NASIONAL
DPR Sebaiknya Kibarkan Saja Bendera Putih
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (25/06). DPR sudah terlalu berat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Haliuan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Atmosfer politik yang ada tidak lagi mendukung DPR dan Pemerintah untuk menjadikan RUU ini sukses menjadi undang-undang. Jika penundaan Pemerintah yang tidak jelas dasarnya tersebut berujung pada pembahasan juga, maka diprediksi sulit untuk DPR bisa bekerja dengan tenang, jernih dan lancar. Sebab aksi-aksi protes dan penolakan akan terus membarengi dan mengganggu kerja-kerja DPR di pembahsan RUU HIP ini. Karena RUU telah menjadi "bencana nasional" bagi masyarakat Indonesai, khsusnya umat Islam. Jika dilanjuutkan, apapun resikonya, umat dipastikan akan berhadap-hadapan dengan DPR. Termasuk juga siap untuk beradu kuat dengan pemerintah. Masalah ini sudah menyangkut keyaninan mayoritas umat Islam dalam bernegara. Pancasila dan UUD konsensus tanggal 18 Agustus 1945 itulah yang paling top, paling pas dan paling cocok bagi bangsa Indonesia. Jangan aneh-aneh lagi. Tutup dan kunci rapat-rapat segalan bentuk pembicaraan lanjutan mengenai Pancasila dan UUD 1945. Meski membahasakan kepada rakyat dengan kata "menunda", pemerintah juga nampaknya masih bingung. Sebab di satu sisi, desakan rakyat khususnya umat Islam untuk menghentikan segala proses lanjutan terhadap RUU HIP sangatlah kuat. Sementara di sisi lain, usulan dan gagasan awal RUU ini datang dari PDIP. Yang tak lain merupakan partainya pemerintah sendiri. Sikap tegas pemerintah akan menyinggung "marwah" PDIP dan juga DPR. Untuk itu, sebaiknya DPR tak perlu ngotot dan melawan kemauan rakyat. Sinyal datri pemerintah ini agar dibaca dan diantisipasi oleh DPR, dengan segera menarik atau menghentikan RUU inisiatif. Opsi yang ditawarkan berupa revisi atau perbaikan, “sangat tidak sesuai aspirasi" rakyat. Bahkan cenderung DPR anggap tidak aspiratif. Keinginan dan aspirasi publik hanya tiga, yaitu tolak, tarik lagi, dan hentikan pembahasan segala bentuk selanjutnya RUU HIP ini. Jangan sampai telah terpatri di hati rakyat bahwa RUU HIP yang beraroma Orde Lama, bahkan berbau amis komunisme tersebut dilajutkan lagi pembahsannya. Tuduhan terkuat adalah tanda kebangkitan PKI. Neo-PKI. Pahami pesan itu baik-baik. Ada pembakaran bendera PKI pada aksi unjuk rasa tanggal 24 Juni di depan Gedung DPR-RI. Pengunjuk rasa bernyanyi dengan semangat "bakar, bakar, bakar PKI, bakar PKI sekarang juga". Aspirasi ini yang mesti didengar oleh para wakil rakyat di DPR. Tak juga perlu menuduh masyarakat yang anti PKI itu sebagai "kadrun". Kenyataan ini adalah realita dari perasaan politik rakyat yang mereaksi cara elit politik bermain dengan sangat licik, culas , busuk dan bau amis. Uniknya, entah karena kecewa atas sikap pemerintah yang "lembek" dan cenderung "mengeles". Dampak dari seikap pemerintah yang hanya menyatakan "menunda pembahsan" atau karena ada akumulasi rasa jengkel dan tidak percaya kepada pemerintah, khususnya Presiden selama ini. Akibatnya, pada momen demonstrasi di DPR Rabu kemarin, lagu "perjuangan" dinyanyikan pula oleh pengunjuk rasa dengan antusias "turun, turun, turun Jokowi, turun Jokowi sekarang juga". Meski bola RUU secara yuridis formal masih berada di tangan Pemerintah, karena belum ada yang "Surpres" yang dilayangkan kepada DPR, tetapi pidato Menko Polhukam Mahfud MD yang didampingi Menkumham Yasonna Laoly baru-baru ini telah memberi indikasi sikap Pemerintah. Oleh karenanya DPR sebenarnya sudah dapat mengambil sikap atau kebijakan strategis untuk menjawab aspirasi rakyat tersebut. DPR jangan lewatkan momentum ini untuk memulihkan kepercayaan rakyat DPR sebaiknya mulai melakukan rapat Baleg maupun Fraksi-Fraksi untuk segera menentukan sikap. Hentikan RUU HIP dan tarik dari daftar program legislasi. Kembali perhatian pada agenda lain seperti pandemi covid 19 dan pemulihan keadaan. Jangan mengambangkan persoalan RUU HIP yang membuat gaduh dan resah rakyat tersebut. Jika ini dianggap sebagai "pertempuran" untuk menggoalkan RUU HIP menjadi undang-undang, maka gempuran akan terus menguat. Sebaiknya DPR mundur saja. Mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Apalagi menyerah kepada rakyat itu lebih terhormat. Tidak bagus untuk memaksakan kehendak. Situasi berkaitan RUU HIP ini semakin rentan dan rawan. DPR menyerahlah. Penulis adalah Penerhati Politik dan Kebangsaan
Biar Adil, Larang Juga Salibisme Dan Chinaisme
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (25/05). Hasto Kristiyanto yang beragama Katolik, telah mencoba menohok umat Islam. Tohokan Harto tersebut, baik secara samar-samar maupun terang-terangan. Terlihat sekali kalau kebencian Hasto kepada umat Islam sudah di ubun-ubun. Aspirasi penolakan rakyat yang besar, deras dan kuat, sehingga tak mungkin dibendung tentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Bahwa Tap MPRS tentang larangan PKI dan Komunisme harus masuk RUU HIP, Hasto ristiyanto malah menyatakan PDIP akan menambah larangan PKI dengan Liberalisme/ Kapitalisme, Radikalisme, dan Khilafahisme. Soal Liberalisme dan Kapitalisme tidak ada masalah Hasto, karena itu gandengan dari Sosialisme dan Komunisme. Meski ungkapan itu hanya membuat senyum saja "memercik air di dulang terpercik muka sendiri". Hampir dapat dikatakan bahwa kesuksesan pemenangan Pemilu Legislatif maupun Presiden adalah produk budaya Kapitalisme dan Liberalisme. Pidato Surya Paloh di depan Civitas Academica Universitas Indonesia dapat dijadikan pelajaran dan pencerminan. Radikalisme bukan ideologi. Radikalisme adalah cara kerja atau model. Bukan ideologi atau cita-cita yang diperjuangkan. Bisa terjadi dimana saja, pada agama manapun, atau di partai apapun. Jadi tidak ekivalen. Sayangnya pada rezim ini radikalisme selalu diarahkan pada umat Islam. Sertinya di agama-agama yang lain tidak ada radikalisme. Khilafahisme juga diarahkan pada umat Islam lagi. Khilafahisme itu juga bukan ideologi Hasto. Apalagi yang disejajarkan dengan Komunisme. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang dikenal sejak Nabi Muhammad SAW wafat. Sistem itu telah diakui sebagai sistem pemerintahan yang sangat baik dalam perjalanan kesejarahannya. Itu nyata. Pernyataan Hasto yang menohok umat Islam adalah ngawur, benci, dendam dan "out of order" atas penolakan umat terhadap RUU HIP. PKI dan Komunisme dilarang atas dasar landasan hukum yang kuat. Menambah nambah justru membuat persoalan baru Hasto. Sebaiknya harus jelas dahulu landasan hukumnya. Jika tidak, bukan saja bias, tetapi juga bisa mengarah pada penistaan. Jangan asal ngomong yang menyinggung masalah agama. Hasto bisa menambah dan memproduksi masalah baru. Hasrto bisa saja dituduh membenci terhadap Islam. Apalagi Harsto baragama Khatolik. Jangan membuta pernyataan karena panic dan kesal kepada umat Islam. Jika "ngotot" dan memaksakan hal yang di luar substansi. Reaksi publik soal pembatalan RUU HIP yang diusulkan PDI, karena berbau komunis dengan menambah "isme-isme" lain. Maka sangat wajar jika ada usul larangan juga pada dua isme yang mengganggu dan meresahkan rakyat dan umat Islam, yaitu "Salibisme" dan "Chinaisme". Salibisme bukan berarti agama Kristen yang dilarang, tetapi Kristenisasi dengan upaya masif dan sistemik melakukan pemurtadan umat Islam. Baik melalui pengobatan, pemberian materi, politik kekuasaan, tekanan bisnis, atau lainnya. Dominasi politik "Kristen Internasional" juga menjadi bagian dari Salibisme. Demikian juga dengan yang merusak kerukunan, seperti kasus di Sumatera Barat. Sering muncul propaganda bahwa umat Islam adalah kelompok intoleran padahal. Padahal umat lain lah yang sebenarnya justru bersikap intoleran tersebut. Chinaisme adalah takluknya aspek budaya, ekonomi, maupun politik kepada hegemoni bangsa China. RRC adalah negara sentral komando. Penundukan sukarela maupun paksa pada hal yang serba China adalah bertentangan dengan nasionalisme bangsa Indonesia. Memarjinalkan kaum pribumi pada aspek budaya, ekonomi, hukum dan politik adalah penghinaan kepada Pancasila dan UUD 1945. Chinaisme dekat-dekat pula dengan komunisme yang dipastikan sangat berbahaya. Semestinya persoalan RUU HIP disikapi dengan bijak. Faktanya adalah rakyat telah menolak. Ada muatan dan materi RUU HIP yang mengganggu. Tidak perlu disikapi dengan "terima atau revisi dengan syarat". Rakyat khususnya umat Islam sudah bersikap tetap menolak RUU. Tak perlu berapologi. Apalagi menambah nambah larangan ala Hasto Kristiyanto. Jika- Hasto terus bersemangat menyodok umat, maka usulannya adalah tegas larang juga Salibisme dan Chinaisme. Menjadi adil kan Hasto? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Presiden Dilarang Bilang “Tidak Tahu Adanya RUU HIP”
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (24/06). PDIP melalui Fraksi di DPR telah menjadi pengusung RUU HIP yang beraroma komunisme. Kenyataan ini dapat menjadi pintu pembuka untuk mengusut asal-muasal munculnya gagasan dan pembahasan. Penunjukan Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Panja wajar dicurigai oleh masyarakat khususnya umat Islam. Bisa dimulai dari Rieke Diah Pitaloka. Ketuk palu Ketua DPR RI Puan Maharani yang tergesa-gesa semakin mayakinkan dugaan ada rekayasa untuk menggoalkan RUU HIP. Cukup menjadi asalan kalau ada keinginan untuk membuka celah bagi pengembangan faham komunisme di Indonesia. Ketika RUU diusulkan oleh Fraksi atau anggota Fraksi, tentu dilengkapi oleh naskah akademik dan draft RUU. Siapa penyusun draft dan naskah akademik? Ini soal penting untuk diketahui masyarakat, khususnya umat Islam. Sebab dari sanalah situasi gaduh ini dimulai . PDIP sebaiknya mengklarifikasi proses yang terjadi di internalnya. PDIP harus membersihkan diri dari tuduhan sebagai partai sarang atau tempat sembunyi para kader-kader komunis. Klarifikasi itu menjadi sangat penting dan strategis untuk membangun kembali kepercayaan kepada PDIP. Jika tidak, maka menjadi wajar bila ada yang memberi stempel PDIP sebagai penista ideologi Pancasila. Kemungkinan tumbulnya saling curiga antara masyarakat yang anti faham komunis, khusunya umat Islam dengan PDIP akan berlangsung untuk waktu yang panjang. Ini jangan sampai terjadi. Publik berhak menilai dengan obyektif untuk kemudian memaklumi, memaafkan, atau mendorong ke arah proses hukum yang terbuka dan adil. Yang jelas mengembangkan faham komunisme/marxisme-leninisme adalah perbuatan terlarang. Ideologi tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan politik pragmatic. Apalagi tindakan kriminal. Kualifikasinya adalah makar terhadap negara. PKI dan komunisme menjadi musuh seluruh rakyat Indonesia. Bukan sekedar musuhnya "kadrun" dalam sebutan para "doking" si kodok peking. Untuk itu, tidak boleh dibuka sedikitpun celah untuk leluasanya para kader komunis bergerak atau menempel di institusi strategis, termasuk partai politik. Untuk maksud tersebut, pengusutan mesti tuntas dilakukan. Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan saatnya Presiden menjadi "komandan" dari pengawasan dan pembersihan berbagai institusi dari permainan dan perjuangan kaum komunis yang terlarang itu. Presiden tidak boleh sembunyi di “gorong-gorong”. Presiden juga tidak boleh terus "semedi" di dalam gua istana untuk membiarkan apa yang diresahkan masyarakat. Presiden tidak boleh bilang tak bahwa Presiden tidak tau adanya RUU HIP. Presiden wajib untuk mengetahui adanya konseptor dan inisiator RUU yang mengancam eksistensi Pancasila. Sebab Presiden punya perangkat pendukung sangat kuat yang telah disediakan negara untuk mengawasi faham komunis terlarang ini. Presiden punya Badan Intelijen Negara (BIN) yang mengkordinasi intelijen TNI, intelijen Polisi dan intelijen Kejaksaan. Sehingga Presiden wajib tau ancaman sekecil apapun terhadap ideologi negara Pancasila. Preiden Jokowi itu memimpin koalisi Partai Politik paling besar yang membahas RUU HIP di Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi Prolegnas prioritas. Kaslisi itu adalah PDPIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP. Paling sedikit ada tiga Ketua Umum Partai koalisi Presiden Jokowi yang sekarang menjadi menteri, yaitu Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto dan Suharso Monoarpa. Jika Presiden Jokowi menyatakan bahwa sama sekali tidak mengetahui soal RUU HIP, karena hal itu adalah inisiatif dewan, tentu tak bisa diterima. Usulan diajukan oleh PDIP dan Menkumham "pembantu dekat Presiden" Yasonna Laoly adalah kader PDIP. Presiden juga adalah "petugas partai" PDIP. Jadi mustahil Presiden tidak diinformasikan disini. Dulu di masa Orde Lama, Presiden Soekarno dinilai membiarkan perkembangan komunisme. Akibatnya ada pihak yang menuduhnya terlibat. Sekurang-kurangnya mengetahui terjadinya percobaan kudeta oleh PKI pada bulan September 1965. Nah, Presiden Jokowi sekarang dituntut untuk lebih jelas dan tegas bersikap soal komunisme. Rakyat khawatir terhadap agenda dan upaya sistematik kader komunis. RUU HIP menjadi bola panas. Masyarakat meminta pencabutan atau penghentian proses pembahasan. Bukan menunda atau merevisi. Pemerintah mengambangkan dengan bahasa "menunda". Ketika bola RUU ada di tangan pemerintah. Sebenarnya pilihan hanya dua, yaitu mengirim tim untuk pembahasan bersama dengan DPR atau menyatakan tidak akan melakukan pembahasan. Tak ada nomenklatur "menunda". Sudahi kegaduhan ini. Buang fikiran otak-atik RUU HIP. Lempar saja jauh-jauh RUU yang bermuatan pasal virus perusak Pancasila tersebut. Usut perancang dan perencana. Beri sanksi politik. Rakyat sedang menunggu proses hukum. Sebab ini adalah peristiwa kejahatan politik yang tidak boleh diulangi. Sekali tidak boleh diulangi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
RUU Omnibus, Kepentingan Korporasi Culas dan Licik
by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum. Jakarta FNN – Rabu (24/06). DPR dan Presiden telah sukses besar menjadikan UU Minerba. Sukses berikutnya juga sedang menanti. Sukses berikut itu adalah menggolkan RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), yang sekarang berubah menjadi RUU Omnibus Cipta Kerja menjadi undang-undang. Sekalipun berbeda dalam cakupan isu, konstelasi politik kedua RUU itu menarik. Politik kedua isu itu tidak bisa, dengan alasan apapun, dilepaskan dari mimpi akselerasi ekonomi nasional. Ini mimpi paling indah untuk korporasi, baik korporasi global maupun dalam negeri. Konteks politik itu menarik perhatian Bank Dunia terhadap RUU konyol ini. Paradoksnya kedua UU terlihat tidak cukup mengasyikan bagi kalangan di dalam negeri. Itu jelas hambatan. Tentu harus diminimalkan. Caranya, maksimalkan kampanye dan propaganda bahwa RUU akan membuat UMKM berjaya. Manis Kulitnya Logiskah penilaian Bank Dunia itu? Bank dunia memang bukan World Trade Organization (WTO), yang berada diposisi terdepan memprakarsai UU yang bersifat Omnibus. Tetapi perbedaan itu hanya penting dalam nama, tidak dalam fungsi materilnya. Pada aspek materil, keduanya sama-sama bekerja meliberalisasi tatanan ekonomi dunia. Liberalisasi bukan imprialisasi. Liberalisasi dikonsolidasi secara konseptual sebagai gagasan penyebaran keadilan dan kesejahteraan. Liberalisasi, dalam konteks itu memang bukan dominasi, apalagi imprialisasi. Teorinya begitu. Konsep yang dirancang oleh korporasi, yang dalam perkembangannya direalisasikan oleh pemerintah. Begitulah yang terjadi, terutama Amerika, yang secara empiris justru menyajikan kenyataan berbeda. Kenyataan empiris memperlihatkan korporasi-korporasi di Amerika dan Inggris, yang muncul sebagai konseptornya, begitu cerdas. Dimana letak cerdasnya? Negara-negara yang kalah di perang dunia pertama dan kedua, yang semuanya memble itu, tidak bisa menawarkan apapun, untuk bersaing selain sumberdaya alamnya. Negara-negara miskin, akhirnya menemukan kenyataan. Meraka harus bekerja dalam skema korporasi. Merumitkan perizinan, sama dengan melarat. Investasi tidak masuk. Mau tidak mau negara-negara miskin harus memanjakan, dalam makna bekerja sesuai skema yang yang diinginkan korporasi itu. Memudahkan perizinan untuk usaha. Apapun juga, hanya itulah yang menjadi jalan terdekat yang tersedia. Liberalisasi jadinya menempatkan negara-negara itu ke dalam cengkeraman korporasi besar. Begitulah adanya. Ini hampir tak bisa disangkal. Kenyataan itu, dikenali baik oleh China. Daripada menantang liberalisasi gila-gilaan itu, yang hasilnya bisa nekat, lebih baik liberalisasi juga ekonomi dalam negerinya. China komunis itu pun, akhirnya berada di jalur itu. Mereka, dalam rangka memenangkan pertempuran perebutan investor, bergerak maju sesuai kaidah kapitalisme. Hukumnya harus andal. Sistem peradilan pun harus andal. Ini diketahui betul sebagai dua hal yang sama pentingnya dengan kemudahan memperoleh izin. Vietnam juga mengambil rute ini. Rute ini harus diambil setelah dipaksa dengan cara manis oleh WTO. Ikut aturan main global atau tersingkir dari pertarungan global. Begitu gula-gula dari WTO. Vietnam memilih yan terakhir. Mereka akhirnya menyerahkan politik hukum ekonominya pada garis politik WTO. Apakah Indonesia juga berada dalam spektrum itu? Itu soalnya. Tidak ada data terferifikasi yang bisa diandalkan untuk sampai pada pernyataan kongklusif itu. Tetapi apapun itu, pemudahan perizinan untuk mengakselerasi investasi, harus diambil. Inovasi dalam konteks ini harus terus bekerja. Dan ini bukan perkara baru untuk Indonesia. Masalahnya mengapa pemerintah terlihat terus meyakinkan khalayak bahwa UMKM akan berjaya dengan RUU ini? Apakah level kerumitan UMKM sama dengan korporasi besar? Apa rumitnya usaha, yang maaf jualan warteg, nasi goreng di lorong-lorong, dengan gerobak dorong? Sejarah kemuncullan rezim perizinan modern, jelas bukan sejarah UMKM. Sejarah rezim peruizinan adalah sejarah korporasi. Inggris mengawalinya pada awal ke-17. East India Company, Royal African Campany dan Virginia Company. Semuanya dapat beroperasi setelah diizinkan oleh Raja. Apakah masalah permodalan UMKM disebabkan sepenuhnya oleh UU? Itukah masalah terbesar dan terberat mereka? Kalau masalahnya ada pada UU, lalu untuk apa UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM? Sungguh tidak masuk akal menandai hukum sebagai masalah terbesar dan terberat UMKM. Masalah UMKM terletak pada orientasi politik ekonomi nasional yang tidak akrab pada mereka. Perizinan, cukup logis dikemukakan. Karena tidak ada dalam daftar hambatan usaha para pelaku usaha mikro dan kecil. Perizinan justru berada urutan pertama. Setidaknya pada urutan signifikan korporasi besar. Masalah usaha mikro dan kecil adalah keberpihakan lebih pada mereka. Bukan perizinan. Kekeliruan Konsep Senjata liberalisai tidak pernah lain selain investasi, kerjasama, bantuan dalam berbagai macam bentuk, serta utang. Senjata konvensional diletakan di ujung negosiasi. Digunakan setelah negosiasi dan intrumen lunak lainnya tak membuahkan hasil. Cara inilah yang menandai dunia usaha hingga sekarang. World Bank dan WTO cukup sering bersuara khas Amerika, terus berada di depan dalam usaha ini. Hebatnya, gema propaganda liberalisasi itu telah mengakibatkan setiap tindakan proteksi negara-negara itu, tak terlihat persis sebagai proteksi. Pola ini dipegang secara konsisten oleh Amerika. Kongres mereka terus menerus mencermati setiap perkembangan lingkungan ini. Hambatan tarif, tenaga ketrja, perizinan, dan lainnya yang diidetifikasi ada pada satu negara dan merugikan Amerika, segera direspon Kongres dengan membuat UU. Isinya, inilah yang menarik. Presiden, diberi otorisasi untuk mengurus semua urusan itu. Begitulah ciri, misalnya Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988. Omnibus ini meliputi, cara menyelesaikan masalah dalam perdagangan antara Amerika dengan negara lain. Kordinasi perdagangan, perdagangan yang tidak fair, hak pekerja, hambatan investasi, termasuk perizinan dan mereduksi tariff. Semuanya menjadi materi juatan Omnibus Trade dan Competitivenes Act mereka. Dunia dagang ternyata berubah cepat. Ominibus Trade and Competitivenes segera kehilangan daya tariknya. Akhirnya, Amerika mengubah secara parsial Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988 itu. Ini terjadi tahun 2002, dengan lahir Trade Act 2002. Omnibus diubah hanya dengan Act, yang tidak omnibus. Apakah Omnibus yang sedang dirancang memiliki tipikal Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988 itu? Disitu soalnya. Kalau tidak menyodorkan inovasi sebagai argument, harus dikatakan telah terjadi salah tiru. Dimana letak salah tirunya? Ragam isu yang diatur di dalamnya, didedikasikan untuk melayani investor, tentu termasuk asing. Sementara Omnibus Amerika justru memproteksi industri dalam negeri mereka. Yang dituju dari Omnibus mereka adalah liberalisasi dunia usaha di luar Amerika. Konsekuensinya menampilkan isu UMKM, sebagai kehebatan lain RUU Omnibus ini, terasa lucu selucu-lucunya. Malah terasa sebagai propaganda asal-asalan dan murahan. Tetapi seasal apapun, harus diakui konstelasi politik memaksa UMKM disajikan sebagai gula gula demi menggolkan RUU ini. Beralasankah semua soal yang disajikan di atas sebagai parameter keberpihakan RUU ini terhadap korporasi besar? UU Minerba terbaru, beralasan disajikan wujud keberpihakan RUU ini pada Korporasi. Semasa pembahasan UU itu, tak terdengar suara kritis korporasi. Sejarah politik pembentukan UU bidang ekonomi memperlihatkan adanya koneksi timbal balik korpoprasi dengan kemunculan RUU itu. Koneksi ini tak tersangkal. Bahkan ini telah menjadi tabiat dasar ekonomi merkantilis yang terbungkus kapitalisme. Merkantilisme tampil dalam banyak wajah. Ragamnya meliputi kebijakan praktis. Juga melalui UU. Menempatkan orang-orang mereka pada posisi kunci pemerintah, bahkan menjadikan orang mereka presiden, juga tipikal korporasi licik dan culas. Korporasi Yang Berjaya Mereka, sembari bersandar pada perspektif Walter Lippman, memenuhi ruang debat masyarakat dengan beragam isu. Untuk meyakinkan masyarakat? Tidak juga. Sama sekali tidak. Khalayak menurut identifikasi Walter Lippman, jurnalis paling top, juga penasihat Presiden Woodrow Wilson, dan salah satu arsitek butir-butir perjanjian Fersailes, tidak bisa fokus. Tidak fokus, sama sekali tidak berarti khayalak tidak tahu ada masalah. Justru tahu sedikit-sedikit itulah, maka propagandis harus memborbadir, memperkaya mereka dengan infomasi, apapun itu. Semangat penyampaian informasi, bukan meyakinkan, tetapi untuk mengelabui, deception. Oposan dibiarkan bicara sebisa mereka. Seburuk apapun pernyatan oposan, biarkan saja. Yang penting mereka telah bicara. Kehehadiran oposan di ruang public, dengan sendirinya menghasilkan legitimasi terhadap RUU itu. Mungkin tak terbangun utuh, tetapi tetap saja legitimasi telah muncul. Cara ini digunakan, sekadar sebagai ilustrasi, kelompok Wall Street menggolkan The Federal Reserrve Act. Sejarah usaha menggolkan UU ini sangat menarik dilihat dari sudut politik pembentukan UU. Walter Bagehot, ekonom yang faham betul dengan karakter Bank Of England, yang mau dijadikan rujukan pembentukan The Fed’s Amerika, mengambil sudut berseberangan dengan inisiator The Federal Reserve. Apa yang terjadi? Bagehot yang beroposisi itu, tetap dihadirkan dalam pembahasan gagasan The federal Reserve. Cerdas, pada saat yang sama inisiator juga menghadirkan lawan tandingnya. Paul Warburg yang telah bulat inigin membentuk Bank Sentral, bersama dengan Spragus yang sama ekspektasinya, dihadirkan. Keduanya menyanggah habis level rasionalitas gagasan Bagehot. Gagasan Bagehot akhirnya terdelegitimasi dengan sendirinya. Licin sekali cara kelompok kecil bankers wall street ini. Hendak mengendalikan negara untuk kepentingan mereka. Tetapi usaha mereka dibiayai oleh negara yang hendak dikendalikan itu. Caranya? Merangkak. Pertama ciptakan krisis. Itulah krisis tahun ekonomi tahun 1907. Hebat mereka. Sangat detail perencanaannya. Begitu krisis terjadi, mereka segera melompak ke cara kedua. Cara kedua ini dibantuk ilmuan. Woodrow Wilson, gubernur New Jersey, dan mantan presiden Princeton University, yang telah terjalin erat dengan mereka, segera angkat bicara. Menurutnya untuk menghentikan, setidaknya mencegah resesi sejenis dikemudian hari, diperlukan satu Komisi. Komisi ini bertugas khusus mengindentifikasi penyebab dan jalan keluarnya. Gagasan Wilson direspon oleh Presiden Theodore Rosevelt. Tahun 1908 mulai lah cara kedua bekerja. Rosevelt membentuk Komisi dimaksud. Komisi bentukannya diketuai Nelson Aldrice, senator Republik, dan dibantu oleh sejumlah orang. Mereka adalah Shelton, asistennya Nelason, A. Piatt Andrew, asisten Menteri Keuangan, Frank Fenderlipp, Presiden National City Bank, Hendry P. Davison, senior partner JP Morgan Company, Charles D. Norton, presiden first National Bank Of New York, Benjamin Strong, dan Paul Warburg. Mereka yang merencanakan adanya Ban Sentral. Komisi segera bekerja. Mereka ke Eropa mempelajari sistem perbankan Eropa. Pekerjaan ini dibiayai, tidak dengan uang mereka, tetapi negara. Total biaya yang digunakan kelompok ini sebesar U$ 300.000 dollar. Kembali dari Eropa. Kelompok ini berkumpul di Jackyl Island, sebuah klub beberapa bankers. Tidak hanya jauh jaraknya, tetapi tempat ini memiliki tingkat privasi tinggi. Di Jackyl Island inilah The Federal Reserve Act disiapkan rancangannya. Dalam Secret of The Federal Reserve, Eustace Mullin, menulis segera setelah selesai draft The Federal Reserve dirancang, mereka kembali ke New York. Lalu segera muncul ke tengah masyarakat untuk menyampaikan apa yang dikenal dengan “Aldrich Plan”. Hebat, Princeton University, Harvard University, dan University of Chicago semuanya berada dalam genggaman mereka. Tiga Universitas top ini digunakan mempropagandakan point-poin penting draft ini. Point propagandanya, Amerika membutuhkan satu Bank Sentral. Untuk merealisasikannya, Paul Warburg, kelak menjadi Gubenur pertama The Fed’s, mengusulkan pembentukan apa yang dikenal dengan Citizen League, yang belakangan nama ini berubah menjadi National Citizen League. Dua profesor top menangani pekerjaan ini. Keduanya adalah Sprague dari Harvard, dan J. Laurence Laughlin dari University of Chigaco. Propaganda pun berjalan dalam banyak bentuk. Seminar adalah salah satunya. Canggih cara mengelabuinya. Tahu ada ketakutan Bank Sentral, mereka menggunakan The Federal Reserve. Tentu sekadar mengelabui masyarakat. Propaganda ini menghabiskan dana sebesar U$ 5 miliar dolar. Hebat, walau draftnya berasal Jackyl Island di bawah komando Nelson Alrdirce, senator republik, tetapi tanggal 15 Desember 1911, Amerika segera tahu bahwa Carter Glass, Senator Demokrat, mengajukan Bill itu ke Senat untuk dibahas. Dialah pemrakarsanya. Menariknya pilpes 1912 mengeluarkan angka Woodrow Wilson memperoleh 409 suara, dan Rosevelt 169 suara. Sedangkan William Howard Taft, presiden incumben, yang anti Bak Sentral, berada di juru kunci dengan 15 suara. Tesis Paul Warburg “money is commodity dan central bank was a favorite play the money creators” begitu yang dicatat Mullins, tercapai dengan sudah. Tetapi masyarakat, begitu Mullins mengitup pandangan Warburg, tidak akan tahu bahwa sistem itu penciptaan uang. Masyakat malah melihat dan percaya penciptaan itu terjadi secara natural. Rakyat Amerika akhirnya terperangkap di dalamnya. Begitulah korporasi culas dan licik bekerja. Korporasi pula yang berkibar segera setelah RUU Omnibus Cipta Kerja menjadi UU? Menyepelekannya, boleh saja. Tetapi mempertimbangkannya lebih masuk akal. Dalam konteks itu, UMKM cukup layak dipertimbangkan tidak lebih dari sekadar gula-gula politik RUU ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Piagam Jakarta dan Pancasila Itu 22 Juni (Bag. Pertama )
by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Senin (22/06). Tanda-tanda kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik mulai muncul dan kelihatan. Kenyataan ini akhirnya memaksa perdana Menteri Jepang Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan. Namun kemerdekaan itu sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Harapannya, dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia untuk memperkuat kekuasaan Jepang di Asia. Untuk itu Jepang segera dibentuk badan yang bertugas menyiapkan segala hal-ihwal yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia. Maka pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya badan khusus yang menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu dinamakan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan” (BPUPK). Dalam dalam bahasa Jepang namanya “Dokuritsu Junbi Chosakai”. Tanggal 1 Maret 1945, bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, Kaisar Hirohit dibentuklah BPUPK. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPK dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (Jepang). BPUPK beranggotakan 69 orang. Terdiri dari 62 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran. Selain itu, 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang. Tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara. Keanggotaan Jepang di BPUPKI hanya pasif. Mereka hanya hadir dalam sidang BPUPK sebagai pengamat. Perdebatan Filosofiche Groundslaag Pada tanggal 28 Mei 1945 BPUPK memulai sidangnya yang pertama. Ketika sidang dimulai, dr. Radjiman bertanya kepada anggota BPUPK, “apakah yang akan kita jadikan sebagai Filosofiche Groundslaag Indonesia Merdeka”. Maka muncullah yang memberikan tanggapan M. Yamin tanggal 29 Mei. Keesokan harinya Supomo mengusulkan dasar negara. Pidato Tanggal 1 Juni yang disampaikan oleh Soekarno (Bung Karno) begitu sangat dahsyat. Bung Karno mengusulkan falsafah dasar itu yang mula-mula Pancasila atas saran seorang teman ahli bahasa. Lima sila diperas lagi menjadi Tri Sila dan diperas lagi menjadi Eka Sila atau Gotong Royong. Soekarno berupaya mengkonsepkan pikirannya tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme sebagai sebuah dasar negara Indonesia Merdeka. Tulisan Soekarno Tahun 1924 mengilhami gagasan Soekarno tentang Dasar negara itu. Gagasan Soekarno lebih dekat pada sekularisme. Begitu juga dengan tokoh-tokoh yang berpidato sebelumnya. Masing-masing golongan mengajukan dasar negara menurut pemahaman dan pikirannya masing-masing. Ada yang berdasarkan pada kultur dan kemajemukan bangsa Indonesia. Maka lahirlah dua golongan besar, yaitu “Golongan Nasionalisme Sekuler” dan “Golongan Nasionalisme Islam”. Dari pidato ke pidato, dari gagasan serta usulan yang dikemukakan di dalam sidang resmi BPUPK yang dapat kita baca, ada yang menginginkan negara Republik yang bersifat sekuler. Memisahkan agama dan negara. Ada pula yang ingin mendirikan negara berdasarkan agama. Ki Bagus Hadikusumo menginginkan negara Republik yang akan merdeka dengan dasar Islam atau negara Islam. Sementara Sukiman Wirdjosanjojo menginginkan negara Khilafah. Tidak hanya beberapa orang itu. Banyak pidato-pidato waktu itu yang disampaikan oleh semua anggota BPUPK, baik dari golongan “Nasionalisme Islam” maupun “Nasionalisme Sekuler”. Dalam pandangan ideologi yang berbeda itu, terakumulasi semua pikiran para tokoh-tokoh untuk dijadikan rujukan bagi dasar Indonesia merdeka. Sidang demi sidang di lewati. Perdebatan mengenai dasar negara terus menjadi bahan perdebatan yang hangat. Para ideologi tampil dengan sangat memukau. Mereka membicarakan seperti apa Filosofiche Groundslaag Indonesia merdeka. Dalam polemik ideologi itu, pertentangan pikiran yang tajam, maka jalan tengah di ambil. Caranya membentuk “Panitia Sembilan” yang didalamnya terdapat 4 orang golongan “Nasionalis Kebangsaan dan nasionalis Islam serta satu orang perwakilan Kristen. Berangkat dari berbagai polemik dan pertentangan pemikiran yang panjang tersebut, ditemukanlah rumusan. Rumusan itu diberi nama “Piagam Jakarta”. Yang dalam bahasa inggris disebut sebagai “Jakarta Charter”. Penemuan kesepakatan itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1945. Soekarno dalam sidang untuk melaporkan kerja panitia sembilan itu meyakinkan semua pihak bahwa Piagam Jakarta itu adalah Gentlemen Agreement. Kata Soekarno selanjutnya, “ini adalah hasil kesepakatan “konsensus” yang dicapai dengan susah payah. Oleh sebab itu, “saya meminta anggota dapat menerima keputusan ini”. Semua anggota BPUPK pun bersepakat. Menerima dengan suara bulat keputusan panitia sembilan itu, yang diberi nama “Piagam Jakarta”. Rumusan adalah Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Sayariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya dengan Dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Setelah “Piagam Jakarta” disepakati, muncul keberatan dari kalangan Kristen. Dr. Latuharhari sebagai perwakilan ummat kristen menyampaikan keberatan. Meskipun tidak masuk dalam panitia sembilan. Latuharhari bertanya, kalaulah syariat Islam dijalankan, apakah tidak akan terjadi hukuman yg berat seperti potong tangan, razam bagi pejina dan berbagai macam hukuman yang keras? Kekhawatiran Dr. Latuharhari itu dijawab oleh Haji Agus Salim, “tidak tuan Latuharhari. Alasannya, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan dasar kemanusiaan yang beradab”. Dan kesalahpahaman itu dapat diluruskan. Semua pihak bersepakat bahwa syariat Islam dan pelaksanaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak boleh keluar dari “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”. Artinya apa? Bahwa hukuman yang dipahami oleh Dr. Latuharhari adalah punicment dalam Islam. Itu hukuman maksimal. Dalam praktiknya sangat jarang dilakukan. Banyak contoh zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak mempraktikkan hukuman yang demikian beratnya. Setelah falsafah sudah diterima dan final, akhirnya Haji Agus Salim menyusun Naskah Proklamasi (yang tidak jadi dibacakan). Kemudian dapat kita baca dalam Mukaddimah (pembukaan) UUD 1945. Konon itu adalah buah tangan Haji Agus Salim. Pada Alinea keempat Mukaddimah, Haji Agus Salim mencantumkan secara tersirat dua ayat dalam AL-Quran. Demikianlah Nilai Islam mengisi kemerdekaan Indonesia. Setelah “Piagam Jakarta” menjadi resmi Falsafah Dasar Indonesia Merdeka, maka BPUPKI dibubarkan. Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan KetuaPPKI adalah Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua. (bersmambung). Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM
Umat Islam Tolak Pancasila Rumusan 1 Juni 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (22/06). Bermain-main di perdebatan ideologi akan mengentalkan semangat perjuangan umat Islam untuk kembali pada dimensi ruang dan waktu dalam perjalanan kesejarahannya. Mengagung-agungkan Pancasila rumusan 1 Juni 1945 yang menjadi bagian dari eforia kemenangan Pemilu 2019 lalu merupakan sikap politik bodoh dan tidak bijaksana. Umat Islam dipastikan dengan gigih menolak rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Umat Islam tidak akan pernah mengakui hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. Bagi umat Islam, hari kelahiran Pancasila adalah 22 Juni 1945 yakni Piagam Jakarta yang ditandatangani Panitia Sembilan termasuk di dalamnya Ir. Soekarno tepat 75 tahun yang lalu. Begitu pula dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Bung Karno sendiri yang menyatakan bahwa kembali lagi kepada UUD 1945 pada 5 Juli 1959 dengan “Piagam Jakarta” sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jadi, jangan paranoid melihat “Piagam Jakarta” sebagai barang haram. Toh, umat Islam sampai sekarang biasa-biasa saja. Tetap setia untuk mengawal dan mengamankan Pancasila 18 Agustus 1945. Umat Islam juga tidak menuntut dan mendesak agar syariat Islam diberlakukan bagi pemeluknya. Sebaliknya, pemerintah yang berambisi untuk menjual dan memakai nama-nama syariah dalam berbagai produk hokum di bidang ekonomi. Ada perbakan syariah, asuransi syariah, darareksa syariah dan obligasi syariah. RUU HIP yang pengusul awal adalah kader-kader PDIP, ternyata bernuansa dan berbasis pada Pancasila 1 Juni 1945. Karenanya umat Islam dengan keras dan tegas menolak. Tidak ada kompromi di ranah itu. Apalagi hendak mengkerdilkan posisi Agama dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU HIP. Sayangnya, sikap pemerintah ini tidak mendapat sambutan dari umat Islam. Tuntutan umat Islam tetap, yaitu pencabutan, penghentian, dan pembatalan RUU HIP. Bukan untuk direvis, lalu dilanjutkan pembahasannya. Semangat "Soekarnois" untuk menghidupkan Pancasila rumusan 1 Juni 1945 akan mendapat perlawanan sengit umat Islam. Ini memancing konflik atau gesekan yang jatam dank eras. Sebab umat Islam kemungkinan akan membangkitkan Pancasila rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kelompok kiri dan "Soekarnois" dinilai oleh umat Islam telah mengkhianati konsensus bangsa berupa rumusan Pancasila 18 Agustus 1945. Maka berlakulah slogan "mereka jual, kita beli". Piagam Jakarta harus dihormati. Hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945 tetapi 22 Juni 1945. Ingat itu. Jika hendak kembali ke konsensus bangsa 18 Agustus 1945, umat Islam pasti siap dan menerima dengan lapangan dada. Bersama-sama mengimplementasikan Pancasila hasil consensus pendiri bangsa. Akan tetapi jika fakta politik terjadi pengkhianatan, maka umat Islam dipastikan tidak tinggal diam. Pasti akan maju berjuang membela dan menegakkan kebenaran. Berkhidmat pada agama dan syari'at Allah SWT. Rezim Jokowi kini diuji kemampuan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah konsisten dengan menjaga konsensus atau menciptakan iklim berbasah-basah dalam kemunduran ideologi. Jika iklim ini yang sengaja dibangun, maka selayaknya Jokowi harus segera turun. Umat Islam selalu mencari kawan. Tidak pernah mau mencari musuh. Akan tetapi jika ada musuh datang senduri menghadang, maka umat Islam pantang mundur ke belakang. Salah satu dosa besar adalah lari dari medan perjuangan untuk menegakkan kebernaran. Artinya, umat akan melawan sampai menang. Allahu Akbar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Cabut RUU HIP dan Bubarkan BPIP, Lalu Bersihkan PDIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (21/06). Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Setelah itu, badan ini bingung sendiri mengenai ruang lingkup dan program kerja. Akibatnya, implementasi menjadi "serabutan" dan tidak bermakna. Urusan ece-ece kaya konser amal saja ditangani oleh BPIP. Padahal itu sekedar cari donasi untuk seniman yang terdampak covid 19. Sorotan tajam justru pada gaji personal Dewan Pengarah maupun pengelola BPIP. Tidak seimbang antara pendapatan dengan pekerjaan. Pincang jadinya. Agar lebih kuat dan jelas maka dibutuhkan aturan yang lebih tinggi. Masa sekelas BPIP hanya diatur oleh Perpres? seharusnya dengan oleh undang-undang dong. Begitu alasan para pendorong RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Undang-Undang inilah yang kelak disiapkan untuk mengatur segala hal-ihwal mengenai ideologi Pancasila beserta institusi pembinaannya. Menjadi penafsir tunggal urusan Pancasila. Hebat bukan? Diproseslah RUU HIP dengan "strategi" pengajuan oleh DPR. Mungkin dengan maksud agar seolah-olah itu adalah aspirasi rakyat. Tetapi strategi ini kurang jitu, dan terlalu sumier. Ada tiga peertimbangan mengapa RUU ini sumier. Pertama, selalu yang dijadikan alasan adalah peningkatan status aturan BPIP dari Perpres menjadi undang-undang. Jadinya, nampak sekali bahwa kepentingan Pemerintah dominan. Ini aneh dan salah fikir. Mengapa institusi dulu yang dibuat? Setelah itu barulah peraturan belakangan? Semestinya peraturan dahulu berupa undang-undang misalnya. Baru lembaganya menyusul. Kedua, proses hingga menjadi RUU tidak melibatkan komponen masyarakat. Terkesan dilakukan diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Artinya ada misi yang tak ingin diketahui masyarakat. Akibatnya, setelah menjadi RUU "meledak" lah unek-unek dan kejengkelan masyarakat. Menuntut adanya keterbukaan dan akhirnya "bongkar-bongkaran". Ketiga, dengan dijadikan sebagai RUU ini sebagai inisiatif dewan, maka masuklah "penyelundupan ide" dari kelompok kepentingan. Nampaknya ada faksi kiri "soekarnois" di internal PDIP yang memanfaatkan momen pembuatan RUU Haluan Ideologi Pancasila ini. Berlindung sambil menelikung. Jika pemerintah cerdas, dan memang keperluannya adalah aturan untuk BPIP atau badan sejenisnya, maka tentu RUU datang dari pemerintah saja. Sehingga aspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya akan lebih baik. Tidak ada penelikungan ideologis dari kader partai di dewan. Tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. RUU HIP juga telah babak belur. Bukan langkah bijaksana untuk merevisi atau otak atik. Rakyat sudah memelototi, bahkan mengultimatum DPR dan pemerintah. Opsi hanya satu, yaitu cabut dan hentikan proses lanjutan RUU HIP ini. Tidak ada opsi lain Bila keberadaan BPIP ini ternyata dianggap merepotkan dan menjadi kerjaan yang tidak jelas, maka sebaiknya segera bubarkan saja. Lumayan bisa menghemat anggaran yang besar tiap tahun. Lagi pula badan ini hanya menjadi "tempat untuk bersantainya para senior"saja. Pemerintah dan DPR jangan sampai dipandang oleh rakyat sebagai lembaga kongkalikong yang pandai merekayasa kebusukan. Apalagi untuk urusan yang berkaitan dengan ideologi dan dasar negara yang sudah melalui proses panjang dalam mencapai konsensus. Tampkanya Pemerintah dan DPR memang sedang mengalami salah fikir. Bisa juga gagal pikir. Pemerintah dan DPR jangan sesat verfikir. Menganggap rakyatnya dianggap bodoh dan tolol semua. Yang pasti rakyat, khusunya umat Islam sudah tahu bahwa RUU HIP bukan untuk kepentingan rakyat. Tetapi untuk kepentingan pemerintah dan kelompok kepentingan di PDIP. Pemerintah dan DPR sebaiknya cabut dan batalkan saja RUU HIP ini, karena misinya telah gagal. Bukan untuk rakyat. RUU HIP sudah menjadi "sampah" bagi rakyat Indonesia. Mengambangkan hanya menunda datangnya bencana. Penolakan rakyat, khususnya umat Islam terhadap RUU HIP ini akan datang secara bergelombang, dahsyad dan mengerikan. Dipastikan suara aspirasi akan semakin menggigit dan menyengat. Untuk itu, sebaiknya ikuti saja maunya rakyat. Pasti selamat bangsa ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Umat Islam Buru Oknum Dibalik RUU HIP
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (21/06). Ada delapan maklumat MUI. Salah satunya meminta pihak berwajib mengusut para oknum yang berada di balik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Siapa saja yang dituduh sebagai "para oknum" di balik RUU HIP tersebut? MUI harus bertanggung jawab untuk menjelaskan kriteria siapa yang dianggap oknum itu. Aapakah mereka itu oknum yang menjadi konseptor, oknum pembuat naskah akademik dan oknum anggota dewan yang mengusulkan ke Badan Legislasi untuk menjadi RUU hak usul inisiatip dewan. Kriterianya harus dijelaskan. Siapa saja oknumnya juga perlu disampaikan kepada masyarakat. Jangan sampai aparat dan rakyat, khususnya umt Islam menjadi salah sasaran. Ini sangat penting untuk menghinari kemungkinan timbulnya saling duga-menduga, curiga-mencurigai di masyarakat. Kita coba untuk tracking di parlemen. Pertama, dari fraksi mana saja yang mengusulkan RUU HIP pertama kali? Paling sedikit ada dua puluh lima orang anggota DPR yang mengusulkan. Apakah para pengusul dari DPR itu semuanya satu fraksi dari PDIP saja, atau ada anggota dari fraksi lain lagi? Kedua, fraksi mana saja yang tetap ngotot menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 diamsukan sebagai konsideran. Juga fraksi yang mengusulkan Trisila, lalu Ekasila yang menggiring ke makna Gotong Royong? Ketiga, siapa aktor konseptor dan penyusun draft akademik RUU HIP? Bagi MUI, dan juga umumnya Umat Islam, masalah RUU HIP bukan hanya masalah materiil dan formilnya saja. Bukan pula hanya soal prosesnya saja. Tapi akumulasi materiil, formil dan prosesnya menimbulkan dugaan adanya motif yang dicurigai, sehingga patut untuk diusut lebih lanjut. Apakah MUI terlalu emosional? Tidak juga. Malah sikap MUI ini sangat rasional. Agar di masa yang akan datang, tidak ada lagi pihak-pihak yang berupaya untuk mensabotase makna dan nilai luhur, apalagi merubah Pancasila sebagai dasar negara. Itulah pesan yang ingin disampaikan oleh MUI. MUI mengingatkan, tidak perduli siapun anda, dan dari organisasi manapun, “jangan coba-coba untuk main-main dengan Pancasila. Jika anda punya keinginan untuk mengutak-utik Pancasila, maka anda akan berhadapan dengan umat Islam. Sebab umat Islam akan menjadi garda terdepan untuk menjaga kemurnian Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang tanggal 18 Agustus 1945. Membela Pancasila itu nggak harus bilang di televise dan media catak, "Aku Pancasila". Itu sih mah nora dan katrok. Apalagi munculnya pada saat pemilu. Sikap tegas, terang dan jelas dari MUI dan Ormas-Ormas Islam saat ini itulah sikap Pancasilais yang sesungguhnya. Kenapa MUI yang didukung ormas dan umat Islam menuntut untuk dilakukan pengusutan? Agar hukum itu ditegakkan. Penting untuk hokum ditegakkan tanpa melihat siapa pelakukan. Karena ada untuk yang mengatur mengenai persoalan ini, yaitu UU Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 107 huruf d UU 27 Tahun 1999 berbunyi "barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun." Tuntutan dan sikap tegas MUI tidak hanya rasional. Tetapi juga konstitusional. Aparat Kepolisian harus segera usut pihak-pihak yang" diduga" berupaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP. Ini sudah merupakan palanggaran yang nyata-nyata terhadap UU No 27 Tahun 1999. Tidak secara otomatis penyusun draft RUU jadi tersangka. Sabar dulu. Perlu juga untuk didalami motif dibalik usulan RUU HIP. Juga apa motif mengapa ada yang tetap saja ngotot untuk menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dicantumkan dan dijadikan sebagai di konsideran RUU. Di parlemen, penolakan sudah dilakukan oleh dua fraksi, yaitu PKS dan Demokrat. Dua fraksi ini tak mau tanda tangan untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP di DPR. Bagaimana dengan fraksi-fraksi yang lain? Mengapa fraksi lain menyetujui? PDIP? Publik tahu PDIP yang paling bersemangat bahas RUU HIP. Ketika maklumat MUI keluar, PDIP masih tetap ingin melanjutkan pembahasan. PDIP masih mau melakukan negoisiasi. PDIP menyatakan membuka diri untuk memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tapi minta larangan radikalisme dan khilafaisme juga dimasukkan. Ha ha ha? Publik jadi kaget sambil ketawa. Sejumlah pengamat menganggap bahwa sikap PDIP tersebut sangat blunder. PDIP "seolah" ingin menghadapi dan menantang gelombang kemarahan umat Islam. Merasa diri kuat sebagai pemenang pemilu. Sayangnya, sikap PDIP juga mendapat reaksi keras umat Islam. Protes dan demo makin masif di berbagai daerah. Nasi sudah jadi bubur. Umat Islam siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Isunya saat ini, bukan lagi soal revisi RUU HIP dan memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tapi umat Islam menolak dengan tegas adanya RUU HIP. Umat Islam juga minta ada pengusutan. Demi menjaga kemurnian Pancasila yang 18 Agustus 1945, umat Islam sudah siap dengan posisi “masiroh kubro”. Umat Islam juga siap dengan “isy kariman au mut syahidan”. Yang artinya, “hidup mulia atau mati syahid”. Pesan ini seharusnya dijadikan sinyal dan pesan penting buat PDIP untuk tidak lagi berpikir melanjutkan pembahasan RUU HIP. Selain minta RUU HIP batalkan, umat Islam melalui MUI sudah menegaskan untuk menuntut para oknum diusut. Tuntutan MUI ini mendapat dukungan dari banyak kalangan. Usut dengan tuntas siapa oknum yang secara sengaja membuat draft RUU HIP dan menolak memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 itu. Adakah punya maksud dan sengaja menggiring RUU HIP ini untuk menghidupkan kembali komunisme PKI? Jika terbukti, maka harus ada pertanggungjawaban secara hukum. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
"HIP Gate", Jokowi Atau Megawati Yang Sumber Masalah?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (21/06). Semua tentu sudah tahu bahwa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah inisiatif dari usul DPR. Bukan dari Pemerintah. Artinya, Fraksi PDIPadalah inisiator awalnya. Kemudian didukung oleh Fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Walaupun demikian, terkuak motif bahwa usulan RUU ini adalah untuk memberi "bekal" bagi lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Aapalagi badan urusan Pancasila yang berada di bawah koordinasi Presiden. Kelak Pancasila bisa saja diterjemahkan oleh Pancasila sesuka hatinya, terlepas dari siapapun yang menjabat sebagai Presiden. Dengan demikian, siapa saja warga negara yang menafsirkan atau berbicara tentang Pancasila, tidak sama dengan maunya Presiden, bisa bermasalah. Anda bisa saja dianggap tidak lagi Pancasilais atau anti terhadap Pancasila. Karenanya, wajar saja muncul anggapan “RUU HIP ini sebenarnya kebutuhan pemerintah yang sengaja diminta agar disulkan melalui DPR “. Kini ketika Pemerintah menunda pembahasan dan minta DPR menyerap aspirasi kembali, rakyat atau publik terus mengejar siapa sumber? Sipa pencetus? siapa pengusul RUU HIP ini? Masyarakat, khususnya umat Islam sangat bekepentingan untuk mengetaui mereka. Mengenal mereka nama-nama mereka. Makanya MUI pun telah meminta kepada aparat yang berwajib untuk mengusut mereka. Ini disebabkan adanya dugaan, kalau misi dari pengusul atau konseptor RUU HIP ini adalah untuk membuka peluang bagi berkembangnya faham komunisme. Lebih jauh lagi, demi bangkitnya neo-PKI. Terkesan kalau RUU HIP ini murni konsep, pengusulan, serta pembahasan adalah DPR. Meskipun fraksi-fraksi sebagian besar setuju, namun inisiator awal adalah Fraksi PDIP yang merupakan kepanjangan tangan dari PDIP sebagai Partai. Megawati sebagai Ketua Umum adalah penanggung jawab dari kebijakan Partai. Terlihat PDIP hanya berperan sebagai koordinator dari koalisi partai pendukung Pemerintah. Sementara RUU HIP adalah alokasi kepentingan Pemerintah melalui koalisi pendukung di DPR. Maka bukan tak mungkin Pemerintah adalah sumber dari RUU HIP. Jokowi sebagai Presiden adalah penanggung jawabnya. Kini sebagian masyarakat mulai berteriak mengarah pada PDIP. Sampai-sampai ada yang mengajukan usul ekstrim agar pembubaran terhadap PDIP. Andai saja PDIP bisa membuktikan bahwa kepentingan dominan adalah pemerintah, dan konseptor juga adalah pemerintah, sementara kader PDIP hanya membantu, maka pertanggungjawaban mengarah pada Presiden. Bisa saja tekanan akhir mengarah kepada pemakzulan. Sebab RUU HIP ini sensitive, dan telah menimbulkan reaksi publik luar biasa. Konflik ideologi dapat terjadi jika RUU ini berhasil ditetapkan sebagai Undang-Undang. Tentu saja deengan muatan materi pasal-pasal yang kontroversial. Andai kemungkinan yang terjadi adalah revisi, maka hal inipun bukan jaminan akan mampu meredakan kritik. Aspirasi yang terkristalisasi, khususnya dari umat Islam adalah tolak, cabut atau batalkan RUU HIP ini. Bukan untuk direvisi. Bukan untuk dilakukan perbaikan. Bukan juga untuk tambal-sulam di sana-sini. Kini tinggal keterbukaan dari PDIP mengenai asal-muasal RUU HIP ini. Termasuk konon Pasal 7 tentang Trisila dan Ekasila, lalu menjadi Gotong Royong yang bukan berasal dari PDIP. Meskipun jejak digital menunjukkan adanya pidato Megawati di ulang tahun PDIP 2017 soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila lalu Gotong Rotong. Kalau begitu, dari siapakah masuknya Pasal 7 tersebut ? Kejujuran dan keterbukaan menjadi sangat penting agar masalah RUU yang berbau komunisme-PKI ini dapat terselesaikan. Semua energi dan kekuatan bangsa harus kembali difokuskan untuk melawan pandemi Covid 19. Juga perbaikan ekonmi nasional porak-poranda akibat Covid 19. Hingga saat ini pertanyaan yang belum terjawab adalah siapa sumber atau pencetus ide dan gagasan dari RUU HIP? Apalagi RUU ini dapat menjadi kunci pembuka dan peluang penyebaran komunisme atau bangkitnya neo-PKI. Jokowi ataukah Megawati ? Atau ada pihak yang lain ? Rakyat perlu dan berhak untuk tahu itu. Bukan saatnya lagi bagi DPR maupun Pemerintah main "petak umpet" atau "lempar-lemparan bola", akibat dari reaksi umat Islam yang keras di luar perkiraan pemerintah dan DPR. RUU HIP ternyata merupakan sebuah skandal ideologi. Skandal yang sangat berbahaya untuk bangsa dan negara. Namanya skandal “HIP-Gate”. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Protes Terhadap RUU HIP, Apakah Hanya Dibatalkan?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (21/06). Pemerintah tunda pembahasan RUU HIP. Ditunda, artinya hanya dihentikan untuk sementara. Ditunda itu artinya nanti dilanjutkan lagi. Rehat dulu sebentar. Untuk apa? Pertama, boleh jadi untuk menjaga wibawa dan kebesaran pemerintah dan DPR. Seolah-oleh ada kesan bahwa pemerintah nggak bisa dipressure. Pemerintah ini masih sangat kuat. Untuk itu, harus dengerin? iya. Namun untuk ikutin? Kalau itu nanti dululah. Kedua, tekanan dari umat Islam dianggap belum terlalu kuat. Maklumat MUI dan sikap NU-Muhammadiyah masih perlu dilihat keseriusannya. Apalagi, protes di sejumlah daerah belum menunjukkan tanda-tanda yang menghawatirkan bagi penguasa dan PDIP. Bahasa politiknya masih under control. Belum sampai pada membunyikan alarm keamanan maupun politik. Ketiga, pantau situasi. Kalau protes terus melemah, pembahasan bisa dilanjutkan. Melakukan revisi sana-sini, bisa menjadi ikhtiar untuk melunakkan umat. Apalagi jika ditabrakin dengan isu lainnya. Fokus perhatian bisa saja bergeser. Umat akan kehilangan focus pada RUU HIP. Keempat, sebisa mungkin lakukan negosiasi sana-sini. Bangun komunikasi politik yang intensif dan menguntungkan dengan pihak-pihak terkait. Berikan dan janjikan kompensasi atau barter politik. Biasanya, di meja negosiasi ada hidangan yang menarik. Apalagi kalau ada yang masuk angin. Bisa masuk itu barang dengan sangat gampang. Mungkinkah RUU HIP dibatalkan? Opsi ini hanya akan diambil jika eskalasi protes meningkat. Situasi dianggap memang makin nggak kondusif. Apalagi kalau mesin umat terus dipanasin dengan berbagai macam stigma yang kontra produktif seperti "kadrun" dan sejenisnya. Disisi lain, sejauh mana energi umat mampu bertahan untuk protes? Sampai dimana komitmen MUI mengawal maklumatnya? Sejauhmana ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyadl, PUI, Mathlaul Anwar, Alwahliyah, FPI bisa konsisten dengan sikapnya? Ini akan ikut menentukan situasi nanti. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apa sesungguhnya target umat terkait protes terhadap RUU HIP ini? Apakah sekedar ingin memberi tahu bahwa umat masih ada? Hanya ingin menunjukkan kepada pemerintah dan DPR bahwa umat eksis? Kalau ini targetnya, memprihatinkan. Pasti tidak! Apakah umat memang serius menuntut RUU HIP dibatalkan? Dihentikan secara permanen? Bukan ditunda, direvisi dan dihentikan sementara. Atau seperti maklumat MUI poin 5, minta agar para oknum dibalik RUU HIP diusut? Agar kelak tak ada lagi pihak yang berani otak-atik Pancasila. Target ini yang paling penting, strategis dan sangat masuk akal. Atau protes RUU HIP akan dijadikan sebagai target antara saja. Menjadikan RUU HIP ini sebagai pintu masuk untuk menggaungkan protes terhadap semua aturan dan kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap merugikan kepentingan rakyat? Apakah RUU HIP ini dijadikan sebagai trigger untuk menggerakkan umat Islam memprotes UU KPK, UU Minerba, UU Covid-19, RUU Omnibus Law dan yang lainnya. Apakah akan mengajak dan menggerakkan rakyat, khususnya umat untuk menekan pemerintah dan DPR agar semua undang-undang dan kebijakan yang nggak pro rakyat, dan hanya menguntungkan korporasi licik dan tamak dirubah? Atau ada target lain yang lebih dari itu? Mari kita tunggu apa yang akan terjadi. Apakah protes terhadap RUU HIP akan meredup setelah dinyatakan "ditunda" oleh pemerintah, dan "dihentikan sementara" oleh MPR? Atau justru sebaliknya, penundaan ini akan menaikkan eskalasi protes di kalangan umat Islam? Yang tak kalah pentingnya, umat harus mewaspadai pihak-pihak yang berpotensi masuk angin. Karena hidangan di atas meja negosiasi, jika ada, pasti akan jauh lebih menarik. Juga sangat menjanjikan dan menggiurkan. Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa