NASIONAL

Cabut RUU HIP dan Bubarkan BPIP, Lalu Bersihkan PDIP

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (21/06). Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Setelah itu, badan ini bingung sendiri mengenai ruang lingkup dan program kerja. Akibatnya, implementasi menjadi "serabutan" dan tidak bermakna. Urusan ece-ece kaya konser amal saja ditangani oleh BPIP. Padahal itu sekedar cari donasi untuk seniman yang terdampak covid 19. Sorotan tajam justru pada gaji personal Dewan Pengarah maupun pengelola BPIP. Tidak seimbang antara pendapatan dengan pekerjaan. Pincang jadinya. Agar lebih kuat dan jelas maka dibutuhkan aturan yang lebih tinggi. Masa sekelas BPIP hanya diatur oleh Perpres? seharusnya dengan oleh undang-undang dong. Begitu alasan para pendorong RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Undang-Undang inilah yang kelak disiapkan untuk mengatur segala hal-ihwal mengenai ideologi Pancasila beserta institusi pembinaannya. Menjadi penafsir tunggal urusan Pancasila. Hebat bukan? Diproseslah RUU HIP dengan "strategi" pengajuan oleh DPR. Mungkin dengan maksud agar seolah-olah itu adalah aspirasi rakyat. Tetapi strategi ini kurang jitu, dan terlalu sumier. Ada tiga peertimbangan mengapa RUU ini sumier. Pertama, selalu yang dijadikan alasan adalah peningkatan status aturan BPIP dari Perpres menjadi undang-undang. Jadinya, nampak sekali bahwa kepentingan Pemerintah dominan. Ini aneh dan salah fikir. Mengapa institusi dulu yang dibuat? Setelah itu barulah peraturan belakangan? Semestinya peraturan dahulu berupa undang-undang misalnya. Baru lembaganya menyusul. Kedua, proses hingga menjadi RUU tidak melibatkan komponen masyarakat. Terkesan dilakukan diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Artinya ada misi yang tak ingin diketahui masyarakat. Akibatnya, setelah menjadi RUU "meledak" lah unek-unek dan kejengkelan masyarakat. Menuntut adanya keterbukaan dan akhirnya "bongkar-bongkaran". Ketiga, dengan dijadikan sebagai RUU ini sebagai inisiatif dewan, maka masuklah "penyelundupan ide" dari kelompok kepentingan. Nampaknya ada faksi kiri "soekarnois" di internal PDIP yang memanfaatkan momen pembuatan RUU Haluan Ideologi Pancasila ini. Berlindung sambil menelikung. Jika pemerintah cerdas, dan memang keperluannya adalah aturan untuk BPIP atau badan sejenisnya, maka tentu RUU datang dari pemerintah saja. Sehingga aspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya akan lebih baik. Tidak ada penelikungan ideologis dari kader partai di dewan. Tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. RUU HIP juga telah babak belur. Bukan langkah bijaksana untuk merevisi atau otak atik. Rakyat sudah memelototi, bahkan mengultimatum DPR dan pemerintah. Opsi hanya satu, yaitu cabut dan hentikan proses lanjutan RUU HIP ini. Tidak ada opsi lain Bila keberadaan BPIP ini ternyata dianggap merepotkan dan menjadi kerjaan yang tidak jelas, maka sebaiknya segera bubarkan saja. Lumayan bisa menghemat anggaran yang besar tiap tahun. Lagi pula badan ini hanya menjadi "tempat untuk bersantainya para senior"saja. Pemerintah dan DPR jangan sampai dipandang oleh rakyat sebagai lembaga kongkalikong yang pandai merekayasa kebusukan. Apalagi untuk urusan yang berkaitan dengan ideologi dan dasar negara yang sudah melalui proses panjang dalam mencapai konsensus. Tampkanya Pemerintah dan DPR memang sedang mengalami salah fikir. Bisa juga gagal pikir. Pemerintah dan DPR jangan sesat verfikir. Menganggap rakyatnya dianggap bodoh dan tolol semua. Yang pasti rakyat, khusunya umat Islam sudah tahu bahwa RUU HIP bukan untuk kepentingan rakyat. Tetapi untuk kepentingan pemerintah dan kelompok kepentingan di PDIP. Pemerintah dan DPR sebaiknya cabut dan batalkan saja RUU HIP ini, karena misinya telah gagal. Bukan untuk rakyat. RUU HIP sudah menjadi "sampah" bagi rakyat Indonesia. Mengambangkan hanya menunda datangnya bencana. Penolakan rakyat, khususnya umat Islam terhadap RUU HIP ini akan datang secara bergelombang, dahsyad dan mengerikan. Dipastikan suara aspirasi akan semakin menggigit dan menyengat. Untuk itu, sebaiknya ikuti saja maunya rakyat. Pasti selamat bangsa ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Umat Islam Buru Oknum Dibalik RUU HIP

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (21/06). Ada delapan maklumat MUI. Salah satunya meminta pihak berwajib mengusut para oknum yang berada di balik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Siapa saja yang dituduh sebagai "para oknum" di balik RUU HIP tersebut? MUI harus bertanggung jawab untuk menjelaskan kriteria siapa yang dianggap oknum itu. Aapakah mereka itu oknum yang menjadi konseptor, oknum pembuat naskah akademik dan oknum anggota dewan yang mengusulkan ke Badan Legislasi untuk menjadi RUU hak usul inisiatip dewan. Kriterianya harus dijelaskan. Siapa saja oknumnya juga perlu disampaikan kepada masyarakat. Jangan sampai aparat dan rakyat, khususnya umt Islam menjadi salah sasaran. Ini sangat penting untuk menghinari kemungkinan timbulnya saling duga-menduga, curiga-mencurigai di masyarakat. Kita coba untuk tracking di parlemen. Pertama, dari fraksi mana saja yang mengusulkan RUU HIP pertama kali? Paling sedikit ada dua puluh lima orang anggota DPR yang mengusulkan. Apakah para pengusul dari DPR itu semuanya satu fraksi dari PDIP saja, atau ada anggota dari fraksi lain lagi? Kedua, fraksi mana saja yang tetap ngotot menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 diamsukan sebagai konsideran. Juga fraksi yang mengusulkan Trisila, lalu Ekasila yang menggiring ke makna Gotong Royong? Ketiga, siapa aktor konseptor dan penyusun draft akademik RUU HIP? Bagi MUI, dan juga umumnya Umat Islam, masalah RUU HIP bukan hanya masalah materiil dan formilnya saja. Bukan pula hanya soal prosesnya saja. Tapi akumulasi materiil, formil dan prosesnya menimbulkan dugaan adanya motif yang dicurigai, sehingga patut untuk diusut lebih lanjut. Apakah MUI terlalu emosional? Tidak juga. Malah sikap MUI ini sangat rasional. Agar di masa yang akan datang, tidak ada lagi pihak-pihak yang berupaya untuk mensabotase makna dan nilai luhur, apalagi merubah Pancasila sebagai dasar negara. Itulah pesan yang ingin disampaikan oleh MUI. MUI mengingatkan, tidak perduli siapun anda, dan dari organisasi manapun, “jangan coba-coba untuk main-main dengan Pancasila. Jika anda punya keinginan untuk mengutak-utik Pancasila, maka anda akan berhadapan dengan umat Islam. Sebab umat Islam akan menjadi garda terdepan untuk menjaga kemurnian Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang tanggal 18 Agustus 1945. Membela Pancasila itu nggak harus bilang di televise dan media catak, "Aku Pancasila". Itu sih mah nora dan katrok. Apalagi munculnya pada saat pemilu. Sikap tegas, terang dan jelas dari MUI dan Ormas-Ormas Islam saat ini itulah sikap Pancasilais yang sesungguhnya. Kenapa MUI yang didukung ormas dan umat Islam menuntut untuk dilakukan pengusutan? Agar hukum itu ditegakkan. Penting untuk hokum ditegakkan tanpa melihat siapa pelakukan. Karena ada untuk yang mengatur mengenai persoalan ini, yaitu UU Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 107 huruf d UU 27 Tahun 1999 berbunyi "barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun." Tuntutan dan sikap tegas MUI tidak hanya rasional. Tetapi juga konstitusional. Aparat Kepolisian harus segera usut pihak-pihak yang" diduga" berupaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP. Ini sudah merupakan palanggaran yang nyata-nyata terhadap UU No 27 Tahun 1999. Tidak secara otomatis penyusun draft RUU jadi tersangka. Sabar dulu. Perlu juga untuk didalami motif dibalik usulan RUU HIP. Juga apa motif mengapa ada yang tetap saja ngotot untuk menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dicantumkan dan dijadikan sebagai di konsideran RUU. Di parlemen, penolakan sudah dilakukan oleh dua fraksi, yaitu PKS dan Demokrat. Dua fraksi ini tak mau tanda tangan untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP di DPR. Bagaimana dengan fraksi-fraksi yang lain? Mengapa fraksi lain menyetujui? PDIP? Publik tahu PDIP yang paling bersemangat bahas RUU HIP. Ketika maklumat MUI keluar, PDIP masih tetap ingin melanjutkan pembahasan. PDIP masih mau melakukan negoisiasi. PDIP menyatakan membuka diri untuk memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tapi minta larangan radikalisme dan khilafaisme juga dimasukkan. Ha ha ha? Publik jadi kaget sambil ketawa. Sejumlah pengamat menganggap bahwa sikap PDIP tersebut sangat blunder. PDIP "seolah" ingin menghadapi dan menantang gelombang kemarahan umat Islam. Merasa diri kuat sebagai pemenang pemilu. Sayangnya, sikap PDIP juga mendapat reaksi keras umat Islam. Protes dan demo makin masif di berbagai daerah. Nasi sudah jadi bubur. Umat Islam siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Isunya saat ini, bukan lagi soal revisi RUU HIP dan memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tapi umat Islam menolak dengan tegas adanya RUU HIP. Umat Islam juga minta ada pengusutan. Demi menjaga kemurnian Pancasila yang 18 Agustus 1945, umat Islam sudah siap dengan posisi “masiroh kubro”. Umat Islam juga siap dengan “isy kariman au mut syahidan”. Yang artinya, “hidup mulia atau mati syahid”. Pesan ini seharusnya dijadikan sinyal dan pesan penting buat PDIP untuk tidak lagi berpikir melanjutkan pembahasan RUU HIP. Selain minta RUU HIP batalkan, umat Islam melalui MUI sudah menegaskan untuk menuntut para oknum diusut. Tuntutan MUI ini mendapat dukungan dari banyak kalangan. Usut dengan tuntas siapa oknum yang secara sengaja membuat draft RUU HIP dan menolak memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 itu. Adakah punya maksud dan sengaja menggiring RUU HIP ini untuk menghidupkan kembali komunisme PKI? Jika terbukti, maka harus ada pertanggungjawaban secara hukum. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

"HIP Gate", Jokowi Atau Megawati Yang Sumber Masalah?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (21/06). Semua tentu sudah tahu bahwa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah inisiatif dari usul DPR. Bukan dari Pemerintah. Artinya, Fraksi PDIPadalah inisiator awalnya. Kemudian didukung oleh Fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Walaupun demikian, terkuak motif bahwa usulan RUU ini adalah untuk memberi "bekal" bagi lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Aapalagi badan urusan Pancasila yang berada di bawah koordinasi Presiden. Kelak Pancasila bisa saja diterjemahkan oleh Pancasila sesuka hatinya, terlepas dari siapapun yang menjabat sebagai Presiden. Dengan demikian, siapa saja warga negara yang menafsirkan atau berbicara tentang Pancasila, tidak sama dengan maunya Presiden, bisa bermasalah. Anda bisa saja dianggap tidak lagi Pancasilais atau anti terhadap Pancasila. Karenanya, wajar saja muncul anggapan “RUU HIP ini sebenarnya kebutuhan pemerintah yang sengaja diminta agar disulkan melalui DPR “. Kini ketika Pemerintah menunda pembahasan dan minta DPR menyerap aspirasi kembali, rakyat atau publik terus mengejar siapa sumber? Sipa pencetus? siapa pengusul RUU HIP ini? Masyarakat, khususnya umat Islam sangat bekepentingan untuk mengetaui mereka. Mengenal mereka nama-nama mereka. Makanya MUI pun telah meminta kepada aparat yang berwajib untuk mengusut mereka. Ini disebabkan adanya dugaan, kalau misi dari pengusul atau konseptor RUU HIP ini adalah untuk membuka peluang bagi berkembangnya faham komunisme. Lebih jauh lagi, demi bangkitnya neo-PKI. Terkesan kalau RUU HIP ini murni konsep, pengusulan, serta pembahasan adalah DPR. Meskipun fraksi-fraksi sebagian besar setuju, namun inisiator awal adalah Fraksi PDIP yang merupakan kepanjangan tangan dari PDIP sebagai Partai. Megawati sebagai Ketua Umum adalah penanggung jawab dari kebijakan Partai. Terlihat PDIP hanya berperan sebagai koordinator dari koalisi partai pendukung Pemerintah. Sementara RUU HIP adalah alokasi kepentingan Pemerintah melalui koalisi pendukung di DPR. Maka bukan tak mungkin Pemerintah adalah sumber dari RUU HIP. Jokowi sebagai Presiden adalah penanggung jawabnya. Kini sebagian masyarakat mulai berteriak mengarah pada PDIP. Sampai-sampai ada yang mengajukan usul ekstrim agar pembubaran terhadap PDIP. Andai saja PDIP bisa membuktikan bahwa kepentingan dominan adalah pemerintah, dan konseptor juga adalah pemerintah, sementara kader PDIP hanya membantu, maka pertanggungjawaban mengarah pada Presiden. Bisa saja tekanan akhir mengarah kepada pemakzulan. Sebab RUU HIP ini sensitive, dan telah menimbulkan reaksi publik luar biasa. Konflik ideologi dapat terjadi jika RUU ini berhasil ditetapkan sebagai Undang-Undang. Tentu saja deengan muatan materi pasal-pasal yang kontroversial. Andai kemungkinan yang terjadi adalah revisi, maka hal inipun bukan jaminan akan mampu meredakan kritik. Aspirasi yang terkristalisasi, khususnya dari umat Islam adalah tolak, cabut atau batalkan RUU HIP ini. Bukan untuk direvisi. Bukan untuk dilakukan perbaikan. Bukan juga untuk tambal-sulam di sana-sini. Kini tinggal keterbukaan dari PDIP mengenai asal-muasal RUU HIP ini. Termasuk konon Pasal 7 tentang Trisila dan Ekasila, lalu menjadi Gotong Royong yang bukan berasal dari PDIP. Meskipun jejak digital menunjukkan adanya pidato Megawati di ulang tahun PDIP 2017 soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila lalu Gotong Rotong. Kalau begitu, dari siapakah masuknya Pasal 7 tersebut ? Kejujuran dan keterbukaan menjadi sangat penting agar masalah RUU yang berbau komunisme-PKI ini dapat terselesaikan. Semua energi dan kekuatan bangsa harus kembali difokuskan untuk melawan pandemi Covid 19. Juga perbaikan ekonmi nasional porak-poranda akibat Covid 19. Hingga saat ini pertanyaan yang belum terjawab adalah siapa sumber atau pencetus ide dan gagasan dari RUU HIP? Apalagi RUU ini dapat menjadi kunci pembuka dan peluang penyebaran komunisme atau bangkitnya neo-PKI. Jokowi ataukah Megawati ? Atau ada pihak yang lain ? Rakyat perlu dan berhak untuk tahu itu. Bukan saatnya lagi bagi DPR maupun Pemerintah main "petak umpet" atau "lempar-lemparan bola", akibat dari reaksi umat Islam yang keras di luar perkiraan pemerintah dan DPR. RUU HIP ternyata merupakan sebuah skandal ideologi. Skandal yang sangat berbahaya untuk bangsa dan negara. Namanya skandal “HIP-Gate”. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Protes Terhadap RUU HIP, Apakah Hanya Dibatalkan?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (21/06). Pemerintah tunda pembahasan RUU HIP. Ditunda, artinya hanya dihentikan untuk sementara. Ditunda itu artinya nanti dilanjutkan lagi. Rehat dulu sebentar. Untuk apa? Pertama, boleh jadi untuk menjaga wibawa dan kebesaran pemerintah dan DPR. Seolah-oleh ada kesan bahwa pemerintah nggak bisa dipressure. Pemerintah ini masih sangat kuat. Untuk itu, harus dengerin? iya. Namun untuk ikutin? Kalau itu nanti dululah. Kedua, tekanan dari umat Islam dianggap belum terlalu kuat. Maklumat MUI dan sikap NU-Muhammadiyah masih perlu dilihat keseriusannya. Apalagi, protes di sejumlah daerah belum menunjukkan tanda-tanda yang menghawatirkan bagi penguasa dan PDIP. Bahasa politiknya masih under control. Belum sampai pada membunyikan alarm keamanan maupun politik. Ketiga, pantau situasi. Kalau protes terus melemah, pembahasan bisa dilanjutkan. Melakukan revisi sana-sini, bisa menjadi ikhtiar untuk melunakkan umat. Apalagi jika ditabrakin dengan isu lainnya. Fokus perhatian bisa saja bergeser. Umat akan kehilangan focus pada RUU HIP. Keempat, sebisa mungkin lakukan negosiasi sana-sini. Bangun komunikasi politik yang intensif dan menguntungkan dengan pihak-pihak terkait. Berikan dan janjikan kompensasi atau barter politik. Biasanya, di meja negosiasi ada hidangan yang menarik. Apalagi kalau ada yang masuk angin. Bisa masuk itu barang dengan sangat gampang. Mungkinkah RUU HIP dibatalkan? Opsi ini hanya akan diambil jika eskalasi protes meningkat. Situasi dianggap memang makin nggak kondusif. Apalagi kalau mesin umat terus dipanasin dengan berbagai macam stigma yang kontra produktif seperti "kadrun" dan sejenisnya. Disisi lain, sejauh mana energi umat mampu bertahan untuk protes? Sampai dimana komitmen MUI mengawal maklumatnya? Sejauhmana ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyadl, PUI, Mathlaul Anwar, Alwahliyah, FPI bisa konsisten dengan sikapnya? Ini akan ikut menentukan situasi nanti. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apa sesungguhnya target umat terkait protes terhadap RUU HIP ini? Apakah sekedar ingin memberi tahu bahwa umat masih ada? Hanya ingin menunjukkan kepada pemerintah dan DPR bahwa umat eksis? Kalau ini targetnya, memprihatinkan. Pasti tidak! Apakah umat memang serius menuntut RUU HIP dibatalkan? Dihentikan secara permanen? Bukan ditunda, direvisi dan dihentikan sementara. Atau seperti maklumat MUI poin 5, minta agar para oknum dibalik RUU HIP diusut? Agar kelak tak ada lagi pihak yang berani otak-atik Pancasila. Target ini yang paling penting, strategis dan sangat masuk akal. Atau protes RUU HIP akan dijadikan sebagai target antara saja. Menjadikan RUU HIP ini sebagai pintu masuk untuk menggaungkan protes terhadap semua aturan dan kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap merugikan kepentingan rakyat? Apakah RUU HIP ini dijadikan sebagai trigger untuk menggerakkan umat Islam memprotes UU KPK, UU Minerba, UU Covid-19, RUU Omnibus Law dan yang lainnya. Apakah akan mengajak dan menggerakkan rakyat, khususnya umat untuk menekan pemerintah dan DPR agar semua undang-undang dan kebijakan yang nggak pro rakyat, dan hanya menguntungkan korporasi licik dan tamak dirubah? Atau ada target lain yang lebih dari itu? Mari kita tunggu apa yang akan terjadi. Apakah protes terhadap RUU HIP akan meredup setelah dinyatakan "ditunda" oleh pemerintah, dan "dihentikan sementara" oleh MPR? Atau justru sebaliknya, penundaan ini akan menaikkan eskalasi protes di kalangan umat Islam? Yang tak kalah pentingnya, umat harus mewaspadai pihak-pihak yang berpotensi masuk angin. Karena hidangan di atas meja negosiasi, jika ada, pasti akan jauh lebih menarik. Juga sangat menjanjikan dan menggiurkan. Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Keruntuhan Bangsa, Haluan Pancasila Megawati dan Rizieqisme

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Lonceng kematian bangsa kita hampir tiba. Jokowi sudah menyerukan semua menterinya mencari jalan menyelamatkan bangsa Indonesia. Wakil Menteri Pertahanan, kemarin, telah mengumumkan ketahanan pangan bangsa ini hanya dua bulanan. Menteri kesehatan kita telah gagal melakukan "flattening the curve" kurva coronavirus. Yang lebih konyol lagi Sri Mulyani telah terlihat gagal memprediksi kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak covid-19 ini. Memang benar pernyataan Jokowi bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi ini lebih buruk dari krisis moneter 1998. Kenapa lebih buruk? 1) dampak covid-19 terjadi pada sisi supply dan demand. Pada tahun 1998, supply side masih besar, khususnya sektor pedesaan, sektor informal dan UMKM. Dengan menggelontorkan dana KUT (Kredit Usaha Tani) dan berbagi kredit mikro lainnya, sektor pedesaan dan informal mampu menopang ekonomi nasional. Konstraksi ekonomi sekitar -16% dapat dipulihkan dalam satu tahun dan pemulihan total terjadi selama 5 tahun. Saat ini, sisi supply hancur karena pandemi mengharuskan manusia berhenti bekerja ("social distancing") alias produksi terhenti dan "supply-chain" berantakan. Pada sisi demand (permintaan), pasar (market) juga hancur berantakan. Manusia diam di rumah, pusat2 perbelanjaan sepi. Dan daya beli rakyat terkuras. Air France, penerbangan milik Prancis yang bangkrut, misalnya, akan ditalangi 10 milyar dollar oleh negaranya. Namun, apa arti talangan itu jika mobilitas manusia terhenti? Apalah artinya subsidi/stimulus Jokowi pada sektor parawisata kalau turis masih belum mau datang? 2) "Cash is the King". Situasi pandemik ini membuat, misalnya Gubernur New York, Cuomo, bulan lalu, marah pada Trump, karena dana stumulis yang dijanjikan belum juga cair. Masih menunggu persetujuan DPR Amerika. Anies Baswedan, di Jakarta, marah pada Sri Mulyani, karena dana tagihan DKI ke rezim Jokowi, untuk diberkan bansos pada 1,1 juta orang (dari 3,75 juta jiwa) di Jakarta belum diberikan Menkeu, alasannya harus menunggu verifikasi BPK. Cash is the King alias uang adalah raja. Setiap negara mmamerkan angka2. Amerika memamerkan akan mencetak uang 3 Triliun Dollar alias mendekati 45.000 Triliun Rupiah. China mengumumkan akan utang 4,7 Triliyun Yuan (3,7 T Infrastructuur Bond dan 1 T pandemic Bond). Alias mendekati 10.000 Triliun Rupiah. German juga pamerkan kebutuhan 1,3 Triliun Euro (Rp. 21.000 Triliun), Italy keluarkan stimulus 750 Milyar Euro, Inggris (Bank of England) gelontorkan 1 Triliun dollar. Angka2 uang ini bisa ada bisa juga proyeksi. Tidak gampang bagi RRC, misalnya, cari hutang ketika semua negara dunia ingin berhutang. IMF yang diundang Kadin Amerika ceramah beberapa hari lalu, tidak menjanjikan uang pada pengusaha2 Amerika itu. Malah dirut IMF, Kristalina Georgieva, besar dinegara Komunis Bulgaria, mengajarkan pengusaha2 Amerika untuk mengetahui sedang terjadi Great Transformation (digital economy, pro green economy dan fairer society). Jangan berharap IMF kasih Indonesia pinjaman 50 Milyar dollar seperti 98. Sampai sejauh ini, IMF sudah menyetujui pinjaman ke 60an negara, rata2 kebagian 0,35 Milyar dollar saja, sangat kecil sekali. Cash is the King. Indonesia juga jangan berharap bisa dapat pinjaman dari China, Jepang, Amerika dll. Semua butuh uang bagi negaranya. Sehingga angka2 defisit bisa saja diajukan Sri Mulyani 1039 Triliun atau 10.000 Triliun sekaligus (Ingat tahun 2008 Sri Mulyani meleset prediksi talangan bank Century dari rp. 600 milyar menjadi rp 6,7 triliun alias 10 kali lipat), tapi uang dari mana? Apakah akan ada kelebihan liquiditas di negara2 maju akibat stimulus di sana, lalu mereka beli SBN (Surat Berharga Negara) di sini?Jangan terlalu berharap. Kebanyakan "greedy traders" yang akan masuk dan keluar stock market maupun bond market saat ini. Sedangkan Bank Central kita sendiri, sejauh ini, sudah tertatih2 habis 600 an Triliun menjaga stabilitas makro ekonomi. Lalu, apakah negara berani menolak stimulus pada orang2 kaya dan menaikkan pajak pada orang2 kaya itu agar ada tambahan pemasukan APBN? Bukankah mayoritas elit negara saat ini adalah orang2 kaya itu? Cash is the King. Sebentar lagi negara akan dihantui berbagai kesulitan menjalankan roda pemerintahan. Dimulai, misalnya, walikota Solo mengumumkan tidak mampu bayar listrik, beberapa saat lalu. Ke depan, jangan berharap banyak ada bansos, subsidi kartu-Prakerja, dll. Yang jelas harga2 barang, BBM, Gas, Listrik dll yang akan menjulang tinggi. 3) Nyaris Perang Dunia. Saat ini nyaris perang dunia. Beda dengan krisis '98. Trump memecat penasehatnya John Bolton beberapa waktu lalu, karena Bolton hobby perang. Namun, perang dagang dan berbagai ketegangan antara Amerika dan sekutunya versus RRC sudah mulai. Tiga hal di atas adalah faktor eksternal terkait dampak pandemi. Namun faktor internal kita lebih berat lagi, yakni 1) hutang negara/BUMN yang menggunung. 2) Ekonomi tidak efisien alias rente. 3) Deindustrialisasi, 4) Korupsi merajalela. 5) Struktur ekonomi pincang, kemiskinan dan pengangguran menggunung. Sejak lama berbagai lembaga internasional menempatkan kita dalam kelompok negara "fragile five", yang terjebak hutang besar. Bos IMF mengatakan faktor bawaan sebelum Covid-19 sangat menentukan kerapuhan sebuah negara saat ini. Sampai kapan kita bertahan? Pancasila Gotong Royong atau Rizieqisme? Dalam masa pandemi ini kelompok2 sekular di Indonesia menawarkan "Pancasila Gotong Royong" via RUU HIP, yakni ajaran Pancasila yang bisa diperas menjadi sebuah sila, yakni Gotong Royong untuk menjadi haluan bagi keselamatan bangsa. Ketuhanan dalam pandangan Megawati Soekarnoputri, pengusul RUU HIP, adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Pandangan Megawati ini menempatkan ketuhanan dalam perspektif Anthropocentric, di mana tuhan merupakan hasil reproduksi peradaban manusia. Pancasila Gotong Royong adalah ajaran Bung Karno. Dalam masanya ajaran ini adalah ajaran baik. Ajaran ini merupakan turunan dari pikiran Marxisme, sama rata sama rasa. Artinya semua manusia punya hak kepemilikan yang sama, yakni membatasi "property rights" secara rata. Ajaran Marxism adalah ajaran barat yang berpusat pada manusia dan materialisme. Kesejahteraan dan keadilan semua diletakkan dalam perspektif logika manusia. Ketuhanan yang berkebudayaan, menurut Megawati dan Sukarno adalah ketuhanan yang ada di bumi, bukan ketuhanan yang menyangkut dunia-akherat. Gotong Royong ala Bung Karno tentu bersifat ideologis. Di jaman Bung Karno sudah pasti tidak mungkin ada perusahaan kelapa sawit, misalnya, menguasai lahan jutaan hektar, seperti saat ini. Ajaran Bung Karno adalah sebuah gerakan sosialisme-nasionalisme yang menolak supremacy barat dan Kapitalisme di Indonesia. Mohammad Hatta, disisi lain, yang menawarkan konsep Koperasi, lebih ke arah sosialisme welfarian ala Skandinavia, yang jejak keadilannya masih nyata sampai saat ini, ketimbang negara2 sosialis Komunis rujukan Sukarno (seperti Sovyet/Rusia, RRC, dll) itu. Sebagai sosok, Bung Karno tidak membutuhkan UU HIP, karena dia adalah inspirasi ideologi itu sendiri. Sebaliknya, Megawati dan kaum sekuler, membutuhkan ideologi dalam UU, karena mereka sendiri sulit diukur apakah punya jejak Gotong Royong dalam kehidupannya. Bahkan, ketika berkuasa seperti saat ini. Dalam masa pandemik ini refleksi kita adalah peradaban yang bertumpu pada Anthropocentric telah gagal. Manusia harus meletakkan dirinya dalam bagian alam dan Tuhan YME. Manusia hidup di antara pohon-pohon, sungai, air, udara, binatang, bahkan mikroba serta virus sepanjang hidupnya. Hal itu harus membuat manusia meletakkan peradaban baru yang menjaga keseimbangan alam dan kehidupan. Gotong Royong adalah ide yang baik. Tapi gotong royong harus dilandasi nilai dan moral yang jelas. Gotong Royong dalam ambisi manusia menaklukkan alam, misalnya, akan membuat degradasi alam, hutan, tambang dll, terjadi juga seperti saat ini. Gotong Royong dalam keseimbangan Allah dan akam akan menawarkan value dan moral yang berbeda. Ajaran Tuhan tentang Gotong Royong, dalam Islam misalnya, membatasi ambisi pada batas "need" bukan "want". Kebutuhan (need) mencegah perbuatan mungkar kita terhadap alam, air dan udara. Juga memberi pesan kecintaan pada generasi mendatang, dengan menyisakan deposit sumberdaya alam bagi kehidupan mereka di masa nanti. Dengan prinsip Ketuhan YME di atas segala2nya, kita menempatkan spirit kemanusian kita pada kontrol transedental. Sedang ketuhanan berkebudayaan membuat kontrol pada konsensus manusia, yang bersifat fana. Gotong Royong dalam sipirit Ketuhanan YME juga akan menggerakkan manusia melebihi kemampuan materialnya. Sebuah aksi produktif yang tidak pernah habis. Dan ini pula yang dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia di masa pandemik. Berlawanan dengan Gotong Royong ala Megawati atau RUU HIP adalah Gotong Royong dalam versi Rizieqisme. Pada tulisan saya sebelumnya, "Rizieqisme, 212, Sama Rata Sama Rasa" (2018) dan "Rizieqisme dan Paska Pilpres" (2019), saya telah menguraikan 5 prinsip dasar Rizieqisme yang tergambar dari gerakan Imam Besar Habieb Rizieq Sihab selama ini, yakni : 1) perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. 2) perjuangan harus diakar rumput. 3) Islam sebagai alat persatuan. 4) Radikal atau tidak mengenal kompromi. 5) Tanggung jawab sosial alias solidaritas. Dari prinsip ini kita ketahui bahwa prinsip sama rata sama rasa, dan gotong royong ala Habib Rizieq adalah turunan dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Gerakan keadilan dan sekaligus cita cita keadilan bukan ditentukan dalam anthropcena melainkan diturunkan dari Wahyu Allah. Jika Bung Karno dan Megawati, anaknya, bertumpu pada kemanusian versi manusia, sebagai acuan Gotong Royong, maka Habib Rizieq Sihab dalam Rizieqisme menawarkan tumpuan pada kemanusian ciptaan Allah. Dalam masa pandemi ini, kemanusian yang bersifat materialistik, tanpa ruh, akan gagal memetakan ancaman kemanusian akibat coronavirus. Gotong Royong ala Bung Karno telah menyelamatkan bangsa di masa lalu. Namun, tantangan bangsa saat ini membutuhkan Gotong Royong yang dahsyat, yang bertumpu pada spirit Ketuhanan YME. Penutup Lonceng kematian bangsa kita semakin dekat. Kebahagian ekonomi yang diklaim pemerintah dengan pertumbuhan kuartal pertama, bersifat "trade-off" dengan kesengsaraan ke depan yang bersifat kesehatan, ekonomi dan bahkan peradaban. Sri Mulyani, yang gagal memprediksi stimulus Century di masa lalu, menjadi supir penyembuhan ekonomi saat ini. Hal ini, "menggunakan supir gagal" cukup mengerikan. Menteri kesehatan yang gagal memprediksi situasi pandemik sejak awal juga suatu bencana kematian ke depan. Wamen Kemenhan yang membuka rahasia ketahanan pangan hanya dua bulanan, sangat menakutkan. Berbagai keburukan situasi ekonomi dan politik juga akan mempercepat keterpurukan bangsa. Di sisi lain, bangsa2 di dunia lainnya sibuk mengurusi rakyatnya sendiri, jauh harapan membantu kita. Dalam situasi buruk ini, kelaparan dan kemiskinan akan menjadi "catastrophic", alias bencana. 100 an juta rakyat miskin dan 20 jutanya sudah dilaporkan ADB (Asean Development Bank), 2018, kelaparan saat sebelum pandemik, tidak akan mungki diurus negara, khususnya jika haluan negara tidak tepat. Tawaran Megawati untuk menggunakan Haluan "Pancasila Gotong Royong" ditolak berbagai kalangan Islam. Hal ini mungkin lebih disebabkan susah mencari jejak Megawati dalam perjuangan ideologis Gotong Royong itu. Berbeda dengan Bung Karno, yang memang dalam diri dan jiwanya ada Gotong Royong itu. Namun, rakyat dalam keputusasaan tentu sangat butuh haluan itu. Rakyat butuh bangkit dari keterpurukan. Rakyat butuh selamat dari pengangguran, kemiskinan dan kelaparan. Lalu haluan apa yang dibutuhkan? Untuk itu perlu melihat tawaran Rizieqisme sebagai alternatif ideologi, di mana Gotong Royong didasari spirit Ketuhanan YME. Tuhan di atas manusia, bukan tuhan yang diciptakan manusia. Rizieqisme akan mampu membuat Indonesia bangkit dengan peradabam baru. Sebuab keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan YME. Manusia yang mengelola bumi dengan keadilan sesama dan antar generasi. Manusia yang adil pada pepohonan, binatang, mikroba dan bahkan virus. Serta, manusia yang memohon pada Tuhannya untuk menjadi kalifah di muka bumi dengan bijak. Penulis Direktur Sabang Merauke Institute

Manipulasi dan Bahaya Istilah "Gotong Royong"

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (19/06). Rasanya saat-saat ini mulai disosialisasikan penggunaan kalimat gotong-royong. Makna sederhananya adalah kerjasama. Bisa juga bahu-membahu atau tolong-menolong sebagai konsekuensi dari proses kehidupan dan interaksi sosial. Makna seperti ini tentu saja sangat konstruktif, baik atau bagus-bagus saja. Apalagi makna itu disandarkan pada asas kekeluargaan dan kebersamaan. Meskipun demikian, gotong-royong itu masih netral. Konstruksi lain juga bisa bermakna buruk. Misalnya, jika kekeluargaan atau kebersamaan pada gotong-royong itu didasarkan pada kejahatan, kezaliman, dan dosa. Gotong-royong dalam keburukan adalah perbuatan yang tercela atau tidak beradab. Bisa juga biadab. Padahal agama telah mengajarkan kita untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Jangan bekerjasama dan tolong-menolong dalam dosa dan kejelekan. Pada sisi lain, gotong-royong juga dapat masuk dalam kategori manipulative, dan itu bias berbahaya. Apalagi jika dikaitkan dengan gotong-royongnya yang Ekasila. Gotong-royong disini bernilai ideologis, yang telah lewat dalam lintasan sejarah bangsa. Gotong-royong yang Ekasila ini sebagai hasil "perasan" dari Trisila, yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Gotong-royong yang dari Trisila lalu Ekasila ini adalah hasil pemerasan lagi dari Pancasila gagasan Soekarno 1 Juni 1945. Isinya itu adalah Kebangsaan atau Nasionalisme, Kemanusiaan atau Internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Jadi terma gotong-royong itu bisa saja multi makna. Dari yang positif hingga negatif. Tergantung dari sudut pandang yang mana. Bahkan dapat manipulatif dan berbahaya. Ketika dibuat spanduk sebagai sosialisasi "gotong-royong", maka ada kemungkinan munculnya makna yang bersifat ideologis. Dengan demikian, masyarakat harus berhati hati-hati menggunakan kata atau kalimat gotong-rotong tersebut. Sebab bisa memiliki makna yang berbeda-beda. Gunakan saja kalimat yang lebih aman seperti tolong-menolong, kerjasama, bahu-membahu atau masih banyak yang lain lagi. Hindari saja istilah "gotong royong". Jika ditarik ke masa Orde Lama, maka PKI lah yang paling suka mengkampanyekan istilah gotong-royongnya Soekarno tersebut. Mungkin saja relevan, sefaham atau sejalan dengan fahamnya komunisme yang "materialisme". "Sama rata sama rasa". PKI juga berslogan "kaum proletar bersatulah". Maksud PKI adalah bergotong royonglah. Sebab dengan Ekasila tersebut, maka nilai Ketuhanan dan lainnya menjadi lebur atau "out". Ini menjadi basis yang kuat untuk mengembangkan faham komunisme. Umat Islam harus memahami dan kenali dengan istilah gotong-royong ini dengan benar, agar tidak terjebat dalam permainan kata-kata semata. Konsepsi Presiden soal Kabinet Gotong Royong didukung penuh oleh Ketua PKI DN Aidit. Dia menyebut nama Kabinet Gotong Royong "sesuai dengan tuntutan rakyat". Dalam Sidang Konstituante Ir. Sakirman dari PKI menyatakan “Sila Gotong Royong sudahlah cukup sebagai satu-satunya sila”. PKI juga sangat berkeinginan untuk mengesampingkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, PKI sangat mendukung dan memperjuangkan konsep Soekarno tentang Ekasila atau gotong royong. Konsep Ekasila, lalu gotong-rotongnya Soekarno inilah yang mau diperjuangkan di RUU HIP. Kini jika kaum "kebangsaan" sangat alergi dengan istilah Jihad, Syari'at atau Khilafah, mengapa kaum atau umat Islam tidak alergi terhadap terma gotong-royong ? Saatnya umat Islam menjauhi peristilahan "gotong royong" karena sangat multi makna. Bisa sangat berbahaya. Bahayanya adalah "gotong royong" terus menerus dipublikasikan. Tujuannya agar pada waktunya rakyat Indonesia dapat menerima "gotong royong" sebagai satu-satunya sila, yaitu Ekasila. Ini adalah perjuangan dari kelompok PKI. Mereka tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan “Ekasila, lalu gotong-royong” itu. PKI dan neo PKI kapanpun sama saja. Mereka itu tidak ada beradanya. Tukang memanipulasi, dan menjpu rakyat kalau momentumnya sudah ada atau memungkinkan. Munculnya RUU HIP adalah bentuk nyata dari tipu-tipu model tersebut. Untuk itu, umat Islam harus waspadalah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Front Anti Komunis Indonesia Mengutuk Keras RUU HIP dan Bangkitnya PKI

Jakarta, FNN - Mencermati perkembangan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara serta setelah mempelajari dengan seksama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan perkembangan yang terjadi terkait RUU tersebut, dengan berharap rahmat dan ridho Allah Yang Maha Esa, Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) menyatakan: Dalam lima-enam tahun terakhir, terasa sekali adanya upaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunis di Indonesia. Yang lebih buruk dan berbahaya lagi, kebangkitan PKI dan paham komunis tersebut justru difasilitasi oleh para elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif.Diajukannya RUU HIP yang berbau komunis dan menafikan peran agama, dan tidak memasukkan TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI, menunjukkan lembaga legislatif sudah disusupi oleh anasir PKI/komunis.Menolak RUU HIP dan mendesak Pimpinan DPR RI menghentikan pembahasannya menjadi UU, serta mendesak Pimpinan DPR RI membubarkan Panitia Kerja (Panja) RUU HIP.Mendukung penuh dan siap mengawal Maklumat Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi se Indonesia, yang antara lain menolak RUU HIP.Menilai sikap pemerintah terlalu lamban dan ragu-ragu terkait RUU HIP. Pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD yang meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP sama sekali tidak cukup. Sebagai mitra DPR dalam pembuatan UU, pemerintah seharusnya menyatakan RUU HIP tidak ada urgensinya, dan oleh karenanya harus dicabut/dikeluarkan dari Program Legisalasi Nasional (Prolegnas).Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya, terutama aparat TNI/Polri, bahwa TAP MPRS nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme serta Larangan Terhadap PKI hingga detik ini belum dicabut. Kepastian tersebut juga dituangkan dalam TAP MPR nomor 1/2003. Artinya, Ketetapan MPRS tersebut hingga kini masih berlaku.Sesuai bunyi sumpah jabatan Presiden, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa," maka FAKI mengingatkan, bahwa Presiden Joko Widodo berkewajiban menjalankan TAP MPRS nomor XXV/1966 tersebut dengan sungguh-sungguh, murni, dan konsekwen.Mendesak Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan dan langkah-langkah nyata yang tegas dan terukur, serta memerintahkan aparat hukum dan aparat keamanan untuk mencegah kebangkitan paham komunis dan PKI.Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas inisiator dan konseptor RUU HIP, serta memproses mereka secara hukum dengan seadil-adilnya.Sesuai pasal 40 dan pasal 41 UU nomor 2/2008 tentang Partai Politik jo UU nomor 2/2011, mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera membubarkan partai politik yang menjadi inisiator dan konseptor RUU HIP karena terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.Menolak kriminalisasi dan perlakuan yang tidak adil oleh aparat hukum terhadap para ulama dan tokoh masyarakat yang berseberangan dan menyampaikan saran serta kritik teradap penguasa.Menyerukan para tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis yang setia pada NKRI dan seluruh elemen masyarakat untuk mewaspadai dan melawan gerakan komunis gaya baru yang berusaha bangkit, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun melalui jalur kekuasaan.Mengingatkan Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya untuk memperhatikan dan menindaklanjuti dengan sungguh-sungguh pernyataan sikap FAKI ini dan pernyataan senada dari begitu banyak elemen anak bangsa lainnya, agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan yang dapat mengancam kedamaian, keutuhan, dan kesatuan NKRI. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian kita bersama. Semoga Allah Yang Maha Kuasa meridhoi dan menolong perjuangan kita dalam membendung serta melawan bangkitnya komunisme dan PKI di negeri tercinta yang religius ini. Aamiin… Jakarta, 17 Juni 2020 FRONT ANTI KOMUNIS INDONESIA (FAKI) Edy MulyadiKetua Umum Novebri SasongkoSekretaris Jenderal

Penjara Sudah Menanti Pejabat Kebijakan Pemulihan Ekonomi

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Kamis (18/05). Dalam rapat terbatas beberap hari lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Pernyataannya terhubung dengan pengelolaan dana penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional. Dana sebesar Rp. 677, 2 trilyun harus digunakan secara benar. Dalam rangka itu, Presiden tegas mempersilahkan penegak hukum melakukan tugas. Kepada para aparatur hukumnya, Presiden ingatkan agar profesional dalam menegakan hukum. Gigitannya, kurang lebih begitu esensinya. Harus tepat. Gigitlah yang benar-benar menyimpang, dan sebaliknya jangan gigit yang tidak benar-benar menyimpang. Pak Presiden, dapat diduga telah memiliki data terpercaya tentang postur governance pengelolaan dana ini. Mengajak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (PBKP) mengawasi pengelolaan dana ini. Jelas maknanya. Rupanya governance pengelolaan dana tidak terlalu meyakinkan Presiden. Itu sebabnya BPKP harus semakin dilibatkan, tentu untuk meningkatkan level governancenya. Jalan ke Pernjara Terbuka Pijakan hukum pengelolaan dana pemulihan ekonomi didasarkan sepenuhnya pada Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah dinaikan statusnya melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Perpu ini telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi akibat Covid. Satu-satunya hal yang hebat dalam Perpu ini adalah ketentuan dalam pasal 27, pasal 28 dan pasal yang memberikan kewenangan ekstra kepada Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selebihnya tidak. Tetapi dari yang hebat itu, pasal 27 adalah yang terhebat. Esensi pasal ini adalah pengelolaan dana ini tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian keuangan negara. Akibat logisnya siapapun yang mengelola, dalam makna mengurus distribusinya, tak perlu memusingkan diri dengan segala macam parameter ekonomi maupun hukum. Untuk apa memusingkan diri dengan semua itu? Tidakkah telah diatur secara tegas dalam pasal 27 Perpu bahwa tindakan-tindakan dalam kerangka pasal Perpu tidak bisa dituntut pidana, perdata maupun tata usaha negara? Pasal 27 itu, akan digunakan sebagai benteng oleh pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus dana pemulihan ini. Bilapun dalam kenyataannya benar-benar ada perbuatan melawan hukum, pasal 27 telah secara tegas menyatakan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dituntut secara pidana, perdata dan tata usaha negara. Pejabat siapapun itu akan menyodorkan pasal ini sebagai bentengnya. Beralasan pasal 27 ini sah digunakan oleh siapapun yang berwenang dalam mengelola dana ini, sebagai alasan pembenar. Esensi alasan pembenar tidak lain selain menghapus sifat melawan hukum perbuatan. Perbuatan menyimpangnya mungkin secara faktual ada, tetapi sifat melawan hukumnya, sekali lagi, hilang dengan sendirinya karena ada pasal 27 itu. Menariknya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang didalamnya berisi pasal 27 itu, dibuat oleh Presiden. Tidak mungkin Presiden tidak mengetahui pasal itu. Presiden harus diasumsikan tahu keberadaan pasal itu. Pada titik ini menarik pernyataan Presiden itu logis ditimbang secara komprehensif. Sedang apa Presiden dengan menteri-menterinya? Apakah Pak Presiden memiliki fakta yang meyakinkan yang menunjukan telah terejadi penyimpangan? Sehingga Presiden berubah arah, meningalkan pasal 27 itu? Kalaupun jawabannya positif, ya, tetap saja jadi soal. Mengapa? Pasal 27 itu sejauh ini sah digunakan sebagai dasar tindakan para pejabat itu. Suka atau tidak, pasal 27 itu sah berlaku dan sah dijadikan dasar tindakan hukum oleh para pejabatnya. Disebabkan pasal ini sah sejauh ini untuk dijadikan dasar tindakan hukum para pejabat, maka semua tindakan hukum pejabat pada saat ini tidak dapat dipersoalkan. Baik aspek formil maupun materilnya. Berapapun dana pemulihan yang diberikan ke Garuda, bagaimana jumlah itu diperoleh, dilakukan dengan skema apapun, penyertaan modal (PNM), talangan, bayar utang, tidak dapat dipersoalkan. Mau diberi R10 triliun, lebih dari itu atau kurang itu, atau berapapun, secara formi dan materil tidak bisa dipersoalkan. Untuk apa dipersoalkan, kalau akhirnya temuannya tidak dapat dikualifikasi merugikan keuangan negara? Penyimpangan prosedur, andai ada, juga tak bisa ditunjuk sebagai perbuatan yang melawan hukum. Bagaimana pejabat-pejabat itu merespons kewajiban mereka kepada PLN misalnya, juga terserah mereka saja. Menurut keterangan Direktur PLN di Komisi VII DPR, utang pemerintah di PLN sebesar Rp 48 triliun. Ini merupakan akumulasi utang pemerintah tahun 2018 dan 2019 (Merdeka.com 17/6/2020). Utang ini harus diurusi. Menariknmya, utang yan terjadi jauh sebelum covid ini, boleh jadi akan diselesaikan menurut skema perpu. Bila mengukiti skema ini, skemanya yang harus diambil bukan talangan, bukan juga PNM. Skema yang yan harus diambil adalah kompensasi atau baray utang. Tetapi andai pejabatnya memilih skema lain, harus dianggap sah. Berapa sebenarnya dana pemulihan ekonomi yang akan dan atau telah diplot untuk BUMN? Bergunakah jumlahnya dipersoalkan secara hukum? Mau Rp. 147 triliun, kurang dari itu atau malah lebih dari itu, secara formil dan materil tidak bisa dipersoalkan. Ini konsekuensi pasal 27 Perpu, suka atau tidak. Mudah Temukan Pelanggaran Tetapi apapun itu, pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus soal ini harus tetap waspada. Pernyataan Presiden tersebut cukup beralasan untuk dipakai sebagai petunjuk adanya kehendak melepaskan pasal 27 itu. Presiden bisa jadi, membiarkan Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa pengujian pasal ini untuk menyatakan pasal itu inkonstitusional. Waspada, sekali lagi waspada. Ini harus jadi sikap dasar pejabat. Sikap ini harus diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pertimbangan-pertimbangan dibalik sebuah kebijakan harus benar-benar dapat dicek. Fakta dan rasionya harus kokoh. Kedua, bereskan semua tindakan yang perlu diambil dalam kerangka Perpu dan PP Nomor 23, sebelum pasal 27 Perpu dinyatakan inkonstitusional. Tetapi andai pasal 27 diterima oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan konstitusional, terlepas dari putusan ini akan ditertawakan dan diejek, tetap saja harus waspada. Mengapa? Kalau kebijakan itu nyata-nyata tidak didasakan pada fakta yang cukup. Juga tidak cukup rasio teknisnya, maka kenyataan itu dapat dijadikan alasan penegak hukum menyatakan bahwa perbuatan itu sedari awal telah dimaksudkan lain dari yang diperintahkan oleh Perpu. Kenyataan itu dapat dipakai sebagai dasar konstruksi bahwa sikap batin pembuat kebijakan, sedari awal dimaksudkan lain dari seharusnya menurut Perpu. Itu masalahnya. Kalau sudah begini cara berpikir penegak hukum, maka mudah bagi mereka menemukan sifat melawan hukum perbuatan. Bila penyimpangan itu didukung tumpukan fakta, maka mudah bagi penegak hukum untuk membuat konstruksi berikut. Konstruksinya tidak ada hukum, yang sedari mula dimaksudkan untuk membenarkan tindakan melawan hukum. Atas dasar itu, mereka dapat dengan mudah menyatakan pasal 27 tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar atau alasan yang membenarkan semua tindakan menyimpang. Tumpukan fakta tentang penyimpangan, sekali lagi, akan diambil dan digunakan penegak hokum untuk menyatakan, pembuat kebijakan telah dimaksudkan untuk hal lain, selain yang diperintahkan Perpu. Hal lain itulah, yang akan dipakai penegak hukum untuk menyatakan sikap batin pembuat kebijakan hendak diarahkan pada hal lain itu. Bila begitu cara pandang penegak hukum, maka mudah bagi mereka mengualifisir perbuatan itu sebagai perbuatan melawan hukum. Logiskah cara berpikir itu? Logis karena satu alasan, terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan sikap bathin pembuat kebijakan. Satu-satunya cara menutup jalan penegak hukum menggunakan jalan fikiran ini adalah pembuat kebijakan harus, sekali lagi, memastikan memiliki tumpukan fakta terferifikasi dan obyektif. Tumpukan fakta terferifikasi itu harus benar-benar harus dapat disajikan, kapanpun diperlukan. Rasio fakta itu harus benar dapat diterima. Hanya itu cara yang tersedia. Tidak lebih. Keikutsertaan penegakan hukum, misalnya mendampingi, menyaksikan penyaluran PNM, talangan atau bayar utang, sama sekali tidak dapat dijadikan benteng buat pembuat kebijakan. Kehadiran mereka pada level itu, sama sekali tidak dapat dijadikan keadaan yang determinatif. Kehadiran merka tidak berbicara apa-apa, selain hanya menjelaskan mereka menyaksikan tindakan akhir pejabat. Bagaimana proses tindakan itu, bagaimana angka-angka yang diperoleh, bagaimana memutuskan angka, jelas tidak diketahui oleh penegak hukum. Fakta bernilai tinggi adalah keadaan nyata yang digunakan sebagai dasar menentukan besaran. sebut saja dana talangan, PNM atau pembayaran kompensasi atau bayar utang. Juga fakta bernilai tinggi adalah kesesuaian fakta antara nilai buku dengan nilai yang direalisaikan. Selisih nilai akuntansi dengan nilai nyata, tentu akan jadi malapetaka. Penipuan Korporasi Licik Selisih nilai itu, mungkin dapat dibenarkan. Bila rangkaian fakta kongkrit menyediakan unsur-unsur yang dapat menerangkan secara logis selisih itu. Itu untuk kebijakan terkait langsung BUMN dan korporasi sawsta. Terhadap korporasi swasta, soalnya lebih sedikit lebioh kompleks. Justru kebijakan pemberian bantuan, atau talangan, ataupun namanya kepada korporasi swasta, harus lebih tinggi level kehati-kehatiannya. Semoga saja pengetahuan mengenai korporasi yang pada tahun buku terakhir membukukan laba, dan atau sebaliknya rugi, benar-benar tersaji dengan jelas. Level laba dan ruginya, plus aset yang nyatanya eksis berada dalam penguasaan nyata korporasi. Juga likuid serta asset yang nyata-nyata truble, harus jelas betul penilaian dan dapat disajikan setiap waktu. Keliru pada level ini sama dengan membuka jalan untuk penegak hukum mempersoalkan level rasionalitas kebijakan itu. Kekeliruan pada level itu, sama nilainya dengan menyodorkan senjata terkokang kepada penegak hukum. Fakta itu akan memudahkan mereka, seperti telah dikemukakan di muka, menyatakan pejabat telah sedari awal bermaksud menyimpang dari hukum. Konsekuensinya sikap bathin pejabat untuk perbuatan itu benar-benar dapat dipersalahkan. Suka atau tidak semua ini harus masuk dalam daftar kehati-hatian pejabat. Pernyataan presiden mengenai penegak hukum gigit sebisa mungkin “mereka yang nyata-nyata menyimpang dan yang tidak mengikuti aturan, tidak bisa disepelekan. Terlalu mudah bagi penegak hukum untuk menemukan dan merealisasikan pernyataan Presiden itu. Itu soal terbesarnya. Pada titik ini tidak ada faedah memperdebatkan pernyataan itu akan mengakibatkan pejabat tidak nyama bekerja. Tidak perlu. Jalan terbaik menyambut pernyataan Presiden itu adalah memastikan setiap kebijakan didukung dengan tumpukan yang kredibel, baik menyangkut kuantitas dan kualitasnya. Hanya itu cara menghindar dari kemungkinan diperiksa penegak hukum, lalu ditetapkan menjadi tersangka. Nauzubillaahi minzalik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Tarung di RUU HIP, "PDIP Vesrsus Umat Islam"

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (18/06). Inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah PDIP. Rakyat tahu itu PDIP sukses mempengaruhi sejumlah fraksi di DPR. Sukses, karena nyaris tanpa penolakan. Kecuali Fraksi PKS, yang dari awal konsisten ingin memperjuangkan masuknya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tak digubris. Fraksi yang lain diam. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tidak tanda tangan. Ketika maklumat MUI keluar, dan protes Umat Islam terjadi dimana-mana, sejumlah anggota fraksi membuat pernyataan. Mereka jadi ikut-ikutan teriak menolak RUU HIP. Langkah cari aman. Ah, kayak nggak tahu aja kelakuan parpol. Klasik dan jadul tuh! Saat ini, RUU HIP sudah diserahkan oleh DPR ke pemerintah. Bola sekarang ada di pemerintah. Semua mata tertuju kepada pemerintah. Konsentrasi rakyat fokus ke pemerintah. Lalu, bagaimana sikap pemerintah? Mendengarkan rakyat? Atau pasang badan mendukung PDIP? "Tunda", kata pemerintah. Pemerintah nampaknya ingin melihat-lihat dulu apa reaksi lanjutan dari masyarakat. Pertama, bagaimana reaksi PDIP. Kedua, bagaimana reaksi umat Islam. Mana yang paling kuat, biasanya itu yang akan jadi pilihan Jokowi. Polanya sering terbaca begitu. Jika pressure umat Islam kuat, pemerintah tak ada pilihan lain kecuali "menolak" RUU HIP. Jika sebaliknya, protes umat Islam meredup dan PDIP kuat tekanannya, maka pemerintah akan minta agar RUU HIP dilanjutkan pembahasannya di DPR. Sebagaimana diketahui, sikap MUI, NU, Muhammadiyah, Ansor, Pemuda Pancasila, FPI, dan sejumlah elemen masyarakat tegas dan jelas, “ Stop RUU HIP”. Hentikan pembahasannya. Jangan dilanjutkan. Batalkan itu RUU! Bukan revisi. Bukan juga ditunda. Sepertinya PDIP sebagai inisiator RUU HIP keberatan. Tak ada tanda-tanda mau menyerah. Lanjut! Coba bernegosiasi. Buat kompromi-kompromi. Tawarkan revisi. TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukkan. Tapi, larangan radikalisme dan Khilafah juga harus dimasukkan. Win win solution dengan umat Islam. Sampai disini, PDIP masih cukup percaya diri. Umat Islam melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan sejumlah ormas yang lain nggak menanggapi nego PDIP. Dianggap angina lalu saja. Belakangan, PBNU muncul. Suaranya sangat lantang, “hentikan”. Pandangan dan sikap PBNU tegas dan lugas. Dasar pemikirannya lengkap, terukur dan berkelas. Perseteruan antara MUI, NU, Muhammadiyah plus Ormas-Ormas Islam lainnya dengan PDIP sebagai inisiator RUU HIP nampaknya akan memakan waktu yang panjang. Maraton. Sudah hampir sepekan ini, dua kelompok di atas berdebat kusur di media. Adu argumen, adu cerdik dan juga adu strategi kedua belah pihak kemungkinan akan semakin ramai ke depan. Tidak saja di media, tetapi juga dalam bentuk aksi demonstrasi. Di sejumlah daerah sudah terjadi. Demo ada dimana-mana. Nampaknya makin panas. Perdebatan tidak saja soal materiil dan formilnya, tetapi juga menyoal apa motif RUU HIP ini dilahirkan. Soal yang terakhir ini justru paling yang menarik. Sekaligus semakin seru dan memans-manaskan situasi politik nasional selama pandemic Covid 19 ke dapan. Di sini, kepemimpinan Jokowi akan diuji. Rakyat menunggu keputusan jelas dan tegas dari Jokowi. Tidak mudah memang. PDIP, tak saja sebagai partai pemenang. Tetapi, PDIP juga partai yang paling berjasa menjadikan Jokowi sebagai presiden. Sementara di sebelah PDIP, ada barisan MUI, NU, Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam memiliki kekuatan massa yang tak kecil. Terbesar di Indonesia. Jika isunya semakin matang, maka akan sangat merepotkan Jokowi. Legitimasi moral dan gelombang kekuatannya bisa lebih dahsyat dari 212. Asumsi ini tak terukur jika belum dibuktikan. Emang mau dibuktikan? Rakyat akan menunggu ke depan. Pertama, lebih kuat mana? Pressure PDIP vs pressure MUI yang didukung NU dan Muhammadiyah dan umat Islam itu. Kedua, kemana pilihan Jokowi akan berpihak. Kepada PDIP, atau kepada umatIslam? Rakyat sedang menunggu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Doking Si Kodok Peking di RUU HIP

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (18/06). Persoalan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) berismbas melebar. Dugaan adanya misi terselubung aktivis berfaham komunis atau neo-PKI berimbas pada ramainya di medsos soal Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menafikan komunis atau PKI saat ini. Bahkan menuduh yang mengungkit-ungkit soal PKI dan komunisme adalah Kadrun singkatan dari Kadal Gurun. Kadal Gurun atau Kadrun adalah predikat yang diberikan oleh aktivis PKI dahulu kepada para ulama, ustadz, aktivis Islam yang menjalankan agama Islam. Agama yang berasal dari daerah pegunungan atau gurun Saudi Arabia. Nabi Muhammad SAW adalah putera gurun. Lahir di Mekkah lalu hijrah dan berjuang serta wafat di Madinah. BAKOR KAN melaporkan Ade Armando atas sebutan Kadrun kepada masyarakat Minang. Menjelaskan bahwa Kadrun adalah predikat yang sering diungkap oleh PKI dahulu untuk melecehkan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Tentu saja Ade membantah bahwa Kadrunnya tidak berkaitan dengan Kadrun PKI. Mana yang benar biarlah menjadi urusan hukum pembuktian nantinya. Hanya saja Franciscus Xaverius Arief Poyuono menyebutkan bahwa yang mengungkit persoalan PKI dan komunisme adalah Kadrun. Ini menjadi persoalan serius ketika penolakan dilakukan oleh umat Islam yang mendukung Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sikap tegas menolak RUU HIP yang ditengai ingin menghidupkan kembali faham komunisme dan PKI yang didukung MUI Provinsi dari seluruh Indonesia Dengan demikian, ada RUU HIP yang mengkhawatirkan kebangkitan PKI dan komunisme seluruhnya disebut Kadrun. Padahal apa yang dikemukakan oleh para ulama, ustadz, aktivis Islam, para Purnawiraaan TNI-Polri, ormas Islam dan banyak forum serta aspirasi yang menolak RUU berbau PKI dan komunisme ini sangat beralasan. Sangat obyektif, dan rasional. Bila memberi predikat seenaknya bagi mereka yang anti PKI dan komunis adalah Kadrun, maka itu dapat memancing konflik baru. Nanti bisa saja yang pro pada RUU HIP yang berbau PKI dan komunis itu disebut dengan Kodok Peking. Orang China menyukai kodok sebagai makanan pilihan paling disukai. Jadinya, pantas dan wajar saja bila yang pro dengan RUU HIP atau pro terhadap RRC atau yang menafikan keberadaan PKI dan komunisme disebut sebagai “Doking si Kodok Peking. Kodok Peking pro Peking adalah penghianat negara. Mereka yang memasukkan TKA China ke Indonesia menggeser tenaga kerja pribumi. Mereka yang menjalin hubungan sangat erat dengan Pemerintah Komunis RRC. Kodok Peking ini sangat "welcome" dan siap bekerja sama dengan Partai Komunis China. Kodok Peking adalah pemuja investasi dan hutang luar negeri dari China. Seakan-akan rela untuk dijajah oleh China. Kodok Peking adalah kodok yang kaki bagian bawahnya ada di Indonesia. Sedangkan kaki atas mengais-ngais di Peking. Hampir sulit terjadinya kebangkitan atau berkembangnya faham komunisme di dunia saat ini tanpa peran Peking (Beijing). Dahulu Sovyet yang dominan. Pejabat negara kita ada yang terang terangan menyebut Indonesia tak mungkin lepas dari China. Ini yang membuat rakyat semakin khawatir pada pengaruh RRC di segala bidang khususnya ekonomi dan politik. Poyuono dan banyak tokoh atau pemimpin negara tegas menafikan keberadaan PKI dan komunisme. Padahal fakta itu ada dan nyata. Tentu tak mungkin terang-terangan seseorang atau kelompok menyebut dirinya PKI. Apalagi menjadi kader penyebarnya. Hukum melarangnya dan sanksi hukum menghadangnya. Makanya mereka bergerak "tanpa bentuk". Makanya mereka melompat sana melompat sini. Malompat dari satu partai ke partai yang lain. Persis seperti kodok. Kodok Peking (Doking) adalah hewan yang dapat berubah bentuk menjadi hewan penyebar penyakit berbahaya. Kodok Peking biasanya berkolaborasi dengan virus virus jahat dan sesat lainnya. Menggerogoti ideologi suatu negara. mencengkeram secara ekonomi, dan mengendalikan secara politik. Bermain di pemerintahan dan ruang parlemen. Begitulah pola dan kebiasaan Kodok Peking beroperasi. RUU HIP disamping memunculkan penolakan, juga ada suara ribut Doking si Kodok Peking penjilat yang gemar lompat sana lompat sini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.