NASIONAL

Jokowi dan Megawati Dendam Ideologis Terhadap Katolik

by Natalius Pigai Jakarta FNN – Ahad (05/07). Pada 21 Februari 1957, Sukarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Sukarno melontarkan gagasan yang kemudian dikenal dengan nama “empat kaki”. Terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Cikal Bakal Nasakom. Namun Masyumi dan Partai Katolik dengan tegas menyatakan penolakan terhadap gagasan “empat kaki” Soekarno. Sukarno ketika itu tersingung berat. I.J Kasimo sebagai Ketua Partai Katolik dengan tegas mengayatakan mundur. I.J Kasimo adalah salah satu motor utama menjatuhkan Sukarno. Akibatnya, tahun 1965 di Floress, ribuan pengikut komunis dibantai. Gereja Katolik seolah-olah diam membiarkan pembantian terhadap pengikut PKI oleh para algojo di Floress. Tidaklah mengherankan, bila tidak ada tempat bagi orang Katolik di eranya Jokowi dan PDIP sekarang. Jika mereka adalah pengikut Tri Sila, Eka Sila, dan anti terhadap individualism, karena itu adalah filosofi dasar dari faham komunis. Mungkin saja karena mereka dendam. Tahun 1991 L.B Mardani yang beragama Katolik menjaga Ibu Megawati di tengah tekanan Orde Baru yang sangat kuat dan keras. Tahun 1998 L.B Mardani juga berada dibalik kejatuhan Suharto. Ibu Megawati menjadi Presiden tahun 2001. Yacob Nuwa Wea ketika itu bisa menjadi menteri karena main keras. Yacob menggerakan buruh untuk menekan Ibu Megawati. Pada tahun 2014 PDIP berkuasa. Orang Katolik tidak dipakai. Andaikan Jonan bisa menjadi Menteri Perhubungan, karena diduga Jonan didukung asing (pengusaha yang berbasis di Singapura). Selain itu, tuntutan dari rakyat yang kuat karena Jonan dinilai sukses membenahi moda transportasi Kereta Api Indonesia (KAI). Pada tahun 2019, Jhoni Plate menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Keberadaan Jhoni Plate di kabinet bukan karena wakil dari Katolik. Namun karena diusulkan oleh Surya Paloh sebagai wakil dari Partai Nasdem. Hari ini orang-orang NTT disingkirkan semua dari Pengurus DPP PDIP. Sama sekali tidak ada satu orangpun masuk di struktur inti partai. Keberadaan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP hanya sebagai simbol tipu-tipu muslihat PDIP. Dipastikan Jokowi dan Megawati tidak akan memberikan Hasto menduduki jabatan menteri. Andre Parera untuk menjadi Dubes saja sulitnya bukan kepalang. Padahal dulu Andre Parera adalah Ketua Departemen Luar Negeri PDIP sebagai partai penguasa. Hari ini, ada sekitar 2.200 jabatan yang bisa ditunjuk dengan tangannya Jokowi. Namun orang Katolik kurang lebih hanya dua atau tiga orang saja yang menjadi komisaris di BUMN. Itupun karena usaha dan kerja keras mereka. Kemampuan dan profesionalisme yang dipunyai mereka. Tokoh Katolik yang hebat hari ini adalah Frans Leburaya, Mantan Gubernur NTT dua periode. Frans sekarang mengangur. Diabaikan begitu saja di struktur PDIP. Untuk jabatan Menteri atau Dubes juga sulit. Begitu juga dengan Cornelius, mantan Gubernur Kalbar. Jika tidak terpilih menjadi anggota DPR RI, Cornelius sudah yakin bakal diacuhkan. Sepertinya Katolik bagi PDIP, Megawati dan Jokowi ada persoalan prinsipil masa lalu yang mengganjal . Mungkinkah itu soal “ideologi”? Orang Katolik dan minoritas, sebaiknya jangan selalu girang dan Gede Rasa (GR) karena PDIP mendukung Kepala Daerah atau anggota legislatif yang berasal dari Katolik. Karena untuk partai politik, langkah itu sebagai hal biasa untuk mencari dukungan massa (vote getters). Lihat saja ukuranya itu adalah berapa jabatan yang diakasih melalui penunjukkan. Catatan ini bukan soal jabatan, tetapi persoalan ideologis. Ini soal prinsip dasar bernegara Pancasila dan ideologi yang dijiwai oleh spirit sosialisme, leninisme, komunisme dan marxisme, Eka Sila, Tri Sila. Juga anti individualisme atau anti penghargaan terhadap kreatifitas manusia. Kesimpulannya sepanjang PDIP, Jokowi, Megawati masih memilih visi, misi Sosio demokrasi, Ketuhanan yang Berkebudayaan, mungkin “Gujarat” (sansekerta) hinduisme Jawa, Tri Sila, Eka Sila dan Mematikan Individualisme (membunuh kreatifitas individu). Maka jangan pernah bermimpi PDIP menjadi rumah bagi Katolik dan kaum minoritas. Penulis adalah Aktivis (PMKRI) Kelompok Cipayung, Aktif di Pergerakan dan Diskusi di PRD 1997-1999.

Umat Islam Jangan Terjebak Dengan Isu Reshuffle

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (05/07). Dari adegan marah-marah di rapat dengan para menteri, dengan ujungnya adalah ancaman reshuffle. Maka ceritra menjadi berlanjut. Reshuffle dimainkan menjadi isu baru untuk mengalihkan pehatian umat Islam dari masalah vital dan serius Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rapat yang sudah dilaksanakan tanggal 18 Juni 2020 itu sengaja dimunculkan lagi satu minggu kemudian. Maka mulia muncul isu reshuffle. Mulai dari susunan nama-nama hoaks di medsos soal si anu menjadi menteri, si anu akan dicopot. Masyarakat dicoba dibuat "tertarik" untuk urusan ganti-ganti menteri, agar ada mainan baru yang bisa menggeser RUU HIP. RUU HIP ini dapat membuat keguncangan politik yang keras. Rakyat kemungkinan akan berhadap-hadapan secara nyata. Satu kelompok menolak dengan keras RUU HIP. Kelompok ini pendukung Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945, yang dimotori oleh umat Islam. Imamnya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU, Muhammadiyah dan dua ratus lebih ormas Islam. Kelompok lainnya, yang disebut Ustadz Edy Mulyadi, wartawan senior FNN.co.id yang juga Sekjen GNPF Ulama adalah “Gerombolan Trisila dan Ekasila”. Kelompok ini pendukung setia Pancasila 1 Juni 1945. Gerombolan Trisila dan Ekasila didukung penuh oleh PDIP sebagai partai pengusul utama RUU HIP. Tentu saja PDIP partai pemenang Pemilu sekaligus menjadi partai Pemerintah menjadi sorotan. Komandan koalisi partai pendukung Presiden ini dibongkar bongkar "borok-boroknya”. Tidak tanggung-tanggung yang dibuka. Soal neo PKI dan Komunisme. Hanya gara-gara ngotot menolak Tap MPRS XXV tahun 1966 dan keberanian memuat pasal Trisila dan Ekasila pada RUU HIP. Gelombang aksi belum reda. Bahkan cenderung bereskalasi ke seluruh daerah di Indonesia. Rakyat, khusunya umat Islam tidak tertarik dengan "penundaan" atau ganti nama jadi “RUU PIP atau RUU BIP” atau apapun namanya. Seruan masih tetap saja sama. Hentikan atau cabut. Tidak berlaku ganti nama Pemerintah dan beberapa Fraksi DPR terlihat masih mencoba bermain-main dengan rakyat, khususnya umat Islam. Tidak mau dicabutnya RUU HIP dari Prolegnas. Padahal sudah sepakat untuk mencabut 16 pasal dai RUU HIP. Ini membuktikan masih bermain-mainnya pihak-pihak yang berkepentingan. Reshuffle hanyalah "olah geser" perhatian rakyat, khususnya umat Islam. Istana mulai mencoba ikut meramaikan. Entah siapa yang mulai melontarkan, seolah-olah manusia super kontroversial Ahok nanti menjadi Menteri BUMN. Ahok diisukan akan menggantikan Erick Thohir. Soal Ahok akan menggantikan Erick ini pun bagian dari olahan pengalihan isu saja. Agar publik, khususnya umat Islam masuk ke dalam ruang pro kontra soal Ahok sebagai si penista agama. Jabatan lain seolah-oleh ditawarkan juga ke berbagai kader partai. Mainan dagang sapi menjelang Iedul Adha. Jika rakyat, khususnya umat Islam tetap fokus pada pembelaan terhadap ideology Pancasila 18 Agustus 1945, maka isu reshuffle akan hilang dengan sendirinya. Realitanya reshuffle kabinet tersebut bukan masalah yang penting sekarang ini. Mau reshuffle atau tidak sama saja. Begitu juga dengan isu tentang Ahok. Mau si mulut penista agama ini masuk atau tidak sebagai menteri, juga tidak ada pengaruhnya. Malah lebih bagus kalau Ahok masuk sebagai menteri. Sebab masalah utama bangsa bukan pada Ahok. Ada empat masalah utama bangsa hari ini. Pertama, kebangkrutan ekonomi nasional. Kebangkrutan ini sudah terjadi jauh sebelum datangnya pendemi covid 19. Kedua, penjajahan oleh asing dan aseng, khususnya China komunis. Ketiga, adanya rongrongan terhadap keberadaan dan eksistensi ideologi Pancasila konsesnus 18 Agustus 1945. Rongrongan itu dating dari gerombolan Trisila dan Ekasila, yang menjadi pendukung setia Pancasila 1 Juni 1945. Keempat, masalah pada Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. “Jokowi tidak mampu menempatkan dirinya sebagai Presiden yang patuh dan taat kepada panduan-panduan bernegara yang tertera dan tersaji dengan sangat jelas di konstitusi UUD 1945, kata Ahli Hukm Tata Negara Dr. Margarito Kamis, “Mengurus Republik, Presiden Dilarang Ngawur (FNN.co.id, Kamis 02/07/2020) Khusus soal Ahok tidak perlu untuk diributkan. Biarkan saja Ahok ikut dalam barisan Kabinet hasil reshuffle nanti. Mau urus Kementerian BUMN atau Menteri tanpa urusan pun tidak apa-apa. Kehadirannya justru akan menjadi "boomerang" bagi Pemerintah Jokowi nantinya. Toh sudah terbukti ketika jadi Komisaris Utama Pertamina. Ahok tidak becus juga mendongkrak Pertamina. Malah mesti diusut penyelewengan dana yang ada di Pertamina selama "seumur jagung" dirinya menjabat. Pertamina sekarang malah jadi tukang peras rakyat sebesar Rp. 7 triliun lebih setiap bulan dari penjualan BBM di dalam negeri. Lebih parah dari penjajah VOC Balanda. Isu reshuffle pun menjadi cermin dari keputusasaan Jokowi sendiri "tidak ada progress" serunya. Bukti akan ketidakmampuan menjadi dirigen yang memacu semangat kerja tim dalam orkestra. Marah-marah tentu bukan solusi. Orang bisa membaca bahwa kapal akan segera karam. Makanya nakhoda sedang panik. Rakyat tidak perlu terjebak dengan isu reshuffle. Tetap saja fokus pada bagaimana menyelamatkan ideologi Pancasila dari penggerogotan atau pembusukan kelompok yang bertarget pada penggantian. Lalu berjuang keras agar Indonesia tidak terjajah oleh negara China komunis yang mencoba menanamkan kuku melalui investasi dan hutang luar negeri. Jikapun terpaksa harus ikut berfikir soal reshuffle, maka ditimbang dalam-dalam tentang efektivitas dan efisiensi. Apalagi yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi dan politik ini. Apakah perlu untuk reshuffle Menteri atau reshuffle Presiden ? Bila pilihannya adalah "reshuffle" Presiden, kenapa tidak? Toh konstitusi bernera kita UUD 1945 mengatur pilihan atas kedua-duanya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

RUU HIP Untuk Kontemplasi 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Baik penentang dan pengusul RUU HIP teriak : Pancasila Dasar Negara, Pancasila Ideologi Negara, Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara, Pancasila Alat Pemersatu, dan lain-lain. Kalau sudah paham Pancasila, lalu mau ngapain?” (Group WhatsApp). Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Kesadaran rakyat tentang Pancasila di atas, pada hakikatnya karena adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Himpunan Ideologi Pancasila (HIP). RUU ini digugat oleh rakyat. Besok, Minggu 5 Juli 2020, genap 61 tahun Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Peristiwa Dekrit Presiden ini momentum untuk rakyat berkontemplasi. Apakah Pancasila sekarang sudah dijadikan norma fundamental untuk bernegara? Lalu apa kata para tokoh? Persatuan Bangsa Terbelah Pertama, Prof. Dr. Effendi Ghazali. “Bangsa ini terbelah gara-gara Presidential Threshold (PT)”. Pendapat ini digunakan sebagai alasan permohonan uji materiil UU No.17/2017 Tentang Pemilu. Namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan ini juga terasa aneh. Bagaimana mungkin ambang batas dari Pemilu sebelumnya 2014, digunakan sebagai dasar pelaksanaan Pilpres 2019? Kedua, “tidak mau bangsa terpecah lagi”. Prof. Dr. Jimly Assiddiqie mendukung Presidential Threshold ditiadakan” (12/6/2020). Artinya, Jimly sejalan dengan gugatan Effendi Gazali. Penyebab lainnya, karena liberalisme politik yang memaksa Presiden ke bawah bersikap pragmatis, jangka pendek dan transaksional. Budaya feodal, sikap Asal Bapak Senang (ABS) dan medsos tidak terkendali, lanjut Jimly Assiddiqie. (WhatsApp, 23/6/2020). Semua itu terkait dengan hasil amandemen UUD 1945. Tanpa maksud apa-apa, untuk membedakan dengan UUD 1945 asli. Hasil amandemen dalam artikel ini, kita sebut UUD 2002. Lalu bagaimana hubungan Dasar Negara dengan Undang-Undang Dasar dan pendapat tentang UUD 2002? Dasar Negara dan UUD 2002 Pertama, teori Hans Nawiasky, “die theorie vom stufenordung der rehtsnormen”. Bahwa Dasar Negara posisi teratas. Sebagai norma fundamental negara atau “Staatsfundamentalnorm”. Sedang Undang-undang Dasar atau Aturan Pokok Negara merupakan “Staatsgrundgesetz”. Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara di Pembukaan UUD 1945. Pendiri negara secara cerdas telah mentransformasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sehingga isi Batang Tubuh koheren dengan Pembukaan. Pembukaan dan isi Batang Tubuh diberi penjelasan di bagian ‘Penjelasan’ UUD 1945. Kedua, Prof. Dr. Kaelan berpendapat, beberapa pasal dalam UUD 2002, tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila. Perubahan hampir 90 % tidak tepat disebut amandemen. Amandemen seharusnya hanya beberapa pasal dengan memberikan adendum pada Undang-Undang Dasar aslinya. Konstitusi kita saat ini, hakikatnya telah mengganti UUD 1945. Dengan demikian, itu berarti telah membubarkan Negara Proklamasi 17/8/1945. Sehingga tidak tepat jika disebut UUD 1945. Karena tidak lagi memiliki korelasi dengan Proklamasi, lanjut Prof. Kaelan. Ketiga, tahun 2002, MPR RI membentuk Komisi Konstitusi. Tugas komisi ini untuk mengkaji hasil amandemen. Prof. Dr. Dahlan Thaib menulis, “Nasib Kerja Komisi Konstitusi tentang Amandemen UUD 1945” dengan ringkasan antara lain : Pengaturan sistem Presidential, prinsip kedaulatan rakyat, konsep negara hukum dan “check and balance” tidak diterapkan secara konsisten. Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas. Rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik. Keempat, keprihatinan dan usulan para tokoh, terkait UUD 2002, terhimpun dalam beberapa buku, yaitu (1) “Bangkit, Bersatu, Bergerak, Berubah atau Punah” (2) “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” (3) “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Disertai Adendum” (4) “Pancasila Jati Diri Bangsa” (5) “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945”. Analisis dan Rekomendasi Pilpres langsung melahirkan liberalisasi politik, akibat dari demokrasi liberal. Siapa kuat, siapa berduit, menang. Kenyataan ini bertentangan dengan Pancasila. Penikmat Pilpres langsung bilang, inilah kedaulatan rakyat yang benar. Benarkah? Tidak juga. Itu hanya demokrasi semu. Hanya kulitnya, sesaat saja. Hanya lima menit di bilik coblosan. Selanjutnya, kedaulatan milik rakyat musnah. Kedaulatan beralih milik Ketua Parpol dan pemilik modal. Bagaimana tidak, dia bisa mencopot wakil rakyat tanpa tanya kepada pemilihnya. Demokrasi liberal diramaikan oleh buzzer politik, guna memenangkan jagonya. Medsos sebagai wahana melahirkan adu domba, fitnah, ujaran kebencian, hujatan, dan kebohongan. Dampak buruk pemilihan langsung tidak hanya itu. Prof. Mahfud MD mengatakan, “sekarang KKN lebih banyak dari zaman pak Harto. Zaman reformasi itu lebih parah….” (ILC TV One). Sejumlah pengamat juga ikut membenarkan Mahfud MD yang menyebut, Pilkada saat ini seperti peternakan koruptor, (Harian Terbit, 20/4/2018). Jika konstitusi UUD 2002 memiliki berbagai kelemahan. Juga berdampak buruk dalam bernegara. Apalagi beberapa pasal bertentangan dengan Norma Fundamental Negara, maka tepatlah kita melakukan kontemplasi. Apakah UUD 2002 sudah sesuai dengan jiwa Pancasila? Jika Batang Tubuh UUD 2002 tidak koheren dengan Pancasila, tidaklah salah jika kita “Kembali ke UUD 1945”? Prinsip mengatasi ketersesatan di jalan adalah dengan kembali ke titik awal. Jangan lanjutkan berjalan dari posisi yang salah. Akibatnya akan akan lebih tersesat lagi. Jangan berkilah kita tidak bisa memutar balik arah jarum jam ke belakang. Siapa bilang? Kita punya banyak pengalaman. Dari UUD 1945, kita pernah berganti ke UUD RIS. Setelah itu kita berganti lagi ke UUDS ’50. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kita kembali lagi ke UUD 1945. Jangan bilang, kalau kembali lagi ke UUD 1945, akan menghidupkan lagi Dwi Fungsi ABRI. Tidaklah mungkin itu bisa terjadi lagi. Mengapa tidak terjadi lagi? Karena UUD 1945 tidak pernah dan tidak ada satu katapun yang berbicara tentang Dwi Fungsi ABRI. Takut Presiden bisa dipilih terus menerus? Kita sempurnakan dengan adendum pembatasaan masa jabatan Presiden. Takut kalau Polisi kembali digabung dengan TNI? Gampang, sempurnakan dengan memberikan tugas yang jelas dengan adendum. Adendum itu diijinkan, karena hakikat pasal 37 UUD 1945 memang untuk perubahan yang bersifat teknis saja. (Mr. Soepomo dalam Sidang BPUPKI). Melalui pemahaman posisi dan peran Pancasila, mari kita gunakan untuk mengkaji, apakah pasal-pasal dalam UUD 2002 sudah menjiwai Pancasila? Walaupun Dekrit Presiden 1959 sudah 61 tahun yang lalu, kiranya nafas dan tekad untuk kembali ke cita-cita Proklamasi waktu itu, masih relevan untuk saat ini. Tidak perlu mengakui salah. Amandemen yang lebih 20 tahun yang lalu, sudah kadaluarsa. Kita cukup menyadari bahwa saat ini kita sudah jauh tersesat. Jauh dari cita-cita proklamasi. Demi bangsa dan Negara, harus berani bertindak “Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum”. Amin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Dari New Normal ke New Indonesia

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (03/07). Pandemi covid-19 belum berakhir. Sampai kapan? Semua prediksi masih meleset. Semua survei belum ada yang tepat. Sementara, rakyat tak tahan lagi di rumah. Tabungan habis. Next, mau makan apa? Berbondong-bondong mereka keluar rumah. Jalankan aktivitas kembali. Kerja dan cari penghidupan. Di luar rumah, situasinya sudah mulai normal. Tapi, kali ini dengan protokol covid-19. Pakai masker dan sebagian masih mau cuci tangan. Tapi, physical and social distancing tak berlaku lagi. Kerumunan, bahkan joget dangdut bersama sudah dimulai. Nggak peduli yang terinveksi perharinya nambah kisaran 1500 orang. Cuek! Inilah New Normal. Hidup dipaksa untuk normal lagi. Mau tak mau. Faktor ekonomi jadi alasan utama. Soal ini, banyak pakar sudah bicara. Berbagai hasil analisis bertebaran di media. Cukup! Saya hanya merenung, kenapa New Normal tidak didorong untuk melahirkan spirit lahirnya New Indonesia? Apa New Indonesia itu? Keadilan sosial. Tentu saja, harus berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan Trisila dan Ekasila. Bagaimana memulainya? Keadilan sosial bisa diwujudkan jika hukum ditegakkan. Pangkal persoalan bangsa ini adalah masalah penegakkan hukum. Jika hukum bener, inysha Allah Indonesia juga bener. Nasib hukum sangat bergantung pada lembaga dan institusinya yang menegakkan hukum. DPR sebagai lembaga yang punya otoritas untuk membuat produk hukum atau konstitusi. Kalau banyak anggota Dewan titipan taipan, gimana mungkin produk hukum itu bisa bener? Aya aya wae. Saat pileg, para pemodal tabur uang. Kabarnya, ada kelompok korporasi dan taipan tententu yang punya anggota dewan di DPR lebih dari seratus orang. Lebih dari satu fraksi paling besar di DPR. Setara dengan fraksi PDIP yang punya anggota dewan lebih dari seratus orang. Ratusan anggota dewan terima jatah dana miliaran rupiah dari sang pemodal itu untuk membiayai kampanye. Dimulai dari biaya kegiatan survei, beli alat peraga, operasional kampanye, serangan fajar, sampai untuk menyuap petugas pemilu dan Bawaslu. Begitulah sistem kerjanya. Ada yang modal sendiri? Pasti ada. Secara jumlah, boleh jadi tak sebanyak yang pakai modal orang lain. Yang disumbangkan oleh korporasi licik, culas dan tamak. Ini hipotesis. Silahkan kesimpulan ini di-cross ceck benar-salahnya. Mahasiswa bisa jadikan ini sebagai obyek penelitian untuk skripsi, tesis atau disertasi. Wajar jika produk hukum itu seringkali terasa nggak rasional. Mereka itu titipan bro. Dari mana saja? Pemodal, taipan dan korporasi. Gimana nasib rakyat dan bangsa yang mau mereka perjuangkan? Sesekali anggota dewan perlu marah-marah ketika sidang. Biar dianggap mereka pro rakyat. Belum lagi faktor penegak hukum. Hulu sampai hilir suka nggak bebas dari transaksi. Markus namanya. Makelar kasus ada dimana-mana. Sudah jadi lahan bisnis mereka. Sudah dianggap sebagai pendapatan. Bahkan ada juga yang anggap itu reziki. Setiap pasal tentu ada harganya. Kenapa jadi begitu? Para pemodal ko cerdas ya? Bisnis dengan sistem ijon. Cari orang-orang yang berpotensi jadi pejabat di institusi hukum untuk 10-30 tahun ke depan. Beli integritas dan loyalitas mereka. Saat mereka menjabat, semua bisa diatur. Jangan harap anda menang perkara melawan para pemodal. Bisa, tetapi susah. Tidak mudah. Kecuali anda penguasa. Tak hanya parlemen dan lembaga hukum yang bermasalah. Eksekutif juga tak lepas dari masalah. Emang istana bisa bebas dari intervensi para pemodal? Kampanye di pilpres itu besar biayanya bro. Bisa puluhan triliun. Dari mana dana itu? Ya, dari pemodal. Emang gratis? Kagak. Jadi, kalau ada kementerian dijabat oleh seorang pemilik modal, ya jangan kaget. Itu sudah hal biasa saja. Belum lagi kepala daerah. Gubernur, bupati dan walikota juga butuh modal saat pilkada. Peluang para pemodal terbuka. Kesempatan mereka berternak uang di dunia politik. Hasilnya berlimpah. Jauh lebih besar dan lebih cepat dari bisnis biasa. Gak perlu kaget kalau ada hasil penelitian bahwa 60 persen kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia didapat melalui akses kekuasaan. Anda pasti tak keberatan untuk mengaminkan kesimpulan ini. Yang unik, banyak profesor dan kaum akademisi mendukung keadaan ini. Bahkan ikut numpang cari makan dengan menduduki suatu jabatan dan posisi. Terasa terhormat. Popularitas naik dan dapat menambah portofolio. Mereka tak sadar, bahwa posisi itu salah satu tugasnya adalah jadi tukang stempel kebobrokan negara. Jadi, New Normal dalam situasi pandemi, itu soal kecil. Tak perlu risau dan banyak dipersoalkan. Justru yang jadi persoalan, dan ini sangat serius adalah bagaimana membangun New Indonesia? Gimana caranya? Perbaiki tiga lembaga di atas. Eksekutif, legislatif dan lembaga hukum. Penyelenggara negara harus dijauhkan dari mafia pemodal jabatan, maka akan ada New Indonesia. Indonesia yang sumberdaya alamnya bisa dinikmati rakyat secara adil karena produk hukumnya dibuat dan ditegakkan untuk melindungi kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pemodal. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Ayo Kita Tes, Trisila-Ekasila Itu Makar atau Bukan?

by Asyari Usman Jakarta FNN – Jum’at (03/07). Sejauh ini, kepolisian masih belum bertindak. Mereka belum turun tangan mengusut dugaan makar terkait keinginan PDIP untuk memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Pihak-pihak yang menentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) berkali-kali mendesak agar Polisi melakukan pengusutan. Baik. Boleh jadi kepolisian tidak bertindak, karena merasa gagasan Trisila-Ekasila itu bukan perbuatan makar. Atau, bisa juga karena terduga pelaku makar “terlalu besar” untuk diurus oleh Pak Polisi. Wallahu a’lam bishawab. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Sekarang, mari kita tes. Sekadar ujicoba untuk memastikan Trisila-Ekasila itu makar atau bukan. Caranya sangat mudah. Dan bisa dilakukan secara terbuka oleh siapa saja. Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Begini. Kita minta salah satau “fraksi kanan” di DPR, apakah itu PKS, PKB, PAN, atau PPP, membuat dan mengajukan RUU untuk mengubah Pancasila. Khususnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebut saja RUU itu berjudul “Solidasi Sila Ketuhanan” (SSK). Singkatnya, RUU SSK. Yang diubah tidak banyak-banyak. Dan tidak ruwet. Yaitu, mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”. Ini diambil dari ayat pertama surah al-Ikhlas: “Qul Hua Allahu Ahad”. Itu saja yang diusulkan untuk diubah. Boleh dikatakan, tidak ada perubahan makna yang berarti dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam RUU SSK ini, partai pengusul (inisiator) tentunya membuat uraian tambahan sebanyak puluhan halaman. Yang menjelaskan perlunya penguatan atau solidasi dasar negara. Jelaskan di dalam RUU SSK bahwa usul mengubah redaksi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa” (KAIME) akan meningkatkan kekuatan batin manusia Indonesia. Jelaskan bahwa KAIME akan menjadi sumber ketakwaan yang sesungguhnya. Sedangkan ketakwaan yang sesungguhnya akan menjadikan manusia Indonesia semakin sadar tentang perlunya kebersamaan. Pemahaman KAIME (Qul Hua Allahu Ahad) dengan baik akan menumbuhkan sifat dan watak sosial yang kuat. Yang akhirnya akan menumbuhkan keadilan sosial yang terbaik di dunia. Pokoknya, siapkan narasi yang penjang-lebar dan mendalam bahwa KAIME bukan gagasan manusia. Melainkan wahyu Tuhan. Kalau Trisila dan Ekasila ‘kan cuma pikiran manusia. Sebutlah pikiran Bung Karno. Sedangkan “Qual Hua Allahu Ahad” adalah firman Yang Maha Agung. Siapkan RUU SSK dengan 40 pasal, misalnya. Ajukan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Kemudian diusulkan pula pembentukan panitia kerja (panja) yang diketuai oleh salah seorang anggota DPR dari parpol pengusul. Setelah itu kita lihat ada atau tidak orang yang akan meneriakkan makar terhadap RUU SSK. Kalau ada yang mengatakan usul pengubahan KMYE menjadi KAIME sebagai perbuatan makar, berarti memeras Pancasila menjadi Trisila-Ekasila pun adalah perbuatan makar. Sebaliknya, kalau KAIME tidak diteriakkan sebagai perbuatan makar, berarti Trisila-Ekasila bukan rencana makar terhadap dasar negara. Dan dengan demikian RUU SSK dengan usul KAIME-nya bisa dilanjutkan juga. Persoalannya, apakah orang akan senyap saja kalau Ketuhanan Yang Maha Esa diubah menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”? Kelihatannya tak mungkin itu bisa terjadi. Jadi, silakan salah satu parpol menyusun RUU SSK yang mengandung usul pengubahan KYME menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”. Apakah itu makar atau bukan? Penulis adalah Wartawan Senior

Pejabat Negara Yang Senang Dengan Lebay

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (02/07). Lebay asal makna lebih, adjektif menjadi berlebihan. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dicari sampai botak pun tidak akan ditemukan. Lebay adalah bahasa gaul. Suatu keadaan yang dibuat-buat oleh pelaku yang semestinya biasa saja. Contoh "dijitak" kepalanya dibilang "dipukul hingga lebam". Lebay dalam bahasa Inggrisnya disebut "over reacting". Negara lebay, tak lain adalah negara dimana para pemimpin atau penyelenggara negara melakukan tindakan yang berlebihan. Publik melihat tidak tersebut "over acting" atau "over reacting". Sesuatu yang sebetulnya tak perlu "begitu-begitu amat". Pemimpin negara yang bertingkah berlebihan itu, menandakan kalau ada kelemahan pada yang bersangkutan. Adanya kelemahan yang mesti ditutupi, atau mungkin cari perhatian yang "aneh-aneh" untuk meningkatkan popularitas diri. Pemimpin yang seperti ini biasanya ada mereka yang miskin narasi, miskin literasi dan miskin diksi. Kasus Walikota Surabaya yang gemar dengan"acting". Menyapu di jalan atau menyemprot desinfektan adalah contoh yang lebay. Lebih lebay kasus sujud Risma di depan dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Risma memosisikan diri sebagai "Lebay Mayor". Walikota yang lebay. Marah-marahnya pun menjadi "trade mark". Lebih awal "acting" Gubernur DKI Basuki atau Ahok. Dia yang marah-marah di depan ibu ibu dengan menunjuk-nunjuknya adalah mbahnya lebay pula. Soal komentar Ahok dalam hubungan dengan Puput pun warganet menyebutnya lebay. Ahok adalah "Lebay Governor". Kini sang mantan terpidana penista agama ini menjadi Komut Pertamina. Lebih lebay lagi. Lebay yang paling terakhir adalah adegan marah-marah Pak Jokowi pada sidang kabinet tertutup 18 Juni 2020. Video sidang itu dipublikasikan oleh Setneg tanggal 28 Juni 2020. Sepuluh hari setelah sidang cabinet. Tujuannya, agar seluruh rakyat Indonesia mengetahui bahwa Presiden Jokowi itu tegas dan bisa memarahi menteri-menteri. Adegan inipun dibaca publik sebagai lebay yang berlebihan. Soal marah-marah ini menjadi pertanyaan, apakah itu sebenarnya atau disain? Lalu jika sebenarnya pantaskah dilakukan oleh seorang Presiden ? Akhirnya seperti Risma dan Ahok, Jokowi bisa digelari dengan "Lebay President". Tentu bukan hanya tiga petinggi tersebut saja yang bersikap lebay. Megawati yang mengajar salam Pancasila, yang ditindaklanjuti oleh Yudian Wahyudi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) termasuk yang mengada-ada, alias alias lebay juga. Apalagi Mahfud MD yang mengatakan mudik dan tarawih berjamaah bisa dipidana. Mahfud rupanya suka dengan lebay. PDIP yang menggerakkan kader seluruh Indonesia melapor-lapor ke Polres Polres soal pembakaran bendera adalah lebay. Begitu juga dengan RUU HIP, yang dicoba diganti RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila), ya sangat lebay lagi. Rakyat meminta untuk dihentikan pembahasannya. Bukan malah "dilebay-lebaykan”. Bukan juga dengan mengganti nama dari RUU. Harun Masiku dihilangkan. Ini malah moyangnya lebay. Penyiram air keras ke Novel cuma dituntut satu tahun, karena dianggap "tak sengaja" lebay. Ketua KPK Firli Bahuri yang naik helikopter mewah pulang ke kampung halamannya, ya lebay bangat. Sepeda mau dipajakin, sementara yang mewah bebas dari pajak. Itu pasti lebay. Pimpinandari komplotan lebay itu adalah arahan Presiden agar menjual murah lahan negara untuk investor asing. Terlalu banyak lebay-lebay yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mungkin menjadi layak, jika negara kita saat ini disebut sebagai negara lebay (lebay state). Sungguh menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mengurus Republik, Presiden Dilarang Ngawur

by Dr. Margarito Kamis SH. M. Hum. Diantara mereka yang layak diagungkan karena telah membangun konstitusi-konstitusi semacam itu adalah Lycurgus, yang mengorganisasikan hukum-hukumnya di Sparta dengan sebuah cara yang menempatkan raja, aristocrat dan masyarakat dalam peran yang saling terkait, menciptakan sebuah negara yang dapat bertahan lebih dari delapan ratus tahun, membuat dia dipui selamanya (Niccolo Machiavelli). Jakarta FNN – Kamis (02/07). Pemerintahan yang bertanggung jawab, merupakan impian etis republik. Jenis pemerintahan ini tidak pernah terdefenisikan semata-mata dalam konstitusi. Pemerintahan bertanggung jawab, sebagian besar merupakan tampilan pemahaman pemimpin tentang tanggung jawab dirinya mewujudkan impian besar republik itu. Mengenal diri, mengenal masalah, merancang bimbingan bijak, menyajikan pengarahan yang energik, menentukan arah, strategi, cara dan alat untuk merealisasikan impian. Muncul di sepanjang rute sejarah sebagai penentu keberhasilan republik. Inilah pekerjaan pemimpin negara. Pemimpinlah yang menjadi rujukan sejarah sebagai penentu keberhasilan republik. Ya kesuksesan republik berutang penuh pada pemimpin. Bukan yang lain, siapapun mereka. Tidak boleh ngawur mendefenisikan tanggung jawab dan penggunaan wewenang. Karena itulah kuncinya. Presiden Poros Pemerintahan Presiden itu bukan menteri. Yang UUD 1945 tunjuk sebagai penentu arah pemerintahan negara. Presiden juga bukan menteri, yang menurut UUD 1945, memberi isi dan bobot terhadap pejalanan republik mencapai tujuan bernegara. Presidenlah yang UUD 1945 beri tanggung jawab dan wewenang mendefenisikan arah, strategi, cara dan alat, yang dibutuhkan untuk gerak maju republik. Presiden, dalam konteks itu ditampilkan sebagai pengendali utama kemudi republik ini. Bukan yang lain. Ingat itu baik-baik. Presiden dituntut untuk terus-menerus merancang arah, strategi, memilih cara yang tepat, dalam mengemudikan pemerintahan. Terus-menerus mendefenisikan setiap keadaan yang dibebankan kepada presiden. Bukan yang lain. Semuanya kompleks. Namun sangat jelas tugas dan wewenang itu. Kompleksitas itu meminta Presiden untuk cukup cerdas. Dalam arti dilarang ngawur. Untuk mengurus Negara, Presiden tidak boleh ngawur. Presiden harus tahu lebih dari para pembantunya, cara mendemonstrasikan tanggung jawab dan wewenang itu. Tanggung jawab tidak sama dengan wewenang. Begitu yang digariskan oleh ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara. Dilihat dari sudut ilmu Hukum Tata Negara, keduanya berbeda dalam sifat dan substansinya. Tanggung jawab (responsibility) mengarahkan wewenang (authority). Tanpa tanggung jawab, authority akan menjelma menjadi mesin penindas. Tanggung jawablah yang memberi isi, yang mengarahkan wewenang, bukan sebaliknya. Tanggung jawab tidak pernah berpijak semata-mata pada hukum. Tanggung jawab selalu merupakan kombinasi harmonis antara timbangan-timbangan non hukum dan hukum. Kewenangan, sama pada level tertentu dengan tanggung jawab. Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, sepenuhnya didefenisikan dalam hukum. Tidak diluar itu. Tetapi justru disitulah masalah terbesarnya. Jika ngawur dalam mendefenisikan tanggung jawab, dapat berakibat pada ngawur juga dalam menggunakan wewenang itu. Kewenangan yang digunakan secara ngawur, bukan hanya mengurangi rasa hormat, tetapi lebih dari itu. Bukan saja kebencian dan ketakutan yang didapat, tetapi sebagaimana diperlihatkan Orde Lama dan Orde Baru, mengakibatkan republik menjauh dari impian etisnya. Pernyatan bernuansa marah terhadap penyerapan anggaran di bidang kesehatan, itu menarik. Kenyataan-kenyataan terverifikasi yang disodorkan Saleh Daulay, anggota DPR dan Sri Mulyani, Menkeu mengenai anggaran itu, justru berbalik menggoyahkan validitas basis pernyataan Presiden. Apa betul, tanya Saleh Daulay, serapan anggaran di Kementerian Kesehatan untuk penanganan Covid hanya sebesar 1, 53 %? Bila betul, lalu mau dikatakan apa keterangan Menteri Kesehatan di DPR, yang menurut Saleh Daulay, Wakil Ketua Fraksi PAN, serapan dana oleh Kemenkes bukan sebesar 1,53 % sebagaimana disebutkan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, dari data yang ada, anggaran Kementerian Kesehatan awalnya adalah sebesar Rp. 57,3 triliun. Setelah penyesuaian dan tambahan anggaran untuk peserta BPJS JKN, naik menjadi Rp 76,5 triliun. “Dalam paparan yang disampaikan kepada kami, kata Saleh, serapan anggaran Kemenkes per 18 Juni 2020 sudah mencapai 47,49 persen. Saleh menyatakan lebih jauh, Kemenkes juga mendapatkan alokasi anggaran untuk penanggulangan covid-19. Dari tambahan anggaran yang disebut sebesar Rp. 75 triliun, sampai sejauh ini yang disetujui oleh kementerian keuangan hanya Rp 25,7 triliun. Dengan demikian, alokasi akhir anggaran Kemenkes adalah Rp 102,2 triliun. Dari alokasi anggaran sebesar Rp. 25,7 triliun tersebut, yang terealisasi baru sebesar Rp. 345 miliar. Sisanya, masih dalam proses revisi DIPA. Bahkan ada yang masih proses pembahasan. Pada titik inilah Saleh Daulay mengajukan pandangan yang saya nilai sangat logis. Saleh lebih jauh menyatakan, kalau masih proses revisi DIPA, lalu apakah kesalahannya ada pada kementerian kesehatan? Saleh berpendapat, dan saya menyetujui pendapatnya, perlu diklarifikasi agar tidak simpang siur (RMol, 30/6/2020). Keliru atau ngawurkah Presiden dalam soal ini? Persis Presiden yang tidak menyebut nama, Menteri Keuangan Sri Mulyani, juga tak menyebut nama. Tetapi kalimatnya menarik. Katanya “jadi dalam hal ini ada yang berpersepsi bahwa anggaran kesehatan baru cair sedikit, seolah-olah itu hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan”. Ibu Menteri ini tegas menyatakan, sebenarnya tidak juga. Pernyataan korektif ini disampaikan Menkeu dalam jumpa pers virtual yang digelar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional, Selasa (30/6). Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,20 triliun. Tempat pelaksanaan jumpa pers ini, tepat. Mengapa? Anggaran kesehatan itu menurut Ibu Menteri, juga digunakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional dan Daerah (Lihat suara nasional, 30/6/2020). Tepat, sebab tanpa koreksi dari Menkeu ini. Tanpa koreksi ini, Gugus Tugas yang sejauh ini terlihat habis-habisan bekerja membimbing masyarakat, dan menantang bahaya sergapan Corona, bisa terluka oleh pernyataan Presiden itu. Marah karena minimnya serapan anggaran, jelas logis. Tetapi tidak menunjuk batang hidung. Dasar yang jelas, tidak pernah bisa dibilang pantas, apalagi bijak. Meremehkan pembantu dengan cara seangkuh itu, justru mengundang cemohan merendahkan. Keangkuhan tak pernah menghasilkan kehormatan dan kemuliaan. Kehormatan, boleh jadi akan datang menyapa melalui jalan penghentian pelebaran defisit anggaran yang telah menembus angka Rp. 1.028,5 triliun. Menghentikan defisit gila-gilaan ini, sama dengan menyelamatkan kehormatan republik tercinta ini dari cengkeraman utang rentenir Internasional. Defisit ditutup dengan utang, utang dan utang. Padahal utang pemerintah menurut ini Anthony Budiawan telah mencapai Rp. 5,172, 48 trilyun (Lihat Kedaipena.com, 30/6/2020). Terus-terusankah republik ini mengagungkan politik defisit dan hutang tersebut? Presiden cukup layak memanggil kehormatan dan kemuliaan untuk dirinya sendiri. Caranya, melalui perubahan postur politik defisit dan utang ini. Suka atau tidak, UUD 1945 memberi tanggung jawab dan kewenangan menentukan politik anggaran pada presiden. Bukan pada menteri. Ada konsekuensi? Jelas ada. Bank Dunia dan IMF akan mencibir. Hanya segitu. Bisa Dipenjarakan Dalam kenyataannya, republik ini memang tidak memperkirakan semua cara kotor bakal tenggelam bersamaan dengan eksisnya republic. Sejarah telah begitu terang menunjukan republik-repuiblik lain mengalami patahan, hanya oleh satu sebab. Sebabnya itu adalah penguasa tidak tertib dalam membaca perintah etis republik yang dinyatakan terulis di dalam konstitusi. Sejarah cukup terang menunjukan, kalau hukum penguasa terlalu sering mengenal hukum hanya hanya dari kulitnya saja. Hukum digunakan melampaui fungsi etisnya. Itu membawa akibat hukum dipakai, dalam sejumlah republik terdahulu, termasuk Indonesia pada periode Orde Lama dan Orde Baru, sebagai alat pembenaran dan penyangga ambisi-ambisi tak rasional dari penguasa. Republik lalu menjadi sangat liberalistic. Otoritarian juga fasis, dan hukum selalu menyandang peran krusial. Toh hukum itu bergantung sepenuhnya pada pemegang kekuasaan. Setiap waktu penguasa dapat menggunakan hukum memunggungi misi-misi tersembunyi dari penguasa. Tak selalu sukses menjaga agar hukum bekerja sesuai taklimat etisnya, telah menjadi kelemahan lain dari republik. Hukum mengabdi pada kemauan dan kepentingan segelintir orang. Itu juga yang tersaji pada daftar kelemahan dari republik. Ketakutan terhadap kehilangan kekuasaan, teridentifikasi pada sejumlah republik-republik terdahulu di belahan dunia lain, sebagai rangsangan yang melemahkan republik. Itulah paradoksnya. Mengapa? Datang dengan misi menjinakan setiap ambisi kotor, tetapi pada saat yang sama, republik tak selalu sukses merealisasikan ambisi hebatnya itu. Pada titik inilah, muncul satu kenyataan menarik. Kenyataan itu adalah pernyataan Menkeu Sri Mulyani tentang menteri-menteri memiliki ketakutan terhadap konsekuensi hukum dari sejumlah kebijakan mereka. Ini adalah katakutan yang sangat logis dan manusiawi. Logis juga jalan pikiran Menkeu, yang dengan terang menyatakan akuntabilitas selalu harus ditampilkan pada setiap situasi. Akuntabilitas memang menjadi misi wetis terbesar republik. Setiap waktu, misi ini harus diletakan di atas meja setiap kebijakan. Kontrasnya republik, telah terlalu sering memperlakukan akuntabilitas dalam rasa liberalistic. Dalam rasa ini akuntabilitas diprtalikan semata-mata dengan hukum. Hukum jadinya tidak lebih dari sekadar instrumen pembenaran atas tindakan-tindakan bercitarasa liberalistik. Pantas dan tidak pantas, ditarik dan dipertalikan semata-mata pada citarasa dan ekspektasi liberalistik. Tidak lebih dari itu. Ini sangat berbahaya. Mengapa? Out put tindakan itu, tidak pernah sungguh-sungguh dapat dinikmati oleh semua orang. Patuhi hukum, akhirnya terdefenisikan semata-mata sebagai mematuhi huruf-huruf hukum. Itulah yang liberalisme nyatakan melalui doktrin rule of law yang kering. Yang terus-terusan dikampanyekan World Bank dan multinational corporation. Sama sekali tak salah, tetapi sejarah orang-orang besar adalah sejarah tentang kearifan membangun. Sejarah ini menyediakan mozaik lain. Sejarah mereka tidak pernah jauh dari tertib mempertalikan aspek-aspek formal, ekonomi dan non ekonomi sebagai cara mengagungkan kemanusiaan. Hukum di mata mereka, tidak pernah sama dengan hukum khas liberalisme. Hukum diagungkan dengan pertimbangan-pertimbangan etis. Tujuannya untuk memuliakan semua manusia. Itu sebabnya hukum dijauhkan sejauh mungkin dari kebiasaan liberalistic. Kebiasaan yang menjadikan hukum alat menciptakan keuntungan bagi segelintir orang. Juga menopang pembangunan ekonomi semata. Orang-orang besar itu tahu bahwa republik memuliakan mereka. Bukan karena mereka cerdas mengalihkan dan mengelabui rakyatnya. Tertib berkata dan tertindak, dengan panduan etis hanya demi kesejahteraan seluruh rakyatnya, adalah fundasi republik memberi hormat dan memuliakan mereka. Walau sering gagal, tetapi spirit etis republik mengharuskan Presiden untuk tak takluk pada orang kaya. Siapapun mereka dan apapun kontribusi mereka. Itu karena para perancang republik diberitahu sejarah. Setidaknya menurut Niccolo Machiavelli, orang kaya selalu menjadi masalah direpublik Romawi kuno. Dan saya berpendapat bahaya itu terus terlihat hingga kini. Presiden selalu harus tepat merancang arah, strategi dan cara merealisasikan pesan-pesan etis republik. Itu sebabnya republik menopang Presiden dengan begitu banyak mata dan telinga di sekitarnya. Tujuannya sederhana, Presiden selalu punya data mutakhir yang terkonfirmasi pada saat mempersiapkan kebijakan dan merespon perkembangan. Rancanglah kebijakan dan ambisi itu dengan cara yang tepat. Jangan asal. Dilarang ngawur dalam mengurus Negara. Republik memungkinkan Presiden marah. Lakukanlah itu dengan panduan yang etis ala republik. Dengan panduan etis pula, Menteri, Dirjen, Sekjen dan Direktur harus bekerja dengan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh dalam bingkai kehormatan dan kemuliaan diri dan keluarga mereka. Pembaca FNN yang budiman, menteri harus takut pada presiden, tetapi itu harus sekadarnya saja. Pupuklah energi takut itu hanya pada Allah Subhanahu Wata’ala. Kemuliaan tidak lahir dari jabatan. Kemuliaan adalah buah ketakutan pada sang Khaliq, Maha Pencipta alam semesta ini, yang mengendalikan nafas setiap mahluk. Pak Menteri, Pak Sekjen, Pak Dirjen dan Pak Direktur, taatilah hukum. Itulah yang republik minta dan andalkan dalam mengejar impiannya. Penjara tak pernah enak dalam semua aspeknya. Ingat itu baik-baik. Presiden telah persilahkan aparat hukum menggigit pejabat yang punya niat korupsi. Peringatan ini bagus. Bukan peringatan yang ngawur. Patuhilah baik-baik peringatan itu. Perbesarlah energi taat. Sekali lagi, hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Selain itu, juga patuhi hukum agar tuan-tuan dan nyonya, bahkan anak istri tuan-tuan tidak tertunduk susah, kelak disuatu hari nanti. Lebih baik dimarahi Presiden, daripada melanggar hukum lalu tinggal di dalam penjara. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Meski Jokowi Marah, Demo RUU HIP Tidak Goyah

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (01/06). Tanggal 18 Juni 2020 Jokowi kumpulkan para menterinya. Jokowi marah-marah. Jokowi kecewa terhadap kinerja para menterinya. "Saya jengkelnya disitu. Kenapa nggak punya perasaan... ", kata Jokowi. Tanggal 28 Juni 2020, video kemarahan Jokowi dipublish. Gimana respon publik? Pro-kontra itu pasti. Sebagian menganggap kalai itu hanya acting. Sebuah pencitraan semata. Itu sah-sah saja. Namanya juga orang berpendapat. Nggak ada yang melarang. Apalagi Jokowi selama ini dikenal sebagai presiden yang sangat pandai dan sukses memainkan pencitraan. Tak sedikit yang berpendapat bahwa sikap Jokowi kali ini benar-benar memenuhi unsur kemarahan. Pertama, lihat ekspresi wajahnya. Tegang. Tak seperti biasanya. Kedua, gestur tubuhnya, seperti mau gebrak meja. Ketiga, pilihan kata-katanya. Tak beraturan dan diulang-ulang. Keempat, lihat tekanan suaranya. Nadanya agak tinggi dan naik turun. Kelima, pidatonya singkat, berakhir cepat dan seperti belum tuntas. Ini adalah ciri umumnya orang kalau sedang marah. Seandainya ini acting, berarti ini acting tingkat dewa. Kalau diperhatikan di video itu, cukup memenuhi syarat orang marah. Tapi, kenapa harus dipublish? Kalau menggunakan standar etika, memang kurang pas. Lebih tepat kalau tidak dipublish. Jauh lebih etis lagi, panggil menteri-menteri yang belum bagus kinerjanya, lalu kasih masukan, target dan warning. Tidak saja ini langkah bijak, tapi juga efektif. Tapi, ini bukan soal etis atau tidak etis. Sebagai politisi, sikap yang diambil Jokowi dengan memviralkan video kemarahannya, tentu tak bisa lepas begitu saja dari target politik. Apa itu? Boleh jadi pertama, Jokowi ingin memberi kesan ke publik bahwa negara ini sedang krisis, dan Jokowi sedang kerja keras untuk mengatasi krisis ini. Kedua, krisis ini bukan semata-semata hanya karena presiden. Tetapi juga diakibatkan oleh lambatnya kinerja para menteri, Mereka para menteri yang berkontribusi besar terhadap krisis negara ini. Kalau soal ini, leadership Jokowi dapat kritik dari banyak pihak. Ketiga, pesan kepada mereka yang mengendorse para menteri. Baik itu kepada partai, ormas, lembaga atau perorangan, bahwa menteri-menteri yang kalian rekomendasikan tidak bisa bekerja dengan baik. Karena itu, kalian harus maklum jika terpaksa saya diganti. Kemarahan Jokowi ini, tentu tidak hanya menggusarkan para menteri. Tetapi boleh jadi juga partai pngusung, ormas, lembaga, mungkin para pengusaha juga ikut was was. Jangan-jangan orang yang gue rekomendasikan bakal digusur dari kabinet. Gawat! Kira-kira begitulah. Bukan rahasia umum. Jajaran menteri di awal presiden menjabat akan diisi oleh orang-orang yang dianggap banyak peran dalam pemenangan di pilpres. Baik sebagai timses maupun penyedia logistik. Semacam balas budi. Setelah tiga-enam bulan, paling lama dua tahun, beberapa akan diganti dalam resuffle kabinet. Hanya yang kuat endorsernya yang akan dipertahankan. Siapa mereka? Orang-orang dari partai. Ini untuk memperkuat koalisi di parlemen. Tentu saja mengecualikan menteri keuangan, ekonomi dan luar negeri. Tiga kementerian ini butuh sosok yang betul-betul profesional. Selain menteri sekretaris negara yang biasanya diisi orang yang sangat dekat dengan presiden. Yang lainnya? Bisa dikocok ulang. Suka-suka presiden. Apakah viralnya vedio kemarahan Jokowi tersebut, ada kaitan dengan maraknya demo terhadap RUU HIP? Pengalihan isu maksudnya? Secara politik, tentu tak bisa diingkari. Ingat, RUU HIP itu menyasar Dewan. Sudah mulai mengerucut ke satu fraksi. Bukan ke Jokowi. Walaupun jika situasi nggak kondusif, bisa juga merembet ke Jokowi. Tentu, intelijen kerja. Keadaan sudah bisa diukur. Semua data sudah ada di tangan. Sebagai presiden, Jokowi wait and see. Sambil mengontrol situasi. Tak kalah pentingnya, Jokowi akan memperhatikan bagaimana PDIP sebagai sasaran tembak kasus RUU HIP menghadapi situasi ini. Kalau kewalahan, toh akan minta bantu ke Jokowi. Disini, kredit poin Jokowi bertambah satu lagi di mata PDIP. Terhadap PDIP, Jokowi di atas angin. Setidaknya, ini bisa memperkuat posisioning Jokowi terhadap PDIP. Proses bergaining akan jalan. Apakah video "kemarahan Jokowi" bisa menggeser isu RUU HIP? Sepertinya tidak. Sekalipun nanti akan ada resuffle kabinet. Isu RUU HIP tetap mendominasi berita. Hampir setiap hari umat Islam di daerah turun ke jalan. Mereka demo. Bukan hanya menuntut RUU HIP dibatalkan. Namun juga mengusut para oknum yang berada di balik RUU HIP. Kata "usut" menjadi kunci. Bisa memberi peluang demo berjilid-jilid. Boleh jadi akan sangat panjang. Karena punya sasaran yang tak mudah ditaklukkan. Viralnya video kemarahan Jokowi nampaknya baru pemanasan. Terbuka kemungkinan akan ada isu-isu lain yang lebih dahsyat. Apa itu? Kita lihat nanti. Apakah akan mampu menggeser isu penolakan terhadap RUU HIP. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

RUU HIP Blessing in Disguise

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (01/07). "Blessing in disguise". Terjemahan sederhananya keuntungan tersamar. Sesuatu yang mungkin awalnya dianggap buruk, namun ternyata mengandung kebaikan. Sesuatu yang didapat diluar dugaan atau tidak direncanakan. Datangnya dari dari arah yang tidak disangka-sangka. Bahasa agamanya "min haitsu la yahtasib". Peristiwa politik kinian, khususnya soal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah hikmah di tengah bencana. Ada "blessing in disguise" disana untuk bangsa Indonesia dari "skandal" ini. Paling kurang ada empat hal yang menonjol. Pertama, pesan kepada yang biasa teriak-teriak "saya Pancasila". Ketika Pancasila diganggu dan terancama, ternyata mereka diam saja. Meraka inilah kaum munafikun yang sejatinya. Kedua, umat Islam yang selama ini sudah terbiasa dipojokkan sebagai yang anti Pancasila. Sekarang justru terbukti yang berada paling depan dalam membela Pancasila dari ancaman dan gangguan “gerombolan Trisila dan Ekasila”. Ketiga, umat Islam menjadi bersatu. MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, Al-Irsyad, PUI, Matlaul Anwar, Alwshiliyah dan lainnya satu sikap. Kekuatan umat tergalang dengan sangat baik, dari pusat maupun daerah. Keempat, terkuak platform perjuangan PDIP yang sejatinya. Platform yang dapat melemahkan, atau berpotensial mengubah dan membahayakan Pancasila. Ada Trisila dan Ekasila versi Pancasila 1 Juni 1945. Ini tidak bisa didiamkan terus-menerus begitu saja. Awalnya tentu percaya diri PDIP sebagai pengusul untuk dapat melalui proses tahapan menuju RUU tanpa hambatan. Mayoritas fraksi DPR bisa dilobby. Saat ketuk palu di paripurna yang dinilai cacat hukum pun tidak ada yang memprotes. Semua mulus-mulus saja. Setelah menjadi RUU, barulah menggelombang aksi protes dari masyarakat. Berbagai pernyataan sikap dikeluarkan oleh elemen-elemen masyarakat, terutama umat Islam. Penolakan yang sangat luar biasa dan masif. Isu RUU HIP beraroma PKI dan faham komunisme terus menggema. PDIP kalang kabut menjadi tertuduh, bahkan bisa menjadi tersangka. Pandangan agama "blessing in disguise" adalah kebenaran yang sesuai dengan rencana Allah. Artinya, makar yang direncanakan dan disiapkan manusia, belum tentu terealisasi. Dapat saja berantakan di tengah jalan. "wa makaruu wa makarallah, wallahu khoirul maakiriin" (Mereka punya makar dan Allah punya makar pula. Dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar)--QS Ali Imron, ayat 54. RUU HIP sejak awal adalah makar (rencana) itu. Namun Allah SWT juga tunjukkan akan makar-Nya. Kini terbukti makar Allah sedang berjalan. Kita akan melihat betapa hebatnya Allah membuka kedok makar manusia, gerombolan Trisila dan Ekasila tersebut. Ingat, Allah itu sebaik baik pembuat makar (rencana). "Blessing in disguise" bagi orang yang beriman adalah bukti-bukti. Umat Islam sepanjang berjuang keras di jalan-Nya, maka akan ada banyak menerima "blessing in disguise". Itu pasti dating. Oleh karenanya, pada bidang apapun di samping melakukan langkah kalkulatif mengikuti hukum sebab akibat. Namun mesti mendapatkan dan kejar pula "karunia Allah yang tak terduga" tersebut, melalui sebab perjuangan yang berani dan bersungguh-sungguh. "Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa" (Dan mereka yang bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah, maka pasti Allah akan membukakan jalan-jalan-Nya)--QS Al Ankabuut 69. "Nashrun minallah, wa fathun qariib" (Pertolongan itu dari Allah dan kemenangan pun dekat)---QS AS Shaff 13. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Republik Ini Terus Saja Amburadul

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Selasa (30/06). Republik dirancang untuk merealisasikan banyak harapan. Tetapi semua harapan itu berinduk hanya pada satu hal, “menghadirkan kebaikan”. Kebaikan buat semua orang yang ada di dalamnya. Dengan mengatakan kebaikan buat semua orang yang ada di dalamnya, republik menyangkal pengistimewaan pada orang dan kelompok, siapapun mereka, atas dasar apapun. Sejarah berputar membawa republik mendatangi setiap sudut dunia, termasuk Indonesia. Menariknya disana sini disudut-sudut dunia terjadi gerak menurun, menanguhkan kebaikan untuk semua orang. Indonesia misalnya, seperti beberapa negara lain, juga mengalaminya. Kali ini, ditengah corona yang sangat intimidatif, pemerintah terlihat tak andal. Kebijakan-kebijakan pemerintah, disana sini justru terlilit masalah. Terlihat republik bergerak menjauh dari keadilan sosial. Kesejahteraan masyarakat yang hendak disajikan republik, juga semakin tak memadai. Kemerosotan tajam keadilan dan kesejahteraan sosial itu menganga dalam setiap penglihatan. Korporasi Tetap Berjaya Kata Presiden pembayaran tunjangan dokter, dokter spesialis, untuk tenaga medis, segera keluarkan. Belanja-belanja untuk peralatan segera keluarkan. Segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil, usaha mikro. Mereka nunggu. Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu. Ngga ada artinya (RMol, 29/6/2020). Salah urus, mungkin tidak tepat dialamatkan pada pemerintahan ini. Mungkin. Tetapi pernyataan Presiden pada rapat kabinet terbatas beberapa hari lalu, jelas substansinya. Anggaran sektor kesehatan, sekadar ilustrasi sebesar Rp. 75 trilyun, sejauh ini baru dibelanjakan sebesar 1,36%. Bagaimana dengan orang yang kehilangan pekerjaan? Ini memang tak disinggung Presiden. Boleh jadi itu disebabkan mereka ini, segelintir di antaranya telah ditolong dengan berbagai cara. Salah satunya melalui kartu pra kerja. Pemegang kartu ini dilatih negara, melalui sejumlah korporasi. Pelatihan ini dibiayai dengan uang negara yang jumlahnya lumayan besar. Indah hanya dalam ucapan, itulah yang bisa dipetik dari temuan KPK atas proyek ini. Masalahnya terlihat meliputi hamper seluruh aspek pelaksanaan proyek ini. Dalam identifikasi KPK, 5 dari 8 platform pelaksana proyek ini memiliki konflik kepentingan. Penggunaan fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp. 30,8 miliar tidak efisien" ungkap Alexander Marwata. Materi pelatihan teridentiikasi bermasalah. Pak Alexander, Komisironer KPK menegaskan metode pelaksanaan pelatihan beroptensi fiktif. 327 dari 1895 materi pelatihan yang dijadikan sampel dibandingkan dengan ketersediaan materi itu di jejaring internet, diperoleh hasil adalah 89% materi pelatihan tersedia di internet dan tidak berbayar. Cukup menarik, KPK menemukan kenyataan lembaga pelatihan telah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Sungguh eksplosif, KPK menemukan kenyataan peserta telah diberi insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli. Negara dalam kenyataannya, menurut temuan KPK ini, tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta itu (Lihat Sindonews. Com, 18/6/2020). Hebatnya KPK tidak menemukan kerugian keuangan negara. KPK tentu saja tidak mendeteksi program lainnya. Program Bansos misalnya tidak diidentifikasi KPK. Program untuk orang-orang yang kesulitan hidup ini, di DKI Jakarta misalnya sempat mengundang soal. Program yang dalam sejarahnya diawali di Amerika Serikat tahun 1933 ini, memang bermaksud memunculkan tatanan baru bernegara ditengah krisis keuangan. Tetapi silang pendapat antara Pemda DKI dengan pemerintah pusat dalam merealisasikan program ini, jelas. Tatanan program ini, tidak kokoh. Terlihat tiba saat tiba akal. Sama pada level tertentu dengan kebijakan penyediaan insentif terhadap usaha mikro, kecil, dan supermikro yang jumlahnya jutaan. Kebijakan memperpanjang durasi waktu pembayaran kredit, berikut bunganya, memang berspirit republik. Reklaksasi sekitar 3,7 jutaan debitur yang didukung dana sebesar Rp. 123, 46 trilyun, memang telah telah dimanfaatkan oleh 1,25 juta debitur. Tetapin bagaimana dengan dua jutaan lebih yang tersisa? Bagaimana mereka? Belum jelas skemanya. BRI disisi lain, entah ditugaskan atau mengambil prakarsa sendiri, entah untuk menjaga pertumbuhan kredit atau mendukung upaya konstitusional pemerintahan, menyediakan kredit bagi ojek online. Mereka jadi target pemberian kredit. Besaran kreditnya berada pada kisaran Rp. 5-20 jutaan rupiah. Tepatkah kebijakan ini? Itulah soalnya. Ini terlihat sebagai kebijakan kritis. Akankah kebijakan-kebijakan ini berkontribusi mengubah secara signifikan penampilan ekonomi republik ini? Akankah kebijakan ini platform konstitusional di sektor ini? Apakah kebijakan tipikal benar-benar diletakan di meja prioritas kebijakan pemerintah? Itu soalnya. Daya lobi UMKM kalah menggigit dibanding korporasi. UMKM memang menyediakan 99% total lapangan kerja, dan menyerap tenaga kerja sebesar 97%. Tidak itu saja, total investasi mereka sebesar 58, 18%. Dilihat dari sisi GDP kontribusi mereka sebesar 60% (Lihat CNBCIndonesia, 19/6/2020). Sialnya sektor top ini hanya ditopang dengan dana sebesar Rp. 123, 46 trilyun. Jumlah ini lebih kecil dari utang PLN. Menurut Dirut PLN (Persero) dalam lima tahun terakhir PLN mencatat utang mendekati Rp. 500 trilyun. Setiap tahun PLN mencatat Utang Rp. 100 trilyun. Utang-utang ini terjadi karena PLN tidak punya duit, tetapi harus membiayi proyek yang sedari awal telah dikritik ini. Akhirnya harus berhutang. Ini disampaikan Dirut PLN dalam Rapat Dengar Pendapat PLN dengan Komisi VI DPR RI tanggal 25 Juni 2020. Garuda Indonesia, korporasi berstatus hukum sama statusnya dengan PLN, yakni sebagai BUMN, disisi lain juga memperoleh pertolongan dari pemerintah. Pendapatan mereka selama covid anjlok sebesar 90%. Agar tidak tambah berantakan, pemerintah menyuntikan dana melalui skema dana talangan untuk menambah modal kerja, juga untuk efisienssi. Nilainya Rp. 8 trilyun (Lihat Antaranews.Com, 5/6/2020). Liberalisme menjadikan Korporasi sebagai entitas ekonomi, dengan kekuatan politik besar. Atas nama program percepatan pengembangan biodiesel, pemerintah memberi subsidi industri biodiesel sebesar Rp. 2,78 trilyun. Sebelum kebijakan ini, industri biodiesel telah mendapatkan mayoritas dana Sawit sebesar 8,5% yang dikumpulkan oleh BPDKPS sebesar Rp. 38 trilyun sejak 2015-2019. Rata-rata Rp. 7 Trilyun per tahun. Perlakuan liberalistik ini dikritik Gamal Nasir, Ketua Dewan Pembina Persatuan Organisasi Petani Sawit. Menurutnya dibandingkan industri biodisel, petani Sawit hanya memperoleh bantuan sebesar Rp. 1,7 trilyun pada tahun 2020 ini. Bantuan ini diberikan melaui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Menurut Gamal industri biodiesel tidak perlu disubsidi. Selama Covid 19, perusahaan biodiesel Wilmar misalnya, yang mengelola program B30 sudah menyumbang 1 trilyun rupiah untuk pencegahan Covid. Itu sebanya Gamal berpendapat industri biodiesel masih mampu bertahan ditengah covid. Selain memberi subsidi, pemerintah juga menaikan pungutan CPO/dana sawit dari U$ 50/ton menjadi U$ 55/ton. Pungutan ini merugikan petani, karena menurunkan sekitar 120150 per kg (Lihat Investor Daily, 7/6/2020). Kebijakan ini tipikal liberalistik. Cara ini juga bekerja pada kebijakan penyediaan dana program pemulihan ekonomi nasional. Menurut PP nomor 23 Tahun 2020, dana itu ditaruh di Bank-Bank Peserta. Jumlahnya, sejauh ini tidak pasti. Tetapi terlepas dari besarannya, penempatan dana ini di bank peserta, telah menjadi soal tersendiri. Dapatkah skema ini dinilai sebagai dana talangan kepada bank-bank itu? Apakah dana yang disalurkan kepada Bank Pelaksana sama nilainya dengan nilai restrukturisasi kredit yang dilakukan Bank Pelaksana itu? Berapa selisih kredit antara korporasi besar dengan UMKM yang jumlahnya jutaan itu? Tak cukup jelas sejauh ini. Terungkap Salah Urus Wajar Menkeu dan BPS memiliki penilaian yang mirip tentang postur perekonomian republik ini. Pernyataan mereka di DPR, jelas maknanya. Inti pernyataan mereka adalah Indonesia memiliki potensi resesi. Sebabnya pertumbuhan ekonomi bisa negatif. Menkeu menilai pertumbuhan ekonomi bisa minus sekian 3,8%, lebih kecil dari perkiraan BPS. BPS memperkiraan ekonomi bisa minus 4,8 %. Bahkan kata Kepala BPS ada yang memperkirakan bisa minus sekitar 7 % (CNNIndonesia, 22/6/2020). Entah berapa uang tersedia di BI dan berapa uang beredar dipasar. Ini tidak diketahui. Kalaupun diketahui, soalnya adalah apakah angka-angka yang disajikan itu kredibel? Soal lainnya apakah negara lain bisa dijadikan sandaran mendapatkan pinjaman? World Bank dan IMF, dua lembaga jago membuat susah negara miskin ini, bisa dipanggil untuk menolong? Resesi ekonomi tahun 1929 memberi ceritanya. Jerman hanyalah satu diantara sejumlah negara Eropa yang berantakan usai perang dunia pertama. Untuk mencegah meluasnya crash itu, Amerika mengambil prakarsa menolong negara-negara itu, terutama Jerman. Presiden Calvin Collidge membentuk apa yang dikenal dengan Daves plan. Ini diresmikan dan mulai beroperasi pada tahun 1924. Tetapi orientasi tersamar plan ini, adalah mendahulukan Jerman. Dalam kenyataannya, sejumlah faktor tak teridentifikasi, bekerja dengan cara sendiri. Hasilnya performa ekonomi Jerman terus memburuk. Muncullah plan lain. Namanya Young plan. Plan ini dirancang oleh Presiden Herbert Hoover, yang pada awal masa pemerintahannya great resesion itu terjadi. Plan ini dirancang dan dioperasikan tahun 1928, setahun sebelum great depression. Walau berbeda dalam titik tekan, Plan ini dimaksudkan mencegah krisis di Eropa, khususnya Jerman. Tetapi Anggela Lanette Smith dalam Economic Revolution From Withim; Herbert Hoover, Franklin D. Rosevelt and the Emergence of The National Industrial Recovery Act, kebijakan-kebijakan itu tak kunjung membuahkan hasil. Penyebabnya beragam. Tetapi esensinya satu; uang bukan hanya tidak lagi cukup beredar ditengah masyarakat, tetapi uang pemerintah juga minus. Menariknya korporasi-korporasi besar Amerika justru mengalihkan investasinya ke Jerman. Bank-Bank utama Amerika meminjamkan kepada korporasi besar Jerman pada kisaran 50-75 %. Tidak itu saja, J.P Morgan menyediakan uang untuk korporasi Jerman antara $100 sampai dengan $200 juta. Chase dan Guaranty Trust menyediakan tidak kurang dari dua miliyar dollar. Jerman, karena terus berorientasi pada infrastruktur canggih, terutama perang, yang tak banyak menyerap tenaga kerja, menjadi penyebab terbesarnya. Jerman akhirnya terjatuh dalam krisis juga. Pada saat yang sama Amerika, hanya membutuhkan satu pukulan kecil, krisis pasar uang, untuk memastikan gerak lanjut ke titik yang sama; resesi. Indonesia hari ini? Itu soalnya. Terlihat babak belur. Pengakuan Menkeu dan Kepala BPS tentang performa ekonomi dan respon Presiden terhadap postur pemerintahan jelas dalam semua aspeknya. Republik terlihat sedang babak belur, dan berada disimpang jalan salah urus. Paradoksnya elemen-elemen dasar republik, juga terlihat merosot terus. Tampilan penegakan hukum dan politik terus menjauh dari harapan keadilan. Kesetaraan dan kepastian hukum semakin kabur. Privilege khas tata negara dan politik liberalistik masih juga bekerja dengan caranya yang khas. Memilukan, kritik dipukul dengan tuduhan makar, penyebar berita bohong dan penghinaan melalui media elektronik. Nuansa fasistik terlihat bekerja memburu intelektual kritis. Liberalistik dan fasistik terlihat berpapasan dengan irama menjungkirbalikan republik. Bisakah segera muncul harapan untuk menyembuhkannya? Mari bermimpi, semoga republik ini tidak terus-terusan tengelam dalam cara itu. Rindukanlah solusi bijak dari para menteri. Menteri memang harus berkreasi. Tetapi republik memesankan, jangan lupa kerangkakan kebijakan itu dalam hukum. Dalam ilmu hukum, krisis tidak bisa dinyatakan secara lisan. Krisis harus dinyatakan secara hukum. Tanggung jawab kolektif, bukan karakter tanggung jawab dalam hukum. Hukum hanya mengenal tanggung jawab individual. Bijak itu harus, tetapi hukum republik memiliki cara mengkualifikasi bijak sebagai motif suatu tindakan hukum. Republik memang sedang merana, tetapi menginjak-injak hukum, bukan pilihan yang ditawarkan republik. Temukanlah cara bijak yang dibenarkan hukum. ** Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.