramah, penataran, dan diskusi yang dilakukan oleh BP7. Yang sangat dikagumi oleh negara luar, utamanya negara-negara ASEAN. Bahkan mereka datang melihat dan mengundang ke negaranya. Tidak perlu alergi mendengar indoktrinasi. Tidak ada yang keliru. Sebab, Pancasila sudah kita sepakati sebagai ‘kebenaran’. Kalau toh Penataran P-4 hasilnya masih ada yang brengsek, itu ibaratnya “telur sesarang dierami induknya, menetasnya beda-beda”. Kedua, tentang PKI. Walaupun pelajaran sejarah tidak seperti dulu, pemutaran film G.30.S/PKI diantara boleh dan tidak. Namun kewaspadaan bahaya laten komunis muncul ketika ada RUU HIP. Rakyat teriak “awas komunis bangkit dan ganyang komunis”, mengiringi tuntutan cabut RUU HIP. Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI, wadah para purnawirawan usia 80-90 tahun juga mencium gelagat itu. Meraka menyatakan “Pengangkatan RUU HIP ini dinilai sangat tendensius, karena terkait dengan upaya menciptakan kekacauan serta menghidupkan kembali PKI”. (Baca : Bukan Tiktok “You Know” Rizky Ayuba Tetapi Tahukah Siapa PKI Dengan Komunisme Importnya di mbah google) Ketiga, visi misi PDI-P. Visi misi PDI-P viral di medsos. Konon dibenarkan oleh anggota PDI-P saat debat di TV swasta. Membikin rakyat terkejut dan baru ngeh apa visi dan misi dari PDI-P. Ini suatu keajaiban dan kejutan. Tanpa RUU HIP mungkin rakyat tidak akan pernah tahu visi dan misi PDIP. Publik terhentak dan sangat kaget. Ternyata PDI-P dalam membentuk dan membangun karakter bangsa, berdasarkan pada Pancasila 1 Juni 1945. Untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Tri Sila. Sedang menentang individualisme digunakan Gotong Royong (Eka Sila). Padahal Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945, tidak mengenal Trisila dan Ekasila itu. (Ternyata Trisila dan Ekasila di RUU HIP Ada di Visi dan Misi PDI-P. Baca juga di om google) Keempat, Pancasila/Radikal/Khilafah. RUU HIP kembali membuat keajaiban dan kejutan. Terutama ketika tuntutan Tap MPRS No. XXV/1966 harus masuk sebagai konsiderans ‘mengingat’. Tuntutan ini minta imbangan. Radikalisme dan Khilafahisme juga masuk. Maka terjadilah adu argumentasi menafsir Pancasila, Radikal dan Khilafah yang mbulet, ruwet bikin mumet. Radikal hakikatnya sebagai ‘gerakan’ untuk mendukung reformasi. Menuntut hal yang mendasar. Bisa positip, namun bias juga negatip. Jadi, radikal atau radikalisme bukanlah ajaran atau ideologi. Khilafah merupakan ‘sistem kepemimpinan’ berdasarkan Al Quran, Al Hadis, Ijma dan Qiyas. Jadi, keduanya bukan ideologi. Maka tidaklah proposional Pancasila disandingkan dengan yang bukan ideologi. Beda dengan Tap MPRS No. XXV/1966, berkaitan dengan Komunisme/Marxisme dan Leninisme. Ketiga ideologi ini jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa PKI pernah memberontak. PKI ingin mengganti Pancasila dengan komunisme. Itulah masalahnya. (Bukan “Don’t Forget” The Bee Gees, Tetapi Jangan Lupa Perilaku PKI. Baca juga di mbah dan om google) Kelima, tuntutan rakyat. Aksi massa di DPR, Rabu, 24/6/2020 bertemakan “Selamatkan NKRI dan Pancasila dari Komunisme”. Ternyata tuntutannya tidak hanya hentikan RUU HIP. Tetapi mencabut RUU HIP dari Proglenas Prioritaa DPR. Juga tangkap inisiator, fraksi dan anggota DPR pengusul RUU HIP. Tentunya ada pula yel-yel yang mengejutkan, yang tidak perlu ditulis dalam artikel ini. Keenam, sikap Fraksi. Berbagai tuduhan negatif terhadap RUU HIP, tampaknya telah membuat DPR memahami, menyadari. DPR lalu cenderung melemah. Tidak seperti biasanya. Fraksi-fraksi yang semula mendukung mencabut dukungan. Kini mereka meninggalkan Fraksi PDI-P sebagai inisiator sendirian berhadap-hadapan dengan rakyat yang menolak RUU HIP. Anggota Dewan yang menemui perwakilan aksi massa, berjanji mengusut dan menelusuri jejak sampai terjadinya RUU HIP. Bahkan akan memproses secara hukum jika ditemukan penyimpangan terhadap mekanisme yang diatur dalam Tatib Undang-undang. Janji yang akan ditagih oleh rakyat pendemo. Ketujuh, sikap Aparat. Sikap aparat keamanan pada aksi massa 24/6/2020 ada keajaiban. Bagaimana tidak? Biasanya, H-2 lingkungan DPR sudah serem. Barikade kawat berduri, ‘water cannon’ yang biasa tergelar tidak tampak. Masa bisa mendekat dan orasi di depan gerbang DPR dengan sangat bebas. Sepertinya aparat kepolisian sangat sadar dan memahasi kondisi dan emosi para pendemo. Sebab kalau sudah bicara Pancasila, itu terkait bangsa dan negara. Pancasila juga ada di Tri Brata dan Sapta Marga. Atau aparat yakin, massa kaum muslim sampai jutaan pun akan tertib. Ataukah sudah sepemahaman untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Bukan tindak pidana ataupun makar? Semoga, amin. Mungkin pembaca berpendapat ‘tujuh keajaiban dan kejutan’ di atas adalah hal yang lumrah. Monggo saja. Namun, jika ada yang menemukan keajaiban dan kejutan yang lain, juga silakan. Itulah catatan dan pendapat penulis. Semoga ada manfaatnya. Amin Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia

PDIP, Maju Kena Mundur Kena

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (29/06). Saat ini, memang tak mudah posisi yang dialami PDIP. Saat mengusulkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP), hampir semua fraksi mendukung. Hanya Fraksi Demokrat dan PKS yang menolak. Setelah Maklumat Mejelis Ulama Indonesia (MUI) menolak RUU HIP, fraksi-fraksi itu balik badan. Meninggalkan PDIP sendirian. Tak hanya sampai disitu. Karena dianggap menjadi inisiator RUU HIP, oleh banyak pihak PDIP dikecam telah berupaya mengusung komunisme. Melakukan makar terhadap Pancasila. Terutama ketika TAP MPRS No 25 Tahun 1966 ditolak mentah-mentah untuk menjadi konsiderannya. Justru yang muncul adalah Trisila dan Ekasila mirip visi dan misi PDIP. PDIP coba menjelaskan, tetapi tak didengar. Tidak diguris oleh umat Islam. Ratusan kader PDIP turun jalan dan teriak, “kami PDIP, kami bukan PKI”. Ternyata teriakan tersebut tak ngaruh juga. Sejumlah langkah yang dianggap berbau ancaman dari PDIP, justru kenyataannya malah menambah gelombang massa yang makin besar. Siap melakukan perlawanan. Bagi umat Islam “hidup mulia atau mati syahid”. Kalimat ini sudah keluar dari pimpinan MUI Pusat. Dalam Islam, ini mantra jihad yang dapat memengaruhi psikologi umat Islam untuk siaga mengambil segala risiko yang kemungkinan terjadi nantinya. PDIP perlu memahami dengan estrus mantra ini. Agar PDIP bisa bersikap dan bertindak lebih tepat dan bijak. Tak mudah memang. Balas gertak dan demo itu kontraproduktif. Justru membangkitkan kemarahan umat Islam, yang selama ini merasa terdzalimi dan dipojokkan. RUU HIP telah menjadi momentum konsolidasi umat yang sangat efektif. Sadar kalai lama didzalimi, umat Islam lalu mengadakan konsolidasi. Kondisi ini akan mematangkan situasi. Tidakkah ini jawaban terhadap teori dari Marx sendiri? Bapak dan sekaligus suhunya faham komunisme yang paling berpengaruh di dunia. Bagi PDIP, diam tak akan merubah apa-apa. Mundur dan batalkan RUU HIP, akan berdampak pada PDIP. Pertama, PDIP kehilangan muka di mata publik. Partai pemenang pemilu dua kali, dengan jumlah kader jutaan dan sekaligus pengusung penguasa dua periode ini, harus berbesar hati untuk menerima tekanan dari pihak luar PDIP. Tentu saja ini psikologi politik yang tidak mengenakan. Kedua, mengalah dan membatalkan RUU HIP. Itu berarti PDIP menerima proses pengusutan terhadap orang-orang yang terlibat dalam menginisiasi dan menyusun draft RUU HIP. Pengusutan adalah satu diantara tuntutan yang sangat kuat diajukan oleh MUI maupun Ormas-Ormas Islam. Boleh jadi dalam pengusutan nanti, ada kader PDIP yang tersangkut namanya. Sementara itu, PDIP dikenal paling gigih melindungi para kader dalam menghadapi berbagai masalah hukum. Ingat kasus e-KTP yang dalam persidangan menyebut sejumlah nama kader PDIP, dan gagalnya penggeledahan KPK ke kantor partai kepala banteng ini. Faktor inilah yang mambuat soliditas dan militansi para kader PDIP sangat kuat. Selain PKS, tak ada kader partai politik yang lebih solid dan militan seperti PDIP. Jika PDIP tetap melanjutkan pembahasan RUU HIP, dan melakukan perlawanan, maka situasi di negeri ini bisa menajdi nggak kondusif. Jika sampai terjadi, maka situasi ini tak hanya merugikan bangsa, tetapi bisa saja menjadi petaka. Boleh jadi, juga akan dirasakan oleh PDIP itu sendiri. Semuanya akan rugi. Menyesal kemudian tidak ada gunanya. Jauh lebih bijak PDIP legowo untuk menghentikan pembahasan RUU HIP. Sikap itu tak berarti PDIP telah kalah. Sebab kalah menang akan ditentukan pada pemilu, baik pilkada, pileg maupun pilpres. Kita akan lihat pilkada 2020 ini. Apakah calon-calon yang diusung PDIP terkena imbas RUU HIP? Mari kita semua berkomitmen untuk serahkan pada proses hukum. Sebagai partai besar, PDIP mestinya mampu memberikan keteladanan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Biarlah pengusutan terhadap para oknum di balik RUU HIP berjalan sesuai hukum yang berlaku. Ada UU No 27 Tahun 1999 yang bisa menjadi dasar pijakan. Terutama pasal 107. Toh di dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di persidangan belum tentu ada putusan bersalah. Tetap saat ini harus mengacu pada prinsip praduga tak bersalah. Begitu juga yang terkait dengan pembakar bendera PDIP. Jika memang ada pasal-pasal KUHP yang cukup kuat untuk mengusut, biarlah proses hukum yang akan berjalan. Sebagai negara hukum, berikan kewenangan pihak yang berwajib untuk bekerja secara profesional dan independen. Jangan lagi ada intervensi politik kepada para penegak hukum. Sebab, ini justru akan jadi bumerang. Karena selama ini, kepercayaan umat kepada penegakan hukum sudah sangat rendah sekali. Kasus RUU HIP diharapkan mampu menjadi momentul untuk mengembalikan kepercayaan umat Islam terhadap penegakan hukum di Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Kabinet Pesta dan Kabinet Krisis

Oleh Hersubeno Arief When the music’s over. Turn out the lights. Turn out the lights. Turn out the lights.—The Doors 1967— Jakarta, FNN - Musik sudah berakhir. Presiden Jokowi juga sudah memadamkan lampu. Para pembantunya di kabinet harusnya tahu. Itu isyarat tegas bahwa pesta sudah berakhir. Waktunya untuk kembali dalam kehidupan nyata. Sayangnya mereka sepertinya tak menyadari. Seperti vocalis The Doors Jim Morrison yang mati muda karena overdosis, tampaknya banyak diantara pembantu Jokowi yang juga sedang fly. Overdosis kekuasaan. Mereka masih tenggelam dalam mabuk dan pesta kemenangan. “Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan mesti yang ada suasana krisis,” ujar Jokowi ketika membuka Rapat Parpurna Kabinet Kamis 18 Juni. Rapat itu dihadiri Wapres Ma’ruf Amin, para menteri kabinet dan pemimpin lembaga-lembaga negara. Tak seperti biasanya wajah Jokowi terlihat gundah dan lelah. Kalimat pembukanya to the point, tak ada basa-basi. Bernada retoris liris. Sebuah pertanyaan emosional yang tak memerlukan jawaban, sekaligus menyiratkan keputusasaan. Mestinya kita semua yang hadir di sini. Sebagai pimpinan. Sebagai penanggung jawab, lanjutnya. “Bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Tolong digaris bawahi!!. Dan perasaan itu sama. Tolong kita sama. Sense of cricis yang sama!” Suara Jokowi meninggi ketika mengucapkan hal itu. Dia tak berusaha menyembunyikan kegeramannya. Kegeraman yang setelah ditahan sekian lama, akhirnya dibagikan ke publik. Hal itu terlihat dari jeda waktu yang cukup lama antara pidatonya dan kemudian di-uploud ke situs video berbagai Youtube. Pidato Jokowi itu berlangsung pada hari Kamis (18/6). Sementara akun Youtube Sekretariat Presiden baru meng-uploud-nya pada Ahad sore (28/6). Ada jeda selama 10 hari. Cukup lama kegeraman itu coba diendapkan. Akhirnya diledakkan juga ke publik. Timing yang dipilih juga cukup menarik. Hari Ahad di kalangan wartawan dikenal sebagai hari sepi berita. Waktu yang tepat untuk merilis dan meledakkan sebuah isu. Berita apapun akan dimakan media. Karena keesokan harinya adalah hari Senin. Setelah berlibur, warga butuh informasi. Media juga butuh berita yang nendang. Psikologi media dan psikologi pembaca pemberita ini tampaknya sangat dipahami oleh tim komunikasi Presiden. Mereka ingin agar pesan dari puncak kekuasaan itu benar-benar sampai ke publik. Menyimak pidato sepanjang 10 menit, 20 detik itu kita dapat menangkap suasana batin Jokowi. Dia sangat geram, jengkel, marah kepada para menterinya tidak punya sense of crisis, menganggap situasi normal dan biasa-biasa saja. Jokowi dengan lugas menyatakan akan bertindak apapun yang diperlukan. Termasuk membubarkan lembaga dan mencopot mereka yang dinilainya tak becus bekerja. Tak punya perasaan dan pemahaman bahwa krisis tengah berlangsung. Benar saja. Pidato Jokowi langsung meledak. Menjadi santapan media. Hanya dalam waktu 12 jam, video di akun Sekretariat Presiden sudah ditonton lebih dari 200 ribu orang. Belum lagi yang menyebar di media-media online dan platform medsos. Beritanya menjadi trending, karena konten dan timingnya. Sangat terlambat Upaya Jokowi membangunkan kesadaran para menteri dan pejabat tinggi itu, sesungguhnya sangat terlambat. Seperti diakuinya, harusnya sense of crisis itu sudah muncul setidaknya sejak tiga bulan lalu. Sejak muncul pandemi Corona di Wuhan, Cina akhir tahun lalu. Atau setidaknya awal Maret ketika Jokowi mengumumkan kasus positiv Covid-19 pertama di Indonesia. Kita tak perlu mengulang-ulang lagi lagi bagaimana reaksi para petinggi negara menyikapi bencana Corona. Menyepelekan, menganggap remeh. Mengerahkan buzzer untuk membungkam suara kritis, serta berbagai lakulajak dan lancung lainnya. Sikap yang mengundang kecaman tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari komunitas internasional. Dampaknya bisa kita rasakan saat ini. Darurat kesehatan yang berkepanjangan. Krisis ekonomi yang kian dalam. Dan yang lebih mengkhawatirkan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin meluas. Jokowi bahkan mulai kehilangan dukungan dan kepercayaan di basis-basis pendukungnya. Beberapa seleb medsos yang selama ini dikenal sebagai pendukung dan buzzer pemerintah sudah menyuarakan ketidakpuasan dan perlawanannya. Publik cenderung skeptis dan apatis terhadap para petinggi negara. Apapun kebijakan pemerintah hanya dianggap lucu-lucuan. Meme bertebaran membuat kita tersenyum kecut dan getir. Yang paling mutakhir adalah kebijakan Mendagri memberi hadiah lomba video new normal ke beberapa pemerintah daerah. Kredibilitas Jokowi dipertaruhkan. Komunitas Internasional mempertanyakan keseriusan pemerintah. Jokowi menghadapi krisis kepercayaan dari dalam dan luar negeri. Semua terjadi seperti kata Jokowi, karena para pembantunya “bekerja biasa-biasa saja.” Bersikap seakan “tidak ada apa-apa.” Jokowi tampaknya mulai menyadari kabinet pesta. Kabinet bagi-bagi kekuasaan di antara para pendukungnya, tidak kompatibel dengan kabinet krisis. Kini saatnya dia menilai, memilah siapa yang cocoknya hanya diajak berpesta, dan siapa yang bisa diajak menangani krisis. Dia sudah menyadari tidak ada “perasaan yang sama” antara dia dengan para pembantunya. Kata itu bahkan sampai dia ulang sebanyak 4 (empat) kali. Jokowi menyadari bahaya yang mengancam kekuasaannya akibat penanganan krisis biasa-biasa saja. Kata “berbahaya sekali,” juga diulangnya selama 4 (empat) kali sepanjang pidatonya. Kekhawatiran Jokowi sangat bisa dimaklumi. Jika tak segera bertindak cepat, drastis, dan tegas masa depan politiknya jadi pertaruhannya. Bagi Jokowi pesta kemenangan periode kedua sudah berakhir dengan cepat. Namun para penggila pesta, tampaknya sudah mencari dan menyiapkan pesta lainnya. Melalui lembaga survei, mereka sudah mulai mengelus-elus pengganti Jokowi, justru ketika Jokowi harus berjibaku berjuang menghadapi pandemi. Dia mati muda di tengah puncak karirnya. Ditemukan mati di kamar mandi di sebuah apartemen di Paris dalam usia 27 tahun. Diduga overdosis. Jika tak waspada dan berhati-hati, pemerintahan Jokowi bisa mati muda (dying young) seperti nasib vocalis The Doors Jim Morrison. Kekuasaan seperti juga narkoba, sangat memabukkan. Jika lupa diri. Menggunakan secara berlebihan dan tak bertanggung jawab, bakal mati overdosis juga. End. Penulis Wartawan Senior.

Dahsyat Keberanian PDIP Mengacak-acak Sila Ketuhanan

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Sekjen PPP Arsul Sani dengan tegas dan jelas mengukuhkan bahwa RUU HIP dengan segala elemen makar di dalamnya adalah usulan fraksi PDIP di DPR. Itu yang dikatakan Sekjen di acara Dua-Sisi tvOne. Terima kasih atas penjelasan Pak Arsul. Jadi, tidak ada keraguan lagi tentang asal-usul RUU HIP. Artinya, tidak ada lagi teka-teki tentang siapa yang ingin menukangi Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tidak ada lagi buang badan PDIP perihal upaya mereka untuk mengeliminasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak juga diragukan tentang siapa yang mengusulkan peniadaan Tap MPRS/XXV/1966 yang melarang komunisme-PKI dari deretan konsideran RUU yang sangat berbahaya itu. Blok politik yang mengusulkan itu adalah PDIP, PDIP, dan PDIP. Para elit partai penggemar warna merah ini tidak perlu berkilah lagi. Tidak usah berkelit dan berbelit-belit. Silakan cek langsung ke Pak Arsul dan redaksi tvOne. Nah, salah satu kesimpulan ‘post mortem’ prahara RUU HIP adalah keberanian PDIP mengacak-acak sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Di luar dugaan. Luar biasa berani mereka menunjukkan misi untuk menghilangkan KYME dari Pancasila. Tak mungkin mereka tidak paham reaksi umat Islam. Dahsyat keberanian mereka. Patut diacungkan jempol untuk PDIP. Meskipun mereka sekarang ‘malu hati’. Sekaligus babak-belur. Keberanian itu mirip dengan misi John Rambo (dalam film “Rambo” First Blood, 1982) ketika dia masuk ke jantung pertahanan Vietkong untuk membebaskan tentara Amerika Serikat (AS) yang ditawan Vietnam. Bedanya, Rambo sukses dalam ‘lone impossible mission’ itu. (Amerika pasti selalu sukses dalam cerita film Hollywood. Mana pernah kalah). Sedangkan PDIP ‘kepergok’ dalam upaya menyusupkan agenda anti-ketuhanan. Meskipun ‘kepergok’, keberanian PDIP itu memperlihatkan kesiapan mereka menghadapi konsekuensi apa saja demi pelecehan sila KYME. Dari posisi sila pertama ke posisi nol. Posisi lenyap. Dari tempat yang mulia sebagai pilar utama Pancasila ke posisi ‘ketuhanan yang berkebudayaan’. Yaitu, posisi yang hanya memaknai ketuhanan sebagai produk kebudayaan. Atau setara dengan produk kebudayaan. Untuk kemudian, ujungnya, menghapuskan ketuhanan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa kemungkinan mengapa PDIP sangat berani. Pertama, karena percaya diri sebagai partai terbesar di DPR. Mereka yakin bisa menggiring parpol-parpol lain untuk menerima Trisila dan Ekasila. Dan pada mulanya, enam parpol berhasil digiring. Mereka mendukung RUU HIP. Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PKB dan PPP setuju. Tapi, mereka sekarang menolak setelah komponen-komponen besar umat melancarkan perlawanan. Kedua, PDIP mungkin merasa sudah menyiapkan ‘perangkat keras’ untuk melunakkan umat Islam sebagai pihak yang paling lantang menentang. Ketiga, keberanian itu diperlihatkan untuk sekadar ‘mengukur dalamnya air’. Ternyata, air itu masih sangat dalam. Bahkan lebih dalam dari waktu-waktu sebelumnya. Memang selama puluhan tahun ada upaya pendangkalan air umat. Tapi, proyek pendangkalan itu gagal. Keberanian PDIP mengusulkan pelenyapan sila KYME hendaknya disertai tanggung jawab ketika usulan itu menciptakan instabilitas sosial-politik. Rasanya, tidak perlulah diajarkan apa yang harus dilakukan pimpinan partai. Yang jelas, perlawanan keras dilancarkan di mana-mana. Rakyat meminta agar para penggung jawab Trisila-Ekasila dan peniadaan Tap MPRS/XXV/1966 di deretan konsideran RUU HIP, segera ditindak sesuai hukum yang berlaku. Jangan biarkan berlarut-larut. Jangan pula disepelekan. Aparat penegak hukum, cq Kepolisian RI, tidak perlu menunggu laporan. Sebab, upaya untuk menghapus sila Ketuhanan adalah percobaan makar terhadap dasar negara. 28 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

