NASIONAL
Ayo Kita Tes, Trisila-Ekasila Itu Makar atau Bukan?
by Asyari Usman Jakarta FNN – Jum’at (03/07). Sejauh ini, kepolisian masih belum bertindak. Mereka belum turun tangan mengusut dugaan makar terkait keinginan PDIP untuk memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Pihak-pihak yang menentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) berkali-kali mendesak agar Polisi melakukan pengusutan. Baik. Boleh jadi kepolisian tidak bertindak, karena merasa gagasan Trisila-Ekasila itu bukan perbuatan makar. Atau, bisa juga karena terduga pelaku makar “terlalu besar” untuk diurus oleh Pak Polisi. Wallahu a’lam bishawab. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Sekarang, mari kita tes. Sekadar ujicoba untuk memastikan Trisila-Ekasila itu makar atau bukan. Caranya sangat mudah. Dan bisa dilakukan secara terbuka oleh siapa saja. Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Begini. Kita minta salah satau “fraksi kanan” di DPR, apakah itu PKS, PKB, PAN, atau PPP, membuat dan mengajukan RUU untuk mengubah Pancasila. Khususnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebut saja RUU itu berjudul “Solidasi Sila Ketuhanan” (SSK). Singkatnya, RUU SSK. Yang diubah tidak banyak-banyak. Dan tidak ruwet. Yaitu, mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”. Ini diambil dari ayat pertama surah al-Ikhlas: “Qul Hua Allahu Ahad”. Itu saja yang diusulkan untuk diubah. Boleh dikatakan, tidak ada perubahan makna yang berarti dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam RUU SSK ini, partai pengusul (inisiator) tentunya membuat uraian tambahan sebanyak puluhan halaman. Yang menjelaskan perlunya penguatan atau solidasi dasar negara. Jelaskan di dalam RUU SSK bahwa usul mengubah redaksi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa” (KAIME) akan meningkatkan kekuatan batin manusia Indonesia. Jelaskan bahwa KAIME akan menjadi sumber ketakwaan yang sesungguhnya. Sedangkan ketakwaan yang sesungguhnya akan menjadikan manusia Indonesia semakin sadar tentang perlunya kebersamaan. Pemahaman KAIME (Qul Hua Allahu Ahad) dengan baik akan menumbuhkan sifat dan watak sosial yang kuat. Yang akhirnya akan menumbuhkan keadilan sosial yang terbaik di dunia. Pokoknya, siapkan narasi yang penjang-lebar dan mendalam bahwa KAIME bukan gagasan manusia. Melainkan wahyu Tuhan. Kalau Trisila dan Ekasila ‘kan cuma pikiran manusia. Sebutlah pikiran Bung Karno. Sedangkan “Qual Hua Allahu Ahad” adalah firman Yang Maha Agung. Siapkan RUU SSK dengan 40 pasal, misalnya. Ajukan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Kemudian diusulkan pula pembentukan panitia kerja (panja) yang diketuai oleh salah seorang anggota DPR dari parpol pengusul. Setelah itu kita lihat ada atau tidak orang yang akan meneriakkan makar terhadap RUU SSK. Kalau ada yang mengatakan usul pengubahan KMYE menjadi KAIME sebagai perbuatan makar, berarti memeras Pancasila menjadi Trisila-Ekasila pun adalah perbuatan makar. Sebaliknya, kalau KAIME tidak diteriakkan sebagai perbuatan makar, berarti Trisila-Ekasila bukan rencana makar terhadap dasar negara. Dan dengan demikian RUU SSK dengan usul KAIME-nya bisa dilanjutkan juga. Persoalannya, apakah orang akan senyap saja kalau Ketuhanan Yang Maha Esa diubah menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”? Kelihatannya tak mungkin itu bisa terjadi. Jadi, silakan salah satu parpol menyusun RUU SSK yang mengandung usul pengubahan KYME menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”. Apakah itu makar atau bukan? Penulis adalah Wartawan Senior
Pejabat Negara Yang Senang Dengan Lebay
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (02/07). Lebay asal makna lebih, adjektif menjadi berlebihan. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dicari sampai botak pun tidak akan ditemukan. Lebay adalah bahasa gaul. Suatu keadaan yang dibuat-buat oleh pelaku yang semestinya biasa saja. Contoh "dijitak" kepalanya dibilang "dipukul hingga lebam". Lebay dalam bahasa Inggrisnya disebut "over reacting". Negara lebay, tak lain adalah negara dimana para pemimpin atau penyelenggara negara melakukan tindakan yang berlebihan. Publik melihat tidak tersebut "over acting" atau "over reacting". Sesuatu yang sebetulnya tak perlu "begitu-begitu amat". Pemimpin negara yang bertingkah berlebihan itu, menandakan kalau ada kelemahan pada yang bersangkutan. Adanya kelemahan yang mesti ditutupi, atau mungkin cari perhatian yang "aneh-aneh" untuk meningkatkan popularitas diri. Pemimpin yang seperti ini biasanya ada mereka yang miskin narasi, miskin literasi dan miskin diksi. Kasus Walikota Surabaya yang gemar dengan"acting". Menyapu di jalan atau menyemprot desinfektan adalah contoh yang lebay. Lebih lebay kasus sujud Risma di depan dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Risma memosisikan diri sebagai "Lebay Mayor". Walikota yang lebay. Marah-marahnya pun menjadi "trade mark". Lebih awal "acting" Gubernur DKI Basuki atau Ahok. Dia yang marah-marah di depan ibu ibu dengan menunjuk-nunjuknya adalah mbahnya lebay pula. Soal komentar Ahok dalam hubungan dengan Puput pun warganet menyebutnya lebay. Ahok adalah "Lebay Governor". Kini sang mantan terpidana penista agama ini menjadi Komut Pertamina. Lebih lebay lagi. Lebay yang paling terakhir adalah adegan marah-marah Pak Jokowi pada sidang kabinet tertutup 18 Juni 2020. Video sidang itu dipublikasikan oleh Setneg tanggal 28 Juni 2020. Sepuluh hari setelah sidang cabinet. Tujuannya, agar seluruh rakyat Indonesia mengetahui bahwa Presiden Jokowi itu tegas dan bisa memarahi menteri-menteri. Adegan inipun dibaca publik sebagai lebay yang berlebihan. Soal marah-marah ini menjadi pertanyaan, apakah itu sebenarnya atau disain? Lalu jika sebenarnya pantaskah dilakukan oleh seorang Presiden ? Akhirnya seperti Risma dan Ahok, Jokowi bisa digelari dengan "Lebay President". Tentu bukan hanya tiga petinggi tersebut saja yang bersikap lebay. Megawati yang mengajar salam Pancasila, yang ditindaklanjuti oleh Yudian Wahyudi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) termasuk yang mengada-ada, alias alias lebay juga. Apalagi Mahfud MD yang mengatakan mudik dan tarawih berjamaah bisa dipidana. Mahfud rupanya suka dengan lebay. PDIP yang menggerakkan kader seluruh Indonesia melapor-lapor ke Polres Polres soal pembakaran bendera adalah lebay. Begitu juga dengan RUU HIP, yang dicoba diganti RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila), ya sangat lebay lagi. Rakyat meminta untuk dihentikan pembahasannya. Bukan malah "dilebay-lebaykan”. Bukan juga dengan mengganti nama dari RUU. Harun Masiku dihilangkan. Ini malah moyangnya lebay. Penyiram air keras ke Novel cuma dituntut satu tahun, karena dianggap "tak sengaja" lebay. Ketua KPK Firli Bahuri yang naik helikopter mewah pulang ke kampung halamannya, ya lebay bangat. Sepeda mau dipajakin, sementara yang mewah bebas dari pajak. Itu pasti lebay. Pimpinandari komplotan lebay itu adalah arahan Presiden agar menjual murah lahan negara untuk investor asing. Terlalu banyak lebay-lebay yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mungkin menjadi layak, jika negara kita saat ini disebut sebagai negara lebay (lebay state). Sungguh menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mengurus Republik, Presiden Dilarang Ngawur
by Dr. Margarito Kamis SH. M. Hum. Diantara mereka yang layak diagungkan karena telah membangun konstitusi-konstitusi semacam itu adalah Lycurgus, yang mengorganisasikan hukum-hukumnya di Sparta dengan sebuah cara yang menempatkan raja, aristocrat dan masyarakat dalam peran yang saling terkait, menciptakan sebuah negara yang dapat bertahan lebih dari delapan ratus tahun, membuat dia dipui selamanya (Niccolo Machiavelli). Jakarta FNN – Kamis (02/07). Pemerintahan yang bertanggung jawab, merupakan impian etis republik. Jenis pemerintahan ini tidak pernah terdefenisikan semata-mata dalam konstitusi. Pemerintahan bertanggung jawab, sebagian besar merupakan tampilan pemahaman pemimpin tentang tanggung jawab dirinya mewujudkan impian besar republik itu. Mengenal diri, mengenal masalah, merancang bimbingan bijak, menyajikan pengarahan yang energik, menentukan arah, strategi, cara dan alat untuk merealisasikan impian. Muncul di sepanjang rute sejarah sebagai penentu keberhasilan republik. Inilah pekerjaan pemimpin negara. Pemimpinlah yang menjadi rujukan sejarah sebagai penentu keberhasilan republik. Ya kesuksesan republik berutang penuh pada pemimpin. Bukan yang lain, siapapun mereka. Tidak boleh ngawur mendefenisikan tanggung jawab dan penggunaan wewenang. Karena itulah kuncinya. Presiden Poros Pemerintahan Presiden itu bukan menteri. Yang UUD 1945 tunjuk sebagai penentu arah pemerintahan negara. Presiden juga bukan menteri, yang menurut UUD 1945, memberi isi dan bobot terhadap pejalanan republik mencapai tujuan bernegara. Presidenlah yang UUD 1945 beri tanggung jawab dan wewenang mendefenisikan arah, strategi, cara dan alat, yang dibutuhkan untuk gerak maju republik. Presiden, dalam konteks itu ditampilkan sebagai pengendali utama kemudi republik ini. Bukan yang lain. Ingat itu baik-baik. Presiden dituntut untuk terus-menerus merancang arah, strategi, memilih cara yang tepat, dalam mengemudikan pemerintahan. Terus-menerus mendefenisikan setiap keadaan yang dibebankan kepada presiden. Bukan yang lain. Semuanya kompleks. Namun sangat jelas tugas dan wewenang itu. Kompleksitas itu meminta Presiden untuk cukup cerdas. Dalam arti dilarang ngawur. Untuk mengurus Negara, Presiden tidak boleh ngawur. Presiden harus tahu lebih dari para pembantunya, cara mendemonstrasikan tanggung jawab dan wewenang itu. Tanggung jawab tidak sama dengan wewenang. Begitu yang digariskan oleh ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara. Dilihat dari sudut ilmu Hukum Tata Negara, keduanya berbeda dalam sifat dan substansinya. Tanggung jawab (responsibility) mengarahkan wewenang (authority). Tanpa tanggung jawab, authority akan menjelma menjadi mesin penindas. Tanggung jawablah yang memberi isi, yang mengarahkan wewenang, bukan sebaliknya. Tanggung jawab tidak pernah berpijak semata-mata pada hukum. Tanggung jawab selalu merupakan kombinasi harmonis antara timbangan-timbangan non hukum dan hukum. Kewenangan, sama pada level tertentu dengan tanggung jawab. Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, sepenuhnya didefenisikan dalam hukum. Tidak diluar itu. Tetapi justru disitulah masalah terbesarnya. Jika ngawur dalam mendefenisikan tanggung jawab, dapat berakibat pada ngawur juga dalam menggunakan wewenang itu. Kewenangan yang digunakan secara ngawur, bukan hanya mengurangi rasa hormat, tetapi lebih dari itu. Bukan saja kebencian dan ketakutan yang didapat, tetapi sebagaimana diperlihatkan Orde Lama dan Orde Baru, mengakibatkan republik menjauh dari impian etisnya. Pernyatan bernuansa marah terhadap penyerapan anggaran di bidang kesehatan, itu menarik. Kenyataan-kenyataan terverifikasi yang disodorkan Saleh Daulay, anggota DPR dan Sri Mulyani, Menkeu mengenai anggaran itu, justru berbalik menggoyahkan validitas basis pernyataan Presiden. Apa betul, tanya Saleh Daulay, serapan anggaran di Kementerian Kesehatan untuk penanganan Covid hanya sebesar 1, 53 %? Bila betul, lalu mau dikatakan apa keterangan Menteri Kesehatan di DPR, yang menurut Saleh Daulay, Wakil Ketua Fraksi PAN, serapan dana oleh Kemenkes bukan sebesar 1,53 % sebagaimana disebutkan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, dari data yang ada, anggaran Kementerian Kesehatan awalnya adalah sebesar Rp. 57,3 triliun. Setelah penyesuaian dan tambahan anggaran untuk peserta BPJS JKN, naik menjadi Rp 76,5 triliun. “Dalam paparan yang disampaikan kepada kami, kata Saleh, serapan anggaran Kemenkes per 18 Juni 2020 sudah mencapai 47,49 persen. Saleh menyatakan lebih jauh, Kemenkes juga mendapatkan alokasi anggaran untuk penanggulangan covid-19. Dari tambahan anggaran yang disebut sebesar Rp. 75 triliun, sampai sejauh ini yang disetujui oleh kementerian keuangan hanya Rp 25,7 triliun. Dengan demikian, alokasi akhir anggaran Kemenkes adalah Rp 102,2 triliun. Dari alokasi anggaran sebesar Rp. 25,7 triliun tersebut, yang terealisasi baru sebesar Rp. 345 miliar. Sisanya, masih dalam proses revisi DIPA. Bahkan ada yang masih proses pembahasan. Pada titik inilah Saleh Daulay mengajukan pandangan yang saya nilai sangat logis. Saleh lebih jauh menyatakan, kalau masih proses revisi DIPA, lalu apakah kesalahannya ada pada kementerian kesehatan? Saleh berpendapat, dan saya menyetujui pendapatnya, perlu diklarifikasi agar tidak simpang siur (RMol, 30/6/2020). Keliru atau ngawurkah Presiden dalam soal ini? Persis Presiden yang tidak menyebut nama, Menteri Keuangan Sri Mulyani, juga tak menyebut nama. Tetapi kalimatnya menarik. Katanya “jadi dalam hal ini ada yang berpersepsi bahwa anggaran kesehatan baru cair sedikit, seolah-olah itu hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan”. Ibu Menteri ini tegas menyatakan, sebenarnya tidak juga. Pernyataan korektif ini disampaikan Menkeu dalam jumpa pers virtual yang digelar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional, Selasa (30/6). Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,20 triliun. Tempat pelaksanaan jumpa pers ini, tepat. Mengapa? Anggaran kesehatan itu menurut Ibu Menteri, juga digunakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional dan Daerah (Lihat suara nasional, 30/6/2020). Tepat, sebab tanpa koreksi dari Menkeu ini. Tanpa koreksi ini, Gugus Tugas yang sejauh ini terlihat habis-habisan bekerja membimbing masyarakat, dan menantang bahaya sergapan Corona, bisa terluka oleh pernyataan Presiden itu. Marah karena minimnya serapan anggaran, jelas logis. Tetapi tidak menunjuk batang hidung. Dasar yang jelas, tidak pernah bisa dibilang pantas, apalagi bijak. Meremehkan pembantu dengan cara seangkuh itu, justru mengundang cemohan merendahkan. Keangkuhan tak pernah menghasilkan kehormatan dan kemuliaan. Kehormatan, boleh jadi akan datang menyapa melalui jalan penghentian pelebaran defisit anggaran yang telah menembus angka Rp. 1.028,5 triliun. Menghentikan defisit gila-gilaan ini, sama dengan menyelamatkan kehormatan republik tercinta ini dari cengkeraman utang rentenir Internasional. Defisit ditutup dengan utang, utang dan utang. Padahal utang pemerintah menurut ini Anthony Budiawan telah mencapai Rp. 5,172, 48 trilyun (Lihat Kedaipena.com, 30/6/2020). Terus-terusankah republik ini mengagungkan politik defisit dan hutang tersebut? Presiden cukup layak memanggil kehormatan dan kemuliaan untuk dirinya sendiri. Caranya, melalui perubahan postur politik defisit dan utang ini. Suka atau tidak, UUD 1945 memberi tanggung jawab dan kewenangan menentukan politik anggaran pada presiden. Bukan pada menteri. Ada konsekuensi? Jelas ada. Bank Dunia dan IMF akan mencibir. Hanya segitu. Bisa Dipenjarakan Dalam kenyataannya, republik ini memang tidak memperkirakan semua cara kotor bakal tenggelam bersamaan dengan eksisnya republic. Sejarah telah begitu terang menunjukan republik-repuiblik lain mengalami patahan, hanya oleh satu sebab. Sebabnya itu adalah penguasa tidak tertib dalam membaca perintah etis republik yang dinyatakan terulis di dalam konstitusi. Sejarah cukup terang menunjukan, kalau hukum penguasa terlalu sering mengenal hukum hanya hanya dari kulitnya saja. Hukum digunakan melampaui fungsi etisnya. Itu membawa akibat hukum dipakai, dalam sejumlah republik terdahulu, termasuk Indonesia pada periode Orde Lama dan Orde Baru, sebagai alat pembenaran dan penyangga ambisi-ambisi tak rasional dari penguasa. Republik lalu menjadi sangat liberalistic. Otoritarian juga fasis, dan hukum selalu menyandang peran krusial. Toh hukum itu bergantung sepenuhnya pada pemegang kekuasaan. Setiap waktu penguasa dapat menggunakan hukum memunggungi misi-misi tersembunyi dari penguasa. Tak selalu sukses menjaga agar hukum bekerja sesuai taklimat etisnya, telah menjadi kelemahan lain dari republik. Hukum mengabdi pada kemauan dan kepentingan segelintir orang. Itu juga yang tersaji pada daftar kelemahan dari republik. Ketakutan terhadap kehilangan kekuasaan, teridentifikasi pada sejumlah republik-republik terdahulu di belahan dunia lain, sebagai rangsangan yang melemahkan republik. Itulah paradoksnya. Mengapa? Datang dengan misi menjinakan setiap ambisi kotor, tetapi pada saat yang sama, republik tak selalu sukses merealisasikan ambisi hebatnya itu. Pada titik inilah, muncul satu kenyataan menarik. Kenyataan itu adalah pernyataan Menkeu Sri Mulyani tentang menteri-menteri memiliki ketakutan terhadap konsekuensi hukum dari sejumlah kebijakan mereka. Ini adalah katakutan yang sangat logis dan manusiawi. Logis juga jalan pikiran Menkeu, yang dengan terang menyatakan akuntabilitas selalu harus ditampilkan pada setiap situasi. Akuntabilitas memang menjadi misi wetis terbesar republik. Setiap waktu, misi ini harus diletakan di atas meja setiap kebijakan. Kontrasnya republik, telah terlalu sering memperlakukan akuntabilitas dalam rasa liberalistic. Dalam rasa ini akuntabilitas diprtalikan semata-mata dengan hukum. Hukum jadinya tidak lebih dari sekadar instrumen pembenaran atas tindakan-tindakan bercitarasa liberalistik. Pantas dan tidak pantas, ditarik dan dipertalikan semata-mata pada citarasa dan ekspektasi liberalistik. Tidak lebih dari itu. Ini sangat berbahaya. Mengapa? Out put tindakan itu, tidak pernah sungguh-sungguh dapat dinikmati oleh semua orang. Patuhi hukum, akhirnya terdefenisikan semata-mata sebagai mematuhi huruf-huruf hukum. Itulah yang liberalisme nyatakan melalui doktrin rule of law yang kering. Yang terus-terusan dikampanyekan World Bank dan multinational corporation. Sama sekali tak salah, tetapi sejarah orang-orang besar adalah sejarah tentang kearifan membangun. Sejarah ini menyediakan mozaik lain. Sejarah mereka tidak pernah jauh dari tertib mempertalikan aspek-aspek formal, ekonomi dan non ekonomi sebagai cara mengagungkan kemanusiaan. Hukum di mata mereka, tidak pernah sama dengan hukum khas liberalisme. Hukum diagungkan dengan pertimbangan-pertimbangan etis. Tujuannya untuk memuliakan semua manusia. Itu sebabnya hukum dijauhkan sejauh mungkin dari kebiasaan liberalistic. Kebiasaan yang menjadikan hukum alat menciptakan keuntungan bagi segelintir orang. Juga menopang pembangunan ekonomi semata. Orang-orang besar itu tahu bahwa republik memuliakan mereka. Bukan karena mereka cerdas mengalihkan dan mengelabui rakyatnya. Tertib berkata dan tertindak, dengan panduan etis hanya demi kesejahteraan seluruh rakyatnya, adalah fundasi republik memberi hormat dan memuliakan mereka. Walau sering gagal, tetapi spirit etis republik mengharuskan Presiden untuk tak takluk pada orang kaya. Siapapun mereka dan apapun kontribusi mereka. Itu karena para perancang republik diberitahu sejarah. Setidaknya menurut Niccolo Machiavelli, orang kaya selalu menjadi masalah direpublik Romawi kuno. Dan saya berpendapat bahaya itu terus terlihat hingga kini. Presiden selalu harus tepat merancang arah, strategi dan cara merealisasikan pesan-pesan etis republik. Itu sebabnya republik menopang Presiden dengan begitu banyak mata dan telinga di sekitarnya. Tujuannya sederhana, Presiden selalu punya data mutakhir yang terkonfirmasi pada saat mempersiapkan kebijakan dan merespon perkembangan. Rancanglah kebijakan dan ambisi itu dengan cara yang tepat. Jangan asal. Dilarang ngawur dalam mengurus Negara. Republik memungkinkan Presiden marah. Lakukanlah itu dengan panduan yang etis ala republik. Dengan panduan etis pula, Menteri, Dirjen, Sekjen dan Direktur harus bekerja dengan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh dalam bingkai kehormatan dan kemuliaan diri dan keluarga mereka. Pembaca FNN yang budiman, menteri harus takut pada presiden, tetapi itu harus sekadarnya saja. Pupuklah energi takut itu hanya pada Allah Subhanahu Wata’ala. Kemuliaan tidak lahir dari jabatan. Kemuliaan adalah buah ketakutan pada sang Khaliq, Maha Pencipta alam semesta ini, yang mengendalikan nafas setiap mahluk. Pak Menteri, Pak Sekjen, Pak Dirjen dan Pak Direktur, taatilah hukum. Itulah yang republik minta dan andalkan dalam mengejar impiannya. Penjara tak pernah enak dalam semua aspeknya. Ingat itu baik-baik. Presiden telah persilahkan aparat hukum menggigit pejabat yang punya niat korupsi. Peringatan ini bagus. Bukan peringatan yang ngawur. Patuhilah baik-baik peringatan itu. Perbesarlah energi taat. Sekali lagi, hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Selain itu, juga patuhi hukum agar tuan-tuan dan nyonya, bahkan anak istri tuan-tuan tidak tertunduk susah, kelak disuatu hari nanti. Lebih baik dimarahi Presiden, daripada melanggar hukum lalu tinggal di dalam penjara. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Meski Jokowi Marah, Demo RUU HIP Tidak Goyah
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (01/06). Tanggal 18 Juni 2020 Jokowi kumpulkan para menterinya. Jokowi marah-marah. Jokowi kecewa terhadap kinerja para menterinya. "Saya jengkelnya disitu. Kenapa nggak punya perasaan... ", kata Jokowi. Tanggal 28 Juni 2020, video kemarahan Jokowi dipublish. Gimana respon publik? Pro-kontra itu pasti. Sebagian menganggap kalai itu hanya acting. Sebuah pencitraan semata. Itu sah-sah saja. Namanya juga orang berpendapat. Nggak ada yang melarang. Apalagi Jokowi selama ini dikenal sebagai presiden yang sangat pandai dan sukses memainkan pencitraan. Tak sedikit yang berpendapat bahwa sikap Jokowi kali ini benar-benar memenuhi unsur kemarahan. Pertama, lihat ekspresi wajahnya. Tegang. Tak seperti biasanya. Kedua, gestur tubuhnya, seperti mau gebrak meja. Ketiga, pilihan kata-katanya. Tak beraturan dan diulang-ulang. Keempat, lihat tekanan suaranya. Nadanya agak tinggi dan naik turun. Kelima, pidatonya singkat, berakhir cepat dan seperti belum tuntas. Ini adalah ciri umumnya orang kalau sedang marah. Seandainya ini acting, berarti ini acting tingkat dewa. Kalau diperhatikan di video itu, cukup memenuhi syarat orang marah. Tapi, kenapa harus dipublish? Kalau menggunakan standar etika, memang kurang pas. Lebih tepat kalau tidak dipublish. Jauh lebih etis lagi, panggil menteri-menteri yang belum bagus kinerjanya, lalu kasih masukan, target dan warning. Tidak saja ini langkah bijak, tapi juga efektif. Tapi, ini bukan soal etis atau tidak etis. Sebagai politisi, sikap yang diambil Jokowi dengan memviralkan video kemarahannya, tentu tak bisa lepas begitu saja dari target politik. Apa itu? Boleh jadi pertama, Jokowi ingin memberi kesan ke publik bahwa negara ini sedang krisis, dan Jokowi sedang kerja keras untuk mengatasi krisis ini. Kedua, krisis ini bukan semata-semata hanya karena presiden. Tetapi juga diakibatkan oleh lambatnya kinerja para menteri, Mereka para menteri yang berkontribusi besar terhadap krisis negara ini. Kalau soal ini, leadership Jokowi dapat kritik dari banyak pihak. Ketiga, pesan kepada mereka yang mengendorse para menteri. Baik itu kepada partai, ormas, lembaga atau perorangan, bahwa menteri-menteri yang kalian rekomendasikan tidak bisa bekerja dengan baik. Karena itu, kalian harus maklum jika terpaksa saya diganti. Kemarahan Jokowi ini, tentu tidak hanya menggusarkan para menteri. Tetapi boleh jadi juga partai pngusung, ormas, lembaga, mungkin para pengusaha juga ikut was was. Jangan-jangan orang yang gue rekomendasikan bakal digusur dari kabinet. Gawat! Kira-kira begitulah. Bukan rahasia umum. Jajaran menteri di awal presiden menjabat akan diisi oleh orang-orang yang dianggap banyak peran dalam pemenangan di pilpres. Baik sebagai timses maupun penyedia logistik. Semacam balas budi. Setelah tiga-enam bulan, paling lama dua tahun, beberapa akan diganti dalam resuffle kabinet. Hanya yang kuat endorsernya yang akan dipertahankan. Siapa mereka? Orang-orang dari partai. Ini untuk memperkuat koalisi di parlemen. Tentu saja mengecualikan menteri keuangan, ekonomi dan luar negeri. Tiga kementerian ini butuh sosok yang betul-betul profesional. Selain menteri sekretaris negara yang biasanya diisi orang yang sangat dekat dengan presiden. Yang lainnya? Bisa dikocok ulang. Suka-suka presiden. Apakah viralnya vedio kemarahan Jokowi tersebut, ada kaitan dengan maraknya demo terhadap RUU HIP? Pengalihan isu maksudnya? Secara politik, tentu tak bisa diingkari. Ingat, RUU HIP itu menyasar Dewan. Sudah mulai mengerucut ke satu fraksi. Bukan ke Jokowi. Walaupun jika situasi nggak kondusif, bisa juga merembet ke Jokowi. Tentu, intelijen kerja. Keadaan sudah bisa diukur. Semua data sudah ada di tangan. Sebagai presiden, Jokowi wait and see. Sambil mengontrol situasi. Tak kalah pentingnya, Jokowi akan memperhatikan bagaimana PDIP sebagai sasaran tembak kasus RUU HIP menghadapi situasi ini. Kalau kewalahan, toh akan minta bantu ke Jokowi. Disini, kredit poin Jokowi bertambah satu lagi di mata PDIP. Terhadap PDIP, Jokowi di atas angin. Setidaknya, ini bisa memperkuat posisioning Jokowi terhadap PDIP. Proses bergaining akan jalan. Apakah video "kemarahan Jokowi" bisa menggeser isu RUU HIP? Sepertinya tidak. Sekalipun nanti akan ada resuffle kabinet. Isu RUU HIP tetap mendominasi berita. Hampir setiap hari umat Islam di daerah turun ke jalan. Mereka demo. Bukan hanya menuntut RUU HIP dibatalkan. Namun juga mengusut para oknum yang berada di balik RUU HIP. Kata "usut" menjadi kunci. Bisa memberi peluang demo berjilid-jilid. Boleh jadi akan sangat panjang. Karena punya sasaran yang tak mudah ditaklukkan. Viralnya video kemarahan Jokowi nampaknya baru pemanasan. Terbuka kemungkinan akan ada isu-isu lain yang lebih dahsyat. Apa itu? Kita lihat nanti. Apakah akan mampu menggeser isu penolakan terhadap RUU HIP. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
RUU HIP Blessing in Disguise
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (01/07). "Blessing in disguise". Terjemahan sederhananya keuntungan tersamar. Sesuatu yang mungkin awalnya dianggap buruk, namun ternyata mengandung kebaikan. Sesuatu yang didapat diluar dugaan atau tidak direncanakan. Datangnya dari dari arah yang tidak disangka-sangka. Bahasa agamanya "min haitsu la yahtasib". Peristiwa politik kinian, khususnya soal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah hikmah di tengah bencana. Ada "blessing in disguise" disana untuk bangsa Indonesia dari "skandal" ini. Paling kurang ada empat hal yang menonjol. Pertama, pesan kepada yang biasa teriak-teriak "saya Pancasila". Ketika Pancasila diganggu dan terancama, ternyata mereka diam saja. Meraka inilah kaum munafikun yang sejatinya. Kedua, umat Islam yang selama ini sudah terbiasa dipojokkan sebagai yang anti Pancasila. Sekarang justru terbukti yang berada paling depan dalam membela Pancasila dari ancaman dan gangguan “gerombolan Trisila dan Ekasila”. Ketiga, umat Islam menjadi bersatu. MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, Al-Irsyad, PUI, Matlaul Anwar, Alwshiliyah dan lainnya satu sikap. Kekuatan umat tergalang dengan sangat baik, dari pusat maupun daerah. Keempat, terkuak platform perjuangan PDIP yang sejatinya. Platform yang dapat melemahkan, atau berpotensial mengubah dan membahayakan Pancasila. Ada Trisila dan Ekasila versi Pancasila 1 Juni 1945. Ini tidak bisa didiamkan terus-menerus begitu saja. Awalnya tentu percaya diri PDIP sebagai pengusul untuk dapat melalui proses tahapan menuju RUU tanpa hambatan. Mayoritas fraksi DPR bisa dilobby. Saat ketuk palu di paripurna yang dinilai cacat hukum pun tidak ada yang memprotes. Semua mulus-mulus saja. Setelah menjadi RUU, barulah menggelombang aksi protes dari masyarakat. Berbagai pernyataan sikap dikeluarkan oleh elemen-elemen masyarakat, terutama umat Islam. Penolakan yang sangat luar biasa dan masif. Isu RUU HIP beraroma PKI dan faham komunisme terus menggema. PDIP kalang kabut menjadi tertuduh, bahkan bisa menjadi tersangka. Pandangan agama "blessing in disguise" adalah kebenaran yang sesuai dengan rencana Allah. Artinya, makar yang direncanakan dan disiapkan manusia, belum tentu terealisasi. Dapat saja berantakan di tengah jalan. "wa makaruu wa makarallah, wallahu khoirul maakiriin" (Mereka punya makar dan Allah punya makar pula. Dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar)--QS Ali Imron, ayat 54. RUU HIP sejak awal adalah makar (rencana) itu. Namun Allah SWT juga tunjukkan akan makar-Nya. Kini terbukti makar Allah sedang berjalan. Kita akan melihat betapa hebatnya Allah membuka kedok makar manusia, gerombolan Trisila dan Ekasila tersebut. Ingat, Allah itu sebaik baik pembuat makar (rencana). "Blessing in disguise" bagi orang yang beriman adalah bukti-bukti. Umat Islam sepanjang berjuang keras di jalan-Nya, maka akan ada banyak menerima "blessing in disguise". Itu pasti dating. Oleh karenanya, pada bidang apapun di samping melakukan langkah kalkulatif mengikuti hukum sebab akibat. Namun mesti mendapatkan dan kejar pula "karunia Allah yang tak terduga" tersebut, melalui sebab perjuangan yang berani dan bersungguh-sungguh. "Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa" (Dan mereka yang bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah, maka pasti Allah akan membukakan jalan-jalan-Nya)--QS Al Ankabuut 69. "Nashrun minallah, wa fathun qariib" (Pertolongan itu dari Allah dan kemenangan pun dekat)---QS AS Shaff 13. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Republik Ini Terus Saja Amburadul
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Selasa (30/06). Republik dirancang untuk merealisasikan banyak harapan. Tetapi semua harapan itu berinduk hanya pada satu hal, “menghadirkan kebaikan”. Kebaikan buat semua orang yang ada di dalamnya. Dengan mengatakan kebaikan buat semua orang yang ada di dalamnya, republik menyangkal pengistimewaan pada orang dan kelompok, siapapun mereka, atas dasar apapun. Sejarah berputar membawa republik mendatangi setiap sudut dunia, termasuk Indonesia. Menariknya disana sini disudut-sudut dunia terjadi gerak menurun, menanguhkan kebaikan untuk semua orang. Indonesia misalnya, seperti beberapa negara lain, juga mengalaminya. Kali ini, ditengah corona yang sangat intimidatif, pemerintah terlihat tak andal. Kebijakan-kebijakan pemerintah, disana sini justru terlilit masalah. Terlihat republik bergerak menjauh dari keadilan sosial. Kesejahteraan masyarakat yang hendak disajikan republik, juga semakin tak memadai. Kemerosotan tajam keadilan dan kesejahteraan sosial itu menganga dalam setiap penglihatan. Korporasi Tetap Berjaya Kata Presiden pembayaran tunjangan dokter, dokter spesialis, untuk tenaga medis, segera keluarkan. Belanja-belanja untuk peralatan segera keluarkan. Segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil, usaha mikro. Mereka nunggu. Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu. Ngga ada artinya (RMol, 29/6/2020). Salah urus, mungkin tidak tepat dialamatkan pada pemerintahan ini. Mungkin. Tetapi pernyataan Presiden pada rapat kabinet terbatas beberapa hari lalu, jelas substansinya. Anggaran sektor kesehatan, sekadar ilustrasi sebesar Rp. 75 trilyun, sejauh ini baru dibelanjakan sebesar 1,36%. Bagaimana dengan orang yang kehilangan pekerjaan? Ini memang tak disinggung Presiden. Boleh jadi itu disebabkan mereka ini, segelintir di antaranya telah ditolong dengan berbagai cara. Salah satunya melalui kartu pra kerja. Pemegang kartu ini dilatih negara, melalui sejumlah korporasi. Pelatihan ini dibiayai dengan uang negara yang jumlahnya lumayan besar. Indah hanya dalam ucapan, itulah yang bisa dipetik dari temuan KPK atas proyek ini. Masalahnya terlihat meliputi hamper seluruh aspek pelaksanaan proyek ini. Dalam identifikasi KPK, 5 dari 8 platform pelaksana proyek ini memiliki konflik kepentingan. Penggunaan fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp. 30,8 miliar tidak efisien" ungkap Alexander Marwata. Materi pelatihan teridentiikasi bermasalah. Pak Alexander, Komisironer KPK menegaskan metode pelaksanaan pelatihan beroptensi fiktif. 327 dari 1895 materi pelatihan yang dijadikan sampel dibandingkan dengan ketersediaan materi itu di jejaring internet, diperoleh hasil adalah 89% materi pelatihan tersedia di internet dan tidak berbayar. Cukup menarik, KPK menemukan kenyataan lembaga pelatihan telah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Sungguh eksplosif, KPK menemukan kenyataan peserta telah diberi insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli. Negara dalam kenyataannya, menurut temuan KPK ini, tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta itu (Lihat Sindonews. Com, 18/6/2020). Hebatnya KPK tidak menemukan kerugian keuangan negara. KPK tentu saja tidak mendeteksi program lainnya. Program Bansos misalnya tidak diidentifikasi KPK. Program untuk orang-orang yang kesulitan hidup ini, di DKI Jakarta misalnya sempat mengundang soal. Program yang dalam sejarahnya diawali di Amerika Serikat tahun 1933 ini, memang bermaksud memunculkan tatanan baru bernegara ditengah krisis keuangan. Tetapi silang pendapat antara Pemda DKI dengan pemerintah pusat dalam merealisasikan program ini, jelas. Tatanan program ini, tidak kokoh. Terlihat tiba saat tiba akal. Sama pada level tertentu dengan kebijakan penyediaan insentif terhadap usaha mikro, kecil, dan supermikro yang jumlahnya jutaan. Kebijakan memperpanjang durasi waktu pembayaran kredit, berikut bunganya, memang berspirit republik. Reklaksasi sekitar 3,7 jutaan debitur yang didukung dana sebesar Rp. 123, 46 trilyun, memang telah telah dimanfaatkan oleh 1,25 juta debitur. Tetapin bagaimana dengan dua jutaan lebih yang tersisa? Bagaimana mereka? Belum jelas skemanya. BRI disisi lain, entah ditugaskan atau mengambil prakarsa sendiri, entah untuk menjaga pertumbuhan kredit atau mendukung upaya konstitusional pemerintahan, menyediakan kredit bagi ojek online. Mereka jadi target pemberian kredit. Besaran kreditnya berada pada kisaran Rp. 5-20 jutaan rupiah. Tepatkah kebijakan ini? Itulah soalnya. Ini terlihat sebagai kebijakan kritis. Akankah kebijakan-kebijakan ini berkontribusi mengubah secara signifikan penampilan ekonomi republik ini? Akankah kebijakan ini platform konstitusional di sektor ini? Apakah kebijakan tipikal benar-benar diletakan di meja prioritas kebijakan pemerintah? Itu soalnya. Daya lobi UMKM kalah menggigit dibanding korporasi. UMKM memang menyediakan 99% total lapangan kerja, dan menyerap tenaga kerja sebesar 97%. Tidak itu saja, total investasi mereka sebesar 58, 18%. Dilihat dari sisi GDP kontribusi mereka sebesar 60% (Lihat CNBCIndonesia, 19/6/2020). Sialnya sektor top ini hanya ditopang dengan dana sebesar Rp. 123, 46 trilyun. Jumlah ini lebih kecil dari utang PLN. Menurut Dirut PLN (Persero) dalam lima tahun terakhir PLN mencatat utang mendekati Rp. 500 trilyun. Setiap tahun PLN mencatat Utang Rp. 100 trilyun. Utang-utang ini terjadi karena PLN tidak punya duit, tetapi harus membiayi proyek yang sedari awal telah dikritik ini. Akhirnya harus berhutang. Ini disampaikan Dirut PLN dalam Rapat Dengar Pendapat PLN dengan Komisi VI DPR RI tanggal 25 Juni 2020. Garuda Indonesia, korporasi berstatus hukum sama statusnya dengan PLN, yakni sebagai BUMN, disisi lain juga memperoleh pertolongan dari pemerintah. Pendapatan mereka selama covid anjlok sebesar 90%. Agar tidak tambah berantakan, pemerintah menyuntikan dana melalui skema dana talangan untuk menambah modal kerja, juga untuk efisienssi. Nilainya Rp. 8 trilyun (Lihat Antaranews.Com, 5/6/2020). Liberalisme menjadikan Korporasi sebagai entitas ekonomi, dengan kekuatan politik besar. Atas nama program percepatan pengembangan biodiesel, pemerintah memberi subsidi industri biodiesel sebesar Rp. 2,78 trilyun. Sebelum kebijakan ini, industri biodiesel telah mendapatkan mayoritas dana Sawit sebesar 8,5% yang dikumpulkan oleh BPDKPS sebesar Rp. 38 trilyun sejak 2015-2019. Rata-rata Rp. 7 Trilyun per tahun. Perlakuan liberalistik ini dikritik Gamal Nasir, Ketua Dewan Pembina Persatuan Organisasi Petani Sawit. Menurutnya dibandingkan industri biodisel, petani Sawit hanya memperoleh bantuan sebesar Rp. 1,7 trilyun pada tahun 2020 ini. Bantuan ini diberikan melaui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Menurut Gamal industri biodiesel tidak perlu disubsidi. Selama Covid 19, perusahaan biodiesel Wilmar misalnya, yang mengelola program B30 sudah menyumbang 1 trilyun rupiah untuk pencegahan Covid. Itu sebanya Gamal berpendapat industri biodiesel masih mampu bertahan ditengah covid. Selain memberi subsidi, pemerintah juga menaikan pungutan CPO/dana sawit dari U$ 50/ton menjadi U$ 55/ton. Pungutan ini merugikan petani, karena menurunkan sekitar 120150 per kg (Lihat Investor Daily, 7/6/2020). Kebijakan ini tipikal liberalistik. Cara ini juga bekerja pada kebijakan penyediaan dana program pemulihan ekonomi nasional. Menurut PP nomor 23 Tahun 2020, dana itu ditaruh di Bank-Bank Peserta. Jumlahnya, sejauh ini tidak pasti. Tetapi terlepas dari besarannya, penempatan dana ini di bank peserta, telah menjadi soal tersendiri. Dapatkah skema ini dinilai sebagai dana talangan kepada bank-bank itu? Apakah dana yang disalurkan kepada Bank Pelaksana sama nilainya dengan nilai restrukturisasi kredit yang dilakukan Bank Pelaksana itu? Berapa selisih kredit antara korporasi besar dengan UMKM yang jumlahnya jutaan itu? Tak cukup jelas sejauh ini. Terungkap Salah Urus Wajar Menkeu dan BPS memiliki penilaian yang mirip tentang postur perekonomian republik ini. Pernyataan mereka di DPR, jelas maknanya. Inti pernyataan mereka adalah Indonesia memiliki potensi resesi. Sebabnya pertumbuhan ekonomi bisa negatif. Menkeu menilai pertumbuhan ekonomi bisa minus sekian 3,8%, lebih kecil dari perkiraan BPS. BPS memperkiraan ekonomi bisa minus 4,8 %. Bahkan kata Kepala BPS ada yang memperkirakan bisa minus sekitar 7 % (CNNIndonesia, 22/6/2020). Entah berapa uang tersedia di BI dan berapa uang beredar dipasar. Ini tidak diketahui. Kalaupun diketahui, soalnya adalah apakah angka-angka yang disajikan itu kredibel? Soal lainnya apakah negara lain bisa dijadikan sandaran mendapatkan pinjaman? World Bank dan IMF, dua lembaga jago membuat susah negara miskin ini, bisa dipanggil untuk menolong? Resesi ekonomi tahun 1929 memberi ceritanya. Jerman hanyalah satu diantara sejumlah negara Eropa yang berantakan usai perang dunia pertama. Untuk mencegah meluasnya crash itu, Amerika mengambil prakarsa menolong negara-negara itu, terutama Jerman. Presiden Calvin Collidge membentuk apa yang dikenal dengan Daves plan. Ini diresmikan dan mulai beroperasi pada tahun 1924. Tetapi orientasi tersamar plan ini, adalah mendahulukan Jerman. Dalam kenyataannya, sejumlah faktor tak teridentifikasi, bekerja dengan cara sendiri. Hasilnya performa ekonomi Jerman terus memburuk. Muncullah plan lain. Namanya Young plan. Plan ini dirancang oleh Presiden Herbert Hoover, yang pada awal masa pemerintahannya great resesion itu terjadi. Plan ini dirancang dan dioperasikan tahun 1928, setahun sebelum great depression. Walau berbeda dalam titik tekan, Plan ini dimaksudkan mencegah krisis di Eropa, khususnya Jerman. Tetapi Anggela Lanette Smith dalam Economic Revolution From Withim; Herbert Hoover, Franklin D. Rosevelt and the Emergence of The National Industrial Recovery Act, kebijakan-kebijakan itu tak kunjung membuahkan hasil. Penyebabnya beragam. Tetapi esensinya satu; uang bukan hanya tidak lagi cukup beredar ditengah masyarakat, tetapi uang pemerintah juga minus. Menariknya korporasi-korporasi besar Amerika justru mengalihkan investasinya ke Jerman. Bank-Bank utama Amerika meminjamkan kepada korporasi besar Jerman pada kisaran 50-75 %. Tidak itu saja, J.P Morgan menyediakan uang untuk korporasi Jerman antara $100 sampai dengan $200 juta. Chase dan Guaranty Trust menyediakan tidak kurang dari dua miliyar dollar. Jerman, karena terus berorientasi pada infrastruktur canggih, terutama perang, yang tak banyak menyerap tenaga kerja, menjadi penyebab terbesarnya. Jerman akhirnya terjatuh dalam krisis juga. Pada saat yang sama Amerika, hanya membutuhkan satu pukulan kecil, krisis pasar uang, untuk memastikan gerak lanjut ke titik yang sama; resesi. Indonesia hari ini? Itu soalnya. Terlihat babak belur. Pengakuan Menkeu dan Kepala BPS tentang performa ekonomi dan respon Presiden terhadap postur pemerintahan jelas dalam semua aspeknya. Republik terlihat sedang babak belur, dan berada disimpang jalan salah urus. Paradoksnya elemen-elemen dasar republik, juga terlihat merosot terus. Tampilan penegakan hukum dan politik terus menjauh dari harapan keadilan. Kesetaraan dan kepastian hukum semakin kabur. Privilege khas tata negara dan politik liberalistik masih juga bekerja dengan caranya yang khas. Memilukan, kritik dipukul dengan tuduhan makar, penyebar berita bohong dan penghinaan melalui media elektronik. Nuansa fasistik terlihat bekerja memburu intelektual kritis. Liberalistik dan fasistik terlihat berpapasan dengan irama menjungkirbalikan republik. Bisakah segera muncul harapan untuk menyembuhkannya? Mari bermimpi, semoga republik ini tidak terus-terusan tengelam dalam cara itu. Rindukanlah solusi bijak dari para menteri. Menteri memang harus berkreasi. Tetapi republik memesankan, jangan lupa kerangkakan kebijakan itu dalam hukum. Dalam ilmu hukum, krisis tidak bisa dinyatakan secara lisan. Krisis harus dinyatakan secara hukum. Tanggung jawab kolektif, bukan karakter tanggung jawab dalam hukum. Hukum hanya mengenal tanggung jawab individual. Bijak itu harus, tetapi hukum republik memiliki cara mengkualifikasi bijak sebagai motif suatu tindakan hukum. Republik memang sedang merana, tetapi menginjak-injak hukum, bukan pilihan yang ditawarkan republik. Temukanlah cara bijak yang dibenarkan hukum. ** Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Awas Pengalihan Isu Dari RUU HIP
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (30/04). Sejak keluar Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI), banyak yang isu muncul. Dari isu ringan, sampai isu yzng berat. Macam-macam dan banyak jumlahnya. Tetapi, nampaknya umat Islam lebih tertarik pada isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Kenapa? Pertama, umat Islam sadar bahwa untuk sukses memperjuangkan sesuatu perlu fokus. Kalau nggak fokus, bisa ambyar. Kedua, RUU HIP diyakini sebagai anugerah. Hadir untuk menyatukan umat. Dengan adanya RUU HIP, umat jadi solid. Ketiga, umat sudah paham, dan tak mau lagi dijebak dengan adanya- pengalihan isu. Itu lagu lama, kata mereka. Karena itu, umat tak bergeser dari isu RUU HIP. Meski media Online dan TV mengangkat isu lain terus menerus untuk menutupi berita RUU HIP. Isu-isu lain itu datang dan pergi, silih berganti. Tapi, nggak bisa lama bertahan. Apalagi sejak lama umat punya keyakinan bahwa hampir semua media mainstream berada dalam tekanan dan kepentingan. Seringkali nggak fair dalam pemberitaan. Ratusan ribu hingga jutaan umat turun ke jalan, namun nggak berita yang ditayangkan. Sementara 30 orang demo kontra umat disiarkan. Bahkan disiarkan berulang-ulang. Peristiwa itu hampir mendominasi semua berita TV. Begitulah potret media mainstream di negeri +62 ini. Kolokan! Kata umat. Faktor ini yang menyebabkan para aktifis umat malas nonton TV. Tak sedikit yang sama sekali tak mau lagi menghidupkan TV. Terlalu banyak tipu-tipu dan pencitraannya, kata para aktifis itu. Di sisi lain, medsos menjadi alternatif pilihan. Habis shalat shubuh sudah sibuk buka medsos. Medsos dianggap lebih polos dan vulgar. Apa adanya dan obyektif. Semua informasi telanjang disampaikan. Nggak ada tim sortir. Bebas dari tekanan. Baca, langsung copas. Tonton, langsung share. Nampaknya, medsos sudah menjadi tempat berselancar yang mengasikkan bagi para aktifis itu. Betul juga sih! Berapa jam anda buka medsos? Coba bandingkan, berapa lama anda nonton TV dan membaca berita di media mainstream? Di medsos, kadang ada Hoax. Tak bisa dipungkiri. Itu wajar! Tapi, secara alami, hoax pun akhirnya terklarifikasi dengan sendirinya. Inilah hukum medsos. Fair dan jujur. Satu dengan yang lain saling kontrol dan mengingatkan. Ini jauh lebih beradab dari media mainstream. Medsos saat ini didominasi isu penolakan terhadap RUU HIP. Setiap hari beredar meme, tulisan dan video demo RUU HIP. Penolakan RUU HIP dan pengusutan para oknum dibalik RUU HIP jadi trending topik. Sudah berminggu-minggu lamanya. Tak bergeser oleh pengalihan isu. Apapun isu itu. Diantara yang berkontribusi untuk menjaga, bahkan menaikkan isu RUU HIP itu adalah adanya ancaman kepada umat Islam yang demo. Rating isu makin tinggi. Sebab, ancaman itu seperti menyiram api kemarahan umat. Lalu, terjadilah demo yang makin masif di berbagai daerah. Hari ini ada demo di Tegal. Massa Longmarch ke DPRD. Sepertinya, si pengancam salah hitung. Gak taktis. Ingat kawan! Silahkan demo. Perjuangkan keyakinan anda. Siapapun anda. Dimanapun berada. Sebesar apapun massa bersama anda. Apapun yang anda perjuangkan. Itu hak konstitusional anda. Tapi, jaga dan kendalikan diri. Jangan terprovokasi. Nggak boleh melanggar hukum. Sekecil apapun. Karena itu akan merusak citra dan niat anda. Indonesia bangsa beradab. Dan orang-orang beradab itu taat hukum. Sok bijak! Hehe Yang menarik, isu RUU HIP ini tidak saja berhenti pada tuntutan untuk dibatalkannya pembahasan. Ttaapi, justru diarahkan juga untuk menuntut adanya pengusutan para oknum di balik RUU HIP. Disinilah faktor krusialnya. Bisa menyasar orang, kelompok, bahkan partai pengusul. Apakah isu RUU HIP ini akan sukses menyeret para oknum itu ke pengadilan? Semua mata di negeri ini sedang ingin mengukur kembali bagaimana ketegasan hukum di era Pak Jokowi ini. Fokus! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Presiden Marah, Kok Malah Pada Mati Rasa?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Komunikasi politik Presiden Jokowi sedang menghadapi persoalan serius. Public distrust yang meluas, membuat apapun yang dilakukan Presiden, salah! Orang pemasaran menyebutnya, Jokowi memasuki tahapan dan situasi brand damage! Marah-marah, salah. Tidak marah, juga salah. Lebih salah lagi ketika marah-marahnya diunggah ke channel youtube. Apalagi kemudian ketahuan marahnya kapan? Diunggahnya kapan? Cobalah tengok ke media sosial, yang kemudian juga diamplifikasi oleh media-media arus utama ( mainstream). Tagar#Marahnya menjadi trending topic. Bikin heboh. Publik untuk sementara fokusnya teralihkan, dari ribut-ribut RUU HIP dan bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) Tagar ini muncul sebagai reaksi atas pengarahan Presiden Jokowi pada Rapat Paripurna Kabinet Rabu (18/6). Video pengarahan itu baru diunggah pada Ahad (28/6). Ada jeda 10 hari dari peristiwa. Dalam video berdurasi 10 menit 20 detik itu Presiden Jokowi marah-marah kepada para menterinya. Jokowi bahkan mengancam bakal membubarkan lembaga, dan mereshufle kabinet. Jokowi menilai tiga lembaga/kementerian yang disebutnya sangat lelet. Bekerja biasa-biasa saja. Tidak punya sense of crisis, dan menganggap semuanya berjalan normal. Kementerian kesehatan, kementerian sosial, dan kementerian perekonomian. Kementerian Kesehatan yang dipimpin oleh Terawan disebut pada urutan pertama dan sangat spesifik. Disediakan dana sebesar Rp 75 triliun untuk penanggulangan bencana Covid-19. Eh yang digunakan baru sebesar 1,5 persen. Dari jeda waktu pengunggahan konten marah-marah, dan jeda lama dari peristiwa inilah yang menjadi celah dan pintu masuk kecurigaan. Banyak yang curiga, itu merupakan bagian dari strategi kampanye/marketing politik ala Jokowi. Bahkan banyak yang menyebutnya hanya semacam gimmick, yang menjadi ciri khasnya. Ada pula yang menyamakan dengan Drama Korea. Seru, asyik, tapi itu bukan dunia nyata. Hanya jadi hiburan semata. Untuk lucu-lucuan saja boleh lah. Parahnya sikap sinis itu bukan hanya datang dari kalangan oposisi, . Para pendukung, termasuk die hard Jokowi, sikapnya juga sama. Kalau oposisi wajar. Toh apapun yang dilakukan Jokowi bakal tetap disalahkan. Tapi kalau munculnya dari kalangan pendukung Jokowi, pasti ada yang cukup serius. Meminjam kalimat marahnya Jokowi, “ada yang kondisinya extra ordinary.” Jokower sekelas komedian dan sutradara Ernest Prakasa malah mengaku sudah mati rasa. "Jujur gw udah mati rasa liat presiden marah-marahin menteri. Lebih terkesan kayak publicity stunt," cuit Ernest di Twitternya. Marahnya Jokowi bikin pendukungnya mati rasa. Karena itu hanya publicity stunt, aksi demi publisitas? Ini mah sudah super gawat. Krisis kepercayaan tingkat dewa! Wajar curiga Jarak antara peristiwa dan unggahan di medsos memang pantas dicurigai. Wajar kalau semuanya diduga sudah direncanakan sebagai bagian dari strategi kampanye, pemasaran politik. Termasuk marah-marahnya. Kemungkinan besar video tersebut telah mengalami editing. Dipilih secara cermat poin-poin yang harus sampai pesannya kepada publik. Termasuk target pesan yang harus sampai. Video itu sengaja disimpan dan menunggu waktu yang tepat. Dalam bahasa media, beritanya diembargo. Waktu publikasinya juga dipilih cermat, yakni pada hari libur, sepi berita, sehingga bisa langsung meledak di publik. Tim komunikasi Presiden pasti sangat menyadari bahwa penanganan pandemi yang amburadul, bantuan sosial yang acakadut, dan perekonomian yang ambyar, menjadi keresahan dan memunculkan kemarahan publik. Jadi harus ada placement, jadi kambing hitam. Yang paling empuk menjadi sasaran adalah Menkes Terawan. Sejak awal pandemi, Terawan yang harusnya paling bertanggungjawab, terkesan tidak mengetahui tugas dan tanggung jawabnya. Dia terkesan menganggap enteng, meremehkan. Bekerja biasa-biasa saja, dan menganggap situasinya normal. Tidak ada sense of crisis. Baru berhasil menyembuhkan pasien suspect 1 langsung merayakan. Bikin selebrasi, seolah sudah menang perang. Coba perhatikan kalimat yang digunakan Jokowi ketika dia “marah.” Semuanya pas menggambarkan posisi dan kondisi Terawan. Presiden berkali-kali menggunakan kalimat-kalimat, sense of crisis, berkerja biasa-biasa saja, menganggap situasinya normal, dan bertanggung jawab kepada 267 juta rakyat Indonesia. Kalimat terakhir diulangnya sebanyak tiga kali. Sejauh target meledakkan kemarahan ke publik, tim komunikasi Presiden sangat berhasil. Mereka cukup cermat memilih topik, waktu peluncurannya, dan siapa yang harus menjadi kambing hitam. Mereka juga cukup sukses dalam menyiapkan dan mengerahkan buzzer. Hampir semua unggahan video marahnya Jokowi di berbagai kanal media mendapat komentar positif. Komentarnya hampir seragam baik dari tone, bahkan sampai detil per kalimatnya….Hmmmm Sayangnya mereka tidak menyadari dan tidak tepat membaca psikologi publik. Sejak bencana Corona, publik sangat kecewa dengan cara pemerintahan Jokowi menanganinya. Tidak bisa Jokowi menyalahkan para menteri, anak buahnya. Ketika pandemi merebak, Jokowi dengan gagah menyatakan akan memimpin perang melawan Corona. Publik juga mencatat penegasan Jokowi, tidak ada visi misi menteri. Yang ada visi misi presiden-wakil presiden. “Tolong itu dicatat,” tegasnya ketika memimpin sidang kabinet pertama 24 November 2019. Jadi para menteri hanya melaksanakan tugas, mengimplementasikan visi misi Presiden. Kalau para menteri tidak bekerja sesuai visi misi, tidak sesuai harapan Presiden, tinggal pecat. Cukup segera copot, ganti, cari yang lebih tepat. Cari menteri yang bisa menjalankan tugas dan visi misi presiden. Tidak perlu mengumbar kesalahan, memarahi, dan mengancam reshufle di depan publik. Jangan salahkan publik kalau skeptis, mati rasa, menilai Presiden lebay. Mereka sudah terbiasa dan mahfum dengan gaya Jokowi. Dari sisi komunikasi, tim komunikasi politik Jokowi gagal total. Mereka tidak menyadari adanya brand damage (merek dagang yang rusak).Alih-alih mencoba melakukan mitigasi dan memperbaiki kerusakan, mereka mencoba mengalihkan kesalahan ke pihak lain, para menteri. Dalam teori pemasaran, brand damage terjadi karena sebuah brand secara konsisten tidak memenuhi janjinya kepada konsumen. Antara produk dan promosinya tidak nyambung. Terlalu dilebih-lebihkan. Over estimated. Brand-brand semacam ini hanya menarik konsumen karena didukung kampanye besar-besaran di media. Namun lama-kelamaan akan kehilangan kepercayaan dari konsumen dan kemudian ditinggalkan. Bahaya itu lah yang kini tengah mengancam Jokowi. Apapun yang dilakukannya, salah. Jokowi lagi mati gaya. End Penulis Wartawan Senior
Tak Pantas Untuk Pak Presiden Marah-Marah
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (30/06). Rapat tertutup Kabinet tanggal 18 Juni 2020 disebarkan seminggu kemudian. Yang menyebarkan ke publik itu pihak Istana Negara sendiri. Mungkin menganggap arahan Presiden itu hebat dan dapat membangun dan menaikkan citra diri Presiden. Dengan menyebarkan rapat tertutup tersebut, harapannya publik menjadi berbaik hati dalam menilai Presiden. Bahwa Presiden yang peduli kepada rakyat. Presiden yang tegas dan sangat disiplin, atau entah apalagi namanya. Dengan begitu, Presiden dapat banjir pujian dari masyarakat. Sayangnya, tingkat kepercayaan kepada Presiden sekarang semakin merosot di masyarakat. Kenyataan ini menyebabkan muncul beragam reaksi dan penilaian atas pidato pengarahan Presiden di rapat kabinet yang semula tertutup tersebut. Alih alih mendapat pujian. Banyak tanggapan miring bermunculan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "dagelan istana". Memang adegan tersebut, nyata-nyata memperlihatkan kelemahan kepemimpinan Jokowi. Ada sejumlah alsan dan peetimbangan dari kelemahan tersebut. Pertama, nampak telah terjadi kepanikan. Nada putus asa atas kondisi yang ada sekarang ini sangat jelas dan terang. Terkesan pemerintah sudah gagal. Sebabnya adalah menteri-menteri yang bersikap "biasa-biasa saja". Tidak juga tampak adanya kepanikan di kalangan para menteri. Karena mereka menganggap kondisi ini “biasa-biasa saja”. Tidak ada yang hebat atau istimewa. Kedua, Presiden sangat tidak bijak. Karena sikap Presiden yang mempertontonkan kemarahan kepada pembantunya di depan rakyat. Ini model dan contoh dari bentuk kepemimpinan marah-marah, seperti kebiasaan Ahok dan Risma. Bukan contoh yang layak dan pantas untuk diperlihatkan kepada rakyat. Ketiga, sangat mempermalukan. Menkes adalah korban terberat dari adegan yang tidak layak dan pantas ini. Dana yang disediakan kata Presiden, tak sebanding dengan tingkat penyerapan. Penyataan Presiden yang asal ngomong. Sebab tanpa adanya analisis penyebab, dan solusi perbaikan yang diperintahkan Presiden. Keempat, mudah menggampangkan masalah. Aturan yang tersedia, dari Perpres hingga Perppu dianggap enteng-enteng saja. Perppu itu diadakan hanya untuk keadaan yang sangat "genting dan memaksa". Bila terjadi kekosongan. Bukan hanya sekedar untuk "mengeluarkan duit" dengan cara yang dipaksa-paksa. Kelima, mengancam dan sok kuasa. Tak ada empati dan mendalami persoalan dengan baik. Yang ada hanya ancaman untuk melakukan reshuffle kabinet. Bila ini bukan sandiwara, maka menteri harusnya tersinggung. Menteri harus segera mengundurkan diri semua. Itu baru "nyaho". Keenam, Presiden tampak otoriter. Bukan bukan lagi sebagai koordinator. Arahan yang seperti ini mungkin saja akan dijalankan. Namun secara terpaksa atau tidak bertanggungjawab. Menteri akan semakin berkerja dengan asal asalan saja. Yang penting duit keluar, karena ada perintah. Inin sangat berbahaya. Ketujuh, terlihat aneh. Karena rapat kabinet tidak seperti layaknya sebuah rapat. Akan tetapi seperti agenda ceramah. Menteri hadir hanya untuk mendengarkan ceramah dari Presiden. Bukan meja rapat yang digunakan. Yang terlihat adalah meja indoktrinasi kepada para menteri. Kedelapan, pandemi covid dimanfaatkan sebagai tameng untuk berbuat apa saja. Termasuk untuk menghambur-hamburkan uang negara. Terkesan Presiden seperti marah, karena menterinya tak mahir memainkan dana covid-19. Ujung dari semua episode ini adalah Presiden Jokowi sebagai penanggungjawab pemerintahan, sebenarnya telah malu. Karena memiliki korps menteri yang kelasnya hanya bisa diam dan termenung. Juga hanya bisanya mencatat apa yang disemburkan itu. Padahal di hadapan Presiden itu ada guru besar, pengusaha, atau jenderal tentara dan polisi. Namun demikian, sebagai dagelan, ya mungkin itu bisa-bisa saja. Orang curiga dan ragu karena Pak Presiden sering ketahuan "actingnya”. Peristiwa rapat inipun membuat orang berfikir juga. Benarkah adegan tersebut adalah marah-marah sebenarnya. Kalau pun benar iya, adakah dampak politiknya ? Akibatnya, ada juga kawan "nyeletuk" sebenarnya mana yang lebih mendesak sih? Resuffle Menteri atau Presiden ? Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak lagi percaya. Begitulah akibatnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Namanya “Gerombolan Trisila dan Ekasila”
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (30/06). Sempat kaget dengan ungkapan dan penjelasan Ustad Eddy Mulyadi. Kordinator Lapangan (Korlap) aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan Gedung DPR RI membuat pernyataan yang viral di media sosial. Setelah kaget, akhirnya jadi balik tersenyum juga. Ada predikat atau nama baru yang dilemparkannya Ustad Edy Mulyadi, yaitu "Gerombolan Trisila dan Ekasila". Tersenyum, karena bisa bisanya Ustad yang wartawan senior dari Portal Berita FNN.co.id ini berani dan tegas ini mengkristalisasi lawan umat Islam. Sekaligus lawan Pancasila itu sebagai gerombolan. Cukup argumentatif klarifikasi atau penegasannya. Soal bakar bendera dinyatakan sebagai sebuah insiden, karena tidak ada dalam agenda yang direncanakan oleh peserta aksi demonstrasi. Bahkan tak tertutup kemungkinan dilakukan oleh penyusup yang sengaja membawa bendera PDIP. Kalaun bendera PKI yang dibakar tidak masalah. Meskipun pembakaran bendera PKI juga juga tidak ada dalam agenda awal aski di depan DPR. Namun Ustad Edy Mulyadi menyatakan tak keberatan jika dibawa ke proses hukum. Nah, sebutan gerombolan Trisila dan Ekasila menarik, karena beberapa sebab. Pertama, Trisila dan Ekasila bukanlah Pancasila. Jadi bisa merupakan ideologi tandingan terhadap Pancasila. Kita lima sila. Dia atau mereka hanya tiga sila saja. Dengan demikian, berjuang demi Trisila dan Ekasila untuk mengubah Pancasila. Mengubah Pancasila adalah makar terhadap ideologi. Kedua, setiap perjuangan ideologi Trisila dan Ekasila agar di masa depan dapat diterima untuk menggantikan Pancasila merupakan tindak yang nyata-nyata kriminal. Diancam dengan KUHP Pasal 107. Sanksi pidananya tidak main-main. Pidana penjara selama dua puluh tahun. Ketiga, Trisila dan Ekasila hanya tawaran Bung Karno seorang diri. Tidak menjadi kesimpulan kesepakatan dari para pendiri bang. Baik itu, di Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada dua lembaga yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia ini, ada Bung Karno di dalamnya. Karenanya perjuangan Trisila dan Ekasila bukan merealisasikan semangat Bung Karno. Sebaliknya, justru mengkhianati Bung Karno sendiri. Sebab Bung Karno juga ikut menyepakati bahwa Ideologi Negara awalnya adalah Piagam Jakarta. Selanjutnya menjadi Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Tidak mungkin Trisila dan Ekasila bisa diterima. Baik itu secara politik maupun hukum perjuangan ideologi Trisila dan Ekasila tersebut. Makanya menjadi sangat wajar jika upaya untuk mewujudkannya di negara Republik Indonesia menjadi bertentangan dengan konstitusi. Dapat saja dinyatakan sebagai perjuangan yang ilegal. Melanggar hukum, karena makar terhadap konstitusi. Kelompok gerakan apapun baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, ataupun politik yang berjuang untuk Trisila dan Ekasila dengan semangat menggantikan Pancasila jelas-jelas merupakan gerombolan makar. Akhirnya dapat dimengerti mengapa Korlap aksi menyebutnya sebagai "Gerombolan Trisila dan Ekasila". Memang RUU HIP menguak banyak hal. Ada ceritra seram, namun ada juga yang lucu. Di tengah keseraman ternyata ada kelucuan. Seramnya pasukan tegap siap gerak jalan. Lucunya jalannya mundur ke belakang. Mundur ke gorong-gorong Trisila dan Ekasila. Pancasila berlaku untuk sekarang dan ke depan. Tentu Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan yang diperas-peras menjadi Trisila dan Ekasila itu. Pancasila bukan jeruk nipis yang bisa diperas. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.