NASIONAL
Keruntuhan Bangsa, Haluan Pancasila Megawati dan Rizieqisme
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Lonceng kematian bangsa kita hampir tiba. Jokowi sudah menyerukan semua menterinya mencari jalan menyelamatkan bangsa Indonesia. Wakil Menteri Pertahanan, kemarin, telah mengumumkan ketahanan pangan bangsa ini hanya dua bulanan. Menteri kesehatan kita telah gagal melakukan "flattening the curve" kurva coronavirus. Yang lebih konyol lagi Sri Mulyani telah terlihat gagal memprediksi kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak covid-19 ini. Memang benar pernyataan Jokowi bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi ini lebih buruk dari krisis moneter 1998. Kenapa lebih buruk? 1) dampak covid-19 terjadi pada sisi supply dan demand. Pada tahun 1998, supply side masih besar, khususnya sektor pedesaan, sektor informal dan UMKM. Dengan menggelontorkan dana KUT (Kredit Usaha Tani) dan berbagi kredit mikro lainnya, sektor pedesaan dan informal mampu menopang ekonomi nasional. Konstraksi ekonomi sekitar -16% dapat dipulihkan dalam satu tahun dan pemulihan total terjadi selama 5 tahun. Saat ini, sisi supply hancur karena pandemi mengharuskan manusia berhenti bekerja ("social distancing") alias produksi terhenti dan "supply-chain" berantakan. Pada sisi demand (permintaan), pasar (market) juga hancur berantakan. Manusia diam di rumah, pusat2 perbelanjaan sepi. Dan daya beli rakyat terkuras. Air France, penerbangan milik Prancis yang bangkrut, misalnya, akan ditalangi 10 milyar dollar oleh negaranya. Namun, apa arti talangan itu jika mobilitas manusia terhenti? Apalah artinya subsidi/stimulus Jokowi pada sektor parawisata kalau turis masih belum mau datang? 2) "Cash is the King". Situasi pandemik ini membuat, misalnya Gubernur New York, Cuomo, bulan lalu, marah pada Trump, karena dana stumulis yang dijanjikan belum juga cair. Masih menunggu persetujuan DPR Amerika. Anies Baswedan, di Jakarta, marah pada Sri Mulyani, karena dana tagihan DKI ke rezim Jokowi, untuk diberkan bansos pada 1,1 juta orang (dari 3,75 juta jiwa) di Jakarta belum diberikan Menkeu, alasannya harus menunggu verifikasi BPK. Cash is the King alias uang adalah raja. Setiap negara mmamerkan angka2. Amerika memamerkan akan mencetak uang 3 Triliun Dollar alias mendekati 45.000 Triliun Rupiah. China mengumumkan akan utang 4,7 Triliyun Yuan (3,7 T Infrastructuur Bond dan 1 T pandemic Bond). Alias mendekati 10.000 Triliun Rupiah. German juga pamerkan kebutuhan 1,3 Triliun Euro (Rp. 21.000 Triliun), Italy keluarkan stimulus 750 Milyar Euro, Inggris (Bank of England) gelontorkan 1 Triliun dollar. Angka2 uang ini bisa ada bisa juga proyeksi. Tidak gampang bagi RRC, misalnya, cari hutang ketika semua negara dunia ingin berhutang. IMF yang diundang Kadin Amerika ceramah beberapa hari lalu, tidak menjanjikan uang pada pengusaha2 Amerika itu. Malah dirut IMF, Kristalina Georgieva, besar dinegara Komunis Bulgaria, mengajarkan pengusaha2 Amerika untuk mengetahui sedang terjadi Great Transformation (digital economy, pro green economy dan fairer society). Jangan berharap IMF kasih Indonesia pinjaman 50 Milyar dollar seperti 98. Sampai sejauh ini, IMF sudah menyetujui pinjaman ke 60an negara, rata2 kebagian 0,35 Milyar dollar saja, sangat kecil sekali. Cash is the King. Indonesia juga jangan berharap bisa dapat pinjaman dari China, Jepang, Amerika dll. Semua butuh uang bagi negaranya. Sehingga angka2 defisit bisa saja diajukan Sri Mulyani 1039 Triliun atau 10.000 Triliun sekaligus (Ingat tahun 2008 Sri Mulyani meleset prediksi talangan bank Century dari rp. 600 milyar menjadi rp 6,7 triliun alias 10 kali lipat), tapi uang dari mana? Apakah akan ada kelebihan liquiditas di negara2 maju akibat stimulus di sana, lalu mereka beli SBN (Surat Berharga Negara) di sini?Jangan terlalu berharap. Kebanyakan "greedy traders" yang akan masuk dan keluar stock market maupun bond market saat ini. Sedangkan Bank Central kita sendiri, sejauh ini, sudah tertatih2 habis 600 an Triliun menjaga stabilitas makro ekonomi. Lalu, apakah negara berani menolak stimulus pada orang2 kaya dan menaikkan pajak pada orang2 kaya itu agar ada tambahan pemasukan APBN? Bukankah mayoritas elit negara saat ini adalah orang2 kaya itu? Cash is the King. Sebentar lagi negara akan dihantui berbagai kesulitan menjalankan roda pemerintahan. Dimulai, misalnya, walikota Solo mengumumkan tidak mampu bayar listrik, beberapa saat lalu. Ke depan, jangan berharap banyak ada bansos, subsidi kartu-Prakerja, dll. Yang jelas harga2 barang, BBM, Gas, Listrik dll yang akan menjulang tinggi. 3) Nyaris Perang Dunia. Saat ini nyaris perang dunia. Beda dengan krisis '98. Trump memecat penasehatnya John Bolton beberapa waktu lalu, karena Bolton hobby perang. Namun, perang dagang dan berbagai ketegangan antara Amerika dan sekutunya versus RRC sudah mulai. Tiga hal di atas adalah faktor eksternal terkait dampak pandemi. Namun faktor internal kita lebih berat lagi, yakni 1) hutang negara/BUMN yang menggunung. 2) Ekonomi tidak efisien alias rente. 3) Deindustrialisasi, 4) Korupsi merajalela. 5) Struktur ekonomi pincang, kemiskinan dan pengangguran menggunung. Sejak lama berbagai lembaga internasional menempatkan kita dalam kelompok negara "fragile five", yang terjebak hutang besar. Bos IMF mengatakan faktor bawaan sebelum Covid-19 sangat menentukan kerapuhan sebuah negara saat ini. Sampai kapan kita bertahan? Pancasila Gotong Royong atau Rizieqisme? Dalam masa pandemi ini kelompok2 sekular di Indonesia menawarkan "Pancasila Gotong Royong" via RUU HIP, yakni ajaran Pancasila yang bisa diperas menjadi sebuah sila, yakni Gotong Royong untuk menjadi haluan bagi keselamatan bangsa. Ketuhanan dalam pandangan Megawati Soekarnoputri, pengusul RUU HIP, adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Pandangan Megawati ini menempatkan ketuhanan dalam perspektif Anthropocentric, di mana tuhan merupakan hasil reproduksi peradaban manusia. Pancasila Gotong Royong adalah ajaran Bung Karno. Dalam masanya ajaran ini adalah ajaran baik. Ajaran ini merupakan turunan dari pikiran Marxisme, sama rata sama rasa. Artinya semua manusia punya hak kepemilikan yang sama, yakni membatasi "property rights" secara rata. Ajaran Marxism adalah ajaran barat yang berpusat pada manusia dan materialisme. Kesejahteraan dan keadilan semua diletakkan dalam perspektif logika manusia. Ketuhanan yang berkebudayaan, menurut Megawati dan Sukarno adalah ketuhanan yang ada di bumi, bukan ketuhanan yang menyangkut dunia-akherat. Gotong Royong ala Bung Karno tentu bersifat ideologis. Di jaman Bung Karno sudah pasti tidak mungkin ada perusahaan kelapa sawit, misalnya, menguasai lahan jutaan hektar, seperti saat ini. Ajaran Bung Karno adalah sebuah gerakan sosialisme-nasionalisme yang menolak supremacy barat dan Kapitalisme di Indonesia. Mohammad Hatta, disisi lain, yang menawarkan konsep Koperasi, lebih ke arah sosialisme welfarian ala Skandinavia, yang jejak keadilannya masih nyata sampai saat ini, ketimbang negara2 sosialis Komunis rujukan Sukarno (seperti Sovyet/Rusia, RRC, dll) itu. Sebagai sosok, Bung Karno tidak membutuhkan UU HIP, karena dia adalah inspirasi ideologi itu sendiri. Sebaliknya, Megawati dan kaum sekuler, membutuhkan ideologi dalam UU, karena mereka sendiri sulit diukur apakah punya jejak Gotong Royong dalam kehidupannya. Bahkan, ketika berkuasa seperti saat ini. Dalam masa pandemik ini refleksi kita adalah peradaban yang bertumpu pada Anthropocentric telah gagal. Manusia harus meletakkan dirinya dalam bagian alam dan Tuhan YME. Manusia hidup di antara pohon-pohon, sungai, air, udara, binatang, bahkan mikroba serta virus sepanjang hidupnya. Hal itu harus membuat manusia meletakkan peradaban baru yang menjaga keseimbangan alam dan kehidupan. Gotong Royong adalah ide yang baik. Tapi gotong royong harus dilandasi nilai dan moral yang jelas. Gotong Royong dalam ambisi manusia menaklukkan alam, misalnya, akan membuat degradasi alam, hutan, tambang dll, terjadi juga seperti saat ini. Gotong Royong dalam keseimbangan Allah dan akam akan menawarkan value dan moral yang berbeda. Ajaran Tuhan tentang Gotong Royong, dalam Islam misalnya, membatasi ambisi pada batas "need" bukan "want". Kebutuhan (need) mencegah perbuatan mungkar kita terhadap alam, air dan udara. Juga memberi pesan kecintaan pada generasi mendatang, dengan menyisakan deposit sumberdaya alam bagi kehidupan mereka di masa nanti. Dengan prinsip Ketuhan YME di atas segala2nya, kita menempatkan spirit kemanusian kita pada kontrol transedental. Sedang ketuhanan berkebudayaan membuat kontrol pada konsensus manusia, yang bersifat fana. Gotong Royong dalam sipirit Ketuhanan YME juga akan menggerakkan manusia melebihi kemampuan materialnya. Sebuah aksi produktif yang tidak pernah habis. Dan ini pula yang dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia di masa pandemik. Berlawanan dengan Gotong Royong ala Megawati atau RUU HIP adalah Gotong Royong dalam versi Rizieqisme. Pada tulisan saya sebelumnya, "Rizieqisme, 212, Sama Rata Sama Rasa" (2018) dan "Rizieqisme dan Paska Pilpres" (2019), saya telah menguraikan 5 prinsip dasar Rizieqisme yang tergambar dari gerakan Imam Besar Habieb Rizieq Sihab selama ini, yakni : 1) perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. 2) perjuangan harus diakar rumput. 3) Islam sebagai alat persatuan. 4) Radikal atau tidak mengenal kompromi. 5) Tanggung jawab sosial alias solidaritas. Dari prinsip ini kita ketahui bahwa prinsip sama rata sama rasa, dan gotong royong ala Habib Rizieq adalah turunan dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Gerakan keadilan dan sekaligus cita cita keadilan bukan ditentukan dalam anthropcena melainkan diturunkan dari Wahyu Allah. Jika Bung Karno dan Megawati, anaknya, bertumpu pada kemanusian versi manusia, sebagai acuan Gotong Royong, maka Habib Rizieq Sihab dalam Rizieqisme menawarkan tumpuan pada kemanusian ciptaan Allah. Dalam masa pandemi ini, kemanusian yang bersifat materialistik, tanpa ruh, akan gagal memetakan ancaman kemanusian akibat coronavirus. Gotong Royong ala Bung Karno telah menyelamatkan bangsa di masa lalu. Namun, tantangan bangsa saat ini membutuhkan Gotong Royong yang dahsyat, yang bertumpu pada spirit Ketuhanan YME. Penutup Lonceng kematian bangsa kita semakin dekat. Kebahagian ekonomi yang diklaim pemerintah dengan pertumbuhan kuartal pertama, bersifat "trade-off" dengan kesengsaraan ke depan yang bersifat kesehatan, ekonomi dan bahkan peradaban. Sri Mulyani, yang gagal memprediksi stimulus Century di masa lalu, menjadi supir penyembuhan ekonomi saat ini. Hal ini, "menggunakan supir gagal" cukup mengerikan. Menteri kesehatan yang gagal memprediksi situasi pandemik sejak awal juga suatu bencana kematian ke depan. Wamen Kemenhan yang membuka rahasia ketahanan pangan hanya dua bulanan, sangat menakutkan. Berbagai keburukan situasi ekonomi dan politik juga akan mempercepat keterpurukan bangsa. Di sisi lain, bangsa2 di dunia lainnya sibuk mengurusi rakyatnya sendiri, jauh harapan membantu kita. Dalam situasi buruk ini, kelaparan dan kemiskinan akan menjadi "catastrophic", alias bencana. 100 an juta rakyat miskin dan 20 jutanya sudah dilaporkan ADB (Asean Development Bank), 2018, kelaparan saat sebelum pandemik, tidak akan mungki diurus negara, khususnya jika haluan negara tidak tepat. Tawaran Megawati untuk menggunakan Haluan "Pancasila Gotong Royong" ditolak berbagai kalangan Islam. Hal ini mungkin lebih disebabkan susah mencari jejak Megawati dalam perjuangan ideologis Gotong Royong itu. Berbeda dengan Bung Karno, yang memang dalam diri dan jiwanya ada Gotong Royong itu. Namun, rakyat dalam keputusasaan tentu sangat butuh haluan itu. Rakyat butuh bangkit dari keterpurukan. Rakyat butuh selamat dari pengangguran, kemiskinan dan kelaparan. Lalu haluan apa yang dibutuhkan? Untuk itu perlu melihat tawaran Rizieqisme sebagai alternatif ideologi, di mana Gotong Royong didasari spirit Ketuhanan YME. Tuhan di atas manusia, bukan tuhan yang diciptakan manusia. Rizieqisme akan mampu membuat Indonesia bangkit dengan peradabam baru. Sebuab keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan YME. Manusia yang mengelola bumi dengan keadilan sesama dan antar generasi. Manusia yang adil pada pepohonan, binatang, mikroba dan bahkan virus. Serta, manusia yang memohon pada Tuhannya untuk menjadi kalifah di muka bumi dengan bijak. Penulis Direktur Sabang Merauke Institute
Manipulasi dan Bahaya Istilah "Gotong Royong"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (19/06). Rasanya saat-saat ini mulai disosialisasikan penggunaan kalimat gotong-royong. Makna sederhananya adalah kerjasama. Bisa juga bahu-membahu atau tolong-menolong sebagai konsekuensi dari proses kehidupan dan interaksi sosial. Makna seperti ini tentu saja sangat konstruktif, baik atau bagus-bagus saja. Apalagi makna itu disandarkan pada asas kekeluargaan dan kebersamaan. Meskipun demikian, gotong-royong itu masih netral. Konstruksi lain juga bisa bermakna buruk. Misalnya, jika kekeluargaan atau kebersamaan pada gotong-royong itu didasarkan pada kejahatan, kezaliman, dan dosa. Gotong-royong dalam keburukan adalah perbuatan yang tercela atau tidak beradab. Bisa juga biadab. Padahal agama telah mengajarkan kita untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Jangan bekerjasama dan tolong-menolong dalam dosa dan kejelekan. Pada sisi lain, gotong-royong juga dapat masuk dalam kategori manipulative, dan itu bias berbahaya. Apalagi jika dikaitkan dengan gotong-royongnya yang Ekasila. Gotong-royong disini bernilai ideologis, yang telah lewat dalam lintasan sejarah bangsa. Gotong-royong yang Ekasila ini sebagai hasil "perasan" dari Trisila, yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Gotong-royong yang dari Trisila lalu Ekasila ini adalah hasil pemerasan lagi dari Pancasila gagasan Soekarno 1 Juni 1945. Isinya itu adalah Kebangsaan atau Nasionalisme, Kemanusiaan atau Internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Jadi terma gotong-royong itu bisa saja multi makna. Dari yang positif hingga negatif. Tergantung dari sudut pandang yang mana. Bahkan dapat manipulatif dan berbahaya. Ketika dibuat spanduk sebagai sosialisasi "gotong-royong", maka ada kemungkinan munculnya makna yang bersifat ideologis. Dengan demikian, masyarakat harus berhati hati-hati menggunakan kata atau kalimat gotong-rotong tersebut. Sebab bisa memiliki makna yang berbeda-beda. Gunakan saja kalimat yang lebih aman seperti tolong-menolong, kerjasama, bahu-membahu atau masih banyak yang lain lagi. Hindari saja istilah "gotong royong". Jika ditarik ke masa Orde Lama, maka PKI lah yang paling suka mengkampanyekan istilah gotong-royongnya Soekarno tersebut. Mungkin saja relevan, sefaham atau sejalan dengan fahamnya komunisme yang "materialisme". "Sama rata sama rasa". PKI juga berslogan "kaum proletar bersatulah". Maksud PKI adalah bergotong royonglah. Sebab dengan Ekasila tersebut, maka nilai Ketuhanan dan lainnya menjadi lebur atau "out". Ini menjadi basis yang kuat untuk mengembangkan faham komunisme. Umat Islam harus memahami dan kenali dengan istilah gotong-royong ini dengan benar, agar tidak terjebat dalam permainan kata-kata semata. Konsepsi Presiden soal Kabinet Gotong Royong didukung penuh oleh Ketua PKI DN Aidit. Dia menyebut nama Kabinet Gotong Royong "sesuai dengan tuntutan rakyat". Dalam Sidang Konstituante Ir. Sakirman dari PKI menyatakan “Sila Gotong Royong sudahlah cukup sebagai satu-satunya sila”. PKI juga sangat berkeinginan untuk mengesampingkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, PKI sangat mendukung dan memperjuangkan konsep Soekarno tentang Ekasila atau gotong royong. Konsep Ekasila, lalu gotong-rotongnya Soekarno inilah yang mau diperjuangkan di RUU HIP. Kini jika kaum "kebangsaan" sangat alergi dengan istilah Jihad, Syari'at atau Khilafah, mengapa kaum atau umat Islam tidak alergi terhadap terma gotong-royong ? Saatnya umat Islam menjauhi peristilahan "gotong royong" karena sangat multi makna. Bisa sangat berbahaya. Bahayanya adalah "gotong royong" terus menerus dipublikasikan. Tujuannya agar pada waktunya rakyat Indonesia dapat menerima "gotong royong" sebagai satu-satunya sila, yaitu Ekasila. Ini adalah perjuangan dari kelompok PKI. Mereka tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan “Ekasila, lalu gotong-royong” itu. PKI dan neo PKI kapanpun sama saja. Mereka itu tidak ada beradanya. Tukang memanipulasi, dan menjpu rakyat kalau momentumnya sudah ada atau memungkinkan. Munculnya RUU HIP adalah bentuk nyata dari tipu-tipu model tersebut. Untuk itu, umat Islam harus waspadalah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Front Anti Komunis Indonesia Mengutuk Keras RUU HIP dan Bangkitnya PKI
Jakarta, FNN - Mencermati perkembangan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara serta setelah mempelajari dengan seksama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan perkembangan yang terjadi terkait RUU tersebut, dengan berharap rahmat dan ridho Allah Yang Maha Esa, Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) menyatakan: Dalam lima-enam tahun terakhir, terasa sekali adanya upaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunis di Indonesia. Yang lebih buruk dan berbahaya lagi, kebangkitan PKI dan paham komunis tersebut justru difasilitasi oleh para elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif.Diajukannya RUU HIP yang berbau komunis dan menafikan peran agama, dan tidak memasukkan TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI, menunjukkan lembaga legislatif sudah disusupi oleh anasir PKI/komunis.Menolak RUU HIP dan mendesak Pimpinan DPR RI menghentikan pembahasannya menjadi UU, serta mendesak Pimpinan DPR RI membubarkan Panitia Kerja (Panja) RUU HIP.Mendukung penuh dan siap mengawal Maklumat Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi se Indonesia, yang antara lain menolak RUU HIP.Menilai sikap pemerintah terlalu lamban dan ragu-ragu terkait RUU HIP. Pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD yang meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP sama sekali tidak cukup. Sebagai mitra DPR dalam pembuatan UU, pemerintah seharusnya menyatakan RUU HIP tidak ada urgensinya, dan oleh karenanya harus dicabut/dikeluarkan dari Program Legisalasi Nasional (Prolegnas).Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya, terutama aparat TNI/Polri, bahwa TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI hingga detik ini belum dicabut. Kepastian tersebut juga dituangkan dalam TAP MPR nomor 1/2003. Artinya, Ketetapan MPRS tersebut hingga kini masih berlaku.Sesuai bunyi sumpah jabatan Presiden, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa," maka FAKI mengingatkan, bahwa Presiden Joko Widodo berkewajiban menjalankan TAP MPRS nomor XXV/1966 tersebut dengan sungguh-sungguh, murni, dan konsekwen.Mendesak Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan dan langkah-langkah nyata yang tegas dan terukur, serta memerintahkan aparat hukum dan aparat keamanan untuk mencegah kebangkitan paham komunis dan PKI.Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas inisiator dan konseptor RUU HIP, serta memproses mereka secara hukum dengan seadil-adilnya.Sesuai pasal 40 dan pasal 41 UU nomor 2/2008 tentang Partai Politik jo UU nomor 2/2011, mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera membubarkan partai politik yang menjadi inisiator dan konseptor RUU HIP karena terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.Menolak kriminalisasi dan perlakuan yang tidak adil oleh aparat hukum terhadap para ulama dan tokoh masyarakat yang berseberangan dan menyampaikan saran serta kritik teradap penguasa.Menyerukan para tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis yang setia pada NKRI dan seluruh elemen masyarakat untuk mewaspadai dan melawan gerakan komunis gaya baru yang berusaha bangkit, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun melalui jalur kekuasaan.Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya untuk memperhatikan dan menindaklanjuti dengan sungguh-sungguh pernyataan sikap FAKI ini dan pernyataan senada dari begitu banyak elemen anak bangsa lainnya, agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan yang dapat mengancam kedamaian, keutuhan, dan kesatuan NKRI. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian kita bersama. Semoga Allah Yang Maha Kuasa meridhoi dan menolong perjuangan kita dalam membendung serta melawan bangkitnya komunisme dan PKI di negeri tercinta yang religius ini. Aamiin… Jakarta, 17 Juni 2020 FRONT ANTI KOMUNIS INDONESIA (FAKI) Edy MulyadiKetua Umum Novebri SasongkoSekretaris Jenderal
Penjara Sudah Menanti Pejabat Kebijakan Pemulihan Ekonomi
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Kamis (18/05). Dalam rapat terbatas beberap hari lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Pernyataannya terhubung dengan pengelolaan dana penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional. Dana sebesar Rp. 677, 2 trilyun harus digunakan secara benar. Dalam rangka itu, Presiden tegas mempersilahkan penegak hukum melakukan tugas. Kepada para aparatur hukumnya, Presiden ingatkan agar profesional dalam menegakan hukum. Gigitannya, kurang lebih begitu esensinya. Harus tepat. Gigitlah yang benar-benar menyimpang, dan sebaliknya jangan gigit yang tidak benar-benar menyimpang. Pak Presiden, dapat diduga telah memiliki data terpercaya tentang postur governance pengelolaan dana ini. Mengajak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (PBKP) mengawasi pengelolaan dana ini. Jelas maknanya. Rupanya governance pengelolaan dana tidak terlalu meyakinkan Presiden. Itu sebabnya BPKP harus semakin dilibatkan, tentu untuk meningkatkan level governancenya. Jalan ke Pernjara Terbuka Pijakan hukum pengelolaan dana pemulihan ekonomi didasarkan sepenuhnya pada Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah dinaikan statusnya melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Perpu ini telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi akibat Covid. Satu-satunya hal yang hebat dalam Perpu ini adalah ketentuan dalam pasal 27, pasal 28 dan pasal yang memberikan kewenangan ekstra kepada Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selebihnya tidak. Tetapi dari yang hebat itu, pasal 27 adalah yang terhebat. Esensi pasal ini adalah pengelolaan dana ini tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian keuangan negara. Akibat logisnya siapapun yang mengelola, dalam makna mengurus distribusinya, tak perlu memusingkan diri dengan segala macam parameter ekonomi maupun hukum. Untuk apa memusingkan diri dengan semua itu? Tidakkah telah diatur secara tegas dalam pasal 27 Perpu bahwa tindakan-tindakan dalam kerangka pasal Perpu tidak bisa dituntut pidana, perdata maupun tata usaha negara? Pasal 27 itu, akan digunakan sebagai benteng oleh pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus dana pemulihan ini. Bilapun dalam kenyataannya benar-benar ada perbuatan melawan hukum, pasal 27 telah secara tegas menyatakan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dituntut secara pidana, perdata dan tata usaha negara. Pejabat siapapun itu akan menyodorkan pasal ini sebagai bentengnya. Beralasan pasal 27 ini sah digunakan oleh siapapun yang berwenang dalam mengelola dana ini, sebagai alasan pembenar. Esensi alasan pembenar tidak lain selain menghapus sifat melawan hukum perbuatan. Perbuatan menyimpangnya mungkin secara faktual ada, tetapi sifat melawan hukumnya, sekali lagi, hilang dengan sendirinya karena ada pasal 27 itu. Menariknya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang didalamnya berisi pasal 27 itu, dibuat oleh Presiden. Tidak mungkin Presiden tidak mengetahui pasal itu. Presiden harus diasumsikan tahu keberadaan pasal itu. Pada titik ini menarik pernyataan Presiden itu logis ditimbang secara komprehensif. Sedang apa Presiden dengan menteri-menterinya? Apakah Pak Presiden memiliki fakta yang meyakinkan yang menunjukan telah terejadi penyimpangan? Sehingga Presiden berubah