Hancur Dunia Kampus di Eranya Jokowi

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (28/06). Sungguh parah negara ini. Kooptasi terhadap kampus sudah masif. Negara rasa zaman penjajahan. Pada eranya Orda Baru saja, mulai dari pagar bagian dalamm kampus, masih tetap diberikan kebebasan untuk mengkritik penguasa. Kebebasan mimbar akademik sangat dijaga oleh Soeharto. Asal jangan di luar pagar kampus. Sebab pasti ditangkap. Sekarang, di eranya Jokowi ini, kenyataannya berbalik antara langit dan bumi dengan Soeharto. Suara kritis dibungkam atas nama radikalisme, intoleran, atau sejenisnya. Setelah acara diskusi di Universitas Gajah Mada (UGM) dirusak, dan pembicara diteror habis, kini giliran Majelis Wali Amanat Institut Terknologi Bandung (ITB) yang diganggu. Gangguan di ITB tersebut, datang dari permintaan Gerakan Anti Radikalime Alumni ITB. Prof. Din Syamsuddin merasa harus mempertimbangkan untuk mengundurkan diri sebagai anggota Majelis Wali Amanat ITB. Petimbangan Prof. Din itu demi "harmonia in progressio". Korban radikalisme kampus. Permainan politik murahan dari penguasa. ITB yang telah menghasilkan pejuang dan proklamator bangsa sekelas Ir. Soekarno haruskah mencoreng diri di masa rezim Jokowi? Tangan-tangan anti demokrasi, anti kritik, berbau kolonialis bisa mengobrak-abrik kampus? Bandung kota perjuangan. Kampus sekelas ITB seharusnya memperlihatkan citra yang membanggakan, otonom, progresif dan tetap kritis kepada penguasa. Prof. Din Syamsuddin mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekarang Ketua Dewan Pertimbangan MUI, dan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tokoh yang malang melintang dalam berbagai organisasi perdamaian dunia. Suka menyatukan komunitas lintas agama dan etnis. Selainn itu, Prof. Din menjadi pengurus di lembaga-lembaga yang menyerukan pentingnya toleransi antar umat agama. Tak ada sedikitpun bawaan atau watak pada dirinya untuk berbuat makar atau yang para sampah sebut radikal itu. Namun Prof. Din tidak pernah berhenti mengkritis penguasa, terlepas dari siapapun presidennya. Aneh bin ajaib jika Ketua MWA ITB Yani Panigoro "ngotot" untuk menyingkirkan Prof. Din. Apakah karena ia adalah tokoh Islam yang kritis ? Apakah karena punya jaringan yang luas itu sangat membantu untuk merealisikan semangat ITB sebagai a world class university? Sayangnya keluasan itu dengan berbalas kesempitan pandangan di internal ITB sendiri. Memasung kebebasan akademik. Secara pribadi, bagi seorang Din Syamsuddin, diyakini tidak terlalu penting amat untuk tetap menjadi anggota Majelis Wali Amanat ITB. Prof. Din dengan mudah untuk mengundurkan diri dari ITB. Akan tetapi budaya intoleran, menekan, dan radikal oleh gerakan palsu anti radikalisme adalah merendahkan martabat alumni perguruan tinggi ternama di kota Bandung itu. Sungguh sangat prihatin dan miris dengan kehancuran dunia kampus di Indonesia. Para akademisi yang semestinya berfikir obyektif, analitis, logis. Sikap yang kritis nampaknya telah dirusak oleh kekuatan kolonialis, pragmatis, dan mungkin agen kapitalis atau komunis. Para pencercah berhati kusam, licik dan picik. Sebenarnya tak ingin mencampuri urusan yang bukan almamater sendiri. Tetapi hati ini teriris dan harus berteriak kepada kekuatan para penjajah. Anda telah berhasil menghancurkan kampus-kampus kami. Mungkin saja anda berhasil untuk saat ini.Tetapi yakinlah tidak untuk selamanya. Kami segera merdekakan kampus! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Piagam Jakarta dan Pancasila Itu 22 Juni (Bag. Kedua)

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Kamis (27/06). Ternyata peta politik dan kekuatan militer dunia berubah di bulan agustus 1945. Amerika dan Sekutu membom bardir kota Herosima dan Nagasaki. Pemboman terhadap dua kota Induk Jepang ini membuat Jepang tidak berdaya dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta bertemu Jenderal Terauchi di Dalat. Dalam perjalanan pulang dari Dalat, keduanya belum mengetahui akan kondisi jepang yang dibom sekutu. Sampai di Indonesia, keduanya mendapatkan desakan untuk segera membacakan proklamasi kemerdekaan. Desakan itu datang dari tokoh-tokoh muda. Namun Soekarno belum bisa menerima desakan itu. Akhirnya mereka menemui Laksamana Muda Maeda untuk mengetahui kejelasan kalahnya Jepang kepada sekutu. Dan Maeda membenarkan bahwa Jepang sudah kalah perang. Maeda mengatakan kepada Soekarno dan Hatta bahwa janji kemerdekaan dari Jepang tidak bisa di harapkan lagi. Saatnya Indonesia menentukan sendiri nasibnya. Jepang lepas tangan. Bangsa Indonesia menentukan sendiri nasibnya untuk menjadi negara merdeka. Jadi, kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari negara manapun, melainkan ikhtiar dan usaha Bangsa Indonesia sendiri. Malam hari sebelum pembacaan Proklamasi, hiruk-pikuk tentang kemerdekaan menggema. Dalam keadaan demikian, maka disusunlah naskah prokamasi yang singkat, yang akan dibacakan hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan Proklamasi disekapakati pukul 10 WIB pagi di jalan Pengangasan Timur, sekarang Tugu Proklamasi. Nakah Proklamasi dibacakanlah oleh Soekarno di dampingi Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dua peristiwa penting terjadi hari itu. Proklamasi dan polemik ideologi. Sebab, sore hari setelah pembacaan Proklamasi itu, menurut cerita dari Bung Hatta, bahwa dia di datangi oleh Opsir Kaigun (Pembantu Laksamana) menyampaikan keberatan orang-orang dati Indonesia Timur tentang tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Menurut Bung Hatta, opsir itu membawa pesan dari orang-orang Indonesia Timur, bahwa umat Kristen tidak menerima Naskah Piagam Jakarta. Bahkan mengancam tidak akan ikut menggabungkan diri ke dalam Negara Indonesia yang sudah sehari sebelumnya merdeka. Sampai disini perlu dicatat, bahwa Opsir Kaigun yang menemui Bung Hatta itu ternyata membantah pengakuan tersebut. Dalam sebuah kesempatan Prof. Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Opsir itu mengaku tidak pernah menyampaikan apa yang dikatakan oleh Bung Hatta. Opsir tersebut kalau nggak salah namanya adalah Letnan Kolonel Angkatan Laut Segetada Nasijema. Sementara dalam Panitia 9 ada seorang perwakilan Kristen, yaitu Mr. A Maramis. Bahkan A. Maramis dengan setuju Piagam Jakarta itu menjadi Filosofiche Groundslaag Indonesia merdeka. Karena itu informasi yang disampaikan oleh Bung Hatta tentang opsir Kaigun yang menyampaikan keberatan orang-orang yang beragama Kristen di Indonesia Timur terbantahkan. Dengan demikian, Cerita Bung Hatta itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan sampai hari ini. Perubahan Piagam Jakarta menjadi Pancasila, serta penghapusan tujuh anak kalimat itu menjadi polemik ideologi yang tak kunjung selesai. Besoknya tanggal 18 Agustus adalah rapat pemilihan Presiden dan Wakil Presidn pertama Indonesia. Pada hari yang sama, juga penetapan UUD 1945 menjadi konstitusi negara. Falsafah dasarnya adalah Piagam Jakarta yg ditetapkan lebih dulu sebelum Indonesia Merdeka. Sidang yang rencananya di mulai pukul 9 WIB pagi, diundur sampai pukul 11 WIB. Lobby pun tak bisa dihindarkan. Saling bertahan dalam kesepakatan, dan penetapan tanggal 22 Juni itu. Sementara sebagian besar tokoh-tokoh Islam yang masuk dalam panitia kecil sedang tidak berada di Jakarta ketika perubahan itu terjadi. Namun tokoh Islam dengan pemegang kuncinya adalah Ki Bagus Hadikusumo, waktu itu menjabat sebagai Hoofbestur atau Ketua umum PP Muhammadiyah, dengan mediasi Kasman Singodimedjo (Salah satu pengurus pusat muhammadiyah) Kiyai Wahid Hasyim (Ulama NU) dan tokoh Islam lainnya merelakan tujuh kata itu dihapus demi Kautuhan bangsa dan negara. Maka tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yg ditetapkan tanggal 22 Juni itu diubah menjadi Pancasila Tanggal 18 Agustus 1945, dengan rumusan berlaku sekarang. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaran Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Akhirnya Umat Islam merelakan tujuh anak Kalimat itu hilang. Hanya demi persatuan dan keutuhan negara Indonesia yang baru saja mendeka sehari sebelumnya. Pengorbanan besar itu menjadi peristiwa sejarah yang paling penting dalam sejarah Indonesia. Pengorbanan terbesar umat Islam setelah berkorban dan berjuang melawan penjajah Belanda selama tiga abad lebih. Meski demikian, umat Islam telah memantapkan hati menjadikan Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari sikap Muhammadiyah yang telah menetapkan Pancasila sebagai “Darul Ahdi wa Syahadah”. Sementara NU menyebutnya Mitsaqan Ghalidza atau Perjanjian Agung Bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila sudah final dalam kehidupan berbangsa dan Bernegara. Jangan lagi ada yang menggores luka lama sejarah, dengan mengungkit masalah ideologi Pancasila dan lain sebagainya. Sebab itu bisa memicu perpecahan di kalangan rakyat Indonesia. Sebagai sebuah falsafah, tentu saja Pancasila sangat terbuka. Pancasila juga sangat berpeluang untuk ditafsirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi Pancasila jangan sampai dijadikan sebaga alat politik untuk membungkam lawan politik. Bisa kualat, dan terhina di akhir kekuasaan nanti. Tetapi disini saya perlu ingatkan bahwa, siapapun yang berkuasa selalu mengalami kehinaan ketika menjadikan Pancasila sebagai temeng untuk melindungi kekuasaanya. Menjadikan Pancasila untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Kalau penguasa bersikap seperti itu, maka tunggulah bahwa Pancasila akan menghinakan kekuasaan dari penguasa seperti itu. Maka, Pancasila disebut sebagai Pancasila Sakti. Karena Pancasila telah mampu melakukan oposisi terhadap kekuasaan. Maka tugas kita sebagai generasi yang tidak berjuang memerdekakan bangsa ini adalah menjaga rumah besar Pancasila. Menjaga Pancasila dari rongrongan yang dating dari luar maupun dalam negeri. Terutama dari mereka yang mencoba memanfaatkan situasi tertentu dengan memonopoli Pancasila untuk merusak persatuan dan NKRI. (habis) Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM

PDIP Bikin Bulunder, Indonesia Dikepung Demontransi

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (27/06). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dicurigai oleh umat Islam. RUU ini dicurigai sebagai bentuk upaya menghadirkan kembali komunisme. Apa saja dasar kecurigaan umat Islam tersebut? Pertama, mendorong Pancasila ke Trisila. Lalu diperas lagi menjadi Ekasila. Kedua, secara sengaja menolak dan menyingkirkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dari konsideran RUU HIP. Sangat berasalan kalau umat Islam curiga ada agenda terselubung untuk menghidupkan kembali faham komunisme. Umat Islam, baik melalui Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun semua Ormas Islam dan dan elemen umat Islam lainnya, tidak saja menuntut pembatalan. Tetapi juga meminta aparat berwajib untuk mengusut tuntas para oknum dibalik RUU HIP tersebut. Umat Islam beranggapan, oknum konseptor dan anggota DPR yang menjadi pengusul RUU ini telah sengaja melakukan makar kepada ideologi negara Pancasila. Makar terhadap dasar negara Pancasila, hasil konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Bantahan berbagai pihak, khususnya dari kader PDIP terkait adanya unsur komunisme di dalam RUU HIP tersebut tak merubah stigma yang sudah terlanjur tertanam di otak umat. Di tengah gelombang protes terhadap RUU HIP, partai berlambang kepala banteng ini justru memunculkan narasi dan sikap yang dianggap kontra-produktif. Pertama, fraksi PDIP tetap bertekat ingin melanjutkan pembahasan RUU HIP. Sekaligus PDIP juga mengkritik sejumlah fraksi yang balik badan, dan menolak RUU HIP dilanjutkan. PDIP rupanya tetap mau arus daras penolakan dari umat Islam. Akibatnya, PDIP sendirian yang bakal dikempung demontrasi besar-besaran dari umat Islam. Untuk menunjukkan keseriusannya melanjutkan RUU HIP, PDIP membuka tawaran. Menerima TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukan dalam konsideran. Namun dengan syarat, larangan terhadap radikalisme dan khilafaisme juga harus dimasukkan dalam pembahasan RUU HIP. PDIP juga menawarkan perubahan nama dari RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Namanya menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Nampaknya, PDIP mau menggeser isu RUU HIP, dari PDIP ke Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Langkah cerdik baru dari PDIP. Sayangnya, langkah untuk menyelamatkan diri ini, sudah dibaca umat Islam. Kedua, PDIP mengerahkan massa tandingan di sejumlah tempat, di saat umat Islam mengepung gedung DPR. Show the power. Sepertinya ingin memberi pesan bahwa PDIP juga punya kekuatan massa. Bahkan muncul ungkapan bahwa kader PDIP berjumlah jutaan. Untuk menunjukkan ini, ada instruksi kepada para kader untuk memasang bendera partai di rumah masing-masing. Ketiga, terhadap para pembakar bendera, PDIP menuntut adanya pengusutan oleh pihak kepolisian. Meminta kepada seluruh pengurus PDIP se-Indonesia, agar datang ke polres-polres setempat untuk melaporkan para pembakar bendera. Sudahkah ada laporan resminya ke pihak polisi? Sampai sekarang belum terkonfirmasi. Sikap dan langkah PDIP oleh banyak pengamat dianggap blunder. Akibatnya, tidak saja partai pengusung Jokowi ini ditinggalkan oleh semua fraksi di DPR. Namun PDIP juga telah dianggap memancing emosi umat Islam. PDIP seolah memberi energi tambahan kepada umat untuk kembali turun ke jalan. Faktanya, pasca PDIP mengeluarkan sejumlah pernyataan dan mengambil sikap, gelombang massa yang turun ke jalan di berbagai daerah semakin masif. Bahkan dari video yang beredar di medsos, tampak kalau pembakaran terhadap bendera PDIP masih saja terjadi di daerah. Bahkan kemungkinan saja semakin marak dan massif nantinya. PDIP itu partai besar. Sebagai partai pemenag pemilu dua kali berturut-turut. Jika tak ingin kehilangan konstituennya dari kalangan umat Islam, mesti mau melakukan evaluasi terhadap sikap dan langkah yang selama ini diambil. Ini bukan soal siapa yang kuat. Tapi ini soal nasib PDIP ke depan, dan demi menjaga keutuhan bangsa dan negara. PDIP harusnya mengevaluasi sejumlah sikap dan langkahnya . Yang oleh banyak pihak dianggap provokatif, ini justru bisa memancing terjadinya demonstrasi besar-besaran. Bahkan diprediksi jauh bisas melebihi 212 tahun 2018 lalu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Kini PDIP Sendirian Hadapi Demo Umat Islam

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (26/06). Yang menjaga Pancasila, bukan hanya tugas Umat Islam. Tapi tugas semua anak bangsa. Kalau di media, terkesan hanya umat Islam yang memprotes terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP). Itu karena pertama, umat Islam mayoritas 82%-83%. Kedua, umat Islam paling banyak merasakan pedihnya pemberontakan PKI. Pembantaian dan pembunuhan para ulama, Kiyai pesantren, santri, guru ngaji, iman masjid dan tokoh agama. Prilaku biadab oleh PKI itu telah mengisi sejarah kelam bangsa ini. Terutama kaum Nahdhiyin dan para aktivis Ansor. Mereka paling merasakan kebiadaban PKI saat itu. Juga warga Muhammadiyah, kader-kader HMI serta PII. Umat Islam kaget dan sangat terkjejut ketika mengetahui RUU HIP diusulkan ke prolegnas prioritas DPR. Hampir saja semua fraksi di DPR kompak setuju. Kok bisa ya? Kecuali Demokrat dan PKS yang tak mau tanda tangan. Anehnya, Fraksi PAN, PKB dan PPP yang punya akar pemilih umat Islam juga setuju dan mendukung RUU HIP makar kepada negara ini. Setelah MUI mengeluarkan delapan maklumat yang didukung hampir seluruh ormas Islam, barulah sejumlah fraksi di DPR tarik diri. PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Nasdem balik badan. Padahal semula dengan langkah tegap mendukung. Tetapi sekarang balik menolak. Golkar setuju dengan catatan. Tinggal PDIP yang masih bertahan. Sendirian! Sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak, PDIP tak mungkin balik badan. Posisinya sebagai pengusul utama. Umat sudah tahu itu. Apalagi, sebagian isi dari RUU HIP itu merupakan bagian dari “Visi dan Misi” PDIP. Terutama Trisila dan Ekasila yang dikristalisasi dalam konsep gotong royong. Basisnya adalah Pancasila yang 1 Juni 1945. Padahal umat Islam hanya mengai Pancasila consensus 18 Agustus 1945. Memahami masalah itu, hanya kepada PDIP semua narasi umat itu diarahkan. Hanya PDIP yang dibidik oleh umat. Dianggap paling bertanggung jawab atas RUU HIP. Bukan partai atau fraksi lain. Bergaungnya tuntutan umat untuk bubarkan PDIP di berbagai daerah, bisa dibaca sebagai arah dan target bidikan kelompok yang melawan RUU HIP. Tentu saja, tak semudah itu membubarkan PDIP. Apalagi untuk di Indonesia. Belum ada partai politik yang bubar, kecuali karena dua hal. Pertama, dibubarkan oleh penguasa. Kedua, nggak lagi punya pengikut. Sebagai protes dan tuntutan, aspirasi untuk membuabrkan PDIP itu sah-sah saja. Dijamin oleh konstitusi. Dan semua akan dikembalikan ke aturan hukum yang berlaku. Masalahnya, proses hukum seringkali jinak terhadap kekuatan politik. Dari dulu, ini jadi masalah yang sangat serius. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda untuk bisa mengatasi proses hokum yang jinak kepada kekuatan politik penguasa.. Dari sisi analisis dan kalkulasi politik, pada akhirnya akan ditentukan oleh adu kuat antara antara PDIP vs Umat. Mana yang lebih superior. PDIP punya akses kekuasaan dengan semua kelengkapan alatnya. Sementara Umat Islam hanya punya kekuatan massa. Pertarungan ke depan kemungkinan saja bakal seru dan sengit. Sebagai partai penguasa, PDIP menunjukkan sikap tegarnya. Tak bergeser, apalagi mundur. Sebaliknya, PDIP justru menyerang balik dengan mempolisikan sejumlah orang yang diduga membakar benderanya. PDIP juga instruksikan kadernya untuk siaga dan pasang bendera di rumahnya. Apa maksudnya? Boleh jadi itu pesan bahwa PDIP tidak pernah merasa gentar. Buktinya, kader PDIP justru mengadakan konvoi di Jakarta Timur dan Jogja saat umat demo di DPR. Meski umat Islam cukup matang dan berpengalaman saat demo, sebagaimana terbukti pada demo 212 dan beberapa kali reuni, tapi tak menjamin akan mampu terus menahan diri jika merasa diprovokasi. Sebab, isu komunisme jauh lebih sensitif dari apapun, termasuk penistaan agama. Langkah PDIP mempolisikan pembakar bendera, entah siapa pembakar itu sesungguhnya, juga menyiagakan kader dan adakan konvoi. Langkah PDIP ini bisa disalahpahami sebagai langkah provokatif. Langkah ini justru bisa menyulut situasi yang semakin tidak kondusif. Harus dimengerti, komunisme adalah isu yang paling sensitif bagi umat Islam. Sebab, isu ini telah mewariskan sejarah pilu. Bahkan sangat mengerikan bagi umat Islam. Jejak sejarah inilah yang mendorong umat Islam tampak kompak menghadapi isu komunisme ini. Terbukti, Maklumat MUI mendapat dukungan hampir seluruh ormas. Melihat situasi yang semakin sensitif, akan jauh lebih bijak, jika PDIP menahan diri dan tidak membuat langkah-langkah yang bisa dianggap oleh umat sebagai upaya provokatif. Meski menuntut pembakar bendera itu dibenarkan secara konstitusional, tetapi ini bisa dianggap sebagai memancing reaksi perlawanan umat Islam yang semakin masif. Instruksi untuk siaga, pasang bendera dan konvoi, ini bukan langkah tepat dalam situasi seperti sekarang. Bisa juga dibilang konyol. Bangsa ini dibesarkan dengan jiwa kepahlawanan. Hendaknya semua pihak menghindari cara-cara preman. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Tahukah Siapa PKI dan Komunisme Impornya?

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Kamis (25/06). Pernyataan Sikap Purnawirawan TNI-POLRI bahwa, “Pengangkatan RUU HIP ini dinilai sangat tendensius. Karena terkait dengan upaya menciptakan kekacauan serta menghidupkan kembali PKI”. (Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI, 9/6/2020) Awal Juni 2020, bangsa Indonesia dihebohkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Isu ini mengalahkan persoalan Covid-19, PLN, Pertamina, anggaran Covid-19, dan devisit APBN yang dramatis, sehingga menjadi beban negara 10 tahun ke depan. Bahkan, sampai membangkitkan purnawirawan TNI-POLRI membuat pernyataan sikap. Kecurigaan tidak saja para purnawirawan. Tetapi juga MUI se-Indonesia, NU, Muhamadiyah, pesantren, dan masyarakat dari Jember, Kediri, Madura, Solo, Yogya, Banten dan lain-lain. Kesemuanya menolak RUU HIP. Artinya, bangsa Indonesia tidak memerlukan itu UU HIP. Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) bersama Panji Masyarakat pun menyelenggarakan Webinar dengan tema “RUU HIP dalam berbagai perspektif, perlukah UU HIP?”. Kegiatan ini untuk menyoroti lebih dalam RUU HIP pada 19/6/2020. Ada penekanan dari para peserta baha, jangan sampai terjadi degradasi terhadap Pancasila. Kita perlu menguji pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dengan nilai-nilai Pancasila. Sebab, menurut Prof. Dr. Kaelan, Guru Besar UGM dalam acara Webinar, Undang-Undang Dasar hasil amandemen bukanlah UUD 1945. Mencermati RUU HIP, dan berbagai kejadian, memunculkan firasat adanya upaya menghidupkan komunisme dengan mendegradasi Pancasila. Pasti generasi muda heran, mengapa gambar palu-arit dilarang tidak boleh menjadi ‘trend’ ? Mengapa rakyat alergi atau benci terhadap PKI dengan komunismenya? Generasi tua tidak boleh amnesia. Sedangkan generasi muda harus tahu, siapa PKI dengan faham komunismenya itu. PKI memiliki catatan buruk dalam sejarah Indonesia. Komunisme, dibawa ke Hindia-Belada (Indonesia) oleh J.F Marie Sneevliet (orang Belanda) tahun 1913. Mulanya Sneevliet orang sosialis-demokrat. Tetapi lebih condong ke komunis. Jadinya komunisme itu adalah faham import. Sedangkan Pancasila, merupakan nilai-nilai dari bumi pertiwi. Dengan demikian tidaklah mungkin dalam satu negara menganut dua macam ideologi. Sneevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), 23/5/1914. Awalnya berisi hanya 85 orang Belanda totok. Ingin mengganti tatanan lama pemerintahan Belanda di Nederlands Indie (Indonesia) dengan propaganda komunisme. Jadi, bukan untuk kepentingan pribumi agar merdeka dari jajahan Belanda. Dua tahun berdirinya ISDV, tiga orang pribumi, yaitu Semaun, Darsono dan Alimin masih menjadi anggota ISDV. Padahal ketiganya anggota Sarikat Islam masuk. Pada 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) dengan Ketua Semaun dan Darsono sebagai Wakil. Kongres Sarekat Islam (SI), tahun 1921, anggota SI yang masuk PKH dipecat oleh Agus Salim. Inilah awal konflik golongan Islam dengan Komunis. PKH berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1924. Pemberontakan PKI kepada kolonial Belanda tahun 1926/1927 bukan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka, tetapi hakikatnya terkait dengan konsep perjuangan Komunisme Internasional. Setelah Indonesia merdeka, PKI masih melakukan pemberontakan. Peristiwa Madiun, 18 September 1948 adalah Pemberontakan PKI yang dapat digagalkan. Peristiwa ini merupakan konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dengan kelompok oposisi kiri, pimpinan Muso, tokoh PKI lama di Uni Soviet. Muso menghendaki satu kelas buruh beraliran Marxisme-Leninisme dan mendirikan pemerintahan “Komite Front Nasional” dan bekerjasama dengan Uni Soviet. Pikiran Bung Karno tentang Nasakom membikin PKI besar kepala. Aapalagi kemenangan PKI pada Pemilu 1955, urutan keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU. Sejarah mencatat, adanya kedekatan Bung Karno dengan Presiden Mao Zedong dan PM Chou Enlai tahun 1960-an. Terbentuklah poros Jakarta-Peking dengan pernik-pernik alas an. Hubungan PKI pimpinan DN. Aidit dengan Partai Komunis China, menambah deret catatan menjelang pemberontakan G.30.S/PKI. Dasar kelakuan komunis. PKI meniupkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan menculik Bung Karno. Tetapi didahului Komandan G.30.S/PKI Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Pasukan Letkol Untung lalu menculik dan membunuh 7 (tujuh) Perwira AD, pada 30 September 1965. Anak buah Letkol Untung lalu membuang mayatnya ke dalam sumur secara biadab, di Lubang Buaya Halim. Korban penculikan itu kita kenal sebagai 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi. Baca : https://www.centerofrisk-sia.com/bukan -dont-forget-the-bee-gees-tetapi-jangan-lupa-perilaku-pki/ Pemberontakan PKI tahun 1965, sangat jelas. Dokumen sebagai alat bukti, dan saksi, muncul dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili pentolan G.30.S/PKI. Sidang Mahmilub sangat terbuka. Bisa didengar dengan radio transistor di pelosok negeri dan luar negeri. Membuktikan bahwa PKI adalah dalang uatama pemberontakan G.30.S/PKI. Dokumen yang tersimpan di Arsip asional, Perpustakaan Nasional, Museum dan Monumen, bukanlah hasil rekayasa. PKI bukan korban, tetapi dalang pemberontakan yang ingin mengganti Pancasila dengan komunisme adalah fakta sejarah. Atas adasar itu Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Walau PKI sudah dibubarkan. Sebagai organisasi terlarang, serta adanya larangan penyebaran ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, tetapi harus tetap diwaspada. Pasalnya, ada kelompok yang bangga dengan PKI. Selain itu, ada juga jaringan komunis internasional. Tuntutan rakyat bukan ditunda, karena masih sibuk dengan pekerjaan memutus mata rantai Covid-19. Tetapi rakyat menolak RUU HIP. Bangsa Indonesia tidak butuh dengan RUU HIP. Apalagi UU HIP, karena akan mendegradasi Pancasila. Semoga penyelenggara negara mendengarkan. Amin Penulis adalah Aster KASAD Tahun 2006-2007 dan Mantan Wakil Gubernur DKI

PDIP Diserang, PDIP Juga Melawan

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (25/06). Kalau di masa Orda Lama ada Tritura. Sedangkan di era Jokowi ada "Tiga Tuntutan Umat”. Boleh disingkat "Trituma". Pertama, batalkan RUU HIP. Kedua, usut para oknum dibalik RUU HIP. Dua tuntutan ini dimaklumatkan oleh MUI. Ketiga, tinjau kembali semua UU dan RUU yang dianggap telah merugikan kepentingan rakyat. Apa undang-undang dan RUU yang merugikan kepentingan rakyat itu? Diantaranya UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law, dan undang-undang lainnya. Undang-undang yang sudah dibuat Pemerintah dengan DPR tersebut, hanya untuk menampung kepentingan pemerintah, DPR dan pengusaha licik, culas dan tamak. Bukan untuk kepentingan rakyat. Maklumat MUI Pusat, selain didukung oleh semua pengurus MUI di seluruh Indonesia, juga dikawal oleh hampir semua ormas dan elemen Umat Islam. NU, dan Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PUI, Matlaul Anwar, Alwashiliyah dan dua ratus lebih oramas berada dan berdiri di garda terdepan. Pernyataan K. H. Said Aqil Siroj, K.H. Mashudi dan Hilmy Faeshal Zaini dari PBNU sangat keras dan tegas. Begitu juga pernyataan Din Syamsudin dan Buya Anwar Abbas dari Muhammadiyah. Nggak kalah kerasnya. Ormas Islam ini sudah mewakili sekitar dua ratus juta lebih umat Islam. Jangan coba-coba dan jangan main-main dengan umat Islam. Ingat itu. Demo perdana telah dimulai rabu kemarin, 24/6/2020. Puluhan hingga ratusan ribu massa umat Islam kepung gedung DPR. Atas desakan massa, DPR berjanji akan pertama, menghentikan pembahasan RUU HIP. Kedua, mengusut para oknum dan konseptor dibalik RUU HIP. Para pendemo bersumpah akan terus mengawal janji DPR tersebut. Dalam demo, terjadi insiden. Ada pembakaran bendera PDIP. Partai berlambang banteng ini berang. Marah, dan akan melaporkan orang-orang yang membakar bendera partainya ke polisi. Langkah yang ditempuh PDIP ini juga konstitusional. Masih di dalam koridor hukum positif yang berlaku. Beberapa pekan terakhir memang telah beredar kampanye anti PDIP. Kampanyenya sangat massif. Bergaung di sejumlah medsos. Baik dalam bentuk meme, tulisan maupun video. PDIP dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas lahirnya RUU HIP ini. Umat sangat marah. Dan klimaks kemarahan itu terjadi di depan gedung DPR. Sejumlah orang kemudian membakar bendera partai banteng itu. Lalu apa respon PDIP terhadap semua bentuk serangan ke partai itu? Hadapi. Tak ada tanda-tanda PDIP kendor. Saat didesak untuk membatalkan RUU HIP, Hasto, sekjen PDIP siap memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Asal saja larangan radikalisme dan khilafaisme juga dimasukkan. Tampak Hasto dan PDIP coba untuk bernegosiasi dengan umat Islam. Sementara Ahmad Basarah, salah satu kader militan PDIP justru memberi sinyal fraksi-fraksi lain akan mendukung kembali pembahasan RUU HIP. Pada saat demonstrasi perdana digelar dan bendera PDIP dibakar, partai pemenang pemilu ini akan membawa para oknum pembakar bendera itu ke polisi. Dalam konteks ini, PDIP tampak nggak pernah kehilangan langkah. PDIP melawan setiap upaya untuk memojokannya terkait RUU HPI ini. Rupanya masih merasa kuat untuk malakukan perlawanan. Melihat pernyataan dan sikap sejumlah kader PDIP, nampak bahwa partai yang berhasil dua kali menjadikan Jokowi presiden ini tak mundur. Walau satu langkah sekalipun tidak. Dalam hal ini, keteguhan dan militansi kader PDIP tak diragukan. Berdiri tegak bagai karang. Tetap tegar meski dihantam gelombang demonstran. Patut untuk diberi pujian. Wajar saja. Sebab PDIP partai pemenang pemilu. Bahkan hingga dua kali menang. Saat ini paling dekat dengan kekuasaan. Punya kekuatan untuk bisa menekan penguasa. Mental pemenang dan mental berkuasa, tentu tak mudah digertak. Apalagi cuma puluhan atau ratusan ribu massa. Jika massa umat Islam membidik PDIP dengan menuntut pengusutan terhadap para oknum dibalik RUU HIP, maka PDIP membidik balik dengan mempolisikan oknum yang membakar bendera PDIP. Makin seru saja pertarungan hari-hari ke depan. Bagaimana kira-kira ujung dari saling bidik ini? Di negara +62 ini, hukum kadang tak berdiri sendiri. Ada saja kekuatan, terutama kekuatan politik yang seringkali ikut masuk ke ranah hokum. Kadang-kadang ikut menyusup ke dalam pasal-pasal dakwaan. Dakwaan berdarkan pesanan dari penguasa politik. Usut oknum dibalik RUU HIP. Meski DPR sudah janjikan, jangan anggap itu mudah untuk dilakukan. Sebab Fraksi-fraksi di DPR selama ini tak pernah sanggup berhadapan dengan PDIP. Kalau penegak hukum? Apalagi yang itu. Anda pasti masih ingat kasus e-KTP, dan hilangnya Harun Masiku masih sampai sekarang. Entah dimana dia berada. Mudah-mudahan saja masih hidup. Amin amin amin. Kecuali jika umat Islam mampu menciptakan gelombang demo yang menghadirkan jumlah massa yang sangat besar. Mesti berjumlah jutaan. Gelombang massa berjumlah jutaan hanya akan terjadi jika MUI turun langsung dan memimpin demo. Atau ada pernyataan kontra, entah dari pemerintah, parlemen, atau terutama dari kader PDIP yang bisa menjadi trigger massa dalam jumlah besar itu turun. Jika tidak, maka serangan balik PDIP justru akan lebih efektif. Para oknum pembakar bendera partai banteng ini akan menjadi tersangka dan diproses secara hukum. Bidikan PDIP akan mengenai sasaran. Bahkan bisa tepat di jantung pertahanan lawan. Situasi kedepan, tak ada yang tahu. Yang pasti, genderang sudah ditabuh. Bidikan sudah saling diarahkan. Karena itu, dibutuhkan sikap politik yang dewasa dan matang dari para elit politik. Terutama di pemerintahan dan DPR. Jika tidak, situasi bisa jadi tak kondusif. Bahkan bisa juga di luar kendali. Sampai disini, entah apa yang akan terjadi? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.