NASIONAL

Usut Konseptor dan Anggota DPR Pengusul RUU HIP

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN- Selasa (16/05). Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah cukup tegas dank eras. MUI memberikan peringatan kepada DPR dan Pemerintah tentang bahaya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). MUI juga memberi sinyal umat Islam harus waspada bahkan siaga satu. RUU HIP adalah puncak gunung es yang muncul di permukaan laut. Ada yang lebih dahsyat dan besar di bawahnya. Kalimat penting dari Maklumat MUI tersebut adalah, disamping memberikan ultimatum kepada Pemerintah, juga penolakan tanpa kompromi atas pembahasan RUU HIP. MUI beranggapan, RUU HIP yang berbau bangkitnya kembali PKI dengan cara yang lain. RUU ini akan memberikan jalan untuk menghidupkan kembali faham komunisme. Untuk itu, MUI menyatakan penolakan terhadap RUU HIP tanpa kompromi. Bukan untuk direvisi. Tetapi ditolak untuk dibahas. Ingat itu. RUU HIP harus keluarkan dari Program Legislasi Nasional (Proglegnas) prioritas tahun 2020. Disamping itu, MUI juga meminta agar dilakukan pengusutan oleh yang berwajib terhadap konseptor RUU HIP tersebut. Masyarakat anti faham komunis berhak untuk tau siapa saja konseptornya. Rakyat juga berhak untuk menghukum mereka para konseptor RUU HIP tersebut secara moral. Sedangkan menghukum mereka dengan hukum positif, itu wilayah dan kaplingnya para penegak hukum. Kalau melanggar hukum, itu ranahnya Polisi, Jaksa dan Hakim di pengadilan. MUI menyatakan, "kami pantas mencurigai bahwa konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Oleh karena itu, patut untuk diusut oleh yang berwajib". Kecurigaan MUI tersebut, layak untuk menjadi perhatian. Pengusutan secara komprehensif dan bertahap patut dilaksanakan. Pertama, PDIP menginformasikan dan meneliti siapa saja tim penyusundi internal konsep RUU HIP itu. Apakah sepenuhnya dari kader PDIP atau melibatkan unsur luar. Bongkar kembali notulensi rapat dan masukan-masukan sampai terformulasi narasi akhir sebelum menjadi RUU yang diusung oleh PDIP. Selanjutnya menelaah apa motif dibalik RUU HIP ini, sehingga memuat klausul yang sangat kontroversial. Seharusnya sudah patut diduga akan dikritisi, baik pada tahap pembahasan DPR, maupun setelah terpublikasi di masyarakat. Adakah filter atau pemeriksaan akhir dari institusi Pimpinan PDIP sendiri. Bila ditemukan adanya motif. Lalu ada oknum yang memang sengaja berniat membangkitkan faham komunisme dan Partai Komunis Indonesia sebagaimana dicurigai MUI, maka PDIP harus memberi sanksi kepada kader atau pihak lain yang terlibat tersebut. Sebab sangat merugikan lembaga PDIP PDIP harus membenahi dan membersihkan partai "Pancasilais" nya dari anasir- anasir yang ingin merusak citra PDIP. Caranya, dengan berupaya membangkitkan kembali faham dan Partai Komunis Indonesia. Rakyat tentu menunggu upaya pembenahan dan pembersihan internal di lingkungan PDIP sendiri. Jangan sampai institusi PDIP dijadikan sebagai tempat persembunyian terang-terangan oleh kader-kader yang neo PKI. Sekarang mereka belom menyebut atau menggunakan nama dan atribut yang bertemakan PKI. Bahkan bias saja menyebut dirinya yang paling Pancasilais. Namun setelah merasa kuat segala-galanya, barulah aslinya diperlihatkan. Sebagaimana diketahui PKI adalah partai terlarang. Selain itu, dilarang untuk menyebarkan atau mengambangkan faham komunisme/marxisme-leninisme. Larangan ini diatur dalam Ketetapan MPRS XXV tahun 1966, yang memberikan landasan dan KUHP khususnya Pasal 107a, c, dan d. Pasal 107 KUHP tersebut, memberikan sanksi dengan gradasi delik pidana selama 12, 15, dan 20 tahun penjara. Artinya komunisme/marxisme-leninisme itu adalah perbuatan kriminal. Sapapun orangnya, tanpa adanya pengecualian, bagi yang berusaha atau berupaya menghidupkan paham ini harus diberikan sanksi pidana. Tidak ada pilihan sanksi yang lain. MUI menuntut pihak yang berwajib agar mengusut oknum para konseptor RUU HIP tersebut. Ini adalah langkah hukum yang berguna sebagai peringatan dan pembelajaran kepada siapapun. Agar tidak menggampangkan persoalan untuk mengotak-atik ideologi Pancasila di masa mendatang. Apalagi mencoba-coba mengembangkan ideologi komunisme/marxisme-leninisme. Rakyat telah dibuat sibuk mengantisipasi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ada. Ideologi Pancasila bagi bangsa dan NKRI telah final. Rakyat Indonesia mendukung penghentian pembahasan RUU HIP. Lalu segera usut oknum konseptor dan anggota DPR yang mengusulkan RUU HIP ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Rakyat berhak tau siapa saja anggota DPR yang mengusulkan. PDIP jangan melindungi kader-kader new PKI yang hari ini berusaha bersembunyi dibalik baju besar PDIP. Institusi PDIP harus diselamatkan dari orang-orang yang berusaha menghidupkan kembali faham komunisme/marxisme-leninisme. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bila Paksakan RUU HIP, "PDIP Bisa Dibubarkan"

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (15/06). Gara gara mencoba bermain di tataran ideologi, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditolak masyarakat. RUU yang oleh masyarakat dipandang kental berbau komunis. Makanya PDIP menjadi sorotan sebagai penyebab utama lahirnya RUU HIP tersebut. Disamping itu, rakyat, khususnya umat Islam yang mereaksi paling keras. Reaksi sebagai bentuk penolakan terhadap RUU ini. Dampaknya, Pemerintah melalui Menkopolhukam mulai bersikap kritis pada PKI dan Komunisme. Demikian juga dengan Trisila dan Ekasila yang menjadi muatan utama RUU HIP. Entah ini blunder PDIP atau karena terciumnya permainan halus "oknum dalam" yang memanfaatkan kekuatan koalisi mayoritas di Parlemen. Namun apapun itu, nyatanya penetapan RUU tersebut telah menimbulkan kegaduhan politik nasional. Masyarakat menyatakan penolakan di seluruh Indonesia. Semantara itu, di parlemen sendiri, fraksi-fraksi yang asalnya telah sepakat menyetujui RUU bisa-bisa "balik badan". Apalagi setelah melihat gelombang penolakan yang semakin membesar. Parpol harus berhitung dengan cermat. Citra sebagai pendukung "PKI" atau "Komunisme" dipastikan sangat merugikan, dan berbahaya bagi parpol. Mahfud MD, sang Menko sudah mulai teriak soal sinyal sikap Pemerintah yang akan berupaya agar Tap MPRS No. XXV tahun 1966 masuk sebagai konsideran RUU. Begitu juga konon soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila akan dimasalahkan bahkan ditolak. Artinya, akan ada revisi dari tim Pemerintah. Teriakan Mahfud menunjukkan perubahan konstelasi. Apakah itu suara pribadi Mahfud yang mengerti Hukum Tata Negara atau representasi Pemerintah? Masih terlalu samar. Bapak Jokowi sendiri seperti biasa tetap diam. Sunyi senyap. Mungkin bila didesak, Pak Jokowi jawabnya "jangan tanya saya, itu urusannya menteri". Jika serius pemerintah menolak, maka masalah beratnya ada pada PDIP. Apakah PDIP bisa "legowo" untuk mengalah pada suara rakyat yang gencar menolak? Ataukah sebaliknya "marah" pada Pemerintah yang tidak membela atau seakan membelot setelah ditekan masyarakat, khususnya umat Islam? Politik adalah kumpulan kemungkinan dari kepentingan. Bila responnya adalah marah, maka bukan mustahil isu "haram" pemakzulan bisa menjadi "halal" kembali. Bisa saja sejalan dengan suara dunia akademik maupun masyatakat yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Kuatnya gelombang penolakan terhadap RUU HIP sangat berpengaruh pada orkestra Pemerintah dan PDIP. Suara Pemerintah mungkin seperti apa yang telah disuarakan Mahfud MD. Sementara suara PDIP mulai goyah atas pendiriannya. Partai-partai di parlemen juga berfikir ulang. Apalagi jika harus bertabrakan dengan aspirasi rakyat. Ini menyangkut suara masa depan. Jika jalan yang diambil adalah Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dengan "terpaksa" harus dicantumkan pada Konsideran RUU. Lalu klausul Pancasila, Trisila, dan Ekasila juga dihapus, maka gagallah misi PDIP dan para konseptor "kiri" yang bermain dibalik RUU HIP tersbut. Rakyat Indonesia melihat hal ini sebagai percobaan kudeta ideologis. Kudeta yang akan gagal akibat kuatnya penolakan rakyat, terutama umat Islam. Parlemen sendiri awalnya telah berhasil dilumpuhkan. Kesepakatan telah dicapai Badan Legislasi (Baleg) untuk RUU HIP dimasukan ke dalam Prolegnas prioritas. Tetapi masalah tetap saja ada. Pertama, posisi agama. Apakah akan dikembalikan menjadi penting atau tidak. Masihkah disejajarkan dengan kebudayaan ? Kedua, keberadaan HIP dalam sebuah UU bukan sebagai Tap MPR. Apakah tepat atau tidak ? Jika ini belum terklarifikasi, maka RUU HIP kelak masih saja menjadi masalah kerakyatan dan keumatan. Perlu diketahui bahwa semangat dan aspirasi dari masyarakat adalah penolakan. Bukan revisi terhadap materi RUU. Karena bangsa Indonesia, khususnya umat Islam tidak sedang membutuhkan adanya RUU HIP. Ingat dan catat maunya rakyat itu baik-baik. Pemerintah dan DPR jangan sampai abai terhadap aspirasi yang muncul dari rakyat secara massif. Apabila Perimentah dan DPR tetap memaksakan kehendak menetapkan RUU HIP menjadi UU, maka bukan tidak mungkin isu politik rakyat akan bergeser dan mengarah pada pembubaran PDIP dan pemakzulan terhadap Presiden. Artinya dapat terjadi kegaduhan politik yang lebih serius. PDIP harus berfikir matang dan sehat. Mengalah adalah pilihan yang paling rasional. Jika tidak, pasti akan babak belur. New normal prakteknya menjadi new tidak normal atau "crash landing". Politik yang semakin karut-marut. PKI dan Komunisme masih terus menjadi gelindingan bola salju. RUU HIP hanya usaha kudeta ideologi oleh kader komunis-PKI yang mungkin saja gagal. Masih ada kasus TKA China dan hubungan dengan RRC yang belum terantisipasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

MUI Tabuh Genderang Jihad Melawan RUU HIP

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (14/05). PKI itu biadab. Begitulah bangsa ini bersepakat. Hanya sekelompok kecil orang yang masih melihat PKI tidak bersalah. Tetapi, begitu banyak data sejarah yang sulit untuk dibantah. Kelompok kecil ini sedang berupaya untuk bangkit dan menghidupkan kembali PKI. Masuk partai, menjadi anggota DPR, dan mendekat di lingkaran kekuasaan adalah jalur yang efektif untuk ditempuh. Militan, tentu saja. Namanya juga kelompok kecil. Dimanapun mereka, kelompok kecil biasanya selalu militan. Karena mudah koordinasinya. Ciri kelokpok kecil yang lain adalah, selalu memaksakan kehendak kepada kelompok besar yang mayoritas. Secara teoritis, PKI memang tidak bisa hidup di negara Pancasila. PKI anti Tuhan, sementara Pancasila pro Tuhan. Meski faktanya, ada sejumlah orang yang terlihat beragama. Termasuk yang Islam, yang bergabung ke partai komunis. Ini kasuistik. Kok bisa? Kader PKI bantu petani untuk mengambil kembali sawahnya. Berhasil, si petani masuk PKI. Kasus ini pernah diteliti pembimbing disertasi saya Prof Dr. Bambang Pranowo (Allahu yarham) di penjara suka miskin. Seorang muslim rajin shalat, tapi dipenjara karena pernah terlibat dalam pemberontakan PKI. Sekali lagi, ini kasuistik. Tak bisa digeneralisir. PKI bukan hanya partai, tetapi ideologi. PKI akan terus hidup, dan tetap menjadi pemberontak di tengah hegemoni kapatalis. Komunisme sejak awal kelahirannya, memang didesign untuk menjadi oposisi terhadap kapitalisme. Agama menjadi ikut dimusuhi komunisme karena dianggap berselingkuh dengan kapitalisme. Maka, komunisme itu anti Tuhan. Padahal, keberadaan Tuhan menjadi pilar terpenting dalam Pancasila. Berarti, PKI anti Pancasila. Titik. Mau rubah Pancasila jadi Trisila dan Ekasila? Indonesia bisa bubar, kata sekjen MUI, Anwar Abbas. Dosen ekonomi ini mengecam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Tidak hanya sekjen MUI, tetapi banyak ormas termasuk Muhammadiyah dan Ansor yang menolak RUU HIP. Satu persatu pesantren di berbagai wilayah sudah deklarasi diri, “menolak RUU HIP”. Lalu, bagaimana dengan gagasan NASAKOM? Utopis. Baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Sejajar dengan utopisnya teori komunisme yang digagas oleh Marx di awal kelahirannya. Komunisme sama bahayanya dengan kapitalisme. Komunisme perlu diwaspadai. Jika diabaikan, PKI akan mengambil ruang makin besar. Pemberontakan 1948 dan 1965 akan terulang. Ingat. Transformasi politik dalam teori komunisme itu revolusi. Nah, revolusi hanya bias terjadi melalui proses pemberontakan. Pertumpahan darah. Itu pasti! Karena itu, MUI Pusat membuat maklumat. Menyerukan jihad melawan PKI yang diduga akan dibangkitkan melalui RUU HIP. Seluruh MUI propinsi mendukung maklumat itu. Begitu pula dengan berbagai ormas Islam. Pesantren beserta komunitas umat Islam telah menyatakan sikap yang sama dengan MUI. Melalui RUU HIP, peluang PKI reborn dianggap sangat terbuka. Sebab, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa mau dikesampingkan dan didominasi narasinya dengan "Gotong Royong". Rupanya punya rencana besar mau usir Tuhan dari negeri ini? Teriakan sejumlah ulama. Tokoh-tokoh bangsa dan sejumlah Jenderal (purn) TNI Angkatan Darat gerang dan angkat bicara. Mereka terus konsisten menyoal RUU HIP. Suara keras para Jenderal pensiunan Angkatan Darat disambut oleh maklumat MUI. Meledak jadinya! Deklarasi tolak RUU HIP pun bergema di sejagat Indonesia. Jember bergolak. Solo bergolak. Demo digelar dimana-mana. Purnawiran TNI-Polri gruduk ke kantor Menkopolhukam. Hanya satu tuntutan, “Tolak RUU HIP”. Titik. Ingat yaa tolak. Bukan revisi. Muhammadiyah pun membentuk Tim Khusus. Tugasnya? Melakukan pendalaman terhadap materi RUU HIP. Apakah juga akan mendalami para oknum yang berada dibalik RUU HIP? Yaitu orang-orang yang menyusun draft dan menghalangi TAP MPRS/XXV/1966 masuk RUU HIP? Usut mereka. Begitu kata MUI. Tidak hanya MUI, usaha menyingkirkan Tap MPRS No 25 Tahun 1966 dari RUU HIP juga membuat mayoritas Umat Islam semakin curiga. Kalau bukan untuk tujuan membangkitkan PKI, lalu untuk apa? Begitulah kira-kira pertanyaannya. RUU HIP yang membuang TAP MPRS/XXV/1966 seolah mengingatkan kembali Umat Islam terhadap peristiwa beberapa tahun lalu. Saat Presiden Jokowi di awal pemerintahannya. Ketika itu, ada desakan sejumlah pihak yang meminta kepada presiden Jokowi untuk minta maaf kepada PKI. Enak benar maunya. Teringat pula seorang anak PKI yang bilang. "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Juga peristiwa ketika Taufiq Ismail, Sang Penyair yang diteriakin dan diminta turun saat membaca puisi tentang sejarah kebiadaban PKI. Selain itu, juga tersebarnya atribut PKI terang-terangan di berbagai tempat. Apakah itu satu kesatuan? PKI sudah mati, kata segelintir orang. Yang mati itu partainya, bukan ideologinya. Ideologi komunisme yang diberi ruang dan kesempatan, sangat berpotensi untuk memberi nafas baru buat PKI hidup kembali. Wajar saja jika MUI, Ormas Islam dan komunitas umat Islam di berbagai wilayah seberang siap ganyang PKI, jika dibangkitkan kembali. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Bangsa Ini Bukan Hanya Keringat Seorang Soekarno

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Ahad (14/06). Membaca RAncangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) lengkap dengan Naskah Akademisnya membuat saya merasa geram. Sangat jelas dan terang maksud dan tujuan dibalik RUU itu. Ada pembajakan sejarah dan penyelundupan ideologi yang berbahaya. Pancasila menurut RUU itu adalah Pidato Soekarno 1 Juni 1945 yang diucapkan di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Artinya Pancasila dianggap pikiran seorang Soekarno saja. Begitu memalukan bangsa ini. Betapa jasa besar dan pengorbanan tokoh-tokoh lain disingkirkan demi ambisi dan nafsu kekuasaan. Soekarno bukanlah satu-satunya orang yang mengajukan dasar negara. Mau dikemanakan itu pidato Profesor Soepomo, Muhammad Yamin dan dan lain-lain yang dianggap mewakili golongan “nasionalis sekuler”? Ada juga pidato tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman Wirdjosanjojo, Haji Agus Salim. Apakah tokoh-tokoh lain yang mewakili golongan “nasionalis Islam” dan “nasionalis sekuler” itu tidak berpidato? Kita sedang kembali membuka kran polemik ideologi. Kita terpaksa kembali lagi ke masa lalu. Ini pilihan jalan yang mundur ke belakang. Sebaiknya jangan lagi mengusik-usik pengorbanan umat Islam dan kesepakatan penting sejarah. Berupa dicoret begitu saja tujuh kata pada tanggal 18 Agustus 1945. Umat Islam telah mengorbankan Piagam Jakarta demi persatuan dan keutuhan bangsa. Kenapa harus diusik lagi? Padahal bangsa ini bukan berdiri karena Jerih payah satu orang saja Soekarno saja. Ini jerih payah dan perjuangan seluruh komponen bangsa. Yang paling besar berkorban adalah umat Islam. Pancasila tidak dirumuskan oleh satu kepala manusia Soekarno saja. Pancasila adalah hasil kompromi , kerelaan dan pengorbanan umat Islam. Catat itu baik-baik. Jangan lupakan kerelaan dan pengorbanan umat Islam itu. Soekarno ketika mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, tidak lupa mencantumkan piagam Jakarta yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945. Artinya, ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya adalah kata yang menjiwai konstitusi. Juga menjiwai kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam. Jadi, Pancasila bukan milik satu golongan. Bukan sebatas pidato satu orang Soekarno saja. Melainkan merupakan titik temu atas semua nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena itu Pancasila disebut sebagai Filosofiche Groundslaag, atau Staat Fundamental Norm. Kita semua bersepakat Pancasila sudah final. Muhammadiyah telah menetapkan hati menjadikan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. “Darul ahdi” artinya, negara tempat melakukan konsensus nasional. Nusantara yang terdiri dari kemajemukan bangsa, golongan, dan daerah. Kekuatan politik sepakat untuk mendirikan Indonesia. Sementara “darul syahadah” artinya, negara tempat masyarakatnya mengisi kemerdekaan dengan berbagai aktivitas. Berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi seluruh elemen bangsa. Harapannya, terwujud negara yang maju, makmur, adil dan bermartabat. Umat Islam telah menetapkan hatinya untuk menjadikan Pancasila sebagai falsafah dasar berbangsa dan bernegara. Bukan sekedar ideologi yang kaku. Melainkan sebuah nilai universal yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Catat penetapan hati umat Islam itu baik-baik. Ketika umat Islam sedang berjuang mewujudkan Pancasila dalam kata dan perbuatan, muncullah RUU HIP. Sebuah RUU, yang kalau meminjam Istilah Doktor Yudi Latif “Ngawur Semua” isinya. Definis terhadap Pancasila sangat buruk. Penuh dengan penyelundupan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Itu terbukti dengan tidak dimasukkannya dalam Konsiderans RUU tersebut Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Larangan PKI dan Mengembangkan Ajaran Leninisme, Marxisme dan Komunisme di Indonesia. Norma yang diatur dalam RUU itu menghilangkan prinsip yang paling mendasar dari Pancasila. Menghilangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dimpimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaran Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua sila dalam Pancasila itu mau diperas menjadi Trisila. Lalu Eka Sila atau Gotong Royong, seperti pidato Soekarno 1 Juni 1945. Ini sih namanya “ngawur semua”. Gagasan yang bias juga disebut sangat “dungo, dongo , kaleng-kaleng dan beleng-beleng”. Penyelundupan Ideologi di RUU HIP Gotong Royong itu adalah konsep kerja kolektif. Konsep yang menjadi jualan paling laku faham komunisme. Kolektivisme adalah kerja paksa. Kamp-kamp penampungan dipersiapkan sementara untuk manusia adalah budak industri. Kelanjutan kolektivisme ini adalah keadilan ditetapkan oleh aparat. Persatuan itu adalah pemaksaan, dan prinsip musyawarah hanya untuk kamerad-kamerad. Semua itu disebut “kolektif” atau dalam bahasa kita sekarang “Gotong Royong”. RUU HIP jelas ingin merumuskan ulang Pancasila menjadi sebatas norma biasa. Tujuannya, hanya untuk mengkerdilkan Pancasila. Meminjam Istilah Prof. KH. Din Syamsudin RUU HIP menurunkan derajat falsafah bangsa ini dengan memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama. Oleh karena itu, tidak mungkin orang yang cinta NKRI dan orang yang menjunjung tinggi Pancasila, termasuk umat Islam, mau melakukan pencemaran terhadap Pancasila. Apalagi menghina Pancasila dengan cara-cara licik dan busuk seperti ini. Itu tidak mungkin. Pembaca FNN yang budiman, dugaan saya, RUU HIP adalah penyelundupan ideologi oleh ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa alias atheism. Hanya saja mereka menggunakan kosakata kebudayaan. Ketuhanan yang berbudaya adalah langkah untuk melunturkan nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Memang Tuhan siapa yang berbudaya? “ngawur semua”. Konsep gotong-royong yang dirumuskan dalam norma RUU itu tidak jelas seperti apa? Apakah gotong-royong dalam kejahatan? gotong-royong dalam kebiadaban? Atau gotong royong dalam hal seperti apa? Kemanusiaan yang disebutkan dalam RUU itu adalah kemanusiaan saja. Sementara Pancasila menyebutkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kenapa hanya kemanusiaan saja? Karena komunis juga memiliki konsep kemanusiaan. Tetapi dalam kenyataan mereka biadab dan menghina kemanusiaan. Artinya RUU HIP itu “mbahnya ngawur”. Juga dungu, dongo, kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Semua rumusan dan norma tidak memiliki dasar hokum, termasuk mencantumkan Pancasila dengan seenaknya saja. Kenyataan itu bisa dibaca dalam pasal 3 RUU HIP tersebut. Dugaan saya, mereka itu ingin merubah NKRI dan Pancasila. Caranya adalah merumuskan falsafah itu dalam norma biasa yang lebih rendah dari konstitusi UUD 1945. Apa tujuannya? Agar supaya mereka dapat merubahnya dengan mudah suatu saat nanti. Kita semua komponen bangsa dan umat Islam harus Waspada. MUI telah menegaskan, dalam maklumat Nomor Kep-1240/DP-MUI/VI/2020 menyikapi RUU HIP yang akan segera dibahas DPR. MUI mencurigai konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Berikut saya kutip lengkap bagian akhir Maklumat MUI tersebut, "bila maklumat ini diabaikan oleh pemerintah, maka kami Pimpinan MUI Pusat dan segenap Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia mengimbau umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak paham komunisme dan berbagai upaya licik yang dilakukannya". Marilah kita mengawal maklumat MUI ini demi menjaga Pancasila dan NKRI dari bahaya laten komunis...Wallahualam bis shawab Penulis adalah Ketua Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM

MUI Ultimatum Pemerintah & DPR Soal RUU HIP

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (13/06). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat membuat sikap tegas dan keras terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Melalui Maklumat, MUI menegaskan penolakan terhadap RUU tersebut. MUI menyatakan "RUU HIP wajib ditolak dengan tegas, tanpa kompromi apapun". Penolakan tegaas MUI tersebut didukung oleh 34 Pimpinan MUI seluruh Indonesia. MUI melihat bahwa RUU HIP ini adalah bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali faham Komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tanah air. MUI juga melihat ada ancaman terhadap ideologi negara Pancasila. Disamping menolak, MUI juga mencurigai adanya oknum konseptor dari RUU yang ingin membangkitkan kembali faham dan Partai Komunis Indonesia. MUI meminta agar pihak yang berwajib untuk mengusut oknum yang dicurigai dan "bermain" dibalik Partai Politik tertentu tersebut. Hal terpenting dalam melengkapi ketegasan tersebut, MUI Pusat beserta MUI seluruh Indonesia "mengultimatum" Pemerintah Republik Indonesia. Begitu juga dengan DPR. Umat Islam akan bergerak untuk melakukan perlawanan, bila pemerintah dan DPR coba-coba melanjutkan pembahasan RUU HIP ini. Bila Maklumat ini diabaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR, maka “kami Pimpinan MUI Pusat dan segenap pimpinan MUI Propinsi seluruh Indonesia menghimbau umat Islam Indonesia agar bangkit, bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak faham komunisme dan berbagai upaya licik yang dilakukannya, demi terjaga dan terkawalnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Luar biasa seriusnya situasi bangsa saat ini. Situasi ini semua, sebagai akibat dari permainan licik, kotor dan kasar kader-kader "kiri" sekarang hampir menguasi parlemen senayam. Tragisnya, mereka nyata-nyata berlindung dan bersembunyi dibalik partai politik tertentu. Dengan kondisi bangsa seperti, maka umat Islam tidak punya banyak pilihan. Hanya satu pilihan umat Islam, yaitu untuk mendukung dan merespons secara konstruktif penolakan dan "ultimatum" MUI Pusat tersebut. Menjadi garda terdepan melawan upaya-upaya melanjutkan pembahasan RUU HIP. Partai-partai politik beserta fraksi-fraksi dan anggota DPR RI sudah sepatutnya membaca aspirasi politik yang berkembang. Bahwa RUU HIP ini memang harus ditolak. Tunda dan batalkan pembahasan jika ingin situasi politik tetap stabil. Friksi pemahaman dan penyikapan terhadap ideologi negara menghadapi kerawanan yang dapat mengarah pada konflik. Konsensus tentang ideologi Pancasila sedang dicoba untuk dikhianati oleh anggota DPR yang masuk katagiri eksponen "kiri". Mereka kini berlindung di kelompok atau partai yang berciri "kebangsaan". Jika dibiarkan, mareka akan leluasa untuk menyebarkan dan menghidupkan kembali faham komunis Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Haedar Nasir dalam salah satu acara pernah menyatakan bahwa terhadap RUU HIP yang kontroversial sebaiknya, sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Tidak perlu dilanjutkan pembahasannya. Demi untuk apa yang disebut dengan kebaikan bersama (takaful ijtima'i). Umat Islam saja rela untuk memindahkan ibadah dari masjid ke rumah. Demi untuk menjaga kemashlahatan bersama. Mengapa DPR dan Pemerintah tak mau berkorban untuk menunda atau membatalkan RUU HIP yang kontroversial tersebut? Demi untuk kebaikan bersama ? MUI sudah sangat tegas sikapnya. Ini adalah wujud dari aspirasi yang sudah sangat merata. Khususnya umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain bagi DPR maupun Pemerintah, selain putuskan untuk membatalkan dan tidak menjadikan RUU HIP sebagai undang-undang. Jangan bikin yang aneh-aneh lagi. Bisa panjang urusannya. Sebagaimana pernyataan tegas dank eras dari MUI. Jika diabaikan keadaan ini, maka umat Islam akan menjadi "garda terdepan “. Umat Islam menolak segala bentuk faham komunisme dan berbagai upaya licik dan kotor yang dilakukannya. DPR dan pemerintah jangan bermain-main soal ideologi Pancasila. Kita akan lawan bersama. Kita tetap berjuang bersama untuk menghancurkan PKI dan faham Komunisme dari bumi pertiwi ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Beri Maklumat, MUI Ancam Penguasa!

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (13/06). Kalimat yang paling pas adalah “sudah keterlaluan”. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui maklumatnya. Sikap tegas dan keras MUI didukung 34 MUI Provinsi seluruh Indonesia. Ketika Pemerintah dan DPR melakukan Revisi UU KPK, MUI diam. Ketuk palu UU minerba, MUI diam. Ajukan RUU Omnibus Law, MUI diam. Keluarkan Perppu Corona, MUI diam. Naikkan BPJS, MUI juga Diam. Tapi, untuk RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), MUI berang. Gak bisa diam lagi. MUI sepakat menolak RUU HIP. Nggak tanggung-tanggung. Sikap penolakan tersebut didukung oleh MUI di 34 propinsi. Berarti, seluruh propinsi tidak hanya menolak. Tetapi MUI secara tegas menuduh ada oknum yang mendisign RUU HIP ini untuk mendistorsi Pancasila. MUI juga menuduh ada oknum yang mendisign dan membangkitkan kembali paham komunisme dan Partai Komunisme Indonesia (PKI). "Pancasila disabotase” maknanya menjadi "Trisila", lalu "Ekasila", yaitu Gotong Royong. Mau dikemanain sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam sila pertama itu? RUU HIP, bukan saja ancaman terhadap Pancasila. Tetapi pada akhirnya akan membunuh agama. Agama mau disetarakan dengankebudayaan. Kalau sila pertama diabaikan dan didegradasi, lalu mau dikemanakan agama? Terutama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia? Tidak hanya menolak. Tetapi MUI juga meminta agar para oknum dibalik RUU HIP ini segera diusut dan ditindak tegas. Bahkan MUI minta keterlibatan semua Umat Islam untuk melaporkan, jika ada indikasi kebangkitan paham komunisme dan PKI dimanapun berada. Melaporkan ke markas TNI terdekat. Pertanyaannya, kok markas TNI? Sudah segawat itukah? Ada sejumlah oknum, kata maklumat itu. Sepertinya MUI sudah mengendus. Siapa saja mereka yang diendus MUI? Bisa ditanyakan langsung ke MUI siapa nama-nama yang sudah dikantongi. Tak mungkin institusi sekelas MUI menyebut oknum jika tak punya data. Setidaknya MUI sudah punya indikator yang kuat. Ini yang harus dibongkar kepada publik. Lebih tegas lagi, MUI mengancam akan mengerahkan seluruh umat Islam untuk melawan kebangkitan paham komunis dan PKI. Dipastikan umat Islam akan berada di gardan terdepan untuk ganyang PKI. Akankah muncul Gerakan Umat Mengawal Maklumat (GUMM) MUI? Jika penguasa mengabaikan peringatan keras dari MUI. Jika tak membatalkan RUU HIP, hampir pasti umat Islam akan bergerak. Entah apapun nama wadahnya. Bisa GUMM MUI. Namun bisa juga yang lain. Dari sinilah kekecewaan dan kemarahan umat selama ini kepada pemerintah akan tertumpah. Eskalasinya bisa lebih dahsyat dari kemarahan umat Islam kepada Ahok jelang pilkada Gubenur DKI dulu. Dalam kasus Ahok, hanya MUI Pusat yang mengeluarkan Fatwa. Terkait dengan RUU HIP ini, MUI Pusat mengeluarkan maklumat, yang didukung penuh oleh MUI propinsi di seluruh Indonesia. Nggak main-main ini. Kompak seluruhnya. Semua Umat Islam bersatu. Bersatu untuk menggilas komunis dan PKI, termasuk siapapun mereka yang mendukungnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Ingat Perintah MPRS, "Teliti Itu Ajaran Bung Karno"

by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Bukankah idiologi itu secara pars pro toto telah merupakan haluan kehidupan buat sebuah bangsa? Tidakkah idiologi itu telah dengan sendirinya mewakili ide yang dianggap logis? Yang dengan itu sebuah bangsa tersebut bergerak meniti kehidupan kongkritnya? Tidakkah ide yang kelak dipakai menjadi idiologi itu, sampai pada titik itu, disebabkan kemampuannya mengadptasikan nilai-nilai hebat? Yang dengan itu diterima menjadi haluan, dan atau pandangan hidup berbangsa dan bernegara? Bila idiologi yang per defenisi telah merupakan haluan itu, “masih harus dirumuskan lagi haluannya,” lalu apa itu idiologi? Soal-soal di atas, sejauh ini merupakan kristalisasi dari ragam kritikan yang terus mewarnai kehidupan politik Indonesia hari-hari ini. Soal itu berkelindan dengan kenyataan lain. Kenyataan lain yang fundamental adalah RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) yang tidak menunjuk Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai dasar pijakannya. MPRS Mau Meneliti Ketetapan MPRS di atas, teridentifikasi sejauh ini mendominasi rute perbincangan RUU HIP. Menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah-olah TAP itu adalah satu-satunya TAP, yang relefan untuk diperbicangkan. Ketetapan MPRS yang lain, seolah kehilangan relefansinya. Ada juga Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu. Apa yang hendak dicapai dengan ketetapan yang hanya berisi 5 (lima) pasal ini? Dalam pertimbangannya dinyatakan; a. bahwa karya-karya Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno perlu diabadikan untuk kepentingan Rakyat. Oleh karena itu Rakyat berhak dan berkewajiban untuk mengembangkannya secara keratif; bahwa sebagai ajaran, karya-karya Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno perlu disistimatisasi dan menghilangkan kata-kata dan bagian-bagian yang sekedar merupakan tanggapan insidentil dari pimpinan Besar Revolusi Bung Karno terhadap sesuatu Bab atau sesuatu masalah tertentu; Bahwa dengan adanya penghianatan gerakan kontra-revolusi G. 30 S PKI, ada bagian-bagian dari ajaran Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno yang dipersoalkan oleh masyarakat dan berhubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia wajib menanggapi secara wajar dalam rangka mendapatkan kepastian yang objektif tentang ajaran-ajaran tersebut, agar dalam mengamalkannya, rakyat Indonesia tidak mudah terjerumus ke dalam tindakan-tindakan atau sikap yang bertentangan atau menyeleweng daripadanya. Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang. Apa isi laporannya? Sampai sekarang tidak jelas. Pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, bahkan sampai sidang umum MPR tahun 1973, tidak terlihat laporan itu, apalagi dibahas. Apakah benar-benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu. Kenyataan ini mengandung dua masalah. Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno? Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi? Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak-tidaknya tidak bisa dikembangkan. Kedua, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum. Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal. Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum. Menandai RUU HIP itu sebagai cara pengembangan ajaran bung karno, didorong oleh kenyataan. Untuk sebagian, RUU ini terang-terangan mengutip bagian-bagian kecil pidato Bung Karno yang disampaikan dihadapan rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Harus disebut sebagian kecil saja, sebab soal lain yang teridentifikasi berasal dari Bung Karno, terutama setelah 5 Juli 1959, juga beralasan disodorkan. Mengambil pidato Bung Karno tangga 1 Juni 1945 sebagai ajaran Bung Karno, dalam sifatnya tidak menyelesaikan soal. Mengapa? Bagaimana memberi pijakan rasional atas pidato itu sebagai ajaran ajaran Bung Karno? Itu satu. Kedua, disebabkan Bung Karno hanyalah satu diantara sejumlah tokoh yang menyampaikan pikiran dan gagasannya dalam rapat itu. Mau diapakan atau diberi sifat apa terhadap pidato tokoh-tokoh lain, yang menyampaikan pikirannya pada tempat dan tanggal yang sama 1Juni 1945 itu? Tak bisa disangkal dari pidato Bung Karno itulah, nama Pancasila untuk pertama kalinya disebut. Bung Karno menyebut lima prinsip. Kelak dikenal dengan lima sila Pancasila. Susunan prinsip-prinsip yang disebut Bung Karno, yang dinamakan Pancasila adalah: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam uraian Bung Karno selanjutnya dinyatakan; Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong.” Negara Indonesia yang kita dirikan harus berdasarkan gotong royong. Prinsip gotong royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesuia. Inilah saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Berubah 100 Persen Bung Karno melanjutkan lagi, Pancasila menjadi Tri Sila, Eka Sila. Tetapi terserah tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih; Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi (Pidato Bung Karno ini dikutip dari RM. A.B Kusuma, 2004). Kenyataan itu tak bisa disangkal untuk alasan apapun. Sama dengan tak bisa juga menyangkal kenyataan lain kala itu. Termasuk yang tak bisa disangkal adalah kenyataan yang muncul dikemudian hari. Perubahan-peerubahan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan. Kenyataan lain sesudah itu adalah kelima prinsip yang Bung Karno sebut Pancasila itu, mengalami perubahan 100 persen setelah dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Isi dan susunannya berubaha total. Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, berubah menjadi sila pertama, berbeda dengan susunan Bung Karno. Keadilan sosial, yang sama sekali tak disebut oleh Bung Karno, muncul menjadi sila kelima. Sila-sila lainnya juga berubah. Bagaimana menjelaskan kenyatuan ini? Bagaimana kenyataan ini muncul? Beralasankah melepaskan kenyataan baru pidato-pidato tokoh lainnya kala itu? Profesor Soepmomo misalnya, pada satu bagian pidatonya bebricara tentang musyawarah dan keadilan. Soal agama dan keadilan, di sisi lain terlihat begitu dalam dijelaskan oleh Ki Bagoes Hadikusumo. Profesor Soepomo, saya kutip seperlunya menyatakan: Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelengarakan keinsafan keasdilan rakyat, haru senantiasa memberi bentuk (Gestaltung), kepada rasa keadilan, dan cita cita rakyat. Oleh karena itu, Soepomo melanjutkan, kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah orang Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya untuk maksud itu. Senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya. Supaya pertalian batin antara pemimpin dan rayat seluruhnya senantiasa terpelihara. Hasrat keadilan telah dilambungkan Profesor Soepomo. Terlihat lebih melambung jauh dalam pidato Ki Bagoes Kadikusuma. Ki Bagoess menguraikan pikirannya ke dalam 12 (dua belas) point. Terdapat dua point yang tegas menunjukan Ki Bagoes bicara soal keadilan. Menariknya, Ki Bagoes pertalikan pikiran itu dengan jelas dan tegas pada Islam. Pada point nomor 4, Ki Bagoes menyatakan” Islam mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kokoh, maka bangunlah negara di atas ajaran Islam. Hasrat keadilan itu mucul lagi pada point 8 (delapan). Dikatakan oleh Ki Bagoes, Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakan keadilan berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama (Lihat kembali RM. AB Kusumo, 2004). Pembaca FNN yang budimkan, dua kenyataan ini, hemat saya lebih dari cukup menggoyahkan. Setidaknya membuat rapuh setiap pikiran yang menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai ajaran. Saya berpendapat tidak mungkin pikiran ini dirujuk sebagai objek penelitian BP MPR. Hemat saya yang paling mungkin ditunjuk adalah pikiran-pikirian Bung Karno yang terlontar dan sesudah memegang kekuasaan presiden sejak 5 Juli 1959. Pidato Dikuatkan MPRS Masalahnya sekali lagi, tidak diketahui ajaran apa saja dari Bung Karno yang dikesampingkan dan apa yang dapat dikembangkan. Ini, disebabkan MPRS pada tahun 1966 telah menugaskan kepada sebuah Panitia untuk meneliti ajaran-ajaran Bung Karno. Namun tak diketahui hasil akhirnya. Apa panitia itui bekerja atau tidak? Tidak diketahui. Bila bekerja, apakah hasil dilaporkan ke BP MPRS atau tidak? Juga tak diketahui. Bila berhasil, ke mana laporan itu? Aapakah dilaporkan ke BP MPRS? Dalam kenyataannya, secara hukum tidak ada satu pun TAP MPRS, bahkan tak satu pun juga TAP MPR hasil pemilu yang bersidang pada tahun 1973, yang dikeluarkan untuk tujuan itu. Apakah kegagalan ini disebabkan atau memiliki pertalian dengan Pak Jendral Nasution yang telah lebih dahulu meninggalkan MPR sebelum sidang MPR 1973? Tak juga jelas. Bung Karno setelah 5 Juli 1959, beda dengan Bung Karno sebelum 5 Juli 1959 atau sebelum dekrit. Sebelum Juli 1959 Bung Karno hanya sekadar simbol, presiden. Tak punya kuasa eksekutif. Bung Karno setelah 5 Juli, yang telah menggenggam kembali kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945, menjadi figur, kalau bukan satu-satunya, merupakan satu figur yang mendominasi kehidupan bernegara. Pidato-pidatonya pada setiap ulang tahun kemerdekaan tanggal 17 Agustus, diangkat dalam makna dikuatkan. Beberapa diantaranya dibuat menjadi TAP MPRS. Apakah hal-hal yang dinyatakan Bung Karno dalam pidato inilah yang dimaksud dengan ajaran Bung Karno oleh TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966? Lagi-lagi itu jadi soal. Rumit memang. Tetapi baiklah, mari mengenal beberapa di antara pidatonya, yang dikuatkan MPRS dengan TAP MPRS. Pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 ditetapkan MPRS sebagai landasan pembangunan. Pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 ini dikenal dalam politik Indonesia kala itu dengan nama “Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Garis besar pidato berisi lima hal. Sering disebut lima unsur. Kelima hal itu adalah: 1. UUD 1945. 2. Sosialisme Indonesia. 3. Demokrasi Terpimpin. 4. Ekonomi Terpimpin. 5. Kepribadian Indonesia. Semuanya disingkat menjadi USDEK, dan disebut Manipul Usdek. Itu sebabnya pidato ini lebih dikenal dengan nama Manifesto Politik (Manipol USDEK). Pidato ini, entah bagaimana dikuatkan dan diberi bobot hukum oleh MPRS melalui TAP MPRS. TAP MPRS dimaksud adalah TAP MPRS Nomor I/MPRS/1960 Tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Daripada Negara. Diikuti dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama. Tanggal 17 Agustus 1961 Bung Karno kembali berpidato. Pidato ini memang tidak dikuatkan dengan TAP MPRS, tetapi tetap saja menarik. Pada pidato ini dikenal apa yang disebut RESOPIM. Kependekan dari Revolusi, Idiologi Nasional Progresif, yaitu UUD 1945 plus Manipol USDEK dan Kepemimpinan Nasional. Pidato Bung Karno tangal 17 Agustus 1963 yang dikenal dengan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Juga pidato Bung Karno 17 Agustus 1964 dikenal dengan Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP). Pidato Bung Karno pada Musyawarah para Menteri negara-negara Afrika-Asia tanggal 10 April 1964, dan pidato Bung Karno yang dikenal dengan The Era of Freedom is of Confrontation di KTT Non Blok ke II di Kairo tanggal 6 Oktober 1964, semuanya dikuatkan MPRS. Ini dituangkan dalam TAP MPRS Nomor VII/MPRS/1965. Sulit memang menandai soal ini semua menjadi objek yang dituju TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966. Sulit juga menyodorkan pidato yang dikenal dengan Jalannya Revolusi Kita (JAREK) juga sebagai objek yang dituju TAP MPRS di atas. Sesulit ini sekalipun, hemat saya tidak lebh sulit daripada menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai fundasi RUU HIP. Karena alasan-alasan yang telah dikemukakan di muka. DPR boleh saja memiliki kreasi menemukan lorong-lorong sempit untuk meloloskan RUU ini. Problemnya di ujung lorong itu telah ada jebakan. Yang pasti memudarkan PDIP. Apa jebakan itu? Bila jadi RUU ini jadi UU, maka bukan hanya pasal, tetapi ayat, bahkan huruf dan kata demi kata dalam UU itu, dapat dijuji di Mahkamah Konstitusi? PDIP pasti kehilangan argumen memprtahankan Pancasila sebagai idiologi. Itu bahayanya. Saran Saya tariklah RUU ini. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

RUU HIP Dosa Politik PDIP

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (09/06). Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif Dewan ini diawali oleh usulan Fraksi PDI. Berlanjut menjadi RUU prioritas tahun 2020. RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dengan konten ideologi negara menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pro-kontra yang keras dan serius. Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Panja telah berhasil membawa RUU ke Rapat Paripurna dan mendapat ketukan palu persetujuan "kontroversial" dari Ketua DPR Puan Maharani, yang juga kader PDIP. Sebagai pemenang Pemilu dan memiliki suara mayoritas di Parlemen, PDIP tentu memiliki pengaruh politik. Apalagi Presiden pun menjadi bagian darinya. Eksekutif dan Legislatif berkonfigurasi dalam kepentingan bersama melalui Koalisi. Faktor ini membuat RUU HIP mendapat kemudahan dan dukungan dominan, dengan delapan Fraksi setuju, dan satuFraksi, yakni PKS, tidak setuju. RUU HIP ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Masalah bagi rakyat adalah kontroversi muatan RUU yang berbicara tentang ideologi Pancasila. Ada ketetapan strategis yang tidak dimasukkan sebagai konsiderans, yaitu Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. Lalu pasal yang "mundur" soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Masalah rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Serta kedudukan "Ketuhanan" dan "Agama" yang terkesan dikecilkan. Publik menyebut RUU HIP ini berbau "kiri" bahkan komunisme. Tentu secara politik sorotan ini hakekatnya menjadi dosa politik dari PDIP yang mungkin dapat merugikannya. Sekurang-kurangnya terdapat lima hal yang merugikan PDIP. Pertama, PDIP akan dianggap sebagai partai nasionalis berbasis kiri. Atau sekurangnya tersusupi oleh kader kader berhaluan kiri (leftist). Memproduk RUU bernarasi beda dengan sila-sila Pancasila, yang menjadi hasil dan konsensus 18 Agustus 1945. Kedua, Soekarno yang yang menjadi simbol perjuangan sekaligus tokoh bangsa, mulai mendapat sorotan atau terjadi "bongkar bongkar borok" yang sebenarnya tak perlu. Hubungan Soekarno dengan PKI diangkat kembali. Akibatnya, citra Soekarno tidak menjadi bagus. Ketiga, penetapan hari lahir Pancasila 1 Juni 1945 digugat kembali. Diragukan keabsahannya, baik secara historis maupun secara hukum ketatanegaraan. Bila rumusan 1 Juni 1945 menjadi basis pembahasan RUU, maka umat Islam mendapat kesempatan untuk membangkitkan kembali rumusan Pancasila 22 Juni 1945. Rumusan yang diakui pula oleh Soekarno. Keempat, PDIP yang awalnya berslogan sebagai partai rakyat, dengan kemenangannya, justru terkesan menjadi partai yang semata-mata berkhidmat pada kekuasaan. Benturan kepentingan dengan aspirasi kerakyatan, khususnya umat Islam, dalam konteks RUU HIP dapat menjadi kenyataan. Kelima, RUU HIP dengan kontroversinya, bisa saja dengan segala upaya menjadi Undang Undang. Tetapi ini akan menjadi bom waktu bagi munculnya gumpalan kekuatan yang akan mempersoalkan secara terus menerus. Bagi PDIP atau Pemerintah, hal ini dapat mengganggu realisasi program strategis lain yang mungkin dinilai lebih penting dan perlu. Oleh karenanya demi mempertahankan semangat kebersamaan dan menghindari benturan friksi, bahkan konflik akibat "otak atik" ideologi negara yang sudah final, baiknya RUU HIP ditarik kembali dan tidak menjadi agenda pembahasan. Gagalnya RUU HIP menjadi UU adalah keselamatan bangsa. Rakyat sudah mulai khawatir, dan berbicara tentang kebangkitan PKI dan komunisme. Hal ini disebabkan oleh blunder politik dalam pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila. RUU HIP bisa diplesetkan menjadi RUU HIV. Virus yang merusak sistem kekebalan ideologi negara. Virus HIV juga sekaligus sindroma dari penyakit yang berbahaya dan menular. AIDS bias menjadi virus yang menghancurkan tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karenanya plihan itu hanya satu, yaitu tolak RUU HIP, apapun resikonya...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

RUU HIP Rawan Bikin Perpecahan Bangsa

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (08/06). Rakyat tidak tinggal diam. Perhatikan suara publik yang beredar di media sosial. Betapa kritisnya masyarakat menilai bahaya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP). Penolakan terjadi dimana-mana. Umat Islam dan kelompok anti komunis menggelindingkan, dan mengangkat isu kebangkitan komunis- PKI. Umat Islam menghawatirkan UU HIP kelak bakal dijadikan sebagai alat dan sarana untuk pengembangan faham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara terselubung. Ini berbahaya. RUU HIP yang cacat yuridis, filosofis, dan sosiologis ini tidak layak untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang. Muatan politik sangat kental. Partai pemenang pemilu mencoba menggoyang dengan bermain licik di RUU HIP. Rakyat tidak sebodoh yang kalian duga dan bayangkan. Rakyat tidak lagi mudah terkecoh dengan permainan licik ini. Secara yuridis RUU ini bermasalah karena ditetapkan oleh DPR dengan rekayasa. Diketuk palu bulan Ramadhan menjelang buka, dihadiri fisik hanya 41 anggota DPR, kehadiran virtual yang tak sehat dengan ruang sempit untuk menyampaikan pendapat. Pengambilan keputusan yang dipaksakan. Bagaimana ada satu fraksi, artinya ada sejumlah anggota, yang tidak setuju lalu bisa diketuk palu dengan putusan aklamasi ? Jelas Melanggar hukum dan melanggar asas demokrasi. Secara filosofis, masalah ideologi negara ini tidak patut menjadi muatan sebuah Undang Undang. Sebagai "Staats Fundamental Norm" persoalan haluan ideologi negara hanya bisa diatur pada tingkat Konstitusi atau sekurang-kurangnya pada level Ketetapan MPR. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) saja yang kontennya lebih rendah dari "Haluan Ideologi" negara, diamanatkan oleh para "The Founding Fathers" untuk menjadi kewenangan MPR. Bukan kewenangan DPR dan Pemerintah. Jangan ngaco dan ngawur. Secara sosiologis, telah merebak penolakan publik atas RUU HIP yang diusulkan awal oleh Frkais PDIP ini. Bukan hal yang mustahil penolakan tersebut, bergerak dari diskusi dan pernyataan politik menuju aksi aksi unjuk rasa. Sebagai bentuk penggunaan hak rakyat yang dilindungi oleh Undang-Undang. Jika tetap dipaksakan juga, maka pasti kegaduhan baru telah diciptakan oleh DPR dan Pemerintah. Seharusnya perasatuan yang diciptakan. Pemerintah tentu saja memiliki pekerjaan rumah yang tak perlu. Soal komunisme dan kebangkitan PKI adalah isu politik yang sangat sensitif. Ingat itu. Secara hokum, bisa saja nantinya dipilih upaya gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi skeptisme publik dapat mengambil pilihan lain. Unjuk rasa besar-besaran yang lebih besar dari perserta aksi 212. Besar karena melibatkan semua kerlompok agama. Atau keduanya. Oleh karena itu di samping ini menjadi ujian bagi DPR untuk mengubah peta konfigurasi kepentingan di dalam. Juga menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk berpihak pada suara rakyat. Caranya, dengan menolak hadir membahas RUU HIP yang diusulkan DPR itu menjadi UU. Bila Pemerintah lunak dan hanya ikut alur, maka rakyat dapat berasumsi bahwa RUU HIP meski merupakan hak usul inisiatif dewan, tetapi kenyatannya adalah "permainan" juga dari Pemerintah. Koalisi adalah kepanjangan tangan eksekutif di lembaga legislatif. Koalisi itu kolusi dan kooptasi. Demi mencegah terjadinya desintegrasi nasional akibat salah kaprah dengan bermain-main di aras ideologi Pancasila, maka sebaiknya diambil jalan opsional. Pertama, DPR menarik kembali RUU ini dan tidak melanjutkan pembahasan dengan Pemerintah. Mengingat kan dampak buruk yang diakibatkan. Kedua, melanjutkan pembahasan tetapi dengan ujung keputusan tidak menetapkan RUU HIP menjadi Undang Undang. Konsekuensi logis dari RUU yang cacat hukum, kezaliman filosofis, dan daya dukung publik yang minim. Rakyat tidak ada yang menduking. Ini hanya akal-akalan DPR dan pemerintah saja. Dalam situasi pandemi Covid 19 yang membutuhkan konsentrasi dan penanganan serius, janganlah ada kelompok kepentingan yang mencoba melakukan penelikungan atas ideologi Pancasila. RUU HIP ini dinilai sesat dan menyesatkan. Kita wajib menyelamatkan bangsa dan negara dari penghianatan yang selalu terjadi berulang-ulang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Transisi PSBB, Anies Prioritaskan Buka Tempat Ibadah

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin(08/06). Di tengah tekanan sejumlah pihak agar gubernur DKI membuka mall, pasar, tempat wisata dan sejumlah gerai bisnis, Anies justru membuka tempat ibadah. Anies mendahulukan pembukaan tempat-tempat ibadah, daripada pusat-pusat perbelanjaan dan tempat wisata. Sebelumnya, Anies menghubungi seorang ulama, yang menjadi salah satu pengurus aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Setelah berbincang ,yang intinya Anies minta nasihat, arahan dan fatwa terkait shalat jumat berjamamaah di masjid. Inilah pejabat yang paling bener. Pertama, agama harus dijadikan pondasi yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen beragama dapat menjadi landasan moral dalam mengelola negara. Hilang atau menipisnya landasan agama, mengakibatkan pelanggaran hukum terjadi, termasuk korupsi. Negara ini harus punya ruh. Dan ruh itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana tertuang di sila pertama dari Pancasila. Setelah agama, masjid, gereja dan tempat ibadah lain juga dibuka. Setelah itu baru mall dan bisnis lainnya. Begitu kata Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia. Kedua, umara (pemerintah) mestinya minta fatwa soal agama ke ulama. Jangan malah umara yang ngasih fatwa ke ulama. Kebalik jadinya. Maknya ngaco. Serahkan persoalan kepada ahlinya. Atau tunggu datangnya petaka. Waduh... Ngeri kan… Hari berikutnya, MUI rapat. Pro kontra dalam diskusi terkait teknis shalat jumat terjadi. Adu dalil dan argumentasi berjalan normal. Terkait shalat berjarak, masjid diperluas, mushalla digunakan untuk shalat jumat, hingga shalat jumat dua-tiga kali di satu tempat. Setelah melalui perdabatan yang alot dan panjang, Akhirnya, fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 keluar. Keputusannya, shalat jumat seperti biasa dengan protap covid-19. Fatwa ini yang dijadikan pegangan Anies untuk membuat kebijakan membuka tempat-tempat ibadah. Agama sebagai basis Ketuhanan sebagaimana Sila Pertama Pancasila, harus dikembalikan fungsinya jadi pondasi bernegara. Untuk mengembalikan sila pertama jadi pondasi bernegara dan berbangsa, nggak perlu harus dibuat lembaga seperti BPIH, atau UU Haluan Ideologi Negara (HIP). Ujung-ujungnya, malah konser. Orang lain ikut konser, ditangkap. Pening kepala rakyat. Pancasila dengan lima sila itu jelas, tegas dan mudah dipahami. Rakyat sangat ngerti ko. Pakai banget lagi. Berbagai upaya regulasi, formulasi dan penafsiran seringkali malah membuat rakyat bingung. Yang muncul justru Pancasila dalam berbagai versi kepentingan. Yang dibutuhkan rakyat cuma satu, “keteladanan pemimpin”. Kalau para pemimpin dan elit politik itu bersikap dan bertindak ala Pancasila, rakyat ngikut saja. Rakyat hanya ingin lihat para pemimpinnya itu menjalankan Pancasila nggak? Itu saja, titik. Nggak perlu pakai teriak-teriak "Aku Pancasila". Itu kuno! Gimana cara hidup yang pancasialis tersebut? Gampang bangat. Semua regulasi dan kebijakan mesti berorientasi untuk rakyat. Tujuannya untuk mensejahterakan, terutama pada aspek ekonomi. Bukan untuk kepentingan oligarki dan konglomerat. Apalagi yang aseng. Contoh lainya, kalau bicara jujur dan terukur. Kalau janji, ya ditepati. Jangan adu-domba masyarakat. Jaga itu persatuan dan kesatuan, dengan tidak menggunakan anggaran untuk buzzer. Adil dalam penegakan hukum. Ini diantara cara hidup Pancasilais. Mosok harus diajarin lagi sih? Dalam Pancasila itu, sila pertama menjadi ruh dan pondasi bagi empat sila berikutnya. Tanpa sila pertama, humanity dalam sila kedua, nasionality di sila ketiga, democracy yang tertuang dalam sila keempat, dan social justice di sila kelima tak akan terwujud. Paham itu. Ketuhanan tidak cukup di tempat ibadah. Tapi harus jadi ruh perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dengan parlemen. Aspek ketuhanan diantaranya diukur dari kejujuran. Jujur nggak ketika parlemen membuat undang-undang, dan pemerintah menerbitkan aturan serta kebijakan. Kemanusiaan yang adil dan beradab mesti ditunjukkan dengan tegaknya hukum dan aturan. Nggak pilih-pilih berdasarkan warna politik, pri dan non-pri. Persatuan tidak memberi peluang kepada "buzzer premium" yang selama ini bikin gaduh. Buzzer yang juga telahmerusak keutuhan berbangsa. Kerakyatan itu demokrasi yang menghargai perbedaan suara dan kebebasan berpendapat. Tak ada lagi terror terhadap diskusur yang dilakukan civil society. Apalagi asal main tangkap. Keadilan sosial tak mengenal mana pendukung dan mana yang bukan pendukung. Ini tercapai jika ketuhanan sebagai simbol ketulusan dan kejujuran jadi landasan dasar bernegara. Ini yang mungkin jadi alasan mengapa Anies mengawali masa transisi PSBB ini dengan membuka tempat ibadah. Ini simbolis. Pesannya, “kembali ke sila pertama dalam Pancasila”. Jadikan Tuhan sebagai basis untuk menjaga ketulusan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dari sini akan muncul keadilan dan persatuan. Dua kata yang berulang-ulang diungkapkan, dan sangat digemari oleh gubernur DKI ini. Tidak hanya masjid yang dibuka Anies, tetapi semua tempat ibadah. Termasuk gereja, wihara, pure dan klenteng. Kalau para pemimpin betul-betul mengelola negara berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima) akan terwujud. Lalu, kapan Spa dibuka? Cukup Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemprov DKI yang jawab. Dari 18 sektor usaha di Jakarta, sektor wisata seperti Spa, gerai pijat dan karaoke dibuka nanti yang paling terakhir. Belakangan! Saja. Dan tak segan untuk dicabut ijin usahanya jika disalahgunakan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.