arah, meningalkan pasal 27 itu? Kalaupun jawabannya positif, ya, tetap saja jadi soal. Mengapa? Pasal 27 itu sejauh ini sah digunakan sebagai dasar tindakan para pejabat itu. Suka atau tidak, pasal 27 itu sah berlaku dan sah dijadikan dasar tindakan hukum oleh para pejabatnya. Disebabkan pasal ini sah sejauh ini untuk dijadikan dasar tindakan hukum para pejabat, maka semua tindakan hukum pejabat pada saat ini tidak dapat dipersoalkan. Baik aspek formil maupun materilnya. Berapapun dana pemulihan yang diberikan ke Garuda, bagaimana jumlah itu diperoleh, dilakukan dengan skema apapun, penyertaan modal (PNM), talangan, bayar utang, tidak dapat dipersoalkan. Mau diberi R10 triliun, lebih dari itu atau kurang itu, atau berapapun, secara formi dan materil tidak bisa dipersoalkan. Untuk apa dipersoalkan, kalau akhirnya temuannya tidak dapat dikualifikasi merugikan keuangan negara? Penyimpangan prosedur, andai ada, juga tak bisa ditunjuk sebagai perbuatan yang melawan hukum. Bagaimana pejabat-pejabat itu merespons kewajiban mereka kepada PLN misalnya, juga terserah mereka saja. Menurut keterangan Direktur PLN di Komisi VII DPR, utang pemerintah di PLN sebesar Rp 48 triliun. Ini merupakan akumulasi utang pemerintah tahun 2018 dan 2019 (Merdeka.com 17/6/2020). Utang ini harus diurusi. Menariknmya, utang yan terjadi jauh sebelum covid ini, boleh jadi akan diselesaikan menurut skema perpu. Bila mengukiti skema ini, skemanya yang harus diambil bukan talangan, bukan juga PNM. Skema yang yan harus diambil adalah kompensasi atau baray utang. Tetapi andai pejabatnya memilih skema lain, harus dianggap sah. Berapa sebenarnya dana pemulihan ekonomi yang akan dan atau telah diplot untuk BUMN? Bergunakah jumlahnya dipersoalkan secara hukum? Mau Rp. 147 triliun, kurang dari itu atau malah lebih dari itu, secara formil dan materil tidak bisa dipersoalkan. Ini konsekuensi pasal 27 Perpu, suka atau tidak. Mudah Temukan Pelanggaran Tetapi apapun itu, pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus soal ini harus tetap waspada. Pernyataan Presiden tersebut cukup beralasan untuk dipakai sebagai petunjuk adanya kehendak melepaskan pasal 27 itu. Presiden bisa jadi, membiarkan Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa pengujian pasal ini untuk menyatakan pasal itu inkonstitusional. Waspada, sekali lagi waspada. Ini harus jadi sikap dasar pejabat. Sikap ini harus diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pertimbangan-pertimbangan dibalik sebuah kebijakan harus benar-benar dapat dicek. Fakta dan rasionya harus kokoh. Kedua, bereskan semua tindakan yang perlu diambil dalam kerangka Perpu dan PP Nomor 23, sebelum pasal 27 Perpu dinyatakan inkonstitusional. Tetapi andai pasal 27 diterima oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan konstitusional, terlepas dari putusan ini akan ditertawakan dan diejek, tetap saja harus waspada. Mengapa? Kalau kebijakan itu nyata-nyata tidak didasakan pada fakta yang cukup. Juga tidak cukup rasio teknisnya, maka kenyataan itu dapat dijadikan alasan penegak hukum menyatakan bahwa perbuatan itu sedari awal telah dimaksudkan lain dari yang diperintahkan oleh Perpu. Kenyataan itu dapat dipakai sebagai dasar konstruksi bahwa sikap batin pembuat kebijakan, sedari awal dimaksudkan lain dari seharusnya menurut Perpu. Itu masalahnya. Kalau sudah begini cara berpikir penegak hukum, maka mudah bagi mereka menemukan sifat melawan hukum perbuatan. Bila penyimpangan itu didukung tumpukan fakta, maka mudah bagi penegak hukum untuk membuat konstruksi berikut. Konstruksinya tidak ada hukum, yang sedari mula dimaksudkan untuk membenarkan tindakan melawan hukum. Atas dasar itu, mereka dapat dengan mudah menyatakan pasal 27 tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar atau alasan yang membenarkan semua tindakan menyimpang. Tumpukan fakta tentang penyimpangan, sekali lagi, akan diambil dan digunakan penegak hokum untuk menyatakan, pembuat kebijakan telah dimaksudkan untuk hal lain, selain yang diperintahkan Perpu. Hal lain itulah, yang akan dipakai penegak hukum untuk menyatakan sikap batin pembuat kebijakan hendak diarahkan pada hal lain itu. Bila begitu cara pandang penegak hukum, maka mudah bagi mereka mengualifisir perbuatan itu sebagai perbuatan melawan hukum. Logiskah cara berpikir itu? Logis karena satu alasan, terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan sikap bathin pembuat kebijakan. Satu-satunya cara menutup jalan penegak hukum menggunakan jalan fikiran ini adalah pembuat kebijakan harus, sekali lagi, memastikan memiliki tumpukan fakta terferifikasi dan obyektif. Tumpukan fakta terferifikasi itu harus benar-benar harus dapat disajikan, kapanpun diperlukan. Rasio fakta itu harus benar dapat diterima. Hanya itu cara yang tersedia. Tidak lebih. Keikutsertaan penegakan hukum, misalnya mendampingi, menyaksikan penyaluran PNM, talangan atau bayar utang, sama sekali tidak dapat dijadikan benteng buat pembuat kebijakan. Kehadiran mereka pada level itu, sama sekali tidak dapat dijadikan keadaan yang determinatif. Kehadiran merka tidak berbicara apa-apa, selain hanya menjelaskan mereka menyaksikan tindakan akhir pejabat. Bagaimana proses tindakan itu, bagaimana angka-angka yang diperoleh, bagaimana memutuskan angka, jelas tidak diketahui oleh penegak hukum. Fakta bernilai tinggi adalah keadaan nyata yang digunakan sebagai dasar menentukan besaran. sebut saja dana talangan, PNM atau pembayaran kompensasi atau bayar utang. Juga fakta bernilai tinggi adalah kesesuaian fakta antara nilai buku dengan nilai yang direalisaikan. Selisih nilai akuntansi dengan nilai nyata, tentu akan jadi malapetaka. Penipuan Korporasi Licik Selisih nilai itu, mungkin dapat dibenarkan. Bila rangkaian fakta kongkrit menyediakan unsur-unsur yang dapat menerangkan secara logis selisih itu. Itu untuk kebijakan terkait langsung BUMN dan korporasi sawsta. Terhadap korporasi swasta, soalnya lebih sedikit lebioh kompleks. Justru kebijakan pemberian bantuan, atau talangan, ataupun namanya kepada korporasi swasta, harus lebih tinggi level kehati-kehatiannya. Semoga saja pengetahuan mengenai korporasi yang pada tahun buku terakhir membukukan laba, dan atau sebaliknya rugi, benar-benar tersaji dengan jelas. Level laba dan ruginya, plus aset yang nyatanya eksis berada dalam penguasaan nyata korporasi. Juga likuid serta asset yang nyata-nyata truble, harus jelas betul penilaian dan dapat disajikan setiap waktu. Keliru pada level ini sama dengan membuka jalan untuk penegak hukum mempersoalkan level rasionalitas kebijakan itu. Kekeliruan pada level itu, sama nilainya dengan menyodorkan senjata terkokang kepada penegak hukum. Fakta itu akan memudahkan mereka, seperti telah dikemukakan di muka, menyatakan pejabat telah sedari awal bermaksud menyimpang dari hukum. Konsekuensinya sikap bathin pejabat untuk perbuatan itu benar-benar dapat dipersalahkan. Suka atau tidak semua ini harus masuk dalam daftar kehati-hatian pejabat. Pernyataan presiden mengenai penegak hukum gigit sebisa mungkin “mereka yang nyata-nyata menyimpang dan yang tidak mengikuti aturan, tidak bisa disepelekan. Terlalu mudah bagi penegak hukum untuk menemukan dan merealisasikan pernyataan Presiden itu. Itu soal terbesarnya. Pada titik ini tidak ada faedah memperdebatkan pernyataan itu akan mengakibatkan pejabat tidak nyama bekerja. Tidak perlu. Jalan terbaik menyambut pernyataan Presiden itu adalah memastikan setiap kebijakan didukung dengan tumpukan yang kredibel, baik menyangkut kuantitas dan kualitasnya. Hanya itu cara menghindar dari kemungkinan diperiksa penegak hukum, lalu ditetapkan menjadi tersangka. Nauzubillaahi minzalik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Tarung di RUU HIP, "PDIP Vesrsus Umat Islam"
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (18/06). Inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah PDIP. Rakyat tahu itu PDIP sukses mempengaruhi sejumlah fraksi di DPR. Sukses, karena nyaris tanpa penolakan. Kecuali Fraksi PKS, yang dari awal konsisten ingin memperjuangkan masuknya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tak digubris. Fraksi yang lain diam. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tidak tanda tangan. Ketika maklumat MUI keluar, dan protes Umat Islam terjadi dimana-mana, sejumlah anggota fraksi membuat pernyataan. Mereka jadi ikut-ikutan teriak menolak RUU HIP. Langkah cari aman. Ah, kayak nggak tahu aja kelakuan parpol. Klasik dan jadul tuh! Saat ini, RUU HIP sudah diserahkan oleh DPR ke pemerintah. Bola sekarang ada di pemerintah. Semua mata tertuju kepada pemerintah. Konsentrasi rakyat fokus ke pemerintah. Lalu, bagaimana sikap pemerintah? Mendengarkan rakyat? Atau pasang badan mendukung PDIP? "Tunda", kata pemerintah. Pemerintah nampaknya ingin melihat-lihat dulu apa reaksi lanjutan dari masyarakat. Pertama, bagaimana reaksi PDIP. Kedua, bagaimana reaksi umat Islam. Mana yang paling kuat, biasanya itu yang akan jadi pilihan Jokowi. Polanya sering terbaca begitu. Jika pressure umat Islam kuat, pemerintah tak ada pilihan lain kecuali "menolak" RUU HIP. Jika sebaliknya, protes umat Islam meredup dan PDIP kuat tekanannya, maka pemerintah akan minta agar RUU HIP dilanjutkan pembahasannya di DPR. Sebagaimana diketahui, sikap MUI, NU, Muhammadiyah, Ansor, Pemuda Pancasila, FPI, dan sejumlah elemen masyarakat tegas dan jelas, “ Stop RUU HIP”. Hentikan pembahasannya. Jangan dilanjutkan. Batalkan itu RUU! Bukan revisi. Bukan juga ditunda. Sepertinya PDIP sebagai inisiator RUU HIP keberatan. Tak ada tanda-tanda mau menyerah. Lanjut! Coba bernegosiasi. Buat kompromi-kompromi. Tawarkan revisi. TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukkan. Tapi, larangan radikalisme dan Khilafah juga harus dimasukkan. Win win solution dengan umat Islam. Sampai disini, PDIP masih cukup percaya diri. Umat Islam melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan sejumlah ormas yang lain nggak menanggapi nego PDIP. Dianggap angina lalu saja. Belakangan, PBNU muncul. Suaranya sangat lantang, “hentikan”. Pandangan dan sikap PBNU tegas dan lugas. Dasar pemikirannya lengkap, terukur dan berkelas. Perseteruan antara MUI, NU, Muhammadiyah plus Ormas-Ormas Islam lainnya dengan PDIP sebagai inisiator RUU HIP nampaknya akan memakan waktu yang panjang. Maraton. Sudah hampir sepekan ini, dua kelompok di atas berdebat kusur di media. Adu argumen, adu cerdik dan juga adu strategi kedua belah pihak kemungkinan akan semakin ramai ke depan. Tidak saja di media, tetapi juga dalam bentuk aksi demonstrasi. Di sejumlah daerah sudah terjadi. Demo ada dimana-mana. Nampaknya makin panas. Perdebatan tidak saja soal materiil dan formilnya, tetapi juga menyoal apa motif RUU HIP ini dilahirkan. Soal yang terakhir ini justru paling yang menarik. Sekaligus semakin seru dan memans-manaskan situasi politik nasional selama pandemic Covid 19 ke dapan. Di sini, kepemimpinan Jokowi akan diuji. Rakyat menunggu keputusan jelas dan tegas dari Jokowi. Tidak mudah memang. PDIP, tak saja sebagai partai pemenang. Tetapi, PDIP juga partai yang paling berjasa menjadikan Jokowi sebagai presiden. Sementara di sebelah PDIP, ada barisan MUI, NU, Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam memiliki kekuatan massa yang tak kecil. Terbesar di Indonesia. Jika isunya semakin matang, maka akan sangat merepotkan Jokowi. Legitimasi moral dan gelombang kekuatannya bisa lebih dahsyat dari 212. Asumsi ini tak terukur jika belum dibuktikan. Emang mau dibuktikan? Rakyat akan menunggu ke depan. Pertama, lebih kuat mana? Pressure PDIP vs pressure MUI yang didukung NU dan Muhammadiyah dan umat Islam itu. Kedua, kemana pilihan Jokowi akan berpihak. Kepada PDIP, atau kepada umatIslam? Rakyat sedang menunggu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Doking Si Kodok Peking di RUU HIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (18/06). Persoalan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) berismbas melebar. Dugaan adanya misi terselubung aktivis berfaham komunis atau neo-PKI berimbas pada ramainya di medsos soal Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menafikan komunis atau PKI saat ini. Bahkan menuduh yang mengungkit-ungkit soal PKI dan komunisme adalah Kadrun singkatan dari Kadal Gurun. Kadal Gurun atau Kadrun adalah predikat yang diberikan oleh aktivis PKI dahulu kepada para ulama, ustadz, aktivis Islam yang menjalankan agama Islam. Agama yang berasal dari daerah pegunungan atau gurun Saudi Arabia. Nabi Muhammad SAW adalah putera gurun. Lahir di Mekkah lalu hijrah dan berjuang serta wafat di Madinah. BAKOR KAN melaporkan Ade Armando atas sebutan Kadrun kepada masyarakat Minang. Menjelaskan bahwa Kadrun adalah predikat yang sering diungkap oleh PKI dahulu untuk melecehkan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Tentu saja Ade membantah bahwa Kadrunnya tidak berkaitan dengan Kadrun PKI. Mana yang benar biarlah menjadi urusan hukum pembuktian nantinya. Hanya saja Franciscus Xaverius Arief Poyuono menyebutkan bahwa yang mengungkit persoalan PKI dan komunisme adalah Kadrun. Ini menjadi persoalan serius ketika penolakan dilakukan oleh umat Islam yang mendukung Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sikap tegas menolak RUU HIP yang ditengai ingin menghidupkan kembali faham komunisme dan PKI yang didukung MUI Provinsi dari seluruh Indonesia Dengan demikian, ada RUU HIP yang mengkhawatirkan kebangkitan PKI dan komunisme seluruhnya disebut Kadrun. Padahal apa yang dikemukakan oleh para ulama, ustadz, aktivis Islam, para Purnawiraaan TNI-Polri, ormas Islam dan banyak forum serta aspirasi yang menolak RUU berbau PKI dan komunisme ini sangat beralasan. Sangat obyektif, dan rasional. Bila memberi predikat seenaknya bagi mereka yang anti PKI dan komunis adalah Kadrun, maka itu dapat memancing konflik baru. Nanti bisa saja yang pro pada RUU HIP yang berbau PKI dan komunis itu disebut dengan Kodok Peking. Orang China menyukai kodok sebagai makanan pilihan paling disukai. Jadinya, pantas dan wajar saja bila yang pro dengan RUU HIP atau pro terhadap RRC atau yang menafikan keberadaan PKI dan komunisme disebut sebagai “Doking si Kodok Peking. Kodok Peking pro Peking adalah penghianat negara. Mereka yang memasukkan TKA China ke Indonesia menggeser tenaga kerja pribumi. Mereka yang menjalin hubungan sangat erat dengan Pemerintah Komunis RRC. Kodok Peking ini sangat "welcome" dan siap bekerja sama dengan Partai Komunis China. Kodok Peking adalah pemuja investasi dan hutang luar negeri dari China. Seakan-akan rela untuk dijajah oleh China. Kodok Peking adalah kodok yang kaki bagian bawahnya ada di Indonesia. Sedangkan kaki atas mengais-ngais di Peking. Hampir sulit terjadinya kebangkitan atau berkembangnya faham komunisme di dunia saat ini tanpa peran Peking (Beijing). Dahulu Sovyet yang dominan. Pejabat negara kita ada yang terang terangan menyebut Indonesia tak mungkin lepas dari China. Ini yang membuat rakyat semakin khawatir pada pengaruh RRC di segala bidang khususnya ekonomi dan politik. Poyuono dan banyak tokoh atau pemimpin negara tegas menafikan keberadaan PKI dan komunisme. Padahal fakta itu ada dan nyata. Tentu tak mungkin terang-terangan seseorang atau kelompok menyebut dirinya PKI. Apalagi menjadi kader penyebarnya. Hukum melarangnya dan sanksi hukum menghadangnya. Makanya mereka bergerak "tanpa bentuk". Makanya mereka melompat sana melompat sini. Malompat dari satu partai ke partai yang lain. Persis seperti kodok. Kodok Peking (Doking) adalah hewan yang dapat berubah bentuk menjadi hewan penyebar penyakit berbahaya. Kodok Peking biasanya berkolaborasi dengan virus virus jahat dan sesat lainnya. Menggerogoti ideologi suatu negara. mencengkeram secara ekonomi, dan mengendalikan secara politik. Bermain di pemerintahan dan ruang parlemen. Begitulah pola dan kebiasaan Kodok Peking beroperasi. RUU HIP disamping memunculkan penolakan, juga ada suara ribut Doking si Kodok Peking penjilat yang gemar lompat sana lompat sini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
New Normal, Sama Dengan New President?
by Abdullah Hehamahua Jakarta FNN – Rabu (18/06). "Jadi dia guru dansa dan dia berdansa dengan teman dekatnya itu (WN Jepang )," kata Menkes Terawan Agus Putranto dalam jumpa pers di RSPI Sulianto Saroso, Jakarta Utara, Senin (2/3/2020). Maknanya, guru tersebut tertular setelah berdansa dengan warga negara Jepang yang bukan mahramnya. Otomatis, ibunya yang serumah pun tertular. Dansa bukan budaya Indonesia, apalagi Islam. Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra: 32). Presiden, secara resmi mengumumkan dua orang terpapar virus corona China tersebut. Aneh. Dua orang saja yang baru terpapar virus China itu, belum meninggal, namun serius diumumkan. Padahal, lebih 894 petugas KPPS meninggal ketika Pilpres, namun Presiden tidak ada empatinya. Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kades, boleh dibilang tidak ada yang merespons kematian 894 petugas KPPS. KPU, KPUD, Bawaslu, dan Panwaslu, seirama dengan sikap bos mereka. Apalagi, sebagian kepala daerah yang berpikir, jangan-jangan mereka berada dalam radar Jaksa Agung, orang parpol yang ada dalam koalisi penguasa waktu itu. Tragisnya, dokter Ani Hasibuan yang mengemukakan pendapat ilmiahnya secara professional, malah dikriminalisasi. Inilah contoh negara kekuasaan. Bukan negara hukum. Ilustrasi pertama pengkhianatan terhadap bangsa. Teori Kekekalan Enerji Semua energi yang ada di alam semesta ini tidak dapat dihilangkan. Energi hanya dapat diubah bentuknya menjadi energi bentuk lain. Panas setrika misalnya, merupakan hasil perubahan dari energi listrik. Jumlah enerji dari listrik sama banyak dengan yang digunakan di setrika. Berlaku juga hukum keseimbangan. Jumlah air yang menguap dari dalam tanah dengan yang turun dalam bentuk hujan, sama banyaknya. Satu detik, 16 juta ton air menguap dari bumi. Jumlah itu, sama dengan banyaknya air hujan yang turun ke bumi dalam satu detik. Ketika korban nyawa akibat virus China sudah mencapai empat ratusan orang, di salah satu grup WA, saya katakan, angka itu akan mencapai 894 orang, barulah serangan wabah menurun. “Menurut Arief, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit,” tulis Kompas.com tanggal 22 Januari 2020, pukul 15.46 WIB. Maknanya, menurut Ketua KPU, Arief Budiman, ada 894 petugas KPPS yang meninggal dan 5.175 yang sakit dalam Pilres 2019. Faktanya, 11 Juni 2020, 2.000 orang sudah meninggal. Apakah teori kekekalan enerji yang saya sebutkan di grup WA itu, keliru? Sebab, petugas KPPS Pilpres 2019 yang meninggal 894 sedangkan korban virus China, sudah 2.000 orang. Apakah itu berarti, dari 5.175 petugas KPPS yang sakit tersebut, tidak dilaporkan lagi berapa yang meninggal kemudian? Jika teori kekekalan enerji itu benar, maka diperkirakan korban meninggal dunia akibat virus China akan mencapai 6.069 orang. Maknanya, kebijakan Presiden tentang new normal ini akan menambah empat ribuan orang lagi yang akan meninggal. New Normal bermakna Presiden Baru? “Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan covid-19. Sekali lagi, yang penting masyaraat produktif, aman, dan nyaman,” kata presiden melalui keterangan resmi dari Istana Merdeka, Jum’at, 15 Mei lalu. Tanggal 26 Mei, Presdien mengumumkan 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota bisa bersiap menerapkan tatanan baru. Sidoarjo termasuk salah yang akan melaksanakan new normal padahal masih berstatus merah, dimana 609 kasus positif pada 29 Mei. Pertanyaannya, presiden mengutamakan produksi atau keselamatan rakyat? Keduanya berjalan serentak? Secara teoritik, kedua hal tersebut dapat berjalan beriringan. Syaratnya, pemerintah dan rakyat sudah siap. Pemerintah siap dengan sistem kepemimpinan baru, pengelolaan negara yang modern serta sarana dan prasarana penanggulangan virus China termutakhir. Kepemimpinan baru bermakna ganti presiden? Bisa iya. Tapi, juga bisa tidak. Sistem kepemimpinan baru, bermakna reshuffle kabinet atau cara kerja kabinet yang harus dibaiki. Bisa iya. Tetapi, bisa juga tidak. Sebab, ikan selalu busuk dari kepala. Sarana dan prasarana baru bermakna, penambahan rumah sakit, tenaga medis, peralatan medis, dan obat-obatan mutakhir. Apakah pemerintah mampu melakukan hal tersebut? Sebagian masyarakat, termasuk saya, ragu. Sebab, menghadapi gubernur-gubernur DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur saja, pemerintah pusat sudah kedodoran. Tidak ada di antara mereka yang ikhlas menyetujui kebijakan new normal tersebut. Anies Baswedan, salah satu dari 100 cendekiawan muslim terkenal di dunia saat ini, dan cucu pahlawan nasional, yang karena kecerdasan dan keahlakkannya, menggunakan istilah “PSBB transisi” sebagai bahasa tubuh menolak kebijakan Presiden tentang new normal. Komponen kedua adalah rakyat. Apakah mereka siap membantu keberhasilan new normal? Maaf, bukan menghina bangsa sendiri. Faktanya, masyarakat Indonesia terkenal tidak disiplin. Perhatikan, bagaimana mereka tetap berdesak naik bus, angkot, kereta api, pesawat terbang. Mereka juga berdesak-desakan menerima bansos di kantor kelurahan atau di tempat publik lainnya. Tolok ukur untuk memerkirakan new normal berhasil atau tidak, perlu mengamati kebijakan pemerintah Korsel. Sistem birokrasinya, salah satu dari tiga negara terbaik di Asia (Singapura, Jepang, Korsel). KPK juga sudah berguru sama Korsel mengenai proses reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi. Rakyat Korsel disiplin. Negeri ginseng ini mulai menerapkan new normal pada awal Mei 2020. Faktanya, tanggal 28 Mei lalu, pemerintah menerapkan kembali proses karantina. Sebab, pada hari itu, ada 78 kasus baru terpapar virus China. Diulangi, hanya 78 kasus baru. Bandingkan dengan Indonesia, dimana 979 kasus baru pada 11 Juni setelah diberlakukan new normal, awal bulan. Total, 35.295 orang terpapar virus China dan 2.000 orang meninggal. Pelajaran dari Negeri Ginseng Pemerintah Korsel melakukan intervensi cepat pada akhir Januari 2020. Sebelum krisis datang. Pemerintah Indonesia, baik oleh Wakil Presiden, Menko maupun para Menteri mengatakan, Indonesia tidak akan terkena virus corona. Pemerintah Korsel, sepekan setelah diumumkan kasus pertama, pejabat terkait menemui perwakilan berbagai perusahaan medis. Perusahaan diminta segera mengembangkan alat uji virus China dan memroduksinya secara massal. Hanya dalam dua pekan, ribuan perangkat tes dikirim setiap hari. Padahal, waktu itu, kasus yang dikonfirmasi masih dua digit. Kini, Korsel mampu memroduksi 100.000 kit per hari. Sejak itu, ada pembahasan ekspor alat uji tes ke 17 negara. Kebijakan solutif pencegahan dan penyembuhan diikuti lockdown di Daegu, daerah dimulainya virus China. Lalu bagaimana di Indonesia? Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan yang sebaliknya. Mengimpordan mengimpor. Bahkan, permintaan Gubernur DKI untuk dilakukan lockdown di Jakarta, ditolak oleh pemerintah Pusat. Nyata benar, perbedaan kualitas kepempinan tingkat negara. Kebijakan kedua pemerintah Korsel, dilakukan test dini anggota masyarakat. Sesering dan seaman mungkin. Korsel adalah negara yang menguji anggota masyarakat terbanyak di dunia, lebih dari 300.000 tes untuk tingkat per kapita. Bahkan 40 kali lipat dari AS. Pendekatan dengan cara pengujian masif dirancang untuk mengetahui seberapa besar wabah yang telah berlangsung. Rumah sakit dan klinik di Korsel tak kewalahan, karena pejabat membuka 600 pusat pengujian untuk menyaring orang sebanyak mungkin. Juga yang secepat mungkin. Proses tersebut jugauntuk menjaga petugas kesehatan tetap aman dengan meminimalkan kontak. Pengujian juga menggunakan stasiun drive-thru, di mana 50 stasiun digunakan untuk menguji pasien tanpa meninggalkan mobilnya. Mereka juga diberikan kuisioner, pemindaian suhu jarak jauh dan swab pada tenggorokan. Setiap proses butuh waktu hanya sekitar 10 menit. Hasil tes sudah bias diperoleh dalam beberapa jam. Bandingkan dengan Indonesia, 2 sampai 3 hari baru diketahui hasil test. Metode ketiga, pencarian kontak dan isolasi. Dimana jika seseorang dinyatakan positif, petugas kesehatan akan menelusuri kembali jejak perjalanan pasien dan mengujinya. Bahkan, jika perlu segera mengisolasi siapa pun yang melakukan kontak dengan pasien positif itu. Korsel telah mengembangkan alat dan tindakan pelacakan kontak agresif sejak MERS. Petugas kesehatan Korsel menelusuri pergerakan pasien dengan menggunakan rekaman kamera keamanan. Selain itu menelusuri melalui catatan kartu kredit, hingga data GPS dari mobil dan ponsel. Layaknya kerja seorang detektif. Saat wabah semakin meluas, pemerintah mengandalkan pesan massal untuk melakukan pelacakan secara intensif. Ponsel warga bergetar dengan peringatan darurat setiap kasus baru ditemukan di distrik mereka. Situs web dan aplikasi ponsel merinci jadwal perjalanan orang itu jam demi jam. Terkadang menit demi menit. Bahkan, bus yang dinaiki, kapan, dan dimana mereka naik-turun, terdeteksi walaupun memakai masker. Warga Korsel mengikhlaskan hilangnya privasi demi kepentingan bersama. Mereka yang melakukan karantina mandiri diwajibkan mengunduh aplikasi yang memberitahu petugas, jika nanti keluar dari isolasi. Korsel menerapkan denda bagi pelanggar, sebesar U$ 2.500 dollar. Di Indonesia, warga tidak mau ditest. Metoda Keempat, pendaftaran warga yang menjadi sukarelawan kesehatan. Dahsyatnya, siaran televisi, pengumuman stasiun kereta bawah tanah, dan peringatan di ponsel pribadi tak pernah berhenti mengingatkan warga untuk mengenakan masker. Pesan di ponsel pribadi juga memberi petunjuk tentang social distancing dan data transmisi pada hari itu. Wajar kalau survei menunjukkan, mayoritas warga menyetujui dan yakin dengan upaya pemerintah untuk menangani virus China ini. Bahkan, pemerintah memberi intensif bagi warga yang tak bergejala, mau dites. Berbeda dengan Indonesia, dimana mayoritas masyarakat tidak percaya kemampuan pemerintah menangani virus China ini. Mungkinkah cara Korsel diadaptasi? Para ahli menyebutkan, Korsel berhasil karena pemerintah memiliki kemauan politik yang serius untuk melindungi rakyatnya. Sedangkan Indonesia, pemerintah lebih mengutamakan keselamatan usaha asing dan aseng. Lha, apa buktinya? Buktinya Presiden mendatangi mall milik Naga 9 ketimbang ke masjid atau pasar induk. Persoalan berikutnya, kepercayaan publik Korsel sangat tinggi terhadap pemerintah. Sementara di Indonesia, ada kalangan yang menyambut kebijakan new normal dengan goyonan, mendingan “new president”. Rekonsiliasi atau Reorientasi? Dua alternative menuntaskan virus China dan dampaknya. Pertama, rekonsiliasi nasional dengan memerhatikan aspirasi masyarakat yang ingin Sidang Umum Istimewa MPR, mema’zulkan presiden dengan mengikuti protokoler UUD 45. Menetapkan KH Ma’ruf Amin sebagai presiden dengan tugas melaksanakan Pilpres dalam waktu dua tahun ke depan. Kedua, tidak ada pema’zulan presiden, dengan cara, “Menarik RUU Omnibus Law dan RUU HIP, Membatalkan UU No 2/2020 tentang Covid 19 dan UU Minerba”. Selain itu, menahan dan memroses Penyelanggara Negara yang terindikasi komunisme, marxisme, dan leninisme. Membebaskan pemuda, mahasiswa, ulama, dan aktivis yang ditangkap karena penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum. Semoga ! Penulis adalah Mantan Penasehat KPK
Diperintah Makan Enak Kolonel Pramono Edhie Wibowo
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN- "Wan ajak mas Hersu makan yang enak ya,” ujar Kolonel Pramono Edhie Wibowo kepada Lettu Inf Iwan Setiawan. “Siap!” jawab Lettu Iwan sambil tersenyum. Iwan langsung mengajak saya keluar Ksatrian Gatot Subroto Markas Group I Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Letaknya tak jauh dari pintu tol Serang Barat, Banten. Kami menuju salah satu restauran yang banyak tersebar di sepanjang jalan Kota Serang-Cilegon. Makan enak seperti “diperintahkan” Sang Kolonel . Edhie sendiri memilih melanjutkan kerja dan kemudian makan bersama dengan staf dan pasukannya. Dia tampaknya tak enak hati kalau harus mengajak saya makan ransum, jatah prajurit. Siang itu saya baru saja menemui Edhie yang menjabat sebagai Komandan Group 1 Kopassus TNI AD di Serang, Banten (1998). Kami membahas detil akhir rencana penerbitan buku dokumentasi keberhasilan para pendaki Kopassus TNI mencapai puncak gunung tertinggi di dunia Himalaya ( 8.848 meter). Setahun sebelumnya (26 April 1997) dua orang pendaki Kopassus Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin berhasil mencapai puncak Himalaya. Tim ini dipimpin oleh Lettu Iwan Setiawan yang kini menjadi Komandan Korem 173/PVB di Biak, Papua dengan pangkat Brigjen. Ketiganya menjadi pendaki pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai puncak impian pendaki gunung di seluruh dunia. Buku berjudul “Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan” itu rencananya akan diterbitkan pada tanggal 17 Agustus 1998 bersamaan dengan HUT Kemerdekaan RI ke 53. Sebagai anggota tim penulis, saya sering menemui Kolonel Edhie untuk konsultasi, mengecek akurasi data, dan berbagai teknis lainnya. Sewaktu masih berpangkat Letkol dan menjabat sebagai Wakil Komandan Group 1 Kopassus, Edhie ditunjuk oleh Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto sebagai Koordinator Umum Tim Ekspedisi Himalaya. Dia memimpin ekspedisi, bekerjasama dengan sejumlah pendaki sipil dari berbagai klub pendaki antara lain Mapala UI dan Wanadri. Dalam penyusunan dan penulisan buku Edhie menjadi koordinator pelaksana. Prabowo sebagai penanggung jawab. Berbarengan dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, dan karir militer Prabowo terhenti, Edhie juga mengambil peran sebagai penanggung jawab. Sebagai komandan, Edhie punya kebiasaan unik. Dia makan jatah ransum yang juga dimakan anak buahnya. Tak ingin dibeda-bedakan. Sederhana, dekat dengan anak buah adalah sifat yang menonjol putra legenda Kopassus Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo. Dia tampaknya sangat meneladani, menjaga nama baik dan kehormatan ayahandanya. Seorang anak buahnya bercerita, selama menjadi Komandan Group di Serang, dia menolak setoran dan pemberian para pengusaha. Kebiasaan semacam itu secara bercanda disebut sebagai jatah “preman.” Sebagai gantinya Edhie minta kepada pengusaha untuk membantu anak buahnya, bila memerlukan. Misalnya kepada pengusaha angkutan, dia minta ketika anak buahnya naik, digratiskan. Fasilitas-fasilitas kecil semacam itu sangat membantu para prajurit yang gajinya tidak memadai. Sikap Edhie membuat anak buah sangat respek. Menghormatinya. Gayanya tidak berubah kendati karirnya terus meroket. Berbagai jabatan penting di TNI AD pernah diembannya. Mulai dari Danjen Kopassus (2008–2009), Pangdam III/Siliwangi (2009–2010), dan Panglima Kostrad (2010–2011). Puncak karirnya di militer ketika diangkat menjadi Kepala Staf TNI AD (2011-2013) dengan pangkat jenderal bintang empat. Edhie tetap menyapa ramah dengan senyum mengembang manakala bertemu. “Eh kemana aja lu?,” sapanya. Jenderal baik hati, ramah dan sederhana itu Sabtu (13/6) wafat dalam usia 65 tahun karena sakit jantung. Selamat jalan Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Semoga Allah SWT menerima semua amal baikmu. Allohuma firlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu. End Penulis Wartawan Senior
Gagalnya Usaha Kader Neo-PKI Gerogoti Pancasila
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (17/06). Pemerintah memutuskan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Setelah Mahfud MD yang didampingi Yasonna Laoly menyatakan sikap Pemerintah untuk menunda pembahasan RUU HIP, pemerintah meminta DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu. Kemungkinan kegagalan RUU HIP untuk menjadi Undang-Undang sangat besar. Kegagalan ini didasarkan pada kuatnya aspirasi penolakan RUU HIP. Penolakan itu bukan hanya semata-mata untuk direvisi atau tambah dan kurang. Tetapi tidak dilanjutkan pembahsannya menjadi undang-undang. Memang pemerintah tidak tegas dalam bersikap. Apakah pemerintah menolak untuk melakukan pembahasan lebih lanjut atau menghentikan. Seperti biasa solusinya pemerintah selalu "mengambang". Pemerintah hanya meminta DPR menyerap aspirasi terlebih dahulu. Sebenarnya hal ini adalah intervensi. Bagi DPR, secara hukum sudah selesai dengan ketukan di Paripurna. Dengan meminta DPR menyerap aspirasi lagi, maka pemerintah telah melecehkan institusi DPR. Namun, meski dilecehkan, DPR pasati bakal menerima saja, karena DPR telah terbiasa dilecehkan. Kalau tidak dilecehkan, DPR kadang-kadang, dan mulai terbiasa melehkan dirinya sendiri. Lihat saja pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Meski kewenangan budgeting DPR berdasarkan konstitusi UUD 1945 dijamin, namun ketika diamputasi pemerintah, DPR meterima saja dengan senang hati. Sebelumnya telah membuat RUU HIP dengan asal-asalan, kontroversial, dan tendensius. DPR secara sadar mau menghidupkan kembali faham komunisme, marxisme-leninisme. Sayangnya, rencana busuk DPR untuk mendegradasi ideologi Pancasil dengan undang-undang ini ditentang dan dilawan keras oleh masyatakat, khususnya umat Islam Ada empat konsekuensi politik dari kegagalan tersebut. Pertama, DPR sebaiknya mendrop RUU HIP dari (Program Legislasi Nasional) Prolegnas Prioritas. Langkah ini sebagai jawaban menjaga kewibawaan diri DPR. Jika hanya mengikuti saran Pemerintah, maka sangat jelas DPR menjadi bawahan dari Pemerintah. Padahal RUU ini telah menjadi "sampah" di masyarakat, khususnya umat Islam. Kedua, mengingat RUU HIP telah mendegradasi Ideologi Pancasila, maka jika "terpaksa" hendak melakukan pembahasan kembali di DPR maka, harus mengajak DPD RI. Artinya, lembaga MPR yang lebih kompeten. Pembahasannya ditarik ke atas. Bukan lagi di DPR, tetapi sudah di MPR. Ketiga, sikap rakyat yang tegas menolak, dan sikap Pemerintah yang menunda menandakan ada yang tidak beres pada RUU HIP ini. Misi tersembunyi yang diisukan kuat soal komunisme cukup serius. PDIP sebagai pengusung harus melakukan pembersihan diri ke dalam dari kader-kader neo-PKI. Keempat, ke depan DPR atau siapapun dalam mengambil kebijakan politik, harus mempertimbangkan aspirasi umat Islam. Mengecilkan dan menyinggung perasaan politik umat Islam adalah pengingkaran terhadap sejarah pendirian bangsa ini. Sekaligus dapat memancing konflik baru dengan umat Islam. RUU HIP adalah bukti nyata tentang catatan buruk dari rapuhnya DPR dalam mencitrakan diri sebagai lembaga perwakilan rakyat. Koalisi partai partai di pemerintahan menambah kerapuhan di tingkat DPR. Ketum Partai yang menjadi menteri, memudahkan lobby sekaligus bukti kooptasi. Untuk itu, ke depan harus ada larangan Ketua Partai menjadi pembantu Presiden. RUU HIP secara filosofis, yuridis, sosiologis, dan historis sangat buruk. Kini tercampak sebagai RUU "sampah". Karenanya selayaknya untuk tidak menjadi bahasan DPR lagi. Rakyat, khususnya umat Islam kembali telah berhasil menggagalkan upaya neo-PKI untuk "mengkudeta" halus ideologi Pancasila. DPR harus tegas menarik RUU HIP dan tidak mengambangkan lagi. Sikap "buying time" hanya menambah kerawanan politik baru. Sementara sikap rakyat dan pemerintah sudah sangat jelas. Pilihan bagi kewibawaan DPR adalah cabut atau tarik kembali RUU HIP dari Prolegnas Prioritas tahun 2020. Meskipun usaha kader-kader neo-PKI untuk sementara telah gagal. Namun, berdasarkan perintah Majelis Ulama Indonesia (MUI), umat Islam akan terus dan terus melakukan pengawalan terhadap RUU HIP ini. Umat Islam tidak akan pernih diam atau tidur dalam menghadapi upaya-upaya mengkerdilkan, mendegrdasi, mendistorsi ideoligi Pancasil. Catat dan ingat itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Batalkan RUU HIP, Tanpa Kompromi!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (16/06). Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat jelas dan tegas. Maklumat MUI poin Nomor 4 berbunyi, "Wajib RUU HIP ini ditolak dengan tegas tanpa kompromi apapun". Tidak ada lagi yang abu-abu dari sikap MUI. Artinya, RUU HIP harus dieluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020 Jadi, tolak. Bukan direvisi. Tolak artinya, batalkan pembahasan RUU HIP. Nggak ada ruang. Jangan ngeyel dungu dan dongo. Kenapa? Karena masalah di RUU HIP bukan hanya soal materi, tetapi diduga ada upaya untuk membangkitkan kembali faham komunisme-PKI di Indonesia. Maka, di poin Nonor 5 Maklumat MUI dinyatakan "Kami pantas mencurigai bahwa konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dari PKI, dan oleh karena itu patut diusut oleh yang berwajib". Ingat itu. Konseptorn RUU HIP harus diusut lebih lanjut. Tidak hanya menolak RUU HIP. MUI juga mendesak pihak yang berwajib, dalam konteks ini tentu adalah kepolisian untuk mengusut siapa saja yang terlibat dibalik upaya untuk membangkitkan PKI melalui RUU HIP. Publik dan masyarakat berhak untuk siapa saja konseptornya? Dan poin Nomor 6 "MUI Meminta dan menghimbau kepada umat Islam Indonesia agar tetap waspada dan selalu siap siaga terhadap penyebaran faham komunis dengan pelbagai cara dan metode licik, yang mereka lakukan saat ini". MUI menggunakan kata "Metode licik". Ini pilihan diksinya keras sekali. Artinya, MUI menyimpulkan bahwa cara-cara yang dipakai oleh kumunisme-PKI itu licik dan licik. Menghalalkan segala cara. Wajar saja dong... PKI itu kan anti Tuhan. Standar moralnya tentu beda dengan umat beragama. Pada poin Nomor 8, MUI Pusat dan segenap Pimpinan MUI Propinsi dari seluruh Indonesia "menghimbau Umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak paham dan berbagai upaya licik yang dilakukan PKI… ". Lagi-lagi, MUI masih tetap menggunakan kata "licik". Kata ini dipakai oleh MUI untuk mengulangi ketegasannya tentang usaha PKI untuk bangkit kembali. Umat Islam dihimbau MUI untuk selalu siapa-siaga sebagai garda terdepan melakukan perlawanan secara konstitusional. Ingat itu. Perlawanan secara konstitusional. Mau Dibarter Dengan Khilafah Maklumat MUI sangat jelas dan tegas, “Tolak RUU HIP”. Tak ada ruang untuk dibahas lagi di DPR. MUI yang didukung oleh hampir semua elemen Umat Islam menginginkan RUU HIP dibatalkan. Sekali lagi, dibatalkan. Bukan direvisi yaa… Jangan coba-coba mengotak atik. Jangan juga merekayasa dan melakukan negosiasi untuk melanjutkan pembahsan RUU HIP. Kalau dilanjutkan dengan alasan apapun, akan berhadapn dengan MUI dan Umat Islam. Bisa berakit pada terjadinya instabilitas politik. Ada isu, diktum "Khilafah" mau dimasukkan sebagai bagian dari negosiasi dengan kelompok Islam. Ini lucu dan menggelikan. Barter dengan "Khilafah" itu terlalu mengada-ada. MUI dan Umat Islam tidak butuh, dan tidak mau barter-barteran. Maunya hanya “menghhentikan dan membatalkan” pembahasan RUU HIP pada tahap berikutnya. Begitu saja ko repit. Mudah kan? Maklumat MUI poin Nomor 4 "tolak tanpa kompromi", itu jelas dan tegas. Nggak ada kompromi. Artinya, nggak ada juga negosiasi. Mau Khilafah kek, mau piagam Jakarta kek, atau apapun juga, tidak. No negosiation! Nggak ada kompromi. Tenyata bias gareang, tegas dan keras juga organisasi para ulama yang lahir 26 Juli 1975 ini. Jadi teringat kembali sama Buya Hamka, ketua MUI pertama. Lugas, tak bisa diajak kompromi untuk hal-hal yang prinsip. Nampaknya, MUI sekarang ingin menunjukkan jati dirinya yang asli. Dalam konteks perlawanannya terhadap RUU HIP, MUI Pusat tidak sendirian. Maklumat ini didukung oleh MUI provinsi seluruh Indonesia. Juga didukung oleh ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irysad,Al-Washliyah, PUI Wahdah Islamiyah, Ansor, FPI, dan berbagai elemen masyarakat muslim di seluruh Indonesia. Pemerintah dan DPR, akan lebih bijak jika mendengar aspirasi dan peringatan ini. Batalkan RUU HIP, dan jangan dibahas lagi di DPR. Jangan mencoba-coba untuk bernegosiasi, karena itu hanya akan memperkuat kecurigaan, yang dari semula sudah tumbuh di kalangan umat Islam. Jika pembahasan RUU dipaksakan, khawatir ini justru akan memancing gejolak bangsa. Sangat Berbahaya! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.