NASIONAL
Mencari Jati Diri Indonesia di Tengah Pandemi
by Chaerudin Affan SE, M.Kesos Jakarta FNN – Rabu (22/07). Sudah beberapa bulan terakhir ini dunia dilanda bencana yang serius. Bumi seperti berhenti berputar. Roda ekonomi macet total. Semua negara direpotkan dengan kedatangan mahluk halus yang menyerang dan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Kepanikan bukan hanya milik masyarakat. Tetapi juga para pengelola negara di seluruh dunia. Sudah teramat lama sejak 1918-1920 silam, dunia mengalami serangan mahluk halus. Serangan yang melululantakkan dunia. Kini mahluk halus itu datang lagi, dengan keganasan dan tidak dapat diselesaikan menggunakan teknologi yang berkembang pesat dalam dekade terakhir ini. Negara di dunia kini sibuk mengurus diri masing-masing. Adapun pengelola kawasan yang terserikat seperti Uni Eropa juga belum bisa menyelesaikan masalah di kawasannya. Semua negara sedang mencari selamat masing-masing. Maka wajar saja, hingga hari ini belum ada keputusan paten oleh Uni Eropa untuk mengatasi sendi-sendi yang rusak akibat serangan mahluk halus tersebut. Walaupun gelombang kepanikan masyarakat dunia sudah mulai mereda, Nyatanya kerusakan yang ditimbulkan masih juga terus berlanjut. Indonesia sebagai kunci dari lalulintas dua benua besar, otomatis terdampak. Bahkan ikut terkena serangan mahluk halus itu. Ribuan orang meninggal dalam kurun waktu empat bulan. Ratusan ribu warga negara telah menjadi inang dari mahluk jahannam dan yang tidak dikenal tersebut. Situasi di Indonesia tidak jauh dari negara-negara lain di seleruh dunia. Sejak mulai pertengahan maret pemerintah menetapkan serangan pandemi covid 19. Padahal sebelumnya para pejabat negara menangkis keras adanya serangan mahluk halus yang masuk ke negara ini. Namun setelah jumlah kasus semakin bertambah tinggi, untuk menanggulangi pandemi, berbagai protokol kesehatan dibuat oleh pemerintah pusat dan diikuti oleh pemerintah daerah. Indonesia nampak begitu gagap menghadapi serangan mahluk halus yang dikenal dengan sebutan corona. Tidak hanya sendi ekonomi yang terlihat semakin rusak. Tetapi juga sendi-sendi bernegara ikut semakin rusak dan berantakan. Kita bisa lihat pada awal pandemi, bagaimana pemerintah daerah yang tidak bersinergi antara tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota dengan pusat. Bagaimana kebijakan daerah banyak sekali yang bertabrakan dengan kebijakan di tingkat atasnya atau tingkat pusat pada awal penanggulangan. Bahkan terdapat pemerintah daerah yang saling caci-maki atau saling menyudutkan di media sosial. Pemandangan yang sangat buruk dan primitif untuk disaksikan oleh generaasi muda. Namun itulah kenyataan yang harus dinikmati. Kerusakan sendi sosial bukan main dampaknya. Beberapa bulan sholat Jum’at dan ibadah gereja ditiadakan. Perayaan hari-hari besar keagamaan juga ditiadakan. Pemberlakuan social distancing secara langsung ikut merubah kultur budaya Indonesia yang ramah menjadi saling curiga. Pembatasan sosial juga mengharuskan masyarakat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari di rumah. Semua kegiatan dan aktivitas sosial kontak didigitalisasi. Jabat tangan yang sebelumnya merupakan ciri khas sosial kultur masyarakat Indonesia juga menghilang sekejap. Kalau di luar negeri jangan ditanya lagi. Kemungkinan jabat tangan hanya ada dalam acara resmi saja. Semua menjadi serba kaku. Kerusakan disendi ekonomi dirasakan semua lapisan. Semua masyarakat merasakan dampaknya. Tidak terkecuali masyarakat dengan strata ekonomi yang ada di tingkat atas. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang ekonomi lemah? Tentu sudah mulai bernapas dengan mulut. Karena hidungnya sudah semakin terjepit. Namun di tengah kerusakan yang dibuat oleh mahluk halus terhadap sendi-sendi negara, masyarakat Indonesia mulai menemukan jati dirinya. Dalam sendi sosial budaya misalnya, jabatan tangan mulai difariasi. Sikap saling curiga kemudian berubah kembali menjadi tolong menolong atau gotong royong. Kembalinya jati diri rakyat Indonesia sebenarnya adalah penyelamat pemerintah dalam mengatasi kesulitan ekonomi rakyat yang tidak dapat diatasinya. Sampai sekarang pemerintah masih kesulitan untuk memulihkan kerusakan di bidang ekonimi. Bahkan semakin bingung. Tidak tau jalan keluarnya. Saling menyalahkan sana-sini. Jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa nyatanya dipegang oleh rakyatnya. Disaat para pejabat masih saling tuding dan saling lempar tanggung jawab terhadap nasib rakyat. Padahal rakyat Indonesia justru sudah sibuk saling menolong di sekitarnya. Saat para pejabat daerah saling berebut bansos, rakyat sudah bergerak untuk membuat cara membantu tetangganya yang diisolasi mandiri. Disaat para pemangku kebijakan masih ribut soal tumpang tindih kebijakan ataran Provinsi dengan Kabupaten/Kota atau dengan Pemerintah Pusat, masyarakat secara inisiatif membuat protokolnya sendiri. Kemudian diterapkan di lingkungannya sendiri. Bahkan saat bansos di beberapa daerah tidak sesuai dengan ekspetasi rakyat, para pengusaha jauh lebih dulu menggelontorkan bantuan, baik itu berupa uang ataupun bahan pokok makanan. Gotong royong tidak hilang. Masih tetap ada dan melekat di masyarakat. Gotong royong yang dikatakan Bung Hatta sebagai cikal bakal Koperasi di Indonesia, yang telah lama hilang dari permukaan, kini tampak dijiwai masyarakat. Bila semangat gotong royong yang muncul di permukaan dapat dipotret dengan baik oleh para pemangku kebijakan, khususnya kepala Pemerintahan, tentu seharusnya mereka dapat mencontoh. Para pemangku kebijakan mencontoh untuk mengurangi ego sektoral. Juga mencontoh untuk saling mendukung. Mencontoh untuk berbagi peran sesuai dengan fungsi masing-masing. Mencontoh untuk tidak saling menuding. Mencontoh untuk tidak merasa diri sebagai pejabat paling hebat dari yang lain. Mencontoh untuk tidak membuat kegaduhan dengan pernyataan-pernyataan yang merasa paling benar sendiri. Mencontoh untuk saling merangkul dan memaafkan. Mencotoh saling menerima kritik untuk perbaikan. Bukan mencontoh untuk saling melaporkan di polisi. Lebih jauh dari itu semua, potret gotong royong di masyarakat seharusnya dapat ditangkap. Lalu, kemudian dikristalkan dalam model ekonomi koperasi. Bukan menjadikan koperasi sebatas objek skrup ekonomi yang hanya menerima bantuan. Koperasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) seharusnya dijadikan sebagai core ekonomi nasional, karena telah tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Saat ini seharusnya pemerintah mulai berbenah. Sebelum semuanya terlanjur musnah. Jati diri Bangsa Indonesia kembali terkubur. Dibawa oleh para penganut paham Neo-Merkantilisme. Meraka inilah yang sekaligus berprofesi sebagai pemburu rente. Penghisap darah rakyat seperti cerita dracula di malam hari. Sayangnya, mereka pemburu rente ini beroperasi mulai dari pagi, siang, sore, malam dan sampai pagi. Penulis adalah Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia.
MUI Jadi Lokomotif Perjuangan Umat
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (22/07). Skandal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang disinyalir merongrong ideologi Pancasila, bukan saja telah membuat gaduh ruang perpolitikan nasional. Tetapi telah masuk ke aspek keagamaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut tersengat, lalu mengeluarkan Maklumat yang jelas, tegas dan keras. Disamping menolak RUU HIP, MUI juga meminta segara dilakukan pengusutan kepada para inisiator atau konseptor RUU yang berbau menghidupkan kembali faham komunisme tersebut. Bahkan, sikap lanjutan dari MUI adalah kemungkinan adanya "masirah kubro" dari umat Islam, jika Maklumat tidak diindahkan oleh DPR atau Pemerintah. Umat Islam serentak mengadakan aksi-aksi protes. Sikap penolakan umat hampir terjadi di seluruh Indonesia. Sikap umat Islam tersebut untuk menindaklanjuti Maklumat MUI. Isu ancaman kebangkitan neo PKI dan komunisme melalui perundang-undangan yang menggerakkan aksi umat itu. Tekad umat Islam untuk menekan pengambil keputusan, agar mencabut atau membatalkan pembahasan RUU sangat kuat. Aksi berkelanjutan sudah teragendakan. Namun realitas yang dihadapi umat Islam adalah, baik DPR maupun Pemerintah tidak bergeming (unmoved). Hingga saat ini DPR tidak melakukan pencabutan atau pembatalan RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Sementara Pemerintah alih-alih bersikap menolak pembahasan. Justru yang terjadi malah pemerintah mengajukan RUU baru tentang BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Umat kecewa dan tidak dapat menerima penggantian RUU tersebut. Seruan MUI tidak didengar dan diabaikan. MUI adalah lokomotif aspirasi dan perjuangan umat Islam. Karenanya sikap MUI selanjutnya kini ditunggu oleh umat Islam. What next? Ada dua sasaran tekanan, yaitu DPR sebagai inisiator RUU HIP. Ultimatum yang lebih keras mesti dikeluarkan oleh MUI. Kedua, Pemerintah yang telah membelokkan perhatian dengan mengajukan RUU BPIP. Terhadap kedua hal ini, MUI bukan saja layak untuk menolak keberadaan RUU BPIP. Tetapi juga mendesak Pemerintah agar membubarkan BPIP. Sikap lebih tegas MUI dinilai penting untuk membuktikan bahwa Maklumat yang dikeluarkan itu bukan basa basi. Bukan juga main main atau gertak sambal. MUI adalah lembaga keagamaan yang mewakili umat Islam. Pengabaian atau pelecehan terhadap Maklumat MUIdinilai berhubungan dengan aspek keagamaan. Kemungkaran harus dicegah. Mengotak-atik kesepakatan tentang ideologi Pancasila itu dikategorikan sebagai kemungkaran berat. Umat Islam diperlakukan tidak proporsional oleh rezim ini. Ada kebijakan untuk peminggiran atau sekularisasi. Dari isu intokeransi, radikalisme, bahkan terorisme selalu mengarah pada umat Islam. Khilafah, jihad, dan kafir menjadi terma yang direduksi maknanya. Buku agama pun diobrak-abrik. Kurikulum pendidikan, dari Sekolah Dasar sampa dengan Menengah Atas diobrak-abrik. Tujuannya menghilangkan segala macam istilah dan nama-nama yang berkaitan dengan Islam. Saatnya bagi MUI untuk menempatkan diri sebagai lokomotif perjuangan umat. Umat Islam harus kembali berwibawa dan tidak bisa diperlakukan semena-mena. RUU HIP dan RUU BPIP menjadi batu ujian penyikapan serius MUI. Masirah kubro adalah langkah yang ditunggu-tunggu. Maklumat hanya tinggal maklumat, jika tidak menjadi washilah peningkatan kekuatan dan perlawanan umat. MUI adalah lokomotif. Bukan pelengkap. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Mengapa Indonesia Perlu Presiden Yang Tidak Dungu?
by Asyari Usman Jakarta FNN (22 Juli 2020) - Merakyat saja tidak cukup. Dia harus jujur. Merakyat dan jujur saja, juga tidak cukup. Dia harus bertakwa. Merakyat, jujur dan bertakwa saja pun belum cukup. Dia juga harus berkarisma dan berkarakter kuat. Indonesia memerlukan presiden yang memiliki semua aspek. Di atas semua itu, dia harus cendekia. Sekadar mengingatkan, cendekia mencakup banyak hal yang berbasis IQ tinggi. Begini definisi “cendekia” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya copas langsung dari KBBI daring. Kalau ada waktu, tolong dibaca beberapa kali definisi berikut ini. CENDEKIA/cen·de·kia/ 1 tajam pikiran; lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu); cerdas; pandai; 2 cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar (pandai menggunakan kesempatan); cerdik; 3 terpelajar; cerdik pandai; cerdik cendekia. Berdasarkan definisi ini, seorang presiden yang cendekia harus memiliki kapasitas pikir (thinking capacity) yang berlebih. Harus di atas rata-rata. Supaya dia menguasai masalah apa saja. Presiden ‘wajib’ menguasai semua masalah. Kalau pun dia tidak tahu secara detail semua masalah yang terkait dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, setidaknya seorang presiden memahami simpul-simpul penting dari masalah yang sedang terjadi. Presiden wajib tahu kisi-kisi semua masalah dan peristiwa. Dia, misalnya, harus paham soal landas kontinen (continental basin). Ini istilah hukum laut internasional. Tidak harus tahu detail. Tapi, presiden bisa berbicara ketika ditanya tentang pertikaian perairan. Presiden juga harus mengerti serba sedikit tentang ekonomi makro, port-folio investment, capital flight, Das Capital, tax holiday, Kyoto Protocol, dlsb. Presiden musti mengerti soal ‘debt to GDP ratio’ supaya dia tidak menjerumuskan negara ke lembah utang. Supaya tidak memaksakan diri berutang secara berlebihan. Ada pula istilah ‘debt trap’ (perangkap utang) yang harus dicermati. Sangat mungkin ‘debt trap’ itu menjadi bagian dari ‘geo-politcal strategy’ (strategi geo-politik) sebuah negara besar. Misalnya, banyak orang yang percaya bahwa China menerapkan ini lewat kebijakan OBOR (One Belt One Road) yang intinya adalah hegemoni dan kolonialisasi dengan ‘casing’ baru. Presiden yang cendekia pasti bisa mengikuti diskusi tentang ‘bio-diversity’. Ini penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan. Saat ini, Indonesia kehilangan banyak spesies dalam keragaman hayati. Di pentas internasional, masalah ‘bio-diversity’ selalu menjadi topik hangat yang sangat politis sifatnya. Presiden perlu memahami isu ini. Ada terminoligi perang asimeteris (asymmetric warfare). Yaitu, perang yang ditandai perbedaan mencolok dalam persenjataan dan strategi atau taktik. Sebagai negara besar yang berposisi strategis, presiden Indonesia harus mampu berdiskusi dengan para menteri bidang pertahanan tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkecil dampak negatif secara militer dan psikologis akibat disparitas perangkat perang. Presiden harus bisa memberikan pengarahan dan mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Itulah beberapa contoh tentang perlunya seorang presiden yang cendekia. Yang berpikiran tajam, cerdas dan cerdik. Smart thinking, smart actions. Intinya, orang yang cendekia itu punya otak. Tidak setiap hari, setiap saat, setiap masalah, bergantung pada tim penasihat. Lawan dari cendekia adalah dungu. Mari kita simak sebentar definisi ‘dungu’ berikut ini. Juga menurut KBBI. DUNGU/du·ngu/ sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Bisa dibayangkan kalau seorang presiden memiliki kapasitas yang berlawanan dengan kemampuan seorang cendekia. Orang yang cendekia tahu apa yang harus dia lakukan jika ada masalah. Sebaliknya, presiden yang dungu sangat membahayakan negara. Dia tidak paham masalah yang terjadi. Kalau pun dia paham, dia tidak memiliki kapabilitas untuk mengatasi masalah. Tidak memiliki kemampuan. Akibat literasi yang minim. Celakanya, seorang presiden yang dungu merasa memiliki kemampuan. Dan lebih celaka lagi, orang-orang yang cendekia siap melakukan apa saja untuk menutupi kedunguan seorang presiden. Akhirnya, mari kita jawab satu pertanyaan: mengapa Indonesia memerlukan presiden yang tidak dungu? Karena Indonesia ini besar dari banyak aspek. Besar dalam hal demografi. Besar dari segi geografi. Besar dalam ‘natural resources’ (sumberdaya alam). Dan besar dari aspek ekonomi, bisnis, dan kemaritiman. Di tangan seorang presiden yang dungu, Indonesia akan hancur berantakan. Menjadi lemah tanpa martabat dan wibawa. Untuk kemudian menjadi makanan empuk negara-negara kuat, terutama China. Apakah kita bisa menemukan figur sesempurna penjelasan di bagian awal tulisan ini? Jawabannya: harus ada. Dan pasti ada. Asalkan jangan Anda sengaja mencari orang yang dungu.[] (Penulis adalah wartawan senior)
Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945, Makarkah?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (22/07). Ketua Umum Partai Demokrasi Ondonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Seoakrnoputri dalam pidato tahun 2005 menegaskan bahwa, “ideologi partai PDIP adalah Pancasila 1 Juni 1945”. Bahkan Megawati agak "menafikan" Pancasila 18 Agustus 1945. Demikian berita dilansir oleh berbagai media saat itu. Antara lain termuat di Kompas.com. Penegasan bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi dari PDIP sesuai dengan hasil keputusan Kongres II Bali tahun 2005 lalu. Nah, kini dengan reaksi keras, khususnya dari umat Islam terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) yang diinisiasi oleh PDIP dengan isu komunisme tersebut, maka masalah Pancasila 1 Juni 1945 mengemuka. Masalah ini muncul dalam Pasal 7 RUU HIP tersebut. Akibatnya, PDIP dimasalahkan aspek visi, misi dan platform perjuangannya. Sulit untuk dipungkiri bahwa perjuangan menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut, dominan dalam sistem politik telah dilakukan oleh PDIP. Dikeluarkan Perpres No 24 tahun 2019 oleh Jokowi adalah sukses perjuangan. Hasilnya, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Juga ditetapkan sebagai hari libur nasional, dan diupacarakan secara resmi. Justru di sinilah perjuangan yang dinilai gagal oleh PDIP adalah RUU HIP yang digempur habis oleh masyarakat, khususnya umat Islam. RUU "pengganti" yang diajukan oleh Pemerintah ternyata masih berfilosofi perjuangan pada Pancasila 1 Juni 1945. Konsiderans RUU BPIP butir a dan b cukup membuktikan keinginan tersebut. Produk Kongres PDIP ke II Bali menjadi pertanyaan ketatanegaraan. Misalnya, bolehkah ada ideologi Pancasila lain yang diperjuangkan oleh partai politik, selain Pancasila yang sudah ada dan berlaku? Seperti Pancasila yang tanggal 1 Juni 1945? Jika boleh, maka bisakah ada partai politik di negeri kini yang menjadikan ideologi perjuangannya adalah Pancasila 22 Juni 1945 atau Piagam Jakarta? Bila tidak, bisakah masuk kategori makar, dengan ancaman hukuman 20 tahunkah ? Sedikit banyak ideologi perjuangan seperti ini dapat menggoyahkan kedudukan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Untuk itu, bila hal ini diabaikan atau tidak dianggap masalah, maka ideologi Pancasila memasuki fase reinterpretasi atau mungkin reformulasi. Pancasila akan menjadi diskursus yang bersifat "debatable". Dengan demikian, telah mendorong kemunduran dalam bernegara. Kini RUU HIP dicoba untuk diubah menjadi RUU BPIP. Namun pastinya RUU DPIP telah menjadi penambah masalah dalam konteks ideologi Pancasila. Sebelum menjadi kasus hukum di Mahkamah Konstitusi, maka baiknya masalah status Ideologi Pancasila 1 Juni 1945-nya PDIP yang menjadi ideologi partai, yang hendak diperjuangkan, mestinya didiskusikan oleh para pemerhati, khususnya ahli Hukum Tata Negara. Pembahsan bisa di lingkungan akademis maupun di ruang publik. Makarkah idelogi PDIP? Ini persoalan serius bangsa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ketika Presiden Yang Kehilangan Rasa Malu
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Senin (20/07). Kesan memaksakan Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden untuk maju dalam Pemilihan Walikota (Pilwalkot) semakin kuat. Keterlibatan Presiden sebagai ayah sangat mencolok dan kasat mata. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Bahkan seperti seperti hendak memamerkan keterlibatan Presiden. Terang-terangan "pesaing” anak Presiden, Achmad Purnomo dipanggil ke Istana. Konon dengan tawaran kepada Achmad Purnomo dengan jabatan sebagai kempensasi tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Tetap saja Purnomo merasa kecewa atas "perampasan hak" oleh anak Presiden atas nama otoritas sang ayah. Argumen awal bahwa ini bukan politik dinasti. Karena meskipun anak, tetapi hak politik sebagai warga negara tak dapat dihalangi siapapun. Siap untuk berkompetisi secara sehat. Namun prakteknya belum juga. Belum bertarung saja sudah memanfaatkan fasilitas kepresidenan. Ada juga barter jabatan segala. Peristiwa ini sebenarnya sangat memuakkan dan memalukan. Namun anehnya bagi Presiden hal ini dianggap biasa-biasa saja. Gawat juga jika Presiden sudah kehilangan rasa malu. Presiden tidak lagi perduli dengan cemohan dari publik. Presiden didak lagi perduli dengan norma pantas atau tidak pantas. Layak dan tidak layak. Presiden buta atau membutakan matanya untuk melihat kapasitas dan kapabilitas anaknya. Semua batasan norma, etika dan kepantasan tidak lagi dihiraukan oleh Presiden. Sabda Nabi, "sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, maka Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu orang itu dari darinya, maka tidak mendapatkan dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika mendapatkan dirinya dibenci dan membenci orang lain, akan dicabut amanah" (HR Ibnu Majah). Sebenarnya Presiden sudah kehilangan amanah itu melalui beberapa kebijakannya. Misalnya, ketika membuat Perppu tanpa adanya tingkat "kegentingan memaksa". Melumpuhkan KPK, dan mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019. Juga memasukkan TKA China di tengah kesulitan kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Selain itu, kebijakan membuka peluang penguasaan Negara komunis China melalui investasi dan hutang luar negeri. Bagaimana mungkin Presiden tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya? Sangat berbahaya bagi Negara yang Presidennya telah kehilangan rasa malu. Ditambah lagi dengan tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya. Lebih lanjut Nabi bersabda, "ketika amanah dicabut darinya, maka dia tidak mendapatkan dirinya, kecuali berkhianat dan dikhianati orang lain. Ketika mendapatkan dirinya berkhianat dan dikhianati orang lain, maka dicabut darinya rahmat. Ketika dicabut rahmat darinya, dia tidak mendapatkan dirinya selain dikutuk dan dilaknat". Yang dikhawatirkan sebagai seorang pemimpin adalah jika rakyat yang dipimpin sudah melecehkan bahkan sudah berani mengutuk dan melaknat. Jika fenomena ini terjadi maka itulah tanda tanda Allah SWT mencabut rahmat darinya. Memang kasus Gibran Rakabuming Raka ini dinilai keterlaluan. Orang pada tahu kalau kualitas, kapasitas, dan reputasi Gibran seperti apa untuk menjadi seorang Walikota? Akan tetapi dengan modal sosial sebagai anak Presiden, yang juga mantan Walikota Solo, Gibran dengan mudah maju sebagai calon Walikota Solo. Bukan itu saja. Presiden juga terang-terangan menggunakan fasilitas kepresidenan sebagaimana pemanggilan Achmad Purnomo ke Istana. Perkiraan di atas kertas, Gibran bisa saja mulus menjadi Walikota. Apalagi dana "rekanan" pun kemungkinan dengan mudah didapat atas titah ayahanda. Namun kekuasaan yang didapat bukan dari haknya atau kapasitasnya, maka agama menegaskan ancaman kehancurannya. Jika ia beragama Islam, maka statusnya sama dengan orang yang keluar dari Islam. Nabi juga mengingatkan, "ketika ia mendapatkan dirinya dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali agama Islam" (HR Ibnu Majah). Nasehat Nabi berguna bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sementara bagi yang tidak beriman, maka predikat yang pas untuk mereka adalah, "shummun bukmun umyun fahum laa yarji'uun" Mereka itu tuli, bisu dan buta. Maka mereka tak akan bisa kembali (QS Al Baqarah, ayat 18). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Makar Ideologi Itu "Gerakan Pancasila 1 Juni 1945"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (19/07). Ini tentu bukan peristiwa pidato Soekarno di Sidang BPUPKI. Pidato itu sudah menjadi dokumen historis bangsa Indonesia. Kehebatan Soekarno dalam menuangkan gagasan diakui sangat luar biasa. Kita tidak boleh mencelanya. Pada tanggal 1 Juni 1945 istilah Pancasila diperkenalkan. Sebagaimana ketika itu juga diperkenalkan Trisila dan Ekasila. Semua adalah proses menuju Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang. Proses sejarah yang menuju ke sana itu kita akui. Kita juga tidak akan membantahnya. Persoalannya menjadi makar ideologi adalah jika Pancasila 1 Juni 1945 mau diperjuangkan untuk menggantikan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila 1 Juni 1945 dengan rumusan sila-silanya adalah Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan itu diperjuangkan bentuk Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUUPIP) untuk suatu saat menggantikan Pancasila yang telah dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perjuangan serupa dengan organisasi PKI dahulu, yang juga berjuang agar ideologi negara Republik Indonesia adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pancasila digantikan kelak. Selama hidup dan bergerak, PKI tetap berada di bawah Pancasila. Bahkan PKI menyatakan "Membela Pantjasila". DN Aidit adalah "jagoan" dalam teriak-teriak soal "Membela Pantjasila". Kita terpaksa menyebut adanya “Gerakan 1 Juni 1945”. Karena realitanya dalam proses politik sangat terasa adanya gerakan, perjuangan, serta langkah serius. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan keyakinan akan kebenaran Pancasila 1 Juni 1945. Bukan disimpan sebagai dokumen historis saja. Tetapi sudah menjadi misi politis yang harus diterima sebagai landasan yuridis. RUU HIP adalah landasan yuridis yang hendak diletakkan tersebut. Kulminasi dari keyakinan perjuangan yang dianggap telah sampai dan menemukan momentum. RUU BPIP menjadi strategi "mundur sedikit satu dua langkah". Apalagi dalam menghadapi benturan keras dan perlawanan dari pembela Pancasila 18 Agustus 1945, khususnya umat Islam. Gerakan 1 Juni 1945 dapat diawali dengan bukti konsepsi bagi misi , "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Gerakan 1 Juni 1945 tentu berapologi tidak menafikan Pancasila 18 Agustus 1945. Tetapi dari gerak dan langkahnya telah terasa merongrong eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia dan tidak boleh dikhianati. Titik. Keputusan Presiden No 24 tahun 2016 tentang Hari Lahirnya Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dinilai menjadi penguat bagi langkah gerakan Pancasila 1 Juni 1945. Berlanjut hingga RUU HIP yang kontroversial dan menyisakan buntut lahirnya RUU BPIP. Konflik ideologi akan semakin terbuka ke depan, jika tidak ada koreksi, introspeksi, evaluasi serta antisipasi. Dari mana memulainya ? Ya jawabannya sudah jelas di samping. Cabut RUU HIP, juga bubarkan BPIP dan tolak RUU BPIP. Ini adalah langkah strategis dalam rangka menyelamatkan eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Tidak ada langkah dan cara lain. Ke depan, kiranya Pemerintah Jokowi harus mencabut kembali Kepres No 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila. Hal ini karena masih terjadinya perdebatan keras tentang hari lahir Pancasila itu. Apakah 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 ataukah 18 Agustus 1945? Moga para pemimpin negara arif dalam mengelola negara yang telah susah payah "dipersembahkan" oleh para pejuang dan "the founding fathers". Tegakkan keadilan dan kedamaian. Penulis adalah Pemerharti Politik dan Kebangsaan.
Ruhnya RUU BPIP Tetap Pancasila 1 Juni 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Lagi lagi penyelundupan ide penafsiran Pancasila ala Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang bersemangat dan berpegang pada Pancasila 1 Juni 1945. Pada RUU BPIP pun spirit dan semangat tersebut masih membekas. Meski tak berani terang-terangan.Akan tetapi RUU yang dinilai "asal asalan" namun memliki "hidden agenda" ini, nampaknya tak bisa juga melepaskan diri dari spirit rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Sebab Jika tujuan hanya untuk membuat payung hukum bagi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), maka sebenarnya tidak harus ditetapkan dalam bentuk "Undang-Undang". BIPI cukup dengan "Perpres" saja. Faktanya status BPIP hanya merupakan badan "pembantu" Presiden. Tidak lain dan tidak bukan. Tidak lebih dari pembantu presiden. Terlalu tinggi untuk diatur dalam sebuah Undang-Undang. Terlalu berlebihan energi bangsa ini hanya dikuras membuat undang-undang sebagai paying hukum untuk BPIP. RUU BPIP yang diajukan Pemerintah dalam Konsideran "Menimbang" menempatkan Pancasila 1 Juni 1945 tetap menjadi sandaran utama menuju ke pembinaan Pancasila. Bahkan ditempatkan "sangat luhur" yakni pada butir a. yang berbunyi : "bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia yang hari lahirnya telah ditetapkan 1 Juni 1945 harus diketahui asal usul oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara" Sangat jelas ada nilai "lestari" dan "langgeng" serta "asal usul" Pancasila, yang tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945 yang harus diamalkan. Inilah penyelundupan pada tahap awal. Lalu lihat format selanjutnya RUU BPIP ini. Masih dalam hal "Menimbang" butir pada b, yang memformulasi narasi perkembangan Pancasila hingga 22 Juni 1945 dan finalnya pada 18 Agustus 1945 berujung pada kalimat : "..dan merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tersebut di dalam Keputusan Presiden No. 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila". Kita telah mengetahui bahwa fokus dari Kepres di atas tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945. Dengan rumusan Pancasila, yaitu Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan. Sangat jelas bahwa landasan filosofis dan yuridis dari RUU BPIP tetap Pancasila 1 Juni 1945. Meskipun untuk pengertian Pancasila tidak dapat menghindarkan diri dari rumusan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. RUU BPIP disebut "asal-asalan" karena singkat sekali hanya VII Bab dan 17 Pasal. Yang betul betul berkaitan dengan BPIP sendiri hanya Bab IV, Bab V dan Bab VI. Sementara Bab VII Penutup dan Bab I tentang Ketentuan Umum. Bab II Asas dan Tujuan. Sedangkan Bab III dapat disebut "out of position" tidak relevan dengan BPIP. Mengingat bahwa RUU BPIP adalah "buntut" dari RUU HIP dan RUU HIP tersebut telah menggoncangkan bangsa dan negara dengan penyelundupan ide komunisme, maka sudah tepat dan layak jika masyarakat tetap keberatan akan keberadaan BPIP dan RUU BPIP nya. Oleh karena itu sangat beralasan pula jika seruan rakyat masih konsisten pada "Bubarkan BPIP" dan "Tolak RUU BPIP". Jika Pemerintah dan DPR masih juga memaksakan, maka patut disimpulkan bahwa "hidden agenda" memang terbukti, dan sedang dijalankan. Rakyat berhak bersikap. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pemerintahan Kok Seperti Preman?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Rakyat bereaksi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rakyat, khususnya umat Islam menilai RUU HIP berbau Komunis, dan membuka peluang bangkitnya neo PKI. Sikap Pemerintah maupun DPR ditunggu masyarakat. Apakah DPR yang akan mencabut RUU HIP melalui rapat Paripurna Dewan? Atau Pemerintah yang menyatakan tidak akan melakukan pembahasan? Masyarakat masih berunjuk rasa di depan Gedung DPR. Masyarakat masih menunggu. Alih-alih mengambil keputusan tentang RUU HIP. Malah seenaknya Pemerintah mengajukan RUU baru yang diberi nama RUU BPIP. Empat Menteri menyerahkan naskahnya kepada Ketua DPR Puan Maharani. Mereka adalah Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, dan Menhan Prabowo Subianto. Penyampaian RUU BPIP dengan begitu saja, jelas merupakan pelecehan kepada rakyat oleh Pemerintah. Bahkan melecehkan DPR RI juga. RUU inisiatif Dewan belum tersikapi secara resmi. Namun usulan baru dari Pemerintah sudah masuk. Pembuldozeran halus. Lucunya Dewan melalui Ketua DPR Puan Maharani sangat bahagia. Anggap remeh aspirasi rakyat, khususnya umat Islam. Padahal sekurangnya ada empat hal yang menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan pengabaian hokum. Pertama, status RUU HIP harus terlebih dahulu jelas. Harus memiliki kepastian hokum. Mau diapakan kelanjutannya? Pemerintah menyatakan masih "menunda" dan DPR masih "menunggu". Ujungnya dibiarkan "mengambang". Penyelenggaraan negara model apa seperti ini? Kedua, RUU BPIP sebagai ajuan Pemerintah adalah RUU baru. Yang semestinya harus masuk dahulu dalam Prolegnas yang disepakati bersama untuk pembahasan yang terjadwal. Tidak boleh "menyalip" RUU yang sudah terlebih dahulu "antri". Ini adalah contoh buruk budaya "main labrak". Pemerintahan ko seperti preman? Ketiga, mengapa mesti empat Menteri mengantar RUU BPIP ini? Secara prosedural cukup diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM saja. Pola "unjuk kekuatan" atau "unjuk kekuasaan" dengan mengutus empat Menteri menggambarkan situasi "disorder" atau "tidak normal". Keempat, RUU BPIP tetap kontroversial. Sebab membalikkan prinsip hukum yang benar. Ironi sebuah Undang-Undang dibuat untuk mengatur "wadah" yang lebih dahulu ada. Semestinya Undang-Undang dahulu baru dibuat wadah untuk melaksanakan Undang Undang itu. Ada "pemaksaan" dan dipastikan berkonten "tidak aspiratif". Keberadaan BPIP masih dipertanyakan urgensinya. Desakan agar BPIP dibubarkan juga cukup keras terdengar. BPIP bukanlah kebutuhan "pokok" bagi rakyat saat ini. Lebih pada pemenuhan hasrat penguasa sendiri dan dapat menjadi "mainan ideologi" dalam menafsirkan Pancasila sesuai dengan kemauan Pemerintah. Harusnya Pemerintah dan DPR "colling down" dulu. Apalagi berkaitan dengan RUU HIP yang berbau komunisme tersebut. Sangat kuat tuntutan untuk melakukan pengusutan dugaan adanya penyusup "makar ideologis" pada RUU HIP. Lakukan segera proses politik dan hukum terhadap oknum yang "menunggangi" situasi ini. Pemerintahan Preman adalah Pemerintah yang abai pada prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik. Pemerintah yang menganggap enteng aspirasi rakyat. Pemerintah yang mengacak -acak wibawa wakil rakyat. Pemerintah yang memerintah dengan kekuatan alat pemaksa. Memperalat ideologi, serta memanipulasi hukum. BPIP dan RUU BPIP adalah wujud pemaksaan dan keburukan dari rezim yang "false governance", "false public policy" dan "false authority". Itulah rezim Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lima Rekomendaasi Untuk MPR Terkait Putusan MA NO 44 P/HUM/2019
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas, rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. (Prof. Dr. Dahlan Thaib, 2005, “Nasib kerja Komisi Konstitusi tentang amandemen UUD 1945”) Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Untuk memudahkan, maka pembatasan Undang-undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini kita sebut UUD 2002. Sedangkan Data dan Informasi UUD 1945 mengatakan, “Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum (Rechsstaat)”. Pasal 6A (3) UUD 2002 : “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikit-sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-3) Pasal 6A (4) UUD 2002 : “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-4) Putusan MA No. 44 P/HUM/2019, antara lain memutuskan Pasal 3 (7) PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002 telah melakukan kajian terhadap UUD 2002. Ketua Komisi Konstitusi Prof. Dr. Sri Soemantri, pakar Hukum Tata Negara bersama 30 anggota komisi, telah merampungkan tugasnya, dan hasilnya sudah diserahkan ke MPR RI Baca : Pelantikan Presiden RI 2019 : “Semua bilang kawal konstitusi”. (google). Baca : “Buah RUU HIP Untuk Kontemplasi pada 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. (google) Diskusi dan Interpretasi “Founding fathers and mothers”, menegaskan Negara berdasar atas Hukum. Bukan berdasarkan pada kekuasaan. Artinya, siapapun tidak boleh memanipulasi, menekuk dan membelokan hukum. Pasal 6A (3) UUD 2002, bicara syarat ideal Paslon yang bisa dilantik MPR. Artinya mengikat MPR. Tidak bicara jumlah Paslon. Pasal 6A (3) UUD 2002 lahir di amandemen ke-3. Bagaimana jika syarat ideal tidak tercapai? Dalam amandemen ke-4, lahir ayat (4), memiliki korelasi dengan ayat (3), ayat ini sebagai solusi. Kasus ini, menguatkan dugaan bahwa amandemen UUD 1945 beberapa pasal muncul tanpa naskah akademi, termasuk Pasal 6A ayat (3) & (4) UUD 2002. Jika ada naskah akademinya, ayat (3) & (4) tentu lahir bersamaan. Pengakuan Prof. Dr. Sahetapy, sebagai pengusul tunggal hilangnya kata “asli” pada Pasal 6 UUD 1945 “Presiden ialah orang Indonesia asli”, juga menguatkan dugaan. Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan interpretasi Pasal 159 (1) UU 42/2008, yang substansinya seperti Pasal 6A (3) UUD 2002. MK menyatakan tidak berlaku jika Paslon dua pasang (Putusan MK 50/PUU-XII/2014). Putusan MK ini bukan segala-galanya, karena dikesampingkan dengan lahirnya UU 7/2017 Pasal 416 (1), yang mengatur Presiden dan Wapres terpilih sebagaimana Pasal 6A (3) UUD 2002. (Asas “Lex posterior derogat legi priori”) Celakanya, KPU membuat interpretasi lagi. Pasal 3 (7) PKPU Nomor 5/2019 menetapkan Paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Paslon terpilih, jika hanya ada 2 (dua) Paslon. Sehingga Putusan MA No. 44/HUM/2019 memutuskan peraturan KPU ini bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA No.44/HUM/2019 melahirkan perdebatan. Diskusi silang pendapat dan berbagai interpretasi terhadap pasal dan ayat dalam UUD 2002 dan peraturan lainnya. Sesungguhnya, jika ingin menegakkan aturan terkait Pilpres 2019, masih panjang dan berliku-liku. Penetapan KPU soal Presiden terpilih, sebagai norma khusus, apa perlu diuji legalitasnya di PTUN? Sebagian berpendapat untuk apa? Pemborosan saja. Toh norma umum sudah ada Putusan MA. Di akhir Pilpres, kedua Paslon juga tidak memenuhi Pasal 6A (3) UUD 2002. Apa perlu Pilpres tahap kedua? Tentu ini juga pemborosan. Inilah format dalam UUD 2002. Sukakah kita? Akankah UUD 2002 akan terua kita pertahankan ? Artikel ini tidak membahas penegakan hokum. Tetapi ingin menyampaikan bahwa, Putusan MA tersebut membuka cakrawala. Adanya interpretasi pasal dalam UUD 2002. Benar Prof. Dr. Dahlan Thaib di atas : “….. rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. Rekomendasi Untuk MPR Apabila rakyat Indonesia yakin Pancasila sebagai Dasar Negara, pasal-pasal UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila dan multi interpretative, sehingga menimbulkan instabilitas hukum, politik dan robeknya persatuan. Maka demi bangsa dan negara, ada 5 (lima) rekomendasi untuk MPR RI, dengan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 2002 sebagai jisa kewenangannya : Pertama, hendaknya mempelajari hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002, dan dari elemen masyarakat, terkait UUD 2002. Menyerap pendapat para pakar Hukum Tata Negara dari kaum akademisi, terkait situasi negara saat ini. Setelah kita menggunakan UUD 2002. Kedua, hendaknya segera mengambil langkah konstruktif dan konstitusional. Apabila situasi negara buruk, itu diakibatkan UUD 2002. Tidak perlu ragu, merasa bersalah, dan ewuh pakewuh. Jika harus Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan cara memberikan adendum, agar nilai-nilai, cita-cita dan tujuan ketika mendirikan “Indonesia Merdeka” tetap lestari. Ketiga, seyogyanya buku “Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar” MPR RI, tidak hanya buku seputar UUD 2002. Perlu buku pendamping, seperti kajian Komisi Konstitusi, kajian Foko Purnawirawan TNI-POLRI, pendapat para tokoh dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) yang sudah pernah disampaikan kepada MPR RI. Tujuannya, agar rakyat paham dan bisa melakukan penilaian. Keempat, membentuk Komisi Konstitusi dengan anggota non partisan dan tidak pernah terlibat amandemen. Tugasnya mengkaji lebih lanjut UUD 2002, dikaitkan dengan dampak setelah digunakan untuk bernegara. Penyempurnaan UUD 1945 dengan adendum dan menguji aturan perundang-undangan turunan dari UUD 2002. Kelima, menerima aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan konstitusi secara periodik. Acara ini bak “Tapa Pepe” kearifan lokal Raja Jawa dan menunjukkan masyarakat berhak bicara konstitusi. Semoga persoalan bangsa ini bisa dipahami semua pihak. Termasuk para Ketum Parpol, politisi, kaum intelektual dan masyarakat umumnya. Insya Allah, amin. Penulis adalah Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
RUU HIP Jadi RUU BPIP, Umat Minta BPIP Dibubarkan!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Baca pandangan dan sikap PBNU pada poin 8: "Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru, yang prakteknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturannorma dalam masyarakat". Jelas, PBNU khawatir adanya BPIP justru menibulkan beberapa hal. Pertama, akan menjadi lembaga kontrol atas nama pancasila dan negara terhadap kehidupan masyarakat. Ini sangat berbahaya. Bisa menjadi "Orba Gaya Baru" (OGB). Kedua, BPIP berpotensi digunakan sebagai alat untuk menggebuk lawan-lawan politik pemerintah. Ketiga, hadirnya tafsir Pancasila ala BPIP bisa memicu kegaduhan dan konflik sosial baru. Keempat, nantinya BPIP merasa paling benar sendiri dalam menafsirkan Pansila. Dikhawatirkan nantinya Pancasila BPIP adalah yang tanggal 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Ini bisa menimbulkan keributan antara masyarakat, khususnya umat Islam dengan BPIP. Tanpa adanya UU saja sudah bikin gaduh di masyarakat. Apalagi jika ada UU-nya. Bisa semakin gaduh. Inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat. Kekhawatiran ini masuk akal, melihat sejarah masa lalu, khususnya BP7. Kekhawatiran ini ditambah gaya BPIP sekarang yang merasa paling benar saja dalam segala urusan yang berkaitan dengan Pancasila. Poin No 8 dari pandangan dan sikap PBNU seolah menyuarakan pesan: “bubarkan saja BPIP. Nggak dibutuhkan itu BPIP”! Persoalan ini juga yang menjadi rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V yang diselenggarakan MUI di Bangka Belitung. KUII ke V minta BPIP untuk dibubarkan. Eh, sekarang malah mau dibuat RUU untuk BPIP. Tambah ngaco lagi. Ketika RUU HIP ditolak, lalu ganti nama RUU BPIP, ini menimbulkan sejumlah analisis. Pertama, pemerintah dan DPR dianggap gagal paham. Kenapa? Yang ditolak umat Islam bukan "nama" atau "istilah" yang dipakai RUU. Bukan itu! Yang ditolak umat Islam adalah keseluruhan, yang meliputi proses, substansi, motif dan potensi konfliknya. Kedua, perubahan nama dari RUU HIP ke RUU BPIP sengaja dibuat untuk menggeser isu komunisme ke isu otoritarianisme. Melekat pada RUU HIP stigma komunisme. Sementara RUU BPIP lebih dipahami sebagai upaya pemerintah untuk memperkuat otoritarianismenya. Pemerintah mau menggunakan tafsir Pancasila versi BPIP untuk kepentingan kekuasaannya. Nantinya tafsir Pancasila yang benar hanyalah yang versi BPIP dan pemerintah. Yang di luar Pemerintah dan BPIP salah. Tambah ngawur lagi. Nampaknya, analisis yang kedua lebih pas. Ada upaya menggeser isu komunisme. Sebab, isu komunisme dianggap lebih sensitif dari isu otoritarianisme. Selama ini, isu komunisme yang melekat pada RUU HIP telah mendorong gelombang protes umat Islam di berbagai daerah. Apakah pergeseran isu ini akan berhasil? Bisa iya, bisa tidak. Bergantung konsistensi umat Islam pada tuntutannya, yaitu batalkan RUU HIP dan usut para inisiatornya? Tuntutan ini menjadi pokok utama dalam maklumat MUI. Yang pasti, seiring dengan pergantian nama dari RUU HIP ke RUU BPIP, akan muncul narasi dan diskursus baru. Tidak saja narasi dan diskursus baru, tetapi juga kekuatan lobi akan menjadi penentu. Apakah MUI, Ormas dan umat Islam konsisten pada tuntutannya? Atau sebaliknya, justru masuk angin. Kita lihat, apa yang akan terjadi. Jika umat Islam tetap menuntut "bubarkan BPIP" sebagaimana yang tersirat dalam sikap PBNU dan rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V, maka isu RUU HIP atau RUU BPIP akan terus mendapatkan energinya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.