NASIONAL

Berebut “Warisan Rp 600 Triliun” di Pandemi Kesenjangan

by Dr. Ahmad Yani MH. Jakarta FNN – Kamis (16/09). Sore tadi saya membaca tulisan Dr. Syahganda Nainggolan yang berjudul “Warisan 600 Triliun, Bansos 600 Ribu dan Tantangan Sila Kelima Pancasila”. Sebelumnya saya membaca sebuah judul berita salah satu media online yang menyebutkan Freddy Widjaya menggugat lima saudara tirinya. Saya tidak tertarik untuk melihat secara komprehensif makna dibalik peristiwa itu. Namun tulisan Saudara Syahganda menyentak hati saya. Bahwa masalah perebutan Rp. 600 triliun oleh ahli waris Eka Tjipta Widjaja adalah masalah keadilan sosial. Saya mencoba memahami ini dengan kecamata yang agak lebih kritis. Sebab di tengah rakyat berebut Rp. 600 ribu untuk menghadapi badai ekonomi di tengah pendemi ini, ternyata ada satu keluarga yang memperebutkan uang Rp 600 triliun. Angka itu bagi sebagian rakyat Indonesia adalah khayalan, tetapi bagi taipan adalah angka biasa. Pengusaha “Cina “ Di Indonesia Sejak jaman kolonial, kaum penjajah dengan sengaja menciptakan kesenjangan sosial. Masyarakat “Timur Asing” yang didominasi “etnis China” difungsikan sebagai pelaku perdagangan. Dari sanalah praktik kongkalingkong penguasa dan pengusaha bermula. “Etnis Cina” selalu mendapatkan keuntungan dari kolonialisme Belanda di Indonesia. Pedagang-pedagang “cina “ mendapatkan posisi yang tinggi, dengan usaha yang lebih maju dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indonesia lainnya. Dengan kemampuan untuk “mengambil hati” penjajah itu, pedangang “Cina “ mendapatkan keramahan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya, warga pribumi selalu menjadi korban “persekongkolan” para pendatang dan penjajah ini. Terjadilah monopoli di bidang perdagangan. Monopoli ini sebagai akibat adanya kongkalikong antara pengusaha “Cina “ dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pribumi tentu merasakan dampak yang tidak baik, sebagai akibat kongkalikong tersebut. Untuk melawan dominasi aseng itu, pedagang-pedagang Islam mulai memunculkan rasa nasionalismenya. Kebangkitan awal gerakan nasionalisme Indonesia dimulai dari gerakan padagang Islam. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi awal mula kesadaran nasionalisme itu dibidang ekonomi. Pada masa Orde Baru, posisi para taipan Cina menjadi semakin kuat. Apalagi dengan kebijakan pemerintah yang memberikan keuntungan besar bagi mereka. Sehingga muncullah kesenjangan dan ketidakadilan di bidang ekonomi. Rezim Orde Baru menggunakan pengusaha etnis China sebagai ujung tombak membangun ekonomi nasional. Mereka ‘diternak’ untuk difungsikan menjadi mitra penguasa dalam mengelola perekonomian nasional. Seluruh bidang usaha berada dalam cengkeraman pengusaha Cina ini. Dampak dari semua itu adalah ketidakdilan sosial dan kesenjangan ekonomi yang begitu sangat dahsyat. Survei lembaga Oxfam merilis, aset 4 orang terkaya Indonesia mencapai U$ 25 miliar dolar. Setara dengan harta 100 juta orang miskin. Kekuatan modal yang mereka miliki begitu besar, sehingga berkemampuan menyandera, mendikte, dan mengendalikan perekonomian nasional. Menjadi seperti ‘negara dalam negara’. Mereka semakin kaya dan membesar. Ruang gerak perekonomian rakyat makin menyempit. Indonesia pun masuk enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. (Sumber: https://www.watyutink.com/topik/politika/Mengapa-Hanya-Mereka-yang-Kaya). Misrisnya, dalam laporan Credit Suisse yang bertajuk Global Wealth Report 2018 menunjukkan bahwa 10 orang paling kaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 1% orang terkaya Indonesia mendominasi 46% total kekayaan penduduk dewasa. Ini menggambarkan tingginya ketimpangan kekayaan yang terjadi di masyarakat. (Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/09/10-orang-terkaya-di-indonesia-kuasai-75-kekayaan-penduduk) Melihat kenyataan tersebut, tentu membuat kita miris. Namun negara tidak mampu mengendalikan ketimpangan ini. Justru yang ada dugaan pemerintah berada dalam kendali oligarki ekonomi yang membuat ketimpangan tersebut. Kembali Ke Ekonomi Pancasila Mengutip tulisan Ichsanuddin Noorsy “Kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945”. Ketimpangan tersebut, selain karena kegagalan sistem ekonomi dan politik, juga karena kegagalan itu merujuk pada kegagalan sistem hokum, sehingga muara dari kegagalan itu adalah meluasnya rasa ketidak adilan. Indikasinya bukan sekadar pada soal Gini Rasio yang menggambarkan ketimpangan pendapatan saja. Berbedanya pelayanan politik kekuasaan dan hukum terhadap mereka yang menguasai sumberdaya, produksi dan distribusi dengan kualitas layanan publik bagi rakyat jelata. Tesa semakin kaya seseorang semakin sedikit hukum yang berlaku atas dirinya. Kenyataan ini berlaku dan menjadi tontonan kaum marjinal. Inilah kenyataan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dimana ketimpangan dan ketidakadilan sudah menyentuh pada semua aspek kehidupan berbngsa dan bernegara. Pemusatan kekayaan pada satu atau dua kelompok memperlihatkan kegagalan negara menstribusikan keadilan sosial di negeri ini. Meminjam Ichsanuddin Noersy tadi, kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945 adalah kembali kepada sistem ekonomi Pancasila. Dimana dalam Pancasila itu terdapat nilai dan spirit ajaran Islam yang mengatur tentang masalah ekonomi dan keadilan. Dalam ajaran Islam, ada anjuran untuk memberikan harta kepada orang yang tidak berkecukupan. Al-Quran mengatakan: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian….” Artinya segala sesuatu itu adalah milik Allah, yang harus kita berikan kepada orang yang membutuhkan. Lebih Jelas lagi Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa )" (HR Muslim ). Menimbun atau menyembunyikan dalam syara' itu berarti ihtikar yang artinya adalah tindakan menyimpan atau menimbun harta yang tidak ingin dijual atau diberikan kepada orang lain. Tindakan menyimpan dan menimbun harta seperti ini menimbulkan sifat keserakahan atau ketamakan didalam diri manusia. Sifat yang seperti inilah yang membuat orang selalu merasa kekurangan. Orang yang menimbun barang ini hanya ingin menuruti nafsu mereka, yang hanya ingin untung dan menumpuk keuntungan sampai menyundul langit. Kalau kita kaji dalam perspektif negara, terjadinya penumpukan harta dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, merupakan pengingkaran terhadap cita-cita luhur bangsa Indonesia. Sebab, Bumi Air dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Konstitusi mengatur bahwa negara menguasai segala sumber daya itu. Kalua terjadi penumpukan harta, artinya negara merawat kesenjangan dan gagal mewujudkan keadilan sosial. Karena itu ketimpangan ekonomi, penumpukan harta pada satu atau dua orang adalah kezaliman yang nyata. Dimana satu orang atau sekelompok orang (oligarki) menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi suatu negara, sementara sebagian besar masyarakat berebut demi sesuap nasi. Konkritnya, seperti yang dikatakan oleh Syahganda, anak-anak konglomerat berebut Rp 600 triliun dari hasil peninggalan orang tuanya. Sementara 10 juta rakyat Indonesia per-keluarga berebut Rp 600 ribu kemudian dipotong dari juli s/d Desember menjadi Rp. 300 ribu. Inilah potret ketimpangan di Indonesia. Teologi Al-Ma’un & Kedustaan Berbangsa Dalam tumpukan kekayaan yang luar biasa itu, kita perlu merenungi dan mengingat bagaimana Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan menggunakan Quran Surah Al-Ma’un sebagai senjata analisis untuk melihat ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia kala itu. Teologi Al-Ma’un adalah keberpihakan kepada fakir miskin dan kaum duafa yang jumlahnya cukup massif di Indonesia sampai saat ini. Dengan al-Maun kepekaan sosial kita diuji, keimanan kita dipertanyakan, kalau belum menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin. Maka, apabila kaum miskin dan anak yatim belum mendapatkan pemeliharaan, belum mendapatkan santunan dari negara, maka kita telah berdusta dalam bernegara. Bukankah konsitusi mengatakan “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”. Lalu kenapa kesenjangan terus melebar? Ini masalah serius bangsa hari ini yang harus kita pecahkan bersama. Pancasila hanya dijadikan slogan dan jargon. Akan tetapi dalam menjalankan tata kelola negara, Pancasila tidak dijadikan dasar dan sumber pijakan. Janji-janji kemerdekaan yaitu, “mencerdaskan, mensejahterahkan, dan melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah”, yang semakin tertinggal jauh. Kiblat bangsa telah bergeser, Inilah masalah bangsa ini. Di tengah rakyat yang behimpitan ekonomi, berebut bantuan ala kadarnya dari negara, ada satu keluarga konglomerat berebut harta warisan dengan jumlah yang sangat fantastis. Kenyataan ini memperlihatkan ada ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang cukup serius. Ini bisa menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Oleh sebab itu, hanya dengan kesadaran al-Ma’un kita dapat menciptakan keadilan sosial yang otentik untuk membangun negara. Agar menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip UMJ & Inisiator Masyumi Reborn.

UU Korona No.2/2020, Cara Sistemik Amankan Bisnis Oligarki

by Dr. Marwan Batubara, KMPK Jakarta FNN – Kamis (16/07). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR 12 Mei 2020. Perppu ditandatangani Presiden Jokowi menjadi UU No.2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU No.2/2020 ini bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU No.2/2020 menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah-langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan. Tetapi masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek socialekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Saat menyerahkan Perppu No.1/2020 kepada Pimpinan DPR tanggal 2 April 2020, Menkeu Sri Mulyani mengatakan "pemerintah dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan(KSSK) bekerja sama dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan bahkan KPK. Tujuannya, agar potensi moral hazard bisa dihindari. Dikatakan pula, moral hazard dapat dicegah karena kebijakan keuangan dan pelaksanaannya tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai Pasal 12 (1) UU No.2/2020. Moral hazard bisa berujung korupsi. Diyakini korupsi tidak dapat dihindari dan dihilangkan hanya melalui kerja sama antar lembaga dan tata kelola yang baik. Terutama karena menyangkut masalah subjek pelaku, sistem peraturan perundangan dan penegakan hukum. Disamping subjek pejabat pelaksana harus professional, beramanah dan bertanggungjawab. Sistem peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga yang perlu dipersiapkan. Agar harus dijalankan secara menyeluruh dan konsisten. Jika dicermati, moral hazard dalam pelaksanaan UU No.2/2020, justru potensial terjadi. Karena UU tersebut berisi banyak ketentuan yang melanggar konstitusi dan melanggar ketentuan dalam sejumlah UU yang berlaku saat ini. Hal yang paling mendasar adalah pelanggaran terhadap konstitusi terkait eliminasi hak DPR dalam penetapan defisit dan APBN (Pasal 2 dan Pasal 12). Status kebal hukum bagi pejabat pelaksana kebijakan (Pasal 27), dan eliminasi fungsi pengawasan oleh DPR dan BPK (Pasal 27). Moral hazard pun dapat terjadi dalam program pemulihan ekonomi. Terutama melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN). Penempatan dana investasi dan penjaminan, jika tidak diatur rinci berpotensi menjadi permasalahan kelak (Pasal 11). Dalam kaitan ini diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini, akan membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak sebagai bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka. Karena UU No.2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) dimana untuk mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria yang tak jelas, akan dibantu LPS secara full garantee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas. Bukan karena pandemi korona. Ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi. Karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam 12 UU yang berlaku saat ini (Pasal 28). Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power.Ringkasnya, langkah-langkah sistemik bernuansa moral hazard yang pro-oligarki, diatur dalam UU No.2/2020 adalah sebagai berikut. Pertama, menyatakan kondisi kegentingan memaksa. Meskipun secara faktual kondisi tidak genting, karena bahaya krisis ekonomi umumnya terjadi secara gradual. Kedua, eliminasi fungsi budget DPR yang dijamin konstitusi. Ketiga, raih dan tetapkan status kebal hukum bagi para pelaksana kebijakan dan program. Keempat, batalkan seluruh ketentuan dalam 12 UU yang menghalangi pelaksanaan kebijakan dan program. Kelima, kendalikan dan paksa Bank Indonesia (BI) untuk bekerja dan menjadi bagian dari pemerintah. Keenam, batalkan prinsip transparansi berkeadilan berdasar skema bail-in dalam mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, demi melindungi kepentingan para oligarki. Dengan berbagai ketentuan inkonstitusional dan menyimpang seperti diuraikan di atas, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard. UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional. Apalagi dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Padahal, belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU No.23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU No.24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU No.21/2011. Selain itu, telah dibentuk pula UU No.9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain. Diharapkan pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK No.9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank. Baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU No.2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha. Bahkan menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU No.2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak. Sementara ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan. Kebijakan tidak untuk keselamatan dan jaring pengaman social untuk rakyat kecil. Salah satu implementasi UU No.2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu dua bulan. Dua Perpres ini telah ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Mengingat peran DPR dihilangkan, maka pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha. Juga yang pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard yang mewaranai, dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Mega skandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640,9 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033. Itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan, meskipun telah ditangani oleh empat periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard. Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada. Bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar, karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Namun ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU No.2/2020. Fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU. Krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha/konglomerat dalam oligarki kekuasaan dihilangkan. Dalam kondisi bencana dan krisis, sanksi hukum bagi koruptor adalah pidana mati seperti diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor No.20/2001. Namun hukuman tersebut hanya dapat diterapkan jika tersedia landasan hukum yang komprehensif, adil, bebas moral hazard dan bebas status kebal hukum yang diskriminatif. Bagaimana sanksi hukum bisa dijalankan jika semua prasyarat tersebut telah dieliminasi seperti direkayasa dalam UU No.2/2020? Dengan demikian, agenda penguasaan APBN secara tidak adil akan berlangsung mulus. Apakah itu artinya UU No.2/2020 memang sengaja dibentuk, sarat dengan prilaku moral hazard agar tersedia cara sistemik bernuansa moral hazard untuk mengamankan bisnis oligarki? Wallahu a’lam. Penulis adalah Managing Director Indonesian Resoeurces Studies (IRESS)

PDIP di Persimpangan Jalan & Intelijen Yang Eror

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – (16/07). Ini sekedar iseng dan analisa "gampangan" saja. Analisis soal PDIP sebagai "the rulling party". Sebutan "the rulling party" juga agak setengah hati, karena fakta politiknya antara Jokowi sebagai Presiden dengan PDIP, nampaknya belum merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk itu, Megawati perlu berulang-ulang membuat pernyataan untuk meyakinkan diri dan orang lain bahwa Jokowi adalah "petugas partai". Bahwa Jokowi menjadi Presiden itu mendapat dukungan penuh dari PDIP tidaklah diragukan Dalam hal status Jokowi sebagai "kader" PDIP tentu saja banyak yang meragukan. Lebih kental pada adanya kesamaan kepentingan yang bersimbiosis mutualisme. Dalam perjalanannya, kepentingan masing-masing menjadi takaran dari kontribusi dan peran. Kadang-kadang mesti terlebih dahulu dinegoisasikan atau mungkin "diintimidasi". Berbeda dengan pada saat Soeharto berkuasa. "The rulling party" Soeharto adalah Golkar. Soeharto menjadi pengendali dan penentu utama segala kebijakan di Golkar. Kepentingan keduanya bersatu. Golkar sulit untuk digoyang, karena hal itu sama saja dengan menggoyang Presiden. Demikian juga sebaliknya. Kini PDIP berada di simpang jalan. Salah satunya karena "terkunci" oleh persoalan pengajuan RUU HIP. PDIP mati-matian berjuang menghadapi gempuran publik, khususnya umat Islam dan purnawirawan TNI-POlri. Namun Jokowi sebagai "petugas partai" tetap saja santai dan meliuk-liuk berkelit. "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR. Jadi, Pemerintah tidak ikut campur sama sekali", kilah Jokowi. Secara normatif "tidak ikut campur" mungkin benar. Tetapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di DPR itu berhimpun partai-partai koalisi yang mendukung Presiden. Ada enam partai di sana, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP. Presiden layak dan mampu untuk "mengkoordinasikan" partai-partai koalisi pendukungnya. Jadi benarkah "sama sekali" tidak ikut campur? Benarkah Presiden tidak tau adanya RUU HIP? Bukankah RUU tersebut ada relevansinya dengan BPIP yang tak lain adalah badan buatan Presiden sendiri? Benarkah Presiden kecolongan dengan adanya RUU HIP? Padahal presiden punya tiga orang menteri yang menjadi Ketua Umum Partai yang punya kursi di senayan, yaitu Prabowo Subioanto, Airlangga Hartarto dan Suharso Monoharpa. Lalu, apa saja kerja dari banyaknya lembaga intelijen yang berada di bawah kordinasi Badan Intelijen Negara? Puluhan triliun anggaran Negara dikeluarkan setiap tahun untuk membeiayai lembaga-lembaga intelijen TNI, Polisi Kejaksaan, dan Kementerian Pertahanan. Semua lembaga-lembaga intelijen tersebut berada di bawah kordinasi BIN. Presiden ko bisa kecolongan atau tidak tau adanya RUU HIP? Bahaya dong Negara kalau intelijen juga kecolongan atau eror. Pernyataan normatif Presiden, sangat berdampak politis, khususnya bagi PDIP sebagai partai terbesar pendukung Presiden. Partai berlambang kepala banteng ini diduga menghadapi situasi berat. Tertekan akibat usulan RUU HIP yang dikaitkan dengan isu dan kebangkitan faham Komunisme-PKI. Persoalan isu Orde Lama, Soekarnoisme, serta Komunisme bermula pada Visi Misi dan AD/ART Partai sebagai platform perjuangan Partai. Reaksi yang datang secara masif adalah suatu hal yang wajar. Tak ada asap jika tak ada api. Jadi bukan gorengan. Persimpangan jalan pertama adalah antara melakukan klarifikasi atau mengubah AD/ART Partai? Tujuannya, agar tidak ditafsirkan bahwa misi Partai tidak lain adalah untuk menggoyang, atau bahkan mengganti Pancasila 18 Agustus 1945 sebagai ideologi dan dasar negara. Persimpangan jalan kedua, yakni antara "the rulling party" dalam arti riel atau bersifat semu atau quasi? Jika hanya pro-forma, yakni PDIP itu sebenarnya tidak berkuasa, maka PDIP dapat mengambil porsi berseberangan dengan Presiden. Artinya Jokowi bisa saja dimakzulkan. PDIP dapat menyiapkan kadernya untuk jabatan Wapres sebagai pasangan Ma'ruf Amin, yang secara konstitusi naik menjadi Presiden. Keuntungan politisnya, PDIP menjadi motor penampung dan penyalur aspirasi rakyat, yang memang dirasakan sudah tidak mempercayai lagi Jokowi sebagai Presiden. Keuntungan lain adalah Kyai Ma'ruf yang "uzur", sehingga meskipun berstatus sebagai Wapres, akan tetapi nantinya PDIP akan menjadi penentu kebijakan. Menjadikan Wapres dari kader PDIP tentu mudah saja berdasarkan lobi-lobi sebagai Partai pemilik suara terbanyak. Memakzulkan Jokowi dapat menjadi bagian dari pemulihan nama baik PDIP setelah diporakporandakan oleh RUU HIP. Apakah Jokowi akan diam saja menghadapi rencana pemakzulan? Belum tentu. Bahkan kemungkinan tidak diam. Siapa tahu Pemerintah mengajukan permohonan pembubaran PDIP ke MK atas dasar ideologi atau asas Partai yang bertentangan dengan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Nah, karena politik itu dinamis. Segalanya serba mungkin, maka biarlah apa yang nanti rakyat akan lakukan untuk mewujudkan kekuatan atau kedaulatannya sendiri. Jokowi turun atau PDIP bubar. Atau mungkin terjadi hal yang spektakuler, yaitu menimpa kedua-duanya. Jokowi turun dan PDIP bubar. Kita semua tidak tahu karena panggung politik itu sering membuat kejutan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

MA Sempurnakan Kebobrokan KPU Selama Ini

by Chandra Tirta Wijaya Jakarta FNN – Kamis (16/07). Pada Jum’at tanggal 3 Juni 2020 lalu, Mahkamah Agung mengupload Keputusan Nomor 44 P/HUM/2019 ke publik. Putusan tersebut, menyatakan membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 5 Tahun 2019 yang diuji materi oleh Rachmawati Sorkarnoputroidan kawan-kawan. Padahal Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang dijadikan sebagai alasan hukum oleh KPU untuk menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Alasan Mahkamah Agung, karena pasal tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan Nomor 44 P/HUM/2019 dibuat oleh Hakim Agung Dr. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis dan Dr, Irfan fachruddin SH dan Is Sudaryono SH. MH. masing-masing sebagai hakim anggota. Salah satu amar putusan lainnya menyatakan bahwa “Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Pembaca FNN yang budiman. Tulisan tidak untuk mempersoalkan sah-tidaknya pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Prsiden dan Wakil Presiden. Sama sekali tidak. Biarkan perdebatan soal sah-tidaknya itu menjadi ranahnya para ahli hukum tata Negara. Tulisan ini hanya menyoroti cara kerja KPU periode 2017-2022 selama ini nyata-nyata memang bobrok, amburadul, tidak profesional dan amatiran. Putusan Mahkamah Agung yang telah diputus tanggal 28 Oktober 2019 itu, bukal membuat norma baru. Layaknya sebuah undang-undang yang baru diundangkan. Sehingga undang-undang baru tersebut, tidak boleh diberlakukan terhadap suatu peristiwa hukum yang sudah berlalu. Tidak berlaku surut. Putusan Mahkamah Agung itu hanya menegaskan bahwa norma yang digunakan KPU sebagai dasar untuk penetapan kemenangan Capres dan Cawapres cacat hukum. Bahasa kerennya cacat konstitusional. Sebab norma yang dibuat KPU nyata-nyata bertentangan dengan dua peraturan perundang-udangan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan UUD 1945 pasal 6A. Bahasa agama, seperti imam yang memimpin sholat berjamaa. Imam kentut di rakaat pertama. Namun imamnya tetap ngotot melanjutkan sholat berjamaan sampai rakaat terakhir. Imamnya tidak mau mundur untuk memberikan kesempatan kepada jamaah sholat yang lain menjadi imam. Untuk itu, ke depan KPU jangan lagi sok tau, sok hebat, dan sok pintar hukum seperti KPU periode sekarang. Akibatnya, KPU yang sok paling mengerti aturan, berani menciptakan norma hukum baru, dengan sengaja menabrak dua produk hukum di atasnya. Kesian kan Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin. Bisa menjadi tidak nyaman menjalankan tugas kenegaraan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Publik bisa jadi mempertanyakan legalitas Prasiden dan Wakil Presiden, hanya karena keangkuhan dan kasombongan KPU periode 2017-2022 ini. Semoga tidak berpengaruh terhadap hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Sesuatu yang sebenarnya nggak perlu terjadi, kalau saja KPU tidak bobrok, tidak amatiran dan tidak amburadul. Kebijakan KPU yang membuat peraturan yang bertabrakan dengan dua perundang-undangan di atasnya, telah mengkonfirmasi bahwa KPU priode 2017-2022 ini sangat tidak kapabel dan tidak profesional. Selian itu, KPU juga miskin pemahaman terhadap hirarki dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Untuk memahami undang-undang yang mengatur bidang tugas dari KPU saja minim, asal-asalan dan amatiran. Bagaimana mungkin bisa memahami undang-undang di luar bidang tugas KPU? Terdapat beberapa masalah yang menimpa KPU periode ini sebagai gambaran bahwa KPU tidak professional melaksanakan tugas dan fungsinya. Pertama, dimulai dari terpilihnya Arief Budiman sebagai Ketua KPU. Pada saat pemilihan tujuh komisoner KPU periode 2017-2022 di Komisi II DPR, dini hari tanggal 5 April 2017, Arief Budiman memperoleh suara paling kecil. Arief hanya mendapat 30 suara. Arief adalah Komisioner KPU terpilih nomor paling buntut dari tujuh orang. Arief Budiman bisa menjadi Ketua KPU. Ini aneh tapi nyata, namun benar-benar terjadi. Biasanya yang terpilih menjadi Ketua pada lembaga apa saja adalah pemenang suara nomor satu sampai tiga. Nah, suara terbanyak pertama ada dua orang, yaitu Promono Ubaid Tanthowi dan Wahtu Setiawan. Masing-masing mendapatkan 55 suara. Suara terbanyak kedua juga dua orang. Diraih oleh Ilham Saputra dan Hasyim Asy’ari, masing-masing memperoleh 54 suara. Selanjutnya adalah Viryan Azis yang mendapatkan 52 suara, dan Evi Novida Ginting Manik dengan 48 suara. Peraih suara terkecil Arief Budiman, dengan 30 suara. Namun Arief bisa terpilih menjadi Ketua KPU. Luar biasa Arief. Kedua, daftar pemilih bermasalah sebanyak 17,5 juta orang. Ada tiga tanggal, dimana manusia lahir pada ketiga tanggal tersebut banyak 17,5 juta orang. Yaitu pada tangga 1 Juli, 31 Desember dan 1 Januari. Meskipun telah dipersoalkan oleh kubu Capres Prabowo Subianto, namun tetap dianggap angin lalu oleh KPU. Ketiga, orang gila ikut memilih dalam pemulu. Pada Pemilu 2019 lalu dapat diikuti oleh orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan. Sebanyak 54.295 orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan ikut memilih. Tidak mengherankan kalau di dunia ini, hanya di Indonesia orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan ikut menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Hasilnya, ya KPU yang seperti ini. Ketiga, situng KPU yang dirancang untuk tidak bisa menjumlah dengan benar. Prosesnya yang sangat lambat. Servernya tidak berada di gedung KPU. Tetapi di luar gedung KPU. Yang lebih tragis lagi, paswood data computer pun tidak dikuasai oleh orang-orang di dalam KPU. Sampai-sampai muncul peratnyaan, siapa sebenarnya orang dari luar KPU yang menguasai paswood computer KPU itu? Keempat, kematian petugas Kelompok Penyelenggaran Pemungungutan Suara (KPPS) sebanyak 894 orang. Kematian manusia sebanyak ini tidak pernah diotopsi dan disidik untuk bisa diketahui apa saja penyebab kematian mereka. Baik KPU maupun Bawaslu Pusat tidak meminta dokter untuk melakukan otopsi terhadap mayat 894 petugas KPPS, sehingga bisa diketahi penyebab kematian. Kelima, tertangkapnya komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus Harun Masiku. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wahya Setiawan yang sering tampil membela kebijakan KPU di media massa, telah mengkonfirmasi bahwa kerja-kerja KPU selama ini bermasalah. Bahwa kerja KPU memang bobrok, amburadul, amatiran, dan tidak profesional. Merusak tatanan demokrasi. Mungkinkah Wahtyu Setiawan sendiri dalam kasus Harun Masiku ini? Memang, sampai sekarang belum terbukti dan petunjuk adanya keterlibatan komisioner KPU yang lain. Namun public menyangsikan Wayu Setiawan bekereja sendirian. Potensi adanya keterlibatan Komisioner KPU yang lain terbuka lebar. Keenam, dipecatnya komisioner KPU Evi Novinda Ginting Manik. Pada tanggal 18 Maret 2020, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidangnya telah memecat Evi Novida Ginting Manik. Alasan DKPP, Evi dianggap terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu. Kasusnya terkait dengan perolehan suara caleg dari Partai Gerindra dari Dapil Kalimantan Barat, atas nama hendri Makaluasc. Ketujuh, Ketua KPU Aief Budiman dan tiga Komisioner KPU lainnya mendapat peringatan keras dan terakhir. Selain pemecatan terhadapt Evi Novida Ginting Manik, DKPP juga telah mengeluarkan peringatan keras dan terakhir kepada Arif Budiman dan tiga anggota KPU lainnya, Viryan Azis, Ilham Saputra dan Promono Abaid Tanthowi. Dengan demikian, total Komisioner KPU yang bermasalah sudah enam dari tujuh orang, yaitu Wahyu Setiawan, Evi Novida Ginting Manik, Arif Budiman, Viryan Azis, Ilham saputra dan Promono Ubaid Tanthowi. Sudah enam orang Komisioner KPU yang bermasalah. Tinggal satu orang yang belom bermasalah, atau kemungkinan bermasalah, namun belum diketahui publik, yaitu Hasyim Asy’ari. Kedelapan, dan baru diketahui oleh minggu lalu adalah Putusan dari Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM 2019. Dengan keluarnya putusan ini, maka Mahkamah Agung telah ikut sempurnakan kebobrokan, keamburadulan, ketidak profesionalan dan keamatiran KPU selama ini. Lengkaplah sudah keterlibatan semua Komisioneer KPU. Sempurna sudah KPU bermasalah. Pertanyaannya, masih pantaskah KPU periode 2017-2022 ini dipercaya sebagai penyelenggaran pemilu yang benar dan kredibel? Masih layakkah dijadikan sebagai wasit pada Pemilu Kepala Daerah di bulan Desember 2020 nanti? Atau sebaliknya, dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019, sebaiknya semua Komisioner KPU dipecat oleh DKPP? Setelah itu, segera dipilih dan diangkat lagi Komisioner yang baru. Yang pasti KPU periode 2017-2022 pimpinan Arief Budiman ini sudah cacat moral, cacat hukum, cacat demokrasi dan cacat profesionalisme (amatiran). Kelau sudah begitu, produk domokrasi apapun yang dihasilkan, tetap saja bermasalah. Seperti kata orang-orang kampong “garbage in, garbage out”. Masuknya sampah, ya hasil yang dikerjakan juga sampah. Penulis adalah Anggota DPR Priode 2009-2014.

Bahaya Kalau Punya Pemimpin Culas

by M Rizal Fadillah Pemimpin culas itu hilang rasa malunya. "Tuli" terhadap nasehat yang bernilai moral. Selalu mengikuti arahan yang memberi keuntungan materi dan lahir semata. Pemimpin culas adalah budak dari harta dan tahta. Harta dan jabatan adalah segala-galanya. Jakarta FNN – Rabu (15/07). Kepemimpinan itu sangat penting untuk membawa yang dipimpin pada nilai dan sasaran yang telah disepakati. Tujuannya adalah agar sejahtera dan bahagia dunia serta akhirat kelak. Kepercayaan merupakan modal dari kesuksesan. Pemimpin iru harus amanah. Pemimpin culas pasti dibenci. Culas itu "lazy, indolen, deceitful, dishonest". Menurut KBBI culas itu memiliki dua makna. Pertama, malas sekali, tidak tangkas, lamban. Kedua, curang, tidak jujur, tidak lurus hati. Pemimpin culas adalah pemimpin yang lamban, curang, dan tidak jujur. Pemimpin yang culas terlihat tidak berkhidmat kepada mereka yang dipimpinnya. Kepentingan diri sangat kuat. Sering melakukan langkah atau kebijakan yang bersifat manipulatif. Dalam agama, pemimpin culas itu sangat tercela. Mempunyai bermasa depan yang suram. Dari Ma'qil bin Yasaar ia berkata, saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : "Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya melainkan Allah haramkan surga atasnya". (H.R Muttafaq 'Alaih). Hadits ini menggambarkan suatu watak yang sulit berubah hingga kematiannya "yamuutu yauma yamuutu". Watak itu adalah culas "al ghasysyu" yang menjadi habitat untuk senantiasa berlaku curang dan gemar untuk menipu rakyatnya sendiri "wa huwa ghasysyun liro'iyyatihi". Disamping ancaman Allah yang keras, juga pemimpin culas membawa kerusakan besar bagi diri dan lingkungannya. Tiga bahaya yang akan terjadi bila mempunyai pemimpin yang culas, yaitu : Pertama, hancur iman. Keimanan pada hari akhir kelak, menjadi hilang karena kekuasaan duniawi. Akherat tidak perlu untuk dikhawatirkan. Tetapi malah diabaikan. Bahkan diolok-olok. Kedua, pemimpin yang culas mendapat predikat buruk, baik melalui caci maki lisan, tulisan, ataupun gambar simbolik. Menjadi buah tutur yang buruk di kalangan masyarakat. Penilian yang buruk itu, baik pada masih menjabat maupun sudah pengsiun nantinya. Ketiga, punya banyak musuh. Apakah itu rakyat yang dipimpin ataukah teman "sekongkolnya” sendiri? Friksi kepentingan mudah terjadi hal yang lamrah. Pemimpin culas tega untuk berkhianat pada teman "seperjuangan" sendiri. Demi menjaga posisinya. Pemimpin culas hilang rasa malunya. "Tuli" terhadap nasehat yang bernilai moral. Selalu mengikuti arahan yang memberi keuntungan materi dan lahir semata. Pemimpin culas adalah budak dari harta dan tahta. Harta dan jabatan adalah segala-galanya. Kita bisa menilai sendiri. Adakah diantara para pemimpin negara kita termasuk dalam katagori pemimpin-pemimpin yang culas tersebut? Tengok Presiden, para Menteri, para Pimpinan Partai, para pajebata eselon di Kementerian dan Lembaga. Adakah "wajah-wajah" itu culas? Silahkan menjawab sendiri. Namun yang pasti, memberikan amanah pengelolaan negara kepada pemimpin yang culas, sama saja artinya dengan menempatkan rakyat di mulut buaya, mulut singa, atau mulut srigala. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Sumber Uangnya Sudah Kering, Negara Reformasi Segera Hilang

by Haris Rusly Moti Jakarta FNN – Rabu (15/07). Tanggal 21 Mei 1998 adalah hari lahirnya sebuah era. Presiden Soeharto menyatakan berhenti setelah berkuasa selama 30-an tahun. Era Orde Baru berakhir. Era reformasi yang berpondasi liberalisme lahir pada hari itu. Namun, saat ini, kita musti kembali bersiap untuk berduka. Negara reformasi itu diperkirakan akan mulai runtuh. Sirna atau wafat di usia muda, 22 tahun. Negara era reformasi akan menyusul nasibnya Sriwijaya dan Majapahit. Dua negara ini pernah hidup dan sirna di atas tanah yang sama, tanah pusaka nusantara. “Sirno ilang kertaning bumi”. Hilang dan lenyap ditelan bumi. Sengkalan itu mengirim pesan kepada kita tentang keadaan ketika itu yang sangat perih dan menyakitkan. Ketika itu ruh Majapahit itu pergi meninggalkan jiwa dan raganya. Emperium besar itu sirna, runtuh atau wafat. Dulunya sistem negara reformasi itu dianggap sebagai panasea, obat mujarab. Diharapkan sistem itu dapat menyembuhkan sejumlah penyakit kronis di era sebelumnya. Kenyataannya, makhluk yang bernama reformasi itu telah bermutasi menjadi virus kanker yang sangat ganas. Kanker itu kini telah menyerang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik sendi sosial, politik, ekonomi, pertahanan, hingga yang paling mendasar, yaitu moralitas ikut diserang virus kanker ganas reformasi. Di usia yang masih muda, 22 tahun itu, sistem negara era reformasi itu diperkirakan tidak akan mampu bertahan hidup. Akan runtuh, wafat atau sirna ditelan oleh badai sejarah. Keadaan negara era reformasi tersebut dapat kita ibaratkan persis pasien yang sedang koma. Paisen yang lagi dirawat di ruang ICU. Rasanya sangat sulit untuk bisa memastikannya hidup kembali. Medical treatment yang sedang dilakukan, ternyata tidak juga berhasil meringankan penyakit yang sedang diderita. “Gerombolan” penyelenggara negara yang bertindak sebagai dokter, ternyata gagal memahami kondisi yang sedang dihadapi. Mereka lebih mengedepankan pendekatan kekuasaan ketimbang pendekatan kepemimpinan dan keteladanan. Akibatnya, virus kanker ganas itu justru makin ganas menggerogoti tubuh justru setelah dilakukan medical treatment. Kita tidak berpretensi mendahului kehendak Tuhan. Tetapi jika dilihat dari kondisi penyakit yang sedang diderita saat ini, bisa dipastikan nasib negara era reformasi sudah sangat sulit untuk diselamatkan. Kita justru akan menyiksa diri kita sendiri, jika tetap mempertahankan sebuah sistem yang telah menggerogoti jiwa, raga bangsa dan rakyat kita sendiri. Sistem negara reformasi memang sengaja dibuat, tidak dengan tujuan menegakan kedaulatan rakyat. Kita memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan berserikat. Tujuannya, agar rakyat berdaulat secara politik dan ekonomi. Dulu para pendiri bangasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 1945, agar rakyat dapat berdaulat secara politik di negeri sendiri. Dengan demikian diharapkan kehidupan ekonomi rakyat bisa tumbuh mandiri tanpa penjajahan. Namun, kenyataannya kebebasan di era reformasi justru dibajak oleh oligarki jahat dan licik, untuk menjarah ekonomi nasional. Mereka membajak kehendak murni rakyat dan mahasiswa untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Segelintir oligarki politik dan kartel ekonomi taipan-saudagar licik dan jahat itu, juga telah membajak institusi negara era reformasi. Mereka sebetulnya pelaku makar yang sesungguhnya. Sayangnya sepak terjang dan prilaku mereka, justru dipelihara oleh Negara. Dilindungi oleh yang sedang berkuasa. Sumber Kapital Kering Sindikat perampok BLBI dan kartel yang menjarah Sumber Daya Alam (SDA). Mereka adalah penopang utama rezim reformasi. Sindikat BLBI dan kartel SDA adalah kekuatan kapital atau sumber utama bahan bakar yang menggerakan mesin reformasi selama 22 tahun silam. Sindikat BLBI tersebut adalah pelaku makar, karena telah membobol duit di Bank Sentral. Dari sumber dana yang dijarah melalui skema BLBI dan KLBI itu, kemudian dibuat sejumlah skema untuk pembiayaan amandemen UUD 1945. Seakan-akan sumber pembiayaan agenda reformasi itu berasal dari lambaga donor asing. Padahal jika ditelusuri, dana-dana itu sebetulnya milik rakyat Indonesia juga yang mereka rampok, dengan cara membobol Bank Indonesia dalam skema BLBI dan KLBI. Anggaran untuk reformasi politik, hukum dan birokrasi yang katanya dari lembaga donor asing itu hanya bohong. Sumber dana sebetulnya dari uang perampokan BLBI-KLBI. Demikian juga anggaran untuk membiayai pembentukan sejumlah LSM dan Parpol yang menjamur di era reformasi, sebetulnya juga bersumber dari duit yang dibobol di Bank Indonesia melalui skema BLBI dan KLBI. Sebagai pembandingnya, di sejumlah negara Amerika Latin, sumber bahan bakar yang menggerakan mesin perubahan politik ke arah liberalisasi dan demokratisasi di sana berasal dari kartel narkoba. Operasi intelijen barat terlebih dahulu membentuk kantong logistik untuk membiayai operasi tersebut. Diantara kantong logistik itu, mereka bekerjasama dengan kartel narkoba. Dari uang perdagangan narkoba itu dipakai sebagai dana untuk melakukan operasi liberalisasi di negara-negara Amerika Latin. Sejatinya demokrasi itu dibentuk oleh rezim kapitalisme yang menuntut persamaan politik dan kesetaraan di depan hukum. Sejarahnya memang seperti itu, demokrasi itu sebetulnya lahir dari kandungan kaum kapitalis untuk menutut kesamaan hak dan derajat sosial dengan kaum feodal. Karena itu, di negeri barat, sumber kapital atau bahan bakar yang menggerakan mesin demokratisasi dan liberalisasi itu berasal dari kekuatan kapitalis industri. Berbeda dengan di Indonesia dan Amerika Latin, yang berlangsung demokratisasi tanpa industrialisasi. Karena itu, ketika negara barat memaksakan projek liberalisasi dan demokratisasi, mereka terlebih dahulu menciptakan sumber kapital sebagai bahan bakarnya untuk menggerakan liberalisasi dan demokratisasi. “Tidak mungking sebuah operasi intelijen untuk menguasai atau menghancurkan sebuah negara tertentu menggunakan APBN”. Demikian juga, biaya operasi intelijen atau militer untuk menghancurkan sejumlah negara di Timur Tengah misalnya, sebetulnya bersumber dari uang minyak yang berasal dari Timur Tengah sendiri. Demikian juga dengan di negeri kita, Indonesia. Tidak ada industrialisasi di sini. Maka sumber kapital untuk menggerakan liberalisasi dan demokratisasi itu diciptakan dari kekuatan oligarki jahat dan licik. Mereka itulah para sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA. Kalau di Amerika Latin, sumber kapitalnya berasal dari kartel narkoba, kartel SDA dan kartel jahat lainnya. Sementara di Indonesia, sekian tahun lama sindikat BLBI dan kartel SDA dijadikan kaki tangan barat dalam menjarah ekonomi nasional dan mengendalikan institusi negara. Dari dalam kandungan sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA tersebut, dilahirkan oligarki politik dinasti yang memegang kendali politik negara hingga saat ini. Kartel jahat itu membajak negara melalui mengendalikan pemimpin Partai Politik dan pemimpin negara. Hampir pada seluruh institusi Negara. Mulai dari pusat hingga daerah. Dari Presiden dan Ketua DPR-RI hingga Bupati, mereka adalah hasil dari peternakan sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA. Dalam sejumlah operasi politik untuk memenangkan pimpinan nasional, pimpinan daerah hingga pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif, sering sekali diduga dibantu oleh “sindikat intelijen jahat”. Mereka telah berkhianat dan menyeleweng dari sumpahnya sebagai prajurit perang pimikiran. Kini, sumber kapital yang menggerakan reformasi itu sudah mulai mengering. Bahan bakar reformasi yang bersumber dari sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA itu telah gosong. Matahari baru yaitu kekuatan kapitalis teknologi informasi yang sedang memegang kendali. Menganggap kartel dan sindikat lama BLBI-KLBI dan kartel SDA tersebut sebagai parasit yang harus dimusnahkan. Mereka menghendaki keterbukaan informasi dan penyelesaian terhadap sejumlah kejahatan keuangan nasional dan international. Sistem negara era reformasi akan runtuh atau sirna. disebabkan oleh: Pertama, dana gelap hasil rampokan BLBI-KLBI telah mengering. Para perampoknya kini sedang menghadapi tuntutan pengadilan, baik itu pengadilan nasional maupun international. Kedua, jatuhnya harga komoditas di pasar international. Ketiga, kejahatan money laundry sedang menghadapi ancaman secara international. Dengan demikian sumber dana oligarki politik dinasti dipastikan juga akan kering. Bahan bakar yang menggerakan sistem reformasi juga makin mengering. Sistem negara era reformasi yang telah bermutasi menjadi virus kanker jahat itu sudah waktunya memang harus sirna atau runtuh. Semoga Tuhan Yang Maha Berkuasa mempercepat takdirnya untuk “wafat”. Semoga kita dapat mengembalikan cita-cita dibentuknya negara oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945. Semoga rakyat kembali berdaulat di negeri sendiri. Semoga kemerdekaan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dapat menempatkan kembali rakyat menjadi pemilik atas sumber daya alam dan kekayaan negara. Semoga konstitusi (UUD 1945) kembali menjadi landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan negara. Semoga tidak akan lahir lagi pemimpin negara yang menjadi boneka asing dan parasit dari oligarki konglomerat jahat, licik dan culas. “Angkat senjatamu wahai Arjuna. Majulah berperang. Jalankan tugas kewajibanmu tanpa keraguan di hati”. Tulisan ini pernah dimuat di RMOL.Co.id edisi 20 Mei 2019. Penulis adalah Aktivis Mahasiswa 1998 Yogyakarta dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community (InFINITY)

Pendukung Jokowi Mulai Kecewa

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (13/07). Kecewa para pendukung itu hal biasa. Hampir terjadi di setiap rezim. Tidak saja kepada yang jadi, yang gagal jadi saja kadang juga menghadapi kekecewaan dari para pendukungnya. Prabowo adalah contoh paling mutakhir. Pilih koalisi dengan Jokowi, Prabowo dicap sebagai penghianat. Adakah ini akan berpengaruh terhadap pilpres 2024 jika Prabowo mau maju lagi? Banyak spekulasi. Jika maju, apakah Prabowo akan membalik sejarah? Atau hanya menyempurnakan kekalahannya hingga tiga kali berturut-turut? Kita tunggu saja. Lain Prabowo, lain juga Jokowi. Sejumlah pendukung Jokowi juga menyatakan kecewa. Sebagian diungkap di medsos. Kenapa? Pertama, boleh jadi karena gak kebagian jatah. Ini mungkin sedikit jumlahnya. Karena Jokowi dikenal pandai berbagi. Tidak saja untuk generasi tua, generasi milenial pun dapat bagiannya. Kartu pra kerja misalnya, dituding banyak pihak sebagai bagian dari praktek bagi-bagi. Rangkap jabatan komisaris BUMN juga heboh saat ini. Begitulah politik. Menang, ya bagi-bagi. Itu namanya pengertian! Ada ribuan posisi untuk berbagi. Kedua, ini lebih karena alasan substansial. Di era Jokowi, banyak peristiwa yang dianggap membuat rakyat miris. Dimulai dari kematian petugas pemilu yang jumlahnya aduhai. 894 orang. Hingga saat ini, masih dianggap kontroversial. KPU umumkan hasil pemilu tengah malam. Situng KPU pun gak tuntas. Belum lagi peristiwa kematian yang terjadi dalam sejumlah demonstrasi. Di era Jokowi, UU KPK direvisi. KPK pun megap-megap. Dibilang mati, belum juga dikubur. Revisi UU KPK seperti memberi peluang koruptor kakap untuk kabur. Inilah hasil sempurna kolaborasi pemerintah dengan DPR. Mumtaz. UU Corona dan UU Minerba diketok juga. Walaupun protes terjadi dimana-mana. Disusul RUU Omnibus Law dan RUU HIP. Rakyat marah. Buruh, mahasiswa dan umat Islam protes. Turun ke jalan dan lakukan demo. Apakah akan didengar? Didengar iya, dipahami belum tentu. Apalagi diakomodir. Masih jauh. Lihat saja episode yang sedang berjalan. Iuran BPJS naik. Meski MA sudah batalkan Perpres 75/2019, naikin lagi. Terbit Perpres 64/2020. Tarif listrik dan jalan tol juga naik. Entah sudah berapa kali naiknya. Senyap! Sejumlah BUMN bangkrut. Jiwasraya dan Asabri kebobolan belasan triliun. Hutang negara meroket. Ke pertamina saja kabarnya negara masih punya hutang 160 triliun. Hutang swasta sekitar 400-500 triliun. Infonya total hutang negara sudah tembus 7000 triliun. Belum lagi dana haji. Diobok-obok. Pertumbuhan ekonomi minus. Ribuan perusahaan, termasuk kontraktor tutup. Jauh sebelum covid-19. PHK terjadi dimana-mana. BI dan Kementerian keuangan dapat tekanan untuk cetak uang besar-besaran. 600 triliun. Ancaman inflasi dihiraukan. Sementara, sejumlah menteri hanya bisa bermain akrobat. Putar balik lidah dan sibuk carmuk. Tak bisa kerja. Publik melihat kursi kabinet dominan sebagai bagi-bagi posisi untuk para pemodal dan pengusung. Jauh dari kemampuan untuk bekerja secara profesional. Kepada para menteri, Jokowi marah-marah. Jengkel! Mereka dianggap tak bisa kerja sesuai target. Pertanyaannya: siapa yang pilih mereka? Terutama dalam penanganan covid-19. Telat antisipasi, dan kacau datanya. Data sebelum datang covid-19, maupun data setelah diserbu covid-19. Laporan jumlah terinveksi dan yang mati, belum beres hingga hari ini. Simpang siur. Ini semua fakta obyektif yang bisa dilihat dan dibaca. Tentu, oleh otak yang masih waras. Waras artinya jujur. Menyangkal sama artinya gak percaya pada data dan fakta yang transparan di depan mata. Kalau gak percaya data dan fakta, lalu mau percaya pada apa? Inilah kondisi obyektif yang memaksa para pendukung melakukan evaluasi atas pandangannya terhadap Jokowi selama ini. Sebagian masih ada beban untuk mengakui. Sebagian yang lain telah mengakui data dan fakta itu. Mereka kecewa. Lalu, apa pengaruh kekecewaan para pendukung itu secara politik? Tak banyak. Kecuali jika ekonomi ambruk dan kekuatan Jokowi rapuh. Disitu, para pendukung akan balik badan. Tidak saja massa, partai politik, anggota DPR dan aparat pun akan menjadi pihak pertama yang berlomba untuk balik badan. Cabut dukungan. Jokowi harus sadar dan punya kepekaan terhadap perkembangan situasi belakangan ini. Karena semua bisa mendadak berubah dan tak terantisipasi. Bahaya! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Rakyat Dibayangi Pertanyaan: Mungkinkah Komunisme-PKI Bangkit Kembali?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Ahad (10/07). Kalau pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD (31/5/2020) dijadikan pegangan, tampaknya tidak mungkin PKI bisa hidup lagi. Sebab, kata Pak Mahfud, Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme tidak bisa dicabut oleh pihak mana pun. Dan, kata Mahfud lagi, tidak ada juga pihak yang ingin mencabut itu. Kalaulah Anda semua yakin ucapan Mahfud itu bisa dijadikan landasan, tentu tidak ada yang perlu khawatir. Kecuali Anda tidak percaya kepada beliau. Lain lagi masalahnya. Terlepas dari jaminan Menko Polhukam, kita semua melihat begitu banyak gejala yang menunjukkan bahwa komunisme-PKI sedang berusaha untuk bangkit. Kita uraikan gejala-gejala yang membuat publik, khususnya umat Islam, menjadi curiga PKI tidak akan tinggal diam. Misalnya, ada upaya yang rapi untuk membalikkan fakta. Setelah Reformasi 1998, orang-orang atau kelompok tertentu berusaha menyebarkan opini bahwa PKI tidak melakukan kesalahan dalam peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam (dinihari 1 Oktober 1965). Kemudian, ada pula desakan dari orang-orang yang mengatasnamakan keluarga PKI agar pemerintah Indonesia meminta maaf secara resmi atas rangkaian peristiwa yang memakan korban orang-orang PKI. Bahkan ada yang meminta supaya kuburan massal PKI 1965 diusut tuntas. Seterusnya, bermunculan seminar atau diskusi yang arahnya membela hak-hak asasi manusia (HAM) warga atau keturunan PKI. Upaya ‘ilmiah’ ini diiringi pemameran simbol-simbol atau lambang PKI di banyak pelosok negeri. Ada banyak yang memakai kaos palu-arit di depan publik, ada pula yang membuat graffiti (corat-coret) di tembok yang memajangkan slogan atau lambang komunisme dan PKI. Belum ini ada kasus bendera merah-putih yang diberi lambang palu-arit. Bendera ini ditemukan pada 11 April 2020 di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Jadi, bagaikan ada upaya sistematis untuk membukakan peluang bagi komunisme-PKI berkembang lagi. Untuk bangkit kembali. Banyak orang yang menginginkan kebangkitan komunisme-PKI. Dan tidak sedikit yang memberikan simpati. Dengan berbagai cara. Ada yang memperjuangkan pencabutan Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme-marxisme-leninisme. Dan ada pula yang mengatakan sesuatu yang didambakan oleh para pendukung PKI. Yaitu, orang yang mengatakan penampakan kaus palu-arit hanyalah ‘trend’ anak muda saja. Bukan hal yang serius. Yang sangat mengkhawatirkan adalah perlindungan yang pantas diduga diberikan oleh kekuatan politik. Misalnya, blok politik besar yang sengaja menampung orang-orang yang menghendaki komunisme atau mereka yang terkait dengan PKI. Blok politik itu menampung orang-orang yang berindikasi memperjuangkan implementasi paham komunis di negeri ini. Kekuatan politik yang memiliki hubungan historis dengan PKI dan komunisme tsb, tidak berlebihan kalau disebut sengaja memberikan ‘ruang hidup’ kepada sisa-sisa komunisme-PKI. Ini dapat dilihat dari upaya memuluskan pengesahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di DPR. RUU yang ditolak oleh PKS bersama Partai Demokrat dan dipersoalkan oleh PAN dan PPP itu, tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 seperti disinggung di awal tadi. Banyak yang melihat ini sebagai upaya untuk menghalalkan komunisme dan PKI. Meskipun Menko Polhukam dan para petinggi DPR yang menangani RUU HIP sibuk meyakinkan publik bahwa UU HIP akan memperkuat ideologi Pancasila. Belakangan ini, sponsor RUU HIP mengubah taktik. Mereka mengganti judul RUU bermasalah ini menjadi RUU PIP (Penguatan Ideologi Pancasila). Umat Islam tetap tidak akan percaya pada pengubahan judul itu. Sebab, kalau tidak ada maksud-maksud terselubung, mengapa masih harus mencarikan jalan keluar (way out) untuk sesuatu yang ditolak dan dicela keras oleh semua pihak? Tampaknya, tahun-tahun mendatang ini akan menjadi masa yang penuh tantangan berat bagi rakyat, khususnya umat Islam yang sangat keras melawan komunisme-PKI. Umat Islam tidak boleh lengah. Sebab, sangat pantas diyakini bahwa memang ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menghidupkan kembali paham komunis. Dengan segala gejala pro-komunis dan pro-PKI yang ada sekarang ini, setiap saat rakyat dibayangi oleh pertanyaan: mungkinkah komunisme-PKI bangkit kembali? Penulis adalah Penulis Wartawan Senior

Penyelidikan Bisa Dimulai Dari Rieke Pitaloka

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (12/07). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menghebohkan. Bukan dalam arti konstruktif, tetapi menimbulkan reaksi masif. Protes terjadi dimana-mana yang intinya mendesak agar DPR atau Pemerintah menghentikan, membatalkan, atau mencabut RUU tersebut. Hanya itu tuntutan masyarakat, khususnya umat Islam. RUU kontroversial yang dinilai dapat menjadi pintu bangkitnya kembali faham neo PKI dan faham komunisme. RUU ini ini oleh sebagian masyarakat disinyalir sebagai "makar ideologis terhadap dasar Negara Pancasila". Kritik dan desakan, disamping pada tuntutan pembatalan RUU HIP, juga meminta pengusutan terhadap siapa inisiator atau konseptor dari RUU "makar ideologis" tersebut. Majelis Ulam Indonesia (MUI) dalam Maklumat yang dikeluarkannya, juga menekankan pada desakan pengusutan ini. Ketika sudah diakui bahwa usulan ini berasal dari fraksi PDIP, maka yang perlu kejelasan dan tindak lanjut. Apakah usulan itu bersifat perorangan atau fraksional. Lalu dimana Rieke Pitaloka berada selain sebagai Ketua Panja dan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR? Fraksi PDIP mengantisipasi melebarnya "skandal" RUU HIP ini dengan mencopot Rieke Dyah Pitaloka. Rieke dicopot dari kedudukan sebagai Wakil Ketua Baleg. Rieke sekarang digantikan oleh Komjen Muhammad Nurdin. Penggantian mana menjadi tanda "sanksi" ringan atas Rieke. Hanya saja masalahnya adalah apakah sanksi kepada Rieke itu berkaitan dengan kesalahan pribadinya? Atau Rike sebagai bagian dari inisiator RUU HIP? Atau karena Rieke memang tak mampu untuk menjalankan "misi" Fraksi atau Partai dalam menggoalkan RUU HIP? Pengusutan mulailah dari Rieke. Baik itu untuk pengusutan politik maupun hukum. Dari mulai Rieke, berulah dapat bergeser kesana-sini dalam arti keterlibatan beberapa pihak. Rieke juga sudah dilaporkan ke kepolisian. Tinggal gerak penyelidikan yang ditunggu dari polisi. Pada pasal 107 KUHP dapat menjadi acuan. Pelanggaran terhadap pasal ini, ancaman hukumannya antara 12 hingga 20 tahun. Dipastikan tidak berlaku hak imunitas anggota dewan untuk perbuatan dugaan makar terhadap ideologi dan dasar negara Pancasila. PDIP suah tidak bisa lagi lepas dari sorotan masyarakat. Perlu langkah konkrit untuk meluruskan rel perjuangannya, yaitu : Pertama, melakukan "pembersihan" kader yang disinyalir "leftist" kiri. Faksi ini bisa merusak citra ciri "nasionalis" di PDIP. Masyarakat khawatir pada gaya politik PKI yang mahir dalam penyusupan. Pulihkan segera citra PDIP sebagai Partai "tengah". Bukan Partai "kiri" dan "sarang kader-kader komunis". Bila tidak, bisa saja masyarakat memberi predikat sebagai "PKI Perjuangan". Kedua, evaluasi narasi dari Mukadimah dan Batang Tubuh AD/ART PDIP yang bernuansa Orde Lama. Tidak boleh ada interpretasi bahwa platform perjuangan PDIP itu adalah "tak suka dengan Pancasila 18 Agustus 1945”. Sebab itu sangat berhabaya untuk penjalanan bangsa ke depan. PDIP terkesan secara bertahap sedang menanamkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945, yaitu Trisila, dan Ekasila. Jika ini tetap dipertahankan, maka wajar jika ada anggapan publik bahwa PDIP memang bervisi misi untuk menggoyahkan ideologi Pancasila. Selama belum dirubah, kemungkinan bisa selamanya PDIP akan berhadap-hadapan dengan umat Islam. Dalan kaitan skandal RUU HIP, maka transparansi dan konsistesi pada pembelaan Pancasila mesti dibuktikan. Bukan sedang menyosialisasikan sila "gotong royong". Yang sepertinya bagus sebagai "bahu-membahu", tetapi pada interpretasi ekstrim menjadi "communalism" dan "materialism", sehingga pada hakekatnya adalah "communism". "Communism is philosophical, social, political, economic ideology and movement whose ultimate goal is the establishment of a communist society". Budaya konflik dan menghalalkan segala cara melekat dengan perjuangan komunisme. Agama dianggap musuh dan candu masyarakat. Komunisme adalah kejahatan. Juga sekaligus penyakit berat yang berbahaya. Harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Infonya Mahasiswa Geruduk DPR. Ah, Yang Bener?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (12/07). Beda mahasiswa sekarang (abad 21) dengan mahasiswa dulu (abad 20). Setidaknya ada dua factor yang membedakan mereka. Pertama, mahasiswa sekarang umumnya lebih berorientasi pada kerja. Cepat lulus, IP bagus, dapat pekerjaan, punya duit, lalu cari mertua. Gak sabar untuk segera hidup mapan. Para aktifis mahasiswa di abad 20, mental berbangsanya lebih kuat dibanding aktifis mahasiswa abad 21. Dulu saat ke Jakarta, para mahasiswa naik bus, kereta atau kapal. Bahkan ada yang numpang truk. Makannya nasi bungkus. Siap juga untuk drop out. Bagaimana dengan mahasiswa sekarang? Dari daerah naiknya pesawat bro! Rapatnya juga sukanya di resto dan Cafe. Mungkin saja karena para aktifis sekarang, mereka berasal dari para orang tua yang sudah kaya. Atau sudah pinter untuk mencari donatur. Joko Edi Abdurrahman, mantan anggota dewan yang sekarang aktif sebagai pengacara ini pernah melempar isu bahwa ada dana Rp. 200 juta yang mengucur setiap bulannya ke Ormas Mahasiswa. Sebanyak Rp. 20 juta untuk pimpinannya. Isu ini sempat ramai. Bahkan Joko Edi akan dilaporkan ke polisi. Ditunggu-tunggu, kok laporannya nggak jadi-jadi, kata Joko Edi. Benar atau tidak itu isu, proses hukum nggak berjalan atas sinyalemen dana Rp. 200 juta versi Djoko Edi yang biasa disapa para aktivis di Kawasan Menteng dengan Prof itu. Karena laporan nggak kunjung dibuat. Sehingga masyarakat gak tahu persisnya. Tapi, stigma terlanjur menyebar. Selain itu, posisi mahasiswa sekarang berada dalam tekanan kampus. Sejak rektor dipilih oleh menteri dan dekan dipilih oleh rektor, maka kampus berada dalam kontrol kekuasaan. Mahasiswa sulit untuk leluasa menjadi oposisi. Ancamannya dari pihak rektorat, bisa dikeluarkan dari kampus. Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kampus juga berada dalam kontrol. Ada juga mahasiswa, dosen dan rektor yang dipecat. Bahkan dipenjara. Tetapi sekarang, kontrolnya lebih terstruktur. Melalui semua pimpinan kampus. Jika mahasiswa macam-macam, sikaaaaaaaaat! Saat ini, nyaris rektor dan dekan menjadi alat kontrol kampus. Tidak saja terhadap mahasiswa. Dosen yang terlalu kritis terhadap penguasa akan dapat teguran. Bahkan sebagian dapat teror dan intimidasi. Kasus diskusi publik di Fakultas Hukum UGM yang sempat ramai beberapa bulan lalu, menjadi salah satu buktinya. Gimana nasib kasusnya? Gelap kan? Maka, ketika ada info kalau tanggal 16 Juli 2020 mahasiswa seluruh Indonesia akan geruduk DPR berkaitan dengan RUU HIP dan RUU Omnibus Law, masyarakat agak apatis. Yang bener aja bro? Paling-paling juga berapa jumlahnya. Begitu kira-kira keraguan masyarakat. Selain tidak kompak, juga pesertanya sedikit. Juga cepat sekali kendor. Bisa juga karena kemasukan angin Itu bisa dilihat dari sisi jumlah yang demo selama ini, sehingga perlu bantuan anak-anak STM. Demonya berhenti sebelum tuntutan dipenuhi. Layu sebelum berkembang. Memble! Jika demo zaman dulu, jika ada mahasiswa dianiaya dan mati, maka urusannya menjadi panjang. Perubahan punya harapan lagi. Sekarang ini, beberapa orang mati, termasuk mahasiswa saat berdemo. Namun mahasiswa yang hidup bersikap sepertinya biasa-biasa saja. Seperti tidak ada kematian Demo berhenti dan kematian para korban seolah-olah dilupakan begitu saja. Mungkin juga karena sudah diganti dengan santunan, atau dapat hadiah sepeda. Kasihan nasib orang-orang yang mati itu. Doaku, semoga perjuangan kalian tak sia-sia. Dan kalian sudah bersama bidadari di sana (syurga). Meskipun begitu, bangsa ini harus tetap optimis. Berikan kesempatan kepada siapapun, termasuk mahasiswa untuk berjuang. Selama tidak destruktif, berjalan sesuai dengan aturan hukum, rakyat akan selalu mendukung. Semoga kali ini, endingnya gak mengecewakan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa