NASIONAL
Corona Menjadi Istri Pak Mahfud
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (29/05). Banyak pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang aneh-aneh. Mulai dari soal Indonesia tak ada corona. Korban kecelakaan yang lebih banyak daripada korban corona. Mudik dan jamaah tarawih yang bisa dipidana. Tidak cukup hanya itu pernyataan aneh. Menko Mahfud MD juga bicara tentang Masjid yang ditutup. Alasan Mahfud, karena jama'ah masjid banyak korban seperti di Iran, hingga pidato sambutan di UNS soal meme kiriman Luhut yang bercanda membandingkan corona virus sama dengan seorang istri. "corona is like your wife, is easily you try to control it then you realize that you can't, then you learn to live whith it". Begitu bunyi meme yang dikutip Mahfud. Tentu saja netizen banyak yang marah atas joke berlebihan tersebut. Menyamakan corona virus dengan seorang istri yang tidak mudah ditaklukan. Sikap dan perbuatan ini dinilai sebagai penistaan terhadap status seorang istri. Pertama, menghadapi wabah corona yang merupakan "desease" apapun upayanya adalah mengatasi. Baik itu mencegah maupun menyembuhlan. "Wife" tentu saja bukan "desease" yang dianggap bisa bersahabat. Faktanya corona bisa membunuh. Kedua, keliru berat jika niat untuk menikah adalah dalam rangka menaklukan istri. Sehingga konsep bangunan awal adalah peperangan untuk mengalahkan. Saat tak mampu menaklukan, maka jadinya berdamai "learn to live with it". Itu keterpaksaan. Ketiga, terlalu jauh membanding-bandingkan pernikahan dengan penyakit. Itu terlalu mengada-ada. Terkesan kehabisan bahan untuk bicara ke masyarakat. Masa sepanjang hidup harus sesak nafas, dan panas badan tinggi. Suami-istri itu seharusnya bersimbiose mutualistic. Bermakna dan berdaya guna. Sedangkan wabah corona justru bersimbiosis parasitis. Merusak tubuh. Joke Menteri "intelek" seperti Mahfud dan Luhut menjadi gambaran, betapa tidak seriusnya mereka sebagai petinggi negara mengatasi wabah corona. Nyawa yang telah menjadi korban, baik masyarakat maupun tenaga medis ternyata dimain-mainkan sebagai joke oleh menteri. Seolah-olah kematian mereka itu sesuatu yang tidak berharga. Apalagi meme lucu-lucuan tersebut dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan "new normal". Yang mau dimodelkan untuk berdamai dengan "desease". Di tengah grafik pandemi virus corona yang belum begitu menggembirakan. Kepentingan rakyat menjadi yang dinomorduakan. Sementara kepentingan para pengusaha yang didahulukan. New normal jadinya adalah new marital menuju new mortal. Herd immunity yang berisiko tinggi. Kebijakan pola penjudi dan coba coba. Masyarakat yang dijadikan sebagai "kelinci percobaan" untuk menciptakan klaster-klaster baru penularan. Rakyat semestinya menyatakan "terserah" saja jika Pak Mahfud dan Pak Luhut mau memperistri virus corona. Kita hanya bisa mengucapkan "selamat menempuh hidup baru". Semoga bahagia selalu. New abnormal life. Kita mah semua tidak mau punya istri atau berumah tangga dengan virus corona. Secantik apapun corona itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gara-gara Berita, Wartawan Detik Diancam Dibunuh. Ada Pihak yang Tersinggung?
Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Apapun alasannya mengancam membunuh orang lain adalah tindak kejahatan melawan hukum. Lalu mengapa wartawan Detik yang menulis kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi diancam mau dibunuh? Apa salahnya wartawan detik ini? Tapi siapa sih sebenarnya yang mengancam membunuh itu? Apakah dia (oknum) pendukung Pak Jokowi atau ada pihak lain yang memang sengaja ingin membuat suasana keruh? Atau itu cuma trik pihak-pihak tertentu saja, untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan besar bangsa ini. Lagian sewot amat sih, sampai mengancam mau membunuh wartawan? Apakah ada pihak-pihak yang dirugikan dengan pemberitaan Detikcom? Memang agak susah untuk membuktikan siapa orang yang mengancam akan membunuh, kecuali kalau kepolisian mau melakukan penyelidikan dan penyidikan secara serius dan profesional. Tapi mari kita uraikan dulu duduk perkara dan kronologi masalah ini. Pada awalnya, Detikcom menurunkan berita pada hari Selasa 26 Mei jam 9.10, dengan judul: "Jokowi Pimpin Pembukaan Sejumlah Mal di Bekasi Siang Ini di Tengah Pandemi". Kemudian di hari dan jam yang sama, Detikcom menurunkan berita dengan judul: "Pemkot: Jokowi Siang Ini ke Bekasi Dalam Rangka Pembukaan Mal". Isi berita ini persis sama dengan judul berita sebelumnya. Berita tersebut berasal dari informasi yang disampaikan Kepala Sub Bagian Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi. Namun setelah berita tersebut menyebar dan viral, tidak berapa lama kemudian pernyataan Kasubbag Humas tersebut diluruskan oleh atasannya yakni Kepala Bagian Humas Pemkot Bekasi. Detikcom pun menurunkan berita klarifikasinya dengan judul: "Pemkot Bekasi Luruskan soal Kunjungan Jokowi Cek Persiapan New Normal". Berita ini dipublikasikan hari Selasa itu juga pada jam 10.42 WIB. Jokowi berencana mengecek persiapan new normal di Bekasi. "Meninjau Kota Bekasi dalam rangka persiapan penerapan prosedur new normal setelah PSBB, di sarana publik," ujar Kabag Humas Pemkot Bekasi Sayekti Rubiah, ketika dihubungi detikcom, Selasa (26/5/2020). Sayekti menyanggah kunjungan Jokowi terkait pembukaan mal-mal di Bekasi. Mal di Bekasi akan dibuka usai hasil evaluasi PSBB. "Kemungkinan, mal itu bisa dibuka hasil dari pemantau evaluasi dari PSBB tersebut," imbuhnya sebagaimana diberitakan Detik. Bukan berita hoax Sepanjang yang saya telusuri di google, sampai hari Kamis (28/5), ketiga judul berita Detikcom diatas tidak berubah.Artinya, kesemua isi berita tersebut secara jurnalistik dapat dipertanggungjawabkan alias bukan berita hoax. Kalau sebuah berita dibantah atau diklarifikasi oleh nara sumber dalam hal ini Pemkot Bekasi, bukan berarti berita sebelumnya salah. Berdasarkan penelusuran saya via internet, penulis berita soal kunjungan Jokowi adalah Tim Detik. Sebelumnya nama wartawan yang menulis berita tersebut kemungkinan dicantumkan. Tapi setelah ada ancaman pembunuhan, nama.penulis beritanya diganti dengan Tim Detik. Sebab menurut keterangan pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, nama penulis yang tercantum di dalam berita Detik menyebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Nah dari medsos itulah, kekerasan terhadap penulis berita tersebut dimulai. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. "Selain itu, Situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers," kata Asnil Bambani, Ketua AJI Jakarta, dalam siaran persnya, Rabu (28/5). Selain doxing, kata Asnil Bambang, jurnalis itu juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal, kenyataannya tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp. AJI Jakarta menilai di tengah upaya Jokowi menggencarkan persiapan New Normal, pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah tampaknya menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 4 ayat 1-3 menjelaskan, salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. AJI Jakarta mengingatkan para pihak yang bersengketa terkait pemberitaan di media agar menyerahkan kasusnya kepada Dewan Pers untuk menilai dan mengupayakan penyelesaiannya. Melapor polisi Terkait ancaman pembunuhan ini, pihak Detikcom sudah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri. Vivanews memberitakan bahwa pihak Detikcom telah meminta pengamanan dari Polri terhadap jurnalisnya itu. AJI Jakarta juga meminta agar kepolisian mengusut hingga tuntas ancaman pembunuhan terhadap wartawan Detik serta meminta agar Dewan Pers turun tangan. Sementara di Medsos juga beredar Meme yang diberi judul: "Detik Gini Amat". Meme tersebut selain berisi foto Jokowi juga terdapat screenshot tiga judul berita Detikcom seperti yang dibahas di atas. Lalu Meme itu dengan kalimat tambahan yang berbunyi: "Bikin Hoax Dulu, Pelintir Dulu. Ralat Kemudian. Lalu Apa Tanggungjawab Media Terhadap Hoax yang Terlanjur Tersebar?" Meme yang beredar di Medsos tersebut adalah suara netizen yang seolah-olah merasa paling benar. Dengan menuduh berita Detikcom itu sebagai hoax. Seperti layaknya sebuah Meme, narasi kalimat yang tertuang didalamnya pun bersifat provokatif. Misalnya kalimat provikatifnya seperti ini: "Detikcom sengaja merusak apa saja yang dikerjakan Pak Jokowi. Waspadalah !!!! Detikcom sudah berpolitik untuk mencapai sebuah tujuan. Jangan biarkan Pak Jokowi sendirian hadapi media-media jahat. Media penghasut harus dilawan". Seperti biasanya kalimat provokatif seperti itu tanpa didukung data dan fakta yang valid. Meski demikian, ujaran tersebut tetap beredar di Medsos. Padahal, sebenarnya kelompok yang merasa dirugikan oleh pemberitaan Detikcom tersebut, bisa mengajukan hak jawab atau mengadukan ke Dewan Pers. Loh kok tidak bisa langsung mengadukan ke polisi? Lah kan ini termasuk sengketa pers sehingga jalurnya berdasarkan UU Pers, harus melalui Dewan Pers. Netizen yang cerdas dan memiliki kekuatan dalam literasi, seharusnya berpikir ulang sebelum menyebarkan Meme provokatif tersebut. Alangkah baiknya para Netizen yang menjari pendukung Jokowi, memahami dulu tentang mekanisme kerja wartawan dan kaidah jurnalistik. Nah, kalau sudah melek baru membuat Meme yang cerdas dan mencerahkan masyarakat di dunia Maya. Terlepas dari itu semua, meskipun liputan Detikcom soal Kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi hari Selasa lalu, tidak ada yang menyalahi kaidah jurnalistik. Namun, menurut saya, liputan Detikcom soal kegiatan Presiden tersebut kurang komprehensif. Sebagai sebuah portal berita, seharusnya Detikcom bisa menyajikan berita dari berbagai sisi (cover all side). Ketika terjadi silang pendapat dan informasi antara apakah Presiden hendak melakukan persiapan New Normal atau pembukaan mall di Bekasi, Detikcom seharusnya bisa menyajikan informasi resmi dari nara sumber di Biro Pers Istana Kepresidenan atau pejabat di Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Selain itu Detikcom bisa juga menggali informasi dari pihak manajemen Summarecon Mall Bekasi. Pertanyaannya mendasar saja: Apakah kegiatan yang akan dilakukan Presiden di mal ini? Justru bagian ini yang dilakukan oleh portal berita Tempo, yang sengaja mewawancarai pengelola mal sebelum kedatangan Presiden Jokowi ke Bekasi. Sepanjang pengalaman saya menjadi wartawan, mutu suatu berita kerap ditentukan oleh nara sumbernya. Katakanlah misalnya isi suatu berita benar, tapi apakah nara sumber yang diwawancarai itu cukup representatif/otoritatif atau tidak. Kadang orang yang berbicara atau narsum yang menyampaikan informasi kepada publik, ikut menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap media tersebut. Di dunia birokrasi termasuk di lingkungan Pemda, informasi kepada wartawan biasanya disampaikan langsung oleh kepala daerah atau diwakili melalui Humas. Nah, dalam kasus berita Detikcom, informasi awal yang dijadikan sebagai nara sumber adalah Kepala Sub Bagian Publikasi Eksternal Humas Pemkot Bekasi. Menurut saya, kapasitas nara sumber ini kurang kuat. Katakanlah, Kasubbag Humas ini mempunyai kewenangan untuk berbicara dan menyampaikan informasi kepada media, wartawan Detikcom seharusnya bisa melengkapi sekaligus cross check kepada atasannya yakni Kepala Bagian Humas. Dulu, ketika saya bertugas di lapangan meliput kegiatan Pemda, biasanya yang memiliki kewengan berbicara kepada wartawan adalah Kepala Bagian Humas. Sedangkan staf bagian humas di Pemda, biasanya membantu menyediakan data-data kuantitatif yang dibutuhkan wartawan. Ooh ya hampir lupa. Jadi siapa sebenarnya orang yang mengancam akan membunuh wartawan Detik? Saya cari-cari di google, kok engga ada ya. Saya mau nanya ke Pejaten, tapi tidak punya jalurnya kesana. Wallahu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior.
Diktator Itu Pemeras Rakyat
By Furqan Jurdi Jakarta FNN – Kamis (28/05). Bentuk wajah yang merakyat, dan penampilan yang sederhana tidak menjamin seseorang itu menjadi baik. Betapa banyak orang yang tertipu dengan penampilan? Kita di Indonesia, kebanyakan mau untuk ditipu dari bentuk luar saja. Kata Plato, para diktator itu tidak muncul dengan muka yang bengis. Diktator juga tidak dengan wajah yang menyeramkan. Untuk pertama kali diktator itu, berpura-pura bertindak sebagai pelindung. Selalu tersenyum kepada siapapun yang dijumpainya. Bitulah cara diktator menipu pendukungnya. Untuk Indonesia, dapat kita lihat, ada yang masuk gorong-gorong untuk mencari simpati. Berpura-pura sederhana untuk memunculkan rasa kasihan, supaya penipuan tersebut bisa berjalan dengan sempurna. Digunakanlah media dan buzzer untuk menyampaikan kepura-puraan itu kepada masyarakat. Prilaku yang seperti ini sudah kita alami bersama. Tahap selanjutnya, sang diktator itu membuat rakyatnya melarat dengan menarik pajak sana-sini. Iuran BPJS yang tadinya telah diputus oleh pengadilan untuk tidak dinaikkan, justru dinaikkan lagi. Dia mulai melakukan pembangkangan terhadap hokum. Merasa paling berkuasa, sehingga bertindak otoriter. Diktator lalu memaksa rakyat mengabdi kepada kemauan dirinya setiap hari. Kalau ada rakyat yang membangkang, dianggap sebagai pelaku makar. Dituduh melakukan ujaran kebencian, dan dipenjara menanti. Rakyat dibuat takut bila punya keinginan untuk mengkritiknya. Munculnya, suara-suara kritis dianggap sebagai musuh. Tidak jarang suara-suara kritis itu berujung pada proses hukum. Bahkan berakhir di penjara. Lihat saja Said Didu yang terus terang mengatakan sikap culas seorang menteri, malah dilaporkan ke polisi. Proteksi terhadap kritik diperhebat dengan kerja penegak hukum yang bebal. Tidak ada kebebasan. Demokrasi terancam di ujung tanduk. Kekuasaan bertindak semaunya, dan menetapkan kebijakan yang mencekik rakyatnya. Padahal rakyat lagi getir menghadapi situasi sulit. Antara pandemi virus Covid 19 dan krisis ekonomi, rakyat hanya bisa diam membisu. Kalau sampai rakyat berbicara, maka orang-orang bebal akan segera memanggil atau menjemputnya atas nama hukum. Seperti inilah wajah dan keadaan kita sekarang. Otoritarianisme kini jelas Nampak. Kezaliman berdiri menghantam kehidupan rakyat. Ada Perppu Corona yang sudah hah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Corona, setelah disepakati oleh lembaga perwakilan rakyat. Katanya mereka adalah representasi rakyat, tetapi mereka justru menghantam rakyat. Bebal juga mereka anggota DPR itu. UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona itu sudah menetapkan kekebalan hukum bagi mafia-mafia yang ingin melipat-gandakan perampokan uang rakyat. Menggunakan kekuasaan dan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri. Para pemain-pemain tender telah selamat dari ancaman hukuman, baik Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara. Pengawasan sudah tidak berlaku lagi. Fungsi legislasi Lembaga Perwakilan Rakyat sudah tidak ada lagi. Penguasa bisa menetapkan sepihak defisit anggaran negara seenaknya. Dan menetapkan penggunaan dana APBN juga semaunya saja. Celakanya lagi, Lembaga Perwakilan Rakyat gotong-royong mengamini semua itu. Bahkan mengamini dirinya untuk tidak lagi berfungsi. Wartawan senior Hersubeno Arief menyebutnya dengan “Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI” (FNN.co.id 14/05). Lalu untuk apa ada lembaga perwakilan lagi? Hanya menghabiskan uang rakyat? Bukankah ia disebut lembaga perwakilan rakya karena memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Sementara fungsi itu sudah tidak berlaku lagi dalam UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona. Ironisnya lagi, beberapa pasal dalam dua belas undang-undang lainya ditiadakan. Hanya untuk memuluskan rencana penguasa menggunakan anggaran itu semaunya. Tanpa perlu pengawasan. Lembaga Perwakilan Rakyat menerima itu dengan lapang dada. Tragis. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tadinya memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap penggunaan anggaran berdasarkan UUD 1945, ditiadakan oleh UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona . Akhirnya kekuasaan hanya ada pada satu tangan. Kedudukan undang-undang tampaknya lebih tinggi dari konstitusi negara UUD 1945. Kekuasaan pengadilan sebagai satu cabang kekuasaan yang mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan apapun tidak berfungsi dengan UU No. 2 Tahun 2020 tentang Corona ini. Bayangkan setiap kebijakan dan berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah, meskipun itu melanggar hukum, seperti korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya, pengadilan tidak berhak untuk mengadilinya. Luar biasa. Sungguh ironis. Perlu diingat, dalam kekuasaan yang bermental otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme biasanya terjadi secara masif. Demokrasi tidak selalu menjamin kebebasan dan keterbukaan. Kalau lembaga perwakilan sudah tidak berfungsi sebagai pengontrol dan pengawas, penegak hukum sudah menghamba pada kekuasaan. sekarang sudah kita rasakan seperti apa itu DPR, dan penegak hukum. Sederet ketidakadilan terjadi sedemikian rupa. Telanjang di depan mata. Namun kita tidak lagi lagi punya tempat untuk menyampaikan itu secara institusional. Kita hanya berjuang atas nama rakyat, dan berangkat bersama kekuatan rakyat. Lembaga negara sudah tidak bisa diharapkan lagi. Skandal Demi Skandal Ketika otoritarianisme tiba, semua kasus akan bermunculan. Kita belum selesai dengan skandal-skandal besar, justru yang keluar UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk memuluskan jalan para mafia anggaran dan uang negara. Sungguh mencengangkan kita semua. Padahal awal tahun 2020 muncul kasus korupsi besar. Ada kasus Jiwasraya skandal besar yang mengerikan. Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya yang dinilai merupakan skandal terbesar kedua setelah kasus BLBI di rezim sebelumnya. BUMN asuransi jiwa ini mengalami gagal bayar sebesar Rp 13 triliun, dan meminta talangan negara Rp 30 triliun lebih untuk menyehatkan diri. Hebat kan. Kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) kini dirundung kerugian yang diduga mencapai Rp 10 triliun. Akibat dari pengelolaan investasi berupa saham yang mengalami penurunan nilai. Bahkan Mahfud MD sebagai menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan menilai, dua PT Asurasi itu mengalami kerugian karena korupsi. Tidak hanya terpaan korupsi, BUMN pun sedang mengalami masalah serius. Tahun 2016 utang BUMN mencapai Rp 2.263 triliun, lalu pada 2017 melonjak menjadi Rp 4.830 triliun. Sementara pada 2018 meningkat tipis menjadi sebesar Rp 5.271 triliun. Meski sudah mendapatkan suntikan modal dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), BUMN tetap saja mengalami kerugian. Setidaknya yang tercatat 7 BUMN yang masih terus merugi sampai sekarang. Kementerian Keuangan mengalokasikan PMN pada sejumlah perusahaan BUMN di antaranya Rp 65,6 triliun di tahun 2015, dan pada 2016 sebesar Rp 51,9 triliun. Pada 2017 turun drastis menjadi hanya Rp 9,2 triliun serta pada 2018 sebesar Rp 3,6 trilun. Sementara pada 2019 PMN oleh Kemenkeu naik lagi menjadi Rp 20,3 triliun. Untuk tahun 2020, uang pajak yang dialokasikan untuk tambahan modal BUMN turun tipis menjadi sebesar Rp 18,73 triliun. (Data Kompas.com) Meski suntikan modal dari APBN dalam beberapa tahun ini terus dilakukan, rupanya tak menjamin kinerja keuangan perusahaan membaik. Tentu ini ada masalah yang paling fundamental dalam masalah keuangan BUMN. Sangat mungkin kerugian yang dialami oleh BUMN karena korupsi. Peras Rakyat Akibat kondisi keuangan negara yang amburadul, korupsi menjamur. Rakyatlah korbannya. Iuran BPJS yang tadinya dibatalkan naik oleh Mahkamah Agung, kini dinaikkan lagi oleh pemerintah. Kenaikan ini berlaku untuk seluruh peserta. Kenaikannya mencapai dua kali lipat. Begitupun dengan harga sejumlah barang dan jasa direncanakan naik di tahun 2020 ini. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Dengan alasan untuk melarang mudik, tarif sejumlah ruas tol naik pada 2020 ini. Bahkan sebelum Corona, sejumlah ruas jalan tol sudah diputuskan untuk dinaikkan. Rakyat dipalak, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Kebutuhan makanan sehari-hari semakin susah. Di tengah rintihan kesusahan, mulai dari krisis ekonomi hingga memuncak di masa pendemi corona, justru negara mengatur rencananya sendiri untuk menghabiskan uang rakyat. Bahwa penguasa tidak lagi melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Penguasa hanya mau melindungi kepentingan para mafia ekonomi dan makelar politik. Targetnya menguasai Indonesia, sehingga negara ini masuk dalam perangkap negara asing. Pada akhirnya kedaulatan teritorial, kedaulatan hukum, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik tidak lagi dimiliki bangsa Indonesia. Semua kedaulatan dikendalikan oleh mafia, aseng dan Asing. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Ketua Umum Pemuda Madani.
Siapa yang “Ngeprank” Presiden Jokowi?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo berhasil di-prank seorang buruh bernama M. Nuh di Jambi. Lho, koq bisa seorang presiden sampai di-prank rakyatnya sendiri? Niatnya acara konser Berbagi Kasih Bersama Bimbo pada Minggu malam, 17 Mei 2020, itu lelang motor listrik Gesits. Dan, penawar tertinggi dengan nilai Rp 2,55 miliar itu adalah seorang "pengusaha" bernama M. Nuh. Menariknya, label pengusaha itu disematkan oleh pembawa acara artis Wanda Hamidah yang juga seorang politisi. Dan, ternyata Nuh itu seorang buruh harian. Jagad medsos pun ramai ngrumpi lelang motor listrik milik Presiden Joko Widodo yang kena prank seorang buruh harian di Jambi itu. Konser “Berbagi Kasih Bersama Bimbo” itu sendiri diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam akun twiter atas nama Mas Piyu ORI@mas_piyu menulis: Netizen: MOBIL ESEMKA Kalau Dilelang Pasti Laku Rp 11 Triliun, Barang Sangat Langka dan Dicari… Dalam twiter itu disertai foto Jokowi saat menjadi Walikota Solo duduk di atas kap mobil ESEMKA. Akun twiter atas nama Aline Yoana Tan @TanYoa… menuliskannya, Pelajaran Buat Raja Prank: Cemen, Baru Kena Prank 2,55 Milyar Aja Udah Lapor Polisi, Rakyat Kena Prank 11 Ribu Triliun Biasa-Biasa Aja. Taukan Boss Bagaimana Rasanya DiPrank. Beberapa hari terakhir, publik sedang ramai membicarakan soal lelang motor listrik bertanda tangan Presiden Jokowi. Acara lelang motor listrik tersebut diselenggarakan bersama MPR, Minggu (17/5/2020). Ketua MPR Bambang Soesatyo hadir dalam acara itu. Semua bermula dari seorang buruh bangunan bernama M. Nuh yang memenangkan “lelang” tersebut. Setelah memenangkan lelang, Nuh tidak bisa menebus motor listriknya. Walhasil, dia sempat berurusan dengan pihak berwajib. Kini, motor tersebut jatuh ke tangan putra Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo, yakni Warren Tanoesoedibjo. Warren berhasil menjadi pemenang lelang sepeda motor listrik Gesits bertanda tangan Presiden Jokowi dengan penawaran Rp 2,55 miliar. Pada Jumat (22/5/2020), Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama pihak penyelenggara yang dihadiri Olivia Zalianty dan Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslani kembali mengumumkan pemenang lelang motor listrik Gesits itu di Graha BNPB, Jakarta. Kepada Presiden Jokowi, Bamsoet meminta maaf atas permasalahan yang terjadi dalam acara lelang motor listrik tersebut. Ia mengatakan, dirinyalah yang patut disalahkan terkait masalah tersebut. “Saya atas nama seluruh panitia menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada Pak Presiden, kepada Setneg, kalau ada pihak yang harus disalahkan saya orangnya,” ujarnya seperti dilansir Tribunnews.com, Sabtu (23 Mei 2020 11:19) “Saya Bambang Soesatyo yang patut disalahkan. Bukan yang lain, karena saya penanggung jawab acara ini,” tegas. Ia merasa tidak enak hati kepada Presiden Jokowi yang tidak ikut campur apa pun dalam acara itu dan hanya ingin membantu masyarakat di tengah pandemi. “Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan jujur saja saya sampai tidak enak hati ke Pak Presiden, dengan Setneg, karena sebenarnya beliau tidak tahu apa-apa, beliau hanya ingin membantu gagasan para seniman dan para pekerja seni,” ujarnya. Bamsoet mengatakan, pihak penyelenggara penggalangan dana tidak merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan M. Nuh. “Kami kena prank seorang buruh di Jambi yang mengaku pengusaha tambang bernama M. Nuh yang kemudian diamankan Polda Jambi,” ujarnya. Ia juga menyoroti isu miring yang diterpa acara konser secara virtual bertajuk “Berbagi Kasih Bersama Bimbo” tersebut. Menurut Bamsoet, ada seorang wanita di Kalimantan Tengah yang menyebarkan hoaks tentang acara penggalangan dana itu dan sudah diperiksa kepolisian. “Ada penyebar hoaks Konser Virtual Berbagi Kasih Bersama Bimbo oleh emak-emak yang ditangkap Polda Kalteng dengan tujuan menghasut,” tuturnya. Ia meminta kepolisian tidak menahan perempuan tersebut maupun M Nuh yang gagal menebus harga lelang motor listrik. Kapolda Jambi Irjen Firman Santyabudi sebelumnya mengatakan, M. Nuh tidak mengetahui acara yang diikuti merupakan acara lelang. “Yang bersangkutan tidak paham acara yang diikuti adalah lelang,” katanya. “Yang bersangkutan malah mengira bakal dapat hadiah,” kata Irjen Firman melalui pesan singkatnya, Kamis (21/5/2020). Firman juga membantah, kepolisian menangkap M. Nuh. Buruh bangunan itu, kata dia, justru diberikan perlindungan pihak kepolisian. “Karena ketakutan ditagih, dia justru minta perlindungan,” ungkap Irjen Firman. Yang menarik, mengapa sejak acara konser digelar hingga pelaksanaan lelang susulan pada hari Jumat lalu itu, Bamsoet terlihat orang yang paling sibuk. Padahal, pelaksana kegiatan konser ini adalah BPIP, lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Lalu dalam acara tersebut Bamsoet kapasitasnya sebagai apa? Sebagai Ketua MPR-RI? Atau sebagai pengusaha karena dalam acara konser itu Bamsoet juga menggandeng Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani. Justru unsur pimpinan MPR-RI periode 2019-2024, tidak ada satu pun yang turut hadir dalam acara tersebut. Kecuali diantaranya hadir secara virtual. Apalagi, saat acara press conference sekaligus klarifikasinya, Bamsoet menyebut dirinya sebagai penanggungjawabnya. Tjahja Gunawan, wartawan senior, dalam tulisannya menyatakan, jika menyimak narasi dan diksi yang disampaikan Bamsoet ketika mengawali pernyataan klarifikasnya pada wartawan, jelas dia bukan dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI. Sebab dalam praktek ketatanegaraan, posisi Ketua MPR-RI sesungguhnya lebih tinggi dari Presiden. Sehingga, dalam berbagai acara kenegaraan, Ketua MPR-RI lazimnya menyebut dengan kata “saudara” kepada Presiden.Kalau bukan sebagai Ketua MPR, masyarakat bisa saja menduga Bamsoet sedang menjadi Event Organizer (EO) atau penyelenggara kegiatan konser yang diadakan oleh BPIP. Tapi, masyarakat pun bisa bertanya lagi: Pantaskah seorang Bamsoet yang nota bene sebagai Ketua MPR merangkap sebagai EO? Bagaimanapun jabatan dan pangkat itu tetap melekat pada diri seseorang. Nama Bamsoet tidak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai Ketua MPR-RI. Kok bisa sih dia menjadi EO? Bukankah Bamsoet sudah tajir melintir, di mana berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2018, harta kekayaan Ketua MPR-RI dari Fraksi Golkar ini sebesar Rp 98.019.420.429 (Rp 98 miliar lebih). Sebagian besar harta kekayaan Bamsoet berupa tanah dan bangunan yang bernilai Rp 71.217.095.000. Sementara itu, untuk harta berupa alat transportasi dan mesin berjumlah Rp 18.560.000.000. Tercatat, ada 13 kendaraan yang ia miliki, seperti motor Harley Davidson, mobil Rollsroyce Phantom Sedan, dan lain-lain. Jadi, kalau Bamsoet mau membantu masyarakat yang terdampak atau menjadi korban wabah Covid-19, maka dia pribadi sebenarnya bisa memberikan sumbangan langsung kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Menurut Tjahja Gunawan, cara lainnya, bisa saja Bamsoet menggelar lelang sendiri dengan misalnya, melelang sebagian kendaraan mewahnya untuk disumbangkan bagi kepentingan penanganan wabah Covid-19. Atau katakanlah dalam acara konser BPIP itu dia ingin berpartisipasi lebih, maka Bamsoet bisa saja ikut menawar motor listrik yang dilelang itu. Ini kok seperti sengaja dibuat drama yang akhirnya berujung pada tragedi. Karena kemudian menjadi bahan cemoohan masyarakat setelah lelang motor listrik tersebut berhasil di-prank oleh M. Nuh, seorang buruh yang tinggal di Jambi. Celakanya, Bamsoet menuding komentar dari para netizen sebagai gorengan. Padahal, yang terjadi justru acara konser tersebut seperti sebuah dagelan politik yang tidak lucu. Tragedi konser BPIP justru menunjukkan kepada dunia, para pemimpin di Indonesia ini tidak kompak dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Kebijakan yang telah dibuat dalam menghadapi pencegahan penyebaran Covid-19 kemudian diubah sendiri oleh pemerintah. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang sangat buruk. Manajemen pemerintah yang menyedihkan ini kemudian ditambah dengan persoalan “Konser Prank” BPIP yang amburadul. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan para pemimpin di negeri ini. Dalam Konser BPIP tersebut bukan hanya telah terjadi acara lelang kaleng-kaleng alias tipu-tipu, tapi dalam acara itu juga telah memberikan contoh buruk kepada masyarakat di tengah wabah Covid-19. Pada akhir acara konser itu, Bamsoet bersama para seniman dan artis yang hadir foto bersama di atas panggung tanpa mengindahkan aturan soal Physical Distancing. Penulis Wartawan Senior.
Malapetaka The New Normal Tata Negara
By Dr. Margarito Kamis Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara ialah semangat. Semangat para penyelenggara negara. Semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tidak ada artinya dalam praktik. (Profesor Soepomo, Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) Jakarta FNN – Rabu (27/05). Suatu malam di bulan ini mendadak terbelah oleh pernyataan Presiden mengenai mudik dan pulang kampung. Dua kata itu, tak sama menurut Presiden. Ramai dibincangkan orang. Dan belum benar-benar mengering, muncul lagi isu lain. Bangsa ini, begitu esensi pernyataan Presiden harus berdamai. Hidup berdampingan dengan corona. Belum benar-benar menghilang isu ini, datang lagi isu baru, “pelonggaran PSBB”. Ramai juga dibincankan dalam cengkeraman kebingungan dan tak percaya. Terencana atau tidak, terkordinasi atau tidak. Menjelang penghujung Ramdahan Al-Mubarakh, rakyat tercekoki lagi ke isu baru. Namanya “The New Normal.” Ditengah gelombang mencekam itu, konser amal berbaju lelang, kalau tak salah di malam Nudzulul Qur’an. Konser yang akhirnya memalukan. Hadir dengan nuansa keangkuhan yang absolut. Bung Karno dan Soepomo Suka-suka, itulah yang terlihat menjadi pola pemerintahan mengelola negara ini. Memang demokrasi memungkinkannya. Demokrasi malah akan semakin mengandalkannya, bila tampilan pemerintahan teridentifikasi rusak. Rute kongkritnya, kebijakan formil dibiarkan berada di kejauhan. Bibungkus manis dan ketat dengan simptomnya. Ketika simptomnya diyakini telah membelit rakyat, barulah kebijakan resmi yang berada di kejauhan diresmikan. Ya diberi bentuk hukum. Ini standarnya. Ini agak absolut, karena demokrasi menjadikan legitimasi sebagai jimat ampuhnya. Setelah legitimasi samar-samar terlihat mulai memasyarakat dengan meyakinkan, demokrasi segera pergi ke gudang tata negara. Dari gudang itulah, demokrasi mengambil darinya senjata mematikan. Namanya keadaan genting. Lahirlah Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya panjang sekali itu. Perpu ini angkuh seangkuh demokrasi. Kebutuhan demokrasi bekerja lagi dengan memanggil tata negara membereskan misi Perpu. Lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang sama dengan judul Perpu, judul PP ini juga sangat panjang. Di tengah itu, keangkuhan demokrasi membiarkan harga minyak tak kunjung turun. Semuanya terlihat new normal. Sifat new normal itu terlihat pada kedatangan Presiden ke mall Sumarecom di Bekasi. Sungguh new normal disambut dan direalisasikan Kementerian BUMN dan Kementerian Kesehatan. Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Edaran Nomor S-336/MBU/05/2020 Tentang Antisipasi Skenario The New Normal BUMN. Di sisi lain Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Nomor 01.07/Menkes/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Kelangsungan Usaha pada Situasi Pandemik. Begitulah sistem bernegara bekerja di tengah gempuran corona dengan segala efek melumpuhkannya. Begitulah bangsa ini mengelola dirinya sejauh ini. Begitulah cara bangsa ini mengidentifikasi dan menghidupkan pesan arif para pembentuk UUD 1945 dulu. Politik memang bersinggungan dengan keberuntungan. Sayangnya, bangsa besar ini tak beruntung sejauh ini. DPR, yang para pembentuk UUD 1945 andalkan untuk memastikan kekuasaan pemerintah tidak tak terbatas, sejauh ini dituntun demokrasi acak-kadul berbasis semangat persekutuan konyol mengambil jarak dari harapan pembuat UUD 1945. Sayang sekali. DPR, semoga bukan new normal. Nyatanya DPR mengambil jarak begitu jauh dari pandangan Bung Karno, Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Pandangan Bung Karno dikemukakan pada rapat besar Panitia Perancang UUD tanggal 15 Juli 1945. Katanya, tadi telah saya menyitir perkataan Jaures, yang menyatakan bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen jadi rapat raja-raja. Di dalam parlemen, lanjut Bung Karno, tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota berkuasa sebagai raja. Dia menggugurkan rancangan-rancangan yang dibuat oleh pemerintah. Dia bisa menggugurkan minister-minister dari pada singgasananya. Tetapi pada saat yang sama ia berkuasa sebagai raja. Dia, kata Bung Karno selanjutnya, adalah budak belian dari pada si majikan. Yang bisa melemparkan dia dari pekerjaan, sehingga ia menjadi orang miskin, yang tidak punya pekerjaan. Inilah konflik dalam kalbu liberalisme, yang telah menjelma dalam parlementaire democratie-nya bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. (lihat RM. A.B Kusuma, 2004). Profesor Soepomo, dalam tanggapannya kepada Muh. Yamin tentang menteri bertanggung jawab kepada DPR, menyodorkan pendapat menarik. Kata Profesor, akan tetapi kita harus mengingat juga bahwa dalam negara-negara ini, seperti Inggris, ada partai system. Kalau pemerintah “disokong partai terbesar di parlemen, sebetulnya pemerintah itu punya kekuasaan yang beasar sekali. Oleh karena itu, profesor Soepomo melanjutkan, orang seringkali mengatakan bahwa di Inggris itu ada dictatorial stelsel dari Menteri, terutama diktatur dari Perdana Menteri. Kita, kata Profesor, memakai sistem sendiri, sebagaimana dikatakan oleh tuan Sukiman. Sistem itu ialah kepala negara tak tunduk pada Badan Perwaklilan Rakyat (BPR). Tetapi bertanggung jawab sepenuhnya kepada MPR. Apa yang bisa dimaknai dari pandangan hebat-hebat ini? Itu hebat untuk old normal. New normal lain lagi. Hindarkanlah MPR hasil perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali 1999-2002, sudah lain dari yang lain. Sifat tertingginya telah tersapu cinta buta demokrasi. MPR dulu telah melayang, terbang entah kemana. MPR itu telah terkubur. MPR itu telah masuk kedalam kubangan tipu-tipu canggih demokrasi liberal. MPR sekarang tak lagi menjadi lembaga yang padanya pertanggung jawaban Presiden ditujukan. Hebatnya sistem presidensial hasilperubahan UUD 1945, persis Amerika. Presiden tak bertanggung jawab pada DPR, juga tak bertanggung jawab pada lembaga apapun. Sempurna liberalismenya. Presidensialisme Indonesia hasil perubahan UUD 1945 beroperasi dalam rimba raya partai politik. Presidensialisme hasil pemilu 2019, beroperasi dalam topangan buta mayoritas partai di DPR. Tetapi memang demokrasi selalu begitu. Demokrasi tak dapat memaksa parpol untuk tertib tunduk pada pesan-pesan arif pembuat UUD. Hasilnya? New normal. Mengerikan. Hak budget, yang merupakan mahkota DPR dimanapun di dunia ini, dilepas dengan senang hati. Mungkin juga sukacita. Presidenalisme bekerja superefektif, mendekati tak terbatas. Presidensialisme dibiarkan bekerja secara independen. New normal, tak memungkinkan DPR diminta. Misalnya, mengoreksi iuran BJPS, juga harga minyak. Ini new normal. Yang paling mungkin adalah memanggil doa. Berdoalah agar tampilan persekutuan angkuh ala demokrasi busuk ini berubah. Tidak semakin membuat suram tata negara ini. Tak usah dikuasi ketakutan. Tapi mari berdoa semoga “new normal” tidak terus-terusan membuat “kritik terhadap pemerintah disamakan dengan memfitnah, menghina, lalu dipenjara”. Berharaplah kepada Allah Subhanahu Azza wa Jalla agar DPR dan Presiden tahu bahwa impian bernegara secara modern, berutang banyak pada norma hukum alam tentang kemuliaan manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hukum alam menggariskan, manusia tidak bisa direndahkan untuk alasan dan kepentingan apapun. Ini memompa energi kemanusiaan Sir Edward Coke, yang kala itu menjabat sebagai Chief Justice of King Bens menantang raja James I. Coke lalu mengambil sudut oposisi tulen terhadap Raja James I. Raja ini telah terbakar ambisi dan keangkuhan, sehingga selalu ingin menaklukan parlemen. Ketika James I meminta kepada parlemen mengotorisasi dana sebesar E500.000, tenyata parlemen hanya menyetujui E160.000. Raja marah. Tidak cukup untuk membiayai perang dengan Spanyol. Lalu dengan hak prerogativenya, James memaksa parlemen memberi penjelasan, dan memperbesar jumlahnya. Celaka, parlemen menolak. Marah terhadap sikap parlemen, menurut Charles J. Reid dalam buku “The Sevententh-Century Revolution in the English Law, mengakibatkan James I membubarkan parlemen. Ini terjadi tahun 1621. Menariknya, hingga kekuasaannya berakhir tahun 1625, parlemen tetap tak memenuhi permintaannya. Penerusnya, Charles I yang berkuasa tahun 1626 segera merehabilitasi parlemen. Tetapi parlemen tak pernah mau tunduk prerogatifnya di bidang keuangan. Sepanjang 1626-1629, Charles mengadakan empat kali pertemuan dengan parlemen, dan setiap kali pertemuan selalu penuh badai. Indonesia Seperti Abad 17 Berakhirkah oposisi Sir Edward Coke terhadap kerajaan? Tidak. Menurut C. Perry Petterson dalam artikel The Evolution of Constitutionalism, dimuat pada Jurnal Minesotta Law Review Vol 32, Nomor 5, Coke membuat draft Petition of Rights 1628. Dalam doktrin Amerika, petition ini membatasi kekuasaan raja. Perkara yang membawa Coke berhadapan dengan James adalah kerajaan melarang Bonham, dokter lulusan Cambridge University berpraktek di London sebelum mendapat licency dari Royal Colege of Psysican. Bonhan menolak. Colege, yang menurut Act of Parliement 1610, diotorisasi bertindak atas nama kerajaan, memeriksa dan menghukum Bonham. Coke mengeritik kerajaan atas tindakan itu. Argumennya, undang-undang ini bertentangan dengan common law. Menurut Coke, UU ini harus dikesampingkan, direview karena bertentangan dengan common law. Ini terjadi 1614. (Lihat R.H. Helmolz, dalam Bonhan Case, Judicial Review and The Law of Nature, Jurnal of Legal Analisis Vol 1, Nomor 1, 2009). James I masih beraksi lagi. Atas nama prerogative, dia menghukum Edmund Peachem, anti royal. Dia dihukum mati dengan tuduhan high treason, kejahatan berat. Apa kejahatannya? Setelah mati, penyelidikan kerajaan menemukan catatan Peachem yang belum didistribusikan, apalagi dicetak. Isinya mengeritik kerajaan. Sebagaimana kritik, anda tidak menemukan kata-kata arif di dalamnya. Tetapi catatan itu membuat James I mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Kurang dari sembilan minggu setelah itu, mulai tersibak gairah parlemen menghentikan, “hak prerogatif” raja dalam bidang keuangan. Coke mengeras melawan kerajaan, karena menemukan kenyataan cara kerajaan menyelidiki, memeriksan Peachem dinilai bertentangan dengan hukum alam. Setidaknya common law. Coke berpendapat, sekalipun pengadilan berada dalam kekuasaan kerajaan, tetapi hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan secara mendalam. David Colclough, Cyntia Clegg dan sarjana lainnya menggambarkan kasus ini sebagai masalah sentral kebebasan berpendapat dan pencetakan pada abad ke-17 dalam kerangka kebebasan berpolitik. David Zert disisi lain menggambarkannya sebagai balada kebebasan berbicara pada era pertumbuhan demokrasi (Lihat Tod Butler, The Cognitive Politics of Writing in Jacobean England: Bacon, Coke, and the Case of Edmund Peachem, Pensilvania Univ. Press, 2016). Indonesia hari ini terlihat berada sangat dekat dengan praktik tipikal abad 17 itu. Mengeritik kebijakan, disamakan dengan mengeritik pribadi pejabat negara. Dengan semangat yang mirip, pemerintah menempuh cara, entah apa namanya, menangguhkan sementara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta. Demokrasi tak memberi tempat untuk bersedih. Tetapi mari ingatkan DPR untuk meresapi pesan Profesor Soepomo. Katanya pada rapat besar Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.” Semangat apa? Bukan semangat liberal, bukan pula semangat gotong royong tanpa arah. Semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat mengayomi rakyat, tanpa pandang asal-usul, kekuatan ekonomi dan sejenisnya. Itulah semangat yang didambakan Soepomo dan kawan-kawan. Sedetik saja semangat ini melayang, maka the new normal, dengan “the new norm-nya” menjadi malapetaka buat bangsa ini. Serpihan-serpihan new norma yang dihasilkan oleh new normal dibidang tata negara saat ini, untuk alasan kesehatan bangsa ini, harus dihindarkan. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.
New Normal Atau New Mortal
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (27/05). New normal tentu berbeda dengan old normal. Pak Jokowi melempar istilah ini untuk melewati eranya pandemi covid 19. Bermula tentu saja dari Kemenkes atau bahkan dunia. Namun sayngnya, pemaknaannya belum jelas. Masih kabur. Sepertinya Pak Jokowi asal "nyeletuk" saja. Sama seperti dahulu Pak Jokowi asal “nyelutuk” tentang penerapan darurat sipil. Juga pernah “nyelutuk” atau pernah juga manipulator agama. Ada up normal ada juga para normal atau abnormal. New normal itu mungkin saja kehidupan normal model baru. Mantan covid atau bersama dengan covid. Kecenderungannya "berdamai" bersama covid 19. Pak Jokowi mulai dating membuka-buka mall. Hanya Masjid saja yang masih dinggap "abnormal". Mesjid masih tutup. Dalam pilihan ini, namanya herd immunity. Suatu kebijakan yang terbilang kacau, karena Presiden lebih mendahulukan kehidupan bisnis dibanding ancaman kesehatan. “Indonesia terserah Presiden saja, “kata Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Margarito Kamis (fnn.co.id 27/05). Akhirnya, terserah mau-maunya Presiden saja lah. Mau PSBB ya silahkan. Perppu korupsi ya mangga. Darurat kesehatan juga monggo. Mau new normal lanjut. Pake para normal juga dipersilahkeun. Terserah Presiden saja. Negara dianggapnya punya Presiden ini. Rakyat mah ngga pada ngarti. Mereka cuma bisanya nrimo. Nggak menanam sayur ya oke. Terima impor sayur dari Cina, ya good saja. BPJS dinaikin, ya disuruh bahagia. Harga BBM tidak turun, juga ngga apa-apa. Yo wis, terserah bapak Presiden saja. Mau serius please. Mau planga-plongo juga ngga peduli. Sekarepe dewe wae. New normal itu diada-adakan saja. Covid 19 masih mengacak-acak perasaan manusia. Dokter dan tenaga medis masih sangat khawatir.Meraka yang ODP dan PDP belum stabil. Kalau sampai New normal gagal, Presiden harus ambil risiko. Siap dengan segala resiko ya. Jangan salahkan siapa-sipa. Jangan juga sampai Presiden salahkan rakyat atau tenaga medis. Tetapi pertanyaannya, apakah rakyat masih merasa punya Presiden ? Yang ada seleb yang dipaksakan muncul dan disubur-suburkan. New normal itu sama saja mendeklarasi sudah tidak ada lagi bencana nasional. New normal itu menyelesaikan PSBB. New normal adalah ilusi tentang situasi yang sudah kembali normal. Seperti di negeri khayalan. New nor mall adalah pastinya. Mall yang resmi dibuka dimana-mana. Kepentingan pengusaha yang didahulukan. Mahfud MD masih saja teriak-teriak agar Masjid tetap tutup. Mengaitkan dengan Iran yang ribuan jamaah masjid mati tertular. Tidak relevan sebab di Iran juga banyak pejabat yang mati juga. Lagi pula, kehidupan beragama kaum syi'ah Iran itu berbeda dengan kaum muslimin pada umumnya di dunia. Bedanya seperti langit dan bumi Sekarang Pak Mahfud MD cobalah teriak soal kebijakan new normal yang membuka mall, bandara, atau lainnya. Tegur dong Pak Presiden kalau berani. PSBB yang diinjak-injak demi bisnis yang harus hidup. Menkopolhukam harus berlaku adil bagi seluruh warga negara. Ketika Covid 19 belum tuntas teratasi, maka belum waktunya untuk kebijakan new normal. Pilihan masih berat. Jangan-jangan karena tergesa gesa melangkah dengan new normal, justru yang terjadi adalah new mortal. Kebrutalan baru. Kematian baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mengapa Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi? Tahukah Siapa Pemiliknya?
Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Maaf saya menyangsikan tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi dalam rangka persiapan "New Normal" pasca pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Baiklah, sebelum membahas itu, saya awali uraian ini dengan menjawab pertanyaan atas judul tulisan ini. Ya, mengapa Presiden Jokowi hari Selasa siang (26/5) tiba-tiba mendatangi Mall Summarecon Bekasi? Padahal di Bekasi paling tidak ada dua mall besar lainnnya yang terletak di lokasi strategis yakni Metropolitan Mall dan Grand Metropolitan. Tahukah Anda siapa pemilik Summarecon Mall Bekasi? Dia adalah pengusaha properti Sutjipto Nagaria (79). Sutjipto adalah pendiri sekaligus pemilik PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Selain di Bekasi, produk perusahaan properti yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini juga terdapat di Kelapa Gading Jakarta Utara, Serpong Tangerang, dan Bandung Jawa Barat. Keberadaan mall yang dibangun Summarecon merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari produk properti lainnya yakni kawasan perumahan dan apartemen yang dibangun secara terpadu dalam satu kawasan. Mari kita lihat kinerja keuangan perusahaan properti ini. Pada tahun 2019, pendapatan PT Summarecon Agung Tbk sebesar Rp 5,94 Trilyun sedangkan laba bersihnya Rp 514 Milyar. Sedangkan liabilitas (utang) perseroan sepanjang tahun 2019 naik 5,2 persen menjadi Rp14,99 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp14,23 triliun. Jajaran Orang Terkaya Meski utang perusahaan besar, tahun 2015, Sutjipto Nagaria pernah masuk dalam jajaran orang terkaya versi Forbes dengan total kekayaan 400 juta dollar AS atau Rp 6 Triliun dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS. Kembali pada kunjungan Presiden Jokowi. Sebenarnya ada wabah atau tidak ada pandemi Covid19, kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi telah memberi manfaat langsung dan keuntungan bagi perusahaan. Jika melihat perdagangan di BEI hari Selasa (26/5), harga saham PT Summarecon Agung Tbk naik 4,31 persen menjadi Rp 436 per saham. Berdasarkan pengalaman saya sebagai wartawan ekonomi selama 20 tahun khususnya liputan di bidang properti, naik turunnya harga saham selain ditentukan faktor teknikal juga dipengaruhi faktor psikologis. Dalam situasi pasar keuangan global yang sedang lesu seperti saat ini, kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi telah memberikan sentimen positif terhadap kenaikan saham Summarecon Agung. Dari sisi teknikal, nyaris tidak ada faktor positif yang bisa mendorong kenaikan harga saham PT Summarecon Agung. Mengapa ? Karena secara umum industri properti saat ini juga sedang lesu. Kini penjualan berbagai produk properti pada umumnya menurun. Penjualan rumah, apartemen, kondominium serta produk properti komersial lainnya, sekarang sedang menukik tajam. Dalam situasi wabah Covid19 ini, masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan sandang ketimbang keperluan papan (perumahan). Keadaan tersebut diperparah dengan pemberlakuan PSBB. Sebab dengan adanya PSBB, hampir semua pusat perbelanjaan modern juga harus tutup kecuali untuk tenant yang menjual kebutuhan pangan. Oleh karena itu sekali lagi saya agak meragukan tujuan kunjungan Presiden ke Summarecon Mall Bekasi dalam rangka persiapan pemberlakuan "New Normal" pasca PSBB. Apalagi Menko Polhukam Mahfud MD sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara menyatakan kebijakan “New Normal” di tengah pandemi virus corona (Covid-19) baru sebatas wacana dan belum ada keputusan resmi dari pemerintah. "Sekarang ini pemerintah, saya katakan sebagai Menko Polhukam, ada wacana, belum keputusan wacana bagaimana tentang new normal ini," kata Mahfud dalam sambutannya di acara Halal bi Halal IKA UNS yang disiarkan di kanal Youtube Universitas Negeri Sebelas Maret, Selasa (26/5). Kalau kebijakan “New Normal” masih wacana, lalu tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi untuk apa? Apalagi perpanjangan pemberlakuan PSBB di Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota Depok dan Kota serta Kabupaten Bogor baru akan berakhir tanggal 29 Mei 2020. Memang seharusnya PSBB di lima wilayah kota dan kabupaten Bodebek itu berakhir Selasa (26/5/2020). Namun, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melalui Keputusan Gubernur yang ia teken pada 19 Mei 2020 meminta agar PSBB wilayah Bodebek menyelaraskan diri dengan periode PSBB Jawa Barat. "PSBB Tingkat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam rangka Percepatan Penanggulangan Covid-19 dilanjutkan dengan skala proporsional sampai dengan tanggal 29 Mei 2020," tulis Ridwan Kamil sebagaimana diberitakan portal berita Kompas. Dari kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi, terkesan penguasa bersikeras untuk sesegera mungkin memberlakukan “New Normal” (baca membuka mall). Padahal, kurva belum melandai? Padahal kebijakan yang sekarang saja amburadul? Menurut Ustadz Yudha Pedyanto, sejatinya “New Normal” adalah tuntutan para kapitalis dan pemilik modal. Mereka tidak mau terus merugi. Para pemilik mall, para pemilik jaringan hotel besar, para pemilik maskapai penerbangan, para pemilik raksasa migas, mereka yang selama ini "sakratul maut" akibat pandemi berusaha untuk bangkit kembali. Tentu saja mereka tinggal menekan para penguasa beserta kroni mereka. Toh mereka dulu jadi penguasa lewat pemilu yang kemarin di-support penuh oleh para kapitalis tersebut. Wallohualam bhisawab. Penulis Wartawan Senior.
RUU HIP Membuat Negara Terancam Bubar
By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Selasa (26/05). Tulisan ini adalah ringkasan surat berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP), yang saya layangkan 12 Mei 2020 kepada para Ketua Fraksi di DPR RI. Bila disahkan menjadi UU, hemat saya, akan sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan luhur kita akan buyar dan Indonesia terancam bubar. Masyarakat wajib hukumnya untuk mengetahui RUU yang sangat membahayakan bangsa dan negara Indonesia ini. Tidak boleh tidak tahu. RUU ini saya sebut saja “RUU HIP”. Sedikitnya ada lima alasan utama dan mendasar kenapa RUU HIP mutlak harus ditolak. Pertama, alasan untuk membentuk UU HIP terasa sangat mengada-ada. Dalam konsideran RUU HIP disebutkan, “UU HIP perlu dibentuk sebab belum ada UU dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila sebagai landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945”. Sangat aneh. Apakah selama 74 tahun Indonesia merdeka, penyelenggara negara melaksanakan tugasnya dengan tanpa landasan hukum Ideologi Pancasila? Lalu, apa artinya “Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara”? Atau, apakah hukum dan perundang-undangan yang berlaku selama ini tidak sesuai dengan Pancasila ? Bukankah semua pejabat negara disumpah untuk setia dan melaksanakan Pancasila ? Bukankah HTI “dibubarkan”, dan FPI tidak diperpanjang tanda terdaftarnya karena persoalan ideology Pancasila ? Alasan ini sungguh-sungguh membingungkan dan menyesatkan. Pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, adalah UUD 1945 itu sendiri. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar bagi tata kelola sekaligus penunjuk arah atau haluan pembangunan Negara Indonesia. UUD 1945 dilahirkan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Batang tubuh UUD 1945 seluruhnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nila jiwa dan semangat Pancasila, dalam bentuk UU sebagai landasan hukum bagi mencapai tujuan bernegara. Oleh sebab itu, UUD 1945 adalah merupakan “Haluan Ideologi Pancasila. Dus, tidak perlu dan tidak butuh adanya UU HIP. Kedua, kehadiran UU HIP dapat menimbulkan kekacauan tata hukum nasional. Secara hirarki, UU HIP seharusnya ada di bawah UUD 1945. Konsideran untuk membentuk UU HIP adalah berupa Ketetapan-ketetapan MPR, sehingga UU HIP boleh diartikan sebagai derivasi dari Ketetapan-Ketetapan MPR itu . Dilihat dari objek hukumnya, yaitu Pancasila yang diundangkan sebagai haluan ideologi, UU HIP dapat dipandang sebagai “Makna Pancasila”. Dalam penerapan, kedudukannya bisa setara dengan UUD 1945. Bahkan dapat berada di atas UUD 1945, karena UU HIP dapat dimaknai sebagai Pancasila itu sendiri. Dengan demikian UU HIP dapat menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Bahkan UUD 1945 pun harus tunduk pada UU HIP, karena berada di bawahnya. Bagaimana realitasnya nanti, akan sangat tergantung pada penafsiran yang dibuat oleh penguasa. Ini sangat berbahaya. Pandangan saya ini tergambar jelas pada BAB II pasal 4 RUU HIP tentang fungsi Haluan Ideologi Pancasila, yang sesungguhnya adalah merupakan fungsi dari UUD 1945. Inilah bunyi Pasal 4 tersebut, Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi sebagai : Pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mewujudkan mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan; Ketiga, RUU HIP ini sungguh-sungguh sangat aneh. Di dalam konsideran tidak disebutkan legalitas Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Yang demikian ini mengakibatkan ketidakjelasan tentang Pancasila yang menjadi objek yang akan diundangkan. Bicara Pancasila, tentu saja kaitannya dengan dasar falsafah negara. Dengan demikian, harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Hal ini dipertegas kembali dalam Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998, khususnya pada Pasal 1. Dasar hukum Berlakunya Pancasila dan UUD 1945 saat ini, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh karena itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wajib masuk dalam konsideran. Yang demikian itu, agar jelas dan teranglah Pancasila yang mana yang dimaksud oleh RUU HIP itu. Perdebatan-perdebatan akademik dan demokratis di dalam Majelis Konstituante menjelang lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, juga akan memberi keterangan yang lebih jelas tentang Pancasila yang dapat diterima semua golongan bangsa ini. Maka, mengabaikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam melahirkan UU apa pun soal Pancasila adalah cacat hukum. Tidak sah dan akan berujung pada kekacauan. Konsideran penting yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, sehingga diterima semua kalangan adalah : “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Apa makna konsideran tersebut ? Perdana Mentri Djuanda, Kepala Pemerintahan saat itu menjelaskan bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (lihat Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakiem : Biografi Mohammad Natsir, 2019). Keempat, pada Pasal 6 ayat (1) RUU HIP disebut bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pada Pasal 7 ayat (2), Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pada ayat (3),Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Pasal ini membuat keanehan yang sangat serius. Pancasila apa yang dimaksud oleh RUU HIP, yang memiliki sendi pokok keadilan sosial dan ciri pokoknya adalah dapat diperas menjadi Trisila dan selanjutnya Ekasila, yaitu gotong-royong? Jika yang dimaksud adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 145, yang berlakuannya atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka sendi utamanya (kalau mau pakai istilah ini) adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah satu prinsip dari lima prinsip (Pancasila), yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan. Ia adalah mimpi bangsa Indonesia merdeka yang belum dimiliki. Simaklah baik-baik akhir aline ke 4 Pembukaan UUD 145 itu: “...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Frasa “dengan mewujudkan” memberi arti bahwa keadilaan itu adalah sesuatu (mimpi yang belum terwujud) yang masih harus digapai. Bagaimana menjadikan sesuatu yang masih ada dalam mimpi sebagai sendi? Perdebatan di BPUPKI pada persidangan 29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan di Majelis Konstituante hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sesungguhnya bertumpu pada “posisi Tuhan dalam negara”. Pada waktu Sidang BPUPKI, golongan nasionalis sekuler menghendaki negara ini berdasarkan sekuler, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi masing-masing. Tidak dibawa ke dalam urusan bernegara. Ketika itu golongan Nasionalis Islamis menghendaki berdasakan Islam, dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama). Perdebatan ini terjadi karena masyarakat pada masa sebelum merdeka pun, telah memiliki Tuhan dan menjadikan-Nya sebagai tempat bergantung satu-satunya. Tinggal lagi, dimana Tuhan Yang Maha Segala itu ditempatkan dalam berbangsa dan bernegara? Itulah soalnya. Kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara itu ialah rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 yang terjadi pada 18 Agustus 45, yakni rumusan Piagam Jakarta minus tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negara bukan berdasarkan Islam, tapi juga bukan berdasar sekuler. Tuhan di tempatkan sebagai Causa Prima. Istilah ini datang dari Bung Karno. Tuhan menjadi jiwa seluruh sila dari Pancasila, termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah kesepakatan luhur yang diterima semua komponen bangsa dengan suka cita ketika itu. Jadi, negara ini lahir atas dasar kesepakatan. Landasan falsafah negara merupakan kesepakatan bersama. Menjadi titik temu, common platform bagi semua aliran politik yang ada. Sendi pokok landasan falsafah negaranya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan Trisila. Bukan pula Ekasila dan Gotong-royong. Maknya DPR jangan ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng. Negara ini akan tetap teguh dan eksis bila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ditempatkan sebagai Causa Prima. Sebagai yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila. Akan bubar, bila posisi Ketuhanan Yang Maha Esa digeser atau dikerdilkan. Itulah arti sendi Utama. Berbeda dengan keadilan sosial, sebagai cita-cita bangsa, bila belum tercapai. Tetapi bukan karena kedzaliman penguasa, negara tidak akan bubar. Selanjutnya, ciri pokok (kalau juga mau menggunakan istilah ini) rumusan final Pancasila sebagai termaktub dalam Pembukaan UUD 145, adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila. Merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dan tidak boleh diperas-peras menjadi Trisila. Apalagi Ekasila. Pemerasan Pancasila menjadi berapa sila pun akan menghancurkan Pancasila itu sendiri. Juga menghancurkan kesepakatan luhur kita dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila , yakni Gotongroyong adalah gagasan Bung Karno pribadi, yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Itu bukan kesepakatan. Melainkan baru berupa usulan dari Bung Karno seorang diri. Sama dengan usulan-usalan lain yang disampaikan oleh para tokoh lainnya. Jadi, RUU HIP menggunakan objek Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Pancasila yang masih berupa usulan. Pancasilan yang masih gagasan di awan-awan. Bila disahkan menjadi UU, maka UUD HIP akan kehilangan konteks hukum di negara Indonesia. Itulah yang saya sebut tidak sah. Para anggota DPR RI yang terhormat sedang menyeret bangsa ini ke masa-masa sebelum merdeka. Masa-masa perdebatan tajam soal dasar falsafah negara. Tepatnya masa-masa persidangan di BPUPKI. Para anggota DPR RI sedang mengurai benang yang telah ditenun menjadi kain oleh the founding fathers menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali. Maka dalam hal ini, para angggota DPR RI telah dengan sengaja melanggar konstitusi. Menghianati kesepakatan luhur bangsa tentang Pancasila. memanipulasi isi dan ruh Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dengan isi Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Artinya, casing tetap Pancasila tapi isinya telah diganti oleh para anggota dewan. Ini kejahatan yang membahayakan nyata kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik Ideologi akan membara dan NKRI bisa bubar. Setidaknya, Indonesia akan tumbuh menjadi negara lain yang berbeda. Yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya . Casingnya tetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain. Sama juga artinya Indonesia sudah bubar. Kelima, Tuhan dalam RUU HIP telah dikrangkeng, lalu menghilang. Tuhan adalah sub ordinat dari kebudayaan. Ini benar-benar gelo, ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng. Coba lihatlah Pasal 7 ayat (2), “Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Pertanyaannya, Tuhan siapa yang berkebudayaan itu wahai anggota DPR yang ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng? Apakah kita akan mengukur sifat ketuhanan dengan kebudayaan ? Tuhan dikerangkeng dalam Trisila. Selanjutnya menghilang di Ekasila. Tidak salah bila banyak pihak mencurigai RUU HIP ini berbau komunis. Kalau begini rakyat harus siaga satu. Terlalu banyak alasan untuk menolak RUU HIP ini. Tetapi lima poin di atas kiranya cukup bagi anggota dewan untuk tidak mensahkannya menjadi UU. Saya mengajak para tokoh masyarakat kaum intlektual dan pimpinan Ormas yang setia pada Pancasila untuk bersama-sama menolak RUU HIP ini. Penulis adalah Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI
Indonesia Terserah Presiden Saja
By Dr. Margarito Kamis Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Ilham. Allahu Akbar Kabira, Walhamdulillahi Katsira, Wasubhanallahi Bukratau Wa’asila. Lailaha Illallah Wala Na’budu Illa Iyahu. Muhlisina Lahuddina, Walaokarihal Kafirun, Walau Karihal Munafikun, Walau Kahiral Musrikun. Lailaha Ilaha Illallahu Wahdah, Shadaqa Wahda, Wanasra Abdah, Wa A’zzazundah, Wahdamal Ahda Bawahdah. Lailaha Illallah Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Hamdu. Jakarta FNN – Senin (25/05). Pembaca FNN yang berbahagia. Selamat menggapai fitri dihari hebat ini. Sistem presidensial yang bekerja di tengah demokrasi, harus diakui memiliki keunikan. Perpaduan ketat dua sistem ini, sedari awal bukan menghasilkan, tetapi membuat presiden menjadi satu-satunya figur tak tertandingi. Ia tak tertandingi pada hampir semua aspek bernegara, suka atau tidak. Presiden-presiden hebat di negara demokrasi menggunakan semua atribut yang disediakan sistem, baik politik maupun hukum. Berbasis sistem, presiden, selalu bisa dan begitu kenyataannya, mengabaikan pendapat kritis yang menghendaki pemerintah harus begini dan begitu. Sejarah perpaduan dua sistem ini menunjukan presiden bisa menggunakan pendapat dari kelompoknya saja. Dan disisi lain, presiden bisa dan secara sadar mengabaikan pendapat dari kelompok lain, tentu bila memiliki bakat itu. Landscap sejarah itu sebegitu kayanya dibelahan dunia lain yang lebih dahulu mempraktikan dua sistem ini. Asumsi Pembuat UUD 1945 Presiden diasumskan oleh pembuat UUD 1945 sebelum diubah, merupakan pancaran kearifan, pengintegrasi, dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia. Asumsi ini khas Indonesia, integratif. Presiden berada dipusat seluruh soal bernegara. Semua soal berbangsa dan bernegara menjadi tanggung jawabnya, suka atau tidak. Sekedar mengelola? Tidak. Sebagai orang arif, pengintegrasi dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia, pekerjaan presiden harus mencerminkan parpaduan unsur otak dan hati. Presiden harus menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia diatas kepentingan apapun, termasuk investasi. Dalam UUD 1945 sebelum diubah, asumsi itu menghasilkan skema struktur kekuasaan dengan Presiden berada dipuncak kekuasan dibawah MPR. Asumsi ini bekerja dengan cara memberikan kekuasaan membuat UU kepada Presiden. Tidak itu saja, urusan penggajian, infrastruktur pengadilan juga diletakan dalam lingkungan kekuasaan Presiden. Sangat arif. kendati bekerja dengan asumsi presiden orang arif, para pembuat UUD 1945 tak berhenti di situ. Mereka, pembuat UUD 1945 menyediakan cara hebat mengendalikan dan mengontrol presiden. Apa cara itu? Sala satunya adalah menyediakan garis besar haluan daripada negara, GBHN. GBHN dirumuskan dan dibuat oleh MPR, lalu dimandatkan kepada Presiden untuk dilaksanakan. Presiden dengan demikian dipandu, dituntun oleh MPR, yang merupakan representasi seluruh bangsa Indonesia. Hebat betul kreasi para pembuat UUD 1945. Para pembuat UUD 1945 tidak menyediakan impeachment, sebagai cara yang bersifat represif, dengan menyediakan kemungkinan presiden diberhentikan dalam mengontrol presiden. Tidak. Para pembuat UUD 1945 menyediakan cara lai. Cara politik, yang menurut Profesor Ismail Suny, salah satu guru saya, memiliki sanksi. Cara itu adalah meminta pertanggung jawaban presiden atas kondisi bangsa. Dalam hal keterangan-keterangan presiden yang diberikan kepada MPR, tentu dalam sidang istimewa- apabila tidak diterima MPR, maka MPR dapat menjatuhkan sanksi. Sanksinya bisa berupa menarik mandatnya MPR. Lalu memberhentikan Presiden. Mengagumkan cara berpikir para pembuat UUD 1945. Presiden, menurut skema konstitusional ini, diberi atribut sebagai orang tertinggi di antara organ-orang yang sejajar di negara, tetapi tidak boleh aneh-aneh. Presiden harus, bersifat absolut. Dari waktu ke waktu beri kepastikan MPR bahwa ia selalu berada dalam track GBHN. Tidak bisa di luar itu. Presiden harus, dari waktu ke waktu, menampilkan eksistensi pemerintahannya sebaik-baiknya. Harus benar-benar menampilkan dirinya sebagai orang arif, pengintegrasi, bapak bangsa yang besar ini. Sayang, sejarah perjalanan bangsa hebat ini merekam sangat jelas patahan mematikan atas asumsi mengagumkan itu. MPR sepanjang tahun 1960 hingga tahun 1966 bekerja dibawah kendali Presiden. Kala itu Presidennya Bung Karno, pria pintar yang terkenal kokoh dengan pendirinnya ini. Apalagi sepanjang tahun-tahun itu, Bung Karno tidak lagi memiliki mitra tanding pikiran kritis yang produktif. Masyumi, partai Islam paling cemerlang urusan akuntabilitas dan responsibilitas, serta paling cerdas dan gigih melintas di atas Rule of Law, telah dipukul telak oleh Bung Karno. Masyumi telah dibubarkan Bung Karno awal tahun 1960. Tahun 1967 Bung Karno resmi kehilangan kekuasaanya. MPR melalui Sidang Istimewa memberhentikan dirinya dari Presiden. Berubahkah keadaan penyelengaraan negara? Paradoks hebat segera menandai perkembangan sesudahnya. Bangsa terlihat nyata tak mampu menjadikan sejarah sebagai guru terbaik. Betul bermunculan begitu banyak gagasan yang berinduk pada rule of law dan demokrasi kala itu. UUD 1945 dan Pancasila dimurnikan. Tata hubungan antar Lembaga Negara dibereskan. Gagasan hak asasi manusia segera naik ke permukaan. Seminar dimana-mana, dan draf TAP MPR tentang HAM berhasil disiapkan BP MPR. Hasilnya? Daniel Lev, Indonesianis dari Seatle University Amerika Serikat, sedari awal telah memperkirakannya. Indonesia, dalam identifikasinya tidak akan cukup dekat pada demokrasi. Mengapa? Masyumi, yang dalam identifikasi keilmuannya sebagai satu-satunya partai yang paling jelas berpegang dan mengamalkan gagasan rule of law, tidak diberi tempat untuk hidup kembali. Itu soal terbesarnya. Persis seperti Bung Karno, presiden baru juga tidak akan mendapat mitra tanding kritis. Terlepas dari soal itu, tanda-tanda awal negara ini hanya akan melanjutkan praktik mirip Bung Karno. Presiden tetap akan berada di puncak semua kekuataan politik dan organ negara. Ini terlihat sedari awal babak baru ini. Pada sidang MPR penetapan Pak Harto menjadi pejabat Presiden misalnya, Pak Harto tidak bersedia mengucapkan sumpah dihadapan Sidang MPR yang dimpimpin Pak Nasution. Sejak saat itu, sebenarnya masa-masa panjang sesuahnya telah ditentukan dan ditetapkan. Suka atau tidak, cukup jelas Indonesia sesudah itu. Indonesia memang bukan Pak Harto, tetapi Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh Presiden. MPR, dalam kenyataannya tidak lebih hanya sekadar tukang cap terlatih atas gagasan Presiden. Hingga sepuh kalipun, MPR masih tidak menemukan kreasi gemilang dengan paduan kearifan besar bangsa ini untuk mengakhiri kekuasaan Pak Harto. Aneh? Tidak. Itulah politik. Jalan GBHN Tumpukan sejarah itu, seperti terekam dalam perdebatan anggota Panitia Ad Hoc I dan III Badan Pekerja MPR. Yang benar-benar menginspirasi MPR hasil pemilu 1999. Apalagi gema demokrasi dan rule of law di jalanan begitu mengharu biru. Ini menjadi energy terbesar yang berhasil meyakinkan MPR. MPR pun bergerak cepat. Penuh gairah, entah terasa grasa-gurus atau tidak, memasuki UUD 1945, yang telah teridentiikasi sejumlah pemikir liberal sebagai UUD otoritarian. Tidak bisa diandalkan membawa Indonesia ke kamajuan. Hars diubah. Identifikasi falsifikasi ini ditelan bangsa Indonesia. UUD 1945 akhirnya memasuki fase harus diubah. Presidensialisme mau dimurnikan. Begitu gema awal pemikiran MPR tentang sistem Presidensial. Awalnya untuk hanya membatasi masa jabatan presiden, ternyata tak cukup untuk berhenti disitu. MPR bergerak jauh sekali, dan mengubah banyak hal. Terpukau tanpa bekal yang cukup atas gagasan presidensialisme dan praktiknya yang berabad-abad di Amerika, negeri penemu sistem ini. MPR merancang sistem Presidensial. Kekuasaan membentuk UU yang pada UUD 1945 sebelum diubah diletakan pada Presiden, diubah. Kekuasaan itu dialihkan ke DPR. Hebat? Tidak juga. Sama sekali tidak hebat. Mengapa? Presiden, menurut UUD 1945 yang baru diubah ini, diberi hak ikut bersama DPR membahas UU. Konsekuensinya, bila Presiden tidak mau ikut bahas UU, maka dengan siapa DPR membahas UU? MPR yang semula jadi lembaga tertinggi, dipreteli habis. Hanya disetarakan dengan Presiden. Tersipu dengan gagasan presidensialisme konyol khas Amerika. Tersipu pula dengan demokrasi tipu-tipu juga khas Amerika. MPR lalu meneksplorasi gagasan penyetaraan organ kekuasaan. Berhasil. MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan lainnya, semuanya, disetara. Atas nama kesetaraan, GBHN juga dihilangkan. Begitulah cara MPR memastikan negara ini bergerak maju di garis demokrasi dunia. Padahal demokrasi, dalam tampilan praktisnya di Amerika, justru membuat Presiden menjadi satu-satunya entitas kekuasaan, yang tak tertandingi dalam semua spektrumnya. Boleh saja presiden, dalam lalu lintas keilmuan klasik khas John Locke dan Montesqueu, dinyatakan sekadar pelaksana UU. Tetapi dalam praktinya di Amerika sekalipun, justru berbeda. Presiden, dengan semua atribut konstitusi, yang sebagian besar tak jelas, atau diambil di luar UUD, justru tampil sebagai pemberi defenisi, pengarah, perancang, penentu utama jalannya negara, siapapun presiden itu. Kenyataan ini yang menjadi katrakter kepresidenan Indonesia dalam tahun ke-20 pelaksanaan UUD 1945 yang liberal ini. Presiden, telah muncul menjadi pengarah utama, dan pendefenisi utama jalannya negara ini. Hampir semua aspek bernegara, terserah presiden. Apa katanya, itulah Indonesia. Kebijakan iuran BPJS yang dinilai ngawur. Perpu Corona yang ngaco. Rencana perpindahan ibu kota yang terus eksis. Konsistennya kebijakan TKA asal China. Penanganan corong yang cukup membingungkan. Semuanya sedang terjadi saat ini. Suka atau tidak, merupakan pantulan resmi sistem ini. Pembaca FNN yang budiman, dimana urusan rakyat dan dimana urusan korporasi dalam sistem ini? Sejarah mencatat korporasi selalu menjadi prioritas utama kebijakan negara. Karena mereka punya fulus yang tak terbatas. Dewa demokrasi itu korporasi dan uang, fulus, hepeng, pipi dalam bahasa Ternate. Demokrasi kaya dengan gerak tipu-tipu. Franklin Delano Rosevelt yang dihormati begitu banyak ilmuan tata negara dan politik sebagai Presiden, dalam kampanyenya memukau rakyat Amerika dengan gagasan anti bank. Padahal dia, dalam identifikasi terpercaya Anthony Saton pada buku “Wall Street and FDR” adalah orangnya Wall Street. Du Ponts dan Rockefeller adalah dua kontributor dana terbesar dalam rallynya FDR menuju kursi presiden 1933. Begitu Herbert Hover, yang semasa pemerintahannya depresi ekonomi besar 1929-1933 berawal, tahu Du Ponts dan Rockeffeler mengalihkan dukungan ke Franklin D. Rockeffeler, dia pun segera tahu bahwa dia akan kalah. Mengapa mereka mengalihkan dukungan? Herbert Hover, yang didukunhg pada kampanye presiden tahun 1928, ternyata keras kepala. Dia tidak mau melaksanakan Swope Plan. Plan ini dibuat oleh George Swope, presiden General Electric. Disisi lain, FDR malah bersedia melaksanakan plan ini. Benar, FDR merealisasikan plan pada pemerintahnnya dengan membuat National Industrial Recovery Act (NIRA). Pembaca FNN yang dimuliakan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bagaimana bangsa ini harus menemukan jalan besar untuk bisa bermartabat dimasa datang? Hidupkan lagi GBHN. Ubah lagi UUD 1945, yang saat ini sangat liberal ini. Tata ulang relasi fungsi antara Presiden dan MPR. Pastikan bahwa Indonesia tidak terserah pada presiden. Dalam tata ulang relasi MPR-Presiden, bangsa ini harus tahu cara kerja Wall Street. Tetapi bangsa ini harus faham sindrom Walter Rathenau, perencana ulung dari Jerman, dan Bernard Baruch, perencana ulung Amerika pada masa Wodrow Wilson Presiden. Perencanaan tertata, bila tak dikawal dengan baik, Menjadi sah bila korporasi ikut menanamkan kepentinganya mereka. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Rakyat Marah Karena Pemerintah Dianggap Plin-Plan
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (25/05). Plin-plan. Itulah kesan rakyat terhadap pemerintah terkait pelaksanaan PSBB. Berawal pada bulan januari lalu, pemerintahan Jokowi tidak percaya kalau covid-19 bakalan hijrah ke Indonesia. Coloteh sejumlah menteri bikin gemes. Salah prediksi membuat rapuh pertahanan. Saat covid-19 masuk dan menginveksi. Pemerintah pimpinan Jokowi lalu gagap. Sama sekali nggak siap. Lalu bingung dan panic menjadi pemandangan yang gampang disaksikan. Sementara nyawa terus berjatuhan. Satu-persatu mati, hingga puluhan, ratusan, bahkan ribuan sekarang. Setelah didesak untuk terapkan lockdown, bahasa yuridisnya karantina, akhirnya muncul yang namanya PSBB. Meski telat dan sangat alot. PSBB merupakan yang terobosan cerdas. Walaupun akan lebih efektif jika pemerintah pusat yang mengoperasikannya sendiri. Tak menyerahkan secara teknis kepada kebijakan pemerintah daerah. Ada kesan cuci tangan. Juga ingin aman. Lepas ada kekurangan sana sini, namun PSBB cukup berhasil kendalikan penyebaran covid-19. Beberapa daerah, termasuk Jakarta, tingkat penyebaran turun. Di Jakarta, penurunan sampai pada level 0,9 - 1,2 persen. Ini bukti PSBB terukur dampaknya. Tapi sayangnya, sejak Menteri Perhubungan membuka kembali "public transportation", covid-19 jadi mengamuk lagi. Angka penyebaran naik kembali. Ratusan per hari untuk Jakarta. Secara nasional, hampir menembus angka 1.000 per hari. Tampak di pasar, mall dan bandara, kerumunan manusia padat lagi. Berjubel manusia saling menularkan virus. Dua minggu terakhir, jalanan di Jakarta pun padat kembali. Hampir tak ada lagi bedanya dengan waktu sebelum adanya covid-19. Relaksasi PSBB yang diwacanakan Mahfud MD, Menkopolhukam ini, nampaknya berhasil. Rakyat merasa bebas dan merdeka kembali. Puncaknya, ketika pemerintah pusat membuat konser covid-19. Pakai hadiah Motor Gesit lagi. Hadiah atau lelang? Menurut M. Nuh, itu hadiah. Sayangnya, motor bertanda tangan presiden tak bisa dia miliki. Keburu ditangkap polisi. Prank! Sementara di sisi lain, shalat jum’atan, shalat taraweh berjama'ah dan shalat IDUL FITRI dilarang. Selama ini, umat Islam terlihat menerima saja. Taat aturan saja. Walaupun tetap satu dua kasus ada yang nggak juga disiplin. Namun masih dalam taraf wajar. Secara umum, umat Islam patuh saja. Aturan pemerintah dimengerti, dan dinilai dengan baik. Ini demi untuk menjaga kesehatan rakyat, dan upaya mengendalikan penyebaran covid-19. Semua ingin pandemi ini cepat bisa berakhir. Namun, ketika pasar, mall dan bandara berjubel manusia. Tidak ada protab tentang kesehatan, maka umat Islam mulai marah. "Apa-apaan ini. Kami disuruh tutup masjid, dan sholat berjamaah di rumah. Sementara pasar, mall, jalan raya dan bandara bebas manusia berinteraksi." "Ini bentuk nyata dari penghianatan". Begitulah kira-kira menurut Prof. Dr. Din Syamsudin dan Aa Gym. Merepresentasikan betapa geramnya Umat Islam. Tidak hanya Umat Islam, tetapi seluruh umat beragama merasa dikhianati. Kecewa, tentu saja. Dan kekecewaan tersebut, sebagian diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Seorang kakek terlihat membongkar blokade jalan raya. Sejumlah polisi hanya diam menyaksikan ulah si kakek itu. "Hari Raya Idul Fitri adalah Hari Kebebasan, Hari Kesenangan. Ora carane kaya ngene. Iki jenenge kelakuan iblis, kelakuan setan", kata si kakek itu dalam video yang viral di medsos. Kabarnya, ada kepala desa yang digebukin warga karena melarang shalat IDUL FITRI. Kasus Habib Umar Sagaf Bangil Pasuruan Jawa Timur sempat jadi heboh. Sang Habib ini ribut sama petugas ketika ditegur karena tak mengikuti protab dalam berkendara mobil. Hingga adu fisik dengan Satpol PP. Lagi dengan di Jogja. Hampir semua ulama di Jogja sepakat untuk mengadakan shalat IDUL FITRI. Meskipun presiden melarangnya. Mereka tidak peduli. Bahkan beberapa hari sebelumnya, sebagian masyarakat Riau juga protes terhadap PSBB. Kenapa ini semua terjadi? Karena rakyat kecewa kepada pemerintah yang dianggap plin-plan dan tak konsisten dengan aturan PSBB yang dibuatnya sendiri. Apalagi, munculnya Perppu No 1 Tahun 2020 telah lebih dulu membuat curiga rakyat. Perppu corona yang telah diketuk DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020 ini dianggap oleh banyak pihak berpeluang memanfaatkan pandemi untuk korupsi. Ngeri! Sejumlah kasus kemarahan rakyat di sejumlah tempat boleh jadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan mereka kepada pemerintah yang nggak konsisten. Kemarahan ini kemudian dilampiaskan kepada obyek yang mereka temui. Kepala desa, aparat kepolisian, pengurus masjid, dan apa saja yang mereka anggap menghalangi. Dalam ilmu psikologi, ini namanya "jumping out" . Melampiaskan kemarahan kepada pihak yang tidak semestinya. Dengan sejumlah kasus yang muncul di masyarakat, pemerintah mestinya mau melakukan introspeksi. Soal yang satu ini pemerintah sering abai. Egois dan nggak mau peduli. Merasa punya kekuasaan. Pejamkan mata dan tutup telinga. Apapun sikap yang akan diambil pemerintah, semua akan ada konsekuensi politiknya. Jika situasi tak mujur, ini berpotensi jadi trigger dan bisa sangat berbahaya buat penguasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa