NASIONAL

Haji Yang Wajib Ditunda, Pilkada Dipaksakan 2020

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (07/06). Memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 sangat tidak bijak rasional. Apalagi Pilkada yang tanpa peduli, apakah pandemi covid 19 telah selesai atau belum? Tentu saja dapat menimbulkan masalah baru. Masalah utama adalah anggaran yang besar untuk Pilkada, yang harus disiapkan di tengah prioritas penanganan covid 19. Apalagi baru saja Ketua KPU tanpa malu-malu telah meminta anggaran tambahan sebesar Rp. 535 miliar untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD). Belum lagi dampak kesehatan yang bakal timbul kelak. Akan terjadi pengumpulan massa sebagaimana biasanya musim kampanye. Pertemuan-pertemuan dilakukan dengan intensif. Memakai media zoom dinilai tidak lagi efektif untuk berkempanye Pilkada. Pemilu di TPS tidak mungkin menggunakan "zooming". Kalau dengan e-voting dijamin pasati curang. Pada pencoblosan manual saja perhitungan elektronik begitu leluasa dimainkan. Apalagi ditambah dengan kemungkinan adanya "hacker". Kecurangan diprediksi semakin besar. Peran Lembaga Pengawas Pemilu akan terbatas perannya jika covid 19 masih mengintai. Juli 2020 harus sudah mulai pentahapan Pilkada. Artinya, data pemilih dan verifikasi juga telah mulai. Sementara "physical distancing" dipastikan masih berlaku sampai Juli 2020 nanti. Tidak cukup hanya dengan bermodal masker dan sanitizer untuk melakukan tahap-tahapan Pilkada. Bila tidak ingin berjatuhan korban, khususnya para Petugas Pengumutan Suara (PPS), maka sebaiknya Pilkada ditunda saja dulu. Lain halnya kalau kita memang sudah terbiasa untuk "menumbalkan" petugas penyelenggara dengan kematian yang tidak terverifikasi ? Jangan lagi berulang kebiasaan untuk mengentengkan urusan kesehatan dan nyawa para petugas penyelenggara pemilu. Cukup pemilu 2019 lalu yang mengorbankan nyawa 894 petugas PPS, cukup menjadi pelajaran paling pahit catatan demokrasi Indonesia (FNN.co.id 04/06/2020). Ketika Perppu dan Undang-Undang dibuat untuk penggunaan dana corona, yang katanya "darurat" sehingga tak bisa diawasi. Ketika ibadah haji harus ditunda. Karena dana dari APBN digunakan dulu untuk penanggulangan pandemi covid 19. Eh, soal Pilkada yang semestinya bisa diundur atau ditunda, malah dipaksakan waktu pelaksanaannya. Rakyat dipaksa digiring fikiran dan orientasinya kepada Pilkada. Sungguh kebijakan sangat tidak bijak. Presiden juga masih "tidak jelas" sikap antara kampanye "new normal" dengan kekhawatiran akan belum stabilnya angka ODP dan PDP. Masyarakat masih "stay at home" dan "work from home". Begitu juga PSBB di beberapa daerah dilakukan perpanjangan waktu. Kini aneh, jika rakyat atau masyarakat sudah harus berkonsentrasi pada kegiatan politik di daerah. Menunda Pilkada adalah pilihan bijaksana. Sense of crisis harus tetap dibangun dan ditanamkan. Jangan berdemokrasi setengah hati. Pilkada dengan banyak pembatasan dipastikan akan melanggar hak-hak politik warga. Tunggu dulu waktu yang tepat. Orang beribadah haji saja sampai ditunda. Tempat umum dibuka juga baru coba coba. Pilkada mau dipaksakan. Tundalah Pilkada. Tanggal 9 Desember 2020 terlalu dekat untuk tahapan Pilkada. Penuh dengan spekulasi tingkat tinggi bahwa pandemi covid 19 telah selesai ketika itu. Di tengah ketidak pastian dunia, baiknya pencanangan Pilkada minimal dilaksanakan pada tahun 2021. Penundaan ke 2021, tampaknya itu lebih rasional. Ketua KPU juga tak perlu mengemis dari sekarang minta tambahan anggaran sebesar Rp. 535 miliar hanya untuk pengadaan APD. Sangat menggelikan, sekaligus menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Impeachment Itu 90% Rana Politik, Hukum 10%

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Menurut Blakcstone “kejahatan berat” bermakna kejahatan melawan negara, seperti penghianatan. Sementara “perbuatan tercela yang berat” merujuk pada korupsi dalam jumlah besar dan pemerintahan yang salah urus (Richard M. Tivus). Jakarta FNN – Ahad (07/06). Kekuasaan, dengan sedikit kekecualiaan, selalu mengenakan, mengasyikan, dan membanggakan. Kombinasi manis ketiga hal itu mengakibatkan kekuasaan selalu dirindukan oleh banyak orang yang tak berakal, dan tak berilmu. Tunggang langgang membungkuk, mencium tangan-tangan kotor uang sekadar membuka jalan setapak demi setapak memasuki dan menggenggam kekuasaan itu. Btulah akibat kecilnya. Tak melihatnya sebagai cara hina. Itulah akibat lainnya. Toh demokrasi mengkhutbahkannya sebagai cara yang sah. Ambisi, yang posisinya bersebelahan dalam jarak yang dekat adalah rakus dan tamak. Membakar semua rasa malu. Semua yang dinilai merendahkan terbakar hangus jadi debu. Beterbangan, entah kemana. Bohong, mencla-mencle dan planga-plongo muncul sebagai yang hal biasa. Itu juga akibat lain yang paling menjijikan, tetapi harus diambil demi kekuasaan. Jinakan Ambisi, Hindari Tirani Korupsi dikekuasaan Romawi, tulis Profesor Syed Husen Al-Atas, menunjuk pada sumbernya dengan sejelas-jelasnya, “kerakusan manusia dan kegandrungannya pada kekuasaan”. Tidak seorangpun, kata Profesor hebat ini, akan menunjuk pada pengaruh kesukuan, sistem semenda, lembaga hadiah, atau perkembangan yang cepat. Keberhasilan Cicero melawan Gaius Verres menunjukan adanya kesadaran bahwa apa yang dilakukan Veres adalah salah. Alasan pokok bagi merajalelanya korupsi, kata professor Al-Atas adalah tipe orang yang naik ke tampuk kekuasaan. Yang dalam sejarahnya, diawali oleh Yulius Caesar, yang tegar, kurang perhitungan dan korup. Gaiyus Veres dan Yulius Caesar, dua nama itu tak muncul dalam perdebatan para pembuat UUD Amerika. Nama inipun tak muncul ketika mereka memperdebatkan soal impeachment. Itu berbeda dengan, misalnya nama George II. Raja Inggris ini cukup jelas dimunculkan, dengan nada ketakutan, karena absolutismenya. Nama Raja George II ini, muncul dalam perdebatan tentang penciptaan presidensial. Hidup dan menyaksikan, bahkan sebagian dari para perancang UUD itu menjadi gubernur negara bagian. Yang sebagian mempraktekan sistem parlemen ala Inggris. Mengakibatkan mereka menolak sistem parlementer untuk pemerintahan federal yang sedang dirancang. Pilihannya jatuh pada presidensial. Yang pada saat itu belum ada presedennya. Menariknya, pilihan itu tak menghapuskan ketakutan mereka terhadap potensi presiden jadi tiran. Pada titik ini terlihat agak aneh. Mengapa? Mereka tidak mau diganggu oleh parlemen, sehingga meletakan kekuasaan pemerintahan itu sepenuhnya pada presiden. Itu terjadi ditengah mereka dibayangi ketakutan presiden bisa menjelma jadi tiran. Pada titik itu, harus diakui mereka cemerlang. Ketakutan itu dipecahkan dengan cara fungsi tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislative dan yudikatif dipertalikan satu sama lainnya secara tumpang tindih. Tiga organ ini dipisahkan secara formil. Tetapi dipertalikan fungsinya secara materil, sehingga mereka saling bergantung dan mengawasi. Teori Montesqieu dan John Locke, hanya bekerja sebagian. Kedua teori itu disintesakan dan diambil sebisanya saja. Tetapi apapun itu, argumen mereka yang praktis, khususnya James Madison, perancang Virginia Plan (rancangan awal UUD) mereka, memukau melebihi kedua filosof itu. Dua kalimat pendeknya, terlihat benar-benar memukau. Cahayanya melampaui zaman. karena relefansinya bekerja sampai sekarang. Apa dua kalimat itu? Ambition, kata Madison. must be made counteract with ambition. Berhentikah Madison dengan kalimat itu? Tidak. Kalimat selanjutnya juga hebat. Kalimatnya begitu utuh, seutuh dia mendengar cerita alam tentang tabiat bawaan, alamiah, manusia. Hingga kini kalimatnya mengesankan. “the interest of the man must be connected with the constitutional rights of the place” (Lihat The Federalist Paper, Nomber 51). Batas kewenangan presiden dipertalikan dengan, misalnya kewenangan legislatif dan juga yudikatif. Semua kewenangan itu dipertalikan juga dengan hak-hak asasi warga negara. Tujuannya sederhana. Pemerintah tidak merusak kehidupan individu, yang menjadi hak rakyatnya. Begitulah, makna dan hakikat dari kalimat terakhirnya itu. Cara itu memunculkan konsekuensi satu lembaga tidak bakal bisa mendominasi, atau menjadi tiran bagi lembaga lainnya. Itulah pijakannya. Sekaligus hakikat dari cheks and balances. Selesaikah ketakutan mereka terhadap kemungkinan presiden menjadi tiran? Belum. Ketakutan itu masih bekerja lagi. Memaksa mereka menemukan metode pencegahan lainnya. Apa metodenya? Batasi masa jabatan presiden, dan memungkinkan presiden diberhentikan dari jabatannya. Cara terakhir itu dikenali sebagai pengawasan terhadap presiden. Ini yang dijelaskan oleh Richard Tivus, penulis artikel “Kekuasaan Presiden” pada Majalah Demokrasi. Pada tahun 2003, Profesor ilmu politik ini memegang jabatan kepala Departemen Ilmu Politik Bernard College. Juga mengajar pada Graduate School of Arts and Science Colombia University. Hal terpenting, dari tulisnya, pengawasan terhadap presiden melibatkan tindakan pencegahan pelengkap. Tindakan pelengkap itu berupa impeachment, dan pemecatan karena “kejahatan berat (hight crimes) dan perbuatan tercela (misdemeanor). Professor Richard menguraikan lebih lanjut. Merupakan istilah kejahatan yang diambil dari praktek hukum Inggris berdasarkan penjelasan hukum Inggris (Commentaries on law of England) dari Lord Blacstone. Bagaimana ceritanya hingga cara ini melembaga menandai, sering digambarkan oleh ahli hukum tata negara sebagai ciri pemerintahan presidensial? Tivus tidak menjelaskannya. Politik Penentunya Sulitkah impeach itu? Bukan saja sulit, tetapi mustahil bila bos-bos mereka tidak mau. Sebaliknya, impeach menjadi begitu mudah semudah semua politisi bernapas, bila bos mereka bilang go ahead. Sederhana sekali. Ini nilainya bisa 90% impeach pasti terlasana. Hukum? Oh ini soal paling kecil. Nilainya paling Cuma 10% saja. Malah bisa kurang. Apalagi hukum tata negara. Hukum tata negara berjarak hanya beberapa milimeter dari politik. Bukankah impeach itu semata-mata hukum? Bukankah impeach adalah cara hukum untuk pemberhentian presiden? Betul. Impeachment pertama dalam sejarah tata negara Amerika, sepenuhnya bicara tentang politik. Yang meminjam hukum sebagai tumpangannya. Tidak lebih. Impeachment itu bicara secara terang-terangan tentang pertarungan antara republikan dengan demokrat. Andrew Johnson yang diimpeach itu presiden dari Demokrat, diimpeach oleh partai Republik. Dimensi dasarnya jelas. Impeach ini betul-betul bergantung pada elit politik. Fokus dan percepatan rekonstruksi negara-negara Selatan, hanyalah satu isu. Ini jadi soal. Mengapa harus dijadikan isu? Bukankah negara-negara Selatan telah mengalami kerusakan sehingga harus direkonstruksi? Dimanakah letak tidak logisnya tindakan rekonstruksi Presiden Andrew Johnson, yang akhirnya diimpeach? Isu ini dicatat oleh Ralp Epperson. Jatuh dan bertemu dengan isu lainnya. Isyu lain itu adalah hutang pemerintah kepada Swasta, termasuk usaha mati-matian para banker pendirian Bank Sentral, serta ancang-ancang partai republik membawa Edwin Stanton, menteri pertahanan yang diberhentikan oleh Andrew Johnson, menjadi presiden. Inilah gunung isu kala itu. Betul Presiden Johnson diimpeach, karena memberhentikan Edwin Stanton dari jabatan Menteri Pertahanan. Tindakan ini dikualifikasi tercela, karena Presiden tidak meminta persetujuan Senat. Itu saja tuduhannya. Politik telah bekerja mengubah, dalam makna memberi bobot hukum pada tindakan itu menjadi alasan impeachment untuk Presiden Johnson. Tidak ada korupsi, tidak ada suap, tidak ada penghianatan terhadap negara. Hanya ada misdemeanor, perbuatan tercela. Simple betul menemukan senjata itu. Politik bekerja memudahkannya. Konfigurasi politik yang menentukan. Bukan soal lain. Kasus ini Johnson diselematkan hanya dengan satu suara. Konfigurasi politik di Kongres bekerja untuk impeachment Presiden Richard Nixon. Ini impeach kedua dalam sejarah Amerika. Sebabnya sederhana. Pekerja perbaikan pipa air di kantor Demokrat, ternyata orang-orangnya. Mereka mengambil info untuk digunakan Nixon pada kemenangan pemilu 1972, untuk masa jabatan kedua kalinya. Tindakan ini dikenal, skandal Watergate, menjadi dasar tuduhan. Itu saja? Secara formal, Demokrat yang gunakan. Tetapi itu gambaran kecil. Gambaran besarnya, impeachment ini teridentitikasi sebagai wujud pertarungan besar. Pertarungan itu meliputi pro-kontra kebijakan perang Vietnam, kebijakan pemberantasan narkoba, dan kebijakan perminyakan di Timur Tengah. Satu hal menarik impeach ini adalah sikap Jaksa Agungnya, Elit Richarsdson. Ia menolak perintah Nixon uuntuk memberhentikan Archibal, professor yang bertindak sebagai jaksa penyelidik independen pada kasus Watergate itu. Alsannya mengagumkan, dia tidak mengabdi pada presiden, melainkan kepada keadilan, kepada hokum, kepada bangsa dan kepada konstitusi. Selalu begitu politik impeachment. Tidak pernah bicara secara tunggal tentang penyebabnya. Ini terlihat juga pada impeachment Presiden Bill Clinton dari Demokrat. Presiden ini diimpeach oleh republik. Tuduhannya misdemeanor. Tuduhan ini dibangun atas dasar affairnya dengan karyawan Gedung Putih, Monica Lewinsky. Tidak lebih dari itu. Begitulah politik. Ken Star, pada kasus Clinton bertindak sebagai jaksa penyelidiki independen. Tetapi pada kasus Trumph, dia bertindak sebagai pengacara Trump. Dan menariknya, Alan Dershowitz yang pada kasus Clinton justru membela Clinton, tentu berbeda pendapat dengan Ken Star, keduanya bersatu dan berada kubu Tump. Tuduhan Demokrat bahwa Trump menyalhgunakan kekuaasan, lolos di House of Representative, yang didominasi Demokrat, tetapi kandas di Senat, yang didominasi Republik. Trump dinilai menggunakan kebijakan bantuan keuangan terhadap Ukraina, sebagai alat menghentikan Joe Biden, calon lawannya pada Pemilu Presiden November 2020 ini. Alan Dershowitz kembali mendemonstrasikan argumennya ketika membela Clinton. Dia berpendapat, tuduhan itu tidak sesuai kriteria teknis konstitusi tentang kejahatan. Loloskah kedua orang ini karena argumen hukum? Mungkin. Tetapi keduanya lolos pada konfigurasi politik yang sama. Trump lolos di tengah Senat yang didominasi Republik, dan Clinton juga lolos dari impeach di tengah Senat didominasi Demokrat. PDIP dan Empat Partai Lain Trump, sama dengan Bill Clinton. Keduanya lolos dari tembakan senjata berkarat itu, karena Senat dikontrol oleh partai mereka. Titik. Tidak lebih. Dan seperti sebelum-sebelumnya, kasus ini juga menunjukan politik mengemudikan hukum tata negara. Bukan sebaliknya. Hukum tata negara, dalam tipikalnya sebagai politik yang diberi bentuk normatif. Lebih dari jelas, daya kerja norma tata negara bergantung penuh pada daya kerja politik. Kerja politik impeach bergantung pada kenyataan tak menyenangkan partai politik, yang berada diseberangnya. Selalu begitu. Kemudahan dan kerumitan, karena itu tidak terletak pada hukum. Liku-liku rumit yang terkerangkakan dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945, dalam kasus Indonesia, bisa berubah menjadi hal mudah semudah politisi berganti partai. Apalagi pasal 7A itu menyediakan loophole besar. Apa loopholenya? Apa itu norma atau konsep “penghianatan terhadap negara? Apa itu korupsi, apa itu tindak pidana berat lainnya, atau apa itu perbuatan tercela, yang merupakan alas an pada pasal 7A UUD 1945? Debatnya pasti panjang. Akhir debat ditentukan oleh kekuatan politik. Titik. Tidak lebih Konfigurasi politik Kongres atau DPR, tidak bisa disembunyikan sebagai satu-satunya fariabel penentu sukses atau gagalnya impeach. Tidak lain dari itu. Itu diperlihatkan secara telanjang disepanjang jalan impeach sebanyak empat kali di Amerika. Konstelasi dan komposisi politik itu juga bicara pada tiga peristiwa pemberhentian Bung Karno, Pak Harto dn Pak Abdurrahman Wahid. Pemberhentian mereka memang tak bisa dikerabngkakakn dalam impeach khas pasal 7A dan 7B UUD 1945, tetapi impeach bekerja dengan cara yang mirip. Konstelasi politik faktual, sejauh ini memberi gambaran jelas. PDIP melalui eksponennya telah bicara mengenai sulitnya impeach. Kerumitan dan bergelombangnya prosedur hukum yang dipandu UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 memang memungkinkan PDIP bicara mengenai kesulitan impeach. Apalagi PDIP. Bukan Gerindra, bukan Golkar, bukan PKB, juga bukan Nasdem. Elit-elit partai, mungkin dan sejauh bisa, harus dipastikan satu gelombang dengan presiden. Itu mutlak. Sejarah impeach sepenuhnya merupakan sejarah politik para elit. Impeach itu ya soal elit. Tidak lain dari elit. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Pemakzulan Presiden Ala Paranormal

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (06/06). Setelah ramai berita kegagalan acara diskusi ilmiah yang bertema Pemakzulan Presiden di kampus Universitas Gajah Mada (UGM), lalu ada kajian ilmiah diskusi soal yang sama yakni "Pemakzulan". Acara ini diselenggarakan Mahutama. Para pembicara antara lain Prof. Dr. Dien Syamsuddin, Prof. DrRefly Harun dan lainnya. Pada diskusi melalui virtual zoom ini, muncul pula melalui video tema pemakzulan Presiden. Video ini diungkapkan oleh paranormal Ki Sabdo Jagad Royo. Intinya meramalkan Presiden Joko Widodo akan lengser atau segera dimakzulkan. Video menampilkan tiga babak. Babak pertaman, sebelum menjabat periode 2019-2024. Babak kedua, saat pelantikan Oktober 2019. Babak ketiga, setelah menjabat 2019-2024. Ki Sabdo Jagad Royo adalah paranormal, yang menurut dirinya membantu menyukseskan keberhasilan Joko Widodo untuk menjabat Gubernur DKI, Presiden periode 2014-2019 serta terakhir Presiden periode 2019-2024. Ada nada kecewa Ki Sabdo Jagad Royo akibat "penghianatan" Joko Widodo dalam video viral tersebut. Pada sesi awal, Ki Sabdo menerangkan bahwa Joko Widodo sudah ditempelkan makhluk gaibnya Nyi Roro Kidul oleh Ki Sabdo sehingga sukses mendapat jabatan Gubernur hingga Presiden. Namun Joko Widodo berkhianat tidak membayar kesuksesan atas bantuan tersebut. "Kalau Nyai Roro Kidul saya ambil maka Joko Widodo pasti lengser". Menurutnya, Joko Widodo itu seperti "kacang lupa kulitnya". Ki Sabdo Jagad Royo mengancam "memakzulkan" Jokowi karena suksesnya itu tergantung Ki Sabdo. "Yang pasang Nyai Roro Kidul adalah saya". Entah kemudian pembayaran beres atau lainnya, pada bulan Oktober 2019 menjelang pelantikan, Ki Sabdo Jagad Royo bersemedi di Gedung Nusantara V DPR RI untuk mengamankan agenda pelantikan. Waktu itu Ki Sabdo memanggil atau memasang makhluk halus Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, jin Kahyangan dan lainnya. Ki Sabdo membenarkan usahanya itu atas perintah dari Joko Widodo. Dijamin pelantikan berjalan lancar. Tidak jelas waktu nampaknya sesi ketiga setelah pelantikan, Ki Sabdo mengancam pemakzulan kembali karena mungkin pembayaran yang tidak beres. Ia sengaja membuat video lanjutan. Teriak soal pembayaran gaji kepada Jokowi. Lalu Ki Sabdo Jagad Royo menyatakan bahwa jabatan Joko Widodo tidak akan sampai finish alias dilengserkan. Joko Widodo berkhianat pada dirinya. Ki Sabdo Jagad Royo berujar dengan kalimat kutukan dan ancaman pelengseran yang jelas dan meyakinkan. Memang pernyataan Ki Sabdo Jagad Royo ini bikin heboh. Mengungkap tentang mistik-mistik di sekitar kekuasaan Joko Widodo. Hebatnya lagi, Ki Sabdo Jagad Royo siap mempertanggungjawabkan secara hukum atas sikap atau pernyataan "bantuan spiritual" nya ini. Perlu klarifikasi. Apakah tindakan Ki Sabdo Jagad Raya ini adalah "pemerasan", atau memang tagihan dari kesepakatan "bisnis hantu" diantara keduanya? Akhirnya kita bangsa Indonesia merasa prihatin atas kekacauan spritualitas pemimpin negara. Konsep Ketuhanan yang bergeser menjadi Kehantuan. Ketauhidan "Yang Maha Esa" berubah dengan Kemusyrikan "Yang Membuat Binasa" bangsa ini. Tak jelas reaksi Presiden Joko Widodo, yang diramalkan paranormal Ki Sabdo Jagad Royo bakal dimakzulkan di tengah jabatannya ini. Apakah menertawakan, gemetar, atau merasa kuat karena telah memiliki Paranormal tandingan lain? Jika yang dikatakan Ki Sabdo Jagad Royo adalah hoaks, maka Joko Widodo mesti berani memproses secara hukum. Jangan biarkan masyarakat terkecoh atas isu-isu yang berkeliaran. Apalagi di tengah wabah corona, kita masih saja dipertontonkan adegan konser mistik perhantuan di sekitar Istana. "Wao wao heboh heboh", kata Ki Sabdo Jagad Raya. New normal diterjang paranormal yang membuat Istana semakin terlihat ikut-ikutan abnormal. Semoga tidak terlalu banyak predikat untuk istana Presiden, selain istana boneka (doll castle), istana labirin (labyrinth palace) dan istana hantu (ghost palace). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Halo Dirut TVRI, Kenapa Takut Dengan Rekam Jejak Pro-PKI?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Rabu (03/06). Dirut TVRI yang baru, Iman Brotoseno (IB) menghapus akun Twitternya, @imanbr. Dia juga menutup blognya. Di kedua akun ini, IB punya banyak rekam jejak yang pro-PKI, pro-Gerwani, pro-pornografi. Plus, sikapnya yang cenderung tak suka pada figur-figur Islam, kalau pun tidak bisa disebut tak suka Islam. Dia babak belur diganyang oleh banyak orang dari segala lapisan. Ada netizen biasa, wartawan, penulis, politisi senior, dlsb. Semua ikut menyerang. Bagi mereka, IB tak layak menjadi Dirut lembaga siaran publik dengan semua rekam jejak yang dianggap buruk itu. Selama bertahun-tahun ini, IB memang gencar memperlihatkan preferensinya terhadap paham komunis. Di kedua akun medsos yang ditutupnya itu. Iman Brotoseno juga mengatakan Hari Kesaktian Pancasila tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang jenderal-jenderal yang dibunuh PKI. Yang menjadi pertanyaan: apa salahnya Iman Brotoseno menunjukkan sikap pro-PKI? Bukankah itu lebih bagus? Dalam arti tegas dalam berprinsip. Transparan dalam bersikap. Tidak mencla-mencle. Bukankah orang seperti ini yang hidup terhormat? Bukankah konsistensi dalam ideologi dan sikap itu adalah perilaku yang mulia? Misalnya, dia tunjukkan rasa senangnya pada komunisme, marxisme-leninisme. Bukankah sikap ini sesuatu yang terpuji? Dalam arti, orang tidak perlu lagi mencari-cari siapa itu IB. Bukankah semua orang menjadi ‘lega’ bahwa IB blak-blakan dengan preferensi ideologinya? Tidak sembunyi-sembunyi. Bagi saya, itu malah mempermudah orang untuk memposisikan IB di peta sosial-politik Indonesia. Dengan memamerkan preferensi ideologinya itu, IB mempelihatkan sikap kesatria! Berani terang-terangan menunjukkan pikirannya. Teguh dalam berprinsip. Tentulah orang seperti beliau ini yang punya harga diri. Sekali dia tunjukkan pro-PKI dan Gerwani, dlsb, dia tidak gentar dan tidak mundur. Begitulah seharusnya. Sama seperti Ribka Tjiptaning. Dia menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Anggota DPR-RI dari PDIP ini tidak malu-malu kalau publik tahu bahwa dia anak PKI. Dua jempol! Tapi, mengapa sekarang Iman Brotoseno seperti ketakutan dengan rekam jejaknya yang membela PKI, membela Gerwani, dan membenci Islam? Sampai-sampai dia harus menghapus akun Twitter dan blog yang berisi banyak cuitan dan tulisan “yang bagus-bagus” meskipun kontroversial. Agak mengherankan. Seharusnya sekarang, dengan jabatan penting sebagai Dirut TVRI, IB semakin keras menunjukkan keberpihakannya pada PKI. Supaya publik tahu siapa dia. Jangan malah surut. Seharusnya Anda, Bung Iman Brotoseno, tidak menghapus akun-akun medsos itu. Kalau perlu ditambah lagi. Jika tadinya Anda punya akun Twitter dengan nama @imanbr, sekarang buat yang lebih lantang lagi. Misalnya, gunakan nama @imanbrpropki, dlsb. Kok malah dihapus akun-akun medsos Anda itu? Sayang sekali. Apalagi banyak ‘follower’-nya. Dihapus itu artinya Anda pengecut. Tunjukkan saja pro-PKI dan komunisme. Mengapa takut atau malu-malu? Sekarang Anda menjadi Dirut TVRI. Inilah waktunya Anda lebih leluasa membela PKI. Anda sekarang mengendalikan televisi publik itu. Kesempatan baik bagi Anda untuk mempromosikan PKI atau ajaran-ajaran yang membuat umat Islam meradang. Isi saja TVRI itu dengan acara-acara yang mengkampanyekan komunisme-PKI. Tidak perlu terselubung. Dengan strategi begini, persoalan bangsa dan negara ini bisa ‘diselesaikan’ lebih cepat lagi. Bagus ‘kan? Ayo, Bung. Berani, enggak? Sisa-sisa PKI pasti mendukung. Dan blok politik besar “induk semamg PKI” pasti siap melindungi dan membeking Anda. Penulis adalah Wartawan Senior

BPIP Lembaga Mahal Yang Miskin Khazanah

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (03/06). Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang bertekad untuk puasa bicara karena "salah melulu". Akhirnya jebol juga bicara, saat peringatan harlah Pancasila. Yadian mengimbau para agar produsen hoaks menghentikan kebiasaannya mengeluarkan berita hoaks yang merugikan masyakat. Sindiran media adalah pertanyaan, siapa yang paling potensial untuk memproduksi hoaks itu? Arahnya adalah kekuasaan. Lembaga kekuasaanlah yang memiliki segala alat untuk memproduksi informasi hoaks tersebut. "Yudian tidak takut dipecat ?" sindirnya. Miskin khazanah, itu konklusinya untuk yang paling pas untuk BPIP. Omongannya kurang bermutu. Grasa-grusu asal ngomong. Senang memproduksi kegaduhan di masyarakat. Lalu, apa urgensinya dari lembaga yang "mahal" ini jika produksi narasi hanya segitu. Narasi kelas rendahan. Memiliki Kepala Lembaga yang narasinya "pas-pasan" saja. Terkesan kalau tidak memiliki kapasitas politik yang memadai. Apalagi jiwa kenegarawanan. Orientasi kerakyatan dan keumatan juga yang beradasa di kelas rendahan. Lebih dominan karena berada di tempat kepentingan kekuasaan. Ideologi Pancasila tidak tercerahkan kepada masyarakat dengan baik. Apalagi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Malah semakin jauh, buram dan kusam dibuatnya. Tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila saja "debatable". Masa Pancasila lahir dengan sila pertama kebangsaan dan terakhir ketuhanan yang berkebudayaan? Terbalik, justru yang ada adalah pemerosotan. Ini sama saja dengan lahir itu"sungsang". Karena sangat berbeda jauh dengan Pancasila kini, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga saja pernyataan rezim Jokowi bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai lahirnya Pancasila bisa dibatalkan dan dicabut lagi setelah Jokowi nanti tidak berkuasa. Yang benar Pancasila itu lahir sempurna 18 Agustus 1945. Setelah sebelumnya melalui proses “Piagam Jakarta” yang disepakati tanggal 22 Juni 1945. Bukan 1 Juni 1945. Sebab pada tanggal 1 Juni 1945 itu sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa Ditempat di ekor. Bukan di kepala. Yudian mengaitkan pengamalan Pancasila dalam bergotong royong. Dia juga menyontohkan masyarakat bersama membuat solokan atau gotong royong mengantar jenazah. Betapa rendah dan sesederhana itu. Lagi pula "gotong royong" itu kini menjadi kalimat samar dalam kaitan "jas merah", Pak. Pertama gotong-royong itu artinya kerjasama. Kedua, gotong royong itu adalah Ekasila nya Soekarno. Ini hanya bentuk opsi lain dari Pancasila. Bukan Pancasila. Narasi yang disampaikan kepada masyarakat jangan sampai mempermalukan dan merendahkan kelembagaan BPIP yang super mahal itu. Pancasila versus Ekasila. Sejak "salam Pancasila" dan " agama adalah musuh Pancasila" maka kompetensi Kepala BPIP ini mulai diragukan. Dampaknya, pada fungsi dan peran BPIP yang turut diragukan pula. Apalagi kini muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berbau Soekarno-isme dan Komunisme-PKI. BPIP tidak mampu mengarahkan apa-apa untuk meluruskan makna Pancasila yang ada pada RUU HIP tersebut. Oleh karena itu, sudah sangat layak jika BPIP yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati Soekarno Putri ini segera dibubarkan saja. Boros dan habis-habiskan anggaran saja. Mendingan, dan sangat bermaat bila anggaran untuk BPIP dipakai untuk membantu ekonomi masyarakat yang terdampak pandemii virus corona. Kembali pada produsen hoaks, rakyat bertanya siapa yang paling siap bermain di arena produksi ini? Oposisi atau yang pro kekuasaan? Pemerintah yang punya banyak alat, termasuk intelijen harus bisa membuktikan dan membongkar dimana pabrik hoaks itu berada? Apakah di Posko Oposisi atau justru adanya di dalam Istana? Ini sangat penting, agar masyarakat atau rakyat tidak terombang ambing oleh jebakan permainan hoaks yang produsennya misterius. Lakukan pelacakan, mulai dari siapa figur yang gemar berbohong, berjanji palsu, atau membangun pencitraan diri. Terus meluas dan mendalam. Dengan kemahiran pelacakan aparat, diharapkan akan ditemukan produsen hoaks sebenarnya. Lalu Yudian Wahyudi insya Allah akan kecewa karena pernyataannya terbukti tidak akurat. Selamat malakukan pelacakan. Happy tracking. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mungkinkah PKI Bangkit Kembali?

By Asyari Usman Jakarta FNN – Selasa (02/06). Kalau pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD (31/5/2020) dijadikan pegangan, tampaknya tidak mungkin PKI bisa hidup lagi. Sebab, kata Pak Mahfud, Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme tidak bisa dicabut oleh pihak mana pun. Dan, kata Mahfud lagi, tidak ada juga pihak yang ingin mencabut itu. Kalaulah anda semua yakin dengan ucapan Mahfud itu bisa dijadikan landasan, tentu tidak ada yang perlu khawatir. Kecuali anda tidak percaya kepada beliau. Lain lagi masalahnya. Terlepas dari jaminan Menko Polhukam, kita semua melihat begitu banyak gejala yang menunjukkan bahwa PKI sedang berusaha untuk bangkit lagi. Kita uraikan gejala-gejala yang membuat publik, khususnya umat Islam, menjadi curiga PKI tidak akan tinggal diam. Misalnya, ada upaya yang rapi untuk membalikkan fakta. Setelah Reformasi 1998, orang-orang atau kelompok tertentu berusaha menyebarkan opini bahwa PKI tidak melakukan kesalahan dalam peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam (dinihari 1 Oktober 1965). Kemudian, ada pula desakan dari orang-orang yang mengatasnamakan keluarga PKI agar pemerintah Indonesia meminta maaf secara resmi kepada PKI. Maaf atas rangkaian peristiwa yang memakan korban orang-orang PKI. Bahkan ada yang meminta supaya kuburan massal PKI 1965 diusut tuntas. Seterusnya, bermunculan seminar atau diskusi yang arahnya membela hak-hak asasi manusia (HAM) warga atau keturunan PKI. Upaya ‘ilmiah’ ini diiringi pula oleh pemameran simbol-simbol atau lambang PKI di banyak pelosok negeri. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ada banyak yang memakai kaos palu-arit di depan public. Ada pula yang membuat graffiti (corat-coret) di tembok yang memajangkan slogan atau lambang komunisme dan PKI. Terbaru, adalah kasus bendera merah-putih yang diberi lambang palu-arit. Bendera ini ditemukan kampus Universitas Hasanuddin, Makassar beberapa hari lalu. Jadi, belakangan ini bagaikan ada upaya sistematis untuk membukakan peluang bagi komunisme-PKI berkembang lagi. Banyak orang yang memberikan simpati kepada PKI. Dengan berbagai cara. Ada yang memperjuangkan pencabutan Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme-marxisme-leninisme. Dan ada pula yang mengatakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh PKI. Yaitu, mengatakan bahwa orang yang memakai kaus palu-arit hanyalah ‘trend’ anak muda saja. Yang sangat mengkhawatirkan adalah perlindungan yang diberikan oleh kekuatan politik resmi. Misalnya, blok politik besar yang sengaja menampung orang-orang yang terkait dengan PKI. Menampung orang-orang yang menginginkan implementasi paham komunis di negeri ini. Kekuatan politik yang memiliki hubungan historis yang kental dengan PKI dan komunisme itu, tidak berlebihan kalau disebut sengaja memberikan ‘ruang hidup’ kepada sisa-sisa PKI. Ini dapat dilihat dari upaya memuluskan pengesahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang diprakarsai oleh DPR. RUU yang ditolak oleh PKS bersama PAN dan dipersoalkan oleh PPP itu, tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 seperti disinggung di awal tadi pada konsideran RUU. Banyak yang melihat ini sebagai upaya untuk menghalalkan komunisme dan PKI bangkit lagi. Meskipun Menko Polhukam dan para petinggi DPR yang menangani RUU HIP sibuk meyakinkan publik bahwa UU HIP akan memperkuat ideologi Pancasila. Tampaknya, tahun-tahun mendatang ini akan menjadi masa yang penuh tantangan berat bagi rakyat. Terlebih khusus umat Islam yang sangat keras melawan PKI. Umat Islam tidak boleh lengah. Sebab, sangat pantas diyakini bahwa memang ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menghidupkan kembali komunisme-PKI di Indonesia. Dengan segala gejala pro-komunisme dan pro-PKI yang ada sekarang ini, kita akan setiap hari bertanya: mungkinkah PKI bangkit kembali? Penulis adalah Wartawan Senior

Terorisme di Kampus UGM

By M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (01/06). Kasus teror dengam ancaman pembunuhan kepada mahasiswa selaku Panitia Penyelenggara Diskusi Online di Kampus Universitas Gajah Mada (UGM). Teror dengan tujuan fisik ditujukan kepada Narasumber Prof DR Ni'matul Huda, SH M.Hum. Teror model ini tentu saja tidak bisa dianggap enteng atau biasa-biasa saja. Tragisnya lagi, peneror mencatut nama Muhammadiyah Klaten. Pihak Muhammadiyah sendiri sudah mengklarifikasi. Muhammadiyah menuntut Polisi untuk mengusut pencatutan yang berbau adu domba tersebut. Mirip-mirip dengan gayanya komunis dulu. Provokator peneror sudah diketahui. Dia adalah Dosen FakultasTeknik yang gagal menjadi Rektor UGM. Namanya KPH Bagas Pujilaksono Widyakanigara. Ia semestinya sudah terkena delik hukum penyebaran informasi hoax, karena menuduh ada gerakan makar lewat diskusi. Dasarnya adalah UU ITE yang sudah biasa dipakai polisi untuk menyeret dan menindak penyebar informasi hoax yang lain. Akibat teror tersebut, terjadi kerugian. Baik berupa batalnya acara diskusi, maupun menimbulkan aksi teror. Yang bersangkutan seharusnya sudah dapat mulai disidik. Langkah berikut adalah mengejar para teroris. Jika Kepolisian setempat mengalami kesulitan, maka dapat melibatkan Densus 88 Anti Teror. Perbuatan kriminal baik kepada Panitia maupun Narasumber adalah perbuatan luar biasa, apalagi memfitnah Ormas Muhammadiyah. Perbuatan ini, ada muatan politik yang terencana. Disain yang membahayakan dunia akademik maupun masyarakat dan Ormas Muhammadiyah. Apalagi di tengah pembahasan RUU HIP yang ditengarai kental berbau komunisme dan Orde Lama. Undang-Undang No. 5 tahun 2018 yang berkaitan dengan pemberanfasan tindak pidana terorisme menegaskan, elemen terorisme antara lain adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut, dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Nah, patut diduga masifnya, dan dampak teror dari gagalnya diskusi online UGM tersebut cukup besar. Ada tiga institusi terdampak aksi terror tersebut, yaitu UGM, Uiversitas Islam Indonesia (UII), dan Ormas Muhammadiyah. Teror terhadap kebebasan berpendapat dan kelangsungan demokrasi ini lebih berat. Bahkan sangat serius. Penyidikan dapat mulai dari Bagas Pujilaksono. Untuk menguji jaringan atau keterkaitan dengan teror ancaman pembunuhan kepada mahasiswa, teror gangguan fisik kepada Guru Besar UII dan memfitnah Ormas Muhammadiyah Klaten. Jelas benang merahnya. Ada motif ideologi, politik, atau gangguan keamaman. Polisi Cyber dapat dengan mudah membongkar penggunaan media elektronik dari pelaku teror. Hingga segera dapat ditemukan terorisnya. Masalah ini serius dikaitkan dengan tema diskusi soal persoalan pemecatan Presiden dalam sistem ketatanegaraan. Masalah akademik yang ditarik-tarik ke ruang politik oleh provokator atau teroris yang berfikiran jahat. Polisi dengan profesionalismenya dibantu dengan informasi masyarakat, khususnya civitas academica UII dan UGM diyakini mampu membongkar dugaan kasus terorisme ini. Bila tidak berlanjut atau menjadi kasus "X Files", maka bukan mustahil modus yang sama dapat dilakukan berulang-ulang. Kita respons dorongan Menkopolhukam yang juga alumni UII agar Kepolisian dapat mengusut tuntas kasus "terorisme" yang membahayakan kebebasan kalangan akademik, yang dijamin kebebasannya oleh Undang Undang dan Konstitusi negara tersebut. UGM, UII, dan Muhammadiyah tidak boleh dibiarkan menjadi obyek kejahatan terorisme. Baik itu yang terselubung maupun yang tak terlacak. Kerjasama dan keseriusan untuk membongkar akan mampu membuktikan bahwa kejahatan tak akan bisa mengalahkan kebenaran dan keadilan. "malum non nos vincere poteris veritate et iustitia". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Diskusi Tentang Memecat Presiden Itu Bukan Makar

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (31/05). Agenda seminar atau diskusi online bertema "Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" yang diselenggarakan mahasiswa UGM menjadi gonjang-ganjing. Reaksi mulai dari pendapat yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut makar hingga teror yang terjadi pada Panitia maupun Narasumber Prof. DR. Ni'matul Huda, SH M. Hum dari Universitas Islam Indonesia (UII). Kutukan, kecaman dan marah terhadap teror tersebut datang dari mana-mana. Pernyataan sikap Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Asosiasi FilsafatHukum Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia telah menyatakan "Mengutuk Keras Tindakan Teror Terhadap Insan Akademik & Penyelenggaraan Diskusi Di Jogyakarta". Kajian akademik soal pemecatan Presiden bukan hal yang tabu. Apalagi terlarang termasuk di masa pandemik. Sepanjang aturan Konstitusi mengatur persoalan pemecatan Presiden, maka kajian tersebut menjadi sah sah saja. Karena hal itu merupakan bagian dari "enlightenment" dalam dunia akademik. Jangankan di lingkungan akademik, di masyarakat pun hal yang wajar. Adanya diskursus soal pemecatan Presiden bukan barang haram. Toh itu adalah bagian dari sistem ketatanegaraan kita. Sejarahpun pernah mencatat soal terjadinya pemecatan terhadap Presiden. Yang tidak boleh adalah menghentikan memberhentikan Presiden dengan paksa oleh kelompok masyarakat. Jika disalurkan melalui DPR misalnya, lalu DPR membuat keputusan tentang pemecatan Presiden. Setelah diuji di Mahkamah Konstitusi, maka desakan agar Presiden dipecat itu sah sah saja. Konstitusi kita melindungi rakyat untuk berbicara tentang soal itu. Pasal 7A UUD 1945 dengan tegas mengatur baik syarat maupun prosedur pemecatan Presiden. Karenanya sangat konstitusional. Mereka yang melakukan simplifikasi dengan menggunkan bahasa makar, apalagi melakukan terror, jelas nyata-nyata merupakan perilaku menyimpang. Prilaku itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Aparat penegak hukum harus mengejar dan menangkap pelaku teror tersebut. Mereka harus diproses secara hukum untuk pertanggungjawabkan perbuatan terornya. Apalagi mencatut nama-nama ormas Islam segala. Pelaku kriminal bergaya adu domba PKI harus dihukum berat. Sungguh sangat wajar pembelaan masyarakat akademik atas terjadinya teror dan kebodohan ilmiah ini. Jangankan sekedar diskusi, pemecatan sebenarnya Presiden juga adalah sah. Sepanjang dilakukan oleh DPR diproses MK dan ditetapkan MPR. Jadi tidak ada yang harus dimasalahkan atau dikasuskan. Bila memang Presiden nyata-nyata melakukan penghianatan kepada ideologi negara. Juga melakukan kejahatan berat, serta perbuatan tercela, UUD 1945, maka Presiden bisa untuk dipecat. Gerakan moral kampus memang ditunggu publik. Rakyat butuh "guidance" dalam menghadapi iklim politik yang dirasakan semakin membahayakan stabilitas nergara. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, rong-rongan terhadap ideologi negara, hingga penunggangan pandemi Covid 19 tidak boleh dibiarkan. Selain itu, ada masalah lain. Masuk TKA China, naiknya iuran BPJS sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan tidak turunnya harga jual BBM di tengah kesulitan rakyat akibat pandemi Covid 19. Mereka para pemanfaat dan penikmat kekuasan mesti diingatkan dan diluruskan. Rakyat tidak boleh sampai dipinggirkan dan ditindas, apalagi diperbudak. Gerakan kemerdekaan di masa penjajahan dulu dimotori oleh kaum intelektual. Perubahan sosial dan politik diawali oleh keresahan lapisan strategis ini. Kini pernyataan soal makar atau tindakan teror ke lingkungan akademik harus dilawan dan diprotes keras. Kampus memiliki kebebasan akademik yang dilindungi oleh Undang Undang dan Konstitusi. Sepanjang sesuai dengan koridor aturan hukum ketatanegaraan, maka diskusi terbuka mapun tertutup tentang memecat Presiden itu bukanlah makar. Sangat sangat dan sangat konstitusional ! Penulis adalah Alumnus Fak. Hukum UNPAD Jurusan Hukum Tata Negara.

Proses Seleksi Cacat Hukum, Menghasilkan Dirut TVRI Otak Mesum

By Tjahja Gunawan Jakarta FNN – Ahad (31/05). Begitu Iman Brotoseno diumumkan sebagai Direktur Utama Pengganti Antar Waktu TVRI periode 2020-2022, seketika itu pula jejak digital mantan kontributor Majalah Playboy ini dibongkar netizen. Sehingga hastag #BoikotTVRI menjadi trending topic di linimasa Twitter. Beberapa pengguna akun Twitter mempersoalkan kicauan Iman Brotoseno melalui akun tweeternya @imanbr, soal topik 'bokep' yang ditulis beberapa tahun silam. Pada saat ditetapkan sebagai Dirut TVRI tanggal 27 Mei 2020, Iman Brotoseno langsung merespons warganet yang mempersoalkan rekam jejak digitalnya. Iman mengaku tak pernah menutupi identitasnya. Iman juga mengakui rekam jejaknya di majalah dewasa Playboy Indonesia. Dia juga mengakui beberapa cuitan bernada pornografi yang diperdebatkan pengguna Twitter. Tidak hanya itu, tahun 2012, Iman Brotoseno melalui blogspotnya juga pernah menulis artikel yang menyudutkan Umat Islam dengan menyebut "Islam Sontoloyo". Tulisan beliau bisa dicek di tautan ini: http://blog.imanbrotoseno.com/lagi-islam-sontoloyo/. Hilmi Firdausi, salah satu netizen, melalui akun tweeternya @Hilmi28 menulis: Bangsa ini sedang krisis akhlak. Kita butuh pejabat-pejabat publik yang menjadi teladan untuk rakyat. Tidak adakah orang lain yang lebih pantas? Di bawah Helmi Yajya, TVRI naik daun. Jangan sampai sekarang malah ditinggal pemirsa. Apalagi sedang ramai Tahar #BoikotTVRI. Mohon para wakil rakyat bersuara. Dari sisi moral dan akhlak, perilaku Dirut TVRI yang baru ini memang bermasalah. TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP), sangat berbahaya jika diurus oleh orang yang mempunyai cacat moral karena dikhawatirkan akan mempengaruhi konten dan program-program TVRI. Apalagi TVRI dan Kemendikbud belum lama ini telah menjalin kerjasama program "Belajar dari Rumah". Kerjasama ini dilakukan untuk membantu siswa yang memiliki keterbatasan akses internet karena soal ekonomi atau letak geografis. "Program Belajar dari Rumah merupakan bentuk upaya Kemendikbud membantu terselenggaranya pendidikan bagi semua kalangan masyarakat di masa darurat Covid-19," ujar Mendikbud Nadiem Makarim, pada telekonferensi Peluncuran Program Belajar dari Rumah di Jakarta, Kamis 9 April 2020. Pernyataaan tersebut, saya kutip dari Kompascom. Kekhawatiran acara TVRI akan mempengaruhi anak-anak sekolah juga diungkapkan seorang ibu rumah tangga yang juga founder dan CEO Halal Corner, Ny Aisha Maharani. Melalui akun Facebooknya dia menulis: "Kadang ada tugas sekolah anak-anak nonton TVRI bagian pendidikan. Tapi kalau dirutnya yang baru begitu, khawatir juga". Harus dibatalkan Ternyata Dirut TVRI yang baru ini bukan hanya bermasalah secara moral, tetapi juga bermasalah secara legal. Proses seleksi Dirut TVRI ini cacat hukum. Berdasarkan pengamatan di berbagai pemberitaan media, saya harus katakan bahwa proses seleksi Dirut PAW TVRI cacat hukum. Oleh karena itu penetapan dan pelantikan Iman Brotoseno sebagai Dirut PAW TVRI periode 2020-2022, harus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan. Mengapa ini bisa terjadi ? Bagaimana sih sebenarnya duduk perkaranya ? Pertama, proses seleksi yang dilakukan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Proses seleksi Dirut PAW TVRI telah menabrak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Tidak hanya itu, Dewas TVRI juga dinilai telah melanggar etika komunikasi dengan DPR RI selaku mitra kerjanya. Bahkan, tanggal 13 Mei 2020 lalu, Komisi I DPR-RI sebenarnya telah mengeluarkan rekomendasi pemberhentian terhadap Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin sambil mengevaluasi kinerja anggota dewas TVRI lainnya. Sebelum ada surat rekomendasi pencopotan Ketua Dewas TVRI dari Komisi I DPR, rupanya Ketua Dewas sudah memberhentikan tiga Direktur TVRI. Yakni Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra, Direktur Keuangan TVRI Isnan Rahmanto dan Direktur Umum Tumpak Pasaribu. Seperti diberitakan portal berita Kontan, Charles Honoris, anggota Komisi I DPR dari F-PDI Perjuangan, mengatakan dengan diterbitkannya pemecatan definitif terhadap tiga direksi TVRI non-aktif, maka Dewas kembali melanggar kesimpulan rapat dengan Komisi I DPR. Dalam hal ini, kata Charles Honoris, Dewas TVRI telah melanggar UU temtang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan melecehkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hal senada disampaikan Ketua Komite Penyelemat TVRI, Agil Samal. "Sikap (Dewas TVRI) ini dapat diartikan telah melecehkan lembaga legislasi yang selama ini menaungi dan memilih dewan pengawas," kata Agil dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/5). Kontroversi seleksi Dirut PAW TVRI ini mengundang rasa penasaran saya untuk mencari tahu lebih jauh kepada bekas rekan kerja saya di Harian Kompas, yakni Buyung Wijaya Kusuma atau biasa dipanggil Boy, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Tawaf TV. Dia lolos sampai delapan besar. "Sebenarnya proses seleksi calon Dirut TVRI tidak melibatkan DPR," kata Boy. Proses seleksi di delapan besar, juga melibatkan Lembaga Psikologi Terapan (LPT) Universitas Indonesia di Jl. Salemba No 5, Kenari, Jakarta Pusat. LPT UI ini yang menyelenggarakan assessment test terhadap para calon Dirut TVRI. Untuk menangani TVRI, lanjut Boy, harus dilakukan oleh orang-orang yang pernah bekerja di televisi. "Bagaimana mungkin bisa memilih orang (Dirut TVRI) tapi dia tidak pernah bekerja di tv," katanya seraya menambahkan proses seleksi tiga besar calon Dirut TVRI langsung dilakukan oleh Dewas TVRI. Tomy Mundur Sementara itu bekas rekan kerja saya sekaligus mantan Pemred Harian Kompas, Suryopratomo yang biasa dipanggil Tomy, mengundurkan diri dari pencalonan seleksi Dirut TVRI karena diterpa isu politik. Hal itu terkait dengan posisinya sekarang sebagai Direktur Utama Metro TV. Begitu lolos 16 besar, Tommy mengundurkan diri karena takut menganggu kinerja TVRI dengan isu yang beredar di masyarakat terkait dengan jabatannya saat ini sebagai pemimpin di saluran TV besutan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. "Maka saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pemilihan calon Direktur Utama LPP TVRI pengganti antar waktu periode 2020-2022," ujar Tommy dalam suratnya sebagaimana dikutip Kompascom. Namun tidak berapa lama kemudian, Tomy justru diajukan oleh Presiden Jokowi sebagai calon Dubes RI untuk Singapura. Kalau nanti DPR menyetujui, tentu saja posisi Dubes lebih tinggi dari Dirut TVRI. Menurut saya, posisi Dirut TVRI maupun jabatan sebagai Dubes merupakan jabatan politis. Hanya saja, proses seleksi dan pengangkatan Iman Brotoseno sebagai Dirut PAW TVRI mengandung banyak kontroversi dan memiliki cacat moral maupun yuridis. Menurut Boy, proses seleksi Dirut PAW TVRI sempat dihentikan Komisi 1 DPR. "Setelah Tomy mengundurkan diri, katanya akan ada pendaftaran baru, tapi ternyata tidak pernah ada," ujar Boy. Yang menjadi pertanyaan kemudian, Dewas TVRI terkesan seperti kumpulan dari orang-orang yang "kebal hukum" sehingga aturan yang ada bisa dilabrak. Sementara hubungan kemitraan dengan Komisi I DPR juga tidak diindahkan Dewas TVRI. Apakah ada becking "orang kuat" dibalik lembaga Dewas TVRI ini ? Mari kita telusuri sosok Ketua Dewas TVRI yang bernama Arief Hidayat Thamrin yang sebelumnya telah memecat Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI. Berdasarkan informasi yang didapat dari profil LinkedIn pribadinya, Arief telah menjadi Ketua Dewas TVRI sejak Juli 2017 hingga sekarang ini. Jauh sebelum berkarier di TVRI, pria lulusan UI itu meniti karier sebagai General Manager (GM) Marketing di Metro TV selama 13 tahun, tepatnya pada Juli 2001 hingga Juni 2013. Arief juga pernah menjadi Business Development Director di Berita Satu Media Holdings selama dua tahun, Juli 2013-Januari 2015. Lalu, masih di posisi jabatan yang sama, ia berkarier di iNewsTV selama dua tahun, Februari 2015 hingga Mei 2017 dan terakhir berlabuh di TVRI. Pertikaian Helmy Yahya dengan Arief Hidayat ini sebelumnya telah mendapat perhatian dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G. Plate. Sebagaimana diberitakan Warta Ekonomi tanggal 9 Desember 2019, Menkominfo Johny Plate mengatakan, permasalahan antara Helmy denga Arief Hidayat sudah berlangsung lama. Namun, waktu itu Plate menolak untuk menyebutkan secara rinci. Namun di luar itu, suatu waktu Arief Hidayat Thamrin juga pernah mengunggah foto dirinya sedang membawa maf berlogo TVRI bersama Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di IG pribadinya, arief.thamrin. Kemudian sahabat saya, Muhammad Ali Syawie yang pernah bekerja bersama Arief Hidayat di Berita Satu, berkomentar setengah berseloroh: "Wah, Mas @arief.thamrin TVRI sekarang dibawah Menteri Segala Urusan yah ?". Ah, sungguh komentar dan pertanyaan yang nakal nih. Tapi apakah karena itu lalu Dewas TVRI menjadi "kebal hukum" dan bisa memecat Dirut TVRI Helmy Yahya seenaknya? Kemudian menyelenggarakan proses seleksi Dirut PAW TVRI yang penuh kontroversi ? Wallohualam Bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior

Mayat Akibat Corona Tidak Diotopsi, Dan Tata Negara Yang Berlumpur

By Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Ketika suatu kerajaan, hasil pajaknya menjadi berkurang karena hal-hal sebagaimana telah kami kemukakan, yaitu kemewahan, banyaknya tradisi, belanja-belanja, penghasilan tidak mencukupi dengan berbagai kebutuhan belanja dan perlu adanya tambahan harta dan pajak, maka kadangkala ditetapkanlah berbagai macam pajak atas transaksi-transaksi jual beli dan pasar-pasar rakyat sebagaimana kami kemukakan pada pasal sebelumnya. (Ibnu Khaldun 1332-1406). Jakarta FNN – Sabtu (30/05). Dunia belum benar-benar aman, bebas dari gempuran Corona. Jerman, China, Perancis, Spanyol memang telah melonggarkan pengetatan sosial. Tetapi dunia masih saja belum benar-benar keluar dari gempuran mahluk ini. Risikonya sejauh ini terlihat masih mengerikan. Indonesia juga belum aman. Namun perlahan-lahan terlihat Indonesia sedang bergerak memasuki pelonggaran pembatasan sosial secara substansial. Kebijakan ini sama sekali tidak berbicara Indonesia telah benar-benar berada di jalur aman. Pertempuran melelahkan ini terlihat masih akan terus menemani Indonesia. Menurut keterangan Pak Ahmad Yurianto, sampai hari ini (Jum’at, 29/5/2020) orang yang positif terjangkit corona sebanyak 678 orang. Total yang terjangkit berjumlah 25.216 orang. Pasien sembuh bertambah sebanyak 252 orang, sehingga total yang sembuh sebanyak 6.492. Yang meninggal 24 orang, sehingga total yang meninggal dunia sebanyak 1.520. Kesembrautan Terencana Semua negara sejauh ini terlihat sama dalam beberapa aspek. Pasien yang dirawat, anehnya diberi nomor. Mereka yang “maaf, sekali lagi maaf, meninggal dunia, tak bisa dilihat keluarga. Maaf almarhum atau almarhumah, diurusi dirumah sakit, dan dibawa langsung ke pemakaman. Keluarga tak bisa, untuk mengatakan. Juga tak diizinkan melihat, apalagi menyentuhnya. Begitukah seharusnya secara klinis? Para dokter dan para ahli virus, harus diakui adalah orang-orang paling kompeten bicara soal ini. Suka atau tidak, mahluk ini bukan mahluk tata negara. Juga bukan mahluk politik. Orang-orang politik dan tata negara jelas harus tutup mulut pada aspek ini. Serpihan-serpihan klinikal corona ini menggambarkan “ada pasien yang memiliki riwayat sakit lain, bawaan. Mohon maaf, sekali lagi mohon maaf, bila pasien, entah nomor berapa itu, berakhir dengan meninggal dunia, apakah pasien itu dinyatakan meninggal karena corona? atau karena penyakit bawaannya? Tak ada penjelasan otoritatif dan kongklusif sejauh ini. Tetapi satu hal pasein sembuh juga meningkat dari waktu ke waktu. Virus mematikan, tetapi masih ada yang sembuh? Aneh? Apa obatnya? Bagaimana cara menangani mereka? Tidak mungkinkah cara dan obat yang digunakan menyembuhkan mereka diekspos? Adakah yang melarang? Untuk apa, bila ada? Ditengah kesembrawutan itu China dan Amerika sedang memacu usaha menemukan vaksin antivirusnya. Pak Mohamad Toha, jurnalis senior FNN, dalam satu artikelnya menyajikan fakta satu dokter China melalukan otopsi pasien yang telah meninggal. Dia menemukan kenyataan klinis yang sama dengan temuan seorang dokter Indonesia (Lihat FNN, 21/5/2020). Pada artikel terakhir, Pak Toha juga menyajikan fakta penuh tanda tanya yang sedang menggunung di Amerika. Bill Gate, yang mengusahakan antivirusnya, dihentikan Trumph. Disisi lain Trump, entah secara official atau privat juga berada di track ini. Trump mengembangkan antivirusnya, (FNN, 28/5/2020). Pertarungan bisniskah? Bill Gate kalah loby? Trumph bekerja untuk Amerika atau dirinya? Dimana World Healt Organization (WHO) dalam trackt ini? Tidak jelas. Padahal WHO yang mendeklarasikan virus ini pandemic. Dalam kerangka itu, WHO memandu dunia tentang apa yang harus dilakukan menghadapi virus ini. Perkara bertali-temali ini, harus diakui sangat menantang dan eksplosif. Sejauh ini Amerika Serikat, dengan Trumph yang sangat independen untuk semua urusan pemerintahannya. Trump bahkan menantang, menghentikan donasinya ke WHO. Disisi lain Trumph lugas menempatkan China sebagai asal virus ini. Menariknya, Central Inteleligent Agency (CIA) justru memberikan pernyataan bernada koreksi atas Trump. Tampilan member kredit besar kepada China? Itu soal lain, yang rumit. Tetapi China menunjukan mereka bukan China tahun 1913. Mereka telah sangat lain dalam banyak hal. Mereka terlihat telah berada, hampir selangkah di depan Amerika. Dalam kasus tuduhan Trumph soal corona, China membuang keengganannya, untuk tak mengirimkan pesan menantang kepada Amerika. China jelas mulai merealisasikan ucapan Mao di hadapan konvensi konstitusional China di Beijing 1949. Kata Mao kala itu, seperti ditulis Ben Chu, Jurnalis Harian Independen London, bangsa China selalu jadi bangsa yang hebat, berani dan giat. Sekarang, bangsa kita, kata Mao tidak akan lagi jadi bangsa yang dijadikan bahan ejekan dan hinaan. Kita telah bangkit. Tahun 1996 sekelompok ilmuan China yang menyusun buku “China Can Say No”, dan pada tahun 2008 kelompok ilmuan yang sama menyusun buku “Unhappy China”. Para ilmuan ini terang mendorong China mengklaim posisinya di panggung dunia. Kata mereka, dengan kekuatan nasional China yang berkembang pada tingkat yang belum pernah terjadi, China harus berhenti menghina dirinya sendiri. China tulis para ilmuan ini harus menyadari fakta bahwa ia sekarang mempunyai kekuatan memimpin dunia. Dalam upaya menantang upaya asing, mereka menambahkan “Anda bisa memulai peperangan, bila anda memiliki keberanian”. Jika tidak “tutup mulut anda.” (Lihat Ben Chu, 2013). Diluar efek klinis, tumpukan kenyataan menunjukan pemerintahan-pemerintahan nasional terjerembab dalam kenyataan memilukan. Industri-industri besar dan kecil, terkapar. Orang-orang, untuk sebagian besar tersandra, terpenjara di rumah. Pekerjaan untuk menghidupkan diri dan keluarga lepas. Ummat beragama, apapun agama itu, terasingkan dari rumah ibadahnya. Masjid-Masjid dan rumah ibadah agama lain pun dilarang dikunjungi ummatnya. Dahsyat betul efek non klinisnya. Apa sesudahnya? Modus Ciptakan Keuntungan Dramanya luar biasa. Detik demi detik dunia tenggelam dalam kenyataan orang mati tiba-tiba atau beberap hari setelah di Rumah Sakit. Panik, panic dan panik. Teriakan Lockdown dan social distancing pun menggema dimana-mana. Pemerintah dunia merespon dengan cara yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi apapun itu, gema lockdown dan social distancing akhirnya bekerja, terlepas dari efektifitasnya. Hal barukah fenomena ini? Tidak, sama sekali tidak. Ini fenomena tipikal setiap kali terjadi krisis. Cukup cerdas, atas nama transparansi dan informasi publik, detik demi detik dunia dicekoki derita corona. Panik terus berlangsaung dengan gelombang yang tak berubah. WHO terus muncul digaris depan memberikan informasi ke dunia, penuh semangat, entah transparansi atau melambungkan kepanikan, yang hebat. Ini mirip, dalam level yang bisa dikenali, tampilan IMF dan World Bank dalam krisis keuangan. Nampaknya WHO, seperti juga IMF dan World Bank, tertakdir secara licin menjadi bos besar pemerintah-pemerintah berdaulat di dunia ini. WHO, IMF dan World Bank jadinya seperti pemerintah satu dunia, one world goverment. Negara-negara berdaulat di dunia, suka atau tidak. Sebagai rakyat dari pemerintah satu dunia itu. Dunia dirancang untuk pada saatnya harus tunduk pada WHO. Pada saat lain harus tunduk pada IMF dan World Bank. Corona menempatkan WHO sebagai leader penanganan. Itu serkarang. Suka atau tidak diujung jalan ini, dunia ditunggu dan akan menyembah pada IMF dan World Bank. Tidakkah negara-negara didunia segera setelah ini berurusan dengan utang dan utang? Tidakkah negara-negara di dunia saat ini telah terlilit pelambatan ekonomi kronis. Kas negara-negara itu sedang keropos abis? Pembaca FNN yang budiman, luangkanlah sedikit waktu untuk melintasi masa lalu. Masa-masa krisis yang pernah terjadi. Disepanjang lintasan itu, ditemukan satu kenyataan. Inti dan muara krisis adalah ekonomi. Krisis muncul sebagai cara hitam, licik, tamak dan culas untuk mengubah secara radikal tata kelola ekonomi dan tata negara. Tidak lain dari itu. Perang Dunia Pertama tahun 1914, dan krisis ekonomi hebat tahun 1929 misalnya, jelas dan terang semua sebab serta hasil akhirnya. Krisis adalah satu-satunya cara paling andal industrialis, korporat merealisasikan ide-ide ekonominya. Penyebab dan modusnya saja yang berbeda. Tetapi hasil akhirnya tetap saja sama. Keuntungan ekonomi yang berlipat-lipat. Tidak lebih. Krisis besar selalu begitu. Mengancurkan tatanan yang sudah ada, terutama ekonomi. Kerusakan ini, tentu harus dipulihkan. Karena bobot dan skala kerusakannya, pemerintah harus bekerja secara tidak biasa. Pemerintah harus luar biasa dan progresif. Progresif dalam konteks ini, tidak pernah lain dari maksud dan esensinya, selain bekerja melampaui batas demarkasi dan konstitusi yang sudah baku. Ketentuan konstitusi, kalau tak dikesampingkan, harus diberi tafsir, bobot yang baru. Bekerja melampaui demarkasi konstitusi inilah yang ditolak oleh Herbert Hovert, Presiden Amerika yang pada pemerintahannya krisis ekonomi hebat tahun 1929 berawal. Menurut Anthony Sutton dalam buku FDR and The Wall Street, dan Hitler and Wall Street juga Ralph Epperson dalam “Invisible Hand” menemukan kenyataan, krisis ekonomi hebat itu terencana dan direncanakan. Du Pond dan Rockeffeler Group bekerja untuk Franklin Delano Rosevelt (FDR) memimpin Amwerika. Hovert harus tersingkir. Itu sebabnya Sutton terang-terangan menunjuk industrialis Wall Street berada dibalik krisis itu. Dan segera setelah FDR menjadi Presiden bergemalah cara kerja progresifnya. Konsep yang menurut Herbert Hovert bersifat fasis itu. Progresif, untuk sebagian merupakan terminologi tipuan. Kreasi menutupi isi otoritarian di dalamnya. Konsep ini melahirkan konsekuensi pemerintah mengendalikan semua aspek kehidupan rakyat. Depresi dan kegagalan pasar yang unregulated, mengakibatkan pemerintah harus melakukan intervensi. Presiden memegang control utama penyelenggaraan pemerintahan (Lihat Brian D. Feinstein, Congres in the Administrative State, Dalam Coase-Sandor Institute Law and Economic, 2017). Praktis krisis ekonomi hebat tahun 1933 meruntuhkan tesis klasik Adam Smith tentang laissez-faire. Ini disebabkan recovery ekonomi membutuhkan tindakan kordinatif dan planning pemerintah (lihat Cass R, Sustein, dalam Constitutionalism After The New Deal, dalam Harvard Law Review Vol.101, 1987). Demokrasi dalam kasus ini, sama sekali bukan tentang pemerintah partisipatif. Sekali lagi bukan itu. Mengapa? Kordinasi dan planing tak selalu sama dengan mengadaptasikan kehendak rakyat. Planing dan kordinasi tetap saja berwatak administrative, untuk tak mengatakan teknokratik. Toh presiden dapat langsung merealisasikan kebijakannya melalui Executive Order. Tiga Executive Order, didentifikasi Ralph Epperson digunakan FDR mewujudkan kebijakannya. Pertama, rakyat harus menjual emasnya sesegera mungkin ke Bank. Setelah rakyat melakukannya, lalu FDR mengeluarkan Executive Order lagi. Kali ini FDR menurunkan nilai dollar. Apa akibatnya? Uang yang telah ada ditangan yang menjual emas berkurang nilainya. Mereka rugi. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Setelah itu, keluar lagi Executive Order ketiga, yang isinya meliburkan bank. Ini dikenal dengan Bank Holiday. Begitu Bank dibuka, emas yang di bank telah melayang Bank of England. Selalu selangkah lebih di depan mendahului ilmuan tata negara konvensional. Perencana new deal telah menyediakan lebel baru untuk pemerintah jenis itu. Apa namanya? Brian D. Feinstein dalam Congress in the Administrative State, dimuat pada Coase-Sandor Institute for Law and Economic, 2007, menyebut administrative state, bukan authoritarian state. Hebat. Apa tipikal organiknya? Selain presiden berada di orbitnya, dibentuk badan yang didisebut executive agency, sebagai executive branch. War Industries Board, misalnya (catatan dibentuk pada masa Woodrow Wilson dan dipimpin oleh Bernard Baruch). Pada masa krisis, badan ini disuport habis oleh corporate executive. Pada masa FDR dibentuk, beberapa diantaranya Federal Emergency Administration of Public Workers, National Labour Relation Board, Labor Advisory Board dan Consumer’s Advisory Board. Tampilan tata negara macam inikah yang akan muncul setelah Corona, terutama di Indonesi? Tidak. Tetapi siapa di dunia ini yang akan keluar sebagai pemenang ekonomi dalam krisis ini? Pembaca FNN yang hebat, silahkan baca disertasi Anggela Lanette Smith. Judulnya Economic Revolution From Withim: Herbert Hovert, FDR and The Emergency of National Industrial Recovery Act. Disertasi ini dipertahankan di hadapan sidang senat Wayne State University tahun 2015. Cukup jelas Enggela menunjukan dalam nada yang datar, korporasi besar keluar sebagai kelompok yang berkibar. Baik pada saat itu maupun setelah krisis terjadi. Lupakan dulu otopsi. Perlu tidaknya dilakukan otopsi terhadap mayat-mayat yang dikubur dengan menggunakan standar protokol corona vorsi WHO. Namun pertimbangkanlah siapa itu korporasi berskala dunia yang akan berkibar dengan vaksin anti corona. Korporasi mana di Indonesdia yang akan bergembira menikmati kebijakan pemulihan dampak ekonomi virus ini? Satu hal, yang pasti negara-negara kecil, yang ekonominya keropos, termasuk Indonesia akan mempertahankan reputasinya sebagai tukang utang paling gemilang. Dan rentenir Internasional terus berkibar sebagai rentenir yang selalu untung. Suka atau tidak, itu nyata terjadi. Penulis adalah Pengajara Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